reforma agraria

17
ARAH DAN KEBIJAKAN PEMANFAATAN KEKAYAAN ALAM INDONESIA (SAEFUL ZAFAR / P.056081661.42 ) 03 Nopember 2009 A. Pendahuluan Setelah era reformasi yang ditandai dengan berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto melalui gerakan mahasiswa, seolah-olah membawa harapan dan angin segar untuk menjadikan Indonesia menuju ke arah yang lebih baik. Salah satu hal yang segera dilakukan oleh pemerintahan baru pada era reformasi adalah melakukan otonomi daerah yang seluas-luasnya, sehingga seolah-olah pemerintah pusat hanya berperan sebagai pembuat kebijakan saja dengan kewenangan pelaksanaan kebijakan sepenuhnya menjadi hak dari pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/kota. Hal ini bisa dimaklumi karena selama era orde baru yang sangat sentralistik sehingga segala kebijakan yang ada harus melalui persetujuan dari pemerintah pusat, termasuk segala pemanfaatan kekayaan alam dari daerah hasilnya lebih banyak dinikmati oleh pusat-pusat kekuasaan di Jakarta. Produk peraturan perudang-undangan yang paling memberikan perubahan sangat signifikan dalam hal pemanfaatan kekayaan alam di Indonesia pada masa reformasi adalah Undang-

Upload: saeful

Post on 18-Jun-2015

327 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

ARAH DAN KEBIJAKAN PEMANFAATAN KEKAYAAN ALAM INDONESIA

TRANSCRIPT

Page 1: REFORMA AGRARIA

ARAH DAN KEBIJAKAN PEMANFAATAN KEKAYAAN ALAM INDONESIA

(SAEFUL ZAFAR / P.056081661.42)03 Nopember 2009

A. Pendahuluan

Setelah era reformasi yang ditandai dengan berakhirnya kekuasaan Presiden

Soeharto melalui gerakan mahasiswa, seolah-olah membawa harapan dan angin segar

untuk menjadikan Indonesia menuju ke arah yang lebih baik.

Salah satu hal yang segera dilakukan oleh pemerintahan baru pada era reformasi

adalah melakukan otonomi daerah yang seluas-luasnya, sehingga seolah-olah pemerintah

pusat hanya berperan sebagai pembuat kebijakan saja dengan kewenangan pelaksanaan

kebijakan sepenuhnya menjadi hak dari pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/kota.

Hal ini bisa dimaklumi karena selama era orde baru yang sangat sentralistik

sehingga segala kebijakan yang ada harus melalui persetujuan dari pemerintah pusat,

termasuk segala pemanfaatan kekayaan alam dari daerah hasilnya lebih banyak dinikmati

oleh pusat-pusat kekuasaan di Jakarta.

Produk peraturan perudang-undangan yang paling memberikan perubahan

sangat signifikan dalam hal pemanfaatan kekayaan alam di Indonesia pada masa reformasi

adalah Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yaitu tentang Pemerintahan Daerah dan

Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat Daerah.

Dalam kedua Undang-undang tersebut diatur tentang batas kewenangan yang

harus dijalankan oleh pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah propinsi dan

kabupaten/kota, serta alokasi pembagian porsi keuangan antara pusat daerah, yang bisa

dikatakan kebalikan dari masa orde baru dulu dimana sekarang pemerintah Pusat hanya

memperoleh porsi yang jauh lebih kecil dibanding bagian dari pemerintah daerah.

Maksud dari pembagian porsi tersebut tentunya sangat baik yaitu agar

kesejahteraan masyarakat setempat yang memiliki berbagai kekayaan alam dapat lebih

Page 2: REFORMA AGRARIA

baik, karena hasil yang mereka dapatkan lebih besar sehingga dapat membantu

menggerakan roda perekonomian daerah setempat.

Namun pada kenyataannya banyak permasalahan yang muncul dalam rangka

pengalihan (devolusi) kewenangan dari pusat ke daerah termasuk dalam bidang

pengelolaan kekayaan alam, apalagi seperti sudah menjadi rahasia umum bahwa

pemanfaatan kekayaan alam merupakan areal yang sangat menjanjikan dari nilai ekonomi,

sehingga banyak kepentingan yang terlibat didalamnya.

