relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

94
BAB V BENTUK RELASI KUASA DALAM DINAMIKA TARI ULU AMBEK PADA MASYARAKAT PARIAMAN, SUMATERA BARAT Fenomena tari ulu ambek saat ini memunculkan hubungan (relasi) antara kekuasaan penghulu dan kuasa perubahan zaman (globalisasi). Hal ini menyebabkan terjadinya dinamika dalam tari ulu ambek. Dinamika juga akan terlihat pada elemen-elemen yang membangun karya tersebut. Tari ulu ambek memiliki elemen-elemen teknis dan estetis yang berakar pada budaya lokal masyarakat Pariaman. Elemen teknis atau disebut juga dengan elemen-elemen penting dalam tari. Di samping itu, ada juga unsur pendukung lain yang perannya juga penting, tetapi tidak masuk pada elemen wajib. Masyarakat sebagai pendukung dan sekaligus sebagai pelaku tari ulu ambek memiliki sikap yang sangat menentukan ada dan suksesnya perhelatan alek nagari yang menampilkan tari ulu ambek. 5.1 Relasi Kuasa dalam Tari Ulu Ambek Relasi kuasa yang ada dalam tari ulu ambek adalah relasi antara kekuasaan penghulu dan kuasa globalisasi. Kekuasaan penghulu terlihat dari kepemilikan tari tersebut, seperti pepatah yang menyebutkan bahwa tari ulu ambek merupakan pakaian penghulu yang dipinjamkan kepada anak muda. Dari seluruh unsur yang mendukung tari ulu ambek dapat dilihat gambaran dari kepemimpinan seorang penghulu di Pariaman. 116

Upload: hoangdieu

Post on 08-Dec-2016

253 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

116

BAB V

BENTUK RELASI KUASA DALAM DINAMIKA

TARI ULU AMBEK PADA MASYARAKAT PARIAMAN,

SUMATERA BARAT

Fenomena tari ulu ambek saat ini memunculkan hubungan (relasi) antara

kekuasaan penghulu dan kuasa perubahan zaman (globalisasi). Hal ini

menyebabkan terjadinya dinamika dalam tari ulu ambek. Dinamika juga akan

terlihat pada elemen-elemen yang membangun karya tersebut. Tari ulu ambek

memiliki elemen-elemen teknis dan estetis yang berakar pada budaya lokal

masyarakat Pariaman. Elemen teknis atau disebut juga dengan elemen-elemen

penting dalam tari. Di samping itu, ada juga unsur pendukung lain yang perannya

juga penting, tetapi tidak masuk pada elemen wajib. Masyarakat sebagai

pendukung dan sekaligus sebagai pelaku tari ulu ambek memiliki sikap yang

sangat menentukan ada dan suksesnya perhelatan alek nagari yang menampilkan

tari ulu ambek.

5.1 Relasi Kuasa dalam Tari Ulu Ambek

Relasi kuasa yang ada dalam tari ulu ambek adalah relasi antara kekuasaan

penghulu dan kuasa globalisasi. Kekuasaan penghulu terlihat dari kepemilikan tari

tersebut, seperti pepatah yang menyebutkan bahwa tari ulu ambek merupakan

pakaian penghulu yang dipinjamkan kepada anak muda. Dari seluruh unsur yang

mendukung tari ulu ambek dapat dilihat gambaran dari kepemimpinan seorang

penghulu di Pariaman.

116

Page 2: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

117

Kuasa globalisasi terlihat pada kondisi sekarang bahwa tari ulu ambek

telah dipengaruhi oleh arus globalisasi yang membawa dampak bagi

perkembangan tari ulu ambek dan masyarakatnya di Pariaman, baik dampak

negatif maupun dampak positif. Dampak ini sangat kentara pengaruhnya terhadap

masyarakat Pariaman: ketaatan serta kepatuhan terhadap nilai-nilai tradisional

semakin lama semakin memudar dan mengalami degradasi. Hal ini terlihat, salah

satu di antaranya, semakin menurunnya minat dan keinginan kaum muda dalam

memahami nilai budaya Pariaman.

5.1.1 Kuasa Penghulu dalam Tari Ulu Ambek

Penghulu dalam masyarakat Pariaman tidak dipilih secara sembarang,

tetapi ia adalah orang pilihan. Agar bisa diangkat sebagai seorang penghulu,

seseorang harus memenuhi beberapa kriteria dan persyaratan yang melekat pada

dirinya. Artinya, syarat-syarat seorang penghulu tidak ditentukan oleh syarat-

syarat sebagaimana adanya pada pemimpin formal (pemerintahan). Seseorang

untuk diangkat menjadi penghulu untuk memimpin kaumnya pada dirinya harus

terdapat beberapa sifat dan martabat seorang penghulu. Budi yang baik dan

bicaranya yang halus merupakan sisi yang tidak bisa diabaikan dari sosok

seseorang agar bisa diangkat menjadi penghulu dalam kaumnya, seperti yang

dijelaskan oleh Sahrul di bawah ini.

“Martabat seorang penghulu di Minangkanau adalah berakal, berilmu,

berpaham, bermakkrifat ujud yakin, tawakal pada Allah, kaya dan miskin

pada hati dan kebenaran, murah dan mahal pada laku dan perangai yang

berpatutan, hemat dan cermat mengenai awal dan akhir, ingat dan paham

tentang adat, sabar dan redho hatinya kepada kaum kerabatnya dalam

menyampaikan siddig dan tabliq. Sabar artinya menanti. Redho artinya

Page 3: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

118

suka. Berani atas yang benar”. (Wawancara, 4 Januari 2014).

Penjelasan di atas menggambarkan bahwa seorang penghulu tidak akan mengubah

yang benar menjadi salah dan kuat berbuat pada kebaikan. Penghulu harus bisa

memelihara negeri dan mampu menghasilkan pekerjaan negeri. Penghulu juga

dituntut untuk bisa menyelesaikan benang kusut dalam nagari. Di samping sifat

tersebut, seorang penghulu harus memakai sifat sidiq, artinya benar dan tidak

mengubah yang benar kepada yang salah, bersifat tablig, yaitu menyampaikan

hukum kepada seluruh rakyat atau kaum kerabatnya, bersifat amanah, artinya

seorang penghulu tidak menyembunyikan hukum, bersifat fathonah atinya seorang

penghulu memelihara seluruh persoalan negeri yang dipimpinnya.

Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Althuser dan Gramsci yang

diambilnya dari Plato (dalam Takwin, 2009: 13) bahwa ideologi dalam arti positif

terdapat dalam jiwa. Jiwa mengandung pengetahuan yang benar (episteme). Kuasa

penghulu ada dalam jiwa penghulu tersebut. Hal ini yang dipinjamkan kepada

pemain ulu ambek dan untuk diperlihatkan kepada masyarakat sebagai pedoman.

Gambaran penghulu yang ideal terdapat dalam tari ulu ambek. Seorang

penghulu yang ideal tumbuh dan berkembang dalam konteks fisolofi

kepemimpinan atas kekuasaan. Seorang penghulu, sebagai pemimpin bagi

kaumnya, menempatkan kekuasaan itu sebagai penunjang dalam menjalankan

amanah kepemimpinan yang dipikulnya. Kekuasaan bagi seorang penghulu lahir

secara alamiah dan hal itu terpancar dari martabat dan sifat-sifat yang harus

dimilikinya. Kewibawaan dan keseganan pada penghulu bukan karena dia punya

kekuasaan, tetapi karena kepemimpinan penghulu itu, baik martabat maupun

Page 4: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

119

sifatnya ada dalam dirinya.

Untuk itu, pengangkatan seorang penghulu dalam masyarakat Pariaman

tidaklah semudah mengangkat atau memilih pemimpin formal yang lain. Seorang

penghulu akan memangku amanahnya sebagai seorang pemimpin kaumnya

sepanjang hidup si penghulu, sehingga kepemilikan sifat dan martabat pada diri

seorang penghulu menjadi syarat yang penting daripada syarat-syarat

sebagaimana adanya pada pemimpin formal.

Seorang penghulu sepertinya tidak lagi memikirkan dirinya, tetapi hampir

seluruh hidup dan kesehariannya hanyalah untuk kaum yang dipimpinnya. Ketika

kedudukan sebagai penghulu itu dipikulnya, maka segala tanggung jawab harus

dijalankan tanpa ada keluh kesah dan tidak ada tempat mengeluh. Penghulu

adalah tepatan bagi kaumnya untuk konsultasi dan menyampaikan segala

masalahnya. Ia tidak boleh mengeluh dan memicu perselisihan dalam kaumnnya,

seperti yang diungkapkan oleh Sahrul berikut:

“Suatu hal yang selalu ditanamkan atau diwariskan secara turun temurun

dalam kepemimpinan penghulu pada masyarakat Minangkabau adalah

suatu kesadaran, bahwa penghulu itu “tinggi diajuang, gadang

dilambuak”. Penghulu-penghulu yang mengetahui eksistensinya dirinya

sebagai penghulu yang demikian, maka penghulu akan menjadi seperti

bunyi kata falsafah Minangkabau ”sebagai kayu gadang (besar) ditengah

padang, tempat berteduh dan berlindung kehujanan, batangnya tempat

bersandar, uratnya tempat besela oleh masing-masing anak buahnya atau

kaumnya” (Wawancara, 4 Januari 2014).

Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa keberadaan penghulu pada masyarakat

Minangkabau sangat sentral dan penuh dengan nilai bagi pencapaian kehidupan

yang lebih baik di dunia dan di akhirat kelak. Meskipun demikian, sejalan dengan

perkembangan zaman dan pengaruh pola kehidupan modern boleh jadi terjadi

Page 5: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

120

pergeseran nilai-nilai kepemimpinan seorang penghulu di dalam masyarakat

Minangkabau. Globalisasi saat ini menjadi tuntutan kehidupan modern karena

masyarakat lebih cenderung menginginkan pemimpin formal (pemerintahan) yang

tidak seideal seorang penghulu pada masyarakat. Kepemimpinan penghulu yang

sudah dimiliki masyarakat hendaknya terus dipelihara dan menjadi contoh untuk

memilih pimpinan formal.

Sesuai dengan teori hegemoni Althuser dan Gramsci (Ratna, 2010: 478)

bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan atas kelas

bawah dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini

penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, tetapi melalui bentuk-bentuk

persetujuan masyarakat yang dikuasai. Perubahan zaman telah menguasai

masyarakat sehingga pemimpin yang ideal tidak lagi dicerminkan oleh penghulu,

namun oleh kuasa pemerintah lewat politiknya. Memang perubahan tidak dalam

paksaan, namun secara tidak terasa hadir dalam kehidupan manusia Pariaman.

Secara umum, tari ulu ambek adalah seni yang hidup dan berkembang

dalam masyarakat Pariaman sejak lama yang berdasarkan pada nilai-nilai kuasa

penghulu yang hidup dalam masyarakat itu, baik nilai asli maupun sinkretis nilai-

nilai asli dengan nilai yang datang dari luar dan hanya berlaku bagi masyarakat itu

saja. Tari ulu ambek adalah seni yang khas mengandung muatan lokal sosial

budaya Pariaman.

Sesuai dengan sifat penghulu yang menjaga moral dalam negeri, maka ciri

khas ulu ambek, demikian juga silatnya, ialah menciptakan gerak yang bersumber

dari Alqur’an dan Hadist serta alam yang diproyeksikan menjadi gerak yang

Page 6: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

121

dinamis sesuai dengan kuasa penghulu dalam nagari yang berlandaskan agama

Islam. Dalam Alqur’an dan Hadist serta alam terdapat empat perkara, yaitu

larangan, suruhan, sabar, dan perintah.

Berdasarkan sifat penghulu yang demikian, maka ada empat hal yang

membentuk gerak bela diri sehingga setiap gerak berisi larangan, suruhan, sabar,

atau perintah. Bila pesilat sudah berhadapan dengan pasangannya, ia langsung

melakukan serang tangkis. Silat yang terkenal di Pariaman adalah silat sitaralak

yang tidak memiliki khalifah seperti halnya silat lainya yang berdasarkan agama

Islam. Hal ini bisa dilihat dari langkah, tangkok, bukak, kambang tangan dan

menahan, silat gunuang persis sama dengan silat sitaralak yang ada di Pariaman.

Penghulu mengagungkan hubungan silaturahmi antarsesama manusia.

Begitu juga gerak inti dari gerak silat sitaralak yang juga mengagungkan

hubungan silaturahmi. Hal ini bisa dilihat dari prosesi silat dari awal sampai akhir.

Pertama, destar diserahkan kepada dua pemain silat. Kedua, sepasang pemain silat

memberi salam kepada tuo (pimpinan) silat untuk meminta restu dan teguran

kalau mereka melakukan kesalahan. Ketiga, kedua pemain silat berdiri di tengah

arena untuk memberi salam ke empat arah mata angin sebagai bentuk maaf ke

khalayak. Keempat, pesilat memberi salam kepada masing-masing lawan mainnya

atau meminta maaf sesama mereka. Setelah keempat prosesi ini dilakukan maka

baru mereka bermain silat. Pada akhir bersilat, proses salam juga dilakukan sama

halnya dengan salam pada awal bermain.

Dalam silat sitaralak terdapat gerak sumbang dan gerak batua. Kedua

gerak ini memiliki makna ‘memakan atau dimakan’. Begitu juga dengan sifatnya,

Page 7: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

122

silat gunuang memiliki empat sifat, yaitu garak, garik, raso, dan pareso. Tidak

ada istilah langkah mati dalam silat gunuang, dan mata pesilat tidak pernah

menatap mata lawan secara langsung. Hal ini bermakna bahwa ia

menyembunyikan kekuatan pada diri masing-masing.

Dengan demikian, ideologi Gramsci dan Althuser melihat silat dan ulu

ambek memberi muatan filosofis terhadap bela diri untuk mempertahankan harga

diri. Dari informasi yang didapat dari pengertian ulu ambek, jika dikaitkan dengan

kehidupan penghulu dalam mengayomi kemenakan dan masyarakatnya, ia sebagai

yang ditinggikan seranting dari ninik mamak yang lain di dalam kaumnya yang

sesuku, memberi ajaran kebaikan dan menghambat perilaku yang tidak sesuai

dengan aturan adat yang berlaku di Pariaman.

Dalam konteks kelompok atau masyarakat, ideologi Gramsci dan Althuser

sering kali digunakan sebagai dasar bagi usaha pembebasan manusia. Dalam hal

ini, ideologi memiliki pengertian sebagai sekumpulan gagasan yang menjadi

panduan bagi sekelompok manusia dalam bertingkah laku untuk mencapai tujuan

tertentu (Takwin, 2009:5). Ideologi menjadi acuan manusia dalam melakukan

aktivitas termasuk aktivitas, dalam tari ulu ambek di Pariaman.

Gerak tari ulu ambek dimulai dengan gerak sambah. Sambah-manyambah

adalah satu tata cara menurut adat istiadat Pariaman, yang mengatur tata tertib dan

sopan santun pembicaraan orang dalam sebuah pertemuan. Kata sambah, dalam

bahasa Indonesia berarti sembah, diambil dari sikap awal setiap orang yang

melaksanakan persembahan. Sebelum memulai pembicaraan seseorang harus

mengangkat dan mempertemukan kedua telapak tangannya lurus di antara kening

Page 8: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

123

dan hidung bagaikan orang menyembah. Begitu pula sebaliknya, sikap yang

dilakukan kawan bicara ketika menerima sambah. Sikap ini sudah menjelaskan

hakikat acara tersebut, yaitu bagaimana setiap pihak yang bertemu dalam satu

pertemuan bisa saling menghormati, saling memperlihatkan adat sopan santun dan

budi bahasa yang baik, termasuk dalam mengatur kata-kata yang diucapkan,

seperti yang diungkapkan oleh Sahrul berikut:

“Sambah juga dilakukan ketika berunding dengan seluruh komponen tari

ulu ambek terutama antara tamu dan tuan rumah. Sambah yang dilakukan

tidak lewat gerak tari, tetapi dengan bahasa verbal. Dalam sambah-

manyambah ini bahasa Minang yang digunakan memang agak berbeda

dengan bahasa yang diucapkan orang sehari-hari” (Wawancara, 4 Januari

2014)

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa bahasa yang dipakai diambil dari bahasa

kesusastraan Minang lama, yang lirik prosanya, penuh pepatah petitih, dan dalam

kalimat-kalimatnya banyak diisi ungkapan dan sinonim untuk mempertegas

maksud yang disampaikan. Dalam aturan adat Pariaman, tata cara sambah

manyambah itu justru diletakkan sebagai lembaga pertama tentang adab sopan

santun dan basa basi yang harus dilakukan oleh setiap orang yang bertemu dalam

satu musyawarah.

Berdasarkan teori ideologi Althuser dan Gramsci (dalam Barker, 2009: 60-

62) bahwa komponen ideological complexes terdiri atas dua model, yaitu model

relasional (klasifikasi jenis social agent, aksi, objek, dan lain-lain) dan model

aksi (spesifikasi aksi dan perilaku yang diharuskan, diizinkan, dilarang). Sambah

merupakan hubungan relasional antar penghulu dan di dalam sambah tersebut

dibicarakan aksi yang diizinkan dan dilarang dalam permainan ulu ambek. Begitu

juga dengan komponen lain seperti gerak dalam ulu ambek.

Page 9: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

124

Gerak batuang, gerak guntiang, gerak kaluang, gerak simpua, gerak

menghentak kaki, dan gerak catua langkah memiliki ideologi tentang kehati-

hatian dalam bersilat. Gerak membelakangi lawan merupakan gerak yang

mengindikasikan pada posisi lawan diuji sportivitasnya. Seorang pemain tari ulu

ambek tidak akan menyerang lawannya yang berada dalam kondisi membelakang.

Gerak bertukar tempat merupakan gerak dengan nilai ideologi keadilan. Posisi

seorang pemain akan sama dengan pemain lain. Ada kalanya seorang pemain

bertindak sebagai penyerang dan ada kalanya bertindak sebagai penangkis.

5.1.2 Kuasa Globalisasi dalam Tari Ulu Ambek

Masuknya kuasa globalisasi menjadikan tari ulu ambek berubah.

Perubahan ini disebabkan oleh semakin lancarnya arus transportasi dan

komunikasi di daerah Pariaman, yang tentu lebih membuka cakrawala penduduk

setempat terhadap hal-hal baru yang ada di luar, baik dengan cara bepergian

maupun dengan cara melihat di layar televisi. Perubahan ini juga mempunyai

dampak yang baik dalam hal ekonomi, masyarakat yang biasanya menjual hasil

perkebunan karet dengan biaya yang mahal menggunakan transportasi perahu kini

bisa dengan cepat dan efektif menggunakan kendaraan darat. Namun, dari segi

seni budaya efek negatifnya ialah semakin melemahnya kecintaan terhadap seni

tradisi.

Kekuasaan penghulu yang saat ini telah terpengaruh oleh perkembangan

zaman mau tidak mau harus disikapi dengan membentengi masyarakat dengan

gambaran ideal seorang penghulu. Gambaran ideal itu tercermin dari pakaian yang

Page 10: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

125

dikenakan oleh penghulu. Menurut Khaidir:

“Pakaian Datuak tu punyo arati nan sangaik laweh. Barisi tantang

kurenah Datuak maaja kamanakannyo. Parangai Datuak harus sasuai jo

arati pakaian nan dipakainyo. Baju contohe nan balangan leba nan bisa

malinduangi kamanakan dari sagalo parsoalan.”(pakaian Datuk

mempunyai arti yang sangat luas. Berisi tentang tingkah laku Datuk

mengajar kemenakannya. Sikap Datuk sesuai dengan arti pakaian yang

dipakainya. Baju misalnya yang berlengan lebar yang bisa melindungi

kemenakan dari segala persoalan). (Wawancara, 4 Janari 2014)

Pendapat di atas menjelaskan bahwa pakaian penghulu menyiratkan bahwa

pemimpin merupakan anutan bagi masyarakatnya. Anutan tersebut diperlihatkan

pada makna dari seluruh unsur pakaian. Ideologi pemimpin di Pariaman adalah

ideologi yang disimbolkan oleh pakaian.

Hegemoni Gramsci dan Althuser (dalam Barker, 2004: 62) menjelaskan

bahwa hegemoni dibentuk melalui serangkaian aliansi tempat suatu kelompok

berposisi sebagai pemimpin. Terlihat bahwa tari ulu ambek di Pariaman berkaitan

dengan ideologi penghulu (datuk) yang “meminjamkan pakaiannya” kepada

pemain tari ulu ambek. Pakaian pemain tari ulu ambek memiliki ideologi yang

disejajarkan dengan penghulu. Misalnya, ideologi destar ditunjukkan dalam

pasambahan (perundingan) sebelum berlangsungnya tari ulu ambek.

