relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

43
97 BAB V BENTUK RELASI KUASA DALAM PENGELOLAAN RESOR WISATA NUSA DUA Bab ini membahas bentuk relasi kuasa dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua, juga sekaligus menjawab pertanyan pertama permasalahan dalam penelitian ini. Dalam bab ini mencakup hubungan relasi kuasa yang terjadi dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua dan adanya hegemoni pemerintah terhadap masyarakat dalam bentuk kekuasaan pemerintah, kekuasaan investor khususnya pemilik modal yang membangun hotel di Resor Wisata Nusa Dua, dan adanya kekuasan oposisional atau perlawanan masyarakat. Untuk membahas lebih lanjut bab ini akan digunakan teori hegemoni Antonio Gramsci dan juga mengaitkan dengan teori diskursus Michel Foucault. Hegemoni adalah konsep analisis yang diperkenalkan Gramsci dan mendapat banyak sambutan oleh kalangan tokoh kajian budaya. Mereka mendapatkan bahwa konsep hegemoni sangat produktif dalam memahami makna teks (Lewis 2008:78). Ahli sosiologi Frank Parkin (1971) mengembangkan hegemoni dalam analisis sosiologi sedangkan ahli kajian media Stuart Hall menggunakan konsep hegemoni dalam studinya tentang respon masyarakat dalam menonton acara televisi. Hall (dalam Storey 1996: 12-13) membagi tiga jenis penonton televisi dalam merespon wacana acara televisi, yaitu the dominant- hegemonic position (posisi terhegemoni secara dominan), the negotiated position (posisi negosiasi), dan the oppositional code (posisi oposisional).

Upload: trinhnhu

Post on 31-Dec-2016

230 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

97

BAB V

BENTUK RELASI KUASA DALAM PENGELOLAAN RESOR WISATA

NUSA DUA

Bab ini membahas bentuk relasi kuasa dalam pengelolaan Resor Wisata

Nusa Dua, juga sekaligus menjawab pertanyan pertama permasalahan dalam

penelitian ini. Dalam bab ini mencakup hubungan relasi kuasa yang terjadi dalam

pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua dan adanya hegemoni pemerintah terhadap

masyarakat dalam bentuk kekuasaan pemerintah, kekuasaan investor khususnya

pemilik modal yang membangun hotel di Resor Wisata Nusa Dua, dan adanya

kekuasan oposisional atau perlawanan masyarakat. Untuk membahas lebih lanjut

bab ini akan digunakan teori hegemoni Antonio Gramsci dan juga mengaitkan

dengan teori diskursus Michel Foucault.

Hegemoni adalah konsep analisis yang diperkenalkan Gramsci dan

mendapat banyak sambutan oleh kalangan tokoh kajian budaya. Mereka

mendapatkan bahwa konsep hegemoni sangat produktif dalam memahami makna

teks (Lewis 2008:78). Ahli sosiologi Frank Parkin (1971) mengembangkan

hegemoni dalam analisis sosiologi sedangkan ahli kajian media Stuart Hall

menggunakan konsep hegemoni dalam studinya tentang respon masyarakat dalam

menonton acara televisi. Hall (dalam Storey 1996: 12-13) membagi tiga jenis

penonton televisi dalam merespon wacana acara televisi, yaitu the dominant-

hegemonic position (posisi terhegemoni secara dominan), the negotiated position

(posisi negosiasi), dan the oppositional code (posisi oposisional).

Page 2: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

98

Alat analisis dalam disertasi ini menggunakan konsep hegemoni Gamsci

dan kemudian pengembangannya yang dilakukan Hall. Dalam posisi terhegemoni

berarti masyarakat atau penonton televisi menerima tanpa sikap kritis makna yang

disampaikan lewat acara televisi, sedangkan mereka yang dalam posisi negosiasi

melakukan pemahaman secara kritis atas makna yang disampaikan dengan sikap

mungkin menerima atau menolak sebagian, sedangkan mereka yang mengambil

posisi oposisional sepenuhnya menolak pesan-pesan yang ditanamkan dalam

wacana acara televisi. Konsep teks dalam kajian budaya bermakna luas, bukan

saja mengacu pada teks sastra, acara televisi, tetapi juga segala bentuk komunikasi

dan relasi yang berujung pada pemaknaan.

Relasi antara pilar-pilar dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua juga

dapat dijelaskan dalam tiga bentuk yaitu relasi hegemoni, relasi negosiasi, dan

relasi oposisi. Dalam relasi hegemoni posisi pemerintah/BTDC lebih dominan

daripada masyarakat, artinya bahwa masyarakat tunduk pada wacana dan

gagasan-gagasan pemerintah, sedangkan dalam relasi negosiasi dan oposisional

kondisinya bergeser di mana masyarakat mulai berani melakukan tawar-menawar

atas apa yang dilakukan pemerintah/BTDC dalam konteks pengelolaan dan

pengembangan Resor Wisata Nusa Dua. Relasi kuasa tersebut dipengaruhi oleh

situasi makro sosial politik Indonesia dan daerah.

Relasi kuasa hegemonik mewarnai hubungan antara pemerintah dan

masyarakat sekitar Nusa Dua pada masa proses pembebasan tanah dan

pembangunan hotel-hotel. Relasi kuasa hegemonik sedikit demi sedikit mendapat

negosiasi menjelang jatuhnya kekuasaan Orde Baru akhir tahun 1990-an. Relasi

Page 3: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

99

oposisional semakin mewarnai hubungan ketiga pilar pasca-reformasi. Era

demokratisasi dalam dunia politik juga mewarnai keberanian masyarakat di Nusa

Dua dan sekitarnya untuk melakukan oposisi terhadap kepentingan penguasa dan

pengusaha. Bab ini dibagi menjadi tiga bagian utama, yang membahas tiga bentuk

relasi kuasa, yaitu relasi kuasa hegemonik, negosiasi, dan oposisi.

5.1 Relasi Kuasa Hegemonik

Relasi kuasa hegemonik dirasakan masyarakat dalam berhadapan dengan

pemerintah dalam proses perencanaan, pembebasan tanah, dan pembangunan

resor wisata Nusa Dua. Situasi hegemonik berlanjut dalam proses pengelolaan.

Dalam proses perencanaan pembangunan, pembebasan tanah, dan pelaksanaan

pembangunan, kuasa pemerintah sangat menonjol, sementara masyarakat di

wilayah terdampak langsung dengan pembangunan resor wisata Nusa Dua ini

kurang mendapat ruang untuk menyampaikan aspirasinya. Mereka menjadi objek

pembangunan. Mereka mesti mendukung pembangunan resor Nusa Dua sebagai

destinasi wisata kelas mewah. Hal ini terjadi karena pada zaman Orde Baru yang

bersifat sentralistik bahkan otoriter, rakyat tidak memiliki kekuatan yang cukup

untuk menawar apalagi menolak program pemerintah. Jika mereka melakukan

penolakan, mereka bisa dituduh menghambat pembangunan dan resikonya cukup

serius, sehingga tidak mengherankan banyak masyarakat yang menghindari untuk

berbeda haluan dengan pemerintah, termasuk masyarakat sekitar Resor Wisata

Nusa Dua.

Page 4: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

100

Dalam pembebasan tanah Nusa Dua pemerintah melakukan hegemoni

dengan cara memberi argumen bahwa daerah Nusa Dua yang gersang (lihat

Gambar 5.1). Pernyataan bahwa tanah di sana gersang dan kurang produktif

adalah benar untuk masa itu. Masyarakat hanya menanam kelapa dan memelihara

ternak sapi dan kerbau yang pakan rumputnya dihasilkan dari tanah yang gersang.

Wacana yang diajukan kemudian adalah menyulap tanah gersang yang kurang

produktif menjadi proyek pariwisata yang lebih menguntungkan semua pihak,

termasuk tentunya rakyat sekitar. Proyek pariwisata yang dibangun akan menjadi

destinasi wisata yang dapat membuka lapangan pekerjaan dan sumber daya

ekonomi baru untuk kesejahteraan masyarakat. Karena tanah tersebut tidak

produktif sebagai lahan pertanian pemerintah membeli tanah masyarakat dengan

harga yang ditentukan oleh pemerintah yaitu dengan harga murah. Dengan harga

yang ditentukan oleh pemerintah tersebut, masyarakat harus menjualnya. Setiap

tindakan hegemoni terhadap suatu kelas atau golongan secara sadar maupun tidak

sadar ada yang mendukung dan ada yang tidak mendukung terhadap keberadaan

Resor Wisata Nusa Dua. Bagaimana respon masyarakat atas wacana pemerintah

membangun resor wisata, tampak dari pendapat I Made Kuna, mantan Bendesa

Adat Bualu (periode 1982-2007), yang juga adalah anggota masyarakat yang

tanahnya ikut dibebaskan. Dengan demikian, pernyataan Made Kuna bisa dilihat

secara kuat karena mewakili dirinya sebagai anggota dan sebagai tokoh yang

mewakili warganya. Dalam wawancaranya, Made Kuna menyampaikan:

Awalnya berkisar tahun 1970-1971, pemerintah menginformasikan kepadamasyarakat keperbekelan Benoa bahwa tanah yang lokasinya di pinggirpantai sebelah timur akan dibebaskan pemerintah dan akan dibangun untukkegiatan pariwisata. Penjelasan aparat pemerintah, bagi masyarakat yang

Page 5: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

101

memiliki tanah tersebut akan diberikan ganti rugi sesuai harga tanah yangditetapkan oleh pemerintah, saat itu saya/kami keluarga merasa sedihkarena tanah warisan kami akan dijual. Namun, karena ini untukkepentingan pemerintah dan adanya janji pemerintah bila tanah yang tidakproduktif, kering, dan tidak subur akan dibangun untuk kepentinganpariwisata dan akan memberikan tingkat kesejahteraan lebih baik kepadamasyarakat melalui bisa ditampung sebagai pekerja, bisa berusaha sebagaipeluang kerja dan berusaha semakin banyak dan bisa menghasilkan danmeningkatkan perekonomian masyarakat (Wawancara 1 Juni 2014).

