bab ii tinjauan pustaka a. resiliensi 1. pengertian ......12 bab ii tinjauan pustaka a. resiliensi...
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Resiliensi
1. Pengertian Resiliensi
Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan yang dimiliki individu
untuk menghadapi, mengatasi dan menjadi pribadi yang lebih kuat atas kesulitan yang
dihadapinya. Masten & Reed (2002) mengatakan resiliensi secara umum mengacu kepada
fenomena yang ditandai dengan adanya adaptasi positif yang menunjukkan hasil yang baik
meskipun dalam keadaan yang sulit atau beresiko.
Kaplan (1996) menyebutkan resiliensi sebagai keberadaan faktor pelindung, yaitu diri
sendiri, lingkungan sosial dan keluarga yang mampu membuat individu melawan kondisi
stres. Resiliensi mengacu pada proses, kapasitas, atau hasil adaptasi yang sukses meskipun
berada dalam keadaan yang menantang atau mengancam. Brook & Goldstein (2000)
mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan individu dalam mengatasi masalah dan tekanan
secara lebih efektif, kemampuan untuk bangkit dari masalah, kekecewaan, dan trauma; serta
untuk dapat mengembangkan tujuan yang lebih realistik.
Masten, Best & Garmezy (1990) menyebutkan tiga fenomena dari resiliensi yaitu: (a)
hasil baik bagi anak yang berisiko, (b) mempertahankan kompetensi dalam keadaan yang
mengancam, (c) sembuh dari trauma.
a. Konsep dari resiliensi yang berkembang dalam berbagai penelitian adalah keberhasilan
individu dalam beradaptasi dengan lingkungan yang sulit. Faktor berisiko sangat erat
kaitannya dengan hasil yang buruk. Faktor risiko yang dimaksud seperti kemiskinan,
13
pendidikan orangtua yang rendah, status sosial ekonomi yang rendah, memiliki
seorang ibu yang skizofrenia, ketidakstabilan keluarga, perilaku bermasalah,
pendapatan yang rendah dan masih banyak hal lainnya.
b. Resiliensi dalam konsep fenomena ini mengimplikasikan coping yang efektif, yang
berarti usaha untuk mengembalikan atau mempertahankan keseimbangan internal atau
eksternal dengan cara melakukan aktivitas termasuk berfikir dan bertindak.
c. Ketika suatu kesulitan datang dengan porsi yang sangat berat dan waktu yang
berkepanjangan, resiliensi mengarah kepada fenomena dari recovery atau pemulihan,
bukan kepada daya tahan/kekebalan. Trauma akut secara dramatikal didefinisikan
dengan ilustrasi pemulihan dalam resiliensi. Anak-anak yang terkena bencana, anak-
anak yang diperlakukan tidak wajar (abuse), anak yang kehilangan kedua orangtuanya
menunjukkan kebutuhan akan pemulihan.
Reivich & Shatte (2002) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan yang dimiliki
individu dalam merespon keadaan yang sulit secara sehat dan mampu untuk tetap produktif
walaupun dihadapkan pada situasi yang tidak nyaman yang dapat memicu terjadinya stres.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka resiliensi dapat didefinisikan sebagai
kemampuan yang dimiliki individu untuk dapat beradaptasi dalam lingkungan yang tidak
menyenangkan, mampu untuk melawan dan mengatasi kesulitan serta dapat bangkit kembali
dari keterpurukan.
2. Sumber-sumber Resilliensi
Seperti yang telah dipaparkan, resiliensi terkait dengan bagaimana individu dalam
mengatasi kesulitan dan kondisi tidak menyenangkan yang terjadi didalam kehidupannya.
Upaya dalam menghadapi kondisi-kondisi tersebut sangat bergantung kepada tiga hal yang
14
menurut Grothberg (1995) merupakan sumber-sumber yang dapat membentuk karakteristik
resiliensi dalam diri individu. Sumber-sumber tersebut meliputi I have, I am dan I can
(Grothberg, 1995).
a. I Have.
I have bersumber dari bagaimana individu dalam memaknai besarnya dukungan dan
sumber daya yang diberikan oleh lingkungan sosial diluar dirinya. I have dapat diperoleh
melalui hubungan yang baik dengan keluarga dan orang lain diluar keluarga serta lingkungan
sekolah yang menyenangkan. I have juga dapat diperoleh melalui hubungan dengan
kepercayaan yang penuh, perilaku meniru (modeling), dorongan agar menjadi mandiri dan
adanya fasilitas hidup seperti layanan kesehatan (Grothberg, 1995).
Seswita (2013) melakukan penelitian terhadap mahasiswa perantau yang kuliah di
pulau Jawa. Hasil penelitian ini menyebutkan mahasiswa perantau yang memiliki dukungan
sosial yang tinggi cenderung memiliki tingkat resiliensi yang tinggi dan sebaliknya.
b. I Am.
I am merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu, yang berkaitan dengan
kekuatan yang dimiliki oleh individu. Kekuatan pribadi tersebut terdiri dari perasaan, sikap
dan keyakinan pribadi. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi faktor I am dalam
resiliensi, diantaranya perasaan disayang dan disukai oleh banyak orang, mencintai, empati,
altruistik (sikap perduli terhadap orang lain), locus of control, kebanggan pada diri sendiri,
percaya diri, optimis serta bertanggung jawab (Grothberg, 1995).
Beberapa penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara
locus of control dengan resiliensi. Salah satunya dilakukan oleh Maharani (2007) yang
meneliti tentang hubungan antara kecenderungan internal locus of control dengan resiliensi
pada remaja tunarungu di Yogyakarta. Hasil dari penelitian ini menunjukkan semakin tinggi
15
skor internal locus of control, maka semakin tinggi juga resiliensi yang dimiliki oleh remaja
tersebut.
c. I Can.
I can berkaitan dengan kemampuan individu dalam melakukan berbagai hal. I can
berhubungan dengan keterampilan sosial dan interpersonal. Keterampilan sosial tersebut
meliputi cara berkomunikasi, cara individu dalam menyelesaikan masalah, kemampuan
individu dalam mengenali perasaannya, emosi diri dan juga emosi orang lain serta bagaimana
individu dalam mecari hubungan yang dapat dipercaya (Grothberg, 1995).
Nuryana & Ristinawati (2008) melakukan penelitian terkait pengaruh pelatihan
resiliensi terhadap perilaku asertif pada remaja. Penelitian ini menyebutkan individu yang
memiliki perilaku asertif dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki efikasi diri, karena
individu yang memiliki kepercayaan diri akan selalu berfikir positif pada dirinya dan orang
lain. Townend (1991) mengatakan bahwa sikap asertif yang dimiliki remaja akan menjadikan
remaja tersebut menjadi seorang yang tegar, jujur, terbuka, kritis dan mampu menghormati
orang. Resiliensi juga memiliki keterkaitan dengan tingkat kecerdasan emosional. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Setyowati, Hartati & Sawitri (2010) terhadap penghuni panti
rehabilitasi, menyebutkan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosional yang baik
merupakan individu yang resilien.
Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari I have, I am dan I can. Untuk menjadi
seorang individu yang memiliki resiliensi, tidak cukup hanya memiliki satu karakteristik saja,
melainkan harus juga ditopang oleh karakteristik lainnya (Desmita, 2009). Dengan demikian
kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan pemaparan mengenai sumber-sumber resiliensi
adalah bahwa resiliensi memiliki 3 sumber yaitu bersumber dari luar diri individu (I have),
dari dalam diri individu (I am) dan kemampuan yang dimiliki oleh individu (I can).