Badeta panjang bakaruik

Bayangan isi dalam kuliek

Panjang tak dapek kito ukue

Leba tak dapek kito bilai

Kok panjangnyo pandindiang korong

Leba pandukuang anak kamanakan

Hamparan di rumah tanggo

Paraok gonjong nan ampek

Tiok liku aka manjala

Tiok katuak ba undang undang

Dalam karuik budi marangkak

Tambuak dek paham tiok lipek

Manjala masuak nagari

Page 11: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

126

(Pakai destar panjang berkerut

Membayangkan isi pada kulit

Panjang tak dapat kita ukur

Lebar tak dapat kita sambung

Kalau panjangnya pendinding korong

Kalau lebarnya untuk mendukung anak kemenakan

Terhampar di rumah tangga

Penutup gonjong yang empat

Tiap liku akar menjalar

Tiap lipatan ada undang-undang

Dalam kerut budi merangkak

Tembus karena paham pada lipatan

Menjalar masuk nagari)

Pasambahan (perundingan) tersebut menggambarkan bagaimana pemain

tari ulu ambek haruslah orang yang bijaksana. Semua sifat pemimpin ada dalam

destar yang dipakai pemain tari ulu ambek. Memasang destar tidak sembarangan,

tetapi memberikan nilai pada pemakainya. Pemain tari ulu ambek yang belum bisa

memasang destar akan meminta tolong pada pemimpinnya supaya dipasangkan

destar sesuai dengan peraturannya. Destar akan kelihatan anggun karena ia adalah

pakaian dari penghulu. Pemakaian baju untuk pemain tari ulu ambek diterangkan

dalam pasambahan (perundingan) sebelum berlangsungnya tari ulu ambek.

Babaju hitam gadang langan

Langan tasenseng tak pambangih

Pangipeh angek naknyo dingin

Pambuang nan bungkuak sarueh

Siba batanti timba baliek

Gadang barapik jo nan ketek

Tando rang gadang bapangiriang

Tatutuik jahit pangka langan

Tando membuhue tak mambuku

Tando mauleh tak mangasan

Lauik tatampuah tak berombak

Padang ditampuah tak barangin

Takilek ikan dalam aie

Lah jaleh jantan batinonyo

Lihienyo lapeh tak bakatuak

Tando pangulu padangnyo lapang

Page 12: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

127

alamnyo leba

Indak basaku kiri jo kanan

Tandonyo indak pangguntiang

(Berbaju hitam berlengan lebar

Lengan tersingsing tak pemarah

Pengipas panas supaya dingin

Pembuang yang bungkuk seruas

Pinggiran berenda timbal balik

Besar berimpit dengan yang kecil

Tandanya orang besar berpengiring

Tertutup jahitan pangkal lengan

Tandanya membuhul tak mengesan

Tandanya menyambung tak kentara

Laut ditempuh tak berombak

Padang ditempuh tak berangin

Terlintas ikan dalam air

Sudah jelas jantan betinanya.

Lehernya lepas tak berkatup

Tandanya penghulu padangnya lapang

alamnya lebar (lapang dada/sabar)

Tidak bersaku kiri dan kanan

Tandanya bukan penggunting dalam)

Baju yang dipasang di tubuh pemain tari ulu ambek memberikan kesan

bahwa yang memakainya adalah orang-orang tertentu. Tidak dibenarkan pakaian

tersebut dilekatkan pada sembarang orang. Namun, akhir-akhir ini baju yang

dipakai pemain tari ulu ambek sudah mulai berubah. Pemain tari ulu ambek ada

yang memakai pakaian tidak berwarna hitam dan tidak harus tradisi. Pemain tari

ulu ambek ada yang memakai baju sehari-hari (kemeja biasa). Hal ini

menunjukkan bahwa ada perubahan terhadap pemaknaan baju yang merupakan

pakaian penghulu. Perubahan ini merupakan hal yang berkaitan dengan perubahan

zaman.

Celana yang dipakai harus celana galembong. Tidak ada perubahan

terhadap pemakaian celana. Celana pemain tari ulu ambek memberikan kesan

tentang ideologi Gramsci dan Althuser yang dipahami seorang penghulu di

Page 13: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

128

Padang Pariaman. Dalam pasambahan (perundingan), sebelum berlangsungnya

tari ulu ambek, dijelaskan fungsi penghulu seperti gambar 5.1.

Gambar 5.1

Seorang Penghulu dengan Pakaian Kebesarannya

(Dokumen: Yulinis, 2011)

Basarawa hitam ketek kaki

kapanuruik alue nan luruih

panampuah jalan nan pasa

ka dalam korong jo kampuang

sarato koto jo nagari

Langkah salasai baukuran

martabat nan anam membatasi

murah jo maha ditampeknyo

ba ijo mako bakato

ba tolam mako bajalan

(Bercelana hitam kecil kaki

untuk menurut alur yang lurus

untuk menempuh jalan yang wajar

ke dalam korong kampung

serta koto dan negeri

Langkah bebas berukuran

Page 14: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

129

martabat yang enam membatasi

murah dan mahal di tempatnya

dieja baru berkata

diagak baru berjalan)

Ideologi Gramsci dan Althuser yang melekat pada diri penghulu itulah

yang diperankan oleh pemain tari ulu ambek. Penghulu mempunyai tugas yang

berat dan peranan yang sangat menentukan dalam masyarakat adat. Oleh karena

itu, yang harus diangkat menjadi penghulu adalah orang yang mempunyai “bobot”

atas sifat-sifat tertentu. Hal inilah yang digambarkan oleh tari ulu ambek di

Padang Pariaman.

Pemain tari ulu ambek tidak pernah ada yang perempuan, bahkan

perempuan dilarang menjadi bagian dalam tari ulu ambek. Perempuan dilarang

memasuki laga-laga ketika berlangsung tari ulu ambek. Peran perempuan dalam

tari ulu ambek hanya berada di wilayah penyediaan konsumsi dan akomodasi

untuk tamu yang diundang dalam alek nagari tersebut.

Perlu dicatat di sini bahwa adat di Padang Pariaman secara mutlak

menetapkan bahwa penghulu hanya pria dan tidak boleh wanita. Di sini jelas dan

mutlak pula bahwa sistem kekerabatan matrilineal tidak dapat diartikan dengan

“wanita yang berkuasa”. Hal itu terjadi karena keempat unsur utama seorang

penghulu adalah sebagai pemimpin, pelindung, hakim, dan pengayom yang

merupakan unsur-unsur yang sangat dominan dalam menentukan “kekuasaan”

berada di tangan pria, yaitu di tangan penghulu yang justru mutlak seorang pria

itu.

Kekuasaan globalisasi mengarah pada semakin kaburnya batas-batas

teritorial, ekonomi, politik, budaya dan hal lainnya di antara suatu entitas nasional

Page 15: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

130

dalam dunia internasional. Globalisasi biasanya diikuti oleh modernisasi sebagai

gerakan sosial sesungguhnya bersifat revolusioner, dari yang awalnya tradisi

menjadi modern. Selain itu, modernisasi juga berwatak kompleks, sistematik,

menjadi gerakan global yang akan memengaruhi semua manusia, melalui proses

yang bertahap untuk menuju ke homogenisasi dan bersifat progresif. Hal ini juga

memengaruhi kuasa penghulu yang selama ini menjadi pemilik tari ulu ambek,

seperti yang dituturkan oleh Sahrul dibawah ini:

“Globalisasi secara umum sangat mempengaruhi kehidupan berkesenian di

Pariaman dimana seni tradisi yang tidak hanya ulu ambek terpinggirkan

oleh teknologi komunikasi yang dibawa globalisasi tersebut. Seni tradisi

dirasakan oleh generasi sekarang sebagai sesuatu yang tidak lagi sesuai

dengan zaman” (wawancara, 4 Januari 2014)

Pendapat di atas mempertegas bahwa globalisasi dengan teknologinya yang

sangat canggih, berpengaruh terhadap kehidupan berkesenian masyarakat

Pariaman. Tari ulu ambek, salah satu bagian dari kebudayaan Pariaman, tidak

luput dari pengaruh globalisasi. Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang

dengan cepat. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan

dalam memperoleh akses komunikasi dan berita. Namun, hal ini justru menjadi

bumerang tersendiri dan menjadi suatu masalah yang paling krusial dalam

globalisasi, yaitu kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengertahuan dikuasai

oleh negara-negara maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Sesuai dengan pendapat Althuser dan Gramsci (dalam Barker, 2004: 62)

bahwa situasi demikian menjadi tempat suatu blok historis faksi kelas berkuasa

menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui

kombinasi antara kekuatan dan konsensus. Dari sisi tersebut terlihat bahwa

Page 16: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

131

globabalisasi menjadi dominasi dalam kuasa terhadap tari ulu ambek. Penghulu

sebagai pemilik tari ulu ambek hanya menjadi subordinat dan tidak lagi dominan.

Globalisasi yang semakin masuk ke tingkat yang paling lokal di Pariaman,

bahkan sudah dianggap sebagai hal yang penting untuk diikuti, sekarang kurang

mendapatkan saringan dan cenderung diterima secara utuh tanpa melihat akar

budaya dan asal usulnya, apakah sesuai atau tidak dengan akar budaya Pariaman.

Hal yang paling penting adalah kekuatan kekerabatan, toleransi, kesatuan adat,

religiusitas dan kebersamaan masyarakat Indonesia, khususnya pada basisnya di

nagari, akan mampu memberikan suatu saringan yang efektif terhadap arus

negatif dari globalisasi yang membawa budaya barat (Eropa) yang individualis,

sekuler, kapitalis, konsumeris, dan sedikit liberalis.

Untuk itu, perlu ada relasi kuasa antara penghulu (adat) dengan eksistensi

tari ulu ambek bisa dipertahankan dan bisa pula tidak ketinggalan zaman. Sinergi

keduanya dibutuhkan dalam rangka membangun efek positif dari kedua kekuasaan

yang saling memengaruhi. Simbol budaya yang hadir dalam tari ulu ambek akan

muncul seiring dengan munculnya simbol globalisasi.

5.2 Dinamika Tari Ulu Ambek

Perjalanan tari ulu ambek dari waktu ke waktu selalu mengalami

perubahan-perubahan, mulai dari sebelum masuknya agama Islam, zaman Islam

dan zaman globalisasi saat ini. Perubahan-perubahan tersebut menandakan bahwa

tari ulu ambek merupakan seni yang sangat dinamis. Tidak hanya ideologi agama

saja yang memengaruhi, namun juga ideologi politik mulai sejak zaman

Page 17: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

132

penjajahan ataupun zaman kemerdekaan. Pada zaman kemerdekaan pun dinamika

juga ditandai oleh zaman Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi.

Tari ulu ambek yang melekat dalam kehidupan sosial budaya masyarakat

Pariaman khususnya dan Minangkabau (Sumatera Barat) umumnya dapat dimak-

nai sebagai sistem nilai yang fungsinya mendorong dan membimbing masya-

rakatnya menjawab tantangan yang mereka hadapi sepanjang masa. Sistem nilai

dan tradisi tersebut merupakan ciri identitas sebuah kelompok masyarakat budaya.

Pada masyarakat Minangkabau dicirikan dengan paham egalitarian dan sistem

matrilineal yang hidup di dalam nagari-nagari. Tari ulu ambek pun tumbuh di

dalamnya seiring dengan berkembangnya nagari.

Dalam kultur Pariaman, tari ulu ambek itu biasanya disebut pemainan

milik penghulu yang dimainkan anak muda yang tumbuh dan berkembang dalam

tradisi budaya yang ditopang dengan apa yang dinamakan peristiwa budaya alek

nagari. Alek nagari, yang merupakan suatu bentuk perayaan atau pesta budaya,

dalam sejarah kebudayaan Pariaman memang memiliki peran dan fungsi yang

penting dalam memelihara dan mengembangkan berbagai simbol budaya yang ada

di setiap nagari secara otonom dan partisipatif. Dengan kata lain, alek nagari bisa

dianggap sebagai suatu institusi budaya yang penting dalam masyarakat Pariaman

karena bukan hanya sekadar wadah perayaan kesenian, tetapi juga sekaligus

merupakan media pengikat silaturahim antara anak nagari dan pemangku adat.

Dalam tulisan ini, dinamika tari ulu ambek akan dilihat dari sejarahnya

yang berkaitan dengan ideologi agama, mulai dari sebelum Islam, setelah Islam

dan kondisi saat ini. Sementara itu, yang berkaitan dengan ideologi politik secara

Page 18: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

133

tidak langsung akan mengikuti ideologi agama dan kondisi saat ini.

5.2.1 Tari Ulu Ambek Sebelum Islam Masuk

Eksistensi tari ulu ambek di Pariaman sebelum masuknya agama Islam

belum ditemukan data tertulis yang bisa dipertanggungjawabkan. Untuk itu,

dalam menguraikan keberadaan tari ulu ambek sebelum Islam masuk didasarkan

pada hasil wawancara dengan orang tua yang mengenal tari ulu ambek. Dari hasil

wawancara didapatkan hasil bahwa tari ulu ambek sudah ada sebelum Islam

masuk, seperti diungkapkan oleh Angku Sabar Dt. Rangkayo Majo Basa di

bawah ini:

“Ulu ambek alah ado di piaman sajak saisuak, alun masuak agamo awak

kini kolai alah ado juo ulu ambek. Cuma bantuak e ndak mode kini ko doh.

Dulu batuae-batue batandiang santiang. Santiang lua dalam. Kalau kalah

tinggaan laga-laga. Mangkoe pangulu dan anak ulu ambek punyo ilimu

nan bisa mancalakoe lawan. Biasoe ilimu nan dipakai ilimu itam”(ulu

ambek sudah ada sejak dulu kala, belum masuk agama kita sekarang

(Islam) sudah ada ulu ambek. Cuma bentuknya agak beda dengan

sekarang. Kalau dulu betul-betul bertanding kehebatan. Baik kehebatan

secara lahir maupun batin. Kalau kalah tinggalkan arena permainan.

Makanya penghulu dan pemain ulu ambek itu punya ilmu yang bisa

mencelakai lawan bermain. Biasanya ilmu yang dipakai adalah ilmu

hitam) (Wawancara, 5 Januari 2014).

Pendapat di atas merupakan satu-satunya yang menyatakan bahwa tari ulu ambek

sudah ada sebelum masuknya Islam. Sementara itu, yang lain tidak mengetahui

kapan ada tari ulu ambek di Pariaman. Mereka hanya tahu keberadaan tari ulu

ambek ketika agama Islam sudah masuk. Namun, penelusuran terhadap sejarahnya

akan bisa membantu menguatkan keberadaan tari ulu ambek.

Berdasarkan teori ideologi kekuasaan Gramsci dan Althuser (dalam

Barker, 2009:58-59) yang berhubungan dengan reproduksi bangunan sosial dan

Page 19: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

134

relasinya mereka terhadap kekuasaan maka perhubungan antara pedagang asing

dan penguasa tempatan di Padang Pariaman telah lama terjalin. Tanpa disadari

perhubungan pribadi menjadi cukup erat yang lama kelamaan menghasilkan

kedua belah pihak saling menyerap unsur kebudayaan dan kesenian di antara

mereka. Mereka ini datangnya dari India, Kalingga, Ceylon, Malabar dan

Benggali dan kebanyakan mereka beragama Hindu atau kedatangan orang-orang

Cina yang beragama Budha-Mahayana (Manggis, 1982:92).

Justeru itu, agama Hindu dan Budha dipercayai mula-mula berkembang

dan bercampur dengan kebudayaan di Pariaman selepas kepercayaan lama

animisme dan dinamisme. Percampuran itu terjadi terutama pada golongan

penguasa atau kepala suku, kepala adat, ketua batin atau penghulu kampung.

Perkembangan ini diasaskan bermula dari persekitaran candi-candi Muara Takus

(Schnitger, 1989:30), dan persekitaran daerah Portibi (candi disebelah utara

Minangkabau). Begitu pula perkembangan itu dapat dilihat di Pasumayam Batu

Patah (tempat ziarah di Gunung Bungsu Pagaruyung) dan beberapa Biaro-Biaro

atau Biara dan atau Vihara dilereng gunung Merapi sebagai pusat alam

Minangkabau. Sampai hari ini masih terdapat tiga nama negeri Biaro (Biara) yang

terdapat di sekitar gunung Merapi ialah negeri Biaro Pariangan, negeri Biaro

Sepuluh Koto, dan negeri Biaro di Baso. Ketiganya terdapat dalam wilayah

Minangkabau perdalaman. Akan tetapi, pada zaman pengaruh Hindu-Budha

tempat ini dikesankan sebagai daerah pengembangan kepercayaan Hindu-Budha

karena sebutan Biara atau Vihara tersebut. Kemudian, hal itu berkembang hingga

kepada rakyat jelata yang menghambakan diri mereka kepada penguasa-penguasa,

Page 20: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

135

seperti dijelaskan oleh Angku Sabar Dt. Rangkayo Majo Basa di bawah ini:

“Pangulu alah ado katiko alun ado Isilam. Tapi apo agamo awak maso tu

yo ndak jaleh dek ambo doh. Mungkin agamo nenek moyang. Ndak lamo

pangulu ado, adolo ulu ambek, karano ulu ambek ko lah nan manyatuan

antaro suku jo suku lain, supayo jan bacakak”. (penghulu sudah ada

ketika belum masuk Islam. Tetapi apa agama kita masa itu, saya juga

kurang tahu. Mungkin agama nenek moyang. Tidak lama penghulu ada,

ada pula ulu ambek, karena ulu ambek inilah yang menyatukan antara suku

dengan suku lain, supaya tidak terjadi perkelahian antar suku)

(Wawancara, 5 Januari 2014).

Pendapat di atas memperlihatkan bahwa keberadaan penghulu sudah ada sejak

zaman Hindu-Budha dan bahkan anisme dan dinamisme. Eksistensi penghulu

menyangkut eksistensi tari ulu ambek di Pariaman. Jadi, bisa diprediksi bahwa tari

ulu ambek sudah ada sejak adanya kepala suku (penghulu) di Pariaman, yaitu jauh

sebelum Islam masuk.

Berdasarkan teori ideologi Gramsci dan Althuser bahwa ideologi

menyediakan perilaku praktis tuntunan moral yang sepadan dengan agama yang

secara sekuler dipahami sebagai kesatuan keyakinan antara konsepsi dunia dan

norma tindakan terkait (Gramsci, 1971:349). Penghulu menerapkan ideologi yang

disesuaikan dengan moral serta agama pada saat itu sehingga eksistensi tari ulu

ambek dan sekaligus penghulu itu sendiri tetap bertahan sampai sekarang.

Hal ini diperkuat lagi oleh Cristine Dobbin (1992:51-52) bahwa ketika

Minangkabau memasuki fokus sejarah, tampaknya pantai barat lebih disukai oleh

pedagang-pedagang India. Bukti arkeologis dan tradisi lisan menunjukkan bahwa

pada satu masa dalam abad ke 6, para pedagang India, yang dikenal sebagai

Chetti, menetap dekat Pariangan di lereng Gunung Merapi. Pada masa Indianisasi

Minangkabau, orang-orang India Selatan rupanya telah mendirikan pusat dagang

Page 21: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

136

dan politik di Pariangan dan dipimpin oleh seorang yang bergelar Maharajadiraja.

Hingga sampai pertengahan abad-14 bahwa orang-orang India Selatan masih

hidup sebagai masyarakat tersendiri di Minangkabau. Banyak didapati kata-kata

Dravida dan Sanskerta masuk ke dalam bahasa Minangkabau dan berkembang

pula sistem raja-raja.

Rasjid Manggis (1982:56) melihat sejarah Minangkabau dan hubungannya

dengan bangsa India telah lama dimulai. Bermula pada awal abad masehi dan

orang-orang pendatang dari pesisir Malabar-India adalah dari pergunungan

Dekkan atau Malayam. Mereka sudah datang ke pusat Sumatera yang bertepatan

dengan garis khatulistiwa untuk mengukuhkan sebuah kebudayaan. Tiga belas

abad lamanya orang Hindu ini mendiami pulau Sumatera dan menyemaikan cita-

cita rohani dan penyebaran agama Hindu. Sementara itu, orang Malabar disebut

oleh orang Minangkabau sekarang sebagai orang Malabari. Mereka berdatangan

dari Tanah Basa (India daratan).

Begitu juga Tambo Minangkabau menyebutkan, bahwa dataran India

sebagai Tanah Basa. Pengaruh dan pencampuran aspek-aspek kebudayaan India

yang lain sangat dominan pula dijumpai dalam berbagai kebudayaan dan kesenian

Minangkabau. Misalnya melalui bahasa, upacara adat perkawinan, kelahiran dan

permainan anak negeri. Begitu juga dalam seni pertunjukan tari Salapan, tari

Dayang, ulu ambek dan tari Kain di pesisir barat Sumatera sedikit banyak

dikesankan mempunyai gaya dan ciri-ciri tarian India-Selatan. Pada masa yang

sama dikesan pula beberapa artifak budaya dan aktivitas-aktivitas ritual yang

bertaburan antara negeri Indragiri hingga Indrapura sebagai dua kawasan rantau

Page 22: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

137

Minangkabau meliputi kerajaan Dharmasraya. Daerah Dharmasraya adalah

sebuah daerah Melayu Tua antara daerah Minangkabau dan daerah Sriwijaya.

