regulasi pemerintah orde baru terhadap agama...
TRANSCRIPT
REGULASI PEMERINTAH
ORDE BARU TERHADAP AGAMA
KHONGHUCU DI INDONESIA(1966-1998)
Skripsi
Oleh:
AHMAD AINUT TAUFIQ
1112032100003
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “REGULASI PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP
AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA (1966 – 1998)” telah diujikan dalam sidang
munaqasah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus
pada 22 Oktober 2018 di hadapan dewan penguji. Skripsi ini diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata (S1) pada Jurusan Studi Agama-Agama.
Jakarta, 28 Januari 2019
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Sekretaris
Dr. Media Zainul Bahri, MA Drs. Halimah SM, MA
NIP 19751019 200312 1 003 NIP 19590413 199603 1 001
Anggota
Penguji I Penguji II
Di bawah bimbingan
Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis
NIDK 8821280018
iii
LEMBAR PERSETUJUAN
REGULASI PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP AGAMA KHONGHUCU DI
INDONESIA (1966 – 1998)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh:
Ahmad Ainut Taufiq
NIM: 1112032100003
Di bawah Bimbingan:
Prof. Dr. H. M. Ridwan Lubis
NIDK. 8821280018
PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ahmad Ainut Taufiq
NIM : 1112032100003
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Regulasi Pemerintah
Orde Baru Terhadap Agama Khonghucu di Indonesia (1966-1998)” adalah
benar merupakan hasil karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat
dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini
telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi. Saya bersedia melakukan
proses yang semestinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku jika
ternyata skripsi ini sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang
lain.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan semestinya.
Jakarta, 15 Oktober 2018
Ahmad Ainut Taufiq
1112032100003
iv
ABSTRAK
Ahmad Ainut Taufiq Judul Skripsi : Regulasi Pemerintah Orde Baru Terhadap Agama Khonghucu Di Indonesia (1966-1989) Negara menjamin kebebasan memeluk agama menurut kepercayaan masing-masing. Hal ini dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Pasal 28 E ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang bebas memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Didalam falsafah bangsa sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia menjunjung tinggi nilai ketuhanan.
Kajian pokok penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana Regulasi Pemerintah Orde Baru Terhadap Agama Konghucu serta dampak kebijakan tersebut. Dalam hal ini yang menjadi subjek penelitian ini adalah keluarnya Regulasi Pemerintah Orde baru terhadap Agama Konghucu serta bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap Agama Khonghucu di Indonesia.
Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Orde Baru yang di nilai mengandung makna diskriminatif terhadap kelompok tertentu dalam hal ini agama Khonghucu. sedangkan objek kajiannya adalah Regulasi Pemerintah Orde Baru terhadap Agama Konghucu Di Indonesia (1966-1998) mengunakan metode kualitatif dengan menggunakan studi kepustakaan. Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu dengan pendekatan fenomenologis dan pendekatan historis.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru terhadap Agama Konghucu di Indonesia di nilai sangat diskriminatif, dampaknya sehingga kebebasan agama Konghucu di ruang publik di batasi aktivitasnya.
Kata kunci: Regulasi, Orde Baru, Agama Khonghucu.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta berkahnya sehingga penulis telah menyelesaikan skripsi
ini. Dalam pengantar skripsi ini penulis hendak memberikan serangkaian terima
kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu penulisan
menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat menempuh Strata 1 (S1) ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Dekan Fakultas Ushuluddin Prof. Dr. Masri
Mansoer dan Kajur Bapak Media Zainul Bahri, MA serta Sekjur Ibu Halimah,
Jurusan Studi Agama-Agama atas semua bimbingan dari beliau menyelesaikan
tahap demi tahap mengajukan proposal hingga berlanjut dengan penulisan skripsi.
Berikutnya terima kasih sedalam-dalamnya saya tunjukan kepada
Pembimbing Skripsi, Bapak Prof. Dr. H.M. Ridwan Lubis, MA yang senantiasa
mengarahkan serta membimbing sampai terselesaikannya skripsi ini, tanpa ada
bimbingan serta arahan dari beliau penulis belum tentu bisa menyelesaikan
skripsi.
Ungkapan terima kasih setulus hati juga tak lupa penulis sampaikan kepada
kedua orang tua, yang tidak ada henti-hentinya mendidik penulis karena dari
didikan kedua orang tua penulis bisa menempuh pendidikan sampai jenjang S1,
bahwa Bapak AH. Mizan dan Ibu Masri’ah selalu mendidik penulis dengan penuh
kesederhanaan dan rendah hati, mendorong secara moril maupun materil sehingga
semangat penulis untuk bias berbakti dan bias membahagiakannya menjadikan
candu dalam menjalani masa depan serta cita-cita sebagai anak terdepan yang bias
mengangkat nama baik keluarga.
Tidak lupa juga penulis sampaikan terima kasih kepada senior-guru serta
orang tua kedua penulis, Bapak Firman Seobagyo SE, MH. DPR RI Komisi II dan
Bupati Pati, Bapak Haryanto SH, MM, MSi yang selalu mengarahkan serta
membimbing penulis dalam menjalankan kesibukannya di luar kuliah. Kedua
tokoh Kabupatan Pati ini yang selalu menjadi panutan langkah pengabdian
vi
penulis, serta tak lupa jajaran IKKP Jakarta (Ikatan Keluarga Kabupaten Pati);
FORMASI PATI (Forum Koordinasi Mahasiswa Pati Se-Jabodetabek); IMPSI
(Ikatan Mahasiswa Pati Se-Indonesia).
Kepada Sri Endah Sariningsih, S.Pd, yang telah menemani, membantu,
memberikan motivasi serta nasehat, kasih sayang, kesabaran, dan selalu menekan
serta mengingatkan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Tak
lupa juga rekan-rekan seperjuangan, Faridur Rahman, Kholis, Nadhif, Abdillah,
Adi, Rifai, Ardin, Wakid (UI), Tomy, Arga, Jihan, Angga, (STAN), Puguh,
Anggit, Zaenuri, Saik, Habib (IPB), Ketua Umum Mahasiswa Pati, Jakarta,
Bandung, Jogja, Solo, Salatiga, Semarang, Malang, Surabaya, dan Pati. Tak lupa
kepada Presma IPMAFA PATI, Presma STAIP PATI, Presma STIMIK PATI,
KMF Jakarta Wiwit Piko, Iqbal, Cecep, Wafa, Akib, KPA (Keluarga
Perbandingan Agama), Jamil, Guruh, Ijank, Mardi, Gilang, Eky, Lia, Sairi, dan
lainnya yang tak bisa disebutkan satu persatu. Dema Universitas Syarif
Hidayatullah Jakarta 2016, Darda, Ova, Abun, Pasha, Bama, Khotib, Irvan,
Gunawan, Niha, Jaja, Awalludin, Irfan, Baharrudin dan Keluarga Compass
Center.
Dalam perjalanan Intelektual di Program Studi Agama-Agama penulis
banyak termotivasi dari kawan-kawan Angkatan 2012, kepada MATAKIN dan Js.
Sugiandi Surya Atmaja yang telah memberikan informasi serta refensi sehingga
penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan lulus di waktu yang tepat.
Jakarta, Januari 2019
Penulis
vii
viii
HALAMAN JUDUL .........................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ...............................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................iii
LEMBAR PERNYATAAN ..............................................................................iv
ABSTRAK .........................................................................................................v
KATA PENGANTAR .......................................................................................vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................................1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................7
C. Pembatasan Masalah ...............................................................................8
D. Rumusan Masalah ...................................................................................8
E. Tujuan Penelitian.....................................................................................9
F. Kajian Terdahulu .....................................................................................10
G. Kajian Teoretis ........................................................................................11
1. Teori Pemerintahan ...........................................................................11
a. Pengertian Pemerintahan Secara Umum .....................................11
b. Pengertian Pemerintahan dalam Agama Khonghucu ..................13
2. Teori Kebijakan Publik .....................................................................14
a. Pengertian Kebijakan ..................................................................14
b. Pengertian Kebijakan Publik .......................................................16
3. Teori Orde Baru ................................................................................17
4. Teori Agama Khonghucu ..................................................................18
a. Pengertian Agama Khonghucu....................................................18
H. Metodologi Penelitian .............................................................................20
1. Jenis Penelitian ..................................................................................20
2. Teknik Pengumpulan Data ................................................................20
3. Pendekatan Penelitian .......................................................................21
I. Manfaat Penelitian...................................................................................22
J. Sistematika Penulisan ..............................................................................22
BAB II KEBERADAAN AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA .........24
ix
A. Kedudukan Khonghucu: Agama dan Budaya .........................................24
B. Ajaran Agama Khonghucu ......................................................................29
1. Ajaran tentang Tuhan Yang Maha Esa .............................................34
2. Thian Li .............................................................................................35
3. Thian Ming ........................................................................................35
4. Ajaran tentang Keimanan ..................................................................36
5. Ajaran tentang Hidup Sesudah Mati .................................................37
C. Perkembangan Umat Khonghucu di Indonesia .......................................38
D. Tantangan yang Dihadapi Umat Khonghucu ..........................................47
BAB III REGULASI PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP AGAMA
KHONGUCU DI INDONESIA (1966-1988) ...................................................53
A. Ketetapan MPRS RI Nomor XXVII/MPRS/1966 ..................................53
B. Intruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, Tentang Agama, Kepercayaan,
dan Adat Istiadat Cina yang Melarang Segala Aktivitas Berbau Tionghoa
.................................................................................................................56
C. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 6 Tahun 2000, Tentang
Pencabutan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 Tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina ......................................................58
BAB IV DAMPAK KEBIJAKAN DISKRIMINASI TERHADAP AGAMA
KHONGHUCU ..................................................................................................61
A. Administrasi Kependudukan ...................................................................61
B. Kelembagaan Agama Khonghucu...........................................................66
C. Keberadaan Agama Khonghucu dalam Organisasi Pemerintah .............78
D. Alasan Orde Baru Mengeluarkan Agama Khonghucu dari Agama yang
Dilayani Pemerintah ................................................................................82
E. Tanggapan Umat Khonghucu terhadap Kebijakan Pemerintah ..............84
BAB V PENUTUP .............................................................................................87
A. Kesimpulan .............................................................................................87
B. Saran ........................................................................................................88
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................90
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Memeluk suatu agama adalah salah satu bentuk Hak Asasi Manusia. Hal
tersebut dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pasal 28 E ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang bebas
memeluk dan beribadat menurut agamanya.1Indonesia yang terbentang dari
Sabang hingga Merauke menunjukkan keberagaman kekayaan yang sangat luar
biasa. Suku bangsa, ras, agama dan budaya menjadikan sebuah kekuatan yang
besar bagi negara Indonesia. Dalam ideologi bangsa, sila pertama yang berbunyi
“Ketuhanan Yang Maha Esa” memperlihatkan betapa masyarakat Indonesia
yang menjunjung tinggi adanya ketuhanan.
Agama merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan bahkan
sebagai pedoman/pegangan yang pasti bagi suatu individu dalam menjalani
kehidupan. Oleh karena itu, keberagaman agama perlu dipahami mengingat
pentingnya arti toleransi antar sesama umat manusia demi terciptanya kehidupan
yang rukun dan damai.
Pergantian Orde Baru ke Era Reformasi, melalui Undang-Undang Nomor
20 Tahun 1999, meratifikasi Kovenan Internasional tentang Penghapusan
Diskriminasi Rasial. Akibatnya memang terjadi perubahan yang signifikan
dalam hal eksistensi warga keturunan Tionghoa. Ratifikasi ini merupakan
1Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 28 E ayat (1).
1
2
langkah lanjutan yang ditempuh Habibie setelah sebelumnya ia sempat membuat
pengakuan dan penyesalan tentang Peristiwa Mei 1998.2
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang menggantikan Habibie pada tahun
1999, pada tahun 2000 mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000
yang memperbolehkan orang Tionghoa menjalankan segala bentuk ekspresi
kebudayaan Tionghoa, termasuk mempelajari bahasa Mandarin beserta
aksaranya. Bukan hanya itu, perayaan Imlek juga dinyatakan sebagai hari libur
nasional.3
Dalam perspektif historis, Agama Khonghucu masuk ke Indonesia
berdasarkan bukti-bukti sejarah dapat diketahui bahwa hubungan antara
Tiongkok dan Indonesia sudah terjadi pada zaman prasejarah sehingga mencapai
akulturasi yang relatif sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa kedatangan orang-
orang Tiongkok ke-Nusantara diterima secara terbuka. Oleh karena itu sejak
tahun 136 S.M Agama Kongfusius ditetapkan sebagai agama negara, maka
orang-orang Cina yang datang ke Indonesia pada masa-masa sesudahnya juga
membawa sistem budaya dan religi Konfusianisme, yang di Indonesia dikenal
dengan sebutan Khong Hu Cu. Para perantau Cina ini menyebar di beberapa
kepulauan Nusantara, dan mendirikan lembaga-lembaga agama seperti rumah
abu untuk menghormati arwah leluhur dan kelenteng-kelenteng. Demikianlah, di
Ujung Pandang, Manado, Jakarta, Tuban, Rembang, Lasem dan sebagainya
2I. Wibowo dan Thung Jua Lan, Setelah Air Mata Kering, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010) h. 169 – 170.
3I. Wibowo dan Thung Jua Lan, Setelah Air Mata Kering, h. 170.
3
dapat ditemukan kelenteng-kelenteng yang usianya sudah sangat tua.4 Pada
zaman penjajah perkembangan agama khongfusius di Indonesia ditandai dengan
berdirinya beberapa organisasi yang berusaha untuk memejukan agama tersebut
dikalangan para pemeluknya pada tahun 1918 berdiri sebuah lembaga
khonghucu yang disebut dengan Khong Kauw Hwee, yang pada tahun 1925
mendirikan sebuah lembaga agama. Untuk mempersatukan paham konfusius di
Indonesia dilakukan Konferensi-konferensi yang diselenggarakan di beberapa
kota seperti Yogyakarta dan Bandung dan sebagainya. Akan tetapi, dengan
meletusnya perang dunia II dan masuknya Jepang di Indonesia, kegiatan-
kegiatan Khong Kauw Hwee secara nasional menjadi praktis berhenti.
Setelah zaman kemerdekaan lembaga-lembaga agama Khonghucu yang
pada masa sebelumnya yang hampir lumpuh mulai memperlihatkan
keaktifannya kembali. Dalam konferensi yang diselenggerakan di Solo pada
tahun 1954 diputuskan untuk membangkitkan kembali organisasi Khong Kauw
Hwee yang pernah dibentuk pada tahun1923. Konferensi berikutnya yang
dilakukan di kota yang sama tepatnya di Solo membentuk sebuah lembaga
tertinggi agama Khonghucu di Indonesia dengan nama “Perserikatan Kung
Chiao Hui Indonesia (PKCHI)”. Terbentuknya organisasi ini menandakan awal
babak baru dalam sejarah agama Khonghucu di Indonesia.
Dalam kongresnya keempat diselenggarakan padatahun 1961, PKCHI
memutuskan untuk mengirim utusan menghadap Menteri Agama R.I pada waktu
itu untuk memohon bahwa agama Khonghucu diakui dalam Kementerian
4Simuh, “Agama Khonghucu,” dalam Mukti Ali, Edisi., Agama-Agama Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998, Cet. Pertama), h. 229.
4
Republik Indonesia, di samping merubah nama PKCHI menjadi Agama Sang
Khonghucu Indonesia” disingkat LASKI. Namun nama tersebut tidak lama
kemudian di ubah menjadi “Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu
Indonesia” di singkat GAPAKSI pada tahun 1963. Satu tahun berikutnya
diselenggarakan Musyawaroh Nasional Rohaniawan 1 Agama Khonghucu di
Ciamis, yang membahas tata cara Agama dan penyeragamannya diseluruh
Indonesia. dalam kongres yang kelima tahun 1964 nama GAPAKSI di ubah
menjadi “Gabungan Perhimpunan Agama Khonghucu se- Indonesia” dengan
singkatan yang sama. Tetapi tiga tahun kemudian nama GAPAKSI di ubah
kembali menjadi “ Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia” disingkat
MATAKIN sampai sekarang.5
Dalam Perspektif Regulasi Negara, pada masa Orde Lama keberadaan
agama Khonghucu diakui seperti tercantum dalam UU No 1/Pn.Ps/1965
menyatakan bahwa agama-agama yang banyak pemeluknya di Indonesia antara
lain Islam,Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.6 Agama
Khonghucu sempat mengalami hambatan dalam perkembangannya namun pada
masa pemerintahan Orde Baru, agama Khonghucu dilarang oleh
pemerintah,sehingga aktivitas keagamaan umat Khonghucu menjadi terhambat.
Diskriminasi umat Khonghucu mulai dirasakan dengan diterbitkannya Instruksi
Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan,dan Adat Istiadat
Cina yang melarang segala aktivitas berbau Tionghoa, Intruksi Presiden
Republik Indonesia No.14 Tahun 1967 menimbang: agama kepercayaan dan
5Simuh, “Agama Khonghucu,” h. 229 – 230. 6Lihat UU No 1/Pn.Ps/1965.
5
adat istiadat Cina di Indonesia yang berpusat di leluhurnya, yang dalam
manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psikologis, mental dan moral yang
kurang wajar. Presiden mengintruksikan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri
dan segenap badan alat pemerintah pusat maupun daerah utuk melaksanakan
kebijakan pokok mengenai agama kepercayaan dan adat istiadat Cina sebagai
berikut: Pertama,tanpa mengurangi jaminan keleluasaan memeluk agama dan
menunaikan ibadahnya, tata cara ibadat Cina yang memiliki aspek afinitas
culturil yang berpusat pada negeri leluhurnya, pelaksanaannya harus dilakukan
secara intern dalam hubungan keluarga atau perorangan; Kedua, perayaan-
perayaan pesta dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak menyolok di depan
umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga; Ketiga:penentuan
kategori agama dan kepercayaan maupun pelaksanaan cara-cara ibadat agama,
kepercayaan dan adat istiadat Cina di atur oleh Menteri Agama setelah
mendengar pertimbangan Jaksa Agung (PAKEM); Keempat, pengamanan dan
penertiban terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pokok ini diatur oleh Menteri
Dalam Negeri bersama-sama Jaksa Agung; Kelima, intruksi ini mulai berlaku
pada hari di tetapkan pada tanggal 6 Desember 1967 (terhadap warga Indonesia
sehingga merupakan hambatan asimilasi, perlu diatur serta di tempatkan
fungsinya pada proporsi yang wajar.7
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 447/74054/BA.01.2/4683/95
Tanggal 18 November 1978 yang menyebutkan bahwa agama yang diakui oleh
pemerintah adalah Islam, Kristen, Khatolik, Hindu dan Buddha. Maka mulai saat
7Lihat Intruksi Presiden Republik Indonesia No 14 Tahun 1967.
6
itu agama Khonghucu mulai tidak jelas keberadaan statusnya di Indonesia, hal
ini menyebabkan penganut agama Khonghucu pindah ke agama lain seperti
Kristen, Khatolik dan Buddha.8
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang terdiri dari berbagai
suku bangsa, budaya, bahasa dan agama yang berbeda-beda. Kedatangan mereka
ke Indonesia menjadi sebuah proses alami yang akhirnya membuat mereka
memutuskan untuk menetap di Indonesia.
Nampak bahwa agama Khonghucu di Indonesia memiliki kegiatan-
kegiatan yang tidak pernah berhenti sejak awal kedatangannya di Indonesia.
berbeda dengan kebanyakan agama di Indonesia. Karena agama Konghucu
hanya memiliki satu naungan organisasi yang sangat kuat dan solid selain itu,
fasilitas yang cukup menjadikan agama Khonghucu tetap hidup meskipun
beberapa terpaan dari luar yang mengakibatkan agama ini fakum namun bisa di
perbaiki sehingga bisa berkembang sampai sekarang. 9
Dari paparan latar belakang diatas, maka penulis akan mengkaji
“Regulasi Pemerintah Orde Baru Terhadap Agama Khonghucu Di
Indonesia (1966-1998)”.