16
3. Aspek-aspek Resiliensi
Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan tujuh karakteristik yang dimiliki oleh individu
yang resilien. Ketujuh aspek tersebut diantaranya:
a. Regulasi Emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang dalam keadaan yang tidak
menyenangkan. Individu yang memiliki kesulitan dalam meregulasi emosinya sering
menyusahkan orang lain dan mengalami kesulitan dalam melakukan pekerjaan bersama-sama
(Reivich & Shatee, 2002).
Regulasi emosi berfokus kepada bagaimana individu dalam mengatur pengalaman
emosionalnya untuk tujuan pribadi dan sosial. Secara lebih spesifik, regulasi emosi terdiri dari
proses internal dan eksternal yang bertanggung jawab untuk memantau, mengevaluasi, dan
memodifikasi reaksi emosional (khususnya intensitas dan ketepatan waktunya) untuk
mencapai suatu tujuan (Thompson, Mayer & Jochem, 2009).
Hal penting yang tidak terlepas dari regulasi emosi adalah ketenangan (calming) dan fokus
(focus), sehingga individu yang mampu mengelola kedua hal tersebut dapat memanfaatkan
kemampuannya untuk meredakan emosi yang ada (Reivich & Shatte, 2002). Seorang individu
yang mampu untuk mengekspresikan emosinya dengan tepat merupakan ciri dari individu
yang resilien menurut Reivich & Shatee (2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Widuri (2012) menyebutkan individu yang memiliki
regulasi emosi yang rendah sulit untuk membangun dan mempertahankan hubungan
pertemanan. Individu yang mampu meregulasi emosinya dengan baik merupakan individu
yang memiliki resilien yang tinggi. Nisfianoor & Kartika (2004) yang juga melakukan
penelitian terkait regulasi emosi pada remaja menyebutkan remaja yang memiliki regulasi
emosi yang baik akan memiliki penerimaan kelompok teman sebaya yang baik. Sebaliknya,
17
semakin buruk regulasi emosi yang dimiliki remaja maka akan semakin buruk pula
penerimaan kelompok teman sebayanya.
b. Impulse Control
Impulse control merupakan kemampuan individu untuk menahan atau mengendalikan
keinginan, ego, dorongan yang bersumber dari dalam dirinya. Impulse control memiliki
hubungan yang erat dengan regulasi emosi. Individu dengan kemampuan impulse control yang
rendah cenderung cepat dalam mengalami perubahan emosi sehingga individu sangat mudah
kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan terkadang berperilaku agresif terhadap hal-
hal yang kecil. Perilaku ini menyebabkan orang-orang disekitarnya merasa tidak nyaman dan
memicu timbulnya permasalahan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002).
c. Optimism
Individu yang resilien merupakan individu yang optimis. Mereka percaya bahwa segala
sesuatunya akan menjadi baik. Mereka memiliki harapan dimasa mendatang dan percaya
bahwa mereka dapat mengontrol tujuan hidupnya. Jika dibandingkan dengan individu yang
pesimis, individu yang optimis memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, jarang mengalami
depresi, prestasi yang baik disekolah dan lebih produktif (Reivich & Shatte, 2002).
Hefferon & Boniwell (2011) menyebutkan dua komponen penting terkait dengan optimism,
kedua elemen tersebut adalah dispositional optimism dan explanatory system. Dispotional
optimism didefinisikan sebagai ciri-ciri kepribadian yang dikaitkan dengan hasil yang
diharapkan. Sifat optimis ini ditandai dengan ekspektasi yang tinggi mengenai hasil yang
positif sedangkan sifat pesimis ditandai dengan mengantisipasi masa depan dengan hasil yang
negatif. Komponen yang kedua adalah explanatory style. Komponen ini menunjuk pada
bagaimana penyebab dari suatu peristiwa, baik itu peristiwa positif maupun negatif dan
dampaknya dalam melihat harapan dimasa yang akan datang.
18
Optimisme memiliki arti yang terkait dengan kemampuan individu melihat masa depannya
dengan cerah. Optimisme berarti individu memiliki kemampuan menangani kemalangan yang
pasti akan datang. Rasa optimis juga berkaitan dengan efikasi diri yang dimiliki individu.
Optimisme merupakan suatu keuntungan jika dikaitkan dengan efikasi diri karena optimisme
memotivasi individu untuk mencari solusi dan terus bekerja keras dalam meningkatkan
kehidupan (Reivich & Shatte, 2002).
d. Analisis kausal
Analisis kausal adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk secara akurat
mengidentifikasi penyebab dari masalahnya. Jika individu tidak mampu menjelaskan
penyebab permasalahannya secara akurat, maka individu tersebut cenderung akan melakukan
kesalahan yang sama berulang-ulang (Reivich & Shatte, 2002).
Abramson & Seligman (1978) menjelaskan tiga cara berfikir yang berkaitan erat dengan
analisis kausal yang dinamakan explanatory style, yaitu cara individu dalam menjelaskan
sesuatu hal yang baik ataupun yang buruk yang terjadi pada dirinya. Explanatory style ini
dapat dikodekan dalam tiga dimensi, yaitu personal (me-not me), permanent (always-not
always), pervasive (everything-not everything).
Individu dengan pola pikir “me, always, everything” secara langsung berfikir bahwa dialah
yang menjadi penyebab dari masalah yang terjadi (me), hal tersebut bersifat abadi dan tidak
dapat diubah (always), dan hal tersebut merusak semua aspek kehidupannya (everything).
Ketika masalah muncul Individu yang “not me, not always, not everything”, percaya bahwa
orang lain atau lingkungan juga bisa menyebabkan munculnya sebuah masalah (not me),
masalah itu bersifat sementara dan bisa berubah (not always), dan masalah tersebut tidak
berdampak besar pada aspek kehidupannya (not everything).
19
e. Empati
Empati berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki individu dalam melihat atau membaca
isyarat/tanda dari kondisi psikologis dan emosional orang lain. Individu yang tidak
mengembangkan kemampuan untuk peka terhadap bahasa nonverbal, tidak mampu untuk
menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan
memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan
kesulitan dalam hubungan sosial. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang
pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan
dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002).
Empati merupakan suatu emosi yang secara spesifik tumbuh dalam konteks pengalaman
emosional yang dimiliki seseorang dan menggambarkan hubungan terhadap pengalaman yang
dimiliki orang lain. Empati merupakan respon emosional personal terhadap keadaan
emsoional orang lain (Robinson, 2009). Ekspresi dari empati dapat dilihat melalui emosi-
emosi dasar seperti kesedihan, empati juga dapat dilihat dari perilaku yang mengekspresikan
kepedulian terhadap orang lain dan perilaku sosial lainnya (Robinson, 2009).
f. Efikasi Diri
Efikasi diri merepresentasikan kepercayaan individu dalam memecahkan masalah yang
dialami serta memiliki keyakinan akan hidup yang sukses. Efikasi diri cukup memberikan
dampak dalam situasi yang sebenarnya terjadi di lapangan. Contohnya dalam dunia pekerjaan,
individu yang memiliki keyakinan akan kemampuannya untuk dapat memecahkan masalah
akan terlihat seperti seorang pemimpin, tetapi mereka yang tidak memiliki kepercayaan
terhadap kemampuan diri akan menemukan dirinya mangalami kekalahan dalam kelompok
(Reivich & Shatte, 2002).