Daerah ini berdekatan dengan hulu Sungai Batanghari dan secara adat

Minangkabau daerah Dharmasraya ini masuk ke dalam wilayah rantau

Minangkabau yang dipercayai oleh masyarakat tempatan dan mengamalkan adat

istiadat Minangkabau, seperti dikatakan oleh Zulkifli berikut:

“Tambo Minangkabau berisi tentang perjalanan sejarah. Cuma cara

penulisannya adalah bercerita seperti karya sastra. Jadi Tambo memuat

simbol-simbol atau pengandaian-pengandaian sehingga terkesan penuh

dengan imajinasi atau khayalan yang kadang-kadang tidak masuk akal”.

(Wawancara, 6 Januari 2014).

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa tambo Minangkabau berisi cerita tentang

sejarah orang Minangkabau yang ditulis seperti karya sastra. Memang secara

logika ada bagian-bagian yang tidak masuk akal. Akan tetapi, tambo ini

merupakan satu-satunya alat untuk menelusuri keberadaan manusia Minangkabau.

Menurut Althuser dan Gramsci (dalam Barker, 2009: 60--62), ideologi

berkaitan dengan logonomic system yang merefleksikan kontradiksi dan konflik

dalam formasi sosial. Logonomic system berkaitan dengan ideological complexes

dari segi fungsi dan isi (content), terutama sekali dalam pengontrolan perilaku

(semiosis). Tambo merupakan alat untuk mengontrol perilaku masyarakat

Minangkabau.

5.2.2 Tari Ulu Ambek Sesudah Islam Masuk

Menurut Bakhtiar dkk (2005:7--33), Islam masuk ke Minangkabau

(termasuk Pariaman) diperkirakan sekitar abad ke-7. Meskipun demikian ada juga

Page 23: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

138

pendapat lain, yaitu abad ke-13., Namun, para sejarawan sepakat menyatakan

bahwa penyebaran Islam melalui tiga jalur. Pertama, jalur dagang. Minangkabau,

selain terletak pada jalur yang strategis dalam hal perdagangan, juga merupakan

penghasil komoditi pertanian dan rempah-rempah terbesar di pulau Sumatera,

seperti lada dan pala. Potensi demikian mengundang minat para pedagang asing

untuk memasuki dan mengembangkan pengaruhnya di Minangkabau. Diantara

para pedagang asing tersebut, ada pedagang Islam yang juga menyebarkan Islam.

Kedua, penyiaran Islam tahap kedua ini berlangsung pada saat Pesisir

Barat Minangkabau berada di bawah pengaruh Aceh (1285--1522 M). Sebagai

umat yang telah terlebih dulu masuk Islam, pedagang Aceh juga berperan sebagai

mubaligh. Mereka giat melakukan penyiaran dan mengembangkan Islam di

daerah pesisir tempat mereka berdagang, terutama wilayah di bawah pengaruh

Aceh (Samudra Pasai). Salah satu faktor pendorong mereka adalah hadits

Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa “Sampaikanlah ajaranku meskipun

hanya satu ayat”. Sejak itu Islamisasi di Minangkabau dilakukan secara besar-

besaran dan terencana. Keadaan ini berlangsung pada abad ke-15.

Ketiga, Islam dari pesisir barat terus mendaki ke daerah Darek. Pada

periode ketiga ini kerajaan Pagaruyung sebagai pusat pemerintahan Minangkabau

masih menganut agama Buddha. Namun demikian, sebagian besar masyarakatnya

telah menganut Islam, pengaruhnya begitu tampak di dalam kehidupan sehari-

hari. Keadaan ini bagi Pagaruyung hanya menunggu waktu memeluk Islam.

Sehubungan dengan itu, Islam baru masuk menembus Pagaruyung setelah

Anggawarman Mahadewa, sang raja, memeluk Islam. Setelah ia masuk Islam

Page 24: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

139

namanya diganti dengan Sultan Alif. Begitu juga dengan keseniannya yang juga

mengalami perubahan, seperti dikatakan oleh Sahrul berkut:

“Islam masuk ke Minangkabau merubah sebagian tatanan masyarakat

termasuk kesenian. Kesenian yang tidak sesuai dengan agama Islam harus

menyingkir, dan kesenian yang bisa beradaptasi akan menyesuaikan

dirinya dengan ajaran agama Islam” (Wawancara, 4 Januari 2014).

Pendapat di atas menjelaskan bahwa masuknya Islam ke Pariaman melahirkan

bentuk-bentuk kesenian yang bernapaskan Islam. Gerakan kaum Paderi yang

terjadi tahun 1808--1837 merupakan gelombang pertama pembaharuan Islam di

Minangkabau secara umum. Periode akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20

terjadi pula gelombang pembaharuan yang dalam hal ini disebut dengan

gelombang kedua.

Berdasarkan teori ideologi Althuser dan Gramsci (Ratna, 2010:478) bahwa

hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan atas kelas bawah

dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Dengan demikian,

penguasaan terhadap seluruh sendi kehidupan masyarakat Pariaman didominasi

Islam termasuk kesenian.

Mansoer (dalam Sastra, 1999:62) menjelaskan bahwa pembaharuan tetap

mengarah pada pelaksanaan rabittah, yaitu membayangkan wajah khalifah untuk

menghadapkan wajah kepada Allah, suluk adalah istilah dalam pelaksanaan ajaran

tarekat, perombakan sistem surau, sistem pendidikan surau, pemurnian

pelaksanaan hukum Islam (fiqih), pemberantasan segala macam bid’ah yang

cenderung dekat dengan paham tarekat, seperti dikatakan oleh Khaidir berikut:

“Kutiko agamo Islam masuak ka nagari awak ko, mangko ulu ambek

manyasuaian pulo jo caro Islam. Contohe dulu kalau ba ulu ambek ado

ilmu itam nan dipakai untuak mangalahan lawan, saroman paganta,

Page 25: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

140

jimaik nan dipakai, dan lain-lain. Tapi katiko Islam masuak ndak buliah

ilmu itam tu dipakai lai”. (ketika agama Islam masuk ke negeri ini, maka

ulu ambek melakukan penyesuaian dengan cara Islam. Contohnya, kalau

dulu bermain ulu ambek memakai ilmu hitam untuk mengalahkan lawan,

seperti ilmu menakut-nakuti orang, jimat yang dipakai dan lain-lain. Tapi

ketika Islam masuk tidak boleh lagi ada ilmu hitam tersebut). (Wawancara,

4 Janari 2014).

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa tari ulu ambek memiliki sifat yang dinamis

dan bisa menyesuaikan dirinya dengan kondisi zaman. Perubahan disebabkan oleh

adanya kuasa yang lain yang harus diikuti. Sebelumnya ilmu hitam yang mereka

pakai akhirnya dibuang dan digantikan dengan ilmu yang tidak bertentangan

dengan Islam.

Berdasarkan ideologi dan hegemoni Gramsci dan Althuser (dalam Barker

2009:59--61) bahwa pandangan ideologi sebagai dialektika dicirikan oleh

kekuasaan yang dominan. Perubahan tari ulu ambek dari sebelum Islam ke masa

Islam awalnya mendapat pertentangan antarkekuasaan karena sebagian mereka

menganggap bahwa inti dari tari ulu ambek adalah permainan ilmu ghaib yang

termasuk ilmu hitam. Namun, kalau tetap dipertahankan dengan cara lama maka

tradisi ini akan punah karena Islam telah menjadi mayoritas di Pariaman.

Hal tersebut menandakan bahwa tari ulu ambek bisa beradaptasi dengan

kondisi apa pun yang dibuat oleh pembaharu kebudayaan. Prioritas kaum

pembaharu ialah merombak tari ulu ambek yang lama yang telah banyak

dicampuri oleh hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang murni.

Khusus pada gelombang kedua, pertentangan agama lebih banyak terjadi antara

kaum tua dan kaum muda yang sedang bersemangat (sesama Islam). Kaum tua

didominasi oleh kaum sufi yang beraliran tarekat, seperti naqsyabandiyah,

Page 26: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

141

sattariyah, samaniah, dan rifa’yah. Kaum muda diwakili oleh ulama-ulama

intelektual yang dipengaruhi oleh sistem pendidikan modern. Perhatikan apa yang

dikatakan oleh Angku Sabar Dt. Rangkayo Majo Basa di bawah ini.

“Barubah tu kan biaso di nagari awak. Kecek pepatah sakali aia gadang

sakali pulo tapian barubah. Katiko Islam masuak barubah pulo kesenian

awak. Islam kan ndak malarang urang bakasenian, tapi tantu haruih

sasuai jo agamo Isilam, karano ado kasanian nan barisi sirik, maka itu

haruih diapuih”. (berubah bagi masyarakat negeri kita sudah biasa. Kata

pepatah satu kali air besar datang satu kali pula tepian berubah. Ketika

Islam masuk maka berubah pula kesenian kita. Islam kan tidak melarang

orang berkesenian, tetapi tentu harus sesuai dengan agama Islam, karena

ada kesenian yang berisi sirik, maka itu harus dihapuskan). (Wawancara, 5

Januari 2014).

Pernyataan di atas menggambarkan bahwa dalam masyarakat Pariaman selalu ada

keyakinan yang kontradiktif terhadap warisan budaya dan perubahan yang terjadi,

di dalamnya. Perubahan akan selalu terjadi seperti kata pepatah bahwa sakali aie

gadang, sakali tapian barubah (satu kali air besar datang, satu kali tepian

berubah). Artinya masyarakat Pariaman menyadari adanya sesuatu yang harus

mereka terima dengan perkembangan keadaan dan perubahan zaman. Akan tetapi,

pada pihak lain, masyarakat Pariaman juga mempunyai keinginan untuk

mempertahankan keadaan budaya untuk pelestariannya. Kontradiksi tersebut

menjadikan nilai-nilai baru akan terus muncul sesuai dengan tuntutan zaman.

Berdasarkan teori hegemoni Althuser dan Gramsci (Ratna, 2010:478)

bahwa proses kekuasaan dan dominasi tidak hanya bersifat material, tetapi juga

bersifat budaya. Dominasi yang bersifat immaterial tersebut meliputi perluasan

dan pelestarian kepatuhan dari kelompok yang didominasi oleh kelas elite

penguasa melalui pemanfaatan kekuasaan intelektual, moral, dan politik.

Pemanfaatkan Islam terhadap tari ulu ambek ialah dengan menyesuaikannya

Page 27: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

142

dengan ajaran Islam.

Kesenian Islam merupakan kesenian yang memiliki dialektika antara

kekuatan adat dan kekuatan agama. Meskipun demikian kadang-kadang dialektika

itu memunculkan konflik sosial seperti yang terjadi antara kaum adat dan kaum

Paderi pada zaman perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Akan tetapi, antara yang

mempertahankan dan yang ingin melakukan pembaharuan terus menerus terjadi

tarik menarik dan saling memengaruhi.

Tari ulu ambek yang ada dewasa ini merupakan perkembangan dari

warisan budaya masa lampau yang diwariskan dari satu generasi ke generasi

berikutnya. Berbagai perubahan sudah tentu akan terjadi. Hal ini menunjukkan

bahwa tari ulu ambek mengalami dinamika yang hebat, melalui masa-masa dan

budaya yang dilaluinya. Semenjak pasca kemerdekaan Indonesia, berbagai sendi

kehidupan sosial budaya masyarakat Pariaman mengalami perkembangan menuju

ke suatu kehidupan yang lebih maju, terutama terjadinya transformasi pendidikan

tradisional menuju pendidikan modern, seperti berdirinya sekolah-sekolah

moderen pengaruh Barat. Kehadiran sistem pendidikan modern itu ikut

memengaruhi sistem pendidikan Islam tradisional termasuk memengaruhi tari ulu

ambek.

Hal tersebut merupakan dinamika perubahan dan perkembangan

kebudayaan Pariaman. Begitu juga dengan tari ulu ambek dan kesenian bernuansa

Islam yang lain yang sudah cukup lama menjadi identitas masyarakat Pariaman.

Secara tradisional, kesenian Islam merupakan suatu aktivitas dalam lingkungan

masyarakat komunal, yang menjadi bagian yang integral dari sistem sosial

Page 28: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

143

masyarakat Pariaman khususnya dan Minangkabau umumnya.

Perubahan tari ulu ambek dari pengaruh Hindu-Budha ke Islam

menunjukkan bahwa tari ulu ambek bukanlah kesenian yang kaku, melainkan

kesenian yang hidup senapas dengan tradisi-tradisinya yang luas. Di dalamnya

terdapat unsur-unsur konservatif yang kuat dan bertahan, dan unsur-

unsur progresif yang dapat mengembangkan diri sebagai cerminan alam yang

selalu berubah mengikuti perubahan masa.

Penerimaan unsur-unsur baru selalu berpedoman pada nan elok dipakai,

nan buruak dibuang (yang baik dipakai yang buruk di buang). Hal ini sesuai

dengan konsep perubahan menurut adat Pariaman yang berbunyi usang-usang

diperbaharui, lapuk-lapuk dikajangi, nan elok dipakai nan buruak dibuang, ko

singkek diuleh, panjang mintak dikarek nan, umpang minta disisik (usang-usang

diperbaharui, lapuk-lapuk diperbaiki, yang baik dipakai, yang buruk dibuang, jika

pendek disambung, panjang minta dipotong, jika kurang minta disisik (ditambal).

5.2.3 Tari Ulu Ambek Dewasa Ini

Dalam konteks kesenian tradisional di Pariaman termasuk salah satunya

tari ulu ambek, saat ini tentu dihadapkan dengan tantangan yang demikian besar.

Tari ulu ambek yang berada dalam pusaran pengaruh budaya global memang

dianggap menjadi sebuah persoalan. Tak dapat ditutupi, berkembang pula

berbagai bentuk ketidakcocokan, ketidaksetaraan atau ketidakharmonisan di

dalam pola-pola interaksinya dengan pelaku dan publiknya, yang saat bersamaan

di dalamnya terdapat ancaman terhadap eksistensi dan keberlanjutan budaya-

Page 29: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

144

budaya lokal.

Budaya global menjadi sebuah persoalan politis ketika budaya-budaya

lokal terserap ke dalam budaya dominan, yang bersifat impersonal, yang

dikendalikan dan diatur oleh elit-elit profesional, yang mempunyai kekuatan

hegemoni dalam pengambilan keputusan dan menentukan nasib dan masa depan

budaya-budaya lokal (Yasraf: 2003:17). Namun, sejak Pemerintah Pariaman

menetapkan nagari sebagai ujung pemerintahan yang terendah menggantikan desa

pada awal tahun 2000-an, eforia yang cenderung romantis akan kebesaran masa

lalu, kian terasa dan mengemuka. Pada zaman Orde Baru kegiatan tari ulu ambek

seni tradisional di Minangkabau terpinggirkan karena seni ini tidak bisa

membantu program Orde Baru yang menggunakan seni sebagai corong

pemerintah. Perhatikan apa yang dikatakan oleh Khaidir di bawah ini.

“Dulu, samaso zaman orde baru, ulu ambek ndak jalan amek doh. Indak

ado paratian pamarintah doh, nan laku wakatu tu kesenian nan

mangecek-ngecek, karano bisa manyampaian pasan pamarintah. Kalau

ulu ambek ndak bisa bantuak seni nan lain doh, inyo haruih sasuai jo

pangulu dan caronyo ndak bisa dikaik-kaikan jo nan lain doh”. (dahulu,

ketika zaman orde baru, ulu ambek dapat dikatakan tidak eksis. Tidak ada

perhatian pemerintah, karena yang laku pada saat itu adalah kesenian yang

berdialog atau berkata-kata, karena bisa menyampaikan pesan pemerintah.

Kalau ulu ambek tidak bisa seperti itu, ia harus disesuaikan dengan

keinginan penghulu dan tidak bisa dikait-kaitkan dengan yang lain)

(Wawancara, 4 Januari 2014).

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa pemerintah pada zaman Orde Baru tidak

memperhatikan perkembangan budaya pada masing-masing etnis di Indonesia.

Tidak hanya di Pariaman, namun juga di daerah lain. Penyeragaman konsep

kebudayaan membuat spesifikasi etnis menjadi hilang. Sementara itu, tari ulu

ambek tidak bisa dibuat menjadi corong kekuasaan Orde Baru karena ia adalah

Page 30: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

145

corong adat yang diwakili penghulu.

Berdasarkan teori ideologi dan hegemoni Altuser dan Gramsci (dalam

Barker, 2009:58--59) bahwa ideologi sebagai kesalahan dalam memahami kondisi

nyata eksistensi adalah sesuatu yang palsu. Kuasa yang ada di tangan masa Orde

Baru menjadikan tari ulu ambek seakan akan hilang ditelan zaman atau

dipalsukan. Kendati sudah tersedianya fasilitas dan ruang ekspresi bagi

masyarakat saat itu, namun sistem pemerintahan yang diikuti dengan kemajuan

pesat teknologi informasi, mendesakkan ruang ekspresi (seni) anak nagari kian

tersingkir. Laga-laga nagari ditinggalkan, alek nagari hanya representasi

seremonial belaka, dan peminat tari ulu ambek, menurun, untuk tidak mengatakan

tak ada sama sekali. Kondisi ini, bagi sebagian pihak memang mengkhawatirkan,

seperti dikatakan oleh Sahrul di bawah ini.

“Kesenian secara umum di Minangkabau tidak kaku dan bisa menerima

pembaharuan-pembaharuan sejauh pembaharuan tersebut tidak

menghilangkan esensi dari kesenian tersebut. Salah satu esensi tersebut

adalah kesenian merupakan permainan anak nagari. Jadi konsep permainan

selalu dipakai sampai sekarang” (Wawancara, 4 Janari 2014).

Pernyataan di atas menerangkan bahwa sebetulnya perubahan bisa disikapi

dengan bijaksana dan tidak menghilangkan konsep berkesenian masyarakat.

Namun, pada saat Orde Baru, konsep ini seperti dihilangkan sehingga kesenian

menjadi terasing, jauh dari masyarakat.

Hal tersebut berkaitan dengan teori hegemoni Althuser dan Gramsci

(dalam Rudiyansjah, 2009:22) bahwa kekuasaan memiliki dampak yang sangat

pesat terhadap masyarakat. Saat Orde Baru berkuasa, laga-laga tempat bermain

ulu ambek, hampir setiap nagari sudah sepi ditinggal pergi anak nagari. Surau-

Page 31: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

146

surau sudah roboh dan lenyap. Seiring dengan itu, tari ulu ambek milik nagari

juga berangsur menyusut dan menemui kepunahannya. Agar hal itu tak terjadi,

perlu upaya reposisi dan revitalisasi kultural terhadap tari ulu ambek itu pasca

rezim otoriter (rezim penyeragaman), yang di dalamnya diperjuangkan sifat-sifat

kebebasan, otonomi, pluralitas, dan penentuan diri sendiri, tentu saja harus

dilakukan secara sistematis.

Tentu saja dengan mengembalikan nagari-nagari dalam tatanan kultural

Pariaman akan membawa harapan besar untuk berkembang dan hidupnya tari ulu

ambek. Harapan itu saat ini bisa dilihat dari adanya keinginan masyarakat

Pariaman untuk kembali menggeluti tari ulu ambek. Namun, generasi muda yang

diharapkan akan menjadi ujung tombak akan kesulitan melawan kekuatan yang

berada di luar dirinya, yang menggorotinya terus-menerus. Untuk itu, perlu ada

adaptasi baru dalam meneruskan tradisi tari ulu ambek. Kalau sebelumnya adalah

adaptasi dengan agama Islam maka sekarang adalah adaptasi dengan globalisasi.

Seperti disarankan oleh Yasraf (2003:19), berbagai bentuk pergaulan

global tampaknya merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap budaya lokal jika

tidak mau terlindas oleh arus globalisasi itu sendiri. Budaya-budaya lokal yang

cukup kuat akan memanfaatkan peluang dari globalisasi. Akan tetapi, budaya-

budaya yang tidak cukup tangguh cenderung untuk diserap, ditransformasikan

atau bahkan dihancurkannya. Dunia tari ulu ambek barangkali sudah terstruktur

dalam sistem budaya masyarakatnya semenjak dulu sampai hari ini telah dengan

sendirinya menyatu dalam nagari-nagari yang ada di Pariaman. Pola penyatuan

ini pada batasan tertentu mempersempit ruang gerak perkembangan seni itu

Page 32: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

147

sendiri, namun tidak membatasi dirinya secara ketat.

Sesungguhnya kehancuran tari ulu ambek itu tak lepas dari pola dan

kebijakan yang dilakukan negara terhadap kehidupan seni itu sendiri. Intervensi

dan strategi pembinaan yang represif pada masa Orde Baru memberi kontribusi

dan percepatan babak belurnya tari ulu ambek itu. Tari ulu ambek telah dijejali

dan dibebani dengan muatan politik untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri.

Sentralisasi budaya yang otoriter yang dijalankan Orde Baru selama 32 tahun

merupakan salah satu penyebab terputusnya komunikasi antarbudaya yang

terbuka selama ini. Pada masa Orde Baru, komunikasi budaya cenderung

diintruksikan dari atas sehingga berbagai potensi kultural masyarakat tidak

mendapat tempat secara baik. Hal ini dikatakan oleh Hajizar sebagai berikut.