8Lihat Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 447/74054/BA.01.2/4683/95 Tanggal 18 November 1978.
9Simuh, “Agama Khonghucu”, h. 230.
7
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah diperlukan untuk memperjelas permasalahan
penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat
diidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1. Warga Negara Indonesia merupakan warga negara yang terdiri dari
berbagai suku bangsa, budaya, bahasa dan agama yang berbeda-beda.
2. Pada masa orde baru, hak untuk hidup etnis Tionghoa di Indonesia sangat
dibatasi oleh pemerintah. Dapat dilihat dalam Instruksi Presiden Nomor
14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina
yang melarang segala aktivitas berbau Tionghoa sehingga segala macam
kegiatan ibadah tidak bisa sembarangan dilakukan ditempat ibadah
mereka hanya bisa menjalankan diruang lingkup keluarganya (didalam
rumah).
3. Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang memperbolehkan orang
Tionghoa menjalankan segala bentuk ekspresi kebudayaan Tionghoa
yang dikeluarkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
4. Kebijakan Pemerintah setelah tahun 2006 dengan keluarnya Surat Menag
kepada Mendagri dan Mendiknas tanggal 24 Februari 2006, surat ini
keluar sebagai tindaklanjut dari surat Menteri Agama, yang mana
ditunjukkan kepada gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia.
8
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka ruang lingkup masalah
hanya dibatasi sebagai berikut:
1. Negara Indonesia sangat menjunjung tinggi adanya perbedaaan.
2. Segala bentuk aktivitas yang berbau Tionghoa dilarang di ruang publik,
hanya bisa dijalankan diruang lingkup keluarganya (di dalam rumah).
3. Kebebasan etnis tionghoa menjalankan aktivitasnya diruang publik.
4. Institusi negara melayani warga agama Konghucu yang ingin mempunyai
kartu keluarga, kartu tanda penduduk, serta mencatatkan pernikahannya.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah diuraikan diatas, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana regulasi pemerintahan pada era orde baru (1966-1998)
terhadap Agama Khonghucu di Indonesia?
2. Apa dasar kebijakan Pemerintahan Orde Baru terhadap Agama
Konghucu pada era Orde Baru?
3. Bagaimana dampak regulasi Pemerintahan pasca Orde Baru terhadap
penganut Agama Konghucu di Indonesia?
9
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Pemerintah orde baru mengeluarkan regulasi, Inpres, Keppres dan surat
edaran melalui beberapa kementerian untuk menutup ruang gerak Agama
Konghucu di Indonesia.
2. Dasar kebijakan Pemerintah Orde Baru terhadap Agama Konghucu
adalah pada tahun 1965 umat konghucu dianggap pro terhadap organisasi
terlarang Partai Komunis Indonesia meskipun sampai saat ini tidak ada
satupun yang bisa membuktikan bahwa Agama Konghucu atau Etnis
Tionghoa terlibat dalam kerusuhan G30S. Sedang yang kedua, Agama
Konghucu dianggap pro dengan Pemerintah Cina.
3. Dampak regulasi Orde Baru terhadap Agama Konghucu di Indonesia,
umat Konghucu mengalami trauma yang sangat mendalam, salah satu
bukti bahwa umat Konghucu mengalami trauma ialah hampir dalam
masa Orde Baru Etnis Tionghoa tidak ada satupun orang tua yang
mengarahkan anak-anaknya untuk mengambil jurusan politik dan
pemerintahan. Kedua mereka mengalami penyakit asosial yang
diperspsikan didalam lingkungan masyarakat. Ketiga segala aktifitas
ibadah dan budaya yang berbau Cina dilarang dan dibatasi ruang
geraknya.
10
F. Kajian Terdahulu
Sebelum melakukan penelitian tentunya peneliti mencari terlebih dahulu
penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai Regulasi
Pemerintahan Orde Baru terhadap Agama Khonghucu di Indonesia, agar
memiliki dasar pemikiran yang cukup kuat. Dengan pertimbangan tersebut,
maka peneliti menuliskan berbagaipenelitian yang telah dilakukan sebelumnya
antara lain:
Pertama, Politik Hukum Pemerintahan Indonesia Terhadap Agama
Khonghucu Era Orde Baru Hingga Era Reformasi (1967-2014). Merupakan
penelitian tesis yang ditulis oleh Sugiandi Surya Atmaja, Mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Jurusan Perbandingan Agama Tahun 2015. Tesis ini
menjelaskan bagaimana perjalanan Agama Khonghucu dari tahun 1967 hingga
tahun 2014.
Kedua, sejarah agama Khonghucu dari masa Orde Baru sampai Masa
Reformasi hingga perkembangannya setelah diakui sebagai agama di Indonesia
dengan menggunakan metode deskriptif analisis yang di tulis oleh Gunawan
Saidi mahaiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Perbandingan Agama tahun
2009. Skripsi ini menjelaskan sejarah agama Khonghucu dari masa Orde Baru
sampai masa Reformasi hingga perkembangannya setelah diakui sebagai agama
di Indonesia.
Ketiga, Dampak Perkembangan Agama Khonghucu Pasca Reformasi
(Studi Kasus Pindah Agama Umat Budha di Tangerang). Penelitian oleh Sabar
Sukarno, S.Ag., M.Pd.B., M.M. Menjelaskan bagaimana dampak perkembangan
11
Agama Khonghucu terhadap agama Buddha di Tangerang dalam aspek pemeluk
agama, tempat ibadah, organisasi, dan sosial.
G. Kajian Teoretis
1. Teori Pemerintahan
a. Pengertian Pemerintahan Secara Umum
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pengertian pemerintah
adalah sistem menjalankan wewenang dan kekuasaan mengatur kehidupan
sosial, ekonomi dan politik suatu negara atau bagian-bagiannya; (2) sekelompok
orang yang secara bersama-sama memikul tanggung jawab terbatas untuk
mengunakan kekuasaan; (3) penguasa suatu negara (bagian negara).10
Sistem Pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu struktur yang terdiri
dari fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif yang saling berhubungan,
bekerja sama dan memperngaruhi satu sama lain. Secara demikian sistem
pemerintahan adalah cara kerja lembaga-lembaga negara satu sama lainnya.
Menurut Jimly Asshidiqie, sistem pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu
sistem hubungan antara lembaga-lembaga negara. Sedangkan menurut Sri
Soemantri, Sistem Pemerintahan adalah hubungan antara lembaga legislatif dan
eksekutif.11 Berikut beberapa pengertian Pemerintahan menurut para ahli:12
Menurut, J.S.T. Simorangkir Pemerintahan adalah sebagai organ (alat)
negara yang menjalankan tugas (fungsi) dan pengertian pemerintahan sebagai
10Sutan Mohammad Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), h.131.
11Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 2, Juni 2013, h. 337. 12Anonim, Definisi Pemerintahan Menurut Para Ahli, 19 Maret 2014,
https://idtesis.com/pemerintahan_menurut_para_ahli/, (Diakses pada tanggal, 02 Maret 2018, Pukul 18.34 WIB).
12
fungsi daripada pemerintah.. Muh. Kusnardi berpendapat, pemerintahan adalah
segala urusan yang dilakukan oleh negara dalam menyelenggarakan
kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan yang tidak hanya menjalankan tugas
eksekutif saja melainkan juga meliputi tugas-tugas lainya, termasuk legistlatif
dan yudikatif. Selanjutnya, U. Rosenal, Pemerintahan adalah ilmu yang
menggeluti studi tentang penunjukan cara kerja kedalam dan keluar struktur dan
proses pemerintahan umum. Menurut H.A. Brasz, Pemerintahan diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari tentang cara bagaimana lembaga pemerintahan
umum itu disusun dan difungsikan baik secara kedalam maupun keluar terhadap
warganya.W.S. Sayre berpandangan, Pemerintahan definisinya sebagai
organisasi dari negara yang memperlihatkan dan menjalankan kekuasaannya.. R.
Mac Iver, Pemerintahan adalah ilmu tentang bagaimana cara manusia-manusia
dapat diperintah. dan bagi Syafie Inu Kencana, Pemerintahan adalah ilmu yang
mempelajari bagaimana melaksanakan pengurusan (eksekutif), pengaturan
(legistlatif), kepemimpinan dan koordinasi pemerintahan (baik pusat dengan
daerah maupun rakyat dengan pemerintahnya) dalam berbagai peristiwa dan
gejala pemerintahan, secara baik dan benar.
Pemahaman pemerintah dalam arti sempit ditunjukan kepada lembaga
eksekutif yaitu Presiden dan wakilnya. Sedangkan pemerintah sebagai segala
kegiatan lembaga negara yang terdiri dari lembaga-lembaga eksekutif, legislatif
dan yudikatif. Disamping itu dari segi struktural fugsionalnya pemerintah dapat
didefinisikan pula sebagai suatu sistem struktur dan organisasi dari berbagai
macam fungsi yang dilaksanakan atas dasar-dasar tertentu untuk, fungsi, tugas
13
dan kewajiban yang dijalankan oleh lembaga eksekutif. Sedangkan dalam arti
luas, pengertian pemerintah mencakup aparatur negara yang meliputi semua
organ-organ, badan-badan dan lembaga-lembaga perlengkapan negara yang
melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan negara. Dalam arti luas
pengertian pemerintah adalah segala kegiatan yang terorganisir yang bersumber
pada kedaulatan dan kemerdekaan, berlandaskan pada dasar negara, rakyat atau
penduduk dan wilayah negara itu demi tercapainya tujuan negara.13
Dari beberapa pengertian pemerintahan dari beberapa ahli, maka dapat
disimpulkan bahwa, pemerintahan adalah sistem kekuasaan yang digunakan
untuk mengatur dan menjalankan sebuah negara.
b. Pengertian Pemerintahan dalam Agama Khonghucu
Dalam bingkai Khonghucu, inti ajaran Khonghucu terpilah atas empat
dimensi, yaitu: 1. Reliji, 2. Filosofi, 3. Pendidikan dan Pemerintahan. Dari
dimensi keempat itulah banyak ajaran Khonghucu yang menjabarkan tentang
peran pemerintah dalam membangun negara dan menjalankan pemerintahan yang
baik demi kesejahteraan rakyat. Pemerintah dan pemerintahan sebenarnya sebuah
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, meskipun memang ada sebuah perbedaan.
Pemerintah merujuk pada sosok pemimpin, sedangkan pemerintahan adalah
bidan tugas yang diemban seorang pemimpin. Untuk itu, didalam pemerintahan
perlu adanya pemimpin yang beretika, bermoral, berintregritas, arif dan
13Sugiandi Surya Atmaja, Politik hukum pemerintah Indonesia terhadap Agama Khonghucu, h. 57-58.
14
bijaksana, yang memiliki sifat-sifat junzi (insan kamil) menjadi sangat penting,
demi mewujudkan tercapainya good gavernment di dalam sebuah negara.
Menurut ajaran Khonghucu, untuk menciptakan pemerintahan yang baik
dan teratur dalam sebuah negara harus diisi oleh manusia-manusia yang
berkualitas, memiliki leadership yang teruji dengan melewati sebuah proses dari
memegang jabatan rendah kemudian tinggi, dari kesulitan yang sederhana
hingga kesulitan yang komplek. Sesuai dengan sabda Nabi Kongzi, “.....untuk
mencapai 1000 li perjalanan harus dimulai dari 1 langka.....”. Ini dapat
dibuktikan bagaimana seorang pemimpin dalam memimpin diri sendiri dan
keluarga. Hal tersebut dapat kita pelajari Sishu bagian kitab Ajaran Besar bab
utama ayat 4 yang menjelaskan bagaimana langkah orang-orang jaman dahulu
melakukan hal tersebut.14
2. Teori Kebijakan Publik
a. Pengertian Kebijakan
Duun menjelaskan bahwa secara etimologis, istilah kebijakan atau policy
berasal dari bahasa Yunani, Sansekerta, dan Latin. Akar kata dalam bahasa
Yunani dan Sansekerta polis (negara kota) dan pur (kota) yang dikembangkan
dalam bahasa Latin menjadi politia (negara) dan akhirnya dalam bahasa Inggris
policy, yang berarti menangani masalah-masalah publik atau administrasi
pemerintahan.15
14Sugiandi Surya Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu, (Surabaya: PT. REVKA PETRA MEDIA), h. 59-60.
15Moh. Alifuddin, Kebijakan Pendidikan Nonformal Teori, Aplikasi dan Implikasi, (Jakarta: MAGNA Script Publishing), h. 5.
15
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kebijakan berasal dari
kata bijak, yang berarti pandai, mahir, selalu mengunakan akal budi. Kata bijak
ini diberi imbuhan ke-an menjadi kebijakan yang berarti kepandaian,
kemahiran.16
Sejalan dengan itu, kebijakan memberikan prinsip pedoman bagi bidang
pembuatan dan pengalihan keputusan. Misalnya, keputusan khusus yang
menyangkut kebijakan HRM (Human Resources Management) dapat mencakup:
memberikan prioritas pada promosi dari dalam organisasi; menerapkan usia
pensiun; kapan saja, hanya mempekerjakan akuntan sarjana atau yang bermutu
secara profesional; dan mengizinkan manajer garis depan melalui konsultasi
dengan manajer HRM untuk mengangkat staf menurut tingkat gaji/upah
tertentu.17
Dari batasan pengertian atau definisi tersebut dapat disarikan bahwa
kebijakan merefleksikan pedoman bertindak yang menguraikan sasaran penting
dan secara luas menunjukkan bagaimana aktivitas dapat dikerjakan serta
menunjukkan bagaimana aktivitas dapat dikerjakan serta menunjukkan standar
tingkah laku yang mengakibatkan orang-orang mengambil tindakan dengan cara
tertentu.18
16Sutan Mohammad Zain, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm 131.
17Moh. Alifuddin, Kebijakan Pendidikan Nonformal Teori, Aplikasi dan Implikasi, h. 6. 18Moh. Alifuddin, Kebijakan Pendidikan Nonformal Teori, Aplikasi dan Implikasi, h. 7.
16
b. Pengertian Kebijakan Publik
Solichin Abdul Wahab mengemukakan bahwa istilah kebijakan sendiri
masih menjadi silang pendapat dan merupakan ajang perdebatan para ahli. Maka
untuk memahami istilah kebijakan, Solichin Abdul Wahab (2008: 40-50)
memberikan beberapa pedoman sebagai berikut:
- Kebijakan harus dibedakan dari keputusan;
- Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari administrasi;
- Kebijakan mencakup perilaku dan harapan-harapan;
- Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan atau pun adanya tindakan;
- Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai;
- Setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik eksplisit maupun
implisit;
- Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang waktu;
- Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjnag waktu;
- Kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antar-organisasi dan
yang bersifat intra organisasi;
- Kebijakan publik meski tidak eksklusif menyangkut peran kunci lembaga-
lembaga pemerintah; dan
- Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif.
Lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai
bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, hukum, dan
sebagainya. Di samping itu dilihat dari hirarkinya, kebijakan publik dapat
bersifat nasional, regional maupun lokal seperti undang-undang, peraturan
pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan pemerintah
17
daerah/provinsi, keputusan gubernur, peraturan daerah kabupaten/kota, dan
keputusan bupati/walikota. Secara terminologi pengertian kebijakan publik
(public policy) itu ternyata banyak sekali, tergantung dari sudut mana kita
mengartikannya.19
3. Teori Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi pemerintahan Presiden Soeharto, Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada pemerintahan Soekarno.
Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya surat perintah 11 Maret 1966
oleh Presiden Seokarno kepada Jendral Soeharto. Keluarnya Supersemar (surat
perintah sebelas Maret) terjadi pada serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret
1966. Dengan Supersemar inilah Presiden Seoharto mengatasi keadaan yang
serba tidak menentu dan sulit terkendali.20 Supersemar menjadi alat legitimasi
yang sangat efektif bagi angkatan darat dipanggung politik. Dengan
mengeluarkan Surat Perintah ini Presiden Soekarno praktis kehilangan kekuasaan
meskipun masih resmi menjabat, kekuasaannya beralih kepada Soeharto sebagai
pemegang tampuk pemerintahan sementara. Maka saat itulah dimulainya babak
baru sejarah Orde Baru.21
Orde baru memiliki keinginan sebagai upaya mencapai tatanan kehidupan
seluruh rakyat, bangsa, dan negara yang diletekkan pada kemurnian pelaksanaan
Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen, atau sebagai upaya perbaikan
19Taufiqurokhman, Kebijakan Publik, (Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Moestopo Beragama (Pers)), h. 2-3.
20Sugiandi Surya Atmaja, Politik hukum pemerintah Indonesia terhadap Agama Khonghucu, (Surabaya pt revka petra media, 2015), h. 141-142.
21Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persabda, 2012), h. 197.
18
terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi pada masa demokrasi
terpimpin atau Orde Lama. Sebagaimana dirumuskan dalam Seminar II Angkatan
Darat. Orde Baru berlangsung dari Tahun 1966 sampai dengan 1998, tepatnya
dimulai dari tahun 1967 dan tahun 1968 dalam sidang MPRS Presiden Soeharto
dilantik dengan masa jabatan 5 tahun. Kemudian berturut-turut menjabat sebagai
Presiden, dari tahun 1973, 1978, 1988, 1993, dan pada tahun 1998 terjadi krisis
moneter, kerusuhan dimana-mana, ketidakstabilan negara dan semaraknya demo-
demo mahasiswa yang memaksa mundur Presiden Seoharto serta didudukinya
gedung DPR, kondisi tersebut yang akhirnya membuat Presiden Soeharto
terpaksa mundur dari jabatannya. Orde Baru mengandung arti tatanan yang baru,
menuju harapan yang baru. Akan ada perubahan baik dari masa yang lama
menuju masa yang baru.22
4. Teori Agama Khonghucu
a. Pengertian Agama Khonghucu
Dalam Agama Khonghucu, definisi agama adalah sebagai bimbingan
manusia di dunia untuk menempuh Jalan Suci, sebagaimana disabdakan sebagai
berikut:
tiān mìng zhī wèi xìng shuài xìng zhī wèi
天命之谓性率性之谓
dào xiū dào zhī wèi jiào
22Sugiandi Surya Atmaja, Politik hukum pemerintah Indonesia terhadap Agama Khonghucu. h. 142-143
19
道修道之谓教
“Firman Tian – Thian itulah dinamai Watak Sejati. Hidup mengikuti Watak
Sejati itulah dinamai menempuh Jalan Suci. Bimbingan menempuh Jalan Suci
itulah dinamai Agama.”23
Ayat tersebut dapat dotafsirkan bahwa Tian, Tuhan Yang Maha
memberikan firmanNya kepada manusia berupa benih-benih sifat yang baik
berupa; Cinta Kasih, Susila, Kebenaran, dan Bijaksana. Perilaku ke empat benih
sifat baik Tian dalam diri manusia ini dapat kita sebut Watak Sejati.
Menjalankan hidup sebagai Watak Sejati adalah kodrat manusia agar dapat
menempuh Jalan Suci. Manusia sering kali tidak sadar untuk menjalankan
kodratnya ini, untuk itu diperlukan agama sebagai pembimbing manusia agar
tetap hidup di dalam Jalan Suci. Selain Tian memberikan Watak Sejati, Tian
juga memberikan keinginan nafsu sebagai penyeimbang daya hidup jasmani
yang berupa sifat; Gembira, Sedih, Marah, dan Senang. Keempat benih nafsu ini
tidak seharusnya dituruti keinginanya, akan tetapi dikendalikan dengan benih-
benih Watak Sejati.
