rekonstruksi budaya hukum dalam menanggulangi …
TRANSCRIPT
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 40 40
REKONSTRUKSI BUDAYA HUKUM DALAM MENANGGULANGI CAROK DI
MASYARAKAT MADURA BERDASAR NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI
SARANA POLITIK KRIMINAL
W.P. Djatmiko
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Email: [email protected]
Abstrak
Tulisan ini mencoba mengungkap carok sebagai solusi alternatif untuk menyelesaikan masalah
yang terkait dengan penghinaan terhadap kehormatan dan harga diri manusia, istri, agama,
dan perselisihan atas tanah dan sumber daya alam di Madura. Meskipun ada banyak upaya
untuk mengatasi keadilan main hakim sendiri ini, pada kenyataannya, tindakan ini tetap ada
sampai sekarang. Oleh karena itu, gagasan untuk merekonstruksi budaya hukum beberapa
orang Madura berdasarkan nilai-nilai Pancasila untuk menyelesaikan carok diharapkan
mengubah situasi. Ada tiga (3) masalah penting yang dibahas, yaitu: (1) Mengapa beberapa
orang Madura memilih carok sebagai solusi alternatif? (2) Apa persepsi sebagian orang
Madura tentang penghinaan terhadap kehormatan dan harga diri manusia, istri, agama, dan
perselisihan sumber daya alam sehingga mereka memilih carok sebagai solusi alternatif untuk
menyelesaikan masalah? (3) Bagaimana merekonstruksi budaya hukum untuk mengatasi carok
di Madura berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai alat kebijakan kriminal? Untuk
menjawab tiga masalah penelitian di atas, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif
naturalistik dengan pendekatan socio-legal. Studi ini menyimpulkan bahwa carok adalah
norma sosial yang mendapatkan dukungan sosial untuk menyelesaikan konflik bagi sebagian
orang Madura. Selain itu, ini juga merupakan perwujudan keadilan, pilihan rasional dan
budaya hukum beberapa orang Madura. Konstruksi budaya hukum Madura dicapai dengan (i)
Memanfaatkan peran orang tua, kiyai, dan elit lokal untuk mengatasi carok; (ii) Menggunakan
budaya musyawarah melalui pengajaran informal tentang hukum dan agama; (iii)
Mempengaruhi pandangan orang bahwa keadilan main hakim sendiri sebenarnya adalah
budaya hukum yang salah; (iv) Membangun kesadaran hukum dengan mengaktualisasikan
Pancasila; dan (v) Berfungsinya Lembaga Musyawarah Adat (LMA) atau sistem peradilan
informal untuk mengatasi masalah a quo.
Kata Kunci: carok, kebijakan kriminal, budaya hukum, sistem peradilan informal.
A. Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang memiliki banyak suku yang tersebar di seluruh
wilayah pelosok nusantara. Salah asatunya adalah suku (masyarakat) Madura1, yang
1Kebanyakan orang Madura menuturkan bahwa kata ‘madura’ merupakan akronim dari kata dalam
bahasa Madura ‘madu ben dara’ atau ‘madu’ dan ‘darah.’ Dua kata tersebut menggambarkan sifat masyarakat
Madura yang antagonis yakni di satu sisi mereka memiliki sifat ‘kasih sayang’ yang lembut dan di sisi yang
lain mereka juga ada sifat ‘arogansinya’ atau ‘keras’. Bagi mereka, kata ‘madu’ melambangkan perilaku
santun, manis dan menyenangkan sedangkan kata ‘darah’ merupakan manifestasi dari adanya gengsi dan
kehormatan yang harus dijaga dan dipertahankan. Bila gengsi dan kehormatan orang Madura itu tercabik-
cabik dan terinjak-injak maka taruhannya tiada lain kecuali tumpahnya darah atau datangnya kematian.
Masyarakat Madura memaknai nilai kesusilaan sebagai sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Bila orang
Madura diperlakukan sesuai nilai kesusilaan, kesantunan yang menjadi pegangan nilai budayanya maka
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 41 41
kebanyakan mendiami Pulau Madura. Masyarakat ini dikenal luas sebagai masyarakat yang
memiliki kekhasan dan keunikan budaya.
Ciri antropologis yang menonjol bahwa masyarakatnya bersifat terbuka, ekspresif,
spontan, dan menghormati serta menjunjung tinngi nilai-nilai kesopanan. Di samping itu,
juga digambarkan sebagai masyarakat yang sangat religius, taat menjalankan syariat ajaran
agama, yang mana secara mayoritas mereka beragama Islam. Wujud ketaatan pada syariat
agama Islam ini tercermin pada ungkapan yang terkenal dalam budaya mereka yakni :
“bhuppa’, bhabhu’, ghuru, dan rato” (ayah, ibu, guru dan pemimpin pemerintahan)2.
Dari ungkapan budaya di atas tercermin hierarki ketaatan yang menjadi keniscayaan
yang mengikat setiap pribadi, yang harus tercermin dalam perikehidupannya sehari-hari.
Keniscayaan ketaatan itu berimplikasi adanya sanksi moral dan sosial serta kultural kepada
setiap individu yang mengabaikan atau melanggar ketaatan hierarki tadi.3 Ajaran-ajaran
agama Islam ber-kontribusi secara riil terhadap pembentukan nilai-nilai budaya masyarakat
setempat.4 Sebagai masyarakat yang religius, sudah semestinya nilai-nilai Islami kental
mewarnai kehidupan masyarakat dalam berbagai faset kehidupan, seperti nilai toleransi,
permaafan, sabar, saling mengasihi, saling menghormati dan menghargai, anti kekerasan
dan sebagainya. Namun dalam kenyataannya nilai-nilai ke-Islaman tersebut belum
sepenuhnya terwujud pada perikehidupan sebagian masyarakat Madura.
Salah satu perilaku dari sebagian masyarakat Madura yang sama sekali tidak
mencerminkan nilai-nilai Islami adalah masih kuatnya model penyelesaian konflik melalui
tindak kekerasan fisik yang dikenal dengan istilah carok5. Carok adalah perbuatan main
hakim sendiri6 (eigenrichting atau vigilante justice). Secara semantis caruk (carok) adalah
mereka akan membalas hal serupa bahkan lebih baik kepada orang tersebut, begitu pula jika sebaliknya.
Fenomena moral- kultural ini tercermin dengan tegas dalam ungkapan bahasa Madura ja’ nabi’ oreng mon
aba’na dibik e tobi’ sake’ ( jangan mencubit seseorang kalau dirinya sendiri terasa sakit bila dicubit). 2A. Latief Wiyata, Carok (Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura) (Yogjakarta : LkiS
Yogjakarta, 2013), 261. Lihat juga, Moh. Hefni, “Bhuppa’-Bhabhu’-Ghuru-Rato (Studi Konstruktivisme-
Strukturalis tentang Hierarkhi Kepatuhan dalam Budaya Masyarakat Madura)”, Karsa, Vol.XI No. 1 (2017) :
13. 3Lihat, Taufiqurrahman, “Islam dan Budaya Madura”, makalah yang disampaikan dalam Annual
Conference on Contemporary Islamic Studies, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kemenag RI, dalam
Zainuddin Syarif, Rekulturasi Pendidikan Islam di Tengah Budaya Carok di Madura, Karsa, Vol. 22 No.1
(2014) : 115. 4Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan dan
Pandangan Hidupnya, seperti Dicitrakan Peribahasanya (Yogyakarta : Pilar Merdeka, 2007), 347. 5Carok (Madura) merupakan simbol yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia dengan lambang
celurit. Sebagai simbol yang dilambangkan dengan celurit tentunya lambang tersebut memiliki maksud dan
tujuan tertentu. Lihat, Budiono Herusantoso, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta : Haninida Graha
Widia, 2011), 10. 6Tindakan main hakim sendiri atau eigenrichting (vigilante justice) tidak dibenarkan dalam hukum
positif di negara manapun di dunia. Di samping itu perbuatan tersebut juga tidak dibenarkan dalam ajaran
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 42 42
berkelahi secara massal dengan menggunakan celurit.7 Celurit adalah senjata tajam ( sajam)
tradisional yang berasal dari Jawa Timur, khususnya Madura. Celurit ini berbentuk mirip
bulan sabit yang digunakan sebagai senjata untuk membacok atau menebas.8 Sedangkan
istilah carok berasal dari bahasa Jawa Kawi yang berarti perkelahian.
Praktik carok merupakan fenomena sosial yang masih melekat dalam hidup
keseharian sebagian dari masyarakat setempat terutama bagi mereka yang tinggal di daerah
pedesaan dan kurang mengenyam pendidikan. Melanggengnya model penyelesaian konflik
melalui carok sebenarnya kontradiktif dengan faset sebagai masyarakat religius serta sudah
barang tentu bertolak belakang dengan nilai-nilai moralitas Pancasila dan Islam. Hal ini
menggambarkan bahwa nilai-nilai moralitas Pancasila dan Islam tidak sepenuhnya
tercermin dalam perilaku sosial mereka. Dengan kata lain nilai-nilai Pancasila9 dan ajaran
agama Islam hanya bersifat simbolik formal yang jauh dari wujud praksisnya dalam
penyelesaian konflik sosial.
