rekonstruksi keadilan dalam pengungkapan …

8
Jurnal Ilmiah Widya Volume 3 Nomor 4 Agustus Desember 2016 9 ISSN ISSNL 23376686 23383321 REKONSTRUKSI KEADILAN DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR Firman Wijaya Universitas Krisnadwipayana Email: [email protected] Abstrak: Whistleblower dan Justice Collaborator adalah fenomena baru dalam praktik peradilan korupsi. Whistleblower dan Justice Collaborator sangat penting untuk dibahas dalam penelitian ini baik dari segi kepentingan teoritis untuk hukum pidana dan kepentingan praktis pengungkapan dan penyelesaian kasus korupsi yang sangat kompleks. Masalah yang diangkat dalam makalah ini terkait dengan ketentuan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebagaimana telah diubah dengan UU No.31 Tahun 2014 apakah telah membuat formulasi yang jelas tentang perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada Whistleblower dan Justice Collaborator dalam penyelidikan korupsi dan meninjau regulasi dan pelaksanaan Whistleblower dan Justice Collaborator yang ideal untuk diterapkan di Indonesia. Kesimpulan penelitian ini yaitu : Pertama, bahwa pengaturan ketentuan Pasal 10 Undangundang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan Undangundang No. 31 Tahun 2014 belum memberikan kejelasan rumusan payung hukum yang dapat diberikan kepada Whistleblower dan Justice Collaborator dalam upaya pengungkapan tindak pidana korupsi. Kedua, Whistleblower dan Justice Collaborator secara ideal dapat dijadikan sebagai strategi, teknik, dan istrumen baru merupakan strategi legal policy untuk membentuk kesadaran baru dalam mengatasi dan mengendalikan korupsi. Kata kunci: whistleblower , justice collaborator , korupsi Abstract: Whistleblower and Justice Collaborator is a new phenomenon in the practice of judicial corruption. Whistleblower and Justice Collaborator is very important to be discussed in this research in terms of both theoretical interest to the criminal law and the practical importance of disclosure and settlement of corruption cases are very complex. The issues raised in this paper related to the provisions ofArticle 10 of Law No. 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims, as amended by Law No.31 of 2014 if it has been made clear formulation of legal protection can be given to the Whistleblower and Justice Collaborator in the investigation of corruption and review the regulation and implementation of the Whistleblower and Justice Collaborator ideal to be applied in Indonesia. The conclusion of this reserch are: First, that the regulation of the provision ofArticle 10 of Law No. 13 of 2006 on Witness and Victim Protection as amended by Act No. 31, 2014 has not made it clear formulation of legal protection can be given to the Whistleblower and Justice Collaborator in an effort disclosure of corruption. Second, Whistleblower and Justice Collaborator ideally can be used as a strategy, technique, and a new instrument of legal policy is a strategy to create a new awareness in the tackle and control corruption. Keywords: whistleblower, justice collaborator, corruption PENDAHULUAN Latar belakang penelitian ini adalah Whistle blower dan Justice Collaborator adalah fenomena baru dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi, yang sangat penting untuk dibahas dalam penelitian ini baik dari segi kepentingan teoritis hukum pidana maupun terhadap kepentingan praktis pengungkapan dan penuntasan tindak pidana korupsi. Perkembangan dan pergerakan korupsi semakin terpola dan siste matis, lingkupnya juga telah menyentuh keseluruhan aspek kehidupan masyarakat dari lintas batas negara. Atas dasar itu korupsi secara nasional dipahami tidak saja sebagai Extraordinary crime tetapi juga sebagai kejahatan transnasional. “Sebagai kejahatan yang berkarakter Extraordinary crime tentu diperlukan extra ordinary measures atau extra ordinary enforcement” (Marwan Effendy, 2007 : 1). Untuk mengukur fenomena tingkat korupsi yakni adanya kemauan orang untuk melaporkan adanya dugaan tin dak pidana korupsi dan kemauan negara untuk merespon laporan tersebut dan memberikan perlin dungan bahkan memberikan penghargaan terhadap keberanian orang yang melakukannya. Potret buram korupsi senantiasa ditandai banyaknya kasus korupsi yang diungkap namun seringkali tidak tuntas dalam pengungkapannya. Hal tersebut tentunya memerlukan strategi teknikteknik baru dengan melakukan terobosan hukum materiil dan hukum acara dalam hukum pidana berikut perangkat aturan pidana lainnya. Karena itu Whistleblower dan Justice Colla borator diperlukan dalam penuntasan pemberantasan korupsi melalui praktek peradilan pidana. Dari sisi kedua ketentuan hukum dalam Undang Undang Lembaga Perlindungan Saksi Korban me

Upload: others

Post on 11-Nov-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: REKONSTRUKSI KEADILAN DALAM PENGUNGKAPAN …

Jurnal Ilmiah Widya Volume 3 Nomor 4 Agustus ­ Desember 20169

ISSNISSN­L

2337­66862338­3321

REKONSTRUKSI KEADILAN DALAM PENGUNGKAPAN TINDAKPIDANA KORUPSI MELALUI WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE

COLLABORATOR

Firman WijayaUniversitas Krisnadwipayana

Email: [email protected]

