refrat ruangan gangguan tidur pada skizofrenia

Upload: lindiaprabhaswari

Post on 09-Mar-2016

34 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

gangguan tidur pada skizofrenia

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangSkizofrenia adalah gangguan jiwa yang berat pada bidang psikiatri. Secara keseluruhan terdapat 1% dari populasi akan mengalami skizofrenia. Prevalensi skizofrenia di Indonesia mencapai 1,27 permil. (Riskesdas 2013).Gangguan tidur merupakan kasus yang sering muncul dalam praktik sehari-hari. Sepertiga populasi dewasa mengeluh adanya gangguan tidur dan 10 % diantanya mengalami gangguan tidur kronis. Prevalensi gangguan tidur lebih banyak pada kelompok lansia, status ekonomi rendah, pekerja dengan sistem rotasi (shift), dan korban perceraian. Wanita jauh lebih sering terkena gangguan tidur dibandingkan pria. Prevalensi gangguan tidur juga meningkat pada pengguna alkhohol dan NAPZA (Teofilo Lee-Chiong,2008)Penelitian menunjukkan 80% dari penderita skizofrenia mengalami gangguan tidur dan irama bangun tidur. Studi polisomnografik menunjukkan bahwa baik penderita yang sedang bergejala maupun stabil menderita gangguan tidur dan irama bangun tidur dengan onset yang tertunda, kelangsungan tidur yang terganggu dan bertambahnya waktu, yang dibutuhkan untuk bangun tidur. Studi ini juga menunjukkan bahwa terdapat predisposisi genetik dan irama bangun tidur yang spesifik yang mendasari gangguan tidur yang dialami oleh penderita skizofrenia (Katarina Wulff,dkk 2012). Terdapat korelasi yang sangat kuat antara gangguan tidur dan gangguan psikiatri. Beberapa pasien yang menderita gangguan tidur memiliki gangguan psikiatri yang sudah ada sebelum mereka mengalami gangguan tidur atau bisa juga keluhan psikiatri muncul setelah mereka mengalami gangguan tidur. Adanya suatu stresor saat ini meningkatkan risiko terjadinya gangguan tidur (Teofilo Lee-Chiong,2008).Gangguan tidur dan irama bangun tidur yang berkepanjangan akan mengakibatkan gangguan kognitif, penurunan daya tahan tubuh, emosional dan gangguan fisik (Baruch,2007). Sistem pengaturan siklus tidur bangun tampaknya over lapping dan saling mempengaruhi sistem yang mengatur emosi dan prilaku lainnya. Sehingga gangguan tidur umumnya ditemukan juga pada pasien dengan gangguan psikiatri (Bencadkk,2009)Penulis dalam tinjauan pustaka ini akan membahas gangguan tidur yang terjadi pada skizofrenia.

1.2 Batasan Pembahasan.Tinjaun pustaka ini akan membahas tentang gangguan tidur pada pasien skizofrenia1.3 Tujuan dan Manfaat .Tujuan dari tinjaun pustaka ini adalah untuk membahas pola dan irama tidur yang mengalami gangguan pada penderita skizofrenia agar dapat membantu dalam mencari penyebab dasar gangguan tidur pada skizofrenia dan dapat melakukan penatalaksanaan secara lebih baik.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1 Skizofrenia2.1.1 Epidemiologi SkizofreniaPrevalensi dari penyakit skizofrenia ini kira-kira 0,3-0,7%, walaupun dilaporkan adanya variasi berdasarkan ras dan lintas negara. Di Amerika, angka prevalensi kejadian skizofrenia berkisar 1%, yang berarti ada satu orang yang menderita skizofrenia dalam 100 orang populasi, sedangkan menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi skizofrenia di Indonesia mencapai 1,27 permil. Diantara orang dengan skizofrenia tersebut terdapat 14,3% yang dipasung oleh keluarganya sendiri. Penyakit ini peluang kejadiannya sama antara pria dan wanita, dan onset umur lebih awal terjadi pada pria dibandingkan dengan yang wanita. Gambaran psikotik pada skizofrenia biasanya muncul pada masa remaja akhir dan pada pertengahan umur 30 tahun. Onset pada usia remaja jarang terjadi. Usia puncak sering munculnya skizofrenia pada episode pertama psikotik adalah awal umur 20-an untuk pria dan akhir 20-an untuk wanita. Skizofrenia yang muncul pada umur diatas 45 tahun, maka dikategorikan sebagai skizofrenia dengan onset lambat. Onset skizofrenia dengan umur dibawah 10 tahun dan diatas 60 tahun sangat jarang terjadi. Onset penyakit ini bisa terjadi secara tiba-tiba, tetapi sebagian besar terjadi secara perlahan dan gradual. Setengahnya dari kasus ini menunjukkan gejala depresi (Sadock & Sadock, 2015). Semakin awal umur terkena penyakit ini, akan diprediksikan prognosis menjadi semakin buruk. Penyakit ini juga berhubungan dengan jenis kelamin, dimana jenis kelamin laki-laki, tingkat pendidikan yang rendah, gejala negatif yang dominan, dan gangguan kognitif secara umum prognosisnya buruk. Penelitian menunjukkan hanya sekitar 20% penderita skizofrenia dilaporkan bisa menjadi pulih sempurna. Sebagian besar individu dengan skizofrenia masih membutuhkan dukungan kehidupan sehari-harinya, baik secara formal ataupun informal dan banyak penyakit kronis dengan eksaserbasi dan remisi dengan gejala yang aktif dan deteorisasi mental yang progresif (Sadock & Sadock, 2015). 