republika idealitas dan realitas pancasila ^...2019/10/31  · melenceng jauh dari nilai dan prinsip...

1
^ ------------ REPUBLIKA RABU, 31 MEI 2 0 1 7 Idealitas dan Realitas Pancasila ^ PATRIK K MEYER Guru besar tamu di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan anggota Centerof a New America Security P ancasila merupakan dasar negara Indonesia, yang diperkenalkan secara intensif di sekolah- sekolah dan dijunjung di semua institusi resmi pemerintah. Menerapkan dan menjunjung lima sila Pancasila merupakan salah satu kewajiban patriotisme bagi setiap warga negara. Sebaliknya, meragukan keabsahan dan keefektifan Pancasila dianggap ilegal pada masa pemerintahan Soeharto dan masih tidak diperkenankan pada masa pemerintahan ini. Warga negara Indonesia diharapkan un- tuk menerima Pancasila sebagai ideologi yang sempurna dan mempelajarinya tanpa me- ragukan validitasnya. Namun, hal ini menjadi problematis karena seperti halnya ideologi pada umumnya, Pancasila memiliki kekuatan dan kelemahan yang seharusnya diperdebat- kan secara terbuka dan di-update untuk me- refleksikan realitas yang terus berubah di mana Pancasila diimplementasikan. Sedang- kan untuk menjadi ideologi yang efektif, Pancasila harus dapat membimbing warga negara untuk mengevaluasi dan mendorong mereka untuk mengambil tindakan, yang diperlukan dalam memenuhi tujuan mulia Pancasila. Tujuan dari tulisan ini bukanlah untuk menganalisis secara spesifik atau mengkritisi Pancasila, tetapi lebih untuk memaparkan pentingnya memperbarui interpretasi dan penerapan Pancasila dengan cara yang baru, sehingga Pancasila lebih efektif dalam men- jembatani jurang antara tujuan idealis dan realitas sosial ekonomi, agama, budaya, dan politik di Indonesia. Untuk menilai, apakah Pancasila telah efektif dalam membimbing warga negara Indonesia ke arah tujuan Pan- casila yang mulia, evaluasi singkat dan long- gar mengenai seberapa jauh lima sila Panca- sila tecermin dalam kehidupan warga Indo- nesia saat ini, yaitu: kepercayaan kepada Tu- han Yang Maha Esa (YME), kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan nasional dan integritas teritorial Indonesia, demokrasi berdasarkan permusyawa'rakatan, dan ke- adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun suht untuk memastikan j umlah warga negara Indonesia yang melaksanakan sila pertama Pancasila, yaitu mempercayai Tuhan YME atau menganut monoteisme, kenyataannya, sila ini secara eksplisit me- rongrong prinsip kebebasan beragama yang juga dilindungi dalam Islam. Faktanya, se- jumlah besar warga negara Indonesia meng- anut kepercayaan di luar enam agama (yang sebagian besar politeistik) yang dilegalkan oleh Pancasila, yaitu animis, agnostik, atau ateis. Oleh karena itu, sila ini secara defacto mendiskriminasikan sejumlah besar kelom- pok ataupun individu sehingga harus dide- sain ulang agar sesuai dengan realitas di In- donesia. Sila kedua Pancasila, yaitu humanitaria- nisme, menyiratkan bahwa warga negara Indonesia berkewajiban untuk menghormati, mencintai, saling membantu, dan menjun- jung tinggi kebenaran dan keadilan. Tidak terpenuhinya penerapan sila ini dapat di- simpulkan dari pernyataan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj, dalam diskusi kerusuh- an antaretnis di Tanjung Balai belum lama ini. Beliau berpendapat bahwa konflik terjadi dan dipicu oleh kesenjangan ekonomi, inte- lektual, dan sosial yang meluas, dan diskri- minasi antaretnis yang memecah belah rakyat Indonesia, sehingga menciptakan “bom wak- tu yang siap meledak sewaktu-waktu”. Pan- casila dianggap gagal dalam membentuk rasa persaudaraan dan persatuan antaretnis dan agama Indonesia. Sila ketiga menekankan nilai-nilai inte- gritas teritorial Indonesia dan persatuan