Abstrak: Whistleblower dan Justice Collaborator adalah fenomena baru dalam praktik peradilan korupsi. Whistleblower dan JusticeCollaborator sangat penting untuk dibahas dalam penelitian ini baik dari segi kepentingan teoritis untuk hukum pidana dankepentingan praktis pengungkapan dan penyelesaian kasus korupsi yang sangat kompleks. Masalah yang diangkat dalam makalah initerkait dengan ketentuan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebagaimana telah diubah denganUU No.31 Tahun 2014 apakah telah membuat formulasi yang jelas tentang perlindungan hukum yang dapat diberikan kepadaWhistleblower dan Justice Collaborator dalam penyelidikan korupsi dan meninjau regulasi dan pelaksanaan Whistleblower dan JusticeCollaborator yang ideal untuk diterapkan di Indonesia. Kesimpulan penelitian ini yaitu : Pertama, bahwa pengaturan ketentuan Pasal10 Undang­undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan Undang­undangNo. 31 Tahun 2014 belum memberikan kejelasan rumusan payung hukum yang dapat diberikan kepada Whistleblower dan JusticeCollaborator dalam upaya pengungkapan tindak pidana korupsi. Kedua, Whistleblower dan Justice Collaborator secara ideal dapatdijadikan sebagai strategi, teknik, dan istrumen baru merupakan strategi legal policy untuk membentuk kesadaran baru dalammengatasi dan mengendalikan korupsi.Kata kunci: whistleblower, justice collaborator, korupsi

Abstract: Whistleblower and Justice Collaborator is a new phenomenon in the practice of judicial corruption. Whistleblower andJustice Collaborator is very important to be discussed in this research in terms of both theoretical interest to the criminal law and thepractical importance of disclosure and settlement of corruption cases are very complex. The issues raised in this paper related to theprovisions of Article 10 of Law No. 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims, as amended by Law No.31 of 2014 if it hasbeen made clear formulation of legal protection can be given to the Whistleblower and Justice Collaborator in the investigation ofcorruption and review the regulation and implementation of the Whistleblower and Justice Collaborator ideal to be applied inIndonesia. The conclusion of this reserch are: First, that the regulation of the provision of Article 10 of Law No. 13 of 2006 on Witnessand Victim Protection as amended by Act No. 31, 2014 has not made it clear formulation of legal protection can be given to theWhistleblower and Justice Collaborator in an effort disclosure of corruption. Second, Whistleblower and Justice Collaborator ideallycan be used as a strategy, technique, and a new instrument of legal policy is a strategy to create a new awareness in the tackle andcontrol corruption.

Keywords: whistleblower, justice collaborator, corruption

PENDAHULUANLatar belakang penelitian ini adalah Whistle­

blower dan Justice Collaborator adalah fenomenabaru dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi,yang sangat penting untuk dibahas dalam penelitianini baik dari segi kepentingan teoritis hukum pidanamaupun terhadap kepentingan praktis pengungkapandan penuntasan tindak pidana korupsi. Perkembangandan pergerakan korupsi semakin terpola dan siste­matis, lingkupnya juga telah menyentuh keseluruhanaspek kehidupan masyarakat dari lintas batas negara.Atas dasar itu korupsi secara nasional dipahami tidaksaja sebagai Extraordinary crime tetapi juga sebagaikejahatan transnasional. “Sebagai kejahatan yangberkarakter Extraordinary crime tentu diperlukanextra ordinary measures atau extra ordinaryenforcement” (Marwan Effendy, 2007 : 1). Untuk

mengukur fenomena tingkat korupsi yakni adanyakemauan orang untuk melaporkan adanya dugaan tin­dak pidana korupsi dan kemauan negara untukmerespon laporan tersebut dan memberikan perlin­dungan bahkan memberikan penghargaan terhadapkeberanian orang yang melakukannya. Potret buramkorupsi senantiasa ditandai banyaknya kasus korupsiyang diungkap namun seringkali tidak tuntas dalampengungkapannya. Hal tersebut tentunya memerlukanstrategi teknik­teknik baru dengan melakukanterobosan hukum materiil dan hukum acara dalamhukum pidana berikut perangkat aturan pidanalainnya. Karena itu Whistleblower dan Justice Colla­borator diperlukan dalam penuntasan pemberantasankorupsi melalui praktek peradilan pidana.

Dari sisi kedua ketentuan hukum dalam Undang­Undang Lembaga Perlindungan Saksi Korban me­

Page 2: REKONSTRUKSI KEADILAN DALAM PENGUNGKAPAN …

FirmanWijaya,9 ­ 16

Rekonstruksi Keadilan Dalam PengungkapanTindak Pidana Korupsi Melalui Whistleblower

dan Justice Collabolator

Jurnal Ilmiah Widya Volume 3 Nomor 4 Agustus ­ Desember 201610

nimbulkan pertanyaan apakah Whistleblower danJustice Collaborator merupakan saksi ataukahpelaku. Pada rumusan ketentuan­ketentuan diatasmenimbulkan problem multitafsir serta ketidakjelasanrumusan terhadap kedudukan seorang saksi danseorang tersangka, serta dalam kondisi bagaimanaseorang saksi menjadi tersangka ketika pada saatyang bersamaan juga berstatus sebagai pelapor.Ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Undang­Undang Perlindungan Saksi tersebut disampingbersifat ambigu atau contra legem, ketentuan tersebutberpotensi menimbulkan benturan kewenangan antarlembaga yang berwenang melakukan penyidikan danmenentukan status seseorang sebagai saksi ataupuntersangka dengan lembaga yang berwenang membe­rikan perlindungan terhadap seorang saksi. Sederetpersoalan tersebut seringkai menimbulkan ketidak­pastian hukum bagi Whistleblower dan Justice Colla­borator. Dengan demikian Kebijakan Hukum PidanaIndonesia terkait pengaturan Whistleblower dan Jus­tice Collaborator memang belum secara jelas diatur.

