templat tesis dan disertasi - repository.ipb.ac.id · menemukan cara pemecahan masalah secara...

14
TINJAUAN PUSTAKA Program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh Program merupakan rencana kegiatan yang tersusun secara sistematis dan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai tujuan. Program didefinisikan sebagai unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang. KKP (2013) mengemukakan bahwa program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh merupakan upaya pemerintah dalam penguatan ekonomi masyarakat pesisir dan ketahanan desa terhadap bencana alam dan dampak perubahan iklim yang diharapkan mampu memberikan daya dorong bagi kemajuan desa-desa pesisir di Indonesia. Kegiatan PDPT merupakan salah satu bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan yang terintegrasi dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Pengembangan Desa Pesisir Tangguh merupakan implementasi kebijakan Presiden terkait peningkatan dan perluasan program pro-rakyat dan merupakan wujud dari intervensi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam menata desa pesisir dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Menghasilkan keluaran yang dapat memberikan manfaat riil bagi masyarakat pesisir, sesuai skala prioritas kebutuhan masyarakat, pembelajaran bagi masyarakat pesisir untuk menemukan cara pemecahan masalah secara mandiri, dan mendorong masyarakat pesisir sebagai agen pembangunan. Program PDPT bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana dan perubahan iklim, meningkatkan kualitas lingkunagn hidup, meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat, memfasilitasi kegiatan pembangunan dan/atau pengembangan sarana dan/atau prasarana sosial ekonomi di desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil. Fokus pengembangan kegiatan yakni: (1) Bina Manusia, yaitu kegiatan yang mencakup peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka mendorong peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat baik formal maupun informal, memperluas dan meningkatkan kerjasama, memperbaiki budaya kerja, gotongroyong, tanggung jawab, disiplin dan hemat serta menghilangkan sifat negatif boros dan konsumtif, (2) Bina Usaha, yaitu kegiatan yang mencakup peningkatan keterampilan usaha, perluasan mata pencaharian alternatif, pengelolaan bisnis skala kecil dan penguasaan teknologi, (3) Bina Sumberdaya, yakni kegiatan yang menitikberatkan pada upaya memperkuat kerifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya, revitalisasi hal ulayat dan hak masyarakat lokal, penerapan monitoring, controlling dan surveillance dengan prinsip partisipasi masyarakat lokal, penerapan teknologi ramah lingkungan, mendorong pengembangan teknologi asli, merehabilitasi habitat, konservasi dan memperkaya sumberdaya, (4) Bina lingkungan dan infrastruktur, yaitu kegiatan yang mencakup pembangunan infrastruktur, rehabilitasi vegetasi pantai dan pengendalian pencemaran melalui pendekatan perencanaan dan pembangunan secara spasial dalam rangka mendorong peningkatan peran masyarakat pesisir dalam penataan

Upload: lyduong

Post on 06-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

TINJAUAN PUSTAKA

Program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh

Program merupakan rencana kegiatan yang tersusun secara sistematis dan

dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai tujuan. Program

didefinisikan sebagai unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau

implementasi dari kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan

dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang.

KKP (2013) mengemukakan bahwa program Pengembangan Desa Pesisir

Tangguh merupakan upaya pemerintah dalam penguatan ekonomi masyarakat

pesisir dan ketahanan desa terhadap bencana alam dan dampak perubahan iklim

yang diharapkan mampu memberikan daya dorong bagi kemajuan desa-desa

pesisir di Indonesia. Kegiatan PDPT merupakan salah satu bagian dari Program

Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan yang

terintegrasi dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri di

bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

Pengembangan Desa Pesisir Tangguh merupakan implementasi kebijakan

Presiden terkait peningkatan dan perluasan program pro-rakyat dan merupakan

wujud dari intervensi Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam menata desa

pesisir dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Menghasilkan

keluaran yang dapat memberikan manfaat riil bagi masyarakat pesisir, sesuai skala

prioritas kebutuhan masyarakat, pembelajaran bagi masyarakat pesisir untuk

menemukan cara pemecahan masalah secara mandiri, dan mendorong masyarakat

pesisir sebagai agen pembangunan. Program PDPT bertujuan untuk meningkatkan

kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana dan perubahan iklim, meningkatkan

kualitas lingkunagn hidup, meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat,

memfasilitasi kegiatan pembangunan dan/atau pengembangan sarana dan/atau

prasarana sosial ekonomi di desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil.

Fokus pengembangan kegiatan yakni: (1) Bina Manusia, yaitu kegiatan

yang mencakup peningkatan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka

mendorong peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan meningkatkan

kapasitas kelembagaan masyarakat baik formal maupun informal, memperluas

dan meningkatkan kerjasama, memperbaiki budaya kerja, gotongroyong,

tanggung jawab, disiplin dan hemat serta menghilangkan sifat negatif boros dan

konsumtif, (2) Bina Usaha, yaitu kegiatan yang mencakup peningkatan

keterampilan usaha, perluasan mata pencaharian alternatif, pengelolaan bisnis

skala kecil dan penguasaan teknologi, (3) Bina Sumberdaya, yakni kegiatan yang

menitikberatkan pada upaya memperkuat kerifan lokal dalam pengelolaan

sumberdaya, revitalisasi hal ulayat dan hak masyarakat lokal, penerapan

monitoring, controlling dan surveillance dengan prinsip partisipasi masyarakat

lokal, penerapan teknologi ramah lingkungan, mendorong pengembangan

teknologi asli, merehabilitasi habitat, konservasi dan memperkaya sumberdaya,

(4) Bina lingkungan dan infrastruktur, yaitu kegiatan yang mencakup

pembangunan infrastruktur, rehabilitasi vegetasi pantai dan pengendalian

pencemaran melalui pendekatan perencanaan dan pembangunan secara spasial

dalam rangka mendorong peningkatan peran masyarakat pesisir dalam penataan

6

dan pengelolaan lingkungan sekitarnya, (5) Bina Siaga Bencana dan Perubahan

iklim, yaitu kegiatan yang mencakup usaha-usaha pengurangan risiko bencana

dan dampak perubahan iklim, rencana aksi desa dalam pengurangan risiko

bencana, penyadaran masyarakat, pembangunan sarana dan prasarana

penanggulan bencana (antara lain jalur evakuasi, shelter, struktur pelindung

terhadap bencana, fasilitas kesehatan, dan cadangan strategis) yang menekankan

pada partisipasi dan keswadayaan dari kelompok-kelompok sosial yang terdapat

pada masyarakat atau komunitas pesisir.

