bab ii tinjauan pustaka a. resiliensi 1. pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. bab...

39
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian Resiliensi Kata resiliensi berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa inggris bermakna to jump (or bounce) back, artinya melompat atau melenting kembali (Resiliency Center, 2004). Menurut VanBreda (2013) resiliensi merupakan sebuah kekuatan dan sebuah sistem yang memungkinkan individu untuk terus kuat berada di sebuah keterpurukan. Resiliensi merupakan sebuah kapasitas bagi individu untuk bangun lagi dari kejatuhan serta bangkit kembali dari kesulitan (Setyoso, 2013). Walsh (Lestari, 2016) memaparkan bahwa resiliensi sebuah kemampuan individu untuk bangkit dari penderitaan, dengan keadaan tersebut mental akan menjadi lebih kuat dan lebih memiliki sumber daya. Resiliensi lebih dari sekedar kemampuan untuk bertahan (survive), karena resiliensi membuat individu untuk bisa sembuh dari luka menyakitkan, mengendalikan kehidupannya dan melanjutkan hidupnya dengan penuh cinta dan kasih sayang (Lestari, 2016). Individu yang memiliki resiliensi akan mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma, terlihat kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif, serta mampu beradaptasi terhadap stres yang ekstrim dan kesengsaraan (Holaday, dalam Widuri 2012). Individu yang resiliens akan mampu menanggulangi kesulitan

Upload: duongxuyen

Post on 12-Aug-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. RESILIENSI

1. Pengertian Resiliensi

Kata resiliensi berasal dari bahasa latin yang dalam bahasa inggris

bermakna to jump (or bounce) back, artinya melompat atau melenting

kembali (Resiliency Center, 2004). Menurut VanBreda (2013) resiliensi

merupakan sebuah kekuatan dan sebuah sistem yang memungkinkan individu

untuk terus kuat berada di sebuah keterpurukan. Resiliensi merupakan sebuah

kapasitas bagi individu untuk bangun lagi dari kejatuhan serta bangkit

kembali dari kesulitan (Setyoso, 2013).

Walsh (Lestari, 2016) memaparkan bahwa resiliensi sebuah

kemampuan individu untuk bangkit dari penderitaan, dengan keadaan

tersebut mental akan menjadi lebih kuat dan lebih memiliki sumber daya.

Resiliensi lebih dari sekedar kemampuan untuk bertahan (survive), karena

resiliensi membuat individu untuk bisa sembuh dari luka menyakitkan,

mengendalikan kehidupannya dan melanjutkan hidupnya dengan penuh cinta

dan kasih sayang (Lestari, 2016). Individu yang memiliki resiliensi akan

mampu untuk secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma, terlihat

kebal dari berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif, serta mampu

beradaptasi terhadap stres yang ekstrim dan kesengsaraan (Holaday, dalam

Widuri 2012). Individu yang resiliens akan mampu menanggulangi kesulitan

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

15

hidup serta membangun kembali kehidupannya, dalam hal ini yaitu individu

mentransformasi permasalahannya secara positif, dengan adanya resiliensi

akan membantu individu untuk terbantu mengatasi kesulitannya (Winarsih

dalam Ekasari, 2013).

Reivich dan Shatte (2002) memamparkan bahwa resiliensi merupakan

kemampuan individu untuk beradaptasi terhadap situasi-situasi yang sulit,

individu dapat dikatakan memiliki resiliensi jika individu mampu untuk

secara cepat kembali kepada kondisi sebelum trauma dan terlihat kebal dari

berbagai peristiwa-peristiwa kehidupan yang negatif serta individu yang

resiliens adalah individu yang merespon setiap permasalahan dengan cara

yang sehat dan cara produktif, yaitu menjaga dirinya untuk tetap sehat dan

tidak melukai dirinya serta orang lain, dalam kemampuan resiliensi ini hal

yang terutama adalah mengelola stress secara baik (Reivich & Shatte, 2002).

Berdasarkan beberapa teori dan penjelasan resiliensi di atas, dapat

disimpulkan bahwa inti dari resiliensi adalah kemampuan individu untuk

bangkit, kuat serta mampu untuk mengelola diri dalam menghadapi

permasalahan dalam hidup sehingga dengan menghadapi permasalahan

individu menjadi pribadi yang lebih baik. Individu dapat dikatakan resiliens

apabila cepat pulih kembali kepada kondisi sebelum terjadi sebuah

permasalahan serta dalam menghadapi permasalahan individu meresponnya

dengan cara sehat.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

16

2. Fungsi Resiliensi

Berdasarkan hasil penelitian di dalam buku Reivich dan Shatte,

(2002) The resiliensce factor, kemampuan resiliensi dapat difungsikan

oleh individu sebagai hal-hal berikut :

a. Overcoming

Setiap individu tidak terlepas dari permasalahan dalam

kehidupannya, dan permasalahan tersebut terkadang sulit untuk dihindari.

Permasalahan yang hadir dalam kehidupan terkadang sulit diterima akan

tetapi hal tersebut harus tetap dijalani oleh individu tersebut untuk dapat

merasa aman dalam menjalani kehidupannya. Resiliensi sebuah

kemampuan yang harus dimiliki oleh setiap individu, agar mampu

menghadapi permasalahannya dan untuk menghindari keadaan yang dapat

merugikan dirinya dari setiap akibat permasalahan tersebut. Hal ini dapat

dilakukan dengan cara mengubah cara pandang individu untuk tetap

berpikir positif, dan fokus untuk selalu berupaya menambah kemampuan

diri agar mampu mengontrol kehidupannya. Sehingga, individu bisa tetap

percaya diri, bahagia dan termotivasi walaupun dalam berbagai tekanan

dalam kehidupan.

b. Steering through

Walaupun kehidupan terlihat bahagia, kehidupan yang bercukupan,

kasih sayang yang penuh dan banyak dukungan dari lingkungan. Resiliensi

tetap diperlukan oleh setiap individu, karena semua individu akan

menghadapi permasalahan dalam kehidupannya. Individu yang memiliki

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

17

resiliensi tidak akan bergantung dengan orang lain untuk menghadapi

permasalahannya, tetapi akan menggunakan sumber daya dalam dirinya

tanpa memandang negatif mengenai keadaan tersebut. Unsur penting dari

steering through adalah keyakinan akan kemampuan dirinya, yaitu untuk

berkomitmen memecahkan permasalahannya dan tidak akan menyerah

walaupun solusi yang dilakukan tidak berhasil. Sebaliknya, individu yang

tidak percaya dengan kemampuan dirinya, lebih pasif ketika dihadapkan

dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru.

c. Bouncing back

Beberapa kejadian yang bersifat menimbulkan traumatis dan stress

tinggi, membutuhkan kemampuan resiliensi yang tinggi untuk menghadapi

dan mengendalikan diri dari sebuah permasalahan. Kesulitan yang

dirasakan begitu ekstrim, menguras secara emosional, dan membutuhkan

resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri. Individu yang

resilien biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk

menyembuhkan diri yaitu, menunjukkan task-oriented coping style dimana

individu melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan

tersebut, mempunyai keyakinan kuat bahwa dapat mengontrol hasil dari

kehidupan, dan mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari

trauma serta mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain

sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang dirasakan.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

18

d. Reaching out

Tidak hanya dibutuhkan untuk mengatasi pengalaman hidup yang

pahit, negatif, mengatasi stress atau pulih dari trauma. Resiliensi juga

berguna untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih kaya dan

bermakna serta berkomitmen dalam mengejar pembelajaran dan

pengalaman baru. Individu yang berkarakteristik seperti ini melakukan tiga

hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang terjadi;

mengetahui dengan baik dirinya sendiri; dan menemukan makna dan

tujuan dalam kehidupannya.

