bab ii tinjauan pustaka a. resiliensi 1. pengertian ......12 bab ii tinjauan pustaka a. resiliensi...

33
12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan yang dimiliki individu untuk menghadapi, mengatasi dan menjadi pribadi yang lebih kuat atas kesulitan yang dihadapinya. Masten & Reed (2002) mengatakan resiliensi secara umum mengacu kepada fenomena yang ditandai dengan adanya adaptasi positif yang menunjukkan hasil yang baik meskipun dalam keadaan yang sulit atau beresiko. Kaplan (1996) menyebutkan resiliensi sebagai keberadaan faktor pelindung, yaitu diri sendiri, lingkungan sosial dan keluarga yang mampu membuat individu melawan kondisi stres. Resiliensi mengacu pada proses, kapasitas, atau hasil adaptasi yang sukses meskipun berada dalam keadaan yang menantang atau mengancam. Brook & Goldstein (2000) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan individu dalam mengatasi masalah dan tekanan secara lebih efektif, kemampuan untuk bangkit dari masalah, kekecewaan, dan trauma; serta untuk dapat mengembangkan tujuan yang lebih realistik. Masten, Best & Garmezy (1990) menyebutkan tiga fenomena dari resiliensi yaitu: (a) hasil baik bagi anak yang berisiko, (b) mempertahankan kompetensi dalam keadaan yang mengancam, (c) sembuh dari trauma. a. Konsep dari resiliensi yang berkembang dalam berbagai penelitian adalah keberhasilan individu dalam beradaptasi dengan lingkungan yang sulit. Faktor berisiko sangat erat kaitannya dengan hasil yang buruk. Faktor risiko yang dimaksud seperti kemiskinan,

Upload: others

Post on 08-Mar-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Resiliensi

1. Pengertian Resiliensi

Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan yang dimiliki individu

untuk menghadapi, mengatasi dan menjadi pribadi yang lebih kuat atas kesulitan yang

dihadapinya. Masten & Reed (2002) mengatakan resiliensi secara umum mengacu kepada

fenomena yang ditandai dengan adanya adaptasi positif yang menunjukkan hasil yang baik

meskipun dalam keadaan yang sulit atau beresiko.

Kaplan (1996) menyebutkan resiliensi sebagai keberadaan faktor pelindung, yaitu diri

sendiri, lingkungan sosial dan keluarga yang mampu membuat individu melawan kondisi

stres. Resiliensi mengacu pada proses, kapasitas, atau hasil adaptasi yang sukses meskipun

berada dalam keadaan yang menantang atau mengancam. Brook & Goldstein (2000)

mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan individu dalam mengatasi masalah dan tekanan

secara lebih efektif, kemampuan untuk bangkit dari masalah, kekecewaan, dan trauma; serta

untuk dapat mengembangkan tujuan yang lebih realistik.

Masten, Best & Garmezy (1990) menyebutkan tiga fenomena dari resiliensi yaitu: (a)

hasil baik bagi anak yang berisiko, (b) mempertahankan kompetensi dalam keadaan yang

mengancam, (c) sembuh dari trauma.

a. Konsep dari resiliensi yang berkembang dalam berbagai penelitian adalah keberhasilan

individu dalam beradaptasi dengan lingkungan yang sulit. Faktor berisiko sangat erat

kaitannya dengan hasil yang buruk. Faktor risiko yang dimaksud seperti kemiskinan,

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

13

pendidikan orangtua yang rendah, status sosial ekonomi yang rendah, memiliki

seorang ibu yang skizofrenia, ketidakstabilan keluarga, perilaku bermasalah,

pendapatan yang rendah dan masih banyak hal lainnya.

b. Resiliensi dalam konsep fenomena ini mengimplikasikan coping yang efektif, yang

berarti usaha untuk mengembalikan atau mempertahankan keseimbangan internal atau

eksternal dengan cara melakukan aktivitas termasuk berfikir dan bertindak.

c. Ketika suatu kesulitan datang dengan porsi yang sangat berat dan waktu yang

berkepanjangan, resiliensi mengarah kepada fenomena dari recovery atau pemulihan,

bukan kepada daya tahan/kekebalan. Trauma akut secara dramatikal didefinisikan

dengan ilustrasi pemulihan dalam resiliensi. Anak-anak yang terkena bencana, anak-

anak yang diperlakukan tidak wajar (abuse), anak yang kehilangan kedua orangtuanya

menunjukkan kebutuhan akan pemulihan.

Reivich & Shatte (2002) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan yang dimiliki

individu dalam merespon keadaan yang sulit secara sehat dan mampu untuk tetap produktif

walaupun dihadapkan pada situasi yang tidak nyaman yang dapat memicu terjadinya stres.

Berdasarkan pemaparan diatas, maka resiliensi dapat didefinisikan sebagai

kemampuan yang dimiliki individu untuk dapat beradaptasi dalam lingkungan yang tidak

menyenangkan, mampu untuk melawan dan mengatasi kesulitan serta dapat bangkit kembali

dari keterpurukan.

2. Sumber-sumber Resilliensi

Seperti yang telah dipaparkan, resiliensi terkait dengan bagaimana individu dalam

mengatasi kesulitan dan kondisi tidak menyenangkan yang terjadi didalam kehidupannya.

Upaya dalam menghadapi kondisi-kondisi tersebut sangat bergantung kepada tiga hal yang

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

14

menurut Grothberg (1995) merupakan sumber-sumber yang dapat membentuk karakteristik

resiliensi dalam diri individu. Sumber-sumber tersebut meliputi I have, I am dan I can

(Grothberg, 1995).

a. I Have.

I have bersumber dari bagaimana individu dalam memaknai besarnya dukungan dan

sumber daya yang diberikan oleh lingkungan sosial diluar dirinya. I have dapat diperoleh

melalui hubungan yang baik dengan keluarga dan orang lain diluar keluarga serta lingkungan

sekolah yang menyenangkan. I have juga dapat diperoleh melalui hubungan dengan

kepercayaan yang penuh, perilaku meniru (modeling), dorongan agar menjadi mandiri dan

adanya fasilitas hidup seperti layanan kesehatan (Grothberg, 1995).

Seswita (2013) melakukan penelitian terhadap mahasiswa perantau yang kuliah di

pulau Jawa. Hasil penelitian ini menyebutkan mahasiswa perantau yang memiliki dukungan

sosial yang tinggi cenderung memiliki tingkat resiliensi yang tinggi dan sebaliknya.

b. I Am.

I am merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu, yang berkaitan dengan

kekuatan yang dimiliki oleh individu. Kekuatan pribadi tersebut terdiri dari perasaan, sikap

dan keyakinan pribadi. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi faktor I am dalam

resiliensi, diantaranya perasaan disayang dan disukai oleh banyak orang, mencintai, empati,

altruistik (sikap perduli terhadap orang lain), locus of control, kebanggan pada diri sendiri,

percaya diri, optimis serta bertanggung jawab (Grothberg, 1995).

Beberapa penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara

locus of control dengan resiliensi. Salah satunya dilakukan oleh Maharani (2007) yang

meneliti tentang hubungan antara kecenderungan internal locus of control dengan resiliensi

pada remaja tunarungu di Yogyakarta. Hasil dari penelitian ini menunjukkan semakin tinggi

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

15

skor internal locus of control, maka semakin tinggi juga resiliensi yang dimiliki oleh remaja

tersebut.

c. I Can.

I can berkaitan dengan kemampuan individu dalam melakukan berbagai hal. I can

berhubungan dengan keterampilan sosial dan interpersonal. Keterampilan sosial tersebut

meliputi cara berkomunikasi, cara individu dalam menyelesaikan masalah, kemampuan

individu dalam mengenali perasaannya, emosi diri dan juga emosi orang lain serta bagaimana

individu dalam mecari hubungan yang dapat dipercaya (Grothberg, 1995).