Wacana pemerintah yang bisa ditangkap dari ungkapan I Made Kuna

tersurat dan tersirat dalam pilihan kata seperti ‘tanah kering, tidak produktif’ yang

akan ‘dibebaskan’ oleh pemerintah untuk pembangunan pariwisata yang dapat

menampung tenaga kerja, yang dapat membantu masyarakat untuk menjadi

sejahtera. Terkesan kuat bahwa Made Kuna menerima gagasan pembebasan tanah

karena dilakukan pemerintah untuk kepentingan pembangunan pariwisata. Idiom

‘pembangunan’ sangat kuat dalam era Suharto, kata-kata yang bisa menyilaukan

sekaligus menakutkan sehingga tidak ada kemampuan untuk menolak. Dari

sumber lain, seperti dikutip Madiun (2010), kita mengetahui bahwa sejumlah

masyarakat mengalami intimidasi dalam proses pembebasan tanah.

Gambar 5.1.Nusa Dua tahun 1970, dianggap tanah gersang dan tak produktif

(Repro laporan SCETO 1970).

Page 6: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

102

Dalam proses pembebasan itu, harga tanah ditentukan secara sepihak oleh

pemerintah, tapi, seperti kata Made Kuna, masyarakat yang merasa sedih akan

melepaskan tanahnya biasanya menerima saja apa yang diberikan oleh

pemerintah. Lebih lanjut Made Kuna menyampaikan ingatannya sebagai berikut:

Pada waktu itu tanah kami dibebaskan dan dibayar dengan hargaRp.6.000,- - Rp.10.000,-/are sesuai dengan kelas tanah. Kami pemiliktanah walaupun ada perasaan sedih tidak bisa berbuat lain, akhirnyamenyetujui untuk melepaskan tanah dan menerima ganti rugi tanah sesuaiyang ditetapkan pemerintah.

Dalam proses ganti rugi itu, pemerintah mencoba menunjukkan sikapnya

yang bajik dengan kemudian memberikan ganti rugi lain seperti membayar pohon

kelapa di atas tanah dan memberikan kompensasi kepada masyarakat berupa tanah

kapling, seperti dituturkan oleh Made Kuna:

Setelah berjalan beberapa waktu kembali pemerintah ada perhatian untukmengganti rugi. Semua pohon kelapa dibayar dan semua bangunan yangada di atasnya juga diberi ganti rugi. Sebagai kompensasi masing-masingkepala keluarga diberi tanah kapling 3,5 are.

Dalam studinya, Madiun (2010) mendapatkan bahwa terjadi intimidasi

dalam proses pembebasan tanah. Masyarakat menerima nilai ganti rugi dan

kompensasi atas tanah yang diserahkan bukan karena mereka sepenuhnya

mendukung program pembangunan daerah wisata tetapi karena perasaan takut

dari intimidasi. Relasi kuasa yang tidak seimbang. Namun, agar tidak dituduh

sebagai penghambat program pembangunan pemerintah, masyarakat yang

tanahnya harus diserahkan memilih menerima keputusan pemerintah.

Secara nyata masyarakat yang tanahnya dibebaskan secara langsung,

tersirat rasa menolak atas pembebasan tanah milik mereka oleh pemerintah. Tetapi

Page 7: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

103

di balik pembebasan tanah tersebut pemerintah yang didukung oleh kekuatan dan

pengetahuan yang lebih tinggi dari masyarakat dapat secara sadar maupun tidak

sadar telah membuat pikiran masyarakat untuk membanggakan BTDC karena

memberi ganti rugi, di sinilah berjalannya hegemoni kuasa dan pengetahuan

BTDC dengan halus tanpa disadari oleh masyarakat. Pemerintah menggunakan

mekanisme wacana yang di-back up dengan bentuk intimidasi dalam memperoleh

dominasinya atau memelihara hegemoninya.

Proses pembebasan tanah dan pembangunan berjalan sesuai rencana,

mengesankan masyarakat menerima dengan lapang dada dan mendukung proyek

pembangunan pariwisata di Nusa Dua. Tahun 1983, Presiden Suharto datang ke

Nusa Dua untuk meresmikan beroperasinya hotel pertama di resor tersebut yaitu

Nusa Dua Beach Hotel. Proses pengelolaan dengan sistem sewa pun berjalan

seperti direncanakan, hampir tidak ada persoalan yang muncul di antara penguasa,

pengusaha, dan masyarakat. Daerah yang dahulunya sangat gersang dan tidak

menjanjikan bagi pertanian sekarang diubah dan ditata menjadi resor pariwisata

seperti pada Gambar 5.2.

Gambar 5.2.Tugu Selamat Datang Nusa Dua

(Dok. Purnaya 2014)

Page 8: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

104

Sebagaimana yang dipaparkan Anak Agung Gede Rai Direktur Utama PT

Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) atau BTDC periode 1995-2001

menyatakan:

Pada awalnya hubungan BTDC (dalam hal ini pemerintah yang mengelolawilayah Nusa Dua) dengan rakyat Bualu dan sekitarnya berjalan normal,walaupun sering terasa adanya “rasa irihati” (jealousy) dari sejumlahindividu di wilayah tersebut. Individu-individu barangkali agak “kaget”,mengingat Nusa Dua yang pada awalnya merupakan wilayah gersang,tidak memberikan harapan apa-apa dari segi pertanian, setelahdikembangkan, ditata dan dilengkapi dengan berbagai infra strukturmenjadi tempat pembangunan sejumlah hotel, lapangan golf dan saranalainnya lalu berubah total menjadi penghasil uang. Pertama-tama terasaadanya keinginan untuk mendapatkan “bagian” dari keberhasilanpembangunan itu (Wawancara 5 April 2014).

Namun, karena secara hukum, masyarakat sudah melepaskan hak atas

tanahnya, tentu saja mereka tidak memiliki dasar untuk melampiaskan ‘rasa

irihatinya’. Dalam relasi kuasa antara penguasa/BTDC, pengusaha, dan

masyarakat di mana pemerintah lebih kuat, maka masyarakat menerima apa yang

terjadi. Anak Agung Gede Rai, menyatakan bahwa hampir tidak ada masalah

antara penguasa dan masyarakat di Nusa Dua, paling tidak sampai tahun 1999.

Persoalan serius justru terjadi tahun 1999, dampak dari kegagalan Megawati

menjadi Presiden. Dalam wawancara AA Gede Rai mengungkapkan:

Dari tahun 1995 sampai tahun 2001, tidak ada catatan peristiwamiskomunikasi dengan masyarakat. Peristiwa kerusuhan tahun 1999sebagai dampak kegagalan seorang calon presiden menduduki Posisi RI I,sangat tidak dapat dimengerti mengapa Facade di jalan masuk kawasanBTDC, sebagian perumahan Direksi, serta kendaraan dirusak olehsekelompok orang (Wawancara 5 April 2014).

Posisi BTDC selaku badan usaha milik negara dalam mengelola Resor

Wisata Nusa Dua dijelaskan oleh A.A Gede Rai akan menangani hal yang

Page 9: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

105

merupakan kewenangannya. Jika ada masalah tanah atau ganti rugi yang belum

tuntas, BTDC menyerahkan kepada pihak pemerintah.

Mulai dari tahun 1995, ahli waris seorang warga Bualu pernah mengirabahwa sebidang tanah yang kini merupakan bagian dari Lapangan GolfNusa Dua, tidak lain dari tanah leluhurnya yang tidak dibayar olehPemerintah saat proses pembebasan tanah untuk membangun ResorWisata Nusa Dua berlangsung. Beberapa anggota DPRD Bali pernah ikutmemeriksa tanah tersebut dan dokumen-dokumennya. Jika terjadimisunderstanding dengan masyarakat solusi yang ditempuh, kalaumasalah tanah seperti tersebut dianggap sebagai misunderstanding, yangjelas pihak BTDC telah mengambil kebijakan solusi berupa penyerahanmasalah tersebut kepada instansi pemerintah yang berwenang, mengingatbahwa pemilik tanah itu sejak pembebasan tanah, berdasarkan Akta tidaklain dari BTDC (Wawancara 5 April 2014).

Penguasa dan pemerintah yang sejak awal dalam uraian ini diasumsikan

sebagai satu pilar, dalam kenyataannya adalah terdiri dari berbagai instansi

dengan tugas dan fungsi masing-masing, dan ini nyata dalam proses

perkembangan pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua. Untuk urusan pengelolaan

resor, BTDC hadir sebagai wakil penguasa atau pemerintah, sedangkan dalam

urusan legalitas kepemilikan tanah, ada badan pemerintah yang menangani dan

jika ada masalah, BTDC menyerahkan kepada badan pemerintah lokal terkait.

Dalam keterangan di atas, AA Gede Rai menunjukkan peran dan fungsi badan

yang dipimpinnya dan badan pemerintah lain dengan urusan terkait dengan Nusa

Dua. Di satu pihak penyaluran itu memang sesuai prosedur karena tidak mungkin

menuntut BTDC untuk menangani apa yang bukan menjadi bidangnya, di lain

pihak penyaluran solusi itu mengesankan BTDC menutup pintu dialog. Pada

zaman Orde Baru masih kuat, pola penyelesaian seperti itu adalah biasa terjadi,

masyarakat biasanya merasa pasrah dan menerima. Mereka tidak merasa berada

Page 10: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

106

dalam dominasi atau hegemoni pemerintah. Namun, sesudah jatuhnya Orde Baru,

dan mulai berlangsungnya era reformasi, situasi berubah dan ikut mengubah relasi

antara BTDC dan masyarakat.

