relasi kuasa dalam pengelolaan resor wisata nusa dua, bali
TRANSCRIPT
97
BAB V
BENTUK RELASI KUASA DALAM PENGELOLAAN RESOR WISATA
NUSA DUA
Bab ini membahas bentuk relasi kuasa dalam pengelolaan Resor Wisata
Nusa Dua, juga sekaligus menjawab pertanyan pertama permasalahan dalam
penelitian ini. Dalam bab ini mencakup hubungan relasi kuasa yang terjadi dalam
pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua dan adanya hegemoni pemerintah terhadap
masyarakat dalam bentuk kekuasaan pemerintah, kekuasaan investor khususnya
pemilik modal yang membangun hotel di Resor Wisata Nusa Dua, dan adanya
kekuasan oposisional atau perlawanan masyarakat. Untuk membahas lebih lanjut
bab ini akan digunakan teori hegemoni Antonio Gramsci dan juga mengaitkan
dengan teori diskursus Michel Foucault.
Hegemoni adalah konsep analisis yang diperkenalkan Gramsci dan
mendapat banyak sambutan oleh kalangan tokoh kajian budaya. Mereka
mendapatkan bahwa konsep hegemoni sangat produktif dalam memahami makna
teks (Lewis 2008:78). Ahli sosiologi Frank Parkin (1971) mengembangkan
hegemoni dalam analisis sosiologi sedangkan ahli kajian media Stuart Hall
menggunakan konsep hegemoni dalam studinya tentang respon masyarakat dalam
menonton acara televisi. Hall (dalam Storey 1996: 12-13) membagi tiga jenis
penonton televisi dalam merespon wacana acara televisi, yaitu the dominant-
hegemonic position (posisi terhegemoni secara dominan), the negotiated position
(posisi negosiasi), dan the oppositional code (posisi oposisional).
98
Alat analisis dalam disertasi ini menggunakan konsep hegemoni Gamsci
dan kemudian pengembangannya yang dilakukan Hall. Dalam posisi terhegemoni
berarti masyarakat atau penonton televisi menerima tanpa sikap kritis makna yang
disampaikan lewat acara televisi, sedangkan mereka yang dalam posisi negosiasi
melakukan pemahaman secara kritis atas makna yang disampaikan dengan sikap
mungkin menerima atau menolak sebagian, sedangkan mereka yang mengambil
posisi oposisional sepenuhnya menolak pesan-pesan yang ditanamkan dalam
wacana acara televisi. Konsep teks dalam kajian budaya bermakna luas, bukan
saja mengacu pada teks sastra, acara televisi, tetapi juga segala bentuk komunikasi
dan relasi yang berujung pada pemaknaan.
Relasi antara pilar-pilar dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua juga
dapat dijelaskan dalam tiga bentuk yaitu relasi hegemoni, relasi negosiasi, dan
relasi oposisi. Dalam relasi hegemoni posisi pemerintah/BTDC lebih dominan
daripada masyarakat, artinya bahwa masyarakat tunduk pada wacana dan
gagasan-gagasan pemerintah, sedangkan dalam relasi negosiasi dan oposisional
kondisinya bergeser di mana masyarakat mulai berani melakukan tawar-menawar
atas apa yang dilakukan pemerintah/BTDC dalam konteks pengelolaan dan
pengembangan Resor Wisata Nusa Dua. Relasi kuasa tersebut dipengaruhi oleh
situasi makro sosial politik Indonesia dan daerah.
Relasi kuasa hegemonik mewarnai hubungan antara pemerintah dan
masyarakat sekitar Nusa Dua pada masa proses pembebasan tanah dan
pembangunan hotel-hotel. Relasi kuasa hegemonik sedikit demi sedikit mendapat
negosiasi menjelang jatuhnya kekuasaan Orde Baru akhir tahun 1990-an. Relasi
99
oposisional semakin mewarnai hubungan ketiga pilar pasca-reformasi. Era
demokratisasi dalam dunia politik juga mewarnai keberanian masyarakat di Nusa
Dua dan sekitarnya untuk melakukan oposisi terhadap kepentingan penguasa dan
pengusaha. Bab ini dibagi menjadi tiga bagian utama, yang membahas tiga bentuk
relasi kuasa, yaitu relasi kuasa hegemonik, negosiasi, dan oposisi.
5.1 Relasi Kuasa Hegemonik
Relasi kuasa hegemonik dirasakan masyarakat dalam berhadapan dengan
pemerintah dalam proses perencanaan, pembebasan tanah, dan pembangunan
resor wisata Nusa Dua. Situasi hegemonik berlanjut dalam proses pengelolaan.
Dalam proses perencanaan pembangunan, pembebasan tanah, dan pelaksanaan
pembangunan, kuasa pemerintah sangat menonjol, sementara masyarakat di
wilayah terdampak langsung dengan pembangunan resor wisata Nusa Dua ini
kurang mendapat ruang untuk menyampaikan aspirasinya. Mereka menjadi objek
pembangunan. Mereka mesti mendukung pembangunan resor Nusa Dua sebagai
destinasi wisata kelas mewah. Hal ini terjadi karena pada zaman Orde Baru yang
bersifat sentralistik bahkan otoriter, rakyat tidak memiliki kekuatan yang cukup
untuk menawar apalagi menolak program pemerintah. Jika mereka melakukan
penolakan, mereka bisa dituduh menghambat pembangunan dan resikonya cukup
serius, sehingga tidak mengherankan banyak masyarakat yang menghindari untuk
berbeda haluan dengan pemerintah, termasuk masyarakat sekitar Resor Wisata
Nusa Dua.
100
Dalam pembebasan tanah Nusa Dua pemerintah melakukan hegemoni
dengan cara memberi argumen bahwa daerah Nusa Dua yang gersang (lihat
Gambar 5.1). Pernyataan bahwa tanah di sana gersang dan kurang produktif
adalah benar untuk masa itu. Masyarakat hanya menanam kelapa dan memelihara
ternak sapi dan kerbau yang pakan rumputnya dihasilkan dari tanah yang gersang.
Wacana yang diajukan kemudian adalah menyulap tanah gersang yang kurang
produktif menjadi proyek pariwisata yang lebih menguntungkan semua pihak,
termasuk tentunya rakyat sekitar. Proyek pariwisata yang dibangun akan menjadi
destinasi wisata yang dapat membuka lapangan pekerjaan dan sumber daya
ekonomi baru untuk kesejahteraan masyarakat. Karena tanah tersebut tidak
produktif sebagai lahan pertanian pemerintah membeli tanah masyarakat dengan
harga yang ditentukan oleh pemerintah yaitu dengan harga murah. Dengan harga
yang ditentukan oleh pemerintah tersebut, masyarakat harus menjualnya. Setiap
tindakan hegemoni terhadap suatu kelas atau golongan secara sadar maupun tidak
sadar ada yang mendukung dan ada yang tidak mendukung terhadap keberadaan
Resor Wisata Nusa Dua. Bagaimana respon masyarakat atas wacana pemerintah
membangun resor wisata, tampak dari pendapat I Made Kuna, mantan Bendesa
Adat Bualu (periode 1982-2007), yang juga adalah anggota masyarakat yang
tanahnya ikut dibebaskan. Dengan demikian, pernyataan Made Kuna bisa dilihat
secara kuat karena mewakili dirinya sebagai anggota dan sebagai tokoh yang
mewakili warganya. Dalam wawancaranya, Made Kuna menyampaikan:
Awalnya berkisar tahun 1970-1971, pemerintah menginformasikan kepadamasyarakat keperbekelan Benoa bahwa tanah yang lokasinya di pinggirpantai sebelah timur akan dibebaskan pemerintah dan akan dibangun untukkegiatan pariwisata. Penjelasan aparat pemerintah, bagi masyarakat yang
101
memiliki tanah tersebut akan diberikan ganti rugi sesuai harga tanah yangditetapkan oleh pemerintah, saat itu saya/kami keluarga merasa sedihkarena tanah warisan kami akan dijual. Namun, karena ini untukkepentingan pemerintah dan adanya janji pemerintah bila tanah yang tidakproduktif, kering, dan tidak subur akan dibangun untuk kepentinganpariwisata dan akan memberikan tingkat kesejahteraan lebih baik kepadamasyarakat melalui bisa ditampung sebagai pekerja, bisa berusaha sebagaipeluang kerja dan berusaha semakin banyak dan bisa menghasilkan danmeningkatkan perekonomian masyarakat (Wawancara 1 Juni 2014).
Wacana pemerintah yang bisa ditangkap dari ungkapan I Made Kuna
tersurat dan tersirat dalam pilihan kata seperti ‘tanah kering, tidak produktif’ yang
akan ‘dibebaskan’ oleh pemerintah untuk pembangunan pariwisata yang dapat
menampung tenaga kerja, yang dapat membantu masyarakat untuk menjadi
sejahtera. Terkesan kuat bahwa Made Kuna menerima gagasan pembebasan tanah
karena dilakukan pemerintah untuk kepentingan pembangunan pariwisata. Idiom
‘pembangunan’ sangat kuat dalam era Suharto, kata-kata yang bisa menyilaukan
sekaligus menakutkan sehingga tidak ada kemampuan untuk menolak. Dari
sumber lain, seperti dikutip Madiun (2010), kita mengetahui bahwa sejumlah
masyarakat mengalami intimidasi dalam proses pembebasan tanah.
Gambar 5.1.Nusa Dua tahun 1970, dianggap tanah gersang dan tak produktif
(Repro laporan SCETO 1970).
