yusdeka duta, pengkhianat & rekonstruksi
DESCRIPTION
Tulisan berikut ini merupakan buah karya dari Ustadz Yusdeka, penulis produktif dari milis “Dzikrullah” (https://groups.yahoo.com/group/dzikrullah) dan blog “Sikap Murid Dalam Berketuhanan Sedang Belajar Mendekat Kepada Dzat Yang Maha Dekat” (yusdeka.wordpress.com). Untuk keperluan pribadi, kami mengkompilasi tulisan-tulisan tersebut, baik berdasarkan abjad huruf pertama dari judul tulisan, maupun berdasarkan topik tertentu. Berikut ini adalah kumpulan tulisan dengan topik berjudul “Tabir, Pengkhianat, dan Rekonstruksi”. Dalam topik ini terdapat tulisan berjudul : - Iqraa ..., Membaca Tabir Menguak Takdir - Pengkhianat Tuhan - Rekonstruksi Pemahaman As Sunnah - Rekonstruksi BerfikirTRANSCRIPT
Tabir, Pengkhianat, dan Rekonstruksi
Oleh Yusdeka
Dikompilasi oleh FIW
2
Kata Pengantar
Tulisan berikut ini merupakan buah karya dari Ustadz Yusdeka, penulis produktif dari milis
“Dzikrullah” (https://groups.yahoo.com/group/dzikrullah) dan blog “Sikap Murid Dalam
Berketuhanan Sedang Belajar Mendekat Kepada Dzat Yang Maha Dekat”
(yusdeka.wordpress.com). Untuk keperluan pribadi, kami mengkompilasi tulisan-tulisan
tersebut, baik berdasarkan abjad huruf pertama dari judul tulisan, maupun berdasarkan
topik tertentu. Berikut ini adalah kumpulan tulisan dengan topik berjudul “Tabir,
Pengkhianat, dan Rekonstruksi”.
Dalam pengkompilasian ini, kami berusaha untuk tidak menambah dengan kata-kata kami
sendiri. Yang kami lakukan adalah penyuntingan tampilan. Tujuan pengkompilasian ini tak
lain adalah agar memudahkan kami untuk membaca dan memahami tulisan-tulisan tersebut.
Hal ini disebabkan karena kebodohan kami untuk dapat memahami tulisan yang Ustadz
Yusdeka tulis. Untuk itu kami merasa perlu untuk menstrukturkan dan
mensistematisasikannya. Selain itu, kami menambahkan dengan uraian kesimpulan atas apa
yang menjadi materi pembahasan Ustadz Yusdeka.
Tulisan dari Ustadz Yusdeka demikian canggihnya, tidak heran jika disadari apa yang Ustadz
Yusdeka tulis pada hakekatnya adalah tulisan yang langsung digerakkan oleh Allah SWT
sendiri, sehingga kami terkadang menggap-menggap dalam membaca. Bahkan setelah
selesai membaca, kami terkadang bertanya-tanya, apa yang telah kami baca tadi, mengingat
kebodohan kami dalam hal yang ditulis tersebut.
Setelah pengkompilasian ini tercapai kami berpendapat alangkah sayangnya jika tulisan dari
Ustadz Yusdeka yang sudah dikompilasi tersebut hanya untuk kami konsumsi sendiri. Untuk
itu, dalam format PDF, kami menaruhnya di internet. Semoga dengan demikian semakin
banyak pihak yang dapat turut menikmati, dan harapan kami, dapat menemani Ustadz
Yusdeka untuk camping di pinggir surga.
(FIW)
3
Daftar Isi
Artikel 1 : Iqraa ..., Membaca Tabir Menguak Takdir .............................................................. 5
Artikel 2 : Pengkhianat Tuhan .............................................................................................. 16
A. Pendahuluan .................................................................................................................. 16
B. Tugas Kita Apa ? ............................................................................................................. 16
C. Allah Pamer .................................................................................................................... 18
D. Sang Pengkhianat Tuhan ................................................................................................ 20
E. Ketidakpatuhan Kolektif ................................................................................................. 23
F. Kemungkinan Penyebabnya ........................................................................................... 24
G. Sejarah Hitam ................................................................................................................. 30
H. Kebingungan Spiritual .................................................................................................... 32
I. Makna Spiritualitas ........................................................................................................ 37
J. Kerancuan Sistematika Berfikir Yang Sangat Luar Biasa Juga Telah Terjadi
Dalam Memahami Sunnah (Al Qur’an dan Al Hadits). ................................................... 40
1. Kerancuan 1 Dalam memahami Al Qur’an .............................................................. 40
2. Kerancuan 2 Dalam memahami Al Qur’an .............................................................. 42
K. Ya, Pengembalian ! ........................................................................................................ 44
L. Menjadikan Agama Sebagai Kuda Tunggangan ............................................................. 50
Artikel 3 : Rekonstruksi Pemahaman As Sunnah ................................................................... 53
A. Pendahuluan .................................................................................................................. 53
B. Ketaklukan Muhammad SAW ........................................................................................ 54
C. Al Hadits Sudah Habis, Sedangkan As Sunnah adalah Abadi ......................................... 56
D. Mengupas Kulit Bawang Sejarah .................................................................................... 58
E. Titik Awal Pertikaian Hitam ............................................................................................ 59
F. Munculnya Golongan-Golongan .................................................................................... 63
G. Masa Pemangkasan As Sunnah ...................................................................................... 69
H. Kadaluarsanya TEKSTUAL Al Hadits ............................................................................... 71
I. Al Qur’an, Al Hadits dan Kitab Ulangan ......................................................................... 72
J. Lalu Bagaimana ? ........................................................................................................... 73
K. Sikap Berketuhanan ....................................................................................................... 73
Artikel 4 : Rekonstruksi Berfikir ............................................................................................ 77
A. Al Qur'an adalah Teropong Kauniah .............................................................................. 80
B. Teropong ........................................................................................................................ 82
C. Objek Teropongan .......................................................................................................... 84
D. Kesadaran Berketuhanan ............................................................................................... 85
E. Proses Mengamati ......................................................................................................... 86
F. Naluri Mengamati .......................................................................................................... 87
G. Alam Pengamatan .......................................................................................................... 88
H. Hasil Pengamatan........................................................................................................... 90
1. Kelompok Pertama : Orang Yang Berhenti di BENDA ............................................. 91
2. Kelompok Kedua : orang yang di samping : ............................................................ 92
3. Kelompok Ketiga : Orang Yang Tidak Melakukan Pengamatan Apa-
Apapun Di Dalam Hidupnya .................................................................................... 93
4
I. Ulul Albab, Karakter Si Ahli Ekstasis ............................................................................... 97
5
Artikel 1 :
Iqraa ..., Membaca Tabir Menguak Takdir1
Pelajaran membaca tabir tertua yang pernah dilakukan oleh manusia yang tercatat di dalam
kitab suci Al Qur'an adalah tatkala Qabil kebingungan untuk menguburkan saudaranya Habil
yang telah dibunuhnya karena rasa iri. Qabil iri Qurbannya tidak diterima oleh Allah,
sementara Qurban Habil diterima oleh Allah. Setelah Qabil membunuh saudaranya, dia
bingung melihat mayat saudaranya tergeletak dihadapannya. Mau diapakan mayat itu.
Namun Allah mengirim dua ekor burung gagak yang kemudian berkelahi satu sama lain.
Salah seekor dari burung itupun mati. Burung yang hidup lalu menggali sebuah lobang dan
menguburkan burung lain yang telah mati itu. Qabilpun mengambil pelajaran dari peristiwa
itu dan mengubur saudaranya pula setelah itu. (Lihat Al Maidah, 5 : 30-31).
Marilah dalam kesempatan ini saya ingin mengajak pembaca untuk mengembara sejenak
dalam proses membaca tabir yang sedemikian banyaknya di alam semesta ini. Apa
perbedaan dan persamaan yang kentara antara orang berketuhan yang hakiki dengan orang
yang tidak berketuhanan dalam membaca tabir-tabir itu. Siap-siaplah.
Di suatu pagi yang berkabut tipis, aku duduk di beranda belakang rumahku. Saat itu belum
ada gumpalan-gumpalan pikiran yang mengalir di dalam otakku. Mataku, telingaku, dan
hatiku juga masih bisa merasakan bekas-bekas kenikmatan tentang bagaimana seorang
hamba bertemu dengan Tuhan-nya semalaman dalam sebuah proses tidur yang nyaman.
Suasana itu ditambah lagi dengan masih berbekasnya rasa perjumpaanku dengan Tuhanku
dalam keadaan sadar saat Shalat Subuh tadi yang sungguh membahagiakan.
Sekilas kulihat tetes-tetes air yang diam bergerombol disehelai daun pisang, yang semalam
jatuh disikut angin kencang didepan rumahku. Tetes-tetes air itu diseruput dengan riang
gembira oleh sepasang burung kecil berbulu hijau diselingi warna jingga, merah dan putih
disana-sini. Indah sekali sapuan perpaduan warna ditubuh burung itu. Bulunya seperti diukir
dengan sangat teliti sampai ke helai-helai terkecilnya. Sang burung bernyanyi, berteriak,
berkicau bergantian seperti terkesima melihat datangnya usapan lembut cahaya matahari ke
bibir cakrawala.
Biasa saja sebenarnya apa yang kulihat dipagi hari itu. Seperti juga biasanya tarikan nafasku
selama ini. Tapi tidak dengan pagi itu.
Sepasang burung itu sepertinya ingin bertegur sapa denganku:
"Wahai Deka ..., kami tadi hanya seperti melayang turun dituntun angin mengarah ke tetes
air di daun pisang yang rontok ini. Kami juga tidak tahu apakah perut kami minta diisi
1 http://4part2.blogspot.com/2009/04/iqra-membaca-tabir-menguak-takdir.html
6
dengan air atau tidak. Tiba-tiba saja paruh kami telah diarahkan ketetes-tetes air itu, dan
butir-butir air itupun seperti diisap oleh sebuah daya untuk memasuki tembolok kami melalui
paruh kami yang munggil ini ...".
Sementara aku hanya diam dan diam saja sambil mengamati tingkah dan nyanyian ceria sang
burung. Dalam diam, kucoba mengamati daya yang sedang bekerja itu dengan mataku,
namun daya itu tak tersentuh oleh retina mataku. Kucoba pula mendengarkan daya itu,
siapa tahu bisa kutangkap frekwensinya dengan telingaku. Tapi tak segetarpun daya itu bisa
kutangkap dengan gendang telingaku. Yang kudengar hanyalah desauan suara angin
menyapu lembut lembar-lembar daun pisang yang tumbuh subur dipojok rumahku.
Angin ? Benarkah ada desau suara angin ? Ternyata anginpun tidak bersuara sebenarnya.
Adanya desauan angin baru akan terdengar tatkala angin itu menyentuh sebuah tanda,
tanda angin. Misalnya lembaran daun yang digoyang oleh sang angin. Tandanya itu yang
digetarkan oleh sang angin, sehingga akupun berkata "Ooo, ada angin yang sedang bertiup."
Dan saat aku melihat ada dedaunan kering yang melayang-layang dan berputar-putar di
didekatku, akupun akan berkata "Oo, ada angin puting beliung yang sedang mengajak
dedaunan kering itu menari dan berdansa".
Ya, aku baru tahu ada angin ketika sang angin itu menyentuh tanda-tanda yang menandakan
sang angin ada. Awan, asap, dedaunan, adalah tanda (tabir) bahwa ada angin yang sedang
berkisar-kisar. Saat melihat awan yang sedang bergerak bergulung-gulung dengan cepat,
maka kesadaranku akan berkata "Ooo ..., ada angin yang sedang bertiup kencang di udara".
Gampang sekali kita meyadari adanya angin saat kita melihat tanda-tanda (tabir) angin.
Mudah sekali. Orang tak beragamapun akan bisa menyadari akan adanya sang angin dengan
sama mudahnya dengan orang yang beragama.
"Wahai Deka, akupun hanya sekedar diam saja. Ada daya yang sedang mengisar-ngisarku.
Ada daya yang sedang merembesiku, sehingga akupun seperti punya daya untuk
menggerakkan awan, asap, dan dedaunan itu", sang angin seakan mencoba memahamkan
diriku yang sepertinya mulai kehilangan arah pikirku.
Karena sepengetahuanku, angin itu terjadi hanyalah karena adanya perbedaan tekanan
udara di dua tempat yang berbeda, sehingga udara akan bergerak dari tempat yang
bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan rendah. Ya ..., angin itu hanyalah peristiwa
alamiah biasa saja setahuku, sehingga akupun tidak paham saat aku membaca ayat di dalam
kitab Al Qur'an tentang bagaimana angin itu dikisar-kisarkan (watashriifirriyah) oleh Allah.
Al Baqarah (2 : 164)
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang
Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati-
7
nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh tanda-tanda bagi kaum yang memikirkan."
Al Jaatsiyah (45 : 5)
" . . . dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu
dihidupkanNya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin
terdapat pula tanda-tanda bagi kaum yang berakal."
Puluhan kali sudah kubaca ayat-ayat di atas. Tapi saat membaca ayat itu, tidak terlintas
sedikitpun di dalam otakku tentang apa guna dari angin yang dikisar-kisarkan itu. Aku tidak
pernah memikirkan akan adanya daya yang sedang bekerja diperkisaran angin itu. Itu
sungguh tidak pernah kupikirkan. Akalku hilang, pikiranku buntu ketika aku membaca tanda-
tanda diperkisaran angin itu, sehingga tidak ada sesuatupun yang bisa kuhasilkan dari proses
membaca tulisan arab dari ayat-ayat Al Qur'an di atas dengan sangat lancar dan tartil. Tidak
ada hasilnya, kecuali hanya rasa senang bahwa aku sudah membaca Al Qur'an dan aku akan
diberi pahala oleh Allah. Hanya itu !
Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dilakukan orang-orang yang mencoba memikirkan
tentang perkisaran angin itu. Di perusahaan BOEING dan AIR BUS, sekumpulan orang
berhasil menemukan rahasia tentang perkisaran angin itu. Mereka mengerti dengan utuh
tentang bagaimana perilaku kisaran angin itu yang melewati lempengan logam yang
bentuknya seperti sayap burung, sehingga dari proses berfikir mereka tentang kisaran angin
itu lahirlah pesawat-pesawat terbang dengan berbagai bentuk, ukuran, dan penggunaannya.
Sungguh mereka adalah orang-orang yang berfikir dan orang-orang yang berakal seperti
yang diminta oleh ayat-ayat di atas, sehingga merekapun bisa melihat bahwa tidak
sedikitpun ada kesia-siaan dalam setiap perkisaran angin itu.
Mereka telah menjalankan ayat itu dengan sangat baik dan telaten, sementara aku dari dulu-
dulu masih saja menjadi seorang penyair yang melantunkan ayat-ayat itu dengan irama yang
sangat mendayu-dayu,
• ". . . watashriifirriyah, . . . watashriifirriyah, watashriifirriyah . . ."
• "Oh ... angin, betapa engkau berkisar-kisar di langit biru ...".
• "Perkisaran angin itu Allooh yang mengerakkan"
• "Dengan angin yang berkisar itu Allooh membantu penyerbukan tumbuhan".
• "Dari Allooh semuanya ..."
Fasih sekali aku mengungkapkannya.
Akan tetapi saat ditanya: "Ada apa dengan perkisaran angin itu ?", maka pikiranku langsung
jadi buntu, akalku langsung jadi beku, sehingga aku hanya bisa berkata: “Nggak tahu tuh !!!".
Persis seperti tidak tahunya seorang Aborigin, atau seorang Badui, atau seorang terasing di
8
pedalaman Irian. Ternyata selama ini aku sungguh sudah sangat keterlaluan. Aku rutin
membaca huruf-huruf Al Qur'an, tapi tanpa aku mampu memikirkan dan menjalankan akalku
tentang apa-apa yang kubaca itu. Berpikir tentang anginpun aku tidak, sebagaimana juga
dengan ayat yang memerintahkanku memikirkan hal-hal yang lainnya ?? Aku hanya seperti
orang yang sedang ngelindur dalam tidur. Padahal aku tahu persis bahwa :
Ash Shaff (61 : 3)
"Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu
kerjakan (alami)".
Dalam pengaruh rasa bersalah itu, sang burung pun seperti berkata kembali kepadaku:
• "Wahai Deka, aku hanyalah tanda tentang adanya daya yang sedang menuntunku untuk
turun kedaun pisang layu itu, untuk kemudian daya itu mengarahkan paruhku ketetes-
tetes air yang sepertinya sudah ditahan pula agar bisa masuk ketembolokku. Daya itupun
sepertinya meneruskan butir-butir air itu masuk kedalam setiap sel tubuhku, sehingga
tubuhkupun menjadi sesegar embun pagi".
o "O ..., kalau begitu kau hanya diam saja wahai sang burung kecil ?".
• "Exactly deka ..., aku hanya diam. Daya itulah yang sibuk menggiringku ke sana kemari.
Daya itu melecutkan kepak sayapku. Daya itu mengisarkan angin agar aku bisa
membubung naik keangkasa raya. Daya itu juga menahan anak-anakku agar dia tidak
keluar dari sarangku. Daya itu Maha Sibuk mengaturku, dan anak-anakku. Aku hanya
seonggok tanah yang dialiri daya ...".
Tiba-tiba seekor kucing tetangga berwarna putih meloncat kedekat sang burung yang sedang
hinggap dibangkai daun pisang itu. Sang burungpun terkaget-kaget dan mencelat ke udara
laksana sehelai kapas yang tertiup badai. Kucing itupun ternyata sedang didorong pula oleh
daya yang sama dengan daya yang berkerja pada tubuh burung tadi.
Namun bagiku itu sudah cukup. Aku mulai tersenyum memandang sesuatu yang tak terlihat
oleh mata. Sesuatu yang tak terasa oleh kulit. Sesuatu yang tak terdengar oleh telinga.
Sesuatu yang tak terdefinisikan dengan kata-kata dan kalimat-kalimat. Sesuatu itu menjadi
sangat nyata karena ada tanda-tanda yang teruntai sedemikian banyaknya yang menandai
akan adanya Sesuatu Yang Sangat Hebat. Tanda itu membuat Sesuatu itu nyata. Tanda tadi
adalah tabir-Nya. Buat sejenak muncul kepahaman di dalam dadaku bahwa segala sesuatu
dialam semesta ini pastilah diatur oleh Satu Daya Tunggal Yang Maha Dahsyat. Karena
cakupannya adalah segala sesuatu, tak terkecuali apapun juga, maka Daya itu pastilah
meliputi segala sesuatu. Rasa-rasanya semua orang juga tahu tentang teori ini. Apalagi ahli
fisika tradisional maupun yang super modern, termasuk ahli astronomi terkini, mereka juga
tahu sekali akan adanya daya tunggal itu. Daya yang memegang alam semesta ini agar
9
masing-masing benda langit bisa duduk diam di jalur edarnya yang sepertinya telah
ditentukan dengan sangat seksama dan akurat sekali. Daya itu bersifat sangat memaksa.
Tidak ada sesuatupun yang bisa keluar dari genggaman daya itu walau sekejap mata
sekalipun.
Selama puluhan tahun, para ahli fisika dan astronomi mencoba untuk mengetahui daya
tunggal macam apakah gerangan yang memegang alam semesta ini. Mereka ingin
melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri.. Mereka ingin melihat bukti tentang daya
itu melalui berbagai alat yang mereka ciptakan. Namun mereka tetaplah berada dalam
keraguan yang sangat panjang. Karena yang mereka temukan itu masih saja tanda-tanda
akan adanya daya tunggal itu. Mereka juga masih memecah belah daya itu menjadi
beberapa daya yang mereka sebut sebagai daya kuat, daya lemah, daya elektromagnetik,
dan daya grafitasi. Bahkan ada yang mencoba menggabungkan keempat daya itu dalam
teori daya superstring, dan entah apalagi nantinya. Akan tetapi, pembagian itu mereka
lakukan tetap saja hanya semata-mata karena melihat pengaruh daya itu pada tanda (tabir)
yang terlihat oleh mata atau logika mereka. Padahal dilihat dari tabir manapun juga pasti
akan ketemu tentang ada daya itu sebenarnya. Sedangkan tentang Dzat yang di balik tabir
itu, Sang Punya Daya, mereka tetap saja bingung untuk memahaminya, karena mereka
ngotot untuk ingin membuktikan Dzat itu dengan mata-kepala dan logika ilmiah yang
mereka punyai.
Akhirnya dalam kebingungan itu, mereka hanya bisa berkata:
"Ada Dark Energy dan Dark Materi yang menjadi The Biggest Mistery yang menyelimuti The
Universe. Alam semesta ini dimulai dari kegelapan materi dan energi.
Kemudian Ada BIG-BANG. Dari kegelapan itu ada Materi yang berpendar dengan kekuatan
yang amat dahsyat, dan ada pula Daya yang sangat amat dahsyatnya yang mengembangkan
materi itu dengan kecepatan yang juga sangat dahsyat sekali, sehingga terbentuklah awal
kehidupan. The Universe. Dan pada akhirnya semua akan kembali membeku dan menjadi
Dark Energy dan Dark Materi yang prosesnya sangat lama-lama-lama sekali". Ini khan Hadist
Qudsi dalam ungkapan bahasa orang yang tidak beriman kepada Allah saja sebenarnya.
Mereka juga sibuk mencari tanda tentang adanya Daya Sang Hidup yang menyelimuti segala
sesuatu. Mereka bisa temukan tanda Daya Sang Hidup itu dimateri yang terkecil yang
mereka namakan sebagai pembentuk dasar materi. Misalnya Daya Hidup itu terbaca ditabir
netron, proton, dan pada nama-nama tabir aneh lainnya seperti : muon, tauon, muon
neutrino, tauon neutrino, up quark, charm quark, top quark, down quark, strange quark,
bottom quark, antielectron, electron antineutrino, muon antineutrino, tauon antineutrino, up
antiquark, charm antiquark, top antiquark, down antiquark, strange antiquark, bottom
antiquark. Sungguh sibuk sekali mereka mengamati tabir-tabir itu tanpa mereka bisa "sadar"
10
pada Yang Menabiri Diri-Nya dengan tabir-tabir yang seakan-akan bisa hidup dan bergerak
dengan sendirinya itu.
Kalau hanya sampai di proses membaca tabir seperti ini, siapa saja bisa melakukannya.
Beragama atau tidakkah dia, Islam atau tidakkah dia, pintar atau bodohkah dia, semua bisa
melakukannya. Semakin baik dan benar dia melakukan proses membaca tabir-tabir itu, maka
semakin banyak dan bernas pulalah pengajaran yang akan dia terima. Karena saat dia
memandang tabir itu pada hakekatnya dia tengah mendengarkan Sang Pemilik tabir itu
sedang bercakap-cakap kepadanya secara langsung. Namun banyak yang tidak sadar tentang
itu. Mereka mengira bahwa tabir-tabir itu hanya sekedar bereaksi atas apa yang mereka
perbuat terhadap tabir-tabir itu.
Misalnya, saat petani di Thailand sana berbicara dengan pohon mangga, durian, pepaya,
pisang dan buah-buahan lain dikebun-kebun mereka, maka sang pohonpun lalu
menjawabnya dengan cara mengeluarkan buah yang terbaik. Makanya semua orang bisa
kenal dengan pepaya bangkok, durian bangkok, pisang bangkok, bahkan ada juga ayam
bangkok. Namun kita jarang sekali mendengarkan adanya buah bogor (kecuali mungkin buah
talas). Padahal di Bogor itu ada universitas terkenal yang berkaitan erat dengan tumbuhan.
Tapi karena disana orang kebanyakan hanya menghafal bahasa latin dari berbagai tumbuh-
tumbuhan itu, tidak berbicara akrab dengan tumbuhan itu sendiri, maka mereka kalah jauh
dengan orang Thailand yang mau berbicara akrab dengan tumbuhan yang sama dengan yang
ditanam di Indonesia. Makanya negara sekaya raya ini, Indonesia, masih saja sangat
tergantung kepada buah-buahan import. Menyedihkan sekali sebenarnya. Rasulullah saja,
yang dulu pernah membaca di tabir KORMA, telah melahirkan korma yang masih terkenal
sampai saat ini, yaitu KORMA RASUL.
Begitu juga dengan berbagai ahli fikir di zaman keemasan Islam masa lalu, seperti Al Kindi, Al
Battani, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Al Gazhali, Ibnu Zuhr (Avenzoar), mereka telah
berhasil meninggalkan jejak yang sangat bernas atas hasil pembacaan mereka terhadap
tabir-tabir yang terhampar didapan mata mereka. Dari tabir-tabir itu mereka bisa membaca
tentang adanya alat irigasi, alat astronomi, kapal dagang, teknik jembatan, matematika, ilmu
kedokteran, dan sebagainya.
Namun setelah zaman keemasan itu, perilaku umat Islam sudah tidak sesuai lagi dengan
ajaran Islam :
• Kita mulai meninggalkan proses membaca tabir-tabir yang ada di setiap langkah
kehidupan mereka.
• Kita menanggap bahwa dunia ini, yang notabene adalah tabir-tabir Allah, merupakan
penghalang untuk kehidupan akhirat. Kita benar-benar anti kepada dunia ini. Kita telah
menjelma menjadi rahib-rahib dan pendeta-pendeta yang hanya ingin kehidupan akhirat
saja. Kita hanya ingin syurga nanti diakhirat sana. Dunia ini kita anggap sebagai permainan
11
dan senda gurau belaka, tapi dengan pemahaman yang keliru tentang ayat Al Qur'an yang
bercerita tentang permaian dan senda gurau itu. Sebab, walaupun hanya permainan
belaka, tetap saja hidup iyu butuh uang, teknologi, dan metoda agar kita bisa melakukan
permainan itu.
Semua itu adalah hasil dari membaca tabir.
Karena Allah adalah Dzat yang setiap detik selalu ingin menunjukkan kemahahebatan-Nya
kepada umat manusia, dan itu tidak bisa tertahankan oleh siapapun juga, maka Allahpun
mencari otak dan dada umat manusia lain yang masih bisa terbuka untuk dilewati dan
dirembesi oleh kemahahebatan Allah itu. Karena umat Islam telah berubah menjadi orang
yang berperilaku seperti pendeta dan rahib, di mana kita menutup mata dan telinga kita dari
mendengarkan bicara Allah di tabir alam semesta, maka rembesan omongan Allah itupun
dialirkan secara deras sekali oleh Allah kepada otak orang-orang Eropa, Amerika, Jepang,
Cina, dan sebagainya.
Walau secara hukum syariat Islam mereka dianggap orang sebagai bangsa-bangsa yang
KAFIR, namun secara kehidupan mereka telah menjalankan sebagian besar dari syariat
Islam itu, minus pasal ibadahnya.
Dalam masa-masa umat Islam tertidur pulas itu, di mana Allah seakan-akan mengeluarkan
umat Islam dari cahaya menuju kegelapan, maka muncullah si pembaca tabir Allah di
belahan bumi sebelah Barat sana. Satu persatu tampillah mereka dengan apa yang mereka
sebut sebagai penemuan mereka. Ada Adelard, Bacon, Martin Luther, Calvin, Copernicus,
Kepler, Galileo, Newton, James Watt, Adam Smith, T.A Edison, Albert Einstein, dan banyak
lagi nama-nama lain yang masih hidup sampai saat ini seperti Hawkins yang sangat
fenomenal itu. Dari otak merekalah Allah menciptakan Dapur Tekan, Mesin Cetak, Teknik
Hidrolika, Mesin Uap dan mesin Pintal, Besi Lempengan, Baterai Listrik, Telegraph, Telepon,
Lampu Listrik, Wireless, Pesawat Terbang, TV, Komputer, Material Baru ..., dan jutaan
ciptaan lainnya. Sungguh :
. . . sekarang ini tiada hari tanpa penemuan baru di belahan bumi di mana manusianya
mau membuat otaknya menganga saat membaca tabir Allah yang tak terhitung
jumlahnya.
Sungguh mereka telah menjadi bagian dari utusan-utusan Allah bagi kemakmuran umat
manusia. Dari otak dan tangan mereka, Allah telah mengeluarkan umat manusia dari
kegelapan menuju cahaya yang terang benderang, khususnya untuk kehidupan di alam dunia
ini. Karena mereka telah menjalankan ayat-ayat Allah (bukan membaca huruf seperti yang
sering kita lakukan) dengan maunya mereka mendengarkan Allah berbicara di tabir-tabir
yang sengaja diciptakan Allah untuk tempat-Nya berbicara.
12
Sementara itu yang terjadi pada umat Islam, di samping kita lagi tertidur lelap yang panjang,
ada kesalahan lain yang kita lakukan. Kesalahan itu, yang terberat sebenarnya, adalah tanpa
kita sadari, kita juga mulai menjadi orang-orang yang MUSYRIK. Kemusyrikan itu bukanlah
karena kita tidak percaya lagi kepada Allah, bukan. Tapi kemusyrikan itu adalah karena kita
telah memecah belah agama Islam menjadi beberapa kelompok, dan masing-masing
kelompok itu saling mengaku bahwa kelompok kitalah yang benar. Kita membagi-bagi Islam
menjadi agama kelompok-kelompok :
• Ada agama Islam ala kelompok Sunni atau Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) dengan
berbagai pecahannya,
• Ada Islam ala kelompok Syiah juga dengan berbagai variannya,
• Ada Islam ala kelompok A zampai Z.
Dan anehnya setiap kelompok itu selalu "mengaji" hal-hal yang sama saja dari generasi ke
generasi :
• Kalau tidak tentang syurga, ya kajian tentang neraka.
• Kalau tidak tentang pahala, ya kajian masalah dosa.
• Kalau tidak tentang sunnah, ya kajian tentang bid'ah.
• Kalau tidak tentang iman, ya kajian tentang kafir.
• Kalau tidak tentang akhirat, ya tentang akhirat juga (kajian tentang dunianya sedikit sekali
sih).
Hal seperti itu dilakukan umat Islam selama berhari-hari dan bertahun-tahun, dari generasi
ke generasi.
Kalau hanya sekedar mengaji tentang hal-hal di atas yang dianggap sebagai mengaji agama,
ya nggak masalah sebenarnya. Tapi anehnya, setelah mengaji itu, malah tiap-tiap kelompok
pengaji itu mulai menyalah-nyalahkan kelompok lain, dan kita lalu menganggap bahwa
hanya kelompok kita sajalah yang benar.
Sejak masa Nabi Muhammad SAW hidup pun, sebenarnya bibit perpecahan seperti ini sudah
tercium oleh Nabi. Makanya Nabi mengingatkan bahwa: "Nanti umatku itu akan terpecah
belah menjadi 73 golongan, hanya 1 golonganlah yang benar, yang lainnya salah". Eh, malah
umat Islam sengaja memecah belah diri dengan mengaku bahwa yang satu yang benar itu
adalah kelompok kita sendiri. Padahal hadist di atas maknanya ya agar kita jangan berpecah
belah. Islam ya Islam saja. Tidak ada itu istilah Islam ala kelompok XYZ atau PQR. Jadi yang
satu yang benar itu adalah umat yang tidak memecah belah agama Islam menjadi kelompok-
kelompok Islam eksklusif. Karena :
. . . kalau memecah belah agama Islam menjadi kelompok-kelompok, dan kelompok-
kelompok itu berebut tentang kebenaran, ternyata menurut Allah sama nilainya dengan
orang yang menyekutukan Allah. Si Musyrik.
13
Ar Rum (30 : 31)
"Manusia itu harus kembali kepada Allah dan bertakwalah kepada Allah, tegakkan shalat
dan janganlah kamu menjadi orang-orang yang (MUSYRIKIN) mempersekutukan Allah."
Ar Rum (30 : 32)
". . . yaitu dari golongan-golongan, orang-orang yang memecah belah agama mereka, dan
mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan dan
membenarkan apa yang ada pada golongan mereka."
Aaaah kita umat Islam ini,
• Sudahlah pendahulu kita (dan mungkin juga kita sendiri) tidak mau lagi mendengarkan
Allah berbicara melalui wahyu yang akan selalu diturunkan Allah ke dalam dada setiap
manusia,
• Tidak mau pula mendengarkan Allah berbicara di tabir-tabir Allah yang berserakan
disetiap sudut ruang kehidupan ini, ditambah lagi dengan kita telah menjadi musyrik
tanpa kita sadari (karena kita memecah belah agama dan rebutan kebenaran),
maka akibatnya kitapun akhirnya ditidurpanjangkan oleh Allah.
Kita dibuat tidak sadar dalam keadaan hidup oleh Allah selama berabad-abad. Umat Islam
seperti berada dalam masa-masa hibernate mulai dari tahun 1200-an sampai dengan abad
ke 20, bahkan mungkin sampai sekarang ini, sehingga kitapun kemudian menjadi tabir Allah
tempat Allah berbicara kepada umat-umat sesudah kita tentang contoh orang-orang yang
tidak bersyukur. Sebab dengan melihat tabir Allah pada diri kita, sebenarnya saat itu Allah
sedang berbicara kepada orang lain tentang nestapa diri kita:
"Wahai hamba-Ku ..., lihatlah sebagian besar dari hamba-hamba-Ku itu. Lihatlah ...,
walaupun mereka mengaku beriman kepada-Ku, walaupun mereka mengaku telah
menjalankan segala ibadah kepada-Ku, walaupun mereka mengaku telah mengikuti contoh
dari Rasul-Ku sampai ke hal-hal terkecil sekalipun, walaupun mereka telah telah hafal ayat-
ayat-Ku yang kutaruh di kitab Al Qur'an dan hafal pula wejangan-wejangan Rasul-Ku
Muhammad SAW, akan tetapi saat mereka tidak mau membaca dan mendengarkan
pembicaraan-Ku yang Ku-tarok di berbagai tabir-Ku, maka mereka tetap saja akan menjadi
orang yang berada dalam kegelapan hidup ditengah-tengah kecemerlangan dunia yang
kuberikan kepada mereka untuk mereka kelola dengan baik. Mereka tidak mampu
menyandang predikat sebagai wakil-Ku, wali-Ku, kurir-Ku, agent-Ku, distributor-Ku untuk
menghantarkan rahmat-Ku bagi seluruh alam dan isinya.
Mereka malah akan menjadi bulan-bulanan, jadi bahan olok-olokan, menjadi contoh yang
sulit untuk ditiru oleh orang-orang yang mendambakan kesempurnaan.
14
Kau lihatlah wahai hamba-Ku ..., ambillah mereka sebagai contoh dan pelajaran dari-Ku,
sebagai tabir-Ku tempat Aku mengalirkan kebodohan kedalam otak dan dada mereka..".