Bagi masyarakat Madura tidak semua bentuk kekerasan atau pembunuhan disebut
sebagai carok. Bagi mereka ada pembunuhan biasa ada pembunuhan carok. Pembunuhan
biasa adalah adanya suatu tindak kekerasan atau pembunuhan terhadap orang yang lemah,
sedangkan carok merupakan suatu tindak kekerasan atau pembunuhan yang dilakukan untuk
membela martabat, harga diri dari penistaan yang dilakukan oleh orang lain kepadanya.10
Dalam budaya Madura, perbuatan mengganggu istri11 orang dimaknai sebagai
bentuk penistaan harga diri yang paling memberatkan dan menyakitkan. Namun pada
perkembangannya, ada faktor-faktor lain sebagai penyebab yang dapat memicu terjadinya
agama Islam. Lihat, Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar (Jogyakarta : Liberty, 2008),
5. 7Rizky Maulana dan Putri Amelia, Kamus Pintar Bahasa Indonesia (Surabaya : Lima Bintang, tt), 77. 8Hamid Bahri, Kitab Budaya Nusantara (Yogyakarta : DIVA Press, 2011), 77. 9Nilai-nilai Pancasila diakui oleh bangsa Indonesia sebagai filsafat hidup atau pandangan hidup yang
bisa dipraktikkan. Lihat, Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat, Perspektif Teori Hukum, cetakan kedua
(Bandung : Penerbit Nusa Media, 2015), 77. 10Bahwa tidak semua kekerasan merupakan kejahatan, karena ia bergantung kepada apa yang menjadi
tujuan dari kekerasan itu sendiri dan bergantung pula pada persepsi kelompok-kelompok tertentu dalam
masyarakat. Lihat, Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, edisi kedua, cetakan kempat
(Bandung : Refika Aditama, 2013), 64.
Bagi masyarakat Madura perkelahian, penganiayaan bahkan pembunuhan yang didorong oleh hasrat
untuk menegakkan keadilan, membela hak, membela diri dan harga diri tidak akan dianggap sebagai perbuatan
kriminal (pembunuhan) melainkan acarok (melakukan carok). Lihat juga, Huub de Jonge, Agama,
Kebudayaan dan Ekonomi Studi-studi Inter-disipliner tentang Masyarakat Madura (Jakarta : Rajawali, 1989),
162. 11Dari penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa kejadian carok dengan latar belakang
gangguan terhadap istri mencapai 60,4%, akibat salah paham (16,9%), sengketa warisan (6,7%), hutang
piutang (9,2%), melanggar kesopanan, pergaulan dan lain-lainnya (6,8%). Lihat, Latief Wiyata dalam Taufik
Hidayat, “Perempuan Madura Antara Tradisi dan Industrialisasi,” KARSA, Vol. XVI No. 2, (2009) : 64.
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 43 43
carok. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah perihal sengketa tanah dan sumber daya
alam (SDA). Tanah dan air merupakan sumber kerawanan sosial yang bisa berpotensi
menimbulkan carok juga. Penelitian yang dilakukan oleh Zainuddin Syarif pada Desa
Bujur, Pamekasan (intensitas terjadinya carok di desa ini melebihi daerah-daerah lain di
Madura) menunjukkan bahwa di samping persoalan tanah dan kecemburuan atau pelecehan
terhadap istri, carok juga sering dikarenakan masalah perebutan sumber daya air pengairan
untuk sawah/ladang.12
Sebagian dari masyarakat Madura mengira bahwa carok bukanlah hal yang dilarang
oleh hukum negara13 atau bahkan bukan suatu tindak kejahatan.14 Secara sosio-kriminologik
memang tidak mudah untuk menentukan apakah perbuatan carok itu merupakan suatu
kejahatan atau bukan. Dalam ilmu kriminologi pengertian kejahatan sangat relatif dan
berubah-ubah tergantung waktu dan tempat.15 Bagi masyarakat tertentu suatu perbuatan
dapat dikategorikan sebagai kejahatan, namun tidak demikian bagi masyarakat yang lain.
Hal ini tentu berbeda jika dilihat dari sudut pandang hukum positif atau hukum
pidana materiil/hukum pidana umum yang sekaligus sebagai hukum pidana nasional
Indonesia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).16 Secara yuridis normatif,
penyelesaian persoalan terhadap wanita misalnya oleh negara diselesaikan dengan sanksi
pidana. Kejahatan ini diatur dalam Bab XIV Buku Kedua KUHP, yakni kejahatan terhadap
kesusilaan (melanggar pasal 281 s/d 287 KUHP).17 Sedangkan carok sebagai perbuatan
yang menghilangkan nyawa orang lain dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap nyawa
(pembunuhan). Kejahatan ini telah diatur dalam BAB XIX Buku Kedua KUHP. Pelaku
(pemenang carok) dapat dijerat dengan ketentuan tentang kejahatan (misdrijven) terhadap
nyawa18, misalnya Pasal 338 dan 340 atau tentang kejahatan penganiayaan (berat) yakni
Pasal 351, 353, 354 dan 355 KUHP.
12Zainuddin Syarif, Rekulturasi…,op.cit., 123. 13Sulistyowati Irianto, Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Global, dalam Sulistyowati Irianto (Ed),
Hukum Yang Bergerak: Tinjauan Antropologi Hukum (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2009), 38. 14Simak penggalan wawancara dengan Mat Tuli: “Menurut saya, carok itu ada yang wajib, yaitu
carok dalam hal mempertahankan agama, melindungi keluarga , dan menjaga harta. Selain itu, carok terlarang,
baik menurut hukum Islam maupun menurut hukum negara”, lihat Zainuddin Syarif, Rekulturisasi...,op., cit.,
124. 15Albert Morris. Pengertian Kejahatan, terjemahan (Surabaya : Pusat Studi Kriminologi FH Unair,
1980), 1. 16Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka, 2014), 20-
21. 17KUHP dan KUHAP (Yogyakarta : Parama Publishing, 2012). 18Eva A Zulfa, Eksistensi Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Proceeding
Seminar, Arah Peradilan Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia (Surabaya : BPHN Kemenkumham RI,
2013), 128.
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 44 44
Walaupun pembunuhan sebagai akibat dari carok digolongkan sebagai perbuatan
yang dilarang dalam KUHP dan kepada pelakunya diancam dengan sanksi pidana, tetapi
perbuatan carok pada sebagian masyarakat Madura masih saja tetap terjadi. Hal ini berarti
bahwa tujuan pemidanaan untuk edukasi kepada masyarakat mengenai mana perbuatan
yang baik dan mana perbuatan yang buruk19 tidak maksimal hasilnya dengan kata lain telah
gagal. Bahkan hukum negara kadangkala dianggap sebagai beban (burden) bagi
penyelesaian konflik sosial serta mempengaruhi nilai-nilai sosial yang ada pada
masyarakat.20
Sebagai potret tentang realitas carok pada masyarakat Madura, dalam satu tahun
bisa terjadi lebih dari satu kejadian carok.21 Hal ini menunjukkan masih tingginya frekuensi
kejadian carok di era modern ini. Berikut data kejadian carok pada kurun waktu 5 (lima)
terakhir untuk Kabupaten Sumenep dan Bangkalan seperti terpapar pada ragaan berikut ini :
Ragaan 1:
Data Kejadiaan Carok Untuk Tahun 2011 – 2015
Kabupaten Bangkalan dan Sumenep
Tahun Bangkalan Sumenep
2011 6 N/A
2012 10 3
2013 22 5
2014 7 4
s/d Nopember 2015 9 2
(Sumber data: Kejaksaan Negeri Kabupaten Bangkalan dan Sumenep)
Untuk wilayah Kabupaten Sumenep persoalan tentang kehormatan wanita
mendominasi kasus-kasus carok, sedangkan untuk Kabupaten Bangkalan persoalannya
sangat beragam. Sayangnya, tidak semua kasus kejadian carok itu dilaporkan oleh
masyarakat. Berangkat dari adanya realitas praktik carok yang masih terus berlangsung
hingga saat ini, dan adanya upaya untuk mereduksi atau bahkan meniadakan praktik carok
maka sangat penting dan mendesak untuk dilakukan analisis akademis tentang
19Tujuan hukum pidana sebagai edukasi kepada masyarakat merupakan salah satu tujuan pidana dari
teori kontemporer sebagaimana dinyatakan oleh Wayne R. Lafave. Lihat, Eddy O.S. Hiariej, Prinsip..., op. cit.,
34. 20M Syamsudin, The Burden of Indegenous People in Dealing with State Regulation, Journal
Hukum, Vol. 15, No. 3 (2008) : 46. 21Pada tahun 2014, terjadi kasus carok tepatnya tanggal 02 November 2014 di wilayah hukum
Polres Pamekasan, Dalam kasus itu, Marzuki dan Abdul Hannan meninggal dunia. Informasi yang
berkembang penyebabnya adalah sengketa lahan (tanah). Lihat, Syaiful Islam, 2014, Akibat Carok, Dua
Warga Pamekasan Tewas dalam Kondisi yang Mengerikan, diunduh tanggal 11 Maret 2017,
http://news.okezone.com /read/2014/11/20/340/1068421/ Carok-dua-warga-pamekasan-tewas.