Karakteristik Masyarakat Pesisir

Wilayah pesisir merupakan sumberdaya potensial bagi bangsa Indonesia

yang terbentang sepanjang 81.000 km. Sumberdaya ini menyimpan kekayaan

alam yang besar dan beragam, seperti perikanan, hutan mangrove, rumput laut

dan terumbu karang memainkan peran penting bagi kehidupan penduduk sekitar,

dan ekonomi bangsa (Dahuri et al., 2008). Secara ilmiah Dahuri et al., (2008)

mendefinisikan pesisir sebagai daerah pertemuan antara darat dan laut. Ke arah

darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih

dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air

asin, sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh

proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,

maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan

hutan dan pencemaran.

Wilayah pesisir memiliki karakteristik spesifik yang berbeda dengan

wilayah daratan. Pengelolaan ekosistem pesisir lebih menantang dibandingkan

dengan pengelolaan ekosistem di darat maupun di laut lepas. Hal ini dikarenakan

adanya sistem lingkungan alam yang kompleks, pemanfaatan yang sangat

beragam, dan kepemilikan. Di wilayah pesisir dan laut terdapat berbagai kegiatan

seperti konservasi, jasa wisata, pelayaran, dan transportasi, perikanan, industri

pertambangan, dan pencemaran lingkungan, sehingga dilihat dari berbagai macam

peruntukannya, wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat produktif

(Supriharyono 2000).

Masyarakat pesisir merupakan sekumpulan masyarakat yang hidup dan

mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas dan

bergantung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2002). Dalam kerangka

sosiologi, masyarakat pesisir memiliki karakterisik yang berbeda dengan

masyarakat agraris atau petani, perbedaan ini sebagian besar disebabkan karena

karakteristik sumberdaya yang menjadi input utama bagi kehidupan sosial

ekonomi mereka. Pola panen yang terkontrol memberikan petani pendapatan yang

dapat dikontrol. Sehingga hasil pangan atau ternak yang mereka miliki dapat

ditentukan untuk mencapai hasil pendapatan yang mereka inginkan, sehingga

relatif lebih mudah untuk diprediksi terkait dengan ekspetasi sosial ekonomi

masyarakat. Berbeda halnya dengan masyarakat pesisir yang mata pencahariannya

didominasi oleh nelayan, pendapatan yang mereka inginkan tidak bisa dikontrol.

Nelayan juga menghadapi sumberdaya yang bersifat open acces dan beresiko

tinggi. Hal tersebut menyebabkan masyarakat pesisir sepeti nelayan memiliki

karakter yang tegas, keras, dan terbuka.

7

Dahuri, (2003) mengemukakan bahwa pada umumnya masyarakat pesisir

merupakan kelompok masyarakat yang relatif tertinggal secara ekonomi, sosial

dan budaya dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Amanah (2010)

juga menyatakan bahwa masyarakat pesisir terutama nelayan kecil, masih terbelit

oleh persoalan kemiskinan dan keterbelakangan. Sejalan dengan pernyataan

tersebut, Astono (2010) mengemukakan bahwa masyarakat nelayan di wilayah

Pekalongan, secara sosial ekonomi masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari, di mana satu-satunya sumberdaya sosial ekonomi yang dapat

diandalkan adalah ketidakpastian mendapatkan penghasilan dari kegiatan melaut.

Ekosistem wilayah pesisir dan lautan dipandang dari dimensi ekologis

memiliki empat fungsi bagi kehidupan umat manusia yaitu (1) sebagai penyedia

sumberdaya alam, (2) penerima limbah, 3) penyedia jasa-jasa pendukung

kehidupan manusia (life support services), (4) penyedia jasa-jasa kenyamanan

(amenity services) (Bengen, 2001). Mengingat peran penting wilayah pesisir bagi

kehidupan, program PDPT hadir untuk memperhatikan dan memanfaatkan potensi

sumberdaya alam dan lingkungan pesisir melalui beberapa kegiatan program.

Diperkirakan wilayah yang dihuni oleh masyarakat dengan karakteristik keluarga

yang khas ini, merupakan tumpuan bagi masa depan masyarakat pesisir.

Sumberdaya pesisir merupakan lokasi bagi beberapa kegiatan

pembangunan antara lain: (1) budidaya maupun tangkapan; (2) pariwisata (3)

industri; (4) pertambangan; (5) perhubungan dan (6) kegiatan konservasi seperti

mangrove, terumbu karang, dan biota laut lainnya. Pemanfaatan sumber daya

pesisir secara optimal dan terkendali dapat mendorong pertumbuhan ekonomi

lokal dan memberikan kesejahteraan masyarakat pesisir. Beberapa penelitian

mengungkapkan bahwa dalam mengelola sumberdaya pesisir masyarakat

cenderung tidak memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutannya,

sebagaimana yang dikemukakan oleh Masydzulhak (2005), bahwa masih terjadi

eksploirasi dan eksploitasi terhadap pemanfatan sumberdaya pesisir yang

mengancam kapasitas keberlanjutan sumberdaya perikanan, selain itu berbagai

kasus pencemaran menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya pesisir belum

dilakukan secara optimal dan berkelanjutan.

Pengembangan Masyarakat

Pengembangan masyarakat saat ini menjadi cara popular bagi pemerintah,

pihak-pihak swasta maupun lembaga kemasyarakatan dalam mendorong

terjadinya perubahan sosial. Tujuan program pengembangan masyarakat yakni

untuk mengentaskan kemiskinan, mencari solusi persoalan social, serta mengatasi

konflik dalam masyarakat.