Wallahu a'lam.
Sementara :
. . . umat lain yang kita sebut sebagai orang yang tidak beragama Islam di Barat dan di
Timur Jauh sana, malah mereka seperti keteteran menerima curahan pencerahan dari
Allah tanpa henti di berbagai tabir-Nya.
Tiada hari tanpa penemuan baru yang mereka dapatkan. Ada teknologi baru, ada pendapat
baru, ada pemahaman baru, bahkan ada tabir-tabir baru yang mereka temukan dalam setiap
langkah yang mereka lalui.
Namun begitu, sayang sekali mereka tetap saja belum berada dalam kesempurnaan seperti
yang diinginkan oleh Allah, sehingga merekapun, tanpa mereka sadari, sebenarnya sedang
menjadi tabir Allah pula tempat di mana Allah berbicara kepada orang-orang yang mau
mendengarkan Allah berbicara kepadanya. Mereka ada tabir si Merugi. Karena dalam
kehebatan mereka membaca tabir, mereka sepertinya tetap berputar-putar berada dalam
cover yang menutup otak dan dada mereka untuk memahami Sang Punya Tabir. Mereka
tidak berhasil menyandang kualitas manusia yang Ulul Albab. Seorang manusia unggulan
yang menjadi tempat Allah menurunkan Rahmat-Nya buat alam semesta.
"Lihat dan dengarkan pulalah bicara-Ku ditabir-Ku yang lain. Tabir si tercover, si kafir.
Betapapun mereka berhasil membaca dan mendengarkan setiap pembicaraan-Ku ditabir-
tabir-Ku yang mereka iqraa (baca), berapapun mereka berhasil menguak rahasia-rahasia
pembicaraan-Ku di tabir-tabir-Ku itu, seberapapun mereka bisa menterjemahkan setiap
tabir-Ku menjadi temuan-temuan baru yang sungguh bermanfaat bagi kehidupan umat
manusia yang lainnya, namun sedikit sekali mereka yang berhasil menyibakkan tabir-tabir-
Ku itu untuk melihat Wajah-Ku., sehingga sedikit sekali di antara mereka yang bisa
tersungkur dan tersujud dihadapan-Ku. Sedikit sekali, kalau tidak mau dikatakan tidak ada,
di antara mereka ada yang mau berterima kasih atas kemurahan-Ku itu.
Kalaupun ada ungkapan terima kasih dari mulut mereka, namun arah kesadarannya tidak
tepat mengarah kewajah-Ku. Mereka malah berterima kasih kepada patung, kepada
berhala, kepada hamba-Ku (Al Masih Isa anak Maryam) yang dianggap mereka sebagai
Tuhan dan anak-Ku. Sungguh sayang sekali mereka bersikap begitu ...
Lebih sedikit lagi di antara mereka yang bersedia dada-Nya Kualiri dengan rasa iman yang
mencekam, rasa haru yang mencekam, rasa menghamba yang mencekam, rasa menyerah
yang mencengkeram. Bahkan rasa takut yang mencekam terhadap keadilan-Ku yang tak
15
terperikan, juga tidak berhasil merembes kedalam hati mereka, sehingga mereka tetap saja
hanya jadi sekedar contoh tabir-Ku tentang orang-orang yang tercover dari Wajah-Ku.
Sungguh Aku sebenarnya telah menyiapkan semua tabir-Ku itu untuk tempat-Ku berbicara
kepada hamba-hamba-Ku yang Kupanggil sebagai ULUL ALBAB. Sungguh ...!"
Manusia macam apakah gerangan si Ulul Albab ini. Apakah dia manusia sesuci malaikat ?
16
Artikel 2 :
Pengkhianat Tuhan2
A. Pendahuluan
Sebagai orang yang punya sikap belajar dan berketuhanan, maka diharapkan muncul
wacana pemikiran yang menyegarkan. Wacana ini tidak harus sepi, karena sebuah
wacana pada hakekatnya adalah sesuatu yang baru, sesuatu pemikiran yang tidak hanya
jadi pengekor pemikiran masa lalu, akan tetapi juga menggambarkan kebaruan bahkan
kemasadatangan ide. Karena pemikiran masa lalu bukanlah dikatakan sebuah wacana,
akan tetapi lebih kepada paparan sejarah saja. Jadi wacana ini seharusnya diisi dengan
pemikiran apa saja yang bisa melepaskan kita dari belenggu pemikiran masa lalu yang
sempit (kejumudan pemikiran) menuju pemikiran yang universal. Kita hidup saat ini,
dengan kondisi saat ini yang sungguh sangat kompleks.
B. Tugas Kita Apa ?
Tugas kita adalah bagaimana agar kita bisa TAKLUK (patuh, tunduk, ISLAM) terhadap
SUNNAH (kehendak hukum-hukum Tuhan, sunatullah) pada zaman kita sekarang ini,
sebagaimana takluk dan patuhnya Rasulullah terhadap kehendak alamiah (sunatullah) di
zaman Beliau. Artikel ini akan memuat secara berseri pengertian-pengertian tentang
ISLAM, SUNNAH, AL QUR’AN, sehingga mudah-mudahan akan mampu memberikan
gambaran UTUH tentang ajaran yang dengan susah payah ditegakkan oleh Rasulullah,
akan tetapi kita ternyata tidak mampu untuk memeliharanya.
Pertama saya ingin menyampaikan sebuah renungan panjang saya tentang Islam dari
masa ke masa. Bahwa yang ada di dunia Islam masa-masa lalu, bahkan juga untuk saat
ini, boleh dikatakan belum ada yang mampu untuk memberikan sebuah gambaran
UTUH tentang ISLAM. Karakter macam apa sebenarnya yang bisa mewakili kata ISLAM
itu. Aliran-aliran besar yang ada, sebut saja:
• Syiah;
• Ahlus-sunnah;
• Sufiah;
atau gerakan-gerakan pemikiran yang berkembang saat ini seperti:
• NU;
• Muhammadiah;
• Hizbut Tahrir;
• Salafi;
• Tarbiyah;
2 https://www.facebook.com/notes/kekuatan-zikir-doa/pengkhianat-tuhan/170561976307407
17
• Jamaah Tablikh;
• LDII;
dan puluhan gerakan-gerakan pemikiran lainnya, masih sangat jauh untuk dikatakan
sebagai yang bisa mewakili KARAKTER ISLAMI yang diinginkan oleh Al Qur'an. Yang
muncul dan yang ada saat ini adalah gerakan-gerakan yang keberadaannya diawali
dengan pencomotan ayat Al Qur'an ataupun Al Hadits di sana sini, lalu comotan-
comotan itu dijadikan sebagai landasan untuk membentuk sebuah jamaah. Jadi yang
ada hanya sekedar :
. . . aliran atau praktek-praktek keagamaan yang DIWARNAI oleh potongan-
potongan ayat Al Qur’an dan Al Hadits.
Jadi Syiah bukanlah manifestasi dari ISLAM KAFFAH, begitu juga Sunni, dan Sufiah,
apalagi kalau hanya sekedar Hizbut Tahrir, Salafi, Tarbiyah, Jamaah Tablikh, LDII, NU,
dan Muhammadiah. Atau paling tidak :
. . . semua ajaran, aliran, atau sekte itu SECARA SENDIRI-SENDIRI belumlah pantas
untuk dikatakan sebagai manifestasi dari ISLAM secara KAFFAH.
Karena Islam itu begitu indah dan sederhana, dan mendunia, dan merahmati seluruh
alam semesta. Akan tetapi semenjak Rasulullah Muhammad SAW wafat sampai
sekarang, belum ada lagi generasi penerus Beliau yang mampu mewujudkan dan
membuktikan kesempurnaan Islam itu secara mendunia.
Di lain sisi, semuanya tahu akan keberadaan ayat yang menerangkan bahwa masuk ke
dalam ISLAM itu harus secara KAFFAH (keseluruhan, totalitas). Akan tetapi sayangnya
sampai saat ini di antara aliran-aliran yang ada itu belum ada yang mampu untuk
memberikan gambaran karakter ISLAM KAFFAH itu secara utuh pula. Akan tetapi saat
ditanya tentang bagaimana kaffah itu, maka jawabannya hanya nyaris berupa
gumaman, atau suara galau dengan bunyi tak sedap seperti kita sedang berada dalam
sebuah pasar tradisional. Suara tak sedap itu sebenarnya cukup mengganggu orang-
orang yang berada di dalam pasar itu sendiri, apalagi bagi orang luar yang tersasar
berada dalam lingkungan pasar itu. Kios-kios yang ada saling berlomba untuk menyetel
lagu sekeras mungkin dan dengan berbagai irama pula, yang katanya untuk menarik
pengunjung. Sungguh ramai, meriah sekali, namun sayangnya orang yang
seharian berada di dalam pasar itu, bahkan besar di pasar itu, tidak sadar bahwa mereka
sebenarnya sedang saling membuat bising dan ribut. Karena memang mereka sudah
bersatu dengan suara bising dan ribut itu. Karena mereka sendirilah sebenarnya sang
pembuat suasana tak nyaman itu.
Akan tetapi bagi orang-orang baru yang suatu saat tersasar ke pasar tradisional itu,
mungkin secara tidak sengaja, maka besok-besoknya mereka tidak akan respek lagi
18
untuk masuk ke dalamnya, mereka akan menceritakan kepada teman-temannya bahwa
pasar tradisional di lokasi A sangat hiruk pikuk, ribut, bau, dan serba tidak teratur,
sehingga lama-lama melalui kabar berantai (media masa), akan muncul penilaian
masyarakat bahwa pasar tradisional itu adalah sebuah tempat yang tidak nyaman untuk
dimasuki, apalagi kalau di dalam pasar itu banyak berkeliaran orang yang suka
ngamukan. Akhirnya mereka meninggalkan pasar tradisional itu dan beralih memasuki
pasar yang lebih teratur, misalnya toserba M atau R.
Karakter seperti di pasar tradisional inilah mungkin yang paling tepat untuk
menggambarkan kondisi umat Islam yang ada pada saat ini.
C. Allah Pamer
Pada awalnya, lewat persaksian dan kesepakatan Manusia dengan Allah, Allah secara
khusus telah meminta komitmen manusia atas “kepemilikan” Allah terhadap si manusia:
“Bukankah Aku ini Tuhanmu ?”. Lalu dengan tergopoh-gopoh dan mantap si manusia
menjawabnya: “Benar ya Tuhan, saya bersaksi”. Sejak itulah sebenarnya si manusia siap
untuk menyandang predikat DUTA ISTIMEWA Tuhan dan siap pula untuk menjalan
tugasnya sebagai WAKIL TUHAN (khalifah) di tempat yang telah dipersiapkan, yaitu di
bumi berikut dengan alam semesta yang mengitarinya.
Setelah itu Allah pamer kepada Malaikat tentang Duta Istimewa-Nya ini:
“Hai para makaikat, ini lho Duta Istimewa Ku untuk Kujadikan sebagai WAKILKU
dalam memakmurkan, mengelola dunia”.
Dan Allah meminta kepada para malaikat untuk menghormat sujud kepada Sang Duta
Istimewa. Dengan melihat sosok duta ini, pada awalnya malaikat agak ragu dengan
kualitas Duta Istimewa ini, jangan-jangan Sang Duta berkhianat seperti berkhianatnya
Duta sebelumnya yang senang bersimbah darah satu sama lain. Sang Duta terdahulu
lebih sering mengumbar bencana ketimbang memakmurkan dan mengelola
lingkungannya. Akan tetapi keraguan malaikat ditepis dengan sentuhan lembut tetapi
tegas ke dalam wilayah pengertian malaikat:
“Aku lebih tahu apa-apa yang tidak kamu ketahui. ”.
Tiada lain yang dapat dilakukan oleh malaikat selain patuh dan tunduk kepada perintah
Tuhan. Malaikat dengan RELA lalu tunduk dan sujud kepada Adam, Sang Duta Istimewa.
Seiring dengan pengukuhan Adam Sang Duta Istimewa (manusia), untuk menyandang
Tugas kekhalifahan di muka bumi, maka Allah telah melengkapi sang manusia dengan
perangkat yang nyaris sama dengan milik Allah Sang Pengutus itu sendiri. Dengan
perangkat yang diberikan itu, sang manusia bisa mencipta, berkreasi, mengatur,
19
mengolah, menumbuhkan, menghancurkan, mematikan, segala sesuatu yang berada
dalam objek kekhalifahannya. Di samping itu, perangkat melihat, mendengar, merasa,
dan mengetahui juga difasilitasi Allah kepada Sang Duta Istimewa dengan sangat meng-
agumkan dan dengan fungsi yang nyaris tidak terbatas pula. Dengan segala sifat,
tindakan, dan kemampuan yang difasilitasi itu, maka Sang Duta Istimewa mulai secara
gradual menciptakan kebudayaan demi kebudayaan yang berkembang dari tingkat yang
sangat sederhana sampai dengan tingkat yang sangat mengagumkan saat ini, dan
bahkan masih akan berlanjut untuk masa-masa yang akan datang.
Setidak-tidaknya ada sekian puluh sifat-sifat “Sang Presiden” yang bisa di sandang dan
dipakai pula oleh Sang Duta Istimewa. Semua sifat, laku dan pekerti itu sebenarnya
hanyalah sebagai mandat yang diberikan kepada Sang Duta Istimewa, dan untuk
sementara pula, untuk mewakili Sang Presiden di wilayah tempat mana dia dikirim.
Setiap saat Sang Duta harus melaporkan, mempertanggungjawabkan setiap pemakaian
sifat Presiden yang dia lakukan. Setiap saat dia harus lapor diri kepada Presiden atas
apa-apa yang telah dia perbuat, dia lakukan, dia hancurkan, dan sebagainya. Secara
regular Sang Duta harus berterima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan oleh
Presiden kepadanya. Secara kontinu, Sang Duta sudah sewajarnya membesarkan nama
Presiden yang memberinya kesempatan untuk mewakili Sang Presiden.
Berbilang zaman kemudian berlalu dengan cepat. Dan dengan cepat pula Sang Duta
Istimewa (seluruh manusia secara kolektif) mulai berkhianat terhadap Sang Presiden
yang mengangkatnya. Satu persatu sifat Sang Presiden mulai “diaku” oleh Sang Duta
Istimewa sebagai miliknya sendiri. Sifat-sifat Sang Presiden yang selalu menjaga dua sifat
yang berbeda berada dalam keseimbangan, misalnya panas dan dingin, baik dan buruk,
Im dan Yang, mulai di acak-acak oleh Sang Duta Istimewa. Padahal bagi sang pemilik
sifat itu sendiri, yaitu Presiden, ke-99 sifat itu berada dalam suasana dan kondisi yang
sangat-sangat seimbang. Keseimbangan inilah yang telah membuat alam semesta ini
selalu bergerak dan berkembang dalam keharmonian. Dan dengan nyata kemudian,
masa demi masa protes malaikat terhadap pengutusan duta istimewa dulu itu seperti
terbukti dengan sangat meyakinkan. Sang Duta Istimewa memang berkhianat. Sang
Duta Istimewa lalu lebih cocok dipanggil sebagai Sang Pengkhianat Tuhan, dibandingkan
dengan Khalifah Tuhan (duta istimewa Tuhan). Adalah sebuah hal yang logis saja kalau
Sang Pengkhianat lalu di hukum oleh Sang Pengutusnya. Dan siksa dan hukuman itulah
yang kini sedang dialami oleh hampir semua umat manusia, kecuali bagi duta-duta yang
tidak berkhianat.
1. Duta macam apakah yang tidak berkhianat itu,
2. Apa sebenarnya sumber dari pengkhianatan itu ?
3. Genderang pengkhianatan duta-duta istimewa Tuhan, yaitu manusia, berlanjut
dengan mulus tanpa hambatan. Tidakkah dengan pengkhianatan ini praduga
malaikat terbukti bahwa saat Allah memperkenalkan duta istimewa pertama-Nya
20
yaitu Adam, nanti Sang Duta ini akan berkhianat dan melenceng dari tugas
kekhalifahan menjadi tugas pengkhianat dan penumpah darah ?
4. Gerangan apakah penyebabnya, sehingga Sang Duta-Duta Istimewa itu terjerumus
ke dalam jurang pengkhianatan itu ?
Untuk mencari akar penyebab pengkhianatan itu, maka mari kita bongkar dan urai point
demi point dengan santai saja !
D. Sang Pengkhianat Tuhan
Nah, dengan segala fasilitas yang sangat sempurna sebagaimana telah diuraikan pada
bagian sebelumnya, maka Sang Duta Istimewa mulai lupa, bahwa semua itu hanyalah
amanah yang dipinjamkan sementara kepada Sang Duta Istimewa. Yang namanya
amanah, ya nggak boleh diaku sebagai miliknya sendiri. Tetapi itulah :
1. Saat Sang Duta berhasil mencipta
dan berkreasi,
maka dia dengan angkuh mulai mengaku: “Ini
ciptaan dan kreasiku.”
2. Saat Sang Duta berhasil
mendapatkan sesuatu,
maka dia dengan jumawa mulai mengaku:
“Ini milikku.”
3. Saat Sang Duta merasa
terganggu,
maka dengan garang dia mulai meradang:
“Kau melawanku, maka kau ku hancurkan.”
4. Saat Sang Duta betah menikmati
kekuasaannya,
maka dia mulai berteriak angkuh: “Ini
kekuasaanku. ini kerajaanku, ini
perusahaanku.”
5. Saat Sang Duta mampu melihat,
mendengar dan mengetahui,
merasakan segala sesuatu,
maka dengan pongah dia mulai mengaku: “Ini
penglihatanku, ini pendengaranku, ini
pengetahuanku, ini perasaanku.”
Lengkap sudah pengakuan itu, semua diaku sebagai milik dari Sang Duta itu sendiri.
Padahal :
1. Hakikinya penciptaan dan kreatifitas itu adalah proses yang dilakukan oleh Sang
Pengutus, Allah, itu sendiri yang dialirkan-Nya melalui otak Sang Duta Istimewa,
2. Sebenarnya segala sesuatu itu adalah milik Sang Pengutus itu sendiri yang dialirkan-
Nya melalui otak Sang Duta Istimewa,
3. Seyogyanya segala kekuasaan, kerajaan, perusahaan adalah milik Sang Pengutus itu
sendiri yang dialirkan-Nya kepada otak dan diri Sang Duta Istimewa,
21
4. Sebenar-benarnya segala penglihatan, pendengaran, tahu, dan perasaan adalah
kepunyaan Sang Pengutus yang dialirkan-Nya melalui otak, mata, telinga, dan dada
Sang Duta Istimewa.
Sebutlah apa saja yang bisa dinikmati oleh Sang Duta Istimewa, maka pada hakikatnya
semua itu adalah milik Sang Pengutus, Allah, yang dialirkan-Nya kepada diri (Nafs) Sang
Duta Istimewa. Jadi Sang Duta Istimewa hanyalah SEAKAN-AKAN, SEPERTINYA saja
memiliki semuanya itu. Karena dia memang hanyalah sebagai wakil, sebagai wali,
sebagai sarana bagi terlaksananya segala kreativitas dan keramaian yang diciptakan oleh
Sang Pengutus bagi setiap ciptaan dan kreasi-Nya.
Karena sebenarnya yang terjadi adalah, bahwa Allah mengalirkan segala sifat dan
pengetahuan-Nya ke dalam otak manusia untuk misalnya, menciptakan pesawat
terbang, kapal laut, pabrik baja, dan sebagainya. Allah bermain sepak bola, golf, dsb,
lewat aliran keinginan dan gerak ke dalam otak manusia.
Begitu juga untuk membangun, merangkai, menyusun, bahkan untuk menghancurkan
kebudayaan manusia melalui aliran tahu dan sifat-Nya ke dalam otak manusia itu
sendiri. Misalnya, Allah menghancurkan Irak, Afghanistan, Al Qaeda melalui aliran otak
Bush beserta konco-konconya, dan otak Saddam Husein, Hikmatiar, Osama Bin Laden
sendiri.
Allah menghancurkan penganut agama Islam pasca Rasulullah melalui otak Ali,
Usman, Aisyah, Umaiyyah, dan sahabat-sahabat lainnya serta umat Islam sendiri
dari dulu sampai sekarang.
Ungkapan ini sepintas seperti membingungkan, akan tetapi nanti pada bagian lain akan
dibahas lebih detail, bahwa :
. . . kehancuran umat Islam pasca Rasulullah adalah karena mereka tidak pernah
mau mengikuti maunya Al Qur’an dan Sunnah.
Padahal dengan semangat 45 semboyan umat Islam itu adalah “selalu berpedoman
kepada Al Qur’an dan Sunnah” itu sendiri. Nanti akan saya bahas pada bagian
berikutnya tentang sumber kekeliruan pemahaman yang sudah sangat kronis ini.
Mari kita kembali dulu kepada serba serbi Sang Pengkhianat Tuhan. Setelah duta istime-
wa (manusia) ini melakukan pengkhianatan kepada Tuhan, di mana Sang Duta sudah
tidak menyadari lagi, bahkan sudah tidak mampu lagi untuk mengembalikan
kesadarannya, bahwa apa-apa yang dia miliki sebenarnya (hakikinya) hanyalah :
a. gerak Tuhan,
b. pengetahuan Tuhan,
c. tahu Tuhan,
22
d. milik Tuhan,
e. penciptaan Tuhan,
f. maupun penghancuran Tuhan,
melalui ALIRAN dari-Nya ke dalam otak manusia untuk membangun peradaban di dunia
ini, maka proses sunnah pun berlangsung tanpa bisa dihentikan lagi. Akibatnya, segala
sesuatu tindakan Sang Duta Istimewa lalu cenderung mengarah kepada pembentukan
suasana ketidakkeseimbangan dalam hukum-hukum Tuhan (sunnah) dan sebagai
konsekwensinya dia pasti terkena libasan dahsyat sunnah itu sendiri.
Maka jadilah manusia itu tidak mampu lagi memanfaatkan mandatnya untuk memakai
sifat-sifat Tuhan sebagai duta istimewa untuk mewujudkan kemakmuran dan kemajuan
dirinya sendiri. Sifat-sifat dan tindakan-tindakan Tuhan yang seharusnya bisa membuat
keseimbangan antara :
a. penciptaan dan penghancuran,
b. penghukuman dan kasih sayang,
c. memelihara dan merusak,
d. menyempitkan dan melapangkan,
e. memuliakan dan menghinakan,
f. penyiksa dan pemaaf,
g. pemberi derita dan pemberi manfaat,
h. dan sebagainya,
lalu mengalir melalui otak manusia dalam suasana timpang dan tidak seimbang lagi.
Saat manusia berkuasa, misalnya, akan tetapi pada saat itu dia berada dalam posisi
pengkhianat kepada Tuhan, maka ketika itu dia akan cenderung hanya bisa menerima
aliran sifat dan tindakan Tuhan melalui otaknya yang mengarah kepada situasi :
a. penghancuran,
b. merusak,
c. menyempitkan,
d. menghinakan,
e. mematikan,
f. penyiksa,
g. pemberi derita,
h. dan perilaku negatif lainnya.
Sedangkan perilaku dan sifat-sifat sebaliknya yang positif seperti :
a. memelihara,
b. melapangkan,
c. memuliakan,
d. pemaaf,
e. pemberi manfaat,
23
menjadi tenggelam ke dalam hati kecilnya yang terdalam. Hati kecilnya itu hanya bisa
megap-megap seperti kehabisan nafas dan tak mampu berbuat apa-apa untuk
membalik keadaan agar bisa menjadi mengarah kepada kebaikan.
Akibatnya adalah :
1. Saat dia berkuasa dalam
sebuah rumah tangga,
maka rumah tangga itu akan menjadi neraka kecil
dalam kehidupannya.
2. Saat dia berkuasa pada
sebuah perusahaan,
maka perusahaan itu akan runtuh dan tinggal
nama dalam beberapa waktu lagi.
3. Saat dia berkuasa pada
sebuah negara atau
wilayah,
maka wilayah itu akan bisa dipastikan menjadi
hancur dan menyedihkan bagi rakyat yang di
bawah perintahnya.
E. Ketidakpatuhan Kolektif
Di samping pengkhianatan kepada Tuhan dalam bentuk PENGAKUAN atas kepemilikan
Tuhan oleh Sang Duta Istimewa, masih ada lagi sebuah pengkhianatan lainnya dalam
bentuk :
. . . KETIDAKPATUHAN KOLEKTIF manusia atas SUNNAH atau hukum-hukum Tuhan
(sunnatullah).
Pengkhianatan dalam bentuk ketidakpatuhan kolektif ini lebih disebabkan oleh :
. . . gagalnya manusia memahami makna sunnatulah seperti apa adanya dan apa
yang seharusnya.
Kesalahan pemahahaman manusia ini lebih disebabkan oleh :
. . . paradigma berpikir yang keliru dalam mengartikan sunnah yang tercantum
dalam kitab-kitab suci yang diturunkan kepada manusia itu sendiri, sehingga sunnah
itu menjadi sempit dan kadaluarsa dimakan perputaran zaman.
Dalam agama Islam, misalnya, sunnah yang terkumpul dalam bentuk Al Qur’an dan Aal
Hadits, telah dipahami oleh hampir sebagian umat Islam sebagai dua sumber hukum
yang sangat tinggi tingkatannya sebagai pedoman bagi manusia dalam menjalankan
fungsi kekhalifahannya di muka bumi ini. Sampai di sini sebenarnya tidak ada yang salah.
Akan tetapi dalam pemahaman dan kenyataannya,
24
. . . dari masa ke masa sunnah itu seperti TUMPUL dan tidak mampu menjawab
tantangan peradaban di zamannya.
Bahkan berbilang zaman, pemahaman sunnah itu seperti tidak mampu membangun
peradaban yang katanya “ya’luu walaa yu’laa alaihi” bahwa agama dan peradaban
Islam itu tinggi dan tidak ada yang menandingi ketinggiannya. Slogan manis ini hampir-
hampir saja menjadi ungkapan kosong yang tak terbukti (utopia) dalam kehidupan nyata
bagi pemeluknya. Jauhlah panggang dari api.
1. Kenapa bisa begini ?
2. Apakah Al Qur’an dan Al Hadits itu sudah tidak sesuai lagi dengan Sunnatullah ?
Astagfirullahal adhiem, ini tentu sebuah ungkapan yang mengerikan.
3. Akan tetapi, kalau tidak begitu kenapa hasilnya seperti tidak ada ?
F. Kemungkinan Penyebabnya
Dalam aliran pengertian dan informasi yang masuk ke dalam otak saya, ternyata sumber
semuanya itu adalah karena telah terjadinya kerancuan paradigma berfikir bagi
penganut agama Islam terhadap kedua sumber hukum tadi yaitu Al Qur’an dan Al Hadits
yang sudah sedemikian lamanya dan turun temurun serta diwariskan pula kekeliruan itu
dari waktu ke waktu. Artinya :
. . . telah terjadi ketidakpatuhan kolektif mayoritas umat Islam terhadap
pemahaman dan pelaksanaan sunnah yang mereka agung-agungkan sendiri itu.
Diantaranya adalah pemahaman-pemahaman tentang problematika kekinian
peradaban.
Umat selalu mau dibawa dan ditarik kembali menuju peradaban
sederhana kalau tidak mau dikatakan primitif di zaman Rasulullah,
sahabat, dan salafus shalih dahulu kala.
Kalau tidak ada contoh dari zaman-zaman Nabi dan salafus shalih tersebut, maka
sebuah senjata pamungkas yang menakutkan kemudian dikeluarkan: “Itu adalah BID’AH,
setiap BID’AH adalah sesat, dan setiap kesesatan imbalannya adalah NAARRRR
(NERAKA)”. Cerdas benar orang yang telah memelintir senjata yang sebenarnya
sederhana ini menjadi sebuah senjata pamungkas, sehingga perkembangan umat Islam
menjadi mandeg dalam segala hal, sehingga umat Islam lalu menjadi bulan-bulanan atas
ketakutan mereka sendiri untuk menjalankan kekinian yang sangat jauh berbeda dengan
zaman salafus shalih dulu itu.
Padahal makna BID’AH yang diganjar dengan neraka itu, kalau masih mau dipakai,
hanyalah sebatas yang berhubungan dengan ritual ibadah seperti shalat, haji, puasa,
25
dan pada taraf tertentu adalah mengenai harta. Sedangkan untuk membangun sebuah
kebudayaan, maka boleh dikatakan semua asesorisnya adalah baru, BID’AH. Jadi untuk
membangun kebudayaan itu, maka boleh dikatakan semuanya adalah BID’AH, karena
nyaris semuanya tidak ada contohnya di zaman Nabi dan salafush shalih dulu.
Bagaimana mungkin sebuah BUDAYA (dengan segenap asesorisnya) di
zaman kosmopolitan seperti sekarang ini mau ditarik mundur menuju
peradaban sederhana di zaman Nabi dan salafush shalih itu ?
Kalaupun ada yang mengatakan itu bisa, maka hasil yang akan didapatkan adalah :
. . . sebuah peradaban yang menjadi tontonan orang banyak karena keanehannya.
Di samping itu,
. . . bagaimana mungkin budaya umat Islam yang berasal dari berbagai
bangsa dengan budaya dan peradaban yang berbeda mau dibawa dan
ditarik menjadi sebuah budaya berbau ARAB, misalnya keislaman
seseorang masih mau ditandai dengan atribut-atribut seperti memakai
gamis, bersorban, dengan tasbih di tangan, dan siwak menempel di
mulutnya pula.
Pada aliran-aliran tertentu malah, seorang ulama, Kyai Haji, ustadz akan merasa belum
afdhal kalau dia belum terlihat seperti figur WALI SONGO dalam sinetron di TV. Padahal
dulunya Abu Jahal, Abu Lahab, dan pembesar-pembesar Quraisy penentang Nabi juga
memakai gamis dan bersorban pula. Apa bedanya kalau begitu, kalau masih terpaku
dengan atribut lahiriah belaka ? Bahkan baju gamis yang dianggap sebagai ciri khas
kelompok-kelompok tertentu di Indonesia ini ternyata di Pakistan dan Afghanistan sana
juga dipakai oleh tukang sampah dan petani-petani untuk ke sawah.
Banyak lagilah kerancuan umat Islam dalam pemahaman kata BID’AH dan perubahan
kebudayaan ini, sehingga terlihat benar bahwa sebagian besar umat Islam lalu menjadi
serba salah, serba kikuk, serba terbata-bata, dan gagap budaya.
Tentang BID’AH ini, ada hal lain yang menarik, yaitu mengenai praktek-praktek yang
sangat lazim di masyarakat Indonesia, yang meliputi fenomena keparanormalan dengan
segala variannya :
a. Masyarakat awam boleh dikatakan sangat menikmati dan mempercayai sensasi-
sensasi mistis di dunia paranormal ini. TVpun berlomba-lomba menampilkan acara-
acara yang bagi penggemarnya selalu ditunggu-tunggu walaupun ulama dan da’i
26
sampai serak berteriak-teriak di mimbar khotbah mengatakan bahwa semua itu
adalah BID’AH, SYIRIK, HARAM.
b. Cap BID’AH ini juga diberikan terhadap acara-acara budaya atau kebiasaan
masyarakat seperti ziarah kubur, pengobatan alternatif dengan segenap macamnya
(ulama mengkategorikannya sebagai perdukunan), kepercayaan tentang roh-roh
gentayangan, sihir, mantra-mantra, dan praktek-praktek lainnya yang
bersinggungan dengan praktek budaya dan praktek ibadah agama Budha dan
Hindu. Walaupun telah dimasyarakatkan oleh MUI (sebagai wakil formal ulama)
bahwa semua itu adalah BID’AH, akan tetapi tetap saja masyarakat umum secara
mayoritas mengakuinya, mempraktekkannya walau kadangkala dengan malu-malu
kucing, sehingga ada kesan bahwa loyalitas dan kepatuhan masyarakat terhadap
ulama sudah sangat lemah. Ulama berkata apa, umatnya prakteknya lain lagi.
c. Bahkan ada yang lebih aneh lagi, praktek dzikir ustadz Arifin Ilham, Aa Gym, ustadz
Haryono dan beberapa praktek serupa seperti dalam tasawuf (tarekat) juga ada
yang membid’ahkannya, sehingga yang bingung ya. umat sendiri, yang akhirnya
mereka rancu sendiri, nggak tahu mana yang benar.
Kenapa sampai begini ?
Jawabannya sangatlah sederhana, bahwa :
. . . umumnya masyarakat sudah tidak mampu lagi untuk merasakan
kelezatan cita rasa beragama. Tegasnya agama itu tidak ada rasanya
lagi.
Yang ada hanya :
a. Ketakutan demi ketakutan atas hukuman Tuhan akibat paradigma yang menjadikan
agama hanya sebatas kepatuhan terhadap perintah dan larangan Tuhan dan Nabi
(yang dalam khotbah-khotbah dijadikan sebagai definisi TAQWA).
b. Dan juga yang dicari dalam beragama itu pada umumnya hanyalah sebatas pahala
dan syurga, tetapi dimensinya untuk di akhirat nanti. Di dunia ini, ya utopia saja
sudah cukuplah. Dan biasanya orang-orang utopia inilah yang lebih banyak
bingungnya, lebih banyak menyalah-nyalahkan orang lain dengan semangat 45 pula.
Akibatnya :
. . . mana mungkin sebuah bentuk praktek agama yang hasilnya hanya sebatas
utopia bisa menggantikan suatu praktek budaya atau ritual keagamaan yang ada
RASA-nya ?
Tidak mungkinlah !
27
Di tingkat rasa inilah sebenarnya para pemraktek ritual mistis keagamaan lebih banyak
berada (kalau tidak mau dikatakan semuanya), seperti : dzikir berjamaah, tasawuf,
paranormal dan fenomena sejenisnya. Praktek aliran SYI’AHpun berada di wilayah ini,
yaitu dengan menimbulkan rasa cinta yang sangat dalam dan pekat terhadap Ahlul Bait,
bahkan untuk generasi terkini masuk juga seorang Khomeini di dalamnya. Apalagi
pengagungan dan pemujaan berlebihan penganut Syi’ah ini terhadap Rasulullah,
sungguh menakjubkan sekali. Sampai-sampai pernah ada yang mencoba
MEMBANDINGKAN Muhammad SAW dengan Nabi yang lainnya dan kesimpulannya
adalah bahwa Nabi Muhammad is the best among them. Di samping itu, walaupun
misalnya penganut Syi’ah di Indonesia belum pernah bertemu dengan Ahlul Bait
ataupun dengan Imam Khomeini ini, penganutnya bisa menangis histeris walau hanya
dengan “mengingat-ngingat” atau membaca riwayat penderitaan, kegagahan, kegigihan
dan pemikiran beliau-beliau itu.