Bila kita mendapatkan kegembiraan atas berkah yang kita dapat sudah
seharusnya diikuti dengan perbuatan Cinta Kasih; Bila kita mendapat musibah
kesedihan, misalkan sanak saudara kita meninggal; sudah seharusnya
dikendalikan dengan batasan Kesusilaan. Jangan pula berlarut-larut di dalam
kesedihan; bila marah terhadap sesuatu hal, sering kali tidak terkendali sehingga
23Sishu bagian Tengah Sempurna bab utama ayat 1.
20
melakukan tindakan yang tidak terkendali. Ini bertentangan dengan Watak Sejati
manusia dari sebuah benih kebaikan Tuhan yang disebut Kebenaran.24
H. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode (Yunani = Methodos) artinya cara atau jalan. Metode merupakan
cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu pengetahuan yang
bersangkutan. Metode penelitian ialah cara kerja meneliti, mengkaji dan
menganalisis objek sasaran penelitian untuk mencari hasil atau kesimpulan
tertentu.25 Melalui studi kepustakaan dan wawancara. Melalui studi kepustakaan
inilah peneliti mengumpulkan data dan informasi terkait bahan-bahan yang
diteliti, baik dari perpustakaan pribadi, perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Kementerian Agama RI. Sumber-sumber kepustakaan
dapat berupa: Undang-undang yang dikeluarkan pemerintah, buku, jurnal dan
lain sebagainya.
2. Teknik Pengumpulan Data
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan menggunakan metode penelitian deskriptif melalui studi
kepustakaan, yaitu metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk
memecahkan masalah aktual dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau
mengklasifikasinya, menganalisis, dan menginterpretasikannya.
24Sugiandi Surya Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia terhadap Agama Khonghucu, h. 63-64.
25Sumardi Suryabrata, Metode Penelitian (Jakarta: Rajawali Press, 1993) h. 87.
21
Studi kepustakaan merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan
menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis,
gambar maupun elektronik.
3. Pendekatan Penelitian
Pertama, Analisis Kualitatif berakar pada pendekatan fenomenologis.
Pendekatan fenomenologis yang bermula dari cara berfilsafat yang didirikan
oleh Edmund Husserl kemudian hari dipergunakan pula dalam berbagai bidang
disiplin lain, termasuk Perbandingan Agama. Joachim Wach mengatakan bahwa
Fenomenologi Agama bertujuan memahami ide-ide, kegiatan-kegiatan, tingkah
laku, dan pranata-pranata keagamaan dengan menangkap maksudnya tanpa
mendasarkan diri pada teori-teori yang sudah dipergunakan sebelumnya entah
itu teori teologis, filosofis, metafisis, atau psikologis.26
Kedua, Pendekatan Historis bertujuan untuk membuat rekonstruksi masa
lampau, secara sistematis dan objektif dengan cara mengumpulkan,
mengevaluasi, memverifikasi, dan mensistesiskan bukti-bukti untuk
menegakkan fakta-fakta dan bukti-bukti guna memperoleh kesimpulan yang
akurat.27 Pendekatan historis adalah salah satu pendekatan yang cukup “favorit”
dalam Studi Agama dan Perbandingan Agama. Pendekatan ini merupakan
pendekatan yang paling tua dan dipakai pertama kalinya untuk mempelajari,
menyelidiki, dan meneliti agama-agama baik sebelum ilmu agama menjadi
disiplin yang berdiri sendiri (otonom) atau sesudahnya. Dengan pendekatan
26Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 15.
27Suryana, Metodologi Penelitian Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Universitas Pendidikan Indonesia, 2010), h. 18.
22
historis, suatu studi berusaha menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide dan
pranata-pranata keagamaan melalui periode-periode perkembangan historis
tertentu dan menilai peranan kekuatan-kekuatan yang dimiliki agama untuk
memperjuangkan (mempertahankan) dirinya selama periode-periode itu.28
I. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian yang berjudul “Regulasi Pemerintah
Orde Baru Terhadap Agama Khonghucu Di Indonesia (1966-1998)”, yaitu
sebagai berikut:
1. Memahami lebih lanjut mengenai dampak permasalahan dari kebijakan-
kebijakan pada masa orde baru (1966-1998) yang mendiskriminasi
Agama Khonghucu.
2. Memberikan gambaran mengenai dampak dari kebijakan-kebijakan pada
masa orde baru dan setelah masa orde baru (1966-1998).
J. Sistematika Penulisan
Skripsi ini penulis bagi empat bab yaitu:
BAB I: PENDAHULUAN, yang berisi:
1. Latar Belakang Masalah,
2. Rumusan Masalah,
3. Pembatasan Masalah,
4. Tujuan Penelitian,
5. Kajian Terdahulu,
28Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama, h. 15.
23
6. Kajian Teoritis,
7. Metode Penelitian,
8. Manfaat Penelitian,
9. Sistematika Penulisan.
BAB II: Membahas sejarah agama Khonghucu di Indonesia.
BAB III: Membahas dasar-dasar kebijakan diskriminatif orde baru
terhadap Agama Khonghucu di Indonesia (1966-1998) yang mencakup
pengertian, undang-undang, pasal, keppres, inpres dan permen yang
mendiskriminasikan agama Khonghucu di Indonesia.
BAB IV: Membahas bagaimana dampak kebijakan-kebijakan
diskriminatif yang dilakukan orde baru terhadap agama Khonghucu di
Indonesia.
1. Dasar Kebijakan,
2. Dampak Kebijakan,
3. Tanggapan Umat Konghucu Terhadap Kebijakan.
BAB V: Berisi penutup yang terdiri dari dua point:
1. Kesimpulan,
2. Saran.
BAB II
KEBERADAAN AGAMA KHONGHUCU DI INDONESIA
A. Kedudukan Khonghucu: Agama dan Budaya
Ajaran Konfusius telah membentuk aspek filsafat Cina yang paling
penting pada 2.000 tahun yang lalu. Walaupun pada masa-masa pemerintah
komunis dan revolusi kebudayaan(1966-1969), pengaruh ajaran Konfusius di
Cina tetap penting. Dikatakan dengan tegas bahwa Konfusianisme bukanlah
suatu agama, melainkan kode etik, suatu cara hidup di dunia ini. Hukum moral
ini dinyatakan oleh Kung Fu-Tzu pada tahun 551-479 BCE, di barat dikenal
sebagai Konfusius.29.
Dr. Th Sumartana, Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan
Drs. Djohan Effendi, peneliti utama pada Litbang Departemen Agama Jakarta,
mengatakan bahwa Khonghucuisme atau agama Khonghucu tidak ubahnya
seperti agama lainnya di Indonesia. Menurut mereka, agama Khonghucu
mempunyai unsur ibadah atau ritual, mengajarkan moral dan etika, dan ada
dukungan dari umat yang menganut ajaran dalam melaksanakan kehidupan
sehari-hari. Menurut Sumartana, jika ada orang yang mengatakan bahwa
Khonghucu itu bukan agama, ia dapat dikatakan sebagai orang yang tidak
memahami agama tersebut atau ia salah informasi. Agama tidaklah ditentukan
29Michel Keene, “Agama-Agama Dunia”, (Yogyakarta: Konisius, 2006), h. 170.
24
25
oleh negara, tetapi bertolak dari keyakinan seseorang untuk mempertahankan
haknya yang paling asasi.30
Th Sumartana dan H. M. Nahar Nachrowi SH, peneliti utama untuk
aliran kepercayaan dan staff ahli Menag, berbeda pandangan dengan Djohan
Efendi. Menurut Nachrowi, Khonghucu tidak dapat dikatakan agama, ia lebih
tepat dikatakan “Millah. Artinya bukan agama tapi kepercayaan”, katanya.
Menurutnya di Indonesia Khonghucu berkembang dengan rekayasa dan
ditambah-tambah. Seperti ada kitab dan organisasi yang disebut Majelis Tinggi
Agama Khonghucu. Pendapat tersebut dibantah keras oleh Abdurrahman
Wahid (Gusdur), mantan ketua NU dan Presiden ke-4 RI. Menurutnya kata
milah itu bukan berarti kepercayaan tetapi agama. Seperti di Turki, Iran
maupun negara islam lainnya menyebut agama dengen kata Millah. Hal ini
didukung oleh intelektual, ulama besar mengatakan hal yang sama bahwa
Khonghucu itu agama bukan budaya. Nurcholis Madjid (Cak Nur) sependapat
dengan Abdul Hamid, Hakim ulama besar asal Padang Panjang Sumatra Barat,
yang dalam salah satu kitabnya menyatakan bahwa Khonghucu adalah agama.
Menurut Cak Nur, Khonghucu harus diakui sebagai salah satu ajaran agama.31
Khonghucu di Indonesia pada awal perkembangannya, ajaran-ajarannya
di praktekkan terbatas seperti dalam lingkungan keluarga-keluarga keturunan
China. Ajaran Khonghucu ini diterapkan secara lisan turun temurun dan
akhirnya menjadi tradisi yang melekat pada masyarakat Tionghoa. Oleh karena
30M. Ikhsan Tanggok, “Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia”, (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005), h. 202.
31M. Ikhsan Tanggok, “Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia”, (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005), h. 202.
26
itu dimungkinkan antara yang satu dengan lainnya belum mencerminkan
adanya keseragaman mereka melakukan berbagai tata cara keagamaan dan
ritual. Perkembangan selanjutnya keberadaan Khonghucu ditopang dengan
kehidupan berorganisasi, dengan maksud agar dapat lebih teratur dan lebih
baik sesuai dengan penghayatan keagamaan dan kepercayaan tertentu atau
justeru dalam rangka meningkatkannya dalam segala aspek kehidupan umat
manusia. Agama Khonghucu dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu mereka
yang tergabung dalam Tri Dharma ( Budhisme, Taoisme, dan Konfisianisme)
dan yang tergabung dalam MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu
Indonesia) dengan organisasi-organisasi yang benaung dibawahnya yaitu:
Matakin Propinsi, Makin-Makin, Yakin dll. MATAKIN atas nama umat
Khonghucu Indonesia telah menerima Pancasila sebagai asas organisasinya
tahun 1987 seperti tercantum dalam Anggaran Dasar Pasal 2 Bab 2
(MATAKIN,1987:2). Pada tahun 1983 MATAKIN atas nama umat
Khonghucu Indonesia telah menyatakan kebulatan tekad untuk menerima
Pancasila sebagai asas tunggal dalam lembaga keagamaan mereka.Pengakuan
nilai-nilai ajaran Khonghucu di Indonesia mengalami pasang surut seiring
dengan perubahan kebijakan politik pemerintah. Dalam Undang-undang
Nomor 1/ Pn.Ps/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan
Agama dalam penjelasan pasal demi pasal antara lain tersurat, agama-agama
yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katholik, Hindu,
Budha dan Khonghucu.
27
Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di
Indonesia. Enam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh
penduduk Indonesia maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang
diberikan oleh pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, juga mereka mendapat
bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.
Kemudian setelah marak isu pembauran dan agama Khonghucu dianggap
menghambat proses pembauran, maka aktifitas lembaga Khonghucu mulai
dibatasi. Dikatakan bahwa Khonghucu atau konfusianitas itu bukan agama
hanya semata-mata ajaran etika dan moral.21 Hal tersebut sebagai upaya
pemerintah Orde Baru untuk membatasi ruang gerak agama Khonghucu .
Padahal agama Khonghucu telah eksis jauh sebelum Indonesia merdeka.
Bahkan sejak pemerintahan Orde Lama, agama Khonghucu mendapatkan
tempat yang layak di Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini.Orang-
orang keturunan China yang umumnya menerima ajaran Khonghucu sebagai
standard atau norma kehidupannya, menghayati ajaran Khonghucu sebagai
agamanya tanpa keraguan akan kebenarannya dan penuh ketulusan dan
ketaqwaan. Mereka menyatakan anggapan bahwa agama Khonghucu sebagai
“isme” tidaklah tepat. Etika yang terdapat dalam agama Khonghucu walaupun
banyak yang bersifat sosiologis, tetapi senantiasa dilandasi nilai-nilai abadi
yang bersifat agamis.
Pengakuan ajaran Khonghucu sebagai agama menurut pandangan
pengikut Khonghucu bertolak dari Kitab Tiong Yong I; 1 (Kitab Tengah
Sempurna) yang menyatakan bahwa “Firman Thian (Tuhan Yang Maha Esa)
28
itulah dinamai watak sejati. Hidup mengikuti watak sejati itulah dinamai Jalan
Suci. Bimbingan menempuh Jalan Suci itulah dinamakan agama”.
Pengikut Khonghucu mengakui adanya Thian (Tuhan Yang Maha Esa),
sebagai Maha Tidak Terbatas dan manusia adalah makhluk yang terbatas.
Mereka mengakui Khonghucu adalah seorang Nabi yang telah menerima
firman Thian. Kitab Suci yang Lima (Ngoking) dan Kitab suci yang Empat (Su
Si), mereka imani sebagai kitab yang membawa kebenaran yang Esa.Gus Dur
mengatakan bahwa : “Segala sesuatu itu di sebut agama atau filsafat bukan
menjadi urusan Negara, tetapi menjadi urusan orang per orang atau lebih bijak
serahkan saja semuanya kepada umatnya “ .
Khonghucu adalah agama yang diaanut oleh sebagian masyarakat
Indonesia dimana memiliki tempat ibadah, memiliki Nabi, Memiliki Kitab Suci
dan memiliki ajaran Ketuhanan, maka ditinjau dari segi apapun Khonghucu
adalah agama yang hidup di Negara Indonesia secara real.32
Pro-kontra pandangan tokoh-tokoh diatas mengenai Konghucu sebagai
agama dan budaya dapat saya simpulkan bahwa Konghucu lebih pantas
dikatakan sebagai agama. Dalam KBBI, Agama adalah sistem yang mengatur
tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergulatan manusia dan manusia
dan lingkungan. Huston Smith dalam bukunya The Religion of Men
mengatakan bahwa bahwa jika agama di artikan secara luas, suatu cara hidup
yang dirangkai sekitar perhatian terakhir manusia, jelas sekali agama
32Dr. Ongky Setio Kuncono” artikel diakses pada tanggal 12 April 2018 dari http://www.spocjournal.com/hukum/350-legalitas-agama-khonghucu-di-indonesia-keberadaan-agama-khonghucu.html
29
Khonghucu memenuhi syarat sebagai agama. Apabila agama diartikan secara
lebih sempit, yaitu sebagai perhatian untuk meluruskan manusia dengan
landasan eksistensinya yang melampaui kemanusiaan ajaran Khonghucu pun
dapat dikatakan sebagai agama.
B. Ajaran Agama Khonghucu
Agama Khonghucu dikenal pula sebagai Ji Kauw (dialek Hokian) atau
Ru Jiao (Hua Yu), yang berarti agama yang mengajarkan kelembutan atau agama
bagi kaum terpelajar. Agama ini sudah dikenal sejak 5.000 tahun lalu, lebih awal
2.500 tahun di banding usia Kongzi sendiri.
Kongzi (Hua Yu) atau Khongcu (dialek Hokian) atau Confucius (Latin)
adalah nama nabi terakhir dalam agama Konghucu. Ia lahir tanggal 27, bulan
8, tahun 0001 Imlek atau 551 SM. Kongzi adalah nabi terbesar dalam agama
Konghucu dan oleh sebab itu banyak orang yang kemudian menamai Ru Jiao
sebagai Confucianism, yang kemudian di Indonesia dikenal sebagai Agama
Konghucu. Ajaran Konfusianisme atau Kong Hu Cu (Kong Fu Tze) atau
Konfusius dalam bahasa Tionghoa, istilah aslinya adalah Ru Jiao yang berarti
agama dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur.
Dalam agama Khonghucu terdapat ritual yang harus dilakukan oleh para
penganutnya. Agama Khonghucu juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan
antar sesama manusia atau disebut ‘Ren Dao’ dan bagaimana cara melakukan
hubungan dengan Sang Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut
dengan istilah ‘Tian’atau ‘Shang Di’. Konfusianisme mementingkan akhlak yang
30
mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit dengan manusia di
bumi dengan baik. Penganutnya diajar supaya tetap mengingat nenek moyang
seolah-olah roh mereka hadir di dunia ini. Ajaran ini merupakan susunan falsafah
dan etika yang mengajar bagaimana manusia bertingkah laku. Gery
mengemukakan intisari ajaran Khonghucu adalah Delapan Pengakuan Iman (Ba
Cheng Chen Gui) dalam agama Khonghucu:
a) Sepenuh Iman kepada Tuhan Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian)
b) SepenuhIman menjunjung Kebajikan (Cheng Juen Jie De)
c) Sepenuh Iman Menegakkan Firman Gemilang (Cheng Li Ming Ming)
d) Sepenuh Iman Percaya adanya Nyawa dan Roh (Cheng Zhi Gui Shen)
e) Sepenuh Iman memupuk Cita Berbakti (Cheng Yang Xiao Shi)
f) Sepenuh Iman mengikuti Genta Rohani Nabi Kongzi (Cheng Shun
Mu Duo)
g) Sepenuh Iman memuliakan Kitab Si Shu dan Wu Jing (Cheng Qin Jing
Shu)
h) Sepenuh Iman menempuh Jalan Suci (Cheng Xing Da Dao)
Di dalam budaya religius Ru Jiao diajarkan adanya Lima Hubungan
Kemanusiaan (Wu Lun) yang dikenal juga sebagai Lima Jalan Suci
Bermasyarakat (Wu Da Dao). Ke lima Jalan Suci Bermasyarakat tersebut
meliputi:
a) Jun Chen = hubungan Jalansuci antara atasan dan bawahan
b) Fu Zi = hubungan Jalan suci antara orangtua dan anak
c) Fu Fu = hubungan Jalan suci antara suami dan isteri
31
d) Xiong Di = hubungan Jalan suci antara kakak dan adik
e) Peng You = hubungan Jalansuci antara kawan dan sahabat
Sedangkan, menurut Sou’yb (1996: 177) menyatakan ajaran Khonghucu
sebagai berikut:
a) Jen (bersikapasih) yaitu hasrat untuk melakukan hal-hal yang membawa
kebajikan bagi bawahan.
b) Bersikap adil, yakni jangan melakukan tindakan yang tidak disenangi bawahan
atau untuk orang lain melainkan diri sendiri.
c) Bersikapramah terhadap bawahan,yaknijangan bersikap angkuh sombong dan
congkak.
d) Chin (bersikap bijaksana)yaknimenetapkan sesuatukeputusanberdasarkan atas
pengetahuan dan hikmah.
e) Hsin (bersikap jujur) karena tanpa kejujuran pihak yang berkuasa akan rusak.
Sedangkan Tanggok (2005: 68) mengemukakan Chang (lima sifat mulia) yaitu:
a) Ren/Jin, yaitu cinta kasih, rasa kebenaran, kebajikan, tahu diri, halus budi
pekerti (sopan santun) rasa tepo sliro, serta dapat menyelami kebenaran.
b) Gi,yaitu rasa solidaritas, senasib, sepenanggungan, dan rasa menyelami
kebenaran.
c) Li atau Lee, yaitu sopan santun, tata krama, dan budi pekerti.
d) Ce atau Ti, yaitu bijaksana atau kebijaksanan (wisdom), pengertian dan
kearifan.
e) Sin yaitu kepercayaan, rasa untuk dapat dipercaya oleh orang lain serta dapat
memegang janji Konfusius tidak menghalangi orang Tionghoa menyembah
32
keramat dan penunggu tapi hanya yang patut disembah, bukan menyembah
barang-barang keramat atau penunggu yang tidak patut disembah, yang
dipentingkan dalam ajarannya adalah bahwa setiap manusia perlu berusaha
memperbaiki moral.