2.1.2 Kriteria DiagnosisKriteria Skizofrenia diambil Menurut Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorder, Fifth Edition (DSM-5), yaitu dijelaskan bahwa untuk menegakkan diagnosis skizofrenia harus memenuhi kriteria :A. Jika ada dua atau lebih gejala dibawah ini, dimana gejala ini tampak secara signifikan selama period 1 bulan (atau kurang jika dilakukan terapi yang berhasil) dan sedikitnya satu dari gejala nomor 1,2, atau 3 :1. Waham2. Halusinasi3. Bicara yang kacau4. Perilaku katatonik atau aneh5. Simptom negatif (emosi yang hilang, atau penarikan diri)B. Adanya gangguan secara fungsi satu atau lebih fungsi penting, seperti bekerja, hubungan interpersonal, atau perawatan diri.C. Gejalanya berlangsung persisten minimal 6 bulan. Periode 6 bulan ini harus mencakup sedikitnya 1 bulan dari gejala (atau berkurang karena efek pengobatan) yang dijumpai pada kriteria A dan juga termasuk gejala prodromal atau gejala sisa. Selama gejala prodromal atau gejala sisa, keluhan yang nampak berupa gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang ada pada kriteria A.D. Gangguan skizoafektif dan depresi atau gangguan bipolar dengan psikotik dikesampingkan jika 1) tidak ada gambaran depresi mayor atau episode manik yang terjadi pada fase aktif ini, atau 2), jika terjadi episode mood selama fase aktif, yang menunjukkan gejala minimal atau sebagian besar pada fase aktif atau gejala sisa pada penyakit saat ini.E. Gangguan ini tidak diakibatkan oleh efek psikologi dari penggunaan obat seperti penyalahgunaan obat atau kondisi medis lain.F. Jika ada riwayat gangguan spektrum autism atau gangguan komunikasi pada masa anak, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat jika ada gejala dominan halusinasi atau waham minimal 1 bulan (atau kurang jika dengan keberhasilan pengobatan).Beberapa gejala harus persisten secara berkelanjutan selama periode sedikitnya 6 bulan. Gejala prodromal sering mendahului pada fase aktif dan diikuti dengan gejala sisa yang ditandai dengan ringannya atau batas ambang mulai adanya halusinasi atau waham. Penderita bisa menampilkan kepercayaan disertai ideas of reference atau magis, mereka bisa memiliki persepsi yang tidak seperti biasanya (merasakan kehadiran seseorang yang tidak bisa dilihat nyata), kata-katanya mungkin tidak bisa dimengerti dan samar-samar, dan kebiasaan yang aneh tetapi tidak jelas (seperti : mengomel pada orang orang). Gejala negatif sering pada masa prodromal ini dan dapat menjadi berat. Individu yang aktif secara sosial dapat menjadi menarik diri dari kebiasaanya. Gejala-gejala ini sering menjadi petanda awal dari penyakit skizofrenia. Gangguan mood juga sering terdapat pada skizofrenia dan mungkin bersamaan dengan fase aktifnya. Diagnosis skizofrenia memerlukan adanya tanda halusinasi atau waham pada saat tidak adanya episode gangguan mood. Episode gangguan mood secara keseluruhan bisa terjadi hanya minimal dari fase aktif atau fase residual pada skizofrenia. 2.2 Fisiologi Tidur dan Gangguan Tidur.2.2.1 Fisoligi TidurTidur adalah keadaan organisme yang teratur, berulang dan mudah dibalikkan yang ditandai oleh relatif tidak bergerak dan peningkatan besar ambang respon terhadap stimuli eksternal relatif dari keadaan terjaga. Gangguan tidur seringkali merupakan gejala awal dari gangguan mental yang mengancam. Gangguan mental tersebut biasanya disertai dengan perubahan karakteristik dalam fisiologi tidur.( Sadock & Sadock, 2013).Tidur memiliki fungsi restoratif dan homeostatik yang penting untuk thermoregulasi dan cadangan energi normal. Kebutuhan tidur pada orang normal bervariasi. Seseorang yang memerlukan tidur kurang dari enam jam setiap malam untuk berfungsi secara adekuat disebut dengan petidur singkat (short sleeper). Sedangkan seseorang yang tidur lebih dari sembilan jam setiap malamnya untuk dapat berfungsi secara adekuat disebut dengan petidur lama (long sleeper). Petidur lama memiliki lebih banyak periode REM dan lebih banyak gerakan mata cepat dalam masing-masing periode (dikenal dengan densitas REM) dibandingkan dengan petidur singkat. Peningkatan kebutuhan tidur terjadi pada kerja fisik, latihan, penyakit, kehamilan, stress mental umum dan peningkatan aktivitas mental. Periode REM meningkat setelah stimuli psikologis yang kuat, seperti situasi belajar yang sulit dan stress, dan setelah pemakaian zat kimia atau obat yang menurunkan katekolamin otak (Sadock & Sadock, 2013)Rata-rata orang dewasa membutuhkan waktu 8 jam untuk tidur setiap hari. Walaupun demikian, ada beberapa orang yang membutuhkan tidur lebih atau kurang. Kebutuhan fisiologis tidur dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kuantitas tidur dan siklus sirkadian bangun-tidur. Kebutuhan tidur dan polanya berubah seiring dengan waktu, meskipun demikian, gangguan tidur pada lanjut usia bukan merupakan bagian dari proses penuaan normal (Rajput, 1999).Masih menjadi bahan perdebatan apakah lanjut usia memerlukan tidur lebih singkat atau tidak dapat memenuhi kebutuhan tidur mereka. Standar baku untuk menilai kecukupan tidur juga belum ada, sehingga lebih bergantung kepada persepsi pasien dan pengaruhnya terhadap status fungsional (Montgomery, 2002).Fisiologi tidur dapat dilihat melalui gambaran elektrofisiologi sel-sel otak selama tidur. Polisomnografi merupakan alat yang dapat mendeteksi aktivitas otak selama