bab ii tinjauan pustaka a. resiliensi 1. pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. bab...
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. RESILIENSI
1. Pengertian Resiliensi
Kata resiliensi berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa inggris
bermakna to jump (or bounce) back, artinya melompat atau melenting
kembali (Resiliency Center, 2004). Menurut VanBreda (2013) resiliensi
merupakan sebuah kekuatan dan sebuah sistem yang memungkinkan individu
untuk terus kuat berada di sebuah keterpurukan. Resiliensi merupakan sebuah
kapasitas bagi individu untuk bangun lagi dari kejatuhan serta bangkit
kembali dari kesulitan (Setyoso, 2013).
Walsh (Lestari, 2016) memaparkan bahwa resiliensi sebuah
kemampuan individu untuk bangkit dari penderitaan, dengan keadaan
tersebut mental akan menjadi lebih kuat dan lebih memiliki sumber daya.
Resiliensi lebih dari sekedar kemampuan untuk bertahan (survive), karena
resiliensi membuat individu untuk bisa sembuh dari luka menyakitkan,
mengendalikan kehidupannya dan melanjutkan hidupnya dengan penuh cinta
dan kasih sayang (Lestari, 2016). Individu yang memiliki resiliensi akan
mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma, terlihat
kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif, serta mampu
beradaptasi terhadap stres yang ekstrim dan kesengsaraan (Holaday, dalam
Widuri 2012). Individu yang resiliens akan mampu menanggulangi kesulitan
15
hidup serta membangun kembali kehidupannya, dalam hal ini yaitu individu
mentransformasi permasalahannya secara positif, dengan adanya resiliensi
akan membantu individu untuk terbantu mengatasi kesulitannya (Winarsih
dalam Ekasari, 2013).
Reivich dan Shatte (2002) memamparkan bahwa resiliensi merupakan
kemampuan individu untuk beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit,
individu dapat dikatakan memiliki resiliensi jika individu mampu untuk
secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma dan terlihat kebal dari
berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif serta individu yang
resiliens adalah individu yang merespon setiap permasalahan dengan cara
yang sehat dan cara produktif, yaitu menjaga dirinya untuk tetap sehat dan
tidak melukai dirinya serta orang lain, dalam kemampuan resiliensi ini hal
yang terutama adalah mengelola stress secara baik (Reivich & Shatte, 2002).
Berdasarkan beberapa teori dan penjelasan resiliensi di atas, dapat
disimpulkan bahwa inti dari resiliensi adalah kemampuan individu untuk
bangkit, kuat serta mampu untuk mengelola diri dalam menghadapi
permasalahan dalam hidup sehingga dengan menghadapi permasalahan
individu menjadi pribadi yang lebih baik. Individu dapat dikatakan resiliens
apabila cepat pulih kembali kepada kondisi sebelum terjadi sebuah
permasalahan serta dalam menghadapi permasalahan individu meresponnya
dengan cara sehat.
16
2. Fungsi Resiliensi
Berdasarkan hasil penelitian di dalam buku Reivich dan Shatte,
(2002) The resiliensce factor, kemampuan resiliensi dapat difungsikan
oleh individu sebagai hal-hal berikut :
a. Overcoming
Setiap individu tidak terlepas dari permasalahan dalam
kehidupannya, dan permasalahan tersebut terkadang sulit untuk dihindari.
Permasalahan yang hadir dalam kehidupan terkadang sulit diterima akan
tetapi hal tersebut harus tetap dijalani oleh individu tersebut untuk dapat
merasa aman dalam menjalani kehidupannya. Resiliensi sebuah
kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap individu, agar mampu
menghadapi permasalahannya dan untuk menghindari keadaan yang dapat
merugikan dirinya dari setiap akibat permasalahan tersebut. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara mengubah cara pandang individu untuk tetap
berpikir positif, dan fokus untuk selalu berupaya menambah kemampuan
diri agar mampu mengontrol kehidupannya. Sehingga, individu bisa tetap
percaya diri, bahagia dan termotivasi walaupun dalam berbagai tekanan
dalam kehidupan.
b. Steering through
Walaupun kehidupan terlihat bahagia, kehidupan yang bercukupan,
kasih sayang yang penuh dan banyak dukungan dari lingkungan. Resiliensi
tetap diperlukan oleh setiap individu, karena semua individu akan
menghadapi permasalahan dalam kehidupannya. Individu yang memiliki
17
resiliensi tidak akan bergantung dengan orang lain untuk menghadapi
permasalahannya, tetapi akan menggunakan sumber daya dalam dirinya
tanpa memandang negatif mengenai keadaan tersebut. Unsur penting dari
steering through adalah keyakinan akan kemampuan dirinya, yaitu untuk
berkomitmen memecahkan permasalahannya dan tidak akan menyerah
walaupun solusi yang dilakukan tidak berhasil. Sebaliknya, individu yang
tidak percaya dengan kemampuan dirinya, lebih pasif ketika dihadapkan
dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru.
c. Bouncing back
Beberapa kejadian yang bersifat menimbulkan traumatis dan stress
tinggi, membutuhkan kemampuan resiliensi yang tinggi untuk menghadapi
dan mengendalikan diri dari sebuah permasalahan. Kesulitan yang
dirasakan begitu ekstrim, menguras secara emosional, dan membutuhkan
resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri. Individu yang
resilien biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk
menyembuhkan diri yaitu, menunjukkan task-oriented coping style dimana
individu melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan
tersebut, mempunyai keyakinan kuat bahwa dapat mengontrol hasil dari
kehidupan, dan mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari
trauma serta mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain
sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang dirasakan.
18
d. Reaching out
Tidak hanya dibutuhkan untuk mengatasi pengalaman hidup yang
pahit, negatif, mengatasi stress atau pulih dari trauma. Resiliensi juga
berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan
bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan
pengalaman baru. Individu yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga
hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi;
mengetahui dengan baik dirinya sendiri; dan menemukan makna dan
tujuan dalam kehidupannya.
3. Aspek-aspek dan Karakteristik Individu yang Memiliki Resiliensi
Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang
membentuk kemampuan resiliensi pada individu, yaitu sebagai berikut :
a. Regulasi emosi
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi
yang menekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang kurang
memiliki kemampuan untuk mengatur emosi akan mengalami kesulitan dalam
membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini disebabkan oleh
berbagai macam faktor yaitu : tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu
bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap
saat. Emosi yang dirasakan oleh individu cenderung berpengaruh terhadap
orang lain. Semakin individu terasosiasi dengan kemarahannya maka akan
semakin menjadi seorang yang pemarah.