“Pada masa orde baru seharusnya pemerintah tidak memperlakukan

kesenian dengan sewenang-wenang, karena kesenian terutama di

Minangkabau bersifat dinamis karena tidak berhubungan langsung dengan

kepercayaan atau agama. Kesenian di Minangkabau bisa saja berubah tapi

jangan dipolitisasi hanya untuk kepentingan kekuasaan”. (Wawancara, 4

Januari 2014).

Pernyataan di atas menegaskan bahwa tari ulu ambek yang merupakan salah satu

kesenian di Minangkabau tidak bersifat statis, namun cenderung dinamis, selalu

berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Tari ulu ambek memang mengalami

proses adaptasi yang cukup kreatif. Posisi tari ulu ambek mengalami modernisasi

secara perlahan. Menjaga tari ulu ambek memang membutuhkan kesadaran pada

arus perubahan yang terjadi, dan hal itu memiliki dampak humanisme yang

mendasar. Walaupun demikian, pilihan agar tari ulu ambek tak lenyap dari muka

bumi, tentu bukan semata-mata tanggung jawab yang harus dibebankan ke pundak

pemerintah.

Page 33: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

148

Menurut teori hegemoni Althuser dan Gramsci (dalam Ratna, 2010:478),

memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan dalam hal ini bukan atas dasar

paksaan, melainkan kesepakatan. Seharusnya Orde Baru tidak memaksakan

kehendak dalam mendominasi kesenian daerah di Indonesia.

5.3 Elemen Tari Ulu ambek

Berbicara tentang elemen tari maka pembicaraan diarahkan pada teknik

gerak yang terdapat dalam tari. Teknik gerak setiap seni di dunia berbeda-beda

sesuai dengan nilai yang dibawa kebudayaan tersebut. Elemen tari ulu ambek

terdiri atas gerak, penari, busana, dan musik vokal (dampeang). Keempat elemen

itu menyatu dan saling berkaitan untuk melahirkan tari ulu ambek.

5.3.1 Gerak Tari Ulu ambek

Gerak tari ulu ambek adalah gerak silat yang tidak saling bersentuhan (silat

bayangan). Silat merupakan seni bela diri tertua di Minangkabau termasuk juga

pengembangannya di Pariaman. Setiap wilayah di Minangkabau memiliki gerak

silat tersendiri yang masing-masing memiliki perbedaan-perbedaan yang

mendasar. Silat Kumango berbeda dengan silat Padangpanjang, begitu juga

dengan silat tari ulu ambek yang ada di Padang Pariaman juga memiliki perbedaan

dengan silat-silat yang lain, seperti dikatakan oleh Bainur di bawah ini.

“Silat tari ulu ambek ini merupakan kesenian bela diri yang menganut

ajaran agama Islam dengan aliran syatariah. Silat ini dipakai di beberapa

daerah di Padang Pariaman, seperti di Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung,

Kecamatan Patamuan, Kecamatan VII Koto, Kecamatan Nan Sabaris, dan

Kecamatan Sungai Geringging. Ciri khas silat ini adalah menciptakan

gerak yang bersumber dari alam yang disesuaikan dengan pepatah alam

Page 34: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

149

takambang jadi guru” (Wawancara, September 2011 ).

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa silat sebagai inti dari tari ulu ambek

merupakan seni bela diri yang bersumber dari alam. Alam merupakan guru yang

mengajarkan manusia bagaimana bisa bertahan hidup dan menguasai satu sama

lain. Kekuasaan terletak dari bagaimana pesilat mampu menjadi yang terbaik di

antara pesilat-pesilat lainnya.

Berdasarkan ideologi yang dicetuskan oleh Gramsci dan Althuser (dalam

Barker, 2009:58-59) bahwa ideologi memiliki fungsi umum untuk membangun

subjek dan ideologi sebagai pengalaman yang dijalani tidaklah palsu. Masyarakat

Pariaman sangat menghormati alam yang di dalamnya memuat manusia, binatang

dan tumbuh-tumbuhan yang merupakan kenyataan yang sebenarnya bukan sebuah

kepalsuan. Memberlakukan alam dengan baik akan membawa berkah bagi

kehidupan umat manusia. Hubungan manusia dengan manusia, hubungan

binatang dengan manusia serta hubungan manusia dengan tumbuh-tumbuhan

sangatlah erat dan mereka saling membutuhkan satu sama lainnya.

Proses pertunjukan tari ulu ambek mirip dengan silat yaitu berkaitan

dengan hubungan silaturahmi. Hal ini bisa dilihat dari prosesi ulu ambek dari awal

sampai akhir. Pertama, kedua pemain tari ulu ambek memberikan salam kepada

semua orang yang berada di samping laga-laga untuk meminta restu dan teguran

kalau ia melakukan kesalahan. Kedua, pemain tari ulu ambek memberikan salam

kepada ninik mamak yang ada di atas laga-laga. Ketiga, pemain tari ulu ambek

memberikan salam pada janang. Keempat, kedua pemain tari ulu ambek berdiri di

tengah arena untuk memberikan salam ke empat arah mata angin sebagai bentuk

Page 35: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

150

maaf ke khalayak. Kelima, kedua penari tari ulu ambek memberikan salam kepada

lawan mainnya atau meminta maaf sesama mereka. Setelah kelima prosesi ini

dilakukan maka baru mereka bermain tari ulu ambek. Pada akhir tari ulu ambek

proses salam juga dilakukan kepada lawan main dan penghormatan pemain tamu

kepada janang yang memegang carano.

Secara umum, dalam silat tradisi antara kudo-kudo dan pitunggua sangat

berbeda. Silat tidak mengenal kudo-kudo, yang lebih dikenal adalah pitunggua.

Pitunggua memperlihatkan posisi kaki tidak kuat, namun mudah salah satu kaki

dilangkahkan. Dalam istilah Minang hal itu disebut guyah-guyah garaman.

Artinya dikatakan kuat tidak, dikatakan longgar (layah) juga bukan. Sementara

itu, kudo-kudo merupakan posisi berdiri karena kaki sangat kokoh, tak bergerak

sedikit pun.

Pesilat disebut juga dengan pandeka (pendekar) yang secara etimologis

bermakna pandai aka (pandai akal). Artinya ia harus cerdas, cerdik dan mampu

mengatasi masalah serta mencari solusi dalam keadaan apa pun. Dari kata

pendekar inilah maka seorang pesilat harus tahu dengan garak garik, raso pareso,

mailak, gelek, pandang, kutiko. Garak artinya bergerak atau mengelak volume

besar. Garik artinya bergerak atau mengelak dengan volume kecil. Lantak dalam

gerak seperti mengelak dengan gelek. Mailak artinya menghindari serangan

dengan melangkahkan salah satu kaki, sedangkan gelek adalah menghindari

serangan lawan dengan mengubah arah hadap saja. Fenomena tersebut dikatakan

oleh Zulkifli sebagai berikut:

“Silat merupakan dasar dari tari ulu ambek. Hanya saja perbedaanya

adalah silat saling bersentuhan, sementara ulu ambek tidak bersentuhan.

Page 36: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

151

Maka penamaan gerak dalam ulu ambek berbeda dengan penamaan gerak

di silat. Walaupun masih ada kata menyerang dan bertahan namun bukan

berarti harus bersentuhan, namun menyerang dan bertahan dengan rasa”

(Wawancara, September 2011).

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa dalam tari ulu ambek ada dua gerak inti,

yaitu gerak menyerang (ulu) dan gerak bertahan (ambek). Kedua gerak ini

memiliki makna memakan atau dimakan. Begitu juga dengan sifatnya, tari ulu

ambek memiliki empat sifat, yaitu garak, garik, raso, dan pareso. Tidak ada

istilah langkah mati dalam tari ulu ambek dan mata pesilat tidak pernah menatap

mata lawan secara langsung. Hal ini bermakna bahwa ia menyembunyikan

kekuatan masing-masing.

Berdasarkan teori Althuser dan Gramsci bahwa hegemoni dapat

memengaruhi atau berdampak terhadap kehidupan pihak yang terhegemoni

(Sukeni, 2010:17). Silat menjadi kekuatan yang menguasai tari ulu ambek.

Kekuatan silat terletak pada pitunggua (kuda-kuda) yang sangat kokoh sehingga

kekokohannya menjadikan seorang penari terlihat sangat percaya diri dengan apa

yang dilakukannya. Mata penari menatap pada arah tertentu dengan tajam dan

sangat waspada. Kewaspadaan memperlihatkan sikap kehati-hatian yang tinggi

terhadap sesuatu yang akan menimpa mereka. Sikap kokoh dan percaya diri ini

bisa disebut sebagai tageh dalam kebudayaan Pariaman. Tageh menjadi filosofi

estetis tari ulu ambek Pariaman yang memiliki kaitan dengan gerak tari ulu ambek

dan perilaku masyarakatnya, seperti dikatakan oleh Zulkiflidi bawah ini.

“Ada empat dasar gerak inti yang ada dalam tari ulu ambek dengan posisi

pemain menyerang (ulu), dan posisi pemain menghambat (ambek) yaitu:

gerak batuang menyerang, gerak guntiang menyerang, gerak kaluang

menyerang, gerak simpua menyerang dan gerak batuang ambek, gerak

guntiang ambek, gerak kaluang ambek, gerak simpua ambek. Gerak inti ini

Page 37: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

152

dari dulu sampai sekarang tidak ada berubah, yang berubah hanya gerak

penghubung” (Wawancara, September 2011).

Pernyataan di atas memberikan gambaran bahwa dalam tari ulu ambek terdapat

jenis-jenis gerak, baik dalam posisi menyerang maupun bertahan. Gerak-gerak ini

dari dulu sampai sekarang tidak mengalami perubahan yang berarti, hanya pada

gerak penghubung saja ada dinamika sehingga tari ulu ambek tetap berada dalam

keaslian gerak.

Berdasarkan ideologi Gramsci dan Althuser (dalam Thwaites, 2009:256-

257) bahwa pemecahan ideologis atau konflik dan kontradiksi sosial yang

dilakukan dalam narasi didapati proses fabulasi. Fabulasi menceritakan kisah

tentang bagaimana konflik itu muncul, dan bagaimana konflik dipecahkan;

fabulasi menceritakan kisah tentang kebaikan suatu masyarakat. Gerak-gerak yang

dipakai tari ulu ambek selalu mengarah pada bertahan dan menyerang yang

mengarah pada konflik menuju kebaikan masyarakat. Pemain bertahan memberi

kesempatan pada lawannya untuk menyerang. Mempersilakan lawan menyerang

memiliki nilai bahwa ia telah siap memberikan tangkisan.

Dalam ulu ambek gerak pertama adalah gerak batuang menyerang, karena

posisi tangan kanan diacungkan ke atas, sementara kaki kanan melangkah ke

depan dan tangan kiri ditekuk di atas perut, seperti gambar 5.2. Tageh dalam

gerak di atas terlihat pada tatapan mata penari yang sangat tajam. Ketajaman ini

jelas mengindikasikan kekuatan yang dahsyat dalam dirinya. Tangan yang

diacungkan ke atas seakan-akan menambah bahwa ia betul-betul siap untuk

menyerang lawan mainnya. Sementara itu, tangan yang diletakkan di depan dada

memperlihatkan bahwa ia menyembunyikan kekuatan yang besar.

Page 38: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

153

Gambar 5.2

Gerak Batuang Menyerang yang di Peragakan oleh Emri

(Dokumen: Yulinis, 2011)

Tatapan mata penari ulu ambek tidak pernah langsung pada lawan. Ia

hanya melihat lawan dari sudut mata saja. Hal ini berdasarkan ideologi Gramsci

dan Althuser memberikan makna bahwa mereka mengindari diri dari kontak

langsung, karena permainan ulu ambek juga menyertakan unsur batin. Sementara

itu, mata amat mudah dimasuki pengaruh gaib.

Kedua, gerak guntiang menyerang, yaitu gerak dengan posisi tangan

kanan lurus di atas perut, tangan kiri lurus ke atas, sementara kaki kanan

melangkah ke depan. Posisi gerakan ini memperlihatkan ruang terbuka pada

tubuh, seolah-olah mempersilakan lawan untuk menyerang. Akan tetapi, lawan

tidak mungkin menyerang karena ia dalam posisi ambek. Lawan akan tergunting,

baik oleh tangan maupun kaki jika lawan masuk pada ruang terbuka tersebut. Hal

Page 39: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

154

Gambar 5.3

Gerak Guntiang Menyerang, yang di Peragakan oleh Emri

(Dokumen: Yulinis, 2011)

Ini menandakan bahwa ruang terbuka bukan bearti siap, namun menjadi suatu

jebakan terhadap lawan, seperti yang terlihat pada gambar 5.3.

Ketiga, gerak kaluang menyerang, yaitu gerak dengan posisi kedua tangan

berada di atas kepala seperti melihat matahari. Gerak ini diiringi dengan posisi

kaki kanan dilangkahkan ke depan (lihat gambar 5.4).

Memang estetika tageh menjadi landasan filosofis Pariaman yang

tergambar dalam seluruh gerak tari ulu ambek. Semua gerak ulu (menyerang)

memperlihatkan sikap yang sangat tegas dan kokoh. Biasanya hal ini didapatkan

ketika latihan yang cukup lama. Gerak yang menyatukan antara rasa dan kekuatan

terlihat sangat indah dalam visualisasinya. Hentakan kaki menambah aura tageh

menjadi lebih sempurna.

Page 40: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

155

Gambar 5.4

Gerak Kaluang Menyerang, yang di Peragakan oleh Emri

(Dokumen: Yulinis, 2011)

Keempat, gerak simpua menyerang, yaitu gerak di mana posisi tangan

kanan di bawah dengan telapak tangan menghadap ke atas (lihat gambar 5.5).

Tangan kiri berada di atas kepala dan kaki kanan ditekukkan ke atas. Hal ini

dilakukan sambil melangkah. Sementera itu, kepala ditengadahkan yang

mengisyaratkan bagaimana ia menyerang, tetapi tidak melihat lawan.

Kondisi tersebut bisa juga diartikan bahwa dalam bermain tari ulu ambek

manusia senantiasa berada dalam posisi yang tidak bertatapan langsung atau

hanya bermain bayangan. Hal ini merupakan filosofi tageh yang diinginkan dalam

tari ulu ambek. Tageh menjadi spirit yang senantiasa menaungi pemain yang

menyatukan rasa dengan sikap. Hal ini biasanya juga akan berakibat pada perilaku

keseharian pemain tersebut.

Page 41: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

156

Gambar 5.5

Gerak Simpua Menyerang, yang di Peragakan oleh Emri

(Dokumen: Yulinis, 2011)

Gerak yang dilakukan oleh pemain yang berposisi sebagai penangkis

(ambek) juga memiliki empat gerakan, yaitu sebagai berikut. Pertama, gerak

batuang ambek, yaitu gerak dengan posisinya hampir sama dengan gerak kaluang

menyerang. Artinya, kedua tanga berada di atas dan kaki kanan dilangkahkan ke

depan.

Gerak dalam posisi menangkis (ambek) juga memperlihatkan bahwa ia

mempunyai estetika tageh. Sikap yang diperlihatkan merupakan sikap untuk

menangkis atau gelek (mengelak). Hal ini terbayang juga dalam tatapan mata

penari yang lebih waspada dari pada penari menyerang (ulu) karena ia berada

dalam posisi bertahan (lihat gambar 5.6).

Page 42: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

157

Gambar 5.6

Gerak batuang ambek, diperagakan Emri

(Dokumen: Yulinis, 2011)

Gambar 5.7

Gerak Guntiang Ambek, yang di Peragakan oleh Emri

(Dokumen: Yulinis, 2011)

Kedua, gerak guntiang ambek dengan posisi tangan kiri menyilang di

Page 43: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

158

depan dada dan tangan kanan seperti menahan serangan, sementara kaki kanan

dilangkahkan ke depan (lihat gambar 5.7). Posisi tersebut mengindikasikan bahwa

lawan sulit memilih mana yang harus diserang karena sikap itu melindungi

seluruh tubuh vital penari bertahan. Kalau serangan ke kepala, akan ditangkis oleh

tangan kiri, sedangkan serangan menuju ke selangkangan akan ditangkis oleh

tangan kanan. Sementara itu, posisi kaki adalah posisi tubuh yang sulit jatuh. Hal

ini menggambarkan bagaimana kesiapan seorang penari penangkis.

Ketiga, gerak kaluang ambek, yaitu gerak dengan posisi tangan sama

dengan gerak batuang menyerang (lihat gambar 5.8). Tangan kanan diangkat ke

atas,

Gambar 5.8

Gerak Kaluang Ambek , yang di Peragakan oleh Emri

(Dokumen: Yulinis, 2011)

Page 44: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

159

sementara tangan kiri ditekuk berada di atas dada, dan kaki kanan berada di

depan. Kepala ditengadahkan. Posisi ini adalah cara untuk menangkis kalau lawan

menginginkan pinggangnya sehingga tangan kirinya siap menangkis lawan.

Memang dalam mempelajari tari ulu ambek, posisi penangkis merupakan

posisi yang sangat sulit dipelajari karena ia harus mengantisipasi lawan. Gerak

yang dilakukan penari menyerang merupakan rujukan untuk penari penangkis

bergerak. Jadi hal itu, bergantung bagaimana penyerang bergerak baru penangkis

mengantisipasi.

Keempat, gerak simpua ambek, yaitu gerak dengan posisi tangan kanan di

bawah dengan telapak tangan seperti menahan (telapak tangan menghadap ke

Gambar 5.9

Gerak Simpua Ambek, yang di Peragakan oleh Emri

(Dokumen: Yulinis, 2011)

bawah). Tangan kiri disilangkan di depan muka (lihat gambar 5.9). Tangan kanan

Page 45: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

160

ini difungsikan sebagai penangkis tangan kanan lawan yang siap mengambil

bagian bawah tubuhnya. Tubuh bagian bawah akan terlindungi sementara tangan

kiri bersiap-siap untuk menangkis serangan lain yang diarahkan ke atas tubuh. Hal

ini betul-betul merupakan sikap tageh yang luar biasa karena penangkis seperti

menutup seluruh tubuhnya dengan sikap yang sedikit menantang.

Gerak dengan posisi tidak menyerang dan menangkis maka kedua pemain

melakukan gerak yang sama, yaitu gerak catua langkah (lihat gambar 5.10) dan

Gambar 5.10

Gerak Catua Langkah, yang di Peragakan oleh Emri

(Dokumen: Yulinis, 2011)

gerak menghentak. Gerak catua langkah, yaitu gerak dengan posisi tangan kiri di

depan dada dan tangan kanan diluruskan ke bawah, sementara kaki kanan ke

depan. Hal ini dilakukan secara bergantian, dengan kaki kiri yang ke depan maka

Page 46: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

161

tangan kanan di depan dada dan tangan kiri ke bawah. Gerak ini seperti mencari

posisi untuk menyerang bagi pihak yang berposisi sebagai penyerang dan mencari

posisi yang pas pula bagi penari yang bertindak sebagai penari bertahan. Biasanya

posisi penyerang lebih agresif mencari posisi untuk membuka peluang

menyerang.

Gerak menghentak (lihat gambar 5.11), yaitu gerak dengan kaki kanan

setiap pemain menghentak ke lantai laga-laga. Gerak ini seperti gerak kejut, yaitu

gerak memberikan peringatan kepada lawan. Gerak ini juga berfungsi sebagai

musik di samping dampeang. Hentakan kaki pemain menimbulkan bunyi yang

keras karena lantai laga-laga terbuat dari anyaman bambu yang ditata dengan

rapi. Akibatnya, penonton bisa mendengar dengan jelas bunyi yang menimbulkan

sensasi ini. Begitu juga dengan langkah pemain yang berirama ketika dia

melangkah di atas bambu.

Gambar 5.11

Gerak Hentak Kaki

(Dokumen: Yulinis, 2011)

Di samping gerak-gerak di atas, ada juga gerak tambahan, yaitu gerak

Page 47: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

162

sambah (lihat gambar 5.12), gerak membelakangi lawan (lihat gambar 5.13),

dan gerak bertukar tempat (lihat gambar 5.14).

Gambar 5.12

Gerak Sambah

(Dokumen: Yulinis, 2011)

Gambar 5.13

Gerak Membelakangi Lawan

(Dokumen: Yulinis, 2011)

Gerak sambah, yaitu gerak awal permainan yang dimulai dengan setiap pemain

melakukan persembahan kepada penonton. Gerak sambah ini juga dilakukan oleh

Page 48: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

163

penari untuk menghormati sesama mereka. Gerak membelakangi lawan adalah

gerak memutar dan pemain yang mengisyaratkan jangan menyerang.

Gambar 5.14

Gerak Bertukar Tempat

(Dokumen: Yulinis, 2011)

Gerak bertukar tempat adalah gerak dengan posisi setiap pemain

dipertukarkan. Pemain menyerang akan menjadi pemain menangkis, begitu juga

sebaliknya. Sikap atau gerak yang diperlihatkan dalam membelakangi lawan tidak

berarti bahwa pemain tersebut menyerahkan diri untuk diserang, tetapi

memperlihatkan apakah lawan cukup sportif. Sikap-sikap tageh yang

diperlihatkan kedua pemain akan terlihat bilamana yang memainkan tari ulu

ambek adalah pemain yang betul-betul telah paham dengan esensi tari ulu ambek.