tidur. Pemeriksaan polisomnografi sering dilakukan saat tidur malam hari. Alat tersebut dapat mencatat aktivitas EEG, elektrookulografi, dan elektromiografi. Elektromiografi perifer berguna untuk menilai gerakan abnormal saat tidur. Stadium tidur - diukur dengan polisomnografi - terdiri dari tidur rapid eye movement (REM) dan tidur non-rapid eye movement (NREM) (Printz dan Vittelo, 2000).Tidur REM disebut juga tidur paradoks karena EEG aktif selama fase ini. Tidur NREM disebut juga tidur ortodoks atau tidur gelombang lambat atau tidur S. Kedua stadium ini bergantian dalam satu siklus yang berlangsung antara 70-120 menit. Secara umum ada 4-6 siklus NREM-REM yang terjadi setiap malam. Periode tidur REM I berlangsung antara 5-10 menit. Makin larut malam, periode REM makin panjang. Tidur NREM terdiri empat stadium yaitu stadium 1,2,3,4 (Printz dan Vittelo, 2000).Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun, tetapi mata menutup. Fase ini ditandai dengan gelombang voltase rendah, cepat, 8-12 siklus per detik. Tonus otot meningkat. Aktivitas alfa menurun dengan meningkatnya rasa kantuk. Pada fase mengantuk terdapat gelombang alfa campuran (Printz dan Vittelo, 2000).Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium NREM. Stadium 1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke tidur, menduduki sekitar 5% dari total waktu tidur. Pada fase ini terjadi penurunan aktivitas gelombang alfa (gelombang alfa menurun kurang dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran, predominan beta dan teta, tegangan rendah, frekuensi 4-7 siklus per detik. Aktivitas bola mata melambat, tonus otot menurun, berlangsung sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang mudah dibangunkan dan bila terbangun merasa seperti setengah tidur (Printz dan Vittelo, 2000).Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu didominasi oleh aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan tidur dan kompleks K. Kumparan tidur adalah gelombang ritmik pendek dengan frekuensi 12-14 siklus per detik. Kompleks K yaitu gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti oleh gelombang lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit, aktivitas positif, dengan durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan tekanan darah cenderung menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur dangkal. Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur (Printz dan Vittelo, 2000).Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-2 siklus per detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta. Tonus otot meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata (Printz dan Vittelo, 2000).Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3 dan 4 sulit dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3. Rekaman EEG berupa delta. Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur gelombang lambat atau tidur dalam. Stadium ini menghabiskan sekitar 10%-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi antara sepertiga awal malam dengan setengah malam. Durasi tidur ini meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur (Printz dan Vittelo, 2000).Tidur REM ditandai dengan rekaman EEG yang hampir sama dengan tidur stadium 1. Pada stadium ini terdapat letupan periodik gerakan bola mata cepat. Refleks tendon melemah atau hilang. Tekanan darah dan napas meningkat. Pada pria terjadi ereksi penis. Pada tidur REM terdapat mimpi. Fase ini menggunakan sekitar 20%-25% waktu tidur. Latensi REM sekitar 70-100 menit pada subyek normal tetapi pada penderita depresi, gangguan makan, skizofrenia, gangguan kepribadian ambang, dan gangguan penggunaan alkohol durasinya lebih pendek (Printz dan Vittelo, 2000).2.2.2 Gangguan Tidur Sistim pengaturan siklus tidur bangun tampaknya over lapping dan saling mempengaruhi sistim yang mengatur emosi dan perilaku lainnya. Sehingga gangguan tidur umumnya ditemukan juga pada pasien dengan gangguan psikiatri (Benca dkk, 2009). Tidur dan bangun merupakan suatu keseimbangan dan pola tidur mempunyai irama yang sesuai dengan beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Pola waktu dan ritme tidur - bangun dapat ditemukan pada semua makhluk hidup dan dibangkitkan dengan adanya jam biologis di dalam tubuh serta dipengaruhi oleh lingkungan dan bagaimana proses atau tingkatan aktivitas pada sistim CNS, yang dikenal sebagai tidur dan bangun. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai irama sirkadian. Ritme sirkadian dibangkitkan oleh nukleus supraciasmatikum (SCN) di anterior hipotalamus sebagai pusat kontrol irama sirkadian.