relasi sosial pasca-konflik di lampung...
TRANSCRIPT
RELASI SOSIAL PASCA-KONFLIK DI LAMPUNG SELATAN
(Studi Kasus Konflik Etnis Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2012)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.sos)
Oleh:
Adi Saputra
1113111000018
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
RELASI SOSIAL PASCA-KONFLIK DI LAMPUNG SELATAN
(Studi Kasus Konflik Etnis Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2012)
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata I di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuaidengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya
asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 28 September 2017
Adi Saputra
NIM. 1113111000018
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Adi Saputra
NIM : 1113111000018
Prigram Studi : Sosiologi
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
RELASI SOSIAL PASCA-KONFLIK DI LAMPUNG SELATAN
(Studi Kasus Konflik Etnis Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2012)
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 28 September 2017
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si
NIP. 197609182003122033
Menyetujui,
Pembimbing
Mohammad Hasan Ansori, Ph.D
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
RELASI SOSIAL PASCA-KONFLIK DI LAMPUNG SELATAN (Studi Kasus Konflik Etnis Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2012)
Oleh
Adi Saputra
1113111000018
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 18
Oktober 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Sosiologi.
Ketua,
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si.
NIP. 197609182003122033
Sekretaris,
Dr. Joharotul Jamilah, M.Si.
NIP. 196808161997032002
Penguji I,
Dra. Ida Rosyidah, M.A.
NIP. 196306161990032002
Penguji II,
Saifudin Asrori, M.Si.
NIP.197701192009121001
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 18 Oktober
2017.
Ketua Program Studi Sosiologi
FISIP UIN Jakarta
Dr. Cucu Nurhayati, M.Si.
NIP. 197609182003122033
v
ABSTRAK
Skripsi ini mengkaji mengenai ”Relasi Sosial Pasca-Konflik di Lampung
Selatan (Studi Kasus Konflik Etnis Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2012)”.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan konflik yang terjadi antara etnis
pendatang dengan etnis lokal di Lampung Selatan, serta untuk menjelaskan relasi
antara masyarakat etnis pendatang dengan masyarakat etnis lokal pasca terjadinya
konflik di Lampung Selatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan
studi dokumen. Yang menjadi subjek dalam penelitian ini merupakan masyarakat
dari kedua desa (Desa Agom dan Desa Balinuraga) yang terlibat konflik pada
Oktober 2012. Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori
Fusngsional konflik Lewis A. Coser.
Dari hasil temuan dan analisis yang peneliti lakukan, konflik yang terjadi di
Lampung Selatan merupakan konflik yang melibatkan antar pemuda desa. hal
tersebut diawali dari isu terjadinya pelecehan seksual yang dilakukan oleh pemuda
Balinuraga kepada perempuan Agom. Akan tetapi isu tersebut hanyalah sebagai
provokasi kepada warga untuk melakukan penyerangan ke Desa Balinuraga,
karena sebelumnya telah terjadi beberapa konflik yang tidak selesai. Konflik lama
itu banyak disebabkan oleh oknum dari Balinuraga. Akibat konflik yang terjadi
pada Oktober 2012 hubungan antara masyarakat desa Balinuraga dengan Desa
Agom kembali terjalin dengan baik, walaupun belum sepenuhnya kembali kepada
hubungan Agom dan Balinuraga jauh sebelum konflik. Seperti halnya Coser
menanggapi konflik sebagai suatu hal yang positif dalam masyarakat, konflik
tersebut memberikan dampak yang baik pada kehidupan masyarakat di kedua
desa, diantaranya menguatkan relasi sosial antar masyarakat desa, menguatkan
kembali semangat keagamaan, dan merubah prilaku pemuda ke arah yang lebih
baik. Hal ini selaras dengan konsep konflik yang diberikan oleh Coser, dimana
konflik tersebut dapat menguatkan integrasi dan kohesi dalam dalam masing-
masing kelompok masyarakat yang terlibat konflik. Jika dilihat lebih jauh lagi
konflik yang terjadi di Lampung Selatan membawa kepada hal-hal positif yang
telah disebutkan sebelaumnya.
Kata kunci: Relasi sosial pasca-konflik, konflik, fungsional konflik.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirrabil „alamin segala puji dan rasa syukur selalu peneliti
curahkan kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan nikmat dan kasih
sayang kepada hambanya yang selalu berusaha memperbaiki diri serta selalu
berusaha untuk dekat dengan-Nya setiap saat, sehingga penulisan Skripsi ini dapat
diselesaikan oleh peneliti. Selawat serta salam selalu peneliti haturkan kepada
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, serta para pengikutnya
hingga akhir zaman.
Tidak sedikit dari kita yang mengakatan bahwa konflik yang terjadi baik
dalam masyarakat lingkungan sekitar kita tinggal muapun konflik terjadi yang
melibatkan cakupan yang lebih besar, akan berujung kepada suatu permusuhan
dan pada akhirnya akan timbul perpecahan atau kehancuran. Akan tetapi melalui
skripsi ini peneliti mencoba untuk melihat dari sudut pandang lain mengenai
konflik yang terjadi dalam masyarakat. Pada skripsi ini peneliti mencoba untuk
melihat konflik dari kacamata fungsional, seperti apa yang telah Coser katakan
dalam bukunya The Functions of Social Conflict. Konflik tidak harus dipandang
dengan suatu yang negatif, akan tetapi konflik juga dapat berfungsi positif dalam
kehidupan masyarakat.
Mengapa penting dalam melihat konflik dari sudut pandang positif, karena
konflik yang terjadi dapat menjadikan ceriminan realita yang ada dalam
masyarakat. Sehingga hal tersebut dapat menjadi pijakan untuk melangkah
kedepan, sebagaimana yang telah banyak kita ketahui bahwa Bung Karno (Ir.
Soekarano) pernah mengatakan “jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Oleh
karenanya konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai kontrol
terhadap prilaku masyarakat dan pada akhirnya hal tersebut dapat menguatkan
integrasi dalam masyarakat itu sendiri.
Banyak hal yang akan terjadi pada masyarakat yang dinamis dan banyak
pula peneliti-peneliti lain yang membahas mengenai konflik yang terjadi dalam
masyarakat, baik analisa mengenai terjadinya konflik, resolusi konflik dan banyak
lagi, yang salah satunya adalah pelenitian yang peneliti lakukan yaitu Relasi
Sosial Pasca-Konflik Di Lampung Selatan (Studi Kasus Konflik Etnis Kabupaten
vii
Lampung Selatan Tahun 2012). Oleh karenanya peneliti sadar betul masih banyak
kekurangan dalam tulisan maupun dalam penelitian yang peneliti lakukan.
Berbagai saran dan kritik selalu peneliti harapkan guna memperbaikinya.
Dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini peneliti pun sadar tidak
jalan sendiri. Banyak pihak yang terlibat dalam proses tersebut. Banyak
dukungan, baik berupa materi maupun moral, baik tenaga maupun waktu yang
telah diberikan berbagai pihak kepada peneliti. Oleh karananya peneliti ingin
mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung
peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini.
1. Kedua keluarga peneliti, Bapak Sugito terimakasih Bapak banyak hal
yang telah Bapak lakukan dalam hidup saya, banyak pelajaran yang
telah Bapak berikan dalam kehidupan ini. Tidak ada lelah dalam
menjalankan tugas sebagai seorang Bapak, walaupun rasa lelah itu
pasti ada. kepada Ibu Saparia, Ma... terimaksaih... entah terimakasih
seperti apa yang bisa saya berikan untuk membalas jasa mama.
Terimaksaih telah melahirkan saya, menyayangi saya, dan selalu
memberikan pelajaran yang bermakna. Aprianto, thanks dek selalu
manjadi adik yang baik.
2. Bapak Mohammad Hasan Ansori, Ph.D dosen pembimbing yang
selalu menginspirasi mahasiswanya, selalu memberikan semangat dan
motivasi dalam menyelesaikan skripisi ini. Terimakasih pak, atas
segala waktu yang diluangkan, tenaga, dan pikiran dalam
membimbing saya.
3. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayarullah Jakarta dan sekaligus dosen
Pembimbing Akademik peneliti.
4. Ibu Dr. Cucu Nurhayati, M.Si ketua Program Studi Sosiologi yang
selalu memberikan semangat dan motivasi baik dalam proses
penulisan proposal maupun dalam penulisan skripsi. Dan tidak lupa
juga kepada Ibu Dr. Joharatul Jamilah, M.Si Sekretaris Program Studi
Sosiologi yang telah membantu dalam penyelesaian proposal skripsi.
viii
5. Kepada seluruh civitas academica Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik.
6. Kepada pihak Pemprov. Lampung dan Pemkab. Lampung Selatan
yang dalam hal ini melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
(KESBANGPOL) yang telah memberikan izin penelitian, serta
Kepala Bagian Hukum Pemkab. Lampung Selatan Pak‟De Elik
Murtopo beserta jajaran. Dan tidak lupa kepada pihak Kecamatan
Kalianda dan Way Panji serta pihak Desa Agom dan Balinuraga yang
telah banyak memberikan informasi, serta Perpustakaan Daerah
Provinsi Lampung.
7. Ilham, Luqman, Ubay, Monji, Arif (ucay), Jaldi, Yasser, Innu, Nanik,
Nisa, Dhana. Ga tau lagi gimana gw mendefinisikan kalian semua.
Tetap jadi yang terbaik guys. Kita lebih banyak jangan kalah sama
yang Cuma 5 cm!.
8. Kawan-kawan Sosiologi 2013, khususnya Sosio A yang banyak
memotivasi untuk terus lebih baik.
9. Untuk Oka dkk., Hilda dkk., Novi Dwi dkk., bang Rusydan, bang
Galih dkk. Dan abang-abang yang lain, terimakasih untuk
perjuangannya.
10. Temen-temen di Senat Mahasiswa Univeritas, terimakasih untuk
pembelajaran kehidupan kampusnya.
11. Temen-temen Kuliah Kerja Nyata Retina 024.
12. Dan pihak-pihak yang telah mendukung yang tidak dapat peneliti
disebutkan satu-satu.
Jakarta, 28 September 2017
Adi Saputra
ix
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Pernyataan Masalah ....................................................................................... 1
B. Pertanyaan Masalah ....................................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 8
E. Kerangka Teoritis ........................................................................................ 15
F. Metodologi Penelitian .................................................................................. 23
G. Sistematika penulisan .................................................................................. 30
BAB II GAMBARAN UMUM ........................................................................... 32
A. Lampung Selatan ......................................................................................... 33
B. Kondisi Sosial dan Geografis Desa Agom dan Balinuraga ......................... 36
C. Relasi Masyarakat Pendatang Dengan Masyarakat Lokal Sebelum
Terjadinya Konflik ............................................................................................ 50
BAB III KONFLIK DAN RELASI SOSIAL PASCA KONFLIK DI
LAMPUNG SELATAN ................................................................. 53
A. Konflik Antara Pendatang dengan Masyarakat Lokal ................................. 53
1. Latar Belakang Terjadinya Konflik dan Isu yang Beredar ..................... 53
2. Kronologi Konflik .................................................................................. 64
B. Relasi Sosial Pasca Konflik di Lampung Selatan ........................................ 73
1. Relasi Sosial Lebih Harmonis (Positif) Antara Lokal dengan Pendatang ..
................................................................................................................ 73
2. Penguatan Integrasi/Kohesi di dalam Masing-Masing Kelompok dan
Perubahan Perilaku Masyarakat..................................................................... 81
3. Kehidupan Beragama Pasca Konflik di Balinuraga ............................... 89
x
BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 92
A. Kesimpulan .................................................................................................. 92
B. Saran ............................................................................................................ 95
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 96
LAMPIRAN-LAMPIRAN ............................................................................... 100
xi
DAFTAR TABEL
Tabel I. A 1 Jumlah Insiden Kekerasan Komunal Terkait Isu Identitas Periode
1998-2013 .......................................................................................... 4
Tabel I. D.2 Daftar Tinjauan Pustaka ................................................................... 13
Tabel I. F. 3 Distribusi Informan .......................................................................... 26
Tabel I. F. 4 Data Informan ................................................................................... 26
Tabel II. A.1 Sektor Mata Pencaharian Penduduk Desa Agom ............................ 43
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar II. 1. Peta Provinsi Lampung ................................................................... 32
Gambar II. 2. Kantor Bupati Kabupaten Lampung Selatan .................................. 33
Gambar II. 3. Peta Administrasi Kabupaten Lampung Selatan ............................ 36
Gambar II. 4. Peta Administrasi Desa Agom ........................................................ 39
Gambar II. 5. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa ......................................... 41
Gambar II. 6. Gapura Perbatasan Desa Balinuraga............................................... 44
Gambar II. 7. Peta Administrasi Desa Balinuraga ................................................ 47
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Dalam skripsi saya ini akan mengkaji permasalahan relasi sosial antara
masyarakat pendatang dengan masyarakat lokal di Lampung Selatan, pasca
konflik kerusuhan antar etnis tahun 2012. Lampung Selatan merupakan salah
satu kabupaten yang ada di Provinsi Lampung. Di kabupaten ini tidak hanya
dihuni oleh etnis lokal Lampung, tetapi juga dihuni oleh komunitas etnis yang
datang dari segala penjuru Indonesia. tidak heran jika Provinsi Lampung
banyak dihuni oleh beragam suku yang ada di Indonesia, menurut data Badan
Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung tahun 2010 dari total 7.608.405 jiwa
penduduk Lampung terdiri dari 63,84% etnis Jawa, 13,51% etnis Lampung,
9,58% Sunda, 2,27% Banten, 5,47% etnis asal Sumatera Selatan, 1,38% Bali,
0,92% Minangkabau, 0,53% etnis Cina, 0,28% Bugis, 0,69% Batak dan
1,21% etnis lain seperti Aceh, Jambi, Sumatera lainnya, Betawi, Papua, NTB,
NTT, dan Kalimantan (Data BPS Provinsi Lampung tahun 2010 terhadap
sensus penduduk menurut suku bangsa).
Penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta jiwa tersebar diseluruh
pulau di Indonesia, dan lebih dari setengah jumlah tersebut menempati
wilayah pulau Jawa dan Bali. Kepadatan penduduk di pulau Jawa dan Bali ini
tidak hanya terjadi di masa-masa sekarang, melainkan telah terjadi sejak
Indonesia dikuasai oleh Belanda. Oleh karenanya sejak Indonesia dikuasai
2
oleh Belanda, pemerintahan Belanda saat itu melakukan kebijakan untuk
mengurangi kepadatan penduduk yang ada di pulau Jawa dan meningkatkan
taraf hidup masyarakat saat itu dengan cara melakukan pemindahan penduduk
“Kolonisatie” (atau sama dengan transmigrasi penduduk) dari pulau Jawa ke
wilayah-wilayah di Sumatera, terutama di wilayah provinsi Lampung (The
Habibie Center 2014: 13). Dan kebijakan tersebut diikuti oleh pemerintah
Indonesia di era Orde Baru yang di pimpin oleh Presiden Soeharto saat itu
(The Habibie Center edisi 06, 2014: 13).
Balinuraga merupakan salah satu desa yang ada di Kabupaten
Lampung Selatan yang dibentuk oleh para transmigran yang berasal dari pulau
Bali. Desa ini diketahui telah dibentuk sejak tahun 1958 silam (The Habibie
Center edisi 06 2014: 13). Desa ini dihuni oleh warga etnik Bali yang menjadi
partisipan dalam program transmigrasi yang dilakukan oleh pemeritah masa
itu. Setelah era reformasi bergulir dan kapala daerah dipilih secara langsung,
konflik SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) pun mulai merebak di
Provinsi Lampung (Budiman dan Saroso HN, 2012: 18). Konflik tersebut
pada umumnya terjadi di daerah ekstransmigrasi yang proses pembaurannya
kurang halus (Budiman dan Saroso HN, 2012: 18). Seperti konflik yang
terjadi di Lampung Selatan antara pendatang dan penduduk lokal secara
khusus antara Balinuraga sebagai pendatang dan Desa Agom sebagai
penduduk lokal tahun 2012 (Setiawan, Lampung Selatan Berdarah, Siapa
Salah? Diakses dari http://fokus.news.viva.co.id/news/read/363482-lampung-
selatan-berdarah-siapa-salah).
3
Sebagai cerminan dari masalah konflik yang melibatkan kelompok
etnis ini terjadi di Lampung Selatan, yang pada paragraf sebelumnya sedikit
dijelaskan bahwa lampung menjadi salah satu destinasi para transmigran asal
Jawa dan Bali. konflik etnis tersebut melibatkan dua etnis berbeda etnis
Lampung (lokal) dan etnis Bali (pendatang) yang dilatar belakangi oleh
berbagai macam masalah yang timbul sebelumnya, seperti pemuda pendatang
yang dalam hal ini pemuda Balinuraga sering membuat onar dan terusiknya
harga diri warga lokal dalam kehidupan bermasyarakat (atau pendatang tidak
mengikuti dan menghargai aturan (Phi‟il) warga lokal) (Noor, Kompleksitas
Konflik Lampung, diakses dari http://nasional.kompas.com).
Konflik ini tapatnya terjadi di Desa Balinuraga Kabupaten Lampung
Selatan. Bukan hanya akibat dari kesalah pahaman yang dilakuakan oleh
kedua belah pihak, konflik tersebut juga merupakan buntut dari konflik-
konflik masa lalu yang pernah terjadi dan melibatkan kedua etnis tersebut
(Kajian Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center edisi 06, 2014: 15).
Seperti yang catatan kekerasan antar kelompok dalam kajian perdamaian dan
kebijakan The Habibie Center tahun 2013 isu tersebut tidak hanya terjadi di
kabupaten Lampung selatan saja, tetapi juga terjadi di daerah-daerah yang ada
di Indonesia.
4
Tabel I. A 1 Jumlah Insiden Kekerasan Komunal Terkait Isu Identitas
Periode 1998-2013
Sumber: Kajian Perdamaian dan Kebijakan, The Habibie Center, 2013
Dari tabel tersebut memang terlihat ada penurunan insiden kekerasan
yang terjadi dari periode 1998 sampai 2009, akan tetapi kembali meningkat di
tahun 2012. Lalu apakah dibalik meningkatnya tersebut akibat dari
penyelesaian konflik yang tidak selesai? Oleh karenanya dalam skripsi ini
akan mengkaji mengenai relasi sosial masyarakat setelah konflik terjadi.
Kembali kepada kasus konflik di Lampung Selatan, menurut catatan
yang ditulis dalam buku Merajut Jurnalisme Damai di Lampung konflik ini
berawal dari insiden yang dilakukan oleh para pemuda Desa Balinuraga yang
berusaha memegang paha dari salah seorang gadis dari Desa Agom yang
hendak pulang dari Desa Patok-Sidoharjo sehingga motor yang dikendarai
oleh gadis tersebut terjatuh dan menyebabkan luka pada gadis tersebut.
Mulanya orangtua dari gadis tersebut hanya ingin meminta pertanggung-
5
jawaban dari pemuda yang bersangkutan untuk membiayai pengobatan ke
rumah sakit. Berbeda dari orangtua gadis tersebut, justru ratusan warga desa
ingin pemuda tadi diberi pelajaran mereka menganggap telah dijatuhkan harga
dirinya. Sehingga malam itu juga warga Desa Agom mencari pemuda
tersebut, tetapi tidak ketemu sehinagga warga Desa Agom tadi ditemui oleh
kepala Desa Balinuraga dan ia menyatakan akan menanggung seluruh biaya
pengobatan. Akan tetapi berita mengenai pelecehan terhadap gadis Desa
Agom menyebar dengan cepat, singakat cerita tidak hanya warga dari Desa
Agom saja yang terlibat penyerangan di Desa Balinuraga akan tetapi warga
etnis lokal dari beberapa kabupaten juga turut andil dalam penyerangan
tersebut (Budiman dan Saroso, 2012: 4-10).
Akan tetapi dari versi lain yang diceritakan dalam Tempo.co, pemuda
dari Balinuraga tersebut tidak melakukan pelecehan, tetapi pemuda yang
berjumlah sepuluh orang tersebut berpapasan dengan gadis asal Desa Agom
dan tidak sengaja menyerempet gadis tersebut sehingga jatuh (Budiman,
Pemicu Bentrok Lampung Versi Penduduk, diakses dari https://m.tempo.co).
Terlepas dari cerita dari kedua versi tersebut yang jelas akibat dari kejadian
tersebut telah memakan korban yang tidak sedikit, menurut viva.co.id korban
tewas sebanyak 14 orang, namun menurut versi lain korban tewas lebih dari
14 (tidak disebutkan secara pasti jumlahnya) dan terdapat 7 orang warga
Balinuraga harus dilarikan ke rumah sakit (Budiman dan Saroso, 2012: 4-10).
6
Konflik memang dibutuhkan dalam kehidupan sosial, selain harus
menjaga keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat. Karena ketika
masyarakat yang terus berlarut-larut dalam ketertur, itu tidak menjamin
keteraturan tersebut benar-benar yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga
konflik dalam hal ini perlu ada, karena dengan adanya konflik dalam
masyarakat keseimbangan dan keteraturan itu akan terus diperbarui. Hal
tersebut senada dengan apa yang dikatakan oleh Novri Susan yang dikutip
dari Lewis A. Coser, konflik tidak selalu berwajah negatif. Konflik memiliki
fungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan sosial yang
diakibatkannya (Susan, 2014: 45-46). Oleh karenanya resolusi dalam
menyelesaikan konflik sangat penting dan harus sesuai, agar dapat benar-
benar menciptakan equilibrium dalam masyarakat. Maka dari itu dalam skripsi
ini peneliti mengambil judul mengenai “Relasi Sosial Pasca Konflik Di
Lampung Selatan (Studi Kasus Konflik Etnis Kabupaten Lampung Selatan
Tahun 2012)”
B. Pertanyaan Masalah
1. Bagaimana konflik yang terjadi antara pendatang dan lokal di
Lampung Selatan?
2. Bagaimana relasi sosial antara masyarakat etnis pendatang dengan
masyarakat etnis lokal pasca konflik tahun 2012 di Lampung Selatan?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a) Menjelaskan konflik yang terjadi antara etnis pendatang dengan
lokal di Lampung Selatan.
b) Menjelaskan relasi sosial antara masyarakat etnis pendatang
dengan masyarakat etnis lokal pasca konflik di Lampung Selatan.
2. Manfaat Penelitian
Sebuah penelitian tanpa memberikan manfaat itu merupakan
bagian dari kegagalan dalam suatu penelitian. Oleh karenanya dalam
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat dalam
kegunaan teoritis maupun manfaat kegunaan praktis.
a) Kegunaan teoritis, dapat berguna dalam memperkaya konsep teori
mengenai hubungan antar etnis pasca konflik.
b) Kegunaan praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah
satu rujukan dalam penelitian berikutnya. Selain itu hasil dari
penelitian ini diharapkan dapat dipertimbangkan dalam membuat
suatu kebijakan dalam menangani konflik etnis.
