refrat tht

Upload: gita-chan

Post on 30-Oct-2015

89 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

rinosinusitis

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahRinitis dan sinusitis adalah keadaan medis yang umum dan seringkali berkaitan. Pada negara barat diperkirakan 10-25% dari populasi memiliki rinitis alergi, dengan 30-60 juta orang terkena setiap tahun. Dan diperkirakan sinusitis mengenai 31 juta pasien setiap tahunnya di US. Sinusitis dan rinitis dapat sangat mengurangi kualitas kehidupan, memperburuk keadaan komorbid dan membutuhkan pengeluran untuk pengobatan. Kedua keadaan juga menyebabkan dampak tidak langsung terhadap masyarakat berupa menyababkan hilangnya pekerjaan dan tidak dapat berangkat sekolah dan mengurangi produktivitas kerja dan kegiatan belajar di sekolah (Dykewicz dkk, 2010).Penyakit akut saluran nafas atas yang durasinya kurang lebih 7 hari seringnya disebabkan virus, sedangkan sinusitis bakteri akut durasinya lebih dari 7-10 hari. Walaupun andalan pengobatan sinusitis bakteri akut adalah antibiotik, penanganan sinusitis kronis kurang jelas karena hanya beberapa kasus sinusitis kronis memiliki dasar infeksi (Dykewicz dkk, 2010).Sinusistis dapat berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intra kranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati (Soepardi dkk, 2007).

B. Tujuan Untuk menambah atau melengkapi teori mengenai penyakit rinosinusitis secara lengkap, sehingga dapat mendiagnosa dan memberikan tindakan yang tepat kepada pasien rinosinusitis.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Rinitis adalah radang pada membran mukosa hidung (Kumala dkk, 1998). Sinusitis adalah inflamasi mukosa sinus para nasalis. Sinusitis yang disertai atau dipicu oleh rinitis disebut sebagai rinosinusitis (Soepardi dkk, 2007).

B. Anatomi dan fisiologi nasal dan sinus paranasalisa. Anatomi dan fisiologi nasalAnatomi hidung dibagi menjadi dua, yaitu hidung luar dan rongga hidung atau cavum nasi. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis dan os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan 4) tepi anterior katrilago septum (Soepardi dkk, 2007). Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang hidung depan disebut nares anterior dan lubang hidung belakang disebut nares posterior atau koana. Vestibulum terletak tepat dibelakang nares anterior, mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh tulang (dilapisi periostium) dan tulang rawan (dilapisi perikondrium). Bagian tulang rawan adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) lamina kudrangularis dan 2) kolumela. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah adalah konka inferior, kemudia yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dan dinding lateral rongga hidung, di tempat ini terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung, di tempat ini terdapat muara dari sinus maksila, sinus etmoidalis anterior, sinus frontal. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palaum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid (Soepardi dkk, 2007).

Vaskularisasi bagian ataas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris interna, yaitu a. palatina mayor dan a. sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (littles area). Pleksus kiesselbach letaknya superficial. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. Oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup (Soepardi dkk, 2007).Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mucosa respiratorius) dan mukosa penghidu (mucosa olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia dan di antaranya terdapat sel-sel goblet. Di bawah epitelnya terdapat tunika propia yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan mukoid. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu (Soepardi dkk, 2007).

Fungis fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal. 2) fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu. 3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. 4) Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas. 5) Reflek nasal (Soepardi dkk, 2007).

b. Anatomi dan fisiologi sinus paranasalisSinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksilaris, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung (Soepardi dkk, 2007).Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang paling besar, berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infa-temporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus (lebih tinggi dari dasar sinus) dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus. Drainase pada sinus maksila tergantung pada gerak silia (Soepardi dkk, 2007).

Sinus frontalis terletak di os frontal. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar dari pada yang lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Soepardi dkk, 2007).

Sinus etmoid. Pada orang dewasa berbentuk seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukuran dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam masa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian depan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Soepardi dkk, 2007).