102
Dalam proses pembebasan itu, harga tanah ditentukan secara sepihak oleh
pemerintah, tapi, seperti kata Made Kuna, masyarakat yang merasa sedih akan
melepaskan tanahnya biasanya menerima saja apa yang diberikan oleh
pemerintah. Lebih lanjut Made Kuna menyampaikan ingatannya sebagai berikut:
Pada waktu itu tanah kami dibebaskan dan dibayar dengan hargaRp.6.000,- - Rp.10.000,-/are sesuai dengan kelas tanah. Kami pemiliktanah walaupun ada perasaan sedih tidak bisa berbuat lain, akhirnyamenyetujui untuk melepaskan tanah dan menerima ganti rugi tanah sesuaiyang ditetapkan pemerintah.
Dalam proses ganti rugi itu, pemerintah mencoba menunjukkan sikapnya
yang bajik dengan kemudian memberikan ganti rugi lain seperti membayar pohon
kelapa di atas tanah dan memberikan kompensasi kepada masyarakat berupa tanah
kapling, seperti dituturkan oleh Made Kuna:
Setelah berjalan beberapa waktu kembali pemerintah ada perhatian untukmengganti rugi. Semua pohon kelapa dibayar dan semua bangunan yangada di atasnya juga diberi ganti rugi. Sebagai kompensasi masing-masingkepala keluarga diberi tanah kapling 3,5 are.
Dalam studinya, Madiun (2010) mendapatkan bahwa terjadi intimidasi
dalam proses pembebasan tanah. Masyarakat menerima nilai ganti rugi dan
kompensasi atas tanah yang diserahkan bukan karena mereka sepenuhnya
mendukung program pembangunan daerah wisata tetapi karena perasaan takut
dari intimidasi. Relasi kuasa yang tidak seimbang. Namun, agar tidak dituduh
sebagai penghambat program pembangunan pemerintah, masyarakat yang
tanahnya harus diserahkan memilih menerima keputusan pemerintah.
Secara nyata masyarakat yang tanahnya dibebaskan secara langsung,
tersirat rasa menolak atas pembebasan tanah milik mereka oleh pemerintah. Tetapi
103
di balik pembebasan tanah tersebut pemerintah yang didukung oleh kekuatan dan
pengetahuan yang lebih tinggi dari masyarakat dapat secara sadar maupun tidak
sadar telah membuat pikiran masyarakat untuk membanggakan BTDC karena
memberi ganti rugi, di sinilah berjalannya hegemoni kuasa dan pengetahuan
BTDC dengan halus tanpa disadari oleh masyarakat. Pemerintah menggunakan
mekanisme wacana yang di-back up dengan bentuk intimidasi dalam memperoleh
dominasinya atau memelihara hegemoninya.
Proses pembebasan tanah dan pembangunan berjalan sesuai rencana,
mengesankan masyarakat menerima dengan lapang dada dan mendukung proyek
pembangunan pariwisata di Nusa Dua. Tahun 1983, Presiden Suharto datang ke
Nusa Dua untuk meresmikan beroperasinya hotel pertama di resor tersebut yaitu
Nusa Dua Beach Hotel. Proses pengelolaan dengan sistem sewa pun berjalan
seperti direncanakan, hampir tidak ada persoalan yang muncul di antara penguasa,
pengusaha, dan masyarakat. Daerah yang dahulunya sangat gersang dan tidak
menjanjikan bagi pertanian sekarang diubah dan ditata menjadi resor pariwisata
seperti pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2.Tugu Selamat Datang Nusa Dua
(Dok. Purnaya 2014)
104
Sebagaimana yang dipaparkan Anak Agung Gede Rai Direktur Utama PT
Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) atau BTDC periode 1995-2001
menyatakan:
Pada awalnya hubungan BTDC (dalam hal ini pemerintah yang mengelolawilayah Nusa Dua) dengan rakyat Bualu dan sekitarnya berjalan normal,walaupun sering terasa adanya “rasa irihati” (jealousy) dari sejumlahindividu di wilayah tersebut. Individu-individu barangkali agak “kaget”,mengingat Nusa Dua yang pada awalnya merupakan wilayah gersang,tidak memberikan harapan apa-apa dari segi pertanian, setelahdikembangkan, ditata dan dilengkapi dengan berbagai infra strukturmenjadi tempat pembangunan sejumlah hotel, lapangan golf dan saranalainnya lalu berubah total menjadi penghasil uang. Pertama-tama terasaadanya keinginan untuk mendapatkan “bagian” dari keberhasilanpembangunan itu (Wawancara 5 April 2014).
Namun, karena secara hukum, masyarakat sudah melepaskan hak atas
tanahnya, tentu saja mereka tidak memiliki dasar untuk melampiaskan ‘rasa
irihatinya’. Dalam relasi kuasa antara penguasa/BTDC, pengusaha, dan
masyarakat di mana pemerintah lebih kuat, maka masyarakat menerima apa yang
terjadi. Anak Agung Gede Rai, menyatakan bahwa hampir tidak ada masalah
antara penguasa dan masyarakat di Nusa Dua, paling tidak sampai tahun 1999.
Persoalan serius justru terjadi tahun 1999, dampak dari kegagalan Megawati
menjadi Presiden. Dalam wawancara AA Gede Rai mengungkapkan:
Dari tahun 1995 sampai tahun 2001, tidak ada catatan peristiwamiskomunikasi dengan masyarakat. Peristiwa kerusuhan tahun 1999sebagai dampak kegagalan seorang calon presiden menduduki Posisi RI I,sangat tidak dapat dimengerti mengapa Facade di jalan masuk kawasanBTDC, sebagian perumahan Direksi, serta kendaraan dirusak olehsekelompok orang (Wawancara 5 April 2014).
Posisi BTDC selaku badan usaha milik negara dalam mengelola Resor
Wisata Nusa Dua dijelaskan oleh A.A Gede Rai akan menangani hal yang
105
merupakan kewenangannya. Jika ada masalah tanah atau ganti rugi yang belum
tuntas, BTDC menyerahkan kepada pihak pemerintah.
Mulai dari tahun 1995, ahli waris seorang warga Bualu pernah mengirabahwa sebidang tanah yang kini merupakan bagian dari Lapangan GolfNusa Dua, tidak lain dari tanah leluhurnya yang tidak dibayar olehPemerintah saat proses pembebasan tanah untuk membangun ResorWisata Nusa Dua berlangsung. Beberapa anggota DPRD Bali pernah ikutmemeriksa tanah tersebut dan dokumen-dokumennya. Jika terjadimisunderstanding dengan masyarakat solusi yang ditempuh, kalaumasalah tanah seperti tersebut dianggap sebagai misunderstanding, yangjelas pihak BTDC telah mengambil kebijakan solusi berupa penyerahanmasalah tersebut kepada instansi pemerintah yang berwenang, mengingatbahwa pemilik tanah itu sejak pembebasan tanah, berdasarkan Akta tidaklain dari BTDC (Wawancara 5 April 2014).
Penguasa dan pemerintah yang sejak awal dalam uraian ini diasumsikan
sebagai satu pilar, dalam kenyataannya adalah terdiri dari berbagai instansi
dengan tugas dan fungsi masing-masing, dan ini nyata dalam proses
perkembangan pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua. Untuk urusan pengelolaan
resor, BTDC hadir sebagai wakil penguasa atau pemerintah, sedangkan dalam
urusan legalitas kepemilikan tanah, ada badan pemerintah yang menangani dan
jika ada masalah, BTDC menyerahkan kepada badan pemerintah lokal terkait.
Dalam keterangan di atas, AA Gede Rai menunjukkan peran dan fungsi badan
yang dipimpinnya dan badan pemerintah lain dengan urusan terkait dengan Nusa
Dua. Di satu pihak penyaluran itu memang sesuai prosedur karena tidak mungkin
menuntut BTDC untuk menangani apa yang bukan menjadi bidangnya, di lain
pihak penyaluran solusi itu mengesankan BTDC menutup pintu dialog. Pada
zaman Orde Baru masih kuat, pola penyelesaian seperti itu adalah biasa terjadi,
masyarakat biasanya merasa pasrah dan menerima. Mereka tidak merasa berada
106
dalam dominasi atau hegemoni pemerintah. Namun, sesudah jatuhnya Orde Baru,
dan mulai berlangsungnya era reformasi, situasi berubah dan ikut mengubah relasi
antara BTDC dan masyarakat.
5.2 Relasi Kuasa Negosiasi Pasca-Reformasi
Perkembangan pariwisata tidak saja berkaitan dengan angka kunjungan
dan kenyamanan di destinasi tetapi juga sangat dipengaruhi oleh situasi sosial
politik dalam negeri tuan rumah. Hal ini terlihat jelas dalam pengelolaan Resor
Wisata Nusa Dua. Riak-riak protes yang sempat muncul sebelum reformasi dan
dengan mudah diberangus oleh pemerintah, mulai menguat dalam masa reformasi
dan pihak pemerintah tidak mudah membungkamnya. Penguasa atau pengusaha di
Nusa Dua tidak bisa menganggap keluhan, protes, permintaan, demonstrasi
masyarakat sebagai angin lalu yang bisa diselesaikan dengan ancaman aparat atau
ancaman hukum.
Ungkapan AA Gede Rai menunjukkan adanya aspirasi masyarakat yang
mulai diangkat ke permukaan. Terjadi pergeseran dari sifat pasrah masyarakat
menjadi mulai mengartikulasikan kepentingan. Jika dilihat dari perjalanan waktu,
pergeseran keberanian masyarakat menyampaikan aspirasi terjadi sejalan dengan
berubahnya iklim sosial politik di Indonesia, yakni mulai melemahnya kekuasaan
Orde Baru dan mulai menguatnya dorongan untuk reformasi.