8
D. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait topik yang akan dibahas
dalam skripsi ini. Penelitian yang pertama ditulis oleh Bodro Sigit Rahwono
(mahasiswa program studi sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta) penelitian tersebut
membahas mengenai rekonsiliasi konflik yang terjadi di kecamatan Mesuji,
Sumatera Selatan. Skripsi tersebut berjudul Konflik dan Rekosiliasi Etnik di
Mesuji. (Studi Pada Masyarakat Pribumi dan Pendatang di Kecamatan
Mesuji, Kabupten Oku, Sumatera Selatan. Hasil dari penelitian skripsi
tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik tersebut disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, Segregasi pemisahan tempat tinggal berdasarkan etnik dan
pengelompokan etnik di wilayah tertentu menimbulkan hambatan komunikasi
dan sikap. Kedua, label dan streotip yang beredar di masyarakat sehingga
kebanyakan dari mereka menggeneralisir kesalahan oknum menjadi kesalahan
kelompok. Ketiga, kesenjangan sosial dan ekonomi yang dirasakan oleh etnis
lokal terhadap etnis pendatang. Metode yang digunakan dalam penelitian
tersebut menggunakan metode kualitatif. Penelitian ini secara umum
menggunakan teori konflik dan menggunakan teori labeling dari
interaksionisme simbolik George H.Mead (Sigit Rahwono, 2014).
Kedua, merupkan hasil penelitian dari skripsi yang dituls oleh Inggrid
Galuh Mustikawati (mahasiswa jurusan Sosiologi Universitas Indonesia),
dengan judul Pengungsi dan Penduduk Lokal: Studi Kasus, Hubungan Antar
9
Kelompok Pasca Konflik Sampit di Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru
Kalimatan Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode
kualitatif. Dengan menggunakan parade teori konflik yang dikemukan oleh
Lewis Coser, George Simmel dan Randall Collins. Penelitian yang dilakukan
ini menggambarkan hubungan sosial yang terbentuk diantara kedua kelompok
tersebut, dengan mengkaji dari aspek prasangka dan stereoptype yang
berekembang dalam masing-masing kelompok. Tersebut. (Mustikawati, 2003)
Ketiga, merupakan penelitian yang diterbitkan oleh Universitas
Diponegor yang ditulis oleh Anisa Utami (mahasiswa Jurusan Ilmu
Pemerintahan) dengan judul Resolusi Konflik Antar Etnis Kabupaten
Lampung Selatan (Studi Kasus: Konflik Suku Bali Desa Balinuraga Dan Suku
Lampung Desa Agom Kabupaten Lampung Selatan). Metode yang digunakan
dalam penelitian tersebut merupakan metode kualitatif. Banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya konflik tersebut dua diantaranya adalah faktor
ekonomi (lahan banyak dikuasai oleh etnis pendatang) dan faktor masalalu
yang belum usai. Pemerintah pun telah melakukan berbagai cara untuk
mendamaikan kedua belah pihak dengan mempertemukan kedua belah pihak
dan memediatori proses perdamaian tersebut. Selain itu juga pemerintah
daerah juga telah membentuk organisasi dalam upaya perdamaian pasca
konflik, yaitu MPAL (Majelis Penyeimbang Adat Lampung) dan FKDM
(Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat). Organisasi tersebut rutin
mengadakan pertemuan dalam satu minggu satu kali pertemuan (Utami, h. 6-
17).
10
Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Eklefina Pattinama dan
dibukukan dalam Disertasi Doktor Antropologi Universitas Indonesia, dengan
judul Integrasi Pasca Konflik (Studi Kasus di Saparua Maluku Tengah).
Penelitian ini berfokus pada kajian Antropologi dengan metode yang
digunakan kualitatif dan etnografi. Hasil penelitinannya, integrasi yang
dibangun pasca konflik diawali oleh para pelaku yang berjumpa dan
berinteraksi dalam rutinitas mereka sehari-hari yang membentuk integrasi di
tengah ketidakamanan. Para pelaku ini juga merasakan trauma, perasaan takut,
cemas dan ragu yang membatasi ruang gerak mereka. Bahkan akibat
ditutupnya akses transportasi membuat lumpuh kondisi perekonomian. Selain
hal tersebut para pelaku yang berinisiatif berinteraksi adalah para petani,
nelayan dan perempuan pedagang kayu bakar, sayur serta ikan. Mereka
menjadi penggerak dalam membagun integrasi baru. Atas dasar saling
membutuhkan, saling bergantung satu sama lain mereka, para pelaku
merekonstruksi budaya lokal untuk membangun integrasi melalui
pembentukan kerja sama baru baik itu sosial, budaya, ekonomi maupun politik
(Pattinama, 2010).
Kelima, merupakan tulisan ilmiah yang diterbitkan dalam situs
pasca.unhas.ac.id ditulis oleh Amrul Djana, Maria E Pandu dan H. M. Darwis
yang berjudul Interaksi Sosial Pasca Konflik Horisontal (Studi Kasus Pada
Komunitas Islam-Kristen di Kecamtan Tobelo Utara Kabupaten Halmahera
Utara). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah
metode kualitatif. Dalam penelitian ini menjelaskan hubungan kedua belah
11
pihak yang terlit konflik sebelum terjdinya konflik, proses terjadinya konflik
dan menjelaskan pula hubungan masyarakat pasca konflik. Dari penelitian
tersebut diketahui bahwa kehidupan kedua kelompok yang terlibat konflik
sebelum terjadinya konflik sangatlah damai karena terdapat adat yang
menaungi kehidupan kedua belah pihak dan dijunjung tinggi oleh mereka,
yaitu adat Hibua Lamo. Pola interaksi sebelun terjadinya konflik ini bersifat
asosiatif, dimana terdapat kerja sama, asimilasi dan juga akomodasi, sifat-sifat
tersebut tercermin dalam proses berinteraksi antara komunitas Muslim dan
Kristen. Sedangkan kehidupan pasca konflik, kedua belah pihak telah
berdamai melalui akomodasi yang dilakukan oleh pemerintah, tokoh agama,
tokoh adat, LSM serta kesadaran dari masyarakat tersebut. Kedua belah pihak
telah bersepakat tidak lagi mudah dihasut oleh provoktor yang ingin memecah
belah mereka. Selain itu juga, adat Hibua Lamo telah kembali ditumbuh
kembangkan pada setiap masyarakat (Djana, Pandu dan Darwis, h. 4-12).
Keenam, tulisan yang diterbitkan dalam Kajian Perdamaian dan
Kebijakan The Habibie Center, dengan judul Peta Kekerasan di Indonesia
(September-Desember 2013) dan Konflik Antarkelompok di Indonesia. dalam
tulisan tersebut dijelaskan bahwa terjadinya konflik antar suku disebabkan
oleh beberapa faktor diantaranya faktor ekonomi, faktor migrasi penduduk
dan faktor pola penanganan. Secara khusus peneliti menyoroti tulisan
mengenai konflik kerusuhan di Lampung Selatan pada 2012 yang terdapat
dalam tulisan tersebut. Secara faktor ekonomi, konflik yang terjadi di
Lampung Selatan akbibat dari meningkatnya pendapatan ekonomi dan
12
perubahan kepemilikan tanah oleh warga etnis Bali sehingga memperbesar
ketimpangan horizontal antara pendatang dan penduduk lokal. faktor migrasi,
program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah beberapa tahun
sebelumnya juga menjadi andil dalam konflik yang terjadi. yang terakhir
upaya penanganan oleh pemerintah, upaya perdamaian yang tidak efektif
menyentuh masyarakat lapisan bawah (grassroots) juga menjadi faktor dalam
konflik tersebut, karena konflik ini merupakan buntut dari konflik masalalu
yang tidak selesai (The Habibie Center, 2014: 18-24).
Dari beberapa penelitian yang telah ada, banyak penelitian yang hanya
membahas mengenai resolusi dan rekonsiliasi konflik. Hanya ada sedikit
penelitian yang membahas mengenai hubungan masyarakat pasca terjadinya
konflik. Dalam hal ini peneliti hanya menemukan satu penelitian yang sama
mengenai hubungan pasca konflik itu, yaitu penelitian yang dilakukan oleh
Inggrid Galuh Mustikawati mengenai hubungan pendatang dan penduduk
lokal pasca konflik. Perbedaan antara peneliti dengan penelitian yang
dilakukan oleh Inggrid tersebut terletak pada,
1. Jika Inggrid membahas mengenai hubungan pengungsi dan penduduk
lokal, maka dalam penelitian ini akan membahas mengenai hubungan
antara pendatang dan penduduk lokal.
2. Lokasi penelitian, penelitian yang dilakukan oleh Inggrid tersebut
dilakukan di Kecamatan Landasan Ulin, Banjarbaru Kalimantan
13
selatan. penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini terletak di
Kabupaten Lampung Selatan, Lampung.
3. Teori yang digunakan, walaupun akan sama-sama membahas tema
yang serupa dengan menggunakan teori konflik dari Lewis A. Coser.
Jika Inggrid menggabarkan bagimana hubungan sosial yang terbentuk
diantara kedua kelompok tersebut dengan mengkaji dari aspek
prasangka dan stereotype yang berkembang dalam masing-masing
kelompok, maka dalam penelitian ini akan melihat hubungan yang
terbentuk antara warga lokal dengan pendatang pasca terjadinya
konflik hanya dengan menggunakan pendekatan teori konflik Lewis A.
Coser.
Tabel I. D.2 Daftar Tinjauan Pustaka
No Nama, Judul &
Tahun
Perbedaan dan Persamaan
Penelitian sebelumnya Penelitian ini
1. Bodro Sigit Rahwono,
Konflik dan
Rekosiliasi Etnik di
Mesuji. (Studi Pada
Masyarakat Pribumi
dan Pendatang di
Kecamatan Mesuji,
Kabupten Oku,
Sumatera Selatan,
2014 (Prodi Ilmu
Sosiologi, Universitas
Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta).
Menggunakan teori
segitiga konflik
Galtung, pemetaaan dan
teori labeling.
Menggunakna
pendekatan sosiologis
dan metode penelitian
kualitatif. Subjek
penelitian Konflik di
Mesuji
Menggunakan teori
konflik Lewis A.
Coser. Subjek
penelitian konflik
Lampung selatan
tahun 2012.
Persamaannya, pada
metode dan
pendekatan sosiologis
yang digunakan serta
sama membahas
mengenai konflik
etnis.
2. Inggrid Galuh
Mustikawati,
Menggunakan metode
penelitian kualitatif
Menggunakan teori
yang difokuskan pada
14
Pengungsi dan
Penduduk Lokal:
Studi Kasus,
Hubungan Antar
Kelompok Pasca
Konflik Sampit di
Kecamatan Landasan
Ulin, Banjarbaru
Kalimatan Selatan,
2003 (sosiologi
Universitas Indonesia)
dengan pendekatan
sosiologis. Penelitian
ini dilakukan di
Kecamatan Landasan
Ulin, Banjarbaru
Kalimantan Selatan.
Menggunakan parade
teori konflik, Lewis
Coser, George Simmel
dan Randall Collins.
Fokus pada stereotype
yang terbangun di
masyarakat lokal
terhadap pengungsi.
teori konflik Lewis A.
Coser. Objek
penelitian konflik
Lampung selatan.
sama-sama membahas
hubungan pasca
konflik etnis.
3. Anisa Utami, Resolusi
Konflik Antar Etnis
Kabupaten Lampung
Selatan (Studi Kasus:
Konflik Suku Bali
Desa Balinuraga Dan
Suku Lampung Desa
Agom Kabupaten
Lampung Selatan), ---
- (jurusan Ilmu
Pemerintahan,
Universitas
Diponegoro)
Mengguanakan teori
konflik, resolusi konflik
dan konflik etnis.
Menggunakan metode
kualitatif dengan
pendekatan ilmu
pemerintahan. Berfokus
pada resolusi konflik
yang terjadi di
Lampung Selatan.
Pendekatan sosiologis,
menggunakan teori
Konflik yang lebih
spesifik yang
dikemukakan oleh
Lewis A. Coser.
Penelitian berfokus
pada relasi masyarkata
pasca terjadinya
konflik di Lampung
selatan.
4. Eklefina Pattinama,
Integrasi Pasca
Konflik (Studi Kasus
di Saparua Maluku
Tengah). 2010,
(disertasi Doktor
Antropologi,
Universitas Indonesia)
Berfokus pada kajian
Antropologi dengan
metode yang digunakan
kualitatif dan etnografi.
Menggunakan teori
Strukturasi Anthony
Giddens.
Penelitian ini akan
fokus pada kajian
sosiologis.
Menggunakan teori
yang berbeda yaitu
teori Konflik Lewis A.
Coser.
Persamaan, akan
mengkaji isu ini
menggunakan metode
kualitatif.
5. Amrul Djana, Maria E
Pandu dan H. M.
Darwis. Interaksi
Sosial Pasca Konflik
Horisontal (Studi
Kasus Pada
Komunitas Islam-
Kristen di Kecamtan
Menggunakan konsep
dasar interaksi sosial
dan teori konflik
Dahrendorf serta
menggunakan definisi
perubahan sosial Mac
Iver dan Selo Sumarjan.
Menggunakan teori
konflik Lewis A.
Coser
Persamaan, membahas
mengenai interaksi
sosial pasca konflik.
15
Tobelo Utara
Kabupaten
Halmahera Utara). ---
-
6. Kajian Perdamaian
dan Kebijakan The
Habibie Center. Peta
Kekerasan di
Indonesia (September-
Desember 2013) dan
Konflik
Antarkelompok di
Indonesia. 2013
Dalam penelitian ini
berfokus pada kajian
perdamaian dan
kebijakan yang
memfokuskan
fenomena konflik
antarkelompok berbasis
identitas sebagai isu
utama. Serta membahas
mengenai faktor
terjadinya konflik
dibeberapa daerah.
Khususnya yang sama
dengan penelitian
peneliti yaitu konflik
Lampung selatan tahun
2012.
Dapat melengkapi
penelitian sebelumnya
mengenai relasi sosial
yang terjadi di
Lampung selatan
pasca terjadinya
konflik khususnya di
2 desa yang terlibak
konflik dan
menewaskan belasan
jiwa.
E. Kerangka Teoritis
Kehidupan masyarakat sangatlah dinamis, pola hubungan dan keadaan
sosial setiap saat pasti akan cepat berubah. Dalam kajian sosiologi mengenal
beberapa pendekatan dalam menganalisis pola hubungan dan kondisi sosial
yang ada di masyarakat. Pendekatan tersebut diantaranya, pendekatan
fungsionalisme struktural, interaksionisme simbolik dan konflik.
Pendekatan fungsionalisme struktural ini memiliki asumsi dasar,
bahwa semua elemen atau unsur kehidupan masyarakat harus berfungsi atau
fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa menjalankan
fungsinya dengan baik (Raho, 2007: 48). Pendekatan ini menekankan pada
keselarasan hidup atau keteraturan dalam masyarakat untuk mencapai apa
16
yang dinamakan keseimbangan (equilibrium). Sehingga ketika salah satu
unsur tidak berfungsi dengan baik, maka akan ada disfungsi dan akan
mempengaruhi unsur lain.
1. Definisi Konflik
Konflik memang dipandang sebagai salah satu keadaan yang dapat
mempengaruhi tatanan sosial. Konflik juga dianggap sebagai hal yang
membuat tidak berfungsinya komponen-komponen dalam masyarakat.
Dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Klasik dari Comte hingga
parsons, Prof. Wardi Bachtiar mengatakan bahwa konflik secara empiris
tidak diakui oleh kebanyakan orang. Karena orang lebih memilih stabilitas
sebagai hakikat masyarakat. Akan tetapi, Prof. Wardi juga
mengungkapkan bahwa konflik merupakan kondisi realitas yang harus
dihadapi oleh para ahli teori sosial dalam membentuk model-model umum
perilaku sosial (Bachtiar,2010: 107).
Teori konflik muncul karena ketidakpuasan atas teori struktural
fungsional yang dianggap telah menutup mata atas konflik yang selalu
melekat pada setiap masyarakat. Teori struktural fungsional juga dinilai
mengabaikan praktik dominasi satu kelompok terhadap kelompok lain
(Maliki, 2012: 140). Teori konflik secara umum merupakan perspektif
dalam sosiologi yang memandang masyarakat sebagai suatu sistem sosial
yang terdiri dari bagian-bagian yang mempunyai kepentingan berbeda
17
dimana bagian satu berusaha untuk menaklukan bagian yang lain guna
memperoleh kepentingannya yang sebesar-besarnya (Raho. 2007: 71).
Pada awalnya teori konflik ini dicetuskan oleh Karl Marx (1818-
1883) (Ritzer dan Goodman: 50-51). Pemikiran awal Marx muncul ketika
industrialisasi pada abad 19, saat itu ia melihat kesenjangan antara buruh
dengan pemodal. di mana buruh banyak menderita akibat dari
ketimpangan pemodal yang menjadikan buruh sebagai alat produksi.
Sehingga hal tersebut melahirkan alienasi, yang bukan hanya alienasi
individual melainkan alienasi masal yang sejalan dengan mode of
production yang dikendalikan oleh industri (Maliki, 2012: 146-147).
“Semakin tidak merata distribusi sumber di dalam suatu sistem,
akan semakin besar konflik kepentingan antara segmen dominan dan
segmen lemah di dalam suatu sistem” (Wirawan, 2013: 62). Menurut
Marx ketimpangan sumber daya yang terjadi dalam suatu masyarakat itu
akan menyebabkan peluang konflik semakin besar antara kelompok yang
memiliki kekuasaan dengan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan
(Wirawan, 2013: 62). Hal ini sejalan dengan yang terjadi pada konflik
Lampung selatan. Dalam pembahasan dari tim Kajian Perdamaian dan
Kebijakan The Habibie Center, konflik yang terjadi di Lampung Selatan
salah satu faktornya adalah ketimpangan ekonomi yang terjadi anatar
pendatang dengan penduduk lokal (The Habibie Center, 2014: 18-19).
18
Konflik yang dikemukakan oleh Dahrendorf seringkali disebut
dengan konflik dialektik. Di mana masyarakat menurutnya memiliki dua
wajah yang berbeda yaitu konflik dan konsensus, konflik akan terjadi
ketika konsensus dalam masyarakat terjadi lebih dulu (Raho, 2007: 77).
Menurut Dahrendorf di dalam buku yang ditulis oleh Bernard
Raho, dalam teori konflik, kesetabilan atau keseimbangan merupakan hal
yang terjadi karena adanya paksaan (Raho, 2007: 78). Oleh karenanya hal
ini berarti dalam masayarakat terdapat bagian yang otoritas untuk
memaksa atau menguasai bagian yang lain. Dalam buku yang sama juga
dijelaskan bahwa, hal tersebutlah yang membawa Dahrendorf kepada tesis
yang dikemukakan olehnya, di mana “distribusi otoritas atau kekuasaan
yang berbeda-beda merupakan faktor yang menentukan bagi terciptanya
konflik sosial yang sistematis” (Raho, 2007: 78).
Sedangkan konflik yang dikemukakan oleh Lewis A. Coser banyak
yang mengatakan sebagai bentuk fungsionalisme konflik. Dimana konflik
digambarkan oleh Coser sebagai bentuk yang berfungsi dalam sistem
sosial atau masyarakat (Raho, 2007: 82). Mengenai fungsi konflik
pemikiran Coser banyak dipengaruhi oleh ide-ide yang dikemukakan oleh
Simmel, dimana konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial dan
menghubungkan proses konflik dengan bentuk-bentuk alternatif (Johnson,
1994: 195). Akan tetapi pemikiran Coser Mengenai konflik difokuskan
19
kepada Konsekuensi konflik secara keseluruhan dalam mempengaruhi
sistem sosial dimana konflik itu terjadi (Johnson, 1994: 192).
Ide Coser mengenai konflik yang dapat memiliki fungsi dalam
masyarakat atau sistem sosial, diantaranya konflik dapat memperkuat
solidaritas kelompok yang agak longgar, konflik dengan kelompok lain
dapat menghasilkan solidaritas di dalam kelompok tersebut dan solidaritas
tersebut dapat membawa kepada aliansi-aliansi dengan kelompok-
kelompok lain, serta konflik juga bisa menyebabkan anggota-anggota
masyarakat yang terisolir menjadi berperan secara aktif (Raho 2007: 83).
2. Fungsi Konflik
The group in a state of peace can permit antagonistic members within it
to live with one another in an undecided situation because each of them
can go his own way and can avoid collisions. A state of conflict,
however, pulls the members so tightly together and subjects them to such
uniform impulse that they either must get completely along with, or
completely repel, one another. This is the reason why war with the
outside is sometimes the last chance for a state ridden with inner
antagonisms to overcome these antagonisms, or else to break up
definitely. (Coser, 1958: 90)
Konflik tidak selalu berdampak negatif dalam kehidupan sosial.
Konflik juga memiliki fungsi positif, yang salah satunya adalah
mengurangi ketegangan dalam masyarakat, juga mencegah agar
ketegangan tersebut tidak terus bertambah dan menimbulkan kekerasan
yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan (Bachtiar,2010:
107).
20
Lewis A Coser seorang sosiolog Amerika yang lebih banyak
membahas mengenai fungsi positif dari suatu konflik. Melalui bukunya
yang berjudul The Functions of Social conflict ia ingin mendekatkan
implikasi-implikasi dari fungsionalisme dan teori konflik (Jhonson, 1994:
195). Coser mencoba menjelaskan bagaimana konflik dapat
mengintegrasikan anggota-anggota dalam suatu kelompok dan kelompok-
kelompok yang memiliki musuh bersama.
Dalam melihat konflik di masyarakat, Fungsi positif dari Konflik
yang dikemukakan oleh Lewis A Coser dibagi kedalam beberapa proposisi
sebagai berikut:
a) Solidaritas dan integrasi kelompok dalam (In-gorup) akan
bertambah tinggi ketika tingkat ketegangan atau konflik
dengan kelompok luar bertambah tinggi.
b) Integrasi yang terbangun akibat dari konflik antara kelompok
luar dan kelompok dalam maka akan mempertegas batasan
antar kelompok yang terlibat dalam konflik tersebut.
c) Kelompok dalam yang terlibat dalam konflik dengan
kelompok luar, maka akan meningkatkan tekanan pada
konsensus dan konformitas.
d) Para penyimpang dalam kelompok tersebut tidak lagi
ditoleransi, jika tidak dapat mematuhi aturan maka tidak segan
21
akan diusir dari kelompok tersebut atau masuk kedalam
pengawasan yang ketat.
e) Apabila kelompok dalam tidak terancam konflik dengan
kelompok luar maka kemungkinan tingkat kekompakan,
konformitas dan komitmen terhadap kelompok itu akan
berkurang.