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi menjadi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Batasannya, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus cavernosus dan a. carotis interna dan sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Soepardi dkk, 2007). Muara sinus sfenoid pada meatus nasi superior (Putz & Pabst, 2006).Didalam sinus terdapat sistem mukosiliar yang berfungsi sebagai darinase, yaitu berupa silia dan palut lendir di atasnya. Silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya (Soepardi dkk, 2007).Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan muka. Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung (Soepardi dkk, 2007).

C. EpidemiologiDi Amerika Serikat kejadian tahunan rinosinusitis diperkirakan terjadi 6-8 episode pada anak-anak dan 2 -3 episode pada orang dewasa. Kejadian Pilek jauh lebih sering pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa. pada anak-anak adalah antara 6 dan 8 per tahun, sementara orang dewasa mengalami dua atau tiga pilek tahun( Clement & Vlaminck, 2007). Prevalensi rhinosinusitis meningkat sampai 50% dengan adanya riwayat obstruksi nasal, dari penelitian epidemiologi didapatkan hasill bahwa terdapat penurunan dari prevalensi rinosinusitis setelah usia anak 6 - 8 tahun. ini adalah riwayat alami penyakit pada anak-anak dan mungkin terkait dengan belum matangnya sistem kekebalan tubuh (Clement & Vlaminck, 2007; Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007)

D. Etiologi Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia sillia septerti pada sindrom Kartegener, dan di luar negri adalah penyakit fibrostik kistik.Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia (Soepardi dkk, 2007).

E. KlasifikasiKlasifikasi rinosinositis pada anak berdasarkan The Consensus Meeting in Brussels: (Clement, Bluestone, Gordts et al., 1996)1. Rinosinusitis akut.Adalah infeksi pada sinus biasanya dikarenakan oleh infeksi virus, dimana dengan gejala resolusi lengkap (dinilai hanya pada dasar klinis) tanpa intermiten infeksi saluran pernapasan atas yang mungkin bisa terjadi hingga 12 minggu. Hal ini dapat dibagi menjadi berat (severe) dan tidak berat (non-severe) (Tabel 1).Menurut subkomite pada penatalaksanaan sinusitis dan komite peningkatan kualitas the American Academy of Pediatricians (SMS/ CQIAAB), faktor predisposisi umum yang ditetapkan pada sinusitis bakteri akut adalah infeksi virus pernapasan bagian atas yang menghasilkan virus sinusitis dan dapat mengarah pada "Acute Bacterial Rhinosinusitis" (ABRs). Pada 80% kasus, rinosinusitis bakteri akut diinduksi oleh infeksi saluran pernafasan atas yang diawali diffuse mucositis kemudian diikuti superinfeksi oleh bakteri. Alergi bertanggung jawab 20% atas sisa dari sinusitis bakteri akut. Menurut the SMSCQI- AAP guideline, rinosinusitis bakteri akut adalah infeksi sinus paranasal yang berlangsung < 30 hari di mana gejala sembuh sepenuhnya (Wald, Bordley, Darrow et al., 2001). Menurut ke Mucha et al (2003), ABRs harus dipertimbangkan setelah infeksi virus saluran pernapasan atas, ketika gejala memburuk setelah 5 hari, menunjukkan infeksi virus lebih dari 10 hari atau lebih dari proporsi yang terlihat. Tipe evolusi semacam ini lebih jelas pada anak-anak remaja dan orang dewasa dibandingkan pada anak usia yang lebih muda.Untuk menutupi kesenjangan antara sinusitis akut dan kronis the SMSCQI-AAP guideline diperkenalkan, juga konsep untuk anak "subacute bacterial sinusitis "sebagai infeksi yang sinus paranasal yang berlangsung antara 30 dan 90 hari, di mana gejala resolusi lengkap (Wald, Bordley, Darrow et al., 2001). The Brussels Meeting Consensus tidak merekomendasikan jangka waktu sinusitis subakut karena perbedaan antara akut dan subakut yang berubah-ubah dan tidak menunjukkan pendekatan terapi yang berbeda pada anak-anak (Clement, Bluestone, Gordts et al., 1996)Sinusitis akut yang berulang melibatkan episode infeksi bakteri sinus paranasal, dipisahkan oleh jarak saat di mana pasien asimtomatik. The SMS/ CQIAAP guideline menyatakan bahwa episode ini berlangsung < 30 hari dan dipisahkan oleh jarak minimal 10 hari (Clement and Vlaminck, 2007).