(Lumbantobing, 2008).Selain itu neurotransmiter di sistim saraf pusat (SSP) terlibat untuk mengatur suatu sistim arousal dan tidur seseorang, Beberaapa neurotransmiter tersebut seperti asetil kolin, serotonin, norepineprin, GABA dan juga histamin berperanan dalam membuat seseorang tidur atau bangun. Insomnia adalah ketidakmampuan untuk memulai tidur atau mempertahankan kondisi tidur (Lumbantobing, 2001). Insomnia primer ditandai dengan: Keluhan sulit masuk tidur atau mempertahankan tidur atau tetap tidak segar meskipun sudah tidur. Keadaan ini berlangsung paling sedikit satu bulan. Menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinik atau impairment sosial, okupasional, atau fungsi penting lainnya. Gangguan tidur tidak terjadi secara eksklusif selama ada gangguan mental lainnya. Tidak disebabkan oleh pengaruh fisiologik langsung kondisi medik umum atau zat.Seseorang dengan insomnia primer sering mengeluh sulit masuk tidur dan terbangun berkali-kali. Bentuk keluhan tidur bervariasi dari waktu ke waktu. Misalnya, seseorang yang saat ini mengeluh sulit masuk tidur mungkin suatu saat mengeluh sulit mempertahankan tidur. Meskipun jarang, kadang-kadang seseorang mengeluh tidak segar, meskipun sudah tertidur. Diagnosis gangguan insomnia dibuat bila penderitaan atau impairmentnya bermakna. Seorang penderita insomnia sering berpreokupasi dengan tidur. Makin berokupasi dengan tidur, makin berusaha keras untuk tidur, makin frustrasi dan makin tidak bisa tidur. Akibatnya terjadi lingkaran setan (Printz dan Vittelo, 2000).Seseorang dengan insomnia primer sering mempunyai riwayat gangguan tidur sebelumnya. Sering penderita insomnia mengobati sendiri dengan obat sedatif-hipnotik atau alkohol. Ansiolitik sering digunakan untuk mengatasi ketegangan dan kecemasan. Kopi dan stimulansia digunakan untuk mengatasi rasa letih. Pada beberapa kasus, penggunaan ini berlanjut menjadi ketergantungan zat. Pemeriksaan polisomnografi menunjukkan kontinuitas tidur yang buruk (latensi tidur buruk, sering terbangun, efisiensi tidur buruk), stadium 1 meningkat, dan stadium 3 dan 4 menurun. Ketegangan otot meningkat dan jumlah aktivitas alfa dan beta juga meningkat (Printz dan Vittelo, 2000).Parameter polisomnografik yang sering digunakan dalam mendiagnosis dan menjelaskan gangguan tidur (kaplan & sadock 2010) adalah: Latensi tidur: periode waktu sejak mematikan lampu sampai timbulnya tidur stadium 2. Terjaga dini hari: waktu terjaga terus-menerus dari stadium tidur terakhir sampai akhir pencatatan tidur (biasanya jam 7 pagi). Efisiensi tidur: waktu tidur total/waktu total tidur yang tercatat X 100. Indeks apnea: jumlah apnea yang lebih lama dari 10 detik per jam tidur. Indeks mioklonus nokturnal: jumlah periode gerakan kaki per jam. Latensi REM: periode waktu dari onset tidur sampai periode REM pertama malam tersebut. Periode REM onset tidur: tidur REM dalam 10 menit pertama tidur.

Tedapat empat gejala utama yang menandai sebagian besar gangguan tidur yaitu : Insomnia, hipersomnia, parasomnia dan gangguan jadwal tidur-bangun.A. InsomniaInsomnia yaitu bila sleep latency lebih dari 30 menit, waktu terjaga setelah onset tidur lebih dari 30 menit, efisiensi tidur kurang dari 85% atau total lama tidur (total sleep time) kurang dari 6-6,5 jam dan keluhan tersebut terjadi minimal 3 hari dalam seminggu (teofilo Lee-chiong 2008).Seorang pasien insomnia mengeluh kesulitan untuk memulai tidur (sleep onset insomnia) atau mempertahankan tidurnya (sleep maintenance insomnia) meskipun mereka ada kesempatan untuk tidur, dikonsisikan untuk tidur dan punya waktu untuk tidur. Pada pasien insomnia tidur menjadi singkat dan kurang adekuat, mudah terganggu, kualitasnya buruk tidak merasa segar saat bangun tidur, tidak nyaman atau tidak menimbulkan efek restorasi.Gangguan tidur ini akan menyebabkan gangguan fungsi sehari-hari (Teofilo Lee-Chiong 2008).Penyebab insomnia meliputi gangguan tidur primer, gangguan tidur linnya gangguan irama sirkardian bangun tidut, kelainan medis, kelainan neurologis, gangguan psikiatri, kelainan bihavior, penggunaan obat, dan efek putus obat. (Teofilo Lee-Chiong2008).Insomnia psikofisiologi diduga bertanggung jawab terhadap 15% kasus insomnia kronis. Penyebab spesifikinsomnia kronis lainnya adalah restless legs syndrome (sekitar 12% kasus) sama banyaknya dengan kasus penyalahgunaan alkhohol dan obat terlarang (sekitar 12%)(Teofilo Lee-Chiong2008).

B. HipersomniaKeluhan khasnya adalah tertidur yang tidak bisa ditahan, menyebabkan rasa malu, menurunnya produktivitas, dan kadang-kadang menyebabkan bencana seperti saat mengemudi. Mengantuk berlebihan (excessive sleepiness) harus dibedakan dengan kelelahan (fatigue) dan abulia, yang memiliki faktor penyebab jauh lebih luas. Pasien mengantuk betul-betul tertidur, bukan merasa enggan atau terlalu lemah beraktivitas.Hipersomnia bermanifestasi sebagai jumlah tidur yang berlebihan dan mengantuk (somnolensi) yang berlebihan di siang hari. Keluhan hipersomnia jauh lebih jarang dibandingkan keluhan insomnia. Narkolepsi merupakan suatu keadaan yang dikenal menyebabkn hipersomnia. Pada suatu kondisi yang berhubungan dengan zat, hipersomnia merupakan gejala yang sering.(PERDOSSI 2014).

C. Parasomnia.Parasomnia dibagi menjadi kelompok yang muncul dari tidur non-REM (juga dikenal sebagai confusional arousal) dan kelompok yang muncul saat tidur REM . Dua kelompok parasomnia tersebut biasanya dapat dibedakan melalui waktu terjadinya, adanya dream recall saat bangun, status mental saat bangun, durasi, derajat amnesia saat kejadian, dan aktivitas otonomik yang berhubungan. (PERDOSSI, 2014).