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 45 45
“Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura
Berdasar Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal”.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, terdapat tiga (3)
permasalahan yang penting untuk dilakukan pengkajian yakni :
1) Mengapa sebagian masyarakat Madura memilih carok sebagai alternatif
penyelesaian dalam konflik perendahan martabat dan harga diri, istri, agama
serta sengketa SDA?
2) Bagaimana persepsi sebagian masyarakat Madura terhadap konflik perendahan
martabat dan harga diri, istri, agama serta sengketa SDA sehingga memilih carok
sebagai solusi alternatif dalam penye-lesaian masalah?
3) Bagaimana merekonstruksi budaya hukum dalam menaggulangi carok di
masyarakat Madura berdasar nilai-nilai Pancasila sebagai sarana politik kriminal?
B. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam tradisi penelitian kualitatif naturalistik (naturalistic
qualitative research), yang analisisnya bersifat induktif. Melalui tradisi penelitian kualitatif
tersebut akan dicari dan diketemukan makna di balik perilaku dan interaksi manusia. Dalam
penelitian naturalistik, peneliti secara pribadi yang melakukan pengumpulan data.22
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme23 (constructivism) pada konteks dan
konten rekonstruksi budaya hukum.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-doctrinal, dan
penelitian ini dapat dikategorikan kedalam ranah penelitian socio-legal (socio-legal
research), dengan studi kasus budaya hukum masyarakat Madura. Lokasi penelitian
dilakukan di beberapa desa yakni: (1) desa Jaddih; (2) desa Parseh; dan (3) desa Bilaporah
di Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan, Madura.
C. Pembahasan
22Kerja lapangan (field work) guna mengumpulkan data dan informasi dari informan di lokasi
penelitian dilakukan selama enam (6) bulan yakni mulai tanggal 25 Mei 2016 hingga 25 November 2016. 23Paradigma konstruktivisme sebelumnya merupakan ikhtiar filosuf untuk menjawab asal-usul ilmu
pengetahuan dan pendekatannya dengan berdasarkan pada empat pertanyaan mendasar, yaitu: 1). The
Ontological question: “What is the nature of reality?”; 2). The epistemological question: “What is the nature
of the relationship between the knower and the knowable?”; 3). The methodological question: “How does one
go about acquiring knowledge?” 4). The axiological question: Of all the knowledge available, which is the
most valuable, which is the most truthful, which is the most beautiful, which is is the most life-enchancing?
Lihat Yvonna S. Lincoln dan Egon G. Guba, The Constructivist Credo (United States of America : Left Coast
Press, Inc., 2013), 37-41.
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 46 46
1. Sebagian masyarakat Madura memilih carok sebagai alternatif penyelesaian dalam
konflik perendahan martabat dan harga diri, istri, agama serta sengketa SDA
karena carok dianggap sebagai norma sosial, wujud keadilan, pilihan yang rasional
serta budaya hukum sebagian masyarakat.
Bagi masyarakat Madura demi mempertahankan nilai-nilai harga diri akibat
ditimpakannya rasa malo karena perbuatan orang lain, seseorang akan sanggup sampai
mempertaruhkan nyawanya sekalipun demi membalas rasa malo tersebut. Rasa malo
merupakan beban psikologis yang luar biasa bagi setiap laki-laki Madura.24 Hal ini
merupakan nilai budaya yang hidup bagi setiap pria Madura yang sudah turun temurun.
Nilai hidup ini merupakan budaya kuat yang dipegang dengan intensif (mendasar dan
kukuh), yang secara luas dianut, dan disosialisasikan serta diwariskan secara turun temurun.
Membayar rasa malo merupakan budaya masyarakat Madura, yang berpengaruh kuat
terhadap lingkungan dan perilaku manusianya.25
Pada hakekatnya nilai adalah basic assumption about what ideals are desirable or
worth striving for.26 Makna dari “worth striving for” sebenarnya menegaskan bahwa suatu
ketika seseorang itu akan rela mengorbankan segala-galanya bahkan nyawanya sekalipun
untuk mendapatkan suatu nilai yang telah sedemikian kuat diyakininya. Sikap hidup
seseorang pada dasarnya akan ditentukan oleh nilai kebudayaan mana yang dominan dalam
dirinya, yakni nilai budaya yang dipandang sebagai nilai yang tertinggi (yang paling
bernilai) dalam hidupnya. Dalam masyarakat Madura, apabila seseorang tidak membela diri
atas dilecehkannya sesuatu yang paling bernilai dalam hidupnya maka pastilah cemoohan
keluarga, tetangga, sahabat karib dan masyarakat luas yang akan dia peroleh.
Dalam diri setiap manusia tentunya akan memiliki kesadaran tentang rasa adil dan
tidak adil, sebagaimana halnya dia memiliki pemahaman dan kesadaran akan hal-hal yang
baik dan jahat, yang halal serta haram dan lain sebagainya. Adil itu pada hakekatnya
merupakan suatu nilai dasar yang berlaku dalam setiap kehidupan sosial manusia (social
life). Nilai dasar dari adil juga merupakan pusat orientasi dalam interaksi antar manusia.
Dengan demikian bila keadilan itu dirampas, dilanggar, dilawan atau ditiadakan maka akan
terjadi ketidakharmonisan dan ketidakseimbangan (the state of being disharmony
24(Research Participant) Hamid adalah seorang tukang batu yang diwawancarai di rumah adat
tanean lanjhang milik mertuanya di desa Jaddih, Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan pada tanggal 15
September 2016. 25Vijay Sathe and P.P. Robbins dalam Taliziduhu Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta : PT. Rineka
Cipta, 1977), 122. 26Ibid., 51.
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 47 47
individually and socially) dalam kehidupan di masyarakat yakni munculnya disorder atau
chaos.
Bagi sebagian masyarakat Madura perendahan martabat dan harga diri, istri, agama
serta sengketa SDA yang mengakibatkan timbulnya rasa malo akan pasti dimaknai sebagai
tindakan ketidakadilan pada seseorang (inequitable deeds). Rasa ketidakadilan inilah yang
menjadikan seseorang dan kelompok sosialnya sangat merasa terganggu, dirugikan,
disengsarakan, disakiti dan bahkan dihinakan. Rasa dihinakan ini akan terasa sangat
menyakitkan sekali apa bila rasa malo tersebut terpicu oleh dilecehkannya kehormatan istri.
Mengapa demikian karena istri merupakan nilai hidup yang sangat tinggi bagi masyarakat
Madura. Untuk menebus, menggapai rasa adil inilah sebagian masyarakat Madura
mengekspresikannya dengan perbuatan carok.
Adanya carok pada sebagian dari masyarakat Madura setidak-tidaknya menunjukkan
adanya kultur atau budaya hukum yang tidak mendukung bekerjanya sistem hukum negara
yang ada. Sebagian besar dari research partcipants dalam upaya mendapatkan alternatif
penyelesaian dalam masalah perendahan martabat dan harga diri, istri, agama serta
sengketa SDA tidak memilih dan memanfaatkan jalur Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang
berlaku di Indonesia, namun mereka memilih carok sebagai alternatif yang dipilih dalam
penyelesaian persoalan hukum yang tengah dihadapinya.
Melakukan penyelesaian melalui carok merupakan pilihan hidup yang sudah
dipikirkan, direnungkan dan diputuskan secara masak-masak oleh para pelaku carok.
Terlepas bahwa pilihan hidup yang ia putuskan juga mendapat dukungan dari keluarga besar
dan sistem pranata sosial yang ada, para pelaku carok sebenarnya telah melakukan dialog
kepada dirinya sendiri tentang pilihan hidup yang akan ditempuh. Pertimbangan masak
tentang untung dan rugi, pantas dan tidaknya, serta resiko hukum, sosial, ekonomi dan
keluarga pun telah dilaluinya (pertimbangannya) secara sadar dan rasional. Maka tidaklah
mengherankan bahwa memilih melakukan carok merupakan pertimbangan yang rasional.
Resiko adanya cemoohan, tekanan kejiwaan dari lingkungan sosial serta keyakinan
ada dan hidupnya nilai-nilai kultural yang telah mendarah daging justru dirasa merupakan
beban psikologis yang jauh lebih berat bila dia tidak melakukan carok setelah harkat dan
martabatnya dirampas oleh orang lain. Bagi mereka, memilih penyelesaian masalah dengan
carok merupakan pembebasan (way out) diri dari tekanan sosial dan kultural serta
psikologis.
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 48 48
2. Persepsi sebagian masyarakat Madura terhadap konflik perendahan martabat
dan harga diri, istri, agama serta sengketa SDA sehingga memilih carok sebagai
solusi alternatif dalam penyelesaian masalah.