• Ada RASA di dalam kecintaan itu !
• Ada tangis di situ !
• Ada ekstasis di situ !
Sehingga para pencari rasa dalam beragama akan ketagihan untuk mendapatkan dan
mendapatkan lagi sensasi RASA itu. Kalau mereka sudah merasakan RASA itu, maka
pengamalnya akan mencarinya ke mana pun dan kapan pun agar rasa itu bisa muncul
lagi. Efek ketagihannya hampir sama dengan ketagihan orang terhadap rokok ataupun
narkotik. Dan akibatnya jadilah mereka penganut aliran yang terikat kuat dengan
alirannya itu. Dilarang-larang ? Woou mereka bisa membunuh orang yang melarangnya
itu !
• Fenomena apakah ini ?
• Apakah ini salah atau benar ?
Mari kita bahas sedikit lebih detail.
Rasa, tangis, histeris, dan bahkan bergemuruhnya dada serta bergetarnya tubuh,
ternyata barulah sebatas sensasi FISIK dan EMOSI saja. Untuk mendapatkannya maupun
efek serta pengaruh yang muncul bagi pemrakteknya hampir-hampir tidak ada bedanya
sama sekali di antara penganut agama-agama yang ada. Semua bisa merasakannya, tak
terkecuali orang atheis sekali pun.
Siapa pun yang berhasil menahan gejolak badai fikiran di otaknya dan menujukan
arah fikirnya hanya kepada suatu objek saja, maka dengan memberikan sedikit
sentuhan irama dan kata-kata yang menghiba-hiba ataupun yang membahagiakan,
maka hampir pasti orang itu akan menangis bahkan bisa sampai taraf histeris.
Emosional saja sebenarnya sifatnya. Akan tetapi sekarang :
28
. . . baru sampai pada taraf menangis ini sudah diartikan oleh banyak orang sebagai
sebuah PERISTIWA SPIRITUAL.
Dan orang sudah bangga dengan itu !
a. Ooo, saya sudah bisa menangis dengan melakukan praktek dzikir ini-itu.
b. Aduh. hati saya menjadi damai setelah dzikir di tempat anu dan saya bisa menangis
di situ !
Selama rasa itu masih ada, maka selama itu pula orang itu akan merasa sangat
beragama, sangat merasa bertaqwa, merasa imannya sedang naik, dan merasa menjadi
orang baik.
But, sssttt. let me tell you a little secret.
Biasanya orang yang sedang menikmati sensasi rasa ini mukanya kelihatan KUYU, tidak
bersemangat, maunya duduk mojok dan bersunyi-sunyi diri (mirip Rabiah Al Adawiyah,
seorang sufi perempuan yang terkenal dengan kecintaan Beliau kepada Tuhan dan
menyebabkan Beliau selalu mengurung diri d ikamar dan menangis terus dan tidak mau
nikah seumur hidup Beliau). Dan. believe it or not,
. . . biasanya setelah itu, tak lama kemudian, rasa itu akan hilang kembali.
Akibat rasa ini kendor atau malah bisa hilang sama sekali, maka orang yang baru sampai
di wilayah rasa ini, akan merasakan imannya seperti sedang turun, ketaqwaannya
sedang di uji, sehingga dia akan kembali mencari rasa itu ke mana pun dan kapan pun.
Sensasi turun naiknya rasa ini kemudian dalam istilah agama disebut sebagai terbolak-
baliknya hati, atau turun naiknya iman yang lokasi keberadaannya adalah di dada. Istilah
populer untuk lokasi tempat terjadinya proses ini adalah QALBU (hati).
Makanya lalu muncul istilah-istilah seperti Manajemen Qalbu, pembersihan hati, dan
yang sejenisnya. Intinya adalah :
. . . bagaimana menjaga dan mengatur agar RASA tadi tidak lagi bolak balik.
Akan tetapi di sinilah muncul masalahnya, bagaimana kita akan bisa mengelola dan
mengatur sebuah SIFAT (QALBUN) yang memang telah disiapkan sejak awal oleh Allah
untuk terbolak-balik seperti itu, seperti telah disiapkannya sifat panas dan dingin, gelap
dan terang, tetapi tetap selalu berada dalam sebuah harmoni kehidupan.
Salahkah rasa ini ?
Cukupkah beragama itu hanya sampai pada sebatas pencapaian RASA itu saja ?
Lalu bagaimana ?
29
Tidak ada yang salah dengan adanya sensasi RASA dalam beragama ini. Karena rasa itu
adalah sesuatu pengalaman yang sangat empiris, sama empirisnya dengan benda-benda
NYATA seperti air, tumbuhan, udara, dan sebagainya. Akan tetapi mungkin hanya sedikit
orang yang bisa menyadari bahwa dalam beragama tidak cukup hanya sebatas pada
pencarian RASA.
Rasa itu perlu, akan tetapi pada wilayah rasa ini pulalah tempatnya jebakan yang
sangat memabokkan penikmatnya.
Rasa itu adalah sebuah wilayah yang penuh dengan seribu macam jebakan yang sangat
mengganggu. Dengan rasa orang bisa mencintai “suatu objek” tempat mengalirnya rasa
cinta itu mulai dari :
• kadar yang sederhana seperti mencintai benda-benda seni, binatang peliharaan,
tumbuh-tumbuhan hias, sampai dengan
• kadar yang sangat pekat seperti mencintai anak, istri, suami, atau pacar.
Bahkan ada juga rasa cinta dengan kadar yang sungguh mengagumkan dan nyaris tanpa
reserve kepada objek cintanya seperti yang diperlihatkan oleh penganut Syi’ah dalam
mencintai Nabi Muhammad, dan Ali Bin Abi Thalib, Hasan, Husein, imam-imam Syi’ah,
termasuk Imam Ghaib Al Mahdi yang dipercayai oleh penganutnya masih exist sampai
dunia kiamat kelak untuk memberikan manfaat di balik hijab kepada umat manusia
seperti ungkapan berikut:
“Imam adalah inti dan jantung dunia wujud. Tanpa keberadaannya, dunia akan
hancur dan sirna. Oleh karena itu, keberadaan imam kendati ghaib adalah lazim dan
merupakan sebuah keharusan. Sebagaimana manusia dapat mengambil manfaat
dari matahari yang bersembunyi di balik awan, begitu juga manusia dapat
merasakan anugrah wujud ghaib beliau. Di samping itu, pada masa ghaib tidak
sedikit orang yang memiliki kebutuhan dan hajat yang terlaksana berkat uluran
tangan dari wujud Imam as. Begitu juga wujud Imam merupakan penyebab
tumbuhnya harapan manusia, sekaligus faktor penting dalam mensupport manusia
dalam pembersihan jiwa dan persiapan untuk kemunculan beliau as.” (SAL, Aqidah
Syiah, hal 102).
Dengan kadar cinta yang sangat luar biasa seperti ini, maka sudah tidak jelas lagi BEDA
ARAH OBJEK RASA CINTA antara :
a. mana yang cinta kepada ALLAH,
b. mana yang kepada Muhammad,
c. mana yang kepada Ahlul Bait, dan
d. mana yang kepada Imam Ghaib Al Mahdi.
Semuanya bersatu berpilin-pilin kusut dalam sebuah laku syariat yang dipraktekkan oleh
penganut aliran Syi’ah. Dan hari-hari para pencinta ini akan di isi dan dikendalikan oleh
30
rasa cinta terhadap objek itu yang bagi orang lain mungkin terlihat aneh dan berlebih-
lebihan.
Pada bagian sebelumnya sudah diulas secara singkat tentang :
a. Ada pula orang, kelompok atau aliran yang mencoba mengalirkan rasa cintanya
hanya kepada ALLAH seperti yang diperlihatkan oleh sufi wanita Rabiah Al
Adawiyah. Dengan rasa cinta yang membara kepada Allah, maka sang sufi hanya
asyik masyuk dengan “pendekatannya” kepada Allah dan di lain pihak meninggalkan
fungsi kekhalifahannya untuk membangun dan menjadi rahmat bagi alam semesta.
b. Dengan rasa pulalah orang bisa membenci, memusuhi, menyiksa, bahkan sampai
membunuh orang lain, serta menghancurkan sebuah kebudayaan atau bangsa. Saat
muncul sebongkah rasa tidak senang seseorang atau sekelompok orang atau aliran
terhadap orang lain karena orang lain itu menghalangi munculnya rasa enak dan
ekstasis pada dirinya melalui sebuah praktek agama atau kejiwaan, maka saat itu
pulalah sebuah power yang sangat dahsyat mulai diciptakan dan siap untuk
dimuntahkan kepada lawannya.
Dunia Islam sudah sangat kenyang dengan pengalaman membanjirnya darah merah
akibat penganut aliran-aliran atau sekte-sekte di dalam agama Islam saling terjebak
dengan sensasi RASA ini (nanti pada bagian tersendiri akan ditambah dengan uraian
terjebaknya aliran-aliran ini dalam INTELEKTUALITAS tentang pemahaman Al Qur’an dan
Al Hadits).
G. Sejarah Hitam
Awal sejarah hitam ini telah dimulai oleh sahabat-sahabat Nabi tak lama setelah
wafatnya Nabi. Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ai’syah, dan Mu’awiyah, adalah
sedikit nama dari ratusan bahkan ribuan nama-nama lainnya yang telah menorehkan
tinta merah dalam sejarah perjalanan Islam dengan terciptanya dua aliran utama
(mainstream) di dalam Islam yaitu :
• Ahlussunnah (Sunni) di satu sisi dan
• Syi’ah di sisi lainnya,
yang masing-masing mengklaim bahwa yang MURNI ISLAM itu HANYALAH kelompok
mereka. Masing-masing sisi mencap sisi lawannya sebagai KAFIR :
• Syi’ah menganggap penganut Sunni sebagai KAFIR, SESAT, TERLAKNAT, dan darah
pembelotnya pun halal untuk ditumpahkan (lihat. Mengapa saya ke luar dari Syiah,
hal X, Sayyid Husain Al Musawi).
• Di pihak lain, Sunni pun mencetak label KAFIR, SESAT kepada aliran Syi’ah ini dan
darahnya halal untuk ditumpahkan (lihat. Sikap Syi’ah terhadap Al Qur’an, hal 53,
Ahmad bin Abdullah Al-Hamdan).
31
Dan yang sangat mengagumkan lagi, varian dari dua aliran besar inipun bermunculan
dengan pesat. Jumlahnya mungkin sampai ratusan varian yang membuat kebesaran
ISLAM, AL QUR’AN, Muhammad SAW, menjadi hanya sebatas pengertian pihak Sunni
saja, atau pihak Syi’ah saja, atau pengertian dari pihak varian aliran-aliran yang muncul
bak cendawan di musim hujan.
Karena Islam itu TELAH menjadi kecil terkotak-kotak dan tersayat-sayat,
maka ISLAM itu dengan cepat menjadi seperti lentera yang kehabisan
minyak, dan dengan mudah dikalahkan oleh bangsa-bangsa lainnya.
Islam telah terkapar tak berdaya akibat tingkah penganutnya sendiri.
Aneh bin ajaibnya, “semangat” penorehan tinta darah itu sepertinya mau dipertahankan
dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Saat inipun generasi penerus
penoreh tinta merah itu exist bergerak dengan sangat intens, dan tetap akan tetap
exist :
. . . selama tidak adanya niat di antara mereka untuk melakukan “REKONSTRUKSI
BERFIKIR” terhadap ISLAM itu sendiri.
Kalau begitu, adakah JALAN KELUAR (MAKHRAJA) dari dahsyatnya pengaruh JEBAKAN
RASA ini ? Jawabannya adalah, ADA !
Untuk bisa terbebas dari jebakan RASA ini, maka jalan satu-satunya adalah :
. . . dengan KELUAR dari WILAYAH RASA itu yang berada di DADA (SUDUR, QALB).
Wilayah dada ini adalah sebuah wilayah yang disebut juga TUNGKU PERAPIAN, TUNGKU
PENYIKSAAN, dan sekaligus juga adalah RUANGAN PEMBEKU buat manusia di dunia ini.
Di tungku inilah adanya :
• ruangan panas dan dingin,
• ruangan benci dan rindu,
• ruangan iman dan kufur,
yang akan selalu muncul silih berganti mendera setiap manusia.
Kalau tidak mau terjebak dalam ketidaktetapan sifat ini, maka ke luarlah dari sana.
Karena kalau hanya sekedar di manajemeni, dibersih-bersihkan, ditekan-tekan,
maka yang akan mucul selalu sebuah sifat yang terbolak-balik, suasana rasa yang
turun-naik antara baik dan buruk.
Suasana yang menyiksa diri sendiri
32
H. Kebingungan Spiritual
Nah,
. . . perjalanan ke luar dari tungku perapian inilah yang disebut dengan peristiwa
SPIRITUALITAS, yaitu sebuah proses PERJALANAN (MI’RAJ) untuk menemukan
wilayah DIRI universal (muthmainnah) :
• “Diri yang tidak terpengaruh lagi oleh gejolak dan prahara tungku perapian.
• Diri yang selalu menerima pencerahan.
• Dan Diri itu lalu, selalu mengarah kepada sang Penciptanya”.
Diri dengan ciri seperti inilah yang disebut sebagai diri yang tenang,
• Diri yang tahu memanfaatkan tungku perapian itu untuk “memasak” dunia (tanpa
dia sendiri ikut terbakar di dalamnya), sehingga peradaban di dunia itu menjadi
berkembang dari waktu ke waktu dengan sangat menakjubkan.
• Akan tetapi Diri itu sekaligus juga bisa mendinginkan dan membekukan dunia (tanpa
dia ikut membeku di dalamnya).
Ya, diri yang tenang ini seperti terpisah dari prahara akibat panas dan dingin yang
berlebihan dari proses pembentukan peradaban itu, sehingga peradaban itu berubah
menjadi sebuah hidangan lezat untuk dinikmati. Sebuah peradaban yang tidak panas
dan tidak dingin, peradaban yang bisa mengalir membelah zaman membawa muatan
yang merupakan realitas dari PAHALA atau umpan balik buat sang DIRI itu di dunia ini,
saat ini juga.
Banyak orang yang masih bingung dengan istilah spiritualitas ini. Ada yang
menganggapnya hanya sekedar ucapan dan gerak anggota tubuh saja dalam sebuah
praktek ibadah dalam bingkai agama. Ada juga yang menganggapnya sebagai sebuah
peristiwa bertangis-tangisan akibat syahdunya lantunan do’a dan dzikir yang mendayu-
dayu. Bahkan ada yang mengangapnya sebagai hal yang baru dan tidak ada contohnya
di zaman Nabi (BID’AH). Padahal peristiwa spiritualitas ini tanpa disadari oleh mereka,
sebenarnya sedang terjadi pada diri manusia itu sendiri. Spiritualitas itu sedang mengalir
dalam diri manusia tanpa tertahankan sedikitpun, yaitu “proses kejadian manusia” dari
waktu ke waktu.
Manusia pada awalnya tiada, lalu ia diciptakan dari saripati tanah (unsur karbon,
hidrogen, oksigen, nitrogen, dll.) dalam bentuk air mani dan ovum yang dipersatukan,
lalu ada gerak tumbuh di dalam rahim, lalu dilahirkan, lalu tumbuh dari kecil menjadi
besar kemudian tua, lalu mati !
33
Kalau digambarkan pergerakan itu kira-kira adalah sebagai berikut:
AKU
(punya kehendak)
GERAK TUNGGAL
(yang membawa kehendak : hidup, melihat, mendengar, merasa, tahu)
Ujung Materi
Unsur-Unsur, Partikel, Saripati Tanah
Diri (Nafs)
(punya tubuh, indra, otak)
SHIBGHATULLAH
Hidup
Melihat, Mendengar, Merasa, Berfikir
Tahu
(peran dan maqam tempat kembali)
Diri Yang Tenang (Nafsul Muthmainnah)
AKU (Allah)
Catatan :
Pemahaman REALITAS GERAK di atas muncul sebagai oleh-oleh 17 Ramadhan 1425 H jam 12:00 s / d 01:30, saat kami
mengadakan pelatihan dengan Pak Haji Slamet Utomo di lapangan Rajawali, Buperta Cibubur.
34
Di sini ada sebuah “PERGERAKAN” yang tidak bisa ditahan oleh siapa pun dan oleh
apapun. GERAK (pada diagram di atas ditulis dengan huruf besar) itu menggerakkan
SUBSTANSI (pada diagram di atas ditulis dengan huruf besar & kecil) apapun yang selalu
hanya bisa ikut tanpa reserve atas apa-apa kemauan Sang Bergerak itu. Ya, substansi
apapun namanya, maka kalau kita perhatikan dengan hening, maka substansi itu
semata-mata nyata bersandar dan bergantung kepada “Gerak” itu. “Gerak” itu meliputi
segala sesuatu. Dan semua substansi itu bersandar dan bergantung kepada Sang
Bergerak secara kekal dan abadi. Pada tatanan manusia, maka substansi yang bersandar
kepada gerak kolosal yang abadi itu disebut juga sebagai Sang Nafs (diri Manusia).
Allah kemudian menerangkan lebih detail bahwa cikal bakalnya Sang Manusia (sang
NAFS) ini adalah dari saripati tanah yang kemudian dialiri “Gerak” yang di dalamnya
sudah terkandung “muatan” berupa HIDUP, MELIHAT, MENDENGAR, MERASA, TAHU.
Muatan gerak itu berguna bagi sang NAFS sebagai fasilitas atau sarana untuk melakukan
perannya sebagai KHALIFAH di muka bumi. Dalam istilah Al Qur’an mengalirnya GERAK
yang bermuatan hidup, melihat, mendengar, merasa, tahu ini kepada Sang Nafs disebut
juga dengan ditiupkan MIN-RUHI (RUH-KU) oleh ALLAH. Atau disebut juga Sang Nafs
telah mengalami celupan Allah (shibghatullah).
Gerak itu dengan telaten, tanpa henti, mengantar Sang Nafs melakukan perannya (amal)
sebagai Duta Istimewa Allah di alam dunia ini. Betapa tidak, untuk sekedar mengangkat
tangan saja, Sang Nafs tidak akan bisa jika “Gerak” itu ngambek mengaliri tangan si
manusia itu. Tidak dialiri “Gerak” di tangan itu dalam istilah manusianya disebut sebagi
“si lumpuh tangan”.
“Gerak” itu juga yang akan mengantarkan manusia melakukan peran sebagai Gatotkaca,
Bima, Presiden, rakyat jelata, petani, dan sejuta peran lainnya. Untuk menyadari
“Gerak” ini pada pribadi-pribadi yang diserahi peran itu, coba perhatikan aktivitas
sebuah pasar dari arah ketinggian. Misalnya berdirilah di balkon ITC MANGGA DUA.
Alihkanlah pandangan ke kerumunan manusia yang berada di lantai dasar balkon itu.
Perhatikanlah bagaimana ratusan Nafs seperti bergerak hilir mudik, kiri kanan, dengan
teratur, tidak bertubrukan satu dengan yang lainnya. Walaupun arah gerak itu tidak
sama, tetapi tidak terjadi tumbukan antar Nafs di lantai dasar itu. Sebenarnya yang
terjadi adalah Sang Nafs hanyalah DIGERAKKAN. Titik !
Gerak itu juga mengantarkan RASA kepada Sang Nafs tentang apa-apa yang mereka
lakukan, mereka lihat, mereka dengar, dan mereka ketahui. Dengan rasa itulah sang
Nafs punya indikator sebagai alat deteksi dini atas peran yang sedang di jalin oleh sang
Nafs dalam rantai kehidupan di dunia ini, sehingga dengan aliran rasa itu, sang Nafs bisa
melakukan “switching” seperlunya apabila GERAK itu mengalirkan rasa yang tidak enak
ke dalam dada sang Nafs. Tapi ada juga sang Nafs yang sudah TIDAK dialiri lagi dengan
35
RASA ENAK oleh Sang GERAK itu. Dalam istilah agamanya, sang Nafs yang sudah tidak
punya indikator rasa ini disebut sebagai si Nafs yang rasanya mati, hatinya mati, hatinya
gelap, hatinya keras, dan sebagainya.
Gerak itu juga mengolah denyut jantung, membawa darah melalui pembuluh darah ke
seluruh sel tubuh. Gerak itu juga memasukkan nafas dan mengeluarkan nafas dari paru-
paru Sang Nafs. Gerak itu menumbuhkan dan mengganti sel-sel tubuh Sang Nafs yang
sudah rusak agar bisa berfungsi dengan baik. Gerak itu tiada henti dalam kesibukan
menyempurnakan Sang Nafs.
Ya, Sang Nafs tadi dihantar oleh Sang Gerak Kolosal itu untuk merangkai amal (peran)
dan menenun kehidupan tanpa henti-hentinya sampai Sang Nafs menemukan posisi
akhirnya (maqam) yang akan tidak berubah lagi. POSISI ABADI. Posisi akhir ini
seharusnya adalah pada posisi “Diri yang Universal” (Nafsul Muthmainnah). Karena
memang Sang Gerak itu selalu punya kecenderungan (gharizah) untuk mengantar Sang
Nafs mengarah kepada suasana Diri yang Universal seperti Universalnya suasana GERAK
KOLOSAL itu sendiri.
Akan tetapi dalam perjalanan menghantar Sang Nafs menemukan posisi akhirnya
(maqam) yang seharusnya universal, kadangkala GERAK itu seperti terhenti di tengah
jalan. Gerak itu adakalanya tertahan oleh kuatnya tarikan ketubuhan (hawa un Nafs)
dan berubah menjadi posisi yang rendah dan terkotak-kotak :
• Ada Nafs yang hanya sanggup mencapai suasana diri yang Ammarah,
• Ada yang sampai ke wilayah diri yang Lawwamah.
Semua pencapaian maqam ini sangat tergantung pada :
. . . seberapa jauh kita menyadari dan membiarkan Sang Gerak itu membawa diri
kita dari satu suasana ke suasana lain yang lebih universal.
Dalam istilah agamanya disebut sebagai :
. . . bertambah dan bertambahnya keimanan kita saat kita diperdengarkan dengan
ayat-ayat Tuhan.
Kalaulah Gerak itu hanya bisa menghantar Sang Nafs sampai ke suasana diri Ammarah
ataupun diri Lawwamah, suasana yang serba tidak menentu, di mana saat di posisi ini
Sang Nafs mengaku-ngaku atas perannya, lalu diri (sang Nafs) itu keburu dipindahkan ke
alam akhirat, maka hampir bisa dipastikan pula bahwa :
. . . suasana diri yang Ammarah ataupun Lawwamah itu akan terbawa ke alam
akhirat.
36
Dan suasana tidak menentu itu pun akan dialirkan terus oleh Sang Gerak kepada sang
Nafs yang sudah berpindah alam ke alam akhirat itu. Dalam istilah agamanya Sang Nafs
DITARUH di tempat yang penuh siksa (neraka). Dan Gerak itu :
. . . mengalirkan rasa tersiksa yang tidak menentu tersebut secara Abadi kepada
Sang Nafs. KEKAL, SELAMA-LAMANYA. Hum fiha abada.
Akan tetapi sebaliknya, jika dalam menguntai kehidupan sewaktu di alam dunia Sang
Nafs berhasil mengikuti hantaran Sang Gerak sampai ntek, untuk menemukan posisinya
yang HAKIKI, yaitu posisi Diri Universal (Nafsul Muthmainnah), lalu dalam posisi diri
universal itu Sang Nafs dipindahkan oleh Sang Gerak ke kehidupan alam akhirat, maka
sungguh beruntunglah Sang Nafs itu. Karena pada suasana diri universal itu sudah tidak
ada lagi ketakutan dan kekhawatiran. Suasana diri yang berada di maqam yang tidak ada
takut dan khawatir ini disebut dalam istilah agamanya sebagai suasana SYURGAWI. Ya,
sang Nafs lalu dihantar oleh Sang GERAK meniti hari-harinya yang abadi untuk
merasakan suasana syurgawi. Sang Gerak itu menghantar Sang Nafs dalam mengarungi
suasana yang dia untai semasa sang Nafs hidup di alam dunia menjadi sebuah
kehidupan syurgawi selama-lamanya. ABADI, KEKAL. Hum fiha abada.
Tapi rentang waktu untuk menemukan posisi abadi ini sangatlah terbatas. Proses
menenun kehidupan ini hanya terjadi selama diri (Sang Nafs) yang terbuat dari saripati
tanah masih belum sempurna pembentukannya. Selama saripati tanah itu masih
disempurnakan di sana-sini, masih disembuhkan setelah sakit, masih diganti sel-selnya
yang rusak, masih diemplek-emplek oleh Sang Gerak menuju yang lebih sempurna, maka
hanya pada saat itulah kita punya kesempatan untuk merenda kehidupan kita menuju
posisi Diri Universal sebagai bekal untuk kehidupan abadi di akhirat. Karena kalau
saripati tanah itu sudah sempurna, sehingga tidak ada lagi yang perlu dipermak, tidak
perlu lagi sel-selnya yang rusak untuk diganti, maka saripati tanah itu sudah tidak
diperlukan lagi. Maka Sang Gerak itu mengambil kembali satu persatu aliran-aliran yang
pernah dialirkan Sang Gerak kepada Sang Nafs yang berupa saripati tanah itu. Sang
Gerak itu tidak lagi mengalirkan rasa melihat, rasa mendengar, rasa tahu, dan yang
terakhir rasa hidup kepada saripati tanah itu. Lalu sang Nafs secara kehidupan dunia
dikatakan MATI. Dan kemudian saripati tanah yang tadinya dibentuk dalam bentuk
tubuh manusia itu diurai melalui gerak pembusukan, pelelehan oleh Sang Gerak untuk
kembali menjadi unsur-unsur tanah.
Akan tetapi ada sebuah rahasia maha besar yang tersimpan dalam rentang waktu
menenun kehidupan selama hidup di dunia itu. Kita tidak tahu kapan Sang Gerak itu
memutuskan bahwa peran saripati tanah itu sudah sempurna dan lalu sang Gerak itu
akan berhenti mengalirkan aliran Melihat, Mendengar, Tahu, dan Hidup kepada saripati
tanah yang sedang merajut peran itu. Kita tidak tahu rahasia itu. Bisa jadi sepuluh tahun
37
lagi, atau bisa juga besok, atau bahkan beberapa menit lagi peran saripati tanah itu
sudah dianggap sempurna oleh Sang Gerak, sehingga saripati tanah itu lalu dimatikan.
Dan dalam ketidaktahuan kita itulah kita harus berpacu dengan waktu untuk merenda
hari agar bisa mencapai posisi Diri yang Universal yang dampaknya akan abadi di
kehidupan akhirat nantinya. Sebuah perjudian hidup yang sangat besar sebenarnya
tengah kita jalani tanpa kita sadari.
Akankah kita lalai dalam perjudian hidup yang maha besar itu ?
Terpulang kepada kita saja sebenarnya.
Seiring dengan diambilnya Melihat, Mendengar, Tahu dan Hidup dari saripati tanah itu
oleh sang Gerak, maka sang Gerak itu lalu menghantar Sang Nafs untuk beralih alam
dari alam dunia menuju alam Akhirat. Bersamaan dengan transformasi kehidupan Sang
Nafs itu, maka Sang Gerak itu tetap mengalirkan Melihat, Mendengar, Tahu dan Hidup
itu kepada Sang Nafs yang sudah berubah bentuk menjadi “kupu-kupu akhirat”, sebuah
bentuk yang tidak sama dengan susunan saripati tanah seperti sebelumnya. Dan dalam
bentuk “kupu-kupu akhirat” inilah kehidupan yang sebenarnya baru dimulai untuk
sebuah kehidupan ABADI dalam suasana sesuai dengan pencapaian Sang Nafs selama
menenun kehidupan di alam dunia. “Sang kupu-kupu akhirat” ini tak lain dan tak bukan
adalah Sang Nafs juga dalam bentuk lain. Dan Sang Gerak itu tetap mengantarnya secara
ABADI pula.
I. Makna Spiritualitas
Spiritualitas tak lain dan tak bukan adalah adalah sebuah pergerakan kesadaran
(INGAT=DZIKIR) substansi manusia (NAFS = DIRI, JIWA) untuk patuh, tunduk, dan
takluk terhadap KEHENDAK ZAT yang merupakan SUMBER dari sebuah GERAK
KOLOSAL yang membentuk, menghidupkan, mematikan, menggerakkan, dan
mencerdaskannya selama waktu yang telah ditentukan untuknya.
Selama dalam proses kreatif, dari awal pembentukan sampai dia mati kembali, saat dia
diemplek-emplek, dirombak, lalu disempurnakan kembali, dan akhirnya dimatikan, maka
substansi Nafs itu harus disadarkan bahwa :
• Dirinya hanyalah bentuk qodrat Tuhan.
• Jantung adalah qodrat Tuhan.
• Tubuh adalah qodrat Tuhan.
• Sudur (dada) adalah qodrat Tuhan.
• Otak adalah qodrat Tuhan.
38
Artinya semua atribut dari Nafs itu hanyalah tempat Tuhan berkreasi, tempat Tuhan
berbuat keramaian, tempat Tuhan menciptakan peradaban bagi kepentingan Nafs itu
sendiri.
Dengan munculnya kesadaran ingat (dzikir) pada Nafs (diri, jiwa) bahwa Sang Nafs itu
hanyalah bentuk dari qodrat Tuhan, maka saat itu pulalah Sang Nafs bisa mengikuti
sebuah Gerak Universal yang sangat KOLOSAL dengan tanpa hambatan bisa menemukan
jalan kembali kepada Pemiliknya. Dalam istilah agamanya Gerak Universal yang kolosal
itu disebut sebagai Sang MIN-RUHI (ruh-Ku) atau disebut juga RUH yang cenderung
membawa apapun untuk kembali mengarah kepada Sang Pemiliknya. Ya, Sang Ruh ini
tidak lagi tersangkut oleh “gravitasi sifat dan bawaan” Nafs (hawa un Nafs) atau tarikan
alam-alam rendah lainnya seperti jin, syetan, iblis, harta, tahta, dsb. Sang Ruh akhirnya
mampu saling berinteraksi dengan Sang Pemiliknya, yaitu AKU (Allah), sehingga
akibatnya Sang Nafs ikut menjadi objek yang menerima pencerahan demi pencerahan,
karena Sang Nafs itu sudah tidak punya pengakuan lagi. Hanya tinggal satu Aku yang
hakiki yang mengaku-ngaku, yaitu Aku (Allah).
Proses perjalanan kesadaran (INGAT) untuk TUNDUK, PATUH, dan TAKLUKnya NAFS
kepada kehendak (qodrat) Tuhan, dan proses KEMBALINYA MIN-RUHI kepada Sang
Pemiliknya setiap saat inilah yang disebut dengan peristiwa spiritual yang merupakan
FITRAH, atau SUNNAH (Sunatullah) bagi setiap makhluk ciptaan-Nya tak terkecuali bagi
manusia, Sang Duta Istimewa.
Jadi dalam proses spiritual itu ada 3 aktivitas besar yang terjadi berbarengan pada saat
yang sama:
a. Proses perjalanan kesadaran bahwa diri manusia, otak manusia hanyalah bentuk
qodrat (kehendak) Tuhan, maka kehendak Tuhan itu lalu menghadap (patuh,
takluk, tunduk) kepada Sunnah Tuhan (Sunnatullah).
b. Proses perjalanan kesadaran bahwa ruh manusia (atau kadang-kadang di sebut
juga oleh Pemiliknya dengan sebutan Aku, Bashirah = Yang Tahu) itu adalah Min-
Ruhi (Ruh-Ku), ruh milik Tuhan, ruh Tuhan, maka lalu ruh itu dengan kehendak
Tuhan kembali kepada Tuhan (Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun = Aku adalah milik
Tuhan, dan Akupun kepada Tuhanku Kembali)
c. Proses perjalanan rasa ingat Tuhan menghadap kembali kepada Tuhan.
Yusdeka tidak bisa membuat RASA INGAT.
• Qodrat Allah kembali kepada Allah !
• Min-Ruhi (Ruh milik Allah) kembali kepada Allah !
• Rasa ingat Allah kembali kepada Allah !
• Maka saat itu sirnalah nama-nama
• Lenyaplah pandangan dan pendengaran
39
• SirnalahYusdeka
• TIADA LAGI PENGAKUAN !
• Sirna, sirna.
• Tiada, tiada.
• Lenyap, lenyap.
• KOSONG !
• Yang ada adalah Yang Ada,
• Yang Ada,
• YANG ADA !
• Yusdeka fana, tiada,
• dan yang ada hanyalah Yang ADA !
• Yang ADA adalah AKU yang bening yang lepas dari tarikan grafitasi NAFS dan
terhindar dari pengaruh Alam-alam RENDAH lainnya.
• Yang ADA adalah AKU yang bening dan jernih yang selalu mendapatkan NUR dan
BURHAN (pencerahan, enligthment) dari Tuhanku.
• AKU, AKU, AKU, AKU,
• INGSUN, INGSUN,
• SANG HIDUP,
• SANG TAHU,
• SANG MATA KEHIDUPAN,
Maka apabila AKU telah bernyata:
Al Anfaal (8 : 17)
"Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah
yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar,
tetapi Allahlah yang melempar."
Hadits Qudsy, HR Bukhari
"Maka Aku merupakan pendengaran yang ia gunakan, Aku merupakan penglihatan
yang ia gunakan, Aku merupakan tangan yang ia gunakan untuk menyerang, dan Aku
merupakan kaki yang ia gunakan untuk berjalan.”
Jadi SPIRITUALITAS adalah :
• Sebuah proses PEMBEBASAN AKU dari pengaruh hisapan dan jebakan gravitasi-
gravitasi NAFS (Hawa Un NAFS) yang berupa Pikiran dan Rasa, sehingga
• Sang NAFS secara otomatis juga akan terbebas dari tarikan alam-alam rendah
(jin, syetan, iblis, dan NAFS-NAFS lainnya).
40
AKU lalu kembali kepada FITRAH-KU dengan menjadi substansi yang MERDEKA, yang
selalu mengarah, memancar kepada TUHAN-KU, sehingga AKU selalu mendapatkan
arahan dan pancaran NUR dari TUHAN-KU setiap saat. Sesuai dengan tugas-KU sebagai
Duta Istimewa, maka AKU lalu menjadi menjadi KUSIR atas NAFS-KU untuk mengelola
dan memakmurkan dunia ini sesuai dengan Sunnah Tuhan-Ku (sunatullah) !