3. Aspek-aspek dan Karakteristik Individu yang Memiliki Resiliensi

Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang

membentuk kemampuan resiliensi pada individu, yaitu sebagai berikut :

a. Regulasi emosi

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi

yang menekan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang kurang

memiliki kemampuan untuk mengatur emosi akan mengalami kesulitan dalam

membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini disebabkan oleh

berbagai macam faktor yaitu : tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu

bersama orang yang marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap

saat. Emosi yang dirasakan oleh individu cenderung berpengaruh terhadap

orang lain. Semakin individu terasosiasi dengan kemarahannya maka akan

semakin menjadi seorang yang pemarah.

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

19

Tidak semua emosi yang dirasakan harus dikontrol seperti emosi marah,

sedih, gelisah dan rasa bersalah. Hal ini dikarenakan mengekspresikan emosi

yang dirasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang sehat,

bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan

bagian dari resiliensi.

Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan bahwa dua buah

keterampilan yang dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi

emosi, yaitu tenang (calming) dan fokus (focusing). Dua buah keterampilan ini

akan membantu individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali,

menjaga fokus pikiran individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu, serta

mengurangi stres yang dialami oleh individu. Regulasi emosi merupakan

kemampuan individu mengontrol emosi-emosi yang ditimbulkan dari sebuah

tekanan, agar individu tersebut tidak bertindak karena dikendalikan oleh

emosinya, supaya individu mampu bertindak secara tepat dan rasional.

b. Pengendalian Impuls

Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan

keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri.

Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah akan

cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya sulit untuk

mengendalikan pikiran dan perilakunya. Individu yang menampilkan perilaku

mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif, hal ini akan

berdampak pada orang-orang sekitarnya, karena orang-orang yang berada

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

20

disekitarnya akan merasa tidak nyaman dan hal ini akan berakibat buruknya

hubungan sosial individu tersebut.

Individu yang mampu mengendalikan impuls, individu yang memiliki

pikiran yang positif sehingga dapat memberikan respon yang positif pula

terhadap permasalahannya. Reivich dan Shatte mengungkapkan hal ini dapat

dilakukan dengan mencari kebenaran mengenai apa yang dipikirkan dan

mengevaluasi manfaat dari pemecahan masalahan tersebut. Individu dapat

melakukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional terhadap dirinya,

seperti ‘apakah kesimpulan yang saya lakukan mengenai permasalahan ini

berdasarkan fakta atau hanya menebak?’, ’apakah saya sudah melihat

permasalahan secara keseluruhan?’, ’apakah manfaat dari semua ini?’, dll.

Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan

kemampuan regulasi emosi yang individu miliki.

c. Optimisme

Individu yang memiliki kemampuan resiliensi adalah individu yang

optimis, optimis merupakan kemampuan individu untuk melihat masa depan

cemerlang. Optimisme yang dimiliki oleh individu menandakan bahwa

individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi

kemalangan. Hal ini juga merefleksikan efikasi diri yang dimiliki oleh

individu, yaitu kepercayaan individu bahwa mampu menyelesaikan

permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya. Optimisme akan

menjadi hal yang sangat bermanfaat bagi individu bila diiringi dengan efikasi

diri, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada pada individu terus

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

21

didorong untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi

kondisi yang lebih baik.

Tentunya optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang realistis

(realistic optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan

yang lebih baik dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut.

Berbeda dengan unrealistic optimism dimana kepercayaan akan masa depan

yang cerah tidak bersamaan dengan usaha yang signifikan untuk

mewujudkannya. Perpaduan antara optimisme yang realistis dan efikasi diri

adalah kunci resiliensi dan kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).

d. Causal Analysis

Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk

mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang dihadapi.

Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan

yang dihadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama.

Causal analysis identifikasikan dengan gaya berpikir explanatory yang erat

kaitannya dengan kemampuan causal analysis yang dimiliki individu. Gaya

berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga dimensi: personal (saya-bukan

saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan pervasive (semua-tidak semua).

Individu dengan gaya berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan

keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari individu tersebut (Saya),

hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (Selalu),

serta permasalahan yang ada akan mempengaruhi seluruh aspek hidupnya

(Semua). Sementara individu yang memiliki gaya berpikir “Bukan Saya-Tidak

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

22

Selalu-Tidak semua” meyakini bahwa permasalahan yang terjadi disebabkan

oleh orang lain (Bukan Saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan

untuk diubah (Tidak Selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan

mempengaruhi sebagian besar hidupnya (Tidak semua).

Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep

resiliensi, individu yang terfokus pada “Selalu-Semua” tidak mampu melihat

jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi. Sebaliknya individu yang

cenderung menggunakan gaya berpikir “Tidak selalu-Tidak semua” dapat

merumuskan solusi dan tindakan yang akan dilakukan untuk menyelesaikan

permasalahan yang ada.

Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibellitas

kognitif. Individu mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang

menyebabkan kemalangan yang menimpanya, tanpa terjebak pada salah satu

gaya berpikir explanatory. Individu tidak mengabaikan faktor permanen

maupun pervasif. Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain

atas kesalahan yang perbuatnya demi menjaga self-esteem atau

membebaskannya dari rasa bersalah. Individu tidak terlalu terfokus pada

faktor-faktor yang berada di luar kendalinya, sebaliknya memfokuskan dan

memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mulai mengatasi

permasalahannya yang ada, mengarahkan hidupnya, bangkit dan meraih

kesuksesan.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

23

e. Empati

Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk

membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain,

kemampuan empati adalah mampu dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa

nonverbal yang ditunjukkan serta mampu menangkap apa yang dipikirkan dan

dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan

berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif.

Ketidakmampuan untuk berempati berpotensi menimbulkan kesulitan

dalam hubungan sosial, individu yang tidak membangun kemampuan untuk

peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut tidak mampu untuk

menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang dirasakan

orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain. Ketidakmampuan

individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang lain dapat sangat

merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun hubungan personal,

hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai.