Masyarakat Madura dalam memandang pemilihan carok sebagai alternatif
penyelesaian dalam konflik perendahan martabat dan harga diri, istri, agama serta sengketa
SDA tentunya sangat bervariatif. Bervariasinya pandangan masyarakat tersebut dipengaruhi
oleh sikap, motif, pengalaman, harapan dan interest mereka. Adapun faktor lain yang juga
membedakan cara pandang tersebut adalah tingkat pendidikan, profesi dan latar belakang
kehidupan mereka termasuk faktor gender. Adapun persepsi sebagian masyarakat Madura
terhadap konflik perendahan martabat dan harga diri, istri, agama serta sengketa SDA
sehingga memilih carok sebagai solusi alternatif dalam penyelesaian masalah adalah
sebagai berikut:
(1) Pandangan masyarakat yang tidak mendukung praktik carok. Menurut mereka
persoalan perendahan martabat dan harga diri, istri, agama serta sengketa SDA tidak harus
diselesaikan dengan carok. Masyarakat kelompok ini berpandangan bahwa hukum
negaralah yang semestinya didayagunakan secara maksimal untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan tersebut. Kelompok masyarakat ini jumlahnya relatif sedikit.
Mereka pada umumnya mewakili kelompok, kiyai, PNS, TNI dan Polri serta kelompok
sosial lain yang mapan secara ekonomi.
(2) Pandangan masyarakat yang mendukung praktik carok.Di samping yang telah
dipaparkan di atas, ada juga kelompok masyarakat yang berpandangan dan berpendapat
setuju atau mendukung terhadap praktik carok yang diakibatkan oleh adanya rasa malu
akibat dari diinjaknya kehormatan. Mereka mendukung budaya hukum tersebut karena hal
itu merupakan warisan budaya dari para leluhurnya. Kelompok masyarakat ini adalah
kalangan blater kenne’ (blater lokal). Di samping itu juga merupakan pandangan serta
pendapat sebagian masyarakat desa Jaddih, Parseh, Bilaporah di Kecamatan Socah,
kabupaten Bangkalan yang kurang mengenyam dunia pendidikan formal dan informal serta
yang secara ekonomi kurang beruntung.
(3) Pandangan masyarakat yang mendukung praktik carok hanya untuk masalah
kehormatan istri. Sebagian masyarakat berpandangan memaklumi (membolehkan) praktik
carok namun untuk masalah yang menyangkut kehormatan istri saja. Mereka pada
umumnya tidak mendukung praktik carok apabila hal itu menyangkut urusan di luar urusan
kehormatan istri. Kelompok masyarakat ini menyatakan bahwa carok itu adalah solusi yang
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 49 49
sangat pantas dilakukan hanya untuk masalah kehormatan perempuan utamanya terhadap
kehormatan istri saja. Sedang masalah selain kehormatan istri dapat diupayakan solusinya
yang adil yang membuahkan maslahat dan manfaat bagi kedua belah pihak melalui
musyawarah adat.
(4) Pandangan masyarakat pentingnya untuk memiliki oreng angko bagi generasi
barunya. Dari observasi yang peneliti lakukan di lapangan, diketemukan bahwa di beberapa
desa yang dijadikan lokasi penelitian ada harapan dalam budaya masyarakat Madura
(bahasa Jawa: kekudangan) agar anak keturunannya yang berjenis kelamin laki-laki
menjadi oreng angko (orang yang berani) bila sudah menginjak usia dewasa. Harapan para
orang tua tersebut sebenarnya adalah fakta budaya bahwa menjadi oreng angko adalah ideal
yang harus dimiliki oleh setiap laki-laki Madura kelak bilamana mereka tumbuh dewasa.
(5) Pandangan adanya peran signifikan kiyai, blater dan klebun dalam praktik carok.
Tingginya rasa sikap penghormatan serta ketaatan (tawadhu’) kepada individu dalam
masyarakat Madura pun ditunjukkan dengan takaran yang berkaitan dengan nilai-nilai yang
berbau ke-Islaman. Bagi mereka yang berpredikat sebagai keyaeh atau kiyai27 (status yang
paling tinggi) dan haji (status setelah kiyai) akan mendapatkan posisi sosial dan kultural
yang sangat tinggi dan terhormat di tengah masyarakat. Kiyai adalah figur yang
mendapatkan kedudukan dan legitimasi sosial serta kemuliaan ( priviledge) secara khas dan
khusus yang diberikan oleh masyarakat, terutama yang beragama Islam.
Dalam pandangan masyarakat Madura, istilah kiyai tidak hanya merujuk kepada
pribadi yang ahli dalam agama Islam, namun juga kepada mereka yang memiliki atau
menjadi pimpinan dari sebuah podok pesantren28 dan mengajarkan pengetahuan agama
Islam kepada santrinya.29 Masyarakat Madura memandang kiyai sebagai pribadi yang
sangat berkharisma, penuh wibawa, sangat disegani serta sangat memahami ilmu tentang
27Penyebutan istilah kiyai setidak-tidaknya menyangkut tiga (3) macam gelar dalam budaya Jawa
yakni: (1) Untuk menyebut benda-benda atau mahluk yang dianggap keramat misalnya ‘Kiyai Garuda
Kencana’ yaitu sebutan untuk kereta kencana milik Keraton Jogyakarta; (2) Untuk menyebut orang-orang tua
yang ditokohkan oleh masyarakat; dan (3) Untuk menyebut para ahli agama yang mengajarkan agama pada
pondok–pondok pesantren atau di luar pondok pesantren. Gelar tersebut disematkan kepadanya karena adanya
kepemilikan ilmu agama yang mendalam sekali. Lihat, Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang
Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta : LP3ES,1994), 55. Lihat juga Komaruddin Hidayat, Politik Panjat Pinang
Dimana Peran Agama? (Jakarta : Buku Kompas, 2006), 160. 28Dalam pondok pesantren, kiyai lah elemen yang paling penting. Sedangkan kiyai dan pesantren
merupakan suatu mata rantai yang tak terpisahkan. Oleh karena itulah sering dijumpai baik di Jawa maupun di
Madura bahwasanya kiyai merupakan pendiri dari suatu pondok pesantren. Besar kecilnya pertumbuhan suatu
pondok pesantren pun tak lepas dari peran setralnya yakni kemampuan pribadinya sendiri. Lihat, Hamdan
Farhan dan Syarifudin, Titik Tengkar Pesantren: Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren (Jogyakarta : Pilar
Religia, 2005), 65. 29Zamakhsyari Dhofier, Tradisi...op.cit., 55.
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 50 50
agama, memahami isi kitab-kitab Islam dan hukum-hukum agama Islam (syar’i). Di
samping itu, kiyai bagi mereka merupakan sosok panutan yang harus ditauladani, diikuti
petuah dan nasihatnya serta tempat mengadukan untuk setiap permasalahan hidup yang
dihadapi oleh masyarakat.
Peran kiyai bagi masyarakat Madura boleh dikatakan sangat polymorphic30. Artinya
bahwa figur kiyai senantiasa memiliki multi peran yang strategis. Mereka pada umumnya
berdiri pada posisi terdepan dan paling tinggi dalam struktur sosial masyarakat Madura.
Oleh karenanya tidaklah mengherankan apabila kiyai menjadi tempat bertumpunya segala
urusan duniawi dan ukhrowi bagi masyarakat. Persoalan hidup rutin mulai dari masalah
mencari pekerjaan, perjodohan, pengobatan, hari keberuntungan membuka usaha, hari baik
untuk mendirikan rumah dan bepergian, hari pernikahan, perceraian hingga wejangan-
wejangan kehidupan dalam acara pernikahan senantiasa dimintakan nasehat (petuah)
kepadanya. Bahkan sebelum melakukan carok, biasanya pelaku mendatanginya dengan
berbagai macam agenda kebutuhan. Menurut masyarakat Madura kiyai atau ulama adalah
penerus para nabi (warosat al anbiya) sehingga wajib untuk ditauladani, nasehatnya harus
diikuti dan perintahnya wajib dilaksanakan. Kepatuhan (takdzim) pada kiyai adalah
keniscayaan yang mutlak bagi para santri.
Walaupun kedudukannya tak seistimewa figur kiyai, para blater merupakan elit
lokal yang memiliki pengaruh dalam proses rekayasa sosial untuk kepentingan
pembangunan budaya hukum. Blater adalah penamaan (sebutan) terhadap pribadi dari unsur
masyarakat Madura yang memiliki keistimewaan dalam berolah kedigdayaan (kanuragan).
Pada konteks sosio-kultural masyarakat Jawa sosok ini mirip dengan jagoan, gali atau
preman. Menurut kebanyakan masyarakat Madura mereka pada dasarnya merupakan tokoh
(elite) atau sesepuh masyarakat. Pada sistem budaya masyarakat Madura, sebutan blater
juga merupakan priviledge bagi pribadi yang menyandangnya karena tidak semua orang
bisa disebut sebagai blater.
Disamping kiyai dan blater diatas, ada sosok elit lokal lain yang berperan dalam
persoalan seputar carok. Mereka adalah klebun. Klebun atau kalebun adalah lurah atau
kepala desa. Klebun merupakan rato dalam lingkup kewilayahan yang kecil (desa atau
kelurahan). Masyarakat Madura memposisikan figur klebun sebagai pemimpin lokal yang
30Istilah polymorphic ini meminjam kosep yang diberikan oleh William Durrel Kerr, Leadership and
Communication in the Collective Adaption Process of Development Association in Eastern Nigeria (Michigan
: Michigan State University Press, 1970), 35.