Untuk itulah kiranya perlu dipertanyakan lagi bagaimanakah arah dari kebijakan

pemanfaatan kekayaan alam pada era otonomi daerah sekarang ini apakah sudah sesuai

dengan apa yang dicita-citakan dalam jiwa dan semangat reformasi yang telah berusaha

diimplementasikan oleh para pemimpin kita dengan berbagai peraturan yang lebih

mengarah kepada desentralisasi kewengangan.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mencoba mengangkat permasalahan yang

timbul dari deregulasi pemanfaatan kekayaan alam dalam era otonomi, khususnya dalam

hal pemanfaatan hasil hutan di Kalimantan Tengah serta tata niaga hasil tambang timah di

Pulau Bangka sebagai salah satu contoh kasus dari keruwetan pelaksanaan pemanfaatan

kekayaan alam Indonesia yang seharusnya ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat.

B. Tarik Ulur Kewenangan Pengelolaan Kekayaan Hutan Kalimantan Tengah

1. Era Orde Baru

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kekayaan hutan Indonesia sangat

melimpah, disisi lain kebutuhan dunia akan kekayaan hutan Indonesia khususnya kayu

semakin lama semakin meningkat, hal ini menjadikan industri perkayuan menjadi hal

yang sangat menguntungkan.

Kalimantan Tengah sebagai salah satu daerah di Indonesia yang memiliki areal

hutan yang cukup luas tentunya sudah cukup lama menjadi daerah eksploatasi

2

Page 3: REFORMA AGRARIA

pemanfaatan kayu sebagai salah satu pemasok kebutuhan industri yang memerlukan

kayu sebagai bahan bakunya, baik untuk industri dalam negeri maupun luar negeri.

Sebelum era otonomi yang dimulai pada awal tahun 1990-an, pengelolaan hutan

sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, hal ini mengakibatkan daerah-

daerah yang memiliki areal hutan seperti tidak memperoleh manfaat yang sepadan

dengan jumlah kekayaan alam yang diambil dari wilayah mereka.

Meski kalo dicermati tidak hanya oknum-oknum pusat yang menikmati

keuntungan dari penjualan kayu di daerah seperti Kalimantan Tengah, namun oknum-

oknum di daerah juga ikut bermain dalam menikmati hasil dari eksploatasi hasil hutan

tersebut, khususnya dari berbagai pungutan-pungutan liar yang wajib disetor oleh para

pengusaha kayu. Belum lagi jika para pihak di daerah tersebut ikut bermain dalam

“illegal logging” maka bisa dibayangkan berapa jumlah kekayaan yang diperoleh.

Perebutan kepentingan dalam hal pemanfaatan kekayaan hutan sebenarnya

sudah mulai terlihat ketika pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 5 tahun

1967 tentang Kehutan Dasar yang tidak mengacu kepada Undang-Undang No. 5 tahun

1960 tentang Pokok-pokok Agraria, sehingga memisahkan antara area Agraria dengan

kawasan hutan.

Dimana dengan adanya undang-undang kehutanan maka pejabat-pejabat yang

mempunyai akses ke pusat kekuasaan dapat dengan mudah mempereloh ijin-ijin

konsesi hutan yang berupa Hak Pengelolaan Hutan (HPH), sehingga mulailah muncul

pengusaha-pengusaha yang terkenal sebagai “raja kayu”

Kalimantan Tengah waktu itu dikenal sebagai “dapur” dari sistem HPH tersebut

dimana di daerah tersebut Departemen Kehutanan telah mengeluarkan 108 HPH

dengan jangka waktu masing-masing 20 tahun untuk mengeksploatasi daerah-daerah

hutan di Kalimantan Tengah yang menurun data yang ada hasil produksi hutan di

daerah ini memasok sekitar 40 % dari suplai kayu glondongan nasional setiap tahun

(Kompas 18-6-2001).

Sistem eksploatasi besar-besaran itu berjalan dibawah mata buta para pejabat

lokal yang setia pada rezim penguasa. Ketika sistem itu berjalan, mereka berkembang

menjadi jaringan pertukaran dan akomodasi yang mencakup staf kehutanan, personil

tentara dan pejabat-pejabat lokal kunci lainnya. Dalam banyak hal bos-bos lokal yang

3

Page 4: REFORMA AGRARIA

mempunyai akses ke modal dan kontak-kontak serta hubungan-hubungan kekerabatan

dalam lembaga-lembaga negara, dengan agen-agen dari para operator konsensi yang

tersentralisir, dan para pejabat polisi serta militer lokal memaikan peranan kunci dalam

pengaturan-pengaturan ini. Sementara sanksi-sanksi negara legal tidak akan diterapkan

terhadap mereka yang mematuhi sistem pengaturan timbal balik ini.