Individu dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang

dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan semua

keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte, 2002).

f. Efikasi Diri

Efikasi diri adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Efikasi

diri merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa individu mampu

memecahkan masalah yang dialami dan mencapai kesuksesan. Efikasi diri

merupakan hal yang sangat penting untuk mencapi resiliensi.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

24

g. Reaching out

Individu yang mampu melakukan reaching out adalah individu yang

tidak menghidari kegagalan, melainkan yang berani untuk menghadapinya.

Individu yang reaching out tidak hanya menjalani kehidupan yang standar

tetapi, berani untuk menerima kegagalan kehidupan dan hinaan orang lain

untuk mengapai kesuksesannya. Individu yang tidak memiliki kemampuan

reaching out cenderung untuk melebih-lebihkan (overestimate) dalam

memandang kemungkinan hal-hal yang buruk yang akan terjadi di masa datang

sehingga terjadi kegagalan dalam mengoptimalkan kemampuan remaja.

Menurut Wolin dan Wolin (1999), terdapat tujuh karateristik utama

yang dimiliki oleh individu resilien. Karateristik inilah yang membuat individu

mampu beradaptasi dengan baik saat menghadapi masalah, mengatasi berbagai

hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal,

yaitu:

a. Insight

Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan

menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu individu untuk dapat

memahami diri sendiri dan orang lain, serta dapat menyesuaikan diri dalam

berbagai situasi.

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

25

b. Kemandirian

Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara

emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup seseorang.

Kemandirian melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara

jujur pada diri sendiri dan peduli pada orang lain.

c. Hubungan

Individu yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur,

saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan, atau memiliki role model

yang sehat.

d. Inisiatif

Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas

diri sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu yang resilien bersifat proaktif

bukan reaktif bertanggung jawab dalam pemecahan masalah, selalu berusaha

memperbaiki diri ataupun situasi yang diubah serta meningkatkan kemampuan

untuk menghadapi hal-hal yng tidak dapat diubah.

e. Kreativitas

Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan,

konsekuensi dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Individu yang

resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif sebab individu mampu

mempertimbangkan konsenkuensi dari setiap perilaku dan membuat keputusan

yang benar. Kreativitas juga melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk

mengekspresikan diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur

dirinya sendiri saat menghadapi kesulitan.

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

26

f. Humor

Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari kehidupan,

menertawakan diri sendiri dan menemukan kebahagian dalam situasi apapun.

Individu yang resilien menggunakan rasa humornya untuk memandang

tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan

g. Moralitas

Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan keinginan untuk

hidup secara baik dan produktif. Individu yang resilien dapat mengevaluasi

berbagai hal dan mebuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat

orang lain. Individu dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu

orang lain membutuhkan.

4. Sumber-sumber Resiliensi

Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber yang dapat

mempengaruhi terbentuknya sebuah resiliensi pada diri individu, yaitu

sebagai berikut :

a. I Have

Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber untuk

meningkatkan resiliensi. Sebelum individu menyadari akan siapa dirinya (I

Am) atau apa yang bisa dilakukan (I Can), individu membutuhkan dukungan

eksternal dan sumber daya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan

keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu untuk mengembangkan resiliensi. I

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

27

Have merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi.

Sumber sumbernya adalah sebagai berikut :

1) Trusting relationships (mempercayai hubungan)

Orang tua, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang

mengasihi dan menerima individu tersebut. Individu dari segala usia

membutuhkan kasih sayang tanpa syarat dari orang tuanya dan juga kasih

sayang dan dukungan emosional dari orang dewasa lainnya sehingga kasih

sayang dan dukungan dari orang lain diharapkan dapat mengimbangi

terhadap kurangnya kasih sayang dari orang tua.

2) Struktur dan aturan di rumah

Orang tua yang memberikan rutinitas dan aturan yang jelas

kepada anak-anaknya, mengharapkan anak-anaknya dapat melakukan

rutinitas tersebut, aturan dan rutinitas tersebut meliputi tugas-tugas yang

dapat dikerjakan individu, sehingga individu dapat memahami perannya

dan akibat dari tindakannya apabila aturan yang telah dibuat dilanggar.

Jika aturan itu dilanggar, individu dibantu untuk memahami bahwa apa

yang dilakukan tersebut salah, kemudian didorong untuk memberitahu

apa yang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan dan

didamaikan layaknya orang dewasa. Orang tua tidak mencelakakan anak

dengan hukuman, dan tidak membiarkan orang lain mencelakakan anak

tersebut.

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

28

3) Role models

Orang tua, orang dewasa, kakak, dan teman sebaya bertindak

sebagai model perilaku yang diinginkan dan dapat diterima, baik dalam

keluarga dan orang lain. Menunjukkan bagaimana cara melakukan

sesuatu, seperti berpakaian atau menanyakan informasi dan hal ini akan

mendorong individu untuk meniru serta menjadi model moralitas dan

dapat mengenalkan aturan-aturan agama.

4) Dorongan agar menjadi otonom

Orang dewasa, terutama orang tua, mendorong remaja untuk

melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha menjadi alat

bantu yang diperlukan untuk membantu remaja menjadi otonom. Memuji

remaja ketika menunjukkan sikap inisiatif dan otonomi. Orang dewasa

sadar akan temperamen remaja, sebagaimana temperamennya sendiri,

jadi orang dewasa dapat menyesuaikan kecepatan dan tingkat

temperamen untuk mendorong remaja untuk dapat otonom.

5) Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan

keamanan.

Remaja maupun keluarga, memiliki layanan yang dapat

diandalkan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh

keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan guru, layanan

sosial, serta polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan sejenisnya.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

29

b. I Am

Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri

individu. Hal ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri

individu. Ada beberapa bagian-bagian dari faktor dari I Am yaitu :

1) Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik

Remaja menyadari bahwa orang lain menyukai dan

mengasihinya. Remaja akan bersikap baik terhadap orang-orang yang

menyukai dan mencintainya sehingga remaja mampu mengatur sikap dan

perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika

berbicara dengan orang lain.

2) Mencintai, empati, dan altruistik

Remaja mampu mengasihi orang lain akan menyatakan kasih

sayang tersebut dengan banyak cara. Remaja peduli akan apa yang

terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui tindakan

dan kata-kata. Remaja merasa tidak nyaman dan menderita melihat orang

lain kesusahan dan ingin melakukan sesuatu untuk berbagi penderitaan

atau kesenangan.

3) Bangga pada diri sendiri

Remaja mengetahui dirinya adalah seseorang yang penting dan

merasa bangga pada dirinya dan mampu untuk mengejar keinginannya.

Remaja tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau

merendahkannya. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup,

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

30

kepercayaan diri dan self esteem membantunya untuk dapat bertahan dan

mengatasi masalah tersebut.

4) Otonomi dan tanggung jawab

Remaja yang mampu melakukan banyak aktivitas dengan sendiri

dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut merupakan remaja

yang merasa bahwa dirinya mandiri dan bertanggung jawab atas hal

tersebut. Individu yang otonom dan bertanggung jawab mengerti batasan

kontrolnya terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui kapan orang lain

turut bertanggung jawab.