20
Bandura (dalam Feist & Feist, 2009) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan
seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap
keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan. Efikasi diri merujuk pada
keyakinan diri seseorang bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan suatu
perilaku , sementara ekspektasi atas hasil merujuk pada prediksi dari kemungkinan mengenai
konsekuensi perilaku tersebut (Feist & Feist, 2009).
Roberts (2007) melakukan penelitian terkait dengan self efficacy, self concept dan
kompetensi sosial sebagai sumber dari resiliensi dan psychological well-being pada dewasa
muda. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tingginya self efficacy yang individu miliki akan
berpengaruh terhadap kemampuan individu tersebut dalam menghadapi dan beradaptasi
dengan tantangan dan tekanan hidup. Hal serupa juga dikemukakan oleh Manara (2008) yang
juga membuktikan bahwa tingginya efikasi diri yang dimiliki individu mengindikasikan
individu tersebut sebagai individu yang resilien.
g. Reaching Out
Resiliensi tidak hanya berbicara mengenai bagaimana individu dalam mengatasi masalah
yang terjadi dan bangkit dari keterpurukan, resiliensi juga berbicara tentang kemampuan
individu dalam menggapai aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa
(Reivich & Shatte, 2002).
Tidak semua individu mampu untuk melakukan reaching out, hal ini dikarenakan banyak
individu yang memang dari kecil sudah diajarkan untuk sedapat mungkin menghindar dari
kegagalan dan situasi yang memalukan. Individu yang seperti ini adalah individu yang
memilih untuk memiliki hidup yang standar dibandingkan dengan meraih kesuksesan dengan
menghadapi kegagalan dan situasi yang tidak menyenangkan. Individu yang seperti ini juga
21
memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalisasikan segala kemampuan yang ada dalam
dirinya (Reivich & Shatee, 2002).
Bernad (2009) memberi kajian lebih lanjut dengan menggolongkan empat sifat umum
yang dimiliki individu yang resilien. Keempat sifat tersebut meliputi :
1. Kompetensi Sosial. Kemampuan yang dimiliki individu untuk memunculkan respon yang
positif dari orang lain, dalam artian individu mampu untuk menjalin hubungan yang positif
dengan orang dewasa dan teman sebaya.
2. Keterampilan Memecahkan Masalah. Perencanaan yang memudahkan untuk
mengendalikan diri sendiri sendiri dan memanfaatkan akal sehatnya untuk mencari bantuan
dari orang lain.
3. Otonomi. Suatu kesadaran tentang identitas diri sendiri dan kemampuan bertindak secara
independen serta melakukan pengontrolan terhadap lingkungan.
4. Kesadaran akan tujuan dan masa depan. Kesadaran akan tujuan-tujuan, aspirasi pendidikan,
ketekunan, pengharapan dan kesadaran akan suatu masa depan yang cemerlang.
Sybil & Wollin (2000) melakukan penelitian terhadap remaja. Penelitian ini dilakukan
dengan mewawancarai remaja yang mampu bertahan dalam kondisi yang sulit disaat remaja
lainnya menyerah. Berdasarkan hasil penelitian inilah kemudian Sybil dan Wollin
menggelompokkan tujuh karakteristik individu yang resilien. Ketujuh karakteristik tersebut
meliputi:
1. Insight. Individu yang resilien menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit, untuk
memperoleh kejelasan akan suatu hal dan juga untuk menjawab kebingungan.
2. Independence. Individu mampu memisahkan dirinya secara fisik dan emosional dari
kesulitan dengan tujuan keselamatan dan membuka kesempatan yang baru.
22
3. Good relationship. Individu mampu membentuk ikatan emosi yang sehat dalam
berinteraksi dengan orang lain.
4. Initiative. Individu mengambil alih sebuah masalah untuk menciptakan efikasi diri.
5. Creativity. Individu dapat mentransfer rasa tidak menyenangkan atau emosi negatif menjadi
kreatifitas yang dapat memberikan keuntungan bagi orang lain.
6. Humor. Individu dapat mempertahankan sifat humoris dan mampu untuk tertawa walau
dalam keadaan yang sulit.
7. Good moral standard. Individu memungkinkan untuk bersikap sesuai dengan hati nurani.
Seperti yang telah dipaparkan, setiap tokoh mengemukakan karakter yang berbeda
mengenai individu yang resilien. Hal ini dikarenakan resiliensi lebih dianggap sebagai suatu
kemampuan yang diperoleh dari proses, dibandingkan dengan suatu sifat yang dimiliki
individu (Desmita, 2009). Oleh karena itu, resiliensi diartikan sebagai kapasitas yang
diperoleh individu melalui proses belajar dan pengalaman dari lingkungan. Pengalaman dari
pada lingkungan setiap individu berdampak pada pembentukan karakteristik dari resiliensi
pada individu tersebut.
Beberapa penelitian dilakukan untuk melihat tingkat resiliensi pada remaja. Penelitian
yang dilakukan oleh Sari (2014) terhadap remaja di kabupaten Gunung Kidul menunjukkan
hasil sebesar 97,42% subjek penelitian memiliki resiliensi yang tinggi dan sisanya memiliki
resiliensi dengan kategori rendah. Penelitian lainnya dilakukan oleh Dewanti & Suprapti
(2014) yang meneliti tentang resiliensi pada remaja putri terhadap problematika pasca
perceraian orangtua. Hasil penelitian ini menyebutkan remaja putri dengan orangtua yang
telah bercerai memiliki resiliensi yang baik dengan memunculkan kemampuan yang tinggi
pada aspek impulse control, optimisme, empati dan efikasi diri.
23
Oktaviani (2012) melakukan penelitian terhadap remaja korban tsunami Aceh.
Penelitian ini menunjukkan hasil skor resiliensi dari remaja tersebut bervariasi mulai dari skor
sedang sampai skor tinggi. Remaja dalam penelitian tersebut menunjukkan skor tinggi pada
aspek meaningfulness, equanimity, existential eloneness dan perseverance yang merupakan
aspek-aspek resiliensi menurut teori Wagnild & Young (1993).
Berdasarkan pendapat beberapa tokoh mengenai aspek-aspek resiliensi, aspek yang
digunakan dalam penelitian ini adalah aspek yang dikemukakan oleh Reivich & Shatte (2002)
yang terdiri dari regulasi emosi, impulse control, optimism, analisis kausal, empati, efikasi diri
dan reaching out.
B. Pola Asuh
1. Pengertian Pola Asuh Orangtua
Gunarsa dan Gunarsa (2007) mendefinisikan pola asuh orangtua sebagai suatu sikap
dan cara orangtua dalam mempersiapkan anggota keluarga yang lebih muda termasuk anak
supaya dapat mengambil keputusan sendiri dan bertindak sendiri sehingga mengalami
perubahan dari keadaan tergantung kepada orangtua menjadi berdiri sendiri dan bertanggung
jawab sendiri. Darling (1999) menambahkan, mengasuh anak adalah kegiatan kompleks yang
mencakup banyak perilaku yang dilakukan sendiri ataupun bersama-sama untuk
mempengaruhi perilaku anak.