D. Gangguan Jadwal Tidur-BangunGangguan jadwal tidur-bangun melibatkan pergesaran tidur dari periode sirkadiannya yang diharapkan. Gejala yang sering adalah bahwa pasien tidak dapat tertidur saat mereka ingin tidur, walaupun mereka dapat tidur pada waktu lain. Dengan demikian, mereka tidak dapat terjaga penuh jika mereka ingin terjaga penuh, tetapi mereka mampu untuk terjaga pada waktu yang lain. Gangguan ini tidak mengakibatkan insomnia atau somnolensi yang tepat. Dalam prakteknya keluhan awal seringkali hanya insomnia atau somnolensi, dan ketidakmampuan di atas hanya ditemukan pada pertanyaan yang cermat. Gangguan jadwal tidur-bangun dapat dianggap suatu ketidaksejajaran (misalignment) antara perilaku tidur dan bangun. Kuesioner riwayat tidur adalah membantu dalam mendiagnosis gangguan tidur pada seorang pasien.Gangguan Tidur Berhubungan Dengan Gangguan Mental Lain.

A. Insomnia Berhubungan dengan Gangguan Aksis I atau Aksis IIInsomnia yang terjadi sekurangnya satu bulan dan yang jelas berhubungan dengan gejala psikologis dan perilaku dari gangguan mental yang dikenal secara klinis diklasifikasikan di sini. Kategori ini terdiri dari kelompok kondisi yang heterogen. Gangguan tidur biasanya tidak selalu adalah kesulitan untuk tertidur dan adalah sekunder akibat kecemasan yang merupakan bagian dari salah satu berbagai gangguan mental yang ada. Insomnia lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Insomnia yang berhubungan dengan gangguan depresif berat berupa onset tidur yang relatif normal tetapi sering sering terbangun pada setengah bagian kedua malam hari dan terbangun di pagi hari sebelum waktunya, biasanya dengan mood yang tidak enak di pagi hari yang merupakan waktu terburuk bagi banyak pasien dengan gangguan depresif berat.Polisomnografi menunjukkan penurunan tidur stadium 3 dan 4, seringkali suatu latensi REM yang singkat dan periode REM pertama yang panjang. Pengurangan tidur parsial atau total dapat mempercepat respons terhadap medikasi antidepresan. Gangguan panik mungkin berhubungan dengan terbangun paroksismal atau memasuki tidur stadium 3 dan 4. Gejala emosional dan kognitif serangan panik ditemukan, dan juga takikardia dan peningkatan kecepatan pernapasan. Pasien dengan episode manik dan gangguan bipolar II tampaknya merupakan kasus ekstrem petidur singkat. Mereka kadangkadang tampak memiliki kesulitan untuk tertidur tetapi paling sering tidak mengeluhkan adanya masalah tidur. Mereka terbangun dengan rasa segar setelah tidur dua sampai empat dan tampak memiliki penurunan kebutuhan akan tidur yang benar-benar akan menurun selama perjalanan episode manik atau hipomanik. Pada skizofrenia, lama tidur total dan tidur gelombang lambat adalah menurun. Tidur REM seringkali menurun pertama kali selama suatu eksaserbasi.

B. Hipersomnia Berhubungan dengan Gangguan Aksis I atau Aksis IIHipersomnia yang terjadi untuk sekurangnya satu bulan dan yang berhubungan dengan gangguan mental ditemukan pada berbagai kondisi, termasuk gangguan mood. Mengantuk berlebihan di siang hari mungkin dilaporkan pada stadium awal gangguan depresif ringan dan karakteristik untuk gangguan bipolar I fase terdepresi. Keadaan ini kadang-kadang disertai dukacita tanpa penyulit selama beberapa minggu. Gangguan mental lain seperti gangguan kepribadian, gangguan disosiatif, gangguan somatoform, fuga disosiatif dan gangguan amnestik dapat menghasilkan hipersomnia.

2.3 Gangguan tidur pada SkizofreniaSkizofrenia adalah gangguan mental kronis yang sangat melemahkan dan ditandai dengan gejala positif, seperti waham dan halusinasi, bersama dengan gejala negatif, ditetapkan sebagai penarikan diri dari sosial dan afek tumpul. Meskipun insomnia mungkin sebagai gambaran umum pada pasien dengan skizofrenia, namun hal itu jarang dikeluhkan. Beberapa penelitian tentang pola tidur pasien skizofrenia yang terinsipirasi dari kemiripan antara mimpi dan halusinasi yang telah diteliti oleh para peneliti. Pertama kali yang meneliti tentang pola tidur pasien skizofrenia adalah seorang psikiatri Jerman bernama Emil Karaepelin yang telah mempelajari mimpi dan skizoafasia, saat ini diketahui sebagai word-salad pada pasien skizofrenia. Kesulitan dalam inisiasi atau mempertahankan tidur biasanya yang sering ditemukan pada pasien, berpengaruh 30-80% pada mereka, serta tergantung pada derajat simptomatologi psikotik. Sebelumnya telah dilaporkan pada beberapa tahun yang lalu disimpulkan bahwa hubungan antara skizoprenia dan abnormalitas makroarkitektural tidur, termasuk perpanjangan onset tidur, penurunan total waktu tidur and pemendekan laten REM. Simptom negatif telah menunjukkan penurunan gelombang delta pada pasien skizofrenia. Menambahkan, beberapa penelitian menunjukkan ritme sirkadian juga mengganggu, yang manapun sesuai untuk hasil klinis dari penyakit atau pengobatan yang diberikan untuk penyakit itu sendiri.