5.2 Relasi Kuasa Negosiasi Pasca-Reformasi

Perkembangan pariwisata tidak saja berkaitan dengan angka kunjungan

dan kenyamanan di destinasi tetapi juga sangat dipengaruhi oleh situasi sosial

politik dalam negeri tuan rumah. Hal ini terlihat jelas dalam pengelolaan Resor

Wisata Nusa Dua. Riak-riak protes yang sempat muncul sebelum reformasi dan

dengan mudah diberangus oleh pemerintah, mulai menguat dalam masa reformasi

dan pihak pemerintah tidak mudah membungkamnya. Penguasa atau pengusaha di

Nusa Dua tidak bisa menganggap keluhan, protes, permintaan, demonstrasi

masyarakat sebagai angin lalu yang bisa diselesaikan dengan ancaman aparat atau

ancaman hukum.

Ungkapan AA Gede Rai menunjukkan adanya aspirasi masyarakat yang

mulai diangkat ke permukaan. Terjadi pergeseran dari sifat pasrah masyarakat

menjadi mulai mengartikulasikan kepentingan. Jika dilihat dari perjalanan waktu,

pergeseran keberanian masyarakat menyampaikan aspirasi terjadi sejalan dengan

berubahnya iklim sosial politik di Indonesia, yakni mulai melemahnya kekuasaan

Orde Baru dan mulai menguatnya dorongan untuk reformasi.

Hal seperti itu juga terjadi pada waktu-waktu kemudian, bahkan

masyarakat tampak lebih melebarkan berbagai kepentingannya dalam

mendapatkan hak menikmati keuntungan ekonomi pariwisata di Nusa Dua. Pada

Page 11: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

107

masa manajemen BTDC dipegang oleh Dirut Ida Bagus Wirajaya (periode 2011-

sekarang), misalnya, relasi kuasa antara BTDC dan masyarakat diwarnai dengan

dialog dan negosiasi untuk keuntungan semua pihak, terutama dalam kerangka

mengembangkan Nusa Dua sebagai resor mewah (Gambar 5.3) tanpa

mengabaikan kebutuhan masyarakat dalam menjalankan hak hidupnya untuk

mencari nafkah. Wirajaya menyampaikan usaha-usahanya untuk mencari jalan ke

luar dalam miskomunikasi yang terjadi:

Miskomunikasi terjadi tentang masalah persepsi peruntukan kawasan NusaDua, BTDC dengan konsep luxurious resort menghendaki keamanan dankenyamanan wisatawan yang tinggal di Nusa Dua. Tidak terlalu banyakdiganggu oleh para pedagang, di sisi lain bagi masyarakat, denganbanyaknya wisatawan yang berjemur di pantai adalah peluang untukberjualan. Persepsi tentang kualitas angkutan (taxi) hotel menghendakiangkutan wisatawan harus bagus, bersih dan harga pasti (argo taxi),sedang masyarakat menghendaki dapat ikut melayani wisatawan dengantaxi miliknya yang belum ada argonya (Wawancara 12 Maret 2014).

Dalam menyelesaikan persoalan miskomunikasi, Dirut BTDC melakukan

tindak komunikasi dengan melakukan dialog dan memberikan pengertian sesuai

dengan peraturan yang berlaku dan nilai-nilai etika yang berlaku. Mekanisme

yang diajukan dalam dialog adalah ketentuan normatif yang tampaknya lebih

berpihak pada mempertahnkan kepentingan BTDC. Yang penting juga, demi

tercapai pembangunan pariwisata yang berorientasi kesejahteraan rakyat, pihak

BTDC mengizinkan mereka berusaha asal tertib. Lebih lanjut, Wirajaya

menyampaikan:

Bila terjadi miskomunikasi dengan masyarakat, BTDC lakukanpendekatan dengan para tokoh baik yang formal maupun tidak formaldengan menjelaskan atau menanyakan keinginan masyarakat, solusinyabiasanya kita cari jalan ke luar yang saling menguntungkan sepertimasalah pedagang pantai yang sesuai dengan konsep Kawasan Nusa Dua

Page 12: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

108

dan PERDA II Pemda Badung tidak membolehkan kegiatan di pantai yangsifatnya komersial, tetapi karena kebutuhan masyarakat untuk ikutmenikmati pembangunan pariwisata dengan kemampuan yangdimilikinya, maka, BTDC memberikan mereka berdagang dengan syaratharus tertib dan ramah, dan mereka harus membentuk kelompok untukmemudahkan pembinaan. Masalah Taxi argo, BTDC mengadakanpendekatan dengan pihak hotel agar memberikan kesempatan kepadamasyarakat pemilik taxi ikut antre di hotel masing-masing sebanyak 5 unittaxi secara bergiliran. Masyarakat diharuskan memasang argo pada taxinyasecara bertahap sehingga pelayanannya lebih baik (Wawancara 12 Maret2014).

Gambar 5.3.Nusa Dua tertata baik, sangat berbeda dengan dahulu ketika masih gersang.

(Dok. Purnaya, 2014).

Berbeda dengan pada era Orde Baru, ketika relasi kuasa antara pemerintah

dan masyarakat tampak tidak seimbang, di mana masyarakat berada di pihak yang

‘mesti’ mengalah atau ‘dikalahkan’, pada masa reformasi pemerintah mau tidak

mau harus mendengarkan aspirasi dan tuntutan masyarakat, apalagi kalau itu

memang murni tuntutan untuk mendapatkan mata pencaharian yang merupakan

hak masyarakat.

Page 13: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

109

Dialog sebagai bentuk negosiasi dalam membahas kepentingan bertujuan

untuk mendapatkan hal terbaik dari semua pihak terkait. Harmonis adalah tujuan

utama dialog. Dalam konteks pengelolaan BTDC, harmonisnya hubungan antara

ketiga pilar akan membuat suasana di Resor Wisata Nusa Dua akan nyaman, yang

ujung-ujungnya akan mendukung destinasi kelas mewah itu dalam memuaskan

wisatawan yang menginap dan berkunjung ke sana. Menjelaskan hubungan BTDC

dengan masyarakat dewasa ini, Ida Bagus Wirajaya, sebagai Dirut BTDC

memaparkan “Hubungan BTDC dengan masyarakat sampai saat ini cukup

harmonis dan saling memahami dengan posisi masing-masing, saling

membutuhkan satu sama lainnya (Wawancara 12 Maret 2014)”.

Pemaparan antara Direktur Utama BTDC periode 1995-2001 dan periode

2011–sekarang di atas mempunyai perbedaan yang mencolok. Hal ini bisa

disebabkan pada masa jabatan direktur utama periode 1995-2001 terjadi banyak

persoalan pada masa jabatannya menyusul dengan euforia politik yang mendorong

kesadaran publik dalam menuntut haknya, sedangkan pada masa direktur utama

periode 2011- sekarang, persoalan-persoalan tersebut sudah mulai hilang karena

sudah dicarikan solusi. Penegakan hukum mulai tertata sehingga jika ada

persoalan, regulasi atau ketentuan dijadikan patokan pemecahan masalah. Semua

instansi, termasuk BTDC harus cepat tanggap terhadap persoalan yang berkaitan

dengannya. Sehubungan dengan hal-hal ini, negosiasi tidak perlu sampai menjadi

tindak oposisi. Upaya dialog sebagai tindak komunikasi diutamakan sehingga

masalah yang muncul tidak semenonjol pada masa lalu. Setiap pilar merasakan

Page 14: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

110

memiliki kuasa yang terbatas dan sama-sama bertindak berdasarkan regulasi atau

hukum.

Jika ditelaah ke belakang secara tidak langsung kita dapat bahwa awalnya

masyarakat benar-benar tidak mengetahui fungsi dari pembebasan resor tersebut.

Mereka tahunya hanyalah dibebaskan oleh pemerintah dan untuk kepentingan

pemerintah, bukan untuk kepentingan lain.

Setelah selesai secara keseluruhan Resor Wisata Nusa Dua menjadi

daerah yang dipisahkan bagi warga sekitar Nusa Dua, hal ini dilakukan dengan

cara membangun tembok-tembok pembatas di sepanjang Resor Wisata Nusa Dua

tersebut agar masyarakat tidak dengan mudah ke luar masuk Resor Wisata Nusa

Dua. Dalam melancarkan hegemoni penguasa selalu merekayasa kesadaran

masyarakat sehingga tanpa mereka sadari dan secara tidak langsung mereka juga

mendukung. Untuk mencapai tujuannya penguasa melibatkan para intelektual

dalam birokrasi pemerintah dalam berbagai bentuk upaya melakukan hegemoni

terhadap rakyat, seperti pada gambar 5.4.

Gambar. 5.4Tembok-tembok pembatas lokasi hotel di resor wisata Nusa Dua

(Dok. Purnaya, 2014).

Page 15: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

111

Tembok-tembok pembatas ini dibangun untuk mengasingkan antara

pengunjung Resor Wisata Nusa Dua dengan masyarakat sekitar agar para

pengunjung merasa lebih nyaman berkunjung ke Resor Wisata Nusa Dua dengan

taraf internasionalnya tanpa adanya gangguan dari masyarakat. Begitu juga di

sekitar hotel dekat pantai juga terdapat tembok pembatas antara masyarakat

dengan hotel. Apabila digambarkan secara ilustrasi perbedaaan Resor Wisata

Nusa Dua dengan masyarakat sebagai berikut.

Gambar. 5.5Pemisah antara masyarakat dengan Resor Wisata Nusa Dua

(Dok. Purnaya,2014).

Gambar 5.5 memperlihatkan secara tidak langsung adanya pemisah antara

masyarakat dengan Resor Wisata Nusa Dua yang dilakukan pemerintah, hal ini

merupakan salah satu bentuk hegemoni pemerintah terhadap masyarakat sekitar

Nusa Dua. Pemisahan ini dilakukan bukan semata-mata karena satu alasan

tertentu tetapi terdapat banyak alasan yang terdapat di dalamnya seperti tingkat

keamanan Resor Wisata Nusa Dua dari ancaman masyarakat, kenyamanan

wisatawan dalam berkunjung ke Resor Wisata Nusa Dua tanpa adanya gangguan

Page 16: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

112

dari masyarakat yang ke luar masuk dengan bebasnya. Hegemoni pemerintah ini

berjalan karena didukung oleh kekuasaan yang dimiliki, karena hegemoni tidak

akan berjalan dengan lancar tanpa adanya kekuasaan yang mendukung. Pada masa

ini masyarakat menerima apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah, masyarakat

menerima secara seratus persen apa yang telah menjadi ketetapan pemerintah.