Penelitian mengenai Whistleblower dan JusticeCollaborator dalam tindak pidana korupsi memilikitujuan, yaitu untuk mengkaji dan menganalisis 1)apakah pengaturan ketentuan Pasal 10 Undang­undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang PerlindunganSaksi dan Korban telah memberikan kejelasan rumu­san payung hukum yang dapat diberikan kepadaWhistleblower dan Justice Collaborator dalam upayapengungkapan tindak pidana korupsi 2) implementasiWhistleblower dan Justice Collaborator yang ideal diIndonesia. Metode penelitian yang digunakan adalahmetode hukum normatif, yaitu penelitian hukum inidilakukan dengan cara meneliti bahan­bahan pustakaatau data sekunder. Dilihat dari sudut sifatnya pene­litian ini menggunakan 2 (dua) pendekatan (ap­proach). Hal ini berarti penelitian ini termasuk kedalam penelitian yuridis­normatif, yang pada dasar­nya terkait pada dua aspek utama, yaitu pemben­tukan hukum dan penerapan hukum. Oleh sebab itu,pendekatan yang digunakan adalah pendekatananalitis (analytical approach), yaitu mengetahui mak­na yang dikandung istilah yang digunakan dalamperaturan perundang­undangan yang terkait denganwhistleblower dan justice collaborator, sekaligus me­ngetahui penerapannya dalam praktik, juga berkaitanerat dengan aspek penelahaan sistematika peraturanperundang­undangan yang terkait, dengan melakukankajian secara teknis. Pendekatan yang kedua dila­kukan adalah pendekatan peraturan perundang­

undangan (statute approach) mengingat penelitian iniakan menelaah berbagai peraturan perundang­un­dangan yang terkait dengan whistle­blower dan jus­tice collaborator. Dilihat dari segi sifatnya makapenelitian ini bersifat eksploratoris atau menjelajahsuatu masalah. Penelitian disertasi ini merupakanpenelitian normatif­analitis, dengan menekankanpada kajian terhadap teori­teori yang berkaitan de­ngan jenis­jenis saksi, kedudukan saksi dalam hukumacara pidana dan pengaturan mengenai whistleblowerdan justice collaborator dalam sistem peradilanpidana di Indonesia, yang dikaitkan pula dalampenerapannya melalui putusan pengadilan yangberkaitan (Soekanto dan Sri Mamudji, 1985 : 80).

PEMBAHASANTeori Tujuan Hukum

Dalam kerangka berpikir diatas terkait perananwhistleblower dan Justice Collaborator perlu dicer­mati pandangan Gustav Radbruch yang dimaknaioleh Sudarto (Sudarto, 1983 : 4­12) menegaskanperlunya pendekatan ide dasar hukum antara keadi­lan, kemanfaatan dan kepastian yang tentunya mela­hirkan tuntutan yang berbeda­beda. Sekalipun hukummerupakan proses eksperimental, namun memperte­mukan dan mempersamakan antara keadilan dan pe­raturan hukum adalah cara paling mudah memahamikeadilan. Mengenai pemahaman tentang Keadilanmemiliki definisi yang cukup variatif, namun bebe­rapa teori keadilan yang cukup menonjol diantaranya:a. John Rawls:

Dalam Robert Paul Wolff, Understanding Rawls:A Recontruction and Critique of A Theory of Justice,pandangan terhadap Theory of Justice Rawls mene­kankan didalam struktur masyarakat fokus utamanyaadalah mencari sebuah konsepsi keadilan dan mencarisituasi ideal bagi keadilan karena hakekat tujuansebuah masyarakat yang adil sepenuhnya merupakanbagian fundamental dari teori keadilan. Rawls me­ngemukan dua prinsip keadilan yaitu :

1. Prinsip kesamaan, dimana seluruh keuntunganmasyarakat dibagi rata diantara anggota­ang­gota masyarakat yang sama. Pemerataan yangdisetujui mencakup pemerataan dalam kebe­basan­kebebasan, dalam peluang untuk ber­kembang, juga pemerataan dalam pendapa­tan dan kekayaan.

2. Prinsip ketidaksamaan, menyatakan bahwasituasi ketidaksamaan harus diberikan aturansedemikian rupa sehingga paling mengun­tungkan golongan masyarakat paling lemah.

Page 3: REKONSTRUKSI KEADILAN DALAM PENGUNGKAPAN …

FirmanWijaya,9 ­ 16

Rekonstruksi Keadilan Dalam PengungkapanTindak Pidana Korupsi Melalui Whistleblower

dan Justice Collabolator

Jurnal Ilmiah Widya Volume 3 Nomor 4 Agustus ­ Desember 201611

b. Thomas Aquinas:Membedakan keadilan atas dua kelompok, yaitu:

1. Keadilan Umum (justitia generalis) adalahkeadilan menurut kehendak undang­undang,harus ditunaikan demi kepentingan umum.

2. Keadilan khusus adalah keadilan atasdasar kesamaan atau proporsionalitas, yangdibedakan menjadi:a) Keadilan distributif yaitu keadilan yang

secara proporsional diterapkan dalamlapangan hukum publik secara umum(contoh, negara hanya akan mengangkatseseorang menjadi hakim apabila orangitu memiliki kecakapan menjadi hakim).

b) Keadilan komutatif yaitu keadilan denganmempersamakan antara prestasi dankontraprestasi.

c) Keadilan vindikatif, yaitu keadilan dalamhal menjatuhkan hukuman atau ganti ke­rugian dalam tindak pidana, dimana sese­orang dianggap adil apabila ia dipidanabadan atau denda sesuai dengan besarnyahukuman yang telah ditentukan atas tin­dak pidana yang dilakukannya (Darji Dar­modiharjo dan Shidarta, 1999 : 156­157).

c. Aristoteles:Aristoteles dalam bukunya Nicomachean Ethics

menyatakan keadilan adalah kebajikan yang berkaitandengan hubungan antarmanusia. Seseorang dikatakanberlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebihdari bagian yang semestinya. Orang yang tidakmenghiraukan hukum juga tidak adil, karena semuahal yang didasarkan kepada hukum dapat dianggapsebagai adil. Keadilan adalah penilaian dengan mem­berikan kepada siapapun sesuai dengan apa yangmenjadi haknya, yakni dengan bertindak proporsionaldan tidak melanggar hukum (Darji Darmodiharjo danShidarta, 1999 : 156­157).Kerangka Konseptual1. Definisi, Pengertian, dan Asal Kata Korupsi

Mengawali deskripsi tentang pengertian dan asalkata korupsi, peneliti memulai dengan ungkapan yangpernah dikemukakan oleh Lord Acton dalam DaniKrisnawati dkk, sebagai berikut : “Power tends tocorrupt, and absolute power corrupts absolutely”,kekuasaan cenderung untuk korup dan kekuasaanyang absolute cenderung korup secara absolut.Mengutip ungkapan dari Lord Acton tersebutsengaja peneliti lakukan, dengan maksud dan tujuanuntuk mengingatkan bahwa di mana pun dibelahanbumi ini kekuasaan selalu sangat rentan terhadaptindak pidana korupsi.