2. Era Awal Otonomi Daerah

Sebelum undang-undang tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang No.

22 tahun 1999) diberlakukan sebenarnya telah ada peraturan yang memberikan

kewenangan lebih kepada daerah kabupaten untuk mengeluarkan suatu ijin pengelolaan

hutan skala kecil.

Bahkan pemerintah Kabupaten di wilayah Kalimantan Tengah sudah sejak

tahun 1999 menerbitkan lisensi-lisensi kayu hutan pada orang-orang lokal yang

beroperasi atas nama mereka sendiri atau atas nama sebuah komunitas kelompok yang

diorganisir dalam sebuah koperasi atau kelompok tani. Para wiraswastawan juga mulai

menformalkan usaha mereka dengan memperoleh lisensi-lisensi yang lebih luas untuk

pabrik-pabrik pengolahan kayu yang dulunya beroperasi secara ilegal.

Dibawah sistem ini peranan Departemen Kehutanan menjadi kehilangan

kapasitasnya sebagai lembaga yang beroperasi secara terintegrasi vertikal sebagai

penanggung jawab pengelolaan hutan secara nasional. Karena pada kenyataannya

otonomi daerah telah mengakibatkan perubahan yang signifikan dalam kaitannya

mereka-mereka yang masih berkepentingan untuk melakukan usaha di bidang

kehutanan. Dalam hal ini tentunya berkaitan dengan akses yang harus dilalui agar bisa

berinvestasi dengan tenang serta jalur-jalur pungutan ataupun fee yang harus disiapkan

tentunya mengalami perubahan.

Namun pada awalnya kondisi ini secara umum masih menguntungkan pihak

pemilik modal yang berasal dari Jakarta sehingga kesempatan dari para elit lokal untuk

ikut menikmati keuntungan dari pengurasan sumber-sumber kekayaan alam tersebut

tidak menjadi lebih baik. Akhirnya para elit lokal menggunakan isu ”sentimen putra

4

Page 5: REFORMA AGRARIA

daerah” untuk melegitimasi keputusan-keputusan yang dipandang menguntungkan

kepentingan-kepentingan lokal. Elit-elit kabupaten yang merasa mereka belum pernah

menikmati bagian yang adil dari pengurasan sumber alam selama Orde Baru, kini

melihat telah tiba giliran mereka untuk menangguk keuntungan.

Dengan cara-cara ini maupun lainnya, bupati-bupati bisa memberikan tekanan

pada para konglomerat untuk merundingkan akses via pemerintah kabupaten . Di

Kalimantan Tengah dengan bekerjasama dengan pengusaha-pengusaha lokal, banyak

konsesioner mulai berinvestasi dengan strategi pengurasan lain. Dengan memperluas

sistem yang telah berjalan, para konglomerat bekerjasama dengan para pengusaha dan

pialang lokal dengan dukungan informal dari bupati-bupati dan gubernur

Sistem ini memiliki keuntungan secara besar-besaran meningkatkan pajak-pajak

kabupaten (Pendapatan Asli Daerah) yang menguntungkan pemerintahan daerah.

Dengan adanya korupsi dan kolusi dalam bagaimana sistem ini dijalankan, secara tidak

resmi sistem ini juga memperkaya orang-orang yang menduduki posisi-posisi kunci

dalam pemerintahan kabupaten.

Di pihak lain para anggota DPRD yang seharusnya menjadi lembaga yang

mengontrol kebijakan pemerintah daerah malah banyak yang terlibat langsung dalam

jaringan perdagangan kayu, dengan memanfaatkan status mereka dalam jaringan-

jaringan imbalan dan akomodasi yang mencakup eksekutif untuk memberikan operasi-

operasi yang bebas dari penegakan hukum. Anggota-anggota DPRD memberikan

rekomendasi agar kayu bisa lewat kabupaten mereka atau mendukung pernyataan-

pernyataan dari kepentingan-kepentingan kayu atas nama DPRD. Secara langsung

diperkirakan lebih dari 60 anggota DPRD di Kalimantan Tengah terlibat secara

langsung dalam usaha-usaha kayu. Ini menunjukkan pada realita bahwa mekanisme –

mekanisme formal partisipasi dan keterwakilan publik sedikit sekali menyerupai

partisipasi dan keterwakilan yang sebenarnya dalam menetapkan siapa saja yang

mendapatkan akses menuju sumber-sumber dan bagaimana mereka melakukan hal itu.