Nuryana & Ristinawati (2008) melakukan penelitian terkait pengaruh pelatihan

resiliensi terhadap perilaku asertif pada remaja. Penelitian ini menyebutkan individu yang

memiliki perilaku asertif dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki efikasi diri, karena

individu yang memiliki kepercayaan diri akan selalu berfikir positif pada dirinya dan orang

lain. Townend (1991) mengatakan bahwa sikap asertif yang dimiliki remaja akan menjadikan

remaja tersebut menjadi seorang yang tegar, jujur, terbuka, kritis dan mampu menghormati

orang. Resiliensi juga memiliki keterkaitan dengan tingkat kecerdasan emosional. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Setyowati, Hartati & Sawitri (2010) terhadap penghuni panti

rehabilitasi, menyebutkan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosional yang baik

merupakan individu yang resilien.

Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari I have, I am dan I can. Untuk menjadi

seorang individu yang memiliki resiliensi, tidak cukup hanya memiliki satu karakteristik saja,

melainkan harus juga ditopang oleh karakteristik lainnya (Desmita, 2009). Dengan demikian

kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan pemaparan mengenai sumber-sumber resiliensi

adalah bahwa resiliensi memiliki 3 sumber yaitu bersumber dari luar diri individu (I have),

dari dalam diri individu (I am) dan kemampuan yang dimiliki oleh individu (I can).

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

16

3. Aspek-aspek Resiliensi

Reivich dan Shatte (2002) menyebutkan tujuh karakteristik yang dimiliki oleh individu

yang resilien. Ketujuh aspek tersebut diantaranya:

a. Regulasi Emosi

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang dalam keadaan yang tidak

menyenangkan. Individu yang memiliki kesulitan dalam meregulasi emosinya sering

menyusahkan orang lain dan mengalami kesulitan dalam melakukan pekerjaan bersama-sama

(Reivich & Shatee, 2002).

Regulasi emosi berfokus kepada bagaimana individu dalam mengatur pengalaman

emosionalnya untuk tujuan pribadi dan sosial. Secara lebih spesifik, regulasi emosi terdiri dari

proses internal dan eksternal yang bertanggung jawab untuk memantau, mengevaluasi, dan

memodifikasi reaksi emosional (khususnya intensitas dan ketepatan waktunya) untuk

mencapai suatu tujuan (Thompson, Mayer & Jochem, 2009).

Hal penting yang tidak terlepas dari regulasi emosi adalah ketenangan (calming) dan fokus

(focus), sehingga individu yang mampu mengelola kedua hal tersebut dapat memanfaatkan

kemampuannya untuk meredakan emosi yang ada (Reivich & Shatte, 2002). Seorang individu

yang mampu untuk mengekspresikan emosinya dengan tepat merupakan ciri dari individu

yang resilien menurut Reivich & Shatee (2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Widuri (2012) menyebutkan individu yang memiliki

regulasi emosi yang rendah sulit untuk membangun dan mempertahankan hubungan

pertemanan. Individu yang mampu meregulasi emosinya dengan baik merupakan individu

yang memiliki resilien yang tinggi. Nisfianoor & Kartika (2004) yang juga melakukan

penelitian terkait regulasi emosi pada remaja menyebutkan remaja yang memiliki regulasi

emosi yang baik akan memiliki penerimaan kelompok teman sebaya yang baik. Sebaliknya,

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

17

semakin buruk regulasi emosi yang dimiliki remaja maka akan semakin buruk pula

penerimaan kelompok teman sebayanya.

b. Impulse Control

Impulse control merupakan kemampuan individu untuk menahan atau mengendalikan

keinginan, ego, dorongan yang bersumber dari dalam dirinya. Impulse control memiliki

hubungan yang erat dengan regulasi emosi. Individu dengan kemampuan impulse control yang

rendah cenderung cepat dalam mengalami perubahan emosi sehingga individu sangat mudah

kehilangan kesabaran, mudah marah, impulsif, dan terkadang berperilaku agresif terhadap hal-

hal yang kecil. Perilaku ini menyebabkan orang-orang disekitarnya merasa tidak nyaman dan

memicu timbulnya permasalahan dalam hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002).

c. Optimism

Individu yang resilien merupakan individu yang optimis. Mereka percaya bahwa segala

sesuatunya akan menjadi baik. Mereka memiliki harapan dimasa mendatang dan percaya

bahwa mereka dapat mengontrol tujuan hidupnya. Jika dibandingkan dengan individu yang

pesimis, individu yang optimis memiliki kesehatan fisik yang lebih baik, jarang mengalami

depresi, prestasi yang baik disekolah dan lebih produktif (Reivich & Shatte, 2002).

Hefferon & Boniwell (2011) menyebutkan dua komponen penting terkait dengan optimism,

kedua elemen tersebut adalah dispositional optimism dan explanatory system. Dispotional

optimism didefinisikan sebagai ciri-ciri kepribadian yang dikaitkan dengan hasil yang

diharapkan. Sifat optimis ini ditandai dengan ekspektasi yang tinggi mengenai hasil yang

positif sedangkan sifat pesimis ditandai dengan mengantisipasi masa depan dengan hasil yang

negatif. Komponen yang kedua adalah explanatory style. Komponen ini menunjuk pada

bagaimana penyebab dari suatu peristiwa, baik itu peristiwa positif maupun negatif dan

dampaknya dalam melihat harapan dimasa yang akan datang.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

18

Optimisme memiliki arti yang terkait dengan kemampuan individu melihat masa depannya

dengan cerah. Optimisme berarti individu memiliki kemampuan menangani kemalangan yang

pasti akan datang. Rasa optimis juga berkaitan dengan efikasi diri yang dimiliki individu.

Optimisme merupakan suatu keuntungan jika dikaitkan dengan efikasi diri karena optimisme

memotivasi individu untuk mencari solusi dan terus bekerja keras dalam meningkatkan

kehidupan (Reivich & Shatte, 2002).

d. Analisis kausal

Analisis kausal adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk secara akurat

mengidentifikasi penyebab dari masalahnya. Jika individu tidak mampu menjelaskan

penyebab permasalahannya secara akurat, maka individu tersebut cenderung akan melakukan

kesalahan yang sama berulang-ulang (Reivich & Shatte, 2002).

Abramson & Seligman (1978) menjelaskan tiga cara berfikir yang berkaitan erat dengan

analisis kausal yang dinamakan explanatory style, yaitu cara individu dalam menjelaskan

sesuatu hal yang baik ataupun yang buruk yang terjadi pada dirinya. Explanatory style ini

dapat dikodekan dalam tiga dimensi, yaitu personal (me-not me), permanent (always-not

always), pervasive (everything-not everything).

Individu dengan pola pikir “me, always, everything” secara langsung berfikir bahwa dialah

yang menjadi penyebab dari masalah yang terjadi (me), hal tersebut bersifat abadi dan tidak

dapat diubah (always), dan hal tersebut merusak semua aspek kehidupannya (everything).

Ketika masalah muncul Individu yang “not me, not always, not everything”, percaya bahwa

orang lain atau lingkungan juga bisa menyebabkan munculnya sebuah masalah (not me),

masalah itu bersifat sementara dan bisa berubah (not always), dan masalah tersebut tidak

berdampak besar pada aspek kehidupannya (not everything).

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

19

e. Empati

Empati berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki individu dalam melihat atau membaca

isyarat/tanda dari kondisi psikologis dan emosional orang lain. Individu yang tidak

mengembangkan kemampuan untuk peka terhadap bahasa nonverbal, tidak mampu untuk

menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan

memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan

kesulitan dalam hubungan sosial. Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang

pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan

dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002).