(Maysah Faisal Al-Mulla ,2013)Dua aspek dari gangguan tidur yang dapat difokuskan, dengan efek telah terbukti pada kognisi, yang dimana menurunkan kumparan tidur pada elektroensefalogram, dan mengganggu ritme sirkardian yang akan didiskusikan pada teks dibawah. (Maysah Faisal Al-Mulla ,2013)Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada substansia ventrikulo-retikularis medulo oblogata yang disebut sebagai pusat tidur. Sedangkan, bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi atau desinkronisasi terdapat pada bagian rostral medulo oblongata disebut sebagai pusat penggugah atau aurosal state.(Stahl, 2013).Dilihat dari segi anatomi, fisiologi dan biokimia dari otak dapat dikemukakan bahwa proses tidur dan bangun sangat erat hubungannya, bahkan diatur oleh sistem bangun (arousal system) dan sistem tidur (hypnagogic system) yang terdapat dalam otak. Pada umumnya dianggap bahwa dalam formatio reticularis terdapat pengaturan tidur dan bangun. Bila formatio reticularis (ascending reticular system) berada dalam keadaan aktif, maka dikirimkannya isyarat-isyarat ke korteks yang menyebabkan seseorang bangun. Sebaliknya apabila dalam sistem retikuler terdapat keadaan yang kurang aktif,maka impuls yang dikirim ke korteks dan pusat-pusat lain dan otak kurang, sehingga seseorang men- jadi mengantuk. Kedua sistem bangun dan tidur bersama-sama bekerja untuk mencapai keseimbangan yang wajar. Namun, pada beberapa individu terdapat predisposisi, yaitu adanya sistem bangun yang lebih peka atau sistem hipnagogik yang kurang sempurna, sehingga padanya ada kecenderungan untuk bangun pada rangsang yang sedikit saja. Diduga pada orang dengan insomnia kronik terdapat predisposisi individual ini. Sistem bangunnya berada dalam kedaan keaktifan berlebih yang kronik. Pada mereka dengan ciri-ciri ini tampak adanya denyutan jantung yang lebih cepat dibandingkan dengan orang lain, begitupun suhu badannya yang lebih tinggi. Seseorang yang menderita keadaan keaktifan fisiologik yang berlebihan ini, dapat terangsang pula keadaan mentalnya menjadi cemas, tegang, frustrasi, sehingga dapat memperkuat ketidakmampuan tidur. .(Stahl, 2013).Pusat kontrol irama bangun-tidur terletak pada bagian ventral anterior hypothalamus. Irama bangun-tidur yang merupakan pola tingkah laku berhubungan dengan interaksi di dalam sistim aktivasi retikular. Perangsangan daerah formasio retikularis akan menyebabkan kondisi terjaga atau waspada. Sedangkan kerusakan pada daerah itu menyebabkan kondisi koma menetap. Sistem aktivasi retikular diatur oleh kontrol dari nukleus raphe dan locus coeruleus. Di mana sel-sel nucleus raphe mensekresi serotonin dan locus coeruleus mensekresi epinephrine. Jika nukleus raphe rusak atau sekresinya dihambat, dapat menimbulkan kondisi tidak tidur atau berkurangnya jam tidur yang mirip dengan kejadian insomnia. Sedangkan bila locus coeruleus yang rusak, akan terjadi penurunan atau hilangnya tidur REM, sedangkan tidur non REM tak berubah. Sistim limbik, yang kita kenal sebagai pusat emosi, juga berhubungan dengan kewaspadaan. Hal inilah yang menyebabkan mengapa kondisi ansietas dan gangguan emosi lainnnya dapat mengganggu tidur, dan menyebabkan insomnia. Studi polisomnografik pada penderita skizofrenia menunjukkan bahwa baik penderita yang sedang bergejala maupun stabil menderita gangguan tidur dan irama bangun-tidur dengan onset yang tertunda. Gangguan tidur dan irama bangun-tidur tersebut berupa kelangsungan tidur yang terganggu dan bertambahnya waktu yang dibutuhkan untuk bangun tidur. .(Stahl, 2013). Pada penderita skizofrenia dengan onset psikosis yang belum mendapat pengobatan ditemukan adanya periode tidur REM memendek dan periode tidur gelombang pendek yang memendek. Periode tidur gelombang pendek yang memendek berhubungan dengan menurunnya metabolisme pada lobus frontal dan adanya ventrikulomegali yang merupakan gangguan pada perkembangan neuron (neurodevelopment). Tidur hanya merupakan sebuah bagian dari siklus sirkadian 24 jam. Regulasi tidur yang diatur oleh beberapa regio pada otak, sistem neurotransmiter dan pengaturan hormon dapat dijelaskan oleh interaksi yang kompleks antara mekanisme bangun-tidur yang meliputi (1) Peningkatan homeostatik yang berhubungan dengan proses terjaga yang disertai dengan periode terjaga yang berkepanjangan dan menghilang selama tidur (2) Irama bangun-tidur (irama sirkadian) yang membagi tidur ke dalam fase gelap dan aktivitas terhadap fase terang pada siklus 24 jam yang terkontrol dan siklus ekspresi dari beberapa gen.