19
Tidak semua emosi yang dirasakan harus dikontrol seperti emosi marah,
sedih, gelisah dan rasa bersalah. Hal ini dikarenakan mengekspresikan emosi
yang dirasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang sehat,
bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan
bagian dari resiliensi.
Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan bahwa dua buah
keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi
emosi, yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing). Dua buah keterampilan ini
akan membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali,
menjaga fokus pikiran individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu, serta
mengurangi stres yang dialami oleh individu. Regulasi emosi merupakan
kemampuan individu mengontrol emosi-emosi yang ditimbulkan dari sebuah
tekanan, agar individu tersebut tidak bertindak karena dikendalikan oleh
emosinya, supaya individu mampu bertindak secara tepat dan rasional.
b. Pengendalian Impuls
Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan
keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri.
Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah akan
cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya sulit untuk
mengendalikan pikiran dan perilakunya. Individu yang menampilkan perilaku
mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif, hal ini akan
berdampak pada orang-orang sekitarnya, karena orang-orang yang berada
20
disekitarnya akan merasa tidak nyaman dan hal ini akan berakibat buruknya
hubungan sosial individu tersebut.
Individu yang mampu mengendalikan impuls, individu yang memiliki
pikiran yang positif sehingga dapat memberikan respon yang positif pula
terhadap permasalahannya. Reivich dan Shatte mengungkapkan hal ini dapat
dilakukan dengan mencari kebenaran mengenai apa yang dipikirkan dan
mengevaluasi manfaat dari pemecahan masalahan tersebut. Individu dapat
melakukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional terhadap dirinya,
seperti ‘apakah kesimpulan yang saya lakukan mengenai permasalahan ini
berdasarkan fakta atau hanya menebak?’, ’apakah saya sudah melihat
permasalahan secara keseluruhan?’, ’apakah manfaat dari semua ini?’, dll.
Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan
kemampuan regulasi emosi yang individu miliki.
c. Optimisme
Individu yang memiliki kemampuan resiliensi adalah individu yang
optimis, optimis merupakan kemampuan individu untuk melihat masa depan
cemerlang. Optimisme yang dimiliki oleh individu menandakan bahwa
individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi
kemalangan. Hal ini juga merefleksikan efikasi diri yang dimiliki oleh
individu, yaitu kepercayaan individu bahwa mampu menyelesaikan
permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Optimisme akan
menjadi hal yang sangat bermanfaat bagi individu bila diiringi dengan efikasi
diri, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada pada individu terus
21
didorong untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi
kondisi yang lebih baik.
Tentunya optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang realistis
(realistic optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan
yang lebih baik dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut.
Berbeda dengan unrealistic optimism dimana kepercayaan akan masa depan
yang cerah tidak bersamaan dengan usaha yang signifikan untuk
mewujudkannya. Perpaduan antara optimisme yang realistis dan efikasi diri
adalah kunci resiliensi dan kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).
d. Causal Analysis
Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk
mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang dihadapi.
Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan
yang dihadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama.
Causal analysis identifikasikan dengan gaya berpikir explanatory yang erat
kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya
berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan
saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).
Individu dengan gaya berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan
keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari individu tersebut (Saya),
hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (Selalu),
serta permasalahan yang ada akan mempengaruhi seluruh aspek hidupnya
(Semua). Sementara individu yang memiliki gaya berpikir “Bukan Saya-Tidak
22
Selalu-Tidak semua” meyakini bahwa permasalahan yang terjadi disebabkan
oleh orang lain (Bukan Saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan
untuk diubah (Tidak Selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan
mempengaruhi sebagian besar hidupnya (Tidak semua).
Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep
resiliensi, individu yang terfokus pada “Selalu-Semua” tidak mampu melihat
jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi. Sebaliknya individu yang
cenderung menggunakan gaya berpikir “Tidak selalu-Tidak semua” dapat
merumuskan solusi dan tindakan yang akan dilakukan untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada.
Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibellitas
kognitif. Individu mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang
menyebabkan kemalangan yang menimpanya, tanpa terjebak pada salah satu
gaya berpikir explanatory. Individu tidak mengabaikan faktor permanen
maupun pervasif. Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain
atas kesalahan yang perbuatnya demi menjaga self-esteem atau
membebaskannya dari rasa bersalah. Individu tidak terlalu terfokus pada
faktor-faktor yang berada di luar kendalinya, sebaliknya memfokuskan dan
memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mulai mengatasi
permasalahannya yang ada, mengarahkan hidupnya, bangkit dan meraih
kesuksesan.
23
e. Empati
Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk
membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain,
kemampuan empati adalah mampu dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa
nonverbal yang ditunjukkan serta mampu menangkap apa yang dipikirkan dan
dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan
berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif.
Ketidakmampuan untuk berempati berpotensi menimbulkan kesulitan
dalam hubungan sosial, individu yang tidak membangun kemampuan untuk
peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut tidak mampu untuk
menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan
orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan
individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat
merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal,
hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai.
Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang
dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua
keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002).
f. Efikasi Diri
Efikasi diri adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Efikasi
diri merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa individu mampu
memecahkan masalah yang dialami dan mencapai kesuksesan. Efikasi diri
merupakan hal yang sangat penting untuk mencapi resiliensi.
24
g. Reaching out
Individu yang mampu melakukan reaching out adalah individu yang
tidak menghidari kegagalan, melainkan yang berani untuk menghadapinya.
Individu yang reaching out tidak hanya menjalani kehidupan yang standar
tetapi, berani untuk menerima kegagalan kehidupan dan hinaan orang lain
untuk mengapai kesuksesannya. Individu yang tidak memiliki kemampuan
reaching out cenderung untuk melebih-lebihkan (overestimate) dalam
memandang kemungkinan hal-hal yang buruk yang akan terjadi di masa datang
sehingga terjadi kegagalan dalam mengoptimalkan kemampuan remaja.
Menurut Wolin dan Wolin (1999), terdapat tujuh karateristik utama
yang dimiliki oleh individu resilien. Karateristik inilah yang membuat individu
mampu beradaptasi dengan baik saat menghadapi masalah, mengatasi berbagai
hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal,
yaitu:
a. Insight
Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan
menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat
memahami diri sendiri dan orang lain, serta dapat menyesuaikan diri dalam
berbagai situasi.
25
b. Kemandirian
Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara
emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang.
Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara
jujur pada diri sendiri dan peduli pada orang lain.
c. Hubungan
Individu yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur,
saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, atau memiliki role model
yang sehat.
d. Inisiatif
Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas
diri sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien bersifat proaktif
bukan reaktif bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha
memperbaiki diri ataupun situasi yang diubah serta meningkatkan kemampuan
untuk menghadapi hal-hal yng tidak dapat diubah.
e. Kreativitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan,
konsekuensi dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang
resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif sebab individu mampu
mempertimbangkan konsenkuensi dari setiap perilaku dan membuat keputusan
yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk
mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur
dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan.
26
f. Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan,
menertawakan diri sendiri dan menemukan kebahagian dalam situasi apapun.
Individu yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang
tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan
g. Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk
hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi
berbagai hal dan mebuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat
orang lain. Individu dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu
orang lain membutuhkan.
4. Sumber-sumber Resiliensi
Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber yang dapat
mempengaruhi terbentuknya sebuah resiliensi pada diri individu, yaitu
sebagai berikut :
a. I Have
Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber untuk
meningkatkan resiliensi. Sebelum individu menyadari akan siapa dirinya (I
Am) atau apa yang bisa dilakukan (I Can), individu membutuhkan dukungan
eksternal dan sumber daya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan
keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu untuk mengembangkan resiliensi. I
27
Have merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi.
Sumber sumbernya adalah sebagai berikut :
1) Trusting relationships (mempercayai hubungan)
Orang tua, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang
mengasihi dan menerima individu tersebut. Individu dari segala usia
membutuhkan kasih sayang tanpa syarat dari orang tuanya dan juga kasih
sayang dan dukungan emosional dari orang dewasa lainnya sehingga kasih
sayang dan dukungan dari orang lain diharapkan dapat mengimbangi
terhadap kurangnya kasih sayang dari orang tua.
2) Struktur dan aturan di rumah
Orang tua yang memberikan rutinitas dan aturan yang jelas
kepada anak-anaknya, mengharapkan anak-anaknya dapat melakukan
rutinitas tersebut, aturan dan rutinitas tersebut meliputi tugas-tugas yang
dapat dikerjakan individu, sehingga individu dapat memahami perannya
dan akibat dari tindakannya apabila aturan yang telah dibuat dilanggar.
Jika aturan itu dilanggar, individu dibantu untuk memahami bahwa apa
yang dilakukan tersebut salah, kemudian didorong untuk memberitahu
apa yang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan dan
didamaikan layaknya orang dewasa. Orang tua tidak mencelakakan anak
dengan hukuman, dan tidak membiarkan orang lain mencelakakan anak
tersebut.
28
3) Role models
Orang tua, orang dewasa, kakak, dan teman sebaya bertindak
sebagai model perilaku yang diinginkan dan dapat diterima, baik dalam
keluarga dan orang lain. Menunjukkan bagaimana cara melakukan
sesuatu, seperti berpakaian atau menanyakan informasi dan hal ini akan
mendorong individu untuk meniru serta menjadi model moralitas dan
dapat mengenalkan aturan-aturan agama.
4) Dorongan agar menjadi otonom
Orang dewasa, terutama orang tua, mendorong remaja untuk
melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha menjadi alat
bantu yang diperlukan untuk membantu remaja menjadi otonom. Memuji
remaja ketika menunjukkan sikap inisiatif dan otonomi. Orang dewasa
sadar akan temperamen remaja, sebagaimana temperamennya sendiri,
jadi orang dewasa dapat menyesuaikan kecepatan dan tingkat
temperamen untuk mendorong remaja untuk dapat otonom.
5) Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan
keamanan.
Remaja maupun keluarga, memiliki layanan yang dapat
diandalkan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh
keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan guru, layanan
sosial, serta polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan sejenisnya.
29
b. I Am
Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri
individu. Hal ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri
individu. Ada beberapa bagian-bagian dari faktor dari I Am yaitu :
1) Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik
Remaja menyadari bahwa orang lain menyukai dan
mengasihinya. Remaja akan bersikap baik terhadap orang-orang yang
menyukai dan mencintainya sehingga remaja mampu mengatur sikap dan
perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika
berbicara dengan orang lain.
2) Mencintai, empati, dan altruistik
Remaja mampu mengasihi orang lain akan menyatakan kasih
sayang tersebut dengan banyak cara. Remaja peduli akan apa yang
terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui tindakan
dan kata-kata. Remaja merasa tidak nyaman dan menderita melihat orang
lain kesusahan dan ingin melakukan sesuatu untuk berbagi penderitaan
atau kesenangan.
3) Bangga pada diri sendiri
Remaja mengetahui dirinya adalah seseorang yang penting dan
merasa bangga pada dirinya dan mampu untuk mengejar keinginannya.
Remaja tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau
merendahkannya. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup,
30
kepercayaan diri dan self esteem membantunya untuk dapat bertahan dan
mengatasi masalah tersebut.
4) Otonomi dan tanggung jawab
Remaja yang mampu melakukan banyak aktivitas dengan sendiri
dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut merupakan remaja
yang merasa bahwa dirinya mandiri dan bertanggung jawab atas hal
tersebut. Individu yang otonom dan bertanggung jawab mengerti batasan
kontrolnya terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui kapan orang lain
turut bertanggung jawab.
5) Harapan, keyakinan, dan kepercayaan
Remaja percaya bahwa ada harapan bagi dirinya dan ada orang-
orang dan komunitas disekitarnya yang dapat dipercayainya. Remaja
meyakini suatu perasaan benar dan salah, percaya yang benar akan
menang, dan melakukan hal tersebut. Remaja mempunyai rasa percaya
diri dan keyakinan dalam moralitas dan kebaikan, serta dapat
menyatakan hal ini sebagai kepercayaan pada Tuhan atau makhluk
rohani yang lebih tinggi.
c. I Can
I can adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan
perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan
masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan
sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat
31
membutuhkannya. Ada beberapa fakor yang mempengaruhi faktor I can yaitu
:
1) Berkomunikasi
Remaja memiliki kemampuan untuk mengekspresikan pemikiran
dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengarkan apa yang
dikatakan orang lain serta merasakan perasaan orang lain.
2) Pemecahan masalah
Remaja dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya
masalah dan mengetahui bagaimana cara memecahkannya. Remaja dapat
mendiskusikan permasalahannya dengan orang lain untuk menemukan
solusi yang baik, mempunyai ketekunan untuk bertahan dengan suatu
masalah hingga masalah tersebut dapat terpecahkan.
3) Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan
Remaja dapat mengenali perasaannya, dan menyatakannya dengan
kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain
atau dirinya sendiri. Remaja juga dapat mengelola rangsangan yang
timbul dalam dirinya untuk memukul, melarikan diri, merusak barang,
berbagai tindakan yang tidak menyenangkan, melainkan remaja mencari
cara yang positif untuk mengatasi rangsangan yang timbul.
4) Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain.
Individu yang dapat memahami temperamennya sendiri yaitu
bagaimana bertingkah, berkeinginan, dan menyesuaikan perilakunya
dalam situasi tertentu diam, reflek dan berhati-hati serta memahami
32
temperamen orang lain akan mampu menyesuaikan diri dalam kondisi
apa pun serta memiliki kecepatan untuk bereaksi, dan menagani berbagai
macam kondisi.
5) Mencari hubungan yang dapat dipercaya.
Remaja dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara,
teman sebaya untuk mendapatkan pertolongan, berbagi perasaan dan
perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan
menyelesaikan masalah personal dan interpersonal.
B. Remaja
1. Pengertian Remaja
Masa remaja merupakan suatu periode transisi dalam rentang
kehidupan manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa
dewasa (Hurlock, 2012). Piaget mengungkapkan bahwa secara psikologis masa
remaja merupakan individu yang telah mampu berintergrasi dengan masyarakat
dewasa, namun usia remaja tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang
yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-
kurangnya masalah hak (Migwar, 2006).
Santrok (2007) mendefinisikan masa remaja (adolescence) sebagai
periode transisi perkembangan biologis, kognitif, dan sosio-emosional, tugas
pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa. Selanjutnya
Mighwar (2006) memaparkan secara teroritis dan empiris dari segi psikologis,
rentangan usia remaja berada dalam usia 12 tahun sampai 21 tahun, bagi
33
wanita, dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi laki-laki. Jika dibagi atas remaja
awal dan remaja akhir, remaja awal berada dalam usia 12/13 tahun sampai
17/18 tahun, dan remaja akhir dalam rentangan usia 17/18 tahun sampai 21/22
tahun.
Penelitian ini mengambil remaja akhir sebagai sumber penelitian,
perkembangan remaja akhir merupakan masa yang pertama kalinya terjadi
perkembangan fisik, kognitif, dan sosioemosi hingga suatu taraf yang
memungkinkan individu dapat menyaring dan mensitesiskan indentitas kanak-
kanak dan berindetifikasi utuk melangkah mencapai kematangan dewasa
(Hurlock, 2011). Hal ini senada dengan pendapat Mighwar (2006) yang
memaparkan bahwa remaja akhir merupakan periode yang terjadi proses
penyempurnaan pertumbuhan fisik dan perkembangan aspek-aspek psikis yang
telah dimulai sejak masa-masa sebelumnya, yang mengarah pada kematangan
yang sempurna, pada akhir masa remaja hingga dewasa awal, pertumbuhan
fisik dan perkembangan aspek-aspek psikis dan sosial terus berlangsung, secara
bertahap, selama masa remaja akhir remaja tidak dijuluki anak usia belasan
tahun, tetapi penyandang julukan laki-laki muda atau wanita muda.
Masa remaja akhir ditandai oleh keinginan yang kuat untuk tumbuh dan
berkembang secara matang agar diterima oleh teman sebaya, orang dewasa,
dan budaya serta pada periode ini remaja memperoleh kesadaran yang jelas
tentang apa yang diharapkan masyarakat dari dirinya (Yusuf, 2004).
Berdasarkan pejelasan diatas dapat disimpulkan bahwa remaja
merupakan suatu perkembangan individu dari masa kanak-kanak ke masa
34
dewasa, yang ditandai dengan perubahan-perubahan bentuk fisik, kognitif,
sosial, moral dan kemandirian dari masa kanak-kanak. Kematangan setiap
aspek perkembangan telah terjadi pada masa remaja akhir, yaitu remaja yang
berusia 18-22 tahun sehingga, remaja akhir diharapkan telah siap
mempersiapkan diri dan menjalankan perannya untuk menjadi orang dewasa.
2. Karakteristik Perkembangan Remaja Akhir
Mighwar (2006) menguraikan ciri-ciri khas pada remaja akhir sebagai
berikut:
a. Mulai stabil
Pada remaja akhir terjadi keseimbangan tubuh dan anggotanya, begitu
juga dengan kestabilannya dalam minat-minatnya, menentukan sekolah,
jabatan, pakaian, pergaulan dengan sesama atau lain jenis. Kestabilan juga
terjadi dalam sikap dan pandangan, artinya remaja relatif tetap atau mantap
tidak berubah pendirian hanya kerena dibujuk atau dihasut. Gejala ini
mengandung sisi positif dibandingkan masa-masa sebelumnya, remaja akhir
lebih dapat menyesuaikan diri dalam banyak aspek kehidupannya.
b. Lebih Realistik
Remaja menilai dirinya apa adanya, menghargai apa yang dimilikinya,
keluarganya orang-orang lain seperti keadaan yang sebenarnya. Pandangan
realitis ini sangat positif karena akan menimbulkan perasaan puas, menjauhkan
dirinya dari rasa kecewa, dan menghantarkannya pada puncak kebahagiaan.
c. Lebih matang menghadapi masalah
35
Kemantangan remaja ditunjukkan dengan usaha pemecahan masalah-
masalah yang dihadapi, baik dengan cara sendiri maupun dengan diskusi
bersama teman-teman sebaya. Langkah-langkah pemecahan masalah itu
mengarahkan remaja akhir pada tingkah laku yang lebih dapat menyesuaikan
diri dalam situasi perasaan diri dan lingkungan sekitar. Kemampuan berpikir
remaja akhir yang lebih sempurna dan pandangan yang lebih realistis itulah
yang menjadikan remaja akhir mampu memecahkan berbagai masalah secara
lebih matang dan realistik, sehingga tidak heran bila remaja merasa tenang.