Hal seperti itu juga terjadi pada waktu-waktu kemudian, bahkan
masyarakat tampak lebih melebarkan berbagai kepentingannya dalam
mendapatkan hak menikmati keuntungan ekonomi pariwisata di Nusa Dua. Pada
107
masa manajemen BTDC dipegang oleh Dirut Ida Bagus Wirajaya (periode 2011-
sekarang), misalnya, relasi kuasa antara BTDC dan masyarakat diwarnai dengan
dialog dan negosiasi untuk keuntungan semua pihak, terutama dalam kerangka
mengembangkan Nusa Dua sebagai resor mewah (Gambar 5.3) tanpa
mengabaikan kebutuhan masyarakat dalam menjalankan hak hidupnya untuk
mencari nafkah. Wirajaya menyampaikan usaha-usahanya untuk mencari jalan ke
luar dalam miskomunikasi yang terjadi:
Miskomunikasi terjadi tentang masalah persepsi peruntukan kawasan NusaDua, BTDC dengan konsep luxurious resort menghendaki keamanan dankenyamanan wisatawan yang tinggal di Nusa Dua. Tidak terlalu banyakdiganggu oleh para pedagang, di sisi lain bagi masyarakat, denganbanyaknya wisatawan yang berjemur di pantai adalah peluang untukberjualan. Persepsi tentang kualitas angkutan (taxi) hotel menghendakiangkutan wisatawan harus bagus, bersih dan harga pasti (argo taxi),sedang masyarakat menghendaki dapat ikut melayani wisatawan dengantaxi miliknya yang belum ada argonya (Wawancara 12 Maret 2014).
Dalam menyelesaikan persoalan miskomunikasi, Dirut BTDC melakukan
tindak komunikasi dengan melakukan dialog dan memberikan pengertian sesuai
dengan peraturan yang berlaku dan nilai-nilai etika yang berlaku. Mekanisme
yang diajukan dalam dialog adalah ketentuan normatif yang tampaknya lebih
berpihak pada mempertahnkan kepentingan BTDC. Yang penting juga, demi
tercapai pembangunan pariwisata yang berorientasi kesejahteraan rakyat, pihak
BTDC mengizinkan mereka berusaha asal tertib. Lebih lanjut, Wirajaya
menyampaikan:
Bila terjadi miskomunikasi dengan masyarakat, BTDC lakukanpendekatan dengan para tokoh baik yang formal maupun tidak formaldengan menjelaskan atau menanyakan keinginan masyarakat, solusinyabiasanya kita cari jalan ke luar yang saling menguntungkan sepertimasalah pedagang pantai yang sesuai dengan konsep Kawasan Nusa Dua
108
dan PERDA II Pemda Badung tidak membolehkan kegiatan di pantai yangsifatnya komersial, tetapi karena kebutuhan masyarakat untuk ikutmenikmati pembangunan pariwisata dengan kemampuan yangdimilikinya, maka, BTDC memberikan mereka berdagang dengan syaratharus tertib dan ramah, dan mereka harus membentuk kelompok untukmemudahkan pembinaan. Masalah Taxi argo, BTDC mengadakanpendekatan dengan pihak hotel agar memberikan kesempatan kepadamasyarakat pemilik taxi ikut antre di hotel masing-masing sebanyak 5 unittaxi secara bergiliran. Masyarakat diharuskan memasang argo pada taxinyasecara bertahap sehingga pelayanannya lebih baik (Wawancara 12 Maret2014).
Gambar 5.3.Nusa Dua tertata baik, sangat berbeda dengan dahulu ketika masih gersang.
(Dok. Purnaya, 2014).
Berbeda dengan pada era Orde Baru, ketika relasi kuasa antara pemerintah
dan masyarakat tampak tidak seimbang, di mana masyarakat berada di pihak yang
‘mesti’ mengalah atau ‘dikalahkan’, pada masa reformasi pemerintah mau tidak
mau harus mendengarkan aspirasi dan tuntutan masyarakat, apalagi kalau itu
memang murni tuntutan untuk mendapatkan mata pencaharian yang merupakan
hak masyarakat.
109
Dialog sebagai bentuk negosiasi dalam membahas kepentingan bertujuan
untuk mendapatkan hal terbaik dari semua pihak terkait. Harmonis adalah tujuan
utama dialog. Dalam konteks pengelolaan BTDC, harmonisnya hubungan antara
ketiga pilar akan membuat suasana di Resor Wisata Nusa Dua akan nyaman, yang
ujung-ujungnya akan mendukung destinasi kelas mewah itu dalam memuaskan
wisatawan yang menginap dan berkunjung ke sana. Menjelaskan hubungan BTDC
dengan masyarakat dewasa ini, Ida Bagus Wirajaya, sebagai Dirut BTDC
memaparkan “Hubungan BTDC dengan masyarakat sampai saat ini cukup
harmonis dan saling memahami dengan posisi masing-masing, saling
membutuhkan satu sama lainnya (Wawancara 12 Maret 2014)”.
Pemaparan antara Direktur Utama BTDC periode 1995-2001 dan periode
2011–sekarang di atas mempunyai perbedaan yang mencolok. Hal ini bisa
disebabkan pada masa jabatan direktur utama periode 1995-2001 terjadi banyak
persoalan pada masa jabatannya menyusul dengan euforia politik yang mendorong
kesadaran publik dalam menuntut haknya, sedangkan pada masa direktur utama
periode 2011- sekarang, persoalan-persoalan tersebut sudah mulai hilang karena
sudah dicarikan solusi. Penegakan hukum mulai tertata sehingga jika ada
persoalan, regulasi atau ketentuan dijadikan patokan pemecahan masalah. Semua
instansi, termasuk BTDC harus cepat tanggap terhadap persoalan yang berkaitan
dengannya. Sehubungan dengan hal-hal ini, negosiasi tidak perlu sampai menjadi
tindak oposisi. Upaya dialog sebagai tindak komunikasi diutamakan sehingga
masalah yang muncul tidak semenonjol pada masa lalu. Setiap pilar merasakan
110
memiliki kuasa yang terbatas dan sama-sama bertindak berdasarkan regulasi atau
hukum.
Jika ditelaah ke belakang secara tidak langsung kita dapat bahwa awalnya
masyarakat benar-benar tidak mengetahui fungsi dari pembebasan resor tersebut.
Mereka tahunya hanyalah dibebaskan oleh pemerintah dan untuk kepentingan
pemerintah, bukan untuk kepentingan lain.
Setelah selesai secara keseluruhan Resor Wisata Nusa Dua menjadi
daerah yang dipisahkan bagi warga sekitar Nusa Dua, hal ini dilakukan dengan
cara membangun tembok-tembok pembatas di sepanjang Resor Wisata Nusa Dua
tersebut agar masyarakat tidak dengan mudah ke luar masuk Resor Wisata Nusa
Dua. Dalam melancarkan hegemoni penguasa selalu merekayasa kesadaran
masyarakat sehingga tanpa mereka sadari dan secara tidak langsung mereka juga
mendukung. Untuk mencapai tujuannya penguasa melibatkan para intelektual
dalam birokrasi pemerintah dalam berbagai bentuk upaya melakukan hegemoni
terhadap rakyat, seperti pada gambar 5.4.
Gambar. 5.4Tembok-tembok pembatas lokasi hotel di resor wisata Nusa Dua
(Dok. Purnaya, 2014).
111
Tembok-tembok pembatas ini dibangun untuk mengasingkan antara
pengunjung Resor Wisata Nusa Dua dengan masyarakat sekitar agar para
pengunjung merasa lebih nyaman berkunjung ke Resor Wisata Nusa Dua dengan
taraf internasionalnya tanpa adanya gangguan dari masyarakat. Begitu juga di
sekitar hotel dekat pantai juga terdapat tembok pembatas antara masyarakat
dengan hotel. Apabila digambarkan secara ilustrasi perbedaaan Resor Wisata
Nusa Dua dengan masyarakat sebagai berikut.
Gambar. 5.5Pemisah antara masyarakat dengan Resor Wisata Nusa Dua
(Dok. Purnaya,2014).
Gambar 5.5 memperlihatkan secara tidak langsung adanya pemisah antara
masyarakat dengan Resor Wisata Nusa Dua yang dilakukan pemerintah, hal ini
merupakan salah satu bentuk hegemoni pemerintah terhadap masyarakat sekitar
Nusa Dua. Pemisahan ini dilakukan bukan semata-mata karena satu alasan
tertentu tetapi terdapat banyak alasan yang terdapat di dalamnya seperti tingkat
keamanan Resor Wisata Nusa Dua dari ancaman masyarakat, kenyamanan
wisatawan dalam berkunjung ke Resor Wisata Nusa Dua tanpa adanya gangguan
112
dari masyarakat yang ke luar masuk dengan bebasnya. Hegemoni pemerintah ini
berjalan karena didukung oleh kekuasaan yang dimiliki, karena hegemoni tidak
akan berjalan dengan lancar tanpa adanya kekuasaan yang mendukung. Pada masa
ini masyarakat menerima apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah, masyarakat
menerima secara seratus persen apa yang telah menjadi ketetapan pemerintah.
Menurut Gramsci dalam (Suyanto, 2010: 23) hegemoni akan tetap berkembang
apabila cara hidup, cara berpikir, dan pandangan pemikiran masyarakat bawah,
termasuk golongan kaum proletar telah meniru dan menerima cara berpikir dan
gaya hidup dari golongan elit yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka.
Hegemoni akan melahirkan kepatuhan: sebuah sikap yang menerima keadaan,
tanpa mempertanyakan lebih lanjut secara kritis, karena mereka menelan mentah-
mentah ideologi yang diekspos kaum borjuis.