Maka dalam penelitian ini akan difokuskan kepada dua proposisi
awal, yang pertama Coser menjelaskan bagaimana integrasi dapat
terbentuk dalam suatu kelompok dengan adanya konflik dengan kelompok
lain. Fungsi positif dari suatu konflik akan jelas terlihat pada konflik yang
terjadi antara kelompok dalam (in-group) dengan kelompok luar (out-
group). Dimana proses sosial yang ditekankan pada model fungsional
adalah kelompok dalam atau internal kelompok sedangkan proses sosial
yang ditekankan pada model konflik adalah hubungan antar kelompok.
Artinya disini solidaritas dan integrasi dalam suatu kelompok akan
terbangun ketika kelompok tersebut memiliki permusuhan atau berkonflik
dengan kelompok lain (Jhonson, 1994: 196). Dalam bukunya Coser
menjelaskan “Conflict with another group leads to the mobilization of the
energies of group members and hence to increased cohesion of the group”
(Coser, 1958: 95).
Selain menjelaskan hal tersebut Coser juga menjelaskan
bagaimana konflik dapat digunakan sebagai stimulus dalam integrasi
anatar kelompok. Sebelumnya Coser membuat pembedaan antara konflik
22
yang realistik dengan konflik nonrealistik. Dimana konflik realistik
merupakan alat yang digunakan untuk suatu tujuan tertentu, yang jika
tujuannya tersebut telah tercapai maka akan menghilangkan sebab-sebab
dasar dari koflik tersebut. Sebaliknya konflik nonreaslitik merupakan
konflik yang membelok dari objek konflik yang sebenarnya (Jhonson,
1994: 202). Dari kedua hal tersebut Coser mencoba untuk menjelaskan
bagaimana konflik dijadikan stimulus untuk mengintegrasikan hubungan
antar kelompok.
Yang pada umumnya konflik terjadi antara kelompok (in-group)
dengan kelompok-kelompok lain (other-group), sehingga sifat hubungan
antara kelompok tersebut akan berubah-ubah akibat dari konflik yang
terjadi. Akan tetapi sifat hubungan yang memanas ketika konflik itu
terjadi dapat mencair ketika terdapat kepentingan-kepentingan atau nilai-
nilai yang dapat menyatukan hubungan mereka misalnya seperti adanya
musuh bersama. Konflik yang awalnya terjadi secara realistik maka akan
berubah menjadi konflik yang nonrealistik. Sehingga nilai dan
kepentingan yang menyebabkan konflik itu terjadi ditekan dan menjadikan
kelompok tadi dalam satu jalur yang sama. Seperti yang dikatakan Coser
“konflik sering merangsang usaha untuk mengadakan persekutuan dengan
kelompok-kelompok lain” (Jhonson, 1994: 205). Hal ini selaras dengan
konflik yang terjadi Kabupaten Lampung Selatan, dimana yang terlibat
dalam konflik tersebut tidak hanya dari kelompok Bali dengan kelompok
penduduk lokal Lampung Selatan, tetapi juga berasal dari kabupaten lain
23
yang ada di Provinsi Lampung, seperti Lampung timur, Bandar Lampung,
Lampung Tengah, Tanggamus, bahkan ada yang datang dari Provinsi
Banten (Budiman dan Saroso et al., 2012: 7).
F. Metodologi Penelitian
Melakukan sebuah penelitian memerlukan suatu metode untuk
mencapai pada hasil yang sesuai dengan keinginan kita atau sesusai dengan
realita yang ada pada objek penelitian kita. Cara yang diguanakan dalam
penelitian dinamakan dengan metode. Jika dalam penelitian kita
menginginkan hasil yang konkrit maka hal itu akan bergantung dengan
metode apa yang akan kita gunakan, apakah sesuai dengan objek kajian
penelitian kita atau tidak. Metode merupakan cara utama yang dipergunakan
untuk mencapai suatu tujuan, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesis,
dengan mepergunakan teknik serta alat-alat tertentu (Surahmad, 1990: 13).
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan penelitian kualitatif dengan menggunakan teknik studi kasus.
pendekatan kualitatif dipilih karena penelitian ingin mengetahui secara
mendalam mengenai relasi masyarakat etnis pendatang dengan etnis lokal
pasca terjadinya konflik kerusuhan antar etnis.
24
Creswell berpendapat dalam buku yang ditulis oleh Haris
Herdiansyah dengan judul Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu
sosial,
Penelitian kualitatif adalah proses penelitian ilmiah yang lebih
dimaksudkan untuk memahami masalah-masalah manusia dalam konteks
sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang
disajikan, melaporkan pandangan terperinci dari para sumber informasi,
serta dilakukan dalam seting ilmiah tanpa adanya intervensi apapun dari
peneliti. (Herdiansyah, 2012: 8)
Selain definisi yang disajikan oleh Creswell, Moleong juga
mendefinisikan dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian
Kualitatif,
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian seperti
tindakan, perilaku, persepsi, motovasi dan lain-lain. Secara menyeluruh
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode alamiah. (Moleong, 2009: 6)
Dari dua definisi yang disajikan pada paragraf sebelumnya, maka
penelitian kualitatif merupakan penelitian yang melihat masalah dan
memahami masalah tersebut dengan cara menciptakan gambaran yang
menyerluruh dan komoleks serta melaporkarnya secara terperinci tanpa
intervensi apapun dari peneliti. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti
memilih pendekatan kualitatif untuk menggali sumber informasi yang
mendalam mengenai relasi sosial masyarakat etnis pasca konflik di
Lampung Selatan.
25
2. Subjek Penelitian dan Penentuan Informan
Informan yang dijadikan subjek dalam penelitian ini adalah
masyarakat kedua desa yang terlibat dalam konflik kerusuhan antar etnis
tanun 2012. Peneliti hanya menggunakna dua kriteria dalam penentuan
informan yang akan menjadi subjek penelitian. yaitu pertama, informan
merupakan warga dari kedua desa dan yang kedua informan merupakan
warga yang terlibat dalam konflik tersebut.
Untuk itu dari penjelasan tesebut, komposisi informan yang akan
peneliti temui sebagai berikut. Informan yang akan peneliti temui
sebanyak 13 orang dengan kriteria yang telah disebutkan yaitu merupakan
warga dari kedua desa dan merupakan aktor yang terlibat dalam konflik
kerusuhan antara pendatang dengan masyarakat lokal pada tahun 2012.
Dari 13 orang tersebut, 6 diantaranya meruapak warga dari
Balinuraga dengan komposisi, 2 orang dari pemerintahan desa atau elit
desa (kepala desa, tokoh adat dan pamong desa) dan 4 orang dari
penduduk dari Desa Balinuraga. Sama halnya dengan komposisi Desa
Balinuraga, untuk Desa Agom juga akan diperlakukan demikian yaitu 6
sampel merupakan warga Desa Agom. 2 diantaranya merupakan
pemerintah desa atau elit desa (kepala desa, tokoh adat dan pamong desa
dan 4 diantaranya merupakan penduduk Desa Agom yang terlibat dalam
konflik tersebut. Dan terakhir 1 sampel berasal dari pemerintah Kabupaten
Lampung Selatan.
26
Tabel I. F. 3 Distribusi Informan
No. Jumlah Informan Masing-
Masing Desa
Komposisi
1. 6 Orang warga Desa
Balinuraga (warga
pendatang)
1. 2 dari elit desa (kepala desa,
tokoh adat dan pamong desa
setampat).
2. 4 dari warga desa yang terlibat
dalam konflik pada tahun 2012.
2. 6 Orang warga Desa Agom
(warga lokal)
1. 2 dari elit desa (kepala desa,
tokoh adat dan pamong desa
setampat).
2. 4 dari warga desa yang terlibat
dalam konflik pada tahun 2012.
3. 1 (satu) dari Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dalam hal ini
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (KESBANGPOL).
Jumlah keseluruhan 13 Informan
Dari penjelasan dalam menentukan informan pada paragraf
sebelumnya, peneliti mendapatkan komposisi informan sebagai berikut:
Tabel I. F. 4 Data Informan
No. Nama (Inisial) Jenis Kelamin Keterangan
1. MS Laki-laki Tokoh masyarakat
Desa Balinuraga
2. Wy. S Laki-laki Tokoh masyarakat
Desa Balinuraga
3. K Laki-laki Warga Desa Balinuraga
4. WG Perempuan Warga Desa Balinuraga
5. KA Laki-laki Warga Desa Balinuraga
6. WJ Laki-laki Warga Desa Balinuraga
7. PLT Laki-laki Tokoh masyarakat
Desa Agom
8. PP Laki-laki Tokoh masyarakat
Desa Agom
9 ZA Laki-laki Warga Desa Agom
10. RS Laki-laki Warga Desa Agom
11. RO Laki-laki Warga Desa Agom
12. Y Laki-laki Warga Desa Agom
13. IS Laki-laki KESBANGPOL Lam-
Sel.
27
3. Jenis Data
Data primer yang digunakan adalah data yang diperoleh melalui
wawancara dengan masyarakat kedua etnis yang berada di Desa
Balinuraga dan Desa Agom. Mayarakat yang akan ditemui merupkan
masyarakat yang terlibat dalam kerusuhan. Selin itu, data akan digali dari
tokoh masyarakat seperti ketua adat, kepala desa dan pihak-pihak yang
berwenang.
Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini berasal dari
penelitian dan literatur sebelumnya mengenai konflik etnis. Selain itu juga
data sekunder yang akan digunakan adalah dokumen-dokumen yang dapat
menunjang penelitian ini. Data sekunder yang peneliti peroleh dalam
pnelitian ini merupakan Dokumen perdamaian yang tersimpan di Bagian
Hukum kantor Bupati Lampung Selatan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang diinginkan dan
sesuai dengan yang diharapkan, peneliti menggunakan teknik wawancara.
Serta mencari informasi melalui dokumen yang dapat digunakan dalam
menyajikan hasil penelitian yang akurat.
a) Wawancara
Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
antara pewawancara dengan informan atau orang yang
28
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
wawancara (Bungin, 2013: 133).
b) Studi Dokumen
Studi dokumen dilakukan untuk melengkapi data yang
diperlukan oleh peneliti. Dari studi dokumen ini peneliti dapat
mengetahui bagaimana sejarah sebelum terjadinya konflik antar
etnis di wilayah yang menjadi objek penelitian. Diantaranya tulisan-
tulisan mengenai bagaimana peroses rekonsiliasi konflik yang
terjadi dan dokumen perdamaian yang peneliti peroleh dari
pemerintah Kabupaten Lampung Selatan.
5. Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
informan, dan hasil dari data sekunder yang dapat mendukung penelitia ini
akan dihimpun dan dianalisa secara kualitatif menggunakan teori yang
sesuai dengan kondisi dilapangan. Setelah itu penarikan kesimpulan akan
dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif, sehingga dapat
menjelaskan hubungan masyarakat etnis pasca terjadinya konflik.
Data primer akan dikelompokan mulai dari masyarakat Desa
Balinuraga yang telah peneliti pilih, masyarakat Desa Agom yang telah
terpilih, kepala desa dan tokoh masyarakat/adat dari kedua desa serta data
yang diperoleh dari pihak-pihak yang dapat menunjang.
29
Analisis data akan menggunakan data wawancara serta dokumen
dan literatur penunjang, yang diolah dan direduksi sehingga dapat
menghasilkan kesimpulan atau penyajian data yang informatif.
6. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini akan dilakukan di dua desa yang terlibat
konflik etnis pada 2012. Desa tersebut adalah Desa Balinuraga dan Desa
Agom Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung. Lokasi ini dipilih
karena kedua desa tersebut selain terlibat dalam konflik kerusuhan antar
etnis, juga dihuni oleh kedua etnis. Desa Balinuraga mayoritas warganya
merupakan warga etnis pendatang dari Bali, sedangkan di Desa Agom
merupakan Desa yang banyak dihuni oleh warga etnis lokal Lampung
(Setiawan, Lampung Selatan Berdarah, Siapa Salah? Diakses dari
http://fokus.news.viva.co.id/news/read/363482-lampung-selatan-
berdarah-siapa-salah).
Penelitian ini akan dilaksanalan selama satu bulan di kedua desa
yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam waktu satu bulan tersebut akan
dipergunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data lapangan, baik itu
dokumen yang dimiliki oleh pemerintah setempat ataupun data yang
diperoleh dari wawancara dengan pihak-pihak yang telah disebutkan
sebelumnya. Sedangkan proses penulisan skripsi ini dari mulai proposal
hingga akhir dimulai sejak bulan Ferbruari 2017 hingga September 2017.
30
G. Sistematika penulisan
Sistematika dalam penulisan srikpsi ini akan dibagi kedalam 4
(empat) bab, setiap babnya terdiri dari sub bab-sub bab yang saling berkaitan
dengan masing-masing bab, sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan, dalam bab ini memuat pernyataan masalah
atau latar belakang, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II: Gambaran Umum, bab ini merupakan gambaran umum
mengenai wilayah penelitian yang dilakukan oleh peneliti, diantaranya:
kondisi geografis Desa Balinuraga dan Desa Agom dan proses datangnya
etnis Bali ke provinsi Lampung serta hubungan masyarakat etnis sebelum
terjdinya konflik.
BAB III: Temuan dan Analisa Data, pada bab III ini akan
menjelaskan dan memaparkan hasil temuan dalam dalam peroses penelitian
yang berlangsung. proses terjadinya konflik antara etnis Bali dengan etnis
Lampung dan hubungan masyarakat etnis setelah terjadinya konflik.
BAB IV: Penutup, merupakan bab terakhir yang berisikan
kesimpulan dan saran dari seluruh pembahasan materi pokok bab-bab
sebelumnya.
31
DAFTAR PUSTKA: Halaman ini berisikan daftar referensi yang
digunakan dalam penulisan skripsi. Referensi yang digunakan dipastikan
berasal dari sumber terpercara, seperti Jurnal ilmiah, hasil tesis maupun
disertasi, buku teks, buku elektroik (e-book), laporan penelitian dengan
sumber yang jelas, majalah dan surat kabar (baik cetak maupun online)
terpercaya serta dokumen-dokumen pendukung lainnya yang dapat
dipertanggung jawabkan.
32
BAB II
GAMBARAN UMUM
Telah banyak diketahui bahwa Provinsi Lampung merupakan Provinsi
yang terletak di ujung pulau Sumatera. Provinsi Lampung tidak lepas dari
Provinsi Sumatera Selatan (jika berdasarkan peta bumi terletak antara 103º 41¹ -
105º 50¹ bujur timur dan 6º 45¹ - 3º 45¹ lintang selatan), karena sebelum menjadi
Provinsi yang mandiri Lampung merupakan satu kesatuan dengan Sumatera
Selatan dan pada tanggal 18 Maret 1964 Lampung manjadi Provinsi yang terpisah
dari Provinsi Sumatera Selatan dengan ibukota Bandar Lampung. Provinsi ini
memiliki luas wilayah 35.376 km² atau setara dengan 3.528.835 hektare
(Sabaruddin, 2012: 35).
Gambar II. 1. Peta Provinsi Lampung
Sumber: https://www.google.co.id/
Provinsi Lampung tidak hanya dihuni oleh warga asli Lampung sebagai
penduduknya. Karena sejak masa kolonila Belanda pemerintah Hindia Belanda
33
melakukan pemindahan penduduk dari luar Lampung menuju Provinsi Lampung.
Proses tersebut melalui beberapa tahapan dari masa pemerintahan Hindia Belanda
dan dilanjutkan pada pemerintahan Orde Baru (Sabaruddin, 2012: 17). Untuk
pendatang dari wilayah Bali yang datang ke kabupaten Lampung Selatan
merupakan peserta transmgrasi yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada
tahun 1950-1968, penduduk tersebut mempati wilayan Palas, Sidomulyo, Balau
Kedaton, Sidomakmur, dan Tanjungan (Sabaruddin, 2012: 17).
A. Lampung Selatan
Gambar II. 2. Kantor Bupati Kabupaten Lampung Selatan
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Dikutip dari buku yang diterbitkan oleh pemerintah Kabupaten
Lampung selatan dengan judul Data dan Fakta Kabupaten Lampung Selatan
yang diterbitkan pada tahun 2012 Kabupaten Lampung Selatan terletak
diujung selatan pulau Sumatera dan memiliki luas 2.007,01 km² yang terdiri
34
dari 17 kecamatan. Kabupaten ini merupakan gerbang masuk Provinsi
Lampung dan sekaligus gerbang masuk Pulau Sumatera karena terdapat
pelabuhan yang menghubungka antara Sumatera dan Jawa. Letak geografis
kabupaten ini pada posisi 105º 10´-106º 00´ bujur timur dan 5º 10´-6º 10´
lintang selatan (Pemerintah Kabupaten Lampung selatan, 2012).
Daerah Kabupaten Lampung selatan memiliki daratan kurang lebih
adalah 210.974 Ha, dengan kantor Pusat Pemerintahan di Kota Kalianda, yang
diresmikan menjadi Ibukota Kabupaten Lampung Selatan oleh Menteri Dalam
Negeri pada tanggal 11 Februari 1982. Berdasarkan undang-undang Nomor 2
tahun 1997 tentang pembentukan Kabupaten Tanggamus, yaitu pemekaran
dari wilayah Kabupaten Lampung Selatan. Pada tahun 2006, terjadi
pemekaran Kabupaten Pesawaran dari wilayah Kabupaten Lampung Selatan.
Kemudian pada tahun 2008, terjadi pemekaran di Kabupaten Lampung
Selatan yaitu, Kecamatan Tanjung Sari, Way Sulan, Way Panji, dan
Kecamatan Bakauheni, dengan demikian jumlah Kecamatan di Kabupaten
Lampung Selatan secara eksisting berjumlah 17 kecamatan dan selanjutnya
terdiri dari desa-desa dan kelurahan sebanyak 248 desa dan 3 kelurahan.
Diprediksikan dalam waktu dekat akan terjadi pemekaran kecamatan pada
wilayah Kabupaten Lampung Selatan, khususnya pemekaran Kecamatan
Kalianda, Palas, dan Natar.
35
Secara administrasi Kabupaten Lampung Selatan mempunyai batas-
batas sebagai berikut :
1. Sebelah Utara: berbatasan dengan wilayah Kab. Lampung Tengah dan
Lampung Timur
2. Sebelah Selata: berbatasan dengan Selat Sunda;
3. Sebelah Barat: berbatasan dengan Kota Bandar Lampung dan
Kabupaten Pesawaran
4. Sebelah Timur: berbatasan dengan Laut Jawa.
Pulau-pulau yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan antara lain
pulau Krakatau, pulau Sebesi, pulau Sebuku, pulau Legundi, pulau Siuncal,
pulau Rimau dan pulau Kandang. Bila ditinjau dari segi luas dan keadaan
alamnya, maka Kabupaten Lampung Selatan mempunyai masa depan cerah
untuk lebih berkembang. Untuk lebih jelas mengenai wilayah Kabupaten
Lampung Selatan dapat dilihat pada gambar II. 2. Secara topografis wilayah
ini dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu wilayah dengan relatif datar
yang sebagian besar berada di sepanjang pesisir, wilayah berbukit dan gunung
yang merupakan wilayah pegunungan Rajabasa. (Data dan Fakta Kabupaten
Lampung Selatan, 2012)
36
Gambar II. 3. Peta Administrasi Kabupaten Lampung Selatan
Sumber: https://www.google.co.id/
B. Kondisi Sosial dan Geografis Desa Agom dan Balinuraga
Secara geografis kedua desa yang terlibat dalam konflik kerusuhan pada
tahun 2012 terpaut sangat jauh. Menurut warga yang tinggal di kedua desa
tersebut, jarak antara kedua desa sekitar 8-9 Km. Dari Desa Agom menuju ke
Desa Balinuraga peneliti harus melewati beberapa desa yang ada, salah
satunya Desa Sidoreno kecamatan Way Panji.
Untuk kondisi sosialnya dari kedua desa tersebut, Desa Agom dihuni
oleh beragam etnis atau suku yaitu, Lampung sebagai suku lokal, Jawa dan
Sunda (wawancara dengan sekretaris desa, Lampung Selatan 17 April 2017).
37
Untuk Desa Balinuraga sendiri, hampir dari 90% warganya merupakan warga
Bali atau warga keturunan pendatang dari wialayan Provinsi Bali, sisanya
dihuni oleh warga keturunan Jawa
memang selain Bali di sini ini ada 2 dusun, ya sebenarnya ada 8 dusun, 5
dusun itu mayoritasnya Bali 100% lah Bali. Ya Cuma dua dusun ini ada Jawa
dan sunda ada juga Sunda Jawa. Di Jati Rukun sama Sumber Sari itu muslim.
(wawancara dengan MS tokoh masyarakat Desa Balinuraga, Lampung
Selatan, Jumat 21 April 2017).
Untuk ulasan lebih lanjutnya berikuti akan dipaparkan profil dari
masing-masing desa.
1. Wilayah Desa Agom.
a) Sejarah desa
Dari cerita warga setempat, dahulunya Desa Agom ini
merupakan sebuah hutan belantara yang tidak dihuni oleh manusia.
Tetapi ada seorang dari Desa Canggu, orang tersebut bernama
Agom. Agom itu menurut warga lokal gemar berburu menjangan
sebelum desa tersebut dihuni. Lalu Agom ini membuat gubuk di
dekat Cughup (Cughup dalam Bahasa lokal, merupakan sebutan
untuk air sungi yang menyerupai air terjun tetapi tidak tinggi).
Sehingga orang-orang yang gemar berburu dari Desa Canggu
tersebut ketika akan menyambangi Agom, mereka menyebutnya
dengan sebutan kubu Agom (gubuk Agom). Dari situlah desa
tersebut dinamakan dengan Desa Agom.
38
Dulu itu ada seorang dari desa Canggung itu namanya si Agom, dia
itu suka berburu menjangan ceritanya begitu sebelum ini dihuni.
Dia (Agom) buatlah gubuk didekat cughub (air terjun) jadi setelah
lama itu ada orang nyebutnya kubu Agom jadi Agom itu nama
orang. (wawancara dengan RS warga Desa Agom, Lampung
Selatan, Kamis 20 April 2017).
Hal tersebut senada dengan apa yang tertulis pada profil desa.
Yang dikatakan bahwa, Pada awalnya Desa Agom adalah bagian
dari Desa Kedaton kecamatan Kalianda yang merupakan hutan
belantara dan perkebunan kelapa milik warga. Daerah ini mulai di
huni kurang lebih antara tahun 1960-an. Sejak itu banyak
pendatang dari pulau Jawa yang bekerja dan menetap hingga saat
ini. Barulah pada tahun 2002 daerah ini memisahkan diri dari Desa
Kedaton dan membentuk desa baru dengan nama Desa Agom.