Kalau tidak sampai mendapatkan AKU yang bening dan merdeka seperti ini, maka
posisi itu namanya adalah diri yang tersekat, tersasar, yang dalam istilah agama
disebut dengan SYIRIK !
Perilaku syirik inilah yang menjadikan manusia itu disebut sebagai PENGKHIANAT
TUHAN. Sang Duta Istimewa yang mbalelo terhadap Tuhan yang mengutusnya.
J. Kerancuan Sistematika Berfikir Yang Sangat Luar Biasa Juga Telah Terjadi Dalam
Memahami Sunnah (Al Qur’an dan Al Hadits).
1. Kerancuan 1 Dalam memahami Al Qur’an
Secara sistematis Al Qur’an telah menjadi sebuah kitab kosong yang hanya tinggal
sebatas dibaca, dihafal, dan dilombakan. Ada memang upaya dilakukan untuk
penafsiran ayat-ayatnya secara kontekstual, akan tetapi sayang tafsirannya itu :
• Masih terkesan ragu-ragu dan malu-malu dan
• Nyaris selalu dibawa mundur dan mundur ke alam budaya dan pengertian zaman
Salafus Shalih sekitar seribu tahunan yang lalu.
Padahal Al Qur’an itu adalah sebuah kunci pembuka sebuah gudang penyimpan
senjata pusaka yang sangat ampuh bagi bekal kehidupan umat manusia. Allah
menyatakan di dalam Al Qur’an bahwa ada senjata pusaka di sebuah gudang
penyimpanan rahasia yang diperuntukkan bagi umat Islam sebagai pewaris dan
penerima peta wasiat tempat penyimpanannya. Akan tetapi kunci itu secara tidak
sengaja ternyata telah dibuang oleh umat Islam dan telah beralih tangan kepada
umat yang tidak beragama Islam, sehingga mereka berhasil mendapatkan senjata
pusaka yang ternyata memang sangat ampuh untuk bekal mengelola dunia ini.
Bahkan sangat ampuh untuk menghadapi dan mengalahkan umat Islam itu sendiri.
Hal ini persis seperti kejadian dalam cerita silat Kho Ping Hoo, di mana seorang
Pendekar Sakti meninggalkan pusaka berupa sebuah kitab silat dan Pedang
Penakluk Naga. Di akhir hayatnya, Pendekar itu menyepi mencari jalan Tuhan di
dalam sebuah gua tersembunyi sampai matinya. Si Pendekar masih sempat
menuliskan sebuah pesan singkat (peta menuju Gua Rahasia itu) sebelum nafasnya
berhenti:
41
“Peta ini akan menuntun bagi siapapun yang menemukan “Peta ini akan menuntun bagi siapapun yang menemukan “Peta ini akan menuntun bagi siapapun yang menemukan “Peta ini akan menuntun bagi siapapun yang menemukan
peta ini untuk menuju gua tempat menyimpan kitab dan peta ini untuk menuju gua tempat menyimpan kitab dan peta ini untuk menuju gua tempat menyimpan kitab dan peta ini untuk menuju gua tempat menyimpan kitab dan
pedang sebuah ilmu silat yang sangat hebat. Semoga ilmu ini pedang sebuah ilmu silat yang sangat hebat. Semoga ilmu ini pedang sebuah ilmu silat yang sangat hebat. Semoga ilmu ini pedang sebuah ilmu silat yang sangat hebat. Semoga ilmu ini
tidak berpindah tangan kepada orangtidak berpindah tangan kepada orangtidak berpindah tangan kepada orangtidak berpindah tangan kepada orang----orang yorang yorang yorang yang jahat, ang jahat, ang jahat, ang jahat,
sebab kalau ilmu ini dipegang oleh orang jahat, maka dunia sebab kalau ilmu ini dipegang oleh orang jahat, maka dunia sebab kalau ilmu ini dipegang oleh orang jahat, maka dunia sebab kalau ilmu ini dipegang oleh orang jahat, maka dunia
persilatan akpersilatan akpersilatan akpersilatan akan mengalami kekacauan dahsyat.an mengalami kekacauan dahsyat.an mengalami kekacauan dahsyat.an mengalami kekacauan dahsyat.””””
ttd.ttd.ttd.ttd.
Pendekar Sakti.Pendekar Sakti.Pendekar Sakti.Pendekar Sakti.
Singkat kata, melalui sebuah peristiwa “kebetulan”, kitab dan pedang pusaka sakti
itu duluan jatuh ke tangan seseorang yang mempunyai karakter jahat dan angkara
murka. Tak lama kemudian tersiarlah kabar ke seantero negeri bahwa seorang
pendekar jahat telah turun gunung malang-melintang di dunia persilatan menebar
bencana.
Gua itu telah kosong, kitab dan senjata pusakanya telah berpindah ke tangan yang
salah. Walaupun suatu saat nanti ada pendekar baik-baik yang menemukan gua itu,
maka dia tidak akan menemukan apa-apa lagi. Tinggallah dunia persilatan yang
mayoritas berisikan orang-orang baik menjadi bulan-bulanan si pendekar jahat. Se-
mentara itu si pendekar baik hanya termangu menyadari keterlambatannya.
Untuk dapat mengalahkan ilmu si pendekar jahat yang sakti itu, maka diperlukan
pula kitab dan senjata pusaka lain yang seimbang. Butuh berbilang tahun kemudian
untuk munculnya seorang pendekar sakti yang baik sebagai lawan yang seimbang
bagi si pendekar jahat itu. Bahkan mungkin harus berganti generasi dulu baru dunia
persilatan untuk kembali aman dan damai !
Hal yang serupa juga terjadi dalam realitas perjalanan agama Islam. Pada awalnya
penyebarannya, umat Islam telah dibekali dengan sebuah peta yang akan
membawa penganutnya untuk menemukan sebuah pusaka untuk mengelola dan
memakmurkan dunia. Peta itu adalah Al Qur’an yang telah dengan baik dipakai oleh
Rasulullah Muhammad SAW untuk mendapatkan senjata pusaka yang cocok untuk
menghadapi segala problematika hidup di zaman Beliau. Akan tetapi berbilang
zaman kemudian, peta itu telah dipakai dan direalisasikan oleh orang lain, dan
mereka berhasil mendapatkan senjata pusaka yang sangat ampuh. Sedangkan bagi
umat Islam, yang tersisa tinggallah peta kosong yang nyaris tidak bermanfaat apa-
apa,
42
. . . selain hanya untuk mendapatkan pahala dalam membaca dan
menghafalnya.
Ya, akibatnya, fungsi Al Qur’an yang tertinggal bagi umat Islam (dengan paradigma
berpikir seperti sekarang ini) boleh dikatakan hanyalah sebatas gudang yang sudah
kosong melompong. Isinya telah duluan diambil oleh umat non muslim. Dengan
senjata itu pulalah mereka mengalahkan dan mengebiri umat Islam hampir di
seluruh dunia. Tinggallah :
. . . umat Islam bisanya hanya sebatas meratapi nasib dan memaki-maki sana-
sini. Memaki Amerika, memaki Yahudi, memaki Barat !
Walaupun Barat telah menemukan senjata pusaka itu, akan tetapi ternyata Barat
tidak mampu memanfaatkan pusaka itu dengan utuh. Ada jurus-jurus dan amunisi
yang tertinggal. Dan yang tertinggal itu ternyata adalah bagian pamungkas dari
rangkaian ilmu dalam pusaka yang telah tercuri itu. Akibatnya Barat gagal
memanfaatkan pusaka itu untuk kemakmuran dunia. Alih-alih memakmurkan dunia,
malah Barat terperosok kepada penghancuran dunia dengan peradaban manusia di
dalamnya.
Lengkap sudah sarana untuk penghancuran peradaban manusia itu tersedia saat
ini :
• Di satu pihak umat Islam sudah tidak punya pusaka apa-apa lagi sebagai bekal
untuk membangun peradaban itu.
• Di pihak lain umat non muslim (baca Barat) berhasil mendapatkan pusaka itu,
akan tetapi sayangnya bagian terpenting dari pusaka itu yang berfungsi sebagai
sebagai langkah penutup atau langkah pamungkas malah mereka tinggalkan.
Yaa, beginilah dunia jadinya !
Apa bentuk senjata pusaka yang telah dicuri orang itu ? Nanti akan saya bahas lebih
dalam pada artikel “Rekonstruksi Berfikir” sub bagian “Al Qur'an Adalah Teropong
Kauniah”.
2. Kerancuan 2 Dalam memahami Al Qur’an
Kerancuan pemahaman Al Qur’an yang lainnya adalah dalam hal memahami
DUALITAS yang terkandung di dalam ayat-ayatnya. Dalam artikel “Menggabung
Kutub Dualitas”, saya sudah singgung secara cukup detail, bahwa di dalam Al Qur’an
seperti ada dua kutub sikap yang sepintas “kelihatannya” saling berlawanan
(bertentangan) bagi manusia dalam menjalani kehidupan ini, yaitu KUTUB
RASIONALIS dan KUTUB FATALIS. Kedua kutub ini difasilitasi keberadaannya oleh Al
Qur’an:
43
Kutub RASIONALIS difasilitasi paling tidak oleh ayat berikut:
Ar Ra'du (13 : 11)
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia."
Kutub FATALIS diwakili secara umum oleh ayat berikut:
At Thalaaq (65 : 2-3)
"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu."
Nah, dengan paradigma kerancuan berfikir seperti sekarang ini, jarang sekali umat
Islam yang mampu menggabungkan kedua kutub tersebut menjadi sebuah harmoni
dalam kehidupan, seperti harmoninya panas dan dingin di permukaan bumi yang
telah menghasilkan angin, awan, dan hujan. Umumnya, orang hanya masuk ke
dalam sebuah kutub saja dan menafikan kutub yang lainnya.
Misalnya, orang yang hanya berada pada posisi kutub RASIONALIS, maka segala
sesuatunya yang mereka hadapi akan diukur dengan meteran RASIONAL atau
TIDAKnya. Namun sayangnya meteran yang dipakai untuk mengukur itu seringkali
adalah file yang tersimpan di dalam otaknya. Dan alat masukan datanya juga hanya
sebatas pada bacaan, melihat, dan mendengar atas objek yang sedang diamatinya.
Dalam posisi kutub ini ALLAH seperti berlepas tangan terhadap apa-apa yang akan
dicapai oleh manusia. Dari ayatnya, manusia di fasilitasi untuk mengembangkan diri
tanpa batas.
� “Kau rubah kehidupanmu sendiri.”
� “Kau tentukan masa depanmu sendiri.”
� “Aku tidak ikut-ikut untuk merancang masa depanmu.”
Luar biasa sekali fasilitas yang diberikan Tuhan ini, bahkan nyaris bisa membawa
orang untuk bersikap ATHEIS. Dan dengan fasilitas begitu bebasnya, telah lahir
berbagai pengetahuan tentang ke alaman seperti fisika, kimia, matematika, biologi,
ekonomi dan ilmu-ilmu lainnya. Semuanya ilmu itu ternyata memang bermanfaat
untuk mengantar peradaban manusia meniti zaman.
44
Akan tetapi, karena mereka hanya mementingkan faktor rasionalitas belaka, tak
jarang yang terjadi adalah munculnya generasi yang pada satu sisi mereka memang
mampu menangkap bahasa Tuhan yang berada pada setiap ciptaan Tuhan, akan
tetapi di sisi lain mereka merasakan kekeringan RASA di dalam JIWAnya. Akibatnya
untuk mencari kekeringan JIWA itu, maka praktek-praktek mengasah dan
menghidupkan rasa itu sangatlah digandrungi mereka. Di Barat sana, yang
digandrungi orang dan berkembang dengan pesat saat ini adalah praktek-praktek
tasawuf, meditasi, psychic, psychology transpersonal/transcendental, yang tentu
saja dengan OBJEK FIKIR yang berbeda-beda pula.
Pembimbing kami pernah ajukan pertanyaan kepada seseorang dari Perancis, saat
dia datang ke Indonesia mencari tasawuf: “Kenapa anda ingin masuk ke tasawuf,
bukannya mencari Islam atau Kristen ? Jawabnya: “Saya nggak mau Islam, saya
nggak mau Kristen, karena dua-duanya suka berantem dan senang gontok-
gontokan.”. Duh kasihan sekali agama-agama ini!
Penyebab dari kekeringan jiwa ini kalau ditelusuri dari bunyi ayat Ar Ra’du 11 di
atas, maka bagi yang manusia yang arif akan dapat menangkap pokok
permasalahannya, yaitu karena sang manusia telah berkhianat terhadap Tuhan.
Manusia yang walaupun kelihatannya mampu sedemikian rupa untuk
mengembangkan peradaban dan pengetahuannya sampai “keujung ilmu”, mereka
ternyata kebanyakan lupa bahwa pada hakikinya (yang sebenarnya) Tuhanlah yang
merubah peradaban manusia. Tuhanlah yang menciptakan ilmu, Tuhanlah yang
berkreasi, Tuhanlah yang menata peradaban manusia itu.
Awal ayat di atas menyiratkan: “nanti Kuubah dan Kuikuti seperti apa maumu.” Ya,
pada hakekatnya Tuhanlah yang berkehendak, yang mengatur peradaban manusia
melalui “aliran tahu, aliran cerdas, aliran kuasa” yang menyusup mengisi sel-sel otak
manusia. Jadi HANYA KELIHATANNYA saja manusia itu bisa, manusia itu tahu,
manusia itu kuasa, dan sebagainya, padahal semua itu adalah fasilitas MILIK ALLAH
yang diberikan buat manusia untuk mengemban amanat sebagai Duta Istimewa
Tuhan di dunia ini.
Ya, masalahnya ternyata hanya sederhana saja. Sang Duta Istimewa telah lupa, lalai,
tidak ingat (nisyan) bahwa semua fasilitas itu harus didudukkan pada tempat yang
sebenarnya. Untuk dengan kerelelaan dan kesadaran penuh MENGEMBALIKANNYA
kembali kepada ALLAH.
K. Ya, Pengembalian !
Pada kutub yang berlawanan, yaitu kutub FATALIS, hal yang sebaliknya terjadi. Pada
kutub ini kalau dilihat secara sepintas seakan-akan sudah islami sekali :
45
a. Sedikit-sedikit omongan yang ke luar dari mulut kaum fatalis ini adalah :
1) taqwa,
2) tawakkal,
3) beriman,
4) syurga,
5) ketinggian derajat Islam,
6) dan segudang yang baik-baik lainnya.
Semua disampaikan dengan sangat FASIH sekali, saking hafalnya.
b. Atribut Islam lain pun seperti melekat erat dengan kutub ini, misalnya kitab-:
1) kitab kuning,
2) kitab Arab gundul.
Konsep-konsep kenegaraan dan kepemimpinan islami pun muncul, walaupun pada
tatanan atau pola yang masih berupa ide-ide lama yang diberikan sedikit sentuhan
istilah-istilah terkini.
Akan tetapi pada kenyataannya, “jalan ke luar (makhraja) dari setiap permasalahan,
begitu juga pencukupan dari segala kebutuhan” seperti yang dijanjikan Tuhan dalam
surat At Thalaaq ayat 2-3 sepertinya masih jauh panggang dari api kalau tidak mau
dikatakan gagal total.
Walaupun nyaris tanpa hasil seperti tadi, namun masih ada hal-hal positif yang bisa
diambil sebagai keunggulan para pengamal kutub fatalis ini. Yaitu ketakutan mereka
akan neraka, siksa kubur, dan sekaligus juga harapan mereka yang sangat besar untuk
dapat mencicipi nikmat syurga dan melihat wajah Tuhan langsung nantinya di AKHIRAT,
telah membuat mereka bisa mampu bersikap, berperilaku dan bertindak sesuai dengan
karakter atau simbol-simbol kebaikan, walau dengan hati yang tertatih-tatih. Kerisauan
dan pertanyaan panjang akan ketiadaan hasil dalam wujud materi (pengetahuan dan
uang) itu kemudian berhasil mereka redam dengan memakai ayat:
At Thalaaq (65 : 2-3)
"Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan
barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu."
Sekilas, bersandar kepada ayat ini kelihatan sangat Qur’ani sekali :
• Allah telah mengatur segala sesuatunya buat manusia, manusia tinggal bertakwa,
bertawakkal, beriman saja, dan hasilnya
• Allah yang akan menentukan segala sesuatunya buat si manusia.
46
Akan tetapi :
. . . dengan hanya bersandar kepada ayat inilah kemudian yang memunculkan
KEJUMUDAN pemikiran di dalam mayoritas umat Islam. Umat Islam kehilangan
RASIONALITASNYA dalam kehidupan beragamanya. Yang muncul adalah sebuah
praktek agama dengan karakter penganutnya berpola fikir doktrinasi. Doktrin,
doktrin, dan doktrin, sehingga melahirkan generasi TAKLID terhadap buah karya
ulama-ulama terdahulu.
Dan ulama lalu jadi tersegmentasi menjadi hanya sekedar sekelompok orang yang hafal,
yang fasih dengan ayat-ayat Al Qur’an, Al Hadits, dan istilah-istilah agama lainnya.
Sedangkan mengenai tanda-tanda Tuhan yang bertebaran di alam semesta, di langit dan
di bumi,
. . . sang ulama fatalis ini hanya bisa terbengong-bengong tidak tahu apa
yang akan diucapkan. Sang ulama hanya berpuisi tentang alam semesta
itu.
• Oh langit, ada apakah gerangan yang ada padamu ?
• Oh bumi, kandungan apa yang ada diperutmu ?
• Oh waktu dhuha, alangkah indahnya kamu !
Yang ada hanya puisi, puisi, dan itu dilagukan dengan suara yang sangat mendayu-dayu.
Allah sendiri “bingung” menghadapi orang fatalis seperti ini. Allah berkali-kali
mengatakan, bahwa Dia menciptakan apa-apa yang ada di langit dan di bumi ini untuk
dikelola, untuk dimanfaatkan oleh manusia untuk kemakmuran mereka. Bahkan :
• Allah ingin menciptakan alat transportasi melalui otak manusia.
• Allah ingin menciptakan obat-obatan yang menyembuhkan melalui otak manusia.
• Allah ingin menciptakan peradaban demi peradaban melalui otak manusia.
• Allah menciptakan pesawat terbang dan kapal laut melalui otak manusia.
• Allah menciptakan bom atom melalui otak manusia.
Sama halnya dengan Allah menciptakan oksigen lewat fotosintesis dunia tumbuh-
tumbuhan. Begitulah seterusnya. Allah mencipta “KUN” dan dengan sebuah proses lalu
jadilah “FA YAKUN”.
Tapi sang manusia fatalis hanya bisa berperilaku dan bersikap :
• Saya cukup bertakwa saja.
• Saya cukup bertawakal saja.
• Saya cukup berdo’a saja.
47
• Saya cukup sama dengan ulama-ulama dulu kala saja. Biar umat lain yang
menciptakan pesawat, obat-obatan, dan peradaban baru.
• Saya cukup zuhud saja.
• Saya cukup ikhlas saja.
• Saya cukup mencintai Tuhan saja.
• Saya tidak perlu dunia ini, saya adalah umat yang mementingkan kehidupan akhirat
saya saja, saya hanya ingin syurga saja !
Duh Gusti, yakin benar mereka bisa masuk ke syurga !
Lebih jauh lagi, bahkan Allah menciptakan manusia dengan perantara otak manusia.
Allah ciptakan rasa enak pada manusia saat mereka berhubungan antara suami-istri.
Rasa enak itu termemori di otak mereka, sehingga pada waktu-waktu tertentu memori
itu muncul kembali untuk dipuaskan kembali. Jadi Allah “bingung” melihat kalau ada
manusia yang tidak mau untuk menikah. Tapi. eiiiit tunggu dulu, ternyata dalam usaha
membantu Tuhan untuk menciptakan manusia inilah manusia fatalis dapat tersenyum
dengan sumringah. Karena mereka sangat hapal dengan ayat Al Qur’an bahwa mereka
boleh menikahi wanita sampai empat, sehingga mereka lalu dengan bangga mengatakan
bahwa mereka ikut sunnah Nabi, mereka ikut anjuran Al Qur’an. Ah, Anda ini !
Lengkap sudah fasilitas pengkhianatan duta istimewa Tuhan itu :
• Sudah berpecah dan saling hantam yang dimulai sejak tumbuhnya cikal bakal
peradaban Islam, yaitu dimulai oleh perselisihan mertua dengan menantu (Aisyah
dengan Ali bin Abi Thalib) yang kemudian ini membidani lahirnya perseteruan abadi
antara Mahzab Sunni dengan Mahzab Syi’ah.
• Kemudian ditambah lagi munculnya pengkristalan kutub RASIONALIS dan FATALIS di
zaman RUSYDI dan GHAZALI. Di mana RUSYDI boleh dikatakan sebagai bidan yang
melahirkan kutub RASIONALIS, sedangkan GHAZALI membidani lahirnya kutub
FATALIS. Di mana antar Mahzab besar, dan antar KUTUB di atas terjadi pertentangan
dan penyesatan antara para pihak yang terkristal itu.
Padahal melalui otak kedua orang inilah (RUSYDI dan GHAZALI) Tuhan berkreasi
untuk menempatkan tonggak pergerakan peradaban dunia, terutama pasca
pencerahan agung yang misterinya berhasil dikuak oleh Muhammad SAW. Pada
awalnya keduanya adalah pribadi-pribadi yang lengkap. Keduanya adalah manusia
rasionalis dan sekaligus juga fatalis. Keduanya berkembang sedemikian rupa,
sehingga pada suatu waktu di mana keduanya mulai dilanda oleh problema keakuan
masing-masing.
48
Tahafut al
Falasifah
Sampai suatu saat Ghazali menghujat Rusydi melalui bukunya
yang terkenal Tahafut al Falasifah (kerancuan atas logika berfikir).
Tahafut al
Tahafut
Kemudian Rusydi pun membalasnya dengan tak kalah sengitnya
dalam Tahafut al Tahafut (kerancuan atas kerancuan).
Dan daya perseteruan kedua orang ini memancar sampai ke zaman sekarang ini, yang
kemudian bermuara dengan :
. . . pengharaman ijtihad (kebebasan berfikir rasional atas setiap problematika
kehidupan manusia) di wilayah Islam (timur).
Sejak itulah mulai zaman kejumudan pemikiran (fatalis) dalam perjalanan Islam mulai
ditanamkan.
Akibatnya, bangunan Islam yang kokoh yang pernah dibangun dengan susah payah oleh
Nabi Muhammad SAW, kemudian berubah menjadi sebuah bangunan yang di dalamnya
menyimpan bara api yang siap menyambar dan membakar orang-orang yang ada di
dalamnya, orang-orang yang kelihatannya saja sama tapi pada kenyataannya adalah
berbeda. Bangunan Islam jadinya seperti sebuah aliran air sungai yang kelihatannya saja
tenang, tapi ketenangan itu sanggup menyapu bersih apa-apa yang ada di atasnya tanpa
sisa.
Dalam perjalanannya :
a. Karakter Ghazalian (fatalis) ini kemudian menyebar ke belahan bumi bagian timur.
Dengan memanfaatkan DOKTRIN yang ketat terhadap pengikutnya, maka ciri-ciri
fatalis ini kemudian diadopsi dan dipakai oleh kedua mahzab besar (Sunni dan
Syiah) dalam mengembangkan sayap mereka. Jadi pada hakekatnya, Islam yang
diwakili oleh peradaban TIMUR itu, tidak lain dan tidak bukan adalah kelanjutan dari
pemikiran-pemikiran fatalis Al Ghazali yang kemudian disesuaikan dengan karakter
dari sub-usungan yang akan dipasarkan oleh penganutnya. Dalam hal ini
penyebaran agama Kristen juga sangat terpengaruh dengan karakter Ghazalian ini.
Hal ini disebabkan karena wilayah Timur memang sangat dekat keberadaannya
dengan peradaban yang lebih tua, yaitu peradaban Hindu, Budha dan Persia.
Peradaban tua ini kemudian ikut mewarnai penyebaran kebudayaan Islam ke arah
timur. Walaupun usungannya berbeda, tetap saja ada benang merah yang bisa
ditarik dengan karakter yang sama untuk masing-masing sub usungan itu, yaitu :
TAKLID BUTA, TERIKAT KUAT DENGAN DOKTRIN, dan manfaatnya untuk
membangun peradaban dunia pada zamannya nyaris tidak ada.
49
b. Di lain pihak, karakter RUSYDIAN (rasionalis) berjaya memunculkan berbagai ilmu
pengetahuan dan filsafat di kota Cordoba, yang saat itu merupakan wilayah yang
begitu mencorong dengan peradaban Islam dan perkembangan teknologinya.
Sampai saatnya, kemudian peradaban Islam di Cordoba ini dihancurkan oleh umat
Kristen dalam peperangan demi peperangan. Buku-buku pengetahuan yang sangat
berharga, waktu itu diboyong habis ke pelosok-pelosok Eropa dari Cordoba oleh
pasukan Kristen sebagai pemenang perang. Cordoba lalu tinggal menjadi sejarah.
Hebatnya, untuk umat Islam, yang disisakan hanyalah kitab-kitab sastra Arab,
seperti kitab :
• ilmu balaghah,
• ilmu fiqih,
• ilmu nahu sharaf,
• ilmu tasawuf,
• ilmu hadits,
• ilmu tafsir Al Qur’an,
• dan sebagainya.
Umat Islam lalu sibuk atau disibukkan dengan sastra Arab itu yang kemudian
hanya pengetahuan sastra Arab inilah yang dianggap sebagai Islam, bahkan
sampai saat ini sekali pun masih seperti ini.
Hasilnya adalah sebuah bangunan Islam yang cenderung berkarakter FATALIS.
Masyarakat Eropa kemudian mengadopsi kejayaan kaum Rasionalis ini yang ujung-
ujungnya adalah terbukanya kunci-kunci pintu ilmu pengetahuan. Lalu bermunculanlah
penemuan-penemuan baru di bidang teknologi, kedokteran, fisika, kimia, biologi,
kedokteran, ekonomi, dan tak terkecuali kebudayaan. Kunci-kunci ilmu inilah kemudian
yang merupakan cikal bakal yang melahirkan dan membawa peradaban Barat sampai
seperti saat sekarang ini. Sebuah peradaban yang berkarakter RASIONALIS. Tentang
kunci-kunci ilmu ini akan saya uraikan lebih dalam pada artikel “Rekonstruksi Berfikir”
sub bab “Al Qur'an Adalah Teropong Kauniah”.
Yang menarik adalah, bahwa kunci-kunci ilmu itu juga ternyata bersinggungan dengan
keyakinan gereja yang kalau dilihat karakter pengajarannya juga bersifat FATALIS. Gereja
pada umumnya juga memelihara doktrin-doktrin yang lebih sering bertentangan dengan
rasionalitas berfikir. Saat itu pernah terjadi “pengharaman” ilmu pengetahuan. Bahkan
terjadi juga pembunuhan terhadap ilmuan yang mempunyai pendapat yang
bertentangan dengan gereja. Persinggungan itu mencapai puncaknya tatkala kaum
rasionalis memproklamirkan posisi untuk memisahkan diri dari gereja. Pemisahan posisi
gereja (agama Kristen) dari ilmu pengetahuan dan teknologi (rasionalitas) itulah yang
50
sekarang disebut sebagai gerakan SEKULERISASI. Jadi kaum sekuler itu adalah
sekelompok orang yang ke luar dari karakter ajaran gereja yang FATALIS dan
DOKTRINASI menuju kepada sebuah gerakan yang mengutamakan karakter RASIONAL
dan KEBEBASAN BERFIKIR dalam menyikapi peradaban. Dan ternyata gerakan sekuler ini
berhasil menancapkan peradaban modern sampai kepada kita saat ini.
Kalau dilihat dengan hati yang jernih, gerakan sekuler ini adalah sebuah pergerakan
orang untuk meninggalkan gereja menuju satu sisi karakter Islam yang dimotori oleh
RUSYDI, yaitu Rasional. Jadi Sekuler itu adalah sebuah gerakan ke luar dari gereja untuk
kembali kepada Islam ! Any comments ?
Dan perkembangan peradaban ISLAM mengarah ke mana ?
L. Menjadikan Agama Sebagai Kuda Tunggangan
Umat Islam dengan modal sastra Arab yang tersisa, kemudian seperti berjalan meniti
buih dalam menghadapi zaman demi zaman. Ratusan tahun kemudian (bahkan sampai
saat ini pun) cahaya Islam seperti padam, atau paling tidak seperti lampu teplok yang
kehabisan minyak :
• Umat Islam lebih sibuk dengan doktrin-doktrin fatalis yang muncul bak cendawan di
musim hujan.
• Perseteruan Aisyah dengan Ali bin Abi Thalib dengan doktrin semangat serba akhirat
dipelihara dengan gigih oleh kelompok-kelompok dan aliran-aliran yang terkristal
menjadi Sunni di satu sisi dan Syiah di sisi lainnya.
Walaupun sekilas terlihat berbeda, akan tetapi keduanya adalah bentuk yang sangat
mirip, kalau tidak mau dikatakan sama dan sebangun. Yaitu keduanya adalah penerus
karakter yang dibentuk oleh GhazaliI. Fatalis saja sebenarnya kedua aliran ini. Fatalis
dengan “objek fikir dan objek pemujaan” yang berbeda. Ya, hanya objek “mind binding”
nya saja yang berbeda :
• Sunni binding dengan objek “Al Qur’an dan As Sunnah”, sedangkan
• Syiah binding dengan objek “Al Qur’an dan Ahlul Bait”.
Kedua macam kalimat sakti ini kemudian sama-sama di klaim oleh masing-masing aliran
sebagai “pesan terakhir” Nabi Muhammad SAW sebelum beliau wafat.
Dari perbedaan dasar berpijak ini, kemudian lahirlah pertentangan “politik” antar Fatalis
itu sendiri. Ulasan tentang As Sunnah di satu sisi versus uraian tentang keistimewaan
Ahlul Bait di sisi lain begitu menggelorakan semangat pengusung Sunni dan Syiah ini.
Sampai-sampai Al Qur’an sendiri pun ikut jadi korban. Ya, Al Qur’an pun lalu ditafsirkan
sesuai dengan muatan usungan masing-masing, sehingga jadilah agama hanya sebagai
kuda tunggangan “politik” mereka. Duh, kasihan sekali Rasulullah. Jerih payah Beliau
mengaktualisasikan Al Qur’an selama hidupnya telah diacak-acak nggak keruan oleh
51
penerus-penerus tongkat estafet kepemimpinan Beliau hanya dalam berbilang tahun
pasca kewafatan Beliau.
Dalam perjalannya, kemudian dari dua aliran mainstream Islam ini telah lahir ratusan
varian yang dinisbatkan kepada pencetusnya, misalnya:
a. Mu’tazilah dengan tidak kurang dari 12 aliran berbeda seperti washiliyyah,
hudzailiyyah, bisyriyyah, dsb.
b. Jabariyyah
c. Shifatiyyah
d. Khawarij
e. Murji’ah,
f. Sedangkan Syi’ah sendiri pecah menjadi tidak kurang dari 30 cabang, misalnya
Imamiyyah, Rizamiyyah, Ismailiyyah al waqifah, dsb.
g. Ahmadiyah,
h. Di zaman modern sekarang, terutama di Indonesia, varian aliran ini juga sangatlah
ramai. Hah, biarin sajalah.
Hampir 1400 tahun kemudian :
. . . yang tersisa bagi umat Islam maupun masyarakat dunia hanyalah buah yang
disemai semasa pertikaian Ali dan Aisyah berikut dengan pengikut-pengikut dan
penerus Beliau masing-masing itu. Namun sayangnya buah itu sudah berbau tidak
enak kalau tidak mau dikatakan “busuk”. Sedangkan jejak pohon kehidupan yang
menyiratkan rahmat bagi alam semesta yang ditanam oleh Rasulullah dengan susah
payah nyaris tidak berbentuk lagi.
Akibatnya :
. . . umat Islam yang bilangannya didengung-dengungkan berjumlah milyaran orang
itu benar-benar hanyalah berupa BUIH seperti yang pernah di ungkapkan oleh
Rasulullah. Buih yang tidak sanggup memberi manfaat bahkan untuk dirinya sendiri
sekali pun.
Ah, mana ada penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat
bagi umat manusia yang terjadi di negara-negara Islam dari dulu sampai sekarang ini.
Yang ada hanyalah :
. . . nostalgia semu tentang keberhasilan pemikiran kaum Rusydian (Rasionalis) dulu
kala dalam meletakkan dasar-dasar pengetahuan modern yang dengan cerdik sudah
diambil alih oleh masyarakat Barat, bahkan oleh Cina sekali pun.
Padahal ilmu pengetahuan sebagai hasil dari pengamatan perilaku alam (sunatullah)
tempat manusia hidup ini adalah senjata pusaka pamungkas yang diperlukan manusia
52
itu sendiri untuk memikul tanggung jawabnya sebagai khalifah, Sang Wakil Tuhan dalam
mengelola dunia. Namun senjata pamungkas itu disia-siakan oleh umat Islam itu sendiri,
sehingga entah sampai kapan ujungnya, umat Islam tak ubahnya hanya sebagai kerbau
dicocok hidungnya berhadapan dengan pihak Barat.
Namun untuk menghibur diri maka beberapa tahun yang lalu pemikir-pemikir Islam
mencetuskan slogan bahwa :
. . . abad sekarang adalah Abad Kebangkitan Islam.
Abad di mana Islam mulai menggeliat untuk bangkit merebut kembali “suasana”
kejayaan Islam tempo dulu. Tapi itulah, senjata pusaka untuk bekal kejayaan itu sudah
hilang dari tangan orang-orang Islam, dan beralih tangan kepada orang-orang yang tidak
beragama Islam, tapi anehnya mereka bersikap dan bertindak secara islami. Sedangkan
bagi orang-orang yang beragam Islam, bahkan kunci untuk masuk ke gudang pusaka itu
pun sudah dibuang entah ke mana. Memang kita itu ibarat “harapkan burung terbang
tinggi, punai ditangan dilepaskan pula.” Habislah sudah !
53
Artikel 3 :
Rekonstruksi Pemahaman As Sunnah3
A. Pendahuluan
Hampir pada sebagian besar umat Islam saat ini, semboyan “Berdasarkan Al Qur’an dan
sunnah”. Dampaknya nyaris seperti semboyan yang sangat beken di zaman Pak Harto
dulu “Berdasarkan Pancasila dan UUD 45”, yaitu sama-sama seperti menjual lamunan.
Dampaknya ternyata hanyalah sebatas kepatuhan artificial dan dengan nuansa
keterpaksaan pula.