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 51 51
bersifat formal. Oleh masyarakat setempat, klebun sering diposisikan sebagai bapaknya
orang desa ( sesepuh desa).
3. Konstruksi budaya hukum dalam menanggulangi carok di masyarakat Madura
berdasar nilai-nilai Pancasila sebagai sarana politik kriminal
Persoalan carok pada sebagian masyarakat Madura membutuhkan sistem preventif
yang khusus. Ada dua alasan yang bisa dikemukakan mengapa persoalan preventif ini
memerlukan perhatian khusus. Alasan tersebut adalah: (a) Sistem preventif mampu
menetralkan (meniadakan) atau setidak-tidaknya meminimalkan potensi terjadinya carok
yang muncul akibat adanya tindak pidana perendahan martabat dan harga diri, istri, agama
dan sengketa SDA pada sebagian masyarakat Madura; (b) Sistem preventif diharapkan
dapat mengidentifikasi akar persoalan yang berpotensi terjadinya carok.
Konstruksi budaya hukum dalam menaggulangi carok di masyarakat Madura
berdasar nilai-nilai Pancasila dapat dicapai dengan:
(1) Memanfaatkan peran orang tua dan ulama serta umaro’ sebagai wujud ketaatan
pada ajaran agama Islam untuk menaggulangi praktik carok. Masyarakat Madura sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam, maka sistem preventif penanggulangan praktik
carok yang pertama adalah memanfaatkan peran dan kedudukan orang tua (bapa’ babhu’).
Peran ayah dan ibu adalah sangat besar dan berpengaruh dalam sistem kekerabatan pada
masyarakat Madura. Oleh karenanya dalam upaya pencegahan praktik carok peran para
orang tua sangatlah strategis sekali. Adapun sistem preventif yang kedua adalah
memanfaatkan ketaatan masyarakat pada para ulama atau kiyai. Keterlibatan para kiyai,
ustadz, guru agama (ghuru) untuk menanggulangi praktik carok adalah sangat penting. Para
kiyai tersebut memang sangat berpengaruh dalam persoalan sosial kemasyarakatan pada
masyarakat Madura.
Sedangkan sistem preventif yang ketiga adalah memanfaatkan ketaatan masyarakat
pada umaro’ atau pemerintah (rato). Adapun yang tergolong pemerintah disini adalah para
Klebun, Polisi (Babinkamtibmas dan aparat negara yang lain. Masyarakat Madura secara
sosio-kultural sangat hormat dan mengharagai peran rato dalam kehidupan sosial mereka.
Pada dasarnya, ketiga sistem preventif tersebut di atas identik dengan konsep
ketaatan sosio-kultural yang sudah mendarah daging bagi masyarakat Madura yakni konsep
bapa’ babhu’ ghuru rato. Mereka inilah sebenarnya main agents dalam perubahan budaya
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 52 52
hukum pada masyarakat Madura khususnya dalam ranah penyelesaian persoalan
perendahan martabat dan harga diri, istri, agama serta sengketa SDA dengan tanpa carok.
(2) Menghidupkan budaya musyawarah dalam mengatasi persoalan sosial melalui
penyuluhan hukum (pendidikan hukum) dan pengajian agama. Mengedepankan budaya
musyawarah dalam mengatasi setiap persoalan sosial seperti persoalan perendahan martabat
dan harga diri, istri, agama serta konflik perihal sengketa SDA merupakan wujud dari
pengamalan nilai – nilai Pancasila yakni sila yang ke empat. Di samping itu pemikiran akan
upaya pencegahan praktik carok semestinya dijadikan tujuan utama dari politik kriminal
yang ditujukan untuk merekonstruksi budaya hukum masyarakat. Konsep pencegahan
praktik carok seharusnya berkonsentrasi pada adanya pendekatan-pendekatan lintas sektoral
seperti sosial, agama, ekonomi, dan kebijakan publik yang lain.
Untuk mencoba menyelesaikan suatu konflik atau untuk membangun sebuah
perdamaian (peace building) dapat digunakan sebuah model Tiga Dimensi Kekerasan yang
diperkenalkan oleh Simon Fisher dan kawan kawan.31 Ketiga dimensi kekerasan tersebut
paling tidak dipengaruhi oleh dua faktor penyebab utama konflik dan kekerasan yakni faktor
dalam (internal factors) antara lain seperti nilai budaya, termasuk di dalamnya kearifan
lokal, tradisi, adat istiadat, hukum adat, agama, dan kebiasaan, sikap, tingkah laku, moralitas
dan mental psikologis. Adapun yang kedua adalah faktor luar (external factors) atau non-
budaya antara lain yaitu faktor struktural, ekonomi dan politik.
Namun, berkaitan dengan persoalan carok sebagai bagian dari fenomena sosial, pada
dasarnya penggunaan perspektif budaya dan perspektif non-budaya tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lain. Kedua perspektif di atas saling berhubungan dan pengaruh
mempengaruhi sebagai ciri khas dari prinsip citires paribus dalam kajian ilmu-ilmu sosial.
(3) Mempengaruhi pandangan masyarakat bahwa budaya main hakim sendiri
(vigilante justice) adalah budaya hukum yang salah. Bahwa masyarakat desa Jaddih, Parseh
dan Bilaporah memiliki keseragaman sikap dan berpandangan yang hampir sama bahwa
hukum negara tidak bisa memberikan keadilan yang seadil-adilnya (keadilan yang
substantif). Akibat dari pandangan yang seperti itu masyarakat menilai budaya hukum
dengan main hakim sendiri (eigenrichting atau vigilante justice) dengan penyelesaian
berupa carok adalah hal yang diyakini sebagai budaya hukum yang benar. Main hakim
31Simon Fisher, et. al., Working with Conflict: Skill and Strategies for Action (New York : Published
through Cooperation with Responding to Conflict Selly Oak, Birmingham, UK, 2002), 27.
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 53 53
sendiri merupakan tindakan yang semena-mena yang hal ini tentunya bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam sila ke dua Pancasila.
Bahwa budaya hukum untuk merespon adanya peristiwa hukum istri dilecehkan
oleh orang lain adalah dengan carok. Konstruksi berfikir seperti tersebut di atas memang
susah sekali ditiadakan terutama di daerah-daerah pedesaan dan pada masyarakat yang
kurang berpendidikan. Dari realita ini dapatlah dikatakan bahwa budaya hukum sebenarnya
telah lama menjadi persoalan yang dianggap tidak mendukung bagi pembangunan hukum di
Indonesia.32 Penegakan hukum di Indonesia misalnya, sangat dipengaruhi oleh adanya
budaya hukum yang telah lama terbentuk dalam masyarakat.33Pengkreasian perencanaan
yang matang dan terarah untuk kepentingan kampanye budaya anti main hakim sendiri
selayaknya dijadikan prioritas dalam isu keamanan lingkungan dan peningkatan kualitas
hidup. Kegiatan kampanye ini seharusnya didukung oleh pemerintah daerah setempat
melalui penganggaran yang berkesinambungan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
(4) Mengaktualisasikan Pancasila dan kesadaran untuk melaksanakan-nya dalam
rangka membangun kesadaran hukum. Aktualisasi Pancasila yang subjektif ini akan
terwujud secara sempurna apabila keseluruhan dari nilai-nilai Pancasila tersebut telah
dipahami, diresapi dan dihayati oleh setiap individu. Bila hal tersebut telah dilakukan maka
dapatlah dikatakan bahwa individu tersebut secara moral telah memiliki Pancasila sebagai
pandangan hidup. Bilamana kondisi tersebut berlangsung secara terus menerus sehingga
nilai-nilai Pancasila telah melekat dalam hati sanubari-nya, maka yang bersangkutan dapat
dikatakan telah berkepribadian Pancasila.
(5)Memberdayakan mediasi adat lewat LMA sebagai solusi praktis, ekonomis dan
sesuai dengan budaya masyarakat dalam penyelesaian permasalahan perendahan martabat
dan harga diri, istri, agama serta sengketa SDA. Keberadaan lembaga semacam informal
justice system (IJS) yang dalam hal ini penulis usulkan dengan nama Lembaga
Musyawarah Adat (LMA) pada daerah-daerah rawan potensi carok sangat diperlukan agar
mudah diakses oleh komunitas lokal. Adapun alasan mengapa LMA diperlukan juga
karena adanya faktor jarak, bahasa, proses maupun faktor budaya, serta kekhasan kasus
32Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitus (Depok : Raja
Grafindo, 2013), 206. 33Endang Sutrisno, Rekonstruksi Budaya Hukum Masyarakat Nelayan Untuk Membangun
Kesejahteraan Nelayan : Studi Kritis Terhadap Pemaknaan Hukum (Yogyakarta : Genta, 2013), 17.
