rencana tesis

119
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintah daerah saat ini dihadapkan pada banyaknya tuntutan, yang salah satunya adalah tuntutan masyarakat agar pemerintah daerah mampu menciptakan masyarakatnya yang sejahtera. Tuntutan ini merupakan implikasi dari penerapan otonomi daerah yang mengedepankan peningkatan pelayanan publik dalam rangka meningkatkan daya tarik bagi investor untuk menanamkan investasinya di daerah. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanan publik, pemerintah daerah harus melakukan pembangunan di segala aspek yang berkaitan dengan kepentingan publik, termasuk pembangunan manusia. Akuntansi dapat dijadikan sebagai media evaluasi untuk mengukur kemajuan pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah. Suatu pembangunan dikatakan berhasil apabila proses dari sistem

Upload: syahral-ahmad

Post on 02-Oct-2015

28 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

usaha

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangPemerintah daerah saat ini dihadapkan pada banyaknya tuntutan, yang salah satunya adalah tuntutan masyarakat agar pemerintah daerah mampu menciptakan masyarakatnya yang sejahtera. Tuntutan ini merupakan implikasi dari penerapan otonomi daerah yang mengedepankan peningkatan pelayanan publik dalam rangka meningkatkan daya tarik bagi investor untuk menanamkan investasinya di daerah. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kualitas pelayanan publik, pemerintah daerah harus melakukan pembangunan di segala aspek yang berkaitan dengan kepentingan publik, termasuk pembangunan manusia.

1Akuntansi dapat dijadikan sebagai media evaluasi untuk mengukur kemajuan pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah. Suatu pembangunan dikatakan berhasil apabila proses dari sistem pembangunan melibatkan adanya akuntabilitas, transparansi dan profesionalisme yang dilaksanakan dengan seksama sesuai peraturan perundang-undangan. Konsep Value for Money (VFM) pada pengelolaan organisasi sektor publik digunakan untuk menjawab tantangan akan adanya inefisiensi, pemborosan, sumber kebocoran dana, dan istitusi yang merugi. Elemen utama dari dari VFM adalah ekonomi, efisiensi, dan efektivitas. Ketiga hal tersebut merupakan elemen pokok VFM, namun perlu ditambah dengan dua elemen lain yaitu keadilan (equity) dan pemerataan atau kesetaraan (equality). Keadilan mengacu pada adanya kesempatan sosial (social opportunity) yang sama untuk mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas dan kesejhateraan ekonomi. Pemerataan atau kesetaraan (equality) berarti penggunaan uang publik hendaknya tidak hanya terkonsentrasi pada kelompok tertentu, namun dilakukan secara merata. Pemerintah daerah selaku penyelenggara dan penanggung jawab pembangunan di daerah hendaknya selalu dapat menerapkan ukuran-ukuran tersebut dalam proses pembangunannya.Akuntansi pemerintahan daerah termasuk dalam lingkup akuntansi pemerintahan yang memiliki tujuan pertanggungjawaban (accountability and stewardship), manajerial, dan pengawasan (Halim dan Muhammad, 2013:39). Tujuan pertanggungjawaban memiliki arti memberikan informasi keuangan yang lengkap, cermat, dalam bentuk dan waktu yang tepat, yang berguna bagi pihak yang bertanggung jawab yang berkaitan dengan operasi unit-unit pemerintahan. Tujuan manajerial berarti bahwa akuntansi pemerintah haurs menyediakan informasi keuangan yang diperlukan untuk perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian anggaran, perumusan kebijakan, dan pengambilan keputusan, serta penilaian kinerja, sedangkan tujuan pengawasan berarti bahwa akuntansi pemerintah harus memungkinkan terselenggaranya pemeriksaan oleh aparat pengawasan fungsional secara efektif dan efisien. Secara komprehensif, pembangunan di daerah tidak terlepas oleh Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah yang mencakup keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, audit, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Unsur-unsur tersebut tercantum dalam Akuntansi Sektor Publik yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), sehingga akuntabilitas, transparansi dan profesionalisme pembangunan dapat tercapai. Rencana pembangunan pemerintah daerah tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Akuntansi digunakan dalam pengawasan penggunaan pengelolaan dana publik tersebut melalui pertanggungjawaban keuangan, laporan realisasi anggaran, serta laporan kinerja.Mardiasmo (2009:159) menyatakan bahwa laporan keuangan organisasi sektor publik merupakan komponen penting untuk menciptakan akuntabilitas sektor publik. Tuntutan akuntabilitas sektor publik menimbulkan implikasi bagi pemerintah daerah selaku penyelenggara pemerintahan untuk memberikan informasi kepada publik, yang salah satunya berupa laporan keuangan. Laporan keuangan yang berisi informasi keuangan sebagai dasar dalam penetapan kebijakan dan pengambilan keputusan. Akuntansi sektor publik harus dapat menyediakan informasi yang dapat digunakan untuk memonitoring akuntabilitas manajemen, akuntabilitas politik, dan akuntabilitas kebijakan serta dapat menjadi alat untuk merencanakan dan memetakan arah pembangunan dan pertumbuhan sektor publik.Syarat bagi pemerintahan daerah untuk dapat mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan serta cita-cita berbangsa dan bernegara adalah dengan penyelenggaraan good governance. Halim dan Muhammad (2012:17), good governance adalah tata kelola organisasi secara baik dengan prinsip-prinsip keterbukaan, keadilan, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam rangka mencapai tujuan organisasi. UNDP (dalam Mardiasmo, 2009:18) memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan good governance, meliputi participation, rule of law, transparency, responsiveness, concensus orientation, equity, efficiency and effectiveness, accountability, dan strategic vision. Dengan terselenggaranya good governance maka dapat mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara. Good governance memerlukan adanya pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, dan nyata sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih, dan bertanggung jawab.Salah satu upaya dalam penerapan prinsip-prinsip good governance adalah penyampaian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan. Undang-undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam Pasal 32 mengamanatkan bahwa bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Sesuai dengan amanat tersebut, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Standar ini menggunakan Basis Kas untuk pengakuan transaksi pendapatan, belanja, dan pembiayaan, dan basis akrual untuk pengakuan aset, kewajiban, dan ekuitas dana. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 ini kemudian diubah sesuai dengan bunyi Undang-undang 17 Tahun 2003 Pasal 36 ayat (1) dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Peraturan Pemerintah ini telah melakukan pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual. Tanggung jawab seluruh pemerintah daerah termasuk pemerintahan daerah di Provinsi Nusa Tenggara Barat secara finansial dapat dilihat pada penggunaan keuangan publik dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik dalam bentuk realisasi pendapatan dan belanja daerah. Belanja daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana terakhir kali diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011, yaitu kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Perkembangan realisasi belanja daerah Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat dapat dilihat pada gambar berikut.

Sumber: Biro Keuangan Provinsi NTB (diolah)Gambar di atas memperlihatkan bahwa tren total realisasi belanja daerah seluruh Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat mengalami peningkatan yang relatif tetap dari tahun ke tahun sejak tahun 2008, sebesar lebih dari Rp4,6 trilyun hingga tahun 2012, sebesar lebih dari Rp7,4 trilyun.Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana terakhir kali diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011, jenis belanja daerah adalah Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung. Obyek dari belanja langsung adalah Belanja Pegawai, Belanja Barang/jasa, dan Belanja Modal. Berdasarkan agency theory dalam sektor publik, yang dikembangkan oleh Ghulam (2011), kinerja pemerintah dinilai melalui anggaran yang dibuatnya, sehingga diharapkan pengeluaran pemerintah menyentuh pada fungsi pelayanan kepada masyarakat, yang berwujud belanja modal, harus mendapat porsi yang relatif besar.Dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik, upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah dengan pergeseran komposisi belanja. Pergeseran komposisi ini guna meningkatkan investasi modal dalam bentuk aset tetap, yakni tanah, peralatan dan mesin, bangunan dan gedung, infrastruktur serta aset tetap lainnya. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi (kontribusi) publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (Mardiasmo, 2009).Berbeda dengan tren peningkatan total belanja daerah Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat, tren total belanja modal Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat mengalami fluktuatif. Tahun 2008 hingga 2010 total belanja modal mengalami penurunan walaupun tidak signifikan. Namun pada tahun 2011 mengalami peningkatan yang signifikan. Tahun 2012 mengalami sedikit peningkatan dibandingkan tahun 2011. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

Sumber: Biro Keuangan Provinsi NTB (diolah)

Anggaran dan realisasi belanja modal secara khusus dan belanja daerah secara umum tentunya dipengaruhi oleh total pendapatan daerah yang diperoleh. Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah. Pendapatan Asli Daerah terdiri atas Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah. Dana Perimbangan terdiri atas Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Secara umum, gambaran dari total pendapatan asli daerah dan dana perimbangan Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat dapat dilihat pada gambar 1.3 dan gambar 1.4 berikut.