5) Harapan, keyakinan, dan kepercayaan

Remaja percaya bahwa ada harapan bagi dirinya dan ada orang-

orang dan komunitas disekitarnya yang dapat dipercayainya. Remaja

meyakini suatu perasaan benar dan salah, percaya yang benar akan

menang, dan melakukan hal tersebut. Remaja mempunyai rasa percaya

diri dan keyakinan dalam moralitas dan kebaikan, serta dapat

menyatakan hal ini sebagai kepercayaan pada Tuhan atau makhluk

rohani yang lebih tinggi.

c. I Can

I can adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan

perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan

masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan

sosial) dan mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

31

membutuhkannya. Ada beberapa fakor yang mempengaruhi faktor I can yaitu

:

1) Berkomunikasi

Remaja memiliki kemampuan untuk mengekspresikan pemikiran

dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengarkan apa yang

dikatakan orang lain serta merasakan perasaan orang lain.

2) Pemecahan masalah

Remaja dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya

masalah dan mengetahui bagaimana cara memecahkannya. Remaja dapat

mendiskusikan permasalahannya dengan orang lain untuk menemukan

solusi yang baik, mempunyai ketekunan untuk bertahan dengan suatu

masalah hingga masalah tersebut dapat terpecahkan.

3) Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan

Remaja dapat mengenali perasaannya, dan menyatakannya dengan

kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain

atau dirinya sendiri. Remaja juga dapat mengelola rangsangan yang

timbul dalam dirinya untuk memukul, melarikan diri, merusak barang,

berbagai tindakan yang tidak menyenangkan, melainkan remaja mencari

cara yang positif untuk mengatasi rangsangan yang timbul.

4) Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain.

Individu yang dapat memahami temperamennya sendiri yaitu

bagaimana bertingkah, berkeinginan, dan menyesuaikan perilakunya

dalam situasi tertentu diam, reflek dan berhati-hati serta memahami

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

32

temperamen orang lain akan mampu menyesuaikan diri dalam kondisi

apa pun serta memiliki kecepatan untuk bereaksi, dan menagani berbagai

macam kondisi.

5) Mencari hubungan yang dapat dipercaya.

Remaja dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara,

teman sebaya untuk mendapatkan pertolongan, berbagi perasaan dan

perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan

menyelesaikan masalah personal dan interpersonal.

B. Remaja

1. Pengertian Remaja

Masa remaja merupakan suatu periode transisi dalam rentang

kehidupan manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa

dewasa (Hurlock, 2012). Piaget mengungkapkan bahwa secara psikologis masa

remaja merupakan individu yang telah mampu berintergrasi dengan masyarakat

dewasa, namun usia remaja tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang

yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-

kurangnya masalah hak (Migwar, 2006).

Santrok (2007) mendefinisikan masa remaja (adolescence) sebagai

periode transisi perkembangan biologis, kognitif, dan sosio-emosional, tugas

pokok remaja adalah mempersiapkan diri memasuki masa dewasa. Selanjutnya

Mighwar (2006) memaparkan secara teroritis dan empiris dari segi psikologis,

rentangan usia remaja berada dalam usia 12 tahun sampai 21 tahun, bagi

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

33

wanita, dan 13 tahun sampai 22 tahun bagi laki-laki. Jika dibagi atas remaja

awal dan remaja akhir, remaja awal berada dalam usia 12/13 tahun sampai

17/18 tahun, dan remaja akhir dalam rentangan usia 17/18 tahun sampai 21/22

tahun.

Penelitian ini mengambil remaja akhir sebagai sumber penelitian,

perkembangan remaja akhir merupakan masa yang pertama kalinya terjadi

perkembangan fisik, kognitif, dan sosioemosi hingga suatu taraf yang

memungkinkan individu dapat menyaring dan mensitesiskan indentitas kanak-

kanak dan berindetifikasi utuk melangkah mencapai kematangan dewasa

(Hurlock, 2011). Hal ini senada dengan pendapat Mighwar (2006) yang

memaparkan bahwa remaja akhir merupakan periode yang terjadi proses

penyempurnaan pertumbuhan fisik dan perkembangan aspek-aspek psikis yang

telah dimulai sejak masa-masa sebelumnya, yang mengarah pada kematangan

yang sempurna, pada akhir masa remaja hingga dewasa awal, pertumbuhan

fisik dan perkembangan aspek-aspek psikis dan sosial terus berlangsung, secara

bertahap, selama masa remaja akhir remaja tidak dijuluki anak usia belasan

tahun, tetapi penyandang julukan laki-laki muda atau wanita muda.

Masa remaja akhir ditandai oleh keinginan yang kuat untuk tumbuh dan

berkembang secara matang agar diterima oleh teman sebaya, orang dewasa,

dan budaya serta pada periode ini remaja memperoleh kesadaran yang jelas

tentang apa yang diharapkan masyarakat dari dirinya (Yusuf, 2004).

Berdasarkan pejelasan diatas dapat disimpulkan bahwa remaja

merupakan suatu perkembangan individu dari masa kanak-kanak ke masa

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

34

dewasa, yang ditandai dengan perubahan-perubahan bentuk fisik, kognitif,

sosial, moral dan kemandirian dari masa kanak-kanak. Kematangan setiap

aspek perkembangan telah terjadi pada masa remaja akhir, yaitu remaja yang

berusia 18-22 tahun sehingga, remaja akhir diharapkan telah siap

mempersiapkan diri dan menjalankan perannya untuk menjadi orang dewasa.

2. Karakteristik Perkembangan Remaja Akhir

Mighwar (2006) menguraikan ciri-ciri khas pada remaja akhir sebagai

berikut:

a. Mulai stabil

Pada remaja akhir terjadi keseimbangan tubuh dan anggotanya, begitu

juga dengan kestabilannya dalam minat-minatnya, menentukan sekolah,

jabatan, pakaian, pergaulan dengan sesama atau lain jenis. Kestabilan juga

terjadi dalam sikap dan pandangan, artinya remaja relatif tetap atau mantap

tidak berubah pendirian hanya kerena dibujuk atau dihasut. Gejala ini

mengandung sisi positif dibandingkan masa-masa sebelumnya, remaja akhir

lebih dapat menyesuaikan diri dalam banyak aspek kehidupannya.

b. Lebih Realistik

Remaja menilai dirinya apa adanya, menghargai apa yang dimilikinya,

keluarganya orang-orang lain seperti keadaan yang sebenarnya. Pandangan

realitis ini sangat positif karena akan menimbulkan perasaan puas, menjauhkan

dirinya dari rasa kecewa, dan menghantarkannya pada puncak kebahagiaan.