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 54 54
yang terjadi (persoalan akibat adanya rasa malo). Di mata masyarakat Madura, signifikasi
proses penanganan persoalan hukum sebenarnya terletak pada proses menemukan solusi
yang bisa diterima oleh para pihak yang bermasalah dan pada adanya kemungkinan bisa
memulihkan keharmonisan kelompok-kelompok tersebut. Bahkan bila memungkinkan bisa
melahirkan harmoni yang baru dalam relasi sosial antar anggota komunitas yang
bermusuhan.
Keberadaan LMA sebenarnya bisa menjadi alternatif solusi yang dapat dijadikan
antisipasi dalam rangka proses pencarian keadilan bagi masyarakat yang masih tradisional
seperti masyarakat Madura yang tinggal di pelosok-pelosok daerah. Dibutuhkannya
lembaga yang mirip dengan peradilan adat dalam masyarakat sebagai lembaga penyelesaian
sengketa, sebenarnya merupakan bukti adanya pluralisme hukum di Indonesia. Pluralisme
hukum harus diakui sebagai sebuah realitas masyarakat yang sebenarnya ada dalam
kehidupan masyarakat kita.
Diskursus penyelesaian masalah lewat LMA ini merefleksikan realitas politik
bahwa dalam sebuah negara terdapat ruang yang khusus untuk masyarakatnya dalam
mencari solusi yang terbaik yang sesuai dengan kulturnya sendiri. Ruang yang besar
memang menjadi domain Negara dalam mengelola semua urusan masyarakat sedangkan
sebagian urusan lain (ruang yang kecil dan khusus) biar tetap diurus oleh masyarakat sendiri
karena mereka mampu dan bahkan akan lebih efektif dan efisien dalam mengurusnya.34
Sebenarnya eksistensi sistem peradilan adat yang pernah lama dikenal di Indonesia
itu akhirnya oleh Pemerintah Republik Indonesia dihapus keberadaannya melalui UU
Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan
Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil (selanjutnya disebut
UU drt No. 1 Tahun 1951), yang dikeluarkan tanggal 13 Januari 1951. Sistem peradilan adat
tersebut ditiadakan berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU drt No. 1 Tahun 1951, yaitu ”Pada saat
yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman dihapuskan...segala
Peradilan Adat (Inheemse rechtspraak in rechtstreeks bestuurd gebied) kecuali peradilan
agama jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan satu bagian tersendiri dari
peradilan adat”.
Diundangkannya UU tentang Kekuasaan Kehakiman Tahun 2009 pun turut serta
memperlemah pengakuan terhadap adanya peradilan adat tersebut, walaupun secara khusus
34Emil Kleden, “Peradilan Adat: Cermin Upaya Membangun Otonomi, 2008,” diakses pada tanggal
25 November 2016, http://www.yayasanpusaka.-blogspot.com/2008/08/17/peradilan-adat-cermin-upaya-
membangun.html./.
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 55 55
Negara menerima penyelesaian perkara di luar pengadilan (arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa/ APS). Istilah yang digunakan dalam UU tersebut adalah ‘sengketa’
bukan lagi ‘perkara’ sehingga hal tersebut tidak sesuai lagi dengan konsep peradilan adat
yang pernah diaplikasikan oleh masyarakat pada jaman pra kemerdekaan.
Dengan demikian kedudukan peradilan adat di Indonesia sangatlah lemah karena
belum diatur jelas dalam sistem peradilan nasional sebagai sebuah penyelesaian sengketa
alternatif di luar peradilan Negara. UU Kekuasan Kehakiman Tahun 2009 ini hanya
mengakui kepala desa sebagai hakim perdamaian desa yang berbeda dengan hakim
peradilan adat yang pernah ada di Indonesia.
Reformasi penyelenggaraan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi
yang secara yuridis formal di mulai dengan hadirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintah Daerah dan dilanjutkan dengan keluarnya UU Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah mengakui
dan menghormati sifat dan susunan masyarakat yang mandiri dan otonom. UU Tentang
Pemda Tahun 1999 ini sebenarnya memberikan angin segar atau dukungan legal politis
yakni adanya niat untuk mengembalikan pengaturan peradilan adat ke dalam sistem hukum
nasional.
Pemberian kewenangan mendamaikan perselisihan yang dilakukan oleh seorang
kepala desa sebenarnya merupakan wujud kesadaran, bahwa sistem peradilan sebagai
bagian yang utuh adalah juga merupakan hak otonomi masyarakat desa. Keutamaan lainnya
dari LMA yang peneliti usulkan adalah dimungkinkannya adanya upaya penyelesaian
perkara atau sengketa secara mudah, cepat dan berbiayanya murah (bahkan tidak berbiaya),
tidak kaku dan tidak formalistik.
D. Penutup
Berdasarkan olah pikir yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis perlu menyatakan
beberapa simpulan sebagai berikut:
a. Sebagian masyarakat Madura memilih carok sebagai alternatif penyelesaian dalam konflik
perendahan martabat dan harga diri karena carok merupakan suatu norma sosial yang
mendapat dukungan masyarakat luas. Tindakan melakukan carok untuk membalas rasa
malo telah menjadi norma dan nilai sosial yang melembaga pada masyarakat tersebut. Di
samping sebagai tindakan sosial yang rasional (zweckrationales handeln) yang dibenarkan
secara sosial, carok bagi sebagian masyarakat Madura juga merupakan tindakan yang
berorientasi pada nilai (wertrational handeln). Tindakan inilah yang menuntun dan
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 56 56
mengatur perilaku seseorang ketika dirinya mendapat rasa malo akibat adanya perendahan
martabat dan harga diri, istri, agama serta konflik sengketa SDA. Adanya rasa malo pada
diri seseorang yang kemudian disatukan dengan komitmen kolektif sosial terhadap suatu
nilai yang dalam hal ini adalah respon terhadap adanya perendahan martabat dan harga diri,
istri, agama serta konflik SDA inilah yang mengatur perilaku dalam bentuk suatu tindakan
carok. Dengan demikian carok adalah tindakan yang dilegetimasi secara sosial oleh
masyarakat. Tindakan individu untuk melakukan carok itu dipengaruhi oleh sistem sosial,
sistem budaya, sistem kepribadian yang sudah menjadi tradisi secara turun-temurun
(traditional action). Di samping itu carok merupakan wujud keadilan yang seadil-adilnya
menurut sebagian masyarakat Madura dalam merespon penimpaan rasa malo. Perendahan
martabat dan moral pada seseorang sebagai anggota dalam kekerabatan sosial akan
dimaknai sebagai perendahan martabat dan moral pada kelompok sosial secara keseluruhan.
Bagi masyarakat Madura perendahan martabat dan harga diri, istri, agama serta konflik
perihal SDA yang mengakibatkan timbulnya rasa malo akan pasti dimaknai sebagai
tindakan ketidakadilan pada seseorang (inequitable deeds). Rasa ketidakadilan inilah yang
menjadikan seseorang dan kelompok sosialnya sangat merasa terganggu, dirugikan,
disengsarakan dan bahkan dihinakan. Rasa dihinakan ini akan terasa sangat menyakitkan
sekali apa bila rasa malo tersebut terpicu karena perendahan martabat istri.
b. Persepsi sebagian masyarakat Madura terhadap konfik perendahan martabat dan harga diri,
istri, agama serta sengketa SDA pada masyarakat Madura adalah:
(i) Adanya pandangan masyarakat yang tidak mendukung praktik carok. Menurut mereka
persoalan perendahan martabat dan harga diri, istri, agama serta sengketa SDA tidak
harus diselesaikan dengan carok. Masyarakat kelompok ini berpandangan bahwa hukum
negara-lah yang semestinya didayagunakan secara maksimal untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan tersebut. Kelompok masyarakat ini jumlahnya relatif sedikit.
Mereka pada umumnya mewakili kelompok, kiyai, PNS, TNI dan Polri serta kelompok
sosial lain yang mapan secara ekonomi. Menurut mereka carok di samping akan
memakan korban nyawa, hal tersebut juga berpotensi melahirkan dendam yang
berkepanjangan serta kebiasaan pembunuhan pembalasan yang tiada akhir (killing
retaliation habit);
(ii) Adanya pandangan masyarakat yang setuju atau mendukung terhadap praktik carok yang
diakibatkan oleh adanya rasa malu akibat dari diinjaknya kehormatan. Mereka
mendukung budaya hukum tersebut karena hal itu sebagai warisan budaya dari para
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 57 57
leluhurnya. Kelompok masyarakat ini adalah kalangan blater kenne’ (blater lokal). Di
samping itu juga merupakan pandangan serta pendapat sebagian masyarakat desa Jaddih,
Parseh, Bilaporah di Kecamatan Socah, kabupaten Bangkalan yang kurang mengenyam
dunia pendidikan formal dan informal serta yang secara ekonomi kurang beruntung;
(iii) Adanya pandangan masyarakat yang memaklumi (membolehkan) praktik carok namun
untuk masalah yang menyangkut kehormatan istri saja. Kelompok masyarakat ini
menyatakan bahwa carok itu adalah solusi yang sangat pantas dilakukan hanya untuk
masalah kehormatan perempuan utamanya terhadap kehormatan istri saja. Sedang
masalah selain kehormatan istri dapat diupayakan solusinya yang adil yang membuahkan
maslahat dan manfaat bagi kedua belah pihak melalui musyawarah adat;
(iv) Adanya pandangan masyarakat pentingnya utuk memiliki anak keturunan yang berjenis
kelamin laki-laki menjadi oreng angko (orang yang berani) bila sudah menginjak usia
dewasa. Harapan para orang tua tersebut sebenarnya adalah fakta budaya bahwa menjadi
oreng angko adalah ideal yang harus dimiliki oleh setiap laki-laki Madura kelak
bilamana mereka tumbuh dewasa;
(v) Adanya pandangan masyarakat tentang adanya peran yang signifikan bagi para elit lokal
(kiyai dan blater dan klebun) dalam persoalan seputar carok. Para elit lokal ini tidak bisa
dimarginalkan keberadaannya karena ketiganya telah lama terbangun dalam pranata
sosial dan politis dalam sistem kehidupan masyarakat Madura. Relasi kiyai, blater dan
klebun adalah realitas relasi elit sosial lokal dan merupakan kekuatan sosial yang sangat
kuat dan berpengaruh pada relasi hukum, ketataaturan sosial serta dalam mencari jalan
keluar peniadaan kasus carok pada masyarakat tersebut.