Sumber: Biro Keuangan Provinsi NTB (diolah)

Sumber: Biro Keuangan Provinsi NTB (diolah)Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber pendapatan daerah selain Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK) dan Lain-lain Pendapatan. PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi (Anonymus, 2011).Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (Anonymus, 2014).Mardiasmo (2009:3), organisasi sektor publik bergerak dalam lingkungan yang sangat kompleks dan turbulence. Komponen lingkungan yang mempengaruhi organisasi sektor publik meliputi faktor ekonomi, politik, kultur, dan demografi. Salah satu faktor ekonomi yang mempengaruhi organisasi sektor publik adalah pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, salah satu faktor yang dapat mempengaruhi alokasi belanja modal pemerintah daerah adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dalam hal ini direfleksikan dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).Data PDRB Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah sebagai berikut:

Sumber: Biro Keuangan Provinsi NTB (diolah)Belanja modal di daerah, yang merupakan salah satu jenis belanja daerah, mempunyai peranan penting terhadap kesejahteraan masyarakat. Belanja modal yang tercantum dalam APBD tentunya bersumber dari keuangan publik, sehingga belanja modal seperti halnya belanja daerah secara umum, dalam penggunaannya harus menganut konsep value for money. Implikasi realisasi belanja modal yang ekonomis, efisien, dan efektif, salah satunya adalah menjamin terciptanya kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat dapat dicapai dengan pembangunan manusia.Pembangunan manusia dapat dilihat pada kualitas kehidupan yang merupakan salah satu indikator dalam pembangunan. Mengutip isi Human Development Report (HDR) pertama tahun 1990, pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki oleh manusia. Diantara banyak pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan, dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak.Gambaran IPM seluruh Provinsi di Indonesia tahun 2009-2013 adalah dapat dilihat pada Lampiran 1. Dari lampiran 1 tersebut, dapat dilihat bahwa tingkat IPM Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tahun 2009-2012 berada pada posisi 32 dari 33 Provinsi di Indonesia, sedangkan pada tahun 2013, Provinsi NTB berada pada posisi 33 dari 34 Provinsi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena untuk keseluruhan indikator penentuan IPM, Provinsi NTB masih berada pada urutan kelompok terendah dibandingkan Provinsi-Provinsi lainnya di Indonesia. Gambaran tingkat IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat dapat dilihat pada tabel berikut:Tabel 1.1IPM Kabupaten/Kota se-Provinsi NTBPemerintah DaerahIPM

20092010201120122013

KOTA MATARAM71.8272.3272.8373.7074.58

KOTA BIMA68.0268.5669.1069.8370.73

KAB. SUMBAWA BARAT66.1666.4767.0867.8568.50

KAB. DOMPU64.9365.5166.7067.5868.31

KAB. SUMBAWA65.7266.0766.6767.2368.06

KAB. BIMA64.8165.1865.7466.5267.34

KAB. LOMBOK TIMUR62.2162.6863.9364.9165.78

KAB. LOMBOK BARAT61.2761.7162.5063.1963.82

KAB. LOMBOK TENGAH60.2660.7361.6662.5763.51

KAB. LOMBOK UTARA58.4058.9660.9361.3761.90

NUSA TENGGARA BARAT64.6665.2066.2366.8967.73

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014.

Tingkat pencapaian IPM sangat ditentukan oleh kemampuan keuangan daerah, terutama kebijakan alokasi belanja dalam APBD. Alokasi belanja dimaksud, secara langsung maupun secara tidak langsung berhubungan dengan indikator pengukuran IPM, yakni pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur maupun komponen lainnya yang berpengaruh terhadap pembangunan kualitas manusia. Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa belanja modal yang merupakan salah satu unsur belanja dalam akuntansi sektor publik pada pemerintahan, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penambahan aset. Aset yang dimaksudkan dalam hal ini adalah dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur yang menunjang pelayanan publik. Dengan meningkatnya kualitas pelayanan publik, maka kesejahteraan dan kualitas hidup manusia juga diharapkan meningkat.Peningkatan IPM di Provinsi NTB, harus didukung oleh Pemerintahan Daerah dengan terus berjalan bersama berusaha meningkatkan indikator pengukuran IPM di daerah masing-masing. Hal ini dapat dilakukan dengan penyediaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) khususnya yang berkenaan dengan peningkatan anggaran belanja modal dalam bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan yang menunjang daya beli masyarakat.Teori keagenan menurut Jensen dan Meckling (1976), menyatakan hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak dimana satu atau lebih prinsipal melimpahkan wewenang kepada orang lain (agen) untuk kepentingannya. Permasalahan hubungan keagenan ini mengakibatkan terjadinya informasi asimetris (information asymmetry) dan konflik kepentingan (conflict of interest). Permasalahan teori keagenan dalam penelitian ini selain yang telah disebutkan sebelumnya, secara umum yaitu berupa tantangan kepada pemerintah daerah selaku agen dari DPRD sebagai wakil rakyat secara umum serta agen dari pemerintah pusat dalam menggunakan dan mempertanggungjawabkan keuangan publik pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) guna menunjang pembangunan manusia dan kesejahteraan rakyatnya.Akuntansi sektor publik mengamanatkan pemerintah daerah untuk selalu menjamin akuntabiltas publik dalam proses pelaksanaan pemerintahan daerahnya. Akuntabilitas publik pemerintahan daerah dilihat sisi agency theory yaitu dengan adanya kewajiban dari penyelenggara pemerintahan (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada masyarakat (principal) secara horizontal. Secara vertikal, hubungan agency theory akuntabilitas publik tampak pada pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan daerah kepada otoritas yang lebih tinggi seperti, Satuan Kerja Perangkat Daerah kepada Kepala Daerah dan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat. Badrudin dan Mufidhatul (2011) dalam penelitiannya tentang pengaruh pendapatan dan belanja daerah terhadap pembangunan manusia di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan bahwa: 1) variabel pengeluaran pemerintah di Provinsi DIY pada sektor pendidikan berpengaruh tidak signifikan terhadap pembangunan manusia di Provinsi DIY; 2) variabel pengeluaran pemerintah di Provinsi DIY pada sektor kesehatan berpengaruh tidak signifikan terhadap pembangunan manusia di Provinsi DIY; 3) variabel pengeluaran pemerintah di Provinsi DIY pada sektor infrastruktur berpengaruh tidak signifikan terhadap pembangunan manusia di Provinsi DIY.Maiharyanti (2010) telah melakukan penelitian untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan pendapatan asli daerah terhadap indeks pembangunan manusia dan belanja modal sebagai variabel intervening pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Nanggroe Aceh Darussalam. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara simultan dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan pendapatan asli daerah berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Secara parsial, dana alokasi khusus dan pendapatan asli daerah berpengaruh terhadap belanja modal, sedangkan dana alokasi khusus tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Belanja modal sendiri secara parsial berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa, dana alokasi khusus dan pendapatan asli daerah berpengaruh signifikan terhadap indeks pembangunan manusia dan belanja modal sebagai variabel intervening.Setyowati dan Suparwati (2012) yang meneliti tentang Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, DAU, DAK, PAD terhadap Indeks Pembangunan Manusia dengan Pengalokasian Anggaran Belanja Modal sebagai Variabel Intervening pada Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Jawa Tengah menunjukkan bahwa dana DAU, DAK, dan PAD berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui pengalokasian belanja modal, sedangkan Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh positif terhadap IPM melalui pengalokasian belanja modal. Simpulan selanjutnya menampakkan bahwa belanja modal berpengaruh positif terhadap IPM.Christy dan Priyo (2009) telah meneliti hubungan dana alokasi umum, belanja modal dan kualitas pembangunan manusia. Kualitas pembangunan manusia diproksikan dengan Indeks Pertumbuhan Manusia (IPM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja modal berpengaruh terhadap IPM. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa besarnya alokasi belanja modal akan menentukan pengalokasian dana bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dilihat dari tingkat IPM yaitu tingkat kesejahteraan dari sisi pendidikan, kesehatan, maupun taraf hidup untuk melihat kualitas pembangunan manusia. Wandira (2013) meneliti untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada pemerintah provinsi se-Indonesia pada tahun 2012. Penelitian Wandira (2013) menyimpulkan bahwa secara parsial, DAU dengan arah negatif, DAK dan DBH berpengaruh signifikan terhadap belanja modal, sedangkan PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Secara simultan, PAD, DAU, DAK dan DBH berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Hasil penelitian Tuasikal (2008) menyatakan bahwa secara simultan PDRB, DAU, DAK, dan PAD berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Selain itu, Oktora dan Winston (2013) juga mengutarakan hal serupa bahwa terdapat hubungan antara PAD, DAU, dan DAK dengan belanja modal. Sejalan dengan penelitian Christy dan Priyo (2009), Mirza (2012) dalam penelitiannya tentang pengaruh kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan belanja modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Tengah tahun 2006-2009, juga menyatakan bahwa variabel belanja modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, Sumiyati (2011) yang melakukan penelitian tentang pengaruh belanja modal terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Barat, menyatakan bahwa belanja modal tahun 2006 dan 2007 baik secara parsial maupun simultan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap IPM 2008 di Provinsi Jawa Barat. Hal ini mencerminkan bahwa dalam struktur alokasi APBD belum sepenuhnya dapat menggambarkan pembangunan kualitas manusia menjadi arah dan kebijakan pembangunan.Penelitian ini termotivasi dengan melihat perbandingan tren-tren realisasi belanja modal (yang diasumsikan mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia) dengan pertumbuhan ekonomi (PDRB) serta sumber-sumber pendapatan yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Fluktuasinya data PDRB Kabupaten/Kota se-Provinsi NTB berbanding terbalik dengan data alokasi belanja modal, untuk itu peneliti ingin mengetahui apakah data PDRB dapat mempengaruhi realisasi belanja modal. Berbeda dengan tren PDRB, tren data PAD relatif sejalan dengan tren realisasi belanja modal. Terus meningkatnya data dana perimbangan juga menarik untuk dibandingkan dengan fluktuatifnya data realisasi belanja modal.Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Setyowati dan Suparwati (2012) dan Maiharyanti (2010) dengan penambahan variabel Dana Bagi Hasil (DBH), karena merupakan salah satu komponen pendapatan daerah dalam dana perimbangan APBD. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pendapatan asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH), terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan Belanja Modal sebagai Variabel Intervening.1.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang yang dikemukakan sebelumnya, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:1. Apakah Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja Modal pada Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)?2. Apakah Pendapatan Asli daerah (PAD) berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja Modal pada Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)?3. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja Modal pada Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)?4. Apakah Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja Modal pada Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)?5. Apakah Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja Modal pada Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)?