Menurut Gramsci dalam (Suyanto, 2010: 23) hegemoni akan tetap berkembang

apabila cara hidup, cara berpikir, dan pandangan pemikiran masyarakat bawah,

termasuk golongan kaum proletar telah meniru dan menerima cara berpikir dan

gaya hidup dari golongan elit yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka.

Hegemoni akan melahirkan kepatuhan: sebuah sikap yang menerima keadaan,

tanpa mempertanyakan lebih lanjut secara kritis, karena mereka menelan mentah-

mentah ideologi yang diekspos kaum borjuis.

Dalam Resor Wisata Nusa Dua Kelurahan Benoa, hegemoni tidak saja

terjadi dari pemerintah kepada masyarakat secara keseluruhan, tetapi juga terjadi

dari pemerintah kepada investor yang menanamkan modal di Nusa Dua. Investor-

investor yang berupa hotel-hotel di daerah Nusa Dua harus menyetujui ketentuan

yang berlaku dari pemerintah atau BTDC tanpa bisa dibantah. Semua ketentuan

itu harus dilakukan oleh para invertor agar bisa mendirikan hotel di resor wisata

Nusa Dua dengan ketentuan kontrak yang terbatas oleh waktu, para investor

hanya mempunyai hak sewa lahan selama yang terdapat pada kontrak. Apabila

investor melanggar akan diberikan sanksi. Walaupun ada kontrak yang ditetapkan

tidak semua kegiatan atau permasalahan dibantu oleh BTDC, sebagaimana

Page 17: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

113

disampaikan Asih Wesika, Director of Human Resources Nusa Dua Beach Hotel

Spa, berikut:

Hubungan dengan BTDC cukup baik, masih banyak hal-hal yangdiharapkan dibantu BTDC tetapi tidak terlaksana seperti penangananmasalah desa, sumbangan taxi, sengketa batas, supply air, penerangan,banjir dan lain-lain. Perlu dicatat, BTDC belum mampu menunjukkansikap proaktif cenderung pasif (Wawancara 10 April 2014).

Hal ini dapat dilihat tidak semua dibantu oleh BTDC. Sedangkan Anak

Agung Gede Rai, Direktur Utama PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero)

atau BTDC periode 1995-2001 dalam wawancaranya menyatakan:

Investor berhubungan langsung dengan BTDC terutama dalam hal sewa-menyewa lahan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tertera dalambuku sewa-menyewa dan pemanfaatan lahan (LUDA) di kawasanBTDC. Investor tidak berinteraksi dengan masyarakat secara luas,kecuali dengan mitra-mitra kerjanya dalam kegiatan pembangunan fisikhotel dan persiapan sarana-sarana lain yang diperlukan (Wawancara 5April 2014).

Pernyataan tersebut secara tidak langsung telah memperlihatkan bahwa

adanya hegemonik yang berjalan dengan sendirinya dan bersifat penuh terhadap

investor tanpa bisa dinegosiasikan. Tetapi untuk mencapai apa yang diinginkan

oleh investor, investor juga berani mengambil resiko asalkan niat yang

dimaksudkan terlaksana. Hegemoni ini tidak hanya sebatas perjanjian kontrak

sewa-menyewa saja, para investor seperti yang di sampaikan Ni Wayan Seriani

Director of Finance Novotel menyampaikan:

Karena hotel bernaung di bawah Accor Management yang mana hotelpunya kewajiban untuk menyetorkan dana Rp 15.000 per kamar ke CSRAccor Bali-Lombok untuk membuat sanggar di daerah Bedugul(Wawancara 4 Maret 2014).

Page 18: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

114

Ketentuan setiap hotel mempunyai perbedaan yang mendasar kenapa suatu

hotel harus melakukan hal tersebut, sedangkan hotel lain tidak diharuskan untuk

melakukan hal yang sama. Walaupun sama-sama mempunyai power tetapi tetap

ada yang menjadi korban hegemoni dari suatu golongan dalam mencapai tujuan

tertentu sebagaimana Asih Wesika menyatakan :

Pola strategi penyaluran CSR belum terpola dengan baik atau terstruktur.Semua kegiatan CSR masih dalam bentuk bantuan yang sifatnyasewaktu-waktu. Belum mencapai ranah pengembangan talenta bakat danminat masyarakat untuk membantu mereka berkembang kecuali anak-anak cacat (Wawancara 10 April 2014).

I Nyoman Beker Manager Safety & Security The Westin Resort

menyatakan bahwa penyaluran CSR melalui lembaga resmi BHA, melalui desa

adat dan pemerintah kelurahan, memberikan bantuan langsung kepada mereka

yang membutuhkan setelah dilakukan kajian (Wawancara 21 Maret 2014). Di sisi

lain Dirut Ida Bagus Wirajaya, bahwa pola penyaluran CSR, dengan dana yang

ada di BTDC diberikan kepada masyarakat atau kelompok di seluruh Bali, tapi

tetap memprioritaskan permohonan atau proposal yang datang dari masyarakat

Kelurahan Benoa.

Selain itu strategi BTDC untuk memberdayakan masyarakat, sejak awal

berdirinya BTDC sudah mendidik masyarakat lokal yang disiapkan untuk bekerja

di Hotel di Resor Wisata Nusa Dua, selanjutnya BTDC juga mendirikan Sekolah

Tinggi Pariwisata yang tujuannya meningkatkan pengetahuan masyarakat di

dalam bidang kepariwisataan. BTDC juga membina para pedagang asongan yang

berjualan di pantai supaya memahami cara berkomunikasi dengan wisatawan,

BTDC juga memberikan bantuan kepada para nelayan dengan kapal yang dipakai

Page 19: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

115

untuk mengantarkan wisatawan untuk melihat keindahan terumbu karang di laut.

Menginformasikan kepada masyarakat agar tidak menjual tanahnya dan bila

punya dana agar membuat rumah yang disewakan kepada pendatang, kreatif

membuat cendramata atau buka toko untuk menjual cenderamata.

Hal yang sama juga dipaparkan oleh mantan Dirut Anak Agung Gede Rai

sebagai berikut antara lain dengan jalan memberikan Dana Pinjaman Lunak

kepada kelompok-kelompok Koperasi dan para wirausahawan individu yang

memenuhi persyaratan, yang dimuat Mitra Binaan yang tersebar hampir di seluruh

pelosok Pulau Bali. Sekolah-sekolah di wilayah Nusa Dua, bahkan di luar wilayah

tersebut diberi sumbangan berupa dana atau perlengkapan belajar/mengajar

lainnya. Para Pramuniaga yang bertugas di toko-toko cendera mata, restoran dan

lain-lain di kawasan BTDC dan sekitarnya pernah di-“sekolahkan” ke STP dengan

biaya BTDC dengan tujuan agar mereka belajar lebih banyak tentang keramah-

tamahan serta sopan santun dalam melayani para pelanggan meraka. Lima Rumah

Ibadah (Masjid, Gereja Katolik, Wihara, Gereja Kristen Protestan dan Pura) yang

kemudian diberi nama komplek puja mandala, untuk kepentingan Keagamaan,

dibangun sepenuhnya oleh BTDC.

BTDC sebagai Pengelola Resor Wisata Nusa Dua secara tidak langsung

telah melakukan hegemoni melalui kombinasi kekuatan dengan persetujuan

sebagaimana Gramsci (dalam Barker, 2009: 62-63) hegemoni berarti di mana

suatu ‘blok historis’ faksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan

kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan

dengan persetujuan. Jadi praktik normal hegemoni dicirikan dengan kombinasi

Page 20: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

116

kekuatan dan persetujuan, yang secara timbal balik saling mengisi tanpa adanya

kekuatan yang secara berlebihan memaksakan persetujuan. Namun, upaya yang

sebenarnya adalah untuk memastikan bahwa kekuatan tersebut seakan-akan hadir

berdasarkan persetujuan mayoritas yang diekspresikan oleh apa yang disebut

dengan opini publik. Seperti yang terjadi masa dahulu pada sikap masyarakat

Nusa Dua yang menerima keadaan, tanpa mempertanyakan lebih lanjut secara

kritis.

Masyarakat menerima ketentuan dari pemerintah terhadap mereka tanpa

melakukan negosiasi karena tidak mengerti dan ketakutan dengan kekuasaan.

Sekarang dengan berubahnya zaman, sejak masyarakat kelurahan Benoa mulai

mencicipi bangku pendidikan, khususnya di sekitar Resor Wisata Nusa Dua telah

mulai mempertanyakan setiap tindakan yang diambil oleh pemerintah pusat

ataupun BTDC yang bertindak sebagai wakil dari pemerintah pusat dalam

pengembangan wilayah wisata di Nusa Dua. Masyarakat sudah tidak mau

menerima begitu saja seperti dulu, sekarang masyarakat mulai melakukan

negosiasi terhadap kebijakan dan tindakan BTDC walaupun sebenarnya di balik

negosiasi yang dilakukan tersebut masih terselip hegemonik kekuasaan.

Perbedaan-perbedaan kecil ini sering menimbulkan riak-riak sosial yang

berskala kecil. Seperti yang terjadi di sekitar Resor Wisata Nusa Dua yang

pedagang dengan leluasa keluar masuk resor wisata, hal ini terjadi karena

rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan ketertiban.