Desa Agom terdiri dari beberapa dusun diantaranya: dusun
sukajaya, Dusun Agom, Dusun banyumas, Dusun waringin harjo
dan dusun Kenihai (RPJM Desa Agom 2016-2021, II-1).
b) Letak Geografis Desa
Secara geografis Desa Agom terletak diantara beberapa desa
yang berdekatan, diantaranya.
1) Sebelah Barat berbatasan dengan: Desa Taman Agung Kec
Kalianda
2) Sebelah Timur berbatasan dengan: Desa Sukatani Kec
Kalianda
39
3) Sebelah Selatan berbatasan dengan: Desa Merak Belantung
Kec Kalianda.
4) Sebelah Utara berbatasan dengan: Kecamatan waypanji.
(RPJM Desa 2016-2021, II-1)
Gambar II. 4. Peta Administrasi Desa Agom
Sumber: Data RPJM Desa Agom tahun 2016-2021
Sedangkan luas Desa Agom menurut catatan dari RPJM
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah) tahun 2016-2021 Desa
Agom terletak di tanah seluas 630 Ha. Dengan cakupan 125 Ha
merupakan lahan pemukiman penduduk dan sisanya merupakan
lahan kering dan area persawahan, Desa Agom ini masuk kedalam
kecamatan Kalianda, Lampung Selatan.
40
Jarak dari desa ke pusat pemerintahan diantaranya yang
disebutkan dalam RPJM Desa Agom:
1) Jarak desa ke ibu kota Kecamatan: 16 Km
2) Waktu tempuh ke Kecamatan: 15 Menit
3) Jarak tempuh ke ibu kota Kabupaten: 15 Km
4) Waktu tempuh ke kabupaten: 15 Menit
5) Ketersediaan angkutan umum: tersedia setiap hari.
c) Kondisi Pemerintahan dan Demografi Desa
1) Pembagian wilayah desa
Wilayah Desa Agom terbagi menjadi 5 dusun yang
dipimpin oleh kepala dusun. Dan dari 5 dusun tersebut terbagi
lagi menjadi 17 Rukun Tetangga (RT). Pembagian RT dari
masing-masing dusun sebagai berikut:
a) Dusun Sukajaya: 2 RT
b) Dusun Agom: 4 RT
c) Dusun Banyumas: 3 RT
d) Dusun Waringin Harjo: 4 RT
e) Dusun Kenihai: 4 RT
41
2) Struktur Pemerintahan Desa
Gambar II. 5. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa
Sumber: Data RPJM Desa Agom tahun 2016-2021
Kepala Desa : Hasyim, S.H (Plt.)
Sekretaris Desa : Muhamad Reza, S.Kom.
Kepala Urusan Perencanaan : Dodiyansyah
Kepala Urusan Umum : Nur Mizan, S.Pd.I.
Kepala Urusan Keuangan : Alim Fitriadi
KASI Kesra : Mukhlisin
KASI Pemerintahan : Heriyanto
KASI Pelayanan : M.Arif S.
Kadus Dusun Sukajaya : Ahmad Nur
Kadus Dusun Agom : Yakub
Kadus Dusun Banyumas : Saijan
Kadus Dusun Waringin Harjo : Wagito
Kadus Dusun Kenihai : Sutrisno
42
Dalam unsur pemerintahan yang menggunakan sistem
demokrasi, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan desa
juga terdapat perwakilan rakyat yang berperan aktif dalam
menyusun program pambangunan. Unsur tersebut adalah
Badan Perwakilan Desa (BPD), struktur BPD sebagai berikut:
Hasan Basri : Ketua
Fatoni : Wakil Ketua
Petrus Sunaryo : Sekretaris
M. Nur Sulaiman : Anggota
Sahidin : Anggota
Syahril : Anggota
Kurnia Rohman : Anggota
Muslikhun : Anggota
Supali : Anggota
Tumin : Anggota
3) Demografi Desa
Dikutip dari RPJM Desa Agom, berdasarkan data
Administrasi Pemerintahan Desa tahun 2015, jumlah penduduk
Desa Agom adalah terdiri dari 814 KK, dengan jumlah total
2954jiwa, dengan rincian 1516. laki-laki dan 1441
perempuan. Tingkat kemiskinan di Desa Agom termasuk
tinggi. Dari jumlah 814. KK di atas, sejumlah 249 KK tercatat
43
sebagai Pra Sejahtera, maka lebih 30 % KK Desa Agom
adalah keluarga miskin (RPJM Desa Agom 2016-2021, II-2).
Pendapatan rata-rata penduduk yang disebutkan dalam
RPJM Desa Agom yaitu Rp. 50.000/hari. Secara keseluruhan
mata pencaharian masyarakat Desa Agom terdapat di beberapa
sektor pekerjaan dianataranya pertanian, jasa/perdagangan,
industri dan lain-lain. Dari beberapa sektor tersebut, pertanian
merupakan sektor yang banyak dikerjakan oleh masayarakat
Desa Agom hal tersebut dapat diliat dari tabel berikut,
Tabel II. A.1 Sektor Mata Pencaharian Penduduk
Desa Agom
No Mata Pencaharian Jumlah Prosentase
1 Pertanian
Buruh Tani
602 orang
450 orang
%
2 Jasa/ Perdagangan
1. Jasa Pemerintahan
2. Jasa Perdagangan
3. Jasa Angkutan
4. Jasa Ketrampilan
5. Jasa lainnya
50 orang
70 orang
10 orang
30 orang
100 orang
%
%
%
%
%
3
4
Sektor Industri
Sektor Peternakan
50 orang
50 orang %
5 Sektor lain 150 orang %
Jumlah 1562 orang 100 %
Sumber: Data RPJM Desa Agom tahun 2016-2021
44
2. Wilayah Desa Balinuraga
Gambar II. 6. Gapura Perbatasan Desa Balinuraga
Sumber: Dokumentasi Pribadi
a) Sejarah Desa
Dari catatan profil desa yang peneliti peroleh, Desa
Balinuraga awalnya merupakan lahan milik pemerintah yang
kemudian dijadikan sebagai daerah tujuan transmigrasi pada tahun
1963 dan diberi nama Desa Balinuraga yang masuk kedalam
wilayah administrasi kecamatan Kalianda. Pada tanggal 27
September 1967 Dinas Transmigrasi menempatkan empat
rombongan peserta transmigrasi asal pulau Bali di wilayah yang
saat ini merupakan Desa Balinuraga. Dari keempat rombongan
tersebut diketahui berjumlah kurang lebih 540 kepala keluarga.
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Balinuraga, BAB
II Profil desa)
45
1) Sidorahayu diketuai oleh Pan Sudiartana yang berjumlah 250
kk
2) Sukandi diketuai oleh Pan Kedas yang berjumlah 75 kk
3) Pandearge diketuai oleh Made Cedah yang berjumlah 175 kk
4) Rengas diketuai oleh Oyok yang berjumlah 40 kk
Menurut catatan profil desa pada mulanya tahun 1963 sampai
dengan tahun 1964 desa Balinuraga ini tidak memiliki struktur
pemerintahan desa, dan pada saat itu segala administrasi yang
berkaitan dengan masyarakat dipegang oleh Jawatan Transmigran
yaitu Mangku Siman. Tugas dari Jawatan Transmigran ini untuk
mengkoordinasikan rombongan transmigrasi dari semua
rombongan yang datang secara bergantian.
Barulah pada tahun 1965 perangkat Desa Balinuraga
dibentuk dengan pemerintahan sementara. Pada saat itu jabatan
kepala desa dijabat oleh Dewa Aji Regeg. Sehingga pada tahun
1973 Desa Balinuraga pertama kali mengadakan pemilihan kepala
desa dan terbentuklah struktur pemerintahan Desa Balinuraga
sebagai berikut:
Kepala desa : Dewa Aji Regeg
Kamitua : Pan Sudiartana
Bayan : 1. Pan Sudiartana
46
2. Pan Kedas
3. Made Gedah
4. Oyok
Sehingga pada tanggal 27 Juli 2007 Desa Balinuraga yang
masuk ke dalam wilayah pemekaran kecamatan baru yaitu
kecamatan Way Panji. (Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Desa Balinuraga, BAB II Profil desa)
b) Letak Geografis dan Administratif desa
Dikutip dari Profil desa yang terdapat dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), Desa Balinuraga secara
administratif masuk kedalam bagian wilayah kecamatan Way Panji
kabupaten Lampung Selatan. Desa ini memiliki luas wilayah yang
terdiri dari 180 Ha pemukiman penduduk, 314 persawahan, 768 Ha
ladang, 1 Ha perkantoran, 1,5 Ha sekolah dan 1 Ha lapangan sepak
bola. Terbagi menajadi 7 dusun dan 16 Rukun Tetangga (RT).
Dengan komposisi sebagai berikut:
1) Dusun I Siderahayu
2) Dusun II Sukamulya
3) Dusun III Banjar Sari
4) Dusun IV Sukanadi
5) Dusun V Pande Arge
6) Dusun VI Jati Rukun
7) Dusun VII Sumber Sari
: 3 RT
: 1 RT
: 1 RT
: 2 RT
: 6 RT
: 1 RT
: 2 RT
47
Desa Balinuraga terletak diantara beberapa desa yang
berbatasan langsung, diantaranya:
1) Sebelah Utara: Desa Trimomukti Kecamatan Candipuro
2) Sebelah Selatan: Desa Sidoreno Kecamatan Way Panji
3) Sebelah Barat: Desa Way Gelam Kecamatan Candipuro
4) Sebelah Timur: Desa Tanjung Jaya Kecamatan Palas.
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Balinuraga,
BAB II Profil desa)
Sedangkan letak Desa Balinuraga dari pusat pemerintahan
1) Jarak dari ibu kota kecamatan: 5 KM
2) Lama jarak tempuh ke ibu kota kecamatan: 15 menit
3) Jarak ke ibu kota kabupaten: 18 KM
4) Lama jarak tempuh ke ibu kota kabupaten: 35 menit.
Gambar II. 7. Peta Administrasi Desa Balinuraga
Sumber: https://www.google.co.id/maps
48
c) Kondisi Pemerintahan Desa dan Keadaan Ekonomi Masyarakat
1) Kondisi Pemerintahan Desa
Sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
Desa Balinuraga merupakan pelaksana pemerintahan di tinggat
yang paling kecil. Seperti desa-desa lain, Desa Balinuraga juga
dipimpin oleh seorang kepala desa dan dibantu oleh jajaran
pejabat di tingkat desa. Struktur pemerintahan di tingkat desa
yang dilaksanakan di Desa Balinuraga sebagai berikut:
Kepala Desa
Sekretaris Desa
Kepala Urusan Umum
Kepala Urusan Keuangan
Kepala Urusan Pembangunan
Ka. Urusan Kesejahteraan Rakyat
Kepala Urusan Pemerintahan
Kadus I Siderahayu
Kadus II Sukamulya
Kadus III Banjar Sari
Kadus IV Sukanadi
Kadus V Pande Arge
Kadus VI Jati Rukun
Kadus VII Sumber Sari
: Made Santer
: Made Suweda
: Karyadi
: Ketut Nade
: Ketut Tawan
: Ketut Sudane
: Wy. Mulyana
: Nyoman Astine
: Nyoman Pasek
: Nyoman Durme
: Kadek Tantre
: Kadek Sirye
: Kumpul
: Miskaryanto
49
Dan sebagai pengawas dari keberlangsungan
pemerintahan desa, Desa Balinuraga juga memiliki badan
perwakilan yang mewakili rakyat ditingkat desa. Yang berperan
aktif dalam menyusun program pembangunan bersama aparat
desa, organisasi tersebut adalah Badan Perwakilan Desa (BPD)
yang saat ini diketuai oleh Putu Pande Puniamaja.
Ketua : Putu Pande Puniatmaja
Wakil Ketua : Nyoman Agus Saputra
Sekretaris : Gde Made Mardita
Anggota : Komang Wardita
Made Sukre
Made Bawe
Wy. Darmawan
Ropi
Aan Badriansyah
Kriswanto
2) Keadaan Ekonomi Masyarakat
Dikutip dari RPJM Desa Balinuraga, roda perekonomian
desa masih ditopang penuh oleh sektor pertanian, dari jumlah
penduduk yang hampir 4000 jiwa, 737 jiwa bermatapencaharian
sebagai petani. Sedangkan yang bermatapencaharian sebagai
50
pedagang 150 jiwa, Pegawai Negeri Sipil (PNS) 27 jiwa, tukang
35 jiwa dan guru 45 jiwa.
Dari sektor pertanian yang merupakan sektor utama dari
matapencaharian masyarakat Desa Balinuraga, perkebunan karet
menjadi lahan terluas yaitu sekitar 995 Ha, lahan padi 314 Ha,
jagung 100 Ha, kopi 3 Ha dan kaka/ cokelat 2 Ha.
C. Relasi Masyarakat Pendatang Dengan Masyarakat Lokal Sebelum
Terjadinya Konflik
Jauh sebelum terjadinya konflik pada 2012 hubungan antara Desa
Agom dengan Desa Balinuraga terjalin dengan baik. Bahkan dari masyarakat
kedua desa sangat saling menghargai dan saling tolong menolong satu dengan
yang lain. Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh RS (warga Desa Agom)
yang merupakan warga dari desa Agom, masyarakat desa Balinuraga sebelum
terjadinya konflik banyak yang mencari kebutuhan hidup ke wilayah desa
Agom. Bahkan ketika itu banyak dari warga Balinuraga yang mengangkut
batang sagu dari Agom untuk dibawa ke desa mereka, sehingga bekas dari
batang sagu tersebut menjadikan tanah padat dan dijadikan jalan oleh
masyarakat setempat. Tidak hanya itu, banyak dari warga Balinuraga yang
setelah dari kebun mereka dan membawa batang sagu untuk dijadikan sagu
mereka pun melakukan kegiatan dialiran sungan yang ada di Desa Agom
berbaur dengan warga Agom sehingga terjalin interaksi antara masyarakat
Agom dengan masyarakat Balinuraga.
51
...Ya dulu itu paling minta daun aren atau daun kelapa, ya bagus orang-
orangnya tapi orang tuanya. Memang dulu itu kalau yang tau orang tuanya
anatar Balinuraga dengan warga Agom itu gimana ya, karena memang dulu itu
disini tempat mandi mereka abis ambil gebang (batang sagu). Dulu itu
memang miskin banget mereka orang itu luar biasa, tahun 70 ngambil gebang
disini didorong-dorong, yang madet jalan itu dulu sebenarnya ya mereka
orang itulah ada yang ditarik ada yang didorong itulah macem-macem. Buat
aci (tepung sagu) disana samapi dari lubuk sana, mandinya itu disini ini ya
artinya saya tau persis awal-awalnya dulu itu, bagus dulu mah. Ya sekarang
mah karena perkembangan zaman anaknya udah lain... ga tau cerita... ya
gitulah yang jadi masalah. (wawancara dengan RS warga Desa Agom,
Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).
Hal tersebut juga diakui oleh warga Balinuraga, bahwa ketika sebelum
terjadinya konflik masyarakat kedua desa berhubungan dengan sangat baik.
Hal tersebut terlihat dari kondisi masyarakat Balinuraga yang mencari nafkah
di Desa Agom. Bahkan ketika kondisi krisis melanda perekonomian desa
Balinuraga, banyak dari mereka yang bekerja di Agom. Selain itu mereka
juga mendapatkan kebutuhan pokok yang didatangkan dari Desa Agom,
seperti gandum dan lain sebagainya.
Sebenarnya ya dari dulu, dari pertama ya dari apa, dari berdirinya desa
itu baguslah hubungan itu. Bahkan kita juga, mencari kehidupan itu di
daerah sana… daerah Lampung, daerah anu daerah sana. Bahkan waktu
itukan musim paceklikkan (krisis), nyari kehidupan atau apa… bahkan
seperti gandum itu kan kita nyari kesana. (wawancara dengan MS tokoh
masyarakat Desa Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21 April 2017).
Ditambahkan lagi oleh MS seorang tokoh masyarakat Desa Balinuraga,
sebenarnya dari orang-orang tua dari Balinuraga tidak tahu mengenai
mengapa dan apa penyebab konflik tersebut. Bahkan sebenarnya dari pihak
orang tua Balinuraga tidak menginginkan konflik tersebut terjadi di desa
mereka. Hal tersebut disampaikan oleh MS, orang-orang tua dari Balinuraga
ini sebenarnya telah menjalin hubungan yang sangat baik dengan masyarakat
lokal. “Sebenarnya orang tua disini ini engga tau menau masalahnya itu… ya
52
itu Cuma ya anak-anak remaja itu aja. Sebenarnya orang tua ini dari dulu
sudah akrab memang” (wawancara dengan MS tokoh masyarakat Desa
Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21 April 2017).
Sama halnya dengan yang disampaian oleh MS, informan peneliti yang
berinisial K (warga Desa Balinuraga) juga mengatakan bahwa sebenarnya
dari pihak orang tua dari masyarakat Balinuraga tidak ada yang
menginginkan konflik tersebut terjadi. Karena menurut K sebenarnya
hubungan masyarakat Balinuraga dengan Agom itu terjalin sangat baik di
kalangan orang tua mereka. Ia juga mangatakan bahwa konflik tersebut hanya
disebabkan oleh satu orang yang memprovokasi sehingga melebar kemana-
mana.
Sebenarnya dulu-dulu itu, apalagi dari orangtua kami mas, semenjak
perjuangan kesini mulai dari dia masuk kesini ke Lampung kan… itu memang
baik mas luar biasa, makanya kami juga merasa malu juga. Seharusnya dia itu
sekarang tidurnya nyenyak sambil menunggu ajal kan gitu di masa tuanya, dia
malah kita ajak lari-lari ngebuat trauma kan gitu. nah mau gimana lagi mas, ya
namanyakan perbuatan satu orang, kerena dalam penyelesaiannya ini mereka
oknum ini merekrut orang banyak. (wawancara dengan K warga Desa
Balinuraga, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).
53
BAB III
KONFLIK DAN RELASI SOSIAL PASCA KONFLIK
DI LAMPUNG SELATAN
A. Konflik Antara Pendatang dengan Masyarakat Lokal
1. Latar Belakang Terjadinya Konflik dan Isu yang Beredar
Konflik yang terjadi di Lampung Selatan yang melibatkan antara
masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang (desa Agom dengan desa
Balinuraga), tidak terlepas dari konflik yang terjadi di masalalu yang
melibatkan masyarakat Desa Balinuraga dengan desa-desa lain yang ada di
sekitarnya. Seperti yang disebutkan dalam hasil penelitian Kajian
Perdamaian dan Kebijakan The Habibie Center, Peta Kekerasan di
Indonesia (September-Desember 2013) dan Konflik Antarkelompok di
Indonesia yang diterbitkan pada Maret 2014
Insiden antara pendatang etnis Bali dan penduduk lokal Lampung di bulan
Oktober 2012, masih terkait dengan insiden kekerasan sebelumnya pada
bulan Januari 2012. Insiden terjadi di Kecamatan Sidomulyo pada 23-24
Januari, dipicu dari pertikaian pemuda dari dusun Napal, Desa Sidomulyo
dengan tukang parkir yang berasal dari Desa Kota Dalam. Dusun Napal
mayoritas warganya adalah etnik Bali sedangkan Desa Kota Dalam
mayoritas warganya adalah etnik lokal Lampung. (Kajian Perdamaian dan
Kebijakan THC, edisi 06, 2014: 15).
Hal tersebut juga dikatakan oleh informan yang peneliti temui,
...karena ibarat bom ini siap meledak. Bali yang ada di Lampung Selatan,
ya katakan dari Tanjung Karang kesini ya. Bali itu yang besar cuma dua
yang sekitar sini ya, Bali Napal sama Balinuraga. Nah sekitar tahun „85an
ya semua juga tau, kalo buka buku sejarah, sejarah konflik dulu, kalau
ditulis, Bali pernah tempur dengan Desa Sandaran, Desa Sandaran pernah
itu diserang sama Bali, Kota Dalam pernah, Sidomulyo pernah terus
bahkan kesini ke Merak Belantung pernah, terus ke Marga Catur itu
54
pernah, yang di Suka Tani juga sudah yang dibakar rumahnya. Mungkin
ada lagi yang lain tapi saya rasa ini cukup, dan itupun dari berbagai macam
suku, yang di Sandaran sukunya Sunda, yang di Sidomulyo Jawa, yang di
Patok Jawa, yang di Kota Dalam di sini Lampung, yang di Marga Catur itu
campur. (wawancara dengan ZA warga Desa Balinuraga, Lampung
Selatan, Kamis 20 April 2017).
Dari penjelasan informan yang peneliti temui ZA yang merupakan
salah satu warga dari Desa Agom, konflik yang pernah terjadi dan
melibatkan oknum desa Balinuraga membuat stereotype di masyarakat
etnis Lampung bahwasannya masyarakat Balinuraga banyak membuat
kerusuhan dan sebagai penyebab konflik yang terjadi sebelumnya.
Hal serupa juga dikatakan oleh salah satu informan yang berasal dari
Desa Balinuraga. Ketika konflik atau keributan yang terjadi dibeberapa
desa, Balinuraga selalu berada di depan. Seperti peristiwa konflik yang
terjadi di Desa Napal, Balinuraga pun terlibat dalam penyerangan tersebut,
Nah iya itu ada, memang itu yang saya tadi katakan-kan. Apa-apa
keributan dikit itu Balinuraga yang di depan. Nah itu tadi mungkin, waktu
kejadian sebelumnya itukan di Napal, itu juga anak Balinuraga-kan...
(wawancara dengan MS tokoh masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan,
21 April 2017).
Informasi yang peneliti terima dari MS, juga mengatakan bahwa
banyak dari pemuda Desa Balinuraga memang bersikap arogan. Hal
tersebut dilatar belakangi anggapan bahwa mereka memiliki kelebihan dari
pemuda-pemuda di luar Balinuraga, misalnya seperti motor mereka yang
dikatakan oleh MS sebagai motor yang bagus, tipe motor gede (moge).
Ya kehidupannya ya biasa-biasa saja… sebelumnya itu ya biasa-biasa aja.
Ya cuman ya Karena masyarakata itu ya bapak bekerja dengan sungguh-
sungguh, jadi perekonomiannya, anak-anak itu ya agak maju, bisa beli
motor yang bagus-bagus yang gede-gede. Tapi ya akhrinya, ya akhirnya
55
pemuda sini ya agak bersikap arogan. Jadi, apa-apa yang bermasalah pasti
di situ ada orang Balinuraga. (wawancara dengan MS tokoh masyarakat
Desa Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21 April 2017).
Selain itu PP seorang informan yang berasal dari Desa Agom
mengakatakan dan merupakan tokoh masyarakat desa, bahwa kebanyakan
dari masyarakat Desa Balinuraga bersikap arogan dan keras (keras kepala).