Cahyono (2015) menyebutkan 3 aspek yang perlu diperhatikan dalam pengasuhan
anak, aspek tersebut meliputi:
24
a. Pengasuhan fisik adalah upaya yang dilakukan agar anak dapat tumbuh dengan baik.
Tujuan utamanya adalah perkembangan fisik yang sehat. Contoh dari pengasuhan fisik
adalah memberi asupan makanan dan minuman, keamanan dan kebersihan.
b. Pengasuhan kognisi adalah upaya yang dilakukan agar kognisi anak berkembang dengan
baik. Berkembang dengan baik maksudnya anak mampu menyerap informasi dengan baik,
mengelolanya dengan benar, menyimpannya sebagai pengetahuan serta
mengekspresikannya dengan tepat. Kita mengajari anak berfikir sebab akibat,
mengasosiasikan antara satu hal dengan hal yang lain, menjawab rasa ingin tahu anak dan
lain sebagainya.
c. Pengasuhan sosioemosional adalah upaya yang dilakukan agar anak sukses dalam
kehidupan bersama orang lain. Emosi anak dapat berkembang dengan baik sebagai diri
sendiri maupun dalam lingkungan sosial. Anak belajar untuk berempati, tenggang rasa,
menghargai dan menghormati orang lain.
Pengasuhan erat kaitannya dengan upaya yang dilakukan keluarga atau komunitas
untuk memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental
dan sosial anak-anak dalam masa perkembangannya (Cahyono, 2015). Pada dasarnya tujuan
utama pengasuhan orangtua adalah mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan
kesehatannya, memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan
perkembangannya dan mendorong peningkatan kemampuan perilaku sesuai dengan nilai
agama dan budaya yang diyakininya (Supartini, 2002).
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah cara
yang dilakukan oleh orangtua dalam merawat, mengasuh dan mendidik anak yang didasarkan
pada nilai-nilai budaya dan agama yang diyakini, dengan tujuan untuk membentuk karakter
anak dalam masa perkembangannya.
25
2. Tipe-tipe Pola Asuh Orangtua
Didalam lingkungan keluarga, seorang anak akan mempelajari dasar-dasar perilaku
yang penting bagi kehidupannya kemudian. Karakter dipelajari anak melalui model para
anggota keluarga yang ada di sekitar terutama orangtua. Ketika anak melihat dengan baik
perilaku orangtua, maka dengan cepat akan menirunya, demikian pula sebaliknya. Model
perilaku yang baik akan membawa dampak perkembangan yang baik bagi anak (Tridhonanto,
2002). Hal ini akan membuat orangtua memperhatikan setiap perilaku yang dimunculkan
karena berkaitan dengan perilaku meniru yang ditunjukkan anak.
Setiap orangtua memiliki keinginan agar anak tumbuh menjadi pribadi yang matang
secara sosial, namun sering sekali orangtua merasa kebingungan dalam merespon dan
bertindak atas perilaku anak-anaknya (Santrock, 2007). Perlakuan yang ditunjukkan orangtua
dalam merespon perilaku anak dikelompokkan menjadi dua (Baumrind, 1991) yaitu :
a. Responsiveness
Responsiveness mengarah kepada sejauh mana orangtua membantu perkembangan
individualitas dan penonjolan diri anak. Orangtua memenuhi tuntutan anak dengan
memahami apa yang menjadi kebutuhannya. Orangtua memberikan dukungan dengan sikap
yang hangat, mendukung kemandirian anak dan adanya komunikasi dua arah antara anak
dan orangtua (Baumrind, 2005).
b. Demandingness
Demandingness mengarah kepada tuntutan yang dibuat oleh orangtua agar anak
bersikap sesuai dengan aturan yang berlaku didalam masyarakat. Tuntutan yang dilakukan
oleh orangtua biasanya berupa konfrontasi langsung, memantau seluruh aktivitas anak dan
mengontrol perilaku anak (Baumrind, 2005).
26
Salah satu upaya yang dilakukan orangtua untuk membentuk karakter baik dalam diri
anak yakni dengan pendampingan orangtua yang berbentuk pola asuh. Tridhonanto (2002)
mengasumsikan pola asuh sebagai cara orangtua berinteraksi dengan anak. Setiap orangtua
memiliki cara tersendiri dalam memberikan pengasuhan dan mendidik anaknya.
Baumrind (1991) membedakan tipe pola asuh menjadi tiga yang dikelompokkan
berdasarkan tingkat responsiveness dan demandinggness orangtua terhadap anak. Tipe pola
asuh tersebut meliputi pola asuh autoritarian, pola asuh autoritatif (demokratis), dan pola asuh
permisif, sebagaimana penjabarannya sebagai berikut :
a. Pola Asuh Autoritarian
Pola asuh tipe ini tinggi dalam demandingness atau tuntutan dan peraturan, namun
rendah dalam responsiveness. Orangtua membentuk anak untuk berperilaku dan bersikap
sesuai dengan standar perilaku yang ditentukan oleh orangtua. Standar perilaku yang
ditatapkan biasanya bersifat mutlak. Kepatuhan dinilai sebagai suatu sikap yang positif dan
terpuji. Orangtua dengan pola asuh ini memiliki keyakinan dengan membatasi autonomi anak,
maka anak akan tetap berada pada jalur yang telah ditetapkan oleh orangtua (Baumrind,1991).
Orangtua autoritarian menetapkan batasan-batasan dan kendali yang tegas terhadap
remaja dan kurang memberikan peluang untuk berdialog secara verbal. Contohnya, orangtua
authoritarian mungkin akan berkata, “lakukan menurut perintahku atau tidak sama sekali,
tidak ada diskusi” (Santrock, 2007). Apabila terjadi konflik anatara orangtua dan anak, anak
memiliki keinginan yang keinginan tersebut tidak sesuai dengan standar orangtua maka
orangtua akan mengambil tindakan yang keras (Baumrind, 2005).
b. Pola Asuh Autoritatif
Orangtua dengan pola asuh tipe ini menyeimbangkan antara respon dan tuntutan.
Orangtua memantau dan membuat standar yang jelas mengenai tingkah laku anak serta
27
mengajarkan anak untuk terbiasa mendengarkan pendapat orang lain. Orangtua, dalam
membuat suatu keputusan atau kebijakan, terlebih dahulu mendiskusikannya dengan anak, dan
apabila anak tidak setuju akan suatu hal maka orangtua berusaha untuk mendengarkan alasan
dari ketidaksetujuan anak. Jika terjadi konflik antara anak dan orangtua, maka orangtua akan
bersikap tegas namun tetap tidak memaksakan kehendak terhadap anak. Orangtua bertindak
sebagai orang dewasa dengan memperhatikan apa yang menjadi minat anak, menerima
kemampuan yang dimiliki anak (Baumrind, 1991).
c. Pola Asuh Permisif
Orangtua dengan tipe pola asuh ini tidak memberikan hukuman, menerima dan setuju
atas semua keinginan dan tindakan anak. Orangtua terlebih dahulu berkonsultasi dengan anak
dalam membuat keputusan atau kebijakan dan hal ini juga berlaku dalam hal pembuatan
peraturan dalam keluarga. Orangtua menempatkan dirinya sebagai sosok seorang yang mampu
memenuhi segala kebutuhan anak, bukan menampilkan diri sebagai figur yang mengarahkan
yang mengubah perilaku anak. Anak diberikan kebebasan beraktivitas dan tidak ada kontrol
perilaku atas aktivitas yang dilakukan oleh anak. Orangtua juga tidak menuntut anak untuk
patuh pada suatu aturan tertentu (Baumrind, 1991).