Dalam tari ulu ambek, seorang pemain harus memiliki rasa, basa basi. Ia

memakai pakaian hitam yang identik dengan pakaian kaum adat. Makna warna

hitam itu adalah lambang seorang pesilat harus dapat memainkan timbang rasa,

basa basi. Jangankan membunuh, mencederai lawan saja mereka tidak mau.

Warna hitam juga merupakan warna yang melambangkan esensi tageh karena

hitam menuju pada pemaknaan kepekatan sesuatu. Warna hitam adalah warna

Page 49: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

164

pekat atau warna yang sulit untuk dicampuri oleh warna lain.

Tageh dalam diri penari juga terlihat pada bagaimana penari memosisikan

kakinya. Secara umum, dalam tari ulu ambek antara kudo-kudo dan pitunggua

sangat berbeda. Tari ulu ambek tidak mengenal kudo-kudo, yang lebih dikenal

adalah pitunggua. Pitunggua memperlihatkan posisi kaki tidak kuat, tetapi salah

satu kaki mudah dilangkahkan. Dalam istilah Pariaman disebut guyah-guyah

garaman. Artinya, dikatakan kuat tidak, dikatakan longgar (layah) juga bukan.

Inilah yang dinamakan sebagai esensi tageh dalam posisi kaki pemain tari ulu

ambek di Pariaman. Sementara itu kudo-kudo merupakan posisi berdiri dengan

kaki sangat kokoh, tak bergerak sedikit pun.

Pemain tari ulu ambek disebut juga dengan pandeka (pendekar) yang

secara etimologis bermakna pandai aka (pandai akal). Artinya, ia harus cerdas,

cerdik dan mampu mengatasi masalah serta mencari solusi dalam keadaan apa

pun. Dari kata pendekar inilah maka seorang pemain tari ulu ambek harus tahu

garak garik, raso pareso, mailak, gelek, pandang, kutiko. Garak, artinya bergerak

atau mengelak dengan volume besar. Garik, artinya bergerak atau mengelak

dengan volume kecil. Lantak dalam gerak seperti mengelak dengan gelek. Mailak,

artinya menghindari serangan dengan melangkahkan salah satu kaki, sedangkan

gelek adalah menghindari serangan lawan dengan mengubah arah hadap saja.

Permainan tari ulu ambek mengenal bahasa isyarat berupa gerak dan suara.

Bahasa isyarat dengan gerak tangan seperti gerak tangan menghambat, berarti ia

belum siap, maka lawan belum boleh menyerang. Sementara itu, tangan dalam

posisi menyilakan maka penangkis sudah siap menerima serangan yang ditambah

Page 50: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

165

dengan suara “ap” dan “tah”. “Ap” dari si penyerang, merupakan pertanyaan pada

lawan apakah ia sudah siap atau belum. “Tah” berarti si penangkis sudah siap

menerima serangan.

Semua gerak itu dilakukan dengan ritme yang diatur oleh musik dampeang

yang disuarakan oleh pemain di bawah laga-laga. Penari akan bergerak sesuai

dengan irama tersebut. Begitu juga janang yang memperhatikan pergerakan

pemain menjadikan dampeang sebagai pedoman dalam pengawasan. Ketika harus

bertukar posisi maka janang memberikan perintah dengan kata-kata tuka (tukar),

maka kedua penari bersiap untuk bertukar tempat.

Kewaspadaan penari tari ulu ambek sangat diutamakan karena pertunjukan

ini merupakan pertunjukan yang tidak bersentuhan secara langsung, tetapi secara

batin bisa salah satu dari mereka akan mengalami malapetaka. Untuk itu seluruh

penari tari ulu ambek dalam melakukan gerakan betul-betul bisa menjaga

kewaspadaan. Biasanya sebelum melakukan pertunjukan, kesiapan mental penari

dilihat dulu oleh pimpinan mereka masing-masing. Kalau seorang penari diyakini

belum siap dalam melakukan permainan maka pimpinan akan menukarnya dengan

penari yang lain. Hal ini dilakukan untuk menghindari kekhilafan yang dibuat

oleh penari di atas laga-laga. Kepada Kapalo Mudo, pimpinan salah satu

kelompok tari ulu ambek melaporkan bahwa ada pertukaran penari karena kondisi

tertentu. Kapalo mudo mengatakan hal ini pada janang.

5.3.2 Penari Tari Ulu Ambek

Penari tari ulu ambek terdiri atas dua orang yang bertindak secara

Page 51: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

166

bergantian sebagai pemain ulu (menyerang) dan ambek (bertahan). Setiap

permainan selalu mempertemukan antara penari tuan rumah dan penari tamu.

Setiap penari hanya turun satu kali selama setengah jam, sehingga kalau ada

pertunjukan tari sepuluh kali dalam satu hari, pelaksanaannya dilanjutkan sampai

malam hari. Dalam sehari, penari yang turun sebanyak dua puluh penari yang

terdiri atas sepuluh penari tuan rumah dan sepuluh penari tamu. Penari tamu

diwakili oleh beberapa kelompok yang datang hari itu. Jadi, satu kelompok penari

tamu bisa saja hanya menurunkan dua penari kalau tamu yang datang berjumlah

lima kelompok. Tuan rumah harus menyediakan penari yang banyak untuk

melayani tamu yang datang. Hal ini dikatakan oleh Suhardiman Aus Dt. Bagindo

Basa:

“Ciek ulu ambek ko dimainan salamo satangah jam. Jadi kalau dimulai

jam duo siang, mangko saketek nan bisa tampilnyo kalau sudahe jam 6

sore. Mako kini disambuang malam sampai pagi sabalun subuah,

sahinggo banyak sudahe dan capek lo salasai”. (satu pertunjukan ulu

ambek itu dimainkan selama setengah jam. Jadi kalau mulainya jam dua

siang, maka sedikit sekali yang bisa tampil kalau selesainya jam enam

sore. Maka sekarang disambung malam hari dan selesai pagi (sebelum

subuh), sehingga banyak yang main dan cepat selesainya). (Wawancara,

November 2011).

Pendapat di atas menggambarkan bahwa satu kali pertunjukan biasanya

menghabiskan waktu sekitar setengah jam yang terdiri atas persiapan sekitar lima

belas menit dan permainan sekitar lima belas menit. Pada waktu persiapan, penari

memakai busana, kemudian bersalaman dengan tokoh-tokoh yang duduk di areal

permainan. Pertama sekali penari menyalami ninik mamak penari itu sendiri,

kemudian anggota yang sama datang dengannya, seterusnya ninik mamak yang

duduk di atas laga-laga, dan terakhir kepada janang. Salaman ini memang

Page 52: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

167

memakai waktu yang banyak karena cara bersalaman menyiratkan bahwa orang

yang disalami memberikan kekuatan yang tidak terlihat kepada penari, sehingga

bersalamannya sangat khusyuk.

Berdasarkan teori hegemoni Althuser dan Gramsci (dalam Audifax,

2006:228) bahwa dominasi dan hegemoni memerlukan pertimbangan legitimasi.

Legitimasi adalah wewenang keabsahan individu atau kelompok tertentu

memegang mandat kekuasaan. Hal ini bisa terlihat ketika penari melakukan

salaman dengan semua orang dan ini menunjukan bahwa legitimasi orang banyak

sangat diperlukan oleh penari.

Setelah kedua penari memberikan salam kepada semua komponen, baru

mereka melakukan permainan. Ketika dampeang dimulai maka penari melakukan

gerakan yang disesuaikan dengan dampeang tersebut. Selama tujuh setengah

menit mereka beraksi, maka janang menyuruh kedua penari untuk bertukar tempat

dan bertukar posisi. Selanjutnya, selama sekitar tujuh setengah menit penari

melakukan gerakan estetis tari ulu ambek.

Janang memberikan kode bahwa penari telah menari sesuai dengan waktu

yang disediakan. Kedua penari memberikan salam terakhir kepada semua orang

lewat gerak sambah. Penari tamu memberikan hormat kepada sirih dalam carano

yang dipegang janang yang mengisyaratkan bahwa penari telah mengembalikan

“pakaian” yang dipinjamkan penghulu. Permainan selesai, penari kembali menjadi

manusia biasa.

Rata-rata usia penari didominasi oleh mereka yang sudah di atas 40 tahun.

Memang ada yang masih 15 sampai dengan 40 tahun, namun jumlah mereka

Page 53: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

168

sangat sedikit. Hal ini disebabkan oleh adanya pergeseran minat terhadap seni

tradisi. Mereka yang lebih muda cenderung untuk tidak lagi meminati tari ulu

ambek yang dianggap tidak lagi sesuai dengan zaman yang semakin canggih ini.

Fenomena di atas dijelaskan pula oleh Khaidir:

“Kalau di kampuang awakko kini dari sapuluah anak mudo mungkin

surang nan baminat jadi pemain ulu ambek. Kadang-kadang ndak ado

nan baminat doh dari ciek generasi tu. Tapi kalau sadang banyak alek

nagari, banyak lo nan baminat, kalau jarang alek nagari, saketek lo nan

baminat”. (kalau di kampung kita ini dari sepuluh anak muda mungkin

hanya satu orang yang berminat jadi pemain ulu ambek. Kadang-kadang

tidak ada yang berminat dari satu generasi itu. Tapi kalau sedang banyak

alek nagari (pesta anak negeri), banyak pula yang berminat, kalau jarang

ada alek nagari (pesta anak negeri), sedikit pula yang berminat)

(Wawancara, 4 Januari 2014).

Pendapat di atas menggambarkan bahwa generasi muda saat ini terpengaruh oleh

kondisi instan karena minat terhadap tari tradisi (ulu ambek) akan menarik hanya

ketika tari tersebut sering dipentaskan. Artinya, generasi muda masih cenderung

melihat bentuk bukan makna yang mengakibatkan nilai-nilai yang ada dalam seni

tersebut tidak terpahami dengan baik. Kondisi ini diakibatkan oleh globalisasi

yang lebih mengutamakan bentuk bukan nilai.

Dilihat dari pemikiran ideologi Gramsci dan Althuser (dalam Barker,

2009:58-59), bahwa ideologi memiliki fungsi umum untuk membangun subjek

karena nilai yang dianut dalam ulu ambek sulit dipahami oleh generasi muda.

Nilai filosofis yang sulit dipahami dibandingkan dengan kondisi instan yang saat

ini berkembang di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya generasi sekarang lebih

memilih sesuatu yang mudah dipahami dan mudah dikerjakan.

Walaupun demikian, usaha untuk memberikan pemahaman terhadap

generasi muda masih dilakukan oleh beberapa kelompok tari ulu ambek. Mereka

Page 54: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

169

mengadakan pelatihan rutin dengan melibatkan generasi muda, minimal mereka

mengajak anak mereka sendiri untuk bisa mencintai ulu ambek dan menjadi

generasi penerus mereka pada masa yang akan datang. Dengan demikian, kita

bisa melihat setiap perhelatan ada generasi muda yang dimunculkan terutama

dalam pertunjukan awal.

Biasanya dua pertunjukan pertama diturunkan generasi muda. Kelompok

yang tidak memiliki generasi muda terpaksa menurunkan penari yang sudah tua

untuk melawan yang muda. Hal ini memang kelihatan tidak seimbang, namun

akan memicu kelompok tersebut untuk juga berusaha menciptakan generasi yang

akan datang. Cara ini setidaknya akan memicu kelompok lain untuk segera

melaksanakan alih generasi untuk pertunjukan yang akan datang.

Penari usia muda dipertunjukkan pada awal pelaksanaan tari ulu ambek

atau sekitar pukul 13.00 WIB. Semakin lama semakin tua dan terakhir yang paling

tua. Penonton sangat menantikan penari-penari tua karena sudah berpengalaman

dan dalam melakukan gerakan sering membuat sensasi dengan improvisasi-

improvisasi yang menyebabkan penonton bersorak dan berdecak kagum.

Penari yang diturunkan merupakan penari yang telah mendapat pelatihan

yang intens di kelompok mereka masing-masing. Mereka sudah mengetahui apa

yang mesti dilakukan di atas laga-laga untuk mengantisipasi gerak lawan main

mereka. Penari yang setia dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan

panitia akan bisa bermain dengan lancar.

Ada kalanya penari yang diturunkan berbuat curang atau tidak setia

dengan ketentuan sehingga janang mengingatkannya. Kalau masih sering berbuat

Page 55: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

170

curang, maka janang melaporkannya kepada ninik mamak untuk disidangkan

Gambar 5.15

Sosok Penari Tari Ulu Ambek yang Sudah Cukup Tua

Lengkap dengan Pakaiannya

(Dokumen: Yulinis, 2011)

antarpenghulu dan memberikan sanksi kepada penari tersebut. Sanksi itu berupa

tidak bisa bermain dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Hal ini dikatakan

pula oleh Khaidir:

“Pemain ulu ambek ko sangat serius, kalau ndak bisa buluih. Kalau lah

buluih payah wak dek e. Kalau nampak luko kanai kaki bisa diubeki, tapi

kalau kanai sarang bayang payah maubeki”. (pemain ulu ambek ini harus

serius (konsentrasi), kalau tidak bisa kena. Kalau sudah kena susah kita

dibuatnya. Kalau luka karena kena kaki mungkin bisa diobati, tapi kalau

kena pukulan bayang (tak terlihat) akan susah mengobatinya).

(Wawancara, 4 Januari 2014).

Page 56: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

171

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa dalam permainan, penari bisa saja buluih,

yaitu lalai dalam mengantisipasi gerakan lawan yang menyerangnya. Walaupun

tidak bersentuhan, tetap saja penari yang lupa maambek (menangkis) akan terkena

pukulan bayangan. Hal ini membuat penari yang lupa menangkis merasa dirinya

telah melakukan kesalahan fatal. Akibatnya, si penari akan takut berhadapan

dengan permainan tari ulu ambek untuk jangka waktu yang lama. Mendengar

dampeang saja, penari tersebut sudah dilanda ketakutan. Untuk itu, penari yang

buluih ini disarankan untuk beristirahat dan melakukan kegiatan-kegiatan lain

yang tidak ada hubungannya dengan tari ulu ambek. Biasanya penari yang buluih

disuruh mengaji di surau (musala atau masjid) sebagai upaya mengembalikan

kepercayaan dirinya yang telah lalai tersebut.

Berdasarkan teori hegemoni Gramsci (dalam Barker, 2004: 62) bahwa

suatu blok historis faksi kelas berkuasa akan menjalankan otoritas sosial dan

kepemimpinan atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan dan

konsesnsus. Kalau penari tidak menaati konsensus yang telah dibangun

berdasarkan kesepakatan maka penari itu sendiri yang mengalami malapetaka.

Kekuatan dari konsensus bisa berakibat fatal bila tidak dituruti

.

5.3.3 Busana Tari Ulu Ambek

Busana tari ulu ambek merupakan gambaran dari busana yang dipakai oleh

penghulu. Ada destar, celana galembong, baju longgar, kain sesampiang, dan

sebagainya. Pakaian ini mengambil sifat pakaian penghulu sebagai ninik mamak

yang memiliki tari ulu ambek.

Page 57: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

172

Warna busana (lihat gambar 5.16) didominasi oleh warna hitam, yaitu

warna yang diyakini sebagai warna adat Pariaman. Destar warnanya agak

beragam atau warna-warni, tetapi yang sering terlihat adalah warna cokelat yang

dominan. Bentuk destar segi empat, kemudian dilipat menjadi segi tiga dan

dililitkan ke kepala penari.

Gambar 5.16

Busana Tari Ulu Ambek

(Dokumen: Yulinis, 2011)

Seluruh pendukung yang lain juga memiliki destar, bahkan tidak dibenarkan

pendukung lain yang tidak memakai destar duduk di dekat laga-laga. Dengan

demikian, penonton yang tidak memakai destar harus duduk agak menjauh.

Dominasi warna hitam merupakan pembeda dengan warna agama Islam

yaitu putih. Hal ini dijelaskan oleh Angku Sabar Dt. Rangkayo Majo Basa:

“Rono hitam, ambo kiro bahubungan jo alah adonyo ulu ambek sabalum

Islam masuak. Pandeka biasonyo rono pakaiannyo hitam nan

manandokan kapakekan hatinyo. Samantaro putiah ko rono pakaian

ulama nan manandoan kesucian hatinyo. Itu makonyo urang adaik pakai

hitam, urang surau pakai putiah”. (warna hitam, saya kira berhubungan

dengan sudah adanya ulu ambek sebelum Islam masuk. Pendekar biasanya

lebih memilih warna hitam di pakaiannya karena hitam menandakan

kepekatan hatinya. Sementara warna putih adalah warna pakaian ulama

yang menandakan kesucian hatinya. Itu makanya orang ada pakai hitam,

orang mesjid pakai putih) (Wawancara, 5 Januari 2014).

Page 58: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

173

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa pakaian merupakan penanda terhadap

identitas individu manusia dalam masyarakat. Individu yang bergerak di bidang

adat akan memakai pakaian yang didominasi warna hitam, sedangkan individu

yang bergerak di bidang agama akan memakai pakaian yang didominasi warna

putih.

Berdasarkan teori semiotika Barthes (Santosa, 1993:31--34) bahwa kode

simbolik merupakan dunia personifikasi manusia dalam menghayati arti hidup

dan kehidupan. Hal ini dapat dikenali melalui kelompok-kelompok konvensi atau

berbagai bentuk yang teratur, mengulangi bermacam-macam mode dan

bermacam-macam maksud dalam sebuah teks pementasan yang akhirnya

menghasilkan pengertian tentang makna kode tersebut. Warna hitam dan putih

merupakan kode simbolik dalam kebudayaan Pariaman.

Kain sesampiang biasanya diambil dari kain sarung yang dilipat menjadi

segi tiga juga dan dipasangkan di pinggang setelah memakai celana galembong.

Di samping menjadi simbol pengikat kebenaran, sesampiang ini juga berguna

untuk mengikat celana galembong agar jangan sampai terlepas. Penjelasan di atas

dikatakan pula oleh Sjamsurijal:

“Kalau dulu pakaian istilah meminjamkan pakaian penghulu untuk anak

ulu ambek betul-betul dilaksanakan secara konsisten. Semuanya

menggambarkan penghulu. Tapi sekarang pakaian penghulu hanya simbol

saja, sementara pelaksanaannya kadang-kadang boleh dengan pakaian

yang dipunyai penari saja lagi”. (Wawancara, 4 Januari 2014).

Pernyataan di atas memperlihatkan bagaimana kuasa yang awalnya mayoritas

adalah penghulu sekarang sudah bergeser dan beradaptasi dengan kuasa yang

datang memengaruhi kondisi tari ulu ambek. Hal ini memperlihatkan bagaimana

Page 59: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

174

kuasa penghulu berelasi dengan kuasa zaman saat ini.

Ideologi Gramsci dan Althuser (dalam Barker, 2009:58-59) tentang

ideologi terlibat dalam reproduksi bangunan sosial dan relasi mereka terhadap

kekuasaan melihat busana tari ulu ambek saat ini mulai bergeser. Warna baju yang

semula hitam, sekarang telah diperbolehan memakai warna yang berbeda. Hal ini

merupakan pergeseran pemahaman terhadap nilai baju yang biasa dipakai

penghulu. Berdasarkan semiotika Barthes, warna baju tidak lagi menandakan

warna penghulu yang selalu memakai warna hitam.

Untuk pakaian yang lain, masih mempertahankan nilai-nilai dari pakaian

penghulu. Celana misalnya masih memakai celana galembong yang berwarna

hitam. Begitu juga dengan pakaian-pakaian lainnya. Keinginan untuk bisa

bertahan pada tradisi akan terlihat dari pakaian yang dipakai penari ulu ambek.

Pergeseran ideologi juga menandakan pergeseran wewenang penghulu di

tengah masyarakat. Penghulu saat ini tidak lagi memiliki hegemoni ala Gramsci

dan Althuser yang kuat terhadap masyarakat. Mereka cenderung berada pada

simbol adat dan budaya bukan lagi simbol kekuasaan. Kalau dulu penghulu punya

wewenang penuh terhadap jalannya roda kekuasaan, namun sekarang dengan

munculnya pemerintahan negara, maka posisi mereka sedikit tergusur.

5.3.4 Musik Tari Ulu Ambek

Musik untuk tari ulu ambek didominasi oleh vokal yang disebut juga

dengan dampeang. Dampeang ini terbagi atas dua dengan dua orang pemain juga,

yaitu dampeang jantan dan dampeang betina. Dampeang jantan dan dampeang

Page 60: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

175

betina memiliki keistimewaan tersendiri. Dampeang jantan lebih agresif dan bisa

mengubah pantun yang dinyanyikan, sementara dampeang betina tidak agresif

dan hanya memberikan variasi dari pantun yang dinyanyikan (Ediwar dkk.,

2001:72).

Dampeang memiliki peran yang penting dalam permainan tari ulu ambek.

Tari ulu ambek tidak akan bisa dilaksanakan kalau tidak ada dampeang.

Dampeang merupakan musik yang mengatur pergerakan pemain tari ulu ambek.