Dalam Resor Wisata Nusa Dua Kelurahan Benoa, hegemoni tidak saja
terjadi dari pemerintah kepada masyarakat secara keseluruhan, tetapi juga terjadi
dari pemerintah kepada investor yang menanamkan modal di Nusa Dua. Investor-
investor yang berupa hotel-hotel di daerah Nusa Dua harus menyetujui ketentuan
yang berlaku dari pemerintah atau BTDC tanpa bisa dibantah. Semua ketentuan
itu harus dilakukan oleh para invertor agar bisa mendirikan hotel di resor wisata
Nusa Dua dengan ketentuan kontrak yang terbatas oleh waktu, para investor
hanya mempunyai hak sewa lahan selama yang terdapat pada kontrak. Apabila
investor melanggar akan diberikan sanksi. Walaupun ada kontrak yang ditetapkan
tidak semua kegiatan atau permasalahan dibantu oleh BTDC, sebagaimana
113
disampaikan Asih Wesika, Director of Human Resources Nusa Dua Beach Hotel
Spa, berikut:
Hubungan dengan BTDC cukup baik, masih banyak hal-hal yangdiharapkan dibantu BTDC tetapi tidak terlaksana seperti penangananmasalah desa, sumbangan taxi, sengketa batas, supply air, penerangan,banjir dan lain-lain. Perlu dicatat, BTDC belum mampu menunjukkansikap proaktif cenderung pasif (Wawancara 10 April 2014).
Hal ini dapat dilihat tidak semua dibantu oleh BTDC. Sedangkan Anak
Agung Gede Rai, Direktur Utama PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero)
atau BTDC periode 1995-2001 dalam wawancaranya menyatakan:
Investor berhubungan langsung dengan BTDC terutama dalam hal sewa-menyewa lahan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tertera dalambuku sewa-menyewa dan pemanfaatan lahan (LUDA) di kawasanBTDC. Investor tidak berinteraksi dengan masyarakat secara luas,kecuali dengan mitra-mitra kerjanya dalam kegiatan pembangunan fisikhotel dan persiapan sarana-sarana lain yang diperlukan (Wawancara 5April 2014).
Pernyataan tersebut secara tidak langsung telah memperlihatkan bahwa
adanya hegemonik yang berjalan dengan sendirinya dan bersifat penuh terhadap
investor tanpa bisa dinegosiasikan. Tetapi untuk mencapai apa yang diinginkan
oleh investor, investor juga berani mengambil resiko asalkan niat yang
dimaksudkan terlaksana. Hegemoni ini tidak hanya sebatas perjanjian kontrak
sewa-menyewa saja, para investor seperti yang di sampaikan Ni Wayan Seriani
Director of Finance Novotel menyampaikan:
Karena hotel bernaung di bawah Accor Management yang mana hotelpunya kewajiban untuk menyetorkan dana Rp 15.000 per kamar ke CSRAccor Bali-Lombok untuk membuat sanggar di daerah Bedugul(Wawancara 4 Maret 2014).
114
Ketentuan setiap hotel mempunyai perbedaan yang mendasar kenapa suatu
hotel harus melakukan hal tersebut, sedangkan hotel lain tidak diharuskan untuk
melakukan hal yang sama. Walaupun sama-sama mempunyai power tetapi tetap
ada yang menjadi korban hegemoni dari suatu golongan dalam mencapai tujuan
tertentu sebagaimana Asih Wesika menyatakan :
Pola strategi penyaluran CSR belum terpola dengan baik atau terstruktur.Semua kegiatan CSR masih dalam bentuk bantuan yang sifatnyasewaktu-waktu. Belum mencapai ranah pengembangan talenta bakat danminat masyarakat untuk membantu mereka berkembang kecuali anak-anak cacat (Wawancara 10 April 2014).
I Nyoman Beker Manager Safety & Security The Westin Resort
menyatakan bahwa penyaluran CSR melalui lembaga resmi BHA, melalui desa
adat dan pemerintah kelurahan, memberikan bantuan langsung kepada mereka
yang membutuhkan setelah dilakukan kajian (Wawancara 21 Maret 2014). Di sisi
lain Dirut Ida Bagus Wirajaya, bahwa pola penyaluran CSR, dengan dana yang
ada di BTDC diberikan kepada masyarakat atau kelompok di seluruh Bali, tapi
tetap memprioritaskan permohonan atau proposal yang datang dari masyarakat
Kelurahan Benoa.
Selain itu strategi BTDC untuk memberdayakan masyarakat, sejak awal
berdirinya BTDC sudah mendidik masyarakat lokal yang disiapkan untuk bekerja
di Hotel di Resor Wisata Nusa Dua, selanjutnya BTDC juga mendirikan Sekolah
Tinggi Pariwisata yang tujuannya meningkatkan pengetahuan masyarakat di
dalam bidang kepariwisataan. BTDC juga membina para pedagang asongan yang
berjualan di pantai supaya memahami cara berkomunikasi dengan wisatawan,
BTDC juga memberikan bantuan kepada para nelayan dengan kapal yang dipakai
115
untuk mengantarkan wisatawan untuk melihat keindahan terumbu karang di laut.
Menginformasikan kepada masyarakat agar tidak menjual tanahnya dan bila
punya dana agar membuat rumah yang disewakan kepada pendatang, kreatif
membuat cendramata atau buka toko untuk menjual cenderamata.
Hal yang sama juga dipaparkan oleh mantan Dirut Anak Agung Gede Rai
sebagai berikut antara lain dengan jalan memberikan Dana Pinjaman Lunak
kepada kelompok-kelompok Koperasi dan para wirausahawan individu yang
memenuhi persyaratan, yang dimuat Mitra Binaan yang tersebar hampir di seluruh
pelosok Pulau Bali. Sekolah-sekolah di wilayah Nusa Dua, bahkan di luar wilayah
tersebut diberi sumbangan berupa dana atau perlengkapan belajar/mengajar
lainnya. Para Pramuniaga yang bertugas di toko-toko cendera mata, restoran dan
lain-lain di kawasan BTDC dan sekitarnya pernah di-“sekolahkan” ke STP dengan
biaya BTDC dengan tujuan agar mereka belajar lebih banyak tentang keramah-
tamahan serta sopan santun dalam melayani para pelanggan meraka. Lima Rumah
Ibadah (Masjid, Gereja Katolik, Wihara, Gereja Kristen Protestan dan Pura) yang
kemudian diberi nama komplek puja mandala, untuk kepentingan Keagamaan,
dibangun sepenuhnya oleh BTDC.
BTDC sebagai Pengelola Resor Wisata Nusa Dua secara tidak langsung
telah melakukan hegemoni melalui kombinasi kekuatan dengan persetujuan
sebagaimana Gramsci (dalam Barker, 2009: 62-63) hegemoni berarti di mana
suatu ‘blok historis’ faksi kelas berkuasa menjalankan otoritas sosial dan
kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan
dengan persetujuan. Jadi praktik normal hegemoni dicirikan dengan kombinasi
116
kekuatan dan persetujuan, yang secara timbal balik saling mengisi tanpa adanya
kekuatan yang secara berlebihan memaksakan persetujuan. Namun, upaya yang
sebenarnya adalah untuk memastikan bahwa kekuatan tersebut seakan-akan hadir
berdasarkan persetujuan mayoritas yang diekspresikan oleh apa yang disebut
dengan opini publik. Seperti yang terjadi masa dahulu pada sikap masyarakat
Nusa Dua yang menerima keadaan, tanpa mempertanyakan lebih lanjut secara
kritis.
Masyarakat menerima ketentuan dari pemerintah terhadap mereka tanpa
melakukan negosiasi karena tidak mengerti dan ketakutan dengan kekuasaan.
Sekarang dengan berubahnya zaman, sejak masyarakat kelurahan Benoa mulai
mencicipi bangku pendidikan, khususnya di sekitar Resor Wisata Nusa Dua telah
mulai mempertanyakan setiap tindakan yang diambil oleh pemerintah pusat
ataupun BTDC yang bertindak sebagai wakil dari pemerintah pusat dalam
pengembangan wilayah wisata di Nusa Dua. Masyarakat sudah tidak mau
menerima begitu saja seperti dulu, sekarang masyarakat mulai melakukan
negosiasi terhadap kebijakan dan tindakan BTDC walaupun sebenarnya di balik
negosiasi yang dilakukan tersebut masih terselip hegemonik kekuasaan.
Perbedaan-perbedaan kecil ini sering menimbulkan riak-riak sosial yang
berskala kecil. Seperti yang terjadi di sekitar Resor Wisata Nusa Dua yang
pedagang dengan leluasa keluar masuk resor wisata, hal ini terjadi karena
rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan ketertiban.
Mantan Dirut BTDC Anak Agung Gede Rai (dalam wawancara tanggal 5 April
2014) menyatakan bahwa pedagang barang-barang cendera mata, dan penjaja
117
sarana rekreasi, sering masuk ke area hotel, merajuk tamu-tamu yang sering
berjemur di pinggir pantai atau sekitar kolam renang, pengusaha transportasi (taxi)
berebut penumpang, yang semuanya menjadi alasan timbulnya keluhan para
tamu/wisatawan. Mereka yang memiliki toko-toko cendera mata di kanan-kiri
gerbang masuk ke kawasan BTDC, pada mulanya membangun seadanya,
sehingga wisatawan yang masuk ke BTDC pertama-tama akan melihat deretan
toko-toko yang kumuh. Perlu di bangun façade (tedeng aling-aling) untuk
mengurangi pemandangan yang kurang elok tersebut. Karena kondisi ini sangat
tidak mendukung maka dilakukan negosiasi antara BTDC dengan masyarakat.