1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:1. Mengetahui pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja Modal pada Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).2. Mengetahui pengaruh Pendapatan Asli daerah (PAD) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja Modal pada Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).3. Mengetahui pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja Modal pada Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).4. Mengetahui pengaruh Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja Modal pada Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).5. Mengetahui pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja Modal pada Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

1.4. Manfaat Penelitian1.4.1. Manfaat TeoritisHasil penelitian ini diharapkan memberikan konstribusi empiris terhadap dunia akademis untuk pengembangan literatur Akuntansi Sektor Publik. Penelitian ini juga diharapkan menunjukkan adanya agency theory pada pemerintahan daerah serta mengembangkan dan memperkuat hasil penelitian-penelitian sebelumnya tentang pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK, dan DBH terhadap Indeks Pembangunan Manusia melalui Belanja Modal.1.4.2. Manfaat PraktisHasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se-NTB, guna mendukung pelaksanaan otonomi daerah khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan manusia.1.4.3. Manfaat KebijakanHasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan acuan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota se-NTB dalam penyusunan dan pengambilan kebijakan yang menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan manusia.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori2.1.1. Teori Keagenan (Agency Theory)Teori keagenan (Jensen dan Meckling, 1976) menyatakan hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak dimana satu atau lebih (prinsipal) melimpahkan wewenang kepada orang lain (agen) untuk kepentingan mereka. Permasalahan hubungan keagenan ini mengakibatkan terjadinya informasi asimetris (information asymmetry) dan konflik kepentingan (conflict of interest).Kaitan agency theory dalam penelitian ini dapat dilihat melalui hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam penyaluran Dana Perimbangan dan juga hubungan antara masyarakat yang diproksikan oleh DPRD (prinsipal) dengan Pemerintah Daerah (agen). Pemerintah pusat melakukan pelimpahkan wewenang kepada pemerintah daerah dalam mengatur secara mandiri segala aktivitas pemerintahan di daerahnya. Oleh karena itu sebagai konsekuensi dari pelimpahan wewenang tersebut, Pemerintah Pusat menurunkan Dana Perimbangan yang tujuannya adalah membantu Pemerintah Daerah baik dalam mendanai kebutuhan pemerintahan sehari-hari maupun memberi pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat.

20Selain itu, teori keagenan tersirat dalam hubungan Pemerintah Daerah dengan masyarakat. Masyarakat sebagai prinsipal telah memberikan sumber daya kepada daerah berupa pembayaran pajak, retribusi dan sebagainya untuk dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Pemerintah Daerah selaku agen dalam hal ini, sudah seharusnya memberikan timbal balik kepada masyarakat dalam bentuk pelayanan publik yang memadai yang didanai oleh pendapatan daerah itu sendiri.2.1.2. Anggaran Sektor PublikAnggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial. Anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja, dan aktivitas (Mardiasmo, 2009:61).Mardiasmo (2009) menyatakan bahwa penganggaran sektor publik terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap program dan aktivitas dalam satuan moneter. Anggaran sektor publik berisi rencana kegiatan yang direpresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja, dan aktivitas.Nordiawan dan Hertianti (2010) menyatakan bahwa anggaran pada organisasi sektor publik termasuk Pemerintah tidak hanya sebuah rencana tahunan, tetapi juga merupakan bentuk akuntabilitas atas pengelolaan dana publik yang dibebankan kepadanya. Anggaran juga dikatakan sebagai sebuah rencana finansial yang menyatakan; (1) rencana-rencana organisasi untuk melayani masyarakat atau aktivitas lain yang dapat mengembangkan kapasitas organisasi dalam pelayanan, (2) estimasi besarnya biaya yang harus dikeluarkan dalam merealisasikan rencana tersebut, dan (3) perkiraan sumber-sumber yang akan menghasilkan pemasukan serta besarnya pemasukan tersebut.Anggaran Sektor Publik di Indonesia diatur melalui peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang direvisi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka terbitlah Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.Menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sedangkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan merupakan salah satu alat yang memegang peranan penting dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan didalamnya terdapat perincian kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber kekayaan daerah.

2.1.3. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)Menurut Halim dan Nasir (2006 : 44), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan rencana keuangan tahunan Pemda yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemda dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah yang merupakan pedoman bagi Pemda dalam memberikan pelayanan kepada publik dalam masa satu tahun anggaran. APBD terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah.Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Proses penyusunan APBD dimulai dengan pemerintah daerah menyampaikan kebijakan umum APBD dan tahun anggaran berikutnya yang sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah kepada DPRD. Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, pemerintah daerah bersama DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).Berdasarkan kebijakan umum APBD serta prioritas dan plafon anggaran sementara yang telah ditetapkan, Kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) tahun berikutnya dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. RKA-SKPD, setelah dibahas di DPRD akan dijadikan sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya. Setelah Rancangan Perda tentang APBD tersusun, pemerintah daerah mengajukan rancangan tersebut kepada DPRD beserta dokumen-dokumen pendukungnya.APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program dan kegiatan serta jenis belanja. Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan pemerintah daerah, untuk membiayai keperluan setiap bulan pemerintah daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.Setelah APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dalam peraturan kepala daerah. Pemerintah daerah dalam melaksanakan APBD menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama dan Prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya dan disampaikan kepada DPRD untuk dibahas bersama antara DPRD dan pemerintah daerah.Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPRD dengan pemerintah daerah dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan APBD tahun anggaran berkenaan, apabila terjadi:1. Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD;2. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antar jenis belanja;3. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih pada tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.

2.1.4. Pertumbuhan EkonomiPertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang mendorong barang dan jasa yang diproduksikan ke masyarakat bertambah (Sukirno, 2010:9). Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dicerminkan dari angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa yang diproduksi dari seluruh kegiatan pekonomian di seluruh daerah dalam tahun tertentu atau perode tertentu dan biasanya satu tahun.Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah diproksikan dengan PDRB atas Dasar Harga Konstan. PDRB atas Dasar Harga Konstan menggunakan harga pada tahun tertentu sebagai tahun dasar untuk mengeliminasi faktor-faktor kenaikan harga. PDRB merupakan salah satu indikator makro ekonomi yang banyak digunakan untuk mengukur kinerja pembangunan ekonomi, disamping sebagai bahan evaluasi dan perencanaan pembangunan dan perumusan kebijakan ekonomi. Secara konsepsi PDRB menggambarkan total output suatu perekonomian dalam suatu wilayah pada periode tertentu, atau dengan kata lain PDRB adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh sektor ekonomi yang beroperasi dalam suatu wilayah dalam periode tertentu (pendekatan produksi). Berdasarkan pendekatan pendapatan, PDRB adalah jumlah balas jasa yang ditimbulkan oleh faktor produksi yang beroperasi dalam suatu wilayah pada suatu periode waktu. PDRB juga merupakan jumlah pengeluaran yang dikeluarkan oleh semua institusi dalam suatu wilayah pada suatu periode waktu. (BPS Kota Bima, 2012)Dengan demikian, manfaat PDRB adalah menggambarkan fenomena-fenomena ekonomi seperti; pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, sektor-sektor yang menggerakkan ekonomi, pendapatan perkapita, dan pergerakan supply dan demand barang dan jasa. PDRB digunakan untuk berbagai tujuan tetapi yang terpenting adalah untuk mengukur kinerja perekonomian secara keseluruhan. Jumlah ini akan sama dengan jumlah nilai nominal dari konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah untuk barang dan jasa, serta ekspor netto.Menurut System Of National Account (SNA), PDRB dapat dihitung melalui 3 (tiga) pendekatan yaitu; pendekatan produksi (Production Approach), pendekatan pengeluaran (Expenditure Approach), dan pendekatan pendapatan (Income Approach). a. Pendekatan Produksi Pendekatan ini sering disebut juga pendekatan nilai tambah dimana nilai tambah bruto dengan cara mengurangkan nilai output yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi dengan biaya antara lain dari masing-masing nilai produksi bruto dari setiap sektor ekonomi, nilai tambah ini merupaan nilai yang ditambahkan pada barang dan jasa yang diperoleh oleh unit produksi sebagai input antara, nilai yang ditambahkan sama dengan balas jasa faktor produksi atas keikutsertaannya dalam proses produksi.