Empati merupakan suatu emosi yang secara spesifik tumbuh dalam konteks pengalaman

emosional yang dimiliki seseorang dan menggambarkan hubungan terhadap pengalaman yang

dimiliki orang lain. Empati merupakan respon emosional personal terhadap keadaan

emsoional orang lain (Robinson, 2009). Ekspresi dari empati dapat dilihat melalui emosi-

emosi dasar seperti kesedihan, empati juga dapat dilihat dari perilaku yang mengekspresikan

kepedulian terhadap orang lain dan perilaku sosial lainnya (Robinson, 2009).

f. Efikasi Diri

Efikasi diri merepresentasikan kepercayaan individu dalam memecahkan masalah yang

dialami serta memiliki keyakinan akan hidup yang sukses. Efikasi diri cukup memberikan

dampak dalam situasi yang sebenarnya terjadi di lapangan. Contohnya dalam dunia pekerjaan,

individu yang memiliki keyakinan akan kemampuannya untuk dapat memecahkan masalah

akan terlihat seperti seorang pemimpin, tetapi mereka yang tidak memiliki kepercayaan

terhadap kemampuan diri akan menemukan dirinya mangalami kekalahan dalam kelompok

(Reivich & Shatte, 2002).

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

20

Bandura (dalam Feist & Feist, 2009) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan

seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap

keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan. Efikasi diri merujuk pada

keyakinan diri seseorang bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan suatu

perilaku , sementara ekspektasi atas hasil merujuk pada prediksi dari kemungkinan mengenai

konsekuensi perilaku tersebut (Feist & Feist, 2009).

Roberts (2007) melakukan penelitian terkait dengan self efficacy, self concept dan

kompetensi sosial sebagai sumber dari resiliensi dan psychological well-being pada dewasa

muda. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tingginya self efficacy yang individu miliki akan

berpengaruh terhadap kemampuan individu tersebut dalam menghadapi dan beradaptasi

dengan tantangan dan tekanan hidup. Hal serupa juga dikemukakan oleh Manara (2008) yang

juga membuktikan bahwa tingginya efikasi diri yang dimiliki individu mengindikasikan

individu tersebut sebagai individu yang resilien.

g. Reaching Out

Resiliensi tidak hanya berbicara mengenai bagaimana individu dalam mengatasi masalah

yang terjadi dan bangkit dari keterpurukan, resiliensi juga berbicara tentang kemampuan

individu dalam menggapai aspek positif dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa

(Reivich & Shatte, 2002).

Tidak semua individu mampu untuk melakukan reaching out, hal ini dikarenakan banyak

individu yang memang dari kecil sudah diajarkan untuk sedapat mungkin menghindar dari

kegagalan dan situasi yang memalukan. Individu yang seperti ini adalah individu yang

memilih untuk memiliki hidup yang standar dibandingkan dengan meraih kesuksesan dengan

menghadapi kegagalan dan situasi yang tidak menyenangkan. Individu yang seperti ini juga

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

21

memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalisasikan segala kemampuan yang ada dalam

dirinya (Reivich & Shatee, 2002).

Bernad (2009) memberi kajian lebih lanjut dengan menggolongkan empat sifat umum

yang dimiliki individu yang resilien. Keempat sifat tersebut meliputi :

1. Kompetensi Sosial. Kemampuan yang dimiliki individu untuk memunculkan respon yang

positif dari orang lain, dalam artian individu mampu untuk menjalin hubungan yang positif

dengan orang dewasa dan teman sebaya.

2. Keterampilan Memecahkan Masalah. Perencanaan yang memudahkan untuk

mengendalikan diri sendiri sendiri dan memanfaatkan akal sehatnya untuk mencari bantuan

dari orang lain.

3. Otonomi. Suatu kesadaran tentang identitas diri sendiri dan kemampuan bertindak secara

independen serta melakukan pengontrolan terhadap lingkungan.

4. Kesadaran akan tujuan dan masa depan. Kesadaran akan tujuan-tujuan, aspirasi pendidikan,

ketekunan, pengharapan dan kesadaran akan suatu masa depan yang cemerlang.

Sybil & Wollin (2000) melakukan penelitian terhadap remaja. Penelitian ini dilakukan

dengan mewawancarai remaja yang mampu bertahan dalam kondisi yang sulit disaat remaja

lainnya menyerah. Berdasarkan hasil penelitian inilah kemudian Sybil dan Wollin

menggelompokkan tujuh karakteristik individu yang resilien. Ketujuh karakteristik tersebut

meliputi:

1. Insight. Individu yang resilien menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sulit, untuk

memperoleh kejelasan akan suatu hal dan juga untuk menjawab kebingungan.

2. Independence. Individu mampu memisahkan dirinya secara fisik dan emosional dari

kesulitan dengan tujuan keselamatan dan membuka kesempatan yang baru.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

22

3. Good relationship. Individu mampu membentuk ikatan emosi yang sehat dalam

berinteraksi dengan orang lain.

4. Initiative. Individu mengambil alih sebuah masalah untuk menciptakan efikasi diri.

5. Creativity. Individu dapat mentransfer rasa tidak menyenangkan atau emosi negatif menjadi

kreatifitas yang dapat memberikan keuntungan bagi orang lain.

6. Humor. Individu dapat mempertahankan sifat humoris dan mampu untuk tertawa walau

dalam keadaan yang sulit.

7. Good moral standard. Individu memungkinkan untuk bersikap sesuai dengan hati nurani.

Seperti yang telah dipaparkan, setiap tokoh mengemukakan karakter yang berbeda

mengenai individu yang resilien. Hal ini dikarenakan resiliensi lebih dianggap sebagai suatu

kemampuan yang diperoleh dari proses, dibandingkan dengan suatu sifat yang dimiliki

individu (Desmita, 2009). Oleh karena itu, resiliensi diartikan sebagai kapasitas yang

diperoleh individu melalui proses belajar dan pengalaman dari lingkungan. Pengalaman dari

pada lingkungan setiap individu berdampak pada pembentukan karakteristik dari resiliensi

pada individu tersebut.

Beberapa penelitian dilakukan untuk melihat tingkat resiliensi pada remaja. Penelitian

yang dilakukan oleh Sari (2014) terhadap remaja di kabupaten Gunung Kidul menunjukkan

hasil sebesar 97,42% subjek penelitian memiliki resiliensi yang tinggi dan sisanya memiliki

resiliensi dengan kategori rendah. Penelitian lainnya dilakukan oleh Dewanti & Suprapti

(2014) yang meneliti tentang resiliensi pada remaja putri terhadap problematika pasca

perceraian orangtua. Hasil penelitian ini menyebutkan remaja putri dengan orangtua yang

telah bercerai memiliki resiliensi yang baik dengan memunculkan kemampuan yang tinggi

pada aspek impulse control, optimisme, empati dan efikasi diri.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

23

Oktaviani (2012) melakukan penelitian terhadap remaja korban tsunami Aceh.

Penelitian ini menunjukkan hasil skor resiliensi dari remaja tersebut bervariasi mulai dari skor

sedang sampai skor tinggi. Remaja dalam penelitian tersebut menunjukkan skor tinggi pada

aspek meaningfulness, equanimity, existential eloneness dan perseverance yang merupakan

aspek-aspek resiliensi menurut teori Wagnild & Young (1993).

Berdasarkan pendapat beberapa tokoh mengenai aspek-aspek resiliensi, aspek yang

digunakan dalam penelitian ini adalah aspek yang dikemukakan oleh Reivich & Shatte (2002)

yang terdiri dari regulasi emosi, impulse control, optimism, analisis kausal, empati, efikasi diri

dan reaching out.