As Sunnah adalah sebuah potret yang memuat, cara bertindak atau perilaku
KEPATUHAN, KETAKLUKKAN, dan KETUNDUKAN seorang manusia istimewa terhadap
FITRAH atau KEHENDAK dari tubuhnya, masyarakatnya, dan zamannya. Manusia
istimewa itu adalah Rasulullah Muhammad SAW. Memang kalau dilihat sikap Beliau dan
perbuatan Beliau sekilas mata, seakan-akan Nabi Muhammad SAW lah yang TAKLUK
terhadap kehendak (fitrah) lingkungan di mana Beliau berada. Akan tetapi kalau
diperhatikan dengan jeli dan seksama, maka yang terjadi sebenarnya adalah
Muhammad SAW berhasil “membaca (iqra)” FITRAH umat manusia secara universal, lalu
Beliau (dengan dibimbing oleh Allah, karena Beliau selalu wa’tasimubillah, bergantung
kepada Allah) BERHASIL menundukkan kehendak (fitrah) dari lingkungan Beliau itu.
Bentuk dari ketaklukkan Beliau terhadap kehendak zaman ini secara garis besar bisa
dibagi menjadi 2 jenis:
a. TUTUR KATA (Qauliyah) Beliau tatkala “membaca” suasana demi suasana alam
semesta dan diri Beliau sendiri, baik untuk masa lalu sekarang dan yang akan
datang.
b. SIKAP, PERILAKU (Fi’liyah) Beliau terhadap keadaan demi keadaan yang Beliau
hadapi selama Beliau menjadi Rasul Allah.
c. KETETAPAN (Taqririyah) Rasulullah atas berbagai perkara.
Dari paling tidak tiga jenis ketaklukkan Nabi Muhammad SAW terhadap lingkungan
Beliau ini saja, orang lalu mencoba untuk membukukannya. Dan usaha membukukannya
baru dilakukan orang beberapa ratus tahun setelah Beliau wafat. Buku tentang UCAPAN
dan WEJANGAN Beliau, ataupun KATA-KATA PARA SAHABAT yang mengungkapkan
kesaksian mereka akan SIKAP, PERILAKU, dan KETETAPAN Nabi Muhammad SAW ini lalu
dikenal luas dengan nama Al Hadits.
3 https://groups.yahoo.com/neo/groups/dzikrullah/conversations/messages/511
54
Tapi percaya atau tidak, kalaulah mau dituliskan semua Al Hadits itu untuk selama
rentang masa kenabian Beliau (sekitar 23 tahun), maka akan terkumpul Al Hadits dalam
jumlah jutaan. Ya. jutaan hadits. Nggak percaya ? Mari kita kira-kira sejenak.
Andaikan kita dekat Rasulullah, lalu kita amati, kita ikuti, kita catat seluruh kegiatan
Beliau menit per menit hanya dalam SATU HARI saja. Misalnya, tentang bagaimana
berbicara Beliau, duduk Beliau, tidur Beliau, menguap Beliau, melihat Beliau, perilaku
Beliau, ketawa Beliau, bercanda Beliau, makan Beliau, minum Beliau, berbicara dan
diam Beliau kepada sahabat-sahabat. Begitu juga tentang bagaimana ketetapan-
ketetapan Beliau. Berapa banyak Al Hadits itu yang akan terkumpul ?
Nah, kalau pengamatan itu dilakukan selama hidup Beliau, kira-kira berapa juta hadits
yang bisa dan harus terkumpul ? Lalu kira-kira berapa bagian pula yang tak bisa kita
kumpulkan dan tuliskan karena keterbatasan akses kita untuk selalu mengamati dan
mencatat apapun yang Beliau lakukan ? Semua tidak akan jauh dari angka jutaan !
B. Ketaklukan Muhammad SAW
Pada bagian berikut ini akan digambarkan bagaimana ketaklukkan Nabi Muhammad
terhadap FITRAH (Sunnah).
1. Suatu kali pernah kaum COVERED (terhijab) Quraish berencana untuk membunuh
Nabi Muhammad selagi beliau tidur di malam hari. Lalu dibuatlah rencana untuk
mengepung rumah Beliau. Berita pengepungan itu ternyata diketahui oleh Nabi
Muhammad, silahkan memaknai sendiri kata “diketahui” (bagaimana Beliau
mengetahuinya) sesuai dengan data yang ada di otak masing-masing.
Mengetahui bahwa kaum Quraish dengan jumlah yang besar akan mengepung
rumahnya, beliau TAKLUK terhadap keinginan tubuhnya. Bahwa tubuh Beliau
ternyata hanyalah terbuat dari bahan yang bisa berdarah-darah. Beliau sendirian
tidak mungkin mampu berhadapan dengan sekian puluh orang yang sedang kalap.
Karena Beliau hanyalah seorang manusia yang mempunyai kekuatan terbatas.
Mentang-mentang Beliau adalah seorang Rasul Allah, yang dijaga oleh Allah, Beliau
tidak mau gagah-gagahan menantang puluhan orang seperti yang pernah dilakukan
oleh Pasukan Berani Mati pembela GUS DUR beberapa waktu yang lalu. Yang Beliau
lakukan adalah Beliau bersembunyi di dalam gua bersama Abu Bakar. Lalu dalam
persembunyian Beliau itulah Allah menjaganya. Manusiawi dan fitrah sekali suasana
saat itu.
2. Saat terjadi perang UHUD. Rasulullah takluk terhadap kehendak alam peperangan.
Fitrahnya adalah bahwa orang yang berada di ketinggian akan punya keuntungan
yang sangat besar dibandingkan dengan orang yang berada di tempat rendah. Maka
55
Beliau memerintahkan kepada pasukan panahnya untuk menempati posisi di tebing
bukit Uhud. Dan ternyata memang saat itu umat Islam berhasil memukul mundur
kaum Quraish dengan meninggalkan pampasan perang. Karena lupa diri melihat
pampasan perang di bawah sana, maka sahabat-sahabat yang berada di bukit Uhud
turun ke bawah untuk meramaikan perebutan harta di bawahnya. Dan kaum
Quraish melihat kekosongan pasukan penyerang di atas bukit itu, lalu mereka ganti
yang menduduki bukut Uhud. Dari atas bukit kaum Quraish menghujani pasukan
Rasulullah dengan anak panah, sehingga Rasulullah sempat terluka, dan puluhan
sahabat penghafal Al Qur’an juga syahid di sana. Artinya apa ?
Allah tidak peduli kepada siapa pun yang coba-coba berperilaku tidak sesuai
dengan FITRAH, walau saat itu ada Nabi sekali pun, walau di situ juga banyak
sahabat yang hafal Al Qur’an, akan tetapi apabila fitrah terlanggar, maka saat
itu juga Allah tidak mau merubah hukum-hukum yang telah di tetapkan-Nya
untuk dipatuhi oleh siapa pun.
Makanya saat perang Teluk I-II dengan agresi Amerika dan sekondan-sekondannya
menyerang Irak, maka Amerika dengan mudah mengalahkan bangsa Irak. Karena
Amerika tinggal menjatuhkan ribuan ton bom dari tempat ketinggian ke sasaran-
sasaran strategis Irak. Duaarrr, MATI. Begitu juga saat Alm. Syekh Yasin dari Hamas
Palestina dibunuh oleh Isreal, ya lewat serangan dari udara juga. MATI.
Walaupun di Irak banyak (kuburan) wali-wali Tuhan, banyak tempat suci, Tuhan
nggak peduli itu.
Bangsa Irak itu akan tetap jadi bulan-bulanan Amerika yang dari hari ke hari selalu
menyesuaikan kemampuannya dengan permintaan zaman, FITRAH.
3. Dalam masalah poligami, ketaklukan Nabi terhadap zaman Beliau juga tak kalah
indahnya. Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab ketika itu untuk punya istri lebih
dari 15 orang. Budaya poligami itu sudah sangat mendarah daging bagi bangsa Arab
saat itu. Lalu turun ayat Al Qur’an yang memangkas poligami itu hanya sampai
empat saja. Tetapi dari makna ayat poligami itu ada suatu message yang tidak
semua orang yang bisa melihatnya. Message-nya adalah bahwa tujuan yang akan
dicapai nantinya adalah monogami, yaitu satu istri saja. Karena Al Qur’an sudah
memvonis duluan bahwa, “Kalian wahai kaum laki-laki TIDAK akan pernah bisa
berlaku Adil, walau kalian ingin sekali untuk adil itu.", padahal syarat poligami itu
disebutkan haruslah kalian itu bersikap adil.
Keberhasilan Rasulullah merubah sebuah budaya poligami dari punya puluhan istri
menjadi hanya empat orang istri saja sudah merupakan prestasi yang sangat hebat.
Kalaulah Nabi langsung diperintahkan untuk menuju monogami, maka ketika itu
56
akan terjadi kekacauan budaya. Orang akan menjauh dari Nabi, karena yang
direkonstruksi Nabi ini adalah termasuk masalah yang enak-enak bagi kaum lelaki.
Begitulah indahnya Al Qur’an. Al Qur’an sampai kapan pun mengizinkan poligami,
bisa dengan dua, tiga, atau empat orang istri. Bahkan ada juga yang mengartikannya
menjadi poligami dengan 4+3+2+1, yaitu sembilan istri seperti yang dilakukan oleh
Nabi. Masalah Nabi beristri sembilan inipun telah jadi bahan pembicaraan dari dulu
sampai sekarang. Akan tetapi ya itulah FITRAH NABI. Sedangkan FITRAH peradaban
manusia akan berubah dari budaya poligami menuju kepada monogami saja. Dan
perubahan itu tengah terjadi di seluruh dunia.
Lalu ada yang berpoligami, ya biarkan saja. Mereka berarti menganggap diri mereka
bisa berlaku adil. Kalau mereka ternyata tidak adil, maka FITRAH lain akan
berbicara. Bisa saja rumah tangga mereka menjadi rumah neraka dunia. Ribut dan
cekcok terus, dan akhirnya suami menderita, istri menderita, anak menderita. Dan
bahkan akhirnya perceraian tidak terhindarkan lagi. Taruhlah ada yang berhasil
dengan poligaminya, empat istri dia punyai, tampak luarnya rukun-rukun pula. Akan
tetapi di hadapan masyarakat umum dia akan menjadi barang langka yang aneh, ya
jadi tontonan juga orang juga. “Kok bisa yah ?”, celetuk beberapa orang.
Lalu ada pula yang baru mampu bermonogami, ya biarkan jugalah mereka begitu.
Yang keliru adalah, lagaknya saja bisa bermonogami, akan tetapi dia sebenarnya
masih ngiler melihat wanita lain. Mereka sebenarnya ingin untuk poligami, akan
tetapi apalah daya kantong dan keberanian tidak ada. Kalau sudah begini fitrah lain
akan berkata pula, misalnya saja si suami menjadi sangat tersiksa dengan perilaku
ngilernya itu.
Ah, masalah poligami dan monogami hanyalah masalah sederhana saja yang
dibesar-besarkan orang. Ada yang pakai ngancam bahwa yang tidak poligami berarti
tidak ikut sunnah Nabi. Begitu juga yang monogami melecehkan pelaku poligami
dengan label si pengejar kepemuasan Nafsu seks. Bisa-bisanya berkesimpulan
begitu. Padahal monogami dan poligami itu dua-duanya sesuai dengan Al Qur’an.
Kalau begitu benang merahnya di mana ? Kembali ke FITRAH. Dan nantinya Akal lah
yang akan menjadi Sang Hakim bagi fitrah yang telah kita pilih. Nanti tentang Akal
Sang Hakim ini akan diulas pada bahasan tersendiri.
C. Al Hadits Sudah Habis, Sedangkan As Sunnah adalah Abadi
Kumpulan kitab-kitab hadits yang sampai kepada kita saat ini telah mengalami sejarah
kodifikasi yang sangat panjang dan ruwet. Di sini tidak akan dibahas bagaimana
ruwetnya dan siapa-siapa yang terlibat di dalamnya. Silahkan cari sendiri di buku-buku
lain tentang sejarah itu. Banyak sekali. Saya hanya akan membahasnya dari segi makna
57
atas terpangkasnya jutaan hadits akibat dari pengelompokan hadits oleh Bukhari,
Muslim, Abu Daud, Turmidzi, dsb, dan juga hadits dari kelompok Syi’ah.
Sungguh beragam sekali kualitas hadits itu setelah dikotak-kotakkan berdasarkan
“periwayatannya”. Pada tingkatan yang dianggap baik ada yang mutawatir, ada yang
shahih, ada yang hasan. Sedangkan pada tingkatan yang kurang baik ada musalsal,
muqati', gharib, mu'an'an, matrub, masyhur, mudarraj, mu'allaq, dan banyak lagi kelas
hadits itu yang telah dibuat oleh “ahlinya”, tentu saja ada yang dikelompokan sebagai
hadits palsu. Dan dari beragamnya pemahaman Al Hadits inilah sebenarnya masalah
LATEN antar sesama umat Islam bertahan dari zaman ke zaman.
Begitu juga, SEGERA setelah Rasulullah wafat, maka muncullah konflik perebutan
kekuasaan kekhalifahan antara “pengikut dan pendukung” Ali Bin Abi Thalib di satu
pihak dengan kelompok sahabat-sahabat lainnya, misalnya dengan “para pendukung”
Abu Bakar Siddiq. Saat itu memang belum dikenal adanya sistem PEMILU seperti
sekarang ini. Dari konflik kekuasaan ini, lahir pulalah ribuan hadits yang sengaja
dipalsukan oleh para pendukung masing-masing kubu yang bertikai. Hadits-hadits palsu
itu apalagi kalau bukan untuk saling menjelekkan lawan politiknya dan saling memuji
akan keutamaan dan kebagusan kelompoknya sendiri. Pertikaian politik dan dampak
buruknya terhadap perkembangan (baca kemunduran) perjalanan peradaban Islam ini
akan dibahas dalam sub bab “Mengupas Kulit Bawang Sejarah”.
Yang menarik adalah, Rasulullah semasa hidupnya telah menjalankan FITRAH DIRI Beliau
sendiri dengan begitu enak dan bebasnya. Setiap permasalahan Beliau tuntaskan sesuai
dengan kondisi bangsa Arab saat itu. Setiap ada sahabat yang datang kepada Beliau
membawa masalah, lalu Beliau selesaikan masalah tersebut sesuai dengan tingkat
kecerdasan, keimanan, kekayaan, keilmuan sahabat tersebut. Saat Beliau berhadapan
dengan sebuah keadaan atau suasana baru, maka Beliau lalu bertindak dan takluk
terhadap keadaan baru itu, akan tetapi dengan ketaklukan yang mengikuti FITRAH.
Kalaulah dibuat sebuah FILM DOKUMENTER tentang menit ke menit dalam hidup Beliau,
maka film itu akan MENGALIR dengan enak, mulus, dan smooth. Film itu akan memuat
semua suka, duka, derita, bahagia Beliau selama memperkenalkan ISLAM, IMAN, IHSAN,
kepada bangsa ARAB yang sangat jahiliyah saat itu. Mengalirnya perbuatan dan
perkataan Beliau dengan sangat smooth inilah yang saya namakan sebagai As Sunnah
(sunatullah). Dan ESENSI dari As Sunnah ini akan ABADI sepanjang zaman, karena semua
memang merupakan FITRAH manusia itu sendiri. Dan ESENSI (KONTEKTUAL) dari As
Sunnah sebagai cara-cara Nabi takluk terhadap fitrah Beliau inilah yang ditinggalkan
oleh Rasulullah untuk diikuti oleh umat penerus Beliau di belakang hari, yaitu agar umat
di belakang Beliau juga TAKLUK terhadap fitrah mereka masing-masing.
Yang tak kalah luar biasanya cara Rasulullah dalam memotivasi umat adalah:
58
1. Untuk hal-hal BURUK, sebelum kejadian buruk itu terjadi atau dilakukan oleh para
sahabatnya, Rasulullah seakan-akan menakut-nakuti mereka dengan hukuman yang
sangat keras, dengan dosa yang sangat besar. Akan tetapi tatkala keburukan itu
sudah atau terjadi juga, bisa lantaran kebodohan maupun ketidaktahuan mereka,
maka Rasulullah hanya menyuruh umat itu untuk bertobat, untuk minta ampun,
dan berbagai sikap pemaafan lainnya. Kalau tidak sangat terpaksa, Beliau tidak akan
menjatuhkan hukuman bagi yang berbuat buruk itu.
2. Sedangkan untuk hal-hal yang BAIK, Rasulullah seakan-akan mengiming-imingi umat
dengan pahala dan ganjaran yang sangat menggiurkan bagi umat untuk
melaksanakannya dan hukuman yang sangat keras bagi umat yang
meninggalkannya. Akan tetapi tatkala umat tidak mampu melaksanakan kebaikan
itu, maka Beliau juga menggembirakan umat dengan kata-kata pemaafan yang
sangat arif. Ya, sudah, Tuhan tidak akan menyusahkan umat di luar kemampuan
umat itu sendiri.
Sungguh Rasulullah itu adalah sebuah buku hidup yang sangat luar biasa.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad.
D. Mengupas Kulit Bawang Sejarah
Di sini akan di bahas secara gamblang tapi ringan lapis demi lapis kulit bawang sejarah
tentang munculnya kelompok-kelompok dalam perjalanan sejarah Islam yang nantinya
akan berdampak pada kerancuan pemahaman Al Hadits. Mungkin kita selama ini
bingung terhadap kenapa begitu banyaknya aliran dan kelompok-kelompok yang ada
dalam ajaran Islam. Selama ini kita terombang ambing dengan klaim berbagai aliran dan
kelompok bahwa HANYA aliran atau kelompok merekalah YANG BENAR, dan yang di luar
kelompok mereka itu adalah SALAH, kafir, atau sesat. Luar biasanya lagi, setiap
kelompok itu seperti punya dasar yang sangat kuat dari berbagai Al Hadits.
Kondisi ini benar-benar membuat sebagian besar, sekali lagi hampir sebagian besar
umat Islam, tidak hanya di Indonesia tapi juga hampir di seluruh dunia seperti berada
dalam FASE KEBINGUNGAN, FASE MAMPET, bahkan sudah sampai pada tahap
FASE BERJALAN MUNDUR dalam menghadapi gejolak zaman yang sungguh dahsyat ini.
Jadinya umat Islam secara keseluruhan saat ini seperti ditertawakan orang, dilecehkan
orang.
Artikel ini akan mencoba mencari akar penyebab munculnya pertentangan demi
pertentangan itu. Setelah membaca artikel ini pembaca mungkin akan berada dalam
fase kebingungan, atau mungkin malah sebaliknya bisa menjadi insan yang mampu
mereposisi sikap diri dalam menghadapi parahnya sentimen anti kelompok seperti saat
59
ini. It is up to you. By the way, ini adalah salah satu wujud dari belajar agama sambil
MIKIR.
Nanti kalau anda tahu akar sejarah ini, maka mungkin anda akan tertawa saja melihat
proses gilas-menggilas pemikiran dan perlakuan antar kelompok-kelompok ini. Sampai-
sampai tiap kelompok saling mengklaim bahwa syorga itu hanya milik kelompok mereka
saja. Bagi saya, biarin syorga itu mereka saling klaim sebagai hanya milik kelompok
mereka, ambilah tuh semua. Saya sih nanti cukup kemping saja di pinggir syorga.
E. Titik Awal Pertikaian Hitam
Kulit bawang terluar yang patut dikelupasi terlebih dahulu adalah waktu beberapa saat
setelah Rasulullah wafat. Kala itu, jasad Rasulullah SAW sudah terbujur kaku sekitar dua-
tiga hari di rumah Beliau. Abu Bakar, Umar, Usman, dan sahabat-sahabat lainnya ra,
masih sibuk di luar rumah membicarakan siapa yang akan menggantikan kedudukan
Nabi Muhammad SAW sebagai kepala pemerintahan. Perundingan dan lobi-lobi para
pihak masih terlalu alot untuk sebuah keputusan politik yang bisa diterima semua pihak.
Di dalam sana jenazah Rasulullah hanya ditunggui oleh Ali bin Abi Thalib ra. Sudah tiga
hari jenazah Beliau belum dikuburkan juga. Sedangkan Ali ra. tidak diikutsertakan dalam
pembicaraan politik tingkat tinggi itu. Akibatnya timbul ketidakpuasan dari pendukung
Ali ra.
Padahal dalam banyak hadits, Rasulullah SAW seakan-akan mengistimewakan Ali ra.
Misalnya disebut sebagai "pintu ilmu", gudang ilmu, yang selalu menggantikan Nabi
sebagai imam shalat jika Nabi berhalangan. Sungguh banyak keutamaan-keutamaan ini
diriwayatkan baik oleh kelompok Syiah maupun Ahlussunnah.
Lalu menurut kelompok Ali, keutamaan-keutamaan itu mengindikasikan bahwa Ali
pantas untuk memegang tampuk pemerintahan pengganti Rasulullah. Karena maksud
ini tidak kesampaian, maka akibatnya pendukung Ali menjadi sakit hati yang
berkepanjangan.
Singkat kata, keputusan politik jatuh bahwa Abu Bakar ra ditetapkan sebagai khalifah
pertama. Umar ra. menyambut estafet pemerintahan berikutnya. Masa-masa Abu Bakar
dan Umar Bin Khattab ra. tidak akan dibahas dulu. Saya akan mencoba melihat secara
kritis dan singkat kondisi politik saat pemerintahan Usman Bin Affan ra dan Ali bin Abi
Thalib ra.
Saat Usman ra. memerintah terjadilah kondisi di mana beberapa orang keluarga dekat
Usman diberikan kekuasaan di daerah-daerah lain yang berada dalam kekuasaan
Khalifah Usman ra. Sejenis KKN dalam pengangkatan pejabat pemerintahan mulai
merebak dan mendapat protes dari kelompok lainnya. Akibatnya lahir kelompok baru
penentang sistem pemerintahan Usman bin Affan ini. Kelompok ini terkenal dengan
60
istilah kelompok "KHAWAARIJ". Kelompok ini melakukan oposisi yang keras terhadap
pemerintahan Usman.
Seiring dengan itu dari kubu Ali masih tertanam rasa "di-kudeta" atas tampuk kekuasaan
yang seharusnya jatuh ke tangan Ali. Puncaknya adalah terjadinya pembunuhan Usman
bin Affan yang dilakukan oleh anak angkat Ali bin Abi Thalib. Saat itu Usman sedang
shalat Lho ! Seorang sahabat dibunuh oleh anak angkat sahabatnya sendiri. Sungguh
kenyataan yang sulit bagi kita untuk tidak merasa malu.
Di lain pihak terjadi juga gesekan antara mertua dan menantu yaitu antara Aisyah
dengan Ali. Awalnya adalah saat suatu kali jatuh fitnah kepada Aisyah bahwa beliau
berselingkuh. Lalu Rasulullah minta pendapat kepada Ali. Dengan lantang Ali
menyarankan "CERAIKAN". Kata-kata ini didengar langsung oleh Ai'syah dan ini
membuat beliau juga memendam bara dendam kepada Ali. Puncak perseteruan mertua
dan menantu ini mencapai puncaknya saat mana onta yang sedang ditunggangi Aisyah
disembelih oleh pendukung Ali. Peristiwa ini melecut peperangan yang dikenal dengan
nama Perang Jamal (Perang Onta).
Kala itu terjadi sejarah perburuan Siti Ai’syah ra. dan rombongannya (di antaranya yang
terkenal adalah Abu Talhah, Zubair, Muawwiyah, Abu Sofyan, dan keluarga Usman)
terhadap Ali bin Abi Thalib ra. dan sahabat-sahabatnya di Irak sana. Kulit terluar ini
ditandai dengan terjadinya saling berbunuh-bunuhan secara besar-besaran antara
sesama kaum muslimin sendiri. Nantinya :
. . . ternyata di negara Irak itu sejak dari zaman dulu, zaman sahabat-sahabat
Rasulullah, bahkan sampai sekarang, sudah menjadi tempat ajang pembantaian
sesama manusia. Sesama umat yang bernabikan Muhammmad SAW, dan
bertuhankan Allah SWT.
Suatu ketika, rombongan Siti Ai’syah, Muawwiyah, Abu Sofyan, keluarga Ustman
berbondong-bondong datang hanya ingin untuk menuntut rasa keadilan Ali bin Abi
Thalib atas terbunuhnya Ustman bin Affan oleh Muhammad ibn Abi Bakr, anak angkat
Ali bin Abi Thalib sendiri. Khan keterlaluan itu. Bayangkan, sahabat beliau sendiri
dibiarkan dibunuh. Dessss, meninggal.
Singkat kata, setelah Ustman bin Affan terbunuh, kemudian Ali diangkat menjadi
khalifah. Dalam perjalanan pemerintahan Ali bin Abi Thalib, keluarga Ustman lalu
menuntut balas atas terbubuhnya Ustman beberapa waktu yang lalu. Keinginan yang
wajar saja sebenarnya. Secara otomatis keluarga ini ingin mencari keadilan dong;
“Tolong Ali, yang membunuh bapak saya agar diadili”. Setuju khan ? Karena memang
Ustman dibunuh oleh anak angkatnya Ali bin Abi Thalib. Tapi anehnya oleh Sayyidina Ali,
61
anak angkat beliau itu diangkat menjadi Gubernur di Mesir. Bukannya diadili, ee. sang
pembunuh Ustman itu malah diangkat menjadi Gubernur.
Nguamuklah keluarga Ustman dan simpatisannya ketika itu. Inilah persoalan utama
kenapa keluarga Muawwiyah dan keluarga Ai’syah marah kepada Ali dan kelompok yang
mendukung beliau. Kemarahan kalangan Muawwiyah dan keluarga Usman yang tidak
bisa dibendung inilah nantinya yang akan memicu terjadinya sebuah pertempuran
sengit antara kelompok Ali bin Abi Thalib dengan penentang beliau. Lalu Ai’syah dan
rombongan beliau datang dengan sekian puluh ribu pasukan ke Irak untuk menyerang
Ali.
Terjadilah pertempuran yang sangat sengit di Shiffin, atau ada juga orang menyebutnya
dengan Perang Jamal (cammel). Duuaar, perang pun terjadi, darah mengalir menganak
sungai. Pasukan Ali tewas sekitar 5000 orang dan di pihak Ai’syah tewas sekitar 10.000
orang. Kalau dibandingkan skala penduduk sekarang dengan dulu itu, mati 15.000 orang
itu buuaanyaak sekali. Kalau sekarang mungkin padanannya yang mati itu adalah orang
sekota Cilegon di Banten sana. Yang mati itu manusia semua. Masak kalau itu dianggap
fitnah, mereka tidak “telpon-telponan” dulu : “Ali kenapa kamu begitu. ”Wong namanya
dengan mertua, ya mbok ya dengerin. Masak sih dua-duanya nggak sadar. Khan dua-
duanya bisa mikir; “Ini mau bunuh-bunuhan kita ini”. Dua-duanya bunuh-bunuhan ini !
Tapi itulah, semuanya ngotot. Lalu jedaaaaar, tewas.
Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan di Shiffin ini, tentara Ali dapat
menumpas mundur tentara “pembangkang”. Tetapi tangan kanan (kepercaya-
an) Muawiyah bernama Amr ibn ‘As dengan cara yang sangat licik menyatakan me-
nyerah dengan mengangkat Al Qur’an di atas kepalanya, sehingga pertempuran dihen-
tikan oleh Ali. Qurra’ yang di pihak Ali mendesak Ali untuk menerima tawaran untuk
berdamai, sehingga terbentuklah kesepakatan damai antara kedua belah pihak, sebagai
pengantara diangkat dua orang :
• ‘Amr ibn al ‘As dari pihak Muawwiyah dan
• Abu Musa Al Asy ‘ari dari pihak Ali.
Dalam pertemuan mereka, kelicikan Amr ibn al ‘As mengalahkan perasaan Abu Musa.
Sejarah mengatakan antara keduannya bersepakat untuk menjatuhkan kedua pemuka
yang bertentangan, Ali dan Muawwiyah. Namun kenyataannya dalam pengumuman
yang dibacakan oleh Abu Musa sebagai orang yang tertua, hanya Ali yang disepakati
untuk dijatuhkan. Bagaimana pun peristiwa ini merugikan bagi pihak Ali dan
menguntungkan Muawwiyah. Padahal Ali sebagai khalifah yang legal sedangkan
Muawwiyah hanyalah sebagai Gubernur.
Dengan adanya arbitrase ini kedudukan Muawwiyah naik menjadi khalifah yang tidak
resmi. Sedangkan Ali tetap mempertahankan kedudukannya sebagai khalifah, sehingga
62
ia harus mati terbunuh tahun 661 M oleh Abdul Rahman Ibn Muljam, dari pihak Ali yang
kecewa atas keputusan yang dianggap salah. Ali dibunuh, ditikam, seeeet, tewas. Jadi
dulu itu, kalau marah itu dilanjutkan dengan membunuh orang. Kalau sekarang yaa
paling teriak-teriak di DPR. Kalau dulu itu malah nyembelih orang. Orang yang dinilai
salah itu disembelih. Apa ndak memiriskan hati itu !? Dengan terbunuhnya Ali bin Abi
Thalib ini, maka Muawwiyah tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bercokol sebagai
penguasa baru.
Persoalan-persoalan yang terjadi di lapangan politik sebagaimana digambarkan di atas
inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Tim-
bullah siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Siapa yang salah dan siapa yang
benar. Siapa yang melakukan bid’ah dan khurafat. Kekacauan terjadi sepeninggal Ali.
Mereka-mereka saling mengkhianati dan gelap mata. Dan yang sangat luar biasa adalah,
mereka tidak lagi menghargai Rasulullah dengan membunuh cucunya yang paling
dicintainya, Hasan dan Husein, di padang Karbala.
Hasan-Husein (cucu Rasulullah) dipotong kepalanya oleh kelompok Mu’awiyah.
Mu’awiyah itu siapa ? Beliau dalam hadits adalah termasuk 10 besar sahabat yang
masuk syorga. Bingung lagi khan ?
Sahabat yang masuk 10 besar orang yang masuk syorga kok tega membunuh cucu
Rasulullah gitu Lho. Sang 10 besar masuk syurga kok mau membunuh saudaranya
sendiri.
Saya yang hanya ndak mau pakai celana “ngatung” ini saja, saya yang kadang-kadang
salaman dengan cewek saja, masih dihakimi orang telah melakukan ma’siat.
Oalah, cucu Nabi disembeleh pak.
Apa itu ndak disebut ma’siat pak ? Maka wajarlah kalau pendukung Ali (baca: kaum
Syiah) sangat membenci kelompok Muawwiyah, Usman dan Khawarij.
Lalu, kecintaan mereka (kaum Syiah) terhadap cucu Rasulullah dan Ahlul Bait mengubah
sistem politik dari bentuk kekhalifahan yang diprakarsai oleh Abu Bakar, menjadi sistem
Imamah. Kekacauan politik semakin meruncing tajam, sehingga muncul di sana-sini
kelompok-kelompok yang mengatasnamakan kebenaran untuk kepentingan politiknya.
Bahkan pada masa itu dikenal pengarang-pengarang hadits palsu untuk dijadikan dalil
menyesatkan lawannya. Karakter itu masih terasa sampai pada masa sekarang yang
berkembang menjadi saling menyesatkan antara golongan dan aliran.
Inilah awal pertentangan terpanas antara sesama pemeluk agama Islam sendiri. Kemu-
dian pertumpahan darah itu akan melahirkan saling tuding di antara keduanya. “Ali
salah", kata kelompok Aisyah. Dan tudingan itu dibalas pula oleh kelompok Ali: “Ai’syah
63
yang salah”. Dan sejak saat itulah ditanamkan oleh para penerus Nabi itu pertentangan
demi pertentangan yang nantinya akan melahirkan pertentangan ALIRAN-ALIRAN dalam
Islam.
Nanti sejarah akan bercerita bahwa di antara kelompok-kelompok itu, jika satu kelom-
pok berkuasa maka kelompok oposannya seringkali "dihabisi". Dan ini terjadi silih ber-
ganti. Sampai sekarang pun begitu. Sebelum Dinasti Fahd memerintah, kelompok Ha-
baib masih bisa hidup di Arab Saudi. Akan tetapi secara perlahan para Habaib ini ter-
singkir dari Arab Saudi. Yang paling lawas adalah geliat politik pasca Saddam Husein di
Irak sana di mana sebentar lagi kita mungkin akan melihat kelompok Syi'ah mendesak
kelompok Sunni, atau mungkin sebaliknya (karena di sana sedang terjadi reposisi
masing-masing kelompok di bawah bayang-bayang provokasi dan hasutan Amerika dan
koleganya.
Kenapa saya harus membuka sejarah ini ? Ya, karena banyak sekali umat Islam saat ini
yang tidak mengetahui kenapa mereka harus saling menyalahkan. Mungkin sudah
banyak juga yang mengetahui sejarah ini, cuma belum bisa memetik pelajaran dari
sejarah perjalanan kelam tersebut. Kalau kita belajar agama tidak dari sejarah ini, kita
nggak akan pernah tahu apa persoalan yang sebenarnya, kenapa Syiah disalahkan,
kenapa Mu’tazilah disalahkan, kenapa ini, kenapa itu. Dan anehnya setiap aliran lain
dibilang KAFIR oleh kelompok lainnya. Jadi puncak penyebab masalahnya adalah dari
peperangan di atas.
F. Munculnya Golongan-Golongan
Nah, pada masa pertumpahan darah di atas, lalu ada kelompok yang tidak setuju
dengan pertempuran tadi itu, dari kelompok Ali sendiri. “Ali terlalu lemah”, kata
sebagian pasukan Ali. “Seharusnya Ali tidak memberikan konsesi-konsesi terhadap
Mu’awiyah”. Sebagai anak buah, mereka menuntut. Ini bak pertanyaan anak buah Gus
Dur, “Kenapa Gus Dur diam aja di kerjain Amin Rais, kalau begitu saya WALK OUT saja”.
Maka kelompok yang ke luar dari kelompok Ali ini kemudian disebut sebagai kelompok
Khawarij (walk out). Jadi dari zaman dulu sudah ada itu yang namanya walk out. Dalam
bahasa Arab namanya Khawarij. Kalau sekarang kasusnya mungkin sama dengan per-
pecahan internal sebuah partai. Bagi kelompok yang tidak sejalan lagi dengan kebijakan
partai yang ada, akan muncul sekelompok orang yang membentuk partai lain dengan
menambah berembel-embel reformasi di belakang nama partai yang lama. Misalnya,
PPP Reformasi, PDI Perjuangan, dan mungkin sebentar lagi Golkar Reformasi, dan
sebagainya.