d. Lebih tenang perasaannya
Remaja akhir jarang memperlihatkan kemarahan, kesedihan dan kecewa,
sebagaimana terjadi dimasa remaja awal hal dikarenakan remaja akhir telah
memiliki kemampuan berpikir dan kemampuan menguasai segala perasaannya
dalam menghadapi berbagai kekecewaan atau hal-hal lain yang mengakibatkan
kemarahan. Remaja juga telah berpandangan realistis dalam menentukan sikap,
minat, cita-cita sehingga adanya berbagai kegagalan disikapi dengan tenang.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Pada Remaja
Yusuf (2004) menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan pada individu, yaitu sebagai berikut:
a. Hereditas (keturunan/pembawaan)
Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan
individu. Dalam hal ini hereditas diartikan sebagai “totalitas karateristik
individu yang diwariskan orangtua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik
36
maupun psikis yang dimiliki individu sejak masa konsepsi (pembuahan ovum
oleh sperma) sebagai warisan dari pihak orang tua melalui gen-gen”.
b. Lingkungan Perkembangan
1) Keluarga
Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya
mengembangkan pribadi remaja. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang
dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial
budaya yang diberikan merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan
remaja menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Melalui dan
perlakuan yang baik dari orang tua, remaja dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya, baik fisik-biologis maupun sosiologisnya. Apabila remaja telah
memperoleh rasa aman, penerimaan sosial dan harga dirinya, maka remaja
dapat memenuhi kebutuhan tertingginya, yaitu perwujudan diri (Self-
actualization).
Covey (dalam yusuf, 2004), mengajukan empat prinsip peranan
keluarga untuk mengembangankan dan menanamkan kebiasaan keluarga yang
efektif, yaitu:
a) Modelling (Example of trustworthiness). Orangtua adalah contoh atau
model bagi remaja, melalui modelling ini remaja akan belajar tentang
sikap proaktif, dan sikap respek serta kasih sayang.
b) Mentoring, yaitu kemampuan untuk menjalin atau membangun
hubungan, investasi emosional (kasih sayang kepada orang lain) atau
pemberian perlindungan kepada orang lain secara mendalam, jujur,
37
pribadi dan tidak bersyarat. Kedalaman dan kejujuran atau keihklasan
memberikan perlindungan akan mendorong orang lain untuk bersikap
terbuka dan mau menerima pengajaran.
c) Organizing, yaitu keluarga seperti perusahaan yang memerlukan tim
kerja dan kerja sama antar anggota dalam menyelesaikan tugas-tugas
atau memenuhi kebutuhan keluarga.
d) Teaching, orang tua berperan sebagai guru (pengajar) bagi anak-anaknya
(anggota keluarga) tentang hukum-hukum dasar kehidupan. Melalui
pengajaran ini, orangtua berusaha memperdayakan (empowering)
prinsip-prinsip kehidupan, sehingga remaja memhami dan
melaksanakannya.
2) Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis
melaksanakan program bimbungan, pengajaran, dan latihan dalam rangka
membantu remaja agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang
menyangkut aspek moral-spritual, intelektual, emosional, maupun sosial.
3) Kelompok Teman sebaya
Peranan kelompok teman sebaya bagi remaja adalah memberi
kesempatan untuk belajar tentang: (1) bagaimana berinteraksi dengan orang
lain, (2) mengontrol tingkah laku sosial, (3) mengembangkan ketrampilan, dan
minat yang relevan dengan usianya, dan (4) saling bertukar perasaan dan
masalah.
38
4. Tugas Perkembangan Remaja
Fudyartanta (2012) memaparkan mengenai tugas perkembangan remaja
adalah : a) Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya
dari dua jenis kelamin, b) Menjalankan peran sebagai pria dan wanita, c)
Menerima perubahan fisik dan menggunakannya secara efektif, d) Mencapai
kemandirian secara emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya e)
Menyiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga, f) Menyiapkan diri
untuk karier ekonomi, g) Menunjukkan minat terhadap masalah-masalah
filosofis dan religious, h) Mencapai dan diharapkan untuk memiliki tingkah
laku sosial secara bertanggung jawab, i) Mengetahui siapa diri sendiri dan
yang diinginkan, j) Menjalin komunikasi dengan orang tua, k) Kemampuan
Mengekspresikan rasa senang dan susah serta rasa tidak suka terhadap lawan
jenis, l) Mampu melakukan cara mengatur diri sendiri.
C. Broken Home
1. Pengertian Keluarga Broken Home
Menurut Chaplin (2005), broken home menggambarkan keluarga yang
tidak utuh, tanpa kehadiran salah satu dari kedua orangtua yang disebabkan
karena meninggal, perceraian atau meninggalkan keluarga. Hal ini senada
dengan pendapat Wilis (2013) mengungkapkan bahwa broken home dapat
dilihat dari dua aspek yaitu: (1) Keluarga itu terpecah karena strukturnya tidak
utuh sebab salah satu dari kepala keluarga itu meninggal atau telah bercerai; (2)
Orang tua tidak bercerai akan tetapi struktur keluarga itu tidak utuh lagi karena
39
ayah atau ibu sering tidak dirumah, dan/atau tidak memperlihatkan hubungan
kasih sayang lagi, misalnya orang tua sering bertengkar sehingga keluarga itu
tidak sehat secara psikologis.
Wilis (2013) memberi penjelasan mengenai faktor-faktor yang
menyebakan terjadinya krisis keluarga (broken home), yaitu :
a. Kurangnya atau putus komunikasi di antara anggota keluarga terutama
ayah dan ibu
Kurangnya komunikasi antara keluarga sering dituding yaitu faktor
kesibukan sebagai penyebab, dalam keluarga sibuk, dimana ayah dan ibu
keduanya bekerja dari pagi hingga sore hari. Kedua orang tua pulang hampir
malam karena jalanan macet, lalu orang tua merasa lelah, tiba dirumah mata
sudah mulai mengantuk dan tertidur. Hal ini tentu membuat orang tua tidak
memiliki waktu untuk berdiskusi dengan anak-anaknya sehingga lama
kelamaan anak-anak menjadi remaja yang tidak terurus secara psikologis.
b. Sikap egosentrisme
Sikap egosentrisme masing-masing suami-isteri merupakan salah satu
penyebab terjadinya konflik rumah tangga yang berujung pada pertengkaran
terus menerus. Egoisme adalah suatu sifat manusia yang mementingkan dirinya
sendiri, akibat sifat egoisme atau egosentrisme ini adalah sering membuat
orang lain tersinggung dan tidak mau mengikutinya. Sifat egosime orang tua
akan berdampak terhadap anak, yakni timbulnya sikap membandel, sulit
disuruh, dan suka bertengkar dengan saudaranya.
40
c. Masalah Ekonomi
Dalam permasalahan ekonomi ada dua jenis penyebab krisis keluarga,
yaitu:
1) Kemiskinan
Kemiskinan berdampak terhadap kehidupan keluarga, apabila kehidupan
emosional suami isteri tidak dewasa, maka akan timbul pertengkaran.