Definisi tentang korupsi dapat dipandang dariberbagai aspek, bergantung pada disiplin ilmu yangdipergunakan” (Suyatno, 2005 :17), sebagaimanadikemukakan oleh Benveniste dalam Suyatno,korupsi didefinisikan 4 jenis :a. Discretionary corruption, ialah korupsi yang

dilakukan karena adanya kebebasan dalammenentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknyabersifat sah, bukanlah praktek­praktek yang dapatditerima oleh para anggota organisasi.

Contoh : Seorang pelayanan perizinan TenagaKerja Asing, memberikan pelayanan yang lebihcepat kepada “calo”, atau orang yang bersediamembayar lebih, ketimbang para pemohon yangbiasa­biasa saja. Alasannya karena calo adalahorang yang bisa memberikan pendapatantambahan. Dalam kasus ini, sulit dibuktikantentang praktek korupsi, walaupun ada peraturanyang dilanggar. Terlebih lagi apabila dalihmemberikan uang tambahan itu dibungkusdengan jargon “tanda ucapan terima kasih”, dandiserahkan setelah layanan diberikan.

b. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yangbermaksud mengacaukan bahasa atau maksud­maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.Letak illegal corruption berada pada kecanggihanmemainkan kata­kata, bukan substansinya.

c. Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidanakorupsi yang dimaksud untuk memperolehkeuntungan pribadi, melalui penyalahgunaanwewenang dan kekuasaan.

Contoh : Dalam sebuah persaingan tender,seorang panitia lelang memiliki kewenanganuntuk meluluskan peserta tender. Untuk itu,secara terselubung atau terang­terangan iamengatakan bahwa untuk memenangkan tender,peserta harus bersedia memberikan uang “sogok”atau “semir” dalam jumlah tertentu.

Jika permintaan ini dipenuhi oleh kontraktoryang mengikuti tender, maka perbuatan panitialelang ini sudah termasuk ke dalam katagorimercenary corruption. Bentuk “sogok” atau“semir” itu tidak mutlak berupa uang, namun bisajuga dalam bentuk lain.

d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegalmaupun discretionary yang dimaksudkan untukmengejar tujuan kelompok.

2. Pengertian SaksiSaksi adalah orang yang dapat memberikan

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutandan peradilan tentang suatu perkara pidana yang iadengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri(Pasal 1 butir 26 Kitab Undang­Undang HukumAcara Pidana).

Page 4: REKONSTRUKSI KEADILAN DALAM PENGUNGKAPAN …

FirmanWijaya,9 ­ 16

Rekonstruksi Keadilan Dalam PengungkapanTindak Pidana Korupsi Melalui Whistleblower

dan Justice Collabolator

Jurnal Ilmiah Widya Volume 3 Nomor 4 Agustus ­ Desember 201612

1) Keterangan SaksiAdalah salah satu alat bukti dalam perkara

pidana yang berupa keterangan saksi mengenaisuatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ialihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menye­but alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir27 Kitab Undang­Undang Hukum Acara Pidana).

Dari dua pengertian tersebut di atas makauntuk menjadi saksi harus memenuhi kriteria:1) ia dengar sendiri ;2) ia lihat sendiri ;3) ia alami sendiri ;4) serta dasar atau alasan dari pengetahuannya.

Dengan demikian menjadi seorang saksi ha­rus mengetahui, mendengar atau mengalami sen­diri tentang apa yang diterangkan. Rekaan ataupendapat tentang suatu peristiwa tidak merupakanketerangan saksi.

Seseorang bisa menjadi saksi, jika :a. Seseorang telah menjadi korban kejahatan

(saksi korban)b. Seseorang yang melihat dan mendengar

dengan mata dan telinga sendiri secaralangsung ketika kejahatan terjadi;

c. Seseorang yang secara tidak langsung menge­tahui adanya kejahatan karena ketitipanbarang­barang yang berasal dari kejahatan,atau membeli barang­barang yang berasaldari kejahatan.Saksi yang memberatkan (saksi a charge),

adalah saksi yang bersifat memberatkan diritersangka/terdakwa. Saksi tersebut merupakansaksi pilihan polisi (penyidik), maka pada umum­nya disebut dengan saksi polisi.

Dari sebanyak "saksi­saksi polisi" (R.Soesilo, 1974:100­101) itu dalam tahap penye­lesaian berita acara pemeriksaan pendahuluan(sekarang berita acara penyidikan) ada sebagianyang dimasukkan sebagai saksi di dalam beritaacara, dan yang sebagian lagi, karena dianggaptidak perlu, tidak dimasukkan. Saksi yang dima­sukkan ke dalam berita acara disebut "saksiproses verbal" atau "saksi berita acara", sedang­kan yang tidak dimasukkan ke dalam berita acaradinamakan "saksi informatif'”.

Diantara "saksi­saksi berita acara" tersebutapabila dipanggil ke muka persidangan untukdidengar keterangannya sebagai saksi dengandisumpah terlebih dahulu, maka disebut "saksiyuridis" dan menurut undang­undang merupakanalat bukti yang sah. Saksi yang meringankan(saksi a de charge), adalah saksi­saksi yang bersi­fat meringankan diri tersangka atau terdakwa.“Saksi tersebut merupakan pilihan dari tersangkaatau terdakwa. (lihat Pasal 65 dan Pasal 116 ayat

(3) dan (4) Kitab Undang­Undang Hukum AcaraPidana)” (Hari Sasangka Dkk, 1996 : 63­65).