3. Era Deregulasi Otonomi Daerah

5

Page 6: REFORMA AGRARIA

Perubahan mengenai pemanfaatan hutan di Kalimantan Selatan mulai

mengalami perubahan sejak pemerintahan Megawati berkuasa, dimana ketika itu

Megawati mulai memperkuat kembali kontrol Jakarta atas propinsi-propinsi yang jauh.

Khusus untuk menegaskan kontrol atas sumber-sumber hutan pada bulan Juli 2002

pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 34 / 2002 tentang sektor

kehutanan. Sebelum itu, otoritas departemen kehutanan telah dipecah-pecah. Dengan

adanya pergulatan politis yanb terjadi di pusat, undang-undang yang menyangkut

pemanfaatan sumber dan otonomi daerah tetap tidak terkoordinasi, inkonsistensi dan

kontradiktif. Selama ini terjadi pertikaian-pertikaian serius dalam kabupaten-kabupaten

dan diantara para pejabat propinsi dan pusat atas pengambilan keputusan mengenai

sumber-sumber alam.

Akhirnya Departemen Kehutanan menarik kembali kontrol atas sistem

perizinan, lisensi pengangkutan kayu dan penarikan pajak-pajak atas aktivitas

kehutanan, sehingga secara efektif membatasi kewenangan kabupaten hanya pada

pemberian izin eksploatasi 100 hektare dan menaikkan pajak-pajak kabupaten di sektor

itu. Meskipun pemerintah pusat tidak secara langsung mencabut peraturan daerah yang

bertentangan dengan peraturan baru itu, bupati-bupati yang meneruskan kebijakan-

kebijakan lama menghadapi sanksi-sanksi hukum.

Dengan adanya kampanye nasional menentang ”illegal logging”, polisi mulai

mengambil langkah-langkah penegakan hukum yang juga mengincar konsumsi publik

yang bagus sekali. Serbuan-serbuan polisi dipusatkan pada pabrik-pabrik penggergajian

dan pengiriman-pengiriman kayu skala kecil yang dikelola oleh para wiraswasta dan

pialang lokal, juga operasi-operasi kayu besar dan beberapa ekspedisi yang beroperasi

tanpa dokumen legal. Lama-lama polisi dan pengadilan mulai bertindak secara agresif

dalam memerangi illegal logging.

Namun terlepas dari tindakan yang tegas tersebut, maka mulai juga muncul

sindikat-sindikat baru yang ironisnya didalangi oleh oknum-oknum dari polisi sendiri,

bahkan menurut seorang pejabat kehutanan di Sungai Barito, jika kayu lewat dengan

membawa ”bendera Kapolda” tidak ada orang yang berani menyentuhnya. ”Polisi bisa

menahan kami” katanya, ”tapi mereka tidak bisa mengusik kayu-kayu ini”.

6

Page 7: REFORMA AGRARIA

Hanya sindikat-sindikat kayu yang memberikan pembayaran pada pialang

dengan restu Kapolda yang masih bisa terus beroperasi. Hal itu mengarah pada jaringan

”seleksi alam” yang lain dan aktor-aktor yang tidak mempunyai hubungan kerja yang

bagus dengan penjaga pintu gerbang, atau tidak mampu melakukan pembayaran yang

cepat dan memadai akan menghadapi sanksi-sanksi hukum.

Dampak dari hal-hal tersebut tentunya membuat daerah-daerah mulai

kehilangan lagi sumber pendapatan yang bisa diandalkan karena akses yang telah

diambil lagi oleh pemerintah pusat, sehingga praktik-praktik administratif untuk

meningkatkan PAD dan mencuci kayu tidak bisa lagi digunakan. Karena itu pendapatan

kabupaten dari sektor kehutanan merosot. Dan lebih jauh lagi otonomi daerah disektor

kehutanan juga mengalami pasang surut.

C. Tata Niaga Timah Di Pulau Bangka

1. Rezim penambangan timah lama

Sejak masa kolonial Belanda timah di Pulau Bangka sudah menjadi komoditas

yang menjanjikan, kemudian dalam era orde baru dan orde lama kebijakan yang

ditempuh masih mengacu juga pada era kolonial dimana timah masih dianggap sebagai

komoditi strategis yang harus diawasi oleh negara baik dalam hal eksploatasi maupun

perdagangannya (Erman 1994).