Mantan Dirut BTDC Anak Agung Gede Rai (dalam wawancara tanggal 5 April

2014) menyatakan bahwa pedagang barang-barang cendera mata, dan penjaja

Page 21: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

117

sarana rekreasi, sering masuk ke area hotel, merajuk tamu-tamu yang sering

berjemur di pinggir pantai atau sekitar kolam renang, pengusaha transportasi (taxi)

berebut penumpang, yang semuanya menjadi alasan timbulnya keluhan para

tamu/wisatawan. Mereka yang memiliki toko-toko cendera mata di kanan-kiri

gerbang masuk ke kawasan BTDC, pada mulanya membangun seadanya,

sehingga wisatawan yang masuk ke BTDC pertama-tama akan melihat deretan

toko-toko yang kumuh. Perlu di bangun façade (tedeng aling-aling) untuk

mengurangi pemandangan yang kurang elok tersebut. Karena kondisi ini sangat

tidak mendukung maka dilakukan negosiasi antara BTDC dengan masyarakat.

Dengan kesepakan yang dicapai pengusaha taxi diberi tempat parkir khusus dan

shelter untuk pengemudinya oleh BTDC, pembangunan balai desa kampial

disumbang oleh BTDC, sekolah-sekolah diberi bantuan dana dan penerimaan

siswa masuk ke STP diutamakan putra-putri dari wilayah Nusa Dua. Tenaga-

tenaga lower level di BTDC pun diutamakan yang berasal dari wilayah sekitar

Nusa Dua. Tidak lupa kelompok-kelompok nelayan pun diberi sumbangan dua

buah perahu bermesin oleh BTDC.

Hasil negosiasi bisa jadi akan menemukan titik temu, yang mampu

meredam timbulnya masalah yang berkepanjangan antara dua belah pihak yang

sama-sama mempunyai kepentingan, kendati posisi para pihak sebenarnya tidak

sejajar antara BTDC (pemerintah) dengan masyarakat Nusa Dua. Bila BTDC

tidak mau duduk dalam satu meja perundingan dengan masyarakat, bisa

diperkirakan, negosiasi tidak akan berhasil membuahkan kata sepakat yang saling

menguntungkan kedua belah pihak.

Page 22: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

118

Menurut Gramsci (dalam Barker 2009: 373) bahwa hegemoni melibatkan

pendidikan dan pemenangan konsensus ketimbang pemakaian kekuatan brutal dan

koersif semata. Kendati negara tidak dipahami sebagai satu tangan kasar dari

kelas berkuasa, namun dia berhimbas pada hegemonik kelas. Negosiasi yang

terjadi antara BTDC dan masyarakat Nusa Dua secara tidak sadar telah masuk ke

dalam hegemonik kelas. Agar tidak kelihatan kasarnya suatu tindakan dari BTDC

maka kedua belah pihak duduk bersama di meja perundingan. Tetapi apabila

antara kedua belah pihak mau duduk bersama untuk bernegosiasi maka akan

menghasilkan kesepakatan yang sama-sama menguntungkan walapun di balik

hasil negosiasi tersebut hegemonik penguasa tidak akan terlepas begitu saja. Hasil

negosiasi pedagang/acung yang dahulunya dengan leluasa berdagang di sepanjang

pantai dan di depan resor hotel sehingga merusak estetika setelah bernegosiasi

dengan baik masyarakat mau melakukan hasil negosiasi yang dianggap oleh

masyarakat sangat menguntungkan. Tindakan pedagang sebelum dan setelah

dilakukan negosiasi seperti pada gambar 5.6

Gambar 5.6Sebelum negosiasi, Pedagang berjualan di sekitar resor hotel

(Dok. Purnaya, 2014).

Page 23: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

119

Gambar 5.7Setelah negosiasi, Lokasi toko-toko pedagang cendera mata

(Dok. Purnaya, 2014).

Dengan seringnya terjadi riak-riak kecil dalam resor Nusa Dua antara

BTDC dengan masyarakat, BTDC memberi peluang ekonomi atau usaha kepada

masyarakat. Hal ini di paparkan oleh Anak Agung Gede Rai Direktur Utama PT.

Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) atau BTDC periode 1995-2001

menyatakan bahwa masyarakat Bualu dan sekitarnya yang mengembangkan usaha

transfortasi/taxi diberi kesempatan beroperasi di dalam area BTDC, diberi tempat

parkir serta ruang berteduh bagi para pengemudinya. Sejumlah pengusaha Bar dan

Restoran, barang-barang cenderamata, money changer, dan kelompok-kelompok

kesenian diberikan kesempatan menjalankan usahanya di area Amenity Core.

Page 24: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

120

Gambar 5.8Posisi tempat parkir khusus dan shelter setelah negosiasi

(Dok. Purnaya, 2014).

Hal yang sama juga dipaparkan oleh Ida Bagus Wirajaya, sebagai Direktur

Utama PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) Periode 2011- sekarang,

memaparkan bahwa:

Dengan dibangunnya sekitar 5.000 kamar, Restoran, Lapangan Golf, danfasilitas lainnya dapat menyerap sekitar 10.000 orang tenaga kerja yanglangsung bekerja di Resor Wisata Nusa Dua, sekitar 35% tenaga kerjaberasal dari kelurahan Benoa. Di samping itu masyarakat Benoa bekerjasebagai sopir, guide, pedagang asongan, pemilik toko cinderamata danmembuat rumah sewaan untuk pendatang, bahkan masyarakat KelurahanBenoa juga sudah punya restauran dan rumah penginapan. Sehingga,dengan adanya Resor Nusa Dua tingkat pendapatan masyarakat meningkat(Wawancara 12 Maret 2014).

Kesepakatan yang dicapai dari hasil negosiasi memberi peluang usaha atau

ekonomi yang diberikan oleh investor kepada masyarakat, sebagaimana yang

dipaparkan Ni Wayan Seriani sebagai Director of Finance Novotel menyatakan

bahwa “peluang usaha yang diberikan kepada masyarakat, sebagai outsoursing

company, dan pengangkutan sampah hotel”. Selanjutnya, I Nyoman Beker sebagai

Page 25: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

121

Manager Safety and Security The Westin Resort menjelaskan bahwa peluang

usaha yang diberikan kepada masyarakat yaitu “Kegiatan yang bergerak untuk

pendukung pariwisata di antaranya: penyediaan jasa transportasi, kesenian,

pemasok/supplier”. Sejalan dengan itu, Asih Wesika sebagai Director of Human

Resources Nusa Dua Beach Hotel Spa, menyatakan peluang usaha yang diberikan

berupa “kesempatan berjualan barang-barang cinderamata di dalam hotel pada

even-even mingguan maupun even khusus, sebagai penari, pemasok barang dan

lain-lain”.

Tentang peluang yang diperoleh masyarakat untuk matapencaharian,

dibenarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat. I Made Retha sebagai Bendesa Adat

Bualu (Wawancaranya tanggal 6 Juni 2014) menyatakan bahwa peluang usaha

atau ekonomi yang diberikan kepada masyarakat berupa kesempatan untuk

berdagang (art shop), restoran, valuta asing, pedagang jasa, transfortasi, dan water

sport. Hal yang sama disampaikan oleh mantan Bendesa Adat Bualu, I Made

Kuna (Wawancara tanggal 1 Juni 2014) menyatakan bahwa peluang usaha yang

diberikan berupa peluang usaha menjual souvenir, money changer, taksi, dan juga

kerja sama jahit-menjahit dari hotel. Tokoh masyarakat lainnya seperti I Wayan

Lemes (swasta dan sebagai Bendesa Adat Peminge), I Made Sudarsa

(wiraswasta), dan I Wayan Solo (Lurah Benoa) dalam wawancara terpisah juga

mengakui dampak ekonomi dan peluang kerja yang dinikmati warganya sejak

hadirnya Resor Wisata Nusa Dua. Solo (Wawancaranya 1 April 2014) merasakan

peluang usaha yang diberikan. Menurutnya hampir seluruh komponen yang

berkaitan dengan kebutuhan pariwisata itu sendiri. Lapangan pekerjaan sebagai

Page 26: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

122

karyawan hotel, transportasi wisata, wisata bahari, pentas budaya, art shop,

penginapan, suplayer, pertukangan dan lain-lain.

Namun, tidak tertutup kemungkinan terjadinya negosiasi yang tidak sejajar

posisinya dengan hasil yang cukup mengembirakan. Memang acap kali, pihak

yang lebih tinggi biasanya merasa dirinya di atas angin. Negosiasi yang tidak

sejajar ini bisa dibuat mendekati sejajar bila ada ketentuan, etika atau tata krama

dalam masyarakat yang memungkinkan kesejajaran itu terjadi. Negosiasi antara

BTDC yang bertindak sebagai pemerintah dalam Resor Wisata Nusa Dua, secara

sekilas akan kelihatan bahwa pemerintah dalam hal ini kalah dalam negosiasi

dengan masyarakat. Dalam kenyataan, pemerintah lebih banyak menang dalam

negosiasi yang dilakukan dengan masyarakat, pemerintah didukung oleh kuasa

dan pengetahuan yang tinggi sebagimana kata pepatah semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang semakin halus tindakannya dalam melakukan suatu

tindakan.

Selain mencapai hasil kesepakatan tersebut, negosiasi dalam hal ini juga

menghasilkan bahwa pola strategi penyaluran CSR, BTDC sebagai sebuah badan

usaha melakukan social responsibility-nya antara lain dengan jalan memberikan

dana pinjaman lunak kepada kelompok-kelompok koperasi dan para

wirausahawan individu yang memenuhi persyaratan, yang disebut mitra binaan,

yang tersebar hampir di seluruh pelosok Bali. Sekolah-sekolah di wilayah Nusa

Dua, bahkan di luar wilayah tersebut diberi sumbangan berupa dana atau

perlengkapan belajar/mengajar lainnya. Para pramuniaga yang bertugas di toko-

toko cenderamata, restoran dan lain-lain di resor BTDC dan sekitarnya pernah di

Page 27: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

123

“sekolahkan” ke STP dengan biaya BTDC dengan tujuan agar mereka belajar

lebih banyak tentang keramah-tamahan serta sopan santun dalam melayani para

pelanggan meraka.