B. Pola Asuh

1. Pengertian Pola Asuh Orangtua

Gunarsa dan Gunarsa (2007) mendefinisikan pola asuh orangtua sebagai suatu sikap

dan cara orangtua dalam mempersiapkan anggota keluarga yang lebih muda termasuk anak

supaya dapat mengambil keputusan sendiri dan bertindak sendiri sehingga mengalami

perubahan dari keadaan tergantung kepada orangtua menjadi berdiri sendiri dan bertanggung

jawab sendiri. Darling (1999) menambahkan, mengasuh anak adalah kegiatan kompleks yang

mencakup banyak perilaku yang dilakukan sendiri ataupun bersama-sama untuk

mempengaruhi perilaku anak.

Cahyono (2015) menyebutkan 3 aspek yang perlu diperhatikan dalam pengasuhan

anak, aspek tersebut meliputi:

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

24

a. Pengasuhan fisik adalah upaya yang dilakukan agar anak dapat tumbuh dengan baik.

Tujuan utamanya adalah perkembangan fisik yang sehat. Contoh dari pengasuhan fisik

adalah memberi asupan makanan dan minuman, keamanan dan kebersihan.

b. Pengasuhan kognisi adalah upaya yang dilakukan agar kognisi anak berkembang dengan

baik. Berkembang dengan baik maksudnya anak mampu menyerap informasi dengan baik,

mengelolanya dengan benar, menyimpannya sebagai pengetahuan serta

mengekspresikannya dengan tepat. Kita mengajari anak berfikir sebab akibat,

mengasosiasikan antara satu hal dengan hal yang lain, menjawab rasa ingin tahu anak dan

lain sebagainya.

c. Pengasuhan sosioemosional adalah upaya yang dilakukan agar anak sukses dalam

kehidupan bersama orang lain. Emosi anak dapat berkembang dengan baik sebagai diri

sendiri maupun dalam lingkungan sosial. Anak belajar untuk berempati, tenggang rasa,

menghargai dan menghormati orang lain.

Pengasuhan erat kaitannya dengan upaya yang dilakukan keluarga atau komunitas

untuk memberikan perhatian, waktu dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental

dan sosial anak-anak dalam masa perkembangannya (Cahyono, 2015). Pada dasarnya tujuan

utama pengasuhan orangtua adalah mempertahankan kehidupan fisik anak dan meningkatkan

kesehatannya, memfasilitasi anak untuk mengembangkan kemampuan sejalan dengan tahapan

perkembangannya dan mendorong peningkatan kemampuan perilaku sesuai dengan nilai

agama dan budaya yang diyakininya (Supartini, 2002).

Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah cara

yang dilakukan oleh orangtua dalam merawat, mengasuh dan mendidik anak yang didasarkan

pada nilai-nilai budaya dan agama yang diyakini, dengan tujuan untuk membentuk karakter

anak dalam masa perkembangannya.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

25

2. Tipe-tipe Pola Asuh Orangtua

Didalam lingkungan keluarga, seorang anak akan mempelajari dasar-dasar perilaku

yang penting bagi kehidupannya kemudian. Karakter dipelajari anak melalui model para

anggota keluarga yang ada di sekitar terutama orangtua. Ketika anak melihat dengan baik

perilaku orangtua, maka dengan cepat akan menirunya, demikian pula sebaliknya. Model

perilaku yang baik akan membawa dampak perkembangan yang baik bagi anak (Tridhonanto,

2002). Hal ini akan membuat orangtua memperhatikan setiap perilaku yang dimunculkan

karena berkaitan dengan perilaku meniru yang ditunjukkan anak.

Setiap orangtua memiliki keinginan agar anak tumbuh menjadi pribadi yang matang

secara sosial, namun sering sekali orangtua merasa kebingungan dalam merespon dan

bertindak atas perilaku anak-anaknya (Santrock, 2007). Perlakuan yang ditunjukkan orangtua

dalam merespon perilaku anak dikelompokkan menjadi dua (Baumrind, 1991) yaitu :

a. Responsiveness

Responsiveness mengarah kepada sejauh mana orangtua membantu perkembangan

individualitas dan penonjolan diri anak. Orangtua memenuhi tuntutan anak dengan

memahami apa yang menjadi kebutuhannya. Orangtua memberikan dukungan dengan sikap

yang hangat, mendukung kemandirian anak dan adanya komunikasi dua arah antara anak

dan orangtua (Baumrind, 2005).

b. Demandingness

Demandingness mengarah kepada tuntutan yang dibuat oleh orangtua agar anak

bersikap sesuai dengan aturan yang berlaku didalam masyarakat. Tuntutan yang dilakukan

oleh orangtua biasanya berupa konfrontasi langsung, memantau seluruh aktivitas anak dan

mengontrol perilaku anak (Baumrind, 2005).

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

26

Salah satu upaya yang dilakukan orangtua untuk membentuk karakter baik dalam diri

anak yakni dengan pendampingan orangtua yang berbentuk pola asuh. Tridhonanto (2002)

mengasumsikan pola asuh sebagai cara orangtua berinteraksi dengan anak. Setiap orangtua

memiliki cara tersendiri dalam memberikan pengasuhan dan mendidik anaknya.

Baumrind (1991) membedakan tipe pola asuh menjadi tiga yang dikelompokkan

berdasarkan tingkat responsiveness dan demandinggness orangtua terhadap anak. Tipe pola

asuh tersebut meliputi pola asuh autoritarian, pola asuh autoritatif (demokratis), dan pola asuh

permisif, sebagaimana penjabarannya sebagai berikut :

a. Pola Asuh Autoritarian

Pola asuh tipe ini tinggi dalam demandingness atau tuntutan dan peraturan, namun

rendah dalam responsiveness. Orangtua membentuk anak untuk berperilaku dan bersikap

sesuai dengan standar perilaku yang ditentukan oleh orangtua. Standar perilaku yang

ditatapkan biasanya bersifat mutlak. Kepatuhan dinilai sebagai suatu sikap yang positif dan

terpuji. Orangtua dengan pola asuh ini memiliki keyakinan dengan membatasi autonomi anak,

maka anak akan tetap berada pada jalur yang telah ditetapkan oleh orangtua (Baumrind,1991).

Orangtua autoritarian menetapkan batasan-batasan dan kendali yang tegas terhadap

remaja dan kurang memberikan peluang untuk berdialog secara verbal. Contohnya, orangtua

authoritarian mungkin akan berkata, “lakukan menurut perintahku atau tidak sama sekali,

tidak ada diskusi” (Santrock, 2007). Apabila terjadi konflik anatara orangtua dan anak, anak

memiliki keinginan yang keinginan tersebut tidak sesuai dengan standar orangtua maka

orangtua akan mengambil tindakan yang keras (Baumrind, 2005).

b. Pola Asuh Autoritatif

Orangtua dengan pola asuh tipe ini menyeimbangkan antara respon dan tuntutan.