PP juga beranggapan bahwa masyarakat Balinuraga ingin menguasai
komoditas ekonomi yang menurut PP komoditas tersebut seharusnya
dikuasai oleh masyarakat lokal.
Arogan, orangnya keras-keras. Merasa ya… pengen nguasailah kalo aku
ngarani (anggapan saya) pengen nguasain. Ya kaya di daerah Patok, kaya
Indomart, Alfamart itukan yang nguasai anak-anak dia, anak-anak
Balinuraga kayanya yang lainnya harus minggir. Kaya parkiran, kaya
apa… Karena merasa dirinya paling kuat (wawancara dengan PP tokoh
masyarakat Desa Agom, Lampung Selatan, Selasa 18 April 2017).
Sehingga terjadinya konflik yang melibatkan masyarakat Desa
Balinuraga dan Desa Agom merupakan luapan emosi yang terpendam dari
masyarakat desa, yang desanya pernah menjadi sasaran dari kerusuhan
yang disebabkan oleh oknum Desa Balinuraga sebelumnya. Pasalnya
konflik yang terjadi pada tahun 2012 tidak hanya menggerakan masyarakat
Agom saja, tetapi juga melibatkan beberapa masyarakat desa yang pernah
menjadi lawan dengan Desa Balinuraga.
Selain luapan emosi yang tersimpan lama dan akhrinya meledak
ketika oknum dari masyarakat Desa Balinuraga berbuat ulah dengan Desa
Agom, konflik tersebut juga dilatarbelakangi oleh perebutan komoditas
ekonomi. Seperti yang dikatakan oleh informan peneliti yang berinisial PP,
56
bahwa hal tersebut terjadi karena komoditas ekonomi yang menurut PP
seharusnya dimiliki oleh lokal justru dikuasai oleh pendatang (yang dalam
hal ini adalah Balinuraga). Selain itu juga sikap Arogan dari masyarakat
Balinuraga (terutamanya pada pemudanya), timbul karena kondisi
perekonomian mereka yang lebih maju seperti halnya yang disampaikan
oleh MS sebelumnya.
Terdapat dua cerita yang berbeda mengenai awal mula terjadinya
konflik yang melibatkan Desa Agom dengan Desa Balinuraga. Yang
pertama konflik tersebut diakibatkan karena tindakan beberapa pemuda
dari Desa Balinuraga yang dengan sengaja menggoda dan melakukan
tindakan asusila kepada dua perempuan yang berasal dari Desa Agom,
sehingga mengakibatkan kedua perempuan itu terjatuh dari kendaraannya.
Cerita tersebut banyak digunakan oleh beberapa media dalam
memberitakan konflik tersebut, sebagaimana telah peneliti sebutkan
dibagian awal tulisan ini yang salah satunya dari harian online
news.liputan6.com,
...Perkatan kurang enak didengar itu muncul dalam amuk masa yang
disertai pembakaran rumah warga Desa Balinuraga. Berawal dari persoalan
dua remaja putri warga Desa Agom mendapat pelecehan dari sekelompok
pemuda Desa Balinuraga. (liputan6, Bentrok Disebabkan Konflik Lama
diakses dari http://news.liputan6.com/read/449920/bentrokan-disebabkan-
konflik-lama).
Senada dengan hal tersebut, pernyataan demikian juga banyak
disampaikan oleh penduduk Desa Agom. Banyak dari mereka yang
menganggap bahwa insiden yang terjadi antara pemuda Balinuraga yang
57
mengganggu dua perempuan dari Desa Agom itu juga terjadi tindakan
asusila yang dilakukan oleh pemuda tersebut sebagimana yang
disampaikan oleh informan peneliti yang berinisial ZA berikut,
...Jadi, ada anak gadis dua lewat naik motor dan ada beberapa pemuda bali
yang berdiri di pinggir jalan, nah itu diganggu, ya namanya gimana ya
jalan sepi ya dilagak-lagak diganggu. Ya namanya juga jalan sempit,
mereka beberapa motor sajakan sudah menyempitkan jalan, artinya
kalaupun memenag dipegang itu memang sudah kena. Ya dari diganggu
itulah mereka dua gadis itu jatuh... (wawancara dengan ZA warga Desa
Agom, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).
Dari pernyataan tersebut kita bisa pahami jatuhnya dua perempuang
Desa Agom yang terjadi di jalan raya Desa Pathok itu merupakan akibat
dari beberapa oknum pemuda Desa Balinuraga yang mengganggu kedua
perempuan tersebut.
Selain itu informan peneliti yang berinisial PP juga menceritakan hal
serupa pada peneliti,
...Cewek biasakan kalo sore itu naik motor, ya ibaratnya nyorelah
istilahnya. Terus di tengah sawah sana itu dijawillah sama anak-anak itu
(pemuda Desa Balinuraga), jatuhlah cewe itu... (wawancara dengan PP
tokoh masyarakat Desa Agom, Lampung Selatan, selasa 18 April 2017).
Tetapi berbeda halnya ketika peneliti masuk kepada informan dari
Desa Balinuraga, banyak dari mereka yang menceritakan bahwa insiden
konflik tersebut diakibatkan karena kesalah pahaman. Terdapat dua poin
yang mereka luruskan (menurut mereka) mengenai insiden jatuhnya dua
perempuan Desa Agom. Yang pertama, dua perempuan Desa Agom yang
jatuh pada saat itu memang jatuh karena kedua perempuan tersebut gugup
saat mengendarai motor dan bertemu dengan pemuda Balinuraga, sehingga
58
mengakibatkan motor yang mereka kendarai oleng dan jatuh, hal itu
disampaikan oleh dua informan peneliti yaitu K dan MS.
Pemicu kecilnya itu ya, anak-anak sini itukan ya biasa sore-sore itukan.
Bawa sepeda, naik sepeda kan, sepeda santai gitukan, Karena jalan ini baru
jadi baru bagus, seneng diakan jalan ini baru jadi..... sampe ke Patok
bahkan sampe sananya prapatan (persimpangan jalan) Patok itu. Nah di
sanakan dia berenti dia, ada-lah anak gadis lewat, mungkin Karena rame-
rame kesana, anak gadis itu ngebut dia, nah mungkin dia panik gimana
kan, Karena apa kan entah Karena grogi apa gimana kepelesetlah dia
jatuh... (wawancara dengan K warga Desa Balinuraga, Lampung Selatan,
Kamis 20 April 2017).
...Ya kronologinya itukan, ya anak-anak muda itukan boleh dikatakan
remaja, remaja ini boleh dikatakan nyantaikan sore-sore, begitu mungkin
dia itu ada kawan cewek ya mungkin disapa apa diapainkan, apa dia itu
Karena dia itu grogi ya jatuh. Ya jatuh itukan, begitu jatuh itukan...
(wawancara dengan MS tokoh masyarakat Desa Balinuraga, Lampung
Selatan, Jumat 21 April 2017).
Yang kedua, mengenai isu yang beredar bahwa pada saat melakukan
pertolongan pemuda Balinuraga melakukan tindakan asusila, hal tersebut
dinyatakan tidak benar oleh beberapa infroman peneliti dan mengatakan
bahwa kejadian yang sebenaranya adalah ketika pemuda Balinuraga
melakukan pertolongan tidak ada tindakan asusila saat itu. Yang terjadi
hanyalah membantu membangunkan kedua perempuan Desa Agom dan
motornya yang tergeletak di jalan. Akan tatapi kabar tindakan asusila
tersebut tersebar dari pihak ketiga yang tidak bertanggung jawab, padahal
dari pihak perempuannya sendiripun telah menyatakan tidak ada tindakan
asusila disitu. Sebagaimana pernyataan MS,
...karena dia itu grogi ya jatuh. Ya jatuh itukan, begitu jatuh itukan.... di
anu, dibantu sama anak-anak Balinuraga ini. Nah begitu dibantu, ada pihak
ketiga yang engga terima gitu kronologisnya. Ga terima, malahan anak-
anak ini dibilangin apa ya, pelecehan seksual. (wawancara dengan MS
59
tokoh masyarakat Desa Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21
April2017).
Dalam pernyataan tersebut, MS mengakatakan bahwa kedua
perempuan Desa Agom terjatuh karena grogi saat mengendarai motor yang
mereka tumpangi ketika bertemu dengan rombongan pemuda Balinuraga
yang sedang berkumpul di jalan Desa Waringin Harjo. Hal tersebut yang
mengakibatkan terjatuhnya kedua perempuan itu. Dan pada saat itu
pemuda-pemuda yang sedang berkumpul berniat membantu kedua
perempuan, akan tetapi ada pihak ketiga yang tidak menerima hal tersebut
dan mengatakan terjadi insiden pelecehan seksual. Informan peneliti yang
berinisial Wy. S (seorang tokoh Desa Balinuraga) juga mengatakan bahwa
dalam kejadian jatuhnya perempuan Desa Agom tidak terjadi tindakan
pelecehan.
Jadi sebenarnya itukan anak-anak jalan sore naik sepeda, jalan sore-sore
lah. Ya memang jalannya agak jelak, lewatlah cewek dari Desa Agom itu.
Karena memang jalannya agak jelek, jatuhlah dia. nah ini dibantu,
ditologin gitu lho. Aaa kan kalo ditolong pasti dipegang, motornya
dibangunin apa segala macem, nah ini lah bahasanya dipelintir jadi
pelecehan seksual isunya. Padahal waktu itu si korban ini sudah ngomong
ga ada apa-apa, cuma berniat nolong. Ada-lah pihak ke tiga ini yang
memproduksi Bahasa itu sampai besar-besarin... (wawancara dengan Wy.
S tokoh masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan, Rabu 19 April 2017).
Informan peneliti tersebut saat ditemui mengakatakan hal yang
serupa dengan pernyataan MS, bahwa saat kejadian di jalan Desa
Waringin Harjo sebenarnya tidak terjadi tindakan pelecehan. Akan tetapi
kabar atau isu terjadinya pelecehan tersebut disebarkan oleh pihak ketiga
atau oknum yang tidak bertanggung jawab. Wy. S juga mengatakan bahwa
dari pihak perempuan sendiri sebenarnya telah mengakui hal tersebut dan
60
hanya ingin meminta pertanggung jawaban atas jatuhnya kedua
perempuan. Hal serupa juga disampaikan oleh K salah satu informan yang
tinggal di Desa Balinuraga.
...nah teruskan, Karena dia jatuh… kan dia (pemuda Balinuraga) kan
sempet kaget juga diakan anak-anak sini itu, ini ditolong apa gimana.
Karena melihat ya ditolong, kalo kita ga liat ga mingkin kan kita nolong?
Karna melihat ya kita harus nolong... dibangunin anak gadis itu ya ga tau
apakah dia bener-bener nolong atau apa ya engga tau. entah apa ada
bagian tubuh yang dipegang atau apa yang negbuat ngerasa rishi atau
apakan ga tau persis itu. Nah Cuma kan ada dari kawannya si gadis itu kan
dateng, nah mungkin si gadis itukan ditanya gimana gitukan, ya terus itulah
termasuk ada unsur pelecehan, nah terus digaungkan. (wawancara dengan
K warga Desa Balinuraga, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).
Selain akibat dari konflik sebelumnya yang melibatkan beberapa
oknum Desa Balinuraga dengan bebersapa desa dan akibat dari insiden
jatuhnya dua perempuan Desa Agom, konflik ini juga ada yang
mengatakan akibat dari kesenjangan ekonomi antara kedua desa. Karena
sebelumnya banyak dari masyarakat Desa Balinuraga mencari pekerjaan
atau penghidupan dari masyarakat Agom, akan tetapi hal tersebut saat ini
telah berubah, banyak dari masyarakat Agom yang menjadi buruh di Desa
Balinuraga. Hal tersebut disampaikan oleh informan peneliti yang bernama
MS sebagai berikut,
...ya mungkin Karena apa, mungkin Karena kesenjangan ekonomi, juga itu
bisa. Karena apa ya, selama ini ya warga saya ini bisa dikatakan majunya
ini lumayan pesat. Kan dulunya apa, ya kita ini minta pekerjaan kesana
gitukan… kita buruhnya kesana, nah sekarang udah berbalek (berbalik)
kan, dia ya malah yang cari makan ke sini kampung kami... (wawancara
dengan MS tokoh masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21
April2017).
Dalam kesempatan yang sama MS juga menambahkan bahwa,
sebenarnya dari awal adanya Desa Balinuraga hubungan antara kedua
61
masyarakat terjalin sangat baik. Hal tersebut terlihat ketika memasuki
masa krisis, banyak dari masyarakat Balinuraga mencari bahan pangan di
Desa Agom, misalnya gandum dan bahan pangan lainnya.
Sebenarnya ya dari dulu, dari pertama ya dari apa, dari berdirinya desa itu
baguslah hubungan itu. Bahkan kita juga, mencari kehidupan itu di daerah
sana… daerah Lampung, daerah anu daerah sana. Bahkan waktu itukan
musim paceklikkan (krisis), nyari kehidupan atau apa… bahkan seperti
gandum itu kan kita nyari kesana. (wawancara dengan MS tokoh
masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan, 21 April 2017)
Dari pernyataan tersebut kesenjangan ekonomi menjadi salah satu
bagian yang menjadi andil membesarnya konflik yang terjadi pada
Oktober 2012. Keadaan ekonomi Desa Balinuraga saat ini bisa dikatakan
telah mandiri dibandingkan sebelumnya yang masih bergantung kepada
Desa Agom. Dengan kondisi yang demikian banyak dari masyarakat Desa
Balinuraga yang meminjamkan uangnya kepada masyarakat lain dan
memberikan bunga yang besar termasuk kepada masyarakat Desa Agom.
Hal tersebut diungkapkan oleh informan peneliti “...Paling kalau ada
jalinan itu mereka minjemin uang ke masyarakat terus dibunganin, gadai-
gadai itu kerjaan itu orang-orang tuanya...” (wawancara dengan RS warga
Desa Agom, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).
Hal tersebut juga diakui oleh masyarakat lokal Lampung,
masyarakan Balinuraga saat ini secara ekonomi mereka lebih unggul
dibandingkan dengan Masyarakat Desa Agom. Dilihat dari penghasilan
dan sektor pekerjaan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Desa
Balinuraga. sebagaimana yang dikatakan oleh informan peneliti Y (warga
62
Desa Agom) “Kalau Bali emnag kita akuin orangnya mampu ya…
orangnya agak kaya gitu ya… dari pada kita disini. Iya benar jauh, jauh…
ekonominya juga jauh, penghasilannya juga jauh” (wawancara dengan Y
warga Desa Agom, Lampung Selatan, Selasa 18 April 2017).
Dari semua latar belakang yang memicu terjadinya konflik antara
Desa Agom dengan Desa Balinuraga pada Oktober 2012. Pemerintah
Kabupaten Lampung Selatan yang dalam hal ini di sampaikan oleh pihak
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (KESBANGPOL) Kabupaten
Lampung Selatan menyatakan bahwa konflik tersebut disebabkan oleh
ulah pemuda Desa Balinuraga yang menggoda dua perempuan yang
berasal dari Desa Agom. Sehingga akibat dari pemuda Balinuraga yang
menggoda kedua perempuan Desa Agom tesebut, iapun terjatuh dari
sepeda motornya dan mengalami luka-luka.
Pada saat itu kalo tidak salah terjadi pada 27 Oktober 2012, bertempat di
desa Waringin Harjo telah terjadi keributan, yang disebabkan oleh
kelompok pemuda desa Balinuraga yang sedang duduk-dudu bersimpangan
di jalan desa Warngin Harjo, menggoda dua gadis remaja yang sedang
melintas menggunakan sepeda motor dan berasal dari desa Agom
kecamatan Kalianda, atas nama ND dan E. Akibat dari godaan tersebut
kedua gadis terjatuh dari sepeda motornya yang mengakibatkan luka-luka.
(wawancara dengan IS KESBANGPOL Lampung Selatan, Lampung
Selatan, Senin 24 April 2017).
Dalam kesempatan tersebut dari pihak KESBANGPOL Kabupaten
Lampung Selatan mengatakan bahwa konflik yang terjadi tersebut tidak
berkaitan dengan konflik yang terjadi sebelumnya. Karena menurut beliau,
konflik yang sebelumnya terjadi itu merupakan konflik biasa yang terjadi
antar pemuda atau antar penduduk yang hal tersebut dapat diselesaikan
63
oleh pihak desa. ia juga mengakatakn konflik yang sebelumnya terjadi
yang melibatkan oknum dari Balinuaraga tidak pernah sampai kepada
KESBANGPOL.
Kita tidak pernah, karena tidak pernah sampai ke permukaan. Atau
mungkin hanya pada di tingkat desa, diselesaikan oleh aparat desa. Artinya
itu hal-hal biasa saja antar pemuda, dan antar penduduk. Tetapi tidak
pernah sampai, artinya bahwa itu menyebabkan sesuatu hal yang kira-kira
akan mengakibatkan suatu keributan yang besar. Sehingga tidak ada lah
artinya seperti itu, walaupun itu ada hanya dialami oleh beberapa keluarga
dan beberapa… tetapi itu bisa diselesaikan secara langsung oleh mereka.
(wawancara dengan IS KESBANGPOL Lampung Selatan, Lampung
Selatan, Senin 24 April 2017).
Pihak KESBANGPOL juga mengatakan bahwa konflik tersebut
bukanlan konflik yang dilatar belakangi oleh Suku, Agama, Ras dan Antar
golongan (SARA), akan tetapi konflik tersebut merupakan konflik yang
disebabkan oleh pemuda dan melibatkan pemuda. Karena konflik yang
disebabkan oleh SARA menurutnya tidak pernah terjadi sebelumnya di
Lampung Selatan.
Belum pernah terjadi, jadi yang sebenarnya itu konflik antar suku itu
memang tidak ada apa lagi konflik antar agama tidak ada di Lampung
Selatan ini. karena konflik ini bukan bersumber karena suku dan bukan
karena agama, konflik yang ada ini hanya konflik antar pemuda, ya hanya
disebabkan oleh itu. Jadi, bukan sumbernya karena SARA itu bukan
seumbernya dari situ. Jadi konflik yang terjadi di Lampung Selatan sampai
hari ini menurut catatan kami belum pernah ada konflik antar suku apa lagi
agama. (wawancara dengan IS KESBANGPOL Lampung selatan,
Lampung Selatan, Senin 24 April 2017).
Pendapat dari pihak KESBANGPOL hanya menyoroti konflik yang
terjadi pada tahun 2012, disebabkan karena ulah dari pemuda tanpa
menyebutkan adanya insiden pelecehan seksual ataupun diakibatkan dari
konflik masa lalu yang belum usai atau bahkan akibat dari kesenjangan
64
ekonomi antara masyarakat Desa Agom dengan masyarakat Desa
Balinuraga.
2. Kronologi Konflik
Setelah insiden jatuhnya dua perempuan Desa Agom yang terjadi di
jalan Desa Waringin Harjo, akibat digoda oleh beberapa pemuda Desa
Balinuraga yang sedang nongkrong sore di jalan tersebut. Menurut
orangtua dari kedua perempuan itu penyebab dari jatuhnya mereka
disebabkan karena pemuda Balinuraga yang berada di tempat kejadian,
informasi tersebut didapatkan oleh orangtua perempuan dari kerabat yang
membawa pulang dua perempuan itu.
Lama berselang sekitar pukul 17.30 WIB menurut orangtua dari
kedua perempuan itu, pihak dari kepolisian datang dengan menggunakan
mobil dinasnya dua anggota polisi dari polres Lampung Selatan dan dua
anggota lainnya dari sektor Kalianda. Pihak kepolisian datang untuk
meminta keterangan awal dan menjaga kondisi keamanan desa yang saat
itu mulai ramai. Selain itu menurutnya pihak kepolisian juga
mengantarkan mereka ke rumah sakit. Mendengar cerita dari warga
menurut orangtua perempuan RO (warga Desa Agom) tersebut
mengatakan semakin malam rumah mereka semakin banyak didatangi oleh
warga.
...Kurang lebih satu setengah jam atau satu jam itu ya, ada kabar dari salah
satu pemuda kita di sini ini laporan ke rumah, awalnya mah terima telepon
ini kan cewe ada abangnya di rumah dapet kabar jatuh. Kabar jatuh itukan
pas juga ada yang laporan di rumah ini. Terus diiniin sama orang sini ke
65
sana, ke Patok itu ke sawah ke jalan deket sawah itu. Abangnya berangkat
nyusul, belum sampai tempat kejadian itu abangnya, udah ada yang dibawa
pulang adiknya. Gadis dua itu diboncengin....
...Ada salah satu pemuda dari sini yang adiknya itu kerja dipasar, niatnya
mah mau jemput adiknya, pas di tengah sawah itu dia ngeliat anak saya itu
lagi dikerumunin anak Bali itu. Udah diam saya waktu itu, apa bener tah?
Saking ininya sampai sangsi ininya saya, “panggilin anak yang menolong
itu tadi” kata saya waktu itu sama salah satu pemuda yang ada dirumah,
datanglah dia, tuk (bahasa dia ke saya kan datuk) “kamu benar tadi ngeliat
minannya tadi?”, “iya tuk ngeliat tuk”, “orang mana?”, “orang Bali tuk”,
“darimana kamu tau dia orang Bali?”, “iya tuk namanya saya tau,
orangnya saya tau”. “Kurang lebih 20 orang itukan, sebagian saya ada
yang tau, bahkan sebagian saya ada tau rumahnya dimana tuk”. Uuu...
berarti itukan positif itukan orang Bali....
... Makin sore itu ga tau makin banyak orang menyambung-menyambung
itu, ramailah itu di rumah, di rumah kita itu ramai. Pas setangah enam
(17.30 WIB) itu dateng anggota pakai mobil dari POLRES 2 dari sektor
juga 2 pakai mobil dinas... (wawancara dengan RO Warga Desa Agom,
Lampung Selatan, Selasa 18 April 2017).
Dari tempat yang berbeda dan waktu yang berbeda. Saat itu pukul
18.30 WIB menurut cerita dari informan peneliti yang berinisial KA
(warga Desa Balinuraga), terdapat tiga orang pemuda dari Agom yang
masuk kedalam wilayah Desa Balinuraga dengan menggunakan kendaraan
bermotor dan membawa senjata tajam. Setelah ditanya oleh warga
Balinuraga yang sedang berjaga (karena memang saat itu tersiar kabar
akan ada penyerangan di Desa Balinuraga), ketiga pemuda tadi lantas
membanting motornya dan melarikan diri. Tak lama berselang dari
kejadian itu warga Balinuraga mendapat kabar bahwa terdapat rumah yang
dibakar oleh masa Desa Agom.