3. Pengertian TersangkaPengertian tersangka adalah seorang yang

karena perbuatannya atau keadaan­nya, berdasar­kan bukti permulaan patut diduga sebagai pelakutindak pidana (Pasal 1 butir 14 Kitab Undang­Undang Hukum Acara Pidana). Sedangkanpengertian seorang terdakwa adalah seorang ter­sangka yang dituntut, diperiksa dan diadili disidang pengadilan (Pasal 1 butir 15 KitabUndang­Undang Hukum Acara Pidana).

Dengan demikian ada 2 (dua) pemeriksaanbagi seseorang yang melakukan perbuatanpidana, yaitu pemeriksaan di depan penyidik danpemeriksaan di depan sidang pengadilan. Hasilpemeriksaan di muka penyidik merupakan kete­rangan tersangka, sedangkan hasil pemeriksaan didepan persidangan pengadilan merupakan kete­rangan terdakwa.

“Keterangan tersangka bukan merupakan alatbukti, hal ini berbeda dengan keterangan terdak­wa yang merupakan alat bukti (Pasal 184 huruf edan Pasal 189 Kitab Undang­Undang HukumAcara Pidana)”(M. Yahya Harahap, 1985 :89).

4. AsumsiDari uraian­uraian di atas maka yang diangkat

sebagai asumsi dalam penelitian ini adalah seba­gai berikut:

Apabila dikaitkan dengan rumusan masalah,tujuan penelitian, kerangka teoretis dan kerangkakonseptual yang disampaikan sebelumnya dalampenelitian ini maka asumsi yang dibangun adalah:1. Kehadiran Undang­undang No. 13 Tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korbansebagaimana telah diubah dengan Undang­undang No. 31 Tahun 2014 sebenarnya diha­rapkan merupakan politik hukum sebagaikomitmen nyata bahwa dalam upaya pembe­rantasan korupsi sangat diperlukan suatusarana hukum yang mampu mendorong kebe­ranian seseorang untuk mau mengambilresiko memberikan kesaksian dan kemauanbekerjasama dengan aparat penegak hukumuntuk mengungkap kejahatan korupsi. Olehkarenanya Whistleblower dan Justice Colla­borator adalah merupakan sarana hukumpidana dan berfungsi sebagai alat bantu dalamupaya mempercepat pengungkapan tindakpidana korupsi yang memerlukan pengaturanyang jelas, bukan sebaliknya.

2. Sebenarnya di dalam ketentuan Pasal 10Undang­undang No. 13 Tahun 2006 tentangPerlindungan Saksi dan Korban sebagaimanatelah diubah dengan Undang­undang No. 31

Page 5: REKONSTRUKSI KEADILAN DALAM PENGUNGKAPAN …

FirmanWijaya,9 ­ 16

Rekonstruksi Keadilan Dalam PengungkapanTindak Pidana Korupsi Melalui Whistleblower

dan Justice Collabolator

Jurnal Ilmiah Widya Volume 3 Nomor 4 Agustus ­ Desember 201613

Tahun 2014 terkait pengaturan Whistleblowerdan Justice Collaborator diharapkan betul­betul memiliki pengaturan yang mampumemberikan spirit kepada siapapun yang maumengambil resiko untuk berani mengungkapkejahatan korupsi dengan memberikanreward/penghargaan berupa perlindungan danpengurangan hukuman, namun kenyataannyaketentuan Pasal 10 Undang­undang No. 13tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi danKorban sebagaimana telah diubah denganUndang­undang No. 31 Tahun 2014 justrumenimbulkan persoalan dan benturan kewe­nangan antar lembaga penegak hukum didalam pelaksanaannya.

3. Oleh karena itu pengaturan Whistleblower danJustice Collaborator dibutuhkan definisi yangjelas dan terukur dan pelaksanaanya tidakmenimbulkan benturan dalam sistem pene­gakan hukum utamanya penegakkan hukumpidana dan hukum acara pidana dalam upayapemberantasan tindak pidana korupsi.

Hasil Penelitiana. Kasus Muhammad Nazaruddin

Pada 20 April 2012, M Nazaruddin divonis 4tahun 10 bulan dan denda Rp 200 juta, untuk kasussuap Pembangunan Wisma Atlet Hambalang. Vonisini lebih rendah dari tuntutan Komisi PemberantasanKorupsi, yaitu tujuh tahun penjara ditambah dendaRp 300 juta subsider enam bulan penjara. Menurutjaksa, Nazaruddin terbukti melanggar Pasal 12 hurufb Undang Undang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi sesuai dengan dakwaan primer. Pasal inimenjerat pegawai negeri atau penyelenggara negarayang menerima hadiah karena melakukan atau tidakmelakukan sesuatu dalam jabatannya yang berten­tangan dengan kewajibannya. Nazaruddin diancamhukuman maksimal 20 tahun penjara. Namun,menurut Majelis Hakim, M Nazaruddin terbuktimelanggar Pasal Pasal 11 UU Pemberantasan Korupsiyang pidana maksimal hanya 5 tahun penjara.(http://www.republika.co.id).

Nazaruddin dinyatakan terbukti menerimaimbalan berupa 5 lembar cek senilai Rp 4,6 miliardari pemenang proyek wisma atlet, PT Duta GrahaIndah (DGI). Padahal, cek tersebut diketahuiNazaruddin berkaitan dengan jabatannya selakuanggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Setelah divonis dalam kasus Hambalang, Naza­ruddin membuktikan ucapannya yang akan mem­bongkar banyak kasus korupsi yang melibatkan ang­gota dewan dan politikus lain. "Yang saya beritahu­kan ada 11 proyek. Saya berjanji kepada rakyat

Indonesia, saya buka semua yang saya tahu, sayatidak mau menambahi atau mengurangi kata Naza­ruddin seusai diperiksa Komisi Pemberantasan Ko­rupsi selama sekitar sembilan jam di Jakarta pada hariRabu tanggal 31 Juli 2013 (http://www.solopos.com).