Orangtua memantau dan membuat standar yang jelas mengenai tingkah laku anak serta

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

27

mengajarkan anak untuk terbiasa mendengarkan pendapat orang lain. Orangtua, dalam

membuat suatu keputusan atau kebijakan, terlebih dahulu mendiskusikannya dengan anak, dan

apabila anak tidak setuju akan suatu hal maka orangtua berusaha untuk mendengarkan alasan

dari ketidaksetujuan anak. Jika terjadi konflik antara anak dan orangtua, maka orangtua akan

bersikap tegas namun tetap tidak memaksakan kehendak terhadap anak. Orangtua bertindak

sebagai orang dewasa dengan memperhatikan apa yang menjadi minat anak, menerima

kemampuan yang dimiliki anak (Baumrind, 1991).

c. Pola Asuh Permisif

Orangtua dengan tipe pola asuh ini tidak memberikan hukuman, menerima dan setuju

atas semua keinginan dan tindakan anak. Orangtua terlebih dahulu berkonsultasi dengan anak

dalam membuat keputusan atau kebijakan dan hal ini juga berlaku dalam hal pembuatan

peraturan dalam keluarga. Orangtua menempatkan dirinya sebagai sosok seorang yang mampu

memenuhi segala kebutuhan anak, bukan menampilkan diri sebagai figur yang mengarahkan

yang mengubah perilaku anak. Anak diberikan kebebasan beraktivitas dan tidak ada kontrol

perilaku atas aktivitas yang dilakukan oleh anak. Orangtua juga tidak menuntut anak untuk

patuh pada suatu aturan tertentu (Baumrind, 1991).

Masing-masing dari ketiga gaya pengasuhan tersebut memiliki keunikan dan

karakteristik tertentu yang menjadi ciri khas dari setiap pola asuh. Sikap konsisten dari

orangtua dalam setiap waktu dan berbagai kondisi ketika merespon dan berprilaku terhadap

anak sering dikatakan sebagai ciri khas dari gaya pengasuhan orangtua (Bornstein & Zlotnik,

2009). Pada penelitian ini, tipe pola asuh yang akan dibahas lebih lanjut adalah tipe pola asuh

autoritatif yang dikemukakan oleh Baumrind (1991).

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

28

3. Pola Asuh Autoritatif atau Demokratis

Sistem pola asuh autoritatif mengajarkan kepada remaja bahwa hak dan kewajiban

setiap individu harus dihormati sebagaimana mestinya. Pola asuh tipe ini menghargai dan

menghormati perbedaan sehingga setiap orang dapat berkembang sesuai dengan potensi yang

dimilikinya. Pola asuh autoritatif juga mendorong remaja untuk bertumbuh dan berkembang

sesuai dengan kapasitas mereka (Surbakti, 2009).

Pola asuh autoritatif tersusun atas tiga elemen, yaitu warmth, yang menjelaskan sejauh

mana remaja diterima dan dicintai. Structure, yang menjelaskan sejauh mana remaja diawasi

dan memiliki harapan dan aturan dari perilakunya serta autonomy support yang menjelaskan

sejauh mana orangtua menerima dan mendukung individualitas dari remaja (Steinberg, 2002).

Gray & Steinberg (1999) memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga elemen

tersebut. Element warmth memberikan pengaruh terhadap personal well-being dari anak.

Seorang anak yang mendapatkan elemen warmth dari orangtua akan lebih bersifat positif

dalam menghadapi masalah yang akan membuat mereka juga sukses dalam sebagian besar

aspek kehidupan mereka. Structure atau pengawasan yang diterapkan orangtua terhadap

anaknya akan memunculkan kontrol diri serta disiplin yang tinggi, yang ditunjukkan melalui

perilaku rajin belajar dan kemampuan mereka untuk menghindari penggunaan narkoba,

ketidakhadiran di sekolah dan bentuk-bentuk dari perilaku antisosial.

Elemen autonomy akan memberikan peningkatan terhadap kompetensi dan

kepercayaan diri yang nantinya akan berpengaruh terhadap ruang lingkup sosial dan akademik

dari anak, dan hal inilah yang akan membuat anak memiliki keinginan yang tinggi untuk

sukses. Kepercayaan terhadap diri ini juga dapat membantu melindungi anak dari rasa cemas

dan depresi yang merupakan problem terbesar pada kalangan remaja yang memiliki self

esteem yang rendah (Gray & Steinberg, 1999).

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

29

Steinberg & Silk (2002) mengungkapkan pola asuh autoritatif merupakan pola asuh

yang paling memadai untuk diterapkan dan baik untuk perkembangan remaja. Pendapat

tersebut disertai dengan tiga alasan, yaitu :

a. Orangtua autoritatif memberikan keseimbangan yang jelas antara batasan dengan

kebebasan, memberikan remaja kesempatan untuk mengembangkan kemandirian

dengan memberikan standar, batasan dan pedoman yang dapat membantu

perkembangan remaja. Orangtua yang menerapkan pola asuh ini mendorong

perkembangan kompetensi remaja dan meningkatkan kemampuan remaja untuk

bertahan atas lingkungan yang negatif.

b. Orangtua dengan pola asuh autoritatif melibatkan anak-anak mereka dalam perilaku

mengalah, orangtua mendorong perkembangan intelektual anak dan memberikan

landasan penting bagi perkembangan kompetensi sosial anak. Keluarga berdiskusi

sebelum membuat keputusan, peraturan, dan harapan yang kemudian akan

dijelaskan/dikomunikasikan untuk membantu remaja dalam memahami sistem dan

hubungan sosial. Pemahaman ini merupakan bagian yang penting dalam kemampuan

penalaran, pengambilan peran, penilaian moral dan empati. Perilaku saling mengalah

akan menumbuhkan kompetensi kognitif dan sosial, sehingga lebih meningkatkan

fungsi remaja diluar keluarga.

c. Pengasuhan dan keterlibatan yang disediakan oleh orangtua autoritatif memberikan

remaja pandangan yang lebih mengenai pengaruh orangtua dan memungkinkan

sosialisasi yang lebih baik dan efisien.

Papalia (2009) menambahkan, orangtua yang menerapkan tipe pola asuh autoritatif

menetapkan harapan yang dapat dijangkau dan standar yang realistis sehingga membuat

remaja mengetahui apa yang diharapkan dari remaja tersebut. Dengan membuat tuntutan

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

30

yang rasional, orangtua menunjukkan keyakinannya terhadap remaja bahwa remaja dapat

memenuhi tuntutan tersebut. Berdasarkan pemaparan mengenai tipe pola asuh yang telah

dibahas sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa pola asuh autoritatif merupakan tipe pola

asuh yang paling efektif digunakan dalam mendidik remaja dan juga memiliki elemen yang

diasumsikan akan berdampak pada perkembangan karakteristik remaja.

Berdasarkan pemaparan diatas mengenai pola asuh autoritatif, maka dapat disimpulkan

bahwa pola asuh autoritatif adalah tipe pola asuh yang menyeimbangkan antara respon dengan

tuntutan. Orangtua cenderung melibatkan anak dalam setiap urusan keluarga, bersikap

terbuka, menjalin komunikasi dengan anak, berperilaku sebagai teman namun tetap memiliki

standar perilaku yang jelas terhadap tingkah laku anak.

4. Dimensi Pola Asuh autoritatif

Cross (2009) menyebutkan terdapat 19 dimensi dalam menentukan pola asuh yang

diterapkan oleh orangtua terhadap anak, yaitu :

a. Pl (Pleasure) : orangtua senang menjalankan perannya

b. Dp (Displeasure) : orangtua tidak senang menjalankan perannya

c. Cn (Confidance) : orangtua percaya diri dalam menjalankan perannya

d. Rt (Respect) : orangtua menghargai otonomi anak

e. Ls (Limit Setting) : harapan orangtua akan perilaku anak

f. Ex (Expressiveness) : ekspresi yang di tunjukkan orangtua

g. Md (Maturity Demands) : menyusun standar perilaku yang disesuaikan dengan

kemampuan dan tingkat perkembangan anak

h. Pr (Precission) : orangtua menggunakan bahasa yang jelas

i. St (Structure) : struktur yang disediakan oleh orangtua

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

31

j. Wm (Warmth) : kehangatan interaksi orangtua dengan anak

k. Cl (Coldness) : kerenggangan interaksi orangtua dengan anak

l. An (Anger) : tingkat kemarahan orangtua

m. Rn (Responssiveness) : bagaimana orangtua memberikan respon terhadap anak

n. In (Interactive) : tingkat pembicaraan orangtua kepada anak

o. Cr (Creativity) : tingkat kreatifitas orangtua ketika berinteraksi dengan anak