c. Lebih matang menghadapi masalah

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

35

Kemantangan remaja ditunjukkan dengan usaha pemecahan masalah-

masalah yang dihadapi, baik dengan cara sendiri maupun dengan diskusi

bersama teman-teman sebaya. Langkah-langkah pemecahan masalah itu

mengarahkan remaja akhir pada tingkah laku yang lebih dapat menyesuaikan

diri dalam situasi perasaan diri dan lingkungan sekitar. Kemampuan berpikir

remaja akhir yang lebih sempurna dan pandangan yang lebih realistis itulah

yang menjadikan remaja akhir mampu memecahkan berbagai masalah secara

lebih matang dan realistik, sehingga tidak heran bila remaja merasa tenang.

d. Lebih tenang perasaannya

Remaja akhir jarang memperlihatkan kemarahan, kesedihan dan kecewa,

sebagaimana terjadi dimasa remaja awal hal dikarenakan remaja akhir telah

memiliki kemampuan berpikir dan kemampuan menguasai segala perasaannya

dalam menghadapi berbagai kekecewaan atau hal-hal lain yang mengakibatkan

kemarahan. Remaja juga telah berpandangan realistis dalam menentukan sikap,

minat, cita-cita sehingga adanya berbagai kegagalan disikapi dengan tenang.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Pada Remaja

Yusuf (2004) menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi

perkembangan pada individu, yaitu sebagai berikut:

a. Hereditas (keturunan/pembawaan)

Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan

individu. Dalam hal ini hereditas diartikan sebagai “totalitas karateristik

individu yang diwariskan orangtua kepada anak, atau segala potensi, baik fisik

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

36

maupun psikis yang dimiliki individu sejak masa konsepsi (pembuahan ovum

oleh sperma) sebagai warisan dari pihak orang tua melalui gen-gen”.

b. Lingkungan Perkembangan

1) Keluarga

Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya

mengembangkan pribadi remaja. Perawatan orang tua yang penuh kasih sayang

dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial

budaya yang diberikan merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan

remaja menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Melalui dan

perlakuan yang baik dari orang tua, remaja dapat memenuhi kebutuhan

dasarnya, baik fisik-biologis maupun sosiologisnya. Apabila remaja telah

memperoleh rasa aman, penerimaan sosial dan harga dirinya, maka remaja

dapat memenuhi kebutuhan tertingginya, yaitu perwujudan diri (Self-

actualization).

Covey (dalam yusuf, 2004), mengajukan empat prinsip peranan

keluarga untuk mengembangankan dan menanamkan kebiasaan keluarga yang

efektif, yaitu:

a) Modelling (Example of trustworthiness). Orangtua adalah contoh atau

model bagi remaja, melalui modelling ini remaja akan belajar tentang

sikap proaktif, dan sikap respek serta kasih sayang.

b) Mentoring, yaitu kemampuan untuk menjalin atau membangun

hubungan, investasi emosional (kasih sayang kepada orang lain) atau

pemberian perlindungan kepada orang lain secara mendalam, jujur,

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

37

pribadi dan tidak bersyarat. Kedalaman dan kejujuran atau keihklasan

memberikan perlindungan akan mendorong orang lain untuk bersikap

terbuka dan mau menerima pengajaran.

c) Organizing, yaitu keluarga seperti perusahaan yang memerlukan tim

kerja dan kerja sama antar anggota dalam menyelesaikan tugas-tugas

atau memenuhi kebutuhan keluarga.

d) Teaching, orang tua berperan sebagai guru (pengajar) bagi anak-anaknya

(anggota keluarga) tentang hukum-hukum dasar kehidupan. Melalui

pengajaran ini, orangtua berusaha memperdayakan (empowering)

prinsip-prinsip kehidupan, sehingga remaja memhami dan

melaksanakannya.

2) Lingkungan sekolah

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematis

melaksanakan program bimbungan, pengajaran, dan latihan dalam rangka

membantu remaja agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang

menyangkut aspek moral-spritual, intelektual, emosional, maupun sosial.

3) Kelompok Teman sebaya

Peranan kelompok teman sebaya bagi remaja adalah memberi

kesempatan untuk belajar tentang: (1) bagaimana berinteraksi dengan orang

lain, (2) mengontrol tingkah laku sosial, (3) mengembangkan ketrampilan, dan

minat yang relevan dengan usianya, dan (4) saling bertukar perasaan dan

masalah.

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

38

4. Tugas Perkembangan Remaja

Fudyartanta (2012) memaparkan mengenai tugas perkembangan remaja

adalah : a) Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya

dari dua jenis kelamin, b) Menjalankan peran sebagai pria dan wanita, c)

Menerima perubahan fisik dan menggunakannya secara efektif, d) Mencapai

kemandirian secara emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya e)

Menyiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga, f) Menyiapkan diri

untuk karier ekonomi, g) Menunjukkan minat terhadap masalah-masalah

filosofis dan religious, h) Mencapai dan diharapkan untuk memiliki tingkah

laku sosial secara bertanggung jawab, i) Mengetahui siapa diri sendiri dan

yang diinginkan, j) Menjalin komunikasi dengan orang tua, k) Kemampuan

Mengekspresikan rasa senang dan susah serta rasa tidak suka terhadap lawan

jenis, l) Mampu melakukan cara mengatur diri sendiri.

C. Broken Home

1. Pengertian Keluarga Broken Home

Menurut Chaplin (2005), broken home menggambarkan keluarga yang

tidak utuh, tanpa kehadiran salah satu dari kedua orangtua yang disebabkan

karena meninggal, perceraian atau meninggalkan keluarga. Hal ini senada

dengan pendapat Wilis (2013) mengungkapkan bahwa broken home dapat

dilihat dari dua aspek yaitu: (1) Keluarga itu terpecah karena strukturnya tidak

utuh sebab salah satu dari kepala keluarga itu meninggal atau telah bercerai; (2)

Orang tua tidak bercerai akan tetapi struktur keluarga itu tidak utuh lagi karena

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

39

ayah atau ibu sering tidak dirumah, dan/atau tidak memperlihatkan hubungan

kasih sayang lagi, misalnya orang tua sering bertengkar sehingga keluarga itu

tidak sehat secara psikologis.

Wilis (2013) memberi penjelasan mengenai faktor-faktor yang

menyebakan terjadinya krisis keluarga (broken home), yaitu :

a. Kurangnya atau putus komunikasi di antara anggota keluarga terutama

ayah dan ibu

Kurangnya komunikasi antara keluarga sering dituding yaitu faktor

kesibukan sebagai penyebab, dalam keluarga sibuk, dimana ayah dan ibu

keduanya bekerja dari pagi hingga sore hari. Kedua orang tua pulang hampir

malam karena jalanan macet, lalu orang tua merasa lelah, tiba dirumah mata

sudah mulai mengantuk dan tertidur. Hal ini tentu membuat orang tua tidak

memiliki waktu untuk berdiskusi dengan anak-anaknya sehingga lama

kelamaan anak-anak menjadi remaja yang tidak terurus secara psikologis.

b. Sikap egosentrisme

Sikap egosentrisme masing-masing suami-isteri merupakan salah satu

penyebab terjadinya konflik rumah tangga yang berujung pada pertengkaran

terus menerus. Egoisme adalah suatu sifat manusia yang mementingkan dirinya

sendiri, akibat sifat egoisme atau egosentrisme ini adalah sering membuat

orang lain tersinggung dan tidak mau mengikutinya. Sifat egosime orang tua

akan berdampak terhadap anak, yakni timbulnya sikap membandel, sulit

disuruh, dan suka bertengkar dengan saudaranya.