rak- yat Indonesia, yang terdiri atas berbagai etnis dan agama dan harus saling menghormati satu sama lain, serta disatukan sebagai satu bangsa: bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia harus menahan diri untuk tidak merasa lebih tinggi atau superior dibandingkan etnis atau agama lain. Kenyataannya, jalinan sosial rak- yat Indonesia telah tercederai oleh perbedaan etnis dan agama yang tecermin dari perkum- pulan dan perkawinan yang mayoritas terjadi berdasar pada persamaan etnis dan agama, ekonomi swasta yang didominasi oleh ma- syarakat Cina-Indonesia, dan bahkan sistem pendidikan, seperti sekolah swasta dan uni- versitas yang sebagian besar berafiliasi de- ngan agama tertentu. Perpecahan sosial yang mendalam ini mengakibatkan sejumlah kete- gangan dan konflik antaretnis dan antaraga- ma, yang saat ini melanda masyarakat Indo- nesia. Sila keempat menyiratkan bahwa orang Indonesia harus diatur oleh kebijakan yang dihasilkan dari permusyawarakatan atau konsensus melalui proses konsultatif. Hak demokratis ini harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab, martabat, dan integritas yang kuat. Dengan dimasukkannya Indonesia di peringkat bagian bawah berda- sarkan tingkat korupsi di sektor publik negara oleh Transparency International, jelas bahwa politik dan pemerintahan Indonesia telah melencengjauh dari nilai dan prinsip idealis, sebagaimana tercantum di Pancasila. Indi- kator lain dari kegagalan ini adalah kenyataan bahwa kelompok radikal semakin memiliki pengaruh yang tidak proporsional dalam mengarahkan tujuan negara. Terakhir, sila kelima, yaitu keadilan sosial, menetapkan kesejahteraan yang me- rata untuk semua rakyat Indonesia yang me- nyiratkan bahwa sumber daya alam dan pe- luang ekonomi negara harus menguntungkan semua warga negara Indonesia. Hal ini tidak bisa jauh dari kenyataan sosial ekonomi di Indonesia saat ini. Sebuah artikel di The Ja- karta Post, “Behind the rise of income in- equality in Indonesia”, secara eksplisit mem- bahas adanya kesenjangan pendapatan yang signifikan dan kenyataan bahwa kesenjangan ini semakin melebar. Kekayaan Indonesia hanya terkonsentrasi di beberapa oknum yang sebagian besar merupakan keturunan etnis minoritas Cina. Hal ini tecermin secara jelas dalam kenyataan bahwa lebih dari 90 persen dari 25 orang terkaya di Indonesia berasal dari etnis Cina, yang jumlahnya ku- rang dari 3 persen dari total populasi Indo- nesia. Karena itulah, Pancasila dianggap ku- rang efektif dalam mempromosikan keadilan sosial di kalangan rakyat Indonesia. Sekali lagi, tulisan ini tidak bermaksud untuk membantah Pancasila sebagai ideologi yang tepat, tetapi pada masa ini, bentuk dan interpretasinya telah gagal membimbing bangsa dan institusi di Indonesia menuju tujuan mulia Pancasila. Untuk memperbaiki situasi yang tidak diinginkan ini, tidaklah bijaksana untuk mengimitasi pendekatan Suharto yang dianggap gagal dalam mem- promosikan “toleransi dengan cara menghi- dupkan kembali indoktrinasi ideologi Panca- sila di Indonesia”, seperti yang dikemukakan oleh salah seorang menteri Jokowi. Apa yang harus dilakukan oleh peme- rintah dan rakyat Indonesia adalah untuk mendesain ulang Pancasila, sehingga sila- silanya mencerminkan realitas sosial ekono- mi Indonesia pada masa ini, dan menjadi- kannya efektif dalam mengatasi tantangan yang menghambat rakyat dan Pemerintah Indonesia untuk mencapai semua potensi yang ada. Jika tidak, Pancasila hanya akan semakin tidak relevan untuk diterapkan dan pada akhirnya, hanya akan diingat sebagai suatu mitos sejarah ataupun utopia. ■ Pancasila harus dapat membimbing warga negara untuk mengevaluasi dan mendorong mereka, mengambil tindakan yang diperlukan dalam memenuhi tujuan mulia Pancasila.