Tabel 1. Gejala dan tanda dari non-severe dan severe sinusitis pada anak.Non-severeSevere

Rinorea (setiap kualitas)Rinorea purulen (thick, coloured, opaque)

Kongesti nasalNasal kongesti

Batuk

Nyeri wajah dan sakit kepalaNyeri wajah dan sakit kepala

Iritabilitas (variabel)

Sumber: Clement and Vlaminck, 2007.

2. Rinosinusitis Kronik.Rinosinusitis kronik pada anak idefinisikan sebagai infeksi sinus tidak berat (non-severe)dengan tingkat gejala rendah bertahan selama > 12 minggu (Clement and Vlaminck, 2007).Rinosinusitis kronis dengan eksaserbasi sering atau sinusitis kronis yang terjadi karena sinusitis bakteri akut merupakan pasien dengan gejala residual saluran pernapasan yang mengembangkan gejala baru saluran pernapasan. Ketika diobati dengan antimikroba, terjadi resolusi gejala baru, namun gejala sisa yang mendasari tidak (Clement and Vlaminck, 2007).Anggota the Brussels Consensus Meeting mencatat bahwa pengobatan medis seperti antibiotik dan steroid hidung dapat memodifikasi gejala dan tanda sinusitis akut dan kronis dan kadang-kadang sulit untuk membedakan klinis antara rinosinusitis yang menular dan rinosinusitis alergi pada anak-anak (Clement and Vlaminck, 2007).

F. Patofisiologi Patofisiologi rinosinusitis diawali dengan rinitis, baik alergi ataupun infeksi virus yang dapat merusak silia pada mukosa hidung dan merangsang mediator inflamasi sehingga terjadi peradangan pada mukosa hidung dan menyebabkan rinitis. Peradangan pada mukosa hidung direspon dengan menghasilkan lendir dan merekrut mediator peradangan, seperti sel-sel darah putih, pada lapisan hidung, yang menyebabkan penyumbatan hidung dan inflamasi pada saluran pernapasan sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium sinus, dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus akhirnya mengakibatkan hipoksia sinus dan retensi lendir menyebabkan silia berfungsi kurang efisien, dan menciptakan suatu lingkungan yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi oksigen oleh bakteri juga akan menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus dan akan memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob dan terjadi disfungsi sinus, hal Ini menyebabkan inflamasi pada sinus.Penyebab paling umum dari sinusitis adalahinfeksi saluran pernapasan bagian atasyang disebabkan virus. Virus tersebut sebagian besar menginfeksi saluran pernapasan atas seperti rhinovirus, influenza A dan B, parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus. Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya udem pada dinding hidung dan sinus (Clement & Vlaminck, 2007) ; (Djaafar dkk, 2007).

G. Manifestasi KlinisGejala dan tanda rinosinusitis pada anak adalah rinorea, obstruksi hidung, batuk yang terus menerus, post nasal drip, sakit kepala dan nyeri wajah, kadang demam (Budiman, and Mulyani, 2002).Gejala rinosinusitis pada anak bervariasi sesuai umur karena pada anak yang kecil, sulit untuk menceritakan keluhannya dengan jelas, sedangkan pada anak yang lebih besar dapat memberikan keluhan yang jelas sehingga akan lebih tepat seperti keluhan pada rinosinusitis dewasa. Gejala yang berat dan komplikasi sering terjadi pada rinosinusitis akut (Budiman, and Mulyani, 2002).Menurut Wald, terdapat 2 manifestasi klinik, yaitu: (Wald, 1990 dalam Budiman, and Mulyani, 2002)1. Infeksi Saluran Nafas Atas (ISNA) yang tampak berat dengan demam lebih dari 390C, sekret purulen dan nyeri wajah.2. ISNA yang lama dengan batuk dan sekret hidung menetap lebih dari 10 hari.Muntz dan Lusk, menyatakan, bahwa demam jarang ditemukan pada rinosinusitis anak-anak, meskipun pada keadaan akut. Demam biasanya menandakan adanya komplikasi. Kadang-kadang terjadi muntah pada saat batuk, mual atau rasa tercekik karena sekresi yang mengalir di belakang hidung ke tenggorok (Lusk and Stankiewicz, 1997 dalam Budiman, and Mulyani, 2002).Rinosinusitis kronis banyak dilaporkan terjadi pada anak dengan riwayat rinitis alergi dan asma. Batuk pada waktu siang maupun malam hari merupakan gejala yang paling sering terjadi dan tidur sering terganggu (Budiman, and Mulyani, 2002).Tabel 2. Perbedaan manifestasi klinis rinosinusitis akut dan kronik.Rinosinusitis AkutRinosinusitis Kronik