Buanadjaja (2004) mengemukakan bahwa dalam Tata Agama dan Tata
Laksana Upacara Agama Khonghucu, sesuai yang dituliskan di dalam Kitab Suci
Ru Jiao (Wujing dan Sishu), ditetapkan sebagai Rumah Ibadah agama
Khonghucu, sebagai berikut:
a). Tian Tan Tempat ibadah untuk bersujud kepada Tian YME.
b). Kong Zi Miao Komplek bangunan Kong Miao berkebaktian bagi Nabi Kong Zi
dan menempatkan Jin Shen Nabi Kong Zi pada altarnya.
c). Wen Miao Kong Miao dan meletakkan Shen Zhu Nabi KongZi pada altarnya.
d). Kong Miao Litang Ruang kebaktian, tempat segenap umat agama Khonghucu
melaksanakan ibadah bersama.
e). Zhong Miao/Zu Miao Rumah Abu leluhur, tempat umat agama Khonghucu
berdoa memuliakan arwah leluhurnya.
f). Xiang Wei Altar leluhur di dalam keluarga, tempat umat agama Khonghucu
berdoa memuliakan arwah leluhur bersama keluarganya.
g). Kelenteng/Miao Rumah ibadah kepada Tian YME, Nabi Kong Zi,untuk berdoa
memuliakan para malaikat dan arwah suci agama Khonghucu.
h). Jiao Altar sembahyang kepada Tian Yang Maha Esa.
i). She Altar sembahyang bagi Malaikat Bumi. Sistem altar dan tata ibadah di
semua Kelenteng atau Miao apapun nama atau sebutannya, kapanpun dan
33
dimana pun dia dibangun, bersumber pada sebuah Kelenteng untuk
memuliakan Nabi Kong Zi (551-479SM). Priastana (2004:139) mengemukakan
bahwa Confucianist mengandung semua unsur kunci yang secara umum dapat
dipahami yang membentuk semua agama, Confucianist memiliki system yang
luas tentang kepercayaan-kepercayaan yang menerangkan kedudukan
kemanusiaan di dalam jagat raya dan melengkapi norma-norma perilaku
manusia. Memiliki guru-guru teladan, kitab-kitab suci, bahkan tempat ibadah
(temple) dan ritual-ritual. Hal-hal yang terpenting dalam agama Khonghucu
yaitu:
1). Mengangkat Konfusius sebagai salah satu nabi.
2). Menetapkan Litang (Gerbang Kebajikan) sebagai tempat ibadah resmi,
namun dikarenakan tidak banyak akses ke Litang, masyarakat umumnya
menganggap klenteng sebagai tempat ibadah umat Khonghucu.
3). Menetapkan Sishu Wujing sebagai kitab suci resmi.
4). Menetapkan tahun baru Imlek, sebagai hari raya keagamaan resmi.
5). Hari-hari raya keagamaan lainnya; Imlek, Hari lahir Khonghucu (27-8
Imlek), Hari Wafat Khonghucu (18-2-Imlek), Hari Genta Rohani
(Tangce) 22 Desember, Chingming (5 April), Qing Di Gong (8/9-1
Imlek).
6). Rohaniwan; Jiao Sheng (Penyebar Agama), Wenshi (Guru Agama),
Xueshi (Pendeta), Zhang Lao (Tokoh/Sesepuh).
34
7). Kalender Imlek terbukti dibuat oleh Nabi Khongcu (Konfusius). Nabi
Khongcu mengambil sumbernya dari penangalan dinasti Xia (2200 SM)
yang sudah ditata kembali oleh Nabi Khongcu.33
Umat Khonghucu di Indonesia, selain menyakini empat kitab (SuSi)
juga menyakini lima kitab yang lain (Ngo King) sebagai landasan dari ajaran-
ajaran agama Khonghucu. Di samping sebagai acuan dan pandangan hidup
para umat Khonghucu, kitab-kitab ini juga menjadi bahan kajian bagi ilmuan
timur maupun barat sampai sekarang ini. untuk mengetahui ajaran Khonghucu
secara mendalam, maka tidak ada jalan lain kecuali harus mempelajari kitab-
kitab tersebut. Kitab-kitab tersebut selain memuat ajaran tentang Tuhan,
keimanan, hidup setelah mati, juga memuat ajaran-ajaran tentang manusia,
alam semesta dan hubungan dengan anak dan bapak, serta antara raja dan
bawahannya.34
Ajaran-ajaran agama Khonghucu memiliki penyembahan dan tata cara
menjalankan ritual untuk kehidupan,
1. Ajaran tentang Tuhan Yang Maha Esa
Dalam Agama Khonghucu istilah Tuhan disebut dengan (Thian) bukan
Allah seperti yang terdapat dalam ajaran agama Kristen dan Islam. Dalam kitab
Agama Khonghucu terdapat banyak berbicara tentang Thian atau Tuhan Yang
Maha Esa, diantaranya terdapat dalam kitab She Cing (kitab puisi) dalam kitab ini
banyak berbicara tentang Tuhan Yang Maha Esa,yang disebut Thian dan Sang Ti.
33Sabar Sukarno, Laporan Penelitian dengan judul “ Dampak Perkembangan Agama Khonghucu Pasca Reformasi”, (Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya, 2014), h. 6-10.
34M. Ikhsan Tanggok, “Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia”, (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005), h.43.
35
Syair-syair tersebut adalah sebagai berikut: “Kekuasaan dan bimbingan dari Thian
(Tuhan Yang Maha Esa) sangat luas dan dalam hal ini diluar jangkauan suara,
sentuhan, atau penciuman” (She Cing IV Wen Wang I/7).
Thian (Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan umat manusia dan
melengkapinya dengan sifat yang soleh dan luas. Dengan fungsi-fungsi dari
badan, kekuatan, dan pikiran: tugas-tugas mereka untuk dilaksanakan. (She Cing
IV/ Thang VI/I).35
2. Thian Li
Thian adalah Tuhan Yang Maha Esa atau suatu yang abdolut, yang mutlak
dan tidak dijadikan oleh siapa pun. Sesuatu yang berada dialam semesta ini
berjalan menurut hukum-hukumnya. Pengetahuan hukum itu disebut Thian Li
(Kebenaran yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa) istilah Thian Li ini
sebenarnya bersumber pada pengetahuan. Thian yang mengalami perluasan pada
masa Neo Khongfusianisme. Jadi Thian Li itu sendiri bukanlah nama lain dari
Thian, tetapi lebih deket dengen pengetahuan firman Thian atau hukum-hukum
yang besumber dari Thian.
3. Thian Ming
Thian Ming dapat diartikan sebagai sesuatu yang telah dijadikan atau
sesuatu yang telah terjadi. Pangeran Chou pernah mengajarkan Thian Ming (The
Mandate of Heaven) yang isinya bahwa Thian memberikan dekrit (ketetapan)
35M. Ikhsan Tanggok , “Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia”, (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005), h.43-44.
36
kepada seseorang untuk memimpin bangsa atau negara. Oleh kerena itu seseorang
atau manusia harus menjalankan tugas dan kewajiban sesuai dengan kehendak
Tuhan atau Thian. Kunci untuk menjalankan Thian Ming adalah kebijakan
(virtue) siapa yang gagal dalam menjalankan tugasnya berarti ia kehilangan
mandat (amanat atau tugas). Sedangkan orang yang menumbuhkembangkan
kebijakan akan hidup harmonis dan akan berhasil hidupnya. Sebenarnya
pengertian Thian Li dan Thian Ming tidak jauh berbeda, namun pengertian Thian
Ming lebih diarahkan kepada perbuatan yang dilakukan oleh manusia sesuai
dengan mandat atau perintah yang berasal dari Thian.
4. Ajaran Tentang Keimanan
Ajaran tentang keimanan terdapat dalam kitab Su Si, oleh umat
Khonghucu di Indonesia ajaran yang terdapat dalam kitab Su Si yang
berhubungan dengan keimanan dijadikan landasan utama dalam menetapkan
konsep keimanan umat Khonghucu di Indonesia. Ungkapan-ungkapan Khonghucu
yang erat hubungannya dengan keimanan, yang terdapat dalam kitab Su Si adalah
sebagai berikut:
“Iman itu jalan suci Tuhan, Tuhan Yang Maha Esa; berusaha ber-oleh iman, itulah
jalan suci manusia; yang beroleh iman ialah orang yang setelah memilih kepada
yang baik lalu didekap sekokoh-kokohnya. (Bingcu IVA, 12:3)”.36 Agama
Khonghucu mempercayai keimanan atau keesaan, mereka percaya ada suatu yang
maha suci atau jalan suci yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
36M. Ikhsan Tanggok, “Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia”, (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005), h. 48-52.
37
5. Ajaran Tentang Hidup Sesudah Mati
Menurut Lie Kim Hok tentang hidup setelah mati, tapi ia percaya akan
keberadaan roh-roh dan roh-roh yang berhubungan dengan keluarga, maka
anggota keluarga yang masih hidup harus mempersembahkan korban kepadanya.
Dalam bagian dari upacara korban disajikan sebuah pesta atau sesajian,
karena diyakini bahwa roh-roh leluhur akan menikmati sajian itu.
Dalam tradisi masyarakat China di Indonesia khusunya dalam kehidupan
sehari-hari, setiap keluarga memiliki meja sembahyang atau altar untuk keluarga.
Meja sembahyang inilah yang mereka gunakan sebagai media atau sarana untuk
menghormati atau menyembah roh leluhurnya. Mereka percaya bahwa roh leluhur
mereka dapat mengawasi kehidupan keluarga dalam rumah tangga.
Dalam kitab Su Si tidak banyak kita jumpai uangkapan-ungkapan
Khonghucu tentang roh-roh. Meskipun demikian bukan berarti Khonghucu tidak
percaya tentang dunia setelah kematian, namun bagi dia dunia setelah kematian itu
dapat diketahui kalau manusia sudah mengenal kehidupan. Bagi Khonghucu
mengenal arti kehidupan itu lebih penting untuk diketahui sebelum kita mengenal
arti kematian.
“Hwan Thi (salah seorang murid Khonghucu) bertanya tentang orang
bijaksana. Khonghucu menjawab, ia mengabdi kepada rakyat berlandaskan
kebenaran. Ia menghormati roh-roh tapi dari jauh (dengan hormat yang murni).
Demikianlah seseorang yang bijaksana.” (Lun Gi, jilid VI: 22)37
37M. Ikhsan Tanggok, “Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia”, (Jakarta: Pelita Kebajikan, 2005), h. 54-55.
38
Agama Khonghucu mempercayai Hidup setelah mati mereka percaya
bahawa orang yang sudah mati bisa melihat keluarganya yang masih hidup bahkah
dalam kepercayaan Tionghoa di Indonesiasetiap keluarga mempunyai meja
sembahyang atau Altar sebagai bentuk pelantara penghormatan keluarganya yang
sudah meninggal karena mereka percaya bahwa orang yang sudah meninggal
rohnya bisa melihat dan mengawasi keluarga yang masih hidup.
C. Perkembangan Umat Khonghucu Di Indonesia
Pada zaman penjajahan, perkembangan agama Konfusius di Indonesia
ditandai dengan berdirinya beberapa organisasi yang berusaha untuk memajukan
agama tersebut di kalangan para pemeluknya. Sebagai misal, pada tahun 1918 di
Sala berdiri sebuah lembaga agama Khong Hu Cu yang disebut Khong Kauw
Hwee, yang pada tahun 1925 mendirikan suatu lembaga pendidikan agama. Usaha
untuk memajukan dan mempersatukan paham Konfusius di Indonesia ini pada
tahun-tahun berikutnya tetap giat dilakukan melalui konferensi-konferensi yang
diselenggarakan di beberapa kota, seperti Sala, Yogyakarta, Bandung, dan
sebagainya. Tetapi, dengan meletusnya Perang Dunia II dan masuknya bala tentara
Jepang ke Indonesia, kegiatan-kegiatan Khong Kauw Hwee secara nasional
menjadi praktis berhenti.
Setelah zaman kemerdekaan, lembaga-lembaga agama Khong Hu Cu
yang pada masa sebelumnya hampir-hampir lumpuh mulai memperlihatkan
keaktiannya kembali. Dalam konprensi yang diselenggarakan di Sala pada thun
1954 diputuskan untuk membangkitkan kembali organisasi Kong Kauw Tjong
39
Hwee (Lembaga Pusat Agama Khong Hu Cu) yang pernah dibentuk pada tahun
1923. Pada tahun berikutnya, juga dalam konprensi di Sala, diputuskan untuk
membentuk lembaga tertinggi agama Khong Hu Cu di Indonesia dengan nama
“Perserikatan K’ung Chiao Hui Indonesia”, disingkat PKCHI. Terbentuknya
organisasi ini menandai awal dari babak baru dalam sejarah agama Konfusius di
Indonesia.
Dalam kongresnya yang keempat, yang diselenggarakan pada tahun 1961,
PKCHI memutuskan untuk mengirimkan utusan menghadap Menteri Agama RI
pada waktu itu untuk memohon agar agama Khong Hu Cu dikukuhkan
kedudukannya dalam Kementerian Agama Republik Indonesia, di samping
memutuskan mengubah nama PKCHI menjadi “Lembaga Agama Sang Khongcu
Indonesia”, disingkat LASKI. Nama tersebut akhir ini kemudian diubah lagi pada
tahun 1963 menjadi “Gabungan Perkumpulan Agama Khong Hu Cu Indonesia”,
diisngkat GAPAKSI. Satu tahun berikutnya diselenggarakan Musyawarah
Nasional Rokhaniawan I Agama Khong Hu Cu di Ciamsi, yang membahas tentang
Tata Agama dan penyeragaman di seluruh Indonesia. dalam kongres yang kelima,
tahun 1964, nama GAPAKSI dirubah menjadi “Gabungan Perhimpunan Agama
Khong Hu Cu se-Indonesia” dengan singkatan yang sama. Tetapi, tiga tahun
kemudia nama ini diubah kembali menjadi “Majlis Tinggi Agama Khong Hu Cu
Indonesia”, disingkat MATAKIN. Nama terakhir ini tetap dipergunakan hingga
sekarang.38
38Simuh, “Agama Khonghucu,” dalam Mukti Ali, Edisi., Agama-Agama Dunia (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1998, Cet. Pertama), h. 229-230.
40
Agama Khonghucu sudah dikenal di Indonesia sebelum abad ke-19, tetapi
belum berupa agama yang terorganisasi. Pada tahun 1900 organisasi pertama
orang Tionghoa yang pertama, yaitu Tiong Hoa Hwee Koan. Didirikan di Batavia
(Jakarta) memakai agama (ajaran) Khonghucu sebagai landasan organisasi. Pada
tahun 1918, Tiong Hoa Hwee Koan kemudian berkembang menjadi lembaga
pendidikan dan bergeser dari tujuan semula untuk menyebarluaskan agama
Khonghucu. Lalu didirikanlah Khong Kauw Hwee pada 1918 di Solo.
Pada 1923 berbagai organisasi dengan ciri Konfusian berkumpul di
Yogyakarta untuk mengadakan kongres. Hasilnya adalah berdirinya Organisasi
Umum Khong Kauw Hwee (Sam Kauw Tjong Hwee), dengan markas besar di
Bandung.
Seusai Perang Dunia II, Khong Kauw Hwee dan Sam Kauw Hwee hidup
terus. Pada Soekarno pengaruh komunis meningkat dan begitu pula kelompok
militer. Yang disebut belakangan ini ingin memakai kekuatan agama untuk
membasmi komunisme. Soekarno yang mendapat tekanan dari kelompok militer
menerbitkan sebuah peraturan pada 1965 yang mengakui enam agama di
Indonesia, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu.
Namun, tidak lama setelah diundangkan, pecah kudeta pada 30 September 1965.
Kudeta ini menyebabkan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia, jatuhnya
Soekarno, dan kemenangan kelompok militer dibawah pimpinan Soeharto.
Pada bulan Agustus 1967 Khong Kauw Hwee mengadakan kongres yang
keenam di Solo, yang dihadiri oleh pejabat-pejabat pemerintah, bahkan Presiden
Soeharto dan Jenderal A.H. Nasution mengirimkan pesan tertulisnya
41
mengucapkan selamat dan sukses. Banyak pejabat negara, termasuk militer,
menghadiri kongres-kongres berikutnya, mendukung agama Khonghucu.
Kongres yang keenam mempunyai makna yang penting karena pada saat
itulah nama dari perkumpulan agama Kong Kauw Hwee ditetapkan menjadi
Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin).39
Selama pemerintahan Presiden B.J. Habibie (Mei 1998-Oktober 1999),
Menteri Agama menyatakan secara lisan bahwa agama Khonghucu karena
peraturan-peraturan yang membatasi dan melarang tradisi Tionghoa belum
dicabut. Di lingkungan yang lebih demokratis, para pemimpin agama Khonghucu
bisa memperjuangkan hak-haknya, tetapi tidak banyak yang dicapai selama masa
kepresidenan Habibie.
Antara tahun 1979 dan tahun 1998 Matakin tidak diizinkan untuk
menyelenggarakan kongres. Tapi, begitu Soeharto turun, Matakin tidak hanya
diizinkan untuk menyelenggarakan kongres, tetapi juga diizinkan untuk
mengadakan kongres di dalam lingkungan Kantor Departemen Agama.
Tampaknya banyak orang Islam bersimpati pada penganut agama Khonghucu
yang telah ditindas selama masa Soeharto. Hubungan itu tetap pada tingkat
simpati.
Ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi preside, Gus Dur
menyatakan bahwa pemerintahannya mengakui keberadaan mereka. Gus Dur juga
membatalkan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang orang
Tionghoa merayakan hari raya mereka di tempat umum. Pada 32 Maret 2000,
39I. Wibowo dan Thung Ju Lan, “SETELAH AIR MATA KERING”, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h. 80-82.
42
Menteri Agama Surjadi menerbitkan sebuah instruksi (Nomor 477/805/Sj) yang
membatalkan surat edaran tahun 1978 yang hanya mengakui lima agama, tidk
mengakui agama Khonghucu. Semuanya ini memperlihatkan bahwa setelah
lengsernya Soeharto, negara memberikan pengakuan kembali kepada agama
Khonghucu.40
Keberadaan umat beragama Khonghucu beserta lembaga-lembaga
keagamaannya di Nusantara atau Indonesia ini sudah ada sejak berabad-abad yang
lalu, bersamaan dengan kedatangan perantau atau pedagang-pedagang Tionghoa
ke tanah air ini. Mengingat sejak zaman Sam Kok yang berlangsung sekitar abad
ke-3 Masehi, Agama Khonghucu telah menjadi salah satu di antara Tiga Agama
Besar di China waktu itu, sejak zaman dinasti Han, atau tepatnya tahun 136
sebelum Masehi telah dijadikan agama negara. Di Tiongkok sejak tahun 136 SM,
Khonghucu ditetapkan sebagai agama resmi,maka dengan demikian orang-orang
Tionghoa datang ke Indonesia membawa sistem dan nilai-nilai religius agama
Khonghucu. Pada abad ke-17 sebutan resmi bagi agama Kong Fu Ji adalah agama
Ru Jiao. Kehadiran Agama Khonghucu di Indonesia telah berlangsung berabad-
abad lamanya, Kelenteng Ban Hing Kiong di Manado didirikan pada tahun 1819.
Di Surabaya didirikan tempat ibadah agama Khonghucu yang disebut mula-mula
Boen Tjhiang Soe, kemudian dipugar kembali dan disebut sebagai Boen Bio pada
tahun 1906. Sampaidengan sekarang Boen Bio yang terletak di Jalan Kapasan 131,
Surabaya masih terpelihara dengan baik dibawah asuhan Majelis Agama
Khonghucu (MAKIN) Boen Bio Surabaya.
40I. Wibowo dan Thung Ju Lan, “SETELAH AIR MATA KERING”, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h. 94-95.