( Thomas A. Mellman, 2002)Baru baru ini variasi genetik dari beberapa gen tersebut berhubungan dengan perbedaan fenotif pada pagi hari dibandingkan dengan malam hari, gangguan tidur yang berhubungan dengan irama, homeostatis tidur, fungsi kognitif dan regulasi dari dopamin pada otak tengah yang terganggu pada skizofrenia. Pola tidur seseorang dengan depresi pada skizofrenia menunjukkan waktu tidur total yang berkurang, sedikitnya jumlah tidur yang nyenyak atau tidak sama sekali, tidur REM yang terjadi lebih awal di malam hari, bangun lebih sering pada malam hari dan bangun lebih awal di pagi hari dan tidak dapat kembali tidur, bahkan jika merasa sangat lelah. Penelitian tidur di laboratorium dengan alat EEG menunjukkan adanya perbedaan antara orang yang normal dengan penderita depresi dan ansietas. Pada penderita depresi, hasil EEG menunjukkan pasien depresi tidur dengan gelombang lambat lebih sediki, keadaan REM yang berubah-ubah, waktu sebelum tidur REM berkurang dan interval antara tidur REM berkurang. Ditemukan pula adanya sleep latency yang bertambah atau dapat juga normal. Sedangkan REM latency jelas lebih memendek. Tidur Delta yang pada orang normal ditemukan sejumlah 20 -30%, pada penderita depresi menjadi jauh berkurang. Hal ini menyebabkan penderita depresi mengeluh tidurnya kurang nyenyak. Penelitian menunjukkan bahwa orang normal yang diberi rangsang suara-suara pada stadium Delta, tidak terbangun. Sementara pada penderita depresi sangat mudah terbangun. Oleh karena itu penderita depresi mudah sekali terbangun oleh adanya perubahan suhu di dini hari, perubahan sinar dan suara-suara hewan di pagi hari. Pada fase awal penyakit, penderita depresi akan mengalami penurunan dari tidur REM nya sebanyak 10%. REM menunjukkan bahwa orang itu sedang bermimpi. Pada pemeriksaan laboratorium, 85% dan mereka yang dibangunkan pada waktu tidur REM, mengaku sedang bermimpi. Penderita depresi biasanya mengalami mimpi-mimpi yang tidak menyenangkan sehingga mereka terbangun karenanya. Dengan demikian tidur REM pun berkurang karena seringnya terbangun di malam hari. Disamping itu, telah diterangkan bahwa pada mereka yang menderita depresi, tidur REM lebih cepat datang. (Ahmed Rady dkk 2011)Secara fisiologik kekurangan tidur REM itu harus dibayar kembali. Dengan begitu, selang beberapa waktu, penderita depresi akan mengalami tidur REM yang berlebihan, penderita akan lebih sering terbangun dan bermimpi buruk. Hal tersebut menjelaskan mengapa di laboratorium ditemukan gambaran hipnogram yang iregular dari perpindahan satu stadium ke stadium yang lain pada penderita depresi dan sering terbangun di malam hari. Pada kondisi depresi juga seringkali ditandai dengan adanya afek yang disforik, hilangnya minat atau rasa senang, perasaan sedih, murung, putus asa, rasa rendah diri, anoreksia, berat badan turun, gerakan serba lambat, kurang bisa konsentrasi, pikiran tentang mati atau bunuh diri.( Ahmed Rady dkk,2011)Kesukaran untuk memulai tidur biasanya terdapat pada keadaan depresi atau ansietas. Pada penderita ansietas, ditemukan hipnogram dengan hasil sleep latency yang memanjang. Sedangkan REM latency dapat normal atau lebih panjang dari pada orang normal. Berbeda dengan penderita depresi, pada penderita ansietas tidur delta biasanya normal (20-30%), sedangkan tidur REM menjadi bertambah, terutama pada fase akhir dari tidur (pada dini hari). Pada hipnogram juga ditemukan adanya gambaran yang ireguler dari perpindahan satu stadium tidur ke stadium tidur yang lain. Sistim limbik, yang kita kenal sebagai pusat emosi, juga berhubungan dengan kewaspadaan atau keadaan terjaga. Hal inilah yang menyebabkan mengapa kondisi ansietas dan gangguan emosi lainnnya dapat mengganggu tidur, dan menyebabkan insomnia. Tidak semua penderita gangguan skizofrenik mengalami insomnia. Pada tipe furor katatonik, gangguan skizofreniform (episode skizofrenik akut) atau pada skizofrenika tipe paranoid dengan waham kejar dan halusinasi berupa kejaran dapat terjadi insomnia.( Ahmed Rady dkk,2011)Ada banyak masalah medis kaitannya dengan pola tidur pada skizofrenia, tapi masalah yang paling relevan secara klinis dan menyedihkan adalah akan tidur sementara orang lain terjaga. Hal ini dikenal sebagai ritme sirkadian, daya lebih yang mengatur siklus tidur dalam tubuh, dan sekali daya ini kehabisan tenaga, otak kehilangan kemampuan untuk melakukan sinkronisasi tidur dengan lingkungan. Sinkronisasi misionaris ini dapat baik dikaitkan dengan efek sedatif dari obat atau gejala negatif dari penyakit. Pengaruh utama yang mengatur daya ini, yang pada gilirannya mengatur siklus tidur-bangun. Pasien dengan psikosis, termasuk skizofrenia, mungkin mendapatkan sangat sedikit cahaya siang hari karena mereka cenderung menarik diri secara sosial dan mungkin menjaga tirai mereka ditutup karena melihat cahaya matahari sebagai ancaman. Ini dengan sendirinya dapat berperan dalam mengganggu siklus tidur diotak dan mempengaruhi sinyal yang mengatur ritme sirkadian. (Maysah Faisal Al-Mulla ,2013)Banyak penelitian dengan tujuan untuk mengetahui siklus tidur-bangun tetapi gagal karena fluktuasi hari-hari peristiwa dan butuh follow up panjang untuk mempelajari karakteristik siklus tersebut. Dua makalah yang diterbitkan baru-baru ini dalam British Journal of Psychiatry mempelajari siklus tidur-bangun lebih dari 6 minggu, menggunakan actigraphy, yang merupakan metode non-invasif untuk mengukur siklus sisa-aktivitas pada pasien dengan skizofrenia. Dalam penelitian ini, ada 2 kelompok, untuk kelompok kasus adalah pasien dengan skizofrenia, dan kontrol adalah individu yang sehat. Kedua kelompok diminta untuk memakai perangkat pada pergelangan tangan, yang mengukur aktivitas