Dengan kesepakan yang dicapai pengusaha taxi diberi tempat parkir khusus dan
shelter untuk pengemudinya oleh BTDC, pembangunan balai desa kampial
disumbang oleh BTDC, sekolah-sekolah diberi bantuan dana dan penerimaan
siswa masuk ke STP diutamakan putra-putri dari wilayah Nusa Dua. Tenaga-
tenaga lower level di BTDC pun diutamakan yang berasal dari wilayah sekitar
Nusa Dua. Tidak lupa kelompok-kelompok nelayan pun diberi sumbangan dua
buah perahu bermesin oleh BTDC.
Hasil negosiasi bisa jadi akan menemukan titik temu, yang mampu
meredam timbulnya masalah yang berkepanjangan antara dua belah pihak yang
sama-sama mempunyai kepentingan, kendati posisi para pihak sebenarnya tidak
sejajar antara BTDC (pemerintah) dengan masyarakat Nusa Dua. Bila BTDC
tidak mau duduk dalam satu meja perundingan dengan masyarakat, bisa
diperkirakan, negosiasi tidak akan berhasil membuahkan kata sepakat yang saling
menguntungkan kedua belah pihak.
118
Menurut Gramsci (dalam Barker 2009: 373) bahwa hegemoni melibatkan
pendidikan dan pemenangan konsensus ketimbang pemakaian kekuatan brutal dan
koersif semata. Kendati negara tidak dipahami sebagai satu tangan kasar dari
kelas berkuasa, namun dia berhimbas pada hegemonik kelas. Negosiasi yang
terjadi antara BTDC dan masyarakat Nusa Dua secara tidak sadar telah masuk ke
dalam hegemonik kelas. Agar tidak kelihatan kasarnya suatu tindakan dari BTDC
maka kedua belah pihak duduk bersama di meja perundingan. Tetapi apabila
antara kedua belah pihak mau duduk bersama untuk bernegosiasi maka akan
menghasilkan kesepakatan yang sama-sama menguntungkan walapun di balik
hasil negosiasi tersebut hegemonik penguasa tidak akan terlepas begitu saja. Hasil
negosiasi pedagang/acung yang dahulunya dengan leluasa berdagang di sepanjang
pantai dan di depan resor hotel sehingga merusak estetika setelah bernegosiasi
dengan baik masyarakat mau melakukan hasil negosiasi yang dianggap oleh
masyarakat sangat menguntungkan. Tindakan pedagang sebelum dan setelah
dilakukan negosiasi seperti pada gambar 5.6
Gambar 5.6Sebelum negosiasi, Pedagang berjualan di sekitar resor hotel
(Dok. Purnaya, 2014).
119
Gambar 5.7Setelah negosiasi, Lokasi toko-toko pedagang cendera mata
(Dok. Purnaya, 2014).
Dengan seringnya terjadi riak-riak kecil dalam resor Nusa Dua antara
BTDC dengan masyarakat, BTDC memberi peluang ekonomi atau usaha kepada
masyarakat. Hal ini di paparkan oleh Anak Agung Gede Rai Direktur Utama PT.
Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) atau BTDC periode 1995-2001
menyatakan bahwa masyarakat Bualu dan sekitarnya yang mengembangkan usaha
transfortasi/taxi diberi kesempatan beroperasi di dalam area BTDC, diberi tempat
parkir serta ruang berteduh bagi para pengemudinya. Sejumlah pengusaha Bar dan
Restoran, barang-barang cenderamata, money changer, dan kelompok-kelompok
kesenian diberikan kesempatan menjalankan usahanya di area Amenity Core.
120
Gambar 5.8Posisi tempat parkir khusus dan shelter setelah negosiasi
(Dok. Purnaya, 2014).
Hal yang sama juga dipaparkan oleh Ida Bagus Wirajaya, sebagai Direktur
Utama PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) Periode 2011- sekarang,
memaparkan bahwa:
Dengan dibangunnya sekitar 5.000 kamar, Restoran, Lapangan Golf, danfasilitas lainnya dapat menyerap sekitar 10.000 orang tenaga kerja yanglangsung bekerja di Resor Wisata Nusa Dua, sekitar 35% tenaga kerjaberasal dari kelurahan Benoa. Di samping itu masyarakat Benoa bekerjasebagai sopir, guide, pedagang asongan, pemilik toko cinderamata danmembuat rumah sewaan untuk pendatang, bahkan masyarakat KelurahanBenoa juga sudah punya restauran dan rumah penginapan. Sehingga,dengan adanya Resor Nusa Dua tingkat pendapatan masyarakat meningkat(Wawancara 12 Maret 2014).
Kesepakatan yang dicapai dari hasil negosiasi memberi peluang usaha atau
ekonomi yang diberikan oleh investor kepada masyarakat, sebagaimana yang
dipaparkan Ni Wayan Seriani sebagai Director of Finance Novotel menyatakan
bahwa “peluang usaha yang diberikan kepada masyarakat, sebagai outsoursing
company, dan pengangkutan sampah hotel”. Selanjutnya, I Nyoman Beker sebagai
121
Manager Safety and Security The Westin Resort menjelaskan bahwa peluang
usaha yang diberikan kepada masyarakat yaitu “Kegiatan yang bergerak untuk
pendukung pariwisata di antaranya: penyediaan jasa transportasi, kesenian,
pemasok/supplier”. Sejalan dengan itu, Asih Wesika sebagai Director of Human
Resources Nusa Dua Beach Hotel Spa, menyatakan peluang usaha yang diberikan
berupa “kesempatan berjualan barang-barang cinderamata di dalam hotel pada
even-even mingguan maupun even khusus, sebagai penari, pemasok barang dan
lain-lain”.
Tentang peluang yang diperoleh masyarakat untuk matapencaharian,
dibenarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat. I Made Retha sebagai Bendesa Adat
Bualu (Wawancaranya tanggal 6 Juni 2014) menyatakan bahwa peluang usaha
atau ekonomi yang diberikan kepada masyarakat berupa kesempatan untuk
berdagang (art shop), restoran, valuta asing, pedagang jasa, transfortasi, dan water
sport. Hal yang sama disampaikan oleh mantan Bendesa Adat Bualu, I Made
Kuna (Wawancara tanggal 1 Juni 2014) menyatakan bahwa peluang usaha yang
diberikan berupa peluang usaha menjual souvenir, money changer, taksi, dan juga
kerja sama jahit-menjahit dari hotel. Tokoh masyarakat lainnya seperti I Wayan
Lemes (swasta dan sebagai Bendesa Adat Peminge), I Made Sudarsa
(wiraswasta), dan I Wayan Solo (Lurah Benoa) dalam wawancara terpisah juga
mengakui dampak ekonomi dan peluang kerja yang dinikmati warganya sejak
hadirnya Resor Wisata Nusa Dua. Solo (Wawancaranya 1 April 2014) merasakan
peluang usaha yang diberikan. Menurutnya hampir seluruh komponen yang
berkaitan dengan kebutuhan pariwisata itu sendiri. Lapangan pekerjaan sebagai
122
karyawan hotel, transportasi wisata, wisata bahari, pentas budaya, art shop,
penginapan, suplayer, pertukangan dan lain-lain.
Namun, tidak tertutup kemungkinan terjadinya negosiasi yang tidak sejajar
posisinya dengan hasil yang cukup mengembirakan. Memang acap kali, pihak
yang lebih tinggi biasanya merasa dirinya di atas angin. Negosiasi yang tidak
sejajar ini bisa dibuat mendekati sejajar bila ada ketentuan, etika atau tata krama
dalam masyarakat yang memungkinkan kesejajaran itu terjadi. Negosiasi antara
BTDC yang bertindak sebagai pemerintah dalam Resor Wisata Nusa Dua, secara
sekilas akan kelihatan bahwa pemerintah dalam hal ini kalah dalam negosiasi
dengan masyarakat. Dalam kenyataan, pemerintah lebih banyak menang dalam
negosiasi yang dilakukan dengan masyarakat, pemerintah didukung oleh kuasa
dan pengetahuan yang tinggi sebagimana kata pepatah semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang semakin halus tindakannya dalam melakukan suatu
tindakan.
Selain mencapai hasil kesepakatan tersebut, negosiasi dalam hal ini juga
menghasilkan bahwa pola strategi penyaluran CSR, BTDC sebagai sebuah badan
usaha melakukan social responsibility-nya antara lain dengan jalan memberikan
dana pinjaman lunak kepada kelompok-kelompok koperasi dan para
wirausahawan individu yang memenuhi persyaratan, yang disebut mitra binaan,
yang tersebar hampir di seluruh pelosok Bali. Sekolah-sekolah di wilayah Nusa
Dua, bahkan di luar wilayah tersebut diberi sumbangan berupa dana atau
perlengkapan belajar/mengajar lainnya. Para pramuniaga yang bertugas di toko-
toko cenderamata, restoran dan lain-lain di resor BTDC dan sekitarnya pernah di
123
“sekolahkan” ke STP dengan biaya BTDC dengan tujuan agar mereka belajar
lebih banyak tentang keramah-tamahan serta sopan santun dalam melayani para
pelanggan meraka.
Pembangunan lima rumah ibadah (masjid, gereja katolik, wihara, gereja
kristen protestant dan pura) yang kemudian diberi nama Puja Mandala, untuk
kepentingan keagamaan, di bangun sepenuhnya oleh BTDC. Pembangunan
sebuah Bali Gong di pura Desa Kampial juga didukung dana oleh BTDC. Polanya
hampir seluruhnya “hibah”, kalau tidak dalam pinjaman yang sangat lunak.