Onset tiba-tiba dari 2/ lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior): Nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah. Penurunan/ hilangnya penghidu.Terdapat 2/ lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (secret hidung anterior/ posterior): Nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah. Penurunan/ hilangnya penghidu.

Informasi diagnostik tambahan: Pertanyaan tentang alergi harus ditambahkan, tes alergi harus dilakukan. Faktor perdisposisi lain harus dipertimbangkan: defisiensi imun (dapatan, innate, GERD)

Sumber: European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps, 2007.

H. DiagnosisDiagnosis rinosinusitis kronis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan nasoendoskopi dan tomografi komputer sinus paranasal. The European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007 ( EPOS 2007) menjelaskan bahwa rinosinusitis kronis bila terdapat dua gejala atau lebih dengan salah satunya berupa hidung tersumbat atau pilek dengan sekret purulen pada hidung anterior atau posterior disertai nyeri pada wajah dan atau penurunan penciuman yang berlangsung lebih dari 12 minggu (Budiman dan Yurni, 2011).Rinosinusitis pada anak ditegakkan berdasarkan: (Clement and Vlaminck, 2007)1. Pemeriksaan klinis.a. Rinoskopi anterior.Merupakan langkah pertama, tetapi tidak dapat mendiagnosis secara kuat.b. Endoskopi.Tidak hanya digunakan untuk mendiagnosis tetapi juga digunakan untuk menyingkirkan diagnosis lain seperti polip, benda asing, tumor dan septal deviations. Selain itu, memungkinkan digunakan untuk pengambilan sampel langsung dari meatus media pada kondisi tertentu.2. Mikrobiologi.Pemeriksaan mikrobiologi biasanya tidak diperlukan pada anak-anak dengan rinosinusitis akut atau kronis yang tidak mengalami komplikasi. Indikasi untuk pungsi sinus adalah:1) Sering sakit atau kondisi toksik pada anak2) Sakit yang akut pada anak dan tidak membaik selama 18-72 jam setelah pemberian obat.3) Immunocompromised.4) Komplikasi (kecuali selulitis orbital) keadaan superatif (intraorbital, intrakranial).Spesimen kultur diperoleh dari meatus media atau dari bulla ethmoidal yang mungkin lebih sering menunjukkan hasil positif daripada spesimen kultur yang diperoleh dari maxillary antrum.3. Pencitraan (Imaging).Pencitraan (Imaging) tidak diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis rinosinusitis pada anak-anak. Transiluminasi dari sinus sulit untuk dilakukan dan tidak dapat diandalkan pada anak-anak. Penggunaan USG masih kontroversial.Plane sinus X-ray kurang peka dan kegunaanya terbatas untuk diagnosis dan dasar operasi pada anak-anak. Keuntungannya sangat kecil untuk memberikan alasan paparan radiasi pada anak. CT scan tetap menjadi pilihan metodologi pencitraan karena dapat menampilkan baik tulang dan jaringan lunak dan menyediakan visualisasi ostiomeatal kompleks yang baik, yang menjurus pada diagnosis sinusitis.Indikasi pencitraan:1) Sering sakit atau kondisi toksik pada anak2) Sakit yang akut pada anak dan tidak membaik selama 18-72 jam setelah pemberian obat.3) Immunocompromised.4) Komplikasi (kecuali selulitis orbital) keadaan superatif (intraorbital, intrakranial).5) Jika operasi menjadi pertimbangan4. Investigasi tambahanInvestigasi tambahan dilakukan pada rinosinusitis yang berulang: kondisi yang mendasari seperti alergi, immunodeficiency, fibrosis kistik, ciliary immotile disorders, dan refluks gastrooesophageal harus dipertimbangkan. Dari hal tersebut, alergi pada saluran pernapasan mungkin yang paling sering. Pada anak-anak dengan kronis atau akut rinosinusitis yang berulang dengan riwayat sugestif dan/ atau temuan pada pemeriksaan fisik, kemudian, penilaian alergi (skin-prick, usap hidung, uji radioallergosorbent, atau percobaan pengobatan) harus dilakukan pada pasien yang terus memiliki kesulitan klinis, meskipun telah menghindari dan melakukan tindakan farmakologis sederhana. Disarankan juga dilakukan penilaian imunologi (jumlah sel darah lengkap, jumlah globuline pada kekebalan kuantitatif, jumlah subklas IgG dalam serum dan titer antibodi antipneumococcic).