selama beberapa hari atau minggu. Hanya sedikit gerakan yang tercatat selama tidur, dan lebih banyak gerakan tercatat selama jam-jam bangun. Studi ini menunjukkan bahwa kelompok kasus memiliki waktu tidur yang lebih panjang daripada kelompok kontrol pada siang hari, dan 50% dari mereka menunjukkan waktu tidur yang searah dengan lingkungan waktu malam. Sinkronisasi non sirkadian tidak terkait dengan keadaan klinis atau dosis antipsikotik. (Maysah Faisal Al-Mulla ,2013)Temuan serupa telah dibuktikan pada penelitian lain adalah tampak pada fungsi lobus frontal dalam kelompok kasus dan kontrol, dimana peserta yang memiliki ritme sirkadian normal menunjukkan hasil yang lebih baik. Hal ini membawa kita untuk kemungkinan bahwa peranan tidur yang terganggu menyebabkan kelemahan kognisi pasien dengan skizofrenia.Dua makalah ini, dengan bukti objektif mereka yang meyakinkan ritme sirkadian normal, dan temuan tambahan fungsi kognitif yang lebih rendah pada orang dengan ritme yang lebih normal, mungkin cukup untuk membenarkan penggunaan terapi chronotherapeutic sistemik untuk membantu rehabilitasi setelah episode akut penyakit.Optimasi/arsitektur tidur, gelombang tidur dan electroencephalogram, telah dikesampingkan ketika melakukan penelitian dan belum diteliti secara menyeluruh pada skizofrenia seperti yang mereka miliki dalam tekanan. Masalah utama yang terletak di sini adalah bahwa banyak dari obat antipsikotik yang digunakan dalam pengobatan skizofrenia, sering mempengaruhi neurofisiologi otak, dan pada gilirannya mengubah fitur tidur. Di sisi lain, sangat sulit untuk melakukan studi tersebut pada pasien yang tidak menggunakan obat apapun karena gejala positif yang menyusahkan. (Maysah Faisal Al-Mulla ,2013)Telah ditetapkan bahwa jenis dan jumlah kumparan ini berkaitan dengan pembelajaran dan jumlah pembelajaran terkait dengan tidur, yang dalam kata-kata sederhana dapat diartikan sebagai lebih banyak tidur dan semakin dipelajari maka kumparan yang muncul di EEG juga lebih. Ada 3 penelitian dipublikasikan yang menghubungkan gelombang tidur dan kognisi pada skizofrenia dalam 3 tahun terakhir, yang menunjukkan penurunan amplitudo dan durasi gelombang tidur pada 49 peserta skizofrenia dengan obat antipsikotik dibandingkan dengan 44 kontrol yang sama, dan juga 2 pasien bukan skizofrenia yang menerima obat antipsikotik. Hal ini menunjukkan hasil yang menarik, dimana perubahan parameter tidur termasuk gelombang tidur dan gelombang lambat yang didokumentasikan dengan memberi obat antipsikotik bahkan dalam peserta normal. Namun penurunan gelombang tidur hanya ditemukan pada pasien dengan skizofrenia dan ini tidak bisa dijelaskan dengan penggunaan antipsikotik. (Maysah Faisal Al-Mulla ,2013).Studi lain yang dilakukan oleh Keshavan et al menunjukkan bahwa sekelompok 27 pasien yang tidak diobati, yang baru didiagnosis, mengalami penurunan gelombang yang dikaitkan dengan performa lebih rendah pada frontal yang bertugas sebagai kognitif. Hal ini sebelumnya dilaporkan bahwa pasien dengan skizofrenia, bila dibandingkan dengan kontrol, tidak menunjukkan perbaikan yang normal dalam tugas motorik (rangkaian jari mengetuk) setelah tidur malam. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah jumlah gelombang dan kepadatan, semakin kecil perbaikan yang ditemukan dalam tugasnya. Studi ini mengungkapkan penanda neurobiologis pada skizofrenia yang menunjukkan suatu kegiatan talamokortikal terganggu, yang mungkin dapat digunakan sebagai target pengobatan untuk masa depan. (Maysah Faisal Al-Mulla ,2013)Beberapa studi telah menunjukkan efek menguntungkan dari melatonin pada inisiasi dan pemeliharaan tidur. Melatonin telah direkomendasikan oleh British Association of Psychopharmacology sebagai pengobatan yang berdasarkan bukti untuk insomnia, parasomnia dan gangguan irama sirkadian tidur. Hasil menarik telah disimpulkan dari beberapa penelitian yang menunjukkan efek melatonin pada aktivasi reseptor dopamin. Sebuah ganda buta uji coba secara acak terkontrol mengukur output kemih yang mengandung melatonin pada pasien dengan skizofrenia kronis, dan menilai efek dari melatonin pada kualitas tidur mereka yang menunjukkan bahwa pemberian melatonin 2mg meningkatkan efisiensi tidur dan mengurangi gangguan kognitif. Hasil yang menarik ini menjadikan era masa depan untuk penelitian melatonin agonis dan menggunakan potensi melatonin dalam skizofrenia. (Maysah Faisal Al-Mulla ,2013)Obat antipsikotik memiliki peran pada pola pasien tidur. Antipsikotik generasi pertama dan kedua, dengan pengecualian risperidone, terlibat dalam total peningkatan waktu tidur. Peningkatan gelombang lambat bervariasi antara 2 kelompok, dengan peningkatan yang dicatat pada penggunaan olanzapine dan penurunan ketika menggunakan clozapine. Pasien yang diobati dengan clozapine memiliki siklus sisa-aktivitas secara signifikan yang tinggi, sedangkan pasien dengan antipsikotik klasik seperti haloperidol atau flupenthixol menyebabkan kelainan ritme sirkadian dari kecil ke besar (Maysah Faisal Al-Mulla ,2013).

1