2) Gaya hidup
Tidak semua suami atau isteri yang menyukai kehidupan yang glamour,
disinilah awal pertentangan suami isteri, yaitu soal gaya hidup. Jika isteri yang
mengikuti gaya dunia, sedangkan suami ingin biasa saja, maka pertengkaran
dan krisis akan terjadi. Mungkin suami berselingkuh sebagai balas dendam
terhadap isterinya yang sulit diatur.
d. Masalah kesibukan
Kesibukan, adalah satu kata yang telah melekat pada masyarakat modern
di kota-kota. Kesibukannya terfokus pada pencarian materi harta dan uang.
Kesibukan orang tua dalam urusan ekonomi sudah menjadi kenyataan yang
tidak dapat dipungkiri, akan tetapi keluarga yang mengejar kebahagian materi
merupakan hal yang wajar, akan tetapi apabila tidak mampu, jangan stress,
jangan bertengkar, dan jangan bercerai.
e. Masalah Pendidikan
Masalah pendidikan sering merupakan penyebab terjadinya krisis di
dalam keluarga. Jika pendidikan suami isteri lebih tinggi, maka wawasan
tentang kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka. Sebaliknya pada
41
suami isteri yang pendidikannya rendah sering tidak memahami liku-liku
keluarga, karenanya sering saling menyalahkan bila terjadi persoalan di
keluarga. Hal ini akan berakibat terjadinya pertengkaran yang mungkin terjadi
perceraian.
f. Masalah perselingkuhan
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya perselingkuhan : Pertama,
hubungan suami isteri yang sudah hilang kemesraan dan cinta kasih. Hal ini
berhubungan dengan ketidakpuasan seks, isteri kurang berdandan kecuali ada
undangan atau pesta, cemburu baik secara pribadi maupun hasutan pihak
ketiga; Kedua, tekanan pihak ketiga seperti mertua dan lain-lain (anggota
keluarga lain) dalam hal ekonomi; dan ketiga, adanya kesibukkan masing-
masing sehingga kehidupan kantor lebih nyaman dari pada kehidupan keluarga.
g. Jauh dari Agama
Keluarga yang jauh dari agama dan mengutamakan materi dan dunia
semata akan menimbulkan kehancuran keluarga. Hal ini dikarenakan keluarga
tersebut akan lahir anak-anak yang tidak taat pada Tuhan dan kedua orang
tuanya.
2. Dampak Keluarga Broken Home bagi Remaja
Pada masa perkembangan remaja yang sulit, remaja membutuhkan
peran keluarga sebagai orang-orang yang membimbingnya untuk mengambil
keputusan yang masuk akal, keluarga berperan membimbing remaja untuk
mengambil keputusan di bidang-bidang dimana pengetahuan remaja masih
42
terbatas (Santrock, 2013). Khususnya pada remaja akhir bahwa merupakan
keadaan yang telah mampu mengendalikan emosinya dari pada remaja awal,
dari segi identitas remaja akhir telah mampu memahami dan mengarahkan diri
untuk mengembangkan dan memelihara indentitas dirinya, dari segi
keagamaan remaja akhir juga telah dapat membedakan agama sebagai ajaran
dengan manusia sebagai penganutnya, remaja telah mengenal tentang nilai-
nilai moral atau konsep-konsep moralitas, dan dari segi kognitif telah terjadi
reogranisasi lingkaran syaraf lobe frontal yang berfungsi sebagai kegiatan
kognitif tingkat tinggi, yaitu kemampuan merumuskan perencanaan strategis,
atau mengambil keputusan, akan tetapi remaja tidaklah lepas dari pengaruh
keluarganya (Yusuf, 2004).
Untuk mencapai kematangan tersebut remaja memerlukan bimbingan
karena remaja masih kurang memiliki pemahaman dan wawasan tentang
dirinya dan lingkungannya juga pengalaman dalam menentukan arah
kehidupan, proses perkembangan remaja tidak selalu berlangsung secara mulus
dan bebas dari masalah, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya
adalah keluarga broken home (Yusuf, 2004).
Hal ini dijelaskan dengan pendapat Yusuf (2004) iklim lingkungan yang
tidak sehat yaitu keadaan keluarga yang broken home cenderung memberikan
dampak yang kurang baik bagi perkembangan remaja dan remaja cenderung
akan mengalami kehidupan yang tidak nyaman, stress atau depresi. Dalam
kondisi ini, banyak remaja yang merespon dengan sikap dan perilaku yang
43
kurang wajar serta amoral, seperti kriminalitas, meminum minuman keras,
penyalahgunaan obat terlarang, dan tawuran (Yusuf, 2004).
Yusuf (2004) memaparkan bahwa keluarga yang tidak dapat menerapkan
atau melaksanakan fungsi-fungsi keluarga, akan merusak kekokohan konstelasi
keluarga (khususnya terhadap perkembangan kepribadian anak), remaja yang
memiliki orang tua broken home, akan mengalami kebingungan dalam
mengambil keputusan, apakah akan mengikuti ayah atau ibu; remaja cenderung
mengalami frustasi karena kebutuhan dasarnya, seperti perasaan ingin
disayangi, dilindungi rasa amannya, dan dihargai telah tereduksi bersamaan
dengan peristiwa (broken home) orangtuanya. Keadaan keluarga yang broken
home menyebabkan perkembangan kepribadiannya remaja maka cenderung
akan mengalami distorsi atau mengalami kelainan dalam penyesuaian dirinya
(maladjustment) (Yusuf, 2004).
Hal tersebut diuraikan oleh Mighwar (2006) bahwa dalam keluarga
broken home, remaja cenderung mengalami banyak masalah emosional, moral,
medis dan sosial. Misalnya, remaja yang ditinggal orang tua yang meninggal
dunia dan orang tua yang bercerai, umumnya suka murung, mudah marah dan
tersinggung, kurang peka pada tuntutan sosial, dan kurang mampu mengontrol
dirinya. Mighwar juga mengungkapkan bahwa suasana rumah tangga yang
penuh konflik akan berpengaruh negatif terhadap kepribadian dan kebahagiaan
remaja, yang pada akhirnya remaja melampiaskan perasaan jiwanya dalam
berbagai pergaulan dan perilaku yang menyimpang.