Jadi, wajar saja kalau ada anggota kelompok kita yang tidak sejalan dengan kebijakan
kelompok itu sendiri. Andai kata saat itu kita ikut sebagai pelaku sejarah itu, dan kita
menjadi khawarij apa ya salah ? Dengan berpikir sebagai manusia biasa saja, jangan
64
sebagai wali, karena wali itu berpikirnya sangat bening: “Kok sama mertua bisa hantam-
hantaman begitu lho ? ” Ya, sebagai manusia, apa kita akan ikut ke luar dari kelompok
Ali itu. Kalau saya sih rasanya akan ke luar. Tapi sama kelompok Ali, kelompok Khawarij
ini lalu dicap KAFIR. Hanya karena Khawarij ini ke luar dari barisan Ali. Maka sejak itu
lahir pulalah pengkafiran-pengkafiran yang ditujukan kepada lawan-lawan politik ma-
sing-masing bagi yang sedang berseteru tersebut. Misalnya, Kelompok Ali mengkafirkan
Ai’syah dan Khawarij. Begitupun sebaliknya. Gayungpun bersambut. Maka sejak itu pun
istilah kafir lalu berbunyi seperti suara tokek !
Lalu ada yang berfikir RASIONAL. Ali mereka anggap tidak salah. Ai’syah juga mereka
anggap tidak salah. Tapi dua-duanya itu tidak dianggap kafir oleh kelompok yang berfikir
rasional ini, walau saat itu sangat mudah muncul cap kafir bagi lawan sebuah kelompok
lainnya. Karena memang waktu itu sangat mudah terjadi saling pengkafiran. Namun
kelompok berfikir rasional ini hanya menganggap kedua kelompok itu, Ali di satu pihak
dan kelompok Aisyah di pihak lain, hanya telah melakukan suatu kesalahan saja yang
disebut dengan “asyii” (orang yang melakukan kesalahan). Artinya mereka menganggap
Ali dan Aisyah hanya mukmin yang punya salah. Kelompok yang berfikiran seperti ini lalu
disebut orang dengan nama MU’TAZILAH, RASIOANALIS. Artinya kelompok yang
menggunakan rasio, menggunakan pertimbangan yang rasional. Ada juga orang yang
menyebutnya dengan “AHLUL ‘ADLI”, kelompok yang adil, atau kalau sekarang mungkin
disebut “partai yang adil”.
Karena tidak berpihak seperti ini, maka oleh kelompok Ali, mereka dianggap KAFIR juga.
Kenapa mereka dianggap kafir oleh kelompok Ali ? Yaa, ini karena oleh Mu’tazilah, Ali
bin Abi Thalib dianggap punya kesalahan (maksiat). Padahal oleh kelompok Ali, Ali itu
dianggap Imam Suci, yaitu orang yang tidak pernah punya salah dan mempunyai derajat
MAKSUM (terpelihara dari dosa dan maksiat). Maka oleh pendukung Ali yang bilang
bahwa Ali adalah maksum ini, kaum Rasionalis (Mu’tazilah) ini lalu mereka cap kafir juga.
Padahal kaum Mu’tazilah ini lagi mikir-mikir, bahwa secara rasional saja Ali dan Ai’syah
ya salah, karena mereka saling membunuh orang banyak. Walaupun begitu, Ali maupun
Ai’syah tidak anggap kafir oleh kaum Rasionalis ini. Tapi oleh kelompok Ali yang tetap
mengklaim bahwa Ali itu suci, maupun oleh kelompok Aisyah yang juga menganggap
Aisyah itu suci, kelompok Rasionalis ini dianggap kafir pula. Padahal kalau direnung-
renungkan, dari mana tuh rumusnya ada orang yang saling berantam dan dua-duanya
merasa benar, dari mana hitungannya ? Paling tidak ya salah satu salah ? Ini pendapat
orang yang berpikiran rasional. Tapi yang berpikiran rasional begini tetap dianggap salah
dan kafir oleh pihak Ali maupun pihak Aisyah.
Lalu antara kelompok Ali maupun kelompok Aisyah ini sampai turun temurun saling
tidak mau menerima riwayat hadits dari pihak lawannya. Kelompok Ali tidak mau
65
menerima hadits yang diriwayatkan oleh Ai’syah. Begitu juga kelompok Ai’syah juga
tidak mau menerima hadits yang datangnya dari Ali. Untuk membuktikannya :
. . . lihatlah kitab Riyadushshalihin, Bulughul Maram. Dalam kitab-kitab tersebut
hampir-hampir tidak ditemukan hadits yang diriwayatkan oleh Ali Bin Abi Thalib.
Begitu juga dalam kitab hadits yang dikumpulkan oleh pendukung Ali, sangat jarang
sekali bisa ditemukan hadits yang diriwayatkan oleh kelompok Aisyah.
Inilah awal terjadinya perpecahan hadits. Lalu hadits-hadits yang diriwayatkan dari Ali ini
dikumpulkan menjadi hadits kelompok Syiah. Makanya dalam hadits Syiah, misalnya,
masih ada kawin muth’ah (kawin kontrak). “Yuk kita kawin yuk, dua hari lalu udahan”,
ini namanya kawin kontrak. Kawin kontrak ini memang pernah terjadi di zaman
Rasulullah, akan tetapi sudah dinasakh (dihapuskan) di kemudian hari. Nah,
penghapusan kawin muth’ah ini hadistnya dipegang oleh Ai’syah. Kata Ai’syah, “Oo
muth’ah itu sudah dihapus ! Kelompok Ali menjawab: “No way, aku nggak pernah
dengar dari Rasulullah”. Begitulah ! Maka kemudian terjadilah keruwetan yang amat
sangat tentang riwayat meriwayatkan hadits ini.
Kelompok Khawarij lalu nggak mau pakai hadits, mereka hanya mau pakai Qur’an saja.
Mereka menganggap ruwet kalau pakai hadits, karena semua nggak bisa dipercaya.
Makanya kelompok Khawarij ini nggak mau shalat. “Pokoknya saya tauhid saja, saya
ikut Allah dan Muhammad saja, titik. Saya nggak mau riwayat-riwayatan hadits !” Nah,
ini Khawarij namanya.
Terjadilah perpecahan antara sesama umat Islam sendiri dengan sangat ekstrim. Dari
kelompok Aisyah lalu memunculkan cikal bakal bagi munculnya kelompok-kelompok
yang disebut dengan Bani Umayyah, sedangkan dari kelompok Ali sangat terkenal
dengan kelompok Bani Fatimiyah-nya. Dua kelompok besar ini bertempur tak habis-
habisnya dari zaman ke zaman. Saat kelompok Ali yang menang, maka muncullah
kerajaan Bani Fatimiyah. Lalu kelompok Bani Umayyah dikejar-kejar dan dibunuhi oleh
keluarga Bani Fatimiyah ini. Begitu pun sebaliknya. Saat Bani Umayyah yang menang,
maka Bani Fatimiyah pada gilirannya yang dikejar-kejar dan dibunuhi oleh kelompok
Bani Umayyah.
Pertempuran turun temurun dua Bani ini lalu telah memunculkan dua golongan besar
penganut Islam. Satu pihak dari Bani Umayyah melahirkan kelompok besar yang
sekarang dikenal dengan kelompok Sunni, Ahlussunah Wal Jamaah. Sedangkan dari
pihak Bani Fatimiyah melahirkan kelompok Syiah, atau kelompok yang mengikuti
keimaman Ahlul Bait. Demikianlah terjadi silih berganti peristiwa hantam menghantam
ini. Saat Saddam Husein yang berkuasa di Irak, maka kelompok Syiah diberangus seperti
halnya juga di Arab Saudi sekarang ini.
66
Pertempuran dan perpecahan Sunni dan Syiah ini tidak berhenti di tanah Arab sana saja.
Bahkan sampai mengalir sampai ke tanah Jawa. Di Jawa perseteruan ini ditandai dengan
perselisihan antara Sunan Giri dan Sunan Kalijogo. Sunan Kalijogo hampir saja berbunuh-
bunuhan dengan Sunan Giri, karena :
Sunan Kalijogo dianggap mengembangkan Syiah sedangkan Sunan Giri
mengembangkan Sunni.
Lalu muncullah Sunan Bonang sebagai penengah di antara keduanya. Perdamaian
keduanya ditandai dengan berdirinya Masjid Demak. Tiang tatal yang diikat-ikat di
Masjid Demak adalah perlambang dari proses perdamaian itu. Tiang Tatal itu seakan
bermakna bahwa “wala tafarraku, jangan bercerai berai”.
Maka setelah perdamaian antara Sunan Kalijogo dan Sunan Giri itu, maka :
. . . digabunglah aliran Syiah dan aliran Sunni itu menjadi seperti yang dipraktekkan
oleh orang-orang di NU sekarang ini.
• Makanya Gaya NU dalam pemerintahaannya adalah meniru Syiah, di mana umat
harus patuh kepada mullah, kepada Gus. Gus itu suci dan turun temurun pula.
• Akan tetapi fikih yang dipakai adalah dengan menggunakan fikih Sunni.
Ini sejarah. NU adalah salah satu contoh keberhasilan penyatuan konsep ibadah serta
imamah versi Syiah dengan fikih versi Sunni di bumi Nusantara ini !
Sebenarnya masih banyak lagi varian perpecahan dalam agama Islam sampai saat ini.
Tapi intinya perpecahan ini adalah akibat dari memahami hadits dan ajaran agama
lainnya yang kemudian dengan berhasil dan sukses dibawa menjadi konflik antar
golongan. Masing-masing golongan ini menjadi militan berkat faktor dan unsur-unsur
pengikat emosional yang mereka bina dan pertahankan sedemikian rupa.
Apakah semua Sahabat saya sama ratakan dalam artikel ini ? Ya ndak lah.
Banyak kok Sahabat yang mulia lainnya yang berbicara dan berbuat sesuai dengan Al
Qur’an dan Sunnah Nabi. Yang saya kritisi adalah ;
. . . kekisruhan dan kebingungan umat yang sampai ke kita sekarang ini yang masih
terasa akibat dari kekisruhan sejarah masa lalu perkembangan Islam.
Sejak zamannya sahabat-sahabat juga. Ini yang saya kelupasi ya tentu saja semampu
saya saja. Banyak Lho kekaguman saya kepada ajaran-ajaran Ali bin Abi thalib, dan ahlul
bait lainnya, maupun sahabat-sahabat besar lainnya.
Akan tetapi saya sepertinya agak sulit untuk menerima (dan saya juga tidak yakin ini
dikatakan oleh Imam Ali) bahwa :
67
"Kami adalah pintu Allah. Jalan Allah hanya akan diketahui atau dikenal melalui kami."
(Pancaran Cahaya Shalat-Muhsin Qira'ati halaman 42).
Fungsi AVATAR seperti inilah yang menurut saya sangat bertentangan dengan Al Qur’an.
Karena misi Al Qur’an adalah untuk membabat habis, merevolusi perilaku manusia yang
BERSANDAR kepada selain Allah.
Saya sangat yakin bahwa ungkapan di atas hanyalah ciptaan orang-orang atau pengikut
Ali agar pengikut Ali punya suatu ALAT PEREKAT di antara mereka. Karena kalau
perekatnya adalah Nabi Muhammad saw, maka semua golongan akan menjadi sama.
Akan tetapi karena Rasulullah sudah dipegang lebih duluan oleh kelompok Aisyah dan
sahabat yang kemudian melahirkan golongan SUNNII, maka Kelompok Ali lalu membuat
perekat lainnya yaitu Ali dan ahlul bait lainnya (yang memang saat itu - mungkin juga
saat ini - sangat tertindas) yang kemudian melahirkan golongan SYI'AH. Dan masing-
masing kelompok ternyata saling menolak hadits dari lawannya.
Nah, saya tidak mau TERJEBAK oleh pertentangan kedua golongan ini. Lalu dua-duanya
saya kelupasi. Lalu saya perhatikan keduanya dengan tidak membinding diri kepada
keduanya. Hasilnya, Lho, Lho, kedua golongan ini muaranya ternyata Rasulullah juga.
Hadits-hadits yang dipakai dari Rasulullah juga. Lalu saya coba tinggalkan kedua
kelompok itu dan saya lihat wejangan demi wejangan Rasulullah saja. Dan saya sangat
terpesona. Ternyata :
. . . ajaran Rasulullah itu ya ajaran yang sampai ke golongan Sunni dan ajaran yang
sampai ke golongan Syi'ah YANG DIGABUNG menjadi SATU.
Di sinilah saya melihat kualitas Rasulllah yang sangat mengatasi siapa pun. Beliau sangat
cerdas, cemerlang, dan santun dalam membina umat Beliau. Saat ada yang bertanya
tentang hukum-hukum, maka beliau menjawabnya SESUAI dengan kapasitas si penanya.
Saat ada yang bertanya tentang ke dalaman spiritualitas, maka Rasulullahpun
menjawabnya SESUAI kualitas iman si penanya. Nah :
• Golongan SUNNI sekarang adalah golongan yang paling banyak mendapatkan dan
mengumpulkan wejangan Rasulullah yang bersifat HUKUM-HUKUM, sehingga
golongan ini lebih terpaku dengan hukum-hukum yang kemudian berkembang
menjadi berbagai pasal FIQIH dan hadits-hadits HUKUM lainnya. Akan tetapi
golongan ini AGAK TERBELAKANG dalam pemahaman tentang HAKIKAT SPIRITUAL
dari aspek HUKUM dan FIQIH yang mereka sangat mahir dan banyak tahu itu.
• Sedangkan golongan Syi'ah (terutama kepada Ali Bin Abi Thalib) adalah tempat di
mana Rasulullah BANYAK mewejang tentang ke dalaman MAKNA SPIRITUAL dari
68
sebuah perilaku AGAMA. Dan dari golongan Syi'ah inilah nantinya munculnya akar
TASAWUF yang sekarang ini sudah sangat menyebar ke pelosok-pelosok dunia.
Akan tetapi dalam perjalanannya, KEDALAMAN SPIRITUAL ini juga dirusak oleh beberapa
perilaku para SUFI yang seakan-akan tidak perlu lagi dengan HUKUM dan FIQIH.
Walaupun begitu tetap ada segolongan orang yang teguh berpegang kepada ajaran Ali
Bin Abi Thalib sampai kepada JALUR AHLUL BAIT yang lainnya, golongan ini sekarang
dikenal sebagai penganut Mahdzab SYI'AH. Ya monggo-monggo aja.
Jadilah muncul keruwetan baru dalam perkembangan Islam. Walaupun begitu saya
punya sikap bahwa :
SEMUA YANG DICIPTAKAN ALLAH (termasuk kondisi umat yang seakan-akan
berpecah belah ini) ADALAH ADA MANFAATNYA.
Fir'aun bermanfaat untuk memelihara Musa sejak kecil, dan menempa Musa saat beliau
diangkat Allah menjadi Nabi, sehingga kualitas Nabi Musa benar-benar ditinggikan oleh
Allah. Begitu juga Abu Jahal, Abu Lahab, adalah person yang menempa diri Muhammad
SAW, sehingga beliau berhasil menjadi Rasul yang sangat ditinggikan derajatnya oleh
Allah.
Bahkan iblis pun bermanfaat bagi manusia untuk menempa diri manusia menjadi orang-
orang yang mukhlashin (berserah kepada Allah). Karena iblis dengan kesatria sudah
memberitahu bahwa si iblis tidak akan sanggup menggoda orang-orang yang berserah
diri kepada Allah. Jadi salah manusianya sendiri kalau masih bisa digoda oleh iblis, tidak
berserah diri sih.
Apalagi kalau hanya sekedar pertentangan dan perpecahan antar kelompok dan agama,
ada manfaatnya juga. Anggap saja tujuannya untuk saling berlomba-lomba mencari
kebaikan. Tinggal tiap-tiap golongan saling mencari metoda penyampaian usungannya
agar bisa diterima masyarakat luas. Tinggal nanti kita lihat siapa yang bermanfaat bagi
kemakmuran alam semesta ini. Kalau kita-kita tidak berhasil menciptakan kemakmuran
dan kelestarian di alam semesta ini, yaa paling alam semesta ini akan hancur dengan
sendirinya (sesuai dengan hukum-hukum Allah-sunatullah). Maka jadilah kiamat.
Nah, dalam perkembangan golongan-golongan ini ada yang menarik perhatian saya.
Begitu aspek hukum dan fiqih ini dibawa dan disebarkan di negara-negara yang tingkat
ilmu pengetahuan tentang ke alamannya sudah sangat maju, misalnya Amerika, Eropa,
Jepang, maka umumnya mereka jadi takut dan ada kecenderungan merekam untuk
menolaknya. Bahkan label teroris pun dengan ringan mereka lekatkan ke golongan yang
memegang hukum dan fiqih dengan ketat ini. Sebaliknya kalau hukum dan fiqih ini
dibawa kepada masyarakat yang tingkat ilmu pengetahuan alamnya masih rada-rada
terbelakang seperti Indonesia, sebagian besar negara Arab dan Afrika, maka aspek
69
hukum dan fiqih ini SEPERTINYA bisa mereka terima. Akan tetapi EFEKNYA lebih banyak
kepada membuat ketakutan dan harapan. Efeknya lebih kepada LOGIKA KEKUATAN
(meminjam istilah seorang teman saya).
Bagi masyarakat "maju" di atas akan lain halnya kalau yang diperkenalkan ke mereka
adalah HAL / KONDISI ke dalaman SPRITUAL, misalnya seperti yang dibawa oleh
pengusung TAREKAT NAQSABANDI dan tarekat-tarekat besar lainnya, maka penerimaan
mereka lebih cepat. Seakan-akan untuk mengiyakan hadits Nabi, "Sesunggguhnya
kekayaan itu bukanlah kekayaan harta, akan tetapi kekayaan itu adalah kekayaan
JIWA". Hadits ini USHLUB-nya adalah untuk orang-orang yang sudah KAYA dengan harta
dan dunia.
Nampaknya untuk bisa memahami hadits dengan baik, kita harus tahu juga masalah
ushlub (kondisi dan arah kelompok yang dituju oleh hadits itu) saat Rasulullah berbicara
tentang sesuatu. Kalau tidak tahu ushlub ini, maka kecenderungan kita adalah untuk
menganggap bahwa semua hadits itu adalah buat kita. Ujung-ujungnya kita bingung
sendiri. Kalau begitu boleh dong "membuang" hadits ?
Nah, Lho !
G. Masa Pemangkasan As Sunnah
Setelah As Sunnah Nabi SAW campur aduk, berantakan, dan banyaknya hadits palsu
yang beredar akibat pertentangan dan peperangan sesama umat Islam di atas, maka
kemudian muncul usaha dari Imam Buchari dan Iman-Iman lain untuk menyaring
Sunnah tsb. Artinya :
Dari JUTAAN SUNNAH, sebagian besar DIBUANG (bayangkan dibuang, dipangkas).
Ini tidak cocok. Ini tidak pas. Ini pembawanya dulu pernah bohong (padahal mungkin
saja setelah itu dia sadar dan tobat). Ini dari lawan politik kita, lalu buang saja.
Masih bagus kalau yang dibuang itu yang PALSU. Sekarang siapa yang bisa menjamin
bahwa yang dibuang itu tidak termasuk yang ASLI dari Rasulullah. ISI-nya bagaimana
kalau tidak seirama dengan Al Qur’an ? (mudah-mudahan ini nggak ada) ? "Hmm. Nggak
apa-apa, yang penting penyampainya bisa dipercaya kok". Seribu alasan, sehingga
sunnah dipotong dan tinggal menjadi SEKIAN RIBU HADITS. Dan ini yang kita bela habis-
habisan sekarang. Jadi boleh nggak kita membuang BEBERAPA hadits sekarang ini ?
Wong dulu juga dibuang-buang kok.
Masalahnya kemudian adalah, tatkala film dokumenter kehidupan Beliau itu dicoba
untuk ditulis dalam bentuk Al Hadits, apalagi setelah dipangkas menjadi hanya sekian
ribu hadits oleh Imam-Imam terkenal seperti Bukhari, Muslim, Turmidzi, Abu Daud, dan
70
mungkin Ali bin Abi Thalib, sehingga sekarang Al Hadits yang tersisa tidak lebih dari
20.000 Hadits, dengan berbagai tingkatan lagi, maka saat itu pula umat Islam mulai
keteter untuk mengikutinya. Betapa tidak, sesuatu yang mengalir dengan indah, lalu di
coba untuk dipenggal di sana-sini menjadi Al Hadits, ya jadinya ya begini, As Sunnah itu
tidak utuh lagi.
Andaikan dulu saya punya uang JUTAAN rupiah, kemudian uang saya hilang entah ke
mana, dan yang tersisa hanyalah Rp 20.000 saja. Maka saat ditanya orang tentang uang
saya itu, maka jawaban saya adalah : “Uang saya sudah habis, hilang.” Karena 20.000
rupiah sangatlah tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan jutaan rupiah.
Nah, dari sinilah mulai munculnya problematika umat Islam itu. Dengan semboyan :
. . . berpegang teguh kepada Al Qur’an dan Al Sunnah, akan tetapi As Sunnah yang
dimaksud itu ternyata hanya sebatas ribuan tulisan TEKSTUAL Al Hadits,
maka :
. . . umat Islam itu terlihat berjalan seperti orang sempoyongan, serba kikuk, serba
ragu, serba terbatas, serba mandeg dan seratus serba lainnya (tapi dengan motivasi
yang negatif).
Hal ini tak bedanya dengan melihat FILM KARTUN zaman “baheula”, di mana
gerakannya terpatah-patah dan tidak smooth. Ya lucu jadinya. Ibaratnya :
Umat Islam sekarang ini adalah seperti orang dari “suku pedalaman” di tengah-
tengah pandangan mata orang-orang kota.
Mereka jadi tontonan orang. Lucu sih.
Al Hadits yang tersisa saat ini juga bak ibarat sebuah Rumah Sempurna (RS) yang
terbakar nyaris habis ludes. Kemudian masyarakat mencoba bergotong royong mengais
puing-puing di bekas rumah tersebut. Tiba-tiba ada yang menemukan 'seujung' karpet
merah dipojokan. Tiba-tiba ada juga yang menemukan patahan daun jendela bekas
terbakar. Tiba-tiba ada juga yang lain menemukan bagian kecil, menemukan sebagian
ini, itu.dst. Dan kemudian masing-masing penemu itu saling berseru: “Ini asli dari Rumah
Sempurna itu lho”. Masing-masing mengatakan: “Yang lain itu palsu, karena bagian yang
lain itu ditemukan oleh si A yang terkenal pembohong.” Dan akhirnya kelompok-
kelompok manusia itu sibuk mengklaim bagian yang dia dapatkan yang berasal dari
Rumah Sempurna tadi. Padahal saat masih utuh, RS itu menjadi tempat yang sangat
ideal dan bisa dinikmati oleh semua orang. Orang miskin, orang kaya, orang rajin
beribadah, orang yang pemalas shalat malam sekali pun bisa merasakan manfaat dari
Rumah Sempurna tersebut
71
H. Kadaluarsanya TEKSTUAL Al Hadits
Sebenarnya umat Islam sekarang ini, yang selalu bersemboyan bahwa kita adalah umat
yang mengikuti dan berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah SAW, sudah banyak yang
meninggalkan Al Hadits, karena sudah tidak cocok lagi dengan peradaban sekarang,
terutama hadits-hadits yang bersifat berhubungan dengan ciri ketubuhan (fisik)
Rasulullah. Beberapa contoh yang ringan-ringan saja akan saya berikan untuk pembuka
wacana, misalnya:
1. Beberapa gelintir umat Islam masih tetap dengan gigih mengiklankan tentang
TEKSTUAL Al Hadits mengenai keutamaan SIWAK. Akan tetapi di antara sekian ratus
juta umat Islam, yang masih tetap setia memakai SIWAK hanyalah dalam hitungan
ribuan orang saja, nggak ada artinya lah jumlah itu. Akan tetapi dengan melihat
KONTEKS dari Al Hadits tentang siwak itu, yaitu tentang keutamaan membersihkan
gigi, maka hampir seluruh manusia telah mengamalkan Al Hadits itu walau dengan
berbagai alat bantu yang berbeda dengan siwak.
Hadits tentang siwak itu lalu menjadi hadits yang kadaluarsa dan tinggal
sebagai sejarah dan kenangan saja.
2. Hadits tentang pentingnya mengajarkan anak dengan 3 keterampilan : berenang,
memanah, dan berkuda, juga mengalami hal yang sama. Hanya pengajaran
berenang lah yang masih sangat relevan dengan peradaban saat ini, sedangkan
pengajaran memanah dan berkuda hanya cocok untuk kegiatan yang
diperlombakan seperti di PON. Karena :
. . . peradaban memanah dan berkuda sekarang sudah digantikan dengan
peradaban yang memakai senapan dan kendaraan bermotor.
3. Al Hadits untuk memakai baju putih-putihpun tidak selalu bisa diamalkan di
sembarangan tempat dan waktu. Ada yang lucu saat terjadinya konflik di Ambon
dulu. Ketika itu ada sekelompok umat Islam yang datang ke sana dengan atribut
pakaian putih-putih lengkap dengan sorban dan topi hajinya. Saat terjadi
pertempuran sporadis, baik di hutan-hutan dan malam hari, maupun di dalam kota,
maka :
. . . pasukan putih-putih itu dengan mudah ditembaki lawan.
Karena siapa pun tahu bahwa fitrahnya pakaian dalam peperangan adalah dengan
memakai pakaian penyamaran (loreng-loreng).
4. Dalam peperangan juga, Nabi dulu berada di garis depan untuk memimpin perang
dan memberi semangat kepada pasukan muslimin. Akan tetapi sekarang ini,
72
panglima perang hanya duduk-duduk di kantor, atau tidur-tiduran di rumah sambil
memberikan perintah lewat radio ! Nggak ngikut contoh Nabi lagi !
5. Ada juga orang-orang yang sangat getol mencirikan bahwa umat Islam itu
AFDALNYA pakai jubah, sorban, dan berjenggot. Tapi tahukah Anda bahwa Abu
Jahal, Abu Lahab dan kafir Quraish lain pun penampilannya begitu seperti wali-wali
dalam film sinetron di negara kita.
Banyak lagilah contoh-tontoh dari perilaku Nabi yang sudah tidak dipakai orang saat ini.
Apalagi perilaku sahabat-sahabat yang demikian beragamnya. Sekarang ini tidak ada
satu orang pun yang benar-benar telah mengikuti sahabat-sahabat Nabi, apalagi untuk
mengikuti apa-apa yang dicontohkan Nabi, mengikuti As Sunnah. Nggak lah ! Tapi kalau
hanya mencoba-coba untuk menyesuaikan diri dengan berbagai Al Hadits, yaa, sungguh
banyak sekali.
I. Al Qur’an, Al Hadits dan Kitab Ulangan
Pada kesempatan ini saya akan coba tayangkan sebuah masalah yang kejadiannya
adalah abadi, ada sepanjang masa, yaitu tentang perzinaan.
Dalam ayat Al Qur’an:
An Nuur (24 : 2)
"Perempuan yang berzina, dan lelaki yang berzina, maka cambuklah tiap-tiap orang dari
keduanya seratus kali dera."
Dalam Hadits Iman Buchari:
"Lelaki dan perempuan dewasa (muhsan / berkahwin) apabila berzina maka rejamlah
kedua-duanya sekaligus sebagai balasan dari pada Allah.
Begitu juga dengan hadits yang terkenal tentang pengakuan seorang wanita yang hamil
karena perzinahan, yang oleh Nabi ditunda pelaksanaan hukuman rajamnya setelah
anaknya lepas masa menyusu.
Dalam Kitab Ulangan PL-05 (22: 22 s / d 24):
22. Apabila seseorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami,
maka haruslah keduanya dibunuh mati; laki-laki yang telah tidur dengan
perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat
itu dari antara orang Israel.
23. Apabila ada seorang anak gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan -
jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia,
73
24. maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan
kamu lempari dengan batu, sehingga mati: gadis itu, karena walaupun di kota, ia
tidak berteriak-teriak, dan laki-laki itu, karena ia telah memperkosa istri sesamanya
manusia. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.
Saya cuma bertanya dengan segenap kerendahan hati saya. Hadits di atas apakah
mengikuti Al Qur’an atau mengikuti Kitab Ulangan ?
J. Lalu Bagaimana ?
Inilah perlunya tahu sejarah. Jadi kita bisa punya sikap dalam berfikir. Sumbernya dulu
dibongkar. Anda mau berbicara tentang hadits-hadits, ya di bongkar dulu sumbernya,
baru jalan ! Kalau nggak, nanti kita akan disuruh ngikutin hadits menurut pikiran orang
yang ngajarin kita itu nantinya.
Rasa-rasanya lengkap sudah kita meneropong dan mengelupasi tentang perkembangan
Al Hadits dari masa ke masa. Mungkin saja kemudian ada yang mulai meragukan Al
Hadits seperti yang banyak muncul di masyarakat sebelumnya, seperti kelompok
“Inkarussunnah”. Lalu ?
Kalau kita berhenti di sini, maka mungkin orang-orang yang inkarussunnah akan
bersorak mengiyakan bahwa Al Hadits sudah tidak bisa dipakai lagi sekarang. Akan
tetapi mari kita lanjutkan kebagian penutup yang akan memuat alternatif bersikap
terhadap kumpulan Al Hadits yang sampai kepada kita saat ini.
K. Sikap Berketuhanan
Ternyata Al Sunnah adalah sebuah realitas perjalanan panjang Rasulullah sehari-hari,
dari waktu ke waktu, dalam sikap berketuhanan. Realitas demi realitas ayat-ayat Al
Qur’an muncul dengan sangat mencengangkan yang kemudian Beliau sampaikan
kepada sahabat-sahabat Beliau. Dan sahabat-sahabat pun mampu mencerap realitas itu
dengan kualitas sami’na wa atho’na (tanpa reserve). Namun, sebuah pengajaran juga
bisa dipetik saat ini. Bahwa :
. . . siapa pun yang luput dari sikap berketuhanan, baik itu tingkatannya adalah
sahabat-sahabat Nabi, penerus Nabi berikutnya, sampai ke kita sekarang ini, maka
yang akan kita dapatkan adalah kesengsaraan dan kelemahan belaka bagi kita.
Bersikaplah dengan sikap berketuhanan, maka As Sunnah itu akan muncul dari dalam
diri kita sendiri. Maka berapa pun Al Hadits yang akan sampai kepada kita, kita akan
senyum-senyum saja melihat “muatan budaya duta istimewa Tuhan” di dalamnya.
Karena kalau kita tidak mempunyai sikap berketuhanan, maka As Sunnah lalu bisa
terpangkas menjadi ;
74
• Al Hadits milik budaya Allussunnah,
• Al Hadits milik budaya Syi’ah,
• Al Hadits milik budaya golongan dan mahzab-mahzab tertentu.
Tidak, jangan begitu !
As Sunnah itu TIDAK akan pernah batal, rusak, atau masuk kelompok hadits berkualitas
jelek (tidak shahih) hanya gara-gara penyampainya dulunya diperkirakan suku
berbohong, atau perawinya diragukan. Tidak !
As Sunnah adalah sebuah muatan universal yang masing-masing kita sudah punya
dan tertanam di dalam dada kita.
Hanya kesombongan dan keangkuhan kita saja yang telah berhasil menutup As Sunnah
itu dari perilaku kita sehari-hari.
Sungguh Rasulullah telah mencontohkan bagaimana kita seharusnya bisa takluk
terhadap SUNATULLAH (hukum-hukum Allah) itu, yang dalam istilah agamanya adalah
BER-ISLAM. Dan tunduk kepada sunatullah dengan tanpa reserve telah dilabeli Allah
dengan istilah TAWAKKAL. Jadi :
. . . tawakkal adalah sebuah suasana di mana seseorang mewakilkan segala-galanya
kepada Tuhan dengan mengikuti aturan-aturan Tuhan yang telah ditetapkan Tuhan.
Aturan Tuhan itu, misalnya, bekerjalah, majulah, berdaganglah, intidzar-lah (jadi
pengamatlah), bertebaranlah di bumi, sekolahlah, jadi dokterlah, jadi sarjanalah,
bangunlah peradabanmu, carilah kekayaan, dsb. Karena di semua aturan Tuhan itu ada
sesuatu buat kita. Akan tetapi jangan lupa, mulailah semua itu “dengan dan atas nama
Tuhan”, akhirilah “dengan dan atas nama Tuhan” pula (dzikrullah). Jadi :
. . . tawakkal itu bukanlah suasana NRIMO, atau pasrah tanpa kita “DIGERAKKAN”
untuk melakukan sesuatu dan menghasilkan sesuatu bagi kita. Tawakkal itu
haruslah MENGHASILKAN sesuatu untuk dirinya sendiri maupun untuk rahmat bagi
semua orang.
At Thalaaq (65 : 3)
"Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu".
Kalau dalam bahasa sekarang tawakkal itu mungkin bisa disebut dengan “melakukan
fungsi-fungsi sunatullah” yang di mana-mana orang pasti melakukannya walau dengan
kadar dan intensitas yang berbeda dari satu bangsa ke bangsa lainnya. Fungsi keseharian
75
kita saja sebenarnya, misalnya, ber: a(khlak)-pol(litik)-ek(onomi)-sos(sosial)-bud(aya)-
pen(didikan) to say the least.
Nah, untuk hadits-hadits tentang “apoleksosbudpen” di atas, dalam pelaksanaannya
saya akan melihat dulu USLUB dari hadits itu. Gunanya adalah agar supaya saya tidak
terlalu “keberatan beban” yang tidak sesuai dengan kemampuan saya yang sangat
terbatas ini. Dari sekian banyak hadits tentang hal keseharian tersebut di atas, saya pilih
uslubnya yang cocok dengan saya saja. Karena kalau semua hadits itu saya “kekep”
untuk saya sendiri, maka saya akan menjadi orang yang schizoprenia, orang yang
berkepribadian ganda, yaitu walau otak saya bisa mengetahui dan menerima hadits ini
dan itu, tapi saya tidak punya daya apa-apa untuk menerapkannya dengan “enjoy”.
Di dalam hadits apoleksosbudpen ini, ada yang uslubnya untuk pengemis, untuk orang
kaya, untuk anak-anak, untuk pemimpin, untuk yang dipimpin, untuk pelajar, untuk
guru, untuk pedagang, untuk. berbagai kalangan dan usia yang berbeda. Walau pun
begitu, di antara semua kriteria itu, ada nilai-nilai universal yang tidak saja bisa diterima
oleh segenap umat Islam (tanpa peduli aliran dan sekte apa dia), akan tetapi juga oleh
umat Kristen, Hindu, Budha, Shinto, dan kepercayaan lainnya. Nah, nilai-nilai universal
itulah yang saya ambil. Sedangkan tekstual haditsnya hanya saja jadikan sebagai bahan
perbandingan bahwa “Oo, dulu itu begitu yaa.”.