Sorak secara bersama-sama memberikan aba-aba pada pemain untuk melakukan

gerakan-gerakan yang berbeda. Janang pun menjadikan dampeang sebagai

pegangan untuk bertindak apakah pemain akan bertukar tempat atau belum,

seperti dikatakan oleh Ajo Mariak berikut:

“Biasoe tukang dampeang pasti pandai baulu ambek, tukang dampeang

diambiak dari pemain nan basuaro rancak. Inyo pandai pulo bapantun

manyampaian nasehat-nasehat nan baguno untuak masyarakat dan

baguno pulo untuak sadonyo paulu ambek”. (biasanya tukang dampeang

pasti pandai menari ulu ambek, tukang dampeang diambil dari penari yang

memiliki suara bagus. Ia pandai pula berpantun menyampaikan nasehat-

nasehat yang berguna bagi masyarakat dan berguna pula untuk pendukung

tari ulu ambek) (Wawancara, 5 Januari 2014).

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa pemusik tari ulu ambek ialah mereka-

mereka yang sama-sama belajar. Ia bisa menjadi pemusik ketika terlihat kelebihan

lain dalam diri pemain tersebut. Pemusik tidak hanya pandai bermain (menari),

namun juga bisa menciptakan kata-kata yang berguna bagi banyak orang.

Menurut teori ideologi Althuser dan Gramsci (dalam Barker, 2009:58-59)

tentang ideologi sebagai pengalaman yang dijalani tidaklah palsu yang mengarah

pada pengalaman pemusik yang tahu secara teknis seluruh persoalan tari ulu

ambek. Dia tidak hanya mampu bermusik vokal namun juga harus mampu

Page 61: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

176

berpantun dan manari. Kuasa pemusik memengaruhi keseluruhan peristiwa tari

ulu ambek.

Teks dampeang adalah pantun yang berisikan nasihat, suasana kesedihan,

dan sebagainya yang diolah menjadi vokal yang panjang-panjang. Misalnya,

dampeang dengan pantun tujuah musim lamo manangih, tagah dek kanduang

lambek datang (tujuh musim lamanya menangis, disebabkan oleh adik kandung

terlambat datang). Pantun ini memberikan makna kesedihan ketika menunggu

seseorang yang tidak kunjung datang. Ediwar juga menegaskan:

“Banyak teks dampeang yang berisi tentang petuah-petuah dalam

melakoni hidup. Teks ini menjadi acuan penari dalam melakukan gerakan.

Dampeang jantan memberikan ruang kepada penari untuk melakukan

penyerangan atau menangkis lawan. Sementara dampeang betina

memberikan aba-aba kepada penari kapan ia harus melakukan gerak

menghentak dan gerak catua langkah. Ketentuan-ketentuan dampeang ini

memberikan alur yang pas kepada penari dalam malakukan aktivitas di

atas laga-laga” (Wawancara, 4 Januari 2014).

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa teks sastra yang dinyanyikan secara nyata

sulit untuk diidentifikasi, tetapi pada bagian-bagian tertentu terselip bahasa verbal

yang diucapkan tukang dampeang. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh

Merriam (dalam Ediwar dkk., 2001:91) bahwa di samping bahasa memengaruhi

musik juga ada musik yang memengaruhi bahasa, terutama ketika dikaitkan

dengan teknik dan struktur penggunaan bahasa dalam nyanyian. Merriam

menegaskan bahwa tidak saja musik dan bahasa yang saling berhubungan dalam

pembentukan lagu, tetapi juga bahasa teks itu lahir dalam bentuk khusus. Dengan

demikian, bahasa teks akan mempunyai kegunaan khusus dan berfungsi dengan

cara yang khusus pula.

Berdasarkan teori semiotika Barthes (Santosa, 1993:31--34) bahwa sistem

Page 62: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

177

tanda akan berfungsi lebih efektif dalam menghasilkan makna jika ada hubungan

yang jelas antara signifier dan signified dirasakan oleh semua pengguna tanda.

Namun, hubungan yang kurang jelas dalam peristiwa semiotika menimbulkan

tendensi berlawanan. Hubungan yang kurang tepat antara signifier dan signified

menyebabkan rusaknya sistem hubungan keduanya. Jadi, hubungan dampeang

dengan tari ulu ambek harus jelas karena kalau keduanya tidak memiliki hubungan

yang jelas maka pertunjukan akan menjadi kacau.

Tukang dampeang (lihat gambar 5.17) memang dipilih di antara

rombongan tari ulu ambek yang memiliki suara (vokal) yang bagus. Di samping

itu, ia juga bisa menciptakan kata-kata yang bermakna untuk dinyanyikan. Kata-

kata ini merupakan karya sastra yang diolah dengan vokal yang melengking tinggi

dan berirama yang disesuaikan dengan alur gerak penari.

Kalimat dalam mengiringi tari ulu ambek merupakan manifestasi dari

kebudayaan Pariaman yang bersifat egaliter atau terbuka. Keterbukaan akan

melahirkan kata yang tidak terbatas dan cenderung menjadikan kata tersebut

bersifat sastra dan bebas dari ikatan unsur lain seperti unsur kekuasaan mutlak.

Teks dampeang menjadi teks yang berdiri sendiri dan hanya menonjolkan irama

yang menjadi panduan pemain tari ulu ambek dalam bergerak.

Ediwar dkk. (2001:93) menegaskan bahwa penggarapan dampeang tari ulu

ambek dilakukan sesuai dengan kebutuhan melodi melalui penambahan suku kata

atau pengurangan suku kata. Pola seperti ini merupakan pola yang membuat teks

dampeang seakan-akan tidak mempunyai teks bahasa verbal. Beberapa pakar

karawitan di Sumatera Barat telah mencoba untuk memformulakan teks

Page 63: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

178

Gambar 5.17

Tukang Dampeang (Pemusik)

(Dokumen: Yulinis, 2011)

dampeang dengan membagi teks-teks tersebut dengan detail yang akurat.

Secara sederhana, bunyi dampeang terdengar seolah-olah ada kepiluan,

kegembiraan, dan suasana-suasana lainnya. Ketika dampeang diperdengarkan

maka suasana terbangun dengan sendirinya sesuai dengan yang diinginkan oleh

pemusik tari ulu ambek. Kadang-kadang bunyi seperti menjauh dan kadang-

kadang seperti dekat dan pada bagian-bagian tertentu dampeang disuarakan oleh

banyak orang atau secara koor. Hal ini menambah suasana ketegangan

antarpemain tari ulu ambek juga meninggi. Unsur musikalitas ini secara

tradisional dimiliki oleh hampir semua komunitas di seluruh dunia. Namun, dalam

kasus tari ulu ambek terdapat spesifikasi, yaitu teks menjadi simbolis dan tidak

verbal. Seperti dikatakan oleh Ediwar berikut:

Page 64: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

179

“Dampeang wajib dalam ulu ambek, karena dampeang yang mengatur

irama permainan. Kalau unsur musik dampeang ini ditiadakan, maka

penari juga akan kehilangan rujukan untuk membuat gerak yang

diinginkan. Jadi, musik merupakan panduan yang tidak tertulis dalam tari

ulu ambek” (Wawancara, 4 Januari 2014).

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa kesuksesan pertunjukan sangat ditentukan

oleh keberadaan musik dampeang sehingga menjadi penting dalam pertunjukan

tari ulu ambek Pariaman. Dampeang ini pun digunakan pendukung tari ulu ambek

yang baru datang. Tukang dampeang melagukan nyanyiannya di luar laga-laga.

Sebelum dijawab oleh dampeang dan oleh tuan rumah, maka kelompok yang baru

datang belum mau masuk ke arena pertunjukan.

Berdasarkan teori semiotika Barthes (Santosa, 1993:31--34) bahwa hal

tersebut menyangkut kode aksian yang merupakan prinsip bahwa di dalam sebuah

pertunjukan tari ulu ambek, perbuatan-perbuatan harus disusun dengan linier. Di

dalam sebuah pertunjukan tari ulu ambek sebuah peristiwa atau kejadian tidak

akan sama dengan peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam seni tradisi lain.

Aksi penari akan ditandai oleh reaksi dampeang, begitu pula sebaliknya.

5.4 Unsur Pendukung Tari Ulu Ambek

Unsur pendukung tari ulu ambek merupakan suatu hal yang secara tidak

langsung memiliki peran yang tidak bisa dihindarkan. Unsur-unsur ini memang

secara visual tidak begitu terlihat, tetapi ia harus ada karena tanpa unsur lain ini

kegiatan tari ulu ambek tidak akan berjalan dengan baik. Unsur pendukung ini

terdiri atas unsur berupa pertama personel dan kedua; properti dan tempat

pelaksanaan.

Page 65: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

180

5.4.1 Personel Pendukung

Berkaitan dengan peran manusia, maka manusia yang menjadi unsur

pendukung merupakan manusia yang berada di belakang layar pertunjukan, yang

terdiri atas janang, rajo janang, ninik mamak, kapalo mudo, bundo kanduang, dan

urang tuo. Janang adalah orang yang bertugas sebagai juri atau hakim yang

menegur pemain (penari) yang melakukan kecurangan (Ediwar dkk., 2001:43).

Kalau terjadi kecurangan, maka janang menegur penari dan melaporkan

kecurangan tersebut kepada ninik mamak yang bertanggung jawab sepenuhnya

terhadap tari ulu ambek. Orang yang menjadi janang adalah orang yang dipilih

secara musyawarah dan mufakat.

Lebih jauh Ediwar dkk. (2001:44) menjelaskan bahwa janang harus

memiliki sifat-sifat yang didasari olehsejumlah ketentuan yaitu 1) Janang harus

memiliki firasat yang tajam terhadap gerakan yang salah dan teliti dalam melihat

sikap dan tindak tanduk orang lain, 2) Janang juga harus mengetahui kesalahan

yang disengaja dan yang tidak disengaja, 3) Janang juga harus bisa membedakan

sesuatu yang bisa membuat malu dan membuat kemuliaan, 4) Janang harus tahu

hal yang bisa merendahkan dan meninggikan martabat manusia di depan umum,

5) Janang harus arif menyikapi suatu kejadian yang akan membahayakan

permainan tari ulu ambek, 6) Janang harus tahu bahwa ada sesuatu yang akan

membahayakan kampung, nagari, dan diri sendiri, 7) Janang juga harus memilki

mata tajam dan bertelinga nyaring sehingga selalu waspada terhadap kondisi yang

ada, 8) Dalam diri seorang janang harus ada sifat adil dan tenggang rasa, dan 9)

Janang memiliki kekuasaan yang mutlak dalam permainan tari ulu ambek.

Page 66: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

181

Pimpinan janang disebut juga dengan rajo janang yang mengawasi janang

supaya tidak keluar dari aturan yang telah ditetapkan. Rajo janang adalah orang

yang mengerti seluk beluk pertunjukan tari ulu ambek. Ia ditunjuk oleh suatu

nagari sebagai wakil ninik mamak. Rajo janang bertugas mengawasi permainan

secara keseluruhan. Kalau ada yang menyimpang, maka ia mengingatkan janang

supaya bisa mengambil sikap yang tegas.

Ninik mamak di Pariaman merupakan pemilik tari ulu ambek sehingga ia

bertanggung jawab terhadap pelestarian dan pengembangan seni tradisi tersebut.

Segala aktivitas yang berhubungan dengan tari ulu ambek dilaksanakan atas izin

yang diberikan oleh ninik mamak. Permohonan izin tersebut harus dilakukan

dengan ritual pasambahan yang disampaikan oleh kapalo mudo.

Sebagai pemilik tari ulu ambek, ninik mamak meminjamkannya kepada

penari tari ulu ambek lewat kapalo mudo agar yang dipinjam ini bisa dijaga

dengan baik. Amanat yang disampaikan ninik mamak akan dijalankan oleh kapalo

mudo sebagai pelaksana kegiatan dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai

permainan tari ulu ambek ini mencoreng muka mereka atau mempermalukan ninik

mamak di depan ninik mamak yang lain karena mereka hadir dalam acara tersebut.

Ninik mamak, walaupun sudah memberikan sepenuhnya pelaksanaan

perheletan kepada kapalo mudo, ia tetap memantau jalannya perhelatan. Suatu

ketika ia bisa menegur kapalo mudo bila pelaksanaan tidak sesuai dengan

kesepakatan yang telah diputuskan dalam pasambahan. Bila situasi tidak lagi

terkendali, ninik mamak bisa menghentikan perhelatan dan membubarkan acara.

Hal ini biasanya terjadi kalau pelanggaran betul-betul sangat berat.

Page 67: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

182

Urang tuo (orang tua) adalah seseorang yang sangat berpengalaman

tentang seluk beluk kehidupan masyarakat suatu kampung atau nagari. Dalam

konteks tari ulu ambek, urang tuo diberikan tugas sebagai penasihat kapalo mudo.

Ia tua bukan karena usia, melainkan karena pengalaman dalam memahami konsep

bermasyarakat dan kemampuannya menguasai seluruh tradisi yang ada dalam

nagari. Penguasaan urang tuo terhadap tradisi tidak saja pada tataran lahir, tetapi

juga secara batin. Artinya, urang tuo merupakan seseorang yang memiliki

kepandaian lahir dan batin yang bisa menjaga nagari dari apa saja yang akan

membahayakannya.

Urang tuo merupakan tempat bertanya kapalo mudo ketika menghadapi

masalah yang ditemukan di lapangan. Sebagai penasihat, biasanya urang tuo telah

melewati masa menjadi penari tari ulu ambek, janang, rajo janang, dan kapalo

mudo sehingga ia betul-betul menguasai medan dalam permainan tari ulu ambek.

Urang tuo merupakan kepercayaan ninik mamak dalam menghadapi

suasana genting. Diibaratkan pada sistem yang sekarang, urang tuo merupakan

staf ahli penghulu dalam menentukan kebijakan. Ia dianggap sebagai orang yang

mengerti dengan segala persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Pengetahuan dan pengalaman yang dimilki urang tuo menjadikan ia sangat

disegani oleh masyarakat.

Di Pariaman, kapalo mudo memiliki dua pengertian, yaitu kapalo mudo

nagari dan kapalo mudo tari ulu ambek. Kapalo mudo nagari adalah seseorang

yang ditugasi mengurus nagari dengan segala persoalannya, sementara kapalo

mudo tari ulu ambek hanya mengurus pelaksanaan kesenian tari ulu ambek.

Page 68: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

183

Namun, biasanya kapalo mudo nagari, ketika pelaksanaan tari ulu ambek, akan

ditunjuk pula menjadi kapalo mudo tari ulu ambek.

Kapalo mudo tari ulu ambek adalah sosok yang paling sibuk dalam tari ulu

ambek. Ia juga bertindak sebagai penanti tamu, menentukan jadwal permainan,

menentukan penari yang akan tampil, dan kadang-kadang juga sebagai penari

senior tari ulu ambek. Ia juga yang menentukan tempat tamu akan duduk,

menginap dan sebagainya. Ia adalah penanggung jawab sepenuhnya terhadap

pelaksanaan tari ulu ambek dan melaporkannya kepada ninik mamak.

Kapalo mudo adalah orang yang diikutkan dalam perundingan antar ninik

mamak sehingga ia tahu apa yang menjadi keputusan ninik mamak, dan ia tahu

apa yang harus dikerjakan di lapangan perhelatan. Akibatnya teguran terhadap

kapalo mudo bisa dihindari selagi ia tetap berjalan dijalur yang benar.

Bundo kanduang (kaum perempuan) merupakan pendukung yang berada

di luar laga-laga yang bertugas menyediakan makanan untuk pendukung tari ulu

ambek. Rumah-rumah yang berada di sekitar laga-laga merupakan rumah-rumah

yang disediakan untuk menginap dan makan untuk pendukung tari ulu ambek.

Rumah-rumah tersebut ditunjuk oleh kapalo mudo dan menugasi kaum

perempuan untuk mengelolanya.

Memang kaum perempuan tidak memiliki andil yang besar dalam tari ulu

ambek secara langsung. Namun, pelaksanaan akan cacat bila pelayanan kepada

tamu yang datang tidak maksimal, termasuk menyediakan makanan yang dibawa

oleh ibu-ibu bundo kanduang. Biasanya, ketika dilaksanakan permainan tari ulu

ambek, panitia yang dikepalai oleh kapalo mudo menyembelih seekor kambing

Page 69: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

184

yang kemudian dimasak oleh kaum perempuan dan dihidangkannya kepada tamu

yang datang.

Bundo kanduang terdiri atas istri-istri ninik mamak, istri kapalo mudo,

istri urang tuo, dan ibu-ibu yang lain yang ditunjuk kapalo mudo untuk membantu

menyediakan makanan dan penginapan. Setiap hari mereka bekerja tanpa dibayar

sedikit pun. Hal ini menunjukkan bahwa tanggung jawab perhelatan merupakan

tanggung jawab bersama. Kalau pelayanan tidak maksimal, dan ada keluhan tamu,

akan berakibat pada malu kaum. Malu yang tidak bisa dibayar dengan uang. Malu

penghulu adalah malu seluruh masyarakat. Untuk itu, mereka betul-betul akan

bekerja semaksimal mungkin untuk kesuksesan perhelatan.

5.4.2 Properti dan Tempat Pertunjukan

Properti yang dihadirkan di atas arena (laga-laga) tempat pertunjukan tari

ulu ambek terdiri atas tabia, tirai, candai, tuduang saji, siriah paga dalam carano,

cermin, kain panjang, lapiak balambak, lapiak puin, marawa, dan kasur. Tabia

(tabir), yaitu sepotong kain yang warna-warni dan dipasangkan pada langit-langit

laga-laga. Warna tabia didominasi warna merah, putih, hijau, dan hitam.

Tirai terdiri atas dua jenis, yaitu tirai cancang sebanyak dua buah dan tirai

kolam sebanyak satu buah. Tirai cancang dipasangkan pada bagian depan dan

belakang laga-laga persis di tonggak tua depan dan tonggak tua belakang. Jumlah

cancang bagian luar adalah 39 buah yang melambangkan jumlah anak Nabi Adam

A.S., sedangkan cancang bagian dalam berjumlah 17 buah yang melambangkan

jumlah rakaat salat, yaitu 2 rakaat subuh, 4 rakaat zuhur, 4 rakaat asysar, 3

Page 70: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

185

rakaat magrib, dan 4 rakaat isya. Sementara itu, tirai kolam dipasang di tengah

langit-langit arena pertunjukan atau laga-laga.

Pemasangan tirai dilakukan oleh kapalo mudo setelah mendapat izin dari

mamak adat yang bersangkutan. Aturan pemasangan tirai terkait dengan

fungsinya, yaitu tirai kolam difungsikan untuk menunjukkan tempat duduk

mamak adat dari pihak tuan rumah. Tirai pecah terletak pada bagian kiri dan

kanan tirai kolam yang menunjukkan tempat duduk ninik mamak tamu.

Banyaknya tirai yang dipasang bergantung dari besarnya pesta yang dilakukan.

Kadang-kadang ada pemasangan tirai yang lebih dari dua yang menandakan

bahwa alek nagari itu dilaksanakan secara besar-besaran.

Pemakaian tirai sangat penting dalam alek ninik mamak, seperti alek tari

ulu ambek, silat, dan randai tari ulu ambek. Tidak ada tirai maka tidak akan ada

permainan tari ulu ambek. Namun, untuk kesenian lain setelah tari ulu ambek,

seperti indang, tirai tidak menjadi penting.

Candai adalah sepotong kain yang berbentuk selendang, terdiri atas candai

banang yang dipasang pada sisi depan langit-langit persis di atas ninik mamak

tuan rumah yang duduk di bawahnya dan candai suto dipasang di langit-langit

bagian belakang persis di atas tempat duduk ninik mamak tamu. Candai ini

merupakan lambang dari kekuasaan ninik mamak.

Tuduang saji terbuat dari daun pandan yang digantungkan di lagit-langit

persis di atas ninik mamak tamu. Hal ini melambangkan arah kiblat salat (ka’bah).

Siriah paga dalam carano merupakan perlengkapan penting yang harus ada di

atas laga-laga permainan tari ulu ambek. Sirih diletakkan di dalam carano yang

Page 71: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

186

dipagari arai pinang sebanyak lima lapis. Tiga lapis pertama terletak di mulut

carano yang melambangkan pusaka, adat, dan agama. Dua lapis berikutnya

terletak di bagian bawah carano yang melambangkan kapalo mudo dan urang tuo.

Siriah dalam carano ini berjumlah tiga buah, yaitu satu untuk menyambut tamu

yang datang, satu untuk lambang ninik mamak tuan rumah, dan satu lagi adalah

lambang ninik mamak tamu yang datang.

Cermin merupakan alat untuk mengintip bagi penari tari ulu ambek yang

digantung di tiang laga-laga. Kain panjang dipakai untuk menutupi tonggak atau

tiang yang ada di laga-laga. Lapiak balambak merupakan tempat duduk janang.

Lapiak puin adalah tempat duduk pendukung yang lain yang berada di bawah

laga-laga. Kasur berguna untuk tempat duduk ninik mamak tuan rumah sebanyak

dua buah dan tempat duduk ninik mamak tamu sebanyak dua buah atau lebih

bergantung pada jumlah ninik mamak yang datang.