43
Di Solo didirikan Khong Kauw Hwee sebagai Lembaga Agama
Khonghucu pada tahun 1918.Pada tahun 1923 telah diadakan Kongres pertama
Khong Kauw Tjong Hwee (Lembaga Pusat Agama Khonghucu) di Yogyakarta
dengan kesepakatan memilih kota Bandung sebagai Pusat. Pada tanggal 25
September 1924 di Bandung diadakan Kongres ke dua yang antara lain membahas
tentang Tata Agama Khonghucu supaya seragam di seluruh kepulauan Nusantara.
MATAKIN menyatakan berdasarkan sensus penduduk yang diadakan
lembaga resmi pemerintah yaitu Biro Pusat Statistik Indonesia 14 pada tahun 1976
penduduk Indonesia yang beragama Khonghucu mencapai 0,7% yang berarti lebih
dari 1 juta jiwa Sementara data Biro Pusat Statistik dalam Sensus Penduduk 2010,
pemeluk agama Khonghucu di Indonesia berjumlah 117.091 jiwa atau sebesar
0,05% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia Pembinaan di tingkat pusat
dilakukan oleh Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) dan
tingkat lokal oleh Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), Kebaktian
Agama Khonghucu Indonesia (KAKIN) atau wadah umat Khonghucu lainnya.
Keberadaan organisasi ini bukanlah mendasarkan pada wilayah administratif
kepemerintahan, tetapi berdasarkan pada konsentrasi umat dan tempat ibadah yang
ada. MATAKIN berdasarkan Pancasila, independen dan tidak berafiliasi dengan
atau kepada organisasi sosial politik manapun, baik di dalam maupun luar negeri.
Pada masa Orde Lama, keberadaan agama Khonghucu diakui seperti
tercantum dalam UU No 1/Pn.Ps/1965 yang menyatakan bahwa agama-agama
yang banyak pemeluknya di Indonesia antara lain Islam,Kristen, Katholik, Hindu,
Buddha dan Khonghucu. Agama Khonghucu sempat mengalami hambatan dalam
44
perkembangannya. Pada masa pemerintahan orde baru, agama Khonghucu
dilarang oleh pemerintah, sehingga aktivitas keagamaan umat Khonghucu
menjadi terhambat. Diskriminasi umat Konghuchu mulai dirasakan dengan
diterbitkannya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cinayang melarang segala aktivitas berbau
Tionghoa. Kemudian disusul pada tahun 1978 diterbitkan Surat Edaran Menteri
Dalam Negeri No. 477/74054/ BA.01.2/4683/95 tanggal 18 November 1978
antara lain menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, sehingga mulailah keberadaan umat
Khonghucu dipinggirkan. Umat Khonghucu di Indonesia hidup dalam tekanan
dan pengekangan sebagai akibat tindakan represif dan diskriminatif sehingga
mempunyai dampak negatif bagi perkembangannya.Sebagai akibat dilarangnya
agama Khonghucu, banyak pemeluk kepercayaan tradisional Tionghoa menjadi
tidak berstatus sebagai pemeluk salah satu dari lima agama yang diakui. Untuk
menghindari permasalahan politis (dituduh sebagai atheis dan komunis), pemeluk
kepercayaan tadi kemudian diharuskan untuk memeluk salah satu agama yang
diakui, mayoritas menjadi pemeluk agama Kristen atau Buddha. Demikian juga
dengan tempat ibadah yaitu Klenteng yang merupakan tempat ibadah kepercayaan
tradisional Tionghoa juga terpaksa mengubah nama dan menaungkan diri menjadi
vihara yang merupakan tempat ibadah agama Buddha. Hak kependudukan
penganut agama Khonghucu juga dilanggar. Penganut agama Khonghucu tidak
bisa membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan agama Khonghucu. Pada
akhirnya mereka biasanya memilih agama Buddha atau Kristen untuk
45
dicantumkan dalam KTP. Tri Dharma adalah salah satu aliran dalam agama
Buddha di Indonesia. Tri Dharma berasal dari kata Tri dan Dharma. Tri berarti
tiga dan Dharma berarti ajaran kebenaran. Jadi secara harfiah Tri Dharma berarti
tiga ajaran kebenaran yang terdiri dari Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme.
Karena alasan inilah banyak pemeluk agama Khonghucu bernaung dalam aliran
agama Buddha Tri Dharma. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa umat
Khonghucu juga masuk ke aliran agama Buddha lain.
Umat agama Khonghucu kembali mendapatkan hak kebebasan
beragamanya setelah rezim orde baru berakhiratau memasuki era
reformasi.Reformasi secara bahasa berarti perubahan pada proses bergulirnya
sejarah perpolitikan Indonesia. Masa reformasi di Indonesia terjadi setelah
berakhirnya pemerintahan Orde Barudi bawah pimpinan Presiden Soeharto. Masa
Reformasi dimulai di bawah pimpinan Presiden BJ Habibie, kemudian diteruskan
oleh Abdurrahman Wahid (Gusdur), Megawati Soekarno Putri, dan Susilo
Bambang Yudoyono. Di era Reformasi, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid
menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan
Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat
Istiadat Cina. Dengan adanya Keppres ini, penyelenggaraan kegiatan keagamaan,
kepercayaan, dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus
sebagaimana berlangsung sebelumnya. Keputusan tersebut berlaku sejak 17
Januari 2000. Keppres ini mempunyai dampak yang sangat signifikan terhadap
perkembangan kebebasan beragama maupun kebebasan untuk berekspresi. Agama
Konghuchu sekarang ini bebas untuk dianut oleh Warga Negara Indonesia.
46
Banyak kebijakan pemerintah pasca reformasi yang mengakomodasi kepentingan
umat Khonghucu dan etnis Tionghoa. Bentuk pengakuan agama Khonghucu
yanglain pasca reformasi adalah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
Dalam PP ini salah satu isinya diamanatkan mata pelajaran agama Konghuchu
dapat diselenggarakan di jalur pendidikan formal. Upaya penghapusan
diskriminasi terhadap etnis Tionghoa juga tertuang dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai kependudukan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan, pasal 2 dan penjelasan undang-Undang ini
mendefinisikan bahwa orang Tionghoa adalah orang Indonesia asli. Kemudian
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Pendudukan,
pasal 106 dinyatakan pencatatan perkawinan agama Khonghucu di Kantor Catatan
Sipil. Sebelumnya Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatat pernikahan agama
Khonghucu.Para pemeluk agama Khonghucu mempunyai altar keluarga atau altar
leluhurnya yang disebut Kongpo, Hiolo (Xiang Lu), Lingwei. Mereka juga
beribadat di altar sembahyang Tuhan YME yang menghadap ke langit lepas di
dalam keluarga masing masing. Keluarga Khonghucu di Indonesia sudah
memiliki tradisi beribadah kepada Tuhan YME yang disebut Thikong (Tian
Gong), kepada para suci (Shen Ming), terutama leluhur masing masing. Tata
ibadah agama ini diajarkan oleh Nabi Besar Kong Zi, yang dapat dilihat pada
kitab suci Catatan Kesusilaan Li Ji. Ibadah telah menjadi bagian keseharian
pemeluk agama Khonghucu, yang diwariskan dari generasi ke generasi.Sebuah
sistem altar di rumah ibadah Kelenteng (Miao), tempat kebaktian agama
47
Khonghucu (Kong Miao Litang), bersumber pada sebuah Kong Zi Miao dan Wen
Miao. Semua Kelenteng di seluruh dunia termasuk di Indonesia pasti mempunyai
standar sistem altar dan perlengkapan, serta tata ibadah / ritual maupun ornamen
keagamaan kompleks bangunan Kongzi Miao dan Wen Miao.41
Perkembangan agama Khonghucu di Indonesia menurut data dari Biro
Pusat Statistik pada tahun 1976 penduduk Indonesia yang beragama Khonghucu
mencapai 0,7% yang berarti lebih dari 1 juta jiwa Sementara data Biro Pusat
Statistik dalam Sensus Penduduk 2010, pemeluk agama Khonghucu di Indonesia
berjumlah 117.091 jiwa atau sebesar 0,05% dari jumlah seluruh penduduk
Indonesia, dari data diatas dapat disimpulkan bahwa jumplah penduduk Indonesia
yang beragama Khonghucu semakain mengurang akibat kebijakan orde baru yang
sangat diskriminatif terhadap agama Konghucu dengan adanya kebijakan yang
melarang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina yang di tuangkan dalam
Intruksi Persiden N0 14 tahun 1967 tidak berhenti disitu saja menurut catatan I
Wibowo dalam bukunya yang berjudul “Setelah Air Mata Kering” ada 63 Produk
hukum yang dihasilkan oleh orde baru untuk melarang agama Khonghucu dan
etnis Tionghoa di Indonesia. hal ini berdampak berkurangnya perkembangan
agama Konghucu di Indonesia.
D. Tantangan yang Dihadapi Umat Khonghucu
Sejak Proklamasi Republik Indonesia, etnis Thionghoa dianggap senantiasa
menimbulkan ‘’masalah’: tetapi, “masalahnya” tidak selalu sama, mula-mula pada
41Sabar Sukarno, Laporan Penelitian dengan judul “ Dampak Perkembangan Agama Khonghucu Pasca Reformasi”, (Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya, 2014), h .12-18
48
zaman kolonial mereka dianggap pro-Belanda dan antinasionalisme Indonesia,
eksklusif dan kerjannya hanya mencari keuntungan, kemudian dianggap unsur
komunis atau simpatisan komunis. Akhir-akhir ini mereka dianggap sebagai
kapitalis dan konglomerat yang mengeruk kekayaan negara tanpa perasaan
patriotisme. Kerusuan yang belum lama ini terjadi, yang ditujukan kepada warga
keturunan Thionghoa, tidak terlepas dari persepsi negatif itu.
Indonesia sudah merdeka selama lebih dari setengah abad, tetapi “masalah
Thionghoa” masih tidak kunjung selesai. Ada yang berpendapat, ini karena orang
Tionghoa masih mempertahankan kebudayaan asing dan tidak memiliki identitas
Indonesia. ada juga yang mengatakan orang Tionghoa hanya “setengah terbaur”,
belum 100 persen, dengen kata lain mereka masih belum menjadi pribumi. Pada
pandangan banyak kalangan pribumi, orang Tionghoa harus menjadi pribumi dulu
baru bisa diterima sebagai orang Indonesia. Masalahnya, seakan-akan, persoalan
identitas merupakan kunci untuk memecahkan “masalah Tionghoa” itu.
Pada pendapat penulis, sebenarnya, ini bukan saja masalah identitas,
melainkan juga maslaah politik, ekonomi, dan hubungan internasional. Namun,
soal identitas itu memang penting, dan faktor ini merupakan sebagian dari
pemecahan “masalah Tionghoa” di Indonesia. Kerusuhan Mei 1998 yang
menggemparkan dunia memang membawa penderitaan yang luar biasa. Bukan
hanya kepada pribumi, tetapi juga kelompok Tionghoa sendiri. Bahkan banyak
49
orang Tionghoa yang merasa, merekalah yang menjadi sasaran tindak kekerasan
yang dilakukan pribumi.42
Peristiwa Mei 1998 yang menimbulkan reaksi internasional pada
hakikatnya membawa kesadaran kepada warga etnis Tionghoa terhadap
“masalah”-nya sebagai bukan lagi sekedar sentimen anti-Tionghoa yang muncul
dalam bentuk kekerasan pada waktu-waktu tertentu, sebagaimana yang terjadi
dalam peristiwa Malari 1974, kerusuhan 1980, dan seterusnya. Ada hal yang lebih
mendasar yang harus diselesaikan, atau pilihan lainnya adalah orang Tionghoa
meninggalkan Indonesia dan mencari tempat lain yang lebih “aman”.
Pada waktu itu banyak orang Tionghoa-terutama yang cukup berada-
memilih jalan kedua, karena jalan pertama sepertinya tidak memungkinkan,
terutama ketika kebanyakan orang Tionghoa melihat kunci dari permasalahan
mereka adalah kebijakan pemerintah yang diskriminatif. Jadi, mereka berpendapat
bahwa tanpa kemauan politik dari pemerintah, adalah tidak mungkin bagi warga
Tionghoa untuk mengubah nasibnya. Dalam hal ini jelas bahwa warga Tionghoa,
sebagaimana yang terjadi selama masa Orde Baru, merasa dan bersikap sebagai
“obyek”, yang nasibnya ditentukan oleh kelompok di luarnya, dalam hal ini
pemerintah.
Kenyataannya, tidak semua orang Tionghoa bisa meninggalkan Indonesia,
dan 80-90 persen dari mereka harus tetap di Indonesia apa pun situasinya, baik
ataupun buruk. Mereka lahir dan besar di Indonesia, dan barangkali selama
hidupnya sebagian besar dari mereka bahkan belum pernah meninggalkan
42Leo Suryadinata, “Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia”, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h. 184-185.
50
Indonesia atau daerah tempat tinggal mereka. Dengan demikian, hanya
Indonesialah yang mereka kenal sebagai tempat kelahiran dan tempat kehidupan
mereka.
Keterikatan sebagian besar warga Tionghoa terhadap Indonesia kian jelas
ketika setelah sebagian dari mereka yang “lari” meninggalkan Indonesia pada
waktu peristiwa tragis Mei 1998 juga harus kembali ke Indonesia. Ternyata,
“melarikan diri” bukan jalan keluar terbaik. Tampaknya tidak ada pilihan lain bagi
mereka yang tinggal dan yang kembali selain bertahan dan melakukan resistensi.
Upaya yang kemudian mereka lakukan adalah mencoba mengubah
kebijakan pemerintah yang diskriminatif melalui pendekatan-pendekatan politik,
baik oleh individu-individu tertentu maupun oleh perkumpulan-perkumpulan etnis
Tionghoa yang bertumbuh setelah Peristiwa Mei 1998, seperti Perhimpunan
Indonesia Tionghoa (INTI) dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia
(PSMTI). Dicabutnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Pelarangan Ekspresi Kebudayaan Cina di Ruang Publik oleh Keputusan Presiden
Nomor 6 Tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid, serta dikeluarkannya
UndangUndang Kewarganegaraamn Indonesia (yang baru) Nomor 12 Tahun 2006
yang, menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menempatkan warga
Tionghoa dalam persamaan dan kesetaraan dengan warga negara yang lain dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Permasalahannya sekarang, seperti sering kali diingatkan oleh beberapa
pengamat masalah Tionghoa, adalah bahwa masih banyak undang-undang
diskriminatif-termasuk syarat Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia
51
(SBKRI) yang masih diminta oleh beberapa instansi pemerintah-yang masih
berlaku dan sama sekali sekali tidak jelas apakah semua itu akan bisa dihapuskan
dan bila peristiwa tragis Mei 1998 yang memakan banyak korban-baik orang
Tionghoa maupun warga non-Tionghoa-juga belum pernah diselesaikan secara
hukum; walaupun seperti dikatakan oleh Tim Lindsey, orang Tionghoa sendiri
tidak pernah mencoba melakukan tuntutan hukum sebagaimana seharusnya.
Ganjalan inilah yang bagi sebagaian orang bisa diinterpretasikan sebagai tanda
bahwa “orang Tionghoa belum sepenuhnya diterima”, atau bahwa “masih ada
kemungkinan orang Tionghoa diperlakukan secara tidak adil sebagaimana yang
mereka alami sebelumnya”.
Kekhawatiran ini sepertinya terbukti ketika ada pernyataan dari Wakil
Presiden Jusuf Kalla pada tanggal 12 Oktober 2004-yang mengacu pada
Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN khususnya
Pasal 21 Ayat 5 tentang perusahaan golongan ekonomi lemah yang dikatakan
sebagian besar terdiri dari orang Indonesia asli-mengenai akan dibedakannya
perlakuan terhadap kelompok pengusaha. Pernyataan tersebut oleh kalangan
(pengusaha) Tionghoa dianggap sebagai pernyataan yang diskriminatif. Begitu
pula dengan peristiwa Garut tanggal 3 Juli 2002. Waktu itu orang Tionghoa
diminta menanggung renteng utang Acun-agar “tidak menimbulkan kerusuhan-
memperlihatkan bahwa warga Tionghoa masih menjadi target perlakuan
diskriminatif secara hukum.
Demikian juga dengan peristiwa Pontianak pada acara peringatan Imlek
tahun 2008. Saat itu Walikota Pontianak mengeluarkan Surat Keputusan Nomor
52
127 Tahun 2008 tentang pelaksanaan prosesi naga yang dibatasi hanya di Stadion
Sultan Syarif Abdurrahman. Oleh banyak warga Tionghoa, hal itu cenderung
diinterpretasikan sebagai perlakuan diskriminatif. Sebagian lagi mengaitkannya
dengan insiden perusakan rumah-rumah, kelenteng, dan kendaraan bermotor yang
terjadi pada Kamis, 6 Desember 2007, setelah Christiandi Sanjaya, seorang warga
etnis Tionghoa, terpilih sebagai Wakil Gubernur Kalimantan Barat.
Dari ketiga kasus tersebut, pada hakikatnya apa yang bisa dikatakan
tentang kedudukan atau posisi warga Tionghoa di tengah masyarakat Indonesia
hari ini, 10 tahun setelah peristiwa Mei 1998? Barangkali jawaban yang tepat
adalah bahwa secara politis posisi warga Tionghoa di Indonesia masih belum
banyak berubah. Hubungan yang ada antara warga Tionghoa dan warga non-
Tionghoa masih sangat rapuh dan cenderung diterjemahkan atas dasar apa yang
tampak saja. Dengan kata lain, setelah peristiwa tragis Mei 1998, warga Tionghoa
berhasil mengubah posisinya dari “obyek” menjadi “subyek”.43
Tantangan yang dihadapi Umat Konghucu untuk kedepannya ialah
bagaimana menghadapi dan mengantisipasi konflik identitas karena dari zaman
penjajah hingga sekarang ini yang rawan dan sering terjadi ialah mengenai konflik
identitas dalam masa penjajah dianggap sebagai pro-terhadap penjajah lalu pada
masa orde baru mengalami trauma yang sangat dalam yang di derita oleh umat
Konghucu di Indonesia akibat dari kebijakan-kebijakan Orde Baru yang sangat
diskriminatif, sehingga mereka hidup bermasyarakat seperti orang yang buta
meskipun mereka tidak mengalami kebutaan.
43I. Wibowo dan Thung Ju Lan, “SETELAH AIR MATA KERING”, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h. 3-7.
BAB III
REGULASI PEMERINTAH ORDE BARU TERHADAP AGAMA
KHONGHUCU DI INDONESIA (1966-1998)
A. Ketetapan MPRS RI Nomor XXVII/MPRS/1966
Tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan, yang melarang Etnis
Tionghoa pemeluk agama Tao beribadah di depan umum, serta melarang adanya
pendidikan dan huruf yang bercirikan budaya Tiongkok dalam ketetapan MPRS
RI No. XXVII/MPRS/1966 bahwa kebijakan tersebut melarang budaya serta
pendidikan yang berbau Cina. Bahwa kebijakan tersebut mengandung makna
diskriminatif terhadap warga Etnis Tionghoa, melanggar UUD 1945 Pasal 28 C
ayat 1 Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitashidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia.44 Undang-undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional bab V pasal 12 ayat 1 (a), Setiap peserta didik
pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai
dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.45
Untuk menindaklanjuti UU tersebut, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No. 47 dan 48 Tahun 2008 tertanggal 1 September
2012, yang mana Pendidikan Agama Khonghucu memiliki tujuannya adalah:
44Lampiran Ketetapan MPRS RI Nomor XXVII/MPRS/1966. 45Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
53
54
i. Menumbuhkembangkan iman melalui pemahaman, pengembangan
pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta pengalaman peserta didik
tentang Watak Sejati-Nya sehingga menjadi manusia berbudi luhur (Junzi);
ii. Mewujudkan manusia Indonesia yang sadar akan tugas dan
tanggungjawabnya baik secara vertikal kepada Tian, maupun secara
horizontal kepada sesama manusia dan alam semesta.