c. Konstruksi budaya hukum penanggulangan carok berbasis nilai-nilai Pancasila dapat
diwujudkan melalui:
(i) Memanfaatkan peran orang tua dan ulama serta umaro’ sebagai wujud ketaatan pada
ajaran agama Islam untuk menanggulangi praktik carok. Pada dasarnya, ketaatan pada
orang tua dan ulama serta umaro’ tersebut di atas identik dengan konsep ketaatan
kultural yang sudah mendarah daging bagi masyarakat Madura yakni konsep bapa’
babhu’ ghuru rato. Mereka inilah sebenarnya main agents dalam perubahan budaya
hukum pada sebagian masyarakat Madura khususnya dalam ranah penyelesaian
persoalan perendahan martabat dan harga diri, istri, agama serta sengketa SDA dengan
tanpa carok;
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 58 58
(ii) Menghidupkan budaya musyawarah dalam mengatasi persoalan sosial melalui
penyuluhan hukum dan pengajian agama. Mengedepankan budaya musyawarah dalam
mengatasi setiap persoalan sosial seperti persoalan perendahan martabat dan harga diri,
istri, agama serta sengketa SDA merupakan wujud dari pengamalan nilai–nilai
Pancasila yakni sila yang ke empat;
(iii) Mempengaruhi pandangan masyarakat bahwa budaya main hakim sendiri (vigilante
justice) adalah budaya hukum yang salah. Dalam upaya mempengaruhi pandangan
masyarakat bahwa budaya main hakim sendiri adalah budaya hukum yang salah yang
tidak sesuai dengan ajaran agama, hukum negara dan tidak mencerminkan budaya dari
masyarakat yang beradab, adanya kerjasama antara para elit lokal (klebun, blater,
kiyai) dan Babinkamtibmas (Polri) memainkan peran yang sangat signifikan. Posisi
sosio-kultural, legitimasi kiyai yang sangat istimewa dalam masyarakat Madura dapat
digunakan sebagai modal yang bernilai dalam upaya rekayasa sosial anti budaya main
hakim sendiri di masyarakat serta dalam membentuk team work yang sinergis di antara
para elit lokal dan Polri;
(iv) Mengaktualisasikan Pancasila dan kesadaran untuk melaksanakannya dalam rangka
membangun kesadaran hukum. Aktualisasi Pancasila yang subjektif ini akan terwujud
secara sempurna apabila keseluruhan dari nilai-nilai Pancasila tersebut telah dipahami,
diresapi dan dihayati oleh setiap individu;
(v) Memberdayaan mediasi adat lewat LMA sebagai solusi praktis dalam penyelesaian
permasalahan perendahan martabat dan harga diri, istri, agama serta sengketa SDA.
Keberadaan format LMA mencerminkan keseimbangan antara sisi kepastian, keadilan
dan kemanfaatan, dan bukan hanya membatasi diri pada proses yang mengedepankan
kepastian hukum saja. LMA merupakan sarana bagi masyarakat dalam usaha mencari
keadilan yang relatif lebih dinamis, serta memiliki makna penting secara sosiologis.
Penulis menyampaikan saran dari kajian ini, sebagai berikut:
(i) Bahwa sejauh ini secara yuridis normatif, penyelesaian persoalan perendahan martabat
dan harga diri, istri, agama serta sengketa SDA diselesaikan dengan sanksi pidana.
Kejahatan ini diatur dalam Bab XIV Buku Kedua KUHP, yakni kejahatan terhadap
kesusilaan yang melanggar pasal 281 s/d 287 KUHP. Padahal dengan penggunaan
sanksi pidana agar dapat diterima dengan baik sebagai solusi yang memberikan
keadilan maka kesadaran hukum masyarakatnyalah yang harus diwujudkan. Karena
ketidakpuasan terhadap perlakuan negara inilah yang dapat memicu dan melahirkan
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 59 59
kejahatan yang baru seperti pada kasus carok retaliation. Hal ini sering terjadi karena
sebagian masyarakat Madura menganggap bahwa hukum positif negara dirasa kurang
bisa memberikan keadilan pada korban. Solusi terbaik untuk semua permasalahan
perendahan martabat dan harga diri, istri, agama serta konflik SDA pada sebagian
masyarakat Madura adalah dengan ditegakkannya nilai-nilai keadilan untuk semua
kelompok, golongan dan lapisan dalam masyarakat. Pada hakekatnya keadilan adalah
prasyarat utama bagi terwujudnya kebahagiaan, perdamaian dan kedamaian di tengah
para pribadi atau masyarakat yang sedang dilanda permusuhan. Menegakkan keadilan
adalah satu kewajiban atau satu tuntutan kemanusiaan. Ia adalah satu keharusan yang
telah ditetapkan oleh Allah kepada semua orang tanpa terkecuali. Menegakkan keadilan
di masyarakat tidak bisa secara parsial. Upaya ini harus ditempuh dengan adanya
komitmen bersama yang berkesinambungan oleh seluruh komponen masyarakat yang
sebaiknya ditempuh melalui LMA.
(ii) Bahwa untuk kasus penyelesaian persoalan perendahan martabat dan kehormatan istri
yang sementara ini tidak bisa tuntas diselesaikan dengan hukum Negara maupun
diselesaikan lewat mediasi pada LMA maka upaya sosio-kultural-lah (upaya non-
penal) yang sebaiknya dilakukan. Oleh karena itu untuk menghindari carok cara yang
paling ampuh ialah dengan mendidik masyarakat untuk saling menghargai, saling
menghormati, saling menjaga perasaan dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan ajaran
agama Islam dan falsafah Pancasila. Adapun caranya bisa dilakukan melalui pengajian,
khotbah, melalui semacam penataran yang dibiayai oleh pemerintah. Polisi seharusnya
diharapkan lebih aktif lagi ikut mencegah (crime prevention) tradisi ini dengan jalan
sering berkumpul di tengah-tengah masyarakat. Di samping itu, kaum blater an juga
selayaknya diajak ikut serta bersama-sama menyadarkan masyarakat bagaimana untuk
tidak menyakiti orang lain dan hidup bersama dalam kerukunan. Polisi juga harus
mengawasi pelaksanaan remoh agar tidak digunakan sebagai upaya melanggengkan
tradisi kekerasan ini.
(iii) LMA ini sebenarnya berperan vital sehubungan dengan kondisi sosio-kultural
masyarakat Madura khususnya bila dikaitkan dengan upaya-upaya untuk mengatasi
persoalan-persoalan yang bisa mengarah terhadap kejadian carok. Sayangnya
keberadaannya bila dikaitkan dengan SPP negara masih problematis. Sedang di sisi lain
keberadaannya sangat diharapkan oleh masyarakat lokal. Oleh karena itu adanya
pemikiran/rekomendasi untuk menghubungkan keberadaan LMA dengan SPP negara
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar Nilai-Nilai
Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 60 60
adalah suatu langkah yang diharapkan. Usaha-usaha untuk mengaitkan fungsi LMA
dengan SPP negara itu sangat perlu sekali utamanya demi menjamin tegaknya
pengaplikasian HAM yang terstandarisasi. Walaupun LMA tidak memenuhi
persyaratan dari prinsip rule of law, namun di banyak kasus lembaga tradisional ini
dapat menyerupai peranan yang diharapkan oleh fungsi-fungsi rule of law. LMA ini
akan senantiasa mampu mengarahkan perilaku individu dalam kelompok sosial untuk
berperilaku yang seharusnya agar tidak melahirkan masalah pada masyarakat lokal.