Pembangunan lima rumah ibadah (masjid, gereja katolik, wihara, gereja

kristen protestant dan pura) yang kemudian diberi nama Puja Mandala, untuk

kepentingan keagamaan, di bangun sepenuhnya oleh BTDC. Pembangunan

sebuah Bali Gong di pura Desa Kampial juga didukung dana oleh BTDC. Polanya

hampir seluruhnya “hibah”, kalau tidak dalam pinjaman yang sangat lunak.

Kelompok-kelompok kesenian dari berbagai wilayah bergantian melakukan

pementasan di resor BTDC, dan melaui festival Nusa Dua yang diselengarakan

setiap tahun, bukan hanya pengusaha barang-barang kerajianan dan jenis-jenis

makanan yang berdomisilli di Bali saja yang ikut berpameran dan jual hasil

usahanya selama festival itu, tetapi pengusaha dan pengrajin dari provinsi-

provinsi di luar Bali. Foucault (2009: 342-343) menyatakan hubungan yang

memanfaatkan ‘saya’ dan ‘saya juga memanfaatkan yang lainnya’. Dengan

mengkondisikan mengenai hubungan kekuasaan yang terjadi pada saat ini. Di

dalamnya harus diamati kemunculan permasalahan tertentu dalam setiap

pekerjaan dari instuisi, sehingga dapat dilihat bahwa kekuasaan sudah tidak lagi

berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, kekuasaan atas tekanan

hegemonik tidak lagi bekerja sepenuhnya terhadap masyarakat.

BTDC sebagai badan pemerintah tidak hanya bernegosiasi dengan

masyarakat dalam mencari kesepakatan masalah, tetapi pemerintah juga

bernegosiasi dengan investor dalam mencapai suatu kesepakatan walaupun kedua

Page 28: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

124

belah pihak sama-sama mempunyai power tersendiri untuk mencapai tujuan

masing-masing. Selama berdirinya, Resor Wisata Nusa Dua BTDC telah

melakukan negosiasi dalam menyelesaikan masalah baik dengan investor maupun

dengan masyarakat.

Dalam masalah pembongkaran portal di gerbang selatan yang mendapat

perlawanan masyarakat, akhirnya BTDC sebagai pengelola Nusa Dua mencari

solusi dengan memotong sebagian tanah di depan Hotel Hilton dan sebagian tanah

di depan Hotel Putri Bali (sepanjang 75 meter), untuk menampung kegiatan

nelayan dan para pedagang di pantai. I Made Mandra, Direktur Utama BTDC

(periode 2001- 2011) menyatakan:

BTDC pernah bernegosiasi dengan investor dalam masalah pembongkaranportal di gerbang selatan. Sewaktu saya diangkat menjadi Pjs Ka Humas,merangkap sebagai kepala Divisi Pemeliharaan, dan juga kepala BagianPerencanaan BTDC. Kami mencoba mencari solusi dengan memotongsebagian tanah di depan Hotel Hilton dan sebagian tanah di depan HotelPutri Bali (sepanjang 75m), untuk menampung kegiatan para nelayan danpara pedagang di pantai, perahu nelayan hanya boleh parkir di depansebagian tanah Hotel Hilton yang notabene adalah tanah timbul miliknegara. Kegiatan di depan pura seperti untuk berjemur dan pijat dilarangagar tidak memberi sebel di hati masyarakat (Wawancaranya 7 Februari2014).

Kesepakatan yang dicapai dari hasil negosiasi sama-sama terpenuhinya

kepentingan-kepentingan setiap kelompok. Hasil negosiasi dalam masalah

pembongkaran portal di gerbang selatan seperti pada gambar 5.9.

Page 29: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

125

Gambar 5.9Hasil pembongkaran portal di gerbang selatan

(Dok. Purnaya, 2014)

Tindakan negosiasi ini dilakukan untuk mengantisipasi respon negatif

masyarakat yang dapat merusak citra Resor Wisata Nusa Dua yang bertaraf

internasional. Selain masalah tersebut, BTDC juga bernegosiasi dengan investor

dan masyarakat untuk mencari penyelesaian masalah ruang pantai di depan hotel

yang digunakan untuk parkir jukung dan pedagang pantai oleh masyarakat tetapi

juga untuk wisatawan yang menginap di hotel di depannya. Untuk masalah ini,

mantan Dirut BTDC I Made Mandra (wawancaranya 7 Februari 2014)

menyampaikan bahwa masalahnya terjadi di Pantai Samuh di depan Club Med.

Pantai itu penuh dengan jukung dan pedagang pantai. Pihak BTDC berusaha

meyakinkan Club Med bahwa mereka harus mau mengorbankan sebagian

tanahnya di sisi utara seluas 24 are, sebagai tempat penampungan para pedagang

yang dipindahkan. Kalau tidak keadaan akan semakin tidak terkendali. Dengan

berat hati Club Med yang terkenal kukuh pada hak hak hukumnya berhasil

diyakinkan oleh BTDC, dan para nelayan pun setuju memindahkan jukungnya ke

Page 30: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

126

sebelah utara dan para pedagang berangsur-angsur pindah ke lokasi yang

diberikan Club Med sampai sekarang, menempati kios-kios sederhana yang lebih

bermartabat. BTDC pun menyumbangkan balai kantih, gudang peralatan, sumur

dan MCK seperti di pantai Mengiat. Dengan kesepakatan ini hubungan dengan

nelayan Samuh pun lebih harmonis sejak itu kasus perebutan pantai antara BTDC

selaku pengelola resor dengan nelayan menjadi lebih baik dan saling memahami

posisi masing-masing.

Gambar 5.10Tanah Club Med yang direlakan untuk penampungan para nelayan.

(Dok. Purnaya,2014).

Page 31: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

127

Penyelesaian masalah yang terjadi di Pantai Samuh di depan Club Med,

telah mendapat solusi dengan kerelaan pihak managemen/investor Club Med

mengorbankan sebagian tanahnya sebagai tempat penampungan para pedagang

yang dipindahkan sebagaimana yang terdapat pada gambar 5.10.

Untuk mencapai suatu tujuan BTDC tidak hanya bernegosiasi dengan

masyarakat atau dengan investor dan mengorbankan sedikit kepentingannya,

tetapi juga bagaimana membantu mencari solusi dari masalah. Sehingga

komunikasi dua arah, tanpa tekanan, pemaksaan atau pendiktean dari pihak

manapun akan memungkinkan para pihak yang bernegosiasi dapat berinteraksi

dengan baik, saling mempertukarkan kepentingan dan mencari titik temu dari

perbedaan-perbedaan persepsi, tuntutan dan keinginan.

Untuk menjaga keberlangsungan proses reproduksi kekuasaan dan relasi

kekuasaan, negara sebagai institusi sentral yang berperan mempersatukan dan

memaksa masyarakat dalam reproduksi kekuasaan. Dengan membedakan antara

kuasa negara (pemeliharaan kekuasaan negara atau perebutan kuasa negara)

sebagai tujuan perjuangan kelas politik dan aparatur negara di sisi lain. Dalam

pandangan lain, kuasa negara masih dapat berubah dan berganti akibat dari

perebutan kekuasaan oleh kelas-kelas politik yang ada. Sedangkan aparatur

Negara relatif bisa bertahan meski terjadi peralihan kekuasaan.

Gramsci (dalam Piliang 2010: 71) mengembangkan pengertian hegemoni

secara lebih luas sehingga dia tidak hanya digunakan untuk menjelaskan relasi

antar kelas-kelas politik (ruling class/rulied class), akan tetapi relasi-relasi sosial

yang lebih luas, termasuk relasi komunikasi dan media. Konsep hegemoni tidak

Page 32: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

128

hanya menjelaskan dominasi politik lewat kekerasan (force), akan tetapi yang

lebih penting, lewat kepemimpinan intelektual dan moral (intellectual and moral

leadership). Dominasi kekuasaan diperjuangkan, di samping lewat kekuatan

senjata, juga lewat penerimaan publik (public consent), yang diterimanya ide

kelas berkuasa oleh masyarakat luas, yang diekspresikan melalui apa yang disebut

sebagai mekanisme opini publik (public opinion) sehingga pentingnya institusi-

institusi, yang berperan dalam mengembangkan dan menyebarluaskan hegemoni

ideologi. Gramsci menyebut institusi dan strukturnya merupakan alat hegemoni

(hegemonic apparatuses).

5.3 Dinamika Relasi Kuasa Oposisional

Masa relasi kuasa yang diwarnai dengan negosiasi antara BTDC dengan

dua pilar lainnya berlanjut pada relasi oposisional dewasa ini, khususnya pasca era

reformasi. Relasi oposisional ini merupakan kelanjutan dari relasi negosiasi dan

dampak dari era demokratisasi dalam dunia sosial politik bangsa. Di Bali,

perlawanan terhadap hegemoni pemerintah dan pengusaha kepada masyarakat

pernah terjadi di objek wisata Tanah Lot. Semula, daya tarik wisata ini dikelola

oleh swasta atas izin dan kerja sama dengan pemerintah. Masyarakat Desa

Beraban yang ada di wilayah itu tidak mendapat peran sama sekali kecuali sebagai

penonton. Setelah situasi sosial politik berubah dari otoritarian menjadi

demokratis pascareformasi, masyarakat Beraban menuntut haknya kepada

pemerintah. Tuntutan ini berhasil, dan kini masyarakat Beraban memainkan

peranan penting dalam Badan Pengelola Tanah Lot. Partisipasi mereka dalam

Page 33: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

129

mengelola Tanah Lot memberikan mereka keuntungan finansiasl yang besar,

milyaran rupiah per tahun, sesuai dengan pendapatan objek wisata tersebut (Putra

dan Pitana 2010: 95). Pengelolaan Tanah Lot dari swasta ke masyarakat sebagai

hasil dari perlawanan atau aksi oposisional merupakan presedensi yang positif

dalam program pengembangan community-based tourism atau pariwisata pro-

rakyat.