Carano digunakan untuk menyambut tamu yang datang. Carano terbuat

dari kuningan dengan bentuknya yang spesifik dan di dalamnya terdapat sirih,

pinang, gambir, sadah, dan santo. Garis tengah carano sekitar 25 cm, tinggi dari

dasarnya sekitar 10 cm, dan bagian bawah diberikan kaki. Tinggi keseluruhannya

sekitar 25 cm. Dinding carano diberikan ukiran pucuk rebung, bertatah, dan

bermega-mega sehingga tampak indah. Kemudian carano tersebut diletakkan di

atas tampan beralaskan kain rumin (sutra), diberikan kain balapak dan tercoreng

warna kuning di atasnya, sedangkan tempat sirih dan kelengkapannya berlingkar

arai pinang yang berjalinan atau balapiah (Ediwar, 1999:146).

Carano dan segala isinya dihadapkan kepada tamu yang datang dengan

Page 72: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

187

pasambahan, seperti contoh berikut.

Disambahkan siriah dalam carano,

Kok siriah mintak dicabiak,

Kok pinang mintak digatok,

Kok gambia mintak dikupia,

Kok santo mintak dijujuik,

Kok sadah mintak dipalik,

Dimakan lalu disirahkan,

Pintak buliah kandak balaku.

(Dipersembahkan sirih dalam carano,

Sirih diminta supaya dicabik,

Pinang diminta supaya dicicipi,

Gambir diminta supaya dipipih,

Santo diminta supaya ditarik,

Sadah diminta supaya dioleskan,

Dimakan lalu dimerahkan,

Permintaan harap dipenuhi.)

Makna pepatah petitih di atas menyiratkan bahwa isi dalam carano

tersebut adalah sirih, pinang, gambir, tembakau, dan kapur. Semua isi carano

tersebut unsurnya diambil sedikit dan dicampurkan, kemudian dimakan. Hal ini

menandakan bahwa pihak tamu sudah diterima oleh pihak tuan rumah. Jadi, hal

itu semacam penyambutan untuk tamu yang datang berkunjung.

Penyuguhan sirih dalam carano diawali dengan pasambahan, yaitu kata-

kata (dialog) yang digunakan dalam melakukan perundingan. Dialog ini

merupakan hal penting karena sebelum tamu memakan sirih harus ada dulu

kesepakatan agar sesuatu yang disepakati menjadi bermakna, baik untuk tuan

rumah maupun tamu yang datang.

Marawa,yaitu bendera khas daerah Minangkabau berwarna hitam, merah,

dan kuning. Marawa terdiri atas dua macam, yaitu marawa besar dan marawa

kecil. Marawa besar dipasang di tiang tinggi dan diletakkan di pintu masuk alek

nagari, sedangkan di pinggir-pinggir jalan dipasang marawa kecil. Hal itu sama

Page 73: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

188

halnya dengan umbul-umbul perhelatan di pesta-pesta yang lain (Ediwar,

1999:148).

Semua aksesoris yang digunakan di lingkungan alek nagari merupakan

aksesoris yang berkaitan dengan adat dan budaya Pariaman. Warna-warna tegas

atau warna keras, seperti merah, hitam, kuning, dan sebagainya sangat dominan

yang mengindikasikan filosofi estetis tageh yang sebelumnya telah diuraikan.

Tempat pelaksanaan tari ulu ambek dikenal juga dengan laga-laga yang

luasnya sekitar 10 x 10 meter dan tinggi sekitar 2,5 meter. Lantai laga-laga

terbuat dari bambu yang dibelah-belah dan dianyam, dan kemudian di setiap sisi

diletakkan kasur tempat duduk penghulu dan janang. Tiang-tiangnya biasanya

terbuat dari batang pinang dan atapnya adalah atap rumbia (atap daun). Laga-laga

jenis ini bersifat sementara, artinya kalau perhelatan sudah berakhir, maka laga-

laga ini juga akan dibongkar. Ketika permainan tari ulu ambek selesai laga-laga

ini juga digunakan oleh kesenian lain, yaitu indang.

Ada laga-laga yang bersifat tetap yang dimiliki setiap nagari di

Kabupaten Padang Pariaman. Ukuran arena pertunjukan ini lebih kecil atau sekitar

4 x 4 meter dengan tinggi sekitar 2,5 meter yang terbuat dari bahan semen dan

kayu agar bisa tahan lama. Manfaat laga-laga tetap ini adalah untuk berlatih, baik

latihan tari ulu ambek maupun latihan indang, bahkan tempat ini menjadi pusat

untuk anak-anak muda berkumpul dan bermain.

5.5 Estetika Tari Ulu Ambek

Tari ulu ambek dapat dipahami dari dua aspek estetika. Pertama, estetika

Page 74: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

189

sebagai konsep pengetahuan, pandangan, kepercayaan, atau nilai-nilai filosofis

tentang bagaimana seharusnya tari dibuat dan diperlakukan. Kedua, estetika

sebagai sifat, keadaan, atau karakter fisik suatu benda, gejala, atau stimulus buatan

yang mampu menimbulkan cita rasa masyarakat pencipta atau penikmatnya.

Baik aspek pertama maupun aspek kedua, sesungguhnya memiliki muara

yang sama, yaitu bagaimana seharusnya suatu benda, gejala, stimulus buatan

mampu mengekspresikan pengetahuan, kepercayaan, atau nilai-nilai budaya

dalam suatu simbol yang memiliki sifat, keadaan, atau karakter yang

memengaruhi atau menimbulkan cita rasa warga masyarakat pencipta atau

penikmatnya. Dengan kata lain, sesungguhnya estetika tari ulu ambek adalah

suatu filosofi tari yang tertuju pada penciptaan simbol ekspresif-estetis yang

memuat, mengandung, atau berisi pengetahuan, kepercayaan, dan estetika tradisi

yang bernilai budaya.

Saat ini tidak dapat disangkal lagi bahwa Pariaman begitu beragam hal

dapat dilihat, terutama dari aspek budaya, lebih khusus lagi keseniannya.

Pengaruh globalisasi telah menciptakan kesenian-kesenian lain yang berbeda

dengan seni tari ulu ambek. Jika dikatakan bahwa seni adalah salah satu bentuk

perwujudan kebudayaan, maka tari ulu ambek tentulah merupakan salah satu

perwujudan dari kebudayaan Pariaman. Sebagai salah satu perwujudan

kebudayaan Pariaman, maka kesenian Pariaman, apa pun hasilnya akan diwarnai,

dipengaruhi, bahkan direfleksikan oleh nilai-nilai budaya Pariaman.

Tari ulu ambek adalah simbol yang menjadi “ruang” tumpangan tempat

bersemayamnya pengetahuan, keyakinan, atau nilai-nilai yang bernuansa

Page 75: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

190

keindahan sehingga terjelma satu konfigurasi budaya. Dalam konteks kebudayaan

global atau dunia, ada dua kategori pembagian kebudayaan besar, yaitu

kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur. Kabupaten Padang Pariaman yang

berada di wilayah Indonesia ini termasuk dalam wilayah kategori kebudayaan

Timur. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai budaya Timur menjadi acuan atau

pedoman normatif bagi warga atau masyarakat etnis yang bersangkutan dalam

melakukan berbagai aktivitas kehidupannya. Nilai-nilai itu menjadi penuntun,

pengarah, pembentuk pola berpikir, bersikap, dan bertindak dalam upaya

memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu, kesenian yang dihasilkan dengan

sendirinya tidak bisa lepas dari pengaruh nilai-nilai budaya tersebut.

Secara tradisional, tari ulu ambek, sebagai perwujudan salah satu

kebudayaan bangsa Indonesia (bangsa Timur) adalah suatu kesenian yang

memiliki gagasan, proses, bentuk, fungsi, dan makna yang tidak bisa lepas dari

pengaruh, bahkan mencerminkan nilai-nilai budaya yang bersifat mistis, kosmis,

dan religius. Kesenian tari ulu ambek yang secara empirik hidup dan berkembang

melalui kehidupan tradisi di setiap wilayah Pariaman umumnya diwujudkan

dalam satu kegiatan yang menyatu (terintegrasi), bahkan menjadi bagian dari

suatu kehidupan tradisi masyarakat.

Tari ulu ambek tidak secara eksklusif hadir sebagai dirinya sendiri, tetapi

menjadi bagian dari suatu tradisi. Warga masyarakat acap kali tidak melihat atau

menyadari bahwa mereka sedang berkesenian. Hal yang dilihat atau disadari ialah

mereka sedang melakukan satu kehidupan tradisi tertentu meskipun apa yang

dilakukan merupakan kegiatan artisitik yang bernilai estetis. Karya tari ulu ambek

Page 76: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

191

sering kali dikemas atau dipentaskan untuk suatu kepentingan peristiwa budaya

tertentu yaitu pengangkatan penghulu. Oleh karena itu, kegiatan artistik atau

pengalaman estetis seperti itu dirasakan sebagai aktivitas yang bersifat mistis dan

religius.

Hal tersebut bisa dilihat pada kesenian-kesenian tradisional tari ulu ambek,

yakni ketika terjadi peristiwa pengangkatan penghulu, muncullah berbagai macam

peralatan, pakaian, pemain, irama gerakan tertentu (tari), dan iringan dampeang

menyertai kegiatan-kegiatan tersebut secara terpadu. Tari ulu ambek adalah

kesenian yang bersifat mistis-religius. Oleh karena itu, keindahan atau estetikanya

adalah estetika mistis-religius.

Estetika tari ulu ambek bersifat lokal dan khas sesuai dengan kondisi

kehidupan budaya Pariaman. Dengan demikian, keindahan yang muncul bersifat

relatif dalam arti hanya bisa dipahami atau dinikmati oleh warga masyarakat

Pariaman yang memiliki dan mendukung kebudayaan tersebut. Dengan kata lain,

keindahan seni masyarakat Pariaman berbeda sifat dan karakternya bila

dibandingkan dengan keindahan seni masyarakat Jawa, Bali, Dayak, Bugis,

Toraja, atau Asmat di Papua. Dasar-dasar pandangan atau konsep-konsep yang

melandasi ekspresi keseniannya secara umum sama, yaitu mistis-religius, hanya

perwujudan simbolnya yang berbeda.

Filosofi estetika yang demikian sekali lagi terdapat dan masih dapat

dijumpai pada tari ulu ambek yang bersifat tradisional. Tentu saja, wacana

tersebut bisa jadi berkembang, bahkan berbeda ketika pembahasan ditempatkan

dalam konteks kesenian Indonesia yang bersifat modern.

Page 77: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

192

5.5.1 Estetika Tageh

Estetika sebagai sebuah disiplin, secara teoretis, dapat dipakai sebagai

sarana untuk mengkaji, memahami, dan menjelaskan suatu fenomena tari ulu

ambek, baik dari segi bentuk, fungsi, maupun maknanya secara komprehensif.

Dengan kata lain, melalui kajian estetika, nilai-nilai, pesan-pesan, atau makna

budaya tari ulu ambek dapat dikenali, dipahami, dan diungkapkan.

Filosofi estetika yang dianut dalam tari ulu ambek adalah filosofi tageh.

Filosofi tageh ini diambil dari filosofi budaya yang berkembang di tengah

masyarakat Pariaman. Kata tageh sulit dicarikan sinonimnya dalam bahasa

Indonesia dan bahasa lainnya. Kalaupun harus disinonimkan dengan bahasa

Indonesia maka kata tageh bisa disamakan dengan gabungan beberapa kata, yaitu

kata tegas, mau, berani, fleksibel, kuat, kokoh, dan nekat. Kalau kata tegas saja,

atau satu kata yang lainnya, tidak bisa mewakilinya. Jadi, secara definisi maka

kata tageh adalah sikap manusia yang mengandung ketegasan, keberanian, tidak

takut terhadap bahaya, lincah, kokoh, dan kuat yang kadang kala juga nekat. Hal

di atas juga dikatakan oleh Sjamsurijal:

“Tageh dalam ulu ambek merupakan sikap yang mewakili sikap penghulu.

Penghulu harus tegas, berani, kuat, kokoh dan sebagainya dalam

memimpin kaumnya. Penghulu yang tageh adalah penghulu yang ideal

menurut orang Pariaman”. (Wawancara, 4 Januari 2014).

Pernyataan di atas mempertegas bahwa seorang pemimpin adalah seseorang yang

harus memiliki sikap idealnya seorang pemimpin. Pemimpin yang ideal menurut

masyarakat Pariaman adalah pemimpin yang memiliki sekap tageh. Hal inilah

yang tergambar dalam tai ulu ambek.

Menurut teori Ideologi dan hegemoni Gramsci dan Althuser (Sukeni,

Page 78: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

193

2010:17) bahwa hegemoni dapat memengaruhi atau berdampak terhadap

kehidupan pihak yang terhegemoni. Artinya, kuasa pempimpin (penghulu) yang

ideal akan memengaruhi sikap masyarakat dan menjadikannya sebagai pedoman

hidup mereka di tengah masyarakat.

Paparan estetika tageh dalam tari ulu ambek secara konseptual telah

memberikan pemahaman umum bagaimana sesungguhnya bentuk, fungsi, dan

makna fenomena tari ulu ambek. Makna tageh yang tersimpan dalam tari ulu

ambek, sesungguhnya, berisi pengetahuan, nilai-nilai, dan kepercayaan dari

kebudayaan Pariaman yang tidak dapat dipisahkan dari gaya hidup yang khas

yang mencerminkan kearifan lokal atau budaya masyarakat yang bersangkutan.

Dengan demikian, pemahaman tageh dalam tari ulu ambek melalui disiplin

estetika dapat diperoleh makna-makna budaya yang sangat penting untuk

dikenalkan, dipahamkan, dan ditanamkan pada masyarakat Pariaman.

Estetika tageh di Minangkabau secara umum dan Pariaman khususnya

sebagai subbagian kebudayaan Nusantara memiliki sistem pengetahuan,

kepercayaan, dan nilai yang khas untuk pedoman warga masyarakat

pendukungnya dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk di dalamya

adalah kebutuhan tari ulu ambek atau pengungkapan rasa keindahan dari kesenian

tersebut. Sistem-sistem itu menjadi sumber dasar yang melandasi kebutuhan

ekspresi seni warga masyarakatnya. Dalam kekhasan budayanya itu, sebagai

subbagian kebudayaan Nusantara yang bercorak ketimuran, orientasi utamanya

secara tradisional masih tetap bersifat mistis-religius. Apalagi jika dikaitkan

dengan corak kehidupan masyarakatnya yang agraris, orientasi budaya yang

Page 79: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

194

bersifat mistis-religius, sampai sekarang masih dapat dirasakan dalam konteks

kehidupan tradisi masyarakat Minangkabau.

Berbicara tentang filosofi estetika tageh tari ulu ambek secara tradisional,

banyak sumber nilai budaya yang dapat diungkap dan dikonstruksi untuk

dijadikan sebagai wacana dalam melihat dan memahami masalah yang berkenaan

dengan keindahan tari ulu ambek. Sumber nilai budaya yang tercermin dalam tari

ulu ambek meliputi estetika kosmologi, estetika simbolik, dan estetika kehidupan

masyarakat Pariaman.

Dalam pandangan budaya Pariaman, tari ulu ambek memperlihatkan

adanya nilai keteraturan. Keteraturan itu, bukan hanya dalam kaitan dengan

masalah keindahan tageh secara fisik, melainkan dalam segala hal orang Pariaman

harus bisa hidup teratur. Seseorang belum dapat disebut orang Minang atau orang

Pariaman jika belum bisa menjaga keteraturan dalam hidup dan kehidupan. Untuk

dapat memperoleh keteraturan, maka segala sesuatunya harus dilakukan secara

sistematis. Pandangan ini sesungguhnya bersumber dari nilai budaya kosmologis,

yakni pengetahuan atau pandangan orang Pariaman dan alam raya yang selama ini

menjadi guru yang baik bagi masyarakat.

Alam merupakan semesta yang teratur. Perjalanan bulan dan matahari,

peredaran bintang, siklus tumbuhan, air yang mengalir, dan sebagainya

merupakan keteraturan yang diciptakan oleh Sang Penguasa alam. Keteraturan

alam sebagai bagian dari kosmologi tergambar pada laga-laga alek nagari yang

dibangun untuk kebutuhan tari ulu ambek. Adanya tirai, tabir dan cermin pada

langit-langit laga-laga memperlihatkan bahwa permainan tari ulu ambek

Page 80: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

195

dilindungi oleh kekuasaan maha tinggi, yaitu Tuhan semesta alam. Hal di atas

juga dikatakan oleh Ediwar:

“Laga-laga tempat bermain ulu ambek dibangun dari bahan yang ada di

alam atau yang ada di sekeliling kita. Hal ini bisa dilihat dari atap laga

yang terbuat dari daun, tonggaknya dari kayu, lantainya dari buluh,

hiasannya dari janur kuning, dan sebagainya” (Wawancara, 4 Januari

2014).

Pernyataan di atas menjelaskan pembangunan laga-laga yang diambil dari alam

menjadi wadah yang konkret dari pemanfaatan manusia terhadap alam semesta.

Dalam wadah itu terdapat isi, yaitu unsur-unsur yang tidak dapat dilihat dan dapat

dilihat. Unsur-unsur yang dapat dilihat di dunia nyata, antara lain, flora, fauna,

gunung, dan manusia. Sementara itu, unsur yang tidak terlihat adalah Tuhan,

malaikat, setan, dan sebagainya yang mendiami dunia gaib. Keseimbangan antara

dunia yang terlihat dan dunia yang tidak terlihat inilah yang harus dijaga manusia.

Penyatuan dua alam ini tergambar dari laga-laga tempat tari ulu ambek

dilaksanakan. Dunia atas dan dunia bawah ada pada pendirian laga-laga tersebut.

Menurut teori hegemoni Althuser dan Gramsci (dalam Barker, 2004: 62)

bahwa alam mempunyai kekuasaan sendiri dalam tari ulu ambek. Alam menjadi

dominasinya menjadi penting. Untuk itu, manusia tidak bisa seenaknya

mengeksplorasi alam. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan,

tetapi melalui bentuk-bentuk persetujuan manusia dengan alam itu sendiri.

Menurut pandangan orang Pariaman, dunia gaib merupakan misteri

kekuasaan yang mengelilingi kehidupan sehingga mereka sangat bergantung dari

kekuasaan alam gaib tersebut. Secara umum, orang Pariaman percaya bahwa

segala sesuatu di dunia ini hakikatnya merupakan kesatuan hidup. Kehidupannya

Page 81: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

196

senantiasa terkait erat dengan alam raya. Orang Pariaman memandang bahwa

bermain tari ulu ambek merupakan kegiatan profan. Namun, di balik keprofanan

itu terbentuk sebuah hubungan dengan kegiatan yang sakral, yaitu nilai-nilai yang

berhubungan dengan Tuhan. Memang secara umum manusia Pariaman tidak

mungkin memisahkan suatu yang sakral dari yang profan, yang bersifat adikodrati

dan yang berakar pada dunia nyata dari yang berakar pada alam semesta.

Kehidupan alam semesta yang tergambar pada tari ulu ambek merupakan

sesuatu yang teratur dan bertingkat hierarkis. Penghulu meminjamkan

“pakaiannya” kepada kapalo mudo untuk dimainkan dalam bentuk tari ulu ambek.

Pakaian ini kemudian dijadikan alat untuk bisa membangun hubungan silaturahmi

antarmanusia yang memiliki tujuan yang sama, yaitu mengagungkan penghulu

sebagai anutan masyarakat secara umum. Pemain tari ulu ambek memiliki

kewajiban moral menjaga keselarasan dan keseimbangan hidup dengan segala

tatanan yang ada pada diri penghulu yang kemudian dihubungkan dengan alam

semesta. Upaya melawan tatanan merupakan suatu dosa dan sekaligus

mengacaukan keselarasan dan keseimbangan yang akan membawa suatu

penderitaan.

Jika setiap orang yang berperan dalam tari ulu ambek melaksanakan tugas

kewajiban dengan berpegang pada aturan Ilahi yang berkuasa dan kekuasaan

pemimpin (penghulu) yang menjalankannya, maka orang itu akan menuju

keselamatan di dunia serta menciptakan kehidupan yang berlandasan “adat

basandi syarak, syarak basandi kitabullah”(adat bersedikan agama, agama

Page 82: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

197

bersendikan Alqur’an). Di sinilah letak kesimbangan dan keselarasan antara dunia

atas dan dunia bawah, seperti dikatakan oleh Sjamsurijal berikut:

“Nilai tageh juga terletak dari keteguhan pendukung kebudayaan tersebut

terhadap agama. Agama mengajarkan agar manusia memiliki sikap yang

tegas terhadap pelaku yang menyimpang dari agama. Alquran jelas-jelas

memberi petunjuk agar manusia punya sikap yang jelas”. (Wawancara, 4

Januari 2014).

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa nilai keindahan tageh yang agamis

berkaitan dengan estetika simbolik terdapat pada estetika gerak tari ulu ambek.

Posisi tangan, langkah, serang dan bertahan ditempatkan sesuai dengan peran,

fungsi, atau kategorinya. Hal ini sejalan dengan ungkapan tradisional Pariaman

tabang nan basitumpu, hinggok nan basitakam (terbang ada tumpuan, hinggap

ada yang ditancapkan), artinya sesuatu itu harus ada pijakan yang jelas dalam

mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, aspek penataan, penempatan, atau

pemanfaatan suatu hal, termasuk struktur-struktur yang membangun tari ulu

ambek menjadi penentu nilai keindahannya.