Keberadaan LMA dalam kasus seputar carok semestinya dianggap sebagai pelengkap
keberadaan SPP negara yang dalam beberapa hal tertentu bisa menggantikan peran dan
fungsi SPP dalam penyelesaian konflik seperti carok ini. Dalam kasus carok,
direkomendasikan bahwa lembaga LMA ini akan mampu memperbaiki kembali
keharmonisan sosial dan bahkan bisa memberikan adanya kepastian hukum yang lebih
baik. Penyertaan lembaga LMA ini tentunya sangat positif maknanya dalam upaya
membangun terwujudnya konsep rule of law. Untuk menjamin tetap terakomodasinya
standard pelaksanaan HAM yang baik pada kasus seperti carok ini, monitoring atau
pengawasan yang rutin dan berkesinambungan terhadap lembaga ini sangat dibutuhkan.
Kedepan, peneliti berharap keberadaan LMA ini akan mampu mewujudkan semangat
konsep ‘access to justice ‘ tapi bukan mejadikan lembaga ini masuk dalam perangkap
‘poor justice for the poor people’. Namun reformasi sistem peradilan untuk
mendukung keberadaan LMA di Indonesia kiranya masih perlu waktu yang panjang.
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar
Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 61 61
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Bar. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2014.
Atmasasmita, Romli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, edisi kedua,
cetakan kempat. Bandung : Refika Aditama, 2013.
Bahri, Hamid. Kitab Budaya Nusantara. Yogyakarta : DIVA Press, 2011.
Black, Henry Campbell. Black’s Law Divtionary, Sixth Edition. Minnesotta :
West Publishing Co, 1990.
Bedner, Adrian W, et,al. (Eds). Kajian Sosio Legal. Bali : Pustaka Larasan,
2012.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup
Kiyai. Jakarta : LP3ES, 1994.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln, (Eds.). The Sage Handbook of
Qualitative Research 1, Edisi Ketiga, (terjemahan). Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2011.
Farhan, Hamdan dan Syarifudin. Titik Tengkar Pesantren : Resolusi Konflik
Masyarakat Pesantren. Jogyakarta : Pilar Religia, 2005.
Herusantoso, Budiono. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta :
Haninida Graha Widia, 2011.
Hiariej, Eddy O.S. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta : Cahaya Atma
Pustaka, 2014.
Hidayat, Komarudin. Politik Panjat Pinang Dimana Peran Agama?. Jakarta :
Buku Kompas, 2006.
Indarti, Erlyn. Deskresi dan Paradigma : Sebuah Telaah Filsafat Hukum,
Pidato Pengukuhan Guru Besar Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro. Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 2010.
Irianto, Sulistyowati (Ed). Hukum Yang Bergerak : Tinjauan Antropologi
Hukum, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2009.
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta (Eds). Metode Penelitian Hukum, Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, 2013.
Jonge, Huub de. Agama, Kebudayaan dan Ekonomi Studi-studi Interdisipliner
tentang Masyarakat Madura. Jakarta : Rajawali, 1989.
Kerr, William Durrel. Leadership and Communicationin the Collective Adption
Process of Development Association in Eastern Nigeria. Michigan :
Michigan State University Press, 1970.
Kuhn, Thomas S. Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains (Terjemahan),
Bandung : Penerbit Rosdakarya, 1993.
Kusumaatmadja, Mochtar. Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan.
Bandung : Alumni, 2006.
Lincoln, Yvonna S., dan Egon G. Guba. The Constructivist Credo. United
States of America : Left Coast Press, Inc, 2013.
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar
Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 62 62
Maulana, Rizky dan Putri Amelia. Kamus Pintar Bahasa Indonesia. Surabaya :
Lima Bintang.
MD, Moh. Mahfud. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi, Cetakan ke tiga. Depok : Raja Grafindo, 2013.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta :
Liberty, 2008.
Moleong, Lexi. Metode Penelitian Kualitatif, (Edisi Revisi, Cetakan 31).
Bandung : Remaja Rosdakarya, 2013.
Morris, Albert. Penertian Kejahatan. Surabaya : Pusat Studi Kriminologi FH
Unair, 1980.
Ndraha, Taliziduhu. Budaya Organisasi. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1977.
Prasetyo, Teguh. Keadilan Bermartabat, Perspektif Teori Hukum, cetakan
kedua. Bandung : Penerbit Nusa Media, 2015.
Prodjodikoro, Wirjono. Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, edisi ketiga,
cetakan keenam. Bandung : Refika Aditama, 2014.
Pujirahayu, Esmi Warasih. Peranan Kultur Hukum dalam Penegakan Hukum
(dalam Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis). Semarang : PT
Suryadara Utama, 2005.
Rifai, Mien Ahmad. Manusia Madura Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja,
Penampilan dan Pandangan Hidupnya, seperti Dicitrakan
Peribahasanya. Yogyakarta : Pilar Merdeka, 2007.
Samekto, FX Adji. Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Bandar Lampung: Indepth
Publishing, 2013.
Suteki. Desain Hukum di Ruang Sosial. Yogyakarta : Thafa Media dan
Semarang : Satjipto Rahardjo Institute, 2013.
Sutrisno, Endang. Rekonstruksi Budaya Hukum Masyarakat Nelayan Untuk
Membangun Kesejahteraan Nelayan : Studi Kritis Terhadap Pemaknaan
Hukum. Yogyakarta : Genta, 2013.
Warassih, Esmi, dkk (Eds.). Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum di
Indonesia, Yogyakarta : Thafa Media, 2012.
Wiyata, A. Latief. Carok (Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura).
Yogyakarta: LKiS, 2013.
Windu, I. Warsana. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut John Galtung.
Yogyakarta : Kanisius, 1992.
B. Perundang Undangan
KUHP dan KUHAP. Yogyakarta : Parama Publishing. 2012.
C. Jurnal/Makalah/Disertasi/Lainnya
Alqadrie. “Kepemimpinan Informal and Traditional Leaderships in Conflicted
Society: Comparative Study on Role of Habib dan Kiyai in Conflicted
and Peaceful Conditions in Sambas dan Ketapang Districts of West
Kalimantan.” Paper presented in International Symposium held in
Parahiyangan University, Bandung, June 10-11, 1996.
Fisher, Simon, et. al. “Working with Conflict: Skill and Strategies for Action.”
New York : Published through Cooperation with Responding to Conflict
Selly Oak, Birmingham, UK, (2002) : 27.
Rekonstruksi Budaya Hukum Dalam Menanggulangi Carok di Masyarakat Madura Berdasar
Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Sarana Politik Kriminal
Jurnal Hukum Progresif, Vol. 7, No. 1, April 2019 63 63
Hefni, Moh. “Bhuppa’-Bhabhu’-Ghuru-Rato (Studi Konstruktivisme-
Strukturalis tentang Hierarkhi Kepatuhan dalam Budaya Masyarakat
Madura).” Karsa, Vol. XI No. 1 (2017) : 13.
Hidayat, Taufik. “Perempuan Madura Antara Tradisi dan Industrialisasi.”
KARSA, Vol. XVI No. 2 (2009).
Riyanto, R. Benny. “Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Perdata di
Pengadilan Negeri,” Semarang : Disertasi, Program Doktor Ilmu
Hukum, Universitas Diponegoro, 2006.
Samekto, FX. Adji. Kajian Studi Hukum Kritis : Implikasi Yuridis “Ketidak-
Ilmiahan” Pengetahuan Tradisional dalam Pengelolaan
Keanekaragaman Hayati, Jurnal Hukum Pro Justitia Tahun XIII No. 1
Januari 2005.
Suteki. “Rekonstruksi Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Negara Atas
Sumber Daya Air Berbasis Nilai Keadilan Sosial,” Semarang : Disertasi,
Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Dipenegoro, 2008.
Syamsudin, M. “The Burden of Indegenous People in Dealing with State
Regulation,” Journal Hukum, Vol. 15, No.3, (2008).
Syarif, Zainuddin. “Rekulturasi Pendidikan Islam Di Tengah Budaya Carok Di
Madura,” Karsa, Vo. 22 No. 1, (2014).
Taufiqurrahman. “Islam dan Budaya Madura,” Karsa., Vol. 22. No. 1 (2014).
Warrassih, Esmi. “Peranan Kultur Hukum dalam Penegakan Hukum”, Majalah
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Masalah-masalah Hukum
Nomor 2 Tahun 1995.
Zulfa, Eva A. “Ekistensi Peradilan Adat dalam Sistem Hukum Pidana
Indonesia, Proceeding Seminar, Arah Peradilan Adat dalam Sistem
Hukum di Indonesia, Surabaya, ” BPHN Kemenkumham RI, 2013.
D. Internet
Aziz, Abd, Dua Orang Tewas Akibat “Carok” Di Sampang, http:/www.antara-
news.com/berita/448021/dua-orang-tewas-akibat-carok-di-sampang.
Download: 11-03-2015.
Islam, Syaiful, Carok, Dua Warg Pamekasan Tewas, http://news.-
okezone.com/read/2014/11/20/340/1068421/carok-dua-warga-
pamekasan-tewas. Download:11-03-2015.
Kleden, Emil, Peradilan Adat: Cermin Upaya Membangun Otonomi, http-
://www.yayasanpusaka.blogspot.com/2008/08/17/peradilan-adat-cermin-
upaya-membangun.html/, diakses pada tanggal 25 Nopember 2016