p. At (Activity) : tingkat aktivitas fisik antara orangtua dengan anak

q. Ha (Happiness) : tingkat kebahagiaan yang diekspresikan baik secara verbal ataupun

nonverbal

r. Sa (Sadness) : tingkat kesedihan yang diekspresikan baik secara verbal atau nonverbal

s. Ax (Anxiety) : tingkat kecemasan yang diperlihatkan oleh orangtua

Kesembilanbelas dimensi tersebut diatas, dinilai taraf intensitas dan frekuensinya

mulai dari sangat rendah, rendah, sedang, tinggi sampai pada sangat tinggi. Hasil penilaian

tersebut kemudian akan menunjukkan tipe pola asuh yang ditunjukkan oleh orangtua terhadap

anak. Dimensi pola asuh yaitu affect dan control kemudian akan menghasilkan 4 tipe pola

asuh yaitu authoritarian, authoritatif, permissive dan neglectful seperti pada gambar berikut :

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

32

High Control

Authoritarian Md Ls Autoritatif

St Pr Rn In

At Cr

Negative Dp An Ax Wm Rt Pl Positif

Affect Cl Sa Ha Ex Cn Affect

Neglectful Permissive

Low control

Gambar 1. Tipe pola asuh yang dikemukakan oleh Cross (2009)

5. Pengaruh Pola Asuh Autoritatif terhadap Perkembangan Remaja

Pada bagian sebelumnya, telah disebutkan oleh Steinberg & Silk (2002) bahwa pola

asuh autoritatif merupakan pola asuh yang paling efektif untuk diterapkan dalam pendidikan

karakter remaja. Chaudry, Bibi, Awan & Tariq (2013) melakukan review terhadap beberapa

literatur yang membahas tentang pola asuh orangtua. Hasil dari review yang dilakukan ini

menunjukkan bahwa pola asuh autoritatif memiliki pengaruh yang besar bagi domain

kehidupan remaja. Berikut ini akan dijelaskan secara lebih spesifik mengenai pengaruh dari

pola asuh autoritatif orangtua terhadap perkembangan remaja.

a. Kemandirian

Remaja yang memiliki orangtua autoritatif lebih bertanggung jawab, lebih cepat dalam

melakukan adaptasi, percaya diri, lebih kreatif, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, memiliki

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

33

keterampilan sosial yang tinggi dan mandiri (Steinberg, 2002). Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Widiana & Nugraheni (2008) menunjukkan ada korelasi yang positif antara

pola asuh autoritatif dengan kemandirian. Semakin tinggi pola asuh demokratis yang diberikan

oleh orangtua dan dipandang oleh remaja maka akan semakin tinggi kemandirian remaja.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Asiyah (2013) juga menunjukkan hasil yang serupa,

dengan subjek adalah remaja yang berstatus mahasiswa baru. Penelitian ini menyebutkan pola

asuh autoritatif memberikan sumbangan yang signifikan terhadap kemandirian pada

mahasiswa baru, sehingga mahasiswa baru yang menerima pola asuh autoritatif dari orangtua

menunjukkan kemandirian yang lebih tinggi dalam mengemban tanggung jawab dan tugas

sebagai mahasiswa.

b. Kemampuan Beradaptasi

Chaandola & Bhanot (2008) melakukan penelitian mengenai hubungan pola asuh

autoritatif dengan penyesuaian diri pada remaja. Hasil penelitian menunjukkan remaja yang

diasuh dengan tipe pola asuh autoritatif memiliki kemampuan penyesuaian diri yang baik

dibandingkan remaja dengan pola asuh authoritarian ataupun permisif.

Hal yang sama juga dibuktikan dalam penelitian Rossman & Rea (2005) yang

menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh autoritatif dengan

kemampuan beradaptasi remaja. Dukungan yang tinggi dari orangtua dengan pola asuh

autoritatif menyebabkan permasalahan belajar yang dialami remaja tergolong rendah,

sedangkan pola asuh autoritarian akan menyebabkan permasalahan belajar serta berperilaku

pada remaja tergolong tinggi. Orangtua dengan tipe pola asuh permisif menyebabkan remaja

akan tinggi dalam kecemasan dan internalisasi masalah.

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

34

c. Prestasi Akademik

Remaja dengan orangtua autoritatif memiliki prestasi yang tinggi di sekolah, tingkat

depresi dan kecemasan yang rendah, self esteem yang tinggi, dan cenderung rendah dalam

perilaku antisosial yang meliputi pelanggaran dan penggunaan narkoba (Steinberg, 2002).

Hasil penelitian Turner, Chander dan Heffer (2009) yang meneliti mengenai pola asuh

autoritatif menunjukkan bahwa pola asuh autoritatif memiliki hubungan yang positif dan

signifikan dengan prestasi belajar remaja. Karakteristik pengasuhan orangtua seperti memberi

dukungan dan kehangatan memiliki peran yang penting dalam perkembangan prestasi belajar

remaja. Sedangkan pola asuh permisif dan autoritatif tidak memiliki hubungan dengan prestasi

akademik dari remaja. Seth & Ghormode (2013) menyebutkan, anak yang memiliki orangtua

yang menerapkan pola asuh autoritatif memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menerima

pelajaran di sekolah sehingga menghasilkan prestasi belajar yang juga baik. Kordi &

Baharudin (2010) juga melakukan penelitian serupa yang menunjukkan hasil orangtua yang

terlibat dalam pendidikan remaja dan memonitor aktivitas remaja diluar sekolah berpengaruh

terhadap prestasi akademik remaja. Remaja yang memiliki prestasi yang tinggi berasal dari

keluarga yang menerapkan pola asuh autoritatif.

d. Perilaku Prososial

Orangtua dengan tipe pola asuh autoritatif mampu membentuk perilaku sosial yang

baik. Hal ini dibuktikan melalui hasil penelitian Husada (2013) yang menyatakan terdapat

korelasi yang positif antara pola asuh dengan perilaku prososial pada remaja. Pola asuh

autoritatif dapat digunakan sebagai prediktor untuk memprediksi perilaku prososial pada

remaja. Hasil penelitian Mensah & Kuranchie (2013) juga menjelaskan bahwa perilaku sosial

yang baik ditunjukkan oleh anak dengan orangtua autoritatif, sedangkan orangtua dengan pola

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

35

asuh autoritarian dan permisif menunjukkan korelasi yang negatif yang berarti kompetensi

anak rendah dalam perilaku sosial.

Perilaku sosial yang baik biasanya diperlihatkan melalui perilaku gotong royong, anak

bersikap lebih tenang dan memiliki empati dalam hubungan mereka dengan orang lain

disekitarnya (Mensah & Kuranchie, 2013). Terkait dengan perilaku empati, penelitian oleh

Lustiani (2013) terhadap remaja menunjukkan bahwa remaja yang memiliki empati yang

tinggi ditunjukkan oleh remaja yang memiliki orangtua dengan tipe pola asuh autoritatif.

e. Perilaku Bermasalah

Remaja dengan orangtua autoritatif menunjukkan internalisasi perilaku, seperti depresi

dan kecemasan yang rendah serta eksternal perilaku seperti antisosial dan penggunaan narkoba

yang juga rendah (Bornstein & Zlotnik, 2009). Perilaku depresi yang rendah ditunjukkan oleh

remaja dengan orangtua yang menerapkan pola asuh autoritatif dan tingkat depresi yang

sedang pada remaja dengan orangtua yang menerapkan pola asuh permisif (Safitri & Hidayati,

2013).