Dominasi agama Islam dalam teori ideologi Gramsci dan Althuser (dalam

Barker, 2009: 60-62) tentang Ideological complexes muncul untuk menjaga

hubungan antara kekuasaan (power) dan solidaritas (solidarity). Komponen

ideological complexes terdiri atas dua model, yaitu model relasional (klasifikasi

jenis social agent, aksi, objek, dan lain-lain) dan model aksi (spesifikasi aksi dan

perilaku yang diharuskan, diizinkan, dilarang). Agama punya kuasa terhadap tari

ulu ambek.

Dalam gerak tari ulu ambek terdapat filosofi tageh melalui sikap dan

tindakan-tindakan tertentu yang dianggap bermakna dalam upaya memenuhi

Page 83: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

198

kebutuhan hidup menurut kebudayaan orang Pariaman. Orang Pariaman tidak

akan bertindak gegabah seakan-akan masalahnya terbatas pada dimensi sosial

alamiah saja karena semua peristiwa alam empirik dipercaya berkaitan erat

dengan alam nonempirik. Bahkan, hal itu berlaku dalam beberapa unsur

kebudayaan, seperti bahasa dan komunikasi, kesenian dan kesusastraan,

keyakinan keagamaan, ritus, ilmu gaib, dan pantangan serta beberapa pranata

dalam organisasi sosialnya, dan pemaknaan estetika simboliknya.

Sistem klasifikasi simbolik tari ulu ambek didasarkan pada dua, tiga,

empat, dan lima kategori. Sistem yang didasarkan pada dua kategori dikaitkan

dengan hal-hal yang berlawanan, tetapi saling membutuhkan, terutama antara dua

pemain tari ulu ambek. Pemain tari ulu ambek menempati dua posisi yang saling

berhadapan, posisi tamu dan tuan tuan rumah, posisi menyerang dan posisi

bertahan. Di samping posisi pemain, juga posisi tempat bermain, yaitu lantai dan

langit-langit, manusia dan Tuhan. Kategori tiga berkaitan dengan tiga tungku

sejarangan, yaitu alim ulama, penghulu, dan cendekiawan. Dalam tari ulu ambek

kategori tiga adalah dua pemain dan janang. Pemain sangat bergantung pada

janang yang menjadi wasit bagi mereka.

Kategori empat adalah hubungan pemain tari ulu ambek dengan janang

dan penghulu (ninik mamak). Posisi ini memperlihatkan bahwa empat unsur yang

membangun tari ulu ambek yang saling berkaitan. Pakaian penghulu dimainkan

oleh pemain tari ulu ambek yang diawasi oleh janang. Estetika yang

membangunnya menjadi lebih dinamis. Sementara itu, kategori lima, yang

Page 84: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

199

menambahkan satu unsur, yaitu musik vokal (dampeang) yang menjaga ritme

permainan.

Dalam perspektif budaya Pariaman, keindahan karya seni ulu ambek

haruslah memperlihatkan nilai harmoni. Nilai harmoni akan memberikan kesan

tenang, tenteram, damai, cocok, selaras, serasi, dan seimbang dalam persepsi

estetis seseorang yang menikmatinya. Harmoni merupakan salah satu orientasi

penting kehidupan orang Pariaman yang harus dapat diimplementasikan dalam

seluruh aspek kehidupannya. Agar hidup memperoleh keselamatan dan

kesejahteraan lahir batin, orang harus dapat menjalin hubungan yang selaras,

serasi, dan seimbang dengan sesama, dengan lingkungan alam, dan dengan

kekuatan-kekuatan gaib lainnya, yakni penguasa atau pencipta alam semesta. Tari

ulu ambek memberikan kaharmonisan yang nyata atas hubungan manusia dengan

manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan

agar terjaga dengan baik, seperti terlihat pada gambar 5.20, yakni sirih dalam

carano yang merupakan simbol keharmonisan.

Prinsip gotong royong yang tergambar dalam pepatah Minangkabau

surang basampik-sampik, rami balapang-lapang (sendiri akan sempit, banyak

akan luas) memperlihatkan bahwa orang Pariaman suka hidup bermasyarakat dan

menghindari individualistik. Hal ini mencerminkan rasa saling menghormati dan

menjaga perasaan orang lain. Dalam tari ulu ambek terlihat ketika pemain

melakukan salaman dengan semua orang, maka hal ini merupakan cerminan

saling menghargai.

Page 85: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

200

Gambar 5.18

Dua buah Carano yang Berdampingan Menandakan Penghulu

di Pariaman Hidup Berdampingan dengan Damai

(Dokumen: Yulinis, 2011)

Filosofi estetika tageh juga berkaitan dengan segala hal yang

menimbulkan konflik atau pertentangan diupayakan untuk diberikan makna

positif sesuai juga dengan mamangan adat basilang kayu di tungku, disinan mako

api ka hiduik (bersilang kayu di tungku, maka di sana api akan hidup) yang

artinya walaupun berlawanan, akhirnya didapat juga hal yang baik. Konflik atau

pertentangan dirasakan dan dipercaya akan menimbulkan kenyamanan kalau

diberikan makna positif sehingga tidak menimbulkan kesengsaraan, dendam, dan

sebagainya yang bisa bermakna negatif. Keharmonisan akan terletak pada makna

yang didapat dari perbedaan. Perbedaan gerak antara pemain menyerang dan

pemain bertahan dalam tari ulu ambek memberikan kesan bahwa pertunjukan

tersebut lebih estetis.

Filosofi tageh sebagai pandangan hidup yang berorientasi menuju ke

harmoni tersebut, secara simbolik terekspresikan dalam tari ulu ambek.

Keharmonisan karya tari ulu ambek amat menentukan nilai keindahannya. Tata

Page 86: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

201

gerak, busana, vokal, dan unsur lain dalam tari ulu ambek amat memperhatikan

nilai harmoni ini. Harmoni menjadi penting dalam upaya mendapatkan kesan

kesatuan antaraspek atau unsur yang ada dalam suatu gejala pada tari ulu ambek.

Hal itu penting karena tanpa nilai ini, kesatuan sebagai sebuah karya yang utuh

akan sulit dicapai yang pada gilirannya akan menimbulkan kesan tidak indah

dalam persepsi estetis penikmatnya.

5.5.2 Estetika Tradisi

Kebudayaan ada dan berkembang dalam tradisi-tradisi sosial suatu

masyarakat tidak terkecuali kebudayaan Pariaman dengan seni tari ulu ambek-nya.

Tari ulu ambek adalah permainan penghulu yang dimainkan anak muda di

masyarakat Pariaman, digunakan secara bersama sebagai pedoman atau kerangka

acuan warga masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai tingkah laku yang

bertalian dengan kehidupannya, seperti dikatakan oleh Angku Sabar Dt.

Rangkayo Majo Basa berikut:

“Ulu ambek ko adolah pamenan pangulu nan dimainkan dek anak mudo.

Istilahnyo pakaian pangulu nan disalangan ka anak mudo. Jadi anak

mudo nan manyalang tantu punyo tangguangjawaok nyo jo nan disalang

tu. Kalau indak pasti anak mudo tu mandapek akibaik buruak”. (ulu

ambek adalah permainan penghulu yang dimainkan oleh anak muda.

Istilahnya pakaian penghulu yang dipinjamkan ke anak muda. Jadi anak

muda harus bertanggungjawab terhadap apa yang dipinjamnya. Kalau

tidak bertanggungjawab maka anak muda tersebut akan mendapatkan

akibat buruk) (Wawancara, 5 Januari 2014).

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa nilai budaya yang kelihatan pada tari ulu

ambek menjadi milik masyarakat Padang Pariaman sebagai ahli warisnya.

Keberadaan penghulu (datuk) sebagai pengayom masyarakat merupakan simbol

Page 87: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

202

budaya masyarakat Pariaman. Cerminan dari istilah “pakaian penghulu”

menjadikan tari ulu ambek melekat dalam budaya Pariaman. Hal tersebut yang

terlihat pada gambar 5.21 bahwa pakaian kebesaran penghulu menjadi pedoman

dalam bermasyarakat.

Gambar 5.19

Simbol Kebesaran Ninik Mamak

(Dokumen: Yulinis, 2011)

Menurut Althuser dan Gramsci (dalam Barker, 2004:62), suatu blok

historis faksi kelas berkuasa akan menjalankan otoritas sosial dan kepemimpinan

atas kelas-kelas subordinat melalui kombinasi antara kekuatan dan konsesnsus.

Dalam kenyataan empirik pada tingkat individu dimungkinkan terjadi

penyimpangan sikap dan tingkah laku sebagai akibat pengetahuan kebudayaan

yang dimiliki. Ada kalanya penghulu itu bersikap menyimpang dari hal yang

ideal, tetapi sikap dan tingkah laku sosial anggota suatu masyarakat akan selalu

Page 88: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

203

terikat dengan norma-norma yang melekat dengan eksistensi penghulunya.

Kebudayaan Pariaman yang tercermin dalam tari ulu ambek selalu berada dalam

kerangka ideal karena merupakan gambaran ideal penghulu. Tari ulu ambek

tidak bebas dari kebudayaan yang pada hakikatnya merupakan kompleksitas

pengetahuan, nilai-nilai, gagasan-gagasan vital, serta keyakinan atau kepercayaan-

kepercayaan yang menguasai masyarakat Pariaman, seperti dikatakan oleh

Khaidir berikut

“Kurenah pangulu nan tacamin di pakaiannyo adolah nilai nan manjadi

padoman bagi masyarakaik kito. Caro basalam, caro duduak, caro

malangkah dan sabagainyo mampaliekan nilai nan patuik dicontoh”.

(perilaku penghulu yang tercermin dipakainnya adalah nilai yang menjadi

pedoman bagi masyarakat kita. Cara bersalam, cara duduk, cara

melangkah dan sebagainya memperlihatkan nilai yang patut dicontoh).

(Wawancara, 4 Januari 2014).

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa peranan tari ulu ambek terlihat sebagai

mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia atau sebagai pola-pola bagi tingkah

laku manusia Pariaman. Tari ulu ambek memiliki serangkaian aturan, kombinasi

gerak, rencana, strategi yang terdiri atas serangkaian model kognitif yang

digunakan secara selektif oleh manusia yang memilikinya sesuai dengan

lingkungan yang dihadapi.

Berdasarkan teori ideologi Althuser dan Gramsci (Santosa, 2010:3) bahwa

ideologi berarti kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat

(kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Dengan

demikian, tari ulu ambek dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan,

kepercayaan, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial

yang berisi perangkat-perangkat model pengetahuan atau sistem-sistem makna

Page 89: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

204

yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara

historis.

Model-model pengetahuan yang ada dalam tari ulu ambek digunakan

secara selektif oleh warga masyarakat Pariaman untuk berkomunikasi,

melestarikan, dan menghubungkan pengetahuan, bersikap, dan bertindak dalam

rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Gambaran nilai budaya ini memang tidak

selalu berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh globalisasi

yang melanda warga Pariaman. Akibatnya, tari ulu ambek sedikit banyak telah

terkikis oleh zaman yang semakin canggih.

Kebudayaan dapat dilihat sebagai latar bagi suatu tipe masyarakat yang

bersifat normatif dan melahirkan gaya hidup tertentu dengan tipikal dan makna

berbeda. Dalam menciptakan gaya hidup seperti itu, yang hanya mungkin

terwujud melalui aturan-aturan yang diterapkan bersama, suatu perangkat model

kognitif, sistem simbol, dan beberapa visi dari suatu yang ideal diberikan bentuk

sehingga tari ulu ambek bisa menjadi pedoman ataupun aturan yang tidak tertulis

sebagai budaya yang mampu beradaptasi dengan zamannya.

Tari ulu ambek sebagai salah satu unsur kebudayaan sesungguhnya

merupakan simbol yang merefleksikan atau mengekspresikan kebudayaan itu

sendiri. Perbedaannya dengan unsur-unsur kebudayaan yang lain, dalam

perwujudannya tari ulu ambek senantiasa terwadahi dalam kemasan bentuk estetis

yang spesifik. Kemasan bentuk estetis yang spesifik ini dibangun dalam suatu

komposisi yang harmonis sesuai dengan cita rasa warga masyarakat Pariaman,

seperti dikatakan oleh Sjamsurijal berikut:

Page 90: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

205

“Masyarakat tradisi memiliki kerangka sendiri dalam menilai sebuah

kebudayaan. Ketika sebuah kebudayaan muncul untuk menciptakan

keharmonisan, maka masyarakat memberikan apresiasi yang baik untuk

kebudayaan tersebut. Hal ini memberikan perbedaan dengan kebudayaan

lain karena mengalami proses yang berbeda pula” (Wawancara, 4 Januari

2014).

Pernyataan di atas menggambarkan cita rasa (taste) dari tari ulu ambek bahwa

suatu hal yang muncul dari properti, gerak, vokal, dan sebagainya dirasakan

harmonis dan sesuai dengan pengetahuan dan kepercayaan atau nilai-nilai yang

berkembang dan dimiliki oleh warga masyarakat Pariaman. Artinya, bentuk estetis

tari ulu ambek yang sesuai dengan cita rasa ini bersifat lokal. Dengan kata lain,

tari ulu ambek merupakan simbol ekspresi-estetis yang mengungkapkan

pengetahuan, kepercayaan-kepercayaan, dan nilai-nilai budaya.

Berdasarkan teori semiotika Barthes (Aart van Zoest, 1996:82--88) bahwa

hubungan antara langue dan parole dalam hubungannya dengan sistem objek,

gambar, atau sikap yang belum dipelajari dalam semantik. Seluruh elemen dalam

membangun tari ulu ambek sepenuhnya menggambarkan keharmonisan

masyarakat dalam membangun kebudayaannya.

Estetika tari ulu ambek oleh masyarakat Pariaman akan berbeda dengan

estetika tari kelompok masyarakat yang lainnya. Hal ini terjadi karena proses

bersikap dan berperilaku seni senantiasa dipengaruhi, diarahkan, dan dikendalikan

secara budaya. Hal itu bermakna bahwa tari ulu ambek tidak ada di negeri lain di

Minangkabau, kecuali di Pariaman.

Secara tradisional, bangsa-bangsa di wilayah Timur, pada umumnya dan

Pariaman khususnya memiliki orientasi nilai budaya yang bersifat mistis, magis,

kosmis, dan religius. Bangsa yang berorientasi pada nilai budaya seperti ini secara

Page 91: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

206

umum ingin hidup menyatu dengan alam karena mereka menyadari bahwa dirinya

merupakan bagian dari alam. Alam sebagai sumber kehidupan memiliki kekuatan

atau potensi-potensi tertentu yang memberikan dan memengaruhi kehidupannya.

Segala sesuatunya diarahkan untuk menuju kekehidupan yang harmonis

dengan alam dan berusaha menghindari segala hal yang berakibat bertentangan

dengan alam. Dalam pandangan semacam itu alam adalah makrokosmos dan

manusia adalah mikrokosmos. Oleh karena itu, jika ingin kehidupan ini sejahtera

dan selamat, manusia sebagai mikrokosmos haruslah berusaha menyatukan,

menyelaraskan, dan mengharmoniskan kehidupannya dengan alam sebagai

makrokosmos.

Masih terkait dengan pandangan tersebut, alam semesta (makrokosmos)

dipercayai memiliki kekuatan yang menjaga, menunggui, atau menciptakannya.

Kekuatan yang dimaksudkan itu dalam pandangan mereka dapat berupa kekuatan-

kekuatan gaib, roh-roh nenek moyang, dewa-dewa, Tuhan, atau hal-hal lain yang

bersifat transendental. Oleh karena itu, selain harus berusaha menjaga hubungan

dengan alam, manusia juga harus menghargai Tuhan sebagai penguasa alam.

Kehidupan manusia tidak akan pernah sejahtera atau selamat jika mengabaikan

upaya menjalin hubungan yang harmonis dengan alam dan penguasa alam.

Pandangan ini menjadi mitos atau kepercayaan yang secara tradisional harus

diimplementasikan dalam berbagai aktivitas kehidupannya termasuk dalam

beraktivitas di bidang tari ulu ambek.

Pandangan semacam ini, misalnya, tersirat dalam ungkapan adat suku

bangsa Minangkabau yang berbunyi “alam terkembang jadi guru” (alam

Page 92: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

207

takambang jadi guru) yang bermuatan pesan bergurulah pada sifat dan hukum

alam dan pelajarilah alam itu untuk sampai pada hakikat makna yang tersirat,

yang tidak lain adalah kebenaran, dan kebenaran itu adalah Sang Pencipta Alam

Semesta itu sendiri. Alam semesta adalah ciptaan Tuhan dan diciptakan terkait

dengan hidup manusia, terutama dengan unsur-unsur kehidupan.

Kehidupan masyarakat Pariaman sebagai masyarakat agraris sehingga

menjaga hubungan silaturahim dengan lingkungan menjadi sebuah keharusan.

Lingkungan tersebut dapat berupa, baik lingkungan fisik maupun nonfisik,

termasuk Tuhan yang mengatur dirinya. Idealnya kehidupan manusia Pariaman,

diyakini sebagai ukurannya, ialah apabila manusia dapat menyatukan diri dengan

ketentuan-ketentuan Tuhan yang dalam pepatah adat Pariaman berbunyi adat nan

sabana adat (adat yang sebenar adat). Filosofi inilah yang menjadi inti pandangan

budaya dalam kehidupan masyarakat Pariaman.

Pandangan tentang kebudayaan Pariaman dalam tari ulu ambek

menyiratkan pengertian bahwa terjadi keteraturan atas semua unsur yang ada di

dalamnya. Orang dapat selamat dalam bermain tari ulu ambek ketika berada

dalam keteraturan. Jika ada unsur-unsur yang menyebabkan seorang pemain

kehilangan konsentrasi bermain dan menyebabkan terjadi buluih, maka

keseimbangan akan terganggu. Jika hal ini terjadi, maka bencana akan datang

menimpa pemain tersebut, yaitu ketakutan menghadapi orang banyak apalagi

menghadapi rekan-rekan sesama pemain tari ulu ambek. Hal ini tersirat dalam

ungkapan adat, yaitu hiduik baraka mati bariman (hidup berakal mati beriman).

Pandangan ini terlihat sejalan dengan orientasi budaya mistis-religius yang

Page 93: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

208

menjadi karakter kebudayaan masyarakat Pariaman.

Nilai budaya yang bersumber dari pandangan masyarakat Pariaman, dalam

tari ulu ambek sangatlah diperlukan, baik dalam menjaga ritme gerakan,

dampeang, maupun unsur lain yang membangun. Orang Pariaman sulit

memahami kebudayaan kalau belum berada dalam tataran nyata. Untuk itu, tari

ulu ambek sebagai wujud nyata nilai budaya memberikan informasi tentang nilai

tersebut kepada masyarakatnya. Semakin runtut dan teratur suatu sajian seni apa

pun, termasuk tari ulu ambek, maka semakin enak dinikmati atau dirasakan nilai

keindahan dan nilai budayanya.

Dalam kaitan dengan tari ulu ambek secara khusus, ada ketentuan yang

mengikat manusia yang menjalaninya. Keindahan budaya yang tercermin dalam

pepatah nan kuriak kundi, nan merah sago, nan baiak budi, nan indah baso (yang

kurik kundi, yang merah saga, yang baik budi, yang indah bahasa) menjadi

pedoman yang sangat berharga dalam pergaulan pendukung tari ulu ambek.

Bahasa menjadi penting karena bahasa bisa menciptakan pergaulan yang

berintikan hubungan silaturahmi. Sebagus apa pun tari ulu ambek, tidaklah patut

jika dipentaskan di luar laga-laga.

Dalam hal tata waktu, penempatan atau penyajian suatu karya seni,

terutama tari ulu ambek, harus memiliki daya tarik tersendiri. Dalam kebudayaan

Pariaman, menghitung hari baik dan bulan baik untuk melakukan suatu kegiatan

sangat menentukan hasil kegiatan tersebut. Waktu yang kurang pas akan berakibat

tidak baik dalam menjalankan aktivitas tari ulu ambek.

Hukum-hukum yang tidak tertulis merupakan hal yang wajib ditaati oleh

Page 94: relasi kuasa dalam dinamika tari ulu ambek pada masyarakat

209

masyarakat Pariaman. Secara tradisional masyarakat Pariaman hanya mengenal

hukum lisan. Akibatnya, masyarakat harus menanamkan pada dirinya bahwa ada

hukum yang akan ditaati sebagai acuan untuk berperilaku menuju ke arah

kebaikan. Hukum tidak tertulis inilah yang selalu digambarkan oleh tari ulu

ambek dalam setiap pertunjukannya. Gambaran bagaimana seharusnya penghulu

bersikap merupakan pelajaran yang tidak ternilai harganya. Pelajaran tersebut

merupakan hal yang perlu dipertahankan dan diberikan kepada generasi muda

agar mereka memiliki bekal dalam mengarungi bahtera kebudayaan Pariaman

yang tertuang dalam seluruh eleman tari ulu ambek.