Berbagai macam kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan timah telah

dilakukan silih berganti sampai pada akhirnya pada masa periode kejatuhan harga

minya (1982-1985) pemerintah tidak mempunyai dana untuk mensubsidi berbagai

perusahaan negara sehingga mengambil kebijakan memprivatisasinya.

Namunn karena kebijakan dari rejim orde baru yang tetap memperlakukan

timah sebagai komoditi yang vital, sehingga dalam pengelolaannya terlalu birokratis

dan sentralistik yang berakibat prosedur untu investasi swasta masuk begitu rumit,

karena memerlukan persetujuan Menteri Pertambangan dan Energi, BKPM, DPR dan

Presiden. Pemerintah daerah tidak mempunyai kekuasaan apa-apa, apalagi

mengeluarkan lisensi penambangan, sementara kontribusi timah untuk Bangka lebih

banyak diberikan ke pusat dan ke Palembang dibanding ke pulau ini. Posisi pemda

7

Page 8: REFORMA AGRARIA

yang lemah, sedangkan posisi PT Tambang Timah yang hanya merupakan

perpanjangan tangan pusat menjadi lebih kuat sehingga kedua pulau yaitu Bangka-

Belitung tetap sebagai pulau yang dikuasai oleh perusahaan baik pada masa kolonial

dan pasca kolonial (Sommers Heidhues 1991)

2. Era Desentralisasi dan Rezim Penambangan Timah Baru

Setelah terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 yang kemudian diikuti dengan

masa otonomi daerah yang luas membuat daerah mempunyai kekuasaan dalam

mengeluarkan izin penambangan kepada pihak swasta ataupun juga mengelola timah

dibawah perusahaan daerah.

Dari sudut fiskal era reformasi memberikan pembagian fiskal yang lebih baik

kepada daerah, walaupun wewenangnya masih tetap di pusat, meski pada kenyataannya

pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Pertambangan dan Energi masih ingin

mempertahankan otoritasnya dengan mengatakan bahwa industri pertambangan akan

tetap dibawah kontrol Jakarta untuk lima tahun kedepan.

Bangka termasuk daearah yang responsif terhadap aturan tersebut dimana disaat

yang bersamaan mereka juga berjuang pembentukan propinsi Bangka Belitung lepas

dari propinsi Sumatera Selatan. Dimana Bupati Bangka pada saat itu dengan gigihnya

meminta jumlah bagian saham untuk Pemerintah Kabupaten Bangka di PT Timah

dinaikkan, namun hal ini tidak disetujui oleh pemerintah pusat, namun Bupati Bangka

mencari jalan lain dengan menaikan putra daerah untuk diangkat sebagai Direktur PT

Timah dan ini berhasil dengan diangkatnya Thobrani Alwi sebagai direktur PT. Timah

Hal ini didukung lagi dengan adanya deregulasi dalam tata niaga yang

dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan

industri Nomor 146 tahun 1999 dimana timah tidak lagi diangap sebagai komoditi

strategis yang perdagangan dan pertambangannya harus diawasi oleh pemerintah pusat

Deregulasi ini membawa implikasi pada pengelolaan penambangan dan bisnis

timah di Bangka, berbagai kebijakan dibuat oleh Bupati Bangka dengan dalih untuk

meningkatkan PAD dari komoditi timah. Dimana pada akhirnya memicu munculnya

para penambang timah rakyat atau yang biasa disebut sebagai penambang Timah

Inkonvensional (TI) yang dimodali oleh para cukong dari Singapura dan Jakarta,

8

Page 9: REFORMA AGRARIA

dimana jumlah produksi penambang TI ini jauh lebih besar dari yang dihasilkan oleh

PT Timah yang pada akhirnya ini menjadi cikal bakal runtuhnya kejayaan PT Timah.

Melihat kejadian tersebut pemerintah pusat kemudian merasa bahwa dampak

lingkungan yang ditimbulkan oleh para penambang TI sangat bunruk, dan pada

akhirnya sampai pada keluarnya keputusan larangan ekspor pasir timah hitam ke luar

negeri oleh Menteri Perdagangan dan Industri pada tanggal 17 April 2002, jadi pasir

timah harus dicairkan dulu sebelum dikeluarkan dari pulau tersebut..