I. Penatalaksanaan Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan yang ditemukan (Soetjipto dkk, 2006). Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007). 1. Medikamentosa1) Antibiotika Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan pada kondisi sakit yang parah atau kondisi toksik pada anak, ada dugaan maupun bukti yang mengarah kepada komplikasi supuratif, severe acute rhinosinusitis, non severe acute rhinosinusitis dengan gejala yang berkepanjangan (Clement and Vlaminck, 2007).Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Berdasarkan situasi lokal dan negara, amoksisilin digunakan sebagai antibiotik lini pertama yang bagus pada kasus yang tidak berat. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan golongan lactam-resistensi antibiotik, yaitu seperti amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi kedua (Clement and Vlaminck, 2007; Soetjipto dkk, 2006).Berikut ini adalah beberapa antibiotik yang digunakan dalam pengobatan rinosinusitis pada anak:

Tabel 3. Pengobatan Rinosinusitis pada Anak

Sumber: Clinical Guideline, 2009.

Durasi penggunaan terapi dengan antimikroba sebaiknya sekurang-kurangnya 10 hingga 14 hari dan dapat diteruskan selama satu bulan jika gejalanya adalah bertambah baik tapi tidak resolusi sempurna. Jika gejala tidak berubah pada 72 jam atau memburuk setiap saat, sebaiknya mengganti antibiotik yang digunakan atau kultur kuman dari sekresi sinus dan mengevaluasi kembali kondisi anak. (Clement and Vlaminck, 2007). Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka eveluasi kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis dengan pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan (Soetjipto dkk, 2006).Manajemen penatalaksanaan rinosinusitis pada anak dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Algoritma Manajemen Rinosinusitis Akut pada Anak

Sumber: Chow et al, 2012

Gambar 2. Algoritma Manajemen Rinosinusitis Kronik pada Anak

Sumber: (Clament and Vlaminck, 2007).1) Terapi Medik Tambahan a) Dekongestan Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor -adrenergik dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat mengurang keluhan sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium dan meningkatkan ventilasi (Soetjipto dkk, 2006)Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenyl-propanolamine. Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan penyakit jantung harus dilakukan dengan hati-hati (Soetjipto dkk, 2006). Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap sumbatan hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan pemakaian jangka lama (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis medikamentosa (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007). b) Antihistamin Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis pada lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru dianjurkan, demikian juga kemungkinan imunoterapi (Soetjipto dkk, 2006). Karena antihistamin generasi pertama mempunyai efek antikolinergik yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti azelastine, acrivastine, cetirizine, fexofenadine dan loratadine (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).

c) Kortikosteroid Ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek lokal terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia. Penemuannya merupakan perkembangan besar dalam pengobatan rinitis dan sinusitis. Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan alergi dan non-alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai komplek osteomeatal, keluhan pasien berkurang karena udema di rongga hidung dan meatus medius hilang (Soetjipto dkk, 2006).Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga sinus. Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan beberapa keluhan. Preparat oral dapat diberikan mendahului yang topikal, obat oral dapat membuka sumbatan hidung terlebih dahulu sehingga distribusi obat semprot merata (Soetjipto dkk, 2006).