Kelompok-kelompok kesenian dari berbagai wilayah bergantian melakukan
pementasan di resor BTDC, dan melaui festival Nusa Dua yang diselengarakan
setiap tahun, bukan hanya pengusaha barang-barang kerajianan dan jenis-jenis
makanan yang berdomisilli di Bali saja yang ikut berpameran dan jual hasil
usahanya selama festival itu, tetapi pengusaha dan pengrajin dari provinsi-
provinsi di luar Bali. Foucault (2009: 342-343) menyatakan hubungan yang
memanfaatkan ‘saya’ dan ‘saya juga memanfaatkan yang lainnya’. Dengan
mengkondisikan mengenai hubungan kekuasaan yang terjadi pada saat ini. Di
dalamnya harus diamati kemunculan permasalahan tertentu dalam setiap
pekerjaan dari instuisi, sehingga dapat dilihat bahwa kekuasaan sudah tidak lagi
berfungsi sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, kekuasaan atas tekanan
hegemonik tidak lagi bekerja sepenuhnya terhadap masyarakat.
BTDC sebagai badan pemerintah tidak hanya bernegosiasi dengan
masyarakat dalam mencari kesepakatan masalah, tetapi pemerintah juga
bernegosiasi dengan investor dalam mencapai suatu kesepakatan walaupun kedua
124
belah pihak sama-sama mempunyai power tersendiri untuk mencapai tujuan
masing-masing. Selama berdirinya, Resor Wisata Nusa Dua BTDC telah
melakukan negosiasi dalam menyelesaikan masalah baik dengan investor maupun
dengan masyarakat.
Dalam masalah pembongkaran portal di gerbang selatan yang mendapat
perlawanan masyarakat, akhirnya BTDC sebagai pengelola Nusa Dua mencari
solusi dengan memotong sebagian tanah di depan Hotel Hilton dan sebagian tanah
di depan Hotel Putri Bali (sepanjang 75 meter), untuk menampung kegiatan
nelayan dan para pedagang di pantai. I Made Mandra, Direktur Utama BTDC
(periode 2001- 2011) menyatakan:
BTDC pernah bernegosiasi dengan investor dalam masalah pembongkaranportal di gerbang selatan. Sewaktu saya diangkat menjadi Pjs Ka Humas,merangkap sebagai kepala Divisi Pemeliharaan, dan juga kepala BagianPerencanaan BTDC. Kami mencoba mencari solusi dengan memotongsebagian tanah di depan Hotel Hilton dan sebagian tanah di depan HotelPutri Bali (sepanjang 75m), untuk menampung kegiatan para nelayan danpara pedagang di pantai, perahu nelayan hanya boleh parkir di depansebagian tanah Hotel Hilton yang notabene adalah tanah timbul miliknegara. Kegiatan di depan pura seperti untuk berjemur dan pijat dilarangagar tidak memberi sebel di hati masyarakat (Wawancaranya 7 Februari2014).
Kesepakatan yang dicapai dari hasil negosiasi sama-sama terpenuhinya
kepentingan-kepentingan setiap kelompok. Hasil negosiasi dalam masalah
pembongkaran portal di gerbang selatan seperti pada gambar 5.9.
125
Gambar 5.9Hasil pembongkaran portal di gerbang selatan
(Dok. Purnaya, 2014)
Tindakan negosiasi ini dilakukan untuk mengantisipasi respon negatif
masyarakat yang dapat merusak citra Resor Wisata Nusa Dua yang bertaraf
internasional. Selain masalah tersebut, BTDC juga bernegosiasi dengan investor
dan masyarakat untuk mencari penyelesaian masalah ruang pantai di depan hotel
yang digunakan untuk parkir jukung dan pedagang pantai oleh masyarakat tetapi
juga untuk wisatawan yang menginap di hotel di depannya. Untuk masalah ini,
mantan Dirut BTDC I Made Mandra (wawancaranya 7 Februari 2014)
menyampaikan bahwa masalahnya terjadi di Pantai Samuh di depan Club Med.
Pantai itu penuh dengan jukung dan pedagang pantai. Pihak BTDC berusaha
meyakinkan Club Med bahwa mereka harus mau mengorbankan sebagian
tanahnya di sisi utara seluas 24 are, sebagai tempat penampungan para pedagang
yang dipindahkan. Kalau tidak keadaan akan semakin tidak terkendali. Dengan
berat hati Club Med yang terkenal kukuh pada hak hak hukumnya berhasil
diyakinkan oleh BTDC, dan para nelayan pun setuju memindahkan jukungnya ke
126
sebelah utara dan para pedagang berangsur-angsur pindah ke lokasi yang
diberikan Club Med sampai sekarang, menempati kios-kios sederhana yang lebih
bermartabat. BTDC pun menyumbangkan balai kantih, gudang peralatan, sumur
dan MCK seperti di pantai Mengiat. Dengan kesepakatan ini hubungan dengan
nelayan Samuh pun lebih harmonis sejak itu kasus perebutan pantai antara BTDC
selaku pengelola resor dengan nelayan menjadi lebih baik dan saling memahami
posisi masing-masing.
Gambar 5.10Tanah Club Med yang direlakan untuk penampungan para nelayan.
(Dok. Purnaya,2014).
127
Penyelesaian masalah yang terjadi di Pantai Samuh di depan Club Med,
telah mendapat solusi dengan kerelaan pihak managemen/investor Club Med
mengorbankan sebagian tanahnya sebagai tempat penampungan para pedagang
yang dipindahkan sebagaimana yang terdapat pada gambar 5.10.
Untuk mencapai suatu tujuan BTDC tidak hanya bernegosiasi dengan
masyarakat atau dengan investor dan mengorbankan sedikit kepentingannya,
tetapi juga bagaimana membantu mencari solusi dari masalah. Sehingga
komunikasi dua arah, tanpa tekanan, pemaksaan atau pendiktean dari pihak
manapun akan memungkinkan para pihak yang bernegosiasi dapat berinteraksi
dengan baik, saling mempertukarkan kepentingan dan mencari titik temu dari
perbedaan-perbedaan persepsi, tuntutan dan keinginan.
Untuk menjaga keberlangsungan proses reproduksi kekuasaan dan relasi
kekuasaan, negara sebagai institusi sentral yang berperan mempersatukan dan
memaksa masyarakat dalam reproduksi kekuasaan. Dengan membedakan antara
kuasa negara (pemeliharaan kekuasaan negara atau perebutan kuasa negara)
sebagai tujuan perjuangan kelas politik dan aparatur negara di sisi lain. Dalam
pandangan lain, kuasa negara masih dapat berubah dan berganti akibat dari
perebutan kekuasaan oleh kelas-kelas politik yang ada. Sedangkan aparatur
Negara relatif bisa bertahan meski terjadi peralihan kekuasaan.
Gramsci (dalam Piliang 2010: 71) mengembangkan pengertian hegemoni
secara lebih luas sehingga dia tidak hanya digunakan untuk menjelaskan relasi
antar kelas-kelas politik (ruling class/rulied class), akan tetapi relasi-relasi sosial
yang lebih luas, termasuk relasi komunikasi dan media. Konsep hegemoni tidak
128
hanya menjelaskan dominasi politik lewat kekerasan (force), akan tetapi yang
lebih penting, lewat kepemimpinan intelektual dan moral (intellectual and moral
leadership). Dominasi kekuasaan diperjuangkan, di samping lewat kekuatan
senjata, juga lewat penerimaan publik (public consent), yang diterimanya ide
kelas berkuasa oleh masyarakat luas, yang diekspresikan melalui apa yang disebut
sebagai mekanisme opini publik (public opinion) sehingga pentingnya institusi-
institusi, yang berperan dalam mengembangkan dan menyebarluaskan hegemoni
ideologi. Gramsci menyebut institusi dan strukturnya merupakan alat hegemoni
(hegemonic apparatuses).
5.3 Dinamika Relasi Kuasa Oposisional
Masa relasi kuasa yang diwarnai dengan negosiasi antara BTDC dengan
dua pilar lainnya berlanjut pada relasi oposisional dewasa ini, khususnya pasca era
reformasi. Relasi oposisional ini merupakan kelanjutan dari relasi negosiasi dan
dampak dari era demokratisasi dalam dunia sosial politik bangsa. Di Bali,
perlawanan terhadap hegemoni pemerintah dan pengusaha kepada masyarakat
pernah terjadi di objek wisata Tanah Lot. Semula, daya tarik wisata ini dikelola
oleh swasta atas izin dan kerja sama dengan pemerintah. Masyarakat Desa
Beraban yang ada di wilayah itu tidak mendapat peran sama sekali kecuali sebagai
penonton. Setelah situasi sosial politik berubah dari otoritarian menjadi
demokratis pascareformasi, masyarakat Beraban menuntut haknya kepada
pemerintah. Tuntutan ini berhasil, dan kini masyarakat Beraban memainkan
peranan penting dalam Badan Pengelola Tanah Lot. Partisipasi mereka dalam
129
mengelola Tanah Lot memberikan mereka keuntungan finansiasl yang besar,
milyaran rupiah per tahun, sesuai dengan pendapatan objek wisata tersebut (Putra
dan Pitana 2010: 95). Pengelolaan Tanah Lot dari swasta ke masyarakat sebagai
hasil dari perlawanan atau aksi oposisional merupakan presedensi yang positif
dalam program pengembangan community-based tourism atau pariwisata pro-
rakyat.
BTDC sebagai pengelola resor wisata Nusa Dua berusaha untuk menata
dan merapikan para pedagang-pedagang dengan membangun pertokoan, tetapi
pada waktu terjadi kerusuhan dampak Pemilihan Presiden tahun 1999, kemarahan
itu kembali menjadi pemicu oleh kekuatan luar yang memprovokasi massa.