Masing-masing dari ketiga gaya pengasuhan tersebut memiliki keunikan dan
karakteristik tertentu yang menjadi ciri khas dari setiap pola asuh. Sikap konsisten dari
orangtua dalam setiap waktu dan berbagai kondisi ketika merespon dan berprilaku terhadap
anak sering dikatakan sebagai ciri khas dari gaya pengasuhan orangtua (Bornstein & Zlotnik,
2009). Pada penelitian ini, tipe pola asuh yang akan dibahas lebih lanjut adalah tipe pola asuh
autoritatif yang dikemukakan oleh Baumrind (1991).
28
3. Pola Asuh Autoritatif atau Demokratis
Sistem pola asuh autoritatif mengajarkan kepada remaja bahwa hak dan kewajiban
setiap individu harus dihormati sebagaimana mestinya. Pola asuh tipe ini menghargai dan
menghormati perbedaan sehingga setiap orang dapat berkembang sesuai dengan potensi yang
dimilikinya. Pola asuh autoritatif juga mendorong remaja untuk bertumbuh dan berkembang
sesuai dengan kapasitas mereka (Surbakti, 2009).
Pola asuh autoritatif tersusun atas tiga elemen, yaitu warmth, yang menjelaskan sejauh
mana remaja diterima dan dicintai. Structure, yang menjelaskan sejauh mana remaja diawasi
dan memiliki harapan dan aturan dari perilakunya serta autonomy support yang menjelaskan
sejauh mana orangtua menerima dan mendukung individualitas dari remaja (Steinberg, 2002).
Gray & Steinberg (1999) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga elemen
tersebut. Element warmth memberikan pengaruh terhadap personal well-being dari anak.
Seorang anak yang mendapatkan elemen warmth dari orangtua akan lebih bersifat positif
dalam menghadapi masalah yang akan membuat mereka juga sukses dalam sebagian besar
aspek kehidupan mereka. Structure atau pengawasan yang diterapkan orangtua terhadap
anaknya akan memunculkan kontrol diri serta disiplin yang tinggi, yang ditunjukkan melalui
perilaku rajin belajar dan kemampuan mereka untuk menghindari penggunaan narkoba,
ketidakhadiran di sekolah dan bentuk-bentuk dari perilaku antisosial.
Elemen autonomy akan memberikan peningkatan terhadap kompetensi dan
kepercayaan diri yang nantinya akan berpengaruh terhadap ruang lingkup sosial dan akademik
dari anak, dan hal inilah yang akan membuat anak memiliki keinginan yang tinggi untuk
sukses. Kepercayaan terhadap diri ini juga dapat membantu melindungi anak dari rasa cemas
dan depresi yang merupakan problem terbesar pada kalangan remaja yang memiliki self
esteem yang rendah (Gray & Steinberg, 1999).
29
Steinberg & Silk (2002) mengungkapkan pola asuh autoritatif merupakan pola asuh
yang paling memadai untuk diterapkan dan baik untuk perkembangan remaja. Pendapat
tersebut disertai dengan tiga alasan, yaitu :
a. Orangtua autoritatif memberikan keseimbangan yang jelas antara batasan dengan
kebebasan, memberikan remaja kesempatan untuk mengembangkan kemandirian
dengan memberikan standar, batasan dan pedoman yang dapat membantu
perkembangan remaja. Orangtua yang menerapkan pola asuh ini mendorong
perkembangan kompetensi remaja dan meningkatkan kemampuan remaja untuk
bertahan atas lingkungan yang negatif.
b. Orangtua dengan pola asuh autoritatif melibatkan anak-anak mereka dalam perilaku
mengalah, orangtua mendorong perkembangan intelektual anak dan memberikan
landasan penting bagi perkembangan kompetensi sosial anak. Keluarga berdiskusi
sebelum membuat keputusan, peraturan, dan harapan yang kemudian akan
dijelaskan/dikomunikasikan untuk membantu remaja dalam memahami sistem dan
hubungan sosial. Pemahaman ini merupakan bagian yang penting dalam kemampuan
penalaran, pengambilan peran, penilaian moral dan empati. Perilaku saling mengalah
akan menumbuhkan kompetensi kognitif dan sosial, sehingga lebih meningkatkan
fungsi remaja diluar keluarga.
c. Pengasuhan dan keterlibatan yang disediakan oleh orangtua autoritatif memberikan
remaja pandangan yang lebih mengenai pengaruh orangtua dan memungkinkan
sosialisasi yang lebih baik dan efisien.
Papalia (2009) menambahkan, orangtua yang menerapkan tipe pola asuh autoritatif
menetapkan harapan yang dapat dijangkau dan standar yang realistis sehingga membuat
remaja mengetahui apa yang diharapkan dari remaja tersebut. Dengan membuat tuntutan
30
yang rasional, orangtua menunjukkan keyakinannya terhadap remaja bahwa remaja dapat
memenuhi tuntutan tersebut. Berdasarkan pemaparan mengenai tipe pola asuh yang telah
dibahas sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa pola asuh autoritatif merupakan tipe pola
asuh yang paling efektif digunakan dalam mendidik remaja dan juga memiliki elemen yang
diasumsikan akan berdampak pada perkembangan karakteristik remaja.
Berdasarkan pemaparan diatas mengenai pola asuh autoritatif, maka dapat disimpulkan
bahwa pola asuh autoritatif adalah tipe pola asuh yang menyeimbangkan antara respon dengan
tuntutan. Orangtua cenderung melibatkan anak dalam setiap urusan keluarga, bersikap
terbuka, menjalin komunikasi dengan anak, berperilaku sebagai teman namun tetap memiliki
standar perilaku yang jelas terhadap tingkah laku anak.