2. Penatalaksanaan Operatif Indikasi untuk penatalaksanaan operatif meliputi indikasi absolut dan indikasi relatif. Indikasi absolut untuk penatalaksanaan operatif adalah abses orbital, komplikasi intrakranial, antrochoanal polyp, mucocele atau mucopyocele, fungal sinusitis, dan massive polyposis in cystic fibrosis. Sedangkan indikasi relatif untuk penatalaksanaan operatif adalah rinosinusitis kronik persisten dengan eksaserbasi sering seelah pengobatan secara adekuat, optimal dan menyingkirkan penyakit sistemik lainnya. (Clement and Vlaminck, 2007). Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus inferior, Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan (Soetjipto dkk, 2006). Bedah sinus konvensional tidak memperlihatkan usaha pemulihan drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami (Soetjipto dkk, 2006). Namun, dengan berkembangnya pengetahuan patogenesis sinusitis, maka berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional misalnya operasi Caldwel-Luc yang hanya mengangkat jaringan patologik dan meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi dan melakukan antrostomi meatus medius sehingga drainase dapat sembuh kembali (Soetjipto dkk, 2006). Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan pesat dalam bedah sinus. Indikasi BSEF antara lain rinosinusitis kronis yang tidak respon terhadap terapi medikamentosa, rinosinusitis kronis dengan komplikasi, rinosinusitis jamur yang invasif, rinosinusitis alergi dengan komplikasi, polip antrokoana, mukosil, berbagai prosedur yang dilakukan secara endoskopi seperti septoplasti, drainase abses periorbita, penanganan epistaksis termasuk ligasi arteri sfenopalatina, dekompresi orbita, dsb (Budiman, and Mulyani, 2002). Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan tindakan konservatif yang lebih efektif dan fungsional (Soetjipto, 2006; Kennedy, 2005). Prinsip tindakan BSEF pada rinosinusitis kronis adalah membuang jaringan yang menghambat komplek osteomeatal dan memfasilitasi drainase dengan tetap mempertahankan struktur anatomi normal (Budiman, and Mulyani, 2002). BSEF merupakan operasi yang membutuhkan visualisasi yang baik dimana darah tidak menggenangi lapangan operasi dan darah tidak menutupi lensa endoskop mengingat sempitnya wilayah operasi. Perdarahan yang sedikit saat operasi merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan operasi serta menghindari komplikasi yang membahayakan. BSEF dilakukan dengan berbagai upaya teknik hipotensi untuk mengurangi perdarahan selama operasi (Budiman, and Mulyani, 2002).Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan pencahayaan yang sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi dirongga-rongga sinus (Soetjipto, 2006; Kennedy, 2005). Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar (Soetjipto, 2006; Kennedy, 2005). Dengan ini, ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal tetap berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan sembuh sendiri (Soetjipto dkk, 2006).

J. KomplikasiKomplikasi rinosinusitis akut jarang dijumpai, tetapi pada anak-anak ini merupakan masalah serius karena tulang di sekitar sinus tipis dan karakteristik pertumbuhan sinus yang berakhir pada usia 12 tahun. (Budiman, and Mulyani, 2002). Komplikasi yang dapat terjadi ialah :1. Osteomielitis dan abses subperiostalPaling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Mangunkusumo and Soetjipto, 2007).2. Kelainan Orbita Komplikasi orbita merupakan komplikasi terbanyak pada rinosinusitis akut pada anak (Budiman, and Mulyani, 2002). Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila Klasifikasi Chandler menerangkan 5 kelompok komplikasi orbita yaitu (Budiman, and Mulyani, 2002).: Kelompok I: Selulitis periorbita (selulitis preseptal) Kelompok II: Selulitis orbitaKelompok III: Abses subperiosteal (abses periorbita) Kelompok IV: Abses orbita Kelompok V: Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi rinosinusitis ke orbita melalui dua jalan. Pertama, langsung yaitu melalui defek kelainan bawaan, foramen atau garis sutura yang terbuka, atau tulang yang mengalami erosi, terutama pada 1amina papirasea. Kedua, tromboflebitis retrogad yaitu melalui pembuluh darah vena yang tak berkatup pada wajah, kavum nasi, sinus dan mata (Budiman, and Mulyani, 2002).