BTDC sebagai pengelola resor wisata Nusa Dua berusaha untuk menata

dan merapikan para pedagang-pedagang dengan membangun pertokoan, tetapi

pada waktu terjadi kerusuhan dampak Pemilihan Presiden tahun 1999, kemarahan

itu kembali menjadi pemicu oleh kekuatan luar yang memprovokasi massa.

Kantor-kantor pemerintah dibakar, kantor BTDC dan STP dirusak, masyarakat di

sekitar pertokoan itu membongkar paksa façade yang pernah dibangun oleh

BTDC. Semua dilakukan oleh massa tanpa ada yang berani menghalangi, dapat

dikatakan bahwa hukum alam mencari keadilan di dalam hukum formal. I Made

Mandra, mantan Direktur Utama BTDC menyatakan bahwa ketika terjadi

kerusuhan tahun 1999 yaitu ketika Megawati gagal menjadi Presiden RI

kemarahan tersebut kemudian menjadi nyata dipicu oleh kekuatan dari luar yang

memprovokasi massa. Kantor-kantor pemerintah dibakar, kantor BTDC dan STP

kacanya dirusak, tembok di depan gerbang Nusa Dua dihancurkan tanpa ada yang

berani menghalangi begitulah hukum alam mencari keadilan di dalam hukum

formal. Ketidakpuasan sosial beberapa anggota masyarakat yang memiliki tanah

di depan candi bentar Nusa Dua mencari solusi sendiri.

Page 34: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

130

Selaku anggota Direksi BTDC pada waktu itu, mencari jalan tengah dan

bernegosiasi untuk kembali membangun tembok yang lebih rendah dan dihiasi

taman, sehingga pemandangan tetap lebih indah, dan untuk para pedagang

dibelakang tembok dibuatkan jalan khusus sehingga wisatawan dapat masuk

dengan mudah membeli souvenir atau makan di warung rakyat yang nyaman.

Solusi ini cukup adil dan permasalahan itu pun dapat diselesaikan dengan baik.

Senada dengan hal tersebut dalam, I Made Kuna, mantan Bendesa Adat

Bualu memaparkan:

Pernah ada masalah yang muncul, karena di depan candi bentar masukresor BTDC dipasangi tembok oleh BTDC sehingga kios-kios pendudukterhalangi atau tertutup. Kala itu pemilik kios atau penduduk sempatdemo. Dengan solusinya adalah dari para pihak yang berseberangan maududuk bersama bermusyawarah mencari jalan keluar terbaik dan hasilnyamengeluarkan hasil yang baik. Sama-sama bisa menerima dan semuadikembalikan seperti biasa (Wawancaranya 1 Juni 2014).

Hal ini merupakan bentuk dari perlawanan kecil yang dimulai dengan

kekalahan pendukung masyarakat. Mereka tidak menyadari yang akan rugi

mereka sendiri karena tidak bisa berdagang. Sadar tetapi tidak sadar dengan

percikan hegemoni kekuasaan terhadap mereka. Begitu dahsyatnya pengaruh

kekuatan yang bekerja di balik masyarakat dalam hal ini “citra orang yang

diagungkan” bisa memengaruhi pendukung serta menggiring pikirannya hingga

terbius dalam deretan frame-frame, sampai pada akhirnya nanti pendukung dalam

kondisi tanpa sadar, sehingga setiap orang bekerja dengan kesadaran palsu, begitu

yakin dan percaya pada pesan yang terselip di balik pencitraan itu, seperti pada

gambar 5.11.

Page 35: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

131

Gambar 5.11Tembok di depan Gerbang Utama Nusa Dua yang lebih rendah dan dihiasi taman,

sehingga pemandangan tetap lebih indah.(Dok. Purnaya,2014).

Selain kasus tahun 1999 yang didukung dengan kegagalan pemilu, BTDC

sebagai pengelola mendapat perlawanan dari masyarakat dalam masalah

pembongkaran portal di gerbang selatan, portal ini dibangun agar ketertiban dan

kebersihan sekitar Resor Wisata Nusa Dua terjaga, karena mengingat semakin

kumuhnya lingkungan oleh gubuk-gubuk, pedagang acung dan penanaman

rumput laut yang berkeliaran di lokasi Resor Nusa Dua. Dalam wawancara

tanggal 7 Februari 2014, Dirut BTDC I Made Mandra (periode 2001- 2011)

menyampaikan bahawa BTDC mempunyai misi utama membangun kesejahteraan

melalui resor wisata berkualitas internasional, sehingga perlu membatasi atau

mengurangi dan menata lingkungan sesuai dengan Perda II tahun 1979 dalam

suasana yang tertib bersih tidak kumuh oleh gubuk-gubuk, pedagang acung dan

penanam rumput laut dan perahu yang berkeliaran di mana-mana. Maka

direncanakanlah membuat portal agar pantai Mengiat semakin tidak kumuh.

Rencana tersebut telah disetujui dan didukung oleh Pemda Badung yang telah

Page 36: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

132

dikoordinasikan oleh Kepala Bagian Humas BTDC, namun tidak nampak adanya

solusi bagi masyarakat yang terpinggirkan sehingga ketika portal tersebut

dipasang, mendapat perlawanan yang sengit dari masyarakat nelayan pantai dan

masyarakat desa Mengiat Nusa Dua. Masyarakat membunyikan “kulkul bulus”

dan membongkar portal yang baru dipasang sesuai dengan persetujuan Pemda

tersebut meskipun portal bisa di buka setiap saat untuk kegiatan masyarakat lokal.

Akibatnya terjadi ketegangan antara BTDC dengan masyarakat, saya sebagai

kepala perencana mengganggap komunikasi yang dibangun terlalu top down tanpa

solusi.

Masalah kedua, pembongkaran tembok di depan gerbang utama Nusa Dua

tahun 1999. Pada saat itu masyarakat mendapat jatah ruko, masih berusaha

mengoperasikan warung-warung yang mereka miliki, di belakang tembok

tersebut. Masyarakat tidak puas dengan dibangunnya tembok tersebut. Hal itu

dapat dimengerti karena peluang pendapatan ditempat itu tidak menjanjikan,

meskipun secara hukum tidak dapat dibenarkan. Di sinilah perlunya mencari

solusi yang lebih bijak dan adil, tembok ini merupakan bara yang terpendam

dihati para pedagang dan masyarakat lokal yang mempunyai tanah di lokasi

tersebut. Bara ini menunggu momentum untuk meledak dengan deras.

Perlawanan dilakukan karena masyarakat Nusa Dua telah banyak yang

berpendidikan sehingga tahu celah untuk melakukan perlawanan dan

pemerintahan tidak menakutkan seperti pada masa pemerintahan Orde Baru. Sejak

jatuhnya kekuasaan Orde Baru semakin hari-hari perlawanan rakyat terhadap

kekuasaan semakin menggejala diberbagai tempat. Sejak reformasi 1998 di

Page 37: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

133

Indonesia, kita dapat melihat bahwa meski telah terjadi peralihan kekuasaan yang

ditandai turunnya Suharto lewat kekuatan-kekuatan politik yang ada pada saat itu,

namun aparatur negara (politisi, partai politik, atau militer Orde Baru) tetap

bertahan di struktur kekuasaan. Rakyat semakin kritis menentang kebijakan

negara. Makin kritisnya rakyat melawan pemerintah tidak lain lantaran yang

terakhir ini makin hari kebijakan politiknya tidak memperlihatkan tanda-tanda pro

rakyat sehingga masyarakat berani untuk bertindak sesuai dengan keinginan

masyarakat. Berbagai alasan dan komentar banyak disampaikan oleh masyarakat

Nusa Dua untuk melakukan perlawanan. Tidak hanya terjadi antara pemerintah

dengan masyarakat tetapi juga terjadi antara masyarakat dengan investor.

Dalam masalah penutupan jalan masuk ke Westin. Hal ini hanya dipicu

oleh masalah kecil yaitu masuknya Bali Taxi dari Jakarta, sehingga membuat

koperasi lokal kalah bersaing karena Bali Taxi lebih profesional, dengan armada

yang lebih baik daripada milik koperasi masyarakat lokal Nusa Dua. Bali Taxi

lebih banyak mendapat order dari hotel-hotel sehingga taxi lokal merasa

diperlakukan secara tidak adil. Karena hal ini sangat tidak menguntungkan bagi

taxi lokal meraka menyampaikan kepada pihak Westin, tetapi pihak Westin tidak

dapat memenuhi permintaan karena sudah ada kontrak dengan Bali Taxi.

Masyarakat merasa tidak senang sehingga jalan masuk ke Westin ditutup. I Made

Mandra mantan Direktur Utama BTDC menyatakan bahwa sopir taxi di Resor

Wisata Nusa Dua telah disediakan tempat sementara untuk mangkal di sentral

parkir Nusa Dua. Sentral parkir tersebut sejatinya dirancang untuk parkir

kendaraan pegawai-pegawai hotel di Resor Wisata Nusa Dua dan koperasi taxi

Page 38: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

134

masyarakat Nusa Dua diberi akses melayani tamu-tamu di hotel bersama-sama

taxi yang lain dari luar Nusa Dua.

Persaingan dengan Bali Taxi dari Jakarta membuat koperasi lokal kalah

bersaing karena Bali Taxi lebih profesional, dengan armada lebih baik dari yang

dimiliki koperasi masyarakat lokal Nusa Dua. Bali Taxi lebih banyak mendapat

order dari hotel sehingga pemilik taksi lokal merasa tidak adil. Mereka lalu

menyampaikan sejumlah usulan kepada Manajemen Hotel Westin yang lebih

menguntungkan posisi mereka. Namun, pihak Westin tidak dapat memenuhi

karena sudah ada kontrak dengan Bali Taxi.