Kantor-kantor pemerintah dibakar, kantor BTDC dan STP dirusak, masyarakat di
sekitar pertokoan itu membongkar paksa façade yang pernah dibangun oleh
BTDC. Semua dilakukan oleh massa tanpa ada yang berani menghalangi, dapat
dikatakan bahwa hukum alam mencari keadilan di dalam hukum formal. I Made
Mandra, mantan Direktur Utama BTDC menyatakan bahwa ketika terjadi
kerusuhan tahun 1999 yaitu ketika Megawati gagal menjadi Presiden RI
kemarahan tersebut kemudian menjadi nyata dipicu oleh kekuatan dari luar yang
memprovokasi massa. Kantor-kantor pemerintah dibakar, kantor BTDC dan STP
kacanya dirusak, tembok di depan gerbang Nusa Dua dihancurkan tanpa ada yang
berani menghalangi begitulah hukum alam mencari keadilan di dalam hukum
formal. Ketidakpuasan sosial beberapa anggota masyarakat yang memiliki tanah
di depan candi bentar Nusa Dua mencari solusi sendiri.
130
Selaku anggota Direksi BTDC pada waktu itu, mencari jalan tengah dan
bernegosiasi untuk kembali membangun tembok yang lebih rendah dan dihiasi
taman, sehingga pemandangan tetap lebih indah, dan untuk para pedagang
dibelakang tembok dibuatkan jalan khusus sehingga wisatawan dapat masuk
dengan mudah membeli souvenir atau makan di warung rakyat yang nyaman.
Solusi ini cukup adil dan permasalahan itu pun dapat diselesaikan dengan baik.
Senada dengan hal tersebut dalam, I Made Kuna, mantan Bendesa Adat
Bualu memaparkan:
Pernah ada masalah yang muncul, karena di depan candi bentar masukresor BTDC dipasangi tembok oleh BTDC sehingga kios-kios pendudukterhalangi atau tertutup. Kala itu pemilik kios atau penduduk sempatdemo. Dengan solusinya adalah dari para pihak yang berseberangan maududuk bersama bermusyawarah mencari jalan keluar terbaik dan hasilnyamengeluarkan hasil yang baik. Sama-sama bisa menerima dan semuadikembalikan seperti biasa (Wawancaranya 1 Juni 2014).
Hal ini merupakan bentuk dari perlawanan kecil yang dimulai dengan
kekalahan pendukung masyarakat. Mereka tidak menyadari yang akan rugi
mereka sendiri karena tidak bisa berdagang. Sadar tetapi tidak sadar dengan
percikan hegemoni kekuasaan terhadap mereka. Begitu dahsyatnya pengaruh
kekuatan yang bekerja di balik masyarakat dalam hal ini “citra orang yang
diagungkan” bisa memengaruhi pendukung serta menggiring pikirannya hingga
terbius dalam deretan frame-frame, sampai pada akhirnya nanti pendukung dalam
kondisi tanpa sadar, sehingga setiap orang bekerja dengan kesadaran palsu, begitu
yakin dan percaya pada pesan yang terselip di balik pencitraan itu, seperti pada
gambar 5.11.
131
Gambar 5.11Tembok di depan Gerbang Utama Nusa Dua yang lebih rendah dan dihiasi taman,
sehingga pemandangan tetap lebih indah.(Dok. Purnaya,2014).
Selain kasus tahun 1999 yang didukung dengan kegagalan pemilu, BTDC
sebagai pengelola mendapat perlawanan dari masyarakat dalam masalah
pembongkaran portal di gerbang selatan, portal ini dibangun agar ketertiban dan
kebersihan sekitar Resor Wisata Nusa Dua terjaga, karena mengingat semakin
kumuhnya lingkungan oleh gubuk-gubuk, pedagang acung dan penanaman
rumput laut yang berkeliaran di lokasi Resor Nusa Dua. Dalam wawancara
tanggal 7 Februari 2014, Dirut BTDC I Made Mandra (periode 2001- 2011)
menyampaikan bahawa BTDC mempunyai misi utama membangun kesejahteraan
melalui resor wisata berkualitas internasional, sehingga perlu membatasi atau
mengurangi dan menata lingkungan sesuai dengan Perda II tahun 1979 dalam
suasana yang tertib bersih tidak kumuh oleh gubuk-gubuk, pedagang acung dan
penanam rumput laut dan perahu yang berkeliaran di mana-mana. Maka
direncanakanlah membuat portal agar pantai Mengiat semakin tidak kumuh.
Rencana tersebut telah disetujui dan didukung oleh Pemda Badung yang telah
132
dikoordinasikan oleh Kepala Bagian Humas BTDC, namun tidak nampak adanya
solusi bagi masyarakat yang terpinggirkan sehingga ketika portal tersebut
dipasang, mendapat perlawanan yang sengit dari masyarakat nelayan pantai dan
masyarakat desa Mengiat Nusa Dua. Masyarakat membunyikan “kulkul bulus”
dan membongkar portal yang baru dipasang sesuai dengan persetujuan Pemda
tersebut meskipun portal bisa di buka setiap saat untuk kegiatan masyarakat lokal.
Akibatnya terjadi ketegangan antara BTDC dengan masyarakat, saya sebagai
kepala perencana mengganggap komunikasi yang dibangun terlalu top down tanpa
solusi.
Masalah kedua, pembongkaran tembok di depan gerbang utama Nusa Dua
tahun 1999. Pada saat itu masyarakat mendapat jatah ruko, masih berusaha
mengoperasikan warung-warung yang mereka miliki, di belakang tembok
tersebut. Masyarakat tidak puas dengan dibangunnya tembok tersebut. Hal itu
dapat dimengerti karena peluang pendapatan ditempat itu tidak menjanjikan,
meskipun secara hukum tidak dapat dibenarkan. Di sinilah perlunya mencari
solusi yang lebih bijak dan adil, tembok ini merupakan bara yang terpendam
dihati para pedagang dan masyarakat lokal yang mempunyai tanah di lokasi
tersebut. Bara ini menunggu momentum untuk meledak dengan deras.
Perlawanan dilakukan karena masyarakat Nusa Dua telah banyak yang
berpendidikan sehingga tahu celah untuk melakukan perlawanan dan
pemerintahan tidak menakutkan seperti pada masa pemerintahan Orde Baru. Sejak
jatuhnya kekuasaan Orde Baru semakin hari-hari perlawanan rakyat terhadap
kekuasaan semakin menggejala diberbagai tempat. Sejak reformasi 1998 di
133
Indonesia, kita dapat melihat bahwa meski telah terjadi peralihan kekuasaan yang
ditandai turunnya Suharto lewat kekuatan-kekuatan politik yang ada pada saat itu,
namun aparatur negara (politisi, partai politik, atau militer Orde Baru) tetap
bertahan di struktur kekuasaan. Rakyat semakin kritis menentang kebijakan
negara. Makin kritisnya rakyat melawan pemerintah tidak lain lantaran yang
terakhir ini makin hari kebijakan politiknya tidak memperlihatkan tanda-tanda pro
rakyat sehingga masyarakat berani untuk bertindak sesuai dengan keinginan
masyarakat. Berbagai alasan dan komentar banyak disampaikan oleh masyarakat
Nusa Dua untuk melakukan perlawanan. Tidak hanya terjadi antara pemerintah
dengan masyarakat tetapi juga terjadi antara masyarakat dengan investor.
Dalam masalah penutupan jalan masuk ke Westin. Hal ini hanya dipicu
oleh masalah kecil yaitu masuknya Bali Taxi dari Jakarta, sehingga membuat
koperasi lokal kalah bersaing karena Bali Taxi lebih profesional, dengan armada
yang lebih baik daripada milik koperasi masyarakat lokal Nusa Dua. Bali Taxi
lebih banyak mendapat order dari hotel-hotel sehingga taxi lokal merasa
diperlakukan secara tidak adil. Karena hal ini sangat tidak menguntungkan bagi
taxi lokal meraka menyampaikan kepada pihak Westin, tetapi pihak Westin tidak
dapat memenuhi permintaan karena sudah ada kontrak dengan Bali Taxi.
Masyarakat merasa tidak senang sehingga jalan masuk ke Westin ditutup. I Made
Mandra mantan Direktur Utama BTDC menyatakan bahwa sopir taxi di Resor
Wisata Nusa Dua telah disediakan tempat sementara untuk mangkal di sentral
parkir Nusa Dua. Sentral parkir tersebut sejatinya dirancang untuk parkir
kendaraan pegawai-pegawai hotel di Resor Wisata Nusa Dua dan koperasi taxi
134
masyarakat Nusa Dua diberi akses melayani tamu-tamu di hotel bersama-sama
taxi yang lain dari luar Nusa Dua.
Persaingan dengan Bali Taxi dari Jakarta membuat koperasi lokal kalah
bersaing karena Bali Taxi lebih profesional, dengan armada lebih baik dari yang
dimiliki koperasi masyarakat lokal Nusa Dua. Bali Taxi lebih banyak mendapat
order dari hotel sehingga pemilik taksi lokal merasa tidak adil. Mereka lalu
menyampaikan sejumlah usulan kepada Manajemen Hotel Westin yang lebih
menguntungkan posisi mereka. Namun, pihak Westin tidak dapat memenuhi
karena sudah ada kontrak dengan Bali Taxi.