4. Dimensi Pola Asuh autoritatif
Cross (2009) menyebutkan terdapat 19 dimensi dalam menentukan pola asuh yang
diterapkan oleh orangtua terhadap anak, yaitu :
a. Pl (Pleasure) : orangtua senang menjalankan perannya
b. Dp (Displeasure) : orangtua tidak senang menjalankan perannya
c. Cn (Confidance) : orangtua percaya diri dalam menjalankan perannya
d. Rt (Respect) : orangtua menghargai otonomi anak
e. Ls (Limit Setting) : harapan orangtua akan perilaku anak
f. Ex (Expressiveness) : ekspresi yang di tunjukkan orangtua
g. Md (Maturity Demands) : menyusun standar perilaku yang disesuaikan dengan
kemampuan dan tingkat perkembangan anak
h. Pr (Precission) : orangtua menggunakan bahasa yang jelas
i. St (Structure) : struktur yang disediakan oleh orangtua
31
j. Wm (Warmth) : kehangatan interaksi orangtua dengan anak
k. Cl (Coldness) : kerenggangan interaksi orangtua dengan anak
l. An (Anger) : tingkat kemarahan orangtua
m. Rn (Responssiveness) : bagaimana orangtua memberikan respon terhadap anak
n. In (Interactive) : tingkat pembicaraan orangtua kepada anak
o. Cr (Creativity) : tingkat kreatifitas orangtua ketika berinteraksi dengan anak
p. At (Activity) : tingkat aktivitas fisik antara orangtua dengan anak
q. Ha (Happiness) : tingkat kebahagiaan yang diekspresikan baik secara verbal ataupun
nonverbal
r. Sa (Sadness) : tingkat kesedihan yang diekspresikan baik secara verbal atau nonverbal
s. Ax (Anxiety) : tingkat kecemasan yang diperlihatkan oleh orangtua
Kesembilanbelas dimensi tersebut diatas, dinilai taraf intensitas dan frekuensinya
mulai dari sangat rendah, rendah, sedang, tinggi sampai pada sangat tinggi. Hasil penilaian
tersebut kemudian akan menunjukkan tipe pola asuh yang ditunjukkan oleh orangtua terhadap
anak. Dimensi pola asuh yaitu affect dan control kemudian akan menghasilkan 4 tipe pola
asuh yaitu authoritarian, authoritatif, permissive dan neglectful seperti pada gambar berikut :
32
High Control
Authoritarian Md Ls Autoritatif
St Pr Rn In
At Cr
Negative Dp An Ax Wm Rt Pl Positif
Affect Cl Sa Ha Ex Cn Affect
Neglectful Permissive
Low control
Gambar 1. Tipe pola asuh yang dikemukakan oleh Cross (2009)
5. Pengaruh Pola Asuh Autoritatif terhadap Perkembangan Remaja
Pada bagian sebelumnya, telah disebutkan oleh Steinberg & Silk (2002) bahwa pola
asuh autoritatif merupakan pola asuh yang paling efektif untuk diterapkan dalam pendidikan
karakter remaja. Chaudry, Bibi, Awan & Tariq (2013) melakukan review terhadap beberapa
literatur yang membahas tentang pola asuh orangtua. Hasil dari review yang dilakukan ini
menunjukkan bahwa pola asuh autoritatif memiliki pengaruh yang besar bagi domain
kehidupan remaja. Berikut ini akan dijelaskan secara lebih spesifik mengenai pengaruh dari
pola asuh autoritatif orangtua terhadap perkembangan remaja.
a. Kemandirian
Remaja yang memiliki orangtua autoritatif lebih bertanggung jawab, lebih cepat dalam
melakukan adaptasi, percaya diri, lebih kreatif, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, memiliki
33
keterampilan sosial yang tinggi dan mandiri (Steinberg, 2002). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Widiana & Nugraheni (2008) menunjukkan ada korelasi yang positif antara
pola asuh autoritatif dengan kemandirian. Semakin tinggi pola asuh demokratis yang diberikan
oleh orangtua dan dipandang oleh remaja maka akan semakin tinggi kemandirian remaja.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Asiyah (2013) juga menunjukkan hasil yang serupa,
dengan subjek adalah remaja yang berstatus mahasiswa baru. Penelitian ini menyebutkan pola
asuh autoritatif memberikan sumbangan yang signifikan terhadap kemandirian pada
mahasiswa baru, sehingga mahasiswa baru yang menerima pola asuh autoritatif dari orangtua
menunjukkan kemandirian yang lebih tinggi dalam mengemban tanggung jawab dan tugas
sebagai mahasiswa.
b. Kemampuan Beradaptasi
Chaandola & Bhanot (2008) melakukan penelitian mengenai hubungan pola asuh
autoritatif dengan penyesuaian diri pada remaja. Hasil penelitian menunjukkan remaja yang
diasuh dengan tipe pola asuh autoritatif memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik
dibandingkan remaja dengan pola asuh authoritarian ataupun permisif.
Hal yang sama juga dibuktikan dalam penelitian Rossman & Rea (2005) yang
menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh autoritatif dengan
kemampuan beradaptasi remaja. Dukungan yang tinggi dari orangtua dengan pola asuh
autoritatif menyebabkan permasalahan belajar yang dialami remaja tergolong rendah,
sedangkan pola asuh autoritarian akan menyebabkan permasalahan belajar serta berperilaku
pada remaja tergolong tinggi. Orangtua dengan tipe pola asuh permisif menyebabkan remaja
akan tinggi dalam kecemasan dan internalisasi masalah.
34
c. Prestasi Akademik
Remaja dengan orangtua autoritatif memiliki prestasi yang tinggi di sekolah, tingkat
depresi dan kecemasan yang rendah, self esteem yang tinggi, dan cenderung rendah dalam
perilaku antisosial yang meliputi pelanggaran dan penggunaan narkoba (Steinberg, 2002).
Hasil penelitian Turner, Chander dan Heffer (2009) yang meneliti mengenai pola asuh
autoritatif menunjukkan bahwa pola asuh autoritatif memiliki hubungan yang positif dan
signifikan dengan prestasi belajar remaja. Karakteristik pengasuhan orangtua seperti memberi
dukungan dan kehangatan memiliki peran yang penting dalam perkembangan prestasi belajar
remaja. Sedangkan pola asuh permisif dan autoritatif tidak memiliki hubungan dengan prestasi
akademik dari remaja. Seth & Ghormode (2013) menyebutkan, anak yang memiliki orangtua
yang menerapkan pola asuh autoritatif memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menerima
pelajaran di sekolah sehingga menghasilkan prestasi belajar yang juga baik. Kordi &
Baharudin (2010) juga melakukan penelitian serupa yang menunjukkan hasil orangtua yang
terlibat dalam pendidikan remaja dan memonitor aktivitas remaja diluar sekolah berpengaruh
terhadap prestasi akademik remaja. Remaja yang memiliki prestasi yang tinggi berasal dari
keluarga yang menerapkan pola asuh autoritatif.
d. Perilaku Prososial
Orangtua dengan tipe pola asuh autoritatif mampu membentuk perilaku sosial yang
baik. Hal ini dibuktikan melalui hasil penelitian Husada (2013) yang menyatakan terdapat
korelasi yang positif antara pola asuh dengan perilaku prososial pada remaja. Pola asuh
autoritatif dapat digunakan sebagai prediktor untuk memprediksi perilaku prososial pada
remaja. Hasil penelitian Mensah & Kuranchie (2013) juga menjelaskan bahwa perilaku sosial
yang baik ditunjukkan oleh anak dengan orangtua autoritatif, sedangkan orangtua dengan pola
35
asuh autoritarian dan permisif menunjukkan korelasi yang negatif yang berarti kompetensi
anak rendah dalam perilaku sosial.
Perilaku sosial yang baik biasanya diperlihatkan melalui perilaku gotong royong, anak
bersikap lebih tenang dan memiliki empati dalam hubungan mereka dengan orang lain
disekitarnya (Mensah & Kuranchie, 2013). Terkait dengan perilaku empati, penelitian oleh
Lustiani (2013) terhadap remaja menunjukkan bahwa remaja yang memiliki empati yang
tinggi ditunjukkan oleh remaja yang memiliki orangtua dengan tipe pola asuh autoritatif.
e. Perilaku Bermasalah
Remaja dengan orangtua autoritatif menunjukkan internalisasi perilaku, seperti depresi
dan kecemasan yang rendah serta eksternal perilaku seperti antisosial dan penggunaan narkoba
yang juga rendah (Bornstein & Zlotnik, 2009). Perilaku depresi yang rendah ditunjukkan oleh
remaja dengan orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif dan tingkat depresi yang
sedang pada remaja dengan orangtua yang menerapkan pola asuh permisif (Safitri & Hidayati,
2013).