Rothman et., al (2001), mengembangkan tiga model pengembangan

masyarakat yakni:

a. Model pengembangan masyarakat lokal (Locality development approach)

Locality development approach (pengembangan masyarakat lokal)

beranggapan bahwa perubahan komunitas bisa terjadi optimal melalui partisipasi

luas dari berbagai spektrum masyarakat di tingkat lokal dalam menetapkan tujuan

dan aksi. Pengembangan Masyarakat Lokal pada dasarnya merupakan proses

interaksi antara anggota masyarakat setempat yang difasilitasi oleh pekerja sosial.

Model ini yang diharapkan mampu menciptakan kondisi sosial ekonomi yang

8

lebih baik dan kemajuan sosial bagi seluruh masyarakat melalui partisipasi aktif

serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri. Perubahan dalam masyarakat

melalui Pengembangan Masyarakat Lokal dapat dilakukan secara optimal apabila

melibatkan partisipasi aktif dari semua masyarakat di mana setiap anggota

masyarakat bertanggung jawab untuk menentukan tujuan dan memilih strategi

yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut melalui penggunaan prosedur

demokrasi dan kerjasama atas dasar kesukarelaan, keswadayaan, pengembangan

kepemimpinan lokal, peningkatan strategi kemandirian, peningkatan informasi,

komunikasi, relasi dan keterlibatan anggota masyarakat.

b. Model perencanaan sosial (Social Planning)

Model perencanaan sosial merupakan proses pemecahan masalah secara

teknis untuk menentukan keputusan dan menetapkan tindakan terhadap masalah

sosial tertentu, seperti: kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, kebodohan

dll. Selain itu, model Perencanaan Sosial ini mengungkap pentingnya

menggunakan cara perencanaan yang matang dan perubahan yang terkendali

yakni untuk mencapai tujuan akhir secara sadar dan rasional dan dalam

pelaksanaannya dilakukan pengawasan-pengawasan yang ketat untuk melihat

perubahan-perubahan yang terjadi.

Strategi dasar yang digunakan untuk memecahkan permasalahan adalah

dengan mengumpulkan atau menungkapkan fakta dan data mengenai suatu

permasalahan. Kemudian, mengambil tindakan yang rasional dan mempunyai

kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilaksanakan. Berbeda dengan

Pengembangan Masyarakat Lokal, Perencanaan Sosial lebih berorientasi pada

“tujuan tugas”. Sistem klien Pengembangan Masyarakat Lokal umumnya

kelompok-kelompok yang kurang beruntung (disadvantaged groups) atau

kelompok rawan sosial ekonomi, seperti para lanjut usia, orang cacat, janda, yatim

piatu, wanita atau pria tunasosial, dst.

c. Model aksi sosial (Social Action)

Model aksi sosial ini menekankan betapa gentingnya penanganan secara

terorganisasi, terarah, dan sistematis terhadap kelompok yang tidak beruntung,

juga meningkatkan kebutuhan yang memadai bagi masyarakat yang lebih luas

dalam rangka meningkatkan sumber atau perlakuan yang lebih sesuai dengan

keadilan sosial dan nilai-nilai demokratisasi. Suharto (1997) mengemukakan

bahwa aksi sosial merupakan model pengembangan masyarakat yang bertujuan

untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendasar dalam kelembagaan dan

struktur masyarakat melalui proses pendistribusian kekuasaan (distrition of

power), sumber (distribution of resources) dan pengambilan keputusan

(distribution of decision making). Model aksi sosial didasari oleh suatu pandangan

bahwa masyarakat merupakan korban dari adanya ketidak adilan struktur. Dengan

kata lain bahwa masyarakat menjadi tidak berdaya karena disengaja oleh struktur

yang berlaku. Mereka miskin karena dimiskinkan, mereka lemah karena

dilemahkan, dan tidak berdaya karena tidak diperdayakan oleh kelompok elit

masyarakat yang menguasai sumber-sumber ekonomi, politik, dan

kemasyarakatan. Aksi sosial berorientasi pada tujuan proses dan tujuan hasil.

Masyarakat diorganisir melalui proses penyadaran pemberdayaan dan tindakan-

tindakan aktual untuk mengubah struktur kekuasaan agar lebih memenuhi prinsip

demokratis, kemerataan (equality) dan keadilan (equity).

9

Konsep Sikap

Sikap (attitude) mempengaruhi manusia dalam berperilaku serta erat

kaitannya dengan efek dan perannya dalam pembentukan karakter dan sistem

hubungan antar kelompok. Sikap belum merupakan suatu tindakan, tetapi sikap

merupakan suatu faktor pendorong individu untuk melakukan tindakan.Fenomena

sikap yang timbul tidak saja ditentukan oleh keadaan obyek yang sedang dihadapi

tetapi juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh

situasi di saat sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang

(Suharyat, 2009).

Spencer dan Spencer (1993) mengartikan sikap (attitude) sebagai “status

mental seseorang” atau "kesiapan untuk merespon suatu situasi tertentu. Sikap

berisikan komponen berupa cognitive (pengalaman, pengetahuan, pandangan, dan

lain-lain), affective (emosi, senang, benci, cinta, dendam, marah, masa bodoh, dan

lain-lain) dan behavioral/overt actions (perilaku, kecenderungan bertindak).

Suharyat (2009) mengemukakan bahwa setiap orang mempunyai sikap yang

berbeda-beda terhadap sesuatu obyek yang disebabkan oleh adanya perbedaan

dalam bakat, minat, pengalaman, pengetahuan, intensitas perasaan dan situasi

lingkungan.

Azwar (2009) menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka

pemikiran. Pertama, kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi

seperti Thurstone, Likert dan Osgood. Menurut mereka sikap adalah suatu bentuk

evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah

perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak

mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada obyek tersebut. Kedua,

kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre,

Mead dan Gordon Allport. Menurut kelompok pemikiran ini sikap merupakan

semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan caracara tertentu.

Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan yang potensial untuk

bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus

yang menghendaki adanya respon. Ketiga, kelompok pemikiran ini adalah

kelompok yang berorientasi pada skema triadik (triadic schema). Menurut

pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan

konatif yang saling berinteraksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku

terhadap suatu obyek.