...Nah setelah itu sekitar jam setengah tujuh, ada orang tiga anak sana dari
Agom itu ke sini gitu lho, motor dua orang tiga, nah ceritanya itu mereka
itu bawa pedang, entah tujuannya apa kan ga tau kan. Nah yang di sana itu
yang di tikungan Karena sudah malamkan waktu itu, jadi mereka itu kaget.
Nah mereka itu mau dideketin kok malah membanting motor terus lari
mereka itu. Nah seletah itu, engga taunya rumah orang bali yang dilura
sana yang kalo dari sini sebelah kanan yang di tikungan, kan ruamh itu
66
warung kok kiosnya itu dibakar... (wawancara dengan KA warga Desa
Balinuraga, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).
Diceritkana pula saat itu, pemuda Desa Agom yang membawa motor
dan membawa senjatan tajam itu mengendarai motornya dengan tidak
beretika serta mengacungkan senjata tajam yang mereka bawa. Sehingga
saat itu sepeda motor yang mereka tumpangi dan ditinggalkan dibakar oleh
masa dari Desa Balinuraga. Hal tersebut disampaikan oleh informan
peneliti yang berinisial K (warga Desa Balinuraga),
...tau-tau malamnya kawan-kawan kita itu nongkrong di perapatan sini
tikungan sana, adalah dua orang dari sana itu bawa montor (motor), bawa
motor kan… bawa pedang diakan… bawa pedang terhunus, nah kaget lah
orang-orang sini itu, motornya dia juga kasarkan… dia juga ga nanya baik-
baik, makanya terjadilah itukan, terjadinya konflik itukan, nah sampelah
dia nah orang yang bawa pedang itu lari lah dia, lari menyelamatkan diri
nah motornya itu dibakar di sini. Ya udah masuk kampung orang desa
orang ga baik-baik gitu mas, wajar itu anggapnya nah ditanya dia juga ga
ngejawab itu... (wawancara dengan K warga Desa Balinuraga, Lampung
Selatan, Kamis 20 April 2017).
Sebelum bermulanya kejadian tersebut, kepala desa dari kedua desa
melakukan perundingan yang dilakukan di Desa Sidoharjo tepat di
kediaman kepala desa Sidoharjo. Dari perundingan tersebut disepakati
bahwa kepala desa Balinuraga akan membantu biaya pengobatan kepada
kedua perempuan yang terjatuh dari sepeda motornya. Namun saat itu
kepala desa Balinuraga meminta waktu selama satu jam untuk menyiapkan
uang tersebut. Akan tetapi, waktu berselang lebih dari satu jam kepala
Desa Balinuraga tidak dapat dihubungi. Informasi ini disampaikan oleh
infroman yang peneliti temui yang berinisial KA.
Nah sorenya itu mungkin ya ngomong disana itu, ada pertemuan antara
kepala desa sini sama kepala desa sana untuk ketemuan di Patok, desa
67
Sidoharjo, tempatnya pak Toher luhrahnya dulu itu. Sudah ada pertemuan
itu, ya memang di sini ini dulu itu lurah, maksudnya dia itu secara baik-
baik mau rembuk, maksudnya mau bantu gitu. Padahal dia itukan jatuh ya
jatuh sendirikan anak Agom (desa) itu. Lurah di sini waktu itu ada niat
untuk membantu Cuma waktu itu dia minta waktu tempo satu jam. Tidak
taunya udah ada satu jam setenga sampe dua jam, pak lurah di sini ini di
bel-bel (dihubungi via ponsel) tidak tersambung katanya, kata pak lurah di
sana itu. (wawancara dengan KA warga Desa Balinuraga, Lampung
Selatan, Kamis 20 April 2017).
Hal serupa juga disampaikan oleh MS salah satu tokoh penting di
Desa Balinuraga. Saat itu MS tidak mengetahui bagaimana persis kejadian
tersbut, akan tetapi banyak dari rekannya yang juga sebagai tokoh
masyarakat desa mengatakan bahwa sebenarnya konflik tersebut bisa
dihindari. Akan tetapi saat itu setelah perundingan selesai kepala desa
Balinuraga harus kembali ke Balinuraga untuk merundingkannya kepada
masyarakat Balinuraga. Sayangnya setelah itu kepala desa tersebut tidak
dapat dihubungi, ditambah lagi masa yang ada di Desa Agom semakin
banyak yang berkumpul dikediaman kepala desanya.
Karena tadi cewek itu jatuhkan dibantu, setelah dibantu karna mungkin
apa, itu mungkin ada rundingan gimana-gimana ya mungkin kurang
nyambungkan… jadi permasalahan itu akhirnya besar. Nah kemaren itu
memang ada kawan-kawan saya Sekdes (sekretaris desa) Sidoharjo, Kades
(kepala desa) di Agom itu menceritakan, “ini pak, waktu itu sebenernya
harusnya ga jadilah. Karena apa? Karena waktu itu kita runding-ruding
sama Kades, Cuma dia itu mesti pulang kedesa anu, ke masyarakat dulu,
runding ke masyarakat dulu kadesnya bapak itu. nah begitu runding, dibel-
bel itu malah engga aktif itu nomornya” kata dia dulu itu. Ini ceritanya
kawan saya yang jadi kades itu di Agom. “Begitu dibel-bel itu udah
ngumpul di rumah saya masanya, gimana pak kades? Ini kok ditunggu-
tunggu engga ada berita, kata masyarakat itu” katanya. Maksud dia
itukan, orang yang sakit yang jatuh itukan sakit, lecet apa-apa itu-kan,
minta pertanggung jawaban siapa yang ini, nah itu engga ada jawaban.
(wawancara dengan MS tokoh masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan,
Jumat 21 April 2017).
Dalam perundingan tersebut ada yang mengakatakan bahwa dari
pihak Agom meminta pertanggung jawaban atas kejadian tersebut dengan
68
uang senilai Rp. 3.000.000,00 kepada pihak Balinuraga (yang dalam hal
ini diwakili oleh kepala Desa Balinuraga). Setelah itulah terdapat pemuda
Agom yang masuk ke Desa Balinuraga pada malam harinya, yang saat itu
bertemu dengan warga Balinuraga yang sedang berjaga di pos ronda
setempat.
..Nah Cuma itu ada pihak ketiga itu, entah itu cowoknya si gadis gitukan…
aa itu yang engga terima. Sampe-sampe mau ada perunding sempat
diminta uang tiga juta pihak sininya. Bahkan dari kepala desa sini ini ke
sana waktu itu-tu, katanya uang itu buat berobat tadi itu...
...Bahkan dari kepala desa sini ini ke sana waktu itu-tu, katanya uang itu
buat berobat tadi itu. Nah terus kepala desa itu-tu apakah dia mensetujui
uang tiga juta itu untuk menalangi duit tiga juta itu apa gimana, yang jelas
waktu itu kepala desa itu pulang kan. Nah mungkin setau dia itu ngambil
uang kan gitu, Karena habis itu (setelah itu) kepala desa sini ini ga kesana
lagi kan, tau-tau malamnya kawan-kawan kita itu nongkrong di perapatan
sini tikungan sana pas di pos, adalah dua orang dari sana itu bawa montor
(motor), bawa motor kan… bawa pedang diakan… (wawancara dengan K
warga Desa Balinuraga, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).
Dari saat itu keadaan di Balinuraga semakin mencekam. Dengan
alasan untuk menjaga keamanan desa saat itu banyak dari warga dari
Balinuraga yang menghadang dan mewaspadai datangnya warga dari Desa
Agom. Sehingga dengan keramaian tersebut dianggap oleh warga Agom
sebagai sebuah perlawanan yang akan menyerang balik. Karena kondisi
desa saat itu semakin tidak kondusif, sehingga banyak sekali informasi
yang tidak jelas yang semakin memprovikasi keadaan. MS mengandaikan
jika saat itu perundingan tersebut disepakati oleh kedua pihak dan pihak
dari Balinuraga memberikan kejelasan kabar, maka konflik seperti ini
tidak akan terjadi.
Karena masyarakat di sini itu merasa dia menjaga desa karena waktu itu
ada kabar kalo bakal diserang. Ya seolah-olah orang itu yang datang engga
69
permisikan ya terjadilah ini, karena macam-macam sama apa yang dibawa
nah iya identitas masing-masing sampai informasi yang tidak jelas. Ya kalo
umpamanya itu dari sini, salah satu ngadep waktu itu ya mungkin bisa
engga terjadi kaya gitu. ya karena udah memanas, dari dia Napal, dari
Marga Catur itukan orang kita engga mau naik. (wawancara dengan MS
tokoh masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21 April 2017).
Setelah gagalnya perundingan yang melibatkan kepala Desa Agom
dengan kepala Desa Balinurga dan masuknya tiga oknum pemdua Agom
yang mengacungkan senjata di Balinuraga, kondisi dari desa Balinuraga
sudah mulai tidak aman. Terjadi pembakaran rumah, penjarahan harta
benda dan perusakan fasilitias umum oleh masyarakat yang menyerang
desa Balinuraga. akan tetapi aktor utama penyerangan sudah tidak lagi
dapat diketahui saat itu. Memang awal terjadinya konflik tersebut dari dua
desa, yaitu Agom dan Balinuraga. Tetapi saat penyerangan di Desa
Balinuraga tidak hanya dilakukan oleh masyarakat Agom. Banyak dari
mereka yang datang dari luar desa bahkan terdapat kabar yang mengatakan
bahwa penyerangan tersebut juga melibatkan masyarakat lokal dari
kabupaten lain.
Tidak hanya pembakaran rumah yang terjadi dalam penyerangan ke
Desa Balinuraga, tetapi juga ada oknum yang melakukan penjarahan di
rumah-rumah warga Balinuraga yang saat itu memang banyak yang
ditinggalkan oleh penghuninya untuk menyelamatkan diri. Salah satu
korban yang isi rumahnya dijarah oleh oknum penyerangan adalah MS.
Menurutnya kejadian yang terjadi di desanya itu bukan hanya sebagai
penyerangan semata, tetapi juga masuk dalam bentuk penjarahan.
Mengapa ia mengatakan demikian, menurutnya jika penyerangan itu
70
benar-benar murni penyerangan benda-benda yang dibakar seharunya ada
abu sisa pembakaran, tapi ia mengaku bahwa setalah rumahnya terbakar
kursi hilang tanpa jejak hangus, sepeda motor hilang dan 8 ekor sapi
hilang dan tidak pernah ditemukan.
ini rumah ini terbakar. Kita bukan ngukit-ngungkit yang udah lewat ya…
nah itu, mustinya itu bukan hanya istilahnya perang, itu kalau kita nilai ya
banyak itu penjarahan. Ya kita apa, ya bukan menjelek-jelekan ya kita ini
bicara sebenarnya. Masa kursi ya… kalo kebakarkan ada abunya, tapi ini
malah kursinya engga ada, gabah-gabah, sapi pada hilang semua. Kalo sapi
ya udah engga tau berapa yang ga ada, udah hampir 8 ekor sapi itu aja yang
ga ketemu sampe sekarang, untung aja itu babi, babi itu untuk muslim-kan
haram kan? Kalo engga abis juga itu pasti, motor, TV, ya kaya barang-
barang yang kelengkapan rumah itu. (wawancara dengan MS tokoh
masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan, jumat 21 April 2017).
Akibat dari konflik dan penyerangan yang terjadi Desa Balinuraga
banyak dari warga Balinuraga yang menjadi korban. Bukan hanya korban
harta yang mereka alami tetapi juga korban nyawa. Tidak sedikit dari
warga desa Balinuraga yang menjadi korban. Menurut buku Merajut
Jurnalisme Damai di Lampung, tidak kurang dari 10 jiwa melayang akbat
dari kerusuhan dan ada 7 warga yang harus dilarikan ke rumah sakit akibat
mengalami luka-luka.
Menurut informan yang peneliti temui RS ketika kerusuhan itu
terjadi banyak dari masyarakat Balinuraga yang mencari pertolongan
dengan mengungsi ke desa tetangga. Saat itu menurut RS ia menemui
seorang warga Balinuraga yang sedang mencari pertolongan disebuah
masjid yang berdiri tidak jauh dari Balinuraga, RS menyarankan kepada
orang tersebut untuk tidak bersuara, karena aksen dari masyarakat
71
pendatang dari Bali masih kental dengan aksen Balinya dari situ warga
yang menyerang melihat ciri dari warga Balinuraga. tidak hanya itu
penyerangan juga tidak lagi kepada warga Balinuraga atau bukan, karena
menurut RS banyak juga masjid yang dibakar oleh masa.
...Memang ya waktu itu sampe nangis-nangis sore-sore itu bawa galon
untuk minta tolong, “bapak boleh masuk aja silakan, tapi asal jangan
ngomong” kata saya. Orang masuk kampung itu rame... banget dari mana-
mana disitulah kepala desanya sampe nangis. Yang bersolawat di masjid
juga terus, ada seorang bapak itu yang mintak tolong-tolong ya itu ya
gaboleh karena suaranya itu ketauan. Kalo ada yang ngomongnya itu beda
itu ya udah terjadi penyerangan dan itu terjadi itu... nah disitu, maka
terbakarlah rumah satu di situ. (wawancara dengan RS warga Desa Agom,
Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).
RS juga menceritakan bagaimana kondisi penyerangan yang
dilakukan oleh warga Agom ke Desa Balinuraga saat itu, ia mengatakan
bahwa saat itu pola penyerangan memang ditujukan kepada Balinuraga
saja. Walaupun disepanjangan jalan menuju Balinuraga banyak rumah-
rumah yang dihuni oleh warga pendatang dari Bali, tetapi itu tetap dijaga
oleh warga Agom. Karena memang saat itu banyak yang dari luar dan
orang-orang yang sebenarnya tidak tahu masalah yang terjadi ikut
melakukan penyerangan sehingga tidak hanya rumah-rumah orang
Balinuraga saja yang menjadi sasaran, masjid pun menjadi sasaran
pembakaran.
Yang jelas orang yang kemarin itu memang gimana ya, aturan saat
menyerang itu memang sangat bagus, sangat baik tertata dan sangat
disiplin. Kenapa saya bilang kaya gitu, ya karena yang waktu di gang Bali
Koga itu kami jaga ga boleh masuk kesitu. Terarah ga asal Bali engga,
yang bermasalah aja ya kan. Ya karena banyak orang luar itu ya asal ada
pura itu ya diserangnya. Sebenarnya ya teratur, tapi ya karena lebih dari
seribu orang ya udah ga teratur lagi. Jangankan rumah orang Bali yang ada
puranya, masjid aja ada yang kena. Yang di Sidoreno itukan banyak islam
72
semua disitu, tapikan Bali. (wawancara dengan RS warga Desa Agom,
Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).
Sampai pada saat itu banyak upaya yang telah dilakukan oleh
berbagai pihak termasuk dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Banyak dari warga Balinuraga yang hasur diungiskan ke wilayang
Kemiling, Bandar Lampung tepatnya di Sekolah Polisi Negara Kemiling.
Berbagai media banyak menyoroti konflik tersebut sebagai konflik
multietnis yang memakan banyak korban, dan sebagai salah satu konflik
etnis yang besar pasca reformasi.
Setelah konflik tersebut terjadi berbagai elemen masyarakat dari
kedua desa yang terlibat dalam konflik tersebut dikumpulkan dalam satu
kegiatan untuk menyepakati perdamaian atas konflik tersebut. Sebagai
mana informasi yang disamapaikan oleh PP,
...penyatuannya dikumpulin semuanya dari warga Agom yang betikai itu
sama warga Bali sana dikumpulin jadi satu. Terus ketua-ketua adatnya
Lampung, Ketua adat sana itu jadi satu pokoknya musyawarahan ya entah
baik dari keamanannya, ya pokoknya semuanya kumpul sampe Bupatinya
kayanya apa wakilnya ya… ya pokoknya ada acara itulah perdamaiannya
sekalian juga perjanjian itu kalo suatu saat terjadi lagi... (wawancara
dengan PP tokoh masyarakat Agom, Lampung Selatan, Selasa 18 April
2017).
Tidak hanya samapi disitu dari pihak KODIM pun turut berpartisipasi
dalam mengadakan kegiatan perdamaian antara Agom dengan Balinuraga sebagai
mana yang juga disamapaikan oleh PP,
...Kalau waktu ya sama-sama sih, waktu perdamaian itu ya ada kegaiatan
nyatanya ya jalan santai semua itu dari sini sampai sana, yang mengadain
kan itu orang KODIM yang ngadai itu, yang ngadain jalan sehatlah biar
bersatu sambil itu habis (setelah) acara itu... (wawancara dengan PP tokoh
masyarakat Agom, Lampung Selatan, Selasa 18 April 2017).
73
B. Relasi Sosial Pasca Konflik di Lampung Selatan
1. Relasi Sosial Lebih Harmonis (Positif) Antara Lokal dengan
Pendatang
Lama berselang setelah terjadinya konflik yang melibatkan
masyarakat Desa Agom dan Balinuraga, dan bahkan masyarakat desa yang
ada di sekitar Kecamatan Kalianda, kondisi telah banyak berubah. Baik
dari sisi sosial dan budaya dari masyarakat yang ada di Desa Balinuraga
maupun Desa Agom. Perubahan yang terjadi akibat dari adanya konflik
tersebut dapat dikatakan perubahan yang mengarah kepada kondisi yang
lebih positif menurut peneliti. Penyebab utama membesarnya konflik yang
terjadi antara masyarakat Balinuraga dengan Agom bukanlah dari isiden
jatuhnya dua perempuan Desa Agom ataupun terjadinya pelecehan seksual
saat itu, akan tetapi membesarnya konflik tersebut menurut peneliti
merupakan akibat dari konflik-konflik yang terjadi sebelumnya.
Konflik yang sebelumnya terjadi banyak yang disebabkan atau
dimulai oleh oknum dari Desa Balinuraga. Korban atau sasaran dari
oknum-oknum tersebut tidak hanya dari satu desa saja tetapi beberapa desa
yang telah peneliti sebutkan sebelumnya. Mengapa peneliti mengatakan
bahwa penyebab membesarnya konflik yang terjadi pada Oktober 2012 itu
bukan dari jatuhnya dua perempuan Desa Agom? Karena sebelum-
sebelumnya masyarakat Agom tidak pernah terlibat pertikaian dengan
Balinuraga. Sehingga dapat dikatakan bahwa insiden jatuhnya perempuan
dan terjadinya insiden pelecehan seksual (menurut beberapa informasi)
74
yang dilakukan oleh pemuda Balinuraga itu merupakan pemantik api
kemarahan dari warga desa yang sebelumnya pernah menjadi sasaran
arogansi oknum dari Balinuraga.
Dengan terjadinya konflik tersebut memberikan suatu pengajaran
kepada kedua masyarakat desa, baik dari Agom maupun dari Balinuraga.
dalam artian konflik tersebut membawa perubahan dalam kehidupan sosial
yang ada dalam masyarakat baik perubahan kepada hal yang baru ataupun
perubahan kepada penyesuaian kebiasaan hidup dalam masyarakat yang
berbeda. Dikutip dari buku Pengantar Sosiologi Konflik, konflik
dipandang oleh Coser lebih kepada mekanisme perubahan sosial dan
penyesuaian, sehingga memberikan dampak yang positif dalam
masyarakat. Akan tetapi dalam suatu hubungan sosial yang ada dalam
masyarakat, ketika konflik tersebut disembunyikan maka tidak akan
memberikan dampak yang positif (Susan, 2014: 46).
Ini artinya konflik dan penyerangan yang terjadi di Desa Balinuraga
pada Oktober 2012 memberikan dampak yang positif kepada tatanan
masyarakat yang ada disana, baik itu dari Agom, Balinuraga maupun desa-
desa lain yang terlibat dalam penyerangan tersebut. Dari catatan penelitian
yang peneliti peroleh dari beberapa informan mengatakan bahwa dari
setelah konflik dan sampai peneliti berada di Desa Agom maupun
Balinuraga (April 2017) tidak lagi terjadi konflik atau keributan yang
melibatkan masyarakat lintas desa yang besar. Walaupun ada konflik
tersebut tidak sampai melibatkan masyarakat yang ada di desa tersebut
75
(dalam artian konflik hanya dilakukan oleh oknum dan diselesaikan
dengan damai antara yang terlibat).
Kalau sesudah..., ya artinya apa ya... informasi-informasi yang
disampaikan oleh ibu juga ini kan saya lupa ya. Tapi, memang pernah ada,
ya artinya ada hal-hal yang dilakukan oleh Bali juga ya seperti kesalahan-
kesalahan yang tidak masive yang dilakukan oleh beberapa orang yang
arogan, tapi mereka sendiri ya sudah punya peraturan dan mereka juga
sudah punya antisipasi siapa yang bersalah merekalah yang akan
menghukum sendiri (orang Bali sendiri yang menghukum, bukan lagi
orang Lampunnya). Ya itu bagus dengan maksud mereka permasalahan itu
tidak mencuat dan juga tidak merembet. (wawancara dengan ZA warga
Desa Agom, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).
Yang menjadi sorotan pada konflik tersebut adalah sikap dari
masyarakat Balinuraga yang arogan dan bertindak anarki dengan
masyarakat desa lain. Karena beberapa konflik yang sebelumnya terjadi
merupakan ulah dan melibatkan oknum dari Balinuraga. ketika satu orang
berkonflik dengan masyarakat lain diluar Balinuraga, maka banyak dari
warga Balinuraga yang ikut terlibat dalam konflik tersebut. Sehingga
terjadi insiden keributan yang meluas dan sampai melakukan pembakaran
rumah, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Setelah konflik 2012 terjadi, informasi yang peneliti ketahui dari
beberapa informan baik dari Agom maupun dari Balinuraga mengatakan
bahwa saat ini di Desa Balinuraga, ketika satu orang yang terlibat dalam
keributan maka orang tersebut yang harus menyelesaikannya sendiri dan
tidak melibatkan masyarakat lain dari Balinuraga. Artinya ketika A
merupakan warga dari Desa Balinuraga dan B merupakan warga dari desa
lain, A dan B terlibat keributan maka yang menyelesaikan keributan
tersebut adalah A dan B serta keluarga dan dibantu oleh aparat desa atau
76
dari pihak kepolisian sebagai penengah. Sehingga A tidak lagi mangajak
kawan dekatnya dan memprovokasi warga dalam kasusnya, begitu juga
dengan B, seperti yang disampaikan oleh PLT salah satu tokoh masyarakat
Desa Agom dan WG seorang warga Desa Balinuraga berikut,
Ya sekarang ya Alhamdulillah ya sudah beberapa tahun terakhir itu udah
engga ada apa-apa, dan sekarang juga itukan udah jadi tanggung jawab
masing-masing. Jadi kalau sekarang itu ada yang buat keributan atau
keramaian itu ya yang bertanggung jawab itu ya kedua belah pihak itu,
tidak melibatkan yang lain dalam hal ini mengajak kawan ya kalo yang
buat onar si A dan B ya mereka berdua itulah yang menyelesaikannya tidak
mengajak C, D, E dan itu sudah ada dalam perjanjian, jadi kalo ribut tidak
akan menjadi meluas. (wawancara dengan PLT tokoh masyarakat Agom,
Lampung Selatan, Rabu 19 April 2017).