b. Pendekatan Pendapatan Pendekatan ini merupakan nilai tambah dari kegiatan-kegiatan ekonomi dihitung dengan cara menjumlahkan semua balas jasa faktor produksi yaitu upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan dan pajak tak langsung neto. Pada sektor pemerintahan dan usaha yang sifatnya tidak mencari keuntungan, surplus usaha seperti bunga neto, sewa tanah dan keuntungan tidak diperhitungkan. c. Pendekatan Pengeluaran Pendekatan pengeluaran digunakan untuk menghitung nilai barang dan jasa yang digunakan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat untuk kepentingan konsumsi rumah tangga, pemerintah dan yayasan sosial, pembentukan modal dan ekspor, nilai barang dan jasa hanya berasal dari produksi domestik, total pengeluaran dari komponen-komponen tersebut harus dikurangi nilai impor sehingga nilai ekspor yang dimaksud adalah ekspor neto, penjumlahan seluruh komponen pengeluaran akhir ini disebut PDRB atas dasar harga pasar.2.1.5. Pendapatan Asli Daerah (PAD)Menurut Bratakusumah dan Solihin (2002) pengertian PAD adalah pendapatan yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan guna membiayai kegiatan-kegiatan daerah tersebut. Berdasarkan Permendagri 13 tahun 2006, kelompok PAD terdiri dari empat jenis pendapatan, yaitu pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, PAD adalah pendapatan daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD merupakan pendapatan rutin yang diperoleh dengan memanfaatkan potensi-potensisumber keuangan daerah untuk membiayai tugas dan tanggung jawabnya. Tujuan PAD adalah memberi keleluasaan kepada Pemerintah Daerah untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan potensi daerahnya.2.1.6. Dana Bagi Hasil (DBH)Menurut UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan memperhatkan potensi daerah penghasil berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berdasarkan definisi tersebut, maka prinsip DBH adalah pengalokasian dilakukan berdasarkan prinsip by origin (daerah penghasil) dan penyaluran berdasarkan realisasi penerimaan.DBH dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu, DBH Sumber Daya Alam (SDA) dan DBH Pajak. Jenis Penerimaan DBH SDA berasal dari Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan, Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, serta Pertambangan Panas Bumi. Sedangkan DBH Pajak bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.Selain yang telah disebutkan, yang termasuk dalam DBH adalah DBH Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). DBHCHT diatur berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VI/2008 tahun 2008. Setiap tahunnya Pemerintah Pusat mengalokasikan dan menyalurkan DBHCHT dari penerimaan negara cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia kepada Provinsi Penghasil Cukai Hasil Tembakau untuk dibagikan kepada Kabupaten/Kota di wilayahnya.2.1.7. Dana Alokasi Umum (DAU)Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 menyatakan bahwa DAU merupakan dana yang berasal dari pendapatan APBN yang dialokasikan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah untuk mendanai kebutuhan Daerah Otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas dasar besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. Pendapatan dalam negeri neto adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah. DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum, seperti penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Setiap kebutuhan pendanaan diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia. Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil. Data untuk menghitung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal diperoleh dari Badan Pusat Statistik dan/atau lembaga pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.Proporsi DAU antara daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah Provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah Provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah Provinsi. Bobot daerah Provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah Provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah Provinsi. DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah Kabupaten/Kota dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah Kabupaten/Kota. Bobot daerah Kabupaten/Kota merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah Kabupaten/Kota.2.1.8. Dana Alokasi Khusus (DAK)Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK dimaksudkan untuk mendanai kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu, khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat. Kegiatan khusus tersebut sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Kegiatan khusus yang ditetapkan oleh pemerintah mengutamakan kegiatan pembangunan dan/atau pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang.Daerah tertentu yang dimaksud adalah daerah yang memenuhi kriteria yang ditetapkan setiap tahun untuk mendapatkan alokasi DAK. Dengan demikian, tidak semua daerah mendapatkan alokasi DAK. Hal yang dimaksud dengan fungsi dalam rincian belanja negara antara lain terdiri atas layanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial.Daerah tertentu yang dapat memperoleh alokasi DAK ditentukan berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum berarti mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria khusus berarti memerhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Kriteria teknis merupakan kriteria yang ditetapkan oleh kementerian negara atau departemen teknis. Daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% dari alokasi DAK. Dana Pendamping harus dianggarkan dalam APBD, namun bagi daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan dana pendamping.Berbeda halnya dengan DAU dan DBH, pemanfaatn DAK ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Sesuai dengan Pasal 1 angka 23 UU 33 Tahun 2004, pemerintah pusat menyalurkan alokasi DAK untuk membantu daerah tertentu dalam pendanaan kebutuhan sarana prasarana pelayanan dasar masyarakat dan mendorong percepatan pembangunan daerah untuk pencapaian sasaran prioritas nasional.Pemerintah pusat melalui Bappenas menentukan target sektor penerima DAK setiap tahun, sesuai dengan prioritas nasional. Bappenas menentukan sektor penerima DAK dan didasarkan pada PP No. 55 Tahun 2005, Kementerian Teknis terkait menetapkan program yang menjadi prioritas nasional di sektor tersebut.2.1.9. Belanja ModalBelanja modal merupakan salah satu komponen belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kebutuhan investasi. Belanja modal yaitu pengeluaran yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan dapat menambah aset pemerintah yang selanjutnya meningkatkan biaya pemeliharaan (Mardiasmo, 2009:67). Belanja modal dapat dikelompokkan menjadi lima kategori antara lain, belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, serta belanja modal fisik lainnya.Belanja modal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi 1 (satu) tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Belanja modal yang dialokasikan dalam APBD digunakan untuk memperoleh aset tetap pemerintah daerah seperti peralatan, infrastruktur dan lainnya. Aset tetap merupakan salah satu syarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah.Berdasarkan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 tentang perubahan Permendagri 13 tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pengadaan asset berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan.2.1.10. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)Pembangunan manusia adalah sebuah proses pembangunan yang bertujuan agar mampu memiliki lebih banyak pilihan, khususnya dalam pendapatan, kesehatan, dan pendidikan. Pembangunan manusia sebagai ukuran kinerja pembangunan secara keseluruhan dibentuk melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat; pengetahuan; serta kehidupan yang layak kemudian masing-masing dimensi direpresentasikan dengan indikator. Dimensi umur panjang dan sehat direpresentasikan dengan indikator angka harapan hidup; dimensi pengetahuan direpresentasikan dengan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah; serta dimensi kehidupan yang layak direpresentasikan oleh indikator kemampuan daya beli. Semua indikator yang merepresentasikan ketiga dimensi pembangunan manusia ini terangkum dalam satu nilai tunggal, yaitu angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). (BPS, 2008)Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau disebut juga dengan Human Development Index (HDI) adalah indeks komposit untuk mengukur pencapaian kualitas pembangunan manusia untuk dapat hidup secara lebih berkualitas, baik dari aspek kesehatan, pendidikan, maupun aspek ekonomi (UNDP, 2004). IPM juga digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup (UNDP, 1996). IPM mulai digunakan oleh UNDP sejak tahun 1990 untuk mengukur upaya pencapaian pembangunan manusia suatu negara. Walaupun IPM tidak dapat mengukur semua dimensi dari pembangunan, namun mampu mengukur dimensi pokok pembangunan manusia yang dinilai mencerminkan status kemampuan dasar (basic capabilities) penduduk.Komponen indeks pembangunan manusia terdiri dari:a. Angka Harapan HidupAngka Harapan Hidup (AHH) pada waktu lahir merupakan rata-rata perkiraan banyak tahun yang dapat ditempuh oleh seseorang selama hidup.b. Angka Melek HurufAngka Melek Huruf (AMH) persentase jumlah penduduk usia 15 tahun keatas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya.c. Rata-rata Lama SekolahRata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun keatas dalam menjalani pendidikan formal.d. Pengeluaran Riil per Kapita yang disesuaikan.UNDP mengukur standar hidup layak menggunakan Produk Domestik Bruto (PDB) riil yang disesuaikan, sedangkan BPS dalam menghitung standar hidup layak menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan formula Atkinson.Batas maksimum daya beli adalah sebesar Rp732.720,-. Sementara itu, sampai tahun 1996 batas minimumnya adalah Rp300.000,-, sedangkan sejak tahun 