Keadaan ini membuat mereka menempuh jalan pintas melakukan

kekerasan yaitu dengan menutup jalan masuk ke Hotel Westin. Hal ini tentunya

menimbulkan kegaduhan di Resor Wisata Nusa Dua yang terkenal sebagai resor

yang aman dan tertib. Kebetulan pada waktu itu Mandra sebagai Direktur Utama

sedang bertugas ke Luar Negeri dilapori oleh Kepala Satpam dan Direktur Operasi

secara singkat kejadian tersebut serta sejumlah nama yang menjadi provokator

aksi tutup pintu tersebut. Made Mandra mengungkapkan:

Saya pun langsung menelpon Kapolda Bali waktu itu Bpk Mangku Pastikayang kemudian dengan cepat menangkap provokator tersebut danmenahan untuk sementara di kantor polisi. Peristiwa ini memberi efek jerakepada pelaku yang juga sesungguhnya disayangkan oleh anggotakoperasi yang lain. Dengan cepat keadaan pulih kembali dan BTDCberusaha mendorong kerjasama yang menguntungkan semua pihak secaraadil (Wawancara 7 Februari 2014).

Tentang konflik pengusaha, BTDC, dan pengelola taksi juga disampaikan

oleh I Made Kuna (wawancara tanggal 1 Juni 2014). Bendesa Adat Bualu periode

1982-2007 ini mengatakan bahwa “pernah juga terjadi keributan atau perlawanan

Page 39: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

135

para sopir taksi atau pemilik Taxi Kowinu saat itu juga demo karena lahan mereka

banyak yang diserobot oleh taksi yang berasal dari luar”. Aksi protes seperti ini

tidak pernah terjadi pada awal pengelolaan resor wisata Nusa Dua. Protes ini

adalah bentuk konter hegemoni yang menandai munculnya sikap oposisi terhadap

kebijakan-kebijakan BTDC dan investor.

Masalah lain adalah penolakan pembangunan beach world Nusa Dua.

Ketika semua perizinan (IMB) sudah selesai, beberapa anggota DPRD Provinsi

Bali dan Kabupaten Badung asal Nusa Dua menyuarakan penolakan

pembangunan tersebut. Alasan yang mereka ajukan adalah proyek melanggar

ketentuan sempadan pantai 100 meter dari air pasang surut. Para anggota DPRD

mengkhawatirkan masyarakat tidak akan leluasa melakukan kegiatan upacara di

pantai. Menurut Pemerintah Bali sebagai pengelola pulau sempit dan kecil justru

harus memperjuangkan sempadan khusus untuk Bali sekitar 15-25 m dari batas

pekarangan di pantai atau 40-50 m dari pasang tertinggi kecuali daerah pantai

tanah negara yang memang diperuntukan untuk publik. Pembelaan anggota DPRD

provinsi dan kabupaten seperti ini tidak pernah terjadi pada masa lalu karena

anggota DPR yang semestinya membela rakyat lebih banyak mendukung program

penguasa. Perubahan lanskap politik membuat rakyat menjadi terbela atas

kepentingannya.

I Made Mandra menyatakan bahwa Tata Ruang Kawasan pantai Nusa Dua

diatur secara khusus melalui Perda No II tahun 1979 yang menetapkan sempadan

bangunan di pantai 50 m dari air pasang tertinggi. Untuk bangunan yang tingginya

15 meter. Wilayah pantai antara 2 pulau Nusa Dua ditetapkan sebagai Amenity

Page 40: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

136

Core & Comercial Center yang nyaman bagi pengunjung. Sementara itu, tanah

antara 2 pulau Nusa Dua ditempati oleh pedagang pantai yang semakin lama

semakin kumuh dan sulit dikendalikan. Bahkan, di malam hari sering terjadi

transaksi seks di tempat ini melalui supplier yang membawa cewek cewek

didalam bus mini beroperasi kucing-kucingan dengan aparat keamanan. Cewek-

cewek tersebut ditawarkan kepada tamu-tamu hotel yang lewat di wilayah pantai

tersebut. Tidak semua hotel suka dengan bisnis seperti itu sehingga sering terjadi

komplain dari hotel yang mengatakan daerah tersebut semakin kumuh dan tidak

etis sebagai resor bergengsi.

Menurut Made Mandra, daerah prime land di Nusa Dua tersebut dinodai

oleh pencitraan yang tidak layak dikunjungi oleh wisatawan. Oleh karena itu,

mereka berinisiatif membangun daerah tersebut menjadi vocal point yang lebih

baik yang dapat meningkatkan citra Resor Wisata Nusa Dua di dunia Internasional

sehingga lebih banyak dikunjungi wisatawan yang berkualitas untuk menikmati

fasilitas sambil menikmati makan minum dan pantai Nusa Dua yang luar biasa

indahnya.

Ketika semua perizinan (IMB) sudah ke luar, beberapa anggota DPRD

Provinsi dan Kabupaten Badung asal Nusa Dua berteriak menyuarakan penolakan

pembangunan tersebut di media masa dengan alasan melanggar sempadan pantai

nasional yang menetapkan sempadan pantai untuk umum 100 m dari air pasang

tertinggi. Anggota DPRD Nusa Dua mengkhawatirkan bahwa masyarakat tidak

akan leluasa melakukan kegiatan upacara. Berkaitan dengan sempadan mereka

lupa bahwa Resor Nusa Dua telah diatur secara khusus tata Ruang dan Bangunan

Page 41: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

137

di Kawasan melalui Perda II/79 yang menetapkan sempadan bangunan semua

hotel sejauh 50 meter dari pasang tertinggi. Menurut kami Pemerintah Bali

sebagai pengelola pulau kecil dengan luas tanah yang sempit justru harus

memperjuangkan sempadan khusus untuk daerah Bali antara sekitar 15-25 m dari

batas pekarangan di pantai atau 40-50 m dari pasang tertinggi kecuali daerah

pantai tanah negara yang memang diperuntukkan sebagai daerah publik.

Wacana wakil-wakil rakyat tersebut bisa dimaklumi karena DPRD hendak

menyuarakan aspirasi masyarakat pemilihnya, termasuk aspirasi keluarga 22

pedagang pantai yang sementara ini diberikan oleh BTDC berjualan di pantai

tersebut. BTDC juga merasa ewuh pakewuh dan berkali kali melakukan

pembinaan, namun pada kenyataannya semakin hari semakin ramai dan sulit

dikendalikan. Penolakan itu menjadi polemik di koran, bahkan Pemprov Bali

menghentikan pembangunan proyek tersebut dengan alasan melanggar sempadan

pantai nasional 100 m, penyetopan tersebut dilakukan tanpa minta penjelasan dari

BTDC maupun aparat Pemda Badung yang telah mengeluarkan perijinan sesuai

dengan prosedur dan peraturan yang berlaku.

Sama seperti yang dilaksanakan mantan Dirut BTDC AA Gede Rai,

Mandra memberikan solusi bahwa pihak Direksi BTDC menyerahkan masalah

tersebut kepada pemerintah Daerah yang berwenang, dalam pertemuan di Sector

Sanur diingatkan jangan sampai peristiwa ini menjadi insiden buruk dikemudian

hari, karena tidak adanya kepastian hukum dalam perijinan investasi di Bali.

Apabila bangunan tersebut akan dirobohkan, bukan tidak mungkin investor akan

Page 42: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

138

mendatangkan media internasional seperti CNN dan lain-lain yang bisa merusak

reputasi manajemen Resor Wisata Nusa Dua yang telah dikenal taat hukum.

Akhirnya pada waktu menghadap Bupati dan mohon wakil Bupati

mengundang DPRD pejabat daerah dan tokoh-tokoh masyarakat setempat, agar

kami dapat berdiskusi dan menjelaskan duduk persoalan latar belakang dan tujuan

pembangunan proyek tersebut. Kami juga menjelaskan bahwa para pedagang

tidak akan digusur begitu saja tetapi akan disediakan tempat yang layak untuk

berjualan, tanpa menimbulkan kesan yang kumuh pada pantai yang sangat indah

tersebut. Justru pantai tersebut harus menjadi tempat yang prima untuk

mempromosikan Resor Wisata Nusa Dua. Masyarakat sama sekali tidak dilarang

menikmati alam pantai dengan baik apalagi untuk tujuan Upacara, bahkan pada

suatu saat bisa digelar acara hari "Penglukatan Agung" atau "Gangga Pratista

Day" di sepanjang pantai Nusa Dua pada hari peleburan dosa Siva latri atau

Banyu Pinaruh. Beberapa hotel dan masyarakat sudah sepakat untuk mendukung.

Akhimya kami minta kepada tokoh-tokoh masyarakat agar tidak memperpanjang

masalah yang sudah jelas dasar hukum, tujuan dan manfaatnya dan bersama sama

menanda tangani kesepakatan bersama dan semuanya dapat menerima dan

polemik pun diakhiri.

Pertarungan akan kepentingan tidak akan pernah hilang begitu saja dia

akan langgeng dalam kekuasaan walaupun pejabat penguasanya telah berganti

mengikuti perubahan zaman. Agar tujuan suatu pihak tercapai mereka berusaha

bertahan dengan argumen-argumen. Dalam pembangunan Beach World Nusa Dua

terjadi polemik antara BTDC dan anggota DPRD yang juga mempunyai

Page 43: relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali

139

kepentingan tersendiri. Anggota dewan, misalnya, berkepentingan untuk membela

aspirasi rakyat karena mereka dipilih langsung oleh rakyat. Pada zaman Orde

Baru, anggota DPR dipilih oleh pimpinan partai sehingga niat untuk

memperjuangkan rakyat kurang sungguh-sungguh.

Munculnya relasi kuasa oposisional tidak dapat dipisahkan dengan

perubahan sosial politik makro terbukti dari adanya dukungan kepada masyarakat

untuk menyampaikan aspirasinya dari anggota legislatif, dari media massa, dan

dari LSM yang terbentuk karena semakin terjaminnya kebebasan berpendapat. Di

luar itu, masyarakat semakin melihat kesuksesan resor wisata Nusa Dua namun

akses mereka untuk menikmati keuntungan ekonomi pariwisata seperti dihalangi.

Kombinasi situasi tersebut menjadi pendukung lahirnya relasi kuasa oposisional.