Berdasarkan beberapa literatur di atas dapat disimpulkan bahwa sikap pada

dasarnya adalah kecenderungan individu menanggapi secara positif atau negatif

atas suatu program. Program pengembangan desa pesisir yang ditinjau dari

dimensi kognisi, afeksi dan konasi yang merupakan hasil dari proses sosialisasi

dan interaksi seseorang dengan lingkungannya, yang merupakan perwujudan dari

pikiran, perasaan seseorang serta penilaian terhadap obyek, yang didasarkan pada

pengetahuan, pemahaman, pendapat dan keyakinan dan gagasan-gagasan terhadap

suatu obyek sehingga menghasilkan suatu kecenderungan untuk bertindak pada

suatu obyek.

Walgito (2003) mengemukakan ciri sikap diantaranya (1) sikap tidak

dibawa sejak lahir, sehingga sikap individu dibentuk dan terbentuk, serta dapat

dipelajari. (2) sikap selalu berhubungan dengan obyek sikap, di mana terbentuk

atau dipelajari dalam hubungannya dengan obyek tertentu, yakni melalui proses

10

persepsi terhadap obyek tersebut. (3) sikap dapat tertuju pada satu atau

sekumpulan obyek, yakni apabila seseorang mempunyai sikap negatif pada orang

lain maka kecenderungan untuk menunjukkan sikap yang sama pada di mana

orang tersebut bergabung. (4) sikap dapat berlangsung lama atau sebentar. Artinya

apabila sikap telah terbentuk dan merupakan nilai dalam kehidupan maka sikap

tersebut akan bertahan lama, sebaliknya, sikap yang belum mendalam dalam diri

seseorang relatif akan mudah untuk di ubah. (5) sikap mengandung faktor

perasaan dan motivasi, motivasi juga memiliki peran dalam mendorong individu

untuk berperilaku terhadap obyek yang dihadapinya.

Kemampuan afektif berkaitan dengan minat dan sikap seseorang. Jika

kemampuan afektif tidak muncul atau tumbuh maka efek yang dimunculkan

adalah individu tidak dapat menyenangi atau mereson dengan baik obyek yang

disekitarnya. Bloom Krathwohl, et., al (Wicaksono 2011) membagi kemampuan

afektif ke dalam lima jenjang Taksonomi yaitu: (1) penerimaan (receiving), yakni

kepekaan seseorang dalam menerima stimulus dari luar yang datang kepada

dirinya. Atau dengan kata lain kemauan seseorang menerima keberadaan

fenomena di sekitarnya. (2) menanggapi (responding), mengandung arti “adanya

partisipasi aktif” dengan kata lain respon merupakan kemampuan yang dimiliki

seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu

dalam membuat reaksi terhadapnya. (3) Menilai atau Menghargai (valuing),

merupakan tingkatan sikap yang lebih tinggi dari receiving dan responding.

Valuing artinya memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu

obyek atau kegiata, tidak hanya mampu menerima atau merespon fenomena tetapi

mampu untuk menilai baik atau buruk fenomena tersebut. (4) mengorganisasikan

(organization), yakni mempertemukan perbedaan nilai baru yang membawa pada

perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan

dari nilai kedalam satu sistem organisasi, termasuk didalamnya hubungan satu

nilai dengan nilai yang lain. Sehingga organisasi dapat juga didefenisikan sebagai

pembentukan nilai. Tingkatan yang terakhir yakni (5) Karakterisasi berdasarkan

nilai (Characterization by Value) yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah

dimiliki oleh seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah

lakunya. Proses internalisasi nilai atau karakterisasi merupakan hirarki tertinggi

dalam ranah afektif Bloom, di mana nilai tersebut telah tertanam dalam diri

individu, mempengaruhi emosi, dan menjad sebuah kebiasaan dalam diri

seseorang.

Faktor yang Mempengaruhi Sikap

Sikap dapat diubah dengan berbagai cara, informasi yang diterima

seseorang akan mampu mengubah komponen pengetahuan dari sikap seseorang.

Sikap individu dipengaruhi oleh dua hal, yakni oleh lingkungan, dan unsur yang

datang dari dalam diri sendiri, sebagaimana yang dikemukakan oleh Suranto

(1999), yang menyatakan bahwa sikap dipengaruhi oleh (a) faktor fisiologis,

mencakup umur (b) faktor pengalaman, di mana pengalaman buruk pada suatu

obyek akan memberikan sikap negatif pada obyek tersebut. (c) faktor komunikasi

sosial yang berbentuk informasi atau pengetahuan terhadap obyek.

Azwar (2009) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

sikap terhadap obyek antara lain; (a) Pengalaman pribadi, di mana pengalaman

akan meninggalkan kesan pada seseorang. Terjadinya hal yang kurang

11

menyenangkan mengakibatkan persepsi yang kurang positif, sehingga keterlibatan

yang ada sering merupakan partisipasi semu. Keadaan yang demikian apabila

sering terjadi akan berakibat pada sulitnya pencapaian tujuan program secara utuh

dan mantap. (b) Pengaruh orang lain yang dianggap penting. (c) Kebudayaan, di

mana kita hidup mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan sikap.

sikap cenderung diwarnai kebudayaan yang ada di daerahnya. Saifuddin (2000)

menyatakan bahwa kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita

terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota

masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individu-

individu masyarakat asuhannya. (d) Media Massa, media masa elektronik maupun

media cetak sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan opini dan

kepercayaan seseorang. Pemberian informasi melalui media masa mengenai

sesuatu hal akan memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap.

Media massa memberikan pesan-pesan yang sugestif yang mengarahkan opini

seseorang, serta memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap

terhadap hal tersebut. Penelitian Rini (2011) juga menemukan bahwa peran

media sebagai pemberi informasi berkaitan dengan adanya perubahan sikap

masyarakat. Media dapat menciptakan perubahan sikap yang diinginkan dari

penyebarluasan informasi. Media menghasilkan opini masyarakat yang terimbas

melalui sikap masyarakat itu sendiri. Perubahan sikap yang lebih baik atau lebih

tidak baik ditentukan oleh media sendiri. Mednick, Higgins dan Kirschenbaum

(Dayakisni dan Hudaniah 2003) menyebutkan bahwa pembentukan sikap

dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu (a) Pengaruh sosial, seperti norma dan

kebudayaan, (b) Karakter kepribadian individu, (c) Informasi yang selama ini

diterima individu.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa sikap individu

dipengaruhi oleh faktor internal yang berasal dari dalam individu sendiri dan

faktor eksternal yang berasal dari luar individu. Sikap merupakan reaksi atau

respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek.

Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap

stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang

bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu

tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu

perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi

terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan bereaksi

terhadap obyek di lingkungan.

Karakteristik Personal

Setiap individu dalam masyarakat pesisir memiliki karakteristik tersendiri

yang dapat dilihat dari sikap dan perilaku yang nampak dalam menjalankan

kegiatannya. Karakteristik individu atau personal merupakan bagian dari pribadi

yang melekat pada diri seseorang. karakteristik tersebut mendasari tingkah laku

seseorang dalam situasi kerja maupun situasi lainnya (Rogers dan Shoemaker,

1981). Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa karakteristik individu adalah

sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek

kehidupan, seperti umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial dan agama.

Selain itu Madrie 1986 juga mengemukakan bahwa beberapa indikator yang

12

menentukan karakteristik pribadi seseorang di antaranya tingkat pendidikan

formal, pengelaman, kekosmopolitan, serta nilai-nilai budaya.

Secara konseptual karakteristik personal adalah segala hal yang menjadi

ciri yang melekat pada seseorang yang dapat membedakan dengan individu

lainnya. Dalam penelitian ini karakteristik personal meliputi; umur, tingkat

pendidikan formal, pendidikan non formal, jumlah tanggungan, kekosmopolitan,

serta pengetahuan tentang program.

Umur

Umur seseorang berkaitan dengan tingkat kematangan fisik, sikap dan

mental. Hawkins 1986, mengemukakan bahwa umur, jenis kelamin, dan

pendidikan mempengaruhi perilaku seseorang. Umur menggambarkan

pengalaman dalam diri seseorang, umur merupakan suatu indikator umum tentang

kapan suatu perubahan akan terjadi sehingga terdapat keragaman tindakan

berdasarkan usia yang dimiliki. Berdasarkan taraf perkembangan individu

dikelompokkan pada usia balita, anak-anak, remaja, usia desawa, dan dewasa

lanjut. Havighurst 1972, mengemukakan pengelompokkan umur yakni, dewasa

awal pada usia 18-29 tahun, usia pertengahan pada usia 30-50 tahun, dan masa tua

yakni pada usia di atas 50 tahun.

Sehubungan dengan proses adopsi inovasi berdasarkan pada beberapa

penelitian, Soekartawi 1998, mengemukakan bahwa proses difusi inovasi paling

tinggi adalah pada petani yang berumur paruh baya. Petani yang berumur lanjut

memiliki kebiasaan kurang respon terhadap berbagai kegiatan perubahan atau

inovasi, petani yang lebih muda memiliki semangat lebih dalam menjalankan

kegiatan usahatani dan mencari pengalaman. Abdullah dan Jahi (2006) dalam

penelitiannya menemukan bahwa umur petani sayuran di Kota Kendari

berhubungan dengan tingkat pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan

usahatani sayuran. Sejalan dengan hal tersebut Batoa et.,al (2008) juga

menemukan bahwa umur memiliki hubungan dengan kompetensi petani rumput

laut di kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.

Tingkat Pendidikan Formal

Pendidikan menunjukkan tingkat inteligensi yang berhubungan dengan

daya pikir seseorang. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa:

“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperoleh dirinya, masyarakat,

bangsa dan negara.”

Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan

daya pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin luas

pengetahuannya. Pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam

mendapatkan pengetahuan. Nasution (1987) yang dikutip oleh Garnadi (2004)

mengemukakan bahwa pendidikan adalah proses pengembangan diri kepribadian

seseorang yang dilaksanakan secara sadar dan penuh tanggung jawab untuk

meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap, serta nilai-nilai sehingga

mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sejalan dengan hal tersebut,

13

Amanah dkk (2005) juga mengemukakan bahwa semakin tinggi pendidikan,

semakin baik pula sikap seseorang dalam menanggapi sesuatu.

Pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan

pengetahuan. Slamet (2003) menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu usaha

untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Perubahan

perilaku yang ditimbulkan oleh proses pendidikan dapat dilihat melalui (1)

perubahan dalam hal pengetahuan, (2) perubahan dalam keterampilan atau

kebiasaan dalam melakukan seseuatu, dan (3) perubahan dalam sikap mental

terhadap segala sesuatu yang dirasakan. Pendidikan formal menurut Winkel

(Yunita 2011), adalah pendidikan sekolah yang dalam penyelenggaraannya

menempuh serangkaian kegiatan terencana dan terorganisir. Sedangkan,

pendidikan non formal lebih dikenal sebagai bentuk pendidikan luar sekolah.

Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan akan meningkatkan

kemampuan kapasitas rasional dari masyarakat. Masyarakat yang rasional

sebelum memutuskan untuk berpartisipasi dalam pembangunan, didahului oleh

masa belajar dan menilai manakala partisipasi itu mendatangkan manfaat bagi

dirinya. Jika bermanfaat, akan berpartisipasi, dan jika tidak, masyarakat tidak

tergerak untuk berpartisipasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suciati (2008)

menemukan bahwa partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan.

Keikutsertaan dalam Pelatihan (Pendidikan Non Formal)

Pendidikan non formal menjadi salah satu faktor yang membentuk sikap

masyarakat. Nasution (Pahlupi dkk 2012) mengemukakan bahwa penyuluhan

sebagai kegiatan mendidik masyarakat memberi pengetahuan, informasi dan

kemampuan-kemampuan baru agar mereka dapat membentuk sikap dan perilaku

hidup menurut apa yang seharusnya. Hasil penelitian Pahlupi 2012 menemukan

bahwa penyuluh atau komunikator dalam program keluarga Berencana di

Kecamatan Bayongbong memiliki hubungan yang nyata dengan perubahan sikap

peserta program.