1999, batas minimum penghitungan PPP diubah dan disepakati menjadi Rp360.000 sebagai penyesuaian adanya krisis ekonomi di Indonesia (BPS, 2014).2.2. Penelitian TerdahuluBadrudin dan Mufidhatul (2011) dalam penelitiannya tentang Pengaruh Pendapatan dan Belanja Daerah terhadap Pembangunan Manusia di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan APBD yang tercermin melalui alokasi pengeluaran publik seperti bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur terhadap pembangunan manusia di Provinsi DIY. Variabel terikat yang pada penelitian ini adalah IPM, sedangkan variabel bebas yang digunakan adalah Pengeluaran Pemerintah di Bidang Pendidikan pada 2 Tahun Sebelumnya, Pengeluaran Pemerintah di Bidang Pendidikan pada 3 Tahun Sebelumnya, Pengeluaran Pemerintah di Bidang Kesehatan pada 2 Tahun Sebelumnya, Pengeluaran Pemerintah di Bidang Kesehatan pada 3 Tahun Sebelumnya, Pengeluaran Pemerintah di Bidang Infrastruktur pada 2 Tahun Sebelumnya, dan Pengeluaran Pemerintah di Bidang Infrastruktur pada 3 Tahun Sebelumnya. Koefisien determinasi yang dihasilkan hanya mampu menunjukkan keterkaitan seluruh variabel bebas ke variabel terikatnya sebesar 21%, sisa sebesar 79% menunjukkan bahwa variabel IPM dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar pengamatan. Secara parsial dan simultan juga menunjukkan bahwa variabel-variabel bebasnya tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat IPM.Kesimpulan dari penelitian Badrudin dan Mufidhatul (2011) adalah:1. Variabel pengeluaran pemerintah di Provinsi DIY pada sektor pendidikan berpengaruh tidak signifikan terhadap pembangunan manusia di Provinsi DIY baik dengan pengamatan waktu menggunakan time lag 2 dan 3 tahun;2. Variabel pengeluaran pemerintah di Provinsi DIY pada sektor kesehatan berpengaruh tidak signifikan terhadap pembangunan manusia di Provinsi DIY baik dengan pengamatan waktu menggunakan time lag 2 dan 3 tahun;3. Variabel pengeluaran pemerintah di Provinsi DIY pada sektor infrastruktur berpengaruh tidak signifikan terhadap pembangunan manusia di Provinsi DIY baik dengan pengamatan waktu menggunakan time lag 2 dan 3 tahun;4. Keberhasilan pembangunan manusia yang terjadi di DIY lebih banyak ditentukan oleh sense of education masyarakat yang dilakukan secara mandiri dan sangat dipengaruhi oleh kondisi dan kekuatan ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat itu mandiri. Apalagi dengan masyarakat yang sangat terbuka terhadap perubahan dari luar, membuat masyarakat Yogyakarta lebih peka terhadap tuntutan dari luar;5. Pemerintah Provinsi DIY belum memiliki komitmen yang kuat terhadap upaya pembangunan manusia di wilayahnya. Rendahnya komitmen pemerintah tersebut selain dibuktikan dengan rendahnya alokasi pengeluaran sektor publik yang menunjang pembangunan manusia baik secara absolut dan relatif, juga dibuktikan dengan nilai anggaran yang memiliki fluktuasi sangat tinggi dan tidak pasti.Maiharyanti (2010) meneliti Pengaruh Pendapatan Daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia dan Belanja Modal sebagai Variabel Intervening pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Nanggroe Aceh Darussalam yang bertujuan untuk memperoleh bukti empiris dan menganalisis Dana Alokasi umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang berpengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Belanja Modal (BM) sebagai Variabel Intervening.Variabel penelitian yang digunakan terdiri dari variabel bebas (Independen) adalah Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi husus, Pendapatan Asli Daerah. Dana Alokasi Umum yaitu transfer yang bersifat umum dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah untuk mengatasi kepentingan horizontal dalam pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran pemerintah. Dana Alokasi Khusus yaitu transfer yang bersifat khusus dari pemerintah pusat ke pemerintahan daerah untuk mengatasi kepentingan horizontal dalam pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran pemerintah. Pendapatan Asli Daerah yaitu penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayah sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah. Variabel terikat (Dependen) Indeks Pembangunan Manusia yaitu capaian pembangunan manusia atas layanan dasar bidang kesehatan, pendidikan, kesehatan. Variabel Intervening Belanja Modal yaitu pengeluaran yang dilakukan dalam rangka kegiatan pengadaan, sarana prasarana fisik pembangunan, peningkatan atas indikator kesehatan, pendidikan dan ekonomi.Hasil penelitian Maiharyanti (2010) adalah sebagai berikut:1. Secara simultan Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.2. Hasil dari koefisien jalur Dana Alokasi Umum tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap Belanja Modal. Dana Alokasi Khusus berpengaruh secara secara parsial terhadap Belanja Modal. Sedangkan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh secara parsial terhadap Belanja Modal.3. Belanja modal berpengaruh secara parsial terhadap Indeks Pembangunan Manusia.4. Dana Alokasi Khusus dan Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia dan Belanja Modal sebagai variabel intervening.Setyowati dan Suparwati (2012) meneliti Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, DAU, DAK, PAD terhadap Indeks Pembangunan Manusia dengan Pengalokasian Anggaran Belanja Modal sebagai Variabel Intervening. Penelitiannya dilakukan pada Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Jawa Tengah. Variabel terikat yang digunakan adalah IPM, sedangkan variabel bebasnya adalah pertumbuhan ekonomi yang diproksikan dengan PDRB, DAU, DAK dan PAD. Pengalokasian belanja modal yang diproksikan dengan realisasi belanja modal adalah sebagai variabel intervening.Hasil penelitian menunjukkan bahwa:1. Pertumbuhan Ekonomi (PE) terbukti tidak berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM);2. Dana Alokasi Umum (DAU) terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM);3. Dana Alokasi Khusus (DAK) terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM);4. Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM); dan5. Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM) yang diproksikan dengan Belanja Modal (BM) terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Christy dan Adi (2009) telah meneliti hubungan dana alokasi umum, belanja modal dan kualitas pembangunan manusia. Kualitas pembangunan manusia diproksikan dengan Indeks Pertumbuhan Manusia (IPM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa belanja modal berpengaruh terhadap IPM. Kualitas pembangunan manusia diproksikan dengan Indeks Pertumbuhan Manusia (IPM) yang dapat mengklasifikasikan apakah suatu negara adalah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan untuk mengukur pengaruh kebijakan ekonomi terhadap kualitas hidup serta mengukur pencapaian kualitas pembangunan manusia untuk dapat hidup secara lebih berkualitas dilihat dari aspek kesehatan, pendidikan, dan aspek ekonomi. Hasil penelitian ini juga menunjukkan besarnya alokasi belanja modal akan menentukan pengalokasian dana bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dilihat dari tingkat IPM yaitu tingkat kesejahteraan dari sisi pendidikan, kesehatan, maupun taraf hidup untuk melihat kualitas pembangunan manusia.Wandira (2013) meneliti Pengaruh PAD, DAU, DAK, dan DBH terhadap Pengalokasian Belanja Modal yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Pemerintah Provinsi se-Indonesia baik secara simultan maupun parsial. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini adalah:1. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel PAD terhadap Belanja Modal;2. Terdapat pengaruh yang signifikan negatif antara variabel DAU terhadap Belanja Modal;3. Terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel DAK terhadap Belanja Modal.4. Terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel DBH terhadap Belanja Modal.5. Secara simultan variabel PAD, DAU, DAK dan DBH berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.Melihat adanya fenomena yang berbeda dari pengaruh DAU yang secara langsung bertanda negatif terhadap belanja modal, sebaiknya pemerintah daerah lebih memperhatikan proporsi DAU yang di alokasikan ke anggaran belanja modal. Sedangkan, berdasar pengaruh DAK dan DBH yang sangat signifikan terhadap belanja modal, maka sebaiknya pemerintah lebih meningkatkan anggaran DAK dan DBH yang diproporsikan ke anggaran belanja modal.Tuasikal (2008) meneliti pengaruh DAU, DAK, PAD, dan PDRB terhadap belanja modal pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa secara simultan DAU dan DAK, PAD dan PDRB berpengaruh terhadap belanja modal pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia. Secara parsial, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa DAU,DAK dan PAD berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal daerah kabupaten/kota di Indonesia, sedangkan PDRB tidak berpengaruh.Oktora dan Pontoh (2013) menganalisis hubungan pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus atas belanja modal pada pemerintah daerah Kabupaten Toli-toli Provinsi Sulawesi Tengah. Secara umum, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara PAD, DAU, dan DAK dengan belanja modal.Mirza (2012) dalam penelitiannya tentang pengaruh kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan belanja modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Jawa Tengah tahun 2006-2009, menyatakan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi dan belanja modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Berbeda dengan Mirza (2012), Sumiyati (2011) yang melakukan penelitian tentang pengaruh belanja modal terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Barat, dengan hasilnya menyatakan bahwa belanja modal tahun 2006 dan 2007 baik secara parsial maupun simultan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap IPM 2008 di Provinsi Jawa Barat. Hal ini mencerminkan bahwa dalam struktur alokasi APBD belum sepenuhnya dapat menggambarkan pembangunan kualitas manusia menjadi arah dan kebijakan pembangunan.