44
Hal ini didukung dengan pendapat Yusuf (2004) bahwa karakteristik
kepribadian yang tidak sehat pada remaja yang hidup dalam lingkungan yang
tidak kondusif atau keluarga yang tidak berfungsi (dysfunction family) yang
bercirikan “broken home”, hubungan antar anggota keluarga kurang harmonis,
kurang memperhatikan nilai-nilai agama dan orangtua bersikap keras atau
kurang memberikan curahan kasih sayang kepada anak, yaitu : (a) Mudah
marah (tersinggung), (b) menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan, (c)
Sering tertekan (stress atau depresi), (d) Bersikap kejam atau senang
menganggu orang lain yang usianya lebih muda atau terhadap binatang
(hewan), (e) Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang
meskipun sudah diperingati atau dihukum, (f) mempunyai kebiasaan
berbohong, (g) Hiperaktif, (h) Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas, (i)
senang mengkritik/mencemooh orang lain, (j) Sulit tidur, (k) Kurang memiliki
rasa tanggung jawab, (i) Sering mengalami pusing kepala (meskipun
penyebabnya bukan bersifat organis), (m) kurang memiliki kesadaran untuk
menaati ajaran agama, (n) bersikap pesimis dalam menghadapi kehidupan, (o)
kurang bergairah (bermuram durja) dalam menjalani hidup.
Berdasarkan pemamparan di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga
broken home cenderung memberi dampak negatif pada perkembangan remaja,
remaja merasa kehilangan figur orang tua secara utuh, fungsional dan
harmonis, yang seharusnya orang tua dapat membantunya melaksanakan
perkembangannya secara efektif, tetapi figur tersebut tidak dapat berjalan
sesuai harapan dan optimal karena keadaan keluarga yang broken home
45
sehingga remaja mencari tempat yang ada diluar keluarga yang berpontesi
membuat remaja melakukan hal-hal yang meyimpang karena kurangnya
pengawasan dari keluarga.
D. Dinamika Resiliensi Pada Remaja dengan Keluarga Broken Home
Keluarga broken home merupakan sebuah permasalahan yang berat
bagi setiap individu yang menjalaninya, ketidakharmonis dalam sebuah
keluarga tentu akan memberi pengaruh kepada setiap anggotanya yang terlibat
dalam keluarga tersebut, akan tetapi kesulitan tersebut harus dijalani oleh
remaja, sebab setiap individu yang hidup tidaklah lepas dari permasalahan.
Setiap individu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak
ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah atau pun kesulitan,
resiliensi berperan sebagai memampukan individu untuk menilai, mengatasi,
dan meningkatkan diri atau mengubah dirinya dari keterpurukan atau
kesengsaraan dalam hidup (Grotberg, 1999). Resiliensi merupakan sebuah
kemampuan bagi individu untuk merespon setiap permasalahan dengan cara
yang sehat dan cara yang produktif, sehingga individu mampu meningkatkan
untuk mencari pengalaman baru dan memandang sebuah kehidupan sebagai
proses yang meningkatkan kemampuan individu (Reivich dan Shatte, 2002).
Resiliensi sangat diperlukan oleh setiap individu, karena kehidupan
setiap individu tidaklah lepas dari sebuah permasalahan, demikian juga dengan
remaja yang memiliki keluarga broken home diharapkan memiliki kemampuan
resiliensi. Karena resiliensi tidak sekedar sebuah kemampuan untuk bertahan
46
dalam sebuah kemalangan tetapi individu juga mampu memaknai secara positif
dari setiap permsalahan yang dihadapinya.
Reivich dan Shatte (2002) memaparkan bahwa untuk menjadi individu
yang resiliens, individu harus memililki tujuh aspek resiliensi. Demikian juga
dengan remaja dengan keluarga broken home, untuk dapat dikatakan remaja
yang resiliens, memiliki 7 (tujuh) kemampuan resiliensi. Pertama yaitu regulasi
emosi, remaja yang memiliki regulasi emosi akan dapat mengontrol emosi
yang kurang menyenangkan sehingga remaja dapat bertindak secara rasional
dan menghindar perilaku yang tidak sehat. Regulasi emosi membantu remaja
untuk beradaptasi dengan keadaan lingkungannya dengan baik sehingga remaja
dapat mengekspresikan emosinya secara tepat sehingga diri remaja tetap dalam
keadaan yang sehat dan produktif dalam melakukan setiap aktivitasnya dalam
pendidikan, sosial dengan masyarakat, serta dalam menjalani hubungan dengan
orang tua dan saudara-saudaranya.
Kedua, remaja dengan keluarga broken home untuk menjadi resiliens
mampu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan
yang muncul dalam dirinya (impuls control). Emosi yang timbul dalam diri
remaja akibat keadaan keluarga broken home dapat menimbulkan sebuah
keinginan dan dorongan untuk melakukan sesuatu yang dapat memenuhi emosi
untuk menghidari perasaaan cemas dan tidak tenang. Misalnya perasaan marah
menimbulkan keinginan untuk merusak barang-barang, memukul, menghina,
dan melakukan hal yang dapat meredakan perasaan marah tersebut. Tetapi
remaja yang resiliens dapat mengontrol keinginan-keinginan, dorongan dan
47
kesukaan yang ada dalam dirinya, remaja yang resiliens mencoba mencari
kebenaran, kesimpulan dan belajar berpikir positif sehingga remaja berprilaku
dengan tepat yang tidak merugikan dirinya dan orang lain.
Ketiga, optimis merupakan kemampuan individu memandang masa
depannya cemerlang. Remaja tidak mengalah dengan keadaan keluarganya
tidak harmonis dengan diam, meratapi nasib, melakukan hal-hal yang
menyimpang yang dapat merusak masa depan. Melainkan remaja yang terus
berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dengan belajar dengan giat di
perkuliahan, aktif di kegiatan organisasi, tidak takut dengan kegagalan,
memiliki harapan dan cita-cita yang baik mengenai masa depannya yang
disertai usahanya dalam mencapainya. Remaja memiliki harapan bahwa
permasalahan yang dihadapi keluarganya sebuah motivasi bagi dirinya untuk
lebih berusaha lagi dari pada remaja yang memiliki keluarga harmonis dalam
berusaha menjadi sukses.
Keempat, kemampuan analisis masalah yaitu remaja yang resiliens
mampu mengindetifikasi secara akurat penyebab permasalahan yang mereka
hadapi agar mampu bertindak secara tepat. Remaja tidak menyalahkan orang
tua, orang lain mengenai permasalahan yang dihadapinya atau fokus kepada
kemalangan yang menimpanya. Melainkan remaja yang resilien adalah
individu yang memegang kendali mengenai masalahanya sehingga
permasalahan yang dihadapi tidak menjadi semakin buruk dengan pemikiran
yang fokus memikirkan besarnya sebuah masalah yang dihadapi tetapi remaja
48
fokus terhadap pemecahan masalah sehingga mereka bisa bangkit dan meraih
kesuksesan.