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

40

c. Masalah Ekonomi

Dalam permasalahan ekonomi ada dua jenis penyebab krisis keluarga,

yaitu:

1) Kemiskinan

Kemiskinan berdampak terhadap kehidupan keluarga, apabila kehidupan

emosional suami isteri tidak dewasa, maka akan timbul pertengkaran.

2) Gaya hidup

Tidak semua suami atau isteri yang menyukai kehidupan yang glamour,

disinilah awal pertentangan suami isteri, yaitu soal gaya hidup. Jika isteri yang

mengikuti gaya dunia, sedangkan suami ingin biasa saja, maka pertengkaran

dan krisis akan terjadi. Mungkin suami berselingkuh sebagai balas dendam

terhadap isterinya yang sulit diatur.

d. Masalah kesibukan

Kesibukan, adalah satu kata yang telah melekat pada masyarakat modern

di kota-kota. Kesibukannya terfokus pada pencarian materi harta dan uang.

Kesibukan orang tua dalam urusan ekonomi sudah menjadi kenyataan yang

tidak dapat dipungkiri, akan tetapi keluarga yang mengejar kebahagian materi

merupakan hal yang wajar, akan tetapi apabila tidak mampu, jangan stress,

jangan bertengkar, dan jangan bercerai.

e. Masalah Pendidikan

Masalah pendidikan sering merupakan penyebab terjadinya krisis di

dalam keluarga. Jika pendidikan suami isteri lebih tinggi, maka wawasan

tentang kehidupan keluarga dapat dipahami oleh mereka. Sebaliknya pada

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

41

suami isteri yang pendidikannya rendah sering tidak memahami liku-liku

keluarga, karenanya sering saling menyalahkan bila terjadi persoalan di

keluarga. Hal ini akan berakibat terjadinya pertengkaran yang mungkin terjadi

perceraian.

f. Masalah perselingkuhan

Ada beberapa faktor penyebab terjadinya perselingkuhan : Pertama,

hubungan suami isteri yang sudah hilang kemesraan dan cinta kasih. Hal ini

berhubungan dengan ketidakpuasan seks, isteri kurang berdandan kecuali ada

undangan atau pesta, cemburu baik secara pribadi maupun hasutan pihak

ketiga; Kedua, tekanan pihak ketiga seperti mertua dan lain-lain (anggota

keluarga lain) dalam hal ekonomi; dan ketiga, adanya kesibukkan masing-

masing sehingga kehidupan kantor lebih nyaman dari pada kehidupan keluarga.

g. Jauh dari Agama

Keluarga yang jauh dari agama dan mengutamakan materi dan dunia

semata akan menimbulkan kehancuran keluarga. Hal ini dikarenakan keluarga

tersebut akan lahir anak-anak yang tidak taat pada Tuhan dan kedua orang

tuanya.

2. Dampak Keluarga Broken Home bagi Remaja

Pada masa perkembangan remaja yang sulit, remaja membutuhkan

peran keluarga sebagai orang-orang yang membimbingnya untuk mengambil

keputusan yang masuk akal, keluarga berperan membimbing remaja untuk

mengambil keputusan di bidang-bidang dimana pengetahuan remaja masih

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

42

terbatas (Santrock, 2013). Khususnya pada remaja akhir bahwa merupakan

keadaan yang telah mampu mengendalikan emosinya dari pada remaja awal,

dari segi identitas remaja akhir telah mampu memahami dan mengarahkan diri

untuk mengembangkan dan memelihara indentitas dirinya, dari segi

keagamaan remaja akhir juga telah dapat membedakan agama sebagai ajaran

dengan manusia sebagai penganutnya, remaja telah mengenal tentang nilai-

nilai moral atau konsep-konsep moralitas, dan dari segi kognitif telah terjadi

reogranisasi lingkaran syaraf lobe frontal yang berfungsi sebagai kegiatan

kognitif tingkat tinggi, yaitu kemampuan merumuskan perencanaan strategis,

atau mengambil keputusan, akan tetapi remaja tidaklah lepas dari pengaruh

keluarganya (Yusuf, 2004).

Untuk mencapai kematangan tersebut remaja memerlukan bimbingan

karena remaja masih kurang memiliki pemahaman dan wawasan tentang

dirinya dan lingkungannya juga pengalaman dalam menentukan arah

kehidupan, proses perkembangan remaja tidak selalu berlangsung secara mulus

dan bebas dari masalah, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya

adalah keluarga broken home (Yusuf, 2004).

Hal ini dijelaskan dengan pendapat Yusuf (2004) iklim lingkungan yang

tidak sehat yaitu keadaan keluarga yang broken home cenderung memberikan

dampak yang kurang baik bagi perkembangan remaja dan remaja cenderung

akan mengalami kehidupan yang tidak nyaman, stress atau depresi. Dalam

kondisi ini, banyak remaja yang merespon dengan sikap dan perilaku yang

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

43

kurang wajar serta amoral, seperti kriminalitas, meminum minuman keras,

penyalahgunaan obat terlarang, dan tawuran (Yusuf, 2004).

Yusuf (2004) memaparkan bahwa keluarga yang tidak dapat menerapkan

atau melaksanakan fungsi-fungsi keluarga, akan merusak kekokohan konstelasi

keluarga (khususnya terhadap perkembangan kepribadian anak), remaja yang

memiliki orang tua broken home, akan mengalami kebingungan dalam

mengambil keputusan, apakah akan mengikuti ayah atau ibu; remaja cenderung

mengalami frustasi karena kebutuhan dasarnya, seperti perasaan ingin

disayangi, dilindungi rasa amannya, dan dihargai telah tereduksi bersamaan

dengan peristiwa (broken home) orangtuanya. Keadaan keluarga yang broken

home menyebabkan perkembangan kepribadiannya remaja maka cenderung

akan mengalami distorsi atau mengalami kelainan dalam penyesuaian dirinya

(maladjustment) (Yusuf, 2004).

Hal tersebut diuraikan oleh Mighwar (2006) bahwa dalam keluarga

broken home, remaja cenderung mengalami banyak masalah emosional, moral,

medis dan sosial. Misalnya, remaja yang ditinggal orang tua yang meninggal

dunia dan orang tua yang bercerai, umumnya suka murung, mudah marah dan

tersinggung, kurang peka pada tuntutan sosial, dan kurang mampu mengontrol

dirinya. Mighwar juga mengungkapkan bahwa suasana rumah tangga yang

penuh konflik akan berpengaruh negatif terhadap kepribadian dan kebahagiaan

remaja, yang pada akhirnya remaja melampiaskan perasaan jiwanya dalam

berbagai pergaulan dan perilaku yang menyimpang.