...Dan kalo pun ada anak bali yang punya masalah sekarang udah jadi
urusan individu aja, yang buat masalah ya yang buat masalah itu aja yang
nyelesaiin. Tapi kalo pun ga ada apa-apa ya ga ada apa-apa, engga sampe
kaya yang kemaren itu, yang sampe bawa-bawa suku segala macem engga.
(wawancara dengan WG warga Desa Balinuraga, Lampung Selata, Rabu
19 April 2017).
Dalam kesempatan yang lain PP juga mengatakan bahwa dalam
perjanjiannya antara Agom dengan Balinuraga, apabila terjadi lagi konflik
antara Balinuraga dengan Agom, maupun Balinuraga dengan desa lain
maka pelaku dari konflik tersebut akan dikembalikan ke daerah asalnya.
...jadi perjanjiannya kalau terjadi sesuatu, nanti yo kapan terjadi lagi antara
Bali sama Agom, walaupun Bali dengan Jawa, apa Bali dengan Lampung,
kalo yang dia mulai duluan orang sana dia bakal diusir dari sana. Pokoknya
siapa yang bikin ulah, pulang itu sanksinya. Kalo emang kaya gitu dia
sendiri yang harus tanggung jawab untuk menyelesaikan masalahnya.
Pokoknya orang sana orang luarnya engga mau ikut campur, sekarang
permasalahannya udah perorangan engga boleh masalah kaya kemarin.
Kemarin itukan kalo ada apa-apa gerebuk (ramai-ramai), kalo ada apa-apa
gerebuk ngono (gitu) sekarang engga... (wawancara dengan PP Tokoh
Masyarakat Agom, Lampung Selatan, Selasa 18 April 2017).
Selain dari hal tersebut, antisipasi yang dilakukan oleh pemerintah
daerah adalah membentuk suatu wadah kerukunan yang di dalamnya
77
terdapat berbagai macam unsur. Baik dari masyarakat lokal sendiri, Bali,
Jawa dan suku-suku lain yang ada di Lampung Selatan. Wadah tersebut
berfunsi sebagai penanggulangan konflik yang terjadi di wilayah desa,
sehingga konflik tersebut tidak ditarik kepada cakupan yang luas sehingga
menimbulkan konflik besar. Ini merupakan satu kebaruan yang
ditimbulkan dari adanya konflik pada 2012, dan hal ini menurut peneliti
adalah antisipasi yang positif untuk mencegah terjadinya konflik baru.
...Bupati udah mencanangkan rukun keagamaan, nah dibentuk dari Bali
juga ada disitu kan, jawa, Madura, Kristen, budha di situ udah ada semua.
Nah disitu bergerak itu FKUBnya, perwakilan-perwakilannya. Dari
keamanan jugakan, kalo bisa diselesaikan di forum apa, di forum
kekeluargaan nah kalo disitu udah engga bisa kita baru ke kemanan itu. di
desa ini ada permasalahan apa ya diselesaikan dulu di desa, ya sama
pemimpin desa ketua adat ya ada dari kepolisian, supaya ya engga adu
mulut jadinya, ya kan, kalo ada kemanan kan kita bicara detailnya aja kan,
ga sampai kemana-mana. (wawancara dengan MS tokoh masyarakat
Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21 April 2017).
Badan kerukunan tersebut salah satu upaya untuk mencegah
terjadinya konflik yang akan timbul. Badan kerukunan tersebut berperan
sebagai Savety-Valve, dimana badan tersebut digunakan sebagai benteng
awal ketika konflik tersebut terjadi. Savety-Valve sendiri merupakan
mekanisme Khusus yang dipakai dalam mencegah kemungkinan dari
perubahan struktur akibat terjadinya konflik dalam masyarakat, sehingga
mempertahankan kelompok dari konfli sosial (Poloma, 2004: 108)
Tidak hanya dalam hal tersebut, diakui oleh pihak dari Balinuraga
bahwa setelah konflik terjadi dan setelah terjadinya perjanjian damai,
kehidupan masyrakat kembali sedikit demi sedikit kearah yang lebih baik.
78
Dari beberapa ungkapan informan mengatakan bahwa, konlifk yang terjadi
pada 2012 itu mengakrabkan antara penduduk Balinuraga dengan
penduduk Agom. Hal tersebut terlihat ketika dibeberapa kesempatan,
ketika ada kegiatan adat maupun masyarakat. mereka telah saling
mengundang dan saling menghadiri acara atau kegiatan yang diadakan.
Seperti halnya yang disampaikan oleh MS, setelah perjanjian damai
antara kedua belah pihak, kiehidupan bermasyarakat Balinuraga mulai
beradaptasi dengan masyarakat lokal. Dicontohkan oleh MS ketika ada
hajatan warga saat ini masyarakat saling mengundang. Tidak hanya itu MS
juga melakukan pendekatan pada tingat atas, seperti sesama tokoh
masyarakat desa dan pemangku adat masing-masing. Langkah lainpun
ditempuh oleh MS termasuk penguatan hubungan antar pemuda, pemuda-
pemudanya pun harus bisa berdamai dan memiliki rasa persaudaraan, hal
tersebut dapat dijalin dengan pertandingan sepak bola dan kegiatan lain
menurut MS.
Sekarang malah lebih baik, lebih bagus beradaptasi. Kemarin malah itu ada
apa tu, ada selalu kalo ada hajatan itu ya diundang, tokoh-tokohnya ini
diundang. Kita juga kemaren kaya gitu, setelah perdamaian itu. setelah
terjadi itu kita bagaimana caranya supaya ya lebih akrab lagi, kita sama-
sama sebagai ya khususnya saya sebagai pimpinan ya sama pimpinan situ
(desa Agom) ya bagaimana caranya bisa lebih akrab.... Kita bagaimana
caranya menggali persaudaraan itu sampai ke akar-akarnya, terutama
pemudanya. Kita buat apa ya, kita buat turnamen (pertandingan) bola, atau
apa kan…nah dari situ-kan menjalain hubungan yang lebih erat antara
pemuda. Nah sewaktu kita ini ada acara kita repot ya minta bantuan ke dia
(desa Agom), untuk ngawal. Itu langkah-langkah kita. (wawancara dengan
MS tokoh masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21 April 2017).
Informan lain yang mengatakan hal serupa adalah K dan Wy. S
Mereka mengatakan bahwa setelah terjadinya konflik pada 2012,
79
hubungan masyarakat sudah kembali membaik dan mulai kondusif. Hal
tersebut dibuktikan oleh K dan Wy. S dengan kegiatan-kegiatan yang
diadakan di desa mereka dalam kegiatan tersebut mereka mengundang
masyarakat Agom dan undanga tersebut disambut baik oleh masyarakat
Agom, terutama bagi tokoh masyarakat desa. tidak hanya dari pihak
masyarakat lokal, konflik tersebut juga menyatukan mereka dengan
sesama pendatang di Lampung, seperti Jawa, Sunda dan lainnya.
ya mulai, mulai ini sekarang ya mulai kondusiflag sekarang udah kaya
dulu-dulu. Ya kalo kita ada acara, ya dari tokoh-tokoh ya dari tokoh-tokoh
pribumi, tokoh-tokoh jawa, ya kalo jawa itu emang dari dulu itu mas dari
dulu itu emang udah engga ada apa-apa... (wawancara dengan K warga
Desa Balinuraga, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).
...Mereka punya hajat kami diundang kami dateng, begitu pun sebaliknya
kami yang punya hajat mereka diundang yang mereka yang mau dateng ya
pasti dateng.... Kalo untuk hubungan saat ininya pun sudah kembali baik,
mereka juga sekarang sudah sering kemari kok. Kami juga ke sana
silaturahmi ya engga papa, bahkan kalua ada yang hajatan pun sekarang
ini saling mengunadang....(wawancara dengan Wy. S tokoh masyarakat
Balinuraga, Lampung Selatan, Rabu 19 April 2017).
Dalam konteks konflik yang terjadi antara Balinuraga dengan Agom,
dapat kita lihat bawa konflik tersebut kembali membawa kedua
masyarakat kepada hubungan yang erat. Konflik Balinuraga dengan Agom
memperlihatkan bahwa konflik tersebut menjalankan fungis positif dalam
membangun kohesi kelompok. Sebagaimana fungsi konflik terhadap
kohesi kelompok, walaupun bagi Coser kohesi konflik itu merupakan salah
satu hal yang akan terjadi dari fungsi positif konflik (Susan, 2014: 47).
Tidak hanya kembali kepada hubungan atau relasi yang baik antara
kedua belah pihak yang terlibat seteru. Tetapi konflik tersebut membangun
80
kembali semangat dalam membangkitkan perekonomian warga di Agom.
Jika sebelumnya salah satu penyebab konflik merupakan akibat dari faktor
ekonomi. Maka setelah konflik ini semangat untuk mengejar
ketertinggalan Agom dari Balinuraga tumbuh dalam diri masyarakat.
Seperti yang dikatakan RS sebagai berikut,
Ya itukan terutama daya pikirnya dari masyarakat Agom, berinovasi
dengan kejadian-kejadian itu keliatannya sampai berubah. Berubahanya
bagaimana, ya terutama perekonomian mereka semakin giat istilahnyakan
gitu. Mungkin ada satu pelajaran yang mereka petik dari kejadian itu,
jadilah mereka itu berfikir ke arah depan ya artinyakan perubahannya
sangat pesat terutama pendidikannya, anak-anak ini sangat semangat untuk
sekolah dan ga ingin memikirkan buru-buru kerja itu engga. Tadinya rata-
rata itu diarahkan untuk kuliah itu engga mau nah sekarang ya pada mau.
Karena memang kelemahan kitu memang disitu, di pendidikan yang masih
rendah. (wawancara dengan RS warga Desa Agom, Lampung Selatan,
Kamis 20 April 2017).
Selain itu, konflik yang terjadi pada 2012 membawa masyarakat
Balinuraga khususnya pemuda kepada penguatan spirit keagamaan
mereka. Konflik membuat mereka lebih dekat dengan kehidupan tuhan
seperti yang disampaikan oleh WG, “...Sekarang juga lebih ke ibadah juga
lebih meningkat lagi, kalo dulukan jarang-jarang sekarang lebih ke
ibadahnya lebih meningkat lagi itu kalo aku pribadi ya,...” (wawancara
dengan WG warga Desa Balinuraga, Lampung Selatan, Rabu 19 April
2017). Hal itu juga yang diungkapkan oleh K saat peneliti temui. Wadah-
wadah kegiatan keagamaan kembali diminati oleh pemuda-pemuda
Balinuraga, seperti salah satunya Pasraman (pendidikan keagamaan).
Ya itu, anak-anak ini sekarang diadakan Pasraman, kalo jaman dulu itu
namanya Pasraman Karena belum ada Pendidikan-kan mungkin kalau
istilah muslimnya itu kaya Pesantren gitu. Pasraman ini ya kaitannya
dengan kegiatan-kegiatan spiritual, ya artinya untuk arah ketuhanan. Ya
81
ada juga itu kegiatan-kegiatan apa itu kreatif, untuk mengurangi ya kalo
anak-anak ini kan kalo ga ada kegiatan ga terahar ini kan. Yang penting
tujunnya ke arah positif. (wawancara dengan K warga Desa Balinuraga,
Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).
Dari kesemua itu dapat kita lihat dan simpulkan bahwa konflik yang
terjadi pada Oktober 2012 memberikan angin segar kepada hubungan
kedua masyarakat. Terjadi perubahan pola perilaku yang diterapkan di
Masyarakat Balinuraga, sebagaimana sebelum terjadinya konflik banyak
dari oknum yang membuat masalah dan menyelesaikannya dengan bermai-
ramai (main hakim sendiri dengan memprovokasi warga). Dan setelah
konflik terjadi masyarakat tidak lagi mudah diprovokasi oleh oknum-
oknum yang tidak bertanggung jawab. Dalam arti masyarakat sekarang
menyerahkan masalah kepada yang bermasalah. Tidak hanya sampai
disitu, saat kondisi kehidupan masyarakat sudah kembali dalam keadaan
normal dan timbul ikatan dari kedua desa dan timbul rasa saling
menghormati. Sebagaimana yang telah peneliti sampaikan pada awal sub-
bab ini, bahwa konflik memberikan pengaruh yang positif dalam
kehidupan masyarakat setelah konflik itu terjadi.
2. Penguatan Integrasi/Kohesi di dalam Masing-Masing Kelompok dan
Perubahan Perilaku Masyarakat
Konflik pada dasarnya tidak selalu memberikan dampak yang
negatif dan tidak juga selalu membawa kepada ruang kehancuran. Konflik
juga dapat memberikan dampak yang posotif dalam kehidupan masyarakat
dan tidak melulu memberikan stigma bahwa dengan konflik akan
memberikan dampak yang begitu merugikan. Pada dasarnya konflik dapat
82
merubah tatanan kehidupan dalam masyarakat yang mengarah kepada hal-
hal yang bersifat positif. Dengan adanya konflik dalam kehidupan
masyarakat dapat diketahui apakah terjadi kesalahan dalam tatanan sosial
masyarakat yang sebelum konflik itu terjadi.
Seperti halnya yang dikatakan oleh Lewis A. Coser, ia memandang
konflik sebagai suatu siklus untuk memperbaiki tatanan kehidupan dalam
masyarakat. Pemikiran mengenai fungsi positif konflik Coser itu
berangkat dari pemikiran Simmel yang mengatakan bahwa konflik pada
dasarnya menunjukan dirinya sebagai faktor positif, dalam mejuwudkan
perubahan yang ada pada kehidupan masyarakat. Seperti banyak kasus
sejarah yang pada dasarnya konflik membawa kepada arah penyatuan
(Susan, 2014: 46).
Menurut Poloma dalam bukunya Coser menegaskan bahwa
ketiadaan konflik dalam kehidupan sosial masyarakat tidak dapat dianggap
sebagai suatu kekuatan atau kestabilan yang ada dalam masyarakat
tersbeut. Konflik sendiri dimaknai sebagai tanda dari kehidupan kelompok
atau masyarakat itu sendiri, justru ketiadaan konflik dalam kehidupan
kelompok atau masyarakat dapat diartikan sebagai penekanan masalah
yang menandakan suatu saat nanti akan timbul konflik yang begtu besar
bagai bom waktu (Poloma, 2004: 113).
Coser sendiri mengatakan bahwa konflik pada struktur kelompok
membawa anggota dari kelompok tersebut untuk sadar pada ikatan dalam
83
kelompok mereka sehingga meningktakan partisipasi mereka dalam
kelompok tersebut.
The group in a state of peace can permit antagonistic members within it to
live with one another in an undecided situation because each of them can
go his own way and can avoid collisions. A state of conflict, however, pulls
the members so tightly together and subjects them to such uniform impulse
that they either must get completely along with, or completely repel, one
another. This is the reason why war with the outside is sometimes the last
chance for a state ridden with inner antagonisms to overcome these
antagonisms, or else to break up definitely. (Coser, 1958: 90)
Dalam kasus konflik antara Agom dengan Balinuraga targambar
bahwa konflik tersebut menguatkan hubungan di dalam masing-masing
kelompok. Seperti misalnya di Desa Agom, walaupun yang disoroti pada
konflik lalu merupakan konflik yang melibatkan dua etnis yang berbeda
yaitu Lampung dengan Bali. Akan tetapi dari masyarakat Agom sendiri
tidak hanya dari masyarakat lokal yang menguat hubungannya, masyarakat
Jawa dan etnis lain yang ada di Agom juga membaur menjadi satu ikatan
yaitu masyarakat Agom.
Seperti yang dikatakan oleh PP salah satu masyarakat Jawa yang ada
di Desa Agom dan salah satu tokoh Desa Agom, Ia mengatakan bahwa
antara Jawa dengan Lampung di Desa Agom sudah tidak ada lagi sekat
pemisah. Bahkan telah terjadi pertukaran budaya antara Lampung dengan
Jawa, hal tersebut terbukti tidak sedikit dari masyarakat Lampung yang
pandai mengucapkan Bahasa Jawa.
Kalau masyarakat di sini kalo orang Lampung sih ya baik, biasa sudah
membaur sama orang Jawa. Engga ibaratnya Jawa-Jawa, Lampung-
Lampung itu Engga ada udah menyatu. Ya sikapnya ya sudah menyatu, ya
kalo Lampung-Lampung sana paleng (mungkin)iya… Cuma kalo di sini
84
engga, ya pokoknya Agom ini udah sama orang jawa udah biasa. Udah
biasa ibaratnya kaya, Lampung aja sekarang banyak yang bisa ngomong
jawa kan Karena udah kebiasaan sana sini. (wawancara dengan PP tokoh
masyarakat Agom, Lampung Selatan, Selasa 18 April 2017).
Tidak hanya terjadi di Desa Agom penguatan hubungan dalam
masyarakat juga terjadi di desa Balinuraga pada tataran pemuda. Menurut
salah satu informan peneliti, sebelum terjadinya konflik pada 2012 pemuda
Balinuraga hidup terkotak-kotakan berdasarkan peer group. Akan tetapi
dengan adanya konflik pada 2012, saat ini pemuda Balinuraga lebih
bersatu dapa ikatan Balinuraga. tidak hanya itu, dampak dari konflik juga
merubah perilaku pemuda Balinuraga. Semula pemuda yang besikap
arogan kini menjadi suatu keharusan untuk menahan diri untuk tidak lagi
berbuat masalah.
Baiknya sekarang ini, masyarakat sini jadi lebih bersatu, dulu kan dari
masyarakat balinya itukan kaya ngeblok-ngeblok gitu untuk pemudanya,
sekarang jadi lebih bersatu lagi.... dampak positifnya lagi masyarakat
sininya engga lebih anarki lagi, engga karya kemarin. Jadi sekarang lebih
ditahan lagi emosinya. Kalo ke masyarakat luar kita ini kaya jadi sorotan si
mas, kalo ada masalah apa gitu kan ya, jadinya anak bali ini yang kena
pasti disangkut-pautin gitu. (wawancara dengan WG warga Balinuraga,
Lampung Selatan, Rabu 19 April 2017).
Sebagaimana yang dikatakan oleh Poloma, Coser menunjukan
bahwa konflik dengan kelompok lain (out-Group) akan memperjelas
batasan struktural dari kedua kelompok yang terlibat. Selain itu konflik
dengan kelompok lain (out-Group) juga akan memperkuat hubungan atau
membangun integrasi dalam masing-masing kelompok (Poloma, 2004:
116). Dari data tersebut terlihat bahwa konflik memperkuat integrasi dari
masing-masing kelompok yang terlibat.
85
Bahkan lebih dari hal tersebut, dampak dari konflik antara Agom dan
Balinuraga dapat kembali memperbaiki hubungan kedua antara Agom dan
Balinuraga. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, jauh sebelum terjadinya
konflik antara Agom dengan Balinuraga, hubungan antara masyarakat dari
kedua desa sangat terjalin dengan Baik. Bahkan dalam tulisan yang di tulis
oleh Budisantoso Budiman dan Oyos Saroso HN dalam buku Merajut
Jurnalisme Damai di Lampung, Siti Noor Laila dari Komnas HAM asal
Lampung menceritakan berdasarkan informasi yang ia dapat dari para
korban, kecil kemungkinan pelaku pembunuhan dalam kerusuhan yang
terjadi itu merupakan Masyarakat Agom. Karena informasi yang
didapatkan masyarakat Balinuraga dengan Agom sudah saling mengenal
satu sama lain dan dapat bekerja sama dengan baik (Setyawan dkk, 2012:
9).
Data tersebut dapat menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat
Balinuraga maupun Agom setelah terjadinya konflik pada Oktober 2012.
Konflik menguatkan hubungan dalam kelompok, baik dari Masyarakat
Agom maupun dari masyarakat Balinuraga sendiri. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Lewis A. Coser yang dikutip dalam buku Sosiologi
Kontemporer, dimana kelompok yang terlibat konflik dengan out-group
akan memperkuat identitas anggota dalam kelompok tersebut (Poloma,
2004: 108). Selain dari hal itu konflik tidak hanya menguatkan integrasi
dalam masing-masing kelompok, akan tetapi konflik juga dapat
merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan,
86
penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial dalam masyarakat (Poloma,
2004: 107). Hal ini berarti konflik dapat fungsional dalam memperbarui
dan memelihara sistem atau struktur dalam masyarakat yang mungkin
telah lama bergeser, sehingga dengan konflik sistem atau struktur tadi
dapat kembali berjalan sebagaimana mestinya. Atau bahkan dengan
adanya konflik tersebut sistem atau struktur dalam masyarakat
menyesuaikan kepada zaman.
Sebelum terjadinya konflik antara kedua desa, banyak yang
mengakatakn bahwa tidak sedikit dari pemuda Balinuraga atau bahkan
penduduk Balinuraga sendiri bersikap arogan dengan masyarakat lain.
Tidak hanya itu, prilaku masyarakat yang saat itu menumbulkan keresahan
bagi masyarakat desa disekitar desa Balinuraga. Hal tersebut juga diakui
oleh kepala desa Balinuraga yang saat ini sedang menjabat. Akibat dari hal
tersebut, tidak sedikit pula yang tidak menyukai sikap arogan yang
dimiliki oleh warga Balinuraga. akan tetapi, setelah konflik terjadi banyak
perubahan yang dari sikap dan prilaku masyarakat Balinuraga.
Walaupun demikian konflik tersebut akibat dari ulah pemuda yang
sebenarnya belum tahu pasti bagaimana hubungan kedua masyarakat dari
Agom dengan Balinuraga jauh sebelum konflik, sebagai mana yang telah
peneliti paparkan sebelumnya. Dengan konflik tersebut memberika
pembelajaran baru bagi para pemuda untuk memahami bagaimana
87
hubungan kedua desa. seperti pernyataan informan yang peneliti temui
sebagai berikut.
Ya hargai orang tua-tua kita, masa kitanya bermasalah terus. Dari situ kita
bombing pemudanya, kita kasih arahan, masukan, syukur termasuk bisa
mendengar suara tokoh masyarakat, suara orang tua, ya sampe sekarang ya
baik-baik. Ya mudah-mudahan terakhirnya engga mungkin terulang lagi-
kan, sayang kita ini-kan hidupnya di perantauan orang-kan minumnya di
sini, beraknya di sini, lahirnya di sini ya mau apalagi-kan? Kalo engga kita
menciptakan kedamaian.