Permen Diknas 47 berisikan tentang Standar Isi Pendidikan Agama
Khonghucu (SI) dan Permen Diknas 48 berisikan Standar Kompetensi
Lulusan (SKL), yang mana Ruang lingkup pendidikan Agama Khonghucu
menurut Permen Diknas tersebut mencakup lima aspek;
1. Keimanan
2. Perilaku Junzi
3. Tata Ibadah
4. Kitab suci Agama Khonghucu (Sishu dan Wujing)
5. Sejarah Suci
Untuk memenuhi pendidikan Agama Khonghucu di sekolah maka
diperlukan kurikulum dan buku-buku pelajaran Agama Khonghucu. Untuk itu,
pemerintah dalam hal ini Kemendikbud memfasilitasi umat Khonghucu dalam
penulisan kurikulum dan buku-buku pelajaran Agama Khonghucu. Bagi buku-
buku yang lolos Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) akan diterbitkan
55
serta diperbanyak agar dapar dipergunkaan murid-murid Khonghucu di sekolah-
sekolah seluruh Indonesia.46
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama
dan Pendidikan Keagamaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4769); pada
Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 dikatakan;
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan
membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam
mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya
melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan.
2. Pendidikan Keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta
didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan
pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama dan
mengamalkan ajaran agamanya.
Pada Bab III Pasal 9 dikatakan bahwa pendiidkan keagamaan meliputi
Pendidikan Keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu,
serta pada Pasal 47 dikatakan bahwa Pendidikan Guru dan Rohaniawan Agama
Khonghucu adalah pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan di
46Sugiandi Surya Atmaja, Politik hukum pemerintah Indonesia terhadap Agama Khonghucu, h. 118 - 119.
56
Shuyuan atau lembaga pendidikan lainnya dan oleh yayasan yang bergerak dalam
pendidikan atau perkumpulan umat Khonghucu.47
B. Intruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, Tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang melarang segala aktivitas
berbau Tionghoa
Menimbang : Bahwa agama kepercayaan dan adat istiadat Cina di
Indonesia yang berpusat pada negeri leluhurnya, yang dalam
manifestasinya dapat menimbulkan pengaruh psychologis, mental dan
moril yang kurang wajar terhadap warga Indonesia sehingga merupakan
hambatan terhadap proses asimilasi, perlu diatur serta ditetapkan fungsinya
pada proporsi yang wajar. Inpres No. 14 Tahun 1967, tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, dalam isinya disebutkan bahwa
segala aktivitas dan budaya yang berbau Cina tidak diperbolehkan
diseluruh negara kesatuan Republik Indonesia, karena dikhawatirkan akan
menimbulkan paham-paham komunis melihat Cina menganut paham
komunis.48 Tidak diperbolehkannya segala macam kegiatan maupun
aktivitas yang berbau Cina di ruang publik yang dapat menimbulkan
pengaruh dan menghambat terjadinya proses asimilasi. Inpres No. 14 tahun
1967 ini sangat membatasi aktivitas agama khonghucu, dalam menjalankan
ibadah, ritual keagamaan hanya diperbolehkan dalam ruang lingkup
47Sugiandi Surya Atmaja, Politik hukum pemerintah Indonesia terhadap Agama Khonghucu, h. 120-121.
48Lampiran Intruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang melarang segala aktivitas berbau Tionghoa.
57
keluarga, karena dikeluarkannya agama Konghucu dari agama resmi yang
diakui oleh pemerintah melalui Inpres tersebut.
Sebagai penganut Khonghucu sudah seharusnya tidak ragu lagi
untuk mengimani dan menjalankan agamanya secara terbuka di muka
umum. Jaminan secara hukum dan peraturan bagi masyarakat Khonghucu
sesungguhnya sudah terpenuhi oleh pemerintah. Kalaupun ada
permasalahan di akar rumput itu hanya masalah teknis yang dapat
diselesaikan dengan komunikasi yang baik dan pendekatan
berkesinambungan kepada petugas pelaksana di lapangan. Hal ini diperkuat
dengan adanya UUD 1945-BAB XI Agama Pasal 29:
1. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.
Dalam pasal 1 di atas, negara kita negara yang meyakini adanya
Tuhan Yang Maha Esa. Tetapi bukan diartikan sebagai negara agama,
apalagi milik satu agama. Negara memberikan kebebasan dan jaminan bagi
setiap warganya untuk memeluk Agama Khonghucu. atau warganya hanya
meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana para penganut
Kepercayaan Kepada Tuhan YME (agama-agama lokal), negara tetap
memberikan jaminan hukum seperti pada pasal 2 di atas.
Pernyataan “Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
terdapat pada pembukaan UUD RI 1945, Romawi II angka 4 menunjukkan
58
bahwa NKRI yang menganut prinsip teokrasi (theocracy) mengakui bahwa
manusia mempunyai kedudukan yang sama dihadapan Tuhan Yang Maha
Esa. Prinsip ini yang memberikan kewajiban kepada pemerintah dan
penyelenggara negara untuk bersikap adil dan beradab kepada setiap
warganya, memelihara budi pekerti kemanusiaan sesuai yang dicita-citakan
bersama.49
C. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 6 Tahun 2000, Tentang
Pencabutan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 Tentang Agama,
Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina
Menimbang : a. Bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan
dan adat istiadat, pada hakikatnya merupakan bagian tidak
terpisahkan dari hak asasi manusia:
b. Bahwa pelaksanaan Intruksi Presiden No 14 Tahun 1967
tentang Agama, kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina,
dirasakan oleh warga negara Indonesia keturunan Cina telah
membatasi ruang geraknya dalam menyelenggarakan
kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadatnya:
c. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut dalam huruf a
dan b, dipandang perlu mencabut Intruksi Presiden No 14
49Sugiandi Surya Atmaja, Politik hukum pemerintah Indonesia terhadap Agama Khonghucu, h. 107-109.
59
Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan danAdat Istiadat
Cina dengan Keputusan Presiden.50
Dalam keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 ini, mencabut Intruksi
Presiden No 14 Tahun 1967 yang membatasi ruang gerak etnis tionghoa dalam hal
ini agama khonghucu lalu diganti dengan Keputusan Presiden N0. 6 Tahun 2000
yang dikeluarkan pada pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sehingga
agama konghucu tidak perlu bersembunyi-sembunyi melakukan aktivitasnya.
Keputusan Presiden ini mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang
agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Dengan Keppres ini maka
penyelenggaaan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat Cina dapat
dilaksanakan tanpa memerlukan izin khusus sebagaimana berlangsung selama ini.
Keppres ini adalah hadiah yang sangat berharga bagi umat Khonghucu yang
diberikan oleh Presiden Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil
Gus Dur, lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Kiranya
sebutan sebagai Bapak Khonghucu menjadi tepat bagi Gus Dur yang telah
memberikan hadiah berupa regulasi Keppres No. 6 Tahun 2000.
Hal ini diperkuat dengan Surat Menteri Dalam Negeri No. 470/336/SJ
Tahun 2006, yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, kemudian
ditindaklanjuti oleh Mendagri yang menginstruksian kepada seluruh
Gubernur/Walikota di sleuruh Indonesia untuk memberikan pelayanan
administrasi kependudukan kepada penganut agama Khonghucu. dengan
menambha keterangan agama Khonghucu pada dokumen administrasi
50Lampiran Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 6 Tahun 2000, Tentang Pencabutan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
60
kependudukan yang digunakan selama ini. Dengan keluarnya surat Menteri Dalam
Negeri tertanggal 24 Februari 2006 ini, maka semua hal yang berhubungan
pelayanan administrasi Kependudukan Penganut Agama Khonghucu maka
mengacu kepada surat tersebut.51
51Sugiandi Surya Atmaja, Politik hukum pemerintah Indonesia terhadap Agama Khonghucu, h. 111-115.
BAB IV
DAMPAK KEBIJAKAN DISKRIMINASI TERHADAP AGAMA
KHONGHUCU
A. Administrasi Kependudukan
Sejak Proklamasi Republik Indonesia, etnis Thionghoa dianggap oleh
penduduk Indonesia non Tionghoa senantiasa menimbulkan ‘’masalah’: tetapi,
“masalahnya” tidak selalu sama, mula-mula pada zaman kolonial mereka
dianggap pro-Belanda dan antinasionalisme Indonesia, eksklusif dan kerjannya
hanya mencari keuntungan, kemudian dianggap unsur komunis atau simpatisan
komunis. Akhir-akhir ini mereka dianggap sebagai kapitalis dan konglomerat
yang mengeruk kekayaan negara tanpa perasaan patriotisme. Kerusuhan yang
belum lama ini terjadi, yang ditujukan kepada warga keturunan Tionghoa, tidak
terlepas dari persepsi negatif itu.
Indonesia sudah merdeka selama lebih dari setengah abad, tetapi “masalah
Thionghoa” masih tidak kunjung selesai. Ada yang berpendapat, ini karena orang
Tionghoa masih mempertahankan kebudayaan asing dan tidak memiliki identitas
Indonesia. ada juga yang mengatakan orang Tionghoa hanya “setengah terbaur”,
belum 100 persen, dengen kata lain mereka masih belum menjadi pribumi. Pada
pandangan banyak kalangan pribumi, orang Tionghoa harus menjadi pribumi
dulu baru bisa diterima sebagai orang Indonesia. Masalahnya, seakan-akan,
persoalan identitas merupakan kunci untuk memecahkan “masalah Tionghoa”
itu.
61
62
Pada pendapat penulis, sebenarnya, ini bukan saja masalah identitas,
melainkan juga maslaah politik, ekonomi, dan hubungan internasional. Namun,
soal identitas itu memang penting, dan faktor ini merupakan sebagian dari
pemecahan “masalah Tionghoa” di Indonesia. Kerusuhan Mei 1998 yang
menggemparkan dunia memang membawa penderitaan yang luar biasa. Bukan
hanya kepada pribumi, tetapi juga kelompok Tionghoa sendiri. Bahkan banyak
orang Tionghoa yang merasa, merekalah yang menjadi sasaran tindak kekerasan
yang dilakukan pribumi.52
Upaya yang kemudian mereka lakukan adalah mencoba mengubah
kebijakan pemerintah yang diskriminatif melalui pendekatan-pendekatan politik,
baik oleh individu-individu tertentu maupun oleh perkumpulan-perkumpulan
etnis Tionghoa yang bertumbuh setelah Peristiwa Mei 1998, seperti Perhimpunan
Indonesia Tionghoa (INTI) dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia
(PSMTI). Dicabutnya Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Pelarangan Ekspresi Kebudayaan Cina di Ruang Publik oleh Keputusan Presiden
Nomor 6 Tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid, serta dikeluarkannya
UndangUndang Kewarganegaraan Indonesia (yang baru) Nomor 12 Tahun 2006
yang, menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menempatkan warga
Tionghoa dalam persamaan dan kesetaraan dengan warga negara yang lain dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.53Surat Menteri Dalam Negeri N0.
52Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h. 184-185.
53I. Wibowo dan Thung Ju Lan, SETELAH AIR MATA KERING, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h.4-5
63
470/336/SJ Perihal Pelayanan Administrasi Kependudukan Penganut Agama
Konghucu, tanggal 24 Februari 2006.54
Penganut Agama Khonghucu pada 23 Juli 1995 menyelenggarakan upacara
pernikahan di kelenteng Boen Bio, Surabaya. mereka lalu mendaftarkan diri ke
Kantor Catatan Sipil Surabaya. menurut Undang-Undang Perkawinan, pengikut
agama yang bukan Islam diwajibkan untuk mencatatkan perkawinannya pada
Kantor Catatan Sipil supaya tidak dinyatakan illegal. Seperti yang telah terjadi
pada masa lampau, Kantor Catatan Sipil menolak mencatat perkawinan Budi-
Lany karna tidak lagi mengakui Agama Khonghucu. Dengan alasan bahwa
agama Konghucu tdak diakui oleh pemerintah. Sejak dikeluarkannya Intruksi
Presiden No. 14 Tahun 1967, Meski demikian, pegawai kantor mengusulkan
untuk mencatat perkawinannya sebagai perkawinan menurut agama Buddha.
Budi dan Lany menolak untuk menganti agama dan menuntut ke pengadilan
pegawai Kantor Catatan Sipil.
Pengadilan berlangsung beberapa bulan dan sempet menarik banyak
kalangan, baik Tionghoa maupun non Tionghoa. Bahkan Gus Dur yang waktu itu
ketua Nahdhatul Ulama, menghadiri pengadilan itu. Kasus ini penting karna
kasus ini menyangkut hukum agama Konghucu. Keputusan yang diambil akan
membawa akibat bagi kehidupan beragama kaum etnis Tionghoa dan hak-hak
asasi manusia di Indonesia. Para pengacara Budi dan Lany mengajukan pendapat
bahwa Agama Khonghucu adalah agama dan ideology negara Pancasila
mengakui kebebasan beragama, dan setiap warga negara berhak menjalankan
54Emma Nurmawati Hadian, Buku Saku Pembinaan dan Pelayanan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, (Kementrian Agama RI Jakarta, Agustus 2015), h,13.
64
agamanya. Kantor Catatan Sipil tidak mempunyai hak untuk menolak pencatatan
perkawinan menurut agama Khonghucu. Pengacara pihak pemerintah
berpendapat bahwa agama Khonghucu bukan agama dan bahkan seandainya
agama pun, agama Konghucu tidak lagi diakui sebagai agama. Maka, Kantor
Catatan Sipil mempunyai hak untuk menolak pencatatan itu. Pengadilan
Suarabaya akirnya memutuskan bahwa perkara ini ada diluar kewenangannya
untuk menentukan apakah agama Khonghucuadalah agama atau bukan. Akan
tetepi, karena Menteri Agama tidak lagi mengakui agama Konghucu dengan
melihat Intruksi Presiden N0 14 Tahun 1967, Kantor Catatan Sipil, yang adalah
lembaga negara, harus mengikuti peraturan yang ada. Pengadilan memutuskan
Kantor Catatan Sipil benar.
Keputusan tersebut tidak disambut baik oleh kalangan Tionghoa atau pun
orang non Tionghoa. Beberapa intelektual islam mengkritik bahwa pemerintah
telah melanggar hak-hak asasi manusia dan kebebasan beragama. Gus Dur
mengeluarkan komentar yang menarik ketika ia mengatakan bahwa masalah
apakah agama Konghucu itu agama atau bukan, sebaiknya diserahkan kepada
pengikutnya, negara tidak boleh ikut campur. Dia mengatakan bahwa agama
Konghucu adalah agama dan adalah tidak adil terhadap kelompok etnis Tionghoa
kalau menolak memberikan setatus legal. Budi dan Lany memutuskan untuk naik
banding ke Mahkamah Agung.
Seperti telah ditulis di atas, perkawinan Budi dan Lany disahkan oleh
Mahkamah Agung, walaupun Lany melahirkan anak, yang sampai perkawinan
mereka disahkan, berstatus tidak sah. Setelah agama Konghucu diakui sebagai
65
agama oleh pemerintah Gus Dur, dalam pelaksanaannya masih kurang mantap,
karena untuk pasangan penganut agama Konghucu tetap tidak dapat
mendaftarkan perkawinan mereka dan harus melewati proses yang panjang
sampai Mahkamah Agung. lebih buruk lagi setelah Gus Dur mundur,
pemerintah daerah melarang memasukkan agama Konghucu pada kartu tanda
penduduk.
Perlawanan terhadap agama Konghucu tampaknya masih sangat besar
dikalangan pemerintah. Rupanya keadaan yang tidak menentu ini berlangsung
untuk beberapa tahun dan baru berubah dua tahun setelah Susilo Bambang
Yudhoyono terpilih menjadi presiden. Menteri Agama mengeluarkan surat No.
MA/12/2006 bertanggal 24 Januari 2006 yang menjelaskan tentang perkawinan
Agama Konghucu dan pendidikan agama Konghucu. Dalam surat yang
ditunjukkan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan ini
menerangkan bahwa pencatatan perkawinan bagi para penganut agama
Konghucu sesuai peraturan perundangan yang ada. Demikian hak-hak sipil
lainnya. Dilanjutkan Pada tanggal 24 Februari Tahun 2006 Menteri Dalam
Negeri mengeluarkan surat edaran yang mengatakan “ memerintahkan seluruh
Dinas Kependudukan, Kantor Catatan Sipil serta yang terletak dibawah
koordinasi Depdagri termasuk kantor kecamatan, kelurahan bahkan ketua
RT/RW untuk melayani warga agama Konghucu yang ingin mempunyai kartu
keluarga, kartu tanda penduduk, serta mencatatkan pernikahannya. Sebelum
tanggal 24/2/2006, Menteri Agama mengirim surat kepada Mendagri dan
Mendiknas.
66
Sejak adanya suarat edaran itu, eksistensi agama Konghucu secara resmi
diakui dalam administrasi kependudukan, baik dalam kartu tanda penduduk,
kartu keluarga, maupun pencatatan pernikahan. Kabarnya dibeberapa daerah
surat edaran ini segera diaplikasikan, tetapi dibeberapa daerah lain masih
memperlukan waktu untuk proses.55
B. Kelembagaan Agama Khonghucu
Migrasi yang telah membawa peningkatan pada jumlah orang Tionghoa
yang menetap di Indonesia di mulai pada awal perdagangan dengan kapal-kapal
jung (junk trade) oleh para pedagang Tionghoa dari Tiongkok Tenggara. Sebelum
bangsa Eropa, orang Tionghoa sudah beberapa kali mengunjungi Pulau Jawa,
sebuah pulau yang menduduki peran penting dalam banyak aspek, seperti
ekonomi, politik, dan kebangsaan di kemudian hari. Meskipun demikian, bukti-
bukti sejarah mengenai pemukiman menetap permanen di kota-kota sepanjang
pantai utara Jawa tidak ditemukan sampai pada abad ketiga belas.
Kebanyakan orang Tionghoa yang masuk ke Indonesia antara tahun 1860-
an sampai 1920-an didatangkan untuk bekerja di perkebunan dan mengeksploitasi
komoditas produk tambang bagi pasar Barat. Oleh sebab itu, mereka ini
kebanyakan buta huruf dan tidak berpendidikan. Seperti kebanyakan perantau
Tionghoa yang menetap di bagian lain Asia Tenggara, ketika mereka baru tiba di
Indonesia, mereka tidak dapat berbicara bahasa lokal dan memiliki sedikit sanak
saudara atau teman. Dalam usahanya untuk bertahan hidup di tanah asing yang
mereka diami, mereka mencari orang lain yang berbicara dengan dialek yang
55I. Wibowo dan Thung Ju Lan, “SETELAH AIR MATA KERING”, h.96-99
67
sama, memiliki nama keluarga yang sama, atau berasal dari daerah yang sama di
Tiongkok.
Secara bertahap, organisasi Tionghoa dibentuk atau dasar nilai-nilai tradisi
dan budaya yang mereka yakini bersama. Organisasi Tionghoa yang paling awal
berupa “bang” atau “jiazu” (marga), yang berdasarkan pada kesamaan nama
keluarga, misalnya Paguyuban Marga Huang atau Paguyuban Marga Liem.
Mereka menyediakan bantuan bagi imigran baru dan kehidupan sosial mereka,
dan bahkan menyediakan persahabatan dan bantuan darurat bagi anggotanya.
Pada pokoknya, fungis organisasi tersebut adalah untuk menolong imigran baru
guna bertahan hidup, membantu meningkatkan kesejahteraan mereka, serta
menawarkan perlindungan dan solidaritas yang dibutuhkan.