Aunola & Nurmi (2005) dalam penelitiannya menjelaskan menurunnya perilaku

bermasalah pada anak terjadi apabila kontrol perilaku yang diberikan orangtua tinggi dan

kontrol psikologis rendah. Tetapi apabila kontrol perilaku yang tinggi diikuti dengan kontrol

psikologis yang tinggi maka akan menyebabkan perilaku bermasalah juga meningkat.

Penelitian Wulandari (2010) menunjukkan korelasi yang negatif antara pola asuh dengan

perilaku seksual pada remaja. Semakin demokratis pola asuh yang diterapkan orangtua

semakin rendah tingkat perilaku seksual remaja.

Pemaparan mengenai pengaruh tipe pola asuh autoritatif diatas memberikan gambaran

yang sesuai dengan pernyataan Steinberg & Silk (2002). Beberapa penelitian telah

membuktikan dampak-dampak positif yang ditimbulkan melalui penerapan tipe pola asuh

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

36

autoritatif dalam mendidik remaja. Dengan demikian maka kesimpulan yang didapat oleh

peneliti adalah pola asuh autoritatif memiliki peranan penting terhadap perkembangan

karakteristik remaja.

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Masa remaja adalah peralihan masa perkembangan yang berlangsung sejak usia sekitar

10 atau 11 atau bahkan lebih awal sampai masa remaja akhir atau usia duapuluhan awal, serta

melibatkan perubahan besar dalam aspek fisik, kognitif dan psikososial yang saling berkaitan

(Papalia, 2009).

World Health Organization (dalam Sarwono, 2012) memberikan definisi yang lebih

konseptual mengenai remaja. Dalam definisi tersebut, dikemukakan tiga kriteria yaitu

biologis, psikologis dan sosial ekonomi. Secara lengkap definisi tersebut berbunyi, masa

remaja adalah suatu masa dimana :

a. Individu berkembang mulai dari pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual

sekundernya sampai mencapai kematangan seksual.

b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak

menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi menuju keadaan yang relatif lebih

mandiri.

Santrock (2007) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi perkembangan

yang terjadi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-

perubahan baik itu secara biologis, kognitif dan sosioemosional. Masa remaja ditandai dengan

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

37

munculnya pubertas yaitu proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual

(Papalia, 2009). Pubertas merupakan hal yang paling penting dalam perkembangan remaja dan

berhubungan dengan depresi, khususnya pada remaja perempuan (Deepalakshmi, 2013).

Penelitian membuktikan bahwa terdapat peningkatan symptom depresi yang dimulai pada

masa kanak-kanak sampai pada masa remaja dan simptom mulai terlihat pada umur 13 – 15

tahun yang akan mencapai puncak pada umur 17-18 tahun (Marcotte, 2002).

Periode masa remaja merupakan periode berisiko yang mana pada masa ini remaja

mengalami berbagai macam masalah. Sebagian remaja mengalami masalah dalam menghadapi

berbagai perubahan yang terjadi secara bersamaan dan membutuhkan bantuan dalam

mengatasinya (Papalia, 2009).

Hurlock (1980) menjelaskan ada beberapa masalah yang dialami remaja dalam

perkembangannya, yaitu :

a. Masalah pribadi, yaitu masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi dan kondisi di

rumah, sekolah, kondisi fisik, penampilan, emosi, penyesuaian sosial, tugas dan nilai-nilai.

b. Masalah khas remaja, yaitu masalah yang timbul akibat status yang tidak jelas pada remaja

seperti masalah pencapaian kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian berdasarkan

stereotip yang keliru, adanya hak-hak yang lebih besar dan lebih sedikit kewajiban

dibebankan oleh orangtua.

Elkind dan Postman (dalam Retnowati, 2005) menyebutkan remaja pada tahap

perkembangan ini mengalami banjir stres yang berasal dari perubahan sosial dan harapan

masyarakat yang menginginkan remaja melakukan peran dewasa sebelum matang secara

psikologis untuk menghadapinya. Akibatnya, remaja cenderung mengalami kegagalan di

sekolah, penyalahgunaan obat-obat, depresi dan bunuh diri, keluhan-keluhan somatik dan

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

38

kesedihan yang kronis. Berdasarkan dampak yang ditimbulkan, Santrock (2007)

menggolongkan masalah-masalah remaja kedalam dua bagian, yaitu:

a. Internalisasi masalah, timbul ketika remaja mengarahkan masalah-masalah yang dialami

kedalam dirinya, contohnya adalah kecemasan dan depresi. Beberapa penelitian

menyebutkan gejala depresi banyak dialami oleh remaja, baik itu remaja laki-laki ataupun

remaja perempuan. Safitri & Hidayati (2013) dalam penelitiannya mengenai depresi pada

remaja di Semarang menyebutkan sebagian besar remaja dalam penelitian tersebut

memiliki tingkat depresi yang bervariasi, mulai dari depresi ringan hingga depresi sedang.

Penelitian yang dilakukan oleh Darmayanti (2008) yang meneliti perbedaan tingkat depresi

pada remaja laki-laki dan perempuan menyebutkan bahwa remaja perempuan cenderung

lebih depresif dibandingkan dengan remaja laki-laki. Kecemasan juga dialami oleh remaja

dalam fase perkembangannya. Marifah dan Budiyani (2012) dalam penelitiannya yang

meneliti tentang kecemasan sosial pada remaja menyebutkan remaja mengalami kecemasan

sosial mulai dari kategori rendah hingga tinggi. Remaja laki-laki memiliki tingkat

kecemasan yang sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan remaja perempuan (Deb,

Chatterjee & Walsh, 2010). Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya

kecemasan yang dialami remaja adalah dukungan sosial. Dukungan sosial yang rendah

akan menyebabkan remaja cenderung mengalami kecemasan yang tinggi (Hidayati &

Mastuti, 2012).

b. Eksternalisasi masalah, timbul ketika remaja mengarahkan masalah-masalah yang dialami

keluar dirinya, contohnya adalah kenakalan remaja. Bongers & Koot (2003) menyebutkan

remaja laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam mengeksternalisasikan

permasalahannya dimana laki-laki memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dibandingkan

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

39

dengan perempuan. Hasil penelitian ini juga menyebutkan remaja laki-laki memiliki

kecenderungan lebih besar untuk melakukan kenakalan remaja (Bongers & Koot, 2003).

Permasalahan yang dialami remaja memiliki cakupan yang cukup luas. Variasi dari

masalah tersebut dapat meliputi variasi dalam hal tingkat keparahannya maupun dalam hal

seberapa banyak masalah tersebut dialami oleh kelompok-kelompok sosial-ekonomi yang

berbeda-beda (Santrock, 2007).

Masalah-masalah yang dialami remaja yang berasal dari sosial-ekonomi rendah

merupakan perilaku eksternalisasi yang tidak terkendali, contohnya mengganggu kebersamaan

orang lain dan berkelahi, sedangkan masalah yang biasanya dialami oleh remaja dengan latar

belakang sosial-ekonomi menengah lebih cenderung kepada perilaku internalisasi, seperti

kecemasan dan depresi. Masalah-masalah perilaku yang sering menyebabkan remaja dirujuk

ke klinik untuk menjalani penanganan kesehatan mental adalah masalah-masalah yang

berkaitan dengan perasaan tidak bahagia, sedih atau depresi dan prestasi sekolah yang buruk

(Santrock, 2007).

Dengan demikian, kesimpulan yang peneliti ambil adalah bahwa masa remaja adalah

masa transisi antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja ditandai dengan

munculnya berbagai macam permasalahan yang sulit dihadapi oleh remaja dan bersumber dari

dalam diri maupun lingkungan remaja.