2.3. Kerangka Konseptual dan Pengembangan Hipotesis2.3.1. Kerangka Konseptual

PDRBPADDBHDAUDAKBelanja ModalIPMDana PerimbanganGambar 2.1Model PenelitianBerdasarkan uraian dalam latar belakang, tinjauan pustaka, dan penelitian terdahulu, disusunlah model penelitian. Model penelitian ini merupakan model jalur. Sarwono (2007:3), model jalur ialah suatu diagram yang menghubungkan antara variabel bebas, perantara dan tergantung. Model ini disusun untuk menjelaskan variabel-variabel yang berkedudukan sebagai variabel exogenous, variabel endogenous dan variabel intervening. Model penelitian menggambarkan hubungan pengaruh antar variabel dalam studi ini, seperti digambarkan pada gambar berikut.

Kerangka konsep pada model penelitian yang disusun menggambarkan pengaruh 5 (lima) variabel exogenous yaitu Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DBH, DAU, dan DAK terhadap variabel endogenous Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui variabel intervening Belanja Modal.Pemerintah daerah selaku agent pada sistem pembangunan bertanggung jawab dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat di daerahnya. Peningkatan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengalokasian belanja secara umum dan secara khsus belanja modal, berdasarkan sumber-sumber pendapatan daerah juga merupakan hal yang mutlak harus dilakukan oleh penyelenggara pemerintah daerah. Tepatnya pengalokasian belanja modal berdasarkan sumber-sumber pendapatan daerah terutama pada bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur akan menciptakan pembangunan manusia yang baik, tercermin dari peningkatan indeks pembangunan manusia. Pada penelitian ini, sumber-sumber pendapatan daerah hanya dibatasi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan.2.3.2. Pengembangan Hipotesis2.3.2.1 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja ModalPerbedaaan sifat dan karakteristik akuntansi sektor swasta dan sektor publik disebabkan karena adanya perbedaan lingkungan yang memepengaruhi (Mardiasmo, 2009:3). Salah satu faktor ekonomi yang mempengaruhi organisasi sektor publik adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator dari keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Dimana pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah harus tepat sasaran, sehingga pertumbuhan ekonomi akan mengalami peningkatan. Bila pertumbuhan ekonomi daerah meningkat maka pembangunan manusia yang dilihat dari tingkat kesejahteraan masyarakat akan semakin meningkat, demikian juga produktifitas masyarakatnya.Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dicerminkan dari angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB adalah jumlah nilai tambah barang dan jasa yang diproduksi dari seluruh kegiatan perekonomian di seluruh daerah dalam tahun tertentu atau periode tertentu dan biasanya satu tahun. Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah diproksikan dengan PDRB atas Dasar Harga Konstan 2000. Penelitian Setyowati dan Suparwati (2012) menyimpulkan bahwa Pertumbuhan Ekonomi (PE) yang diproksikan dengan PDRB terbukti tidak berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM).Tuasikal (2008) menyatakan bahwa DAU, DAK, PAD, dan PDRB secara simultan berpengaruh terhadap belanja modal pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia, namun secara parsial PDRB tidak berpengaruh terhadap belanja modal. Mirza (2012) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap IPM di Provinsi Jawa Tengah yang berarti pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi maka akan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia.Mirza (2012) juga menyatakan bahwa variabel belanja modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Sebaliknya, Sumiyati (2011) menyatakan bahwa belanja modal tahun 2006 dan 2007 baik secara parsial maupun simultan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap IPM 2008 di Provinsi Jawa Barat.Secara signifikan, pada penelitian terdahulu nampak bahwa IPM dapat dipengaruhi oleh belanja modal. Pertumbuhan ekonomi yang diproksikan dengan PDRB secara signifikan dapat mempengaruhi belanja modal, sehingga secara tidak langsung PDRB dapat mempengaruhi IPM melalui alokasi belanja modal.Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut:H1:Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja Modal

2.3.2.2 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja ModalPemerintah daerah dituntut untuk dapat akuntabilitas, transparansi dan profesionalisme dalam menjalankan pemerintahan daerah, terutama dalam proses pengelolaan keuangan daerah. Tuntutan ini mengharuskan pemerintah daerah melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan APBD. Laporan Realisasi Anggaran adalah salah satu bentuk pelaporan pemerintah daerah yang didalamnya termasuk realisasi pendapatan dan belanja. Salah satu realisasi sumber pendapatan adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tujuan PAD adalah memberi keleluasaan kepada Pemerintah Daerah untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan potensi daerahnya. Kemampuan pembiayaan daerah yang bersumber dari PAD merupakan indikator dari kemandirian daerah. PAD digunakan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat, dapat dalam bentuk pembangunan sarana pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur lainnya yang dapat menunjang Indeks Pembangunan Manusia (IPM).Setyowati dan Suparwati (2012) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (PABM). Sejalan dengan Setyowati dan Suparwati (2012), Maiharyanti (2010) juga menyimpulkan bahwa Pendapatan Asli Daerah berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia dan Belanja Modal sebagai variabel intervening.Penelitian Tuasikal (2008) menyatakan bahwa secara parsial PAD berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal daerah kabupaten/kota di Indonesia. Oktora dan Pontoh (2013) menyatakan bahwa hasil uji korelasi PAD dengan Belanja Modal menunjukkan terdapat hubungan yang kurang erat akibat rendahnya proporsi PAD dalam komposisi Pendapatan Daerah.Mirza (2012) menyatakan bahwa variabel belanja modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Sebaliknya, Sumiyati (2011) menyatakan bahwa belanja modal tahun 2006 dan 2007 baik secara parsial maupun simultan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap IPM 2008 di Provinsi Jawa Barat.Penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa IPM dapat dipengaruhi oleh belanja modal. PAD secara umum mempengaruhi belanja modal, walaupun terdapat penelitian yang menghasilkan bahwa PAD tidak berhubungan erat dengan belanja modal. Untuk itu, secara tidak langsung PAD dapat mempengaruhi IPM melalui alokasi belanja modalBerdasarkan uraian di atas, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut:H2:Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja Modal

2.3.2.3 Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja ModalDana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu Dana Perimbangan adalah adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap daerah otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. Sama halnya dengan realisasi PAD, realisasi DAU juga dilaporkan oleh pemerintah daerah dalam Laporan Realisasi Anggaran dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD).Penelitian Tuasikal (2008) menyatakan bahwa secara parsial DAU berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal daerah kabupaten/kota di Indonesia. Rata-rata pemerintah daerah lebih mengutamakan transfer atau bantuan pemerintah pusat berupa DAU. Sejalan dengan Tuasikal (2008), Oktora dan Pontoh (2013) menyatakan bahwa hubungan antara DAU dengan Belanja Modal adalah sangat erat. Hal ini ditunjang oleh pemberian DAU dalam jumlah banyak sehingga memiliki proporsi yang dominan dalam membiayai belanja modal.Mirza (2012) menyatakan bahwa variabel belanja modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Sebaliknya, Sumiyati (2011) menyatakan bahwa belanja modal tahun 2006 dan 2007 baik secara parsial maupun simultan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap IPM 2008 di Provinsi Jawa Barat.Penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa DAU secara signifikan berpengaruh positif terhadap belanja modal, sehingga diharapkan bahwa DAU dapat secara signifikan pula berpengaruh secara tidak langsung terhadap IPM melalui alokasi belanja modal pada APBD.Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut:H3:Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja Modal

2.3.2.4 Pengaruh Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja ModalDAK adalah alokasi dari APBN kepada Provinsi/Kabupaten/Kota tertentu di Indonesia dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Pemerintah Daerah yang sesuai dengan prioritas Nasional. DAK merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. Sama halnya dengan realisasi DAU sebagai dana perimbangan, realisasi DAK juga dilaporkan oleh pemerintah daerah dalam Laporan Realisasi Anggaran dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD).Penelitian Tuasikal (2008) menyatakan bahwa secara parsial DAK berpengaruh positif terhadap alokasi belanja modal daerah kabupaten/kota di Indonesia. Rata-rata pemerintah daerah lebih mengutamakan transfer atau bantuan pemerintah pusat berupa DAU dan DAK. Sejalan dengan Tuasikal (2008), Oktora dan Pontoh (2013) menyatakan bahwa DAK dengan Belanja Modal menunjukkan hubungan yang erat. Realita ini dilatarbelakangi oleh tingginya ketergantungan Pemerintan Daerah terhadap dana transfer, khususnya dalam pengadaan aset tetap pada proyek tertentu yang urusannya diserahkan oleh Pemerintah Pusat.Mirza (2012) menyatakan bahwa variabel belanja modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Sebaliknya, Sumiyati (2011) menyatakan bahwa belanja modal tahun 2006 dan 2007 baik secara parsial maupun simultan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap IPM 2008 di Provinsi Jawa Barat.Penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa DAK secara signifikan berpengaruh positif terhadap belanja modal, sehingga diharapkan bahwa DAK dapat secara signifikan pula berpengaruh secara tidak langsung terhadap IPM melalui alokasi belanja modal pada APBD.Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut:H4:Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja Modal

2.3.2.5 Pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja ModalSebagai salah satu komponen dari Dana Perimbangan, DBH yang bersumber dari APBN dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah penghasil. Sebagai salah satu sumber pendapatan bagi pemerintah daerah Kabupaten/Kota, DBH ditujukan untuk memberikan keadilan bagi daerah atas potensi yang dimilikinya, sehingga pemerintah daerah dapat menggunakannya untuk penyediaan infrastruktur yang berkenaan dengan potensi tersebut melalui belanja modal.Petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan dari beberapa Dana Bagi Hasil yang ditransfer ke daerah, menunjukkan bahwa dapat dialokasikannya belanja modal yang menunjang pengembangan hasil dari potensi daerah. Untuk itu, diharapkan DBH dapat signifikan mempengaruhi belanja modal, sehingga secara tidak langsung juga mempengaruhi tingkat IPM daerah. Berdasarkan desain penelitian, peneliti akan memberikan bukti empiris dan menganalisis pengaruh DBH terhadap pengalokasian belanja modal yang berdampak lebih lanjut terhadap IPM di Kabupaten/Kota se-Provinsi NTB.Sama halnya dengan realisasi DAU dan DAK sebagai dana perimbangan, realisasi penerimaan DBH juga dilaporkan oleh pemerintah daerah dalam Laporan Realisasi Anggaran dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) sebagai pertanggungjawaban.Wandira (2013) menyimpulkan bahwa secara parsial terdapat pengaruh yang signifikan variabel DBH terhadap Belanja Modal. Disamping itu, secara simultan, variabel PAD, DAU, DAK dan DBH berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Mirza (2012) menyatakan bahwa variabel belanja modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia.Penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa DBH berpengaruh positif terhadap belanja modal dan belanja modal berpengaruh terhadap IPM. Sama halnya dengan komponen dana perimbangan lainnya, DBH diharapkan dapat berpengaruh secara tidak langsung terhadap IPM melalui alokasi belanja modal pada APBD.Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesisnya adalah sebagai berikut:H5:Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Belanja Modal

BAB IIIMETODOLOGI3.1. Jenis PenelitianPenelitian ini termasuk dalam paradigma kuantitatif yang menekankan pada pengujian teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan menggunakan prosedur statistika. Berdasarkan pada karakteristik permasalahan, jenis penelitian adalah penelitian kausal-komparatif. Jogiyanto (2011:9), penelitian kausal-komparatif yaitu penelitian yang bertujuan menguji hubungan sebab-akibat antara 2 (dua) variabel atau lebih serta menggunakan data atau peristiwa masa lalu. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh variabel exogenous (Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK, dan DBH) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui Pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat. Data Pertumbuhan Ekonomi yang diproksikan dengan PDRB, PAD, DAU, DAK, dan DBH digunakan data tahun 2008-2012, sedangkan data IPM yang digunakan adalah data tahun 2009-2013.3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

52Penelitian ini akan dilakukan pada Kabupaten/Kota se-Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Lokasi ini dipilih guna melihat pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK, dan DBH pada Kabupaten/Kota di Provinsi NTB terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melalui belanja modal, sehingga dapat menunjang peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi NTB.Penelitian ini direncanakan selama 12 (dua belas) minggu pada tahun 2015.3.3. Populasi dan Sampel PenelitianSudjana (1989:6), mendefinisikan bahwa populasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung ataupun pengukuran, kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat yaitu sebanyak 10 (sepuluh) Kabupaten/Kota, yang terdiri dari 8 (delapan) Kabupaten yakni Lombok Utara, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, dan Bima serta 2 (dua) Kota yaitu Kota Mataram dan Kota Bima.Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi (Sudjana, 1989:6). Pada penelitian ini akan dilakukan pengambilan sampel berdasarkan Sampling Purposif. Pengambilan sampel dikatakan sebagai sampling purposif atau disebut juga sampling pertimbangan, terjadi apabila pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pertimbangan perorangan atau pertimbangan peneliti (Sudjana, 1989:168). Pemerintah daerah yang menjadi sampel adalah pemerintah daerah yang telah memiliki Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang memuat Laporan Realisasi Anggaran (LRA) tahun 2008-2012, serta terpublikasi pada NTB Dalam Angka untuk data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2009-2013.Mengingat sebagian pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang menjadi populasi dalam penelitian merupakan Kabupaten/Kota pemekaran dan belum menyajikan data sesuai dengan kebutuhan penelitian, dengan demikian, sampel dalam penelitian ini berjumlah 9 (sembilan) Kabupaten/Kota yaitu Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima, Kota Mataram, dan Kota Bima. Dimensi waktu yang digunakan adalah 5 (lima) tahun.Gujarati (2004), data panel (pooled data) atau yang disebut juga data longitudinal merupakan gabungan antara data cross section dan data time series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu, sedangkan data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Jumlah unit analisis amatan menjadi 45 sampel (9 Kab/Kota x 5 tahun).3.4. Metode Pengumpulan DataData dalam penelitian ini bersumber dari data sekunder. Data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2009-2013 diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB. Data Pertumbuhan Ekonomi yang diproksikan dengan PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2008-2012, diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB. Data PAD, DAU, DAK, dan DBH masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi NTB diperoleh dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA) pada Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi NTB tahun 2008-2012.

3.5. Definisi Operasional VariabelPenelitian ini menggunakan 5 (lima) variabel exogenous yaitu Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK, dan DBH; 1 (satu) variabel endogenous yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM); serta 1 (satu) variabel intervening yaitu Belanja Modal. Secara operasional variabel-variabel dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:1. Pertumbuhan ekonomi adalah perkembangan kegiatan perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan efeknya kemakmuran masyarakat meningkat. Dalam penelitian ini Pertumbuhan Ekonomi diproksikan dengan PDRB atas dasar harga konstan 2000. Data ini diukur berdasarkan angka yang tercantum dalam daftar PDRB Kabupaten/Kota di Provinsi NTB tahun 2008-2012 yang diukur dengan skala rasio.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang berasal dari dalam daerah berupa Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah, yang dikelola sendiri oleh Pemerintah Daerah guna membiayai kegiatan-kegiatan pembangunan daerah tersebut. Pada penelitian ini data PAD diperoleh dari total realisasi PAD masing-masing Kabupaten/Kota se-Provinsi NTB pada tahun 2008-2012 yang diukur dengan skala rasio.3. Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana transfer pusat yang dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Pada penelitian ini data DBH diperoleh dari total realisasi DBH masing-masing Kabupaten/Kota se-Provinsi NTB pada tahun 2008-2012 yang diukur dengan skala rasio. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana transfer pusat yang dialokasikan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah otonom dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Pada penelitian ini data DAU diperoleh dari total realisasi DAU masing-masing Kabupaten/Kota se-Provinsi NTB pada tahun 2008-2012 yang diukur dengan skala rasio. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana transfer pusat yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah namun sesuai dengan prioritas nasional. Pada penelitian ini data DAK diperoleh dari total realisasi DAK masing-masing Kabupaten/Kota se-Provinsi NTB pada tahun 2008-2012 yang diukur dengan skala rasio.4. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks komposit untuk mengukur pencapaian kualitas pembangunan manusia untuk dapat hidup secara lebih berkualitas, baik dari aspek kesehatan, pendidikan, maupun aspek ekonomi. Dalam penelitian ini, nilai IPM diperoleh berdasarkan angka pada dokumen IPM Kabupaten/Kota se-Provinsi NTB tahun 2009-2013 yang diukur dengan skala rasio.5. Belanja Modal adalah sejumlah pengeluaran yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan dapat menambah aset pemerintah. Pada penelitian ini data alokasi belanja modal diperoleh dari total realisasi belanja modal masing-masing Kabupaten/Kota se-Provinsi NTB pada tahun 2008-2012 yang diukur dengan skala rasio.3.6. Metode dan Teknik Analisis Data3.6.1. Analisis DeskriptifPada tahap analisis ini akan digambarkan tentang keseluruhan data baik, dari variabel exogenous (Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK, dan DBH), variabel endogenous (IPM) dan variabel interveningnya (Belanja Modal). Gambaran ini berupa Total Data Amatan (N), Nilai Minimum, Nilai Maksimum, Rataan (mean) dan Standar Deviasi untuk masing-masing variabel.3.6.2. Uji Asumsi Klasika) NormalitasGhozali (2013:160) menyatakan bahwa uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Uji t dan F mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Pada penelitian ini, uji normalitas menggunakan analisis grafik histogram dan grafik normal plot, dengan ketentuan sebagai berikut: Jika data menyebar disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas. Jika data menyebar jauh dari diagonal dan/atau tidak mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogram tidak menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.b) HeteroskedastisitasGhozali (2013:139), uji asumsi heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Apabila asumsi tidak terjadinya heteroskedastisitas ini tidak dipenuhi, maka penaksir menjadi tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun besar. Pada penelitian ini, cara yang digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas adalah dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel dependen yaitu ZPRED dengan residualnya SRESID, dengan analisis sebagai berikut: Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.c) MultikolinearitasUji asumsi tentang multikolinearitas ini dimaksudkan untuk membuktikan atau menguji ada tidaknya hubungan yang linear antara variabel bebas (exogenous) satu dengan variabel bebas (endogenous) yang lainnya. Dalam analisis regresi, maka dapat terdapat dua atau lebih variabel bebas yang diduga akan mempengaruhi variabel terikatnya (dependent). Adanya hubungan yang linear antar variabel independen akan menimbulkan kesulitan dalam memisahkan pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependennya. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Jika terjadi korelasi, maka terdapat masalah multikolinearitas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi antara variabel independennya. Multikolinieritas yang berbahaya terjadi apabila nilai dari Variance Inflation Faktor (VIF) lebih besar dari 10 (Gujarati, 1993). d) AutokorelasiPengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi antara residual pada satu pengamatan dengan pengamatan yang lain dalam satu variabel. Konsekuensi dari autokorelasi adalah biasnya varian dengan nilai yang lebih kecil dari nilai yang sebenarnya, sehingga nilai R2 dan F cenderung overestimated (Gujarati, 1993). Cara untuk mendeteksi autokorelasi pada penelitian ini adalah dengan menggunakan pengujian Durbin Watson (DW) dengan ketentuan sebagai berikut (Ghozali, 2013:111):Hipotesis nolKeputusanJika