Selama periode kolonial Belanda (1602 – 1945), masyarakat Tionghoa di
Indonesia dipaksa untuk menuruti sistem kesatuan yang bercirikan otoritarian
yang kuat. Pada masa penuh ketegangan ini, ketika masyarakat dibelah-belah oleh
Belanda menurut sebuah struktur hierarkis, jumlah migran Tionghoa yang datang
ke Indonesia semakin meningkat. Selain buruh dan petani, banyak orang
Tionghoa yang berpendidikan juga dikirim untuk membangun sekolah. Karena
Belanda secara terus-menerus mengabaikan dan menolak permohonan mereka
untuk menyediakan bahan-bahan dan gedung pendidikan yang layak, komunitas
Tionghoa berinisiatif mendirikan organisasi modern pertama untuk
mempromosikan pengajaran Konfusianisme di sekolah Tionghoa menengah.
Organisasi modern pertama ini adalah Tiong Hoa Hwee Koan.
68
Tiong Hoa Hwee Koan dibentuk pada 17 Maret 1900 “untuk menjadi
pusat bagi keseluruhan pergerakan (Tionghoa) untuk reformasi adat istiadar dan
tradisi Tionghoa”. Perkumpulan ini mendirikan sekolah yang dibuka di Jakarta
tahun 1901. Mereka membentuk sekolah Tionghoa modern dengan tiga cara.
Pertama, bahasa pengajaran adalah bahasa Mandarin, bukan Hokkian atau dialek
Tiongkok selatan lainnya. Kedua, mereka menggunakan kurikulum dari
pendidikan Barat modern. Ketiga, kelas untuk perempuan segera dibuka dan,
tahun 1928, sekolah di Batavia (dahulu disebut Jayakarta) menjadi sekolah untuk
para pelajar laki-laki dan perempuan.
Tiong Hoa Hwee Koan, bersama dengan Siang Hwee (perkumpulan bisnis
Tionghoa atau kamar dagang), Soe Po Sia (klub membaca yang fokus pada politik
dan revolusi), dan Sin Po (dinamakan setelah surat kabar pro Tiongkok dijalankan
oleh Tionghoa peranakan) berjuang untuk memperbaiki posisi komunitas
Tionghoa secara keseluruhan dan menguatkan perasaan afiliasi dengan Tiongkok.
Mereka membentuk pergerakan Tionghoa nasionalis dengan orientasi yang jelas
kepada Tiongkok.
Kelompok-kelompok tersebut bukan satu-satunya yang mewakili
komunitas Tionghoa selama periode kolonial. Komunitas Tionghoa di Indonesia
adalah kelompok yang heterogen yang memiliki banyak perbedaan cara dalam
berpikir, berdasarkan pada perbedaan latar belakang budaya mereka.
Selama periode kolonial, ada dua kelompok Tionghoa yang berbeda di
Indonesia, yakni totok dan peranakan. Totok adalah mereka yang lahir di
Tiongkok, berbicara dalam bahasa Mandarin, dan secara jelas berorientasi kepada
69
Tiongkok atau Taiwan. Adapun peranakan adalah mereka yang lahir di Indonesia
dan biasanya tidak berbicara dalam bahasa Mandarin. Di antara kedua kelompok
ini, bagaimanapun, terdapat garis-garis demarkasi. Dari sudut profesi, Tionghoa
totok lebih memilih menjadi pedagang ketimbang Tionghoa peranakan.
Dari segi politik, ada pula perbedaan di antara Tionghoa totok dan
Tionghoa peranakan. Tiong Hoa Hwee Koan dan Sin Po pada hakikatnya
merupakan organisasi sosial-politik yang pro-Tiongkok. Organisasi kaum
peranakan adalah Chung Hwa Hui yang mendukung Belanda dan Parta i
Tionghoa Indonesia yang menganut nasionalisme Indonesia. Di antara kelompok
totok, Siang Hwee, Soe Po Sia, dan “kelompok pidato” merupakan kelompok
yang berada di belakang Gerakan Tiongkok Nasionalis (Chinese Nationalist
Movement). Selain itu, ada pula kelompok yang mendukung Taiwan, berdasarkan
Kongres Nasional Kuo Min Tang.
Selama masa pendudukan Jepang (1942 – 1945), kelompok-kelompok
yang sangat beragam ini dipaksa untuk bersama-sama di bawah satu
perkumpulan. Ketika Jepang menginvasi Indonesia, pasukan Jepang menghina
kaum Tionghoa dan mencoba untuk menaburkan perpecahan di antara komunitas
totok dan peranakan dengan cara membawa mereka bersama-sama ke dalam
Huaqiao zhonghui. Jepang dengan sengaja memilih kata “huaqiao” (Tionghoa
perantauan) untuk nama federasi tersebut ketimbang “zhonghua” (Tiongkok)
karena mereka sedang berperang dengan Tiongkok.
Alih-alih menjadi terpecah, kedua kelompok tersebut malah berkolaborasi.
Para peranakan lebih berkeinginan bersekutu dengan komunitas totok daripada
70
bersekutu dengan Jepang. Permulaan tahun 1942, jumlah anak-anak peranakan
yang memasuki sekolah yang dikelola komunitas totok meningkat dengan cepat,
dan komunitas pan-Tiongkok mengalami revitalisasi. Namun, semangat unifikasi
ini tidak berlangsung lama karena perubahan kebijakan di Republik Indonesia
pada tahun 1945.
Pada saat Indonesia bergerak maju menuju demokrasi konstitusional,
setelah proklamasi pada 17 Agustus 1945, komunitas Tionghoa menghadapi
persoalan baru berkenaan dengan isu-isu kewarganegaraan. setelah masa
pendudukan Jepang berakhir tahun 1945, eksistensi kelompok totok dan
peranakan tidak lagi diperlukan di bawah federasi yang disebut di atas. Jadi,
timbullah keretakan di antara kedua komunitas tersebut.
Republik yang masih berusia muda di bawah Soekarno sadar bahwa ada
masalah di antara kaum Tionghoa menyangkut isu kewarganegaraan. Konferensi
Meja Bundar tahun 1949 untuk pertama kalinya mengangkat masalah
kewarganegaraan penduduk Tionghoa di Indonesia. Ditetapkan bahwa semua
orang Tionghoa kelahiran Indonesia diberikan hak untuk memilih
kewarganegaraan Indonesia dengan tanpa melakukan apa pun atau mereka bisa
menetapkan status mereka sebagai warga negara Tiongkok dengan secara resmi
menolak kewarganegaraan Indonesia dalam masa dua tahun (1949 – 1951).
Timbul situasi rumit akibat dari Resolusi 1949. Kaum Tionghoa yang lahir
di Indonesia, yang tidak menolak kebangsaan Indonesia dan tidak juga memilih
kewarganegaraan Tiongkok, adalah warga negara legal, baik di Tiongkok maupun
di Indonesia. Namun, hal itu diakhiri dengan adanya penandatanganan Perjanjian
71
Dwi kewarganegaraan pada tahun 1955 oleh Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok. Data tahun 1962 menunjukkan terjadi
penurunan jumlah kaum Tionghoa yang memilih kewarganegaraan Indonesia
karena ada syarat kaum Tionghoa harus membuat pilihan aktif, di samping juga
hambatan hukum dan birokratis. Akibatnya, sebagai orang asing, mereka
mengalami kesulitan ketika mereka membutuhkan bantuan pemerintah, fasilitas
kredit, lisensi impor dan pabrik, hak berdagang grosir, dan devisa.
Charles Coppel mengamati diskriminasi terhadap orang asing dan warga
Tionghoa meningkat. Pada tahun 1954 berdirilah sebuah organisasi massa yang
disebut Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia atau Baperki.
Ketuanya yang pertama adalah Siauw Giok Tjhan. Organisasi yang didukung oleh
organisasi-organisasi Tionghoa lokal ini berhasil menjangkau seluruh Indonesia.
Ketika diadakan pemilihan umum pada tahun 1955 untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Konstituante, Baperki berhasil memperoleh satu
kursi di DPR dan Siauw Giok Tjhan duduk sebagai wakilnya. Untuk Konstituante,
Baperki diwakili oleh Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien
Tjwan, Liem Koen Seng, dan Oei Poo Djiang.
Ketika Indonesia memasuki periode pergolakan politik dan krisis di tahun
1965, semua organisasi Tionghoa, termasuk Baperki dibubarkan. Tahun 1965
Soeharto mengambil alih kekuasaan setelah percobaan kudeta gagal, kudeta yang
menurut banyak orang diprakarsai oleh PKI. Menyusul percobaan kudeta (dis ebut
juga Gerakan 30 September), Soeharto memutuskan hubungan diplomatic dengan
Tiongkok, lalu mengimplementasikan kebijakan asimilasi yang mengakibatkan
72
erosi bahasa dan budaya Tionghoa. Penutupan organisasi dan seolah-sekolah
berbahasa Mandarin terkait dengan kebijakan asimilasi ini.
Selama masa Orde Baru ini hanya organisasi keagamaan dan rumah abu
yang diperbolehkan untuk terus beroperasi. Leo Suryadinata mencatat bahwa
negara memperkuat agama untuk melawan komunisme dan gerakan sayap kiri
karena komunis dipercayai berciri ateis dan antireligius, Oleh karena itu, semua
organisasi keagamaan menjadi lebih aktif daripada sebelumnya. Dari kalangan
masyarakat Tionghoa, satu yang paling terkenal dari organisasi-organisasi ini
adalah Khong Kauw Hwee atau Perkumpulan Konfusian. Di samping itu terdapat
perkumpulan keagamaan Tionghoa lain yang disebut Sam Kauw Hwee,
Perkumpulan Tiga Agama, yang dimaksudkan untuk memajukan Konfusianisme,
Taoisme, dan Buddhisme. Sam Kauw Hwee kemudian dikenal sebagai Tridharma.
Situasi orang Tionghoa di Indonesia berubah secara radikal setelah rezim
Soeharto jatuh, yang didahului oleh kerusuhan Mei 1998. Instruksi Presiden
Nomor 6 Tahun 2000 secara resmi menghapus Instruksi Presiden Nomor 14
Tahun 1967 yang membatasi dijalankannya adat istiadat dan agama Tionghoa ke
dalam lingkup wilayah privat. Pada tahun 2001, Tahun Baru Imlek menjadi hari
libur fakultatif (Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 13 Tahun 2001), dan
dua tahun kemudian Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Di
samping perayaan resmi Tahun Baru Imlek, mucul sekolah tiga bahasa (san yu
xuexiao) yang menawarkan bahasa Mandarin bersama dengan bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris.Masyarakat Indonesia juga menyaksikan berdirinya organisasi-
organisasi Tionghoa yang telah sekian lama tertidur pada masa Soeharto. Di
73
antara organisasi pertama yang menegaskan kembali eksistensi dirinya adalah
organisasi-organisasi keagamaan. Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia
(Matakin), yang sudah berdiri pada tahun 1967, adalah organisasi yang paling
pertama bangkit dan mengadakan kongres pada tahun 1998. Kongres tersebut
menjadi pemicu kebangkitan organisasi-organisasi Tionghoa di Indonesia.
Buddhisme tidak mengalami pembatasan selama Orde Baru, bahkan diakui
sebagai satu dari lima agama resmi. Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi)
sudah didirikan sejak masa Orde Baru.
Sejalan dengan munculnya organisasi keagamaan itu, muncullah banyak
sekali organisasi yang didirikan oleh kaum Tionghoa pasca jatuhnya Soeharto
tahun 1998. Menurut satu-satunya buku yang memuat daftar organisasi Tionghoa
di Jakarta, Daftar Marga Tionghoa di Jakarta, yang dipublikasikan oleh
Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), terdapat 176 organisasi
sosial Tionghoa di Jakarta. Pembagian organisasi-organisasi sosial tersebut adalah
sebagai berikut:
74
JENIS ORGANISASI JUMLAH
Organisasi Berdasarkan Marga Tionghoa 78
Organisasi Daerah Leluhur di Tiongkok 19
Organisasi Daerah Leluhur di Indonesia
Yayasan Belitung Mulia 1
Alumni Sekolah Tionghoa 19
Alumni Sekolah National University of Singapore (NUS) 1
Alumni Sekolah di Taiwan 1
Alumni Sekolah di Tiongkok 1
Organisasi Masyarakat
Organisasi Bidang Ekonomi 5
Lembaga Penelitian Masyarakat Tionghoa Indonesia 8
TOTAL 176 Sumber: Daftar Marga Tionghoa di Indonesia dipublikasikan oleh Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), 28 September 2007.
1. Organisasi yang berdasarkan nasionalisme: Organisasi ini ditujukan
untuk menyatukan, memajukan, dan mengarahkan potensi dari semua
WNI atau warga negara Indonesia untuk mencurahkan diri bagi cita-
cita kaum nasionalis. Organisasi tersebut terbuka bagi semua orang
Indonesia, tidak hanya kelompok etnis Tionghoa. Semua warga negara
RI dapat menjadi anggotanya. Contoh, Perhimpunan Indonesia-
Tionghoa (INTI), Suara Kebangsaan Indonesia, Lembaga Pengkajian
Kebangsaan Indonesia Bersatu, dan Forum Demokrasi Kebangsaan.
2. Partai-partai politik, seperti Partai Reformasi Tionghoa dan Partai
Bhinneka Tunggal Ika, yang ditujukan untuk mencapai kekuasaan
eksekutif dan legislatif.
75
3. Organisasi yang berdasarkan kelompok bahasa, seperti Hakka,
Hokkian, Kanton, dan Perkumpulan Teochew.
4. Organisasi yang berdasarkan atas kesamaan nama keluarga, seperti
Perkumpulan Marga Huang, Wu, Lim, Tan, dan Oey.
5. Organisasi yang berdiri atas kesamaan daerah asal di Tiongkok, seperti
Meizhou, Fuqing, dan Perkumpulan Nanan.
6. Organisasi yang berdasarkan pada ikatan kuat Indonesia-Tionghoa di
dalam visi mereka bahwa Indonesia Tionghoa sebaiknya memiliki
kesamaan hal sebagaimana kelompok etnis lain di Indonesia.
Dalam memiliki persamaan hak-hak, mereka harus berkontribusi sama
banyaknya dengan kelompok etnis lain dalam memajukan negara yang
demokratis dan aman. Paguyubab Sosial Marga Tionghoa Indonesia
adalah sebuah contoh dari organisasi tipe ini.
7. Organisasi alumni sekolah menengah Tionghoa, seoerti Ba Zhong dan
Hua Zhong. Organisasi ini mengambil guru-guru lama di bawah sayap
mereka, menyiapkan dan mempromosikan beasiswa, membangun
sekolah tiga bahasa, dan ikut serta dalam kegiatan lain yang terhubung
dengan pendidikan.
8. Perkumpulan keagamaan seperti yang sudah dibahas di atas, seperti
Matakin, Walubi, dan Majelis Tao Indonesia. Perkumpulan keagamaan
lainnya termasuk kelompok Muslim-Tionghoa, Pembina Iman Tauhid
Islam, dan organisasi Kristen-Tionghoa.
76
9. Organisasi yang berdasarkan pada kesamaan minat dan aktivitas,
seperti paduan suara, klub olahraga (tenis meja dan bulu tangkis menjadi
yang paling terkenal), kelompok catur Tiongkok, klub apresiasi seni
Tionghoa, dan lainnya.
Daftar di atas tidak dimaksudkan secara mendalam, tetapi di dalamnya
terindikasi adanya pergerakan dari orang Tionghoa. Sebuah tambahan yang
menarik bagi daftar tersebut mungkin adalah organisasi sosial yang dibentuk
berdasarkan kesamaan daerah asal mereka di Indonesia. Yayasan Belitung Mulia,
misalnya, adalah yayasan yang terdiri dari warga Indonesia-Tionghoa yang
berasal dari Belitung, Sumatera Timur; Yayasan Bumi Khatulistiwa, yang
membawa kebersamaan Indonesia-Tionghoa yang berasal dari Kalimantan Barat
(Pontianak dan Singkawang); dan Yayasan Bina Sejahtera Aceh, yang anggotanya
berasal dari Aceh.
Ada juga tipe lain dari perkumpulan-perkumpulan yang berfungsi secara
formal dan informal sebagai federasi. Federasi perkumpulan Guang Dong
Indonesia adalah sebuah contoh federasi formal yang secara resmi diluncurkan
pada 13 November 2007 di Jakarta. Federasi ini mencakup delapan organisasi,
yakni Hakka, Guangzhou (orang Kanton), Chaozhou (Teochew), Hainan,
Meizhou, Jiaoling, Huizhou, dan warga Belitung. Adapun organisasi Hakka,
Guangzhou, dan Chaozhou (Teochew) adalah perkumpulan kelompok bahasa
yang leluhurnya berasal dari Provinsi Guandong di Tiongkok.
Perkumpulan Hainan termasuk ke dalam federasi ini karena Hainan, yang
sekarang merupakan provinsi, semula merupakan bagian dari Provinsi Guandong.
77
Perkumpulan Mei Zhou, Jiaoling, dan Huizhou semuanya berdasarkan pada
daerah-daerah di Provinsi Guandong, sementara perkumpulan warga Belitung
berdasarkan pada tempat di dalam Indonesia yang memiliki populasi besar kaum
Tionghoa yang berbicara dalam bahasa Hakka. Kebanyakan federasi Tionghoa
memiliki karakteristik global.
Federasi Guandong Indonesia mempertahankan hubungan tertutup dengan
federasi dan perkumpulan Guandong lainnya di seluruh dunia. Federasi ini
berencana mengadakan Kongres Internasioanl Federasi Dunia Guandong
Dwitahunan Kelima di Jakarta.
Federasi Guandong Indonesia adalah sebuang intitusi formal, sedangkan
Perkumpulan Fujian adalah sebuah contoh federasi informal. Perkumpulan Fujian,
atau lebih spesifik Perkumpulan Warga Fujian Peduli Bencana Alam, dibentuk
pada akhir tahun 2004 untuk mengumpulkan bantuan bagi korban tsunami di
Aceh. Organisasi ini bekerja sama dengan perkumpulan Fuzhou, Fuqing,
Shandong, Xingan, Nanan, Yongchun, Anqi, Jinjiang, Dunghuang, Tungan,
Longyuan, Yongding, Jinmen, dan Persatuan Marga Lim. Perkumpulan ini
memayungi orang yang mempunyai nama keluarga yang sama, dalam hal ini Lim.
Lim Sioe Liong adalah salah satu anggotanaya, merupakan orang Tionghoa paling
makmur di Indonesia selama pemerintahan Orde Baru. Dia adalah pendiri aktif
dan penyokong Perkumpulan Fuqing (Provinsi Fujian) adalah kota kelahirannya.
Meskipun Perkumpulan Fujian tidak berdiri secara resmi, para pemimpin
dari 14 organisasi anggota mengadakan pertemuan-pertemuan dan acara-acara
secara teratur. Tujuan utamanya adalah mempromosikan harmoni sosial di
78
Indonesia ketimbang memberikan bantuan kepada korban bencana alam, dengan
mengontribusikan upaya mereka dalam usaha-usaha sosial yang beragam, seperti
membangun sekolah dan mendistribusikan bahan pokok kepada yang
membutuhkan selama perayaan hari raya Tionghoa, seperti Tahun Baru Imlek.56
Kelembagaan agama Khonghucu di Indonesia pada tahun 1918 Khong
Kauw Tjong Hwee (Kong Jiao Zong Hiu) di Yongyakarta. Bandung dipilih sebagi
kedudukan pusat organisasi dan Poei Kok Gwan terpilih sebagai ketua Umum.
keputusan ini didukung oleh Khong Kauw Hwee dari kota Surabaya, Sumenep,
Kediri, Surakarta, Semarang, Blora, Purbolinggo, Cicalengka, Wonogiri,
Yogyakarta, Kartasura, Pekalongan. Pada tahun itu pula,diterbitkan majalah
Khong Kauw Gwat Poo atau Kong Jiao Yue Bao. 25 September 1924 diadakan
konggres di Bandung yang tujuannya utamanya membahas lebih lanjut
penyeragaman tata ibadah diseluruh Indonesia. 25 Desember 1938 diadakan
konferensi di Surakarta dan kedudukan pusat dialihkan ke kota Surakarta dengan
ketua Umum orba-pasca tentang organisasi-organisasi agama khonghucu.