Sedangkan untuk hadits-hadits apoleksusbudpen yang membawa perpecahan, yang
sektarian, yang eksklusif, yang membawa saya taklid dan menyebabkan kejumudan
fikiran, ya saya baca dengan memberinya tinta merah. Untuk saya jadikan hanya sebagai
pengetahuan saja, “Ooo. ada yah hadits yang begitu. ”.
Itu tentang Al Hadits,
. . . apalagi kalau hanya terhadap wejangan ulama salaf, non salaf, syi’ah, dan
ulama-ulama zaman sekarang, sikap kritis yang lebih seharusnya mulai kita
munculkan, agar umat Islam ini menjadi umat yang dewasa. Tidak lagi seperti umat
kekanak-kanakan yang suka rebutan permen.
Coba, umat yang mengakunya punya Tuhan yang sama, Nabi yang sama, eeee di antara
umat itu lalu saling memaki, atas nama Tuhan lagi, saling menyalahkan, saling meng-
kafirkan, malah ada yang saling mendo’akan agar lawannya dilaknat Tuhan. Huh, tidak-
kah itu hanya akibat HAWA UN NAFS (kecenderungan Nafs) manusia-manusia itu saja,
atau dalam istilah sekarangnya adalah EGO sang manusia, yang menguasai mereka ?
Sedangkan tentang Al Hadits, ataupun keterangan sahabat-sahabat dan ulama-ulama
lainnya tentang suasana IMAN, TAQWA, KHUSYU’, IHSAN, SABAR, IKLHAS, dan
sebagainya, berikut suasana lawannya seperti KAFIR, FUJUR, dsb, sikap kita seharusnya
lebih khas lagi. Yaitu, tidak ada satu orang pun yang punya wewenang untuk MENILAI
76
langsung tentang semua itu kecuali HANYA ALLAH, dan RASULULLAH sewaktu Beliau
masih hidup. Selain itu, kalau ada yang mengaku tahu tentang semua itu, maka itu
hanyalah sekedar perkiraan-perkiraan saja. Maka perkiraan saya bisa saja berbeda
dengan perkiraan orang lain. Dan begitulah seterusnya. Perkiraan demi perkiraan itulah
yang telah melahirkan dinamika Islam dari hari ke hari. Perkembangan pengertian
tentang Islam ini terjadi melalui opini demi opini yang ditransfer di antara umat Islam itu
sendiri dari zaman ke zaman.
Nah, untuk itu bungkuslah keseharian kita itu dengan “baju ketuhanan dan sikap
berketuhanan”. Dan pada saatnya kita akan berjalan dengan muatan sunatullah (As
Sunnah) di muka bumi ini. Carilah “Baju Ketuhanan” itu ke mana pun dan kepada siapa
pun sampai dapat, agar kita bisa pula bersikap dengan “Sikap Berketuhanan” dengan
ENJOY.
Terakhir, janganlah “mempertuhankan” Al Hadits, karena Tuhan itu sangatlah
pencemburu. Kalau Tuhan sudah cemburu, maka akibatnya sungguh sangat fatal. Dia
langsung mengirim dan menaruh syaitan sebagi teman karib kita. Dan syaitan itulah
yang memotivasi kita untuk berbuat yang tidak baik. Dan kekuatan syaitan itu sungguh
tak tertandingi karena mereka juga memakai kekuatan Tuhan untuk menghasut kita itu.
77
Artikel 4 :
Rekonstruksi Berfikir4
Dalam uraian yang lalu, kita telah bernostalgia sejenak tentang maju mundurnya peradaban
Islam akibat pengkhianatan umat Islam sendiri kepada Tuhan, terutama terhadap :
. . . fungsi kekhalifahan sang manusia yang tercerabut dari akar yang seharusnya, yaitu
hilangnya kesadaran pada diri sang khalifah untuk bertindak dengan dan atas nama
ALLAH yang telah mengutusnya dengan haq.
Pengkhianatan ini ternyata telah menimbulkan dampak balik yang sungguh merugikan dan
merepot sang khalifah itu sendiri.
Untuk bagian selanjutnya, akan saya uraikan secara sederhana alternatif perbaikan yang
mungkin bisa dijadikan sebagai bahan renungan bagi kita semua, yaitu keberanian dari umat
Islam sendiri untuk melakukan rekonstruksi paradigma berfikir terhadap pokok-pokok
ajaran Islam yang telah diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. Perlunya
rekonstruksi paradigma berfikir itu adalah karena dalam perjalanannya, PEMAHAMAN umat
Islam terhadap pokok-pokok ajaran Islam itu ternyata telah melenceng jauh dari arah yang
diamanatkan oleh ajaran Islam itu sendiri. Pemahaman agama sepertinya tertinggal jauh
dengan permintaan dan kebutuhan ZAMAN. Karena memang agama sepertinya dengan
sengaja ingin dihentikan hanya sebatas pemahaman zaman ulama salaf yang sungguh sangat
sederhana kalau tidak mau dikatakan primitif.
Akibatnya maka yang muncul di tengah-tengah umat beragama adalah PARADOKS yang
sangat akut.
Saat ini agama nyaris tinggal seperti sebuah buku bacaan berupa NOVEL saja. Kita hanya
dibawa menerawang pada sebuah zaman yang katanya sangat indah semasa Nabi
Muhammad SAW, Sahabat, Tabiin, Tabit Tabiin, dan ulama-lama Salaf tempo dulu.
Bahwa pernah hidup dengan harmonis sekelompok orang di mana mereka senang kepada
Allah dan Allah juga senang kepada mereka. Bahwa. beliau-beliau yang mulia itu hidup
berdampingan panji-panji syariat Islam, bahwa, bahwa, indah sekali. Lalu kita dibuat sibuk
dengan NOVEL itu, membicarakannya kata demi kata, bahkan menghafal kata-katanya entah
untuk apa. Akan tetapi begitu kita memalingkan muka kita dari NOVEL itu dan melihat
kepada zaman kita sekarang, maka bayangan di dalam NOVEL itu seakan-akan hilang lenyap,
tak berbekas.
4 http://keluargaluwu.blogspot.com/2011/07/rekonstruksi-berpikir.html
78
Padahal AGAMA itu memang ADA BARANGNYA, real sekali. Agama itu adalah ibarat kita
mendengar berita di TV. Saat pembawa berita berbicara tentang sebuah keindahan alam,
misalnya Pantai Anyer, maka beberapa detik kemudian kita diperlihatkan tentang detail dari
Pantai Anyer itu secara visual. Dan secara otomatis pusat perhatian kita lalu beralih dari
WAJAH si pembaca berita ataupun dari SPESIFIKASI pesawat TV-nya kepada REALITAS berita
yang dibacakan. Dan bagi yang tertarik tentu akan datang ke Pantai Anyer itu untuk
membuktikan keindahan pantai Anyer itu. Apalagi bagi yang sudah pernah ke Pantai Anyer
itu, dia hanya akan senyum-senyum saja. “Terbuktikan ?”, kata sebuah iklan. Karena
memang agama itu fungsinya adalah sebagai sebuah JENDELA untuk mengamati bahkan
menjadi sebuah PINTU untuk memasuki keindahan perilaku dan budaya manusia (bukan
kera).
Sayangnya adalah bahwa arah yang melenceng itu diprakarsai oleh orang-orang yang
mengerti atau pakar (hafal) tentang agama Islam, dan pada level yang sangat mengagumkan
juga telah menjalankan agama itu dengan sungguh bersemangat, misalnya ustadz, ulama,
dan para kyai. Akan tetapi dengan pengertian yang berkembang dan dipakai saat ini, tanpa
disadari,
. . . umat Islam itu telah membawa dirinya sendiri ke arah kejumudan pemikiran.
Kejumudan pemikiran ini berimbas pula ke dalam sistem pendidikan yang ada di masyarakat
kita. Masih sering saja muncul anggapan, bahwa sistem pendidikan yang berkembang saat
ini bukanlah dikatakan sistem pendidikan yang islami hanya karena di sekolah tersebut tidak
diajarkan (atau sedikit sekali) diajarkan tentang pendidikan agama atau syariat Islam,
sehingga lalu muncullah pemisahan pendidikan menjadi sekolah agama di satu sisi dan
sekolah umum di sisi lain. Universitas agama Islam dan sekolah-sekolah agama lainnya
seperti pesantren dan madrasah-madrasah sepertinya berada di jalur terpisah dengan lebih
memfokuskan perhatian kepada pendidikan agama.
Kemudian ada memang muncul sekolah yang bercirikan agama yang sangat kental, yang
biasanya disebut sebagai “sekolah plus” atau UNGGULAN, yang juga mengajarkan
pendidikan “umum” seperti di sekolah-sekolah negeri umumnya. Akan tetapi sayang
bedanya masih terbatas hanya pada tempel-an simbol-simbol agama saja. Misalnya siswanya
hanya sekedar lebih banyak hafal Al Qur’an dan Al Hadits, lebih terlihat rajin shalat, yang lalu
dikatakan lebih agamis dibandingkan dengan siswa di sekolah umum.
Kejumudan pemikiran ini jugalah nantinya yang :
. . . membuat para ahli seperti dokter, insinyur, ahli hukum, ahli akuntansi, ahli gizi, ahli
baja, ahli manajemen, dan ahli-ahli lainnya, yang dikategorikan orang saat ini sebagai
AHLI PENGETAHUAN UMUM merasa MINDER hanya karena mereka tidak banyak hafal
ayat-ayat Al Qur’an, Al Hadits dan terminologi keagamaan lainnya.
79
Mereka tidak punya keberanian untuk menyadari bahwa :
. . . merekalah sebenarnya orang-orang yang sedang menjalankan Al Qur’an dan Al
Hadits tersebut. Walaupun mereka tidak hafal ayat Al Qur’an dan Al Hadits itu, tetapi
mereka sebenarnya adalah pengamal sejati dari ayat-ayat Al Qur’an itu.
Mereka adalah realitas orang-orang yang sedang mengamati ayat-ayat kauniah seperti yang
diperintahkan oleh Al Qur’an, sehingga mereka bisa menemukan bahwa Al Qur’an itu “ada
barangnya”, bahwa Al Qur’an itu bukanlah sekedar hanya teks dalam bahasa Arab (kauliyah)
yang :
• dihafal-hafal,
• dilagukan,
• dibicarakan saja.
Bahwa :
Al Qur’an itu ternyata adalah laksana sebuah TEROPONG untuk melihat sebuah realitas
(kauniah) TUHAN. Barang siapa yang mau menggunakan teropong itu akan
mendapatkan manfaat yang sungguh mencengangkan.
Oleh sebab itu perlu adanya Rekonstruksi Berfikir bagi umat Islam yang meliputi perubahan
pandangan atau paradigma terhadap Al Qur’an, As Sunnah, dan akal, sehingga diharapkan
pada akhirnya :
. . . bisa terbentuk karakater manusia baru yang dalam Al Qur’an disebut sebagai
karakter orang Islam yang utuh, yaitu karakter Orang Berakal.
Membaca alternatif apa-apa yang harus diubah ini, tentu saja akan ada saja pihak-pihak yang
kebakaran jenggot dibuatnya. Bahkan belum-belum sudah muncul pula cap pada saya
sebagai orang yang sesat, orang yang sok tahu, dan sebagainya. Ya, tidak apa-apa. Mari kita
urai satu persatu !
Yang saya maksud dengan rekonstruksi berfikir itu adalah sederhana saja, yaitu :
. . . dengan mengubah cara pandang terhadap Al Qur’an dan As Sunnah yang sudah
terkontaminasi sedemikian rupa menjadi cara pandang yang diingini oleh Al Qur’an dan
As Sunnah itu sendiri.
Jadi memandang Al Qur’an, As Sunnah, dan akal dengan Al Qur’an dan Sunnah itu sendiri.
Untuk melakukan rekonstruksi itu, maka perlu dilakukan peruntuhan konstruksi cara berfikir
lama yang ada saat ini, lalu dilakukan konstruksi ulang, sehingga menghasilkan bangunan
berfikir yang baru. Akan tetapi meruntuhkan paradigma berfikir lama itu alangkah sulitnya.
80
Sungguh sulit, karena dalam prosesnya perlu menghapus sebagian atau bahkan mungkin
seluruh memori paradigma lama yang telah karatan tersimpan di dalam otak kita selama ini.
Mari kita coba perlahan-lahan saja.
A. Al Qur'an adalah Teropong Kauniah
Penghargaan dan penghormatan umat Islam terhadap Al Qur’an hampir-hampir saja
membuat umat Islam itu buta terhadap kandungan dan maksud diturunkannya Al
Qur’an itu oleh Allah. Yaa, kesan yang ada terhadap Al Qur’an yang tersisa sekarang ini
hanyalah:
1. Adanya orang-orang yang merasa bahwa hanya dialah yang punya hak untuk
menyampaikan kandungan Al Qur’an.
Bahwa Al Qur’an itu adalah sebuah kitab yang begitu sucinya, sehingga orang awam
tidak punya otoritas sedikit pun untuk menafsirkannya dan membahasnya sesuai
dengan konteks kezamanan dan pengetahuannya sendiri. Karena si awam dianggap
tidak punya :
• ilmu bahasa Arab,
• ilmu hadits,
• ilmu asbabun nuzul,
• ilmu, ilmu, dan segudang prasyarat lainnya,
sehingga kemudian muncullah fungsi mirip keavataran (guru suci) dalam agama
lain, yang dalam agama Islam disebut misalnya sebagai MUJTAHID, ULAMA, IMAM,
dsb, untuk dapat memahaminya, yaitu :
. . . adanya orang-orang yang merasa bahwa hanya dialah yang punya hak untuk
menyampaikan kandungan Al Qur’an. Orang lain tidak punya hak untuk
berbicara tentang pemahamannya sendiri terhadap Al Qur’an.
2. Wejangan kepada umat Islam dari pengajian ke pengajian hanya sekitar : Al Qur’an
itu kalau dihafalkan, diwiridkan membacanya secara teratur, maka :
• Allah akan menurunkan rahmatNya, dan
• Malaikat pun akan turun ikut menaungi halaqah-halaqah yang di dalamnya
diperdengarkan bacaan Al Qur’an.
Bahwa ayat-ayat Al Qur’an itu kalau dihafalkan, diwiridkan membacanya secara
teratur, maka :
• Allah akan menurunkan rahmatNya kepada kita, dan
• Malaikat pun akan turun ikut menaungi halaqah-halaqah yang di dalamnya
diperdengarkan bacaan Al Qur’an.
81
Dari dulu itu saja yang diwejangkan kepada umat Islam dari pengajian ke pengajian.
Betul memang dengan membacanya dengan tartil akan menimbulkan efek
ketenangan ke dalam hati si pembaca atau yang mendengarkannya. Akan tetapi
efek tenang itu barulah sebagian sangat kecil dari manfaat Al Qur’an itu. Dan efek
tenang di hati ini sebenarnya hanyalah masalah psikologis biasa saja, sama seperti
mendengarkan musik yang enak di dengar. Kalau tidak percaya coba saja untuk
mendengarkan orang yang membaca Al Qur’an dengan nada yang sumbang, tajwid
tidak benar, kecepatan baca yang tidak teratur, maka saat itu juga yang muncul
bukannya efek tenang, malah sebaliknya. Yang muncul adalah rasa tidak enak, risih,
bahkan mungkin marah karena dia membaca ayat Al Qur’an dengan sembarangan.
3. Khalayak ramai yang sedikit sekali yang bisa menghafal atau bahkan untuk hanya
sekedar membaca Al Qur’an saja, menjadi generasi MINDER, yang tidak punya
semangat untuk merubah keadaan.
Keulamaan, kehebatan kualitas keagamaan seseorang seringkali ditandai dengan
seberapa banyak beliau hafal akan Al Qur’an dan Al Hadits. Ulama-ulama besar
seringkali digembar-gemborkan sudah hafal Al Qur’an pada umur di bawah 15
tahun dan hafal juga sekian ribu hadits pada usia yang relatif muda, sehingga beliau-
beliau itu lalu dianggap sebagai sosok yang berhak meneruskan perjuangan
Rasulullah SAW. Sedangkan Khalayak ramai yang sedikit sekali yang bisa menghafal
atau bahkan untuk hanya sekedar membaca Al Qur’an saja lalu menjadi generasi
MINDER, generasi seperti gerombolan yang tidak berketuhanan, yang tidak punya
semangat untuk merubah keadaan. Karena :
. . . kalau pemikiran khalayak itu berlawanan dengan pemikiran ulama sang
penerus Nabi, maka label sesat dan bahkan kafir akan menempel pada dirinya.
Label yang sungguh menakutkan banyak orang, sehingga :
. . . membuat orang menjadi apatis terhadap agama.
4. Mandegnya kualitas pemikiran intelektual Islam dibandingkan dengan kecepatan
kebutuhan perubahan ZAMAN.
Dan yang terpenting adalah adanya paradigma yang keliru tentang istilah MENGAJI
yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Selama ini kegiatan mengaji sangat
identik dengan sebuah kegiatan yang dilakukan :
• di dalam masjid,
• di dalam rumah, atau
• ruangan,
yang materinya adalah membahas :
82
• kata perkata,
• kalimat per kalimat
tentang sebuah ayat Al Qur’an ataupun Al Hadits.
Pembahasannya itu juga lebih banyak merujuk kepada :
. . . bahasan yang sudah menjadi sejarah, karena isinya hanyalah sebuah
pemikiran ulama pengarang kitab yang sedang dibahas itu yang hidup beberapa
tahun, puluhan tahun, atau bahkan ratusan tahun yang lalu.
Kalau pun ada buku baru, maka esensinya tidak ada bedanya dengan buku-buku
lama itu. Hal ini lalu menyebabkan mandegnya kualitas pemikiran intelektual Islam
dibandingkan dengan kecepatan kebutuhan perubahan ZAMAN. Padahal Al Qur’an
itu mengisyaratkan adanya proses untuk mengkaji Al Qur’an sampai bisa
mendapatkan sesuatu yang memang sudah seharusnya di dapat pada setiap zaman
yang dilalui, bukan hanya sekedar kira-kira.
Dengan hanya memperhatikan empat perilaku pemahaman umat Islam terhadap Al
Qur’an ini, maka dalam kesempatan ini saya akan mencoba memberikan alternatif
perubahan dalam memahami makna Al Qur’an, yaitu saya mengajak umat beragama
Islam (bagi yang mau saja) atau pun umat beragama lain yang belum begitu memahami
untuk apa itu Al Qur’an diturunkannya buat umat Islam bahkan untuk umat manusia
secara keseluruhan, yaitu sebagai teropong kauniah.
Al Qur’an dengan lebih 6000 ayat-ayatnya adalah sebuah TEROPONG (alat
mematut) yang diwariskan oleh Rasulullah Muhammad SAW bagi seluruh umat
manusia untuk memandang ALAM SEMESTA dan DIRI MANUSIA itu sendiri. Dengan
teropong itu si manusia diajak untuk untuk masuk ke dalam suasana demi suasana
(keadaan demi keadaan) yang terdapat pada alam semesta dan diri manusia itu
yang merupakan tanda-tanda akan keberadaan Allah (ayat-ayat Allah), Tuhan
Semesta Alam, sampai pada akhirnya kita bisa “MELIHAT ALLAH (ra’aitullah)”
dalam setiap tanda-tanda-Nya itu.
Dalam uraian singkat fungsi Al Qur’an di atas, ada beberapa kata kunci yang akan kita
bahas lebih dalam, yaitu : Teropong, Alam Semesta dan Diri Manusia, Suasana (keadaan,
hal, kondisi), dan muaranya adalah “melihat” Allah (ra’aitullah) !
B. Teropong
Kalau Al Qur’an itu disebut sebagai TEROPONG, maka fungsinya hanyalah sebagai
sebuah ALAT BANTU MEMANDANG. Al Qur’an menerangkan Al Qur’an sendiri dengan
istilah bahwa dirinya adalah hidayah (petunjuk), pembeda, pemberi arah, pemotivasi
bagi manusia untuk melihat dan menyikapi segala sesuatu sesuatu yang bisa dipandang
83
dan dirasakan. Jadi dapat dikatakan bahwa Al Qur’an itu adalah sebagai ALAT BANTU
saja sebenarnya. Namanya alat bantu, ya harus dipakai. Seperti halnya teropong, maka
dia akan bisa dipakai oleh siapa saja. Dan siapa pun yang memakainya, maka dia akan
mendapatkan manfaat karenanya.
Kekurangan kita umat Islam selama ini adalah, bahwa kita selama ini terlalu sibuk
dengan teropongnya, kita terlalu sibuk dengan ciri-ciri fisik dan malah sampai ke
detail yang sekecil-kecilnya dari teropong itu.
Umat Islam juga sibuk terus menggosok dan melap teropong itu takut ada debu, ada
karat, atau ada yang mengutak-atik keapikannya. Bahkan tidak sedikit pula kita selalu
menjajakan “klaim” bahwa ini teropong yang terbagus yang pernah ada, semua keadaan
BISA diamati dengannya, atau ini adalah teropong yang keasliannya sangat terjamin.
Begitulah,
. . . umat Islam itu dengan Al Qur’an seperti anak kecil yang diberi mainan baru,
buat sementara si anak kecil memang akan sibuk dengan mainan itu. Akan tetapi
beberapa waktu kemudian, kalau si anak tidak diberi tahu fungsi dari mainan itu,
sehingga dia tidak bisa menikmatinya, maka sudah dapat dipastikan mainan itu
akan dibuangnya.
Huh ! Lain halnya kalau si anak diberitahu fungsi alat tersebut, kemudian apa yang bisa
didapat, maka si anak akan asyik menikmati permainannya. Walaupun nanti akan bosan
juga jadinya, itu nggak jadi masalah, karena bosan atau tidak itu hanyalah masalah
ekstasisnya otak terhadap suatu keadaan atau suasana saja.
Dan Al Qur’an menjamin bahwa ekstasisnya otak (yang dalam istilah agama disebut
dengan iman) yang menyebabkan otak mengirim impuls getaran iman ke dada (sudur)
dan ke kulit / tubuh (julud) itu selalu bertambah setiap kita memakai ayat-ayatnya untuk
membidik suatu suasana atau keadaan ke suasana dan keadaan yang lain.
Bertambahnya ekstasis otak (iman) itu begitu NYATA dan EMPIRIS. Dalam surat Al Anfal
ayat 2, misalnya, Allah menjamin :
Al Anfal (8 : 2)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut
nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-
ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka
bertawakkal.”
Bagi orang yang berfikir, maka ayat tersebut akan dia jadikan sebagai sebuah teropong
untuk mengamati ciri-ciri orang beriman. Misalnya, kalau saya mengaku beriman lalu
84
“getaran hati” saya sama saja tatkala saya menyebut nama Allah dengan menyebut
piring, gelas, dsb, maka saat itu juga saya akan buru-buru mempertanyakan
(melaporkan) suasana yang muncul itu:
“Duh Gusti. kenapa sensasi otak saya, dada saya, kulit saya saat menyebut nama-Mu
tidak sesuai dengan yang tertera di Manual Teropong Iman (Al Qur’an) ? Rasanya kok
seperti ada sebentuk selubung hijab, cover (kafir) yang menyelimuti otak, dada, dan
tubuh saya ?”.
Dan sampai ke manapun saya akan berusaha mencari “pengajaran” agar selubung itu
bisa terkuak sampai suasana yang saya jumpai PERSIS sama dengan yang tercantum di
manual teropong IMAN itu. USAHA YANG SAMA juga akan saya lakukan tatkala saya
membaca ayat-ayat Quliyah Allah, tapi saya TIDAK mendapatkan suasana KAUNIYAH
nya, iman saya TIDAK berkembang sedikitpun dibuatnya, MANDEG, sama saja seperti
tahun-tahun lalu, atau puluhan tahun yang lalu !
C. Objek Teropongan
Kemudian ke mana arah pandangan kita harus tertuju dalam meneropong juga tidak
usah kita bawa jauh-jauh, cukup di dekat kita saja, yaitu ALAM SEMESTA dan DIRI
MANUSIA itu sendiri. Ayat (manual) yang sangat populer yang akan saya jadikan sebagai
pedoman meneropong adalah:
Ali Imran (3 : 190-191)
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah
kami dari siksa neraka.",
dan juga dalam ayat:
Adz Dzaariyaat (51 : 20-21)
"Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin,
dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan ?"
Pada empat ayat ini, Allah memberikan arahan-Nya HANYA bagi orang YANG BERFIKIR,
orang yang berakal, bukan buat orang yang jahil, ORANG YANG TERCOVER, orang yang
terselubung. Ayat ini merupakan sebuah teropong yang dipersiapkan oleh Allah Sang
Rabbul ‘Alamin untuk dipakai oleh sang berakal dalam menjalani kesehariannya.
85
Ciri-ciri Sang Berakal ini menurut manual teropong itu haruslah utuh, yaitu:
1. Dimulai dengan KESADARAN BERKETUHANAN yang penuh (saat berdiri, duduk,
maupun saat leyeh-leyeh),
2. Melakukan proses PENGAMATAN terhadap suasana, keadaan, kondisi dan hal
yang berada pada objek ALAM SEMESTA dan DIRI MANUSIA,
3. MENYADARI bahwa objek pengamatan itu ternyata TIDAK SIA-SIA artinya ada
hasil, ada hal dan kondisi baru yang ditemukan dari proses pengamatan itu,
4. Ra’aiturabbi, “Melihat Tuhan” (kembali berada dalam kesadaran
berketuhanan) pada setiap objek dan derivatifnya yang ditemukan.
5. BERDO’A, agar temuan-temuan dalam pengamatan itu tidak menjadi SIKSA,
tidak menciptakan ANGKARA MURKA baru bagi manusia baik dalam skala kecil
maupun skala besar,
6. Dan proses itu BERGULIR TERUS pada objek-objek lain di ALAM SEMESTA dan
DIRI MANUSIA yang sungguh tak terhingga banyaknya.
Sekarang mari kita kupas perilaku sang berakal ini lebih dalam lagi, dan apa jadinya nanti
kalau proses berfikir ini tidak dilakukan secara utuh !
D. Kesadaran Berketuhanan
KESADARAN AWAL dari sebuah pengamatan atau kegiatan apapun adalah sangat
penting, karena kepada kesadaran awal itulah nantinya hasil dari pengamatan dan
kegiatan itu akan dinisbahkan atau dikembalikan. Kalau kesadaran awal itu adalah
berupa kekuasaaan, maka hasil kegiatan yang dilakukan juga akan dimanfaatkan untuk
pemenuhan permintaan kekuasaan itu. Begitu juga kalau kesadaran awalnya adalah
berupa kepentingan uang dan politik, maka segala hasil kegiatan dan pengamatan itu
juga akan dihambakan kepada uang dan politik itu.
Begitu pentingnya kesadaran awal ini, sehingga dalam ayat di atas kita diberi arahan
bahwa mulailah pengamatan itu dengan KESADARAN KETUHANAN, jangan kepada yang
lain, sekali-kali jangan kepada yang lain. Dan kesadaran ketuhanan itu juga tidak main-
main, kita diberitahu untuk mempunyai kesadaran itu setiap saat. Bukan hanya sekedar
menyebut “bismillahirrahmanirrahiim, aku memulai pekerjaan pengamatan ini bersama
Allah dan atas nama Allah”, lalu setelah mengucapkan lafaz itu kita lupa akan kesadaran
ketuhanannya. Artinya pada saat itu saya telah lupa kepada Tuhan walau pun baru
beberapa saat yang lalu saya masih menyebut nama-Nya.
Kemudian muncul pertanyaan,
. . . andaikan saya tidak bisa memelihara rasa ingat (kesadaran) kepada Tuhan ini
setiap saat apa ada yang keliru ?
86
Jawabnya, ada dua kemungkinan penyebabnya :
• Saya yang salah secara teknis dalam melakukannya, sehingga saya tidak bisa
mendapatkan rasa ingat itu secara permanen.
• Bisa juga ayatnya sendiri yang keliru atau paling tidak ayatnya yang terlalu mengada-
ada. Lhaa, bagaimana caranya saya bisa mengamati alam semesta dan diri saya
sendiri lalu pada saat yang sama saya juga punya kesadaran (rasa ingat) kepada
Tuhan.
Nah, sekarang terserah anda masing-masing untuk menilai penyebabnya itu :
• Kalau anda memilih penyebabnya ada pada diri anda sendiri, tetapi anda tidak
berusaha untuk memperbaiki masalah teknis untuk mendapatkan ingat kepada
Tuhan itu secara permanen, maka anda berarti tidak mengikuti manual teropong
orang berakal.
• Dan kalau teropongnya tidak dipakai, maka suasana rasa ingat Tuhan pasti juga tidak
akan didapatkan, wong teropongnya tidak dipakai.
Akan tetapi kalau realitas rasa ingat permanen itu tidak berhasil anda dapatkan karena
ayatnya yang berlebih-lebihan atau keliru, beranikah anda mencoret ayat di atas ? Ayat
ini tidak cocok : CORET ! Hah ?!
E. Proses Mengamati
Proses mengamati hanyalah sebuah proses NETRAL yang sangat sederhana. Saking
sederhananya, maka siapa saja dapat melakukannya. Mengamati itu tidak tergantung
sedikit pun kepada agama, kepercayaan, mahzab, suku bangsa, tinggi rendahnya
pendirikan, ataupun jenis kelamin dari sang pengamat. Semua punya kesempatan dan
alat yang sama dalam mengamati sebuah suasana. Dan HASIL pengamatan itu juga
sangat NETRAL sekali. Mau digunakan untuk yang baik dan bermanfaat bagi umat
manusia, atau untuk menghancurkan umat manusia, ya. itu terserah kepada si pemakai
hasil pengamatan itu. Sederhana sekali.
Instrumen manusia yang dipakai untuk mengamati sesuatu itu juga tidak rumit-rumit.
Orang bisa mengamati dengan mata, dengan telinga, dengan kulit. Kalau anggota tubuh
itu tidak mampu mengamati, maka manusia akan berusaha membuat alat bantu. Lalu
bermunculanlah berbagai alat bantu yang bisa dipakai untuk mengamati, terus begitu
seperti tiada henti-hentinya. Ada hasil baru, ada alat bantu baru, ada benda baru yang
berasal dari penggabungan benda-benda lama. Continuous improvement is a reality to
occur.
Ada sedikit kekurangajaran yang dibuat oleh orang-orang yang telah melakukan proses
pengamatan ini di negara “sono”. Kekurangajaran ini ditujukan tentu saja untuk orang-
orang yang tidak mau mengamati, untuk orang-orang yang hanya membebek atas
87
penemuan-penemuan si ahli amat itu, untuk orang-orang yang maunya hanya membaca
dari buku-buku tentang penemuan-penemuan orang dan mereka lalu terkagum-kagum
dengan penemuan itu. Kurang ajarnya adalah, proses mengamati yang sederhana ini lalu
dibuat mentereng dengan istilah-istilah, misalnya, Scientific Approach, Seven Tools,
Seven Habits, PKM, GKM. Ah bisa saja kau itu, yang kau lakukan ’khan hanya: “Ada
benda atau keadaan, lalu kau amati, kau catat, kau coba cari alternatif benda atau
suasana baru, dan kau dapatkan dan nikmati hasilnya." Itu saja kok repot-repot.
F. Naluri Mengamati
Kalau diperhati-perhatikan dengan seksama, kegiatan pengamatan itu hanya melibatkan
sedikit saja langkah yang diperlukan. Gunakanlah INDRA yang ada dan pada level
tertentu boleh juga dibantu dengan ALAT BANTU untuk mengamati. Akan tetapi sedikit
langkah itu ternyata memberikan hasil yang variatif sekali di antara bangsa-bangsa yang
ada. Dan apa gerangan penyebabnya ? Menurut pengamatan saya, variasi yang sangat
kentara antara hasil pengamatan DUNIA BARAT dengan bangsa-bangsa TIMUR (minus
Jepang, Korea, China, dan beberapa bangsa lainnya tapi tidak termasuk INDONESIA dan
bangsa-bangsa ARAB) adalah dalam hal NALURI MENGAMATI. Ya,
. . . Barat ternyata telah melatih diri mereka sedemikian rupa, sehingga mereka
mempunyai naluri mengamati yang sangat peka.
Ini ibarat pertandingan tinju. Senjata bagi petinju-petinju itu dari dulu sampai kapan pun
ya itu-itu saja. Ada pukulan jab, upper cut, swing, dsb. Ada menangkis, menghindar,
maju, dan mundur. Akan tetapi bagi seorang petinju yang mempunyai naluri bertinju
yang hebat, dengan teknik bertinju yang anak kecil pun tahu itu, bisa membuat mereka
menjadi petinju yang disegani oleh musuhnya. Karena dia memang punya NALURI untuk
bertinju.
Kalau diperluas sedikit lagi, di dalam perusahaan pun ilmu yang dipakai dari dulu-dulu
sampai masa yang akan datang pun ternyata hanya itu-itu saja. Yaitu :
• Bagaimana cost yang muncul dari setiap operasi perusahaan diusahakan untuk bisa
lebih kecil dari benefit, sehingga perusahaan mendapatkan keuntungan.
• Karena perusahaan itu dioperasikan oleh manusia dengan memakai mesin-mesin,
maka orang yang berakal, seperti dimuat dalam ayat di atas, haruslah mempunyai
NALURI untuk bisa mengamati manusia dan mesin-mesin itu.
• Karena pada manusia dan mesin-mesin itu ada hukum-hukum yang tidak bisa
dilanggar sedikit pun, baik oleh sang manusia maupun oleh mesin-mesin itu. Hukum-
hukum pasti ini dalam istilah agamanya adalah SUNATULLAH, dalam istilah
sekulernya disebut dengan hukum-hukum alam. Misalnya, kalau pabrik sudah tua,
88
maka kalau tidak dibangun pabrik yang baru, atau dilakukan revamping, maka dalam
hirupan sejuta bungkus rokok yang akan datang perusahaan itu PASTI akan tutup.
• Kalau karyawan di sebuah perusahaan sudah tua-tua, karena tidak ada regenerasi,
maka pada perusahaan itu akan muncul gap antar generasi. Contohnya, jika
perusahaan itu di manajemeni oleh generasi berumur di atas 40-an, kalau kemudian
dilakukan rekruitmen baru bagi generasi umur 20 s / d 24-an, maka akan terjadi
kesenjangan pola pikir yang akut antara pimpinan dan bawahan. Sang pimpinan pada
umur-umur 40-an lebih itu kalau tidak punya NALURI memimpin, maka umumnya
mereka akan bermain aman, alias tidak punya greget. Sementara karyawan baru
yang muda-muda tersebut cenderung akan mempunyai semangat lebih kental.