Sebagaimana banyak dilansir media, Nazaruddindalam pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsitelah mengungkapkan 12 kasus korupsi termasukkasus Hambalang yang menjerat Nazaruddin sendiri:a. Proyek e­KTP senilai Rp 5,8 triliun. Disebut bah­

wa Ketua Fraksi Partai Golkar di DewanPerwakilan Rakyat Setya Novanto dan KetuaKomisi II dan anggotanya turut terlibat.

b. Proyek pembelian pesawat Merpati MA 60fiktif. Disebut bahwa proyek ini nilainya hampirRp 2 triliun. Fee dari pembelian proyek itumengalir ke Partai Demokrat tahun 2010. Selainke sana, fee proyek itu juga dibagikan ke semuafraksi di Dewan Perwakilan Rakyat.

c. Proyek pembagunan Gedung Mahkamah Konsti­tusi senilai Rp 300 miliar. Proyek ini ditunjuklangsung ke PT Pembangunan Perumahan. Dise­but bahwa ada fee yang diserahkan ke komisi IIIDewan Perwakilan Rakyat senilai 7 persen.

d. Proyek Diklat Mahkamah Konstitusi Rp.200miliar. Nazaruddin melakukan penunjukan lang­sung juga kepada PT PP.

e. Proyek baju hansip. Disebut bahwa PolitikusGolkar Setya Novanto terlibat.

f. Proyek gedung pajak. Disebut bahwa proyekini telah direkayasa oleh Banggar Dewan Perwa­kilan Rakyat. Oily Dondokambey yang meru­pakan Wakil Ketua Banggar Dewan PerwakilanRakyat terlibat.

g. Proyek yang dimenangkan oleh PT Adhi Karya inisenilai Rp 2,7 triliun. Dirjen Pajak dari 2007hingga 2009 juga dituding turut terlibat.

h. Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Kali­mantan Tirnur, Proyek ini senilai Rp.2,3 triliun.

i. Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau seni­lai Rp 1,3 triliun.

j. Proyek Refinery unit RU 4 Cilacap. Disebut bah­wa proyek ini senilai Rp 930 juta dolar.

k. Proyek Simulator Surat Ijin Mengemudil. Proyek Hambalang berkaitan Wisma Atletm. Proyek korupsi Pendidikan Nasional di Kemen­

dikbudMeskipun Nazaruddin mengklaim telah membe­

berkan banyak kasus, menurut Komisi Pemberan­tasan Korupsi, sebagaimana dikemukan oleh Bam­bang Widjojanto tidak ada dokumen yang cukuplengkap dan rinci dari Nazaruddin. Kenyataan terse­but menyebabkan Komisi Pemberantasan Korupsitidak bisa melakukan validasi. Namun begitu, Naza­

Page 6: REKONSTRUKSI KEADILAN DALAM PENGUNGKAPAN …

FirmanWijaya,9 ­ 16

Rekonstruksi Keadilan Dalam PengungkapanTindak Pidana Korupsi Melalui Whistleblower

dan Justice Collabolator

Jurnal Ilmiah Widya Volume 3 Nomor 4 Agustus ­ Desember 201614

ruddin mengklaim telah menyertakan bukti­buktiyang diperlukan (http://www.investor.co.id).b. Perlindungan dan Penghargaan

Usulan agar Nazaruddin ditetapkan sebagaiJustice Collaborator menjadi perdebatan. Banyakkalangan yang kemudian menilai bahwa Nazaruddintidak layak untuk menjadi seorang Justice Colla­borator karena tidak kooperatif. Amir Syarifuddinpernah menyatakan bahwa Muhammad Nazaruddinmemiliki peluang menjadi Justice Collaborator, atausetidak­tidaknya menjadi Whistleblower, "Sepanjangapa yang diucapkannya dilandasi bukti­bukti yangakurat".(http://www.centroonr.com).

Kuasa Hukum M Nazaruddin, Elsa Syarifmenilai bahwa Kliennya telah berjasa mengungkapbanyak kejahatan korupsi besar, sehingga layakmendapat apresiasi (http://www.centroonr.com).

Meski ada beberapa pihak yang memandangNazaruddin layak untuk menjadi Justice Colla­borator, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korbanmemiliki pandangan berbeda. Menurut LembagaPerlindungan Saksi dan Korban melalui juru bicara­nya, Maharani Siti Shopia pada Senin 17 Desember2012, permohonan Nazaruddin untuk menjadi JusticeCollaborator ditolak Saat disinggung mengapa suamiNeneng Sri Wahyuni tersebut tak masuk criteriaJustice Collaborator, padahal yang bersangkutankerap membeberkan dugaan keterlibatan banyakpihak dalam sejumlah kasus tindak pidana korupsi,Rani mengungkapkan bahwa ternyata pria yang akrabdisapa Nazar ini tak kooperatif kepada penegakhukum seperti Penyidik Komisi PemberantasanKorupsi yang menangani langsung beberapa kasusdugaan korupsi yang terafilasi dengan Nazaruddinsendiri. Sebelumnya permohonan Nazaruddin jugaditolak karena berkasnya tidak lengkap sampai 30hari yang dipersyaratkan (http://www.centroonr.com).

Keterangan tersebut selaras dengan persyaratanSemendawai bahwa penetapan seseorang menjadiJustice Collaborator tidak sepihak ditentukan olehLembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Dalamperaturan bersama penetapan seseorang menjadiJustice Collaborator harus ditentukan oleh beberapapihak seperti Menteri Hukum dan Hak AsasiManusia, Jaksa Agung, Kapolri, Komisi Pemberan­tasan Korupsi dan Ketua Lembaga PerlindunganSaksi dan Korban (http://www.suaramerdeka.com)

Salah satu point catatan yang harus menjadikanbanyak pihak menyatakan Nazaruddin tidak layakmenjadi Justice Collaborator adalah persyaratanJustice Collaborator yang harus mau kooperatif dan

bekerjasama dengan penegak hukum. SedangkanNazaruddin sebagaimana diketahui harus dijemputpaksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi diKolombia. (http://www.bisnis­jateng.com).