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

44

Hal ini didukung dengan pendapat Yusuf (2004) bahwa karakteristik

kepribadian yang tidak sehat pada remaja yang hidup dalam lingkungan yang

tidak kondusif atau keluarga yang tidak berfungsi (dysfunction family) yang

bercirikan “broken home”, hubungan antar anggota keluarga kurang harmonis,

kurang memperhatikan nilai-nilai agama dan orangtua bersikap keras atau

kurang memberikan curahan kasih sayang kepada anak, yaitu : (a) Mudah

marah (tersinggung), (b) menunjukkan kekhawatiran dan kecemasan, (c)

Sering tertekan (stress atau depresi), (d) Bersikap kejam atau senang

menganggu orang lain yang usianya lebih muda atau terhadap binatang

(hewan), (e) Ketidakmampuan untuk menghindar dari perilaku menyimpang

meskipun sudah diperingati atau dihukum, (f) mempunyai kebiasaan

berbohong, (g) Hiperaktif, (h) Bersikap memusuhi semua bentuk otoritas, (i)

senang mengkritik/mencemooh orang lain, (j) Sulit tidur, (k) Kurang memiliki

rasa tanggung jawab, (i) Sering mengalami pusing kepala (meskipun

penyebabnya bukan bersifat organis), (m) kurang memiliki kesadaran untuk

menaati ajaran agama, (n) bersikap pesimis dalam menghadapi kehidupan, (o)

kurang bergairah (bermuram durja) dalam menjalani hidup.

Berdasarkan pemamparan di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga

broken home cenderung memberi dampak negatif pada perkembangan remaja,

remaja merasa kehilangan figur orang tua secara utuh, fungsional dan

harmonis, yang seharusnya orang tua dapat membantunya melaksanakan

perkembangannya secara efektif, tetapi figur tersebut tidak dapat berjalan

sesuai harapan dan optimal karena keadaan keluarga yang broken home

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

45

sehingga remaja mencari tempat yang ada diluar keluarga yang berpontesi

membuat remaja melakukan hal-hal yang meyimpang karena kurangnya

pengawasan dari keluarga.

D. Dinamika Resiliensi Pada Remaja dengan Keluarga Broken Home

Keluarga broken home merupakan sebuah permasalahan yang berat

bagi setiap individu yang menjalaninya, ketidakharmonis dalam sebuah

keluarga tentu akan memberi pengaruh kepada setiap anggotanya yang terlibat

dalam keluarga tersebut, akan tetapi kesulitan tersebut harus dijalani oleh

remaja, sebab setiap individu yang hidup tidaklah lepas dari permasalahan.

Setiap individu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak

ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah atau pun kesulitan,

resiliensi berperan sebagai memampukan individu untuk menilai, mengatasi,

dan meningkatkan diri atau mengubah dirinya dari keterpurukan atau

kesengsaraan dalam hidup (Grotberg, 1999). Resiliensi merupakan sebuah

kemampuan bagi individu untuk merespon setiap permasalahan dengan cara

yang sehat dan cara yang produktif, sehingga individu mampu meningkatkan

untuk mencari pengalaman baru dan memandang sebuah kehidupan sebagai

proses yang meningkatkan kemampuan individu (Reivich dan Shatte, 2002).

Resiliensi sangat diperlukan oleh setiap individu, karena kehidupan

setiap individu tidaklah lepas dari sebuah permasalahan, demikian juga dengan

remaja yang memiliki keluarga broken home diharapkan memiliki kemampuan

resiliensi. Karena resiliensi tidak sekedar sebuah kemampuan untuk bertahan

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

46

dalam sebuah kemalangan tetapi individu juga mampu memaknai secara positif

dari setiap permsalahan yang dihadapinya.

Reivich dan Shatte (2002) memaparkan bahwa untuk menjadi individu

yang resiliens, individu harus memililki tujuh aspek resiliensi. Demikian juga

dengan remaja dengan keluarga broken home, untuk dapat dikatakan remaja

yang resiliens, memiliki 7 (tujuh) kemampuan resiliensi. Pertama yaitu regulasi

emosi, remaja yang memiliki regulasi emosi akan dapat mengontrol emosi

yang kurang menyenangkan sehingga remaja dapat bertindak secara rasional

dan menghindar perilaku yang tidak sehat. Regulasi emosi membantu remaja

untuk beradaptasi dengan keadaan lingkungannya dengan baik sehingga remaja

dapat mengekspresikan emosinya secara tepat sehingga diri remaja tetap dalam

keadaan yang sehat dan produktif dalam melakukan setiap aktivitasnya dalam

pendidikan, sosial dengan masyarakat, serta dalam menjalani hubungan dengan

orang tua dan saudara-saudaranya.

Kedua, remaja dengan keluarga broken home untuk menjadi resiliens

mampu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan

yang muncul dalam dirinya (impuls control). Emosi yang timbul dalam diri

remaja akibat keadaan keluarga broken home dapat menimbulkan sebuah

keinginan dan dorongan untuk melakukan sesuatu yang dapat memenuhi emosi

untuk menghidari perasaaan cemas dan tidak tenang. Misalnya perasaan marah

menimbulkan keinginan untuk merusak barang-barang, memukul, menghina,

dan melakukan hal yang dapat meredakan perasaan marah tersebut. Tetapi

remaja yang resiliens dapat mengontrol keinginan-keinginan, dorongan dan

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

47

kesukaan yang ada dalam dirinya, remaja yang resiliens mencoba mencari

kebenaran, kesimpulan dan belajar berpikir positif sehingga remaja berprilaku

dengan tepat yang tidak merugikan dirinya dan orang lain.

Ketiga, optimis merupakan kemampuan individu memandang masa

depannya cemerlang. Remaja tidak mengalah dengan keadaan keluarganya

tidak harmonis dengan diam, meratapi nasib, melakukan hal-hal yang

menyimpang yang dapat merusak masa depan. Melainkan remaja yang terus

berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dengan belajar dengan giat di

perkuliahan, aktif di kegiatan organisasi, tidak takut dengan kegagalan,

memiliki harapan dan cita-cita yang baik mengenai masa depannya yang

disertai usahanya dalam mencapainya. Remaja memiliki harapan bahwa

permasalahan yang dihadapi keluarganya sebuah motivasi bagi dirinya untuk

lebih berusaha lagi dari pada remaja yang memiliki keluarga harmonis dalam

berusaha menjadi sukses.