Maklum masih baru. Lalu yang terjadi ? Amatilah !
NALURI, ahh, istilah sederhana yang realitasnya sudah hampir punah di negara kita ini.
Masihkah kita punya waktu untuk melatih naluri ini :
• naluri memimpin,
• naluri membangun,
• naluri bersatu,
• naluri membahagiakan orang lain,
• naluri iman,
• naluri khusyu,
• naluri sabar,
• naluri ikhlas,
• naluri mengamati.
Sebagai pengganti dari naluri yang sedang bersemayam saat ini dalam diri kita yang
cenderung kepada serba perselisihan dan naluri-naluri negatif lainnya !
G. Alam Pengamatan
Sebagai objek dalam pengamatan ini, manual teropongnya menyebutkan bahwa yang
diamati itu adalah ALAM SEMESTA dan DIRI MANUSIA. Maka bagi orang yang berakal,
pengamatannya sudah pastilah akan tertuju kepada setiap apapun yang bisa di temukan
di Alam ini. Karena alam semesta ini memang diciptakan untuk dimanfaatkan oleh
manusia dengan sebaik-baiknya. Dan kalaulah ditulis hasil-hasil pengamatan itu, maka
seandainya air dari tujuh lautan dijadikan tinta, maka sampai habis air itu dipakai, tidak
akan selesai kita menulisnya. Perkembangan ilmu fisika, kimia, ekonomi, adalah sedikit
dari sekian banyak ilmu yang dihasilkan dari proses mengamati suasana di alam semesta
ini.
Diri manusia sebagai objek pengamatan, juga tak kalah menariknya. Berbagai cabang
ilmu kedokteran dan psikologi telah berkembang mengiringi pengamatan terhadap diri
89
manusia itu. Padahal pengamatan itu kalau diringkas hanya dilakukan pada dua
substansi saja, yaitu NAFS (diri, jiwa) dan RUH. Yaaa, pada manusia itu ternyata hanya
dua substansi itulah yang saling berinteraksi. Pengamatan terhadap Nafs telah
melahirkan pengetahuan manusia yang sangat detail terhadap ketubuhan manusia,
mulai dari yang kasat mata seperti jantung, otak, sampai kepada yang berukuran mikro
seperti rantai DNA, biologi molekuler, dsb.
Pengetahuan tentang Nafs dengan segala sifat-sifat bawaannya ini juga telah melahirkan
ilmu psikologi baru, yaitu psikologi TRANSPERSONAL. Di dalam kajian psikologi modern,
psikologi transpersonal merupakan kekuatan ke empat dalam aliran psikologi setelah
PSIKOANALISA, BEHAVIORISME dan psikologi HUMANISTIK. Psikologi transpersonal
merupakan bentuk perkembangan ilmu psikologi yang tidak tersentuh oleh analisa para
ahli jiwa terdahulu, padahal kajian ini secara langsung banyak membicarakan wilayah
pusat (eksistensi dan aktivitas jiwa), bukan hanya gejala empirisnya saja.
Karl Jung dengan psikologi transpersonalnya telah banyak menyadarkan para
rohaniawan untuk melepaskan teori meditasi konvensional yang selama ini mereka
pakai. Dalam konsep Jung ini dikatakan bahwa: “Sang Aku (diri) mencari dan mengarah
(tertuju) kepada sang Aku yang kekal”. Konsep Jung ini yang paling bisa diterima, karena
jiwa memang tidak boleh dibatasi oleh benda-benda. Ruh harus lepas atau moksa
menuju wujud mutlak yang tidak terbatas.
Dasar spiritual agama-agama sebelum Islam yang dibawa para Nabi disebut agama
hanif, yaitu agama lurus yang mendasari arah spiritualnya kepada Zat yang mutlak, tidak
boleh menghambat ruhani atau mengikat jiwa seseorang kepada bentuk materi sebagai
alat konsentrasi. Jiwa yang terikat akan berada di wilayah yang paling rendah. Kondisi ini
tidak sesuai dengan fitrahnya yang memiliki kecenderungan untuk kembali kepada Yang
Maha Tak Terbatas, Tak Terjangkau, Tak Terdifinisikan. Dengan mengarahkan jiwa
kepada Zat Yang Maha Tak Terbatas, maka jiwa Anda akan merasakan seperti kembali
dan tidak terkungkung oleh benda-benda yang mengikatnya.
Ah, demikian banyak dan berkembangnya apa-apa yang bisa kita amati. Dan proses
mengamati alam semesta dan diri manusia inilah senjata maha hebat yang sebenarnya
telah diwariskan untuk para ulul albab, orang yang berfikir, yang koncinya pada awalnya
diserahkan kepada umat Islam. Akan tetapi ternyata konci penyimpanan senjata
pamungkas itu telah hilang dari tangan umat Islam. Konci itu telah jatuh ke tangan umat
non Islam. Sedangkan . . .
. . . umat Islam dari dulu sampai sekarang masih saja sibuk dengan masalah-masalah
saling KLAIM tentang legalitas agama seperti mahzab, fikih, syariat, hadits. Akan
tetapi mereka seperti DIBUAT LUPA akan maksud dari syariat, agama, fikih, dan
hadits itu.
90
Antara satu golongan dengan golongan yang lain saling sibuk sendiri dengan klaim-klaim
kebenaran mereka. Mereka seperti dibutakan dengan peringatan ayat:
Ar Rum (30 : 31)
“Manusia itu harus kembali kepada Allah dan bertakwalah kepada Allah, tegakkan
shalat dan janganlah kamu menjadi orang-orang yang (musyrikin) mempersekutukan
Allah.”
Ar Rum (30 : 32)
“yaitu dari golongan-golongan, orang-orang yang memecah belah agama mereka, dan
mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan dan
membenarkan apa yang ada pada golongan mereka”.
Sehingga umat Islam sekarang ini seperti umat yang terkena kutukan Tuhan karena
secara tidak disadari (karena memang hati mereka seperti sedang tertutup untuk
“melihat” kebenaran) mereka telah menjadi orang MUYSRIK di samping juga telah
menyia-nyiakan kunci senjata rahasia yang dahsyat sekali.
Suasana umat Islam sekarang ini tak ubahnya seperti “kerakap tumbuh di batu,
hidup segan mati tak mau”. Sunatullah saja yang terjadi sebenarnya !
Pesan dari ayat di atas sebenarnya sangatlah menakutkan.
Musyrik itu ternyata tidak hanya :
• Menduakan atau menyekutukan Tuhan dengan sesuatu apapun, akan tetapi juga
setaraf dengan
• Orang yang suka memecah belah agamanya menjadi golongan-golongan, sekte-
sekte, mahdzab-mahdzab, aliran-aliran, dan masing-masing golongan itu
mengklaim bahwa hanya mereka sajalah yang benar, yang lain adalah salah, atau
paling tidak keliru (eh sama saja ya.).
H. Hasil Pengamatan
Dari proses di atas, yang bisa dilakukan oleh manusia hanyalah sekedar mengamati,
mencatat, memfile, atau bisa juga sampai dengan mengkombinasikan, menambah,
mengurangi komposisi materi yang diobservasi. Lalu mengamati lagi, mencatat,
memfile, dan kemudian menggunakan hasil pengamatan itu untuk apa saja. Baik itu
digunakan untuk yang bermanfaat bagi umat manusia, maupun untuk yang merugikan
umat manusia itu sendiri. Terserah manusia saja. Begitulah seterusnya sampai akhir
zaman nantinya. Dari proses tanpa henti inilah lahir berbagai cabang ILMU
91
PENGETAHUAN yang merupakan senjata rahasia paling ampuh yang disiapkan oleh
ALLAH bagi manusia untuk MEMENUHI KEHENDAK DARI ZAMAN yang dilaluinya.
Dan ilmu pengetahuan yang lahir itu sangatlah NETRAL sifatnya. Dia tidak tergantung
oleh agama, kepercayaan, suku, ataupun bangsa dari orang-orang yang menjalankan
ilmu pengetahuan itu. Salah satu sifatnya hanyalah bahwa dia akan meluluhlantakkan
orang-orang yang tidak tunduk kepada kehendak ilmu pengetahuan itu sendiri. Nah,
proses tunduk kepada kehendak zaman dan kehendak ilmu pengetahuan inilah yang
disebut sebagai FITRAH, atau dalam istilah lainnya adalah SUNATULLAH (hukum-hukum
Allah), atau dalam istilah netralnya adalah hukum-hukum alam.
Contohnya adalah saat agama Kristen dengan doktrin gerejanya di awal-awal
perkembangan ilmu pengetahuan mencoba menghalangi fitrah ilmu pengetahuan itu,
maka saat itu pulalah muncul penentangan terhadap doktrin gereja yang kemudian
melahirkan gerakan sekularisme. Jadi sekularisme itu hanyalah sebuah gerak FITRAH
ZAMAN dalam menghancurkan penghambat yang menghalangi laju perjalanannya.
Sekularisme ini akan menyelinap kapan saja dan ke dalam agama apa saja tatkala agama
tersebut tidak takluk terhadap fitrah zaman yang dilaluinya. Dia bisa muncul dalam
agama Islam, Hindu, Budha, dsb. Tak tertahankan gerak fitrah itu.
Sekularisme ini akan menjalar ke dalam suatu agama tatkala agama itu sudah tinggal
hanya sekedar pemahaman TEKSTUAL saja bagi umat pemeluknya. Karena fitrah itu
sendiri adalah sebuah KONTEKSTUAL yang sangat selaras dengan kebutuhan zaman
tempat dia berada. Dalam agama Islam, sekularisme ini muncul bak cendawan tumbuh
di musim hujan. Sekedar contoh di Indonesia ini, Ulil Absar Abdallah dengan Islam
Liberalnya, dan banyak nama lainnya yang mengusung wacana tentang Islam
kontekstual, seperti Cak Nurcholis Majid, Alwi Shihab, bahkan.
(Dalam lanjutan serial artikel ini akan saya bahas tentang betapa fitrahnya Rasulullah
dalam menyikapi zamannya. Beliau tunduk dan takluk terhadap kehendak zamannya.
Beliau takluk terhadap FITRAH di zamannya. Ketaklukan Beliau terhadap fitrah inilah
sebenarnya makna dari sunnah yang hakiki, bukan pada kalimat-kalimat haditsnya).
Yang menarik untuk dibahas adalah, bahwa dalam menyikapi hasil pengamatan
terhadap alam dan diri manusia itu, ternyata manusia terpecah menjadi beberapa
kelompok besar. Pengelompokan ini begitu nyata.
1. Kelompok Pertama : Orang Yang Berhenti di BENDA
Orang yang berhenti di BENDANYA, lalu mereka sadar bahwa: “Oooo, ternyata
BENDA ini ada manfaatnya yaa !”. Hanya sampai di situ. Walaupun dia berhasil
mendapatkan rahasia demi rahasia baru dari setiap benda yang dia amati, dia hanya
akan terhenti di benda tersebut. Saat dia mencoba mencari arah pengembalian dari
92
hasil pengamatannya itu, dia tidak menemukannya. Dalam istilah agamanya dia
disebut “sedang tersesat” dari arah pengembalian yang seharusnya. Karena
memang arah pengembalian itu sangat tergantung dari KESADARAN AWAL saat dia
mulai melakukan proses ilmu pengetahuan itu.
2. Kelompok Kedua : orang yang di samping :
a. Berhasil menemukan manfaat dari benda yang diamati itu, dia juga
b. Berhasil menyadari akan keberadaan SESUATU yang merupakan tempat
bersandar dari benda itu
Orang yang di samping berhasil menemukan manfaat dari benda yang diamati itu,
dia juga berhasil menyadari akan keberadaan SESUATU yang merupakan tempat
bersandar dari benda itu, sehingga lalu dia mengembalikan (menyampaikan rasa
syukurnya) kepada “sesuatu” itu. Dalam istilah agamanya disebut bahwa dalam
melihat benda-benda, maka dia berhasil “melihat” sesuatu yang hakiki dari benda
itu. Dan untuk selanjutnya dia akan mengarahkan kesadarannya kepada yang hakiki
itu, atau disebutkan juga bahwa yang hakiki itulah yang sekarang menjadi OBJEK
FIKIRNYA.
Misalnya, tatkala dia memulai pengamatan itu dengan mengingat Tuhan (dzikr),
akan tetapi saat menyebut nama Tuhan itu objek fikirnya kepada Kristus (baik
berupa gambar ataupun patung, atau objek apa saja yang sesuai dengan karakter
Kristus), maka saat itu juga tempat pengembalian rasa syukur atas hasil
pengamatannya itu bisa dipastikan adalah kepada Kristus. Dia akan mengucapkan:
“Puji Tuhan, ternyata BENDA ini ada manfaatnya ! Akan tetapi objek syukurnya saat
itu masih terhenti di karakter ke-Kristus-an, sehingga Tuhan yang dia maksud itu
adalah Sang Kristus. Lalu dia akan memanfaatkan atau meng-eksploitasi hasil
pengamatan itu sebesar-besarnya untuk dan atas nama Kristus. Biasanya ilmu
pengetahuan itu juga lalu disandarkan pula untuk membenarkan akan kebenaran
agama Kristen ! Duarr, lahirlah sebuah ilmu, akan tetapi ilmu itu lalu dibingkai
dengan kotak ke-Kristen-an. Begitu pun hal yang sama juga bisa terjadi untuk
agama-agama lainnya, sebut saja Hindu, Budha, Yahudi, dsb.
Karena saya adalah salah satu dari penganut agama Islam, dan sedang merasa
tenggelam dalam kejumudan pemikiran Islam, maka yang agak menarik adalah
untuk membahas tentang apa yang terjadi dalam mayoritas umat beragama Islam
selama ini. Jadi saya juga tengah melakukan self-evaluation terhadap diri saya
sendiri.
Umat Islam sejak rat
ALAM seperti Al Kind
lainnya, serta ahli-ahl
Bustami, An Nafiri, Z
Ya, umat Islam sudah
melaksanakan MAKSUD
ternyata telah tersungk
tidak melakukan apa-
3. Kelompok Ketiga : Oran
Dalam Hidupnya
Yaitu, dia bukan saja
BENDA yang terbentan
akan tetapi dia juga ti
SYUKUR atas manfaat
kesimpulan: “Oooo. bend
Islam juga TIDAK ber
memuja: “TUHAN, Subh
“ALAM DOA”: “. . . maka
dari api. Sebuah tragik
bisa begitu ? Ini menari
Pada langkah awalnya
clinguk nggak karuan. Y
Allah (dzikrullah, ra’aitu
at the present continuou
yang dituju, SESUATU
apapun), yaitu Allah.
Tapi yang dilakukan ole
selain Sang Laisa Kamistl
a. Ada yang asyik deng
perselisihan antar m
(aliran) Syiah dan Su
sederhana saja bisa
sangat akut di antar
kata ra'yu (pendapa
fikiran, mantiq, dsb
93
sejak ratusan tahun sepeninggalan ahli-ahli tentang pe
i Al Kindi, Rusydi, dan peletak dasar-dasar pengentahu
ahli tentang ketuhanan seperti Al Halaj, AL Junaid
Nafiri, Zun Nun, Abdul Qadir Jaelani, Al Ghazali, dsb, s
melakukan apa-apa lagi.
sudah tidak mendapatkan lagi pencerahan untuk m
MAKSUD HAKIKI dari surat Ali Imran ayat 190-191 di ata
tersungkur pada kenyataan bahwa kita masuk kepada k
-apa lagi ratusan tahun lamanya. Inilah kelompok
Orang Yang Tidak Melakukan Pengamatan Apa-
n saja menjadi orang yang tidak berhasil MELIHAT M
rbentang luas di alam semesta ini, bahkan di dalam d
a juga tidak berhasil memahami ALAMAT untuk mem
manfaat dari benda-benda itu. Umat Islam TIDAK
ooo. benda ini ada manfaatnya ya !”. Dan pada saat ya
berhasil mendapatkan ALAMAT YANG JELAS u
AN, SubhanaKA, Maha Suci ENGKAU !” Apalagi untu
“. . . maka peliharalah kami dari siksa neraka.", jauh se
h tragik hidup dan kenyataan yang sangat pahit mem
i menarik untuk dibahas !
awalnya saja, umat Islam sudah banyak yang ngahuleu
karuan. Yang diperintahkan adalah untuk “mengingat d
ra’aitullah) saat berdiri, duduk, maupun berbaring,
ontinuous tense, dengan OBJEK FIKIR sampai menemb
ESUATU yang Laisa Kamistlihi Syai’un (yang tidak s
ukan oleh umat Islam adalah kita saling sibuk dengan
sa Kamistlihi Syai’un :
syik dengan memelihara
n antar mahzab, seperti mahzab
ah dan Sunni. Kalimat atau kata
saja bisa jadi perdebatan yang
t di antara keduanya, misalnya
pendapat pribadi), logika, akal
, dsbnya.
ntang pengamatan
gentahuan modern
AL Junaid, Beyazid Al
li, dsb, sudah tidak
untuk memahami dan
91 di atas. Umat Islam
epada kelompok yang
lompok ketiga.
-Apapun Di
LIHAT MANFAAT dari
dalam dirinya sendiri,
tuk memberikan rasa
TIDAK berhasil pada
a saat yang sama umat
JELAS untuk tempat
lagi untuk sampai ke
jauh sekali panggang
ahit memang. Kenapa
ngahuleung, clingak-
gingat dan menyadari
rbaring, continuously,
menembus ke alamat
tidak sama dengan
dengan objek fikir lain
b. Ada yang sibuk atau
segala kemulyaan, k
AHLUL BAIT ‘alaihissa
dilakukan oleh kaum
c. Ada yang sibuk dan
membahas Al Qur’a
ke hari, bahkan unt
d. Ada yang sibuk dan
berkomat-kamit, be
menangis, berdo’a,
Semua sibuk sendiri
fikirnya (atau syariatnya
Umat Islam hampir
berikutnya, yaitu untu
menemukan bekal b
Wong kita sibuk sendiri
Kita juga seperti lupa
sampai kepada tahapa
melihat Allah (ra’itullah
berdiri, saat duduk, ma
dari mahzab dan alira
kalimat-kalimat penyera
“Subhanallah,
Alhamdulillah,
Laa ilaha illallah, Alla
Laa haulaa wala q
raaju’uun”.
Seperti fasihnya kita me
milik Allah, harta saya m
jabatan saya milik Allah,
94
ibuk atau dibuat sibuk membela
ulyaan, keutamaan, dan atribut
alaihissalaam seperti yang
leh kaum Syi’ah.
ibuk dan dibuat sibuk untuk
Al Qur’an dan Al Hadits dari hari
kan untuk jangka puluhan tahun.
ibuk dan dibuat sibuk dengan
kamit, berwirid, berdzikir,
berdo’a, dsb.
sendiri-sendiri, atau bisa juga secara bergerombol d
yariatnya) masing-masing, sehingga :
hampir-hampir saja LUPA TOTAL untuk melangkah ke
aitu untuk mengamati ALAM SEMESTA dan DIRI KITA s
n bekal bagi kita dalam menaklukkan zaman di mana k
k sendiri !
rti lupa akan maqasidus syariah, maksud dari syariah
a tahapan REALITAS EMPIRIS untuk mengingat, me
ra’itullah) dalam setiap langkah dan tindakan kita,
uduk, maupun saat leyeh-leyeh tiduran. Padahal ham
an aliran apapun, kita sangat-sangat FASIH dalam
penyerahan, pengembalian, dan penghormatan sepert
llallah, Allahu Akbar,
a wala quwaata illa billahil adhiem, inna lillahi w
a kita mengucapkan kalimat-kalimat kefakiran, misalny
ta saya milik Allah, anak saya milik Allah, pekerjaan saya
ilik Allah, Ruh saya milik Allah.”
ombol dengan objek
ngkah ke langkah
RI KITA sendiri untuk
i mana kita hidup.
i syariah, yaitu untuk
gat, menyadari, dan
an kita, baik saat dia
hal hampir semuanya,
dalam mengucapkan
seperti:
lillahi wainnaa ilahi
misalnya: “semuanya
rjaan saya milik Allah,
95
Namun sayangnya, karena kita sibuk dengan objek fikir selain Sang Laisa Kamistlihi
Syai’un, sehingga kita melenceng dari ALAMAT yang SEHARUSNYA (HAKIKI), yaitu
Allah, maka :
. . . prosesi penyerahan, pengembalian, dan penghormatan di atas tidak mampu
menimbulkan EKSTASISNYA JIWA kita, sehingga hasilnya nyaris tanpa
menimbulkan kesan yang mendalam dan inherent dalam langkah keseharian
kita.
Begitu juga dalam prosesi pengakuan kefakiran :
. . . tatkala Sang Pemilik mengambil kembali milik-Nya, maka tetap saja sulit
kita terima dengan RASA IKHLAS.
Bagaimana mau ekstasis dan ikhlas, wong alamatnya atau objek fikirnya masih
kepada segala sesuatu atau memori yang ada di otak masing-masing.
Ada memang gejala ekstasis yang di alami oleh sebagian kita dalam prosesi praktek
agama atau syariatnya gejalanya mirip sekali dengan ekstasisnya jiwa akibat
memandang Sang Laisa Kamistlihi Syai’un. Akan tetapi gejala ekstasisnya jiwa itu
lebih disebabkan oleh proses STIMULASI OTAK dengan memunculkan RASA yang
sangat INTENS :
a. Misalnya dengan memelihara dan meningkatkan rasa sedih yang dalam atas
penderitaan dan nestapa maupun penghormatan yang sangat dalam terhadap
Ahlul Bait ‘alaihis-salaam yang dilakukan oleh penganut mahzab Syi’ah.
b. Atau seperti pada penganut mahzab lainnya dengan cara memelihara :
1) Rasa penyesalan yang kental atas dosa-dosa yang telah kita lakukan,
2) Rasa harap yang amat sangat atas NIKMAT Tuhan, dan
3) Rasa takut yang sangat kuat atas ayat-ayat yang menerangkan tentang
SIKSA NERAKA,
sehingga mereka menangis terisak-isak.
Pada-hal semuanya itu hanyalah bentuk-bentuk berbeda dari berbagai teknik
stimulasi otak yang ada. Sederhana saja sebenarnya stimulasi otak itu.
Di samping itu, “timing” bagi suasana dzikir (kesadaran ingat) kepada Tuhan itu juga
menjadi begitu dangkal, yaitu cukup kita hanya sekedar mengucap di awal
pekerjaan, akan tetapi segera setelah itu kita tidak ingat (lupa) lagi kepada-Nya.
Padahal kita diperintahkan untuk ingat kepada-Nya secara terus menerus. Apalagi
untuk sampai kepada Ra’aiturabbi, Melihat Tuhan, bahkan sampai Bertemu Tuhan
pada setiap OBJEK dan DERIVATIVENYA yang ditemukan di alam semesta ini sudah
96
melenceng jauh dari waktu sekarang dan berketerusan waktu ke waktu menjadi
hanya untuk waktu yang akan datang, yaitu nanti di akhirat saja.
Lengkap sudah kita umat Islam ini. ;
� sudahlah kita TIDAK mampu memelihara rasa ingat secara terus menerus kepada
Tuhan;
� ditambah lagi kita tidak sampainya kepada alamat atau objek fikir yang HAKIKI,
karena kita sibuk dengan objek fikir yang bukan Laisa Kamistlihi Syai’un;
� ditambah lagi kita tidak melakukan pengamatan apa-apa terhadap Alam Semesta dan
diri kita sendiri yang merupakan tanda-tanda (ayat-ayat) tentang eksistensi Tuhan;
� ditambah lagi kita tidak menemukan manfaat apa-apa dari objek pengamatan itu;
� ditambah lagi kita tidak menemukan “alamat” yang jelasnya untuk tempat kita
melantunkan penyerahan, pengembalian, dan penghormatan;
maka :
. . . beginilah umat Islam jadinya. Umat yang :
• menjadi objek cemoohan orang,
• menjadi umat yang minder,
• menjadi umat yang dilecehkan orang,
• menjadi umat yang sepertinya tidak mampu untuk bersyukur atas nikmat-nikmat
Tuhan yang dilimpahkan kepada kita.
Yaa, kita nampaknya sudah terlalu lama menjadi umat dengan SERIBU TIDAK ! Padahal
kita tahu persis bahwa kalau kita TIDAK bersyukur, maka “Inna ‘adzaabii lasyadiid, azab
yang pedih itu !”. Tahu persis kita tentang itu ! Bukankah ayat ini mengisyaratkan,
tatkala kita tidak bersyukur dengan pengetahuan dan ilmu kita, di sana ada azab yang
sangat pedih. Tatkala kita tidak bisa bersyukur dengan otak, mata, telinga, tangan, kaki,
dan anggota tubuh kita yang lain, di sana juga ada azab yang sangat pedih. Ya begitulah,
azab itu begitu dekatnya dengan umat Islam yang ternyata lebih banyak berkhianatnya
dari pada patuh (Islam) nya.
Ternyata Tuhan mewariskan Alam Semesta ini BUKANLAH untuk sembarangan orang.
• Bukan untuk orang yang tidak tahu posisi dalam “memandang SESUATU YANG
HAKIKI” saat awal kegiatan mereka, bukan untuk orang yang tidak mau mengamati
segala ciptaan-Nya.
• Bukan untuk orang yang tidak mampu menemukan manfaat dari proses
pengamatannya itu, sehingga tidak ada apa-apanya yang membuat dia takjub dan
ektasis.
Bukan, bukan untuk orang-orang dan generasi seperti itu. Akan tetapi Alam Semesta ini
DIA wariskan KHUSUS untuk para ULUL ALBAB yang ciri-ciri dan gambaran karakternya
97
terpotret dengan TEROPONG Qalam Tuhan dalam surat Ali Imran ayat 190-191 seperti di
atas. Karakter itu harus utuh. Karena kalau ada karakter dan langkah yang kurang, maka
itu namanya bukanlah Sang Ulul Albab.
Ali Imran (3 : 190-191)
( 190 ) Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
( 191 ) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya
berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci
Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Kalaulah Rahasia Alam Semesta ini jatuh ke tangan yang bukan Ulul Albab, maka
bencanalah yang akan muncul bagi umat manusia. Untuk Non Ulul Albab dengan kriteria
seperti dalam kelompok pertama dan kedua di atas, maka tingkah polah Amerika dan
konco-konconya adalah contoh real akibat buruknya bagi umat manusia. Sungguh
sangat-sangat berbahaya bagi peradaban manusia. Mereka dengan seenaknya saja
menggunakan rahasia alam semesta itu untuk membunuh dan mengumbar angkara
murka bagi sesama manusia di berbagai belahan dunia, walau dengan alasan yang
sangat sepele dan seperti dibuat-buat sekali pun. Walaupun begitu, mereka tetap saja
telah memberikan manfaat bagi berkembangnya peradaban ma-nusia !
Sedangkan untuk Non Ulul Albab dengan kriteria seperti dalam kelompok ke tiga di atas,
maka tingkah polah kita umat Islam sejak berbilang zaman yang lalu sampai sekarang,
mahzab apapun dia, adalah contoh nyata yang sungguh sulit untuk dipungkiri.
Begitu jumud, picik pikiran, terkotak-kotak, minder, dan
pintarnya hanya ngomong doang !
Ah malaslah ngomonginnya
I. Ulul Albab, Karakter Si Ahli Ekstasis
Tentang karakter Ulul Albab ini, kita batasi saja pembahasannya tentang suasana
ektasisnya jiwa bagi para sang Ulul Albab tersebut. Karena untuk masalah
pengamatannya sendiri terhadap alam semesta dan diri manusia, kita tinggal mengikuti
saja cara-cara yang sudah berkembang saat ini diberbagai belahan dunia.
Sebelumnya kita telah membahas tentang ekstasisnya jiwa akibat dari permainan
stimulasi otak, di mana permainan otak ini sudah sangat berkembang sampai ke taraf
yang menakjubkan. Akan tetapi kalau hanya sekedar sampai ke suasana penuh stimulus
ini, ternyata itu bukanlah suasana HAKIKI yang diharapkan oleh jiwa manusia. Karena
98
yang muncul ternyata hanyalah ekstasis yang artificial yang tidak akan bertahan lama.
Nah, sekarang akan kita bahas suasana ekstasisnya jiwa jika dan hanya jika kita mampu
mengantarkan kesadaran kita untuk melakukan penyerahan, pengembalian,
penghormatan, dan pengakuan kefakiran kita langsung tertuju kepada Wujud Sang Laisa
Kamistlihi Syai’un, LURUS, HANIEF, TIDAK BERCABANG ! Maka saat itu juga :
Al Alaq (36 : 5)
“DIA akan mengajarkan kita apa-apa yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya”.
Yaa, saat itu juga kita diajarkan dan dibawa selangkah demi selangkah oleh Sang Laisa
Kamistlihi Syai’un untuk memandang, mengerti, dan memahami DIRINYA SENDIRI. Dan
langkah demi langkah itu akan memunculkan RASA EKSTASIS demi EKSTASIS dengan
intensitas yang terus meningkat, menggumpal memenuhi ruangan DADA kita.
Huuu, Huuu, Huuu, Hua !
Dia, Dia !
Dan saat jiwa mengalami ekstasis sempurna itulah waktu yang paling tepat bagi kita
untuk MEMULAI segala aktifitas yang menjadi tanggung jawab kita. Karena saat itu kita
bekerja atas nama dan bersama TUHAN. Lalu kita tinggal menyiapkan otak kita untuk
DIALIRI pengetahuan-Nya, kita tinggal menyiapkan mata kita untuk dialiri penglihatan-
Nya, kita tinggal menyiapkan telinga kita untuk dialiri pendengaran-Nya, kita tinggal
menyiapkan tangan dan kaki kita untuk dipakai oleh-Nya dalam mengelola, mencipta,
merombak, bahkan untuk menghancurkan dan kemudian menciptakan lagi suasana
yang baru sebagai fungsi kekhalifahan kita di dunia ini. Sebuah suasana yang sangat
BENING !
An Nahl (16 : 78)
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.
Hadits Qudsy, HR Bukhari
"Maka Aku merupakan pendengaran yang ia gunakan, Aku merupakan penglihatan
yang ia gunakan, Aku merupakan tangan yang ia gunakan untuk menyerang, dan Aku
merupakan kaki yang ia gunakan untuk berjalan. ”
Al Anfaal (8 : 17)
“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah
yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar,
99
tetapi Allah-lah yang melempar."
Kalaulah tercapai posisi seperti ini, maka:
a. saat mengamati fenomena dan rahasia alam, apapun, kita akan mengamatinya
dengan rasa ekstasis, sehingga gelombang pencerahan dan ilham akan datang
kepada kita dengan menakjubkan,
b. saat merencana, kita merencana dengan rasa ekstasis, sehingga ada saja jalan ke
luar dari masalah yang kita hadapi muncul dengan mencengangkan,
c. saat bekerja, kita akan bekerja dengan jiwa ekstasis, sehingga kita bekerja seperti
dengan energi yang tidak habis-habisnya
d. saat memimpin, kita memimpin dengan rasa ekstasis, dan akan diterima pula oleh
yang orang-orang yang kita pimpin dengan rasa ekstasis pula, sehingga antara
pemimpin dan yang dipimpin terjalin sebuah jalinan rohani yang kuat,
e. Dan yang terpenting dari semua itu adalah, bahwa saat kita berhasil mengurai
rahasia benda-benda di alam semesta ini menjadi sebuah realitas, maka penemuan
itu akan kita gunakan untuk kemakmuran dan kemaslahatan orang banyak, dan saat
ini akan muncul rasa bahagia, rasa damai, rasa ekstasis,
f. Yaa, ekstasis demi ekstasis, serba ekstasis, tapi sekaligus ada hasilnya dalam bentuk
ilmu pengetahuan yang sangat penting sebagai senjata pamungkas yang dibutuhkan
dalam membangun peradaban umat manusia dari zaman ke zaman. Inilah rahasia
terpenting dari sang ULUL ALBAB.
Dengan cara yang sama seperti di atas, maka kita bisa mengupas dan mengkaji ayat-ayat
Al Qur’an yang lainnya dengan tak kalah gregetnya. Karena ayat Al Qur’an yang sekitar
6666 ayat itu HANYALAH sebuah POTRET UTUH dalam bentuk bahasa tulisan
(QAULIYAH) dari ALAM SEMESTA dan DIRI MANUSIA (KAUNIAH) yang berada dalam
LIPUTAN TUHAN !
Sungguh,
. . . jumlah 6666 ayat Al Qur’an itu tidak akan punya arti yang signifikan jika kita
tidak berhasil menemukan pasangan atau realitasnya di alam semesta ini dan pada
diri kita sendiri.
Dan pada ujung-ujungnya kita PASTI akan menemukan WUJUD yang Maha Meliputi
semuanya itu. Tatkala kita menemukan pada diri kita ada hal atau suasana yang
menurut POTRETNYA TIDAK sesuai dengan karakter Ulul Albab, artinya kita hanya
menemukan karakter negatif, ka-rakter orang tertutup (tercover, kafir), maka kita
tinggal minta pertolongan kepada Sang Maha Meliputi agar Dia membalik jiwa kita
(linashrifa) ke arah yang sebaliknya, agar dia membimbing kita (nastain, isti’anah)
dengan tangan-Nya. Begitu juga saat kita menemukan adanya karakter kita yang SESUAI
dengan POTRET Ulul Albab pada diri kita, maka kita tinggal bersyukur dan berterima
100
kasih kepada-Nya, dan pasti DIA akan menambah, menambah, dan menambah
nikmatnya buat kita. !
Sungguh, ALLAH ITU ZAT-NYA, DIRI-NYA, WUJUD-NYA, AKU-NYA Maha Meliputi segala
sesuatu, dari dulu, sekarang, dan yang akan datang, ABADI liputan-Nya itu.
Huu, Huuu, Huuu, Huu, Huu, Huu, Huu,
Ilahiii, Ilahiii, Ilahiii, Ilahiii, Ilahiii, Ilahiii, Ilahiii,
Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka, Subhanaka,
Subhanaka !
Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta, Laa
ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta, Laa ilaha illa anta !
Subhanallah,
Alhamdulillah,
Laa ilaha illallah,
Allahu Akbar,
Laa haulaa wala quwaata illa billahil adhiem,
Inna lillahi wainnaa ilahi raaju’uun,
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa’ala ali Muhammad.