Menurut Deny Indrayana, tidak menutup ke­mungkinan seorang terpidana untuk menjadi JusticeCollaborator. Andaikata dari pihak penyidik maupunpengadilan, peluang tersebut relatif tertutup, masihada kesempatan bagi terpidana untuk bekerja samamengungkap suatu kasus tertentu. "Bisa saja kalaudari sisi Kemenkumham karena masih bisa diberikanremisi. Jadi, terpidana yang mau bekerja sama masihada kesempatan menerima keringanan hukuman,"papar Denny dalam diskusi yang bertema SistemHukum dan Perlindungan Justice Collaborator(http://www.waspada.co.id).

Berdasarkan keterangan di atas, Nazaruddintidak mendapatkan pelindungan maupun penghargaanapapun, karena permohonannya untuk dijadikanseorang Justice Collaborator ditolak oleh LembagaPerlindungan Saksi dan Korban.

Ada yang menarik, dari kasus M Nazaruddin ini.Pertama, Banyak kalangan terutama para penegakhukum dan pegiat anti korupsi menilai bahwaNazaruddin tidak bisa dinilai kooperatif karenamenghilangkan diri dan harus dijemput paksa sampaiKolombia. Namun yang perlu dicatatat adalah pascaditangkapnya Nazaruddin di luar negeri, dia telahmengungkapkan banyak fakta terkait 11 kejahatankorupsi yang ditindaklanjuti. Yang menjadi pertanya­an adalah, apakah seorang Justice Collaborator harusdiukur dari kesediaannya untuk menyerahkan diri?Padahal dalam persyaratan seorang Justice Colla­borator tidak disebutkan apakah seorang itu ditahankarena tertangkap atau karena menyerahkan diri.Pertanyaan berikutnya adalah kapan pengajuan seseo­rang untuk bisa diakui sebagai Justice Collaborator.

Catatan kedua muncul dari penyataan menolakyang dikemukakan oleh seorang pengamat politik,Alfan Alfian pada tanggal 5 Agustus 2013. Alfanmenyatakan bahwa setelah lama diam, mengapaNazaruddin baru mengungkapkan kasus tersebut kepublik sekarang? Mengapa tak sejak awal menye­rahkan berbagai bukti ke Komisi PemberatasanKorupsi? "Kalau Nazar baru ngomong sekarang,memang cukup mengherankan, dan memunculkanpertanyaan, ada apa ini? Apakah ada tekanan atauapa? Apakah betul Nazaruddin punya ketulusanberantas korupsi? Permainan apa lagi yang tengah iabikin?" (http://nasional.sindonews.com), ujar Penga­mat Politik dari Universitas Nasional (Unas).

Page 7: REKONSTRUKSI KEADILAN DALAM PENGUNGKAPAN …

FirmanWijaya,9 ­ 16

Rekonstruksi Keadilan Dalam PengungkapanTindak Pidana Korupsi Melalui Whistleblower

dan Justice Collabolator

Jurnal Ilmiah Widya Volume 3 Nomor 4 Agustus ­ Desember 201615

Penyataan atau pertanyaan retoris Alfan ini meman­cing pertanyaan baru dalam konteks perlindunganhukum bagi Justice Collaborator maupun Whistie­blower, apakah motif seseorang mengemukakankebenaran di persidangan bisa mempengharuhi seseo­rang untuk mendapatkan perlindungan hukum?

Pada kenyataannya, Justice Collaborator adalahruang yang amat rentan terjadi negosiasi. Hal inidiungkapkan Hendardi mensikapi antusiasmebeberapa elit Demokrat yang mendorong Angie untukmenjadi Justice Collaborator. Hal tersebut harusdicermati, karena hanya akan menciptakan ruang dankomunikasi yang amat dekat antara Komisi Pembe­rantasan Korupsi­Angie­dan Partai Demokrat mela­kukan negosiasi atas substansi perkara hukum yangterjadi. Melihat sosok Angie dan perlakuan berbedayang diterima Angie dibandingkan dengan M.Nazaruddin, dorongan agar Angie menjadi JusticeCollaborator bukan merupakan pilihan rasional danprofesional karena keyakinan bahwa elit partainyatidak terlibat. Akan tetapi, justru dengan menjadiJustice Collaborator itulah ruang negosiasi semakinterbuka. Strategi penyidikan yang mengandalkanperan Justice Collaborator hanya membuktikanKomisi Pemberantasan Korupsi malas bekerja danmendekati potensi negosiasi yang mengingkariprinsip keadilan (http://www.setara­institute.org).

PENUTUPKesimpulan1. Pengaturan ketentuan Pasal 10 Undang­undang

Nomor 13 Tahun 2006 Tentang PerlindunganSaksi dan Korban sebagaimana telah diubahdengan Undang­undang No. 31 Tahun 2014belum memberikan kejelasan rumusan payunghukum yang dapat diberikan kepada Whistle­blower dan Justice Collaborator dalam upayapengungkapan tindak pidana korupsi. Hal initerjadi karena terlalu dominannya logika pemida­naan dari pada logika perlindungan. Dalamlingkup yang lebih luas, penulis melihat belumadanya detail arah politik hukum pidana yangjelas antara legal policy dan penal policy. Pelakumenjadi enggan untuk berpartisipasi sebagaiWhistleblower dan Justice Collaborator karenapada akhirnya partisipasi yang diberikan samasekali tidak memberikan manfaat apa­apa bahkandari hasil wawancara yang ada tampak bahwabaik secara personal maupun institusional pelakumendapatkan hal­hal yang negatif, dari berupacibiran, cemoohan, sampai dengan hilangnyamasa depan/karir yang dirintis selama ini. Dapatdikatakan bahwa hal ini merupakan potret buram