C. Keberadaan Agama Khonghucu dalam Organisasi Pemerintah
Keberadaan agama Khonghucu di Indonesia sebenarnya sudah eksis sejak
jauh sebelum masa reformasi di mulai yaitu dengan adanya penetapan Presiden
Nomor 1.Pn.Ps. Tahun 1965 yang mengatakan, agama yang dipeluk sebagian
besar penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Khonghucu (Confucian). Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain misalnya:
56I. Wibowo dan Thung Ju Lan, “SETELAH AIR MATA KERING”, h. 51-67
79
Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoisme dilarang di Indonesia. mereka mendapat
jaminan penuh seperti yang diberikan pasal 29 ayat 2 dan mereka di biarkan
adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan
ini atau peraturan perundangan yang lain.
Setelah rezim orde berakhir, kebebasan beragama di Indonesia mengalami
kemajuan yang sangat berarti. Presiden Indonesia pada waktu itu K.H.
Abdurahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur menerbitkan Keputusan
Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Intruksi Presiden Nomor 14
Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam diktum
menimbang, disebutkan bahwa selama ini pelaksanaan Intruksi Presiden No 14
Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina dirasa oleh
Warga Negara Indonesia keturunan Cina telah membatasi ruang geraknya dalam
menyelengarakan kegiatan keagamaan, kepercayaan, adat istiadat. Selain itu
disebutkan bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat
istiadat pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi
manusia. Dengan adanya Keppres ini, Intruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967
tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina dicabut dan penyelenggaraan
kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat Cina dilaksanakan tanpa
memperlukan izin khusus sebagaimana berlangsung sebelumnya. keputusan
tersebut berlaku sejak 17 Januari tanun 2000.57
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tiga hari sebelum
menyerahkan jabatannya ke Presiden Joko Widodo memberikan hadiah berharga
57Emma Nurmawati Hadian,Buku Saku Pembinaan dan Pelayanan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia, h. 03-04
80
kepada masyarakat Khonghucu berupa peraturan No 135 Tahun 2014, tertanggal
17 Oktober Tahun 2014 tentang pembentukan struktur baru Direktorat Jendral
Khonghucu di Kementrian Agama R.I. dalam pasal 475 bagian I dituliskan bahwa
susunan organisasi eselon I Kementrian Agama terdiri Derektorat Jendral
Bimbingan Masyarakat Konghucu. Dengan dikeluarkannya peraturan ini
diharapkan pemerintah dapat mempercepat pemulihan hak-hak sipil agama
khonghucu.58
Pengakuan pemerintah Indonesia juga diperlihatkan dengan adanya
regulasi atau pelayanan penganut Khonghucu secara resmi, pelayanan hak-hak
sipil penganut Konghucu
a. UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, yang mengatakan Negara menjamin kebebasan
setiap penduduk untuk memeluk agama sesuai keyakinannya.
b. UU No.I tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1 menyakatakan
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya maka Depertemen Agama
memperlakukan perkawinan para Penganut Agama Khonghucu yang
dipimpin pendeta Khonghucu adalah sah.
c. UU No 1/PNPS/1956 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau
Pedoman Agama kususnya dalam Pasal 1 berbunyi, Agama-agama yang
dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Khatolik, Hindu,
Budha dan Khonghucu.
58Sugiandi Surya Atmaja,Politik hukum pemerintah Indonesia terhadap Agama Khonghucu (Surabaya pt revka petra media, 2015) h. 195-196
81
d. Intruksi Mentri Agama Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang
Sosialisasi Status Perkawinan, Pendidikan dan Pelayanan Terhadap
Penganut Agama Khonghucu dijelaskan bahwa pelayanan terhadap
Agama Khonghucu ditingkat pusat dilaksanakan oleh Pusat Kerukukan
Umat Beragama (PKUB) pada Sekertariat Jendral Departemen Agama.
e. Peraturan Menteri Agama (PMA) No 10 Tahun 2010 tentang Organisasi
dan Tata Kerja, membentuk Bidang Bimas Khonghucu pada Pusat
Kerukunan Umat Beragama Sekertariat Jendral.
f. Keputusan Mentri Agama Republik Indonesia No 13 Tahun 2012 tentang
Organisasi Daerah membentuk Kasubag Hukum dan KUB pada Kanwil
Kemenag Propinsi, sehingga pelayanan Umat Khonghucu di propinsi dan
kebupaten/kota pada kasubag hukum KUB
g. Surat Menteri Agama Republik Indonesia N0 : MA/12/2006, tertanggal 24
Januari 2006 Perihal Penjelasan Mengenai Status Perkawinan Menurut
Agama Konghucu dan Pendidikan Agama Konghucu.
h. Surat Menteri Dalam Negeri R.I. N0 470/336/SJ, tertanggal 24 Febuari
2006, Prihal Pelayanan Administrasi Kependudukan Penganut Agama
Khonghucu.
i. UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Bab V pasal 12 ayat 1, yang mengatur
hak peserta didik untuk mendapatkan agama di sekolah sesuai agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
82
j. PP No 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agamadan Pendidikan
Keagamaan, ditegaskan hak-hak umat Khonghucu, dengan memasukkan
pendidikan agama Khonghucudalam kurikulum nasional.
k. PP No 55 Tahun 2007 Pasal 45 ayat I menyatakan bahwa pendidikan
keagamaan Khonghucu diselenggarakan oleh masyarakat pada jalur
pendidikan formal, non formal, dan informal.
l. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 47 Tahun 2008 tentang
Standar Isi Mata Pelajaran Agama konghucu yang ditetapkan pada tanggal
1 September 2008.
m. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 48 Tahun 2008 tentang
Standar Kompetensi Lulusan Mata Pelajaran Agama Konghucu yang
ditetapkan pada tanggal 1 september 2008.59
D. Alasan Orde Baru Mengeluarkan Agama Khonghucu Dari Agama
yang Dilayani Pemerintah
Berbicara alasan kita memiliki dasar ilmiah yang kuat terkait bukti yang
dijadikan landasan untuk mendorong melakukan tindakan. Alasan yang tidak ada
bukti menjadi sebuah pembenaran sepihak atas seseorang atau sekelompok orang.
Dalam kasus Orde Baru mengeluarkan agama Khonghucu dalam jajaran agama
yang dilayani oleh pemerintah menjadi pertanyaan besar yang ingin diteliti.
Karena bukan hanya melihat dari fenomena-fenomena yang terjadi dimasyarakat,
sebaliknya melihat nomena yang terjadi dibelakangnya.
59Emma Nurmawati Hadian, “ Buku Saku Pembinaan dan Pelayanan Penganut Agama Khonghucu di Indonesia “, h,11-14
83
Negara Indonesia sebagai negara hukum yang berpedoman Pancasila dan
UUD 1945, segala kebijakan hukum berlandaskan pada hal tersebut. Pemerintah
Orde Baru menganggap orang-orang keturunan Tionghoa terlibat dalam kasus
G30S/PKI Tahun 1965 dan dibelakang gerakan tersebut terdapat campur tangan
Pemerintah RRT, yang mana bertujuan menggulingkan Pemerintahan RI yang
sah. Anggapan-anggapan ini kemudian dimunculkan oeleh Pemerintah Orde Baru
yang mengakibatkan orang-orang Tionghoa menjadi tersudutkan. Alhasil setelah
dua tahun pengumuman tersebut mulai muncul anti Cina diseluruh wilayah
Indonesia, baik dalam bentuk fisik maupun non fisik. Apakah benar tuduhan
keterlibatan Etnis Tionghoa dan negara RRT terhadap gerakan pemberontakan
G30S/PKI sampai sekarang belum ada buktinya. Alasan pemerintah Orde Baru
mengeluarkan larangan terhadap agama Khonghucu selain berlatar belakang
politik atas peristiwa G30S/PKI, ada anggapan bahwa agama atau penganut
Khonghucu masih berafinitas yang berpusat pada negeri leluhurnya pada saat itu
pemerintah dan kelompok Center for Strategic and Internasional Studies(CISS)
yang dipengaruhi negara Amerika Serikat (AS) dan Bakom PKB menganggap
“leluhur” adalah agama leluhur atau Negara RRT, padahal ini tidak sesuai dengan
“leluhur” menurut pemahaman agama Khonghucu diartikan menghormati dan
bentuk prilaku bakti kepada orang yang telah mendahului kita dan telah kembali
kepada Sang Maha Pencipta. Kelompok CSIS dan Kroninya sebenarnya tidak bisa
membedakan pengertian “leluhur” yang dikaitkan dengan nasionalisme terhadap
84
negara dan “leluhur” dalam pengertian agama sebagai hubungan manusia dengan
Tuhan yang bersifat individual.60
Ada trauma yang mendalam dikalangan warga Tionghoa yang
menyebabkan mereka selalu menghindari keterlibatan mereka dibidang politik,
bahkan berbicara hal-hal yang terjadi pada waktu itu pun masih pada enggan.
Orang Tionghoa dikawatirkan menjadi kuda troya atau koloni kelima RRC yang
komunis dan sampai hari ini hal itu masih sangat menakutkan, bahkan bagi
generasi muda Tionghoa yang tidak tahu apa-apa tentang politik masa lalu.
Terlebih lagi adanya sikap anti komunis masih tinggi dikalangan warga non-
Tionghoa, baik yang sipil maupun militer, yang terekspresikan dengan jelas
melalui pernyataan publik mereka ketika masalah “korban” G30S mulai
pembicaraan umum.
E. Tanggapan Umat Konghucu Terhadap Kebijakan Pemerintah
Bahwa sejak peristiwa G-30-S, Ada trauma yang mendalam dikalangan
warga Tionghoa yang menyebabkan mereka selalu menghindari keterlibatan
mereka dibidang politik, bahkan berbicara hal-hal yang terjadi pada waktu itu pun
masih pada enggan. Orang Tionghoa dikawatirkan menjadi kuda troya atau koloni
kelima RRC yang komunis dan sampai hari ini hal itu masih sangat menakutkan,
bahkan bagi generasi muda Tionghoa yang tidak tahu apa-apa tentang politik
masa lalu. Terlebih lagi adanya sikap anti komunis masih tinggi dikalangan warga
non-Tionghoa, baik yang sipil maupun militer, yang terekspresikan dengan jelas
60Sugiandi Surya Atmaja, Politik Hukum Pemerintah Indonesia Terhadap Agama Khonghucu, Surabaya: PT. REVKA PETRA MEDIA, h.159-162
85
melalui pernyataan publik mereka ketika masalah “korban” G30S mulai
pembicaraan umum
Trauma tersebut telah menimbulkan kecendrungan dikalangan warga
Tionghoa untuk menyekolahkan anaknya kebidang-bidang studi yang sama sekali
tidak terikat dengan politik ataupun bidang-bidang yang dikuasai negara, sehingga
pada akhirnya orang-orang Tionghoa lebih banyak ditemukan pada bidang-bidang
pekerja yang terkait dengan natural sciences (eksakta), ekonomi dan arsitektur.
Secara kasar bisa diperkirakan bahwa hampir tidak ada generasi yang lahir setelah
tahun 1965 menjadi pegawai negeri atau pegawai pemerintah sehingga
masyarakat umum menilai orang Tionghoa cenderung berkosentrasi pada bidang
ekomomi dan cenderung dipersepsikan a-sosial.61
Sejak dicabutannya Intruksi Presiden No. 14 tahun 1967 melalui
Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wakid (Gus
Dur) kemudian dilanjutkan kebijakan-kebijakan Presiden selanjutnya secara
regulasi ditingkat pusat tidak masalah namun ketika dilapangan ditingkat teknis
itu banyak kendala-kendala yang dialami umat Konghucu, ternyata regulasi yang
diberlakukan di tingkat pusat belum maksimal pelaksanaannya terbukti ditingkat
bawah. Pertama siswa-siswi umat konghucu yang melaksanakan ujian sekolah
tidak mendapatkan soal sesuai agamanya sehingga mereka yang tidak
mendapatkan soal yang sesuai agamanya (konghucu) terpaksa mengambil agama
lain. Hal ini tentunga bertentangan dengan UU N0 20 tentang pendidikan
Nasional, kedua ketika umat Konghucu membuat KTP masih mengalami
61I. Wibowo dan Thung Ju Lan, “SETELAH AIR MATA KERING”, h. 8-9.
86
kesulitan-kesulitan yang dialami, adanya oknum-oknum yang memanfaatkan umat
konghucu yang memiliki tauma masa lalu. Jadi secara umum regulasi yang
dikeluarkan tidak sudah tidak ada masalah karena sudah mencakup semua
agama.62
62Wawancara pribadi dengan Js. Sugiandi Surya Atmaja,S.Kom. M.Ag. Jakarta
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada masa Orde Lama pemerintah mengeluarkan Penetapan Presiden RI
Nomor 1/PNPS tahun 1965 oleh Presiden Soekarno tentang pencegahan
penyalahgunaan dan/atau pedoman agama pada pasal 1 dijelaskan: Agama-
agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha dan Konghucu. Namun ketika Orde Baru berlangsung
mengeluarkan Intruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama,
Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina semenjak Inpres No. 14 Tahun 1967 inilah
agama konghucu mengalami pembatasan aktivitas di ruang publik. Tidak
berhenti disitu saja, regulasi baru diterbitkan guna menambah pembatasan
aktivitas umat Khonghucu, Ketetapan MPRS RI No. XXVII/MPRS/1966.
Kebijakan tersebut melarang budaya serta pendidikan yang berbau Cina.
Kebijakan yang mengandung makna diskriminatif dikeluarkan dalam masa
Orde Baru. Baru diera Presiden Abdulrahman Wahid (Gus Dur) mengeluarkan
Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 untuk mencabut Intruksi Presiden No. 14
tahun 1967 sehingga kebebasan Umat Konghucu untuk beraktivitas diruangan
publik pulih kembali tanpa ada batasan-batasan untuk melapor terlebih dahulu
seperti zaman Orde Baru. Namun hal ini tidak serta merta bisa hilang begitu saja
karna dampaknya dalam kehidupan sehari-hari juga terasa, bahwa masih ada
anggapan bahwa umat Konghucu di republik ini masih dianggap orang asing
87
88
oleh orang-orang pribumi, a-sosial, kondisi seperti ini yang masih terjadi
dikehidupan masyarakat belum lagi ketika mengurus administrasi
dipemerintahan misalnya mengurus KTP, pernikahan dan lain sebagainya masih
ada oktum-oknum yang memanfaatkan trauma masa lalu yang dialami umat
Konghucu. Alasan orde baru mengeluarkan dari agama resmi yang diakui
pemerintah adalah agama konghucu dianggap terlibat dalam pemberontakan
1965 (G-30-September) meskipun sampai sekarang belum ada yang bisa
membuktikan bahwa agama Konghucu terlibat dalam peristiwa itu, serta agama
konghucu dianggap berafiliasai dengan Negara Cina (Tiongkok) sebagai
penganut sistem komunis pada waktu itu. Anggapan inilah yang menjadi alasan
pemerintah (Orde Baru) untuk mengeluarkan agama Konghucu dari agama resmi
yang dilayani pemerintah.
B. Saran
1. Pemerintah harus berani mengakui kesalahannya dalam memperlakukan
kebijakan yang sangat diskriminatif pada masa Orde Baru terhadap
Agama Konghucu (Etnis Tionghoa) kenapa perlu mengakui
kesalahannya karna sampai saat ini belum ada bukti bahwa Agama
Konghucu terlibat dalam peristiwa Pemberontakan G-30-September
dengan adanya pengakuan secara resmi dari pemerintah maka sedikit
mengurangi persepsi publik (masyarakat) Indonesia bahwa Umat
Konghucu terlibat dalam peristiwa Pemberontakan G-30-September.
89
2. Umat Konghucu harus aktif dan berbaur dimasyarakat tauma masa lalu
memang sangat berat yang dialami oleh umat Konghucu namun jika
hanya terantuk-antuk dalam tauma masa lalu sembari menunggu
semuanya selesai maka justifikasi masyarakat non Tionghoa terhadap
umat Konghucu selamanya akan ada jika Umat konghucu tidak membaur
di masyarakat.
3. Umat konghucu harus berani membangun dan menatap masa depan
dengan menggelorakan semangat kebangsaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, penting kiranya umat Konghucu lebih Proaktif berbicara
kebangsaan untuk mengurangi justifikasi masyarakat terhadap umat
Konghucu yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
4. Umat konghucu harus ikut aktif dan mulai terlibat dalam ranah politik
praktis jangan hanya fokus dalam bidang ekonomi.
90
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Definisi Pemerintahan Menurut Para Ahli. 19 Maret 2014.
https://idtesis.com/pemerintahan_menurut_para_ahli/, tanggal 02 Maret
2018.
Alifuddin, Moh. Kebijakan Pendidikan Nonformal Teori, Aplikasi dan Implikasi.
Jakarta: MAGNA Script Publishing.
Atmaja, Sugiandi Surya. Politik Hukum Pemerintah Indonesia terhadap Agama
Khonghucu.
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-Agama. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2001.
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jakarta: Departemen Agama RI, 2006.
Hadian, Emma Nurmawati. Buku Saku Pembinaan dan Pelayanan Penganut
Agama Khonghucu di Indonesia. Kementrian Agama RI Jakarta. 2015.
Intruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat
Istiadat Cina yang melarang segala aktivitas berbau Tionghoa.
Jurnal Konstitusi. Volume 10. Nomor 2. Juni 2013.
Keene, Michel. Agama-Agama Dunia. Yogyakarta: Konisius. 2006.
Kuncono, Ongky Setio. http://www.spocjournal.com/hukum/350-legalitas-agama-
khonghucu-di-indonesia-keberadaan-agama-khonghucu.html, Artikel
diakses pada tanggal 12 April 2018.
91
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 6 Tahun 2000, Tentang Pencabutan
Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan,
dan Adat Istiadat Cina.
Ketetapan MPRS RI Nomor XXVII/MPRS/1966.
MD, Mahfud. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
2012.
Simuh. Agama Khonghucu dalam Mukti Ali. Agama-Agama Dunia. Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga Press. Cet. 1. 1998.
Sishu bagian Tengah Sempurna Bab Utama Ayat 1.
Sukarno, Sabar. Laporan Penelitian dengan judul “Dampak Perkembangan
Agama Khonghucu Pasca Reformasi”. Sekolah Tinggi Agama Buddha
Negeri Sriwijaya. 2014.
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 447/74054/BA.01.2/4683/95 Tanggal 18
November 1978.
Suryabrata, Sumardi. Metode Penelitian. Jakarta: Rajawali Press. 1993.
Suryadinata, Leo. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara. 2010.
Suryana. Metodologi Penelitian Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif. Universitas Pendidikan Indonesia. 2010.
Tanggok, M. Ikhsan. Mengenal Lebih Dekat “Agama Khonghucu” di Indonesia.
Jakarta: Pelita Kebajikan. 2005.
Taufiqurokhman. Kebijakan Publik. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Moestopo Beragama (Pers).
92
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28 E Ayat
(1).
UU No 1/Pn.Ps/1965.
Wibowo, I. dan Thung Jua Lan. Setelah Air Mata Kering. Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara. 2010.
Zain, Sutan Mohammad. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan. 1994.