Keadaan ini membuat mereka menempuh jalan pintas melakukan
kekerasan yaitu dengan menutup jalan masuk ke Hotel Westin. Hal ini tentunya
menimbulkan kegaduhan di Resor Wisata Nusa Dua yang terkenal sebagai resor
yang aman dan tertib. Kebetulan pada waktu itu Mandra sebagai Direktur Utama
sedang bertugas ke Luar Negeri dilapori oleh Kepala Satpam dan Direktur Operasi
secara singkat kejadian tersebut serta sejumlah nama yang menjadi provokator
aksi tutup pintu tersebut. Made Mandra mengungkapkan:
Saya pun langsung menelpon Kapolda Bali waktu itu Bpk Mangku Pastikayang kemudian dengan cepat menangkap provokator tersebut danmenahan untuk sementara di kantor polisi. Peristiwa ini memberi efek jerakepada pelaku yang juga sesungguhnya disayangkan oleh anggotakoperasi yang lain. Dengan cepat keadaan pulih kembali dan BTDCberusaha mendorong kerjasama yang menguntungkan semua pihak secaraadil (Wawancara 7 Februari 2014).
Tentang konflik pengusaha, BTDC, dan pengelola taksi juga disampaikan
oleh I Made Kuna (wawancara tanggal 1 Juni 2014). Bendesa Adat Bualu periode
1982-2007 ini mengatakan bahwa “pernah juga terjadi keributan atau perlawanan
135
para sopir taksi atau pemilik Taxi Kowinu saat itu juga demo karena lahan mereka
banyak yang diserobot oleh taksi yang berasal dari luar”. Aksi protes seperti ini
tidak pernah terjadi pada awal pengelolaan resor wisata Nusa Dua. Protes ini
adalah bentuk konter hegemoni yang menandai munculnya sikap oposisi terhadap
kebijakan-kebijakan BTDC dan investor.
Masalah lain adalah penolakan pembangunan beach world Nusa Dua.
Ketika semua perizinan (IMB) sudah selesai, beberapa anggota DPRD Provinsi
Bali dan Kabupaten Badung asal Nusa Dua menyuarakan penolakan
pembangunan tersebut. Alasan yang mereka ajukan adalah proyek melanggar
ketentuan sempadan pantai 100 meter dari air pasang surut. Para anggota DPRD
mengkhawatirkan masyarakat tidak akan leluasa melakukan kegiatan upacara di
pantai. Menurut Pemerintah Bali sebagai pengelola pulau sempit dan kecil justru
harus memperjuangkan sempadan khusus untuk Bali sekitar 15-25 m dari batas
pekarangan di pantai atau 40-50 m dari pasang tertinggi kecuali daerah pantai
tanah negara yang memang diperuntukan untuk publik. Pembelaan anggota DPRD
provinsi dan kabupaten seperti ini tidak pernah terjadi pada masa lalu karena
anggota DPR yang semestinya membela rakyat lebih banyak mendukung program
penguasa. Perubahan lanskap politik membuat rakyat menjadi terbela atas
kepentingannya.
I Made Mandra menyatakan bahwa Tata Ruang Kawasan pantai Nusa Dua
diatur secara khusus melalui Perda No II tahun 1979 yang menetapkan sempadan
bangunan di pantai 50 m dari air pasang tertinggi. Untuk bangunan yang tingginya
15 meter. Wilayah pantai antara 2 pulau Nusa Dua ditetapkan sebagai Amenity
136
Core & Comercial Center yang nyaman bagi pengunjung. Sementara itu, tanah
antara 2 pulau Nusa Dua ditempati oleh pedagang pantai yang semakin lama
semakin kumuh dan sulit dikendalikan. Bahkan, di malam hari sering terjadi
transaksi seks di tempat ini melalui supplier yang membawa cewek cewek
didalam bus mini beroperasi kucing-kucingan dengan aparat keamanan. Cewek-
cewek tersebut ditawarkan kepada tamu-tamu hotel yang lewat di wilayah pantai
tersebut. Tidak semua hotel suka dengan bisnis seperti itu sehingga sering terjadi
komplain dari hotel yang mengatakan daerah tersebut semakin kumuh dan tidak
etis sebagai resor bergengsi.
Menurut Made Mandra, daerah prime land di Nusa Dua tersebut dinodai
oleh pencitraan yang tidak layak dikunjungi oleh wisatawan. Oleh karena itu,
mereka berinisiatif membangun daerah tersebut menjadi vocal point yang lebih
baik yang dapat meningkatkan citra Resor Wisata Nusa Dua di dunia Internasional
sehingga lebih banyak dikunjungi wisatawan yang berkualitas untuk menikmati
fasilitas sambil menikmati makan minum dan pantai Nusa Dua yang luar biasa
indahnya.
Ketika semua perizinan (IMB) sudah ke luar, beberapa anggota DPRD
Provinsi dan Kabupaten Badung asal Nusa Dua berteriak menyuarakan penolakan
pembangunan tersebut di media masa dengan alasan melanggar sempadan pantai
nasional yang menetapkan sempadan pantai untuk umum 100 m dari air pasang
tertinggi. Anggota DPRD Nusa Dua mengkhawatirkan bahwa masyarakat tidak
akan leluasa melakukan kegiatan upacara. Berkaitan dengan sempadan mereka
lupa bahwa Resor Nusa Dua telah diatur secara khusus tata Ruang dan Bangunan
137
di Kawasan melalui Perda II/79 yang menetapkan sempadan bangunan semua
hotel sejauh 50 meter dari pasang tertinggi. Menurut kami Pemerintah Bali
sebagai pengelola pulau kecil dengan luas tanah yang sempit justru harus
memperjuangkan sempadan khusus untuk daerah Bali antara sekitar 15-25 m dari
batas pekarangan di pantai atau 40-50 m dari pasang tertinggi kecuali daerah
pantai tanah negara yang memang diperuntukkan sebagai daerah publik.
Wacana wakil-wakil rakyat tersebut bisa dimaklumi karena DPRD hendak
menyuarakan aspirasi masyarakat pemilihnya, termasuk aspirasi keluarga 22
pedagang pantai yang sementara ini diberikan oleh BTDC berjualan di pantai
tersebut. BTDC juga merasa ewuh pakewuh dan berkali kali melakukan
pembinaan, namun pada kenyataannya semakin hari semakin ramai dan sulit
dikendalikan. Penolakan itu menjadi polemik di koran, bahkan Pemprov Bali
menghentikan pembangunan proyek tersebut dengan alasan melanggar sempadan
pantai nasional 100 m, penyetopan tersebut dilakukan tanpa minta penjelasan dari
BTDC maupun aparat Pemda Badung yang telah mengeluarkan perijinan sesuai
dengan prosedur dan peraturan yang berlaku.
Sama seperti yang dilaksanakan mantan Dirut BTDC AA Gede Rai,
Mandra memberikan solusi bahwa pihak Direksi BTDC menyerahkan masalah
tersebut kepada pemerintah Daerah yang berwenang, dalam pertemuan di Sector
Sanur diingatkan jangan sampai peristiwa ini menjadi insiden buruk dikemudian
hari, karena tidak adanya kepastian hukum dalam perijinan investasi di Bali.
Apabila bangunan tersebut akan dirobohkan, bukan tidak mungkin investor akan
138
mendatangkan media internasional seperti CNN dan lain-lain yang bisa merusak
reputasi manajemen Resor Wisata Nusa Dua yang telah dikenal taat hukum.
Akhirnya pada waktu menghadap Bupati dan mohon wakil Bupati
mengundang DPRD pejabat daerah dan tokoh-tokoh masyarakat setempat, agar
kami dapat berdiskusi dan menjelaskan duduk persoalan latar belakang dan tujuan
pembangunan proyek tersebut. Kami juga menjelaskan bahwa para pedagang
tidak akan digusur begitu saja tetapi akan disediakan tempat yang layak untuk
berjualan, tanpa menimbulkan kesan yang kumuh pada pantai yang sangat indah
tersebut. Justru pantai tersebut harus menjadi tempat yang prima untuk
mempromosikan Resor Wisata Nusa Dua. Masyarakat sama sekali tidak dilarang
menikmati alam pantai dengan baik apalagi untuk tujuan Upacara, bahkan pada
suatu saat bisa digelar acara hari "Penglukatan Agung" atau "Gangga Pratista
Day" di sepanjang pantai Nusa Dua pada hari peleburan dosa Siva latri atau
Banyu Pinaruh. Beberapa hotel dan masyarakat sudah sepakat untuk mendukung.
Akhimya kami minta kepada tokoh-tokoh masyarakat agar tidak memperpanjang
masalah yang sudah jelas dasar hukum, tujuan dan manfaatnya dan bersama sama
menanda tangani kesepakatan bersama dan semuanya dapat menerima dan
polemik pun diakhiri.
Pertarungan akan kepentingan tidak akan pernah hilang begitu saja dia
akan langgeng dalam kekuasaan walaupun pejabat penguasanya telah berganti
mengikuti perubahan zaman. Agar tujuan suatu pihak tercapai mereka berusaha
bertahan dengan argumen-argumen. Dalam pembangunan Beach World Nusa Dua
terjadi polemik antara BTDC dan anggota DPRD yang juga mempunyai
139
kepentingan tersendiri. Anggota dewan, misalnya, berkepentingan untuk membela
aspirasi rakyat karena mereka dipilih langsung oleh rakyat. Pada zaman Orde
Baru, anggota DPR dipilih oleh pimpinan partai sehingga niat untuk
memperjuangkan rakyat kurang sungguh-sungguh.
Munculnya relasi kuasa oposisional tidak dapat dipisahkan dengan
perubahan sosial politik makro terbukti dari adanya dukungan kepada masyarakat
untuk menyampaikan aspirasinya dari anggota legislatif, dari media massa, dan
dari LSM yang terbentuk karena semakin terjaminnya kebebasan berpendapat. Di
luar itu, masyarakat semakin melihat kesuksesan resor wisata Nusa Dua namun
akses mereka untuk menikmati keuntungan ekonomi pariwisata seperti dihalangi.
Kombinasi situasi tersebut menjadi pendukung lahirnya relasi kuasa oposisional.