Keempat, kemampuan analisis masalah yaitu remaja yang resiliens

mampu mengindetifikasi secara akurat penyebab permasalahan yang mereka

hadapi agar mampu bertindak secara tepat. Remaja tidak menyalahkan orang

tua, orang lain mengenai permasalahan yang dihadapinya atau fokus kepada

kemalangan yang menimpanya. Melainkan remaja yang resilien adalah

individu yang memegang kendali mengenai masalahanya sehingga

permasalahan yang dihadapi tidak menjadi semakin buruk dengan pemikiran

yang fokus memikirkan besarnya sebuah masalah yang dihadapi tetapi remaja

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

48

fokus terhadap pemecahan masalah sehingga mereka bisa bangkit dan meraih

kesuksesan.

Kelima, empati yaitu kemampuan yang dimiliki remaja untuk bisa

merasakan dan membaca kondisi emosional orang lain. Kemampuan empati

sangat diperlukan oleh remaja dengan keluarga broken home agar hubungan

sosial remaja terjalin dengan positif. Hubungan sosial yang positif akan

membuat remaja merasa dirinya tidak sendirian dalam menjalani

permasalahannya, selain itu kemampuan empati juga akan menimbulkan

sebuah kebahagiaan bagi remaja karena telah bisa bermanfaat bagi orang lain.

Remaja yang memiliki empati tidak akan sulit untuk mendapatkan teman,

sehingga remaja mendapat dukungan dari orang terdekatnya, remaja memiliki

tempat berbagi atau sharing mengenai permasalahannya, sehingga remaja tidak

mengalami stress atau frustasi yang berlebihan yang akan berdampak negatif

bagi diri remaja.

Keenam, efikasi diri sangat diperlukan untuk remaja menyakini

kemampuannya untuk memecahakan masalah dan mengapai sebuah

kesuksesan. Dengan efikasi diri remaja tidak bergantung dengan orang lain

untuk bisa bangkit dari permasalahannya, melainkan remaja memotivasi

dirinya untuk bisa mencari solusi dengan secara sehat. Remaja dengan

kemampuan resilien tidak harus menunggu keluarganya pulih sesuai dengan

harapannya untuk bisa sukses, melainkan dengan keadaan keluarga yang tidak

harmonis remaja tetap yakin bahwa dirinya bisa sukses seperti orang lain

karena remaja yakin bahwa kesuksesan berasal dari kegigihan dalam berusaha.

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

49

Remaja yang resiliens tidak hanya memiliki sebuah harapan, tetapi sebuah

harapan yang diseimbangi dengan usahanya. Remaja yang resiliens tidak

mudah menyerah dan pesimis dengan kegagalan yang dialaminya, melainkan

remaja mencoba terus dan semakin keras usahanya untuk mencapai

harapannya.

Selanjutnya adalah remaja resilien adalah mereka yang bisa memaknai

secara positif mengenai permasalahan yang menimpanya. Remaja tidak

menyesali atau menyalahkan orang lain mengenai keadaan yang terjadi pada

dirinya. Melainkan remaja lebih gigih dalam mecapai kesuksesan dari pada

remaja yang memiliki keluarga yang harmonis, remaja sadar bahwa keadaan

keluarga yang broken home seharusnya tidak membuatnya lebih terpuruk

dengan melakukan hal-hal yang negatif, melainkan memicu dirinya harus lebih

berusaha keras lagi dari pada sebelumnya. Keadaan keluarga broken home

membuat remaja menjadi matang dari pada remaja yang sesusia dirinya.

Sehingga apa yang terjadi dengan dirinya remaja juga bisa menjadi

pembelajaran bagi orang lain yang memiliki nasib yang sama dengan dirinya.

Sumber-sumber peningkatan resiliensi pada remaja broken home ada

tiga menurut Gortberg (1999) yaitu : I Have, I Am dan I Can. Adapun

pentingnya resiliensi bagi kehidupan remaja adalah berfungsi sebagai :

Reaching out, yaitu remaja mengambil makna dari setiap permasalahan yang

terjadi dalam dirinya. Overcoming yaitu remaja belajar mengubah cara

pandangnya mengenai permasalahn dan menambah kemampuan sehingga

mampu mengontrol kehidupannya. Steering Through, yaitu mereka keyakinan

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

50

akan kemampuan dirinya agar remaja tidak menyerah apabila terjadi

kegagalan. Boucing back, yaitu remaja tidak butuh waktu lama untuk kembali

pulih ke keadaan yang normal, mereka terus merasa sehat, kuat, dan

bersemangat menjalani kehidupan walaupun ditimpa kemalangan.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa permasalahan

yang dihadapi remaja yaitu keluarga broken home dapat diatasi dengan baik

tanpa melakukan perilaku yang tidak sehat yang akan berdampak negatif bagi

diri remaja dan orang lain, selagi remaja mampu mengembangkan kemampuan

resiliensi dalam dirinya. Dengan memiliki kemampuan resiliensi, remaja

dengan keluarga broken home akan menjadi individu yang lebih matang karena

remaja telah memiliki pengalaman untuk mengatasi sebuah permasalahan..

Kemampuan resiliensi yang harus dimiliki remaja untuk dapat dikatakan

menjadi individu yang resilien meliputi : Regulasi emosi, Pengendalian Impuls,

optimis, empati, kemampaun menganalisis masalah, efikasi diri dan

peningkatan aspek positif serta dengan sumber-sumber resilinsi I Have, I Am,

dan I can.

E. Pertanyaan Penelitan

a) Central Question

Bagaimana gambaran dinamika resiliensi pada remaja yang memiliki

keluarga Broken Home ?

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

51

Issue Sub Question

1) Regulasi Emosi

Bagaimana gambaran regulasi emosi remaja dalam menghadapi

permasalahan keluarga broken home?

2) Pengendalian Impuls

Bagaimana gambaran pengendalian impuls pada remaja dalam

menghadapi keluarga broken home?

3) Optimisme

Bagaimana pandangan remaja mengenai masa depannya sejak memiliki

keluarga broken home?

4) Kemampuan Analisis Masalah

Bagaimana gambaran kemampuan analisis masalah pada remaja ketika

menghadapi permasalahan keluarga broken home ?

5) Empati

Bagaimana gambaran kemampuan empati remaja pada sesama anggota

keluarga sejak mengalami keluarga broken home ?

6) Efikasi diri

Bagaimana kemampuan efikasi diri pada remaja dalam menghadapi

permasalahan keluarga broken home ?

7) Peningkatan Aspek Positif

Apa saja hikmah dan pelajaran yang remaja peroleh dari permasalahan

keluarga broken home yang dialaminya ?

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. RESILIENSI 1. Pengertian …eprints.mercubuana-yogya.ac.id/1081/2/5. BAB II.pdf · dengan suatu masalah atau ketika ditempatkan dalam situasi baru. c. Bouncing

52

b) Topical question

1) I’Am

Kekuatan apa saja yang ada dalam diri remaja semenjak mengalami

keluarga broken home ?

2) I Have

Bagaimana dukungan dari lingkungan yang diperoleh remaja ketika

menghadapi permasalahan keluarga broken home ?

3) I Can

Bagaimana cara remaja dalam mengatasi permasalahan keluarga broken

home yang dialaminya ?