Namun seperti sudah diduga keputusan itu tidak bisa bertahan lama, karena

dengan berbagai dalih khususnya penyataan yang menyebutkan ribuan masyarakat di

Bangka Belitung yang menggantungkan hidupnya sebagai penambang TI sehingga

akan menimbulkan penggangguran yang sangat besar apabila kebijakan tersebut

dilanjutkan.

Dalam perkembangan selanjutnya silih berganti muncul para penguasa komoditi

timah di daerah Bangka dan Belitung bahkan sampai muncul istilah Raja Timah 1 dan

Raja Timah 2 yang memiliki akses ke kekuasaan sangat besar, sampai-sampai saat

dilakukan penangkapan karena pelanggaran kasus hukum banyak demonstrasi yang

menuntut agar mereka dibebaskan.

Semakin bertambahnya penambang TI sebenarnya juga tiga lebih

mensejahterakan mereka, karena kerusakan lingkungan yang ditimbulkan jauh lebih

parah bahkan sudah mencemari wilayah laut diakibatkan dari sisa-sisa hasil tambang

(tailing) yang mencemari sungai dan laut mengakibatkan berkurangnya jumlah

tangkapan bagi para nelayan.

Selain masalah lingkungan yang parah, pemerintah daerah juga menghadapi

berbagai masalah yang muncul di kalangan masyarakat penambang sendiri sehubungan

dengan maraknya penambangan TI. Masalah minuman keras, judi dan perempuan tidak

bisa dielakkan. Sebagian uang yang diperoleh penambang dibelanjakan untuk hal-hal

semacam itu, sebuah gejala uang sama seperti masa kolonial, sungguh ironi.

D. Arah dan Kebijakan Pemanfaatan Kekayaan Alam

9

Page 10: REFORMA AGRARIA

Dari kasus yang ditampilkan diatas secara garis besar sudah bisa dilihat bahwa

orientasi atau yang diambil oleh pembuat kebijakan baik pada masa sebelum otonomi

daerah maupun setelah otonomi daerah lebih kepada eksploatasi sebesar-besarnya

kekayaan alam yang ada guna keuntungan sekelompok orang atau golongan.

Dampak-dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari kegiatan seperti kerusakan

alam dan berbagai bencana alam yang mungkin bisa timbul , hanya sebatas disampaikan

dalam lampiran syarat pada saat pengajuan perijinan, yang setelah itu tidak pernah lagi

diperhatikan. Jadi tidak heran jika hutan-hutan kita sekarang menjadi rusak parah dana

berbagai bencana banjir melanda di daerah-daerah yang bertahun-tahun yang lalu tidak

pernah ada yang kebanjiran.

Selain itu juga tidak aneh jika para nelayan di Bangka Belitung harus mengeluarkan

biaya ekstra dengan melaut lebih jauh dari bibir pantai untuk memperoleh hasil yang lebih

baik karena tingkat pencemaran dari residu penambangan timah yang sudah jauh

mencemari aliran sungai sampai di bibir pantai.

Melihat ini semua maka cita-cita Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan

bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi jauh panggang dari api,

baik itu pake model sentralististik maupun model desentralistik, jadi sebenarnya bukan

polanya yang harus diubah, tapi motivasi dari para pengambil kebijakan itu yang haru

diperbaiki sehingga semua itu hanya untuk satu tujuan yaitu untuk kemakmuran bersama.

E. DAFTAR PUSTAKA

10

Page 11: REFORMA AGRARIA

Eva Wollenberg dan Hariadi Kartodihardjo, 2003. Devolusi dan Undang-Undang Kehutanan Baru Indonesia (Ke Mana Harus Melangkah ? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia). Yayasan Obor Indonesia

Ida Aju Pradnja Resosudarmo dan Ahmad Dermawan, 2003. Hutan dan Otonomi Daerah : Tantangan Berbagi Suka dan Duka (Ke Mana Harus Melangkah ? Masyarakat, Hutan dan Perumusan Kebijakan di Indonesia). Yayasan Obor Indonesia

John F. McCarthy, 2009. Dijual ke Hilir : Merundingkan Kembali Kekuasaaan Publik Atas Alam di Kalimantan Tengah (Politik Lokal di Indonesia). Yayasan Obor Indonesia

Erwiza Erman, 2009. Deregulasi Tata Niaga Timah dan Pembuatan Negara Bayangan Lokal : Studi Kasus Bangka (Politik Lokal di Indonesai). Yayasan Obor Indonesia

11