2. Tugas Perkembangan Remaja

Tugas perkembangan pada masa remaja berpusatkan pada penanggulangan sikap dan

pola prilaku yang kekanak-kanakan dan mengadakan persiapan untuk menghadapi masa

dewasa (Hurlock, 1980).

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

40

Havighurst (dalam Mahalayati, 2010) menyebutkan tugas perkembangan masa remaja

adalah sebagai berikut:

a. Mencapai hubungan yang baru dan matang dengan teman sebaya.

Pertemanan pada masa remaja berkembang dari yang sebelumnya hanya berteman

dengan sesama jenis menjadi berteman dengan lawan jenis. Pada tahap ini remaja juga

belajar untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya karena interaksi dibutuhkan

dalam kehidupan berkelompok.

b. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif

Remaja diharapkan mampu untuk mengenali perubahan fisik yang terjadi dalam

dirinya dengan tujuan kematangan seksual. Remaja belajar untuk merawat tubuhnya

dan juga menggunakannya secara efektif seperti untuk olahraga, rekreasi, bekerja dan

juga untuk melakukan pekerjaan sehari-hari.

c. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya

Remaja mulai meninggalkan sifat kekanak-kanakannya yang bergantung pada orangtua

dan mulai berkembang tanpa bergantung pada orang dewasa. Remaja mulai diberi

kebebasan untuk mandiri. Remaja yang suka memberontak dan memiliki konflik

dengan orangtua atau orang dewasa perlu mengembangkan pengertian yang baik

untuk dirinya maupun orang dewasa lainnya serta memahami alasan dibalik konflik

yang terjadi.

d. Mencapai peran sosial sebagai laki-laki atau perempuan

Remaja mampu untuk berperilaku sesuai dengan peran sosial yang didasarkan pada

jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan. Remaja juga belajar untuk menerima peran

sosial tersebut.

e. Memilih dan mempersiapkan karir

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

41

Remaja memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya untuk mempersiapkan karirnya

dan juga belajar untuk membiayai semua kebutuhan dirinya sendiri.

f. Mempersiapkan pernikahan dan kehidupan berkeluarga.

Membangun sikap-sikap positif, kemampuan sosial, kematangan emosi dan pengertian

untuk membangun atau menjalankan sebuah keluarga.

g. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan sebagai

warga Negara.

Perkembangan ideologi sosial politik, memakainya dan mengaplikasikan sehingga

memiliki makna berupa nilai serta moral yang ideal bagi hidup individu.

h. Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial.

Berusaha untuk mendapatkan tempat yang berarti di kehidupan bermasyarakat dengan

cara mengembangkan ideologi sosial yang dapat menambah nilai sosial.

Havighurst (dalam Sarwono, 2002) menambahkan tercapai atau tidaknya tugas tugas

perkembangan diatas ditentukan oleh tiga faktor yaitu kematangan fisik, desakan dari

masyarakat dan motivasi dari individu yang bersangkutan. Berdasarkan pemaparan mengenai

tugas perkembangan remaja diatas, dapat dikatakan bahwa remaja dalam tahap

perkembangannya dihadapkan pada berbagai macam tugas yang harus dipenuhi. Tugas

perkembangan tersebut tidak hanya berkaitan dengan remaja dan dirinya sendiri namun juga

remaja dan lingkungan sosialnya.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

42

D. Hubungan Antar Variabel

Gambar 2. Hubungan antar variabel

Keterangan:

: Peran variabel bebas terhadap variabel tergantung

: Variabel yang diteliti

: Dimensi Variabel

Masa remaja merupakan periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak

dengan dewasa yang melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional (Santrock,

2007). Masa remaja merupakan peristiwa panjang yang ditandai dengan munculnya pubertas,

yaitu sebuah proses yang pada akhirnya akan menghasilkan kematangan seksual (Papalia,

2009). Dalam tahap perkembangan ini, remaja dihadapkan pada tugas perkembangan yaitu

Pola Asuh Autoritatif

Resiliensi

a. Kehangatan interaksi orangtua dengan anak

b. Tegas dalam mengarahkan perilaku anak

c. Tanggap memenuhi kebutuhan kasih sayang anak

d. Menerapkan perilaku yang diharapkan

a. Regulasi Emosi

b. Impulse Control

c. Optimsm

d. Analisis Kausal

e. Empati

f. Efikasi Diri

g. Reaching Out

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

43

penanggulangan sikap dan pola perilaku yang kekanak-kanakan serta mengadakan persiapan

untuk memasuki tahap perkembangan selanjutnya (Hurlock, 1980).

Tugas perkembangan dan masalah yang muncul pada masa remaja adalah suatu hal

yang harus diselesaikan oleh remaja dalam tahap perkembangannya. Santrock (2007)

menyebutkan bahwa sejumlah masalah memiliki kecenderungan untuk muncul pada suatu

tingkat perkembangan tertentu dibandingkan dengan tingkat perkembangan lainnya. Masalah

yang timbul pada tahap perkembangan remaja merupakan masalah yang sulit untuk diatasi

baik itu oleh anak laki-laki ataupun anak perempuan (Hurlock, 1980). Seorang remaja yang

tidak berhasil mengatasi situasi kritis dan masalah-masalah yang timbul dalam tahap

perkembangan ini, besar kemungkinan remaja tersebut akan terperangkap masuk kedalam

kasus penyalahgunaan seks, obat-obat terlarang dan berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya

(Sarwono, 2012). Oleh karena itu remaja perlu memiliki resiliensi agar remaja mampu untuk

menghadapi konflik serta mampu beradaptasi dalam situasi yang tidak menyenangkan.

Resiliensi merupakan pola adaptasi positif yang dalam menghadapi kesulitan yang

signifikan (Masten & Reed, 2002). Terdapat beberapa faktor yang memiliki keterkaitan

dengan resiliensi, salah satunya adalah faktor keluarga. Faktor keluarga ini meliputi relasi

yang karib dengan figur orangtua dan pola asuh. Pola asuh autoritatif merupakan salah satu

tipe pola asuh yang dikemukakan oleh Baumrind (1991). Pola asuh autoritatif mendorong

remaja agar mendiri namun masih membatasi dan mengendalikan aksi-aksi mereka,

memberikan kesempatan untuk berdialog kepada anak, bersikap hangat dan mengasuh

(Santrock, 2007). Pola asuh autoritatif juga memberikan kebebasan bagi remaja untuk

berdiskusi dan mengemukakan pendapat mereka kepada orangtua terkait dengan masalah yang

sedang dihadapi serta memberikan bantuan dalam penyelesaian masalah yang dihadapi oleh

remaja. Pola Asuh autoritatif merupakan pola asuh yang paling efektif digunakan dalam

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian ......12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Grotberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan

44

mendidik anak. Hal ini dikarenakan pola asuh autoritatif dianggap mampu membentuk

karakteristik positif dalam diri remaja dan salah satunya adalah karakteristik resiliensi.

Pola asuh autoritatif merupakan variabel bebas dan resiliensi merupakan variabel

tergantung. Pola asuh autoritatif yang disesuaikan dengan teori Baumrin (1991) nantinya akan

dilihat bagaimana hubungannya dengan resiliensi berdasarkan teori yang dikemukakan oleh

Reivich & Shatee (2002).

E. Hipotesis

Berdasarkan pemaparan teori yang telah dijelaskan, maka hipotesis yang diajukan

dalam penelitian ini adalah:

Ha : Ada hubungan yang signifikan dan positif antara pola asuh autoritatif dengan

resiliensi pada remaja di Denpasar.

Ho : Tidak ada hubungan yang signifikan dan positif antara pola asuh autoritatif dengan

resiliensi pada remaja di Denpasar.