Pendidikan non formal bertujuan merubah perilaku masyarakat yang

dapat dilakukan melalui penyuluhan, pelatihan dan lain sebagainya dengan

tujuan untuk meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan peserta didik. Sasarannya

mencakup semua kelompok umur dan semua sektor kehidupan masyarakat.

Tarigan (2009) mengemukakan konsep pendidikan non formal yakni (1)

pendidikan luar sekolah yang di dalamnya terdapat life skill merupakan usaha

sadar untuk menyiapkan, meningkatkan, dan mengembangkan sumberdaya

manusia agar memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, dan daya saiang; (2)

bertugas untuk menyiapkan sumberdaya manusia yang siap menghadapi

perubahan sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

berkembang pesat; (3) memiliki ciri yang berkaitan dengan misi yang dibutuhkan

segera dan praktis, tempatnya di luar kelas, merupakan aktivitas sampingan, lebih

murah, serta persyaratan penerimaan lebih mudah; (4) bertujuan menjadikkan

peserta didik memiliki berbagai kemampuan yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Sasaran pendidikan non formal mencakup semua kelompok umur dan semua

sektor masyarakat.

14

Jumlah Tanggungan Keluarga

Tanggungan keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang biaya

hidupnya ditanggung oleh kepala keluarga yang terdapat istri, anak, dan

tanggungan lainnya yang tinggal seatap dan sedapur. Soekartawi (1998)

mengemukakan bahwa jumlah keluarga sering menjadi pertimbangan dalam

pengambilan keputusan untuk menerima inovasi. Hal ini karena konsekuensi

penerimaan inovasi akan berpengaruh pada sistem keluarga baik pada anak, istri

maupun pada anggota keluarga lainnya. Sejalan dengan hal tersebut Soekartawi

(1999) juga mengemukakan bahwa semakin banyak anggota keluarga akan

semakin besar pula beban hidup yang akan ditanggung atau harus dipenuhi.

Jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi keputusan petani dalam

berusahatani.

Menurut Hasyim (2006), jumlah tanggungan keluarga adalah salah satu

faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan pendapatan dalam memenuhi

kebutuhannya. Banyaknya jumlah tanggungan keluarga akan mendorong petani

untuk melakukan banyak aktivitas terutama dalam mencari dan menambah

pendapatan keluarganya.

Tingkat Kekosmopolitan

Kekosmopolitan merupakan keterbukaan seseorang terhadap berbagai

sumber informasi sehingga memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas.

Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa kekosmopolitan adalah tingkat

hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri.

Kekosmopolitan seseorang dapat dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan

yang dilakukan, serta pemanfaatan media massa. Hanafi 1986, mengemukakan

bahwa kekosmopolitan individu dicirikan oleh sejumlah atribut yang

membedakan mereka dengan orang lain di dalam komunitasnya, yakni; (1)

individu tersebut memiliki status sosial, (2) partisipasi sosial lebih tinggi, (3) lebih

banyak berhubungan dengan dunia luar, (4) lebih banyak menggunakan media

massa, dan (5) memiliki hubungan yang lebih banyak dengan orang lain maupun

lembaga yang berada diluar komunitasnya.

Informasi dan pengalaman yag diperoleh masyarakat melalui proses

kekosmopolitan seperti melakukan kunjungan ke desa yang telah sukses

melaksanakan program pemberdayaan akan membentuk sikap positif terhadap

program yang dilaksanakan. Ruben (Prihandoko et., al 2011) mengemukakan

bahwa dalam persfektif theory planned behaviorteori dan communication and

human behavior perilaku merupakan suatu tindakan manusia yang diawali oleh

adanya proses input berupa informasi yang masuk dari tiap individu yang

bergantung pada penting atau tidaknya nilai informasi yang masuk dan

diinterpretasi oleh individu tersebut. Bila dirasakan penting, informasi akan

disimpan oleh individu dalam longterm memory. Sebaliknya bila dirasakan tidak

penting maka informasi akan disimpan dalam shortterm memory dengan

kemungkinan besar individu akan melupakan informasi tersebut. Adanya

informasi atau pengalaman yang diperoleh memungkinkan individu membentuk

sikap sebelum akhirnya bertindk atau berperilaku.

15

Tingkat Pengetahuan tentang Program

Soekanto (2003) menyatakan pengetahuan adalah kesan yang didapatkan

dari hasil pengolahan pancainderanya. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui

kenyataan (fakta), penglihatan, pendengaran, serta keterlibatan langsung dalam

suatu aktivitas. Pengetahuan juga didapatkan dari hasil komunikasi dengan orang

lain seperti teman dekat dan relasi kerja. Pengetahuan yang tersimpan dalam

ingatan ini digali saat dibutuhkan melalui bentuk ingatan mengingat (recall) atau

mengenal kembali (recognition). Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa

pengetahuan adalah hasil “tahu” yang terjadi setelah orang melakukan

penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui

pancaindera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan

raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

telinga. Menurut Nasution (1999) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) faktor-

faktor yang berpengaruh dalam tingkatan pengetahuan seseorang antara lain (1)

tingkat pendidikan, (2) informasi, (3) budaya, (4) pengalaman (5) sosial ekonomi,

(6) pengukuran tingkat pengetahuan.

Walgito (2003) mendefinisikan pengetahuan adalah mengenal suatu obyek

baru yang selanjutnya menjadi sikap terhadap obyek tersebut apabila pengetahuan

itu disertai oleh kesiapan untuk bertindak sesuai dengan pengetahuan tentang

obyek itu. Bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu obyek, itu

berarti orang tersebut telah mengetahui tentang obyek tersebut.

Karakteristik Lingkungan Sosial

Lingkungan merupakan segala hal yang ada di sekitar manusia yang dapat

dibedakan menjadi benda-benda mati atau benda-benda hidup, dengan kata lain

terdapat lingkungan yang bersifat kealaman atau fisik, dan terdapat pula

lingkungan yang mengandung kehidupan atau sosial (Walgito, 2003). Kedua jenis

lingkungan tersebut akan mempengaruhi perilaku individu.