Whistleblower dan Justice Collaborator diIndonesia. Lebih lanjut dapat dilihat bahwaregulasi pada level undang­undang tidak diran­cang untuk mempunyai kemampuan sistemikdalam menopang Whistleblower dan JusticeCollaborator. Dalam praktik, Whistleblower danJustice Collaborator berada dalam posisi yangtidak diuntungkan,menjadi sasaran tembak danbulan­bulanan aparat penegak hukum. BahkanWhistleblower dan Justice Collaborator menang­gung resiko, secara internal: dihabisi kariernya,dimusuhi koleganya, terancam diri, keluarga, danharta bendanya; secara eksternal: diproses hukum,dan juga resiko sebagai tersangka dan terdakwayang pasti ditahan. Ketentuan Pasal 10 Undang­undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindu­ngan Saksi dan Korban sebagaimana yang telahdiubah dengan Undang­undang No. 31 Tahun2014 bersifat multi interpretatif, dilematis, danproblematis. Dengan demikian kondisi ini belummenawarkan konsep perlindungan yang memadai,terukur, jelas, dan efektif, termasuk dari kemung­kinan retaliasi (pembalasan, retalia­tion). Kondisidilematis diperparah dengan koordinasi yanglemah diantara penegak hukum, belum jelasnyabatasan antara konsep Whistle­blower dan JusticeCollaborator.

2. Pada prinsipnya dalam fenomena korupsi ideaalnyaharus seimbang antara kemauan melapor dugaankorupsi dengan kemauan Negara meresponlaporan dan memberikan perlindungan. Whistle­blower dan Justice Collaborator sebagai strategi,teknik, dan istrumen baru merupakan strategilegal policy untuk membentuk kesadaran barudalam mengatasi dan mengendalikan korupsi.Apabila keseimbangan tersebut tidak ada makamuncul kondisi politik hukum yang tidak kon­dusif yaitu adanya efek keengganan partisipasi/keterlibatan sebagai Whistleblower dan JusticeCollaborator. Berdasarkan hasil penelitian padastudi kasus Muhammad Nazarrudin diketahuibahwa lemahnya proteksi Whistleblower danJustice Collaborator akan melemahkan partisi­pasi publik dalam penegakan hukum. Lebihlanjut, hal ini menimbulkan kondisi psiko­sosiologis dimana disatu sisi dituntut partisipatifnamun disisi lain muncul kegetiran/apatismeketika berniat mengungkap kejahatan namunmalah mendapat hukuman.

Saran1. Diperlukan harmonisasi peraturan perundang­

undangan terkait Whistleblower dan JusticeCollaborator sehingga tercipta keselarasan dalampengaturan dan penegakan hukum. Perlu sosia­lisasi yang komprehensif baik kepada penegakhukum maupun kepada masyarakat. Kese­

Page 8: REKONSTRUKSI KEADILAN DALAM PENGUNGKAPAN …

FirmanWijaya,9 ­ 16

Rekonstruksi Keadilan Dalam PengungkapanTindak Pidana Korupsi Melalui Whistleblower

dan Justice Collabolator

Jurnal Ilmiah Widya Volume 3 Nomor 4 Agustus ­ Desember 201616

pahaman ini menjadi mutlak diperlukan dalammendukung keselarasan implementasi konsepWhistleblower dan Justice Collaborator. Perludiciptakan suatu sistem dan mekanisme dimanamasyarakat akhirnya menemukan alasan yangrasional untuk dapat berpartisipasi aktif menjadiWhistleblower dan Justice Collaborator karenamemang memperoleh benefit yang setimpaldengan resiko yang ada. Upaya meng­encouragemasyarakat ini dalam rangka menunjukkankepada masyarakat bahwa keterlibatan danpartisipasi dalam Whistleblower dan JusticeCollaborator merupakan partisipasi yang positifdalam membuka tabir kejahatan.

2. Karena Whistleblower dan Justice Collaboratormerupakan terminologi baru dalam sistem hukumIndonesia, secara redaksional perundang­undangan istilah asli Whistleblower dan JusticeCollaborator dimasukkan dalam penyusunanproduk peraturan perundang­undangan sehinggadi level masyarakat tidak terjadi kebingunganperistilahan.

DAFTAR PUSTAKADarji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok­pokok Filsafat Hukum,

Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, GramediaPustaka Utama, Jakarta:, 1999.

Marwan Effendy, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, LokakaryaAnti Korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007.

Hari Sasangka Dkk, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan, danPraperadilan, Dharma Surya Berlian, Surabaya, 1996.

http://metro.news.viva.co.id. Diakses tanggal 5 November 2012.http://www.bisnis­jateng.com. Diakses pada tanggal 11

Nopember 2013, Pukul 05.10 WIB.http://www.investor.co.id. Diakses pada tanggal II

Nopember2013, pukul 05.00 WIB.http://www.republika.co.id. Diakses pada tanggal 11 Nopember

2013, pukul 05.30 WIB,http://www.solopos.com. Diakses pada tanggal 11 Nopember

2013, pukul 05,00 WIB.http://www.suaramerdeka.com. Diakses pada tanggal 11

Nopember 2013, Pukul 05.00 WIB.http://www.waspada.co.id. Diakses pada tanggal 11 Nopember

2013, Pukul 04.30 WIB.M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

Kitab Undang­Undang Hukum Acara Pidana, Jilid I,Pustaka Kartini, Cetakan I Jakarta, 1985 danke II 1988.

Suyatno, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pustaka SinarHarapan,Jakarta, 2005.

R Soesilo, Kitab Undang­Undang Hukum Pidana (K.U.H.P.)Serta Komentar­Komentarnja Lengkap Pasal Demi PasalUntuk Para Pendjabat Kepolisian, Kedjaksaan, Pamong­Pradja Dsb. Bogor :Politeia.1956