Aunola & Nurmi (2005) dalam penelitiannya menjelaskan menurunnya perilaku
bermasalah pada anak terjadi apabila kontrol perilaku yang diberikan orangtua tinggi dan
kontrol psikologis rendah. Tetapi apabila kontrol perilaku yang tinggi diikuti dengan kontrol
psikologis yang tinggi maka akan menyebabkan perilaku bermasalah juga meningkat.
Penelitian Wulandari (2010) menunjukkan korelasi yang negatif antara pola asuh dengan
perilaku seksual pada remaja. Semakin demokratis pola asuh yang diterapkan orangtua
semakin rendah tingkat perilaku seksual remaja.
Pemaparan mengenai pengaruh tipe pola asuh autoritatif diatas memberikan gambaran
yang sesuai dengan pernyataan Steinberg & Silk (2002). Beberapa penelitian telah
membuktikan dampak-dampak positif yang ditimbulkan melalui penerapan tipe pola asuh
36
autoritatif dalam mendidik remaja. Dengan demikian maka kesimpulan yang didapat oleh
peneliti adalah pola asuh autoritatif memiliki peranan penting terhadap perkembangan
karakteristik remaja.
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Masa remaja adalah peralihan masa perkembangan yang berlangsung sejak usia sekitar
10 atau 11 atau bahkan lebih awal sampai masa remaja akhir atau usia duapuluhan awal, serta
melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif dan psikososial yang saling berkaitan
(Papalia, 2009).
World Health Organization (dalam Sarwono, 2012) memberikan definisi yang lebih
konseptual mengenai remaja. Dalam definisi tersebut, dikemukakan tiga kriteria yaitu
biologis, psikologis dan sosial ekonomi. Secara lengkap definisi tersebut berbunyi, masa
remaja adalah suatu masa dimana :
a. Individu berkembang mulai dari pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual
sekundernya sampai mencapai kematangan seksual.
b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak
menjadi dewasa.
c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi menuju keadaan yang relatif lebih
mandiri.
Santrock (2007) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi perkembangan
yang terjadi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-
perubahan baik itu secara biologis, kognitif dan sosioemosional. Masa remaja ditandai dengan
37
munculnya pubertas yaitu proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual
(Papalia, 2009). Pubertas merupakan hal yang paling penting dalam perkembangan remaja dan
berhubungan dengan depresi, khususnya pada remaja perempuan (Deepalakshmi, 2013).
Penelitian membuktikan bahwa terdapat peningkatan symptom depresi yang dimulai pada
masa kanak-kanak sampai pada masa remaja dan simptom mulai terlihat pada umur 13 – 15
tahun yang akan mencapai puncak pada umur 17-18 tahun (Marcotte, 2002).
Periode masa remaja merupakan periode berisiko yang mana pada masa ini remaja
mengalami berbagai macam masalah. Sebagian remaja mengalami masalah dalam menghadapi
berbagai perubahan yang terjadi secara bersamaan dan membutuhkan bantuan dalam
mengatasinya (Papalia, 2009).
Hurlock (1980) menjelaskan ada beberapa masalah yang dialami remaja dalam
perkembangannya, yaitu :
a. Masalah pribadi, yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi dan kondisi di
rumah, sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi, penyesuaian sosial, tugas dan nilai-nilai.
b. Masalah khas remaja, yaitu masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas pada remaja
seperti masalah pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian berdasarkan
stereotip yang keliru, adanya hak-hak yang lebih besar dan lebih sedikit kewajiban
dibebankan oleh orangtua.
Elkind dan Postman (dalam Retnowati, 2005) menyebutkan remaja pada tahap
perkembangan ini mengalami banjir stres yang berasal dari perubahan sosial dan harapan
masyarakat yang menginginkan remaja melakukan peran dewasa sebelum matang secara
psikologis untuk menghadapinya. Akibatnya, remaja cenderung mengalami kegagalan di
sekolah, penyalahgunaan obat-obat, depresi dan bunuh diri, keluhan-keluhan somatik dan
38
kesedihan yang kronis. Berdasarkan dampak yang ditimbulkan, Santrock (2007)
menggolongkan masalah-masalah remaja kedalam dua bagian, yaitu:
a. Internalisasi masalah, timbul ketika remaja mengarahkan masalah-masalah yang dialami
kedalam dirinya, contohnya adalah kecemasan dan depresi. Beberapa penelitian
menyebutkan gejala depresi banyak dialami oleh remaja, baik itu remaja laki-laki ataupun
remaja perempuan. Safitri & Hidayati (2013) dalam penelitiannya mengenai depresi pada
remaja di Semarang menyebutkan sebagian besar remaja dalam penelitian tersebut
memiliki tingkat depresi yang bervariasi, mulai dari depresi ringan hingga depresi sedang.
Penelitian yang dilakukan oleh Darmayanti (2008) yang meneliti perbedaan tingkat depresi
pada remaja laki-laki dan perempuan menyebutkan bahwa remaja perempuan cenderung
lebih depresif dibandingkan dengan remaja laki-laki. Kecemasan juga dialami oleh remaja
dalam fase perkembangannya. Marifah dan Budiyani (2012) dalam penelitiannya yang
meneliti tentang kecemasan sosial pada remaja menyebutkan remaja mengalami kecemasan
sosial mulai dari kategori rendah hingga tinggi. Remaja laki-laki memiliki tingkat
kecemasan yang sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan remaja perempuan (Deb,
Chatterjee & Walsh, 2010). Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya
kecemasan yang dialami remaja adalah dukungan sosial. Dukungan sosial yang rendah
akan menyebabkan remaja cenderung mengalami kecemasan yang tinggi (Hidayati &
Mastuti, 2012).
b. Eksternalisasi masalah, timbul ketika remaja mengarahkan masalah-masalah yang dialami
keluar dirinya, contohnya adalah kenakalan remaja. Bongers & Koot (2003) menyebutkan
remaja laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam mengeksternalisasikan
permasalahannya dimana laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dibandingkan
39
dengan perempuan. Hasil penelitian ini juga menyebutkan remaja laki-laki memiliki
kecenderungan lebih besar untuk melakukan kenakalan remaja (Bongers & Koot, 2003).
Permasalahan yang dialami remaja memiliki cakupan yang cukup luas. Variasi dari
masalah tersebut dapat meliputi variasi dalam hal tingkat keparahannya maupun dalam hal
seberapa banyak masalah tersebut dialami oleh kelompok-kelompok sosial-ekonomi yang
berbeda-beda (Santrock, 2007).
Masalah-masalah yang dialami remaja yang berasal dari sosial-ekonomi rendah
merupakan perilaku eksternalisasi yang tidak terkendali, contohnya mengganggu kebersamaan
orang lain dan berkelahi, sedangkan masalah yang biasanya dialami oleh remaja dengan latar
belakang sosial-ekonomi menengah lebih cenderung kepada perilaku internalisasi, seperti
kecemasan dan depresi. Masalah-masalah perilaku yang sering menyebabkan remaja dirujuk
ke klinik untuk menjalani penanganan kesehatan mental adalah masalah-masalah yang
berkaitan dengan perasaan tidak bahagia, sedih atau depresi dan prestasi sekolah yang buruk
(Santrock, 2007).
Dengan demikian, kesimpulan yang peneliti ambil adalah bahwa masa remaja adalah
masa transisi antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja ditandai dengan
munculnya berbagai macam permasalahan yang sulit dihadapi oleh remaja dan bersumber dari
dalam diri maupun lingkungan remaja.