3. Kelainan Intrakranial Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis sinus kavernosus (Mangunkusumo and Soetjipto, 2007).4. Kelainan ParuSeperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga timbul asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan (Mangunkusumo dan Soetjipto, 2007).

BAB IIIKESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan:1. Rinosinusitis adalah sinusitis yang disertai atau dipicu oleh rinitis2. Rinosinusitis pada anak merupakan masalah serius karena pada anak, tulang di sekitar sinus tipis dan karakteristik pertumbuhan sinus yang berakhir pada usia 12 tahun sehingga sering menimbulkan komplikasi yang dapat menimbulkan masalah pada anak yaitu dapat mengurangi produktivitas kerja dan kegiatan belajar anak di sekolah3. Pengetahuan tentang rinosinusitis pada anak dan penatalaksanaan yang tepat penting agar dapat mengurangi angka kejadian rinosinusitis pada anak dan permasalahan yang ditimbulkannya.

DAFTAR PUSTAKABudiman, B J and Mulyani, S., 2002. Rinosinusitis Akut pada Anak dengan Komplikasi Abses Periorbita.( http://repository.unand.ac.id/17261/ 28 November 2012). pp: 4Budiman B J dan Yurni,, 2011. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional dengan Teknik Hipotensi Terkendali Pada Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis. (http://repository.unand.ac.id/18117/1/BSEF%20DENGSN%20TEKNIK%20HIPOTENSI-%20Yurni.pdf, 28 November 2012). pp: 2Chow, Antony W., Benninger, Michael S., Brook, Itzhak., Brozek, Jan L., Goldstein J.C et al. 2012. IDSA Clinical Practice Guideline for Acute Bacterial Rhinosinusitis in Children and Adults. Canada: Division of Infectious Disease, Department of Medicine, University of British ColumbiaClement PA, Bluestone CD, Gordts F, et al., 1998. Management of Rhinosinusitis in Children: Consensus Meeting, Brussels, Belgium, September 13, 1996. Arch Otolaryngol Head Neck Surg.pp: 124:31-34.Clement P A and Vlaminck S., 2007. Rhinosinusitis in Children. (http://www.orl-nko.be/common/guidelines/2007/11.pdf, 28 November 2012). pp: 59-68 Clinical Guideline. 2009. Acute Rhinosinusitis in Children. (http://www.inesss.qc.ca/fileadmin/doc/CDM/UsageOptimal/Guides-serieI/CdM-Antibio1-Rhinosinusitis-Children-en.pdf/ 28 November 2012).Dykewicz MS & Hamilos DL. 2010. Rhinitis and sinusitis. Journal Allergy Clinic Immunology 125: 2European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps., 2007. Buku Saku EPOS. (http://www.ep3os.org/pdf/pocketguide/ indonesia.pdf, 28 November 2012).Kennedy DW, Palmer JN. 2005. Revision Endoscopic Sinus Surgery. In: Charles WC, Ed. Cumming-Otolaryngology Head And Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier Mosby;. p. 1229-60

Kumala P, dkk. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland edisi 25. Jakarta: EGC.

Mangunkusumo, Endang dan Damajanti Soetjipto. 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar NH (eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Pp: 150-3. Mucha SM., 2003. Baroody FM. Sinusitis Update. Curr Opin Allergy Clin. Immunol pp: 3:33-38.Netter FH. 2006. Netter's Atlas of Human Anatomy 4th edition. Elsevier - Health Sciences Division

Putz R & Pabst R. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 1 Edisi 22. Jakarta: EGC.

Soepardi EA, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Soetjipto D, Dharmabakti U, Mangunkusumo E, Utama R. 2006. Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia pada Panel Ahli THT Indonesia. Jakarta: Yanmedic-Depkes;. h. 1-52.

Wald ER, Bordley WC, Darrow DH, et al., 2001. For the Subcommittee On Management of Sinusitis Of Am Ac Of Pediatrics. Clinical Practice Guideline: Management Of Sinusitis. Pediatrics. pp: 108:798-808.

28