Tidak ada autokorelasi positifTidak ada autokorelasi positifTidak ada korelasi negatifTidak ada korelasi negatifTidak ada autokorelasi, positif atau negatifTolakNo decisionTolakNo decisionTidak ditolak0 < d < dLdL d dU4-dL < d < 44-dU d 4-dLdU < d < 4-dU

3.6.3. Metode Analisis DataPenelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan analisis jalur (path analysis) dengan alat analisis yaitu software Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 22. Tahapan dalam analisis yang akan dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut:Tahap Pertama: Menentukan model diagram jalur berdasarkan paradigma hubungan antar variabel (seperti pada Gambar 2.1).

X1X2X3X4X5Dana PerimbanganYZ12Gambar 3.1Diagram Jalur Model PenelitianTahap Kedua: membuat diagram jalur persamaan strukturalnya.

Berdasarkan gambar 3.1 tersebut, maka model penelitian ini termasuk dalam model persamaan dua jalur. Model strukturalnya adalah sebagai berikut: persamaan struktural 1Y=YX1 + YX2 + YX3 + YX4 + YX5 + 1

persamaan struktural 2Z=ZX1 + ZX2 + ZX3 + ZX4 + ZX5 + ZY + 2dimana: X1: Pertumbuhan Ekonomi (diproksikan dengan PDRB)X2: PADX3: DBHX4: DAUX5: DAKY : Belanja Modal Z : IPM: errorTahap Ketiga: Mengolah dan menganalisis data dengan SPSS versi 22 sesuai dengan persamaan struktural pada tahap kedua.Tahap Keempat: Penafsiran hasil analisis data.Persamaan Struktural 1.a. Analisis Korelasi; melihat korelasi antara variabel Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK, DBH, dan Belanja Modal.b. Analisis Regresi; melihat pengaruh langsung Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK, dan DBH secara parsial terhadap Belanja Modal. melihat pengaruh langsung Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK, dan DBH secara simultan terhadap Belanja Modal.

Persamaan Struktural 2.a. Analisis Korelasi; melihat korelasi antara variabel Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK, DBH, Belanja Modal, dan IPM.b. Analisis Regresi; melihat pengaruh langsung Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK, DBH, dan Belanja Modal secara parsial terhadap Indeks Pembangunan IPM? melihat pengaruh langsung Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK, DBH, dan Belanja Modal secara simultan terhadap Indeks Pembangunan IPM?c. Perhitungan Pengaruh; pengaruh langsung (direct effect) pengaruh tidak langsung (indirect effect) pengaruh totald. Mendeteksi Efek Mediasi; untuk melihat apakah belanja modal sebagai variabel intervening benar-benar memperlihatkan adanya efek mediasi akan digunakan model Baron dan Kenny (1986). Baron dan Kenny (1986) mempersyaratkan kondisi-kondisi berikut dalam rangka memperlihatkan efek mediasi oleh variabel intervening: masing-masing variabel exogenous (Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK, dan DBH) secara signifikan mempengaruhi variabel endogenous (IPM). masing-masing variabel exogenous (Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK, dan DBH) secara signifikan mempengaruhi variabel intervening (Belanja Modal). variabel intervening (Belanja Modal) secara signifikan mempengaruhi variabel endogenous (IPM).Kondisi ketiga ini untuk menentukan variabel intervening (Belanja Modal) sebagai full mediation (intervening penuh) atau intervening sebagian. Intervening sebagian terjadi apabila pengaruh variabel independen pada variabel dependen setelah dimediasi lebih kecil daripada sebelum dimediasi dan tetap signifikan. Intervening penuh akan terjadi bila variabel independen tidak berpengaruh secara signifikan pada variabel dependen setelah dimediasi (Baron dan Kenny, 1986).Pada penelitian ini, akan digunakan uji Sobel (Sobel test) untuk mendeteksi efek mediasi.3.6.4. Uji Koefisien Determinan (R2)Uji ini digunakan untuk menunjukkan seberapa besar persentase variasi dalam variabel, yang dapat dijelaskan oleh variasi dalam variabel independen. Nilai R2 terletak antara nilai 0 dan 1. Jika R2 semakin mendekati 1, maka semakin besar variasi dalam variabel independen.

DAFTAR PUSTAKAAnonymous. 2011. Undang-Undang Otonomi Daerah. SL Media. Tangerang.Anonymous. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Mini Jaya Abadi. Jakarta.Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta.Badan Pusat Statistik. 2008. Indeks Pembangunan Manusia 2006-2007. Badan Pusat Statistik. Jakarta._______ Provinsi NTB. 2013. PDRB Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2012. Badan Pusat Statistik. Mataram._______ Kota Bima. 2012. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bima 2011. Badan Pusat Statistik. Kota Bima.Badrudin, R. dan Mufidhatul. 2011. Pengaruh Pendapatan dan Belanja Daerah terhadap Pembangunan Manusia di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.. Jurnal Manajemen, Akuntansi dan Ekonomi Pembangunan, Vol. 9 No. 1 April 2011: 23-30, ISSN: 1410-2293.Baron, R. M. dan Kenny, D. A. 1986. The moderator-mediator variable distinction in social psychological research: Conceptual, Strategic, and Statistical Considerations. Journal of Personality and Social Psychology, 51, 1173-1182.Bratakusuma, S. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.Christy, F. A dan Priyo. 2009. Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal dan Kualitas Pembangunan Manusia. The 3rdNational Conference UKWMS Surabaya, Oktober 10th 2009.Ghozali, I. 2013. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 21, Edisi 7. Universitas Diponegoro. Semarang.Ghulam, R. 2011. Agency Theory Dalam Sektor Publik di Indonesia. Jurnal Academia Education Vol. 1 No.2. Yogyakarta. Gujarati, D. N. 2004. Basic Econometrics, 4th edition. The McGraw-Hill Companies. New York.Halim, A dan Nasir, A. J. 2006. Kajian tentang Keuangan Daerah Pemerintah Kota Malang. Majalah Manajemen Usahawan Indonesia N0.06/Tahun XXXV._______ dan Muhammad, I. 2012. Pengelolaan Keuangan Daerah. Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. UPP STIM YKPN. Yogyakarta._______ dan Muhammad, S. K. 2013. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Salemba Empat. Jakarta.Jogiyanto, H. M. 2011. Konsep dan Aplikasi Stuctural Equation Modeling Berbasis Varian Dalam Penelitian Bisnis. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.Maiharyanti, E. 2010. Pengaruh Pendapatan Daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia dan Belanja Modal sebagai Variabel Intervening pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Nanggroe Aceh Darussalam. (Tesis Sekolah Pascasarjana yang tidak dipublikasikan, Universitas Sumatera Utara).Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi. Yogyakarta._______. 2009. Akuntansi Sekto