2. Tugas Perkembangan Remaja
Tugas perkembangan pada masa remaja berpusatkan pada penanggulangan sikap dan
pola prilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa
dewasa (Hurlock, 1980).
40
Havighurst (dalam Mahalayati, 2010) menyebutkan tugas perkembangan masa remaja
adalah sebagai berikut:
a. Mencapai hubungan yang baru dan matang dengan teman sebaya.
Pertemanan pada masa remaja berkembang dari yang sebelumnya hanya berteman
dengan sesama jenis menjadi berteman dengan lawan jenis. Pada tahap ini remaja juga
belajar untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya karena interaksi dibutuhkan
dalam kehidupan berkelompok.
b. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif
Remaja diharapkan mampu untuk mengenali perubahan fisik yang terjadi dalam
dirinya dengan tujuan kematangan seksual. Remaja belajar untuk merawat tubuhnya
dan juga menggunakannya secara efektif seperti untuk olahraga, rekreasi, bekerja dan
juga untuk melakukan pekerjaan sehari-hari.
c. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
Remaja mulai meninggalkan sifat kekanak-kanakannya yang bergantung pada orangtua
dan mulai berkembang tanpa bergantung pada orang dewasa. Remaja mulai diberi
kebebasan untuk mandiri. Remaja yang suka memberontak dan memiliki konflik
dengan orangtua atau orang dewasa perlu mengembangkan pengertian yang baik
untuk dirinya maupun orang dewasa lainnya serta memahami alasan dibalik konflik
yang terjadi.
d. Mencapai peran sosial sebagai laki-laki atau perempuan
Remaja mampu untuk berperilaku sesuai dengan peran sosial yang didasarkan pada
jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan. Remaja juga belajar untuk menerima peran
sosial tersebut.
e. Memilih dan mempersiapkan karir
41
Remaja memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya untuk mempersiapkan karirnya
dan juga belajar untuk membiayai semua kebutuhan dirinya sendiri.
f. Mempersiapkan pernikahan dan kehidupan berkeluarga.
Membangun sikap-sikap positif, kemampuan sosial, kematangan emosi dan pengertian
untuk membangun atau menjalankan sebuah keluarga.
g. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan sebagai
warga Negara.
Perkembangan ideologi sosial politik, memakainya dan mengaplikasikan sehingga
memiliki makna berupa nilai serta moral yang ideal bagi hidup individu.
h. Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial.
Berusaha untuk mendapatkan tempat yang berarti di kehidupan bermasyarakat dengan
cara mengembangkan ideologi sosial yang dapat menambah nilai sosial.
Havighurst (dalam Sarwono, 2002) menambahkan tercapai atau tidaknya tugas tugas
perkembangan diatas ditentukan oleh tiga faktor yaitu kematangan fisik, desakan dari
masyarakat dan motivasi dari individu yang bersangkutan. Berdasarkan pemaparan mengenai
tugas perkembangan remaja diatas, dapat dikatakan bahwa remaja dalam tahap
perkembangannya dihadapkan pada berbagai macam tugas yang harus dipenuhi. Tugas
perkembangan tersebut tidak hanya berkaitan dengan remaja dan dirinya sendiri namun juga
remaja dan lingkungan sosialnya.
42
D. Hubungan Antar Variabel
Gambar 2. Hubungan antar variabel
Keterangan:
: Peran variabel bebas terhadap variabel tergantung
: Variabel yang diteliti
: Dimensi Variabel
Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak
dengan dewasa yang melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional (Santrock,
2007). Masa remaja merupakan peristiwa panjang yang ditandai dengan munculnya pubertas,
yaitu sebuah proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual (Papalia,
2009). Dalam tahap perkembangan ini, remaja dihadapkan pada tugas perkembangan yaitu
Pola Asuh Autoritatif
Resiliensi
a. Kehangatan interaksi orangtua dengan anak
b. Tegas dalam mengarahkan perilaku anak
c. Tanggap memenuhi kebutuhan kasih sayang anak
d. Menerapkan perilaku yang diharapkan
a. Regulasi Emosi
b. Impulse Control
c. Optimsm
d. Analisis Kausal
e. Empati
f. Efikasi Diri
g. Reaching Out
43
penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan serta mengadakan persiapan
untuk memasuki tahap perkembangan selanjutnya (Hurlock, 1980).
Tugas perkembangan dan masalah yang muncul pada masa remaja adalah suatu hal
yang harus diselesaikan oleh remaja dalam tahap perkembangannya. Santrock (2007)
menyebutkan bahwa sejumlah masalah memiliki kecenderungan untuk muncul pada suatu
tingkat perkembangan tertentu dibandingkan dengan tingkat perkembangan lainnya. Masalah
yang timbul pada tahap perkembangan remaja merupakan masalah yang sulit untuk diatasi
baik itu oleh anak laki-laki ataupun anak perempuan (Hurlock, 1980). Seorang remaja yang
tidak berhasil mengatasi situasi kritis dan masalah-masalah yang timbul dalam tahap
perkembangan ini, besar kemungkinan remaja tersebut akan terperangkap masuk kedalam
kasus penyalahgunaan seks, obat-obat terlarang dan berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya
(Sarwono, 2012). Oleh karena itu remaja perlu memiliki resiliensi agar remaja mampu untuk
menghadapi konflik serta mampu beradaptasi dalam situasi yang tidak menyenangkan.
Resiliensi merupakan pola adaptasi positif yang dalam menghadapi kesulitan yang
signifikan (Masten & Reed, 2002). Terdapat beberapa faktor yang memiliki keterkaitan
dengan resiliensi, salah satunya adalah faktor keluarga. Faktor keluarga ini meliputi relasi
yang karib dengan figur orangtua dan pola asuh. Pola asuh autoritatif merupakan salah satu
tipe pola asuh yang dikemukakan oleh Baumrind (1991). Pola asuh autoritatif mendorong
remaja agar mendiri namun masih membatasi dan mengendalikan aksi-aksi mereka,
memberikan kesempatan untuk berdialog kepada anak, bersikap hangat dan mengasuh
(Santrock, 2007). Pola asuh autoritatif juga memberikan kebebasan bagi remaja untuk
berdiskusi dan mengemukakan pendapat mereka kepada orangtua terkait dengan masalah yang
sedang dihadapi serta memberikan bantuan dalam penyelesaian masalah yang dihadapi oleh
remaja. Pola Asuh autoritatif merupakan pola asuh yang paling efektif digunakan dalam
44
mendidik anak. Hal ini dikarenakan pola asuh autoritatif dianggap mampu membentuk
karakteristik positif dalam diri remaja dan salah satunya adalah karakteristik resiliensi.
Pola asuh autoritatif merupakan variabel bebas dan resiliensi merupakan variabel
tergantung. Pola asuh autoritatif yang disesuaikan dengan teori Baumrin (1991) nantinya akan
dilihat bagaimana hubungannya dengan resiliensi berdasarkan teori yang dikemukakan oleh
Reivich & Shatee (2002).
E. Hipotesis
Berdasarkan pemaparan teori yang telah dijelaskan, maka hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah:
Ha : Ada hubungan yang signifikan dan positif antara pola asuh autoritatif dengan
resiliensi pada remaja di Denpasar.
Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan dan positif antara pola asuh autoritatif dengan
resiliensi pada remaja di Denpasar.