Kalo sebelumnya ga aktif ya itu apa, pemudanya ini engga denger
omongan orang tua.... Sekarang ini kan anak-anak mudanya begitu
dianukan sama orang tua ini kan sudah apa, boleh dikatakan ngertikan
engga mau lagi. Kalau dulukan engga, diomongin, dicegat dijalan… aa…
apa ini orang, orang ini motor-motor saya sendiri, kok jadi bapak yang
bingung, sekarang kan dia ga berani ngomong kaya gitu nah ini kan mau ga
kamu ini kedua kalinya kejadian kaya gitu. nah akhirnyakan dia kalo
orang-orang tua ini ngomong nurut, berarti ngerti. Sebenarnya kejadian
kemarin itu orang tua itu engga ada yang tau, tapi akhirnya juga jadi
korban gara-gara kamu ulah-ulah kamu, kan di gituin. Nah inikan sadar.
Kalo sebelum kejadian itu, ya gimana kita ngomong aja engga di gubris,
lagi-lagikan, rambutnya ini dipirang-pirang… pake tatoan. Orang
sebenarnya itu aja, orang di lingkungan sini itu udah engga seneng, iya
sama muda-muda yang berandal-berandal kaya gitu. sebenarnya orang tua-
tua sini itupun udah engga seneng. Ya cuman itu tadi, kalo di, dikasih
masukan ga mau digubris, apalagi umpamanya anaknya si bapak ini, kita
ngasih arahan engga digubris, bapaknya udah, udah berkali-kali
ngomongin. Alhamdulillah-nya itu tadi Karena kita udah begitu pemuda ini
udah engga ada yang nongkrong-nongkrong, malah sekarang mulai
beraktivitas, bantu orangtua. (wawancara dengan MS tokoh masyarakat
Balinuraga, Lampung Selatan, Jumat 21April 2017).
Sebenarnya konflik ini bukan masalah tua-tua ini, ya konflik ini ya seperti
yang saya katakana tadi itu, ya anak-anak ABG (Anak Baru Gede) itulah.
Kalo sekarang ini anak-anak ABGnya pun sudah ada perubahan, ya
mungkin ada satu atau dua, Cuma dengan jelas dibandingkan dulu dengan
sekarang itu jauh perbedaannya. Perbedaannya itu ya di waktu-waktu itu ya
mereka itu terbatas, kalo dulu itukan engga, semaunya dia aja mau jam
berapa dia pulang ya seenaknya dia aja, karenakan belom pernah ada
kejadiaan kaya ginikan. Nah setelah kejadian ini, masing-masing yang
punya anak ini kasih masukan ke anaknya ini. (wawancara dengan KA
warga Balinuraga, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).
Bahkan lebih dari hal itu konflik yang terjadi pada Oktober 2012
memberikan penguatan relasi antara masyarakat Balinuraga dengan
masyarakat Agom sebagai bagian dari masyarakat Provinsi Lampung dan
88
bagian dari warga Negara Republik Indonesia. Hal itu diakui oleh Wy. S,
dimana mereka mengakui benar merupakan warga keturunan dari etnis
Bali. Akan tetapi mereka juga tidak bisa menafikan bahwa mereka
merupakan Bagian dari masyarakat Lampung. Walaupun mereka
keturunan etnis Bali menurut Wy. S ketika mereka pulang ke tahan Bali
mereka dianggap sebagai warga Lampung.
Ya setelah konflik ini ya… sudah bagus semualah, ya artinya kami sudah
meluruskan kembali jadi kami tokoh adat sana maupun tokoh adat sini
sudah menjalin dan berkomitmen untuk hidup bersama. Artinya kami ini
sudah menjalin hubungan persaudaraan bahwa diantara kita ini tidak ada
musuh-musuhan, kita ini adalah saudara semuanya bangsa Indonesia.
Tidak ada negara ini negara itu, tidak ada daerah ini daerah itu. Kami ini
betul masyarakat Bali asal dari Bali, tapi kami ini warga Lampung, kalo
pun kami pulang ke Bali engga ada kami ini disebut warga Bali, kami ini
disebutnya ya warga Lampung, “nah ini orang Lampung pulang ini orang
Lampung”. Kami ini asalnya aja Bali sama kaya orang jawa, betul emang
keturunannya keturunan Jawa atau Bali tapi warganya ya tetep aja warga
Lampung KTP (Kartu Tanda Penduduk)nya aja Lampung kok. (wawancara
dengan Wy. S tokoh masyarakat Balinuraga, Lampung Selatan, Rabu 19
April 2017).
Hal ini menunjukan konflik yang terjadi tidak hanya memberikan
penguatan dalam hubungan kelompok masyarakat. Akan tetapi konflik
disini juga memperdalam sebuah makna yang ada, membangun integrasi
dalam masyarakat dan menumbuhkan identitas baru. Warga Balinuraga
memang merupakan bagian dari etnis Bali akan tetapi mereka merupakan
bagian dari penduduk Lampung, begitu pula dengan masyarakat Jawa,
Sunda dan etnis lainnya yang ada di Lampung. Bukan lagi Bali atau Jawa,
atau Lampung tetapi membawa kepada ikatan kebinekaan dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
89
3. Kehidupan Beragama Pasca Konflik di Balinuraga
Tidak dapat dihindari memang ketika konflik terjadi dalam
masyarakat berbagai perubahan dan dampak pasti akan banyak terjadi,
yang salah satunya peneliti sajikan dalam tulisan ini adalah fungsional
konflik yang terjadi. Akan tetapi terlepas dari fungsi positif konflik,
konflik yang terjadi juga akan berdampak pada kehidupan setelah konflik
itu sendiri, baik itu perubahan yang mengarah kembali pada tatanan awal
jauh sebelum konflik atau bahkan memperbarui yang telah ada.
Dalam konteks konflik yang terjadi antara Agom dengan Balinuraga,
banyak perubahan yang mengarah kepada perubahan yang merujuk kepada
hubungan jauh sebelum terjadinya konflik. Akan tetapi hal tersebut tidak
dapat lepas dari beberapa hal yang malah berubah mundur dari
seharusnya, salah satunya adalah perubahan kegaiatan keagamaan yang
terjadi di Balinuraga.
Mengenai kegiatan keagamaan. Salah satu informan dari desa Agom
mengatakan bahwa setelah kejadian konflik pada oktober 2012 kegiatan
keagamaan dari masyarakat Balinuraga sempat terganggu, yaitu ketika
upacara kematian (ngaben). Masyrakat Balinuraga saat itu sempat tidak
diperbolehkan untuk melintasi jalan desa Agom ketika hendak melakukan
upacara kematian (ngaben), sehingga masyarakat Balinuraga terpaksa
melintasi jalur yang lebih panjang jarak temuhnya. Akan tetapi saat ini
sudah kembali normal seperti biasa.
90
...sekarang umpama acara-acara ngaben apa-apa ya lewat, lewat biasa
engga ini, kalo dulukan kaya ini gimana… sekarang engga-ga rame kaya
dulu ya kalo ngaben lewat ya lewat aja biasa. Kalo dulu itukan sempat
ditutup engga boleh lewat ya setelah itu, pokoknya orang Bali ga boleh
lewat. Mau ngaben terserah lewatnya mau kemana, jauh lewatnya muter
Sidomulyo... (wawancara dengan PP tokoh masyarakat Agom, Lampung
Selatan, Selasa 18 April 2017).
Selain itu ketika upacara sebelum hari raya nyepi masyarakat
Balinuraga sering mengadakan upacara penyucian diri di Laut yang
rutenya harus melewati jalan Desa Agom. Terjadi perubahan dalam
kebiasaan upacara tersebut, yang biasanya masyarakat Bali dari Balinuraga
menggunakan pengeras suara dalam upacara tersebut tetapi setelah konflik
tidak lagi digunakan.
...Ya alhamdulillah bagus, kalau dulu itukan kalau mereka ada acara
sembahyang ke laut itu jalanan kaya diborong sama mereka, tapi sekarang
ya udah engga bahkan sekarang ini kita udah ga pernah denger suara
speaker (pengeras suara) di jalanan pas mereka lewat... (wawancara dengan
RS warga Desa Agom, Lampung Selatan, Kamis 20 April 2017).
Hal tersebut salah satunya yang menjadi polemik pasca konflik.
Dalam artian setalah konflik terjadi hal yang sebenarnya dapat
diselesaikan dengan rukun dalam kegaiatan keagamaan. Walaupun
demikian warga Balinuraga tetap menjalankan ritual keagamaan tersebut
dengan sebagaimana mestinya di desa mereka tanpa harus melakukan
kegiatan itu di laut seperti biasanya.
...Misalnya sebelum nyepi, di sebelum perayaan nyepi ini kami ini
sebenarnya wajib melaksanakan pembersihan diri ya kalo bisa itu di laut,
Karena laut itu menurut kepercayaan kami merupakan tempat untuk
menetralisir segala sesuatu yang ada dibumi. Makanya setelah kegiatan
bersuci itu makanya ada ada ogoh-ogoh itu mas… yang tujuannya untuk
menghancurkan sifat kegelapan dan kejahatan atau aura negatif yang ada di
kami. Makanya saya bilang tadi mas… biasanyakan kalo kami ini
menyucikan diri itu kelaut… sekalipun disana kita juga ngontrak
91
(sewa)kan, habis konflik itu, kami ini tidak diperbolehkan oleh saudara
kami ini yang disini ini, untuk kesana lagi. Nah katanya kami ini membawa
alat-alat musik yang mengganggu gitu, ya kami ini dengan sendirinya
ngikut mas. Nah makanya sekarang ini kan kami buat tempat disini ini
secara simbolis... (wawancara dengan K warga Balinuraga, Lampung
Selatan, Kamis 20 April 2017).
Sebenarnya dari perubahan-perubahan tersebut dapat kita maknai
sebagai suatu hal yang positif. Karena perubahan tersebut tidak menjadi
kendala atau penghalang masyarakat Balinuraga untuk mendekatkan diri
kepada yang maha kuasa. Terlebih lagi hal tesebut dilakukan untuk saling
menjaga dan saling menghormati antara masyarakat Desa Agom dengan
Balinuraga khususnya dan secara umum desa-desa yang berdekatan
dengan kedua desa tersebut. Yang pada akhirnya hal tersebut dapat
menjalin hubungan yang lebih baik dan menjaga integrasi yang telah
terbangun kembali.
92
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti tuangkan pada bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Konflik yang terjadi pada Oktober 2012 dan melibatkan masyarakat
Desa Agom dengan masyarakat Desa Balinuraga merupakan konflik yang
disebabkan oleh beberapa unsur pemicu konflik. Yang pertama adalah
mengenai kesenjangan ekonomi antara Balinuraga dengan Agom, akan tetapi
unsur ini tidak begitu signifikan dalam mempengaruhi terjadinya konflik
antara Balinuraga dengan Agom. Ekonomi menjadi salah satu unsur
penyebab konflik dikarenakan beberapa oknum dari Desa Balinuraga
bersikap arogan dan membunganakn hutang yang mereka pinjamkan kepada
masyarakat lain, sehingga isu ini yang menjadi terangkat sebagai salah satu
unsur penyebab konflik yang terjadi. Selain itu adalah perebutan lahan parkir
antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang. Dalam hal ini
menurut warga lokal lahan parkir tersebut seharunya dipegang oleh warga
lokal, tetapi faktanya warga Balinuraga banyak menguasai lahan parkir yang
ada disana. Pandangan warga agom juga melihat bagaimana warga
Balinuraga yang angkuh akibat dari kondisi perekonomian mereka yang
menurut warga Agom lebih maju dibandingkan warga Agom sendiri.
93
Yang kedua adalah akibat dari konflik lama yang belum usai dalam
penyelesaiannya. Beberapa informan mengatakan bahwa terdapat oknum
Balinuraga yang sering berbuat ulah dan keributan dibeberapa desa diluar
Agom, seperti Desa Sandaran, Pathok, Sidomulyo, Marga Catur, dan
beberapa desa lain yang disebutkan informan pernah terlibat konflik dengan
Balinuraga. akan tetapi konflik sebelum-sebelumnya tidak meluas dan tidak
pernah masuk kedalam catatan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
Kabupaten Lampung Selatan. Menutut informan yang peneliti temui beberapa
masyarakat di luar Balinuraga yang terlibat masalah atau konflik dengan
Balinuraga akan berakhir kepada pembakaran rumah. Namun, sayangnya
konflik tersebut tidak pernah diselesaikan secara tuntas.
Masalah yang ketiga yang menjadi salah satu unsur konflik pada
Oktober 2012 di Lampung Selatan dan melibatkan Balinuraga dengan Agom
adalah insiden jatuhnya dua perempuan Desa Agom akibat ulah beberapa
pemuda Balinuraga. insiden ini yang dioleh oleh beberapa pihak yang tidak
bertanggung jawab sebagai insiden pelecehan seksual yang dilakukan oleh
pemuda Balinuraga kepada dua perempuan desa Agom.
Dari beberapa unsur yang telah peneliti sebutkan dalam paragraf
sebelumnya. Unsur yang paling berpengaruh dalam memicu konflik yang
terjadi menurut peneliti adalah konflik masa lalu yang tidak terselesaikan dan
penggiringan isu terjadinya pelecehan seksual ketika insiden jatunya
perempuan dari Desa Agom. Sehingga konflik tersebut membesar dan
94
menyatukan warga lokan dari berbagai wilayah yang ada di Lampung Selatan
maupun di luar Lampung selatan. Akibat dari hal tesebut terjadilah
penyerangan ke Desa Balinuraga yang dilakukan oleh warga lokal dan
mengakibatkan beberapa rumah warga dan fasilitas umum seperti sekolah
musnah terbakan dan dirusak oleh warga lokal.
Akibat dari konflik yang terjadi antara Balinuraga dengan Agom
memberikan dampak dan perubahan, baik di dalam masing-masing kelompok
maupun hubungan antara kedua kelompok. konflik yang terjadi itu
memberikan perubahan dalam masyarakat Balinuraga diantaranya perubahan
dalam sipak pemuda yang kini sudah dapat diatur dengan tertib,
menumbuhkan spirit keagamaan di dalam diri pemuda dan meningkatkan
minat pemuda dalam kegiatan pasraman (sekolah keagamaan/pesanteran),
mengeratkan hubungan di dalam masyarakat Balinuraga sendiri maupun
mengeratkan hubungan antara Balinuraga dengan Agom. Tidak hanya terjadi
di Desa Balinuraga perubahan tersebut juga dialami oleh warga Agom,
konflik yang terjadi itu menguatkan hubungan antara masyarakat lokal,
membangung hubungan antara masyarakat lokal dengan pendatang (Jawa,
Sunda, Batak, Bali dan lainnya), konflik tersebut juga memberikan dapak
kepada semangat dalam menumbuhkan perekonomian mereka. Tidak hanya
itu, konflik yang terjadi antara Balinuraga dengan Agom juga mengeratkan
hubungan antara masyarakat kedua desa itu. Membangkitkan hubungan
sebagai identitas warga Lampung.
95
B. Saran
Telah banyak penelitian yang berkaitan dengan konflik yang terjadi di
Lampung Selatan, yang melibatkan Desa Agom dan Desa Balinuraga. salah
satunya adalah penelitian yang peneliti lakukan mengenai relasi masyarakat
pasca konflik, dari penelitian tersebut memunculkan beberapa saran, antara
lain:
1. Pada penelitian berikutnya disarankan untuk mengkaji lebih
mendalam mengenai konflik yang terjadi di Lampung.
Dikarenakan peneliti mengakui pada penelitian ini masih banyak
kekurangan. Penelitian selanjutnya dapat mendalami mengenai
pola hubungan antar kelompok (seperti: akulturasi, dominasi,
paternalisme, dan pluralisme), dan mendalami mengenai
stereotype yang muncul setelah terjadinya konflik (baik dari
Balinuraga ke masyarakat lokal maupun dari masyarakat lokal ke
Balinuraga).
2. Untuk Pemerintah daerah Provinsi Lampung maupun pemerintah
kabupaten Lampung Selatan seharusnya dapat lebih reaktif kepada
hal-hal yang memicu konflik dan dapat me-manage konflik yang
ada di Lampung khususnya di daerah-daerah yang rawan terhadap
konflik, karena tidak dipungkiri Lampung merupakan wilayah
yang terdapat beragam etnis.
96
Daftar Pustaka
Buku
Bachtiar, Wardi. “Sosioogi Klasik dari Comte hingga Parsons”. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2010.
Bungin, Burhan. Metode Penelitian Sosial dan Ekonomi. Jakarta : Kencana
Prenada Group, 2013.
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung tahun 2010 terhadap sensus
penduduk menurut suku bangsa.
Coser, Lewis A. The Function of Social Conflict. New York: The Free Press, a
Corporation, 1958.
Herdiansyah, Haris. Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu sosial. Jakarta:
Salemba Humanika, 2012.
Jhonson, Doyle Paul. “Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid II”. Jakarta:
Gramedia Pustka Utama, 1994.
Maliki, Zainuddin. Rekonstruksi Teori Sosial Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2012.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2009.
Na‟im, Akhsan dan Syaputra, Hendry. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama
dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia (Hasil Sensus Peduduk
2010). Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Poloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer. Diterjemahkan dari Buku
Contemporary Sociological Theory Oleh Tim Penerjemah YASOGAMA.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Raho, Bernad. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi (Dari Teori Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern).
Penerjemah Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009.
Sabaruddin. Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir Dialek O/Nyow dan Dialek
A/Api. Jakarta: Buletin Way Lima Maninjau, 2012.
Salam, Syamsir. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
Setyawan, Agus. dkk. Merajut Jurnalisme Damai di Lampunng. Bandar
Lampung: AJI Bandar Lampung, 2012.
97
Sulistyaningsih. Metodologi Penelitian Kebidanan: Kualitatif -Kuantitatif .
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.
Surahmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik.
Bandung: Tarsiti, 1990.
Susan, Novri. Pengantar Sosiologi Konflik. cet. Ke-3. Jakarta: Prenadamedia
Group, 2014.
Wirawan, Ida Bagus. Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2013.
____________. Data dan Fakta Kabupaten Lampung Selatan. Pemerintah
Kabupaten Lampung Selatan, 2012.
Disertasi
Pattinama, Eklefina. “Integrasi Pasca Konflik (Studi Kasus di Saparua Maluku
Tengah)” Disertasi Doktor Antropologi, Universitas Indonesia.
Skripsi
Mustikawati, Inggrid Galuh. “Pengungsi dan Penduduk Lokal: Studi Kasus,
Hubungan Antar Kelompok Pasca Konflik Sampit di Kecamatan Landasan
Ulin, Banjarbaru Kalimatan Selatan”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Rahwono, Bodro Sigit. “Konflik dan Rekosiliasi Etnik di Mesuji. (Studi Pada
Masyarakat Pribumi dan Pendatang di Kecamatan Mesuji, Kabupten Oku,
Sumatera Selatan”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014. Akses
internet http://digilib.uin-
suka.ac.id/15452/21/BAB%2520I,%2520V,%2529DAFTAR%2520PUST
AKA.pdf diunduh pada 1 september 2016.
Tulisan Ilmiah
Djana, Amrul. dkk., Interaksi Sosial Pasca Konflik Horisontal (Studi Kasus Pada
Komunitas Islam-Kristen di Kecamtan Tobelo Utara Kabupaten
Halmahera Utara). Akses internet dari
pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/160053a460ba1bc56fb243d7d5e16cd1.pdf
diunduh pada 27 september 2016.
Rasyid, Imron. dkk. Program Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan THE
HABIBIE CENTER (THC). Peta Kekerasan Di Indonesia (September-
Desmber 2013 Dan ) Dan Konflik Antar Kelompok Di Indonesia. Edisi 6/
Maret 2014.
Utami, Anisa. “Resolusi Konflik Antar Etnis Kabupaten Lampung Selatan (Studi
Kasus: Konflik Suku Bali Desa Balinuraga Dan Suku Lampung Desa
98
Agom Kabupaten Lampung Selatan”, mahasiswa Ilmu Pemeritahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro.
Berita online
Noor, Firman. Kompleksitas Konflik Lampung, Nasional.kompas.com, Minggu, 4
November 2012 diakses pada 6 Maret 2017 dari
http://nasional.kompas.com/read/2012/11/04/08580419/Kompleksitas.Kon
flik.Lampung.
Setiawan, Aris. dkk. Lampung Selatan Berdarah, Siapa Salah?, Viva.co.id, 30
Oktober 2012. Diakses pada 5 Maret 2017 dari
http://fokus.news.viva.co.id/news/read/363482-lampung-selatan-berdarah-
siapa-salah
Budiman, Aditya. Pemicu Bentrokan Lampung Versi Penduduk, Tempo.co, 1
November 2012, diakses ada 5 Maret 2017 dari
https://m.tempo.co/read/news/2012/11/01/058439069/pemicu-bentrokan-
lampung-versi-penduduk
____________. Bentrokan disebabkan Konflik Lama. News.Liputan6.com, 4
November 2012, diakses pada 10 Agustus 2017 dari Liputan 6,
http://news.liputan6.com/read/449920/bentrokan-disebabkan-konflik-lama
Dokumen lain
____________. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Agom Tahun
2016-2021. Pemerintah Desa Agom
____________. Profil Desa Balinuraga. Pemerintah Desa Balinuraga
Sumber wawancara
Wawancara pribadi dengan Informan MS tokoh masyarakat Desa Balinuraga,
Lampung Selatan, Jumat 21 April 2017.
Wawancara pribadi dengan Informan KA warga Desa Balinuraga, Lampung
Selatan, Kamis 20 April 2017.
Wawancara pribadi dengan Informan K warga Desa Balinuraga, Lampung
Selatan, Kamis 20 April 2017.
Wawancara pribadi dengan Informan WG warga Desa Balinuraga, Lampung
Selatan, Rabu 19 April 2017.
Wawancara pribadi dengan Informan WJ warga Desa Balinuraga, Lampung
Selatan, Rabu 19 April 2017.
99
Wawancara pribadi dengan Informan Wy. S tokoh masyarakat Desa Balinuraga,
Lampung Selatan, Rabu 19 April 2017.
Wawancara pribadi dengan Informan PP tokoh masyarakat Desa Agom, Lampung
Selatan, Selasa 18 April 2017.
Wawancara pribadi dengan Informan RS warga Desa Agom, Lampung Selatan,
Kamis 20 April 2017.
Wawancara pribadi dengan Informan Y warga Desa Agom, Lampung Selatan,
Selasa 18 April 2017.
Wawancara pribadi dengan Informan Z warga Desa Agom, Lampung Selatan,
Kamis 20 April 2017.
Wawancara pribadi dengan Informan PLT tokoh masyarakat Desa Agom,
Lampung Selatan, Rabu 19 April 2017.
Wawancara pribadi dengan Informan RO warga Desa Agom, Lampung Selatan,
Selasa 18 April 2017.
Wawancara pribadi dengan Informan IS KESBANGPOL Lampung Selatan,
Lampung Selatan, Senin 24 April 2017
.