Rakhmat, (2001) mengemukakan bahwa terdapat faktor situasional yang

dapat mempengaruhi perilaku individu, di antaranya adalah lingkungan sosial

masyarakat yang di dalamnya terdapat interaksi antar individu. Dapat disimpulkan

bahwa lingkungan sosial adalah hubungan interaksi antara masyarakat dengan

lingkungan.Sikap masyarakat terhadap lingkungan sosial dipengaruhi oleh nilai

sosial, itulah hubungannya. Jika nilai sosial tentang lingkungan lantas

berubah/terjadi pergeseran, maka sikap masyarakat terhadap lingkungan juga

berubah/bergeser. Itulah sebabnya masyarakat dan nilai sosial selalu terlihat

dinamis, terlepas dari baik dan buruknya lingkungan sosial. Lingkungan yang baik

biasanya menggambarkan masyarakat yang baik, begitupun sebaliknya.

Faktor kunci untuk keberhasilan dan keberlanjutan suatu program adalah

membangun rasa memiliki di antara masyarakat dan para pemangku kepentingan,

serta membangun sikap positif dan partisipatif. UU No. 17 tahun 2010 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) tahun 2005-2025

memiliki tujuan salah satunya adalah menjamin tercapainya penggunaan sumber

daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan, serta mengoptimalkan

masyarakat. Oleh karena itu pengembangan program diharapkan mampu untuk

mengembangan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

16

Pembangunan masyarakat diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan oleh

masyarakat, di mana mereka mampu mengindentifikasikan kebutuhan dan

masalah secara bersama (Raharjo 2006). Ada pula yang mengartikan bahwa

pembangunan masyarakat adala kegiatan yang terencana untuk menciptakan

kondisi-kondisi bagi kemajuan sosial ekonomi masyarakat dengan meningkatkan

partisipasi masyarakat. Zamhariri (2008) mengemukakan bahwa dalam

Community Development (pembangunan masyarakat) mengandung upaya untuk

meningkatkan partisipasi dan rasa memiliki (participating and belonging

together) terhadap program yang dilaksanakan, dan harus mengandung unsur

pemberdayaan masyarakat. Sikap dan partisipasi masyarakat tidak akan terlepas

oleh dukungan dari lingkungan sosialnya. Oleh karena itu karakteristik sosial

dalam penelitian ini dibatasi pada bagaimana peran tokoh masyarakat, peran

kelompok dan intensitas kegiatan program.

Tingkat Dukungan Tokoh Masyarakat

Studi kepemimpinan dikenal adanya pemimpin formal dan

informal. Tokoh masyarakat adalah orang-orang yang memiliki pengaruh pada

masyarakat, tokoh masyarakat ada yang bersifat formal dan informal. Tokoh

masyarakat yang bersifat formal adalah orang-orang yang diangkat dan dipilih

oleh lembaga Negara dan bersifat struktural, Sedangkan tokoh masyarakat yang

bersifat informal adalah orang-orang yang diakui oleh masyarakat karenah

dipandang pantas menjadi pemimpin yang disegani dan berperan besar dalam

memimpin dan mengayomi masyarakat.

Pembangunan desa akan berhasil baik apabila didukung oleh partisipasi

seluruh warga masarakat. Dan optimalisasi pembangunan sangat dipengaruhi oleh

bagaimana fungsi yang dijalankan oleh pihak pemerintah sebagai pihak

koordinator pelaksanaan pembangunan. Dalam hal ini pemerintahan harus mampu

mengkoordinasikan berbagai unit dalam pemerintahan agar dapat

mendayagunakan fungsi mereka dengan baik dan memberikan kontribusi yang

nyata bagi proses pembangunan. Rogers dan Shoemaker 1971, menguraikan

ciri-ciri yang harus dimiliki seorang pemimpin informal (opinion leaders)

yang dapat mempengaruhi warga desa dalam adopsi inovasi yaitu yang

memiliki ciri-ciri antara lain : (1) banyak berhubungan dengan media massa, (2)

kosmopolit, (3) sering berhubungan dengan agen pembaharu, (4) partisipasi

sosialnya besar, (5) status sosial ekonominya tinggi, dan (6) lebih inovatif

dibanding dengan pengikutnya.

Azwar (2009) mengemukakan bahwa salah satu hal yang mempengaruhi

sikap masyarakat adalah adanya pengaruh orang lain yang dianggap penting,

masyarakat cenderung akan mengikuti apa yang diberikan oleh tokoh masyarakat.

Peran tokoh masyarakat baik formal maupun non-formal sangat penting terutama

dalam mempengaruhi, memberi contoh, dan menggerakkan keterlibatan seluruh

warga masyarakat di lingkungannya guna mendukung keberhasilan program. Pada

masyarakat pedesaan, peran tersebut menjadi faktor determinan karena kedudukan

para tokoh masyarakat masih berpengaruh. Sejalan dengan hal tersebut Febriana

(2012) juga mengemukakan bahwa pemimpin formal dan tokoh masyarakat

mampu membantu masyarakat dalam pengambilan keputusan.

17

Peran Kelompok

Peran adalah tugas atau kewajiban yang harus dijalankan oleh seseorang

oleh seseorang tersebut harus dilaksanakan dengan baik dan penuh dengan rasa

tanggungjawab. Dalam pengembangan kegiatan program pendekatan kelompok

juga merupakan suatu keharusan, karena secara sendiri-sendiri warga masyarakat

sulit untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya, selain itu

organisasi/kelompok adalah suatu power yang penting. Selain itu dengan

pendekatan kelompok juga paling efektif, dan di lihat dari penggunaan

sumberdaya juga lebih efisien (Karsidi, 2001). Jamasy (2004) mengemukakan

bahwa, salah satu pola pendekatan pemberdayaan yang dianggap mampu

mengangkat derajat ketidak-berdayaan masyarakat pesisir adalah dengan

pendekatan kelompok. Melalui media kelompok, kreativitas masing-masing

anggota kelompok akan mewarnai kehidupan kelompoknya masing-masing

sekaligus menjadi media tukar menukar informasi, pengetahuan dan sikap. Hal

ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tampubolon et al., (2006)

bahwa tingkat keberhasilan pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan

kelompok dipengaruhi oleh keefektifan dan kekeompakan kelompok.