Upload: others

Post on 10-Nov-2020

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: REPUBLIKA Idealitas dan Realitas Pancasila ^...2019/10/31  · melenceng jauh dari nilai dan prinsip idealis, sebagaimana tercantum di Pancasila. Indi kator lain dari kegagalan ini

• ^ ------------REPUBLIKA RABU, 31 MEI 2 0 1 7

Idealitas dan Realitas Pancasila ^• P A T R IK K M E Y E R

Guru besar tam u di U niversitas

M uham m adiyah Yogyakarta dan anggota

C e n te ro f a N e w A m erica Security

Pancasila merupakan dasar negara Indonesia, yang diperkenalkan secara intensif di sekolah- sekolah dan dijunjung di semua institusi resmi pemerintah.

Menerapkan dan menjunjung lima sila Pancasila merupakan salah satu kewajiban patriotisme bagi setiap warga negara. Sebaliknya, meragukan keabsahan dan keefektifan Pancasila dianggap ilegal pada masa pemerintahan Soeharto dan masih tidak diperkenankan pada masa pemerintahan ini.

Warga negara Indonesia diharapkan un­tuk menerima Pancasila sebagai ideologi yang sempurna dan mempelajarinya tanpa me­ragukan validitasnya. Namun, hal ini menjadi problematis karena seperti halnya ideologi pada umumnya, Pancasila memiliki kekuatan dan kelemahan yang seharusnya diperdebat­kan secara terbuka dan di-update untuk me­refleksikan realitas yang terus berubah di mana Pancasila diimplementasikan. Sedang­kan untuk menjadi ideologi yang efektif, Pancasila harus dapat membimbing warga negara untuk mengevaluasi dan mendorong mereka untuk mengambil tindakan, yang diperlukan dalam memenuhi tujuan mulia Pancasila.

Tujuan dari tulisan ini bukanlah untuk menganalisis secara spesifik atau mengkritisi Pancasila, tetapi lebih untuk memaparkan pentingnya memperbarui interpretasi dan penerapan Pancasila dengan cara yang baru, sehingga Pancasila lebih efektif dalam men­jembatani jurang antara tujuan idealis dan realitas sosial ekonomi, agama, budaya, dan politik di Indonesia. Untuk menilai, apakah Pancasila telah efektif dalam membimbing warga negara Indonesia ke arah tujuan Pan­casila yang mulia, evaluasi singkat dan long­gar mengenai seberapa jauh lima sila Panca­sila tecermin dalam kehidupan warga Indo­nesia saat ini, yaitu: kepercayaan kepada Tu­han Yang Maha Esa (YME), kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan nasional dan integritas teritorial Indonesia, demokrasi berdasarkan permusyawa'rakatan, dan ke­adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Meskipun suht untuk memastikan j umlah warga negara Indonesia yang melaksanakan sila pertama Pancasila, yaitu mempercayai Tuhan YME atau menganut monoteisme, kenyataannya, sila ini secara eksplisit me­rongrong prinsip kebebasan beragama yang juga dilindungi dalam Islam. Faktanya, se­jumlah besar warga negara Indonesia meng­anut kepercayaan di luar enam agama (yang

sebagian besar politeistik) yang dilegalkan oleh Pancasila, yaitu animis, agnostik, atau ateis. Oleh karena itu, sila ini secara defacto mendiskriminasikan sejumlah besar kelom­pok ataupun individu sehingga harus dide­sain ulang agar sesuai dengan realitas di In­donesia.

Sila kedua Pancasila, yaitu humanitaria- nisme, menyiratkan bahwa warga negara Indonesia berkewajiban untuk menghormati, mencintai, saling membantu, dan menjun­jung tinggi kebenaran dan keadilan. Tidak terpenuhinya penerapan sila ini dapat di­simpulkan dari pernyataan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj, dalam diskusi kerusuh­an antaretnis di Tanjung Balai belum lama ini. Beliau berpendapat bahwa konflik terjadi dan dipicu oleh kesenjangan ekonomi, inte­lektual, dan sosial yang meluas, dan diskri­minasi antaretnis yang memecah belah rakyat Indonesia, sehingga menciptakan “bom wak­tu yang siap meledak sewaktu-waktu”. Pan­casila dianggap gagal dalam membentuk rasa persaudaraan dan persatuan antaretnis dan agama Indonesia.

Sila ketiga menekankan nilai-nilai inte­gritas teritorial Indonesia dan persatuan rak­yat Indonesia, yang terdiri atas berbagai etnis dan agama dan harus saling menghormati satu sama lain, serta disatukan sebagai satu

bangsa: bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia harus menahan diri untuk tidak merasa lebih tinggi atau superior dibandingkan etnis atau agama lain. Kenyataannya, jalinan sosial rak­yat Indonesia telah tercederai oleh perbedaan etnis dan agama yang tecermin dari perkum­pulan dan perkawinan yang mayoritas terjadi berdasar pada persamaan etnis dan agama, ekonomi swasta yang didominasi oleh ma­syarakat Cina-Indonesia, dan bahkan sistem pendidikan, seperti sekolah swasta dan uni­versitas yang sebagian besar berafiliasi de­ngan agama tertentu. Perpecahan sosial yang mendalam ini mengakibatkan sejumlah kete­gangan dan konflik antaretnis dan antaraga- ma, yang saat ini melanda masyarakat Indo­nesia.

Sila keempat menyiratkan bahwa orang Indonesia harus diatur oleh kebijakan yang dihasilkan dari permusyawarakatan atau konsensus melalui proses konsultatif. Hak demokratis ini harus dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab, martabat, dan integritas yang kuat. Dengan dimasukkannya Indonesia di peringkat bagian bawah berda­sarkan tingkat korupsi di sektor publik negara

oleh Transparency International, jelas bahwa politik dan pemerintahan Indonesia telah melenceng jauh dari nilai dan prinsip idealis, sebagaimana tercantum di Pancasila. Indi­kator lain dari kegagalan ini adalah kenyataan bahwa kelompok radikal semakin memiliki pengaruh yang tidak proporsional dalam mengarahkan tujuan negara.

Terakhir, sila kelima, yaitu keadilan sosial, menetapkan kesejahteraan yang me­rata untuk semua rakyat Indonesia yang me­nyiratkan bahwa sumber daya alam dan pe­luang ekonomi negara harus menguntungkan semua warga negara Indonesia. Hal ini tidak bisa jauh dari kenyataan sosial ekonomi di Indonesia saat ini. Sebuah artikel di The Ja­karta Post, “Behind the rise of income in- equality in Indonesia”, secara eksplisit mem­bahas adanya kesenjangan pendapatan yang signifikan dan kenyataan bahwa kesenjangan ini semakin melebar. Kekayaan Indonesia hanya terkonsentrasi di beberapa oknum yang sebagian besar merupakan keturunan etnis minoritas Cina. Hal ini tecermin secara jelas dalam kenyataan bahwa lebih dari 90 persen dari 25 orang terkaya di Indonesia berasal dari etnis Cina, yang jumlahnya ku­rang dari 3 persen dari total populasi Indo­nesia. Karena itulah, Pancasila dianggap ku­rang efektif dalam mempromosikan keadilan

sosial di kalangan rakyat Indonesia.Sekali lagi, tulisan ini tidak bermaksud

untuk membantah Pancasila sebagai ideologi yang tepat, tetapi pada masa ini, bentuk dan interpretasinya telah gagal membimbing bangsa dan institusi di Indonesia menuju tujuan mulia Pancasila. Untuk memperbaiki situasi yang tidak diinginkan ini, tidaklah bijaksana untuk mengimitasi pendekatan Suharto yang dianggap gagal dalam mem­promosikan “toleransi dengan cara menghi­dupkan kembali indoktrinasi ideologi Panca­sila di Indonesia”, seperti yang dikemukakan oleh salah seorang menteri Jokowi.

Apa yang harus dilakukan oleh peme­rintah dan rakyat Indonesia adalah untuk mendesain ulang Pancasila, sehingga sila- silanya mencerminkan realitas sosial ekono­mi Indonesia pada masa ini, dan menjadi­kannya efektif dalam mengatasi tantangan yang menghambat rakyat dan Pemerintah Indonesia untuk mencapai semua potensi yang ada. Jika tidak, Pancasila hanya akan semakin tidak relevan untuk diterapkan dan pada akhirnya, hanya akan diingat sebagai suatu mitos sejarah ataupun utopia. ■

Pancasila harus dapat membimbing warga negara untuk mengevaluasi dan mendorong mereka, mengambil tindakan yang diperlukan dalam memenuhi tujuan mulia Pancasila.