Kelima, empati yaitu kemampuan yang dimiliki remaja untuk bisa
merasakan dan membaca kondisi emosional orang lain. Kemampuan empati
sangat diperlukan oleh remaja dengan keluarga broken home agar hubungan
sosial remaja terjalin dengan positif. Hubungan sosial yang positif akan
membuat remaja merasa dirinya tidak sendirian dalam menjalani
permasalahannya, selain itu kemampuan empati juga akan menimbulkan
sebuah kebahagiaan bagi remaja karena telah bisa bermanfaat bagi orang lain.
Remaja yang memiliki empati tidak akan sulit untuk mendapatkan teman,
sehingga remaja mendapat dukungan dari orang terdekatnya, remaja memiliki
tempat berbagi atau sharing mengenai permasalahannya, sehingga remaja tidak
mengalami stress atau frustasi yang berlebihan yang akan berdampak negatif
bagi diri remaja.
Keenam, efikasi diri sangat diperlukan untuk remaja menyakini
kemampuannya untuk memecahakan masalah dan mengapai sebuah
kesuksesan. Dengan efikasi diri remaja tidak bergantung dengan orang lain
untuk bisa bangkit dari permasalahannya, melainkan remaja memotivasi
dirinya untuk bisa mencari solusi dengan secara sehat. Remaja dengan
kemampuan resilien tidak harus menunggu keluarganya pulih sesuai dengan
harapannya untuk bisa sukses, melainkan dengan keadaan keluarga yang tidak
harmonis remaja tetap yakin bahwa dirinya bisa sukses seperti orang lain
karena remaja yakin bahwa kesuksesan berasal dari kegigihan dalam berusaha.
49
Remaja yang resiliens tidak hanya memiliki sebuah harapan, tetapi sebuah
harapan yang diseimbangi dengan usahanya. Remaja yang resiliens tidak
mudah menyerah dan pesimis dengan kegagalan yang dialaminya, melainkan
remaja mencoba terus dan semakin keras usahanya untuk mencapai
harapannya.
Selanjutnya adalah remaja resilien adalah mereka yang bisa memaknai
secara positif mengenai permasalahan yang menimpanya. Remaja tidak
menyesali atau menyalahkan orang lain mengenai keadaan yang terjadi pada
dirinya. Melainkan remaja lebih gigih dalam mecapai kesuksesan dari pada
remaja yang memiliki keluarga yang harmonis, remaja sadar bahwa keadaan
keluarga yang broken home seharusnya tidak membuatnya lebih terpuruk
dengan melakukan hal-hal yang negatif, melainkan memicu dirinya harus lebih
berusaha keras lagi dari pada sebelumnya. Keadaan keluarga broken home
membuat remaja menjadi matang dari pada remaja yang sesusia dirinya.
Sehingga apa yang terjadi dengan dirinya remaja juga bisa menjadi
pembelajaran bagi orang lain yang memiliki nasib yang sama dengan dirinya.
Sumber-sumber peningkatan resiliensi pada remaja broken home ada
tiga menurut Gortberg (1999) yaitu : I Have, I Am dan I Can. Adapun
pentingnya resiliensi bagi kehidupan remaja adalah berfungsi sebagai :
Reaching out, yaitu remaja mengambil makna dari setiap permasalahan yang
terjadi dalam dirinya. Overcoming yaitu remaja belajar mengubah cara
pandangnya mengenai permasalahn dan menambah kemampuan sehingga
mampu mengontrol kehidupannya. Steering Through, yaitu mereka keyakinan
50
akan kemampuan dirinya agar remaja tidak menyerah apabila terjadi
kegagalan. Boucing back, yaitu remaja tidak butuh waktu lama untuk kembali
pulih ke keadaan yang normal, mereka terus merasa sehat, kuat, dan
bersemangat menjalani kehidupan walaupun ditimpa kemalangan.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa permasalahan
yang dihadapi remaja yaitu keluarga broken home dapat diatasi dengan baik
tanpa melakukan perilaku yang tidak sehat yang akan berdampak negatif bagi
diri remaja dan orang lain, selagi remaja mampu mengembangkan kemampuan
resiliensi dalam dirinya. Dengan memiliki kemampuan resiliensi, remaja
dengan keluarga broken home akan menjadi individu yang lebih matang karena
remaja telah memiliki pengalaman untuk mengatasi sebuah permasalahan..
Kemampuan resiliensi yang harus dimiliki remaja untuk dapat dikatakan
menjadi individu yang resilien meliputi : Regulasi emosi, Pengendalian Impuls,
optimis, empati, kemampaun menganalisis masalah, efikasi diri dan
peningkatan aspek positif serta dengan sumber-sumber resilinsi I Have, I Am,
dan I can.
E. Pertanyaan Penelitan
a) Central Question
Bagaimana gambaran dinamika resiliensi pada remaja yang memiliki
keluarga Broken Home ?
51
Issue Sub Question
1) Regulasi Emosi
Bagaimana gambaran regulasi emosi remaja dalam menghadapi
permasalahan keluarga broken home?
2) Pengendalian Impuls
Bagaimana gambaran pengendalian impuls pada remaja dalam
menghadapi keluarga broken home?
3) Optimisme
Bagaimana pandangan remaja mengenai masa depannya sejak memiliki
keluarga broken home?
4) Kemampuan Analisis Masalah
Bagaimana gambaran kemampuan analisis masalah pada remaja ketika
menghadapi permasalahan keluarga broken home ?
5) Empati
Bagaimana gambaran kemampuan empati remaja pada sesama anggota
keluarga sejak mengalami keluarga broken home ?
6) Efikasi diri
Bagaimana kemampuan efikasi diri pada remaja dalam menghadapi
permasalahan keluarga broken home ?
7) Peningkatan Aspek Positif
Apa saja hikmah dan pelajaran yang remaja peroleh dari permasalahan
keluarga broken home yang dialaminya ?
52
b) Topical question
1) I’Am
Kekuatan apa saja yang ada dalam diri remaja semenjak mengalami
keluarga broken home ?
2) I Have
Bagaimana dukungan dari lingkungan yang diperoleh remaja ketika
menghadapi permasalahan keluarga broken home ?
3) I Can
Bagaimana cara remaja dalam mengatasi permasalahan keluarga broken
home yang dialaminya ?