Setiawan (2009) menemukan bahwa pemberdayaan masyarakat pesisir

tidak dapat dilakukan secara sendiri, akan tetapi perlu adanya kerjasama yang

simultan dan lintas sektoral, dengan cara pendekatan partisipatif yakni melibatkan

masyarakat dan pemerintah setempat daam bentuk pengelolaan bersama, di mana

masyarakat berpartisipasi aktif baik dalam perencanaan sampai pada pelaksanaan.

Pada hakekatnya, kegiatan pengembangan masyarakat adalah sebuah

pembangunan yang menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi kemajuan

kehidupan di berbagai bidang, baik ekonomi, sosial budaya maupun aspek

kehidupan lain sehingga tercapai kesejahteraan, Dalam pengembangan

masyarakat kita telah mengetahui prinsip-prinsip pengembangan masyarakat,

namun dari sekian puluh prinsip yang ada, pokok intinya adalah partisipasi,

kemandirian dan keswadayaan. Partisipasi diartikan bahwa setiap program

melibatkan masyarakat, baik fisik, ide, dan materi. Keterlibatan disini memiliki

makna keikutsertaan masyarakat secara fisikal dan mentalitas. Program selalu

berasal dan untuk pemenuhan masyarakat, sehingga yang merencanakan adalah

agen bersama masyarakat

Intensitas Kegiatan Program

Pengertian intensitas dalam kehidupan sehari-hari dapat dipahami sebagai

ukuran atau tingkat. Intensitas juga dipahami sebagai suatu kekuatan yang

mendukung suatu pendapat atau suatu sikap (Chaplin, 2006). Azwar mengartikan

intensitas sebagai kekuatan atau kedalaman sikap terhadap sesuatu. Intensitas

dapat diukur berdasarkan sejauhmana kedalaman informasi yang dapat dipahami

oleh responden.

Salah satu unsur keberhasilan program terkait erat dengan intensitas

pendampingan masyarakat yang efektif dalam melaksanakan perannya sebagai

ujung tombak pemberdayaan masyarakat. Cahyani (2008) mengemukakan bahwa

perkembangan masyarakat untuk mencapai tingkat kematangan perlu dipercepat

dengan kehadiran pendamping. Pendamping sebagai agen pembaharuan berperan

sebagai juru penerang (pemberi informasi), guru, penasihat, pembimbing,

konsultan dan pengarah. (Asngari, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Daud

18

(2011) menemukan bahwa peran pendamping berhubungan nyata dengan sikap

kelompok pemanfaat program untuk berpartisipasi. Hal tersebut sejalan dengan

Zamzami (2012) mengemukakan bahwa pendamping dalam program Mitra Mina

membantu masyarakat agar lebih mudah untuk mengakses program dan

membantu dalam mengelola modal yang diperoeh secara efisien.

Karsidi (2001) juga mengungkapkan bahwa dalam pemberdayaan, seorang

pendamping harus mampu belajar dari masyarakat. Pendamping adalah fasilitator,

bukan guru dan tidak menggurui, saling belajar, saling berbagi pengalaman.

Leilani dan Jahi (2006), mengemukakan bahwa kinerja seorang pendamping dapat

dilihat dari kinerja yang merupakan fungsi dari karakteristik individu, dan

merupakan peubah penting yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. sejalan

hal tersebut, Budiyanto (2011) mengemukakan bahwa peran pendamping sebagai

Tenaga Ahli Perencanaan Partisipatif (TAPP) dalam tahap perencanaan bukan

untuk mengambil alih pengambilan keputusan melainkan untuk menunjukkan

konsekuensi dari tiap keputusan yang diambil masyarakat, dengan kata lain

menjadi fasilitator dalam proses pengambilan keputusan sehingga keputusan yang

diambil akan rasional.

Pengelolaan Program

Keberhasilan suatu program tidak lepas dari bentuk pengelolaan yang

dilakukan, di mana pengelolaan merupakan suatu bentuk aktivitas kerja yang

melibatkan koordinasi dan pengawasan terhadap pekerjaan orang lain, sehingga

pekerjaan tersebut dapat diselesaikan secara efisien dan efektif. Model CIPP

(Conteks, Input, Proses, dan Produk) merupakan model yang dikembangkan oleh

Daniel L. Stufflebeam dkk yang terkait pada perangkat pengambilan keputusan

yang menyangkut perencanaan dan operasi sebuah program.

Stufflebeam (Zhang et.,al 2011) membagi evaluasi menjadi empat

komponen yaitu: Pertama Konteks (kejelasan program), yakni mencakup analisis

masalah yang berkaitan dengan lingkungan program atau kondisi obyektif yang

akan dilaksanakan. Berisi tentang analisis kekuatan dan kelemahan obyek tertentu

(Widoyoko 2010). Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Stufflebeam yang

menyatakan bahwa tahap konteks sebagai fokus institusi dengan mengidentifikasi

peluang dan menilai kebutuhan. Tahap konteks memberikan informasi bagi

pengambil keputusan dalam perencanaan suatu program yang akan berjalan.

Kedua Input (pengelolaan sumberdaya), pelaksanaan kegiatan

pengembangan masyarakat sendiri memerlukan keterlibatan berbagai pihak

sebagai lingkungan soaial program, yakni masyarakat pelaksana program dan

pemerintah daerah beserta perangkat kerjanya. Sebagimana yang dikemukakan

oleh Widoyoko (2010) bahwa analisis pengelolaan sumberdaya (masukan)

membantu mengatur keputusan menentukan sumber-sumber yang ada, alternative

apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, dan bagaimana

prosedur kerja untuk mencapainya meliputi analisis personal yang berhubungan

dengan bagaimana penggunaan sumber-sumber yang tersedia, alternative-

alternatif strategi yang harus mencapai suatu program. Komponen masukan

meliputi: 1) sumberdaya manusia, 2) sarana dan peralatan pendukung, 3) dana

atau anggaran, dan 4) berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan.