pembentukan kebijakan reforma agraria 2006-2007

946

Upload: budi-eka-santoso

Post on 10-Aug-2015

681 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BungBungBungBungBunga Rampa Rampa Rampa Rampa Rampai Peai Peai Peai Peai Perdebrdebrdebrdebrdebaaaaatttttaaaaannnnn

PEMBENTUKAN KEBIJAKANPEMBENTUKAN KEBIJAKANPEMBENTUKAN KEBIJAKANPEMBENTUKAN KEBIJAKANPEMBENTUKAN KEBIJAKAN

REFOREFOREFOREFOREFORMA ARMA ARMA ARMA ARMA AGRARIA, 2006–2007GRARIA, 2006–2007GRARIA, 2006–2007GRARIA, 2006–2007GRARIA, 2006–2007

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak CiptaLingkup Hak CiptaPasal 2 :

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan ataumemperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangipembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan PidanaPasal 72 :

1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara palinglama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatuCiptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00(lima ratus juta rupiah).

Penyunting:Mohamad ShohibuddinM. Nazir SalimKata PengantarProf. Dr. Endriatmo Soetarto, M.A.

Diterbitkan atas KerjasamaSTPN PRESS dan Sajogyo Institute2012

BungBungBungBungBunga Rampa Rampa Rampa Rampa Rampai Peai Peai Peai Peai Perdebrdebrdebrdebrdebaaaaatttttaaaaannnnn

PEMBENTUKAN KEBIJAKANPEMBENTUKAN KEBIJAKANPEMBENTUKAN KEBIJAKANPEMBENTUKAN KEBIJAKANPEMBENTUKAN KEBIJAKAN

REFOREFOREFOREFOREFORMA ARMA ARMA ARMA ARMA AGRARIA, 2006–2007GRARIA, 2006–2007GRARIA, 2006–2007GRARIA, 2006–2007GRARIA, 2006–2007

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria, 2006-2007:Bunga Rampai Perdebatan

©2009 STPN Press, Yogyakarta

Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesiaoleh STPN Press, Desember 2012

Jl. Tata Bumi No. 5 Banyuraden, Gamping, SlemanYogyakarta, 55293

Tlp. (0274) 587239Faxs: (0274) 587138

Bekerjasama dengan

Sajogyo InstituteJl. Malabar 22 Bogor, Jawa Barat

Tlp/Faxs: (022) 8374048E-mail: [email protected]

Penyunting: Moh. Sohibuddin & M. Nazir S.Layout: Laiq EL

Cover: Eja Art Design

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria, 2006-2007:

Bunga Rampai PerdebatanSTPN, SAINS, 2012

xIii + 902 hlm.: 14 x 21 cmISBN : 978-602-7894-01-3

v

Kata PengantarKETUA SEKOLAH TINGGI

PERTANAHAN NASIONALProf. Dr. Endriatmo Soetarto, MA

Bila membaca buku ini, sebagai dokumen yang mere-kam perjalanan Simposium Agraria Nasional untuk Pem-bentukan Kebijakan Pembaruan Agraria sebagaimana dimuatdi dalamnya, maka ada simpul penting yang segera dapatkita tangkap yaitu gambaran apa dan siapa ‘daya penen-tangnya’ dan apa dan siapa ‘daya yang mendambakan peru-bahan’ atas gagasan Pembaruan Agraria itu. Tentu saja adakeletihan tersendiri jika kedua kekuatan ini ternyata tidakpernah mampu dan mau untuk menjalin dialog kritis mem-bangun konsensus kolektif dan kemudian memasukkannyasebagai agenda prioritas pembangunan nasional. Dalam halini kita tentu tidak ingin terperangkap dalam debat tak kun-jung putus antara pengusung keyakinan atas mitos-mitosideologis ‘neo-kolonialisme’ dan ‘neo-imperialisme’ yangmenyoal bagaimana Pembaruan Agraria sebaiknyamencegah atau menegasi ideologi yang menjadi lawan ter-

vi

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Penyunting)

hadapnya. Dari cara pandang ini kita sulit menemukanjalan-jalan praktis apa dan bagaimana untuk menujuemansispasi dari penghisapan kapitalis. Namun sebaliknyakita pun akan sangat jengah manakala problema tentangurgensi Pembaruan Agraria hanya ditanggapi dalam tataranpragmatis dan teknis semata, sebagaimana kebanyakanbirokrat mengajukannya dalam agenda kebijakan pem-bangunan (lihat pula, Mahasin, 1984).

Dalam konteks demikian barangkali ada baiknya bilaPembaruan Agraria kita letakkan sebagai masalah kebuda-yaan, atau dalam istilah Soedjatmoko (1984) disebutnyasebagai soal ‘penyesuaian kreatif kepada dunia modern’.Layaknya organisme mahluk hidup, daya penentang peru-bahan tak lain sebagai ‘kekuatan yang diperlukan untukmempertahankan keutuhannya sendiri’, dan daya ke arahperubahan yang tak lain sebagai ‘hal yang diperlukan dalampenyesuaiannya terhadap masalah-masalah baru’. Keduanyasampai derajat tertentu sebenarnya merupakan penjelmaandaya hidup kebudayaan itu sendiri. Makin kuat integrasikebudayaan, semakin kuat pula daya penentang perubahan.Sebaliknya, makin lemah integrasi kebudayaan semakinkuat pula daya ke arah perubahan. Di sini saya sepahamdengan pandangan tokoh intelektual besar (alm) Soedjat-moko bahwa setiap bangsa dalam sejarahnya senantiasamenghadapi benturan antara dua kekuatan yang berlawananitu.

Namun semua itu tak harus kita lihat sebagai obyek-tivitas yang sama sekali lepas dari manusia. Sebab semuanyaitu akan harus ditafsirkan dalam dunia makna manusia,malahan merupakan penjelmaan manusia. Suatu perubahan

vii

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

pada satu bagian akan menyebabkan perubahan pada bagian-bagian lainnya secara sistemik. Bila ini diterima PembaruanAgraria sebagai daya perubahan niscaya juga akan masuksebagai unsur yang harus dicernakan dalam kebudayaan itusendiri. Pembaruan Agraria tidak boleh diposisikan sebagaitransplantasi unsur kebudayaan baru yang tambal sulam atauyang sering diperolokkan sebagai ‘eklektisme murahan’.

Dalam konteks seperti itu yang menjadi amat krusialadalah bagaimana proses sosialisasi, internalisasi, dan enkul-turasi (baca: proses edukasi) atas urgensi penataan agrariadigencarkan penyelenggaraannya pada individu-individuanak-anak bangsa sehingga pada gilirannya mereka menjadigenerasi penerus yang handal memainkan peran sentraldalam Pembaruan Agraria. Hal ini amat perlu dicamkan,karena kita pernah atau sedang merasakan bagaimana mem-prihatinkannya suatu bangsa besar seperti Indonesia dengansumberdaya agraria yang melimpah tetapi mewarisi satugenerasi yang ‘buta agraria’ (agrarian illiteracy). Generasiini adalah produk dari politik Orde Baru yang melaranganak-anak sekolah, pelajar, dan mahasiswa mempelajarimasalah agraria dan bahkan oleh rezim ini pun kita tahuUUPA juga dipeti-eskan. Jadi sebagai kebutuhan mendasargagasan dan praksis Pembaruan Agraria niscaya akan meli-batkan keperluan perubahan pola pikir, pola sikap, dan ‘polatanggapan jiwa’. Perubahan-perubahan makro dalam masya-rakat, tampaknya harus dimulai dari perubahan-perubahanmikro pada individu-individu anggota masyarakat, yaknidengan revolusi pandangan a-historis kepada pandanganyang historis (bandingkan, Mahasin, 1984).

Dalam ide seperti itu maka Sekolah Tinggi Pertanahan

viii

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Peny.)

Nasional (STPN) bertekad untuk bahu membahu mela-hirkan generasi baru yang ‘melek agaria’. Untuk itu kampusini tidak pernah lelah untuk terus menapaki arah baru men-jadi pusat kegiatan ilmiah yang dinamis dan mampu meman-carkan pengaruh yang kuat terhadap kemajuan pengetahuan(Pembaruan) Agraria.

Untuk itu semua kami pimpinan STPN menyampaikanpenghargaan tinggi kepada rekan penyunting Moh.Shohibuddin dan M. Nazir Salim yang telah bekerja kerasdengan tulus sehingga lahirlah buku tebal yang sangat ber-harga ini sebagai suatu dokumen ilmiah. Juga kepada stafdi lingkungan STPN Press dan pihak lain yang tidak bisadisebutkan namanya satu per satu kami ucapkan banyakterima kasih atas kontribusinya sehingga buku ini dapat ter-bit. Selamat membaca dan meraih ilham untuk kemasla-hatan masyarakat luas.

Yogyakarta, Desember 2012

ix

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Ketua STPN ~ vPengantar Penyunting: Pembentukan KebijakanReforma Agraria, 2006-2007 ~ xviii

Prolog: PASANG SURUT DAN TANTANGANREFORMA AGRARIAOleh Soeryo Adiwibowo (Institut Pertanian Bogor) ~ xxxviii

Bagian I: Simposium Medan, 15 November 2006“LANDASAN HISTORIS, POLITIK, HUKUM,SOSIAL DAN EKONOMI UNTUK PELAKSANAANPROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL”

Kerangka Acuan Umum Simposium Agraria Nasional ~ 3Kerangka Acuan Simposium Medan ~ 11Sambutan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI ~ 17

Jastifikasi Historis, Kultural dan Sosial-Ekonomibagi Pembaruan Agraria ~ 23

1. Kilas Sejarah Masalah AgrariaOleh Andi Achdian (Onghokham Institute) ~ 24

2. Perspektif Filosofis dan Sosio-Kultural atas Urgensi

x

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Penyunting)

Pembaruan AgrariaOleh Iwan Tjitradjaja (Universitas Indonesia) ~ 29

3. “Socio-Economic Rationale bagi Reforma AgrariaOleh Gunawan Wiradi (Dewan Pakar KonsorsiumPembaruan Agraria) ~ 35

4. Urgensi Pelaksanaan Program Pembaruan AgrariaNasional dalam Penyelesaian Konflik Keagrariaan diTanah AirOleh Satyawan Sunito (Institut Pertanian Bogor) ~ 42

5. Mempertanyakan Posisi Sistem Tenurial Lokal dalamPembaruan Agraria di IndonesiaOleh Myrna Safitri (Huma) ~ 67

6. Urgensi Peran Ormas Tani dalam Gerakan PembaruanAgraria: Pengalaman Lintas NegaraOleh Henry Saragih (Federasi Serikat Petani Indonesia) ~ 87

7. Pengalaman Gerakan Petani Lampung dalam InisiatifPelaksanaan Pembaruan AgrariaOleh Fenta Peturun (Dewan Rakyat Lampung) ~ 112

Landasan Politik dan Hukum PelaksanaanPembaruan Agraria ~ 119

8. Kerangka Politik bagi Pelaksanaan Pembaruan AgrariaOleh Bomer Pasaribu (Komisi IV DPR RI) ~ 120

9. Urgensi Peneguhan UUPA dan PeraturanPelaksanaannya untuk Mendukung PelaksanaanPembaruan AgrariaOleh Achmad Sodiki (Universitas Brawijaya) ~ 144

Landasan Kebijakan Ekonomi PelaksanaanPembaruan Agraria ~ 155

10. Ekonomi Kerakyatan: Industrialisasi PedesaanOleh Taufik Sumawinata (Brighten Institute;

xi

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

NC Securities) ~ 15611. Kebijakan Ekonomi bagi Pelaksanaan Pembaruan Agraria

Oleh Iman Sugema (Institut Pertanian Bogor) ~ 16512. Skema Kebijakan Keuangan untuk Mendukung

Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria NasionalOleh Hermanto Siregar (Brighten Institute) ~ 171

Bagian II: Simposium Makassar, 4 Desember 2006“STRATEGI IMPLEMENTASI PROGRAMPEMBARUAN AGRARIA NASIONAL”

Kerangka Acuan Simposium Makassar ~ 185Sambutan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI ~ 190

Strategi Umum Pelaksanaan Pembaruan Agraria ~ 197

13. Kilas Balik Implementasi Pembaruan AgrariaOleh Sediono MP Tjondronegoro (Profesor EmiritusInstitut Pertanian Bogor) ~ 198

14. Pembaruan Agraria Nasional dan Isu-isu StrategisOleh Yuswanda A. Temenggung (Deputi BidangPengaturan dan Penataan Pertanahan BPN RI) ~ 218

Identifikasi Obyek dan Subyek Pembaruan AgrariaNasional ~ 223

15. Pembaruan Agraria: Obyek dan Penetapan HakOleh Gunawan Sasmita (Direktur Landreform BPN RI) ~ 224

16. Kebijakan Pemanfaatan Kawasan HutanOleh Ali Arsyad (Kepala Badan Planologi Kehutanan,Departemen Kehutanan) ~ 231

Dukungan Program Akses dan Lintas Sektor ~ 267

17. Program Dukungan Akses Paket Pembaruan AgrariaOleh Harianto (Brighten Institute) ~ 268

xii

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Penyunting)

18. Kebijakan Pemanfaatan Lahan Sebagai BagianPelaksanaan Program Pembaruan Agraria NasionalMakalah Pendukung: Rancangan Umum PerluasanLahan PertanianOleh Suhartanto (Direktur Pengelolaan LahanDepartemen Pertanian) ~ 283

19. Pengembangan Infrastruktur Fisik dalam RangkaMendukung Program Pembaruan Agraria NasionalOleh Sugimin Pranoto (Staf Ahli Menteri PekerjaanUmum) ~ 306

Dukungan Data dan Informasi ~ 337

20. Implementasi Reformasi Agraria dari PerspektifDukungan Penyediaan Data dan Informasi StatistikOleh Rusman Heriawan (Kepala Badan Pusat Statistik) ~ 338

Partisipasi Masyarakat ~ 353

21. “Matang Atas Matang Bawah” (Prinsip Dasar danStrategi Pelaksanaan Pembaruan Agraria Nasional)Oleh Usep Setiawan (Sekjen Konsorsium PembaruanAgraria) ~ 354

22. Peranan Organisasi Tani (Masyarakat Agraris) dalamPembaruan AgrariaOleh Agustiana (Sekjen Serikat Petani Pasundan) ~ 379

Peran Pemerintah Daerah dan Swasta ~ 389

23. Pemanfaatan Potensi Wilayah Pesisir ProvinsiSulawesi SelatanOleh S. Ruslan (Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan) ~ 390

24. Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat(Gerbang Emas) Sulawesi Selatan: Suatu PendekatanPemasaran Produksi Melalui Kerangka Birokrasi

xiii

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

Oleh Tim Sekretariat Gerbang Emas (Pemerintah ProvinsiSulawesi Selatan) ~ 397

25. Reforma Agraria ala SiakOleh Mardjan Ustha (Direktur SDM PTPN V) ~ 425

Bagian III: Simposium Jakarta, 12 Desember 2006“REVITALISASI KELEMBAGAAN UNTUKPELAKSANAAN PROGRAM PEMBARUANAGRARIA NASIONAL”

Kerangka Acuan Simposium Jakarta ~ 431Sambutan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI ~ 436

Urgensi Revitalisasi Kelembagaan ~ 334

26. Urgensi Revitalisasi Kelembagaan untuk PelaksanaanProgram Pembaruan Agraria Nasional: Perspektif SosialOleh Gumilar Rusliwa Soemantri (Universitas Indonesia) ~ 444

27. Urgensi Revitalisasi Kelembagaan untuk PelaksanaanProgram Pembaruan Agraria Nasional: Perspektif EkonomiOleh Bustanul Arifin (Universitas Lampung) ~ 451

Kerangka Acuan Revitalisasi Kelembagaan ~ 463

28. Perencanaan Pembangunan Ekonomi Nasional untukMendukung Pelaksanaan Program Pembaruan AgrariaNasionalOleh Bambang Prijambodo (Direktur Perencanaan MakroKementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas) ~ 464

29. Pembaruan Agraria Nasional di Wilayah Pesisir danPulau-pulau KecilOleh Arif Satria (Institut Pertanian Bogor) ~ 483

30. Kebijakan Agropolitan dan Reformasi Agraria diPedesaan (Pengalaman di Gorontalo)Oleh Fadel Muhammad (Gubernur Provinsi Gorontalo) ~ 495

xiv

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Penyunting)

Revitalisasi dan Sinergi Kelembagaan ~ 501

31. Urgensi Pembaruan Agraria dan Kesiapan BadanPertanahan NasionalOleh Benny (Plh Deputi Bidang Pengendalian Pertanahandan Pemberdayaan Masyarakat BPN RI) ~ 502

32. Pendidikan Tinggi Agraria: BertemunyaCendekiawan-Teknokrat Merumuskan Masa DepanMakalah pendukung: Revitalisasi Tridharma PerguruanTinggi dan Arah Baru Penelitian Pertanahan:Dukungan STPN terhadap Program PembaruanAgraria Nasional (PPAN)Oleh Endriatmo Soetarto (Ketua Sekolah TinggiPertanahan Nasional BPN RI) ~ 515

33. Kelembagaan untuk Delivery System dalamPelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional:Peran Departemen KehutananOleh Iman Santoso (Sekretaris Badan PlanologiKehutanan) ~ 535

34. Kelembagaan untuk Delivery System dalamPelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional:Peran Departemen PertanianOleh Ahmad Suryana dan Erizal Jamal (Badan Penelitiandan Pengembangan, Departemen Pertanian) ~ 543

35. Reformasi Agraria: Konsolidasi dan TransformasiEkonomi PerdesaanMakalah Pendukung: Sinergi BUMN MendukungKetahanan PanganOleh Agus Pakpahan (Deputi Usaha Agroindustri,Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan,Kementerian BUMN) ~ 574

36. Kebijakan Perbankan dalam Mendukung

xv

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

Pembaharuan AgrariaOleh Bunasor Sanim (Komisaris PT Bank RakyatIndonesia) ~ 608

Bagian IV: PROSES PERUMUSAN HASIL-HASILSIMPOSIUM AGRARIA NASIONAL DAN USULANKERANGKA KEBIJAKAN PROGRAM PEMBARUANAGRARIA NASIONAL

Kerangka Acuan Lokakarya ~ 613

Pemaparan Rancangan Awal Program PembaruanAgraria Nasional ~ 619

1. PPAN: Latar Belakang, Tujuan, LandasanKonstitusional, Perkiraan Dampak dan PembiayaanOleh: Hermanto Siregar (Staf Khusus Kepala BPN) danHarianto (Brighten Institute) ~ 620

2. Simulasi Kebutuhan Dana Program Landreform+dan Alternatif Strategi Landreform+Oleh: Taufik Sumawinata (Brighten Institute) ~ 631

Masukan Kalangan Civil Society untuk PerumusanProgram Pembaruan Agraria Nasional ~ 639

1. Poin-Poin Usulan Reforma AgrariaOleh Daniel Hutagalung (Perhimpunan PendidikanDemokrasi) ~ 640

2. Catatan-catatan Tambahan untuk ProgramPembaruan Agraria NasionalOleh Dadang Juliantara ~ 645

3. Kertas Posisi terhadap Program Pembaruan AgrariaNasionalOleh Petani Mandiri, AGRA, FSPI, STN, DTI, AMAN,API, KRKP, SBD, PBHI, KPA, UPC, Pergerakan, Pokja-

xvi

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Penyunting)

PA-PSDA, Walhi, HuMA, RACA, FWI, JKPP ~ 6484. Pandangan dan Sikap Federasi Serikat Petani

lndonesia (FSPI) Tentang Program PembaruanAgraria NasionalOleh Federasi Serikat Petani Indonesia ~ 660

5. Pandangan Serikat Tani Nasional (STN) atas ProgramPembaruan Agraria Nasional Pemerintahan SBY- JKOleh Serikat Tani Nasional ~ 665

Perumusan Hasil-hasil Simposium dan UsulanKerangka Kebijakan Program Pembaruan AgrariaNasional ~ 669

1. Hasil Lokakarya Yogyakarta ~ 6702. Rumusan Final Usulan Kerangka Kebijakan Program

Pembaruan Agraria Nasional ~ 688

Bagian V: RUMUSAN PROGRAM PEMBARUANAGRARIA NASIONAL (PPAN) ~ 709

1. Paparan Kepala BPN RI pada Rapat Terbatas dalamRangka Pelaksanaan Reforma Agraria, 22 Mei 2007Oleh Joyo Winoto (Kepala BPN) ~ 710

2. Reforma Agraria dan Keadilan Sosial:Orasi Peringatan Dies Natalis Institut Pertanian Bogor,1 September 2007Oleh Joyo Winoto (Kepala BPN) ~ 754

Bagian VI: PANDANGAN KALANGAN MASYARAKATSIPIL TERHADAP PROGRAM PEMBARUANAGRARIA NASIONAL (PPAN)

1. Reforma Agraria untuk Keadilan Sosial danKesejahteraan Rakyat: Pelaksanaannya di Masa Laludan Revitalisasinya Pada Saat Ini

xvii

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

Oleh Moh. Shohibuddin (Brighten Institute; SajogyoInstitute) ~ 790

2. Aspek Keadilan dalam Reforma AgrariaOleh Robertus Robet (Perhimpunan PendidikanDemokrasi) ~ 830

3. Momentum Baru Reforma Agraria?Oleh Usep Setiawan (Sekjen Konsorsium PembaruanAgraria) ~ 836

4. Fajar Reforma Agraria di Indonesia? Dari AgendaPetani ke Agenda BangsaOleh Noer Fauzi (PhD Candidate UC, Berkeley) ~ 840

5. Bagi-bagi Lahan 22 Juta Hektar: Menuju Pasar Tanah,Tanam Paksa, atau Konflik Horisontal?Oleh Torry Kuswardono (WALHI) ~ 852

6. Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritistentang Program Pembaruan Agraria Nasional(PPAN) atau Redistribusi Tanah ala Pemerintahan SBYOleh Dianto Bachriadi (Pergerakan, Bandung) ~ 860

7. Di Balik Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)Oleh Iwan Nurdin (Koordinator Advokasi Kebijakan,Konsorsium Pembaruan Agraria) ~ 882

Epilog: QUO VADIS PROGRAM PEMBARUANAGRARIA NASIONAL?Oleh Noer Fauzi Rachman (Direktur Eksekutif SajogyoInstitute) ~ 896

Tentang Penyunting ~ 902

xviii

Pengantar PenyuntingPEMBENTUKAN KEBIJAKAN

REFORMA AGRARIA, 2006-2007Mohamad Shohibuddin

Setelah lama diingkari dan dipandang dengan penuhcuriga, agenda reforma agraria akhirnya masukkembali menjadi kebijakan pemerintah nasional

semenjak paroh terakhir dekade pertama Abad XXI. Dijan-jikan dalam visi, misi dan program pasangan Susilo Bam-bang Yudhoyono-Jusuf Kalla pada saat Pemilihan Presidentahun 2004, agenda ini kemudian dicantumkan secara resmidalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka MenengahNasional 2005-2010 (Perpes No. 7 Tahun 2005). Selanjut-nya, ia ditegaskan lagi dalam dokumen Rencana Pem-bangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (UU No.17 Tahun 2007). Secara kelembagaan, Badan PertanahanNasional (BPN) sebagai lembaga pemerintah yang menja-lankan tugas di bidang pertanahan juga diperbarui dasarhukumnya melalui Perpres No. 10 Tahun 2006. Perpres inimemperkuat mandat dan fungsi lembaga ini, termasuk untuk

xix

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

menjalankan program pembaruan agraria nasional.Perkembangan di atas kian melambungkan harapan

akan menyingsingnya “fajar kebangkitan reforma agraria”di Indonesia memasuki Abad XXI (Fauzi 2007). Jika selamaperiode Orde Baru tuntutan atas akses tanah seolah identikdengan agenda perjuangan petani, maka tumbangnya rezimotoriter ini pada Mei 1998, disusul dengan desakan pelak-sanaan reformasi total di segala bidang, telah menyediakansatu “struktur kesempatan politik” baru bagi aktor-aktornon-negara untuk melakukan perubahan, termasuk bagikalangan pejuang agraria.

Berbagai kelompok gerakan rakyat pedesaan di tingkatakar rumput berhasil memanfaatkan kesempatan politikyang terbuka ini dengan melancarkan aksi-aksi pendudukandan penggarapan atas tanah-tanah yang sebelumnya meru-pakan bagian konsesi perkebunan dan kehutanan milikperusahaan pemerintah dan swasta. Faktor kesempatanpolitik ini pula yang memungkinkan diangkutnya agendaperjuangan akses atas tanah dan redistribusi kekayaan kedalam arena-arena pembuatan kebijakan publik di tingkatlokal maupun nasional (Rachman 2012). Keluarnya TAPMPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria danPengelolaan Sumberdaya Alam—yang disambut para aktivisgerakan agraria dengan pandangan pro dan kontra itu(Lucas & Warren 2003)—adalah salah satu contoh hasilperjuangan aktor-aktor non-negara memanfaatkan strukturkesempatan politik yang terbuka ini.

Dengan Joyo Winoto diangkat jadi Kepala Badan Perta-nahan Nasional (BPN), dan menyatakan komitmennyamenjalankan reforma agraria, maka agenda yang selama

xx

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Penyunting)

rezim Orde Baru dihidupkan oleh kaum tani dan para pen-dukungnya itu mendapatkan resonansinya di aras kebijakanpemerintah. Momentum awalnya adalah Rapat TerbatasPresiden SBY dengan Menteri Kehutanan, Menteri Pertaniandan Kepala Badan Pertanahan Nasional pada tanggal 28 Sep-tember 2006. Dalam rapat ini Presiden SBY memutuskanuntuk mengalokasikan 8,15 juta hektar tanah yang berasaldari hutan konversi dan tersebar di 17 provinsi untuk dire-distribusikan kepada rakyat melalui kebijakan reforma agraria.

Menindaklanjuti keputusan Presiden SBY ini, BPN dibawah kepemimpinan Joyo Winoto segera melakukan kon-solidasi internal serta menggalang dukungan politik untukpenyusunan kebijakan Program Pembaruan AgrariaNasional (PPAN) dan langkah-langkah pelaksanaannya.Sepanjang bulan November-Desember 2006, tiga Simpo-sium Agraria berskala nasional juga diselenggarakan olehBPN di Medan, Makassar dan Jakarta dengan dukungandari Brighten Institute, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional(STPN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Lem-baga Pengkajian Pertanahan Indonesia (LPPI).1 Selainuntuk menjaring masukan dan aspirasi publik, rangkaiansimposium itu secara politik juga diarahkan untuk men-dorong kesadaran masyarakat luas, menggalang dukungandan kerjasama multi-pihak, serta mewujudkan komitmen

1 Brighten Institute adalah lembaga think tank kebijakan pembangunanyang merumuskan visi, misi dan program SBY-JK 2004-2009. Lembagaini berperan penting dalam memasukkan agenda reforma agraria ke dalamdokumen tersebut. STPN adalah sekolah kedinasan di bawah BPN yangmendidik dan mengkader calon-calon birokrat pertanahan. KPA adalahkoalisi LSM dan organisasi tani yang didirikan pada tahun 1995 untuk

xxi

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

politik dan konsensus nasional mengenai pentingnyamenjalankan amanat reforma agraria secara sungguh-sung-guh, sinergis, terpadu dan berkelanjutan.

Pada Januari 2007, Presiden SBY dalam pidato awaltahunnya secara eksplisit menyatakan bahwa “ProgramReforma Agraria … secara bertahap … akan dilaksanakan mulaitahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikantanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dantanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperun-tukkan bagi kepentingan rakyat.” Pidato Presiden ini menun-jukkan adanya political will pemerintah untuk menjalankanagenda reforma agraria.

Pada awalnya direncanakan Presiden SBY akan menca-nangkan program reforma agraria ini secara nasional diKabupaten Blitar, Jawa Timur. Dalam rangka itu, pada tang-gal 22 Mei 2007 Kepala BPN menyampaikan paparan padaRapat Terbatas di Kantor Kepresidenan mengenai hasilpenyusunan kebijakan PPAN dan langkah-langkah yangtelah dilakukan BPN untuk persiapan pelaksanaannya, sertakoordinasi yang dilakukannya dengan berbagai instansipemerintah.2 Dalam kesempatan yang sama Kepala BPN

mengembangkan studi-studi kritis atas kebijakan pemerintah, melakukanadvokasi kebijakan di bidang agraria, dan mempromosikan land reform byleverage. LPPI adalah lembaga yang saat itu baru saja didirikan olehsejumlah orang dengan beragam latar belakang: mantan pejabat agraria,praktisi notaris pertanahan, akademisi, dan aktivis agraria.

2 Selain dengan Departemen Kehutanan dan Pertanian, selama bulanFebruari-April 2007 Kepala BPN telah melakukan road show ke sejumlahlembaga pemerintah untuk mengonsultasikan dan mengoordinasikanrencana pelaksanaan PPAN, di antaranya Bappenas (7 Februari 2007),Mahkamah Agung (8 Februari 2007), Kejaksaan Agung (9 Februari 2007),

xxii

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Penyunting)

juga melaporkan kesiapan kegiatan “Pencanangan Pelak-sanaan Reforma Agraria untuk Mewujudkan Tanah untukKeadilan dan Kesejahteraan Rakyat” yang akan bertempatdi Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Bli-tar. Pencanangan itu akan ditandai dengan penyerahan serti-pikat redistribusi tanah oleh Presiden SBY kepada perwa-kilan 12.001 keluarga petani yang berasal dari 27 Dusun, 9Desa, 5 Kecamatan di Kabupaten Blitar. Akan tetapi, penca-nangan pelaksanaan reforma agraria secara nasional itukemudian mendadak dibatalkan pelaksanaannya, sebagiankarena sejumlah eksponen, termasuk pejabat yang menen-tukan agenda Presiden di kantor Sekretariat Kabinet, tidaksetuju dengan pencanangan ini, dan akhirnya tidak pernahdilaksanakan hingga sekarang.

***

Tidak kunjung dilaksanakannya pencanangan reformaagraria oleh Presiden, kepala pemerintahan nasional, sete-lah pembatalan rencana kegiatan tersebut di Kabupaten Bli-tar pada dasarnya mengindikasikan bahwa di tubuh peme-rintah sendiri terjadi ketegangan, friksi dan fragmentasi pan-dangan dalam menyikapi agenda reforma agraria. Di pihak

Menko Kesra (27 Februari 2007), Departemen Pertahanan (1 Maret 2007),Badan Intelijen Negara (8 Maret 2007), Departemen Keuangan (20 Maret2007), Menko Perekonomian (28 Maret 2007), Dewan Ketahanan Nasio-nal (4 April 2007), dan juga Kepala Polri dan Panglima TNI. Selain langkah-langkah koordinasi itu, diselenggarakan pula forum sosialisasi PPANkepada pemerintah dan stakeholders di daerah oleh BPN. Forum sosiali-sasi ini diselenggarakan sebanyak dua kali, yaitu masing-masing untukIndonesia Timur (5-7 Maret 2007) dan Indonesia Barat (13-15 Maret 2007).

xxiii

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

lain, di kalangan aktivis gerakan agraria hal serupa ternyatajuga terjadi. Sebagian pihak, seperti pimpinan KonsorsiumPembaruan Agraria, menanggapi inisiatif politik pemerintahini secara antusias dengan melihatnya sebagai satu kesem-patan politik baru yang harus dimanfaatkan secara optimal.Sebagian yang lain sejak awal telah menyikapi rencana peme-rintah ini dengan pesimistis dan memilih mengambil posisiyang berseberangan (misalnya, Bachriadi 2007).

Refleksi Akhir Tahun 2007 KPA, misalnya, diisi denganpresentasi salah satu mantan pimpinannya3 yang menyambutrencana pemerintah ini sebagai perkembangan positif kebi-jakan reforma agraria “Dari Agenda Petani ke Agenda Bang-sa”. Perkembangan ini juga dilihat sebagai bagian dari feno-mena mondial kebangkitan agenda reforma agraria di awalAbad XXI yang dihidupkan kembali oleh sejumlah kondisiobyektif global (selengkapnya, lihat Fauzi 2007). Meskidemikian, sambutan antusias tersebut tidak urung disertaipula dengan kritik mengenai kemanjuran dari agenda ini.4

Sementara itu, pihak yang menentang mengemukakansejumlah keberatan prinsipil terhadap reforma agraria versipemerintah ini. Di antaranya, program reforma agraria inidijalankan hanya sebagai urusan teknis sehingga ia sebangun

3 Mantan pimpinan KPA tersebut adalah Noer Fauzi yang pernahmenjabat sebagai Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agrariapada tahun 1995-2002. Judul lengkap pidato refleksi akhir tahunnya ituadalah “Fajar Reforma Agraria di Indonesia? Dari Agenda Petani KeAgenda Bangsa”.

4 Pada kesempatan yang berbeda, ia menyebut pelaksanaan PPANini “bagai menyediakan kelambu untuk mengatasi wabah malaria” (Fauzi2008:20).

xxiv

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Penyunting)

dengan proyek administrasi pertanahan. Program tersebutjuga tidak berkeinginan kuat untuk merombak ketimpanganstruktur agraria yang ada dengan memfokuskan pada tanahnegara dan menghindari tanah-tanah di mana terjadi konflikagraria. Lebih lanjut, program tersebut tidak terlepas darikerangka Bank Dunia yang mengarah pada proses liberalisasipertanahan (lihat Bachriadi 2007 untuk uraian yang lebihterinci).

Debat internal di kalangan aktivis gerakan agraria inidan spektrum keragaman pandangan yang ada di dalamnyadengan padat telah direkam oleh Nurdin (2007).5 Muaradari perdebatan ini salah satunya adalah keputusan taktisyang diambil oleh satu kelompok gerakan agraria—dalamhal ini KPA—untuk melakukan apa yang disebut sebagai“kolaborasi kritis”6 bersama BPN di sepanjang proses kebi-jakan PPAN: yakni, sejak proses substantif penyusunankebijakannya hingga tahap teknis pelaksanaannya. Nurdinmencatat lima langkah penting yang bisa dilakukan gerakanagraria melalui strategi “kolaborasi kritis” bersama BPNdengan memanfaatkan peluang politik yang disediakan olehkebijakan PPAN ini: (1) melakukan pendataan secara akurat

5 Tulisan Iwan Nurdin ini dimuat dalam Bagian VI buku ini. Iwan Nurdinadalah Koordinator Advokasi Kebijakan, Konsorsium Pembaruan Agraria

6 Istilah “kolaborasi kritis” ini tidak ditemukan dalam tulisan Nurdin(2007), namun ia dipakai luas dalam berbagai diskusi maupun dokumen-dokumen yang muncul belakangan untuk menjelaskan pilihan langkah taktissemacam ini. Puncak dari strategi “kolaborasi kritis” ini adalah kesediaanKetua Dewan Nasional KPA, Usep Setiawan, diangkat sebagai Staf Khu-sus Kepala BPN. Untuk uraian lebih lanjut mengenai strategi “kolaborasikritis” yang dijalankan KPA dan peran khusus Usep Setiawan di dalamnya,lihat Rachman (2010).

xxv

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

atas wilayah penguasaan dan pengelolaan, wilayah klaim,rencana-rencana tata kuasa, tata kelola, dan tata produksi,dan rencana tata wilayah masyarakat sekaligus pendataansubjek secara jelas; (2) menyusun dan mempraktikkan mo-del pembaruan agraria yang disepakati oleh organisasi rakyatdengan dipandu oleh prinsip-prinsip kolektivitas dan berke-adilan; (3) melakukan dialog intensif, hingga perjuanganaksi-aksi terbuka, dalam wadah implementasi PPAN kepadapemerintah agar dapat mengimplementasikan model pemba-ruan agraria versi rakyat pada wilayah-wilayah yang selamaini telah diduduki sekaligus perlindungan legalnya; (4)melakukan promosi keberhasilan pembaruan agraria versirakyat agar diadopsi secara nasional dalam program PPAN;(5) membentuk jaringan kerja untuk memonitor implemen-tasi PPAN pada level wilayah dan melaporkan keberhasilanmaupun kegagalan implementasinya kepada pusat-pusatkoordinasi jaringan kerja di wilayah dan nasional.

Nurdin menegaskan, dengan pemahaman “kolaborasikritis” semacam ini maka pengawalan dan keterlibatan orga-nisasi gerakan agraria dalam kebijakan PPAN bukanlahsebuah keterlibatan dan pengawalan yang tanpa kekritisan,mulai dari sisi substansi hingga implementasi. Pilihan inijustru bersifat strategis karena menempatkan PPAN sebagaisalah satu kesempatan politik yang dapat “membuka pelu-ang politik lebih luas bagi dijalankannya pembaruan agrariasejati dan membuka peluang dalam memperjuangkan objek-objek pembaruan agraria yang lain dari yang ditawarkansemata-mata oleh pemerintah selama ini”.

***

xxvi

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Penyunting)

Sketsa singkat perjalanan kebijakan reforma agraria diawal masa pemerintahan SBY-JK di atas (2006-2007)mencerminkan fase formatif dari satu periode di mana bu-kan saja kebijakan PPAN dinegosiasikan, dirumuskan dandirencanakan, serta akhirnya dibakukan. Lebih dari itu, jugasatu periode di mana agenda reforma agraria tampil kembalimenjadi master frame bagi BPN di bawah kepemimpinanJoyo Winoto (2005-2012). Sebagai master frame, agendareforma agraria menjadi tema pengikat dan penggerak dalamupaya-upaya BPN untuk: merumuskan ulang filosofi danprinsip pertanahan dalam kerangka ideologi kebangsaan,mengembangkan politik dan kebijakan pertanahan yangbervisi kerakyatan, serta merevitalisasi eksistensi dan perankelembagaan.

Rachman (2012) mencatat lima usaha penting terkaitagenda reforma agraria yang berhasil dijalankan BPN dibawah kepemimpinan Joyo Winoto ini. Pertama, mem-perbarui dasar hukum BPN yang memperkuat eksistensiserta mandatnya dalam menjalankan program reforma agra-ria; menetapkan empat prinsip pertanahan menggantikan“catur tertib pertanahan”; melakukan pembaruan kelemba-gaan BPN, termasuk reformasi birokrasi. Kedua, menyetopupaya revisi UUPA dan memperkuat kembali signifikan-sinya sebagai dasar penataan politik dan hukum pertanahan,termasuk untuk legislasi baru reforma agraria (yakni RPPtentang Reforma Agraria dan PP tentang Penertiban danPendayagunaan Tanah Terlantar). Ketiga, menghilangkansensitivitas pejabat pemerintah dan lembaga negara terhadapland reform sebagai agenda komunis; dan sebaliknya, mena-namkan kesadaran “Reforma Agraria sebagai Mandat Kon-

xxvii

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

stitusi, Hukum dan Politik.Keempat, mempopulerkan rumus “Reforma Agraria =

Asset Reform + Access Reform”, yakni redistribusi tanahdisertai paket asistensi dan fasilitasi untuk memaksimumkanmanfaat tanah secara berkelanjutan. Kelima, merancang danmenjalankan PPAN yang mengagendakan redistribusi tanahpada tiga jenis objek: (i) 1,1 juta hektar dari berbagai tipe“tanah negara” yang berada langsung di bawah jurisdiksiBPN; (ii) 8,15 juta hektar tanah dalam kategori “hutan pro-duksi konversi”, bagian dari kawasan hutan yang dapat dike-luarkan dari kawasan hutan untuk tujuan non-kehutanan,di bawah jurisdiksi Departemen Kehutanan; dan (iii) lebihdari 7 juta hektar “tanah-tanah terlantar” yang berada dibawah jurisdiksi BPN.

***Buku bunga rampai ini hendak menunjukkan bahwa

periode 2006-2007 ini memiliki arti yang sangat pentingsecara historis karena menggambarkan proses-proses kebi-jakan seputar agenda reforma agraria yang ditandai denganperdebatan, tarik menarik kepentingan dan negosiasi diantara berbagai pihak. Fase formatif yang singkat itu jugamerupakan jendela untuk menelisik lebih dalam “kemung-kinan-kemungkinan konjungtural” yang tersedia dan seka-ligus “batas-batas struktural” yang menghadang, baik bagiaktor-aktor reformis di tubuh negara maupun kalangan gera-kan agraria dalam proses “kolabarosi kritis” mereka di sepan-jang perjalanan Program Pembaruan Agraria Nasional.7

7 Untuk teoretisasi atas interaksi yang saling menguatkan di antaraaktor-aktor reformis di tubuh negara dengan kalangan gerakan sosial

xxviii

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Penyunting)

Buku yang ada di hadapan sidang pembaca ini sengajadisusun untuk mendokumentasikan dan menghadirkankembali karya-karya tulis yang berasal dari periode formatif2006-2007 ini. Karya-karya yang dipilih mewakili spektrumkelompok sosial yang beragam dan yang secara langsungmelibatkan diri dalam usulan, perdebatan dan negosiasiseputar proses-proses kebijakan reforma agraria. Sumberdari mana karya-karya tulis itu diambil, diseleksi dan kemu-dian dihimpun dalam buku ini juga beraneka sebagaimanadijelaskan sebagai berikut.

Sumber pertama adalah rangkaian Simposium AgrariaNasional yang berlangsung sepanjang bulan November-Desember 2006 yang disinggung di atas. Berbagai makalahdan presentasi yang disajikan dan didebatkan dalam rang-kaian simposium agraria ini mewakili perspektif beragamkalangan: anggota legislatif, badan-badan pemerintahan dipusat, pemerintah daerah, LSM agraria, serikat tani, lem-baga riset dan think tank, akademisi perguruan tinggi, pelakubisnis, di samping pejabat BPN sendiri. Membaca bahan-bahan ini, terutama yang berasal dari badan-badan peme-rintah di pusat, siapapun dapat menemukan ketegangan danpenyikapan strategis yang diambil elemen-elemen di tubuhpemerintah sendiri di dalam merespon agenda reforma agra-ria dan mereposisi kepentingan sektoral lembaganya.

Sumber yang kedua adalah bahan-bahan yang dipresen-tasikan, diedarkan dan didiskusikan dalam dua forum pem-bahasan dan perumusan hasil-hasil seri Simposium Agraria

dalam arena proses kebijakan reforma agraria dan pelaksanaannya, lihatBorras (2007)

xxix

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

Nasional. Forum yang pertama adalah Roundtable Discus-sion yang diselenggarakan pada 14 Desember 2006 diKampus Institut Pertanian Bogor (dengan tuan rumah PusatKajian Agraria IPB). Sedangkan forum kedua adalah Loka-karya Perumusan Hasil-hasil Simposium Agraria Nasionaldi Kaliurang, Yogyakarta pada 17-18 Desember 2006(dengan tuan rumah STPN). Bahan-bahan yang beredardalam kedua forum tersebut mencakup: rangkuman materi-materi tiga simposium terdahulu (bahan ini tidak dimasuk-kan dalam buku ini), bahan presentasi dari pejabat BPNdan peneliti Brighten mengenai rancangan awal PPAN, danbahan-bahan yang berasal dari kalangan gerakan sosial. Yangterakhir ini mencakup kertas posisi sejumlah organisasi sertasejumlah masukan dari perorangan. Kesemua bahan ini,berikut rumusan final hasil-hasil simposium agraria yangdihasilkan dari kedua forum di atas, merupakan sumberkedua yang dipilih untuk dihimpun dalam buku ini.

Apabila kedua sumber terdahulu menggambarkanproses-proses perdebatan yang mengantarkan pada peru-musan PPAN, maka untuk sumber ketiga sengaja dipilih bahanyang mewakili rumusan PPAN itu sendiri sebagaimana difor-mulasikan oleh BPN. Untuk itu, sumber yang ketiga inidipilih dari presentasi dan pidato Kepala BPN sendiri. Adadua bahan yang dipilih dari sumber ini. Pertama adalah pre-sentasi Kepala BPN pada Rapat Terbatas di Kantor Kepre-sidenan tanggal 22 Mei 2007, dalam kesempatan mana ru-musan kebijakan reforma agraria secara resmi disampaikankepada Presiden SBY. Kedua, orasi ilmiah Kepala BPN padaPeringatan Dies Natalis IPB pada 1 September 2007. Dalam

xxx

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Penyunting)

orasi ini konsepsi PPAN yang sedang disiapkan BPN diela-borasi lebih mendalam dan analitis, yakni ditempatkandalam konteks pemenuhan atas cita-cita keadilan sosial,kritik terhadap colonial mode of development, maupun sebagaibentuk kebijakan pembangunan yang mendasar.

Sumber keempat, dan yang terakhir, adalah tulisan-tulisandi luar tiga simposium dan dua forum yang disebutkanterdahulu, namun ditulis pada periode yang sama (2006-2007), dan berasal dari mereka yang secara sadar memilihberbagai cara, pendekatan dan metode yang berlainan untukturut mempengaruhi kebijakan reforma agraria yang sedangdisiapkan oleh pemerintah. Tulisan-tulisan dari sumberterakhir ini dipilih untuk bisa mewakili keragaman nuansadalam memandang kebijakan pemerintah ini: mulai daritulisan yang bernada cukup positif dan menaruh harapanbesar terhadap apa yang dipandang sebagai awal bersemainyapolitical will pemerintah untuk menjalankan reforma agraria;lantas tulisan yang secara strategis menganggapnya sebagaisatu peluang politik baru yang, kendati tidak sepenuhnyaideal, dapat dimanfaatkan untuk mendorong agenda reformaagraria yang sejati; hingga tulisan yang bernada sama sekaliskeptis terhadap apa yang dianggap sebagai reforma agrariapalsu. Meskipun semua tulisan yang dipilih dari sumber inisama-sama mempostulatkan peran sentral pemerintah dalampelaksanaan reforma agraria, namun nuansa pandangan diatas memperlihatkan posisi khusus masing-masing penu-lisnya pada momen konjungtural saat itu, dan jenis engage-ment apa yang mereka lakukan di dalam proses-proses kebi-jakan yang sedang berlangsung. Dengan demikian, jenistulisan ini dapat memberikan aspek informasi yang lain

xxxi

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

dalam memahami dinamika interaksi negara dan masyarakatsipil dalam rezim demokrasi liberal yang tengah berlangsung.

***

Sumber-sumber tulisan yang disebut di atas secara sub-stantif mengisi buku suntingan ini dan sekaligus membentuksistematika penyusunannya. Secara keseluruhan buku inidisusun menjadi enam bagian sebagaimana diuraikan beri-kut. Setelah Kata Pengantar ini, buku bunga rampai iniakan diawali dengan Prolog yang ditulis oleh Dr. SoeryoAdiwibowo, staf pengajar Fakultas Ekologi Manusia, InstitutPertanian Bogor (IPB). Sebagai Staf Khusus Kepala BPNRI pada masa kepemimpinan Joyo Winoto, prolog dari Dr.Soeryo Adiwibowo ini memberikan perspektif dari dalammengenai dinamika perjalanan kebijakan PPAN.

Seri Simposium Agraria Nasional di Medan, Makassardan Jakarta yang mengangkat topik yang berlainan akanmengisi tiga bagian pertama buku ini. Bagian I, yang ber-asal dari simposium agraria pertama di Medan (15 Novem-ber 2006), membahas topik “Landasan Historis, Politik,Hukum, Sosial dan Ekonomi untuk Pelaksanaan ProgramPembaruan Agraria Nasional”. Ada tiga pokok bahasan yangdibicarakan di sini, yakni: (i) jastifikasi historis, kulturaldan sosial-ekonomi bagi pembaruan agraria; (ii) landasanpolitik dan hukum pelaksanaan pembaruan agraria; dan (iii)landasan kebijakan ekonomi pelaksanaan pembaruan agraria.

Bagian II, yang berasal dari simposium agraria kedua(Makassar, 4 Desember 2006), membahas topik “StrategiImplementasi Program Pembaruan Agraria Nasional”. Di dalam-nya ada enam pokok bahasan yang diangkat, yakni (i) stra-

xxxii

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Penyunting)

tegi umum pelaksanaan pembaruan agraria; (ii) identifikasiobyek dan subyek pembaruan agraria nasional; (iii) du-kungan program akses dan lintas sektor. Selanjutnya, (iv)dukungan data dan informasi; (v) partisipasi masyarakat;dan (vi) peran pemerintah dan swasta.

Bagian III, yang berasal dari simposium agraria ter-akhir di Jakarta (12 Desember 2006), membahas topik“Revitalisasi Kelembagaan untuk Pelaksanaan Program Pem-baruan Agraria Nasional”. Pada bagian ini terdapat tiga pokokbahasan sebagai berikut: (i) urgensi revitalisasi kelemba-gaan; (ii) kerangka acuan revitalisasi kelembagaan; dan (iii)revitalisasi dan sinergi kelembagaan. Di setiap permulaanBagian I hingga III ini akan dibuka dengan kerangka acuansimposium dan sambutan Kepala BPN yang memberi arahdan perspektif pada masing-masing topik pembahasan.

Bagian IV yang berasal dari dua forum pembahasanhasil-hasil simposium berisikan bahan-bahan yang diedarkandan didiskusikan dalam rangka menyusun usulan kerangkakebijakan reforma agraria kepada pimpinan BPN. Bagianini pada dasarnya terdiri atas tiga jenis materi, yakni: (i)dua presentasi mengenai rancangan awal PPAN yang disam-paikan pejabat BPN dan peneliti Brighten Institute; (ii) limabahan masukan yang disampaikan kalangan gerakan sosial,baik dari perorangan maupun organisasi; dan (iii) hasil peru-musan usulan kerangka kebijakan reforma agraria. Pada per-mulaan bagian ini juga akan dibuka terlebih dulu dengankerangka acuan kegiatan lokakarya.

Bagian V berisi dua naskah yang mencerminkan ru-musan resmi PPAN yang dihasilkan BPN pada periode awalpelaksanaan kebijakan reforma agraria. Dua naskah tersebut

xxxiii

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

adalah paparan Kepala BPN pada Sidang Terbatas di KantorKepresidenan tanggal 22 Mei 2007 dan orasi ilmiah KepalaBPN pada Peringatan Dies Natalis IPB tanggal 1 Septem-ber 2007.

Tujuh tulisan tanggapan terhadap kebijakan reformaagraria versi pemerintah ini membentuk Bagian VI daribuku ini. Ditulis oleh penulis dengan latar belakang yangberbeda, ketujuh tulisan ini dapat dianggap mewakili kera-gaman pandangan terhadap PPAN yang muncul saat itu,mulai dari yang bernada apresiatif, kritis hingga skeptis. Ba-gian ini sekaligus merupakan bagian terakhir dari buku ini.

Sebagai penutup, buku ini dipungkasi dengan Epilogyang ditulis oleh Noer Fauzi Rachman. Secara singkat danpadat, bagian epilog ini menguraikan trajektori perjalananPPAN setelah tahap fase formatif ini (2006-2007) hinggasaat kepemimpinan Joyo Winoto di BPN berakhir (per-tengahan 2012). Kepemimpinan progresif Joyo Winoto telahberhasil mengupayakan banyak hal penting dalam kaitandengan kebijakan reforma agraria (lihat Rachman 2012).Namun, tanpa dukungan politik yang riil dari pucuk pim-pinan nasional dan kekuatan politik di parlemen, makakemajuan agenda reforma agraria secara nyata masih jauhdari yang diharapkan. Apa yang terjadi adalah BPN yangterkucil dalam lingkungan ego-sektoral dari badan-badanpemerintah lain; reforma agraria yang menjadi urusan teknisBPN semata, alih-alih menjadi sebuah agenda nasional;proses legislasi PP Reforma Agraria yang berjalan di tempat;dan pelaksanaan redistribusi tanah terjebak pada legalisasiasset semata. Pada saat yang sama, tidak ada kemauan kuatdari Presiden SBY untuk mensinergikan badan-badan

xxxiv

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Penyunting)

pemerintah agar berkomitmen menjalankan agenda reformaagraria secara sinergis dan terpadu.

***

Seperti telah dikemukakan di atas, buku ini sengajadihadirkan untuk merekam perdebatan dan proses sosialyang berlangsung pada fase formatif pelaksanaan kebijakanreforma agraria di tanah air. Meski demikian, dalam prak-tiknya, kebijakan reforma agraria yang dijalankan oleh BPNpada masa-masa berikutnya tidaklah selalu mengikuti jalurlinier seperti yang telah direncanakan itu. Alih-alih, kebi-jakan itu harus menghadapi jalan yang berkelok-kelok;membentur lingkungan politik, sosial dan ekonomi yangtidak suportif; mengalami pembiasan baik pada tataran kon-sepsi maupun implementasi; bahkan tidak jarang berujungpada dampak akhir yang justru bersifat counter-reform.8 Keha-diran buku ini setidaknya berguna untuk menyediakan ba-han-bahan mentah bagi para peneliti, birokrat agraria, penggiatgerakan agraria, dan para peminat pada umumnya untukmemahami dinamika ketegangan, perdebatan, negosiasi,resistensi, dan dilema yang berlangsung di awal-awal pelaksa-naan kebijakan reforma agraria, dan yang sedikit-banyak turutmempengaruhi trajektorinya pada masa-masa berikutnya.

Banyak pihak yang telah berjasa untuk memungkinkanbuku ini dapat dihadirkan dalam bentuk yang ada sekarangini. Tim penyunting yang terdiri atas Moh. Shohibuddin,

8 Mengenai dampak pelaksanaan PPAN yang bersifat counter-re-form, lihat misalnya Shohibuddin (2011), Savitri et al, eds (2009) dan Savitriet al, eds (2010).

xxxv

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

M. Nazir telah melewati proses panjang sejak pertengahan2011 untuk mempersiapkan buku ini. Pengetikan ulangbeberapa bahan yang dihimpun dalam buku ini juga dibantuoleh Widhiana Hestining Puri dan Dwi Wulan Pujiriayani.M. Nazir juga telah menyisihkan banyak waktu untuk melay-out naskah buku yang amat tebal ini. Kepada mereka semua,yang telah giat bekerja dengan semangat sukarela, ucapanterima kasih dihaturkan dengan penuh rasa hutang budi.

Penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besar-nya juga disampaikan kepada para penulis yang karyanyadihimpun dalam buku ini, baik yang berhasil dihubungi dandiminta ijinnya secara langsung maupun yang tidak berhasildihubungi (disertai permohonan maaf untuk yang terakhir).Penghargaan dan rasa terima kasih yang sama juga disam-paikan kepada Dr. Soeryo Adiwibowo dan Dr. Noer FauziRachman yang berturut-turut telah meluangkan waktumenulis prolog dan epilog bagi buku ini di tengah kesibukanmereka yang menggunung. Semoga karya-karya tulis terse-but, dengan perspektif dan posisinya masing-masing, dapatmemperkaya khazanah keilmuan dan diskursus kebijakanmengenai reforma agraria di tanah air.

Akhirnya, ucapan terima kasih disampaikan kepadaSTPN Press dan Sajogyo Institute yang bersedia menerbit-kan buku ini, dan yang memungkin penyebarluasannyakepada khalayak luas secara gratis.

Semoga buku ini memberi manfaat.

Banda Aceh, 8 November 2012

xxxvi

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Penyunting)

Daftar Rujukan

Bachriadi, Dianto (2007) “Reforma Agraria untuk Indone-sia: Pandangan Kritis tentang Program PembaruanAgraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanahala Pemerintahan SBY.” Disampaikan pada Perte-muan Organisasi-organisasi Rakyat se-Jawa diMagelang, 6-7 Juni 2007.

Borras Jr, Saturnino M. (2007) Pro-poor Land Reform: A Cri-tique. Ottawa: The University of Ottawa Press.

Fauzi, Noer (2007) “Fajar Reforma Agraria di Indonesia?Dari Agenda Petani ke Agenda Bangsa.” Disam-paikan pada Refleksi Akhir Tahun KonsorsiumPembaruan Agraria, 27 Desember 2007.

______, (2008) “Gelombang Baru Reforma Agraria: TelaahPerkembangan Gerakan-gerakan Rakyat di DuniaKetiga”. Makalah disampaikan pada acara “Kajiandan Evaluasi Reforma Agraria 2008”, Badan Per-tanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI),Jakarta, 29 Maret 2008.

Lucas, Anton and Carol Warren (2003) “The State, thePeople and their Mediators - The Struggle overAgrarian Law Reform in Post-New Order Indone-sia.” Indonesia, October 2003.

Nurdin, Iwan (2007) “Di Balik Program Pembaruan AgrariaNasional (PPAN).” Naskah tidak Diterbitkan.

Rachman, Noer Fauzi (2010) “Perjalanan Aktivis Agraria:Dari Turba, Aksi Protes hingga Kolaborasi Kritis.”Prolog pada buku karya Usep Setiawan, Kembalike Agraria. Diterbitkan bersama oleh Sekolah TinggiPertanahan Nasional, Sajogyo Institute dan Konsor-sium Pembaruan Agraria.

xxxvii

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

______, (2012) Land Reform Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta:Penerbit Tanah Air Beta dan KonsorsiumPembaruan Agraria.

Savitri, Laksmi, Moh. Shohibuddin, Surya Saluang, eds(2009) Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dariProblem Agraria dan Krisis Sosial-Ekologi. Yogyakarta:STPN dan Sajogyo Institute.

Savitri, Laksmi, Ahmad Nashih Luthfi, Amin Tohari, eds(2010) Pengembangan Kebijakan Agraria untuk Ke-adilan Sosial, Kesejahteraan Masyarakat dan Keber-lanjutan Ekologis. Yogyakarta: STPN dan SajogyoInstitute.

Shohibuddin, Mohamad (2011) “Differentiated Benefitsin Land (Re)Distribution and Forest Devolution:Some Cases from Indonesia.” Dipresentasikanpada konferensi internasional “Forest Tenure, Gov-ernance and Enterprise: Experiences and Opportu-nities for Asia in a Changing Context.” Diseleng-garakan oleh Rights and Resources Initiative, Be-kerjasama dengan Departemen Kehutanan RI andInternational Tropical Timber Organization, Lom-bok, Indonesia, 11-13 July 2011.

xxxviii

PrologPASANG SURUT DAN

TANTANGAN REFORMA AGRARIASoeryo Adiwibowo

Usai membaca draft buku yang disunting oleh saudaraShohibuddin dan Nazir ingatan saya melayang ke tahun1977 dan awal tahun 2012. Di tahun 1977, tatkala masihduduk sebagai mahasiswa S1 Jurusan Sosial Ekonomi Perta-nian IPB, penulis memperoleh matakuliah Politik Pertanian.Di dalam matakuliah ini terdapat tiga topik utama: politikpembangunan pertanian yang bertumpu pada revolusi hijau,politik agraria dan agribisnis. Rupanya tahun 1977 adalahtahun penutup bagi matakuliah Politik Pertanian. Memasukitahun 1978 hadir matakuliah baru sebagai pengganti PolitikPertanian, yakni Agribisnis. Dalam perjalanannya kemudianagribisnis tidak hanya matakuliah tetapi juga menjadi sosokProgram Studi/Departemen Agribisnis tersendiri. Tahun2012, atau sekitar 35 tahun kemudian, peristiwa yang nyarisserupa berulang kembali. Di saat tersebut penulis, dalamkapasitas sebagai Staf Khusus Kepala BPN, dapat menga-

xxxix

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

mati dan sekaligus terlibat dalam proses-proses ReformaAgraria yang berlangsung di akhir era Joyo Winoto.

Memasuki panggung politik Indonesia, Soehartomerubah politik dan kebijakan Soekarno yang populis keteknokratik pro-kapitalisme. Di era Orde Baru kebijakanpembangunan pertanian dan pertanahan bukan diarahkanpada penataan aset produksi terlebih dahulu, tetapi diarah-kan pada upaya peningkatan produktivitas. Kebijakan sema-cam ini tidak hanya merubah drastis struktur penguasaan,pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (land-reform) yang kemudian berujung pada proses eksklusi,marjinalisasi dan kemiskinan masyarakat desa; tetapi secarasistematis dan perlahan juga menghapus pengetahuan/dis-kursus agraria dari bangku perguruan tinggi seperti yangpenulis saksikan di akhir 1977. Merujuk pada Foucault kitatahu apa implikasi hilangnya pengetahuan.

Diskursus agraria yang nyaris surut ke titik nadir danhanya dikawal oleh segelintir akademisi ini tak dinyana di-giatkan kembali oleh dan mendapat dorongan kuat dari paraaktivis muda. Memasuki pertengahan dekade 1990, peluanguntuk menata kembali politik, kebijakan dan hukumpertanahan di Indonesia terbuka. Gerakan agraria, gerakanpro-demokrasi, gerakan lingkungan hidup, HAM, dan kaumburuh, bahu membahu menyongsong berakhirnya eraSoeharto.

Buku ini sesungguhnya tak hanya memotret Pemben-tukan Kebijakan Reforma Agraria tahun 2006-2007. Sebabramuan yang disajikan oleh kedua editor buku membawakita menjadi paham betapa berliku dan beratnya jalan mem-perjuangkan keadilan agraria di era transisi demokrasi.

xl

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Penyunting)

Tahun 2001 para aktivis gerakan agraria dan gerakan ling-kungan berhasil memasukkan agenda pembaruan agrariadan pengelolaan sumberdaya alam sebagai kebijakan resminegara (TAP MPR RI No IX/MPRRI/2001). Meski keber-hasilan ini disikapi berbeda-beda oleh kalangan organisasinon pemerintah namun kebijakan ini merupakan tonggakbersejarah, karena membentuk rute selanjutnya dari agendareforma agraria, baik yang diusung oleh badan-badan negara,maupun organisasi-organisasi gerakan agraria (Fauzi 2007).

Perjalanan waktu kemudian menunjukkan betapa jauhpanggang dari api. Amanat yang tertuang dalam TAP MPRRI No IX/MPRRI/2001, ternyata tidak menjadi mesin peng-gerak perubahan di seluruh sektor sumberdaya alam danagraria. Mesin perubahan keadilan agraria yang dituntut olehKetetapan MPR No IX hanya direspon oleh lembaga perta-nahan saja (dalam hal ini BPN). Di luar BPN, berbagaikementerian dan pemerintahan daerah yang menanganipengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alamdan agraria; masih menjalankan bussiness as usual, tak banyakberubah alias bergeming. Termasuk dalam hal ini menyele-saikan konflik-konflik sumberdaya alam dan agraria yangbertambah akut. Tampak tidak ada kemauan politik yangkuat dari SBY untuk mensinergikan badan-badan pemerin-tah agar berkomitmen menjalankan agenda reforma agrariasecara sinergis dan terpadu. Sehingga tak heran bila hinggabuku ini diluncurkan PP Reforma Agraria tak kunjung diter-bitkan SBY (bahkan mungkin tidak terbit hingga akhir erapemerintahan SBY). Sebagai akibatnya redistribusi tanahyang dijalankan BPN masih terjebak pada legalisasi asset,dan Reforma Agraria terasa asing di telinga aparatur peme-

xli

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria

rintah di luar BPN. Alih-alih menjadi sebuah agenda nasio-nal yang masif dan kompak, Program Pembaruan AgrariaNasional (PPAN) yang digalang BPN ibarat pulau kecil ditengah-tengah lautan ego-sektoral yang ganas sumberdayaalam dan agraria.

Sementara itu di lingkungan internal BPN gagasanReforma Agraria juga tak mudah dicerna dan diadopsi hinggalini manajemen di daerah. Mengubah peran dan posisi apa-ratur BPN dari yang semula merasa banyak dibutuhkanmasyarakat, menjadi aparatur yang harus lebih banyak mem-fasilitasi lapisan dan golongan masyarakat bawah (petanitanah gurem atau tak punya tanah); ternyata tak sepertimembalik telapak tangan. Belum lagi cukup banyak aparatBPN yang galau menghadapi konsekuensi Reforma Agraria.Seperti, bagaimana cara memfasilitasi pemberdayaan masya-rakat (access reform) dalam konteks Reforma Agraria? Bagai-mana melakukan pemetaan sosial? Apa urgensinya mela-kukan kajian agraria, bagaimana melakukannya dan apakonsekuensinya bila ternyata kajian yang dilakukanmengungkapkan praktek-praktek yang menyimpang?Hingga bagaimana menyikapi warga yang menuntutkeadilan agraria dengan dukungan LSM yang ketuanya nota-bene adalah Staf Khusus Kepala BPN? Semua kegalauanini muncul karena hadirnya Reforma Agraria membuat zonanyaman harus ditinggalkan. Resistensi diam-diam mengalir.Apa yang tampak di permukaan tak senantiasa mencermin-kan apa yang sesungguhnya terjadi di bawah.

Ditengah-tengah suasana seperti itu Joyo Winoto digan-ti oleh Hendarman Supanji. Gelombang kedua perjuanganagraria yang dimulai pertengahan dekade 1990an, dan

xlii

M. Shohibuddin & M Nazir S. (Penyunting)

memuncak di tahun 2006-2007, kini nyaris berada di titiknadir. Syarat-syarat keberhasilan Reforma Agraria mulaimenunjukkan tanda-tanda tak terpenuhi. Inilah yang penulisrasakan dan saksikan di pertengahan 2012. Nyaris mengu-lang kejadian tahun 1977 namun dalam wujud lain.

Buku ini akan menjadi saksi sejarah bagi generasi men-datang. Mereka yang terlibat dalam perjuangan agraria erareformasi dan pembentukan kebijakan Reforma Agraria2006-2007 telah meletakkan nilai-nilai penting untuk gene-rasi mendatang: agar tak kenal lelah memperjuangkan nasiborang kecil melalui cara dan jalan masing-masing. KepadaProf. Dr. Endriatmo Soetarto. MA dan Sekolah TinggiPertanahan Nasional (STPN) yang memprakarsai buku iniserta pada kedua editor – Mohamad Shohibuddin dan M.Nazir Salim – pantas kita acungkan dua jempol dan terimakasih yang setinggi-tingginya.

Bogor, medio Desember 2012

BaBaBaBaBagiagiagiagiagian I: n I: n I: n I: n I: SIMPOSIUSIMPOSIUSIMPOSIUSIMPOSIUSIMPOSIUM MEDM MEDM MEDM MEDM MEDAN,AN,AN,AN,AN,

15 N15 N15 N15 N15 NOOOOOVEMBERVEMBERVEMBERVEMBERVEMBER 2006 2006 2006 2006 2006

“““““LANDLANDLANDLANDLANDASASASASASAN HISTOAN HISTOAN HISTOAN HISTOAN HISTORIS, POLITIK, HUKRIS, POLITIK, HUKRIS, POLITIK, HUKRIS, POLITIK, HUKRIS, POLITIK, HUKUUUUUM,M,M,M,M,

SOSIAL DSOSIAL DSOSIAL DSOSIAL DSOSIAL DAN EKAN EKAN EKAN EKAN EKOOOOONONONONONOMI UMI UMI UMI UMI UNTUKNTUKNTUKNTUKNTUK

PELAKSPELAKSPELAKSPELAKSPELAKSANANANANANAAN PRAAN PRAAN PRAAN PRAAN PROGRAM PEMBOGRAM PEMBOGRAM PEMBOGRAM PEMBOGRAM PEMBARARARARARUUUUUANANANANAN

AAAAAGRARIA NGRARIA NGRARIA NGRARIA NGRARIA NASIASIASIASIASIOOOOONNNNNAL”AL”AL”AL”AL”

3

KERANGKA ACUAN UMUM

Simposium Agraria Nasional“Pembaruan Agraria untuk Keadilan Sosial,

Kemakmuran Bangsa dan KeberlanjutanNegara Kesatuan Republik Indonesia”

A. Latar Belakang

Keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dankenegaraan Republik Indone­sia—sebagaimana ditegaskanoleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada “PidatoPancasila” tanggal 1 Juni 2006—amat ditentukan oleh se­jauhmana Pancasila tetap ditegakkan sebagai dasar negaradan wawasan politik yang melandasi ikatan hidup bersamasebagai bangsa. Pancasila di sini harus dipahami pada arasideologis sekaligus pragmatisnya, yaitu sebagai pemanduproses dialektika yang transformatif dari tataran politiknormatif sampai kepada pengejawantahan aktual di arasempiris, yakni dalam bentuk pemenuhan cita­cita kemer­dekaan nasional (Soetarto 2006).

Kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara yangsusunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya,

4

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

bercorak agraris melahirkan konsekuensi bahwa kebijakandalam pengelolaan sumber­sumber agraria (bumi, air danruang angkasa) harus dipastikan bisa berkontribusi nyatadalam proses mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia” (amanat sila kelima Pancasila) atau “me­wujudkan sebesar­besar kemakmuran rakyat” (amanat Pasal33 ayat 3 UUD 1945). Dengan demikian, maka keberlan­jutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraanIndonesia juga sangat ditentukan oleh sejauhmana amanatcita­cita kemerdekaan untuk mewujudkan keadilan sosialdan kemakmuran bangsa ini juga dapat diwujudkan secaranyata, termasuk di bidang agraria. Tanpa yang terakhir iniberhasil diwujudkan, maka penerimaan Pancasila sebagai“asas bersama” dan landasan kesatuan nasional tidak akanberarti banyak. Ia hanya akan bersifat abstrak dan tidakbermakna karena “steril” dari persoalan­persoalan riil sosialdan ekonomi yang dihadapi oleh mayoritas rakyat Indone­sia.

Pergumulan pascakemerdekaan menunjukkan bahwapara tokoh bangsa memerlukan waktu 15 tahun untukberhasil menemukan mekanisme yang tepat tentang caramemelihara, mengelola, dan memperuntukkan sumber­sumber agraria bagi sebesar­besar kemakmuran rakyat.Konsensus yang dicapai itu menghasilkan apa yang kinidikenal sebagai Undang­Undang Pokok Agraria No. 5Tahun 1960. Proses panjang dalam pencapaian consensusini bisa dimaklumi mengingat demikian akutnya persoalanstruktural di bidang pertanahan yang sangat timpang yangtelah terkristal sebelum lahirnya UUPA. Pengelolaan tanahmasa kerajaan­kerajaan Nusantara, masa penjajahan, serta

5

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

pasang­surutnya politik kemerdekaan sampai menjelanglahirnya UUPA, semuanya ini melahirkan berbagai kom­plikasi di bidang pertanahan. Justru upaya­upaya transfor­masi struktural atas aneka komplikasi persoalan agraria ini­lah yang—melalui pengundangan UUPA—telah ditem­patkan sebagai faktor penentu dalam perjuangan nasionalbagi upaya­upaya pembentukan karakter bangsa, pertum­buhan ekonomi yang bertumpu pada kekuatan nasional,maupun penyusunan perundangan dan kelembagaan agrariadi masa depan. Sesungguhnya, inilah zitgeist, semangat za­man dan situasi batin, yang melatari diundangkannyaUUPA.

Dalam rangka itu, maka UUPA telah menempatkansendi­sendi kesatuan nasional pada alas agraria, yaitu denganmenekankan kesatuan hubungan antara bangsa Indonesiadengan tanah­air tumpah darahnya. Dalam Pasal 1 ayat 1UUPA disebutkan: “Seluruh wilayah Indonesia adalahkesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatusebagai bangsa Indonesia.” Selanjutnya Pasal 1 ayat 3menyebutkan: “Hubungan antara bangsa Indonesia danbumi, air serta ruang angkasa ... adalah hubungan yangbersifat abadi.” Dengan demikian, hubungan manusia/masyarakat Indonesia dengan tanah bersifat abadi danketerkaitan keduanya itulah yang menentukan keindo­nesiaan kita. Ini berarti bahwa selama bangsa Indonesiamasih ada dan selama bumi, air serta ruang angkasa Indo­nesia itu masih ada pula, maka dalam keadaan yang bagai­manapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat me­mutuskan atau meniadakan hubungan itu.

Dengan kata lain, hubungan keduanya bersi­fat asasi

6

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

atau mendasar dan fundamental. Hubungan yang tertatabaik dalam kerangka keindonesiaan di antara keduanyainilah yang menentukan kesejahteraan, kemakmuran,keadilan sosial, dan keberlanjutan sistem kemasyarakatan,kebangsaan, dan kenegaraan Indonesia. Dan sesuai garisUUPA, hubungan ini hanya bisa dijamin oleh pelaksanaanpembaruan agraria. Dalam penglihatan yang sebaliknya,maka tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran (ter­utama di pedesaan dan pertanian), belum adilnya tatanankehidupan bersama, serta sengketa dan konflik pertanahanyang bak benang kusut di seluruh tanah air tidak terlepasdari persoalan ketidakadilan struktural yang berkait denganhubungan antara manusia/masyarakat dengan tanah yangbersifat timpang (Winoto 2006). Singkatnya, pembaruanagraria adalah suatu keharusan, karena bila jaminankesatuan hubungan antara rakyat dan tanah tersebut tidakterealisasikan, maka hal ini dapat menjadi sumber disinteg­rasi dan perpecahan yang pada gilirannya akan mengancameksistensi keindonesiaan kita.

Bilamana pembaruan agraria telah diposisikan olehUUPA sebagai variabel penentu bagi transformasi sosialyang krusial dalam pembangunan bangsa kita—yaitu demimewujudkan “Transisi Agraris” dari struktur “agraris tradi­sional” yang timpang, feodal, dan berwatak kolonial menjadisuatu struktur di mana sektor pertanian dan masyarakatpedesaan tidak lagi timpang, terkucil, dan terinvolusi—na­mun kenyataan riilnya adalah bahwa orientasi pembangunansejak dekade 1970­an justru telah membuat ketimpanganstruktural penguasaan dan pemilikan sumber­sumber agrariadilanggengkan dan bahkan dibuat semakin menajam. Aki­

7

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

batnya, hal itu telah melahirkan komplikasi tambahan terha­dap persoalan agraria nasional, baik secara politis, yuridis,kelembagaan, sosial, ekonomi, maupun ekologis.

B. Komitmen Baru Pemerintah dan Pentingnya

Simposium

Komplikasi ini dan aneka dampaknya dewasa ini sema­kin disadari telah menciptakan ancaman yang mendasar bagikeberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dankenegaraan kita sehingga upaya penanganan dan penye­lesaiannya secara komprehensif menjadi sebuah imperatiftersendiri. Dewasa ini, kemauan dan komitmen politikpemerintah untuk menyelesaikan berbagai persoalan agrariaini semakin menguat. Bahkan pucuk pimpinan nasionaltelah menggariskan agenda pembaruan agraria ini sebagai­mana tertuang dalam visi dan misi pemerintahan SBY­JK2004­2009. Hal ini dinyatakan dalam dua konteks, yaknidalam “agenda perbaikan dan penciptaan kesempatankerja” dan “agenda revitalisasi pertanian dan aktivitaspedesaan”.

Secara kelembagaan, Presiden Susilo Bambang Yudho­yono melalui Perpres No. 10 Tahun 2006 mengenai BadanPertanahan Nasional juga telah menggariskan bahwa pe­nanganan kebijakan pertanahan dilakukan secara nasional,regional, dan sektoral. Hal ini didasarkan atas pertimbangansebagai berikut: (a) bahwa hubungan bangsa Indonesiadengan tanah adalah hubungan yang bersifat abadi danseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia meru­pakan kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia; (b)bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan Republik

8

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Indonesia, karenanya perlu diatur dan dikelola secaranasional untuk menjaga keberlanjutan sistem kehidupanberbangsa dan bernegara; (c) bahwa pengaturan dan penge­lolaan pertanahan tidak hanya ditujukan untuk menciptakanketertiban hukum, tetapi juga untuk menyelesaikanmasalah, sengketa, dan konflik pertanahan yang timbul; (d)bahwa kebijakan nasional di bidang perta­nahan perludisusun dengan memperhatikan aspirasi dan peran­sertamasyarakat guna dapat memajukan kesejahteraan umum.Dalam rangka semua ini maka Perpres No. 10 Tahun2006 telah memberikan mandat kepada Badan Perta-nahan Nasional RI antara lain untuk menjalankanreforma agraria dan sekaligus melakukan pengkajian danpenanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bi­dang pertanahan.

Pada tataran kebijakan, belum lama ini Presiden SBYtelah mengalokasikan lahan seluas 8,1 juta hektar seba-gai titik tolak untuk pelaksanaan Program PembaruanAgraria Nasional (PPAN). Dengan adanya obyek lahanyang sudah ditetapkan untuk program ini, maka pelak­sanaan PPAN diharapkan dapat berdampak langsung padapenciptaan sumber baru kesejahteraaan rakyat, penyediaanlapangan kerja baru, dan pengurangan angka kemiskinan.Kerangka waktu dan tahapan pelaksanaannya juga telahditetapkan, yaitu harus dimulai pada tahun 2007 dengandiawali tahap pilot project redistribusi lahan seluas 400.000hektar.

Dengan digulirkannya kebijakan semacam ini, makatantangannya kemudian adalah bagaimana mendesain PPANini sehingga bisa dilaksanakan secara terpadu dan diorien­

9

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

tasikan pada penataan ulang struktur penguasaan agrariadan penyediaan pro­gram­program pendukungnya yang lebihluas (baca: reformasi aset dan akses). Apabila keduaaspek pembaruan agraria ini dapat dijamin perwujudannya,maka PPAN ini akan merupakan sebuah paket reforma agra­ria yang menyeluruh dalam arti sebenarnya.

Dalam rangka inilah maka dirasakan perlu untukmenyelenggarakan seri Simposium Agraria Nasional untukmembahas dan mengkaji berbagai dimensi pelaksanaanPPAN ini. Melalui penyelenggaraan seri simposium inidiharapkan dapat diserap pandangan dan aspirasi berbagaikalangan yang berkepentingan mengenai berbagai segiterkait perencanaan dan penyelenggaraan reforma agrariadi tanah air. Secara keseluruhan, seri simposium ini terdiriatas tiga Simposium Agraria Nasional yang diselenggarakandi tiga tempat yang berlainan, yaitu berturut­turut di Medan(15 November 2006), Makassar (4 Desember 2006), danJakarta (12 Desember 2006).

C. Tujuan Penyelenggaraan Simposium

Tujuan dari penyelenggaraan seri Simposium AgrariaNasional ini adalah sebagai berikut:1. Melahirkan pemikiran dan terobosan kebijakan untuk

memecahkan berbagai persoalan keagrariaan yang diha­dapi bangsa Indonesia.

2. Mendorong kesadaran serta menggalang kerjasama diantara semua komponen bangsa untuk mengatasi ber­bagai persoalan struktural keagrariaan.

3. Mendorong komitmen politik dan konsensus nasionaluntuk menjalankan amanat pembaruan agraria secara

10

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

sungguh­sungguh, sinergis, terpadu dan berkelanjutan.4. Memperjuangkan kepentingan rakyat banyak dalam

memperoleh akses pada tanah sebagai sumber kesejah­teraan dan keadilan.

5. Menghasilkan kerangka kebijakan dan kelembagaanberikut langkah­langkah strategis untuk implementasiProgram Pembaruan Agraria Nasional.

D. Pelaksana Kegiatan

Seri Simposium Agraria Nasional ini diselenggarakansebagai salah satu rangkaian dari kegiatan Bulan BhaktiAgraria Tahun 2006 yang berlangsung sejak 1 Septembersd. 31 Desember 2006. Secara teknis­operasional, kegiatanSimposium Agraria Nasional ini dilaksanakan oleh jajaranKanwil BPN RI Provinsi Sumatera Utara, Sulawesi Selatan,dan DKI Jakarta. Sedangkan sisi substansinya menjaditanggung jawab Panitia Pusat Bulan Bhakti Agraria Tahun2006 BPN RI yang didukung oleh Brighten Institute, Seko­lah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) dan KonsorsiumPembaruan Agraria (KPA).

11

KERANGKA ACUAN KHUSUS

Simposium Agraria Nasional Pertama“Landasan Politik, Hukum, Sosial, dan

Ekonomi Untuk PelaksanaanProgram Pembaruan Agraria Nasional”

Medan, 15 November 2006

A. Latar Belakang

Seperti kita ketahui, perubahan paradigma politik danpembangunan sejak dekade 1970­an lebih diarahkan padakebijakan makro ekonomi dan stabilitas politik untukmengejar pertumbuhan ekonomi yang setinggi­tingginya.Pada saat yang sama, program­program pelaksanaan pem­baruan agraria (yang oleh UUPA ditempatkan sebagai pra­syarat fundamental bagi pembangunan ekonomi dan prosesindustrialisasi nasional) tidak lagi diposisikan sebagaivariabel penentu dalam proses perencanaan pembangunannasional. Lambat namun pasti, hal ini telah mengakibatkankondisi ketimpangan struktural dalam penguasaan danpemilikan sumber­sumber agraria terus berlanjut danbahkan semakin me­najam.

12

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Di sektor pertanian, kebijakan pertanahan tidak dida­sarkan atas penataan aset produksi tetapi langsung diarah­kan kepada upaya peningkatan produktivitas melalui pene­rapan teknologi baru. Seiring dengan ini, proses guremisasipetani, dan bahkan kehilangan lahan sama sekali, kian me­ningkat karena petani kecil terlempar dari kompetisi dilapangan usahatani padi sawah yang kian komersial. Ironis­nya, ketika banyak petani kehilangan akses pada tanah, padasaat yang sama berlangsung pula kebijakan pengalokasiantanah skala besar yang bias kepentingan pemodal. Di pihaklain, hampir setiap upaya pembangunan juga membutuhkantanah yang menimbulkan konversi besar­besaran lahanpertanian, terlebih karena belum ditaatinya tata ruang danpenataan tanah sebagai acuan pemanfaatan dan penggunaantanah. Belum lagi kecenderungan secara tidak sadar mele­takkan tanah dalam kerangka perburuan rente sehinggamenjadi ajang permainan spekulasi. Kesemuanya ini telahmempertinggi kuantitas dan kualitas sengketa serta konflikpertanahan di tanah air yang terus meningkat dari waktu kewaktu.

Kesemuanya ini tentu menciptakan komplikasi tam­bahan terhadap persoalan agraria nasional, baik secarapolitis, yuridis, kelembagaan, sosial, ekonomi, maupun ling­kungan dan ekologis. Sebagai catatan, konflik agraria telahmenjadi penyebab utama dari jumlah terbesar konflik yangberlangsung di tanah air, baik yang bersifat vertikal, danbahkan horisontal. Konsorsium Pembaruan Agraria men­catat bahwa selama periode 1970­2001 telah terjadi 1.753sengketa tanah struktural dengan luas lahan sengketahampir 11 juta hektar dan menimbulkan kerugian pada lebih

13

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

dari 1,1 juta KK. Padahal ini baru kasus yang manifes dantercatat saja.

Adanya komplikasi dan konstelasi seperti dipaparkandi atas telah melahirkan beberapa problematika yang harusdigulati bangsa ini. Pertama adalah kesenjangan antara cita­cita kemerdekaan di bidang agraria dengan agenda politikagraria nasional yang ada. Kedua, kesenjangan antara impe­ratif pelaksanaan pembaruan agraria (baik yang berasal darituntutan cita­cita kemerdekaan, nilai­nilai luhur kebangsaandan konstitusi maupun tuntutan dari kenyataan di lapangan)dengan perangkat hukum, kebijakan dan kelembagaan yangada untuk pelaksanaannya. Ketiga, kesenjangan antara me­rebaknya konflik agraria dan inisiatif penataan agraria diaras lokal dengan kemauan pemerintah untuk menanga­ninya secara terpadu menurut jiwa dan semangat UUPA.Keempat, kesenjangan di dalam desain perencanaan pem­bangunan nasional yang dapat mendukung revitalisasipertanian dan industrialisasi pedesaan dalam arti luas.

Dengan demikian, komplikasi di atas dan aneka dam­pak yang ditimbulkannya telah menciptakan ancaman men­dasar bagi keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebang­saan dan kenegaraan kita sehingga upaya penanganan danpenyelesaiannya secara komprehensif menjadi sebuahimperatif tersendiri. Hal ini tentu bukanlah hal yang mudahsama sekali. Ia menuntut adanya upaya kolektif untukmengembangkan pemikiran kritis dan terobosan kebijakanalternatif dalam menangani dan memecahkan persoalanmendasar ini. Selain itu, kesepahaman dan kerjasama yangbaik di antara semua komponen bangsa mutlak diperlukan.

Saat ini, komitmen politik untuk menyelesaikan per­

14

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

soalan agraria ini semakin menguat. Bahkan pucuk pimpinannasional telah menggariskan agenda pembaruan agrariadalam visi dan misi pemerintahannya yang disebutkan dalamdua konteks, yakni dalam agenda: “perbaikan dan pencip­taan kesempatan kerja” dan “revitalisasi pertanian dan akti­vitas pedesaan”. Lebih lanjut, Presiden SBY telah meng­gariskan strategi pembangunan yang memberikan perhatianpada agenda revitalisasi pedesa­an, revitalisasi pertanian,pembangunan perumahan rakyat, dan pembangunan infra­struktur ekonomi dan sosial. Sebagai salah satu bentuk kebi­jakan konkretnya, belum lama ini Presiden SBY juga sudahmencanangkan untuk mengalokasikan 8,1 juta hektar lahanuntuk diredistribusi kepada rakyat sebagai bagian programrevitalisasi pertanian dan kehutanan. Kesemuanya ini,apabila dilaksanakan secara terpadu dan diorientasikan padapenataan penguasaan agraria dan penyediaan program­pro­gram pendukungnya, maka hal itu akan merupakan pelak­sanaan pembaruan agraria yang menyeluruh dalam arti sebe­narnya.

B. Kerangka Acuan Khusus untuk Simposium

Pertama

Dalam rangka memberikan dorongan lebih kuat bagipelaksanaan komitmen politik dan kebijakan pemerintahini, maka dipandang perlu untuk menyelenggarakan Simpo­sium Agraria Nasional yang pertama yang bertempat diMedan. Melalui Simposium ini diharapkan dapat dilahirkanberbagai pemikiran kritis, terobosan kebijakan, dan konsen­sus luas untuk mendukung upaya pemerintah di dalam

15

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

memberikan jawaban terhadap komplikasi persoalan agrariayang telah diuraikan di atas.

Simposium ini sendiri merupakan bagian dari tiga seriSimposium Agraria Nasional yang dilaksanakan di tiga tem­pat terpisah, yaitu berturut­turut di Medan, Makasar danJakarta, yang masing­masing membahas tiga topik besar yangberbeda namun saling berkaitan. Secara khusus, SimposiumAgraria Nasional yang pertama di Medan ini akan difokus­kan untuk mengidentifikasi, mendiskusikan dan merumus­kan landasan­landasan historis, filosofis, politik, hukum,sosial, dan ekonomi untuk pelaksanaan program pembaruanagraria nasional.

Beberapa pertanyaan pokok yang akan dibahas dalamSimposium ini antara lain mencakup tema­tema sebagaiberikut:(1) Pemaknaan filosofis dan konstitusional atas sejarah dan

cita­cita kebangsaan mengenai amanat pelaksanaanpembaruan agraria;

(2) Kerangka politik, hukum dan sosial untuk mendukungpelaksanaan pembaruan agraria;

(3) Ragam sistem tenurial di tanah air dan tempatnya didalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria nasional;

(4) Dinamika konflik keagrariaan dan pergumulan di tingkatakar rumput dalam pelaksanaan pembaruan agraria;

(5) Economic rationale bagi keharusan pelaksanaan pemba­ruan agraria nasional (bahwa pembaruan agraria adalahniscaya dan feasible, bukannya beban atau cost);

(6) Lessons learned dari pengalaman negara­negara lain dalammelaksanakan pembaruan agraria.

16

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

C. Pelaksana Kegiatan

Kegiatan Simposium Agraria Nasional yang pertamaini secara teknis­operasional dilaksanakan oleh jajaranKanwil BPN RI Provinsi Sumatra Utara. Sedangkan darisisi substansi di bawah tanggung jawab Panitia Pusat BulanBhakti Agraria Tahun 2006 BPN RI yang didukung olehBrighten Institute, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional(STPN) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

D. Waktu dan Tempat Kegiatan

Simposium Agraria Nasional yang pertama ini dilak­sanakan pada hari Rabu, 15 November 2006 di kota Medan,Sumatra Utara.

17

SAMBUTAN

Kepala Badan Pertanahan Nasional RepublikIndonesia Pada Simposium Agraria Nasional

Pertama Medan, Provinsi Sumatera Utara15 November 2006

BismillahirrahmanirrahimAssalamu ‘Alaikum Wr. Wb.Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Yang

saya hormati Gubernur Sumatera Utara atau yang mewakili;yang saya banggakan sahabat saya, tuan rumah WalikotaMedan; dan juga yang saya hormati, Bupati dan Walikotaseluruh Sumatera Utara atau yang mewakili.

Para pimpinan partai, para pimpinan lembaga­lembagapendidikan, lembaga­lembaga swadaya masyarakat, teman­teman saya gerakan agraria dan gerakan petani seluruh tanahair, guru­guru saya, profesor­profesor saya dan profesor­profesor kita yang hari ini ada di sini.

Para cendekia, para tokoh masyarakat, para pimpinandan para alim ulama.

Sungguh hari ini saya sangat berbahagia bisa bersama­sama dengan Ibu Bapak sekalian. Ditambah pada kesem­

18

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

patan hari ini saya bisa memberikan sambutan dengan pakai­an yang mungkin sekarang saya jadi selebritis.

Ibu Bapak sekalian.Pada kesempatan ini saya tidak ingin bicara panjang,

sebagaimana biasanya saya punya kebiasaan berbicara pan­jang sekali. Pendek, tapi ada pesan khusus yang ingin sayasampaikan di dalam rangkaian pelaksanaan SimposiumReforma Agraria Nasional yang akan kita selenggarakan dibeberapa tempat di tanah air. Termasuk juga yang skalanyalebih kecil di berbagai kabupaten dan provinsi yang ada diIndonesia.

Catatan saya adalah reforma agraria merupakan peker­jaan besar. Pekerjaan kita sebagai bangsa dan negara. Refor­ma agraria jelas kita arahkan secara khusus untuk memas­tikan minimal dua hal, dan kita harapkan dua hal yang lain.

Pertama adalah kita ingin memastikan perjalanankehidupan kebangsaan kita ke depan. Penggunaan, peman­faatan, penguasaan dan pemilikan tanah tertata secara adil.Dan itu adalah mandat terbesar karena, kita tahu betul,bahwa konsentrasi aset yang ada di Indonesia itu memangberkaitan dengan tanah atau pertanahan. Jadi, kita harusmemastikan diri bahwa perjalanan reforma agraria denganacuan yang jelas ini.

Tetapi penataan struktur pemanfaatan penggunaan,penguasan dan pemilikan tanah itu adalah sarana untuk men­capai hal yang kedua yang paling penting: ialah menter­jemahkan mandat UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat 3,yaitu menciptakan kesejahteraan bagi sebesar­besarnyakemakmuran bagi rakyat Indonesia.

Jadi reforma agraria ini adalah pekerjaan besar kita se­

19

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

mua untuk berkontribusi secara jelas pada dua hal yang sayakatakan tersebut. Apapun desain yang akan kita kembang­kan, dua hal inilah buahnya.

Kalau struktur yang kita maksudkan itu dapat tertatasecara baik dan bisa kita orientasikan pada kesejahteraanrakyat Indonesia, maka adalah wajar kemudian kita berha­rap reforma agraria bisa berkontribusi bagi dua hal berikut­nya, yaitu terwujudnya keberlanjutan dan sistem kemasya­rakatan kebangsaan dan kenegaraan kita, dan tentu berkon­tribusi untuk menciptakan tatanan kehidupan bersama yanglebih harmonis, di mana sengketa­sengketa dan konflik­konflik pertanahan dari hari ke hari semakin mengecil dansyukur kalau bisa hilang. Inilah beberapa prinsip mengapasaya katakan reforma agraria itu adalah pekerjaan besar.

Kalau kita melaksanakan reforma agraria dengan ke­rangka sistem nilai yang jelas seperti yang saya katakan diatas, maka tentunya tidak ada yang bisa menyatakan dirisebagai pemegang kebenaran tunggal. Ini adalah kerja ber­sama sebagai bangsa. Oleh karena itu, kita harus mem­bangun konsensus bersama bagaimana menyelenggarakanreforma agraria ini secara baik di Indonesia; tentu denganbeberapa catatan yaitu memanfaatkan akumulasi penge­tahuan yang telah berkembang di tanah air dan akumulasipengetahuan dan pengalaman reforma agraria di negara­negara lain.

Tetapi, catatan saya adalah, ketika kita mencoba meru­muskan reforma agraria di tanah air ini maka proses historiskebangsaan dan kenegaraan kita harus menjadi acuan, harusmenjadi pertimbangan yang utama. Sebab kita tidak bisamendesain suatu program besar tanpa memahami sejarah

20

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dan realitas kehidupan rakyat, bangsa dan negara kita. Inilahyang saya sebut sebagai kerja besar tersebut.

Ibu Bapak sekalian yang saya hormati.Perspektif yang bisa kita berikan pada reforma agraria

dari segi skup dan domain paling tidak saya ingin bersepakatpertama kali dengan Bapak Gunawan Wiradi ketika beliaumenyatakan reforma agraria itu adalah “land reform plus”.Tetapi saya ingin juga menyatakan, plusnya ini adalah accessreform; yaitu memberikan rakyat Indonesia di samping aksespada tanah juga akses kepada bagian­bagian kehidupan yanglain yang memungkinkan mereka untuk bisa memperolehkontrol atas diri, atas kehidupan dan atas masa depannya.Berarti salah satunya juga berkaitan dengan usaha­usahaekonomi rakyat dan masyarakat yang berkait penuh denganland reform tersebut.

Nah, kaitan inilah barangkali meskipun sekarang dica­nangkan secara khusus program reforma agraria dan pre­siden akan memimpin langsung dan saya bertanggung jawabdi lapangan—namun pada dasarnya reforma agraria adalahkerja bersama bangsa. Semua lembaga, semua komponenmasyarakat tentunya menjadi satu bagian gerakan bersamayang tidak terpisah. Dan tidak ada di antara kita yang bisamengklaim memiliki kebenaran tunggal atas hal ini.

Ada harapan saya yang saya sampaikan, yakni di ujungperjalanan dari simposium dan seminar nasional berangkaiini kita bisa merumuskan secara jelas apa program reformaagraria yang kita maksudkan tersebut, bagaimana kitamenjalankannya, dan bagaimana dari delivery system­nyauntuk memastikan ketika reforma agraria itu sudah selesaikita lakukan, pengelolaan ke depannya itu sudah dapat kita

21

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

pikirkan sejak sekarang ini.Langkah­langkah inilah barangkali yang saya harapkan

dalam simposium ini, kita semua terlibat langsung atau tidaklangsung. Cerdik cendikia ada di sini, ahli­ahli politik adadi sini, ahli hukum ada di sini, ahli­ahli sosial ada di sini.Adalah saatnya kita mempertemukan jiwa, pikiran, batindan seluruh kreativitas yang kita miliki di dalam tataransuatu sistem nilai bersama yang ingin kita kejar, ingin kitawujudkan melalui reforma agraria.

Ibu Bapak sekalian.Kebanggaan tentu pada saya sebagai pimpinan Badan

Pertanahan Nasional, bisa bersama­sama dengan Ibu Bapaksekalian dalam kerja besar ini. Dan dengan ini saya inginmenyatakan rangkaian simposium dan seminar reformaagraria nasional dinyatakan secara resmi dibuka.

Billahit Taufiq wal Hidayah.Wassalamu ‘Alaikum Wr. Wb.

JASTIFIKASI HISTORIS,KULTURAL DAN SOSIAL-

EKONOMIBAGI PEMBARUAN AGRARIA

24

*) Andi Achdian, Onghokham Institute.

Man, Land and Civilization

Kilas Sejarah MasalahAgraria

Andi Achdian

Onghokham Institute

Medan, 15 November 2006

25

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

26

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Apa yang menjadi modus kebijakan atau politik agraria darikebijakan atau politik agraria dari setiap periode sejarah yang berbeda?berbeda?

Different Historical Phase

Pra-colonial Society Tributary System or Pajeg Colonial Modern Taxation LaborColonial Modern Taxation Labor force for state enterprise Money economy Free peasant enterprise C l i l fColonial reform Japanese Occupation Peasant mobilization for war economyob at o o a eco o yRepublic of Indonesia From Colonial to National Land System Agrarian Reform (UUPA & UUPBH)Reform (UUPA & UUPBH)

27

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Landreform 1960-1965

Infrastruktur Sosial-Politik Agenda Landreform

Panitia Landreform Birokrasi pemerintah dari atas sampai bawah (P id M t i A i P t i(Presiden, Menteri Agraria, Partai Politik, )

Pengadilan LandreformPengadilan Landreform 1 orang hakim pengadilan negeri sebagai ketua sidang merangkap Kepala Pengadilan Land efo mLandreform

1 orang Departemen Agraria sebagai hakim anggota

3 orang wakil organisasi tani sebagai hakim anggota

28

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

M l h M l hMasalah-Masalah

M l d ti (Di J t d t kitMan-land ration (Di Jawa terdapat sekitar200,000 hektar tanah yang siap dibagikanmenurut panitia landreform, tetapi jumlaht t l k l t i tid k ilikitotal keluarga petani yang tidak memilikitanah mencapai sekitar 20 juta jiwa. Jumlahini belum termasuk hutan dan perkebunan)

[Sosialisasi] Kejelasan kriteria dari status tanah subyek landreform di dalam masyarakat

absentee, wakaf, konversi tanah erfpacht, , , p ,dll.

Resistensi pemilik tanah di tingkat desa(ketidak seragaman pandangan dari atas dan(ketidak seragaman pandangan dari atas danbawah)

Aksi-Sepihak dan radikalisasi petani

Ekonomi-Politik Landreform

29

Kondisi Keagrariaan di Indonesia

• Rumah tangga tani– 1993: 20, 8 juta– 2003: 25,4 juta

» 54,4% di Jawa» 45,1% di luar Jawa

• Luas lahan pertanian– Indonesia 1983: 18.350.000 ha

1993: 17 665 000 ha1993: 17.665.000 ha– Jawa 1983: 5.716.000 ha

1993: 5.248.000 ha– Luar Jawa 1983: 12.634.000 ha

1993: 12.417.000 ha

*) Iwan Tjitradjaja, adalah staf pengajar pada Jurusan AntropologiFISIP UI.

Perspektif Filosofis & Sosio-kultural atas Urgensi

Pokok-pokok Bahasan yang disampaikan Iwan

gPembaruan Agraria

Tjitradjaja dalam SIMPOSIUM AGRARIA NASIONAL“PEMBARUAN AGRARIA UNTUK KEADILAN SOSIAL,

KEMAKMURAN BANGSA DAN KEBERLANJUTAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA”

Medan, 15 November 2006

30

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

• Rata2 luas lahan yg dimiliki rumah tangga tani Indonesia: 1983: 0,98 ha1993: 0,83 ha

Jawa: 1983: 0,58 ha1993: 0,47 ha

Luar Jawa: 1983: 1 58 haLuar Jawa: 1983: 1,58 ha1993: 1,27 ha

Prosentase lahan pertanian menurut kategori luasnya (1983 & 1993)

- < 0,5 ha : 40,8% (1983) & 48.5% (1993)

- 0,5 – 1,99 ha: 44,9% (1983) & 39,6% (1993)

- 2.00 – 4,99 ha: 11,9% (1983) & 10,6% (1993)

- 5,0 + ha: 2,4% (1983) & 1,3% (1993)

• <Rana,G.K.(2003) ‘Country Paper: Indonesia,’ dalam Agrarian Reforms and Agricultural Productivity (M. Ghaffar Chaudhry,ed.). Tokyo: APO.>

• Struktur penguasaan lahan pertanian di Indonesia (1993) – 70 % dr total rumah tangga tani memiliki lahan

pertanian kurang dari 0,5 ha dan yg tidak memilikilahan; 13% dr l as total lahan pertanian13% dr luas total lahan pertanianjumlah rumah tangga buruh tani: 9.054.000

– 14% dr total rumah tangga tani memiliki lahan pertaniandg luas dari 0,5 ha sd kurang dari 1 ha; 18% d l t t l l h t i18% dr luas total lahan pertanian

– 16% dr total rumah tangga tani memiliki lahan denganluas satu hektar atau lebih;

69% dr total luas lahan pertanian

31

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Struktur penguasaan lahan pertanian diIndonesia (1993) – lanjutan

• Dari sekitar 11.465.000 rumah tangga tani diluar Jawa 17% rumah tangga tani lahanluar Jawa, 17% rumah tangga tani lahanpertanian dengan luas < 0,5 ha, dan 20 % rumah tangga tani tak memiliki lahan (buruhfamilies.

• Dari sekitar 17.302.000 rumah tangga tani diJawa, 44% rumah tangga tani yang memilikilahan pertanian < 0 5 ha dan 39% rumahlahan pertanian < 0,5 ha, dan 39% rumahtangga tak memiliki lahan (buruh tani)

• <Prosterman, R.,&R.Mitchell (2002) ‘Concept for Land Reform on Java.’ Rural Development Institute.>

• C.Geertz (1963)– pertambahan penduduk – kepadatan penduduk

yang tinggi - kecilnya luas lahan yang dimiliki –intensitas penggarapan, kecilnya peluangpekerjaan non pertanian di desapekerjaan non pertanian di desa

– ‘shared poverty’• Kemiskinan dan perubahan sosial-ekonomi di

pedesaan– >> urbanisasi, sektor informal, pengangguran,

pemukiman kumuhpemukiman kumuh– >> konversi lahan pertanian – menurunnya

produktivitas pangan – ketidakamanan pangan– >> perubahan relasi sosial dan kekeluargaan

–> perubahan nilai-nilai

32

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Struktur penguasaan lahan pertanian diIndonesia (1993) – lanjutan

• Dari sekitar 11.465.000 rumah tangga tani diluar Jawa 17% rumah tangga tani lahanluar Jawa, 17% rumah tangga tani lahanpertanian dengan luas < 0,5 ha, dan 20 % rumah tangga tani tak memiliki lahan (buruhfamilies.

• Dari sekitar 17.302.000 rumah tangga tani diJawa, 44% rumah tangga tani yang memilikilahan pertanian < 0 5 ha dan 39% rumahlahan pertanian < 0,5 ha, dan 39% rumahtangga tak memiliki lahan (buruh tani)

• <Prosterman, R.,&R.Mitchell (2002) ‘Concept for Land Reform on Java.’ Rural Development Institute.>

• C.Geertz (1963)– pertambahan penduduk – kepadatan penduduk

yang tinggi - kecilnya luas lahan yang dimiliki –intensitas penggarapan, kecilnya peluangpekerjaan non pertanian di desapekerjaan non pertanian di desa

– ‘shared poverty’• Kemiskinan dan perubahan sosial-ekonomi di

pedesaan– >> urbanisasi, sektor informal, pengangguran,

pemukiman kumuhpemukiman kumuh– >> konversi lahan pertanian – menurunnya

produktivitas pangan – ketidakamanan pangan– >> perubahan relasi sosial dan kekeluargaan

–> perubahan nilai-nilai

33

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

• Konflik agraria & kekerasan thd petaniSelama periode 1979- awal 2006 ada sekitar 1000 kasuskonflik agraria dan kekerasan thd petani yang berhasildidata

<FSPI (2006) “Case Study in Indonesia: Agrarian Conflict and Violence Toward Peasants in Indonesia” ICARRD,7-10 March>

• Gerakan menuntut pembaruan agrariaGe a a e u tut pe ba ua ag a a– Contoh: Afiff, S.,&et al (2005) Redefining Agrarian

Power: Resurgent Agrarian Movements in West Java, Indonesia. Center for Southeast Asia Studies, University of California, Berkeley.

Masalah keagrariaan di Indonesia

• Ketimpangan struktur penguasaan lahanpertanian

• Mengecilnya areal lahan pertanian akibatkonversi lahan untuk penggunaan non-pertanian

• Kemiskinan penduduk pedesaan dan kecilnyapeluang kerja non pertanian di pedesaan, mendorong laju urbanisasi yang juga membawapersoalan spt pengangguran, kemiskinan, okupasi lahan publik dan pemukiman kumuh diperkotaan

• Konflik agraria

34

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

• Pembaruan agraria di Indonesia sudah dilaksanakanpemerintah

• Selama periode 1960 - 2000, pemerintah sudahmeredistribusikan 850,128 ha melalui program pembaruan tanah. Dari luas itu, 339,227 ha di Jawa.

• Dalam luasan tersebut baru terdapat 3% dari lahan• Dalam luasan tersebut, baru terdapat 3% dari lahanpertanian di Indonesia dan 6% lahan pertanian di Jawa.

• Diperkirakan hanya 7% dari total rumah tangga tani diIndonesia yang menerima lahan dan 6 % dari total rumah tangga tani. Prosentasi ini masih rendah danhanya mencakup bagian yang sangat kecil dari rumahtangga tani yang tak memiliki lahan. Rumah tanggaburuh tani musiman nyaris tak tersentuh.y

• Akses yg tidak merata atas lahan pertanian & pekarangan masih tetap berlanjut.

<Prosterman, R.,&R.Mitchell (2002) ‘Concept for Land Reform on Java.’ Rural Development Institute.>

• Mengingat masalah keagrarian terutamaketimpangan struktur penguasaan lahan, tekanan penduduk yang tinggi atas

b d k i ki k fliksumberdaya, kemiskinan, konfliksumberdaya yang makin merebak, makapembaruan agraria dan pembangunanpedesaan yang komprehensif dalammengejawantahkan kedaulatan pangan, g j p gkeadilan sosial, dan pembangunanberkelanjutn menjadi prioritas yang ‘urgen’ bagi pemerintah dan bangsa.

35

“SOCIO-ECONOMIC RATIONALE”BAGI REFORMA AGRARIA

Gunawan Wiradi

I. Argumen para Penolak Agraria

(1) Tanah yang tersedia terbatas, atau kurang lebih samasaja (tetap) luasnya, sedang jumlah penduuduk semakinbertamabah.

(2) Dengan kemajuan teknologi, potensi sumberdaya alamnon­tanah dapat dimanfaatan sebagai sumber bahanmakanan. Tanah tak penting lagi

(3) Untuk menjadi sejahtera, yang penting bukan “pemi­likan faktor produksi” (kecuali tenaga kerja), melainkankenaikan tingkat pendapatan. (Earning! Not owning!)

(4) RA merupakan program berat, karena:(a) Diperlukan kemauan dan kepastian politik yang

kuat dari pemerintah. Padahal, pada umumnya

*) Gunawan Wiradi, Dewa Pakar Konsorsium PembaruanAgraria.

36

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

pemerintah negara berkembang menyandarkan dirikepada pemilik modal kuat atas dua alasan: bantuandana dan dukungan politik (suara dalam pemilu)

(b)Perlu biaya besar(c)Perlu organisasi yang rapi, dan kesanggupan

mengendalikan gejolak (konflik) yang menyertaiperombakan struktur yang mendasar

II. “Socio-Economic Rationale” Reforma Agraria

(1) Sampai dengan pertengahan abad ke­19, apa yang dike­

nal sebagai “land reform” adalah semata­mata meru­

pakan kebijakan sosial­politik. Aspek ekonomi belum

memperoleh perhatian sebagaimana mestinya.(2) Pada tahun 1880, Bulgaria (sebelum menjadi negara

sosialis, melancarkan program restrukturisasi pemili­kan dan penguasaan tanah (land reform) dengan mem­pertimbangkan aspek ekonomi, berupa program­pro­gram penunjang yaitu: penyuluhan/pendidikan,perkreditan, pemasaran, teknologi, dsb. Land reformplus program penunjang inilah yang kemudian dikon­septualisasikan sebagai “agrarian reform”, atau dalambahasa spanyol Reforma Agraria.

(3) Sebenarnya, rasionalisasi dari perlunya RA mencakup

lima aspek:(a) aspek hukum: akan tercipta kepastian hukum

mengenai hak­hak rakyat terutama lapisan bawah,khususnya rakyat tani

(b) Aspek sosial: “keadilan”! Struktur yang relatifmerata, akan dirasakan lebih adil

37

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

(c) Aspek politik: “stabilitas”! Meredam keresahan,yang pada gilirannya dapat menjadi perekatpersatuan dan kesatuan

(d) Aspek psikologis: tercipta suasana “social eupho­ria” dan “family security” (menurut istilah A.T.Mosher, 1976), sedemikian rupa sehingga para peta­ni menjadi termotivasi untuk mengelola usaha­taninya dengan lebih baik

(e) Aspek ekonomi: semua itu pada gilirannya dapatmenjadi sarana awal bagi peningkatan produksi.

(4) Di luar negara­negara socialis, para ilmuwan meletak­kan pertimbangan ekonomi sebagai titik beratnya,walaupun argumentasinya berbeda­beda sesuai kubuteori yang dianutnya, sehingga ada beberapa pandangan,Misalnya:(a) Chonchol, 1970:

Rationale RA adalah membebaskan masyarakatpertanian dari kungkungan sistem penguasaan tanahfeodal­tradisional dan dengan demikian memberikesempatan berkembnag bagi para pemilik tanahmelalui persaingan. Yang dimaksud adil disini adalah“adil dalam peluang”. Namun “start”nya haruskurang lebih sama. Karena itu perlu diciptakankondisi tersebut melalui redistribusi penguasaantanah.

(b) Para penganut ekonomi neo­klasik pada umumnyamengambil jalur argumen sebagai berikut: Walaupunpetani kecil lebih efisien dalam hal memanfaatkantanah dan modal, dan lebih intensif menggunakantenaga kerja, dibanding petani kaya, namun petani

38

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

kaya lebih mempunyai akses terhadap modal dansarana produksi. Mengapa? Karena, strukturpenguasaan tanah yang timpang menimbulkanperbedaan kuasa dan kemampuan untuk menjang­kau kedua faktor tersebut. Karena itu agar terciptaalokasi yang optimal atas sumberdaya yang tersediadalam masyarakat secara keseluruhan, perlu dilaku­kan redistribusi penguasaan tanah (Lihat juga, D.Lehmann, 1978)

III. Kontra-Argumen Terhadap Argumen para Penolak

(1) RA adalah “merombak struktur”, bukan semata­mata“membagibagi tanah”! Perombakan diperlukan karenaadanya ketimpangan sebaran (distribusi) kepemilikantanah. Ketimpangan struktur tidak ada hubungannyadengan “tekanan penduduk”. Karena RA itu modelnyaada bermacam­macam, maka kalaupun kepadatanpenduduk menjadi kendala, dapat dipilih modal yangsesuai.

(2) Walaupun mungkin benar bahwa dengan kemahjuanteknologi, potensi sumberdaya non­tanah dapat diman­faatkan sebagai sumber bahan makanan, namun selamamanusia belum sama sekali bebas dari bahan makananyang berasal dari bumi, maka selama itu masalah tanahtetap penting artinya.

(3) Terhadap argumen ketiga dari para penolak, kontra­argumennya sederhana saja:(a) Apakah “not owning” itu juga berarti masih “con­

trolling”? atau sama sekali menjadi buruk?

39

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

(b)Apakah ada buruh yang lebih kaya daripadamajikannya? Kalaupun ada, jumlahnya tidak banyak.

(c)Jika semua menjaid buruh dengan pendapatan tinggi,siapa yang menguasai sarana produksi, negara atausegelintir orang? Jika hanya segelintir orang, inilahsumber keresahan dan ketidakadilan

(4) Keberatan yang keempat merupakan alasan yangdibuat­buat, sedemikian rupa sehingga terbentuk citrabahwa karena begitu sulitnya maka RA tidak perlu dilak­sanakan. (Lihat, antara lain M. Lipton dalam DavidLehmann, (ed). 1974)

40

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Lampiran 1

41

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Lampiran 2

42

URGENSI PELAKSANAAN PPANDALAM PENYELESAIAN

KONFLIK KEAGRARIAAN DI TANAH-AIRSatyawan Sunito*

Pendahuluan

Sengketa agraria modern di Indonesia mempunyai seja­rah panjang, setidaknya merentang hingga masa kolonial.Terutama sejak strategi kolonial mengexploitasi Indonesiasecara langsung, dengan intervensi langsung kedalam sistimpenguasaan sumberdaya alam dan sistim produksi masya­rakat lokal. Kita dengan sendirinya lebih tertarik pada seng­keta agraria masa kini, yang langsung berhubungan dengankesejahteraan petani saat ini dan kebijakan pemerintah seka­rang. Namun sengketa agraria masa lalu seperti dikemukakandiatas mempunyai hikmahnya sendiri dalam memberipenerang bagi sengketa agraria masa kini. Sambil menengok

*) Staf pengajar Dpt.Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat,Fak. Ekologi Manusia, IPB

43

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

kebelakang, kita harus mengatakan bahwa sengketa­sengketa agraria yang marak sekarang bukan sengketa biasayang diselesaikan diantara pihak terlibat saja. Seperti halnyapada zaman kolonial abat ke 19, sengketa agraria masa kinimerupakan fenomena yang kental politik. Beberapa petun­juk mengarahkan kesimpulan tersebut: Pertama, pening­katan kasus­kasus sengketa tanah terjadi paralel denganperubahan dalam konfigurasi kekuasaan di Indonesia.Terutama dengan diadopsinya pendekatan ekonomi liberal1

yang disertai oleh sistim pemerintahan otoriter masa OrdeBaru. Kedua, sengketa agraria yang marak kini melatar bela­kangi pengorganisasian petani dan masyarakat adat. Ketiga,sengketa agraria menyulut berkembangnya diskursus menge­nai konsep­konsep baru sistim penguasaan dan manajementanah dan sumberdaya alam lain. Pada intinya konsep­konsep ini merupakan koreksi dari sentralisasi berlebihan

1 Istilah ekonomi liberal atau kapitalisme liberal untuk Indonesiadengan sendirinya kurang tepat, karena tidak dapat disandingkan dengansistim pemerintahan otoritarian. Selanjudnya, pengertian ekonomi lib-eral juga tidak tepat bila dihadapkan dengan kenyataan bahwa kehidupanekonomi tidak dibangun dari persaingan bebas antara pelaku-pelakuekonomi yang mandiri. Sebaliknya pelaku-pelaku ekonomi di Indonesiasepanjang masa Orde Baru dan juga dalam kadar lebih rendah kini, terdiridari pada pelaku-pelaku yang memiliki hubungan bisnis dan interest eratdengan birokrasi, exekutif dan militer. Yoshihara Kunio (1990)menyebutnya pemburu rente dan sistimnya sebagai kapitalisme semu.Di dalam makalah ini istilah liberal lebih diartikan harafiah, sebagai sistimyang terbuka bagi infestasi asing disegala sektor, termasuk mengobralinvestasi sumberdaya alam bagi modal perusahaan multinasional. Sistimliberal ini kebalikan dari sistim ekonomi nasionalis yang lebih memilihpendekatan BERDIKARI.

44

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dan ketimpangan penguasaan dari sumber­sumber agraria.Keempat, data konflik agraria yang ada memperlihatkanbahwa sebagian besar konflik ada pada sektor­sektor –seperti perkebunan, kehutanan, kawasan industri ­ yangmengindikasikan konflik­konflik yang menyangkut orangbanyak, komunitas sebagai keseluruhan dan menyangkutinstansi­instansi pemerintah. Kelima, sengketa­sengketaagraria kini melibatkan kekerasan massal, pengerahan aparatkeamanan dan preman, penahanan petani dan korban jiwa.Dengan indikator­indikator seperti ini, maka sengketa agra­ria masa kini tidak dapat disebut sengketa biasa, namunsengketa­sengketa yang mempunyai akar kedalam strukturdan sistim kekuasaan serta sistim ekonomi dominan yangberlaku. Makalah ini akan menyoroti akar­akar sengketaagraria yang ada dan konsekwensinya bagi strategi solusi.

1. Sentralisasi SDA oleh Negara dan Sengketa Agraria

Sengketa agraria modern Indonesia berawal dari inter­vensi negara kolonial di abat ke 19 kedalam sistim pengua­saan sumberdaya dan sistim produksi masyarakat lokaldalam rangka intensifikasi exploitasi kolonial. Disebut seba­gai sengketa agraria modern untuk memisahkannya darisengketa agraria yang pasti ada di dalam konteks negara­negara kerajaan pra­kolonial. Disebut sebagai sengketaagraria modern karena merupakan sengketa agraria yangmeletakkan masyarakat lokal berhadapan dengan negara(kolonial) dalam rangka pengintegrasian ekonomi lokal dansumberdaya lokal kedalam ekonomi dunia melalui kelem­bagaan ekonomi dan teknologi baru. Usaha untuk mengin­tegrasikan ekonomi lokal kedalam ekonomi dunia dengan

45

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

merubah sistim penguasaan tanah di pedesaan sudah dimulaioleh kekuasaan kolonial interregnum Perancis dan Inggris.Namun tidak berlanjud karena sempitnya waktu danpersaingan imperialis diantara negara­negara adidaya saatitu. Setelah berkuasa kembali, Belanda tidak meneruskanexperimen liberal dari Perancis dan Inggris sebelumnya,terutama atas pertimbangan bahwa kapitalis Belanda –dibandingkan kapitalis Perancis dan Inggris ­ belum siapmemanfaatkan sistim kolonial liberal untuk menanammodalnya di kawasan kolonial. Strategi yang dipilih Belandaadalah exploitasi lebih langsung dengan menerapkan sistimtanam paksa, dimana negara kolonial sendiri yang memain­kan peranan utama. Strategi kolonial ini merupakan inter­vensi radikal pertama kedalam sistim kelembagaan pengu­asaan sumberdaya alam dan sistim pertanian lokal, danhanya dapat diterapkan di Jawa dan beberapa enklave diluarJawa karena keterbatasan jangkauan aparat kolonial. Inter­vensi radikal kedua yang mempunyai implikasi lebih luasadalah diberlakukannya Agrarische wet tahun 1870(Suhendar & Winarni, 1997; Noer Fauzi, 1999). Salah satuinti perundangan tersebut, Domein Verklaring, merupakanlangkah awal yang radikal dalam mengusahakan sentralisasipenguasaan tanah dan sumberdaya lain ketangan negarasecara faktual. Ekonomi Belanda saat itu telah siap untukexpansi modalnya secara mendiri, tidak lagi diwakilkan padanegara kolonial seperti sebelumnya, didaerah kolonial. Ka­wasan yang dianggap bebas kepemilikan, terutama daerahdataran tinggi, di definisikan sebagai tanah negara dan dapatdisewakan pada swasta selama 75 tahun. Di dataran rendahswasta dapat menyewa tanah dari penduduk. Perkebunan

46

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

tanaman keras bermunculan, dan kawasan tanam paksa (se­perti daerah tebu) sedikit demi sedikit beralih dari negaraketangan swasta.

Intervensi radikal dari negara (kolonial) kedalam sistimpenguasaan tanah dan produksi masyarakat sejak awal telahberdampak besar pada kehidupan rakyat di desa maupunkelembagaan pemerintahan pedesaan. Penelitian dari peme­rintah Belanda sendiri memperlihatkan peningkatan kemis­kinan diantara penduduk desa. Studi­studi dari Boeke yangmelontarkan pengertian ekonomi dualistik dan statik expan-sion – lepas dari penilaian terhadap pengertian­pengertiandiatas – mengindikasikan kemandekan ekonomi rakyat.Demikianpun konsep involusi pertanian dari Geertz mengin­dikasikan berkurangnya tanah bagi petani dan pemiskinan.Daya jangkau dan teknologi saat itu tidak memungkinkannegara (kolonial) dan pemodal besarnya saat itu cepatberexpansi keseluruh kawasan Indonesia. Hanya beberapaenklave, seperti Sumatera Timur/Deli, menyaksikan expansikapital dalam bentuk perkebunan­perkebunan tembakaudan berakibat pada penggusuran tanah­tanah penduduk di­prakarsai oleh penguasa pribumi yang mempunyai kepen­tingan sama dengan pekebun­pekebun asing. Di segi lain,expansi negara (kolonial) ini berdampak pada kebutuhansistim pemerintahan yang langsung. Terutama di Jawa, peme­rintahan de desa berkembang menjadi bagian integral daripemerintah pusat (kolonial), mengabdi dan loyal pada ke­pentingan pemerintahan pusat (kolonial) dan modal besar.2

2 Beberapa studi mengenai transformasi sistim colonial ini lihat:

47

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Masa pemerintahan Sukarno memperlihatkan gabunganunik dari manajemen sumberdaya alam yang konvensionaldan usaha reforma agraria pertama (dan sampai kini terakhir)pasca kemerdekaan. Pada saat itu, paradigma pemusatanpenguasaan sumberdaya alam setidaknya sebagian meru­pakan pencerminan dari semangat nasionalisme, usahamenghapuskan bentuk­bentuk “feodal” dan memberikaninstrumen bagi negara untuk memobilisasi sumberdaya un­tuk ekonomi nasional. Di Jawa, strategi ini memperlihatkanwajahnya yang sinikal ketika petani­petani yang pada masapendudukan Jepang dan revolusi fisik menduduki perke­bunan­perkebunan ex­zaman kolonial dikeluarkan olehpemerintahnya sendiri. Selanjutnya nasionalisasi perke­bunan­perkebunan asing ternyata banyak diantaranya secarariil jatuh ketangan tentara. UUPA cukup menjanjikan untukmenggerakkan perubahan struktur agraria di Jawa. Lainhalnya untk petani dan masyarakat adat di luar Jawa. WalauUUPA memberikan pengakuan hak­hak atas sumberdayaalam pada masayrakat adat, namun persyaratan­persyaraanyang menyertainya boleh dikatakan dengan mudah meniada­kan hak­hak masyarakat adat. Pada masa itu tidak banyakkonsekwensi yang dialami penduduk di luar Jawa, karena

Wertheim W.F. (1956) Indonesian society in Transition. A Study of So-cial Change. Sumur Bandung; Wertheim W.F. (1978) Indonesie: vanvorstenrijk ktot neo-kolonie. Boom Meppel, Amsterdam; Suhendar E.Dan Winarni Y.B. (1997) Petani dan Konflik Agraria. Akatiga.; Fauzi,Noer (1999) Petani dan Penguasa. Dinamika Perjalanan Politik AgrariaIndoneaia. Insist, KPA, Pustaka Pelajar; Untuk kawasan luar Jawa lihatPelzer K.J. (1985) Toean Keboen dan Petani. Politik Kolonial danPerjuangan Agraria di Sumatra Timur, 1863-1947. Penerbit Sinar Harapan.

48

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

sumberdaya pemerintah, swasta dan teknologi yang ada –mungkin juga ditambah oleh boikot negara­negara industriBarat terhadap Indonesia yang mengambil sikap pro­keman­dirian Dunia ke III – belum mampu memanfaatkan sumber­daya alam tersebut secara modern dan besar­besaran.

Konflik­konflik agraria yang terjadi di kawasan perke­bunan pada masa pemerintahan Sukarno dikompensir olehgerakan land­reform yang dilansir pemerintah pada awaltahun 1960an. Sedangkan konflik­konflik agraria yangberkepanjangan dan memiliki dampak nasional terjadi justruakibat dari program land­reform dan pencerminan darikonflik diantara elite berkuasa mengenai strategi politik­ekonomi Indonesia kedepan: suatu strategi yang lebih popu­lis dan sosialistik atau strategi kapitalistik liberal. Sejarah mem­perlihatkan bahwa elite politik yang menjagoi strategi ekono­mi politik terakhir yang meraih kemenangan, dengan kon­sekwensi besar terhadap proses perkembangan struktur pengu­asaan dan sistim exploitasi smberdaya agraria di Indonesia.

Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa rezim Orde Barudengan pemerintahan otoritarian dan strategi ekonomi lib­eral (note on kapitalisme semu), memperkuat kekuasaannegara thd. SDA untuk kepentingan modal besar.

Hal ini paling nyata di luar Jawa dimana Hak MenguasaiNegara di dalam konteks politik ekonomi yang baru menjadiinstrumen negara untuk mengelola sumberdaya alam bagikepentingan suatu sistim “kapitalisme semu”. Salah satukonsekwensinya adalah didefinisikannya hampir 70% daridaratan Indonesia sebagai kawasan hutan. Suatu langkahyang tidak diambil melalui proses mendasar dari bawah,berdasarkan kondisi riil pada tataran lokal dan konsepsi

49

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

masyarakat lokal mengenai lingkungan SDA mereka.3

Penentuan kawasan hutan negara secara sepihak ini – walaumenggunakan istilan Kawasan Hutan Kesepakatan ­mempunyai dampak luarbiasa bagi masyarakat­masyarakatdesa/­adat, yang dalam sekejap kehilangan hak terhadapjutaan hektar sumberdaya dalam bentuk berbagai ekosis­tem4. Masyarakat­masyarakat ini harus hidup dibawahbayang­bayang perusahaan­perusahaan raksasa pemegangkonsesi HPH /Hak Pengusahaan Hutan, HTI/Hutan Ta­naman Industri dan perkebunan, yang selanjudnya menen­tukan sistim manajemen dan pemanfaatan SDA yang secaraformal dikuasai mereka. Dan dengan demikian juga nasibdari masyarakat­masyarakat desa/adat. Di Jawa rezim OrdeBaru membungkam hak­hak demokratis orang desa denganmenerapkan kebijakan “massa mengambang”, sehinggadengan leluasa dapat menjalankan kebijakan pertanahandan pertanian yang mengabdi pada kepentingan lapisankelas menengah kota, dan lapisan petani kaya di pedesaan.

3 Untuk pembahasan detail kontroversi klaim Dep. Kehutanan terhadapkawasan hutan lihat Contreras & C. Fay (2006) Memperkokohpengelolaan hutan Indonesia. ICRAF.

4 Masyarakat adat di luar Jawa, mengembangkan sistim penghidupanteradaptasi dengan tanah yang kurang subur, penduduk yang kecil sertateknologi sederhana – mengembangkan pertanian extensive, dengansistim agroforestry dikombinasikan dengan pemanfaatan hail hutan,terutama hasil hutan non-kayu (getah, rotan). Dengan cepat masyarakatini menyesuaikan sistim agroforestri mereka dengan meningkatnyakebutuha pasar internasional akan bahan mentah seperti karet, produk-produk getah lain, kopi, rotan, tengkawang, dll.

50

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

2. Ragam Konflik

Berbagai cara dapat ditempuh untuk mengemukakanragam dan kompleksitas dari sengketa agrarian. EndangSuhendar dan Winarni (1997) mengemukakan sengketaagrarian menurut kategori sektoral, regional serta vertical­struktural. Pengkategorian menurut kategori sektoralditerapkan juga oleh Noer Fauzi (1999). Dalam rangka tuju­an makalah ini ­ mencirikan, mencari latar belakang sengke­ta agraria – maka disini dicoba mengemukakan ragam seng­keta agraria berdasarkan faktor pencetus yang paling pen­ting. Dari beragam sumber5 mengenai sengketa agraria makadapat diisolasi tiga faktor paling menonjol yang melatarisengketa­sengketa agraria:

Pertama, adalah kombinasi dari perbedaan persepsimengenai keadilan, tekanan politik sesaat, perubahanhalauan politik golongan elite yang menguasai negara.Termasuk dalam kategori ini adalah kasus­kasus sengketaantara petani penggarap tanah­tanah perkebunan ex­kolonialyang digusur oleh pemerintah dalam rangka menerapkanperjanjian dengan Belanda yang mengantarkan pengakuanterhadap kemerdekaan Indonesia. Sengketa­sengketa iniberlokasi di Jawa dan beberapa lokasi di Sumatera, dimanapada masa kolonial terdapat banyak perkebunan. Sebagian

5 Beberapa sumber mengenai konflik-konflik agrarian yang dapatditelaan: Suhendar E. Dan Winarni Y.B. (1997) Petani dan KonflikAgraria. Akatiga; Kartodiharjo H. & Hira Jhamtani (2006) PolitikLingungan dan Kekuasaan di Indonesia. Equinox; Fauzi, Noer (1999)Petani dan Penguasa. Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indoneaia.Insist, KPA, Pustaka Pelajar.

51

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

dari petani korban penggusuran tersebut mendapatkankembali tanah mereka dalam rangka program landreform.Namun setelah Sukarno jatuh dan Orde Baru berkuasa,petani­petani ini digusur kembali dari tanah­tanah mereka,atas nama usaha menumpas petani­petani yang berafiliasidengan PKI. Termasuk di dalam kategori ini juga kasus­kasus dimana pihak perkebunan menganulir hak petanimenggarap tanah perkebunan yang diperoleh pada masa lalusebagai bagian dari hak buruh perkebunan. Perkebunan jugaberusaha mengusir petani dari lahan­lahan perkebunan. Con­toh terkenal adalah kasus sengketa tanah antara petani Jeng­gawah dengan PTP XXVII. Sengketa kategori ini terjadijuga antara petani dengan instansi angkatan bersenjata, atastanah­tanah yang diduduki petani pada masa revolusi fisik,atau atas tanah yang diambil alih dari petani secara paksaoleh pemerintah kolonial untuk kepentingan militer. Feno­mena pengorganisasian petani kedalam paguyuban dan seri­kat­serikat tani di Jawa pasca Reformasi politik tahun 1998,merupakan salah satu respons petani dalam rangka penuntutkembali hak­hak tanah yang telah dirampas dari tangan mereka.

Kedua, adalah kategori konflik yang dipicu oleh ketim­pangan kekuasaan dibarengi oleh ketidak pastian hak­haktanah rakyat serta sistim peradilan yang tidak berfungsi.Termasuk dalam sengketa agraria kategori ini adalah kasus­kasus dimana pemerintah atau perusahaan besar memaksapetani menjual tanahnya, dengan harga yang ditentukansecara sepihak dan sangat merugikan petani. Kasus­kasusini terutama terjadi pada masa Orde Baru, dimana terdapatjurang kekuasaan yang lebar antara penduduk yang tidak

52

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

mempunyai kekuasaan apa­apa disatu pihak dan permerin­tah atau perusahaan besar yang memiliki segala kekuasaandipihak lain. Boleh dikatakan pada semua proyek­proyekbesar pemerintah maupun swasta, terjadi kasus­kasus dima­na penduduk dipaksa dengan segala cara melepaskan tanahmereka. Umumnya dengan kompensasi yang tidak sesuaidan diputuskan secara sepihak oleh pengusaha atau olehpemerintah. Contoh terkenal adalah kasus waduk Kedung­ombo dan proyek real­estate Rancamaya. Sama sekali bukanperkecualian bahwa pada kasus­kasus seperti ini kelompok­kelompok preman dimanfaatkan untuk mengintimidasipenduduk. Termasuk juga dalam kasus ini adalah sengketaantara penduduk dengan pengusaha besar dalam menguasaisumberdaya laut dan sumberdaya bersama (the commons)lain, dengan dampak negatif terhadap kesempatan usahapenduduk. Pada kasus seperti ini, pengusaha besar tidakmemperdulikan hak­hak masyarakat lokal terhadap sum­berdaya yang telah lama dikelola atau dimanfaatkan mereka.Sengketa panjang antara nelayan kecil dengan pihak­pihakyang mengoperasikan pukat harimau merupakan contoh.Contoh lain adalah sengketa antara pengembang daerahwisata dengan penduduk setempat. Pada kasus terakhir inisumberdaya bersama (the commons) yang dapat diakses olehpenduduk menjadi tertutup karena dihaki oleh pengembang.Penghakkan daerah pantai, pulau­pulau kecil oleh hotel danresort wisata merupakan contoh.

Ketiga, adalah kategori sengketa agraria yang dipicuoleh pendefinisian secara sepihak oleh negara kawasan hutandan tanah negara disertai oleh pengabaian hak­hak adat

53

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

masyarakat lokal. Bersamaan dengan pengabaian hak­hakatas sumberdaya ini, terjadi pengabaian terhadap pengeta­huan lokal dan bentuk­bentuk lokal dari manajemensumberday alam. Sengketa­sengketa ini merebak ketika pe­merintah sejak tahun 1970an mendefinisikan Hak Mengu­asai Negara (HMN) atas sumberdaya alam secara harafiah,dan memanfaatkan otoritasnya untuk mengkonsesikantanah dan hutan negara kepada perusahaan­perusahaanbesar untuk exploitasi skala besar. Sistim pemerintahan yangotoritarian memudahkan pemerintahan masa itu memak­sakan pendefinisian otoritasnya secara sepihak. Termasukdalam kategori ini adalah kasus­kasus pengabaian hakmasyarakat terhadap sumberdaya yang turun­temurun telahdimanfaatkan dan biasanya dikukuhkan di dalam adatmasyarakat tersebut. Termasuk didalamnya adalah tanah­tanah cadangan warga masyarakat maupun sumberdaya yangdikuasai bersama (common property). Kasus sengketa kate­gori ini boleh dikatakan terjadi di semua sektor: kehutanan,perkebunan, pertambangan, transmigrasi, kelautan. Contohsengketa kategori ini adalah sengketa penduduk denganperusahaan air minum dalam kemasan, mengenai dominasiperusahaan swasta dalam akses pada sumber air yangmengurangi akses masyarakat terhadap air untuk konsumsi,sanitasi maupun irigasi. Dalam hal penguasaan sumber­sum­ber mineral (terutama emas), masyarakat lokal tidak selaluberhadapan langsung dengan perusahaan besar. Tidak ja­rang, operasi penambangan dilakukan oleh kelompok­kelom­pok kecil penduduk yang didanai oleh pemodal. Dalam halini, sengketa horisontal antar penduduk dapat terjadi. Seperti

54

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

halnya pada kasus sengketa horizontal antara masyarakatPunan di hulu Kapuas dengan penambang­penambang emasskala kecil dari luar yang di danai oleh pemodal.

Faktor­faktor yang membangun ketiga ketegori diatasdengan sendirinya sering hadir bersamaan, dan saling mem­perkuat terutama kategori 2 dan 3. Seperti telah dikemukakandiatas, sengketa agraria yang belakangan ini bermunculandapat dikategorikan secara berbeda. Dibawah ini dapat disa­jikan pengkategorian sengketa agraria oleh Noer Fauzi (1999).

Memperhatikan kategorisasi sengketa agraria yangdikemukakan Noer Fauzi, segera dapat kita tangkap bahwapada setiapkategori, petani adalah pihak yang lemah bahkan

Sumber: Fauzi, Noer, 1999: 197­2002

55

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

tersingkirkan. Apakah itu dalam hal pemaksaan sistim pro­duksi baru(Rev. Hijau), Konflik dengan manajeman perke­bunan, dalam hal pihak mana yang harus berkorban demi’program pembangunan”, atau dalam pemanfaatan hasilhutan. Disemua sektor, ternyata petani menjadi objek bela­ka. Kita bertanya, untuk siapa “program pembangunan” ter­sebut, bila yang harus berkorban adalah mayoritas warganegara?

Salah satu ciri khas yang hadir pada banyak kasussengketa agraria adalah penggunaan kekerasan terhadappenduduk oleh aparat pemerintah dan kelompok­kelompokpreman. Fenomena kekerasan ini mengindikasikan bahwaterdapat jurang kekuasaan yang besar antara subjek­subjeksengketa agraria. Antara penduduk yang tidak terwakilisecara politik disatu pihak dengan pemerintah dan perusa­haan­perusahaan besar yang memiliki kekuasaan yangberlebihan. Bentuk­bentuk kekerasan tersebut dapat berupaintimidasi, teror, penangkapan, pembunuhan, pengrusakanrumah, pembabatan tanaman penduduk, dll. Data­data yangdikumpulkan oleh KPA memberikan gambaran betapa keke­rasan terhadap petani dan aktifis menjadi bagian integraldari sengketa agraria.

56

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Tindakan Kekerasan Terhadap Petani dan Aktifi PembelaPetani Yang Berjuang Merebut dan Mempertahankan

Tanah Pada Era Reformasi

Sumber: KPA, 2000

Usaha menguraikan komplesitas sengketa agrariakedalam faktor­faktor yang melatarinya membuat jelasbahwa kita tidak berhadapan dengan sengketa biasa yangdapat diselesaikan melalui jalur­jalur konvensional. Seng­keta agraria yang terlihat disini bagaikan penyakit kronisyang memerlukan penanganan lebih menyeluruh.

3. Urgensi Reforma Agraria

Gambaran yang terlihat sekarang adalah suatu kondisidimana pada berbagai tataran, dari tataran paradigmapenguasaan sumberdaya, Undang­Undang, strategi eko­nomi serta kelembagaan formal secara sistimatis menying­kirkan masyarakat pedesaan dari penguasaan tanah dansumberdaya lain. Dalam kata lain tercipta suatu tatananatau struktur agraria yang pincang. Dimana sebagian besarsumberdaya alam dan tanah dikuasai oleh pelaku­pelakumodal besar, dan dimanfaatkan sesuai dengan logika dina­

57

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

mika pasar untuk keuntungan sendiri yang sebesar­besarnya.Pendekatan pengelolaan sumberdaya seperti ini tidak memberikanprospek bagi penguatan basis ekonomi yang lebih luas, yang padajangka panjang menguntungkan bagi semua pihak. Dari segikeberlanjutan sumberdaya, pendekatan penguasaan danpemanfaatan sumberdaya alam dan tanah seperti yang adatelah membawa kerusakan parah pada beragam ekosistemhutan, kerusakan tanah oleh pemanfaatan intensive tanpausaha pemeliharaan kesuburan, polusi tanah dan air. Nilaitambah dari manajemen dan pemanfaatan sumberdaya alamdan tanah yang diserahkan sepenuhnya pada pelaku­pelakumodal besar dan pasar tidak jatuh pada petani miskin danmasyarakat desa pada umumnya. Namun dampak negatifdari pendekatan ini harus ditanggung oleh petani miskindan masyarakat desa.

Konflik-konflik agraria yang muncul akibat perbedaan persepsidan kepentingan yang menyangkut sumberdaya alam dan tanahini, dengan sendirinya hanya dapat diselesaikan denganmengadakan perubahan yang cukup mendasar pada pendekatan,manajemen dan pemanfaatan sumberdaya alam dan tanahtersebut: Dalam kata lain Reforma Agraria.

Beberapa prinsip kebijakan pertanahan dapat dikemu­kakan disini, yang dapat membantu menjadi pedomanpengembangan kebijaksanaan:1. Kebijaksanaan pertanian yang hanya berorientasi

teknis-administratif tidak akan dapat memperbaikinasib petani miskin.

2. Dalam kondisi ketimpangan akses terhadap tanah &hasil tanah, maka pembangunan pertanian yang ber-orientasi pada produktivitas semata tidak dapat

58

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

6 Roth, Dik (2005) TheRole of Legal Pluralism in ResourceTenure:Dilemmas and Challenges. Dlm. Yayasan Kemala: Tanah MasihDilangit. Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alamdi Indonesia yang tak kunjung tuntas di era Reformasi. Yayasan Kemala& The Ford Foundation.).

mengurangi tingkat kemiskinan didalam masyarakat tani.3. Tanah tidak dapat diperlakukan sebagai komoditi semata.4. Adalah kewajiban negara untuk menjamin akses

masyarakat lokal ­ khususnya penduduk miskin – padatanah dan hasil tanah, serta sumberdaya alam lokal lain­nya. Implikasinya adalah mengedepankan hak­hak masya­rakat lokal terhadap tanah dan sumberdaya alam lokal.

5. Kebijakan pertanahan di Indonesia harus memperha­tikan ciri spesifik sistim produksi dan manajemenSDA lokal.

6. memegang teguh prinsip keberlanjutan dengan mem­perhatikan kelestarian lingkungan.Dengan sendirinya prinsip­prinsip ini tidak dengan

sendirinya menyelesaikan sengketa­sengketa agraria. Seba­liknya, dalam proses pembaruan agraria, sengketa­sengketajustru akan muncul sebagai dampak logis dari benturanpersepsi dan kepentingan. Karena itu adalah esensialmembangun kelembagaan resolusi konflik pada berbagaitingkat. Salah satu prinsip penting adalah membangunkelembagaan resolusi konflik pada tingkat paling rendah.Khususnya pada tingkat paling rendah ini apa yang disebutsebagai pendekatan legal pluralism6 dapat membantumempertinggi sensitifitas orang akan perbedaan­perbedaannorma, aturan dan nilai­nilai yang melandasi manajemen

59

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

dan pemanfaatan sumberdaya alam dan tanah. Karena justrupada tingkat paling rendah ini, kelembagaan yang ada harusdimanfaatkan sebaik­baiknya untuk proses resolusi konflik.Hanya dengan demikian proses resolusi sengketa agrariaakan mempunyai makna bagi masyarakat lokal. Yang padagilirannya menjadi modal untuk dapat berperan serta aktifdan dalam proses resolusi sengketa dan dalam merancangkembali sistim kelola sumberdaya alam dan tanah.

60

Sengketa agraria modern di Indonesia mempunyai sejarah panjang, setidaknya merentang hingga masa kolonial.

Terutama sejak strategi kolonial mengexploitasiTerutama sejak strategi kolonial mengexploitasi Indonesia secara langsung, dengan intervensi langsung kedalam sistim penguasaan sumberdaya alam dan sistim produksi masyarakat lokal.

Sengketa agraria modernsengketa agraria yang meletakkan masyarakat lokalsengketa agraria yang meletakkan masyarakat lokal berhadapan dengan negara (kolonial) dalam rangka pengintegrasian ekonomi lokal dan sumberdaya lokal kedalam ekonomi dunia melalui kelembagaan ekonomi dan teknologi baru.

URGENSI PELAKSANAAN PPAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK KEAGRARIAAN DI

TANAH AIRTANAH-AIR

Satyawan Sunito Institut Pertanian Bogor

*) Satyawan Sunito, Institut Pertanian Bogor.

61

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

CIRI STRUKTURAL DARI SENGKETA AGRARIA

1. Sengketa agraria terjadi paralel dengan perubahan dalam konfigurasi kekuasaan diperubahan dalam konfigurasi kekuasaan di Indonesia.

2. Berdampak pada pengorganisasian petani dan masyarakat adat.

3. Sengketa agraria menyulut berkembangnya diskursus mengenai konsep-konsep baru sistim g p ppenguasaan dan manajemen tanah dan sumberdaya alam lain.

4. Data konflik agraria yang ada memperlihatkan bahwa sebagian besar konflik ada pada sektor-sektor – seperti perkebunan, kehutanan, kawasan industri yang mengindikasikankawasan industri - yang mengindikasikan konflik-konflik yang menyangkut orang banyak komunitas sebagai keseluruhan dan menyangkut instansi-instansi pemerintah

5. Sengketa-sengketa agraria melibatkan k k l h tkekerasan massal, pengerahan aparat -keamanan dan preman, penahanan petani dan korban jiwa.

62

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

PERUBAHAN POLITIK-EKONOMI SENGKETA AGRARIA

exploitasi lebih langsung oleh negara (kolonial) dengan menerapkan sistim tanam paksa, dimana negara k l i l di i i k tkolonial sendiri yang memainkan peranan utama.

Pemberlakuan Agrarische Wet 1870 – dengan inti Domein Verklaring – pelembagaan tanah negara yang mengabdi pada kepentingan modal besar.

pemerintahan desa berkembang menjadi bagianpemerintahan desa berkembang menjadi bagian integral dari pemerintah pusat (kolonial), mengabdi dan loyal pada kepentingan pemerintahan pusat (kolonial) dan modal besar.

Peningkatan kemiskinan diantara penduduk desa.

owner proprietor claimantAuthorized user

Authorized entrant

Bundles of Rights Associated with Positions (Ostrom & Schlager, 1996)

Access X X X X X

Withdrawal X X X X

Management X X X

Exclusion X XExclusion X X

Alienation X

63

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

TIGA KOMPLEKS-FAKTOR MELATARI SENGKETA AGRARIA

1. kombinasi dari perbedaan persepsi mengenai keadilan tekanan politik sesaat perubahankeadilan tekanan politik sesaat perubahan halauan politik golongan elite yang menguasai negara.

2. kategori konflik yang dipicu oleh ketimpangan kekuasaan dibarengi oleh ketidak pastian hak-hak tanah rakyat serta sistim peradilan yang tidak berfungsi.

3 kategori sengketa agraria yang dipicu oleh3. kategori sengketa agraria yang dipicu oleh pendefinisian secara sepihak oleh negara kawasan

hutan dan tanah negara, disertai oleh pengabaian hak-hak adat masyarakat lokal.

Tindakan Kekerasan Terhadap Petani dan Aktifis Pembela Petani Yang Berjuang Merebut dan Mempertahankan Tanah Pada Era Reformasi - KPA, 2000

No

Bentuk Kekerasan Jumlah Daerah dengan kasus

tertinggi

1 Penganiayaan 479 org Jatim, SumSel

2 Pembunuhan 19 org Jatim

3 Penembakan 134 org Jatim

4 Penculikan 25 org Jatim, Lampung,

SumUt

5 Penangkapan 936 org Jatim, SumSel, SumUt

6 Pembakaran/perusak

an

284 buah SumUt, Jatim

7 Pembabatan/pemba-

karan

307,954 Ha. KalSel, Jatim

karan

8 Teror langsung 1,901 org Jatim, sumSel, SumUt,

Riau

9 Intimidasi langsung 1,809 org Jatim, SumSel, SumUt

10 Orang hilang 14 org Jatim, Lampung

11 Pemerkosaan 1 org Lampung

64

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Gambaran yang terlihat sekarang adalah suatu kondisi dimana pada berbagai tataran, dari tataran paradigma peng asaan s mberda a Undang Undang strategipenguasaan sumberdaya, Undang-Undang, strategi ekonomi serta kelembagaan formal secara sistimatis menyingkirkan masyarakat pedesaan dari penguasaan tanah dan sumberdaya lain.

Pendekatan pengelolaan sumberdaya seperti ini tidak memberikan prospek bagi penguatan basis ekonomi yang lebih luas yang pada jangka panjang menguntungkan bagi semua pihak.

Konflik-konflik agraria yang muncul akibat perbedaan persepsi dan kepentingan yang menyangkut sumberdaya alam dan tanah ini:y

hanya dapat diselesaikan dengan mengadakan perubahan yang cukup mendasar pada pendekatan, manajemen dan pemanfaatan sumberdaya alam dan tanah tersebut:

Dalam kata lain Reforma Agraria.

65

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Prinsip kebijakan pertanahan

1. Kebijaksanaan pertanian yang hanya berorientasi teknis-administratif tidak akan dapat memperbaiki nasib petani miskin.

2. Dalam kondisi ketimpangan akses terhadap tanah & hasil tanah, maka pembangunan pertanian yang berorientasi pada produktivitas semata tidak dapat mengurangi tingkat kemiskinan didalam masyarakat tani.tingkat kemiskinan didalam masyarakat tani.

3. Tanah tidak dapat diperlakukan sebagai komoditi semata.

4. Adalah kewajiban negara untuk menjamin akses masyarakat lokal - khususnya penduduk miskin – pada tanah dan hasil tanah, serta sumberdaya alam lokal lainnya. Implikasinya adalah mengedepankan hak-hak masyarakat lokal terhadap tanah dan sumberdaya alam lokal.

5. Kebijakan pertanahan di Indonesia harus memperhatikan ciri spesifik sistim produksi p p pdan manajemen SDA lokal.

6. memegang teguh prinsip keberlanjutandengan memperhatikan kelestarian lingkungan

66

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

KELEMBAGAAN PENYELESAIAN SENGKETA

Adalah esensial membangun kelembagaan resolusi konflik pada berbagai tingkat.

Salah satu prinsip penting adalah membangun kelembagaan resolusi konflik pada tingkat paling rendah.

Pendekatan legal pluralism membantu mempertinggi sensitifitas orang akan :

perbedaan-perbedaan norma, perbedaan aturan danperbedaan aturan dan nilai-nilai yang melandasi manajemen pemanfaatan sumberdaya alam dan tanah.

67

MEMPERTANYAKAN POSISI SISTEMTENURIAL LOKAL DALAM PEMBARUAN

AGRARIA DI INDONESIAMyrna Safitri*

I. Pendahuluan

Dua belas September 1960, di hadapan Sidang DPR­GR, Menteri Agraria Indonesia saat itu, Sadjarwo, menyam­paikan pidato pengantar dalam rangka penyerahan Ran­cangan Undang­Undang Pokok Agria. Dalam pidato itu,Sadjarwo menegaskan bahwa rancangan undang­undang inimerupakan sebuah perjuangan untuk melepaskan diri darisistem hukum agraria lama yang bersifat feudal dan cende­rung melayani kepentingan pemodal asing. Oleh karena itu,hukum yang baru ini dengan tegas meneguhkan posisinyasebagai penentang kapitalisme dalam penguasaan tanah dansumber daya alam lainnya. Untuk itu semua maka hukumadatpun dijadikan dasar utama dalam pembentukan hukum

*) Sekretaris Badan Pengurus HuMa dan Peneliti pada Proyek Indo-nesian-Netherlands Studies on Decentralization of the Indonesia‘Rechtstaat’ and its impact on ‘Agraria’ (INDIRA).

68

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

agraria nasional. Pelaksanaan hak­hak adat terhadap tanahdan sumber daya alam (hak ulayat atau hak­hak yang dise­but dengan nama lain) diakui, meskipun harus dibatasidengan sejumlah persyaratan.

Pada praktiknya kemudian, pengakuan pemerintahterhadap hak­hak adat itu sangat jarang ditemukan atauhampir tidak pernah terjadi. Perampasan hak­hak adatlahyang justru banyak dilakukan dengan dalih untuk melayanikepentingan pembangunan yang dijalankan oleh kaumpemodal baik dari dalam maupun luar negeri. Kapitalisasitanah dan sumber daya alam –sesuatu yang sejatinya ingindihapuskan oleh UUPA­ terjadi atas beban rusaknya tatanansistem tenurial masyarakat. Penyimpangan tafsir terhadapUUPA menjadikan pembaruan agraria sebagai sebuahagenda penting yang ingin dijalankan melalui undang­undang ini tidak berhasil dilakukan. Inilah yang menjadialasan bagi terbitnya Ketetapan MPR tentang PembaruanAgraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (TAP MPRNo.IX/MPR/2001). Ketetapan ini adalah landasan bagiperaturan perundang­undangan tentang pembaruan agrariadan pengelolaan sumber daya alam.

Dengan mengartikan pembaruan agraria sebagai suatuproses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataankembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan peman­faatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangkatercapainya kepastian dan perlindungan hukum sertakeadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia,TAP MPR No.IX/MPR/2001 menetapkan salah satu prinsipdalam pembaruan agraria itu adalah pengakuan, penghor­matan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat dan

69

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria. Kini,lima tahun setelah TAP MPR tersebut diterbitkan, apakahyang terjadi terhadap segala bentuk sistem tenurial lokal?Apakah ada perubahan yang progresif dalam hal pengakuandan perlindungan sistem­sistem tersebut di tengah terus ber­gantinya kebijakan dan munculnya inisiatif dan program­program yang dialamatkan pada terlaksananya pembaruanagraria? Untuk menjawab pertanyaan­pertanyaan ini makadalam tulisan ini saya akan menampilkan beberapa pokokbahasan. Pertama, pembahasan tentang konsep dasar danprinsip­prinsip utama dalam sistem tenurial lokal di Indo­nesia. Setelah itu akan diulas juga beberapa kesalahkaprahandalam memahami konsep dan prinsip­prinsip tersebut. Ke­dua, pembahasan tentang urgensi pengakuan dan per­lindungan sistem tenurial lokal dalam upaya melaksanakanpembaruan agraria serta beberapa acuan yang bisa digunakandalam upaya memberikan pengakuan dan perlindungantersebut. Terakhir, tulisan ini akan ditutup dengan mena­warkan sebuap opsi bagi bentuk pengakuan sistem tenuriallokal yang dapat ditegakkan (enforceable) namun tidak meng­ingkari prinsip­prinsip dasar dari sistem tersebut.

II. Salah Kaprah terhadap Sistem Tenurial Lokal

Istilah sistem tenurial lokal yang digunakan di sinimengacu pada konsep tentang seperangkat relasi sosialdalam sebuah komunitas terkait dengan penguasaanterhadap tanah dan sumber daya alam. Secara sederhana,relasi itu terwujud dalam bentuk hak atau hubungan hukumantar orang/kelompok dengan obyek tanah/sumber daya.Karenanya dikenali pula dengan konsep ‘a bundle of rights’

70

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

(Ridell, 1987; Panesar, 2001). Meskipun demikian, apa yangdinamakan hak itu sesungguhnya adalah manifestasi dari relasisosial dan kekuasaan di dalam komunitas yang bersangkutan.Oleh sebab itu, ‘a bundle of powers’ adalah sesuatu yang secarafaktual akan sangat menentukan corak dan pelaksanaan hu­bungan hukum tersebut (Ribot dan Peluso, 2003). Inilah yangperlu menjadi pijakan dalam memahami sistem tenurial.

Sistem tenurial lokal merupakan pranata dan praktikpenguasaan tanah dan sumber daya yang dijalankan olehsekelompok orang yang membentuk komunitas baik dikenaldengan nama masyarakat adat ataupun tidak. Pada kelom­pok yang secara kategoris dipandang sebagai masyarakatadat, sistem tenurial ini muncul dalam berbagai sebutanseperti halnya ‘ulayat’ di Sumatera Barat, ‘petuanan’ diMaluku, ‘marga’ di Lampung, ‘simpukng’ pada masyarakatBenuaq di Kalimantan Timur, dan lain sebagainya. Semen­tara itu, pada kelompok masyarakat lain yang umumnyamerupakan komunitas migran, pada beberapa kasus, jugamempunyai sistem tenurial yang khas. Sekelompok masya­rakat migran Jawa­Sunda di Lampung, misalnya, juga mem­punyai dan mengembangkan pranata penguasaan tanah dansumber dayanya sendiri yang sebagian besar dibawa daripranata di daerah asal namun mengadopsi pula beberapaelemen dari sistem tenurial di daerah baru. Hal inimenunjukkan bahwa masyarakat migran itu tidak selamanyamerupakan masyarakat yang nir­pengaturan dalam halpenguasaan tanah dan sumber daya.

Beragamnya nama dari sistem tenurial lokal itu sesung­guhnya tidak mengingkari adanya kesamaan ciri­ciri darisistem tersebut. Dapat disebutkan diantaranya adalah:

71

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

• Penguasaan terhadap tanah sebagai cara mengarti-kulasikan identitas kultural. Pada banyak komunitas,keterkaitan antara tanah dan identitas kultural ini sangatkuat sebagaimana muncul melalui pernyataan dan mito­logi lokal yang menggambarkan bagaimana tanahdipersepsikan sebagai ‘ibu’ yang menjadi cikal bakal sertamelahirkan kehidupan pada komunitas tersebut. SukuSimuri di Papua, misalnya, menyebut tanah dengan istilah‘wane’ (Wiwaron, et.al., 2005) dan Suku Kajang di Sula­wesi menyebutkannya dengan istilah ‘angrongta’ (Arsyad,2005). Tanah dengan demikian mempunyai nilai yanglebih dari sekedar sumber daya ekonomi. Tanah adalaharena bagi berbagai kepentingan yang sangat kompleks.Secara ekonomi, tanah penting sebagai sumber kehidupannamun, tanah adalah pula wilayah kedaulatan bagi berla­kunya pengaturan lokal. Lebih dari itu, tanah adalah pulasebuah alamat bagi keberadaan komunitas secara kultural.Laksono (2002: 382) misalnya mengatakan bahwa tanpatanah maka sebuah kebudayaan tidak mempunyai alamatuntuk menelusuri sejarahnya dan membayangkan sesuatubagi masa depannya. Implikasi dari semua ini adalah keya­kinan bahwa tanah tidak dapat dialihkan penguasaannyakepada pihak luar secara permanen. Saya menggaris­bawahi kata permanen di sini untuk menunjukkan bahwaperalihan hak secara temporal seperti halnya penyewaanmasih dimungkinkan terjadi. Dalam praktiknya hal inidilakukan oleh banyak komunitas masyarakat adatseperti penyewaan tanah ulayat nagari kepada perusa­haan­perusahaan Belanda di masa kolonial (lihatNarihisa, 2002: 189­2002). Sayangnya, hukum, kebi­

72

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

jakan dan program pembangunan nasional sering tidakmampu menangkap esensi ini. Tanah pada komunitaslokal (terutama masyarakat adat) lebih sering dilihatdalam dimensi ekonominya semata.

• Penguasaan terhadap tanah dipegang oleh komu-nitas (communal rights) dengan tetap mengakui ada-nya penguasaan keluarga dan individual padabagian-bagian tertentu. Penjelasan lebih lanjut tentangsifat penguasaan komunal ini dapat dilihat pada bagianIII dari tulisan ini. Hal yang ingin disampaikan di siniadalah bahwa banyak kesalahpahaman terhadap karakterpenguasaan ini. Sifat komunal dipahami sebagai pene­gasian terhadap segala penguasaan individual. Padahal,dalam praktinya hak­hak individual dan keluarga tetapdiakui. Sistem tenurial lokal membentuk sistem kepe­milikan berlapis (multi-layered property rights), di manakepemilikan lokal berada pada lapis terluar dan umumnyaberfungsi dalam relasi dengan pihak luar. Sementara itu,di dalamnya terdapat sejumlah kepemilikan individualdan keluarga yang saling berinteraksi dalam payungkepemilikan komunal yang ada.

• Batasan antara ranah publik dan privat dalamsistem kepemilikan tidak setegas pada sistem kepe-milikan dalam sistem hukum Barat, namun tidakberarti pula terdapat tumpang tindih antara kepe-milikan publik dan privat tersebut. Eksklusifitasmerupakan ciri utama dari hak privat dalam sistem hukumBarat. Pada sistem tenurial lokal hal itu seakan­akan tidaktampak. Sebuah contoh yang jelas misalnya orang bebasmenggunakan tanah seseorang sebagai jalan tembus

73

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

menuju ke suatu lokasi. Demikian pula setelah habis pa­nen, warga komunitas bebas mengambil sisa­sisa buahyang tidak dipetik pemiliknya. Hal ini sering dipahamisebagai kondisi tumpang­tindih antara kepemilikanpublik dan privat dalam sistem tenurial lokal. Namun,sebenarnya tidaklah demikian. Konsepsi lokal tentangkepemilikan memasukkan kepentingan publik, padaderajat tertentu, inheren dalam kepemilikan individual.Ini merupakan pengejawantahan dari fungsi sosial tanahyang juga diatur oleh UUPA. Selain itu, pada beberapakomunitas, pemisahan ranah publik dan privat itu tidakditentukan oleh batas tanah tetapi oleh waktu. Pranatadan praktik leles kopi pada masyarakat Jawa­Sunda di Lam­pung, misalnya, menunjukkan bahwa sisa­sisa buah kopiyang tidak dipanen lagi oleh pemiliknya dianggap sebagaibarang publik. Setiap orang bebas mengambil. Namunterhadap kopi yang belum dipanen oleh sang pemilik,tetapkah menjadi milik privat dari si pemilik tersebut.

• Ada batas yang jelas (biasanya berupa tanda-tandaalam) terhadap wilayah komunal dimana tanah dansumber daya alam berada, batas mana memperolehpengakuan dari komunitas lain. Dengan demikian,klaim penguasaan tanah yang diajukan oleh komunitas­komunitas lokal itu bukanlah klaim yang tidak jelassebagaimana sering diasumsikan selama ini. Anggotakomunitas dan kelompok­kelompok lain di luar komu­nitas tersebut biasanya saling mengetahui batas wilayahmasing­masing.

• Ada pranata yang mengatur tentang penguasaan,pemanfaatan dan konservasi tanah dan sumber daya

74

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

alam, serta lembaga yang menjalankan dan mene-gakkan aturan termasuk menyelesaikan konflik. Ciriini meneguhkan premis bahwa sistem tenurial lokal adalahkonfigurasi relasi sosial­politik yang kompleks dalamsebuah komunitas. Dengan demikian persoalannya bukansekedar relasi manusia dengan tanah. Tanah hanyalahsekedar arena dimana aturan­aturan lokal tumbuh dandikembangkan. Pengakuan terhadap sistem tenurial lokalkarenanya tidak bisa dilihat sebagai pemberian hak atastanah semata melainkan bagaimana pengakuan itusekaligus memberikan ruang bagi tumbuh dan berjalannyaaturan­aturan lokal tersebut.

• Pranata penguasaan tanah dan sumber daya alamumumnya didasarkan pada nilai-nilai yang diwarisidari generasi ke generasi. Karena kondisi ini makatidaklah mudah mengubah sistem tenurial lokal tanpaperubahan pada nilai­nilainya. Introduksi pranata barusering tidak mampu membuat perubahan bahkan men­ciptakan benturan dengan pranata lama karena belumteringegrasi ke dalam alam pikiran warga komunitas. Pro­yek­proyek pensertifikatan tanah individual misalnyamerupakan contoh yang sangat jelas menggambarkanbagaimana pranata baru dalam penguasaan tanah dapatmenimbulkan konflik dalam komunitas lokal.

III. Pembaruan Agraria dan Sistem Tenurial Lokal:

Pengakuan dan Perlindungan seperti apa yang

dibutuhkan?

Penelitian klasik tentang sistem pertanahan di Indone­sia telah menyimpulkan bahwa penguasaan komunal men­

75

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

jadi karakter utama dari sistem tenurial lokal. Menggunakannama ‘beschikkingsrecht’ misalnya, seorang ahli hukumberkebangsaan Belanda Van Vollenhoven menyebutkan bah­wa bescikkingsrecht itu menunjukkan karakter yang unik dansulit dibandingkan dengan jenis­jenis hak yang ada dalamsistem hukum Barat. Tanah dimana beschikkingsrecht ituditemukan disebut sebagai beschkkingskring (Burns, 2004:13­14, 34­35). Dua istilah ini adalah konsep akademik yangdibuat oleh para ahli hukum. Bagi komunitas adat sendiri,hubungannya dengan tanah pada umumnya cukup diwakilioleh sebuah istilah seperti ulayat di Minangkabau ataupetuanan in Ambon yang menjelaskan baik tentang tanahmaupun hak atas tanah tersebut.

Sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR IX/MPR/2001, pengakuan, penghormatan dan perlindungan sistemtenurial lokal adalah prinsip penting dalam pembaruanagraria nasional. Masalahnya, bagaimana pengakuan danperlindungan ini semestinya dijalankan? Tidak banyakupaya yang telah dilakukan untuk mengelaborasi konsep­konsep yang operasional bagi upaya menjalankan prinsipini. Pengakuan sistem tenurial lokal (khususnya sistempenguasaan tanah adat) lebih banyak dilakukan melaluipernyataan­pernyataan normatif sebagaimana tampakdalam konstitusi dan produk legislasi nasional dan lokal(lihat misalnya pasal 18B dan 28I UUD 1945, pasal 3 dan5 UUPA, Perda Kabupaten Lebak No.3/2001; Perda Pro­vinsi Sumatera Barat No.2/2000; Perda KabupatenLampung Barat No.18/2004; Keputusan Bupati Luwu UtaraNo.30/2004). Namun, belum ada penjelasan yang memu­askan tentang bentuk hak seperti apa yang semestinya di­

76

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

akui dari sistem tenurial lokal itu.Pendaftaran tanah­tanah komunal menjadi salah satu

isu yang berkembang dalam perdebatan tentang pengakuansistem tenurial lokal. Meskipun demikian, terdapat perbe­daan pandangan yang tajam mengenai hal ini. Di satu sisi,ada pihak yang menganggap bahwa pendaftaran tanah bisadimungkinkan pada bagian tanah komunal yang dikuasaisecara individual (Soesangobeng, 2004). Bagi pihak lain,hal ini justru akan membahaykan keutuhan sistem sosialdari komunitas tersebut. Oleh karena itu, mereka menolakpemberian sertifikat tanah individual. Terhadap tanah­tanahkomunal itu cukup didaftarkan namun tidak diberikan ser­tifikat hak atas tanah. Pertanyaannya kemudian adalah sebe­rapa kuatkah pendaftaran itu bisa melindungi tanah denganhak­hak komunal itu. Menempatkan tanah­tanah komunaldalam buku tanah ataupun peta wilayah kabupaten harusdiakui hanyalah langkah awal yang bisa dilakukan untukmengakui keberadaan tanah­tanah tersebut. Namun, penga­kuan terhadap keberadaan tanah­tanah komunal itu akanmenjadi lebih bermakna jika ada sistem perlindunganhukum yang disiapkan pemerintah terhadap tanah danpranata sosialnya dari tindakan­tindakan pihak ketiga yangkontra produktif dan mengancam keberadaan hak­hakkomunal tersebut.

Perlu disadari bahwa bukanlah tugas yang mudah untukmerumuskan opsi yang tepat bagi bentuk hak komunaltersebut. Meskipun demikian beberapa prinsip seperti yangdisebutkan di bawah ini kiranya layak dijadikan pijakanbersama dalam diskusi yang lebih konkrit mengenai hal ini.Prinsip­prinsip yang ditawarkan itu adalah:

77

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

o Tanah perlu dipandang sebagai tanah yang dikuasai secarakomunal. Tanah komunal secara sederhana dapat diar­tikan sebagai teritori dimana tanah dan sumber daya alamterdapat yang dikuasai oleh sekolompok orang yangmembentuk sebuah unit sosial disebut komunitas.Komunitas yang bersangkutan mempunyai kepentinganyang sama terhadap teritori tersebut baik untuk tujuanekonomi, sosio­kultural maupun spiritual. Hak­hak yangmuncul dari relasi sosial dalam teritori tersebut menda­patkan legitimasi dan dilindungi serta ditegakkan olehkomunitas yang bersangkutan, bukan oleh kekuatanpolitik dan ekonomi yang berasal dari luar komunitas,seperti halnya negara. Dengan hak itulah maka komunitasyang bersangkutan mengatur, mengalokasikan, meman­faatkan termasuk dapat mengeluarkan orang lain dariteritori tersebut.

o Tanah komunal itu membentuk sistem kepemilikan ber­lapis dimana kepemilikan individual/keluarga/kelompokkecil dimungkinkan ada di dalamnya.

o Ketika berhadapan dengan pihak ketiga, maka tanahkomunal itu dilihat sebagai kesatuan properti yang utuhdari anggota komunitas. Namun, properti itu mempunyaikarakter yang khusus yakni sifat tidak bisa dialihkan kepa­da pihak luar secara permanen. Termasuk dalam hal iniadalah tidak diperbolehkannya menggunakan tanahtersebut sebagai agunan dalam akad kredit dengan siapa­pun yang dapat berisiko beralihnya hak atas tanah kepadapihak kreditor.

o Sebagai hak properti yang utuh maka tanah­tanah komu­nal tidak dapat disamakan dengan tanah publik/tanah

78

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

negara melainkan tanah rakyat yang dikuasai dengan hakyang jelas yang diakui dan dilindungi oleh negara.

o Untuk mendukung perlindungan terhadap tanah komunalitu maka komunitas lokal perlu diperlakukan sebagaisubyek hukum sama halnya dengan perorangan ataubadan hukum.

IV. Catatan Penutup: Menggagas Hak Pengelolaan

Komunitas sebagai sebuah opsi

Prinsip­prinsip pengakuan dan perlindungan sistem te­nurial lokal sebagaimana disebutkan pada bagian III tulisanini terlihat lebih dekat dengan karakter hak pengelolaansebagaimana dikenal dalam sistem hukum tanah dewasaini. Hanya saja, hak pengelolaan yang sekarang berlaku lebihbanyak ditujukan untuk melayani kepentingan institusi/badan usaha pemerintah seperti halnya hak pengelolaanpada Badan Otorita Batam dan PT Pelindo/KAI. Skemaseperti hak pengelolaan ini sebenarnya bisa memberikaninspirasi pada perumusan hak tanah pada komunitas lokal.Tetapi, tentu saja ada perbedaan mendasar antara keduanya.Pada hak pengelolaan untuk institusi pemerintah, tanah yangdigunakan adalah tanah negara (hak pengelolaan publik).Hak bersifat pemberian dari pemerintah sehingga bisa dita­rik kembali. Sedangkan pada hak yang untuk sementarabisa dinamakan hak pengelolaan komunitas, maka haktersebut berlaku atas tanah­tanah komunitas (hak penge­lolaan privat). Hak juga tidak ditanggapi sebagai pemberianoleh pemerintah tetapi pengakuan pada keberadaan yangtelah memperoleh legitimasi sosio­kultural dari komuni­

79

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

tasnya. Karena itu, hak ini tidak bisa dicabut.Sebagaimana galibnya pemegang hak pengelolaan

publik, maka pemegang hak pengelolaan komunitas mem­punyai kewenangan untuk mengaloksikan dan mengaturperuntukan dan penggunaan tanah dan sumber daya ter­masuk memberikan hak­hak pemanfaatan tanah kepadaanggota komunitas sesuai dengan pranata lokalnya. Dengancara semacam ini maka pengakuan terhadap tanah­tanahkomunal itu di satu sisi tidak akan mengganggu sistem sosialdi dalam komunitas, bahkan bisa memperkuat kapasitasmasyarakat untuk melakukan pengaturan sendiri (self-regu-lation) terhadap wilayahnya secara bertanggung jawab. Disisi yang lain pengakuan model ini juga lebih memberikanperlindungan hukum dari pada sekedar pencatatan dalambuku tanah atau peta wilayah.

Dengan kata lain, pengembangan konsep hak pengelo­laan komunitas juga bisa menjadi titik masuk yang baikbagi terwujudnya pembaruan agraria yang mampu men­dorong pembagian kekuasaan yang adil antara negara danrakyat serta mendukung penguatan pengaturan lokal dalamranah penguasaan tanah dan sumber daya alam.

Daftar Pustaka

Arsyad, I.B. 2005, ‘Potret Perlawanan Orang Tertindas(Studi Kasus Perkebunan PT.LOnsum vs OrangKajang’. Hal.763­774 dalam Tanah Masih di Langit:Penyelesaian Masalah Penguasaan Tanah danKekayaan Alam di Indonesia yang Tak KunjungTuntas di Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Kemala.

80

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Burns, P. (2004), The Leiden Legacy: Concepts of Law in Indo-nesia. Leiden: KITLV Press.

Ribot, J.C. dan Peluso, N.L. 2003. ‘A Theory of Access’ dalamRural Sociology 68 (2).

Ridell, J. C. 1987. ‘Land Tenure and Agroforestry: A RegionalOverview’, dalam Land, Trees and Tenure : Proceed­ings of an International Workshop on Tenure Is­sue in Agroforestry, John B. Raintree (Editor).ICRAF and Land Tenure Centre.

Fitzpatrick, D (2005), Private Law and Public Power: TangleThreads in Indonesian Land Regulation (in press).

Harsono, B, (2005), Hukum Agraria Indonesia: SejarahPembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya.Jakarta: Djambatan.

Hermayulis. 2000. ‘Status Tanah Ulayat menurut HukumAdat Minangkabau dan Hukum Tanah Nasional’.Hal. 51­ 74 dalam Jalaluddin, S. (ed.), HimpunanMakalah dan Rumusan Workshop Tanah Ulayatdi Sumatera Barat. Padang, 23­24 October.

Laksono, P.M. 2002. ‘Tanpa Tanah – Budaya Nir Papan –Antropologi Antah Berantah’. Hal. 375 – 390 dalamLounela, A. and Zakaria, R.Y. (eds.), BerebutTanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus danKampung. Yogyakarta: Insist Press.

Narihisa, N. 2002. ‘Tanah Ulayat dan Isu­isu Pembangunandi Sumatera Barat. Hal. 185­210 dalam Lounela,A. and Zakaria, R.Y. (eds.), Berebut Tanah:Beberapa Kajian Berperspektif Kampus danKampung. Yogyakarta: Insist Press.

Panesar, S. (2001), General Principles of Property Law. Essex:Pearson Education.

81

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Parlindungan, A.P. (1989), Hak Pengelolaan menurut SistemUUPA. Bandung: Mandar Maju.

Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Atma Jaya (1998),Pola Penguasaan Tanah Masyarakat Tradisional danProblema Pendaftaran Tanah: Studi Kasus diSumatera Barat, Kalimantan Tengah dan NusaTenggara Barat. Report of Indonesian Land Admin­istration Project­Customary (Adat) Land RightsStudies. Volume 1.

Safitri, M. 2006. Communal Land Titling in Indonesia:Possibilities and Obstacles for Legal Protection ofAdat Communities. Draft concept paper for WorldAgroforestry Center.

Soesangobeng, H. (2004), The Possibility and Mode of Regis-tering Adat Title on Land. Paper at the 3rd FIG Re­gional Conference. Jakarta, October 3­7.

Warren, C. 2002. ‘Membangkitkan Hak Ulayat – PemetaanPartisipatif, Kedaulatan Masyarakat Adat, danPeranan Mediatornya pada Era Reformasi. Hal.239­270 dalam Lounela, A. and Zakaria, R.Y.(eds.), Berebut Tanah: Beberapa Kajian Ber­perspektif Kampus dan Kampung. Yogyakarta: In­sist Press.

Wiwaron, P. et.al. 2005. ‘Penguasaan Tanah Rakyat danSumber Daya Alam Lainnya untuk KepentinganPembangunan di Kawasan Teluk Bintuni Papua’.Hal. 141­152, dalam Tanah Masih di Langit: Penye­lesaian Masalah Penguasaan Tanah dan KekayaanAlam di Indonesia yang Tak Kunjung Tuntas di EraReformasi. Jakarta: Yayasan Kemala.

82

Sistem Tenurial Lokal dalamPembaruan Agraria di Indonesia

Myrna Safitri

Mengapa Sistem Tenurial Lokal Penting?

• Representasi fakta sejarah tentang penguasaandan pengelolaan tanah dan sumber daya diIndonesia.

• Pengakuan dari UUPA.• Bagian dari prinsip pembaruan agraria TAP MPR

IX/MPR/2001.

83

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Kondisi sekarang• Penyangkalan pada eksistensi sistem tenurial lokal ----

absen/minimnya pengakuan dan perlindungan pada sistem tersebut. Pembangunanisme yang menggerus g y g ggsistem-sistem sosial lokal.

• Reformasi menjadi momentum munculnya inisiatif perubahan kebijakan dan komitmen politik pada pembaruan agraria dan pengakuan/perlindungan sistem tenurial lokal.

• Otonomi daerah pada derajat terbatas membuka peluang bagi pengakuan sistem tenurial lokal dalam produk legislasi daerah.

Presentasi ini…

• Karakter dasar sistem tenurial lokal dan l h k h t h dsalah kaprah terhadapnya.

• Tempat sistem tenurial lokal dalam pembaruan agraria --- Pengakuan dan perlindungan apa yang dibutuhkan?

• Opsi hukum yang penting bagi pengakuan• Opsi hukum yang penting bagi pengakuan dan perlindungan sistem tenurial lokal

84

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Apa sistem tenurial lokal?

• Sistem tenurial sebagai ‘a bundle of rights’ dan ‘a bundle of powers’a bundle of powers .

• Sistem tenurial sebagai relasi sosial antar individu/komunitas dalam hubungannya dengan tanah dan sumber daya.

• Sistem tenurial: pranata dan praktik pengusaan dan pengelolaan tanah/sumber daya pada

k l k k it d t/ d tsekelompok komunitas adat/non adat.• Beragam nama: petuanan, ulayat, marga,

simpukng, tanah ulen, dll.

Ciri-ciri penting• Identitas kultural --- tanah bukan komoditas ekonomi

tetapi ‘alamat’ bagi kebudayaan komunitas.• Penguasaan komunal dengan sistem kepemilikan

berlapis (multi-layered property rights): Komunal –keluarga – individual.

• Pemisahan kepemilikan publik dan privat sangat kompleks.

• Batas yang jelas dengan pengakuan sosial komunitas/warga lain.

• Ada pranata yang mengatur termasuk untuk penyelesaian konflik.

• Ditentukan oleh nilai-nilai ‘tradisional’• Nama menunjukkan teritori dan hak.

85

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Pembaruan Agraria dan SistemTenurial Lokal

• TAP MPR IX/MPR/200: pengakuan, penghormatan dan perlindungan sistemtenurial lokal adalah prinsip pembaruanagraria.

• Baru ada pengakuan normatif: Konstitusi• Baru ada pengakuan normatif: Konstitusipasal 18B, 28I, UUPA, berbagai Perda.

• Perlindungan hak masih dipertanyakan.

Prinsip-prinsip Perlindungan SistemTenurial Lokal dalam Program

Pembaruan Agraria

• Penguasaan komunal dan sifat multi fungsitanah.

• Pengakuan pada sistem kepemilikan berlapis.• Tanah sebagai kesatuan properti komunitas

h d i ih k lmenghadapi pihak luar.• Bukan bagian dari tanah publik/negara.• Komunitas sebagai subyek hukum.

86

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Hak Pengelolaan Komunitas: Sebuah Opsi Perlindungan Hukum

• Inspirasi dari hak pengelolaan pada instansipemerintah/BUMN

• Perlunya pengembangan konsep sejenis hakpengelolaan bagi komunitas lokal yang berlakupada tanah-tanah mereka, dengan tidakmengganggu pranata penguasaan tanah yang ada serta memperkuat kapasitas mengatur dirisendiri secara bertanggung jawab padakomunitas ybs.

87

URGENSI PERAN ORMAS TANIDALAM GERAKAN PEMBARUAN AGRARIA:

PENGALAMAN LINTAS NEGARAHenry Saragih*

Gagasan pembaruan agraria dipercaya sebagai jalan yangpaling memungkinkan untuk dapat memberdayakan rakyatpedesaan dari kedudukannya yang marjinal, sekaligus mele­paskan diri dari eksploitasi kekuatan ekonomi besar danpenindasan yang terjadi. Penindasan terhadap rakyat ini bisaterjadi dari tiga dimensi. Pertama dari atas, yang bisa kitasebutkan sebagai tata ekonomi global yang tidak ber­keadilan—terutama dengan dominasi negara tertentu danketerlibatan rejim Bank Dunia (World Bank), Dana MoneterInternasional (IMF) maupun Organisasi Perdagangan Dunia(WTO). Kedua dari tengah, penindasan juga bisa terjadimelalui perpanjangan tangan pemerintahan yang tidakberpihak kepada rakyat. Ketiga, penindasan juga bisa terjadi

*) Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI),General Coordinator of La Via Campesina, International Peasant Move-ment.

88

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dari bawah—yakni struktur di masyarakat sendiri yangmelemahkan dirinya sendiri seperti budaya malas, gampangdipecah­belah, dan sebagainya.

Mengingat fakta juga menyatakan bahwa masih banyakrakyat miskin berada di daerah pedesaan (sekitar 75 persen)dan mayoritas rakyat pedesaan adalah petani, maka pembi­caraan mengenai pembaruan agraria ini sangatlah krusial.Di Indonesia sendiri, Sekitar 46 persen dari angkatan kerjasecara formal terdaftar bermatapencaharian petani, semen­tara jumlah petani di Indonesia diyakini kurang lebih 60persen dari total penduduknya—dan mayoritas tinggal didesa.

Struktur kepemilikan sumber daya agraria dewasa ini

Struktur kepemilikan sumber daya agraria secara makrosaat ini adalah cermin dari kebijakan Bank Dunia tentangtanah yang dituangkan dalam strategi besar (grand strategy)pembangunan baru pada tahun 2002. Strategi ini dijabarkandalam dua dokumen Bank Dunia yaitu LPRR (Land PolicyResearch Report) dan Land Policies for Growth and Poverty Re-duction.

Jika di era sebelumnya struktur kepemilikan sumberdaya agraria didominasi feodalisme dan tanah umumnyadikuasai oleh tuan­tuan tanah atau penguasa, maka sesung­guhnya perkembangannya pasca masa kerajaan hinggajaman negara tidak terlalu banyak berubah. Struktur kepe­milikan sumber daya agraria saat ini masih juga timpang,dengan fakta bahwa masih banyak petani kecil dan takbertanah di seluruh dunia. Hal ini berakibat pada jumlahrakyat miskin di seluruh dunia yang malah meningkat.

89

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Adalah sekitar 800 juta jiwa pada tahun 1995, sementarasekarang menurut laporan Organisasi Pangan dan PertanianDunia (FAO) malah meningkat menjadi 850 juta jiwa.

Bedanya, kini sumber daya agraria dimiliki tidak hanyaoleh struktur feodal yang masih berlangsung—namun jugaditambah oleh tata ekonomi yang tidak adil. Sumber­sumberdaya agraria kini dicaplok oleh mekanisme pasar, terutamaoleh pihak­pihak yang memiliki uang atau sumber dayafinansial. Sektor privat, terutama perseorangan, perusahaan(kebanyakan perusahaan multinasional), adalah pihak yangberkuasa banyak atas sumber daya agraria saat ini. Rakyatkecil kembali menderita, dan terus menjadi korban.

Hal ini bisa terjadi karena perubahan makna sumberdaya agraria seperti yang dituangkan dalam dua dokumenBank Dunia di atas. Di dalam LPRR, diadopsi model­modelpasar untuk strategi baru pembangunan daerah pedesaandan untuk mengurangi kemiskinan. Prinsip dasarnya taklain adalah (1) liberalisasi pasar pertanian (2) deregulasiperaturan atau Undang­Undang, dan (3) privatisasi sektoryang masih menjadi milik pemerintah. LPRR juga mene­kankan bahwa tanah sebagai sumber daya utama untukorang miskin, pertumbuhan ekonomi, mekanisme pasar danuntuk pengembangan masyarakat.

LPRR diorganisasi menjadi tiga bagian, yaitu hak milikatas tanah, pasar tanah (khususnya sewa dan jual beli tanah),serta peran pemerintah. Ketiga bagian penting ini tak lainadalah untuk mendukung investasi, kemudahan prosestransaksi jual beli dan sewa tanah dengan mewujudkan pasartanah yang mudah dan ekuitabel, dan meningkatkan efisiensitanah (sebagai jaminan kredit misalnya), sehingga peran

90

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

pemerintah di tiap negara diharapkan bisa diminimalisasi,dan pasar bisa berguna untuk memberdayakan rakyat,terutama yang miskin.

Liberalisasi pasar tanah ini ternyata tidak menyebabkanpemberdayaan rakyat miskin. Hingga saat ini, fakta yangterlihat malah sebaliknya. Bersama dengan memburuknyatata ekonomi dunia, kebijakan pertanian dan konteks mak­roekonomi negara yang didominasi Amerika Serikat, EropaBarat, Jepang, Australia dan beberapa perusahaan multi­nasional raksasa, maka yang terjadi adalah semakin mudah­nya rakyat miskin (dalam hal ini petani) kehilangan tanah­nya. Sementara yang lain masih tidak sanggup untuk menda­patkan tanah.

Kebangkrutan petani di berbagai negara banyak menye­babkan mereka harus menjual atau menggadaikan tanahnya.Di berbagai bagian, tanah dijual untuk melanjutkan hidupkepada bank sebagai penjamin pasar tanah, atau kepadaperusahaan agro­ekspor.

Perlu diingat bahwa tidak hanya struktur kepemilikantanah yang timpang, karena sumber daya agraria mencakuplebih luas dari itu. Proyek­proyek pembangunan Bank Duniadan penetrasi pasar yang dipromosikannya juga semakinmerusak keseimbangan struktur kepemilikan sumber dayaagraria lainnya seperti air, sumber daya alam, dan juga ling­kungan hidup.

Sejarah pembaruan agraria dan pengalaman lintas negara

Pembaruan agraria sebenarnya bukanlah isu baru bagidunia. Di masa kerajaan hingga jaman negara (nation-state),sebenarnya ide­ide tentang suatu upaya korektif untuk

91

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

menata ulang struktur agraria yang timpang, yang memung­kinkan eksploitasi manusia atas manusia, menuju tatananbaru dengan struktur yang bersendi kepada keadilan agrariasudah dimulai. Gunawan Wiradi (2004) mengatakan bahwagagasan ini telah ada lebih dari 2500 tahun yang lalu. Bah­kan semboyan land to the tiller sudah berkumandang 565tahun sebelum masehi.

Gagasan mengenai penataan pembagian wilayah sendiridiperkirakan sudah terjadi ribuan tahun sebelum masehi.Bahkan buku Leviticus dalam kitab Perjanjian Lama meng­gambarkan adanya redistribusi penguasaan tanah setiap 50tahun sekali. Tetapi yang kemudian diterima dan disepakatisebagai fakta sejarah oleh para ahli sejarah adalah bahwaapa yang sekarang kita sebut dengan istilah “land reform”itu pertama kali terjadi di Yunani Kuno, sewaktu pemerin­tahan Solon, 594 tahun sebelum Masehi.

Lebih lanjut lagi, pada era Revolusi Perancis (1789)dimulailah protes petani­petani yang mengorganisasi dirimereka sebagai kaum yang tidak puas terhadap strukturagraria saat itu. Praktis sejak saat itu, gerakan ini mem­pengaruhi region sekitarnya—dan tak pelak lagi berbagainegara Eropa mulai menirunya. Gerakan ini juga muncul dinegara­negara di belahan bumi lain dengan kekhasan/kearifan lokal masing­masing, seperti di Jepang, Taiwan danKorea Selatan. Pasca Perang Dunia II, banyak negara meng­adopsinya—terutama di Asia, Amerika Latin dan Afrika.

Konsep ini sempat jadi tabu pada masa Perang Dingin,karena kedekatannya dengan praktek­praktek komunisme.Jadilah di banyak negara, ‘cap’ komunisme melekat padagerakan pembaruan agraria. Padahal jelas bahwa gerakan

92

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

pembaruan agraria sebenarnya tidak identik dengan komu­nisme, malah negara­negara kapitalisme awal (AmerikaSerikat, Inggris, Jepang) yang melakukan pembaruan agrariasebagai kebijakan populis di negara masing­masing.

Pada era pasca Perang Dingin, isu pembaruan agrariadinaikkan lagi—kali ini oleh Bank Dunia—seperti yang telahdijabarkan sebelumnya, namun disempitkan menjadi pro­gram land reform. Program ini beralih nama di berbagai situasidan kondisi, ada yang disebut land titling project, land regis-try, atau mapping project (Peter Rosset, dalam Lubis (ed):2003). Dalam perkembangan selanjutnya program land re­form inilah yang ternyata mengakibatkan perubahan negatifdi banyak negara. Jutaan petani merana, kehilangan tanahdan mata pencaharian mereka akibat penciptaan pasar­pasartanah secara bebas. Hal inilah nantinya yang secara ekstrimmembedakan proses pembaruan agraria sejati (genuine agrar-ian reform) dengan land reform versi World Bank, yang kerapdisebut market-assisted land reform. Untuk membedakannya,bisa kita lihat ilustrasi pengalaman di berbagai belahan duniadi bawah ini:

a. Asia: Dari kesuksesan Jepang hingga mandeg di

Filipina

Banyak pakar dan pengamat mengatakan bahwapembaruan agraria yang berhasil salah satunya adalah diJepang, yang berlangsung dari tahun 1945­1951. Di Jepang,gerakan pembaruan agraria berhasil karena sepenuhnyadidukung oleh militer (pada saat itu sistem shogun). Halini mengakibatkan jumlah penduduk yang mendapatkankeuntungan (beneficiaries) dari gerakan ini mencapai jumlah

93

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

yang cukup signifikan, yakni 71 persen. Jumlah ini jugamenyatakan bahwa gerakan pembaruan agraria di Jepangsangat meluas dan mencakup hampir seluruh petani yangada pada saat itu.

Menurut gerakan petani Nouminren Jepang, gerakanpembaruan agraria yang pertama cukup mengubah strukturkepemilikan sumber agraria yang pada saat itu sangat tim­pang. Pada masa sebelum Restorasi Meiji, tanah­tanahratusan hingga ribuan hektar dikuasai oleh kaum feodal,yakni tuan tanah yang merupakan keluarga­keluarga bang­sawan Jepang. Dengan adanya gerakan yang disebut “TheFirst Agrarian Land Reform”, sekitar 41 persen dari seluruhlahan yang ditanami didistribusikan kepada petani kecil dantak bertanah.

Gerakan pembaruan agraria ini juga disebut gerakanyang populis, dan diikuti juga oleh negara­negara tetanggaJepang seperti Korea Selatan. Beneficiaries akibat gerakanpembaruan agraria di Korea Selatan adalah sekitar 66 persendari petani mendapatkan tanah dan proses produksi dandistribusi yang layak. Korea Selatan membagikan sekitar44 persen tanah yang ada kepada petani. Hal ini diikutioleh Taiwan yang membagikan 44 persen lahan yang ada,dan yang sangat mengagumkan adalah bahwa Prosteman(2003, seperti yang dikutip Saiful Bahari, 2004) mengklaimbahwa dari seluruh lahan yang dibagikan itu ternyata sampaike seluruh lapisan petani kecil dan tak bertanah yang adadi Taiwan (atau terserap sempurna 100 persen).

Disadari atau tidak, gerakan pembaruan agraria dinegara­negara ini adalah yang diklaim sebagai gerakan popu­lis, walaupun pada perkembangan selanjutnya menjadi

94

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

cenderung kapitalistik seperti Jepang dan Korea Selatan.Gerakan petani di Jepang dan Korea Selatan saat ini menge­cam penetrasi kapital atas tanah dan pertanian mereka, yangberusaha mendominasi pertanian dengan model agro­ekspor.Akibatnya, petani kecil yang muncul pada gerakan pemba­ruan agraria tahun 1950­an secara cepat terkikis dandigantikan dengan model industri dan perusahaan agro­eskpor multinasional. Di Jepang saat ini, direncanakansebuah program “The Second Agrarian Land Reform” yangingin menghapuskan pertanian gaya lama—pertanianberbasis keluarga dan subsisten—digantikan dengan modelkorporasi (diusulkan oleh Hiroshi Okuda, Presiden Toyotatahun 2000­an awal). Petani di Jepang memprotes usulanini dan mengatakan bahwa realisasinya hanya akan menen­dang Jepang kembali ke sejarah lama, karena konsentrasilahan akan dikuasai oleh perusahaan besar (Nouminren,dalam La Via Campesina: 2006).

Sementara di Filipina, Revolusi Filipina dan gerakanpembaruan agraria dimulai oleh golongan menengah dandidukung oleh gereja. Kalangan elit gereja sendiri sebenarnyajuga terdiri dari kelas menengah yaitu tuan­tuan tanah(hasienda) yang dirugikan oleh Presiden Marcos. Pada tahun1970­an, gerakan land reform dimulai dengan berbagai SKPresiden, mulai dari masa Marcos hingga UU yang dikelu­arkan masa Aquino (1980­an).

Gerakan pembaruan agraria di Filipina sebenarnyarelatif lebih progresif dibandingkan dengan gerakan serupadi negara­negara berkembang di sekitarnya (seperti Indo­nesia, Thailand). Adanya UU Land Reform membuatkerangka konstitusi gerakan pembaruan agraria menjadi

95

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

semakin maju, dan digunakan oleh gerakan petani macamUNORKA (Koordinasi Nasional Organisasi MasyarakatPedesaan yang Otonom) untuk melegitimasi okupasi lahanperkebunan dari satu area ke area lainnya.

Dalam perkembangannya, UU Land Reform Filipinaternyata masih memiliki berbagai celah dan dianggap masihpro­tuan tanah dan anti petani, seperti yang dicetuskan olehgerakan petani KMP (Gerakan Petani Filipina). Dan kini,seperti yang terjadi di belahan Asia Tenggara, UU inilahyang digembosi oleh Bank Dunia bersama regulasi lainnya.Tak pelak lagi, karena dukungan pemerintah yang dipenga­ruhi paham neoliberalisme dan pro­pasar, gerakan pem­baruan agraria pun mandeg. Hal ini terjadi di Filipina selamabelasan tahun terakhir, sama seperti fenomena di Thailanddan Indonesia.

b. Afrika: Market-assisted land reform di Afrika

Selatan dan Mesir

Kemiskinan bukan hal yang baru di daerah pedesaandi Afrika. Khususnya di Afrika Selatan, hal yang fenomenaladalah politik apartheid yang menindas kaum kulit hitamdi negara ini sejak tahun 1948. Pertanian di negara ini sepertiyang diterangkan Lebert (dalam Lubis (ed): 2000) adalahproses transformasi dari sistem sewa menyewa yang bebasmenjadi sistem penyewaan tenaga kerja. Sistem penyewaantenaga kerja ini juga berubah menjadi pekerja tani upahan,yang bersamaan waktunya dengan hilangnya akses ke sistemproduksi pertanian berbasiskan keluarga (family farming)yang subsisten—ciri khas pertanian Afrika.

Pengalaman penindasan kulit putih terhadap kulit hitam

96

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

juga terjadi terus­menerus dengan masuknya pasar yangmengalahkan produksi pedesaan—yang hampir seluruhnyadihuni kulit hitam. Terjadilah perubahan bentuk tenagakerja seperti diterangkan sebelumnya, dan kaum tani kecilkehilangan tanah sebagai sumber agraria utama mereka.Selanjutnya menurut Lebert, potensi peningkatan untukperpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian kenonpertanian pun meningkat. Jadilah kulit hitam buruh,bahkan menganggur. Apalagi, sistem perburuhan memangsengaja diikat oleh politik diskriminasi ras secara rep­resif.

Akibat dari proses transformasi agraria ini adalah kehan­curan orang­orang kulit hitam di Afrika Selatan. Kemiskinanyang dihasilkan terstruktur dalam hubungan ekonomi dansosial di daerah­daerah. Orang­orang asli Afrika hanyamenguasai 14 persen total tanah, sementara 86 persen sisa­nya dikuasai kulit putih. Pada awal era 90­an, ketimpangandigambarkan dengan 12 juta keluarga petani menguasai 17juta hektar lahan. Sementara, hanya 60 ribu orang menguasailebih dari 86 juta hektar. Kepemilikan lahan rata­rata diAfrika Selatan hanya 0.2 hektar per orang. Tak heran angkakemiskinan mencapai 74 persen dari total jumlah penduduk.

Bebasnya Afrika Selatan dari politik apartheid tahun1994 belum bisa menyejahterakan penduduknya yangmayoritas petani kala itu (walaupun mulai beralih menjadiburuh pertambangan dan industri di akhir era 90­an). PartaiANC (Kongres Nasional Afrika) yang berkuasa malahmengadopsi strategi pembaruan yang berorientasi pasardalam konteks hak milik yang dilindungi secara konstitu­sional.

97

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Di awal masa pasca­apartheid, program RDP (Recon-struction and Development Program) yang memasukkan landreform dan pembangunan pedesaan sebagai acuan. Namundi akhir 5 tahun masa redistribusi lahan yang berbasis pasar,program gagal di berbagai lapisan. Hal ini dikarenakan hanyakurang dari 1 persen lahan yang diredistribusi, dan hanyasedikit klaim tanah yang diproses.

Di tahap kedua, dimulai pada tahun 1999 dengan cam­pur tangan Departemen Urusan Tanah. Namun usaha­usahayang dilakukan untuk menjawab persoalan agraria menun­jukkan pendekatan yang minimalis dan ahistoris, yangselalu mengembalikan struktur ketimpangan ke mekanismepasar (dengan mengadopsi Washington Consensus dari IMFdan Bank Dunia). Sebagai hasilnya, banyak pengamatmengatakan bahwa akhirnya ketimpangan bukan lagidipengaruhi oleh ras, namun oleh kelas (yang memiliki uanglebih banyak memiliki tanah dengan sistem willing-seller-willing-buyer). Akhirnya land reform di Afrika Selatan telahgagal untuk mencapai hasil yang berarti, bahkan malah me­ningkatkan ketegangan di daerah dan menciptakan ancamankekacauan dan perampasan tanah.

Pengalaman di Mesir hampir sama, dan liberalisasi tanahdengan sistem sewa atau beli memang harus diwaspadai.Hingga tahun 1992, akses kepada lahan diatur dalam UUAgraria Tahun 1952 yang bertujuan melindungi petani skalakecil. Aturan­aturannya antara lain membatasi kepemilikanmaksimal lahan, mengatur harga sewa tanah, dan mengaturwarisan lahan kepada petani yang mengolah lahan sehinggasulit diusir dari lahan yang ditanaminya.

Dengan kerangka negosiasi Structural Adjustment Pro­

98

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

gram (SAP) dengan Bank Dunia dan IMF, dibuatlah UUReformasi Tanah tahun 1992. UU ini mengubah banyakaspek terutama pada jual­beli dan sewa tanah, dengan mele­paskannya pada mekanisme pasar. Akibatnya, biaya sewatanah meningkat lebih dari 300%. Alhasil, petani kecil tidaksanggup lagi bertani, dan program kredit yang menyertaipetani oleh Bank Dunia dan IMF tidak lagi berguna, karenabahkan tidak mencapai daerah pedesaan. Penerapan UUini juga cukup sadis, karena didukung oleh aparat dan peme­rintah yang represif. Tak jarang dalam penindasan dan peng­gusuran terhadap petani kecil, terjadi kekerasan yang dila­kukan oleh aparat (La Via Campesina dan FIAN: 2003).

c. Amerika Latin: Revolusi mewujudkan pembaruan

agraria

Hal yang berbeda ditemukan di Amerika Latin. Danjika membicarakan pembaruan agraria di Amerika Latin,maka kita harus merunut pada sepak terjang gerakan pem­baruan agraria populis dari MST (Organisasi Petani TakBertanah) di Brazil. MST merupakan sebuah gerakan sosialpaling fenomenal dalam sejarah Amerika Latin dan menjadimodel gerakan masyarakat sipil—terutama petani di dunia.Sejak tahun 1984, sekitar 250.000 keluarga telah berjuangmewujudkan pembaruan agraria, dengan mengokupasi tanahseluas 21 juta hektar lebih.

Gerakan ini berhasil mentransformasikan dirinyamenjadi gerakan dari bawah ke atas yang mencerminkanmasyarakat sipil (bottom-up) dan populis. Tercatat anggotaMST sekarang mencapai 2.5 juta orang lebih plus ratusanribu simpatisan (pendukung), dengan perkembangan tidak

99

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

hanya mengolah tanah, tapi juga mengembangkan alternatifsosial yang lebih dari itu. Untuk itulah di Amerika Latin,MST menjadi model pembaruan agraria yang sejati—karenacakupan makna pembaruan agraria yang diusungnya tidakberhenti hanya pada kepemilikan lahan, namun terus men­jadi sebuah perubahan sosial dari proses produksi, konsumsihingga distribusi kebutuhan anggotanya.

Dari hampir 2000 settlement (desa yang dibuat dariproses okupasi lahan) yang tersebar di 23 propinsi, kini MSTmulai memperlebar dan membuat gerakan pembaruan agra­ria menjadi masif. Hebatnya lagi, gerakan ini populer danmendapat dukungan rakyat sekitarnya. Hingga saat ini, ke­beradaan MST pun menjadi krusial di kancah politik,dengan perannya pada kemenangan Presiden Lula Inacioda Silva di dua kali pemilihan (2003 dan 2006). NamunMST tetap independen dan menomorsatukan kepentingananggotanya daripada politik praktis.

Tabel 1. Okupasi tanah dalam gerakan pembaruan agrariaoleh MST dalam periode 1990­1996

100

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Sementara sejak Juni 2006 kemarin, pemerintah Bo­livia telah menjalankan program negara yang ditunggu­tunggu petani: Revolusi Lahan. Dengan adanya revolusilahan, tanah milik pemerintah harus dibagi­bagi ke petanimiskin dan tak bertanah di Bolivia. Petani kaya pun taksenang, mereka menggalang kekuatan untuk menentangredistribusi lahan Bolivia. Pemerintah tak peduli, karenadampak pembagian lahan ini bagi kehidupan rakyat Bo­livia dipercaya nyata. Tanggal 3 Juni lalu, dieksekusilah tin­dakan pemerintah untuk membagikan 3,1 juta hektar lahanuntuk 60 kelompok masyarakat petani Indian.

Pembagian lahan tersebut merupakan rencana besarPresiden Evo Morales yang juga petani. Ia mendambakankesempatan yang sama, otonomi, dan terutama akses kepa­da lahan pada seluruh campesinos (petani) yang ada di negaratercintanya. Hal ini sudah menjadi pandangannya sejakbergabung dalam Partai MAS (Movimiento Al Socialismo),dan kampanye­kampanyenya menuju kursi kepresidenan.

Di Bolivia, gerakan pembaruan agraria sudah ditunggusejak lama, karena 90 persen lahan pertanian ternyata hanyadimiliki oleh beberapa keluarga. Sementara, sisa 10 persenlahan pertanian dibagi oleh 3 juta petani miskin. Sudahbertahun­tahun lamanya penindasan ini berlangsung, dansaat pembaruan agraria sejati dilaksanakan rakyat tertin­daslah yang bersorak. Pembaruan agraria di Bolivia danBrazil—serta Amerika Latin pada umumnya—bisa disebutprogram yang populis, karena sudah menjadi aspirasi mayo­ritas rakyat sejak lama. Kendalanya dulu hanya pada politi-cal will pemerintah yang tidak mendukung dan tidak ber­pihak kepada rakyat.

101

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Di Venezuela, dewasa ini juga terjadi proses yang samadengan dukungan Presiden Hugo Chavez. Kebijakan yangdiambil juga populis, dengan melibatkan organisasi macamCoordinadora Agraria Nacional Ezequiel Zamora (CANEZ).Gerakan ini dimulai pada tahun 2001 dengan gerakan po­pulis Kembali ke Desa (Vuelta al Campo) di bawah UU Tanahdan Pembangunan Pertanian. Di bawah gerakan pembaruanagraria era Chavez, telah diredistribusi tanah sebesar 2.2juta hektar kepada lebih dari 130 ribu keluarga tani. Semen­tara di jaman Bolivarian, pembaruan agraria juga sudahdilakukan dan dibagikan kepada 150 ribu keluarga tani.

Tabel 2. Jumlah warga negara (petani) yang mendapatkeuntungan dari gerakan pembaruan agraria diberbagai negara

Genuine agrarian reform vs Market-assisted land reform

102

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Tabel 3. Perbedaan antara pembaruan agraria sejati(genuine agrarian reform) dan pembaruan agrariapalsu (market-assisted land reform)

Syarat-syarat berhasilnya gerakan pembaruan agraria

Harus dimengerti, bahwa gerakan pembaruan agrariasebenarnya adalah gerakan yang bersifat sosial, yakni yangdikatakan Gunawan Wiradi (2004) lebih sebagai program

103

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

pemerataan. Hal ini menentang pandangan Bank Dunia,bahwa land reform yang dilakukan harus memperhatikanmelulu aspek ekonomi. Pandangan inilah yang membuatprogram land reform Bank Dunia malah tidak mengangkatrakyat dari kemiskinan, karena ahistoris dan tidak relevandengan kondisi sosial dan politik ekonomi rakyat. Pemba­ruan agraria juga setidaknya harus bersifat politis, sehinggatidak kehilangan maknanya sebagai jalan yang harus ditem­puh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.

Selanjutnya menurut Gunawan Wiradi (2004) harusada beberapa aspek yang diperhatikan dalam konsep danimplementasinya. Karena itu pembaruan agraria haruslahbersifat:

= “politically tolerable”= “economically viable”= “culturally understandable”= “socially acceptable”= “legally justifiable”= “technically applicable”Prasyarat terpenting dari pembaruan agraria agar berhasil

dilaksanakan adalah (menurut Cf. Russel King, 1977 sepertiyang dikutip dan diperbarui oleh Gunawan Wiradi, 2004):­ Kemauan politik (political will) dari pemerintah

Seringkali pemerintah di banyak negara tidak mendukungterwujudnya gerakan pembaruan agraria. Sebagian lagiada yang melakukannya setengah­setengah atau terputus,seperti pengalaman Filipina dan Indonesia yang hanyamelakukan gerakan pembaruan agraria yang direncanakansecara masif pada era 1960­an. Banyaknya tuntutanuntuk pelaksanaan pembaruan agraria sesegera mungkin

104

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

sebenarnya sudah terakumulasi di berbagai negara, sepertiFilipina, Indonesia, Thailand, India, Bangladesh, Srilanka,Argentina, Afrika Selatan, Mozambik, dan lainnya—namun kemauan politik dari pemerintah belum ada ataucukup kuat untuk melakukannya.

­ Organisasi rakyat, khususnya organisasi tani yang kuatPengalaman terbaik dari gerakan pembaruan agraria yangdidukung oleh organisasi rakyat yang kuat adalah mungkinBrazil, dengan gerakan rakyat populis­non kekerasanMST. Bolivia juga merupakan sebuah model yang patutmenjadi panutan, dengan gerakan petani koka (cocaleros)dalam partai MAS yang menyuarakan urgensi pembaruanagraria di masa pemerintahan Presiden Evo Morales.

­ Tersedianya data mengenai keagrariaan yang lengkap dan telitiSyarat ini tak kalah pentingnya, dan merupakan syarat teknisyang sangat dibutuhkan dalam mengidentifikasi objek landreform, siapa yang paling membutuhkan dan bagaimanadistribusinya. Di banyak negara, sering terlihat diciptakan­nya lembaga khusus untuk menangani masalah agraria,seperti Departemen Urusan Tanah di Afrika Selatan atauDepartemen Pembaruan Agraria di Filipina. Namun banyakdari tugas pokok mereka tidak dimengerti, karena keber­pihakan dan pengertian yang kurang terhadap konsep pem­baruan agraria sejati. Di Indonesia, beban berat ini dipikuloleh Biro Pusat Statistik dan Badan Pertanahan Nasional.

­ Dukungan dari pihak militerBanyak yang mengatakan bahwa pembaruan agraria diMesir didukung oleh pihak militer. Pendapat ini tidaksepenuhnya benar, karena pelaksanaan pembaruan agrariadi era kemerdekaan Mesir mungkin berlangsung relatif

105

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

lebih baik. Namun jika berbicara pasca masuknya BankDunia dan IMF, seringkali aparat malah merepresi petanikecil di sana. Dukungan militer juga terlihat labil di Mek­siko dewasa ini, karena gerakan pembaruan agraria olehrakyat seringkali ditekan oleh militer. Hasil yang relatifsukses adalah dukungan shogun terhadap pembaruanagraria Jepang, dan dukungan militer terhadap pembaruanagraria negara tersebut di tahun 1945­1951.

­ Elit penguasa harus terpisah dari elit bisnis

Tanah merupakan hal yang sensitif dan merupakan faktor

modal yang terpenting dalam bisnis. Terpisahnya elit

penguasa dari elit bisnis memungkinkan gerakan pem­

baruan agraria dilakukan secara bersih. Seringkali distorsi

kekuasaan terhadap faktor modal ditemukan di berbagai

negara, dikarenakan elit kekuasaan membutuhkan faktor

modal tersebut untuk memajukan bisnis pribadinya.

Kecenderungan korupsi dan kolusi juga bisa diminimal­

kan dalam gerakan pembaruan agraria, jika syarat ini

dipenuhi. Dengan demikian, gerakan pembaruan agraria

bisa luwes dan fokus untuk mencapai tujuannya yakni

kesejahteraan rakyat kecil dan petani.

­ Aparat birokrasi yang bersih, jujur, dan mengertiSyarat ini sebenarnya merupakan tambahan, namun takkalah pentingnya dari syarat­syarat sebelumnya. Khususuntuk birokrasi terutama di negara berkembang, perluberevolusi menjadi birokrasi yang progresif. Birokrasiharus menjadi penopang gerakan pembaruan agraria,karena dukungan birokrasi berarti akselerasi dari gerakanpembaruan agraria yang berlangsung.

106

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Pentingnya peran ormas tani dalam gerakan

pembaruan agraria

a. Sukses perjuangan ormas tani dalam mewujudkan

pembaruan agraria sejati

Sebagai salah satu syarat utama untuk berhasilnyagerakan pembaruan agraria, ormas tani jelas merupakanfaktor krusial. Hal ini dibuktikan dengan contoh keber­

hasilan di berbagai negara akhir­akhir ini, seperti di Brazil(MST) dan Bolivia (Consejo Andino de productores deCoca). Di berbagai negara, keberhasilan serupa coba dija­dikan panutan dalam menjadi indikator keberhasilanpemberdayaan rakyat kecil, dan model pembangunan pede­saan. Proses tersebut tentunya akan terus berlangsung,namun tentunya perlu diidentifikasi tentang ormas tanimacam apa yang harus berpengaruh dalam gerakanpembaruan agraria.

Menurut Harris Putra (dalam Pramono (ed): 2003)setidaknya ormas tersebut harus bersifat (1) pelakunyaharus kalangan rakyat tertentu yang mewakili, dalam halini adalah petani kecil dan tak bertanah (2) mempunyaigagasan, identitas, prinsip, nilai dan tujuan yang radikalhingga tercapai tujuannya; dalam hal ini berusaha meng­hilangkan akar struktural dari penindasan itu secara lang­sung maupun tidak langsung (3) memperkuat massanyadengan peningkatan kualitas maupun kuantitas (4) memilikitafsir dan analisis sosial tersendiri yang asli/orisinal dalammelihat realitas (5) memiliki gagasan dan alternatif praktissebagai penjabaran konkrit cita­cita organisasi (6) mem­punyai komunitas atau massa pengusung utama gagasan

107

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

tersebut yang mempraktekkannya dalam kehidupan sehari­hari (7) berkesinambungan dan (8) adanya rangkaian aksiberkelanjutan.

Dengan terpenuhinya syarat­syarat di atas, maka ormastani harus berperan aktif dengan memposisikan dirinyasebagai kelompok penekan (pressure group), terutama terha­dap pihak yang memiliki akses untuk memproduksi danmempengaruhi kebijakan agraria. Ormas tani harus berpo­sisi sebagai pihak yang mendesakkan, merencanakan, melak­sanakan, menikmati serta mengontrol proses pembaruanagraria. Ormas tani juga harus menempatkan diri secara seta­ra dan saling memberikan dukungan dan kerjasama dengansesama kaum tertindas lainnya (buruh, nelayan, kaum mis­kin kota), dan mampu menempatkan diri dalam percaturanpolitik ekonomi baik di dalam maupun luar negeri. Hal inimengingat penguatan gerakan pembaruan agraria sebagaipraktek di dalam negeri, ia juga mendapatkan potensi du­kungan dan rintangan di dalam negeri maupun dalam kancahinternasional.

Sedangkan peran sukses ormas tani dalam gerakanpembaruan agraria bisa mendukung proses yang digam­barkan seperti tabel di bawah. Seperti dikatakan sebelumnya,cakupan definisi pembaruan agraria sangat mempengaruhiidentifikasi pada objek pembaruan agraria yang hendak dica­pai. Sebagai bagian penting dari gerakan pembaruan agraria,ormas tani juga harus berperan sebagai bagian integralgerakan sosial yang lebih luas di dalam dan luar negeri. Da­lam proses ini, ormas tani harus terlibat sebagai konsolidatorutama kekuatan petani, juga untuk pemenuhan kebutuhanpraktis petani. Hal ini bisa dilakukan dalam seluruh proses

108

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

mulai dari kepemilikan alas produksi, proses produksi, bah­kan hingga pasca produksi.

Grafik: cakupan gerakan pembaruan agraria

b. Suara yang mulai terdengar: pengaruh gerakan

petani dalam forum dunia

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa ormas tanidalam gerakan pembaruan agraria harus juga berperan seba­gai bagian integral gerakan sosial yang lebih luas di dalamdan luar negeri—hal ini menjadi fenomena yang tidak ter­bantahkan dewasa ini. Solidaritas petani internasional telahmengkristal dalam perjuangan melawan neoliberalisme;yaitu paham yang dipercaya menjadi momok atas pelak­sanaan gerakan pembaruan agraria di seluruh dunia.Neoliberalisme mewujud dalam kebijakan­kebijakan yangdipaksakan oleh World Bank dan IMF dalam bidang agrariadan pertanian—seperti yang terjadi dalam kasus Land Ad­ministration Project (LAP) I dan II di Indonesia pada kurunwaktu 1995­1999 dan 2001­2004, dan implementasi LPRR(Land Policy Research Report) dan Land Policies for Growth andPoverty Reduction di berbagai belahan dunia lain.

Solidaritas petani ini terwujud dalam sebuah wadahgerakan petani internasional, La Via Campesina, berdiri

109

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

pada tahun 1992. La Via Campesina merupakan gerakanpetani internasional yang mengkoordinasikan organisasipetani, terdiri dari produsen kecil dan medium, buruh tani,petani tak bertanah, petani perempuan, dan masyarakatadat. Sifatnya otonom, pluralistik dan independen daridenominasi politik, ekonomi atau lainnya. Organisasi initerintegrasi dari organisasi petani nasional dan regional yangsangat dihormati, yang berada di hampir seluruh bagiandunia: dari Eropa hingga Asia, Amerika hingga Karibia, sam­pai Afrika.

Permasalahan petani yang utama, seperti mendesaknyadilaksanakan pembaruan agraria di berbagai negara terusdisuarakan. Sementara itu, gerakan pembaruan agraria terusberjalan di negara­negara dan didukung oleh peran ormastani seperti di Brazil, Venezuela, Bolivia, Indonesia, Thai­land, Filipina, India, Bangladesh, Jepang, Afrika Selatan,dan negara lainnya. Gerakan nyata ini mendapat sambutanyang baik, disamping aksi secara terus­menerus yang dila­kukan oleh petani. Hal ini tak lain juga karena alternatifyang diusulkan oleh petani di seluruh dunia memangmenyentuh masalah mendasar yang diderita rakyat. Gerakanpembaruan agraria sejati menjadi alternatif untuk mengu­rangi angka kemiskinan di pedesaan, seperti yang sudahdijabarkan sebelumnya.

Kini, suara petani sudah bisa mempengaruhi kebijakandi tingkat nasional maupun internasional. Seperti yangdilakukan La Via Campesina dalam tuntutannya dalamlingkup global, menekankan pentingnya pembaruan agrariasebagai jawaban bagi kelaparan dan kemiskinan di dunia.Dalam ICARRD (International Conference on Agrarian

110

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Reform and Rural Development) di Porto Alegre ­ Brasil 6Maret 2006 lalu, usulan tersebut diterima dan diamini olehbanyak pihak.

Pada acara pembukaan ICARRD yang dihadiri olehWakil Presiden Brasil tersebut, Henry Saragih yang meru­pakan Sekretaris Jenderal dari Federasi Serikat Petani In­donesia (FSPI) sekaligus General Coordinator organisasidunia buruh tani dan petani kecil La Via Campesina mem­berikan pidato. Dalam pidato tersebut disampaikan bahwasemakin banyaknya petani yang kehilangan tanah perta­niannya adalah disebabkan oleh kebijakan yang diambil olehlembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMFdan WTO. Upaya untuk kembali melaksanakan pembaruanagraria kali ini seharusnya juga dijalankan dengan komitmenpenuh, yaitu pembaruan agraria yang integral dan sejati,yaitu benar­benar mendistribusikan lahan pertanian. Dalampidato tersebut ditekankan pula bahwa bukan pembaruanagraria dengan pendekatan pasar (market-assisted land reform)yang ditawarkan Bank Dunia yang diinginkan petani, danpembaruan agraria palsu tersebut telah terbukti berdampakburuk dalam berbagai prakteknya.

Pembaruan agraria yang integral dan sejati adalah ada­nya distribusi lahan subur kepada petani, termasuk juga pem­berian hak kepada petani untuk mengontrol air, benih,keanekaragaman hayati, teknologi untuk memproduksipertanian berdasarkan prinsip kedaulatan pangan (food sov-ereignty). Konsep kedaulatan pangan ini juga sudah diadopsiFAO bersama dalam pembaruan agraria sejati sebagaialternatif petani untuk menanggulangi masalah kemiskinandan pembangunan. Kedaulatan pangan dengan bersendikan

111

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

pembaruan agraria juga sudah menjadi paradigma kebijakandi berbagai negara, seperti Kuba, Mali dan Venezuela.

Daftar Pustaka

Gunawan Wiradi, Dampak Land Reform terhadap PerekonomianNegara, 2004

Indra Lubis (ed), Membongkar Kepalsuan Land Reform BankDunia, Petani Press, Jakarta: 2003

La Via Campesina, Rice and Food Sovereignty in Asia Pacific,2006

La Via Campesia dan FIAN (FoodFirst Information andAction Network), Global Campaign for Agrarian Re-form Working Document: Commentary on Land andRural Development Policies of the World Bank, 2003

Saturnino Borras Jr, La Vía Campesina: An EvolvingTransnational Social Movement, TNI Briefing Series6: 2004

Seth Delong, Land Reform in Venezuela, Counterpunch,Weekend Editon: 2005

Syaiful Bahari, Pembaruan Agraria Yang Dilupakan, 2004Tejo Pramono (ed), Melawan Neoliberalisme, Petani Press,

Jakarta: 2003

112

*) Fenta Peturun adalah aktivis Dewan Rakyat Lampung.

OlehOleh; ; FentaFenta PeturunPeturun

““LandasanLandasanPolitikPolitik, , HukumHukum, , SosialSosial dandan EkonomiEkonomi untukuntuk

PelaksanaanPelaksanaan Program Program PembaruanPembaruanAgrariaAgraria NasionalNasional””..

Medan, 15 November 2006Medan, 15 November 2006

Di Lampung, Di Lampung, meskipunmeskipun kontribusikontribusi sektorsektor pertanianpertaniansangatsangat besarbesar terhadapterhadap perekonomianperekonomian daerahdaerah dandannasionalnasional, , namunnamun kesejahteraankesejahteraan petanipetani tidaktidak mengalamimengalami

PengalamanPengalaman GerakanGerakan PetaniPetani Lampung Lampung dalamdalamInisiatifInisiatif PelaksanaanPelaksanaan PembaruanPembaruan AgrariaAgraria

perubahanperubahan. . Kondisi kemiskinan petani terlihat dari Kondisi kemiskinan petani terlihat dari rendahnyarendahnya tingkattingkat kesehatankesehatan ((gizigizi burukburuk), ), rendahnyarendahnyatingkattingkat pendidikanpendidikan dandan putusputus sekolahsekolah, , pengangguranpengangguran--kehilangankehilangan pekerjaanpekerjaan. . BerdasarkanBerdasarkan data data BadanBadan PusatPusatStatistikStatistik (BPS) Lampung (BPS) Lampung tahuntahun 2005 2005 daridari total total jumlahjumlahpendudukpenduduk Lampung 7.093.049 Lampung 7.093.049 jiwajiwa, , penduduk miskin di penduduk miskin di Lampung sebesar 1.561.931 jiwa 22% dari total Lampung sebesar 1.561.931 jiwa 22% dari total p g jp g jpenduduk Lampung dan 70.23% penduduk miskin penduduk Lampung dan 70.23% penduduk miskin bekerja di sektor pertanian. Jumlah ini menjadikan bekerja di sektor pertanian. Jumlah ini menjadikan propinsi Lampung propinsi Lampung beradaberada padapada posisiposisi keke--8 8 propinsipropinsitermiskintermiskin daridari 33 33 propinsipropinsi yang yang adaada. . KetertinggalanKetertinggalan desadesadidi Lampung Lampung beradaberada padapada posisiposisi keke--12, 12, dengandengan jumlahjumlahdesadesa tertinggaltertinggal terbanyakterbanyak keke--2 2 didi PulauPulau Sumatera. Sumatera.

PENGALAMAN GERAKAN PETANI LAMPUNGDALAM INISIATIF PELAKSANAAN

PEMBARUAN AGRARIA

113

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

SecaraSecara umumumum IssuIssu besarbesar konflikkonflik pertanahanpertanahan yang yang terjaditerjadi didi ProvinsiProvinsi Lampung Lampung dibagidibagi atasatas 5 (lima) 5 (lima) issuissuyaituyaitu; ; KonflikKonflik Tanah Tanah KehutananKehutanan, , KonflikKonflik PertanahanPertanahan

Konflik Pertanahan di LampungKonflik Pertanahan di Lampung

yy ;; ,,Perkebunan, Perkebunan, KonflikKonflik Tanah Tanah PengembanganPengembangan Kota, Kota, KonflikKonflik Tanah Tanah AntaraAntara KelompokKelompok Rakyat Rakyat dandan IndividuIndividuyang yang mempunyaimempunyai kekuatankekuatan politikpolitik dandan modal modal dandanKonflikKonflik Tanah Tanah TransmigrasiTransmigrasi. .

Dari Dari sisisisi kategorikategori jenisjenis konflikkonflik dapatdapat dibagidibagi dalamdalamduadua kategorikategori konflikkonflik yaituyaitu

PertamaPertama;; konflikkonflik vertikalvertikal dimanadimana kekuatankekuatanPertamaPertama; ; konflikkonflik vertikalvertikal dimanadimana kekuatankekuatanrakyatrakyat berhadapanberhadapan langsunglangsung dengandengan kekuatankekuatanNegara Negara dandan kekuatankekuatan pemilikpemilik modal, modal,

KeduaKedua; ; konflikkonflik horizontal horizontal dimanadimana antaraantarakelompokkelompok rakyatrakyat salingsaling berhadapanberhadapan akibatakibatkebijakankebijakan yang yang dikeluarkandikeluarkan oleholeh negaranegara..

GambaranGambaran KasusKasus pertanahanpertanahan didi PropinsiPropinsiLampung yang Lampung yang tersebartersebar didi 10 10 kabupatenkabupaten//kotakotaberdasarkanberdasarkan::

MenurutMenurut Biro Tata Biro Tata PemerintahanPemerintahan PropinsiPropinsi Lampung Lampung padapada tahuntahun 2000 2000 telahtelah mendatamendata sebanyaksebanyak 327 327 kasuskasus, , tahuntahun 2004 2004 sebanyaksebanyak 47 47 kasuskasus dandan tahuntahun2005 2005 sebanyaksebanyak 51 51 kasuskasus dengandengan jenisjenis kasuskasusmeliputimeliputi tumpangtumpang tindihtindih kepemilikankepemilikan: : antaraantarapemerintahpemerintah dengandengan masyarakatmasyarakat, , masyarakatmasyarakatdengandengan pengusahapengusaha. .

SedangkanSedangkan berdasarkanberdasarkan data data kasuskasus yang yang didi terimaterimal hl h k ( )k ( ) bboleholeh DewanDewan Rakyat Lampung (DRL) Rakyat Lampung (DRL) bersamabersama LBH LBH

Bandar Lampung, Bandar Lampung, konflikkonflik pertanahanpertanahan yang yang tersebartersebardidi 10 10 kabupatenkabupaten//kotakota didi ProvinsiProvinsi Lampung Lampung daridaritahuntahun 1998 1998 sampaisampai dengandengan tahuntahun 2005 2005 tercatattercatat 89 89 konflikkonflik dengandengan luasluas tanahtanah 350.225,77 Ha 350.225,77 Ha dandankorbankorban sebanyaksebanyak 131.397 KK. 131.397 KK.

114

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Tabel Kasus Pertanahan

BerdasarkanWilayah

NoNo Wilayah konflikWilayah konflik Jumlah Jumlah KasusKasus

JumlahJumlah korbankorban ((kkkk)) Luas lahan (Ha)Luas lahan (Ha)

11 Lampung UtaraLampung Utara 1111 2,320 2,320 10,59810,598

22 Lampung TimurLampung Timur 1616 22,290 22,290 56,451.30 56,451.30

33 Lampung SelatanLampung Selatan 1919 29,627 29,627 56,896.22 56,896.22

44 Lampung BaratLampung Barat 55 6,399 6,399 63,030 63,030

55 Lampung TengahLampung Tengah 55 865 865 1,176.75 1,176.75

66 Tulang BawangTulang Bawang 2020 59,284 59,284 110,407 110,407

77 Way KananWay Kanan 88 9,2449,244 51,146.551,146.5

88 TanggamusTanggamus 11 84 84 50 50

99 Bandar LampungBandar Lampung 44 1,284 1,284 470 470

Jumlah Jumlah 8989 131,397131,397 350,225.77 350,225.77

Sumber : olah data Departemen Pendidikan & Informasi DRL, 2005

Tabel di atas berdasarkan tipologi konflik dan dampaknya

terhadap korban contoh kasusnya sebagai berikut:

Pertama, konflik pertanahan antara petani plasma kelapasawit dengan perusahaan (PT BNIL) seperti yang terjadi diKec Pakuon Ratu dan Negara Batin Kab Way Kanan denganKec. Pakuon Ratu dan Negara Batin Kab.Way Kanan denganluas lahan ± 9.038 Ha. Dengan jumlah peserta plasmanya1012 KK. Konflik ini dilalarbelakangi oleh pola kemitraan yang merugikan petani karena tidak transparanya pihakmanajemen dengan Petani. Akibatnya setelah melakukanrotasi panen sebanyak dua kali dalam setiap bulan, padasetiap triwulan petani hanya mendapatkan hasil rata–rata Rp.20.000 s/d Rp. 70.000/Ha, dan sejak tahun 2002 sampaiRp.20.000 s/d Rp. 70.000/Ha, dan sejak tahun 2002 sampaidengan sekarang peserta plasma harus menanggung bebanhutang berturut-turut Rp.6 juta pada tahun 2002 Rp.8 jutapada tahun 2003, Rp.10 juta pada tahun 2004 dan Rp. 20 juta(tahun 2005) sampai dengan sekarang nasib petani tidakmenentu, kehilangan pekerjaan sekaligus kehilangan lahanuntuk penghidupan

115

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

KeduaKedua KonflikKonflik petanipetani dengandengan DepartemenDepartemen KehutananKehutanansepertiseperti terjaditerjadi didi Register 37 Register 37 dandan Register 40 yang Register 40 yang terletakterletakdidi KabupatenKabupaten Lampung Selatan Lampung Selatan dandan KabupatenKabupaten Lampung Lampung TimurTimur. Tanah yang . Tanah yang disengketakandisengketakan seluasseluas ±± 60.000 Ha 60.000 Ha terdiriterdiri daridari Register 37 Register 37 seluasseluas 20.000 Ha 20.000 Ha dandan Register 40 Register 40 seluasseluas 40. 000 Ha. 40. 000 Ha. PemicuPemicu konflikkonflik terjaditerjadi akibatakibatk tid k tik tid k ti h kh k t tt t l hl h hihi ki iki i b lb lketidakpastianketidakpastian hukumhukum, status , status lahanlahan hinggahingga kinikini belumbelummemilikimemiliki kejelasankejelasan. . SedangkanSedangkan petanipetani sejaksejak tahuntahun 1999 1999 telahtelah mendudukimenduduki lahanlahan tersebuttersebut. .

KetigaKetiga,, konflikkonflik tanahtanah petanipetani dengandengan pengembangpengembang real real estate estate sepertiseperti terjaditerjadi didi DesaDesa JatimulyoJatimulyo dandan Way Way HuiHui KecKec. . JatiJati AgungAgung, , KabKab Lampung Selatan Lampung Selatan dengandengan jumlahjumlahpendudukpenduduk sebanyaksebanyak 280 KK 280 KK dandan luasluas tanahtanah 300 Ha. 300 Ha. AkibAkib b kb k 263 KK263 KK l hl h k hilk hilAkibatnyaAkibatnya sebanyaksebanyak 263 KK 263 KK telahtelah kehilangankehilanganpekerjaannyapekerjaannya sebagaisebagai petanipetani. Dan . Dan ±± 90 90 orangorang sekarangsekarangmenjadimenjadi buruhburuh tanitani, , sisanyasisanya jadijadi pekerjapekerja serabutanserabutan. . KetikaKetikadiawaldiawal tahuntahun 1985 1985 daerahdaerah iniini salahsalah satusatu penghasilpenghasil terbesarterbesarsayursayur––sayuransayuran untukuntuk dipasarkandipasarkan keke Bandar Lampung ( Bandar Lampung ( mulaimulai konflikkonflik tahuntahun 1993 ). 1993 ). KeempatKeempat konflikkonflik tanahtanah antaraantaramasyarakatmasyarakat dengandengan pemerintahpemerintah dalamdalam ((mulaimulai konflikkonfliktahuntahun 1980).1980).

KeempatKeempat,, KonflikKonflik tanahtanah antaraantara masyarakatmasyarakat dengandenganpemerintahpemerintah dalamdalam halhal iniini, , DinasDinas transmigrasitransmigrasi sepertisepertiterjaditerjadi didi DesaDesa KertasariKertasari TulangTulang BawangBawang. . KonflikKonflik iniini seluasseluas214 Ha 214 Ha dengandengan jumlahjumlah pendudukpenduduk sebanyaksebanyak 122 KK. 122 KK. AkibatAkibatkonflikkonflik PetaniPetani harusharus bertahanbertahan hiduphidup dengandengan ¼ ha (2500 ¼ ha (2500 M) M) lahanlahan perumahanperumahan, (, (mulaimulai konflikkonflik tahuntahun 1980).1980).

KelimaKelima, , konflikkonflik petanipetani didi 11 11 DesaDesa KecamatanKecamatan BanjarBanjarAgungAgung TulangTulang BawangBawang dengandengan pengusahapengusaha perkebunanperkebunansebanyaksebanyak 5.512 KK 5.512 KK pesertapeserta TranslokTranslok kehilangankehilangan lahanlahanperumahanperumahan dandan peladanganpeladangan seluasseluas 11.217,22 Ha. 11.217,22 Ha. setelahsetelahwargawarga menuntutmenuntut melaluimelalui pendudukanpendudukan lahanlahan awalawal tahuntahun1999 1999 hanyahanya seluasseluas 361 Ha yang 361 Ha yang dikuasaidikuasai untukuntuk 722 KK ( 722 KK ( 0 5 H /KK )0 5 H /KK ) d kd k dd t ht h 19991999 200020000,5 Ha./KK ) 0,5 Ha./KK ) sedangkansedangkan padapada tahuntahun 19991999--2000 yang 2000 yang mendapatmendapat konvensasikonvensasi penggantianpenggantian tanahtanah 1.405 KK 1.405 KK masingmasingKK KK seluasseluas rata rata –– rata 7000 rata 7000 –– 8000 M, 8000 M, tahuntahun 2001 2001 sebanyaksebanyak 204 KK 204 KK masingmasing –– masingmasing 1 Ha 1 Ha dengandengan status status tanahtanah banyakbanyak yang yang bermasalahbermasalah dandan 42 KK 42 KK hanyahanyamendapatmendapat 800 M. 800 M. sisanyasisanya 3.139 KK 3.139 KK adaada yang yang menjadimenjadiburuhburuh, , buruhburuh tanitani dandan pekerjapekerja serabutanserabutan. .

116

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

PerubahanPerubahan situasisituasi politikpolitik padapada tahuntahun1998 1998 setelahsetelah jatuhnyajatuhnya OrbaOrba, , membangunkanmembangunkan kesadarankesadaran masyarakatmasyarakattentangtentang hakhak--haknyahaknya atas lahan garapan atas lahan garapan

ll i ii i didiyang yang selamaselama iniini didi rampasrampas. .

KesadaranKesadaran atasatas permasalahanpermasalahan sosialsosial, , politikpolitik, , ekonomiekonomi dandan pertanahanpertanahan yang yang dialamidialami oleholeh masyarakatmasyarakat khususnyakhususnya dididaerahdaerah konflikkonflik dampingandampingan, , mengarahkanmengarahkanprogramprogram kerjakerja DRLDRL dandan LBH BandarLBH Bandarprogram program kerjakerja DRL DRL dandan LBH Bandar LBH Bandar Lampung Lampung melakukanmelakukan upayaupaya--upayaupayaintensifintensif dalamdalam rangkarangka mendorongmendorongpenyelesaianpenyelesaian konflikkonflik pertanahanpertanahan secarasecaradamaidamai dandan berkeadilanberkeadilan. .

DalamDalam PerjuangannyaPerjuangannya DRL DRL dandan LBH Bandar Lampung LBH Bandar Lampung terfokusterfokuspadapada duadua arasaras yakniyakni, ,

PerjuanganPerjuangan padapada arasaras penguatanpenguatan rakyatrakyat; DRL ; DRL bersamabersama petanipetanimembentukmembentuk poskoposko--poskoposko reformasireformasi ((organisasiorganisasi rakyatrakyat yang yang berbasiskanberbasiskan didesadidesa) ) didi setiapsetiap wilayahwilayah konflikkonflik, , dimanadimana poskoposkomenjadimenjadi pusatpusat informasiinformasi dandan pendidikanpendidikan gunaguna memberikanmemberikanpendidikanpendidikan dandan membangunmembangun kesadarankesadaran ekonomiekonomi dandan politikpolitikpp gg ppsertaserta hukumhukum kepadakepada petanipetani sekaligussekaligus mendorongmendorong dandanmemperkuatmemperkuat soliditassoliditas diantaradiantara petanipetani. . MelalauiMelalaui OrganisasiOrganisasirakyatrakyat iniini lahlah, , semuasemua persoalanpersoalan yang yang dihadapidihadapi masyarakatmasyarakatdimusyawarahkandimusyawarahkan untukuntuk menghindarimenghindari caracara--caracara kekerasankekerasan..

PerjuanganPerjuangan padapada arasaras politikpolitik: : PadaPada arasaras politikpolitik perjuanganperjuangandilakukandilakukan dengandengan melakukanmelakukan pendekatanpendekatan elite. elite. KeberhasilanKeberhasilanyang yang cukupcukup signifikansignifikan padapada arasaras iniini dengandengan dibentuknyadibentuknya Tim Tim 13 13 padapada tanggaltanggal 26 26 AgustusAgustus 1998, 1998, timtim iniini terdiriterdiri daridari berbagaiberbagaiunsurunsur : 8 (: 8 (delapandelapan) ) orangorang presidium DRL presidium DRL termasuktermasuk 2 (2 (duadua) ) perwakilanperwakilan LBH Bandar Lampung LBH Bandar Lampung dandan 5 (lima) 5 (lima) daridari PempropPempropLampung. Tim Lampung. Tim iniini bertugasbertugas menyelesaianmenyelesaian konflikkonflik pertanahanpertanahanyang yang ditanganiditangani oleholeh DRL DRL dandan LBH Bandar Lampung. LBH Bandar Lampung. SayangnyaSayangnya timtim iniini bekerjabekerja efektifefektif sampaisampai dengandengan tahuntahun 20002000

117

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

PembaharuanPembaharuan AgrariaAgraria PadaPadaTahapTahap ReclaimingReclaiming

MengindentifikasiMengindentifikasi bahwabahwa kasuskasus--kasuskasus tanahtanah yang yang akanakanditanganiditangani adalahadalah parapara petanipetani miskinmiskin yang yang taktak bertanahbertanah

MemberikanMemberikan penyadaranpenyadaran dalamdalam bentukbentuk mimbarmimbarbebasbebas//rapatrapat--rapatrapat umumumum//diskusidiskusi--diskusidiskusi kelompokkelompok kepadakepadamasyarakatmasyarakat

PembangunPembangun organisasiorganisasi rakyatrakyat ditingkatanditingkatan desadesa sampaisampaidengandengan kelompokkelompok--kelompokkelompok yang yang berbasiskanberbasiskan petanipetani--petanipetanimiskinmiskin yang yang taktak bertanahbertanah

DalamDalam perencananperencanan program, program, MasyarakatMasyarakat terlibatterlibat secarasecara aktifaktifmenentukanmenentukan rencanarencana--rencanarencana kegiatankegiatan

PenentuanPenentuan pembagianpembagian lahanlahan yang yang kesepakatankesepakatan secarasecarabersamabersama oleholeh masyarakatmasyarakat melaluimelalui musyawarahmusyawarah secarasecara adiladiluntukuntuk menentukanmenentukan peruntukanperuntukan tanahtanah ((untukuntuk fasilitasfasilitas umumumum, , lahanlahan pekaranganpekarangan rumahrumah dandan lahanlahan pertanianpertanian) ) berdasarkanberdasarkanluasluas lahanlahan dandan jumlahjumlah anggotaanggota

Data ReData Re--claiming Lampungclaiming LampungSecara terorganisir petani yang tergabung dalam Dewan Secara terorganisir petani yang tergabung dalam Dewan Rakyat Lampung telah melakukan ReRakyat Lampung telah melakukan Re--claiming atas tanah claiming atas tanah tanpa terjadi konflik atau kekerasan seluas 25 975 22 Hatanpa terjadi konflik atau kekerasan seluas 25 975 22 Hatanpa terjadi konflik atau kekerasan seluas 25.975,22 Ha. tanpa terjadi konflik atau kekerasan seluas 25.975,22 Ha. Yang tersebar di 8 kabupaten.Yang tersebar di 8 kabupaten.

yang menarik Reyang menarik Re--claiming tanah yang dilakukan DRL juga claiming tanah yang dilakukan DRL juga diikuti oleh masyarakat, atas inisiatif masyarakat sendiri diikuti oleh masyarakat, atas inisiatif masyarakat sendiri tanpa dukungan pihak luar dengan jumlah tanah seluas tanpa dukungan pihak luar dengan jumlah tanah seluas 57,986 Ha yang tersebar di 16 lokasi, melebihan dari re57,986 Ha yang tersebar di 16 lokasi, melebihan dari re--claiming secara terorganisir oleh DRL. (misalnya: kawasan claiming secara terorganisir oleh DRL. (misalnya: kawasan k h t )k h t )kehutanan). kehutanan).

Hal ini membuktikan bahwa pembaharuan agrarian pada Hal ini membuktikan bahwa pembaharuan agrarian pada tanah redistribusi lahan yang didasarakan pada tanah redistribusi lahan yang didasarakan pada kesepakatan bersama melalui cara musyawarah dapat kesepakatan bersama melalui cara musyawarah dapat berjalan efektif tanpa menimbulkan konflik. berjalan efektif tanpa menimbulkan konflik.

118

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

MasalahMasalah Yang Yang DihadapiDihadapi PetaniPetaniPertamaPertama,, terbatasnyaterbatasnya aksesakses sumbersumber permodalanpermodalan dandanpemasaranpemasaran//distribusidistribusi yang yang diiringidiiringi dengandengan rendahnyarendahnya kualitaskualitas SDM SDM iniini berakibatberakibat rendahnyarendahnya produktivitasproduktivitas. . DisisiDisisi lain lain ketergantunganketergantunganpetanipetani terhadapterhadap pengijonpengijon dandan tengkulaktengkulak membuatmembuat nilainilai tukartukar hasilhasilproduksiproduksi petanipetani rendahrendah. .

KeduaKedua ketidakpastianketidakpastian atasatas ketersediaanketersediaan saprodisaprodi sepertiseperti:: bibitbibitKeduaKedua,, ketidakpastianketidakpastian atasatas ketersediaanketersediaan saprodisaprodi sepertiseperti: : bibitbibit, , pupukpupuk dandan obatobat--obatanobatan kalaupunkalaupun adaada hargaharga yang yang harusharus dibayardibayar oleholehpetanipetani pun pun sangatsangat tinggitinggi, , sehinggasehingga seringkaliseringkali biayabiaya produksiproduksi jauhjauhmelampauimelampaui hasilhasil produksiproduksi.. ..

KetigaKetiga, , rendahnyarendahnya penguasaanpenguasaan teknologiteknologi ; ; MinimnyaMinimnya modal modal padapadapetanipetani dibarengidibarengi dengandengan caracara produksiproduksi yang yang relatifrelatif tradisionaltradisional. . MasihMasihrendahnyarendahnya penggunaanpenggunaan teknologiteknologi pengolahanpengolahan produkproduk pertanianpertanianberakibatberakibat padapada rendahnyarendahnya produktivitasproduktivitas dandan nilainilai tambahtambah produkprodukpertanianpertanian. .

KeempatKeempat, , lemahnyalemahnya infrastrukturinfrastruktur––fasilitasfasilitas umumumum didi perdesaanperdesaan; ; AksesAkses petanipetani terhadapterhadap prasaranaprasarana dandan saranasarana transportasitransportasi jugajugamenghambatmenghambat pemasaranpemasaran produkproduk pertanianpertanian sehinggasehingga menekanmenekan hargahargaprodukproduk dandan kebutuhankebutuhan produksiproduksi petanipetani..

KelimaKelima,, llemahnyaemahnya kepastiankepastian hukumhukum penguasaanpenguasaan tanahtanah dandantidakadanyatidakadanya perlindunganperlindungan terhadapterhadap hakhak petanipetani..

KondisiKondisi inilahinilah, yang , yang menjadimenjadi pemicupemicurendahnyarendahnya kondisikondisi sosialsosial ekonomiekonomi

masyarakatmasyarakat Lampung Lampung dengandengantingginyatingginya angkaangka kemiskinankemiskinantingginyatingginya angkaangka kemiskinankemiskinan, ,

pengangguranpengangguran dandan rendahnyarendahnya mutumutukesehatankesehatan masyarakatmasyarakat. . DalamDalam kontekskonteksiniini keberadaankeberadaan DRL DRL sebagaisebagai organisasiorganisasirakyatrakyat bersamabersama yang yang concern concern terhadapterhadap

persoalanpersoalan pertanahanpertanahan mendukungmendukungb hb h iiprogram program pembaharuanpembaharuan agrariaagraria

nasionalnasional gunaguna pengentasanpengentasankemiskinankemiskinan dandan pengangguranpengangguran

LANDASAN POLITIKDAN HUKUM PELAKSANAAN

PEMBARUAN AGRARIA

120

KERANGKA POLITIK BAGIPELAKSANAAN PEMBARUAN AGRARIA

Dr (IPB) H. Bomer Pasaribu, SH, SE, MS*

I. Pendahuluan

Dalam ilmu sosial, politik, hukum, dan ekonomi, sum­ber daya agraria1 menduduki posisi yang sangat signifikan,karena merupakan penunjang seluruh aspek kehidupanmanusia dan menjadi katalisator keberadaan/keberlanjutansuatu bangsa. Berhasilnya suatu pembangunan sangat diten­tukan oleh kemampuan mengatasi persoalan agraria/perta­

*) Wakil Ketua Badan Legislasi DPR & Anggota Komisi IV, DosenPascasarjana IPB, Ketua Umum HPWD (Himpunan Ahli Perencanaan& Pembangunan Wilayah dan Perdesaan), & Mantan Menteri TenagaKerja RI.

1 Agraria dalam arti sempit hanya mencakup tanah pertaniansebagaimana berasal dari kata agrarius/agros (Yunani), sedangkan dalampengertian luas adalah sebagaimana diatur dalam UU RI No. 5 Tahun1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yaitumeliputi: bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, VidePasal 1 UUPA.

121

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

nahan. Untuk itu, sebagai sumber penghidupan rakyat padaumumnya dan para petani khususnya, perlu dilakukan upayapenanganan yang lebih instensif. Upaya yang telah dilakukanuntuk memperbaiki hubungan antara manusia dengan sum­ber daya alam berupa tanah ini disebut dengan AgrarianReform atau Landreform (pembaruan agraria/pertanahan).

Pengertian agrarian reform atau landreform secara khususadalah sebagai upaya yang luas dari Pemerintah yang men­cakup berbagai kebijakan pembangunan melalui redistribusitanah. Terminologi ini juga sering dipakai untuk menun­jukkan peralihan kepemilikan tanah dari kelompok minoritasyang memiliki tanah secara berlebihan (misalnya tanah per­kebunan, plantation, dan agribisnis), yang disebut tuan tanahatau kaum feodal, kepada orang atau kelompok orang yangberkerja pada lahan tersebut (buruh tani).2 Sedangkan me­nurut Ghimire, Landreform didefinisikan sebagai perubahanbesar dalam struktur agraria, yang membawa peningkatanakses petani miskin pada lahan, serta kepastian penguasaan(tenure) bagi mereka yang menggarap lahan. Termasuk jugaakses pada input pertanian, pasar serta jasa­jasa dan kebu­tuhan pendampingan lainnya.3

Ditinjau dari perspektif politis, kebijakan agrarian re-form/landreform sangat penting untuk dilaksanakan, hal inisebagaimana dikemukakan oleh Ghimire bahwa asumsi dam­pak dari dilaksanakannya program landreform, yaitu: “Land-

2 www.wikipedia.org.3 Krishna B. Ghimire, Land Reform & Peasant Livelihoods: The Social

Dinamics of Rural Poverty & Agrarian Reform in Developing Countries,(London-UK : ITDG Publishing, 2001), p. 8.

122

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

reform seharusnya, dan pada khususnya, akan membawa padapeningkatan ketahanan pangan, pendapatan dan kesejahteraan bagiberbagai kelompok di pedesaan yang marginal secara sosio-ekonomis. Penguatan dan perlindungan hak-hak penguasaan tanahakan memperkuat sistem pertanian dan keragaman kebudayaanlokal.”4 Landreform harus dipandang sebagai bagian esensialdari pemenuhan hak azasi manusia, termasuk di dalamnyapemenuhan dari “human dignity”. Selain itu, terdapat korelasipositif antara kepastian hak yang diperoleh dari landreformdengan gairah investasi pada lahan dan dampak positif padalingkungan umumnya.

Trigger munculnya gerakan landreform itu sendiri, awalnyaterjadi di daratan Eropa, bersamaan dengan munculnyaRevolusi Perancis, sebagai akibat dari ketidakadilan sosialyang dialami masyarakat petani. Penderitaan yang dialamioleh mayoritas petani di daratan Eropa pada akhirnya mam­pu membangkitkan kesadaran mereka untuk secara ber­sama­sama menuntut apa yang menjadi hak mereka agardapat hidup lebih layak, yaitu dengan jalan memiliki tanahsendiri. Namun dalam perkembangannya, tuntutan inimemiliki muatan politis, yaitu agar mereka bisa terlepasdari belenggu dan ikatan kaum feodal/tuan tanah, sehinggahaknya dapat diakui secara equal dengan kaum tuan tanah.Impact dari tuntutan para petani tersebut meluas ke EropaTengah dan Eropa Timur dan akhirnya gerakan landreformmenjadi gerakan dunia terutama di negara­negara agraris5,termasuk Indonesia.

4 Ibid, p. 2.5 www.fao.org

123

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

II. Konflik Agraria: Bom Waktu

A. Agraria diambang Krisis

Tak bisa dipungkiri, bahwa jumlah lahan subur,khususnya untuk lahan pertanian, kini makin berkurangsekitar 145.000 ha per tahun. Degradasi sumber daya lahandan hutan 2,5 – 2,8 juta ha per tahun, sedangkan rehabilitasihanya 400.000 – 500.000 ha per tahun. Sementara itutuntutan atau kebutuhan atas lahan kian meningkat. Lebihdari itu penduduk Indonesia terus bertambah. Pertambahanini tentu membawa tuntutan ketersediaan lahan, pangan,permukiman dan seterusnya.

B. Peningkatan Konflik Agraria

Ketimpangan struktur penguasaan lahan semakin nyatadan mencolok. Di berbagai wilayah, konflik agraria terusmenerus terjadi diiringi dengan kekerasan terhadap petani.Ditambah lagi krisis turunan agraria, seperti krisis air, krisislahan pangan, perkebunan, permukiman di desa dan kota,penggusuran, penyerobotan, dan sebagainya akan terus me­ningkat. Agar konflik agraria ini tidak terus menerus ber­langsung maka upaya­upaya untuk menyelesaikan konflikagraria ini harus menjadi prioritas pemerintah saat ini.

Di berbagai wilayah, banyak lahan yang sudah direklaiming oleh para petani dan dikuasai secara de facto.Penguasaan lahan oleh petani tersebut telah terbuktimengatasi ancaman kelaparan dan kemiskinan, bahkanmenjadi basis produksi bagi peningkatan taraf hidup parapetani. Karenanya legalisasi atas lahan yang telah dikuasairakyat harus segera dilakukan. Legalisasi lahan rakyat ini

124

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dalam kerangka memberikan jaminan bagi para petani ataspenguasaan lahan dan kepastian hukum, sebagaimana yangmenjadi salah satu tujuan dari Undang­Undang PokokAgraria No 5 Tahun 1960 (selanjutnya disebut UUPA).

Gambaran di atas mengantar kita kepada kenyataan,bahwa konflik pertanahan/agraria secara kuantitatif tidakkian berkurang, tetapi kian bertambah. Demikian pula ska­lanya tidak kian mengecil tapi meluas. Pola yang menyertaikasus keagrariaan, kini kian banyak menggunakan keke­rasan. Jika hal ini dibiarkan, maka kasus agraria adalah “bomwaktu” yang menunggu waktu. Ledakan kecil telah mulai,maka yang besar harus dibatasi agar tidak meledak denganakibat yang dahsyat.

III. UUPA 1960: Tonggak Sejarah Pembaruan Agraria

Di Indonesia, pembaruan agraria atau landreform, harusmengacu dan tidak bertentangan dengan semangat yang adadalam UUPA. Karena dengan adanya UUPA ini terciptalahunifikasi dalam bidang hukum agraria dan dihapuskannyadualisme hukum pertanahan yang terdapat dalam masakolonial.6 Dengan demikian, UUPA menjadi payung (um-brella act) bagi kebijakan­kebijakan pertanahan nasional,termasuk kebijakan pembaruan agraria. Sebagai landasankebijakan pertanahan, falsafah UUPA yang dilandaskanpada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ditujukan untuk terca­painya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat dalamkaitannya dengan perolehan dan pemanfaatan sumber dayaalam, khususnya tanah.

6 Vide UUPA pada bagian Dictum (memutuskan).

125

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Sehubungan dengan itu, program pembaruan agrariasebenarnya bukanlah sebuah kebijakan baru di Indonesia.Pembaruan agraria adalah cita­cita dari kemerdekaan nasio­nal demi kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan dan kemak­muran rakyat sebagaimana tertuang secara eksplisit dalamUUPA. Selanjutnya, sesuai dengan UUD 1945, diatur danditentukan bahwa sumber daya alam hayati dan air dikuasaioleh negara, incasu Pemerintah sebagai representasi negarabertanggung jawab menjamin semua kekayaan alamtersebut dikelola dengan baik dengan menjamin kekayaanyang dihasilkannya untuk dapat digunakan sebaik­baiknyabagi peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai penegasan dari implementasi pembaruan agra­ria ini, terakhir telah dikeluarkan peraturan baru yang sangatpenting, yaitu TAP MPR RI No IX Tahun 2001 tentangPembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.Hal ini secara umum, dapat dilihat sebagai suatu pencapaiandan pernyataan eksplisit MPR agar Pemerintah berkomitmenterhadap pembaruan pengelolaan sumber daya alam danpembaruan agraria. Hal tersebut mengharuskan negara,incasu Pemerintah, untuk mengkaji, mencabut, dan merevisisemua peraturan perundang­undangan mengenai tanah dansumber­sumber agraria lainnya dan pada saat yang samamenyelesaikan konflik agraria yang ada saat ini secara adildan lestari. Tap MPR ini menjadi semacam a tools of lawreform untuk penyempurnaan peraturan perundang­un­dangan agraria di Indonesia.7

7 TAP MPR No. 1 Tahun 2003 memperkuat TAP MPR No. IXTahun 2001 dengan mengklasifikasikan TAP MPR IX Tahun 2001 tentang

126

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Mengacu pada seluruh uraian tersebut di atas, setidak­nya terdapat tiga permasalahan penting yang menjadi un-derscore dalam pembahasan makalah ini, yaitu pertama, imple­mentasi dan tindak lanjut program pembaruan agrariasebagaimana telah ditetapkan dan ditentukan dalam UUPA;kedua, pembaruan agraria pada saat ini dalam kaitannyadengan ekses globalisasi, demokrasi dan desentralisasi seba­gai akibat adanya reformasi di Indonesia; dan ketiga, Politiklegislasi dalam pembaruan agraria.

IV. Masalah Pokok: Implementasi Pembaruan Agraria

UUPA 1960

A. Program Pembaruan Agraria Sesuai UUPA 1960

Kebijakan Pembaruan Agraria secara yuridis­formal,telah ada sejak ditetapkannya UUPA sebagai umbrella actdalam regulasi pertanahan di Indonesia. Dengan demikiansegala peraturan perundang­undangan di bidang agraria tidakboleh inkonsisten dengan UUPA ini, termasuk pelaksanaanlandreform. Adapun dasar hukum pelaksanaan landreformsebagaimana dalam UUPA secara rinci dapat diuraikansebagai berikut:a. Pasal 7 menyatakan: bahwa untuk tidak merugikan

kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaantanah yang melampaui batas tidak diperkenankan;

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Dya Alam sebagai sumberhukum hingga semua isi TAP No. IX Tahun 2001 diterjemahkan ke dalamperaturan perundang-undangan. Demikian pula, TAP MPR No. V Tahun2003 tentang Saran kepada Lembaga Tinggi Negara, meminta agar segeramerealisasikan TAP MPR No. IX Tahun 2001.

127

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

b. Pasal 10 ayat (1): Setiap orang dan Badan Hukum yangmempunyai Hak atas Tanah Pertanian pada asasnyadiwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendirisecara aktid dengan mencegah cara­cara pemerasaan;

c. Pasal 13 ayat (2): Pemerintah mencegah adanya usaha­usaha dalam lapangan agraria dan organisasi­organisasi,perorangan yang bersifat monopoli;

d. Pasal 17 menyatakan:(1) Dengan mengingat ketentuan Pasal 7 maka untuk

mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat(3) diatur luas maksimum dan minimum tanah yangboleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalamPasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum;

(2) Penetapan batas maksimum dimaksud dalam ayat(1) Pasal ini dilakukan dengan peraturan perun­dang­undangan di dalam waktu yang singkat;

(3) Tanah­tanah yang merupakan kelebihan dari batasmaksimum termaksud dalam ayat (2) Pasal ini diam­bil Pemerintah dengan ganti rugi, untuk selanjutnyadibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menu­rut ketentuan­ketentuan dalam PP;

(4) Tercapainya batas maksimum termaksud dalam ayat

(1) Pasal ini yang akan ditetapkan dengan peraturan

perundang­undangan dilaksanakan secara berang­

sur­angsur.Berdasarkan ketentuan sebagaimana diuraikan di atas,

dapat ditarik kesimpulan bahwa negara sebagai organisasikekuasaan seluruh rakyat mempunyai kewenangan untukmengatur peruntukan, penggunaan, serta pemeliharaan

128

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

tanah­tanah serta hubungan hukum yang menyangkuttanah­tanah yang melampaui batas, dan menentukan pulaminimum pemilikan tanah seorang atau bersama­sama demitercapainya kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

B. Enam Program Landreform & Implikasinya

Dalam kaitannya dengan ketentuan tersebut, makasecara garis besar terdapat enam program landreform berda­sarkan UUPA, yaitu:1) Larangan Penguasaan Tanah Melampaui Batas; un­

tuk melaksanakan penetapan limitasi penguasaan/pemi­

likan tanah pertanian sebagai implementasinya dikelu­

arkan Perpu tanggal 29 Desember 1960 Jo. UU No. 56

Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

2) Batas Minimum Pemilikan Tanah Pertanian; dalam

penentuan batas minimum lahan pertanian ini sebagai

implementasinya mengacu pula pada UU No. 56 Tahun

1960 sebagaimana tersebut pada point A di atas.

3) Redistribusi Tanah Pertanian; redistribusi tanahsecara umum lebih dikenal sebagai landreform8. Dalamhal­hal ertentu, istilah landreform dipakai dalam artisempit sebagai perubahan dalam pemilikan dan pengu­asaan tanah, khususnya redistribusi tanah. Adapunsyarat­syarat redistribusi tanah pertanian ditetapkandalam PP No. 224 Tahun 1961 tentang PelaksanaanPembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

8 Arie Sukanti Hutagalung, Program Redistribusi Tanah di Indonesia;Suatu Sarana ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan Tanah danPemilikan Tanah, (Jakarta: CV Rajawali, 1985), hal. 57.

129

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

4) Tanah Absentee; disebut juga dengan istilah tanahguntai adalah tanah pertanian yang terletak di luarkecamatan tepat tinggal pemiliknya. Pemilika tanahsecara absentee dilarang sebagaimana diatur dalam Pasal10 UUPA Jo. PP No. 41 Tahun 1964, PP No. 4 Tahun1977 Jo. Permendagri No. 15 Tahun 1974.

5) Ganti Kerugian; Pemilikan tanah objek landreformyang terkena ketentuan kelebihan maksimum dan ab­sentee akan diberi ganti kerugian berbentuk uang apabilatanahnya dambil oleh negara untuk keperluan redistri­busi tanah. Pengecualiannya, adalah terhadap pelang­garan ketentuan undang­undang, misalnya pelanggaranmengenai batas maksimum , tidak diberi ganti kerugiandalam bentuk apapun. Adapun tata cara penghitungan­nya merefer pada Pasal 6 PP No. 224 Tahun 1961 Jo.Peraturan Ditjen Agraria No. 4 Tahun 1967.

6) Konsolidasi Tanah; yaitu kebijakan pertanahanmengenai penataan kembali penguasaan dan penggu­naan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepen­tingan pembangunan yang bertujuan untuk mening­katkan kualitas lingkungan hidup/pemeliharaan sumberdaya alam, dengan melibatkan partisipasi masyarakatsecara langsung. Hal ini diatur dalam Pasal 2 UUPA Jo.UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemu­kiman Jo. PP No. 224 Tahun 1961 tentang PelaksanaanPembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi Jo.Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1992 tentangKonsolidasi Tanah.Namun disayangkan, semangat pembaruan agraria

sebagaimana terkandung dalam UUPA tersebut di atas,

130

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

memasuki usianya yang ke­46 banyak dipertanyakan kem­bali, sehingga ada keinginan untuk melakukan revisi,amandemen, atau reformasi UUPA. Hal ini perlu dilakukanpengujian/pengkajian untuk menentukan apakah UUPAperlu ditinjau ulang atau tidak.9

Secara filosofis, UUPA yang dilandaskan pada Pasal33 ayat (3) UUD 1945 ditujukan untuk tercapainyakeadilan sosial bagi seluruh masyarakat dalam kaitannyadengan perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam,khususnya tanah.

C. Revitalisasi Pembaruan Agraria

Perbedaan pendapat tentang relevansi falsafah UUPAdidasarkan pada kenyataan empiris tampak semakin tajamseiring dengan kebijakan deregulasi menyongsong era indus­trialisasi dan globalisasi, yang antara lain semakin ditujukanuntuk investasi modal asing.10 Kelompok populis melihatbahwa dalam perkembangannya, UUPA­melalui berbagaikebijakan yang ada telah semakin kurang mampu menga­yomi hak­hak masyarakat. Sementara di sisi lain, UUPAmakin memberikan peluang atau kemudahan kepadamereka yang mempunyai akses terhadap modal dan aksespolitik dengan segala dampaknya.

Pandangan tersebut di atas, berbeda dengan sebagianmasyarakat dan organisasi LSM/NGO/Ornop yang concern

9 Maria SW. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasidan Implementasi, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2001), hal. 41.

10 Ibid.

131

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

terhadap pembaruan agraria, dimana justru menekankanagar kebijakan Agraria dan Pembaruan Agraria kembali padasemangat awal UUPA. Karena, produk kebijakan ini meru­pakan payung dari dari seluruh kebijakan perundang­un­dangan agraria dalam rangka menjalankan program pem­baruan agraria di Indonesia.

UUPA telah menerapkan asaas­asas penting bagi pelak­sanaan pembaruan agraria di Indoensia. Pelaksanaan pem­baruan agraria dimaksudkan agar tercipta pemerataan dalamhal penguasaan, pemanfaatan, dan pemilikan tanah bagirakyat Indonesia. Namun, secara faktual asas atau spiritUUPA ini telah disimpangi oleh rezim yang berkuasa. Sejakrezim Orde Baru, misalnya program pembaruan agraria tidakdijalankan dengan sungguh­sungguh, bahkan terkesan’dideponeer’. Selanjutnya malah membuka pintu seluas­luas­nya bagi kapitalisme internasional dengan menderegulasikebijakan investasi asing. Hingga saat ini justru kebijakanyang dibuat semakin kondusif bagi Neoliberalisme di In­donesia, yang akibatnya membawa dampak penderitaan bagipetani.

Misalnya Perpres No 36 Tahun 2005 tentang PengadaanTanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk KepentinganUmum, yang dimaksudkan sebagai penyempurnaanKeppres No 55 Tahun 1993, yang dikenal sangat kontro­versial. Dalam peraturan ini, definisi kepentingan umumtidak lagi stricted, melainkan cenderung didefinisikan secarameluas sehingga terdapat pergeseran makna. Contoh: dima­sukkannya “jalan tol” sebagai kegiatan yang bersifat kepen­tingan umum. Selanjutnya, Perpres No 36 Tahun 2005diamendemen dengan Perpres No 65 Tahun 2006, yang tetap

132

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

saja dikritisi oleh sebagian besar masyarakat. Sehubungandengan hal itu, political will Pemerintah semakin diragukandan berakibat membuat masyarakat menjadi skeptis.

Untuk itu, perlu kiranya agar UUPA yang telah meref­leksikan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ini berikut asas­asasyang terkandung di dalamnya tetap dipertahankan. Selan­jutnya, merevitalisasi dan merevisi peraturan perundang­undangan sektoral dan operasional lainnya agar sesuaidengan jiwa dan semangat UUPA. Dalam kaitan ini, perludilakukan pengujian terhadap beberapa Undang­Undangsektoral/operasional terkait; apakah terdapat beberapaklausul/pasal yang inkonsisten dengan UUPA. Misalnya UUPerkebunan, UU Kehutanan, UU Sumber Daya Air, UUPengelolaan Pesisir, UU Tata Ruang, UU Mineral dan BatuBara.

Sejalan dengan itu, usul revisi UUPA yang sempatmewacana bahkan sempat masuk dalam Program LegislasiNasional Tahun Anggaran 2006, adalah merupakan hal yangsungguh kontraproduktif.

V. Pengaruh Globalisasi, Demokratisasi, Desentralisasi,

dan Reformasi terhadap Pembaruan Agraria

A. Berbagai Model Landreform

Pada World Conference on Agrarian Reform and Rural De-velopment tahun 1979, Pemerintah negara­negara berkem­bang menyatakan komitmen untuk melaksanakan pem­bagian lahan yang berkeadilan melalui strategi redistribusisecara cepat. Hal ini justru merupakan akhir dari suatu perio­de emas landreform yang sebenarnya (yang memihak pada

133

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

petani miskin).Periode emas ini berakhir tahun 1990­an ketika faham

neo­liberalisme menjadi dominan dalam kebijakan­kebi­jakan negara industri kaya, yang mempropaganda negaraberkembang bahwa mekanisme pasar sebagai paling efektifdalam penanggulangan pola distribusi yang timpang.Negara­negara berkembang yang berada di bawah tekananbeban hutang yang berat dan resesi ekonomi, tidak mem­punyai pilihan ketika ditekan oleh World Bank dan IMFuntuk menerapkan program structural adjustment denganimbalan kredit. Dengan mengacu pada mekanisme pasardalam melakukan kebijakan di bidang agraria, peranpemerintah menjadi tereduksi. Program pembaruan agrariamenjadi bergeser dari Institutional Based Reform/RedistributifLandreform (RLF) menjadi Market Based Landreform/LandMarket Reform (LMR).11

Pengalaman pendekatan Land Market Reform sampai kinitidak banyak memberi harapan bagi petani miskin. Pemiliktanah pada umumnya hanya menjual lahan kualitas rendahnamun dengan harga tinggi. Hal ini disebabkan karenaadanya permintaan dan adanya monopoli politik olehgolongan tuan tanah.12 Karena itu, membeli tanah bagi kelaspetani tanpa tanah boleh dikatakan tidak mungkin. Secaraempirical, memperlihatkan terjadinya peningkatan tajam har­ga tanah sejajar dengan ditempuhnya strategi neo­liberal.

Selain itu, petani tidak mampu membeli tanah melaluimekanisme pasar (seandainya ada yang menjual dengan

11 Ghimire, Op Cit, p. 20.12 Ibid.

134

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

lokasi yang sesuai dan kualitas yang memadai). Data dariMesir memperlihatkan bahwa pada periode market basedtransaction, harga tanah sama dengan 19 sampai 39 tahunupah harian buruh dewasa. Pada masa sistem InstitutionalBased Landreform, dimana terdapat intervensi Pemerintahdi dalamnya dalam pembaruan agraria, hal tersebut dapatdireduksi antara ¼ sampai dengan 1/5­nya.13 Akan tetapi,celakanya sesuai dengan Structural Adjustment Program yangdipaksakan World Bank, negara justru mengurangi perannyadi segala bidang, termasuk di dalam memberikan fasilitaspada petani miskin.

B. Dampak Globalisasi & Liberalisasi

Dengan adanya proses globalisasi, ketergantungan pasarmenjadi semakin tinggi, sebagai akibatnya suatu negaratidak lagi melansir kebijakan ekonomi yang independen.Perjanjian NAFTA dan GATT, yang pada dasarnya adalahliberalisasi perdagangan antar negara, berakibat dilepasnyapetani miskin ke dalam kancah persaingan tanpa proteksinegara.

Untuk mengantisipasi dampak globalisasi ini, perluditingkatkan jaminan kepastian hukum dalam penguasaantanah, terutama untuk kepentingan warga negara Indone­sia atau Badan Hukum Nasional bukan untuk kepentinganpihak asing ataupun MNC/TNC. Hal ini dapat dilakukanantara lain dengan mepercepat dan meningkatkan pendaf­taran tanah, dengan surat tanda bukti hak berupa sertifikat.

13 Ibid.

135

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Sebaliknya, upaya memberikan kemungkinan bagiorang asing dan badan­badan hukum asing untuk dapatmenguasai tanah sebagaimana warga negara Indonesia, jelastidak akan dibenarkan. Hal itu karena bertentangan denganasas kebangsaan sebagaimana dalam UUPA, dan memper­sulit negara Indonesia untuk memberikan perlindungan bagikepentinga nasional.

Dalam rangka meningkatkan penanaman modal dibukakemungkinan pemberian HGU/HGB dalam jangka waktu30­35 tahun, dengan kemungkinan diperpanjang palinglama 20­25 tahun, sehingga akan terjamin penguasaanlahannya.

Berdasarkan uraian di atas, arus globalisasi memangtidak mungkin dicegah, yang perlu diusahakan adalah terse­dianya perangkat hukum yang pada satu pihak dapat men­ciptakan situasi yang memungkinkan dimanfaatkannyakelebihan pihak asing tersebut bagi peningkatan kemak­muran dan kesejahteraan bangsa. Sementara di pihak laindapat memberikan perlindungan kepada rakyat , terutamapara petani sebagai golongan terbesar rakyat Indonesia, yangpada kenyataannya kedudukannya masih lemah, terutamadalam menghadapi luar.

C. Pengaruh Desentralisasi & Reformasi

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah(desentralisasi), maka program pembaruan agraria dilaksa­nakan dengan mengupayakan keseimbangan hak dan ke­wajian negara, pemerintah (Pusat, Daerah Provinsi, Kabu­paten/Kota dan Desa atau yang setingkat), masyarakat danindividu sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR No.

136

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

IX/MPR/2001. Melaksanakan desentralisasi berupa pem­bagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi,kabupaten/kota dan desa atau yang setingkat berkaitandengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumberdaya alam. Semuanya itu tetap dalam rangka “Memeliharadan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan RepulikIndonesia”. Desentralisasi yang dinyatakan dalam TAP MPRtersebut meliputi alokasi dan pengelolaan sumber dayaagraria/sumber daya alam.

Usaha pembaruan agraria hanya akan berhasil mencapaitujuan apabila pembangunan dalam Era Reformasi pascaOrde Baru, benar­benar akan dilaksanakan berdasarkankebijakan baru. Seperti yang dinyatakan dalam TAP MPRNo XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam RangkaDemokrasi Ekonomi dan tidak akan kembali kepada kebi­jakan pembangunan pertumbuhan seperti selama Orde Baruyang lalu.14

Kebijakan ekonomi baru mencakup kebijaksanaan,strategi dan pelaksanaan pembangunan yang mengutamakankepentingan rakyat banyak, sebagai wujud keberpihakanpada kelompok usaha kecil, menengah dan koperasi, sebagaipilar utama pembangunan ekonomi nasional, tanpa menga­baikan peranan perusahaan­perusahaan besar. Pengelolaandan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam lainnyadilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala ben­tuk pemusatan pengusahaan dan pemilikan dalam rangka

14 Boedi harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional,(Jakarta: Penerbit Usakti, 2003), hal. 22.

137

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

pengembangan kemampuan ekonomi usaha kecil, menengahdan koperasi serta masyarakat luas. Tanah sebagai basisusaha pertanian diutamakan penggunaannya bagi pertum­buhan pertanian rakyat.15

VI. Politik Legislasi untuk Pembaruan Agraria

A. Big Bang Reform

Sebelum Indonesia memasuki era reformasi, masya­rakat Indonesia cenderung menjustifikasi bahwa peran DPRtidak begitu terlihat signifikan. Bahkan boleh dikatakantidak berperan. Sebaliknya praktek kedudukan Pemerintahdi bawah UUD 1945 terlalu kuat dan kurang menjamindemokrasi.

Demikian pula halnya dalam menjalankan fungsi legis­lasinya, kedudukan DPR berada subordinate atau di bawahPresiden. Sehingga DPR tidak mempunyai kekuasaan danotoritas penuh dalam menjalankan fungsi legislasinya sehu­bungan dengan pembentukan atau penyusunan peraturanperundang­undangan. Hal ini ditegaskan secara eksplisit didalam ketentuan Pasal 5 UUD 1945 (sebelum amandemen)dimana pada pokoknya ditentukan bahwa Presiden meme­gang kekuasaan membentuk Undang­undang dengan per­setujuan DPR.

Akan tetapi setelah era reformasi ini, terjadi perubahanparadigma yang sangat fundamental yang berimplikasi padaproses penguatan parlemen dengan trigger­nya adalah adanyaamandemen terhadap UUD 1945. Sebagaimana ditentukan

15 Ibid

138

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dalam Pasal 20 Undang­Undang Dasar 1945 AmandemenPertama, dinyatakan:(1) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang kekuasaan

membentuk undang­undang.(2) Setiap Rancangan Undang­undang (RUU) dibahas oleh

DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuanbersama.

(3) Apabila RUU tersebut tidak mendapatkan persetujuanbersama, RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi dalampersidangan DPR masa itu. Presiden mengesahkan RUUyang telah disetujui bersama untuk menjadi undang­undang.

(4) Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebuttidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 (tiga puluhhari) sejak RUU tersebut disetujui, maka RUU sah men­jadi undang­undang dan wajib diundangkan.Berdasarkan ketentuan di atas, segala kewenangan Pre­

siden untuk mengatur, membuat regulasi, mengadakan legis­lasi haruslah didasarkan pada kewenangan pokok yangsekarang telah dialihkan ke DPR. Dengan demikian, hasilamandemen UUD 1945 tersebut menempatkan kekuasaanlegislatif DPR secara konstitusional menjadi mempunyaiperan yang sangat penting dalam politik legislasi nasional.

139

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

BIG BANG REFORM

Perubahan UUD 1945 sebagaimana dikemukakan,membawa implikasi adanya perubahan terhadap the old sys-tem & institution menuju lingkungan system & institutionbuilding. Proses transformasi ini memerlukan waktu.Perubahan ini juga membawa implikasi pada politik hukumdan kebijakan atau politik legislasi.

Perubahan UUD 1945 beserta reformasi politik legislasipada pokoknya dapat dijelaskan sebagaimana di bawah ini.

B. Politik Legislasi untuk Pembaruan Agraria

Dalam kaitannya dengan politik legislasi di bidang pem­baruan agraria, maka DPR bersama­sama dengan Pemerintahdalam menyusun kebijakan atau regulasi di bidang pembaruanagraria perlu mempertimbangkan hal­hal sebagai berikut:1) Adanya komitmen politik untuk menyelesaikan segala

140

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

konflik menjadi prasyarat yang tidak bisa ditawar.Dalam kerangka politik hukum, sebenarnya kita sudahpunya Ketetapan MPR RI No IX/MPR/2001 tentangPembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.Ketetapan MPR ini dapat menjadi kerangka pokokupaya menyelesaikan aneka konflik agraria;

2) Semangat yang terkandung dalam UUPA adalah untukmelindungi kaum tani dari ancaman perampasan hakatas tanah dari pihak luar. Semangat untuk membawahbangsa ini menjadi bangsa yang merdeka dan mandiridari dominasi dan pengaruh kapitalisme dan imprialismeyang telah terbukti menyengsarakan rakyat Indonesia.Untuk itu, UUPA masih relevan dan perlu untuk diper­tahankan;

3) Dari segi politik legislasi UUPA yang inti, semangat,dan isinya masih sangat relevan, namun karena “produklama”, tidak ada semangat dan komitmen kuat untukmelaksanakannya secara konsisten dan konsekuen.Untuk itu politik legislasi masa kini seyogyanya dapatmemperbaharui “kemasan” UUPA direvitalisasi kedalam “UU Pembaruan Agraria” yang baru menggan­tikan UUPA No 5/1960, walaupun dengan kandunganlandasan filosofis, sosiologis, politis, dan isi yang masihsangat relevan dari UUPA 1960 tetap dipertahankandengan reformulasi pemutakhiran, perluasan, danpendalaman sehingga lebih holistik dan komprehensif.

4) Revisi lainnya terhadap kebijakan dalam bidang agraria,yang perlu dilakukan adalah perubahan atau revisi ter­hadap peraturan perundang­undangan yang bersifat sek­toral dan operasional, agar tidak terjadi overlapping,

141

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

inkonsistensi dan konflik di bidang agraria. Sehubungandengan itu, maka dalam Program Legislasi NasionalTahun Anggaran 2007, Badan Legislasi (Baleg) DPRRI dengan Pemerintah, incasu Dephukham, misalnyatelah sepakat untuk memasukkan RUU tentang LahanAbadi Pertanian.

VII.Kesimpulan

1. Dengan diberlakukannya TAP MPR RI No. IX Tahun2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sum­ber Daya Alam, menjadi political will dari negara untukkembali menjalankan program pembaruan agraria(agrarian reform/landreform), yang selama ini sempat ter­deponeer pada rezim orde baru yang pro pasar cenderungmengarah kepada neo-liberalis. Pada rezim orde barusampai memasuki era reformasi, landreform yangdijalankan lebih kepada sistem market-based systemlandreform/ land market reform, namun dalam suasanakegamangan.

2. Implementasi Pembaruan Agraria sebenarnya sudahdilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1960, yaitu sejakdiberlakukannya UUPA 1960. Program landreformsebagaimana terkandung dalam UUPA meliputi, yaituantara lain: Redistribusi Tanah Pertanian, KonsolidasiTanah, Larangan Penguasaan Tanah Melampaui Batas,Batas Minimum Pemilikan Tanah Pertanian, TanahAbsentee (tanah guntai), Ganti Kerugian, dan lain­lain.Oleh karena itu, dengan diberlakukannya TAP MPRtersebut menjadi komitmen politik pemerintah untukmenjalankan pembaruan agraria yang didasarkan pada

142

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

semangat awal UUPA, yaitu untuk kepentingan dankemakmuran sebesar­besarnya bagi rakyat Indonesia.

3. Dari segi politik legislasi UUPA yang inti, semangat,dan isinya masih sangat relevan, namun karena “produklama”, tidak ada semangat dan komitmen kuat untukmelaksanakannya secara konsisten dan konsekuen.Untuk itu politik legislasi masa kini seyogyanya dapatmemperbaharui “kemasan” UUPA direvitalisasi kedalam “UU Pembaruan Agraria” yang baru menggan­tikan UUPA No 5/1960, walaupun dengan kandunganlandasan filosofis, sosiologis, politis, dan isi yang masihsangat relevan dari UUPA 1960 tetap dipertahankandengan reformulasi pemutakhiran, perluasan, danpendalaman sehingga lebih holistik dan komprehensif.

4. Diperkirakan dengan “lahirnya” UU Pembaruan Agraria“yang baru” hasil karya DPR bersama Pemerintah erareformasi sekarang, maka kemauan politik dan komit­men kuat untuk implementasi pembaruan agraria yangselama ini mengalami kemacetan, selanjutnya diharap­kan memperoleh momentum baru untuk mewujudkan­nya menjadi sebuah gerakan dan jaringan reformasi agra­ria nasional.

Daftar Pustaka

Ghimire, Krishna B, Land Reform & Peasant Livelihoods: TheSocial Dinamics of Rural Poverty & Agrarian Reformin Developing Countries, London­UK : ITDG Pub­lishing, 2001.

Harsono, Boedi, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasio-nal, Jakarta: Penerbit Usakti, 2003.

143

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Hutagalung, Arie Sukanti, Program Redistribusi Tanah di In-donesia; Suatu Sarana ke Arah Pemecahan MasalahPenguasaan Tanah dan Pemilikan Tanah, Jakarta: CV.Rajawali, 1985.

Pasaribu, Bomer. Masalah & Kebijakan Penyediaan Infrastruk-tur Mendukung Ketahanan Pangan. Makalah Semi­nar. Jakarta. 2006.

Pasaribu, Bomer. Pilihan Model Ekonomi Politik PembangunanIndonesia:

Dual Track Economy. Makalah Seminar. Jakarta. 2006.Sumardjono, Maria SW, Kebijakan Pertanahan: Antara Regu-

lasi dan Implementasi, Jakarta: Penerbit Kompas,2001.

TAP MPR No. V Tahun 2003 tentang Saran Kepada LembagaTinggi Negara.

TAP MPR RI No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agrariadan Pengelolaan Sumber Daya Alam Sebagai SumberHukum Hingga Semua Isi TAP No. IX Tahun 2001.

TAP MPR No. V Tahun 2003 tentang Saran Kepada LembagaTinggi Negara.

Undang­Undang RI No. 5 Tahun 1960 tentang PeraturanDasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).

www.fao.org.www.wikipedia.org.

144

URGENSI PENEGUHAN UUPA DANPERATURAN PELAKSANAANNYA UNTUK

MENDUKUNG PELAKSANANPEMBARUAN AGRARIA

Achmad Sodiki*

Pendahuluan

Pada umumnya orang mengakui bahwa UUPA masihmerupakan undang undang yang semangat dan jiwanyasesuai dengan tuntutan masyarakat, yakni mengedepankankepentingan sebagian besar dari mereka yang kurang berun­tung, sebagian besar petani dan buruh tani, dalam prosespembangunan bangsa. Bahkan banyak bukti bahwa merekatidak beranjak keadaannya dari keadaan semula. Hidupberada di bawah garis kemiskinan sebagai proses pemis­kinan yang berkelanjutan sejak zaman Hindia Belanda dise­babkan karena sendi sendi hukum agraria saat itu mengabdikepada kepentingan penjajahan. Setelah lebih dari 12 tahun

*) Universitas Brawijaya Malang, Anggota Lembaga PengkajianPertanahan, Jakarta.

145

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

ditunggu tunggu maka dapatlah diundangkan suatu undangundang agraria yaitu UUPA tahun 1960. Suatu undangundang yang lahir berdasarkan dan atas jawaban terhadappengalaman pahit selama beratus ratus tahun, sebagai unsur­unsur materiil, serta unsur­unsur idiil yaitu atas dasar citacita bangsa menuju masyarakat yang adil dan makmur.1

Seiring dengan berubahnya politik pembangunan eko­nomi dari sifatnya yang menekankan pada pemerataan(sosialisme) menjadi pertumbuhan (kapitalisme) makaUUPA kehilangan legitimasi sosial ekonominya dan ting­gallah legitimasi hukumnya. UUPA dari sisi legalitasnyamasih berlaku tetapi kehilangan dari sisi legitimitasnya,suatu keadaan yang tidak menentu. Terlebih lagi setelahdiundang kannya UU no.5 tahun 1967 tentang PenanamanModal Asing, Undang Undang Kehutanan dan sebagainyaUUPA semakin ditinggalkan. Itulah sebabnya sekalipunnamanya Undang Undang Pokok, yang harapannya menjadiundang undang payung, namun karena sifat dan ciri cirinyatidak lagi sesuai dengan undang undang yang akan dipa­yungi, maka undang undang baru tidak lagi mengkaitkankeberadaannya dengan UUPA. Hal itu pulalah mengapatidak tercipta suatu tata hukum yang pasti, terintegrasi denganbaik, justru semakin berkembang ego sektoralisme.

Peraturan Pelaksanaan

Sebagai suatu undang undang pokok, maka banyak

1 Hal ini dapat diperiksa pada isi konsideran UU No.5 tahun 1960(UUPA), baik pada Menimbang huruf a,b,c,d maupun Berpendapat, butira,b,c,d,e.

146

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

sekali peraturan lain yang harus melengkapinya, baik yangsejajar dengan undang undang maupun peraturan lainnyayang lebih rendah sebagai peraturan yang lebih rinci dantehnis. Sebagaimana juga peraturan pokoknya, maka pera­turan pelaksanaannya dapat dipandang dari dua sisi, yaknidari sisi substansial (vertikal dan horizontal) ia tidak ber­tentangan dengan aturan lain yang lebih tinggi atau yanglebih rendah atau yang sejajar, secara prosedural ia me­menuhi prasyarat pembuatannya.

Dari segi filsafat, yakni segi substansial berarti diterimaoleh sebagian besar masyarakat (accepted by majority of thepeople), karena memenuhi keinginan dan kebutuhan masya­rakat. Adapun dari segi prosedural, asalkan peraturan terse­but cara pembuatannya sudah memenuhi prosedur yangtelah ditentukan maka syahlah peraturan tersebut sebagaiperaturan yang mengikat tanpa melihat segi substansialnya.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka per­soalan UUPA dan peraturan pelaksanaannya meliputi puladua sisi pandang tersebut di atas. Secara substansial isiatau substansi UUPA diterima oleh sebagian besar masya­rakat karena sangat berpihak kepada upaya peningkatankesejahteraan masyarakat. Akan tetapi sebaliknya justruperaturan pelaksanaannya yang seringkali bertentangandengan UUPA, misalnya peraturan tentang pembebasan hakatas tanah yang sangat tidak manusiawi memberikan gantirugi terhadap masyarakat, semakin menyempitnya ruang hakhak adat karena terdesak oleh peraturan tertentu.

Demikian juga pemberian tanah yang luas kepadapengusaha di sektor perkebunan, kehutanan dan propertisehingga menimbulkan akumulasi penguasaan tanah; keten­

147

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

tuan yang mendorong pemahaman bahwa tanah itumerupakan komoditas dan mengabaikan nilai lainnya sepertifungsi sosial dan nilai religius, menunjukkan ketidaksinkro­nan sejumlah peraturan pelaksanaannya dengan UUPA.2

Dari hal terebut di atas dapatlah disimpulkan bahwaUUPA telah dilingkari oleh berbagai ketentuan pelaksana­annya, semacam lingkaran corona pada gerhana matahariyang melumpuhkan makna hakiki yang baik dari substansiUUPA. Jiwa UUPA yang populis, anti penindasan, anti mo­nopoli telah ditelikung dengan aturan pelaksanaanya yangkapitalistik dan kurang melindungi rakyat jelata. Peraturanyang menelikung tersebut bukan hanya pada tingkatan dibawah undang undang (UUPA) tetapi juga yang sejajardengan undang undang.

Persoalan lain yang timbul ialah kurang lengkapnyaperaturan pelaksaanaan nya, misalnya Peraturan Pemerintahtentang hak menguasai dari Negara yang pelaksanaannyadapat dikuasakan kepada daerah daerah swatantra(otonom) dan masyarakat masyarakat hukum adat, penge­cualian dari asas pasal 10 UUPA, terjadinya hak milik menu­rut hukum adat, pembatasan penggunaan tanah milik olehbukan pemiliknya, dan masih banyak lagi lainnya.

Kurangnya peraturan yang melengkapi UUPA berartiada kekosongan hukum, sehingga menambah ketidakpastianhukum, yakni bukan saja ketidak pastian dalam hukum tetapijuga ketidakpastian karena hukum, artinya akan terjadi peris­

2 Sri Hayati “Restrukturisasi Hak atas Tanah dalam Rangka Pemba-ruan Hukum Agraria Nasional” Pidato pengukuhan Guru Besar, FakultasHukum Universitas Airlangga tanggal 6 Maret 2005.

148

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

tiwa yang seharusnya mendapat jawaban pengaturannyadalam hukum tetapi ternyata tidak diatur dalam hukum.

Efektivitas hukum

Secara sosiologis, hukum di Indonesia mengahapi ken­dala tidak efektif dijalankan, artinya tidak mencapai sasaransebagaimana yang diharapkan. Sekalipun ada benarnya bah­wa UUPA kurang dilengkapi peraturan pellaksanaannyaakan tetapi persoalan yang utama, sebagaimana juga terjadidi negera negara yang sedang berkembang, adalah tidakefektifnya hukum.

Dalam kaitan ini UUPA dikonsepsikan sebagai “law asa tool of social engineering”, hukum sebagai sarana peru­bahan sosial. Dari sudut politik, negara negara yang gagalmelaksanakan perubahan agraria ( landreform) digolongkannegara negara yang tidak mempunyai strong political will,karena negara mempunyai tanggung jawab besar atas berhasilatu gagalnya landreform.3 Secara sosiologis kefeektifanhukum juga dipengaruhi atas jawaban pertanyaan apakahhukum sebagai sarana tidak mengandung cacat cacat, atauterlalu banyak memberikan pengecualian, bobot hukummerosot, jangkauan terlalu luas , dari sisi pelaksana kurangdipersiapkan serta tantangan dari lingkaran budaya hukum,atau lebih menjurus menjadi konflik politik, juga dari sisisarana dan prasarana kurang dipersiapkan serta biaya yangtidak tersedia.4 Namun kemungkinan juga kurangnyakesadaran hukum pihak pihak yang diuntungkan dengan

3 Hung Chao Tai Landreform and Politics”University of CaliforniaPress, 1974,h 267-286.

149

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

adanya perubahan tersebut sehingga mereka bangkit untukmerebut dan mempertahankan hak haknya.

Yang sangat perlu diperhatikan tentunya sarana peru­bahan yakni hukum yang ingin di teguhkan kembali harusdievaluasi ulang baik substansi, pelaksananya maupunmereka yang akan terkena perubahan tersebut akan kete­patannya berdasarkan situasi dan kondisi yang sudah sangatberbeda dengan masa yang lalu. Misalnya saja apa yang dika­takan dalam Jawaban Pemerintah atas Pemandangan umumyang diucapkan oleh Menteri Sadjarwo dalam sidangDPRGR tanggal 14 September 1960 yang intinya, bahwaRUUPA selain akan menumbangkan kemegahan modalasing …akan mengakhiri pertikaian antara rakyat dengankaum pengusaha asing dan seterusnya.5 Sistem dan StrukturOrganisasi Peradilan di Indonesia yang tidak mengenalPengadilan Landreform, Obyek Landreform, serta peraturanpelaksanaannya yang sudah tidak cocok dengan kondisi dansituasi baru. Demikian juga tantangan serta persaingan glo­bal yang tidak seimbang yang menghadapkan persainganantara petani petani yang diproteksi di negara negara yangtelah maju dengan petani di negara negara yang sedang ber­kembang, sehingga Indonesia semakin menjadi pasar komo­ditas pertanian dari negara lain.

Selain hal tersebut di atas penggunaan hukum sebagaialat rekayasa sosial seringkali mengabaikan kenyataankeragaman masyarakat. Misalnya kebutuhan hukum pada

4 Bandingkan juga Peters, Recht als Project.5 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Cetakan ke sembilan

Jambatan, Jakarta, 2003, hal 607.

150

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

masyarakat perkotaan yang berlainan dengan masyarakatpedesaan. Penyeragaman penyeragaman telah mengancambahkan dapat menggusur “the living law” yang masih dibu­tuhkan oleh masyarakat adat yang sederhana. Misalnyadalam hal gadai tanah masyarakat pedesaan masih banyakmelakukan hal tersebut karena cepat dan sederhana untukmelayani kepentingan masyarakat pedesaan telah mulaiterncam dengan bentuk modern yang sulit dan tidak seder­hana yakni dengan ketentuan tentang hak tanggungan.

Perlu suatu kajian yang mendalam bagaimana bentuksurat tanda bukti hak kuat bukan saja sertifikat tetapi ben­tuk surat lain yang telah dikuatkan oleh putusan pengadilandi Lombok.6

Landasan Filosofis

Sesungguhnya dengan adanya Amandemen UUD 1945,landasan filosofis di bidang keagrariaan bukan semata ber­dasarkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945. yang menunjuk negarasebagai penguasa bumi air dan kekayaan alam yang terkan­dung di dalamnya digunakan untuk sebesar besar kemak­muran rakyat. Benar bahwa state atau negara dahulu dikon­sepsikan sebagai negara budiman, yang bertugas memak­murkan rakyatnya, tetapi segera konsepsi demikian menda­patkan kritik yang tajam ketika negara kemudian tidakmemegang amanah dalam menunaikan tugasnya. Berbagaisumber alam , minyak, gas, emas, tembaga telah dikuasai

6 Janis Maladi , Implementasi Pendaftran Tanah di KabupatenLemobok Barat”, Desertasi , Program Doktor Pasca Sarjana Universi-tas Brawijaya, 2006, hal xiii.

151

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

asing, bahkan perusahaan asing telah memenangkan gugatanpada negara ratausan juga dolar atas salah urus sumberalam gas sebagai kekayaan bangsa.

Sepanjang berlakunya UUPA dari tahun 1960 sampaidengan sekitar tahun 1997, berkuasa dua rezim represifdan kurang menghargai hak asasi manusia yang kurang ber­hasil mengangkat taraf hidup sebagian besar rakyat yangmengandalkan hidupnya dari sektor pertanian. Namun yangjelas bahwa usaha sektor ini telah mampu menjadi pelam­pung tenggelamnya negara akibat dari krisis ekonomi.

Dari itulah maka urgensi peneguhan UUPA yang ber­sumber pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 harus dimaknaidari segi filosofinya untuk mencapai tujuan sebesar besarkemakmuran rakyat, yang berarti tercapainya kesejahteraanbagi rakyat. Rakyat bukan sebagai obyek tetapi subyek yangikut partisipasi dan diuntungkan dari perubahan tersebut.Hal ini sejalan dengan tujuan hukum atas dasar pemikiranutilitarianism yakni tercapainya the greatest happiness of thegreatest number of people.

Mereka yang tergolong the greatest number of people diIndonesia adalah kaum tani, nelayan dan sebagainya yangumumnya hidup di pedesaan atau pantai. Oleh sebab ituberdasarkan kenyataan tersebut, tepat kiranya apa yangdikatakan oleh Joseph E. Stiglitz bahwa politik pembangunanekonomi kita seharusnya diorientasikan kepada kepentinganterbesar dari nasib kehidupan rakyat yang hidup dari sektorpertanian.7

Kehadiran modal asing seharusnya menjadi anugerahdan bukan musibah bagi nasib terbesar rakyat yang demi­kian, sehingga seharusnya ada perlindungan hukum yang jelas

152

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

atas kelangsungan dan peningkatan harkat hidup merekaketika mereka bersentuhan dengan investasi modal asing.

Perlindungan tersebut bukan dengan maksud meng­isolir kehidupan yang tradisonal dari kemajuan zaman, yangtidak akan mungkin dipertahankan terus menerus dan malahakan merugikan nasib mereka dalam alam kemajuan ilmudan tehnologi tetapi perlindungan itu juga bermakna em-powerment, pemberdayaan untuk siap berkompetasi pada eraglobal.

Paradigma baru pembangunan mesti dikembangkan atasdasar pareto superiority yakni membangun tanpa merugikankepentingan orang lain, sebaliknya apa yang selama ini diprak­tekkan yakni membangun dengan mengorbankan kepen­tingan orang lain, pareto optimality, harus segera ditinggalkan.8

Kesimpulan

Pada prinsipnya UUPA­1960 masih tetap bisa diper­tahankan dengan memperbaiki, melengkapi aturan pelak­sanaannya. Penyesuaian penerapannya dengan keadaanbaru memerlukan peninjauan kembali baik pada peraturanpelaksanaan yang telah ada, maupun yang akan dikeluarkankemudian hari. Aspek efektivitas hukum sangat penting

7 Kompas , Rebo 15 Desember 2004. Ekonom peraih Nobel inimengecam IMF karena kegaga-lannya memberikan resep penyelamatanekonomi Indonesia.Negara Negara yang mengikuti sepenuhnya petunjukIMF tidak ada yang berhasil lepas dari keterpurukan ekonomi baik diAmerika Latin maupun di Asia termasuk Indonesia.

8 Jeffrie G.Murphy, Philosophy of Law, Westview Press Boulder,1990, h.181-229.

153

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

dikaji kembali, karena kemungkinan terdapat cacat padaperaturannya, kelemahan pelaksanaannya, maupun du­kungan masyarakat berdasarkan kesadaran hukumnya masihperlu dperhatikan. Oleh karena pelaksanan atau penerapanUUPA merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan pem­bangunan ekonomi, maka pemihakan terahadap kepen­tingan rakyat terbesar yang harus lebih diutamakan dantercermin dalam rencana pembangunan ekonomi kita kedepan.

Daftar Pustaka

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Cetakan IX,Jambatan , Jakarta 2003

Hung Chao Tai, Landreform and Politics, University of Cali­fornia Press, 1974

Murphy G.Jefferie, Philosophy of Law, Westview PressBouilde, 1990.

Peters, Rechts als Project.Sri Hayati, Restrukturisasi Hak atas tanah dalam Rangka

Pembaruan Hukum Agraria Nasional’ PidatoPengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universi­tas Airlangga Surabaya, 6 Maret 2005.

Kompas, Rabu 15 Desember 2004.

LANDASAN KEBIJAKANEKONOMI PELAKSANAAN

PEMBARUAN AGRARIA

156

Ekonomi Kerakyatan:

Taufik Sumawinata(62 21) 576 2701 ext. [email protected]

14 November 2006

Industrialisasi Pedesaan

1. Tujuan pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Masyarakat yang mana? Mayoritas masyarakat

Indonesia (80%) adalah petani, nelayan dan pedagang kecil.

Petani tanpa sawah dan kebun, nelayan tanpa kapal, pedagang

tanpa modal dan akses kredit. Mereka adalah “buruh” petani,

“buruh” nelayan, dan “buruh” pedagang kecil di pedesaan.

2. Sehingga sesungguhnya, aktivitas pembangunan ekonomi

seharusnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan para

“buruh” ini.

3. Untuk itu, salah konsep dasar ekonomi kerakyatan, adalah

keberpihakan negara atas mayoritas rakyat yang miskin “assets,

capital, dan land”, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar

mekanisme pasar yang berlaku di Indonesia.

1. Seringkali masyarakat mengartikan bahwa sistem mekanisme

pasar adalah identik dengan ekonomi modern (misalnya

kapitalisme) dan ekonomi rakyat identik dengan ekonomi gaya

“kiri”. Padahal sistem mekanisme pasar telah ada sejak jaman

dahulu sebelum konsep kapitalisme ala Barat tercipta. Dijaman

merkantilisme, mekanisme pasar (demand versus supply) telah

menjadi landasan majunya perdagangan kerajaan Inggris. Karena

ada permintaan, banyak perusahaan mencari rempah-rempah di

belahan dunia lain dan ini mendorong perusahaan perdagangan

Inggris melakukan eksplorasi ke seluruh dunia.

2. Ekonomi rakyat tidak lebih kiri dengan konsep welfare state

di Inggris dan Amerika Serikat, dimana Inggris memberikan

pelayanan kesehatan gratis, sedangkan Amerika Serikat

memberikan food stamp (kupon makanan) bagi yang tidak mampu

membeli makanan, dan Medicare dan Mediaids untuk program

kesehatan. Keberpihakan untuk kaum minoritas di negara adidaya

seperti Amerika Serikat sama sekali tidak memberikan cap “kiri”

bagi negara kapitalis paling maju di dunia.

Apa tujuan

Pembangunan?

Ekonomi Kerakyatan

dengan Mekanisme Pasar

EKONOMI KERAKYATAN:INDUSTRIALISASI PEDESAAN

Taufik Sumawinata*

*) NC Securities.

157

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

1. Ide sentral ekonomi kerakyatan adalah industrialisasi pedesaan.

Mengapa? Pertama, dalam sejarah ekonomi dunia, industrialisasi

merupakan lokomotif perekonomian Amerika Serikat dan Eropa,

dimulai dengan ditemukannya baja, telefon, dan lainnya. Sehingga

industrialisasi merupakan syarat utama memajukan suatu

perekonomian. Salah satu ciri utama dari industrialisasi adalah

penguasaan tehnologi. Kedua, sebagian rakyat berada di desa.

Ketiga, untuk tetap bisa bersaing, para petani, nelayan, dan

pedagang harus dilengkapi dengan tehnologi yang mencukupi.

2. Industrialisasi pedesaan adalah “memindahkan” kegiatan

ekonomi dengan skala industri ke daerah pedesaan. Didalam kosa

kata industrialisasi termasuk cara berproduksi, akses kredit, akses

bahan baku, tehnologi manajemen, pemasaran, pembukuan, dan

lainnya. Selain itu industrialisasi pedesaan sama sekali tidak

meninggalkan prinsip mekanisme pasar yang berlaku diseluruh

dunia.

1. Tehnologi yang dimaksud bukan tehnologi canggih membuat

pesawat terbang, kapal laut, atau tehnologi robot komputerisasi.

Tehnologi yang diperlukan adalah tehnologi tepat guna, tehnologi

madya, yang langsung meningkatkan produktifitas –sekaligus

kualitas- para petani, nelayan dan pedagang kecil ini.

2. Manejemen adalah tehnologi. Pembukuan yang rapi, pengaturan

pembelian bahan baku, negosiasi pembayaran adalah tehnologi.

Sehingga keperluan untuk tehnologi canggih tidak diperlukan

dalam program ekonomi kerakyatan, baru dalam stage berikutnya,

setelah perekonomian bangkit, maka Indonesia akan masuk dalam

era ekonomi modern.

3. Supervisi juga masuk dalam kategori madya ini. Contohnya,

petani perlu diberi tahu bahwa cara memetik dengan menjaga

tangkai tetap utuh akan memberikan tambahan daya tahan buah

mangga selama satu minggu!

4. Tehnologi madya merupakan tehnologi yang paling cocok bagi

para petani dan nelayan. Traktor kecil merupakan contoh yang

paling tepat. Tidak saja memberikan produktifitas mengolah tanah

lebih cepat, tetapi kualitas pengerjaan juga lebih tinggi. Peralatan

panen padi, dengan tehnologi sederhana, akan membuat hasil

beras yang lebih baik.

Industrialisasi Pedesaan

Tehnologi Tepat Guna

14 November 2006 5. Mesin serut, mesin amplas dan gerjaji listrik berkapasitas kecil

akan meningkatkan produktifitas perajin kayu (furniture, patung)

dan kualitas produknya. Bayangkan seorang buruh biasanya

memerlukan waktu seharian untuk satu lemari, tetapi dengan

mesin amplas, dia hanya memerlukan waktu tidak lebih dari 2

jam. Sehingga dalam satu hari, jumlah lemari yang dia amplas

bisa meningkat 5 sampai 10 buah.

6. Semua tehnologi ini harus dipasok kedalam ekonomi pedesaan,

sehingga “industriliasi pedesaan” akan menjadi motor

kebangkitan mereka. Tetapi ini memerlukan keberpihakan negara

dalam meng-alokasi sumber daya mereka. Modal diperlukan untuk

membiayai mesin dan modal kerja. Universitas diperlukan untuk

supervisi. Pengusaha diperlukan sebagai partner.

7. Sehingga proyek industrialisasi ini tidak bisa dilakukan hanya

dalam satu angle saja. Perbankan tidak bisa bekerja sendiri,

karena agar proyek “ndeso” ini berhasil, tetap diperlukan studi

kelayakan yang diperlukan dalam menurunkan kredit, sekaligus

menjaga prosedur perbankan yang benar.

158

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Infrastruktur Komponen

Utama1. Selain itu, seperti semua industrialisasi, listrik merupakan

faktor utama penentu keberhasilan. Tanpa listrik, desa tidak bisa

masuk dalam wawasan ekonomi “semi modern”. Mesin amplas

tidak jalan, begitu pula mesin gergaji. Artinya, industrialisasi

pedesaan harus mempunyai “integrated approach”, tidak bisa

sendiri-sendiri. Dan untuk ini, masyarakat pedesaan tidak mampu.

2. Jalan-jalan pedesaan harus diperbaiki, karena tanpa

transportasi pedesaan akan tetap terisolasi, sehingga produk-

produknya tidak dapat dipasarkan dengan harga paling efisien.

1. Sentra-sentra industrialisasi harus di-indetifikasi. Misalnya

dimana usaha furniture harus dibangun, begitu pula usaha budi

daya buah mangga. Listrik harus masuk desa, jalan harus layak

untuk menjadi sarana penjualan hasil produksi, layanan perbankan

harus ada di pedesaan. Tanpa perencanaan menyeluruh,

industrialisasi pedesaan (atau ekonomi kerakayatan) tidak akan

berhasil!

2. Isu “perencanaan” versus “mekanisme pasar bebas” juga

seharusnya tidak dipertentangkan. Perencanaan jangan dianggap

komoditi yang tabu. Perencanaan bukan produk tunggal sistem

Perencanaan bukan anti

pasar

14 November 2006 ekonomi Soviet yang gagal. Pasalnya, tanpa perencanaan yang

baik, ekonomi Jepang tidak akan bangkit dari kehancuran Perang

Dunia ke II. Sehingga, sesungguhnya, perencanaan akan

memberikan manfaat yang tinggi bilamana rencana tersebut

mempunyai kualitas yang baik. Kata kuncinya adalah perencanaan

yang berkualitas.

3. Contoh pilot project adalah membangun industri minyak goreng

di pedesaan. Disetiap desa, satu keluarga bisa menanam 10 sampai

20 pohon kelapa sawit. Bila satu desa ada 100 keluarga, maka

jumlah pohon bisa mencapai 2000. Bila ada 10 desa yang

berdekatan, maka akan ada 20.000 pohon kelapa sawit. Di pusat

penelitian CPO Medan, telah dibangun protipe mesin pengolah

kelapa sawit menjadi CPO dengan kapasitas yang rendah, bukan

untuk perkebunan besar. Bayangkan kalau desa ini bisa

menghasilkan minyak goreng untuk kebutuhan sendiri, plus

menjual sisanya ke wilayah lainnya, maka perkebunan besar tidak

lagi diharuskan menjual produknya kedalam negeri, dan langsung

berkonsentrasi menjual keluar negeri. Dua manfaat terjadi.

Pertama, penduduk desa semakin makmur. Kedua, negara

mendapat panghasilan lebih besar dari ekspor!

1. Industrialisasi pedesaan adalah kata kunci dari ekonomi

kerakyatan. Pasalnya, dengan industrialisasi, kualitas dan

produktifitas terjaga, sehingga desa mampu bersaing di dalam

sistem ekonomi yang modern. Pedesaan tidak diberikan

“sedekah”, tetapi mereka dilatih menjadi industrialis yang

handal, yang akan berhadapan dengan industrialis lainnya dalam

sistem mekanisme pasar. Dalam sistem mekanisme pasar ini, bila

pemain pasar yang dapat menyediakan barang dengan kualitas

bagus dengan harga yang kompetitif, maka pemain pasar tersebut

akan “survive”.

2. Sehingga, sesungguhnya, ekonomi kerakyatan bukanlah konsep

ekonomi yang memberikan “sedekah” kepada masyarakat miskin,

tetapi memberikan mereka “kesempatan” untuk menjadi

industrialis.

1. Konsep-konsep demokrasi tetap terjaga, begitu pula kebebasan

individual. Malahan prinsip demokrasi (apapun bentuknya, seperti

Industrialisasi pedesaan

adalah kunci Ekonomi

kerakyatan

Ekonomi kerakyatan tetap

menjaga konsep Demokrasi

159

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

demokrasi pancasila) merupakan prasyarat berhasilnya ekonomi

kerakyatan. Gagalnya koperasi di pedesaan kebanyakan karena

masih utuhnya budaya feodal di pedesaan, dimana kepala desa

merupakan penguasa tunggal. Masuknya institusi koperasi yang

notebene adalah institusi bisnis modern, secara frontal

bertubrukan dengan institusi kuno dan kolot (feudal). Sehingga

14 November 2006

Ekonomi Kerakyatan

menjawab banyak masalah

akhirnya, karena kuatnya budaya kuno ini, koperasi gagal

melakukan misinya, karena koperasi tidak bisa bergerak bebas

melakukan bisnisnya, tetapi tetap tunduk pada nilai-nilai feudal

yang bercokol dipedesaan. Kepentingan koperasi bisa tunduk

kepada kepentingan kepala desa.

2. Keberhasilan ekonomi kerakyatan, yang meningkatkan

pendapatan rakyat pedesaan, akan menimbulkan elit politik baru

yang mempunyai kekuatan politik di daerah dan wilayah regional.

Hal ini akan menjadi ancaman bagi elit lama dan sekaligus

menjadi sumbangan rakyat pedesaan dalam meningkatkan mutu

demokrasi.

1. Seringkali banyak orang menyalah artikan koperasi. Koperasi

bukan identik dengan ekonomi kerakyatan. Koperasi hanyalah

bentuk badan usaha yang ada dalam pedesaan dalam usaha

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Padahal dalam

melakukan industrialisasi pedesaan, berbagai macam bentuk usaha

bisa menjadi sarana peningkatan kemakmuran. Badan usaha itu

bisa PT, CV, Ventura, koperasi dan lainnya.

2. Pemilihan bentuk koperasi dalam era Bung Hatta dan pemikir

Soedjatmoko berdasarkan pertimbangan urun serta para

pemegang saham (petani/buruh) dalam perekonomian nasional

secara “equal”. Tetapi lebih dari itu, alasan utamanya adalah

komponen modernitas seperti manajemen perusahaan,

keterbukaan masalah keuangan, dan lainnya, yang sebetulnya juga

melekat dalam bentuk-bentuk usaha lainnya.

1. Perlu juga di-ingat, bilamana ekonomi kerakyatan ini bisa

berjalan, berbagai masalah seperti urbanisasi, kemiskinan di

daerah kota, pengangguran bisa secara terjawab sudah.

2. Urbanisasi. Dengan industrialisasi pedesaan, masyarakat

pedesaan tidak lagi mempunyai insentif untuk mencari kerja di

perkotaan. Brain Draining intelektual pedesaan bisa terhindar,

sehingga para intelektual pedesaan ini tetap bertahan di

pedesaan dan membantu proses industrialisasi.

3. Ketahanan Pangan dan Enerji. Ketahanan pangan dan enerji

harus selaras dengan industrialisasi pedesaan, dan ini akan

tergantung dengan “perencanaan” pemerintah pusat tentang

sentra-sentra (lokasi) mana yang akan dipilih. Faktor tehnologi

juga sudah masuk dalam konsep industrialisasi pedesaan, sehingga

ide Green Revolution seharusnya dilihat dari pilihan strategi

Ekonomi kerakyatan bukan

koperasi

14 November 2006 menaikkan produksi pangan melalui eksternalisasi (menaikkan

jumlah lahan) atau internalisasi (green revolution, menanam bibit

tanaman yang lebih tinggi produksinya). Green Revolution

hanyalah salah satu komponen dari industrilasasi pedesaan, bukan

isu sentral, tetapi sangat penting dalam mensukseskan program

industrialisasi pedesaan.

4. Industrialisasi pedesaan memasukkan pedesaan kedalam

struktur market formal. Hal ini merupakan ciri penting dari

industrialisasi pedesaan, karena kegiatan pedesaan otomatis

160

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

masuk dalam struktur market formal, termasuk didalamnya

transaksi perbankan. Hal ini berarti sebagian produksi ekonomi

informal akan masuk dalam perhitungan PDB, dan potensi

pendapatan pajak bagi negara sangat besar.

5. Industrialisasi pedesaan sesuai dengan Desentralisasi/

Otonomi Daerah. Tuntutan daerah atas kurangnya perhatian

pemerintah pusat terjawab dengan strategi pembangunan ini.

Masyarakat pedesaan secara ekonomi terangkat derajatnya dan hal

ini akan mengangkat kesadaran demokrasi mereka. Pendapatan

daerah juga akan meningkat, sehingga akan mengurangi

ketimpangan antara daerah yang sejahtera (karena pendapatan

sumber alam) dengan daerah miskin.

6. Industrialisasi pedesaan meningkatkan Pasar Domestik.

Indonesia dengan jumlah penduduk yang relatif besar tidak berarti

mempunyai pasar domestik yang besar karena pendapatan per

kapita yang rendah. Dengan naiknya pendapatan pedesaan

otomatis pasar domestik akan semakin besar, sehingga bagi para

pengusaha orientasi investasi tidak semata dikosentrasikan kepada

pasar luar negeri (export oriented).

7. Industrialisasi Pedesaan adalah wujud dari Growth with

Equality. Hasil akhir dari industrialisasi adalah pemerataan hasil

pertumbuhan ekonomi yang dinikmati tidak saja masyarakat

perkotaan, tetapi juga masyarakat pedesaan.

161

Micro Reflects Reality More than

Macro

• Micro in good condition Macro always in goodMicro in good condition Macro always in good condition

• Macro in good condition Micro may not

• Menghitung Macro economy– Expenditure: C+ I + G + X – M

– Value Added: Salaries + Profit + Taxes + Rent

• Mendistribusi tanah untuk meningkatkan value added, value added siapa?value added siapa?

• Proses produksi menjadi perhatian utama, sehinggaperhatian atas masalah microeconomics menjadi sangatpenting dalam meningkatkan kapasitas makro ekonomi

• Micro lebih flexible dibandingkan dengan macro bilamana ada external shock

t2

Microeconomics / Corporate

Black

Box

*) Taufik Sumawinata, NC Securities.

162

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Problems Micro

• Project Value: Profitability• Capital : Capex dan Working Capital• Labor: Productivity• Land: Kepastian hukum, lokasi, dan

kesuburan menentukan value

t4

Value for Stakeholders (1)

• Government• Penerima hak Tanah: Petani/Buruh,

Pengusaha Besar dan Kecil• Publik

t3

163

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Value for Stakeholders (2)

• PetaniMenjadi Assets– Menjadi Assets:

• Agunan• Incentive untuk menjaga assets

– Tetapi masalah Black Box bukan hanya Assets dan Cash Flow

– Marketing, kredit, manajemen merupakanMarketing, kredit, manajemen merupakan kesatuan dari tehnologi, dan petani harus mempunyai akses terhadap semua komponen faktor produksi ini

Comprehensive Solution (1)

• Meningkatkan pendapatan petani harus dilihat dari bagaimana meningkatkan produksi dandari bagaimana meningkatkan produksi dan produktifitas petani. Pemberian tanah tidak bisa menyelesaikan semua masalah akses faktor produksi, hanya dua yang terjawab: asset dan cash flow

• Tetapi proses mendapatkan kredit investasi dan working capital memerlukan tehnologi lain:working capital memerlukan tehnologi lain: penentuan barang produksi, prediksi pasar, pemasaran, transpotasi, akses kredit itu sendiri, dll

164

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Comprehensive Solution (2)

Industrialisasi Pedesaan• Reformasi Agraria hanya merupakan salah satu

komponen, penyedia assets dan kredit, minimal konflik dan kepastian hukum

• Industrialisasi adalah merupakan proses peningkatan pendapatan masyarakat yang l k d f kt d k i t h l i dlengkap dengan faktor produksi, tehnologi dan infrastruktur

• Syarat utama: ekonomi makro harus sehat

Comprehensive Solution (3)

Industrialisasi Pedesaan: Micro Approach for Macroeconomics problemsfor Macroeconomics problems

• Tujuan Pembangunan• Mekanisme Pasar• Tehnologi• Infrastruktur• Perencanaan• Demokrasi• Non Koperasi• Jawaban banyak masalah

165

Outline

• Pendahuluan• Tanah sebagai aset• Tanah sebagai faktor produksi• Tanah sebagai habitat

*) Iman Sugema, International Center for Applied Finance and Eco-nomics (Inter CAFÉInter CAFÉInter CAFÉInter CAFÉInter CAFÉ), Institut Pertanian Bogor.

Kebijakan Ekonomi BagiPelaksanaan Pembaruan

A iAgraria

Iman SugemaInternational Center for Applied Finance and Economics (Inter CAFÉ)

Institut Pertanian Bogor

166

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Pendahuluan

• Tanah dan manusia:– Asalsa– Tempat hidup– Akhir

• Bangsa yang lupa dan tidak mengelola tanahdengan baik:

• Lupa akan asal selalu membuat kesalahanyang berulangy g g

• Lupa sumber penghidupan tidak sejahtera• Lupa kemana akan berakhir tidak bisa

mewujudkan cita-cita

Fungsi Ekonomi Lahan

• Aset• Faktor produksi• Habitat

Kebijakan ekonomi harus diarahkan untukjmemaksimumkan fungsi dan nilai ekonomi

lahan

167

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Tanah sebagai ASET

• Aset yang paling esensial dan paling tuaAset yang paling esensial dan paling tua• Nilai aset: fungsi eksponensial• Evolusi: common access common

property private property• Implikasi: secured right• Implikasi: secured right• Conflicting used of asset

Kebijakan (ASSET)

• Aset = klaimAset klaim• Klaim menjadi berharga kalau memiliki

nilai legal certainty• Nilai aset menjadi berkurang manakala

terjadi diseconomies of scale (fragmentasi)(fragmentasi)

• Kebijakan:– Sertifikasi– Redistribusi

168

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Sertifikasi• Sertifikasi hanya memiliki arti kalau memberikan nilai

tambah:– Legal certaintyLegal certainty– Harga jual– Kemudahan mendapatkan kredit

• Policy:– Bagaimana kalau legal certainty tidak memiliki nilai

tambah? sertifikasi harus bebas biaya (terutamauntuk wilayah dimana tekanan penduduk sangatuntuk wilayah dimana tekanan penduduk sangatrendah dan adat masih kuat)

– Bagaimana kalau tanah tidak akan dijual tidakpunya nilai tambah insentif pajak untuk sertifikasi

– Bagaimana kalau pemilik tanah tidak bermaksudmengajukan kredit sertifikasi tidak memiliki nilaitambah

Redistribusi

• Miskin = tidak memiliki aset• Kaya = berlimpah dengan aset• Kaya = berlimpah dengan aset• Redistribusi lahan merupakan mekanisme untuk

pengentasan kemiskinan• Persepsi negatif: redistribusi lahan = komunis• Redistribusi tidak bisa berjalan sendiri karena

menimbulkan ongkos bagi penerimanyamenimbulkan ongkos bagi penerimanyapembukaan lahan dan penggarapan, pemeliharaan

• Karena itu di zaman Orde Baru redistribusilahan diintegrasikan ke dalam transmigrasi danPIR (Reforma Agraria terselubung)

169

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Tanah sebagai FAKTOR PRODUKSI

• Tanah merupakan faktor produksi yang• Tanah merupakan faktor produksi yang paling esensial disamping tenaga kerjadan modal

• Masalah:– Tekanan penduduk fragmentasi

di i f ldiseconomies of scale– Produktifitas marjinalisasi– Pergeseran tata guna lahan– Lahan tidur

Kebijakan (FAKTOR PRODUKSI)

P d l h t i b di• Pencadangan lahan pertanian abadi• Pencetakan lahan pertanian baru

redistribusi• Skema reboisasi dan rehabilitasi (moral

h d)hazard)• Disinsentif pajak untuk lahan tidur

170

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Tanah sebagi HABITAT

Tanah adalah komponen utam habitat• Tanah adalah komponen utam habitat• Interaksi manusia dengan habitat

menghasilkan kultur etos danproduktifitas

• Tekanan penduduk menuntut• Tekanan penduduk menuntutpeningkatan produktifitas perubahankultur

Kebijakan (HABITAT)

• Pendidikan• Penyuluhan• Pelatihan• Teknologi

171

Outline

PendahuluanJustifikasi Ekonomi PPANSkema Kebijakan Pembiayaan PPANPenutup

*) Dr. Hermanto Siregar, Brighten Institute & Dept. Ilmu Ekonomi – IPB.

SKEMA KEBIJAKAN KEUANGAN UNTUK MENDUKUNG PELAKSANAAN PROGRAM

A A AG A A AS O A ( A )PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN)

Dr. Hermanto SiregarBrighten Institute & Dept. Ilmu Ekonomi – IPB

Simposium Agraria NasionalMedan, 15 November 2006

172

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

PENDAHULUAN

Reforma atau pembaruan agraria terkandung dalam Visi dan Misi Presiden RI, dan juga dikemukakan secara eksplisit oleh Presiden RI pada tanggal 21secara eksplisit oleh Presiden RI pada tanggal 21 September 2006 di Padang.Komitmen pemerintah terhadap reforma agraria: rencana pengalokasian lahan seluas 8.15 juta hektar

2.5 juta hektar akan dialokasikan kepada perusahaan perkebunan skala besarperkebunan skala besarSelebihnya untuk rakyat: pemenuhan kebutuhan untuk tempat tinggal dan sumber-sumber penghidupan rakyat

RA = kerja besar yang penuh tantangan...

... momentum penting yang harus dimanfaatkan secara baik solusi bagi masalah-masalah kritikal jangka pendek dan jangka panjang.Reforma agraria = Land Reform + Access Reform

LR = necessary conditionAR = sufficient condition

• Mengatasi masalah-masalah kritikal jangka pendek

• Memperkuat pondasi perekonomian tangguh dalam jangka panjang

Masalah kritikal yang kita hadapi: Kemiskinan Pengangguran.

PPANs o l u s i

173

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

JUSTIFIKASI EKONOMI PPAN

1. Pengangguran (U)2. Kemiskinan (Pov)

- U bukan semata-mata persoalan ketenaga-kerjaan( ) kerjaan

- Pov bukan sekedar masalah rendahnya daya-beli masyarakat.

U dan Pov merupakan permasalahan mendasar:

Tidak terpen hin a hak hak dasar rak at- Tidak terpenuhinya hak-hak dasar rakyat

- Memiliki konsekuensi tidak hanya pada bidang ekonomi, namun juga sosial/kemanusiaan, politik dan keamanan.

Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kawasan

4 7.9 7

4 5.3 0

4 0 .2 740

50

60

Kota

Desa

K+D

Profil Kemiskinan Indonesia

15.6 4

12 .4 0 12 .3 0

8 .6 0

13 .3 012 .2 0 11.4 0

12 .4 0 12 .6 314 .9 0

3 2 .3 3

2 6 .4 0

2 9 .3 0

2 5.10 2 5.10 2 4 .8 02 2 .70

2 7.6 4

3 0 .4 0

3 8 .70

2 5.10

3 7.503 8 .4 0

3 7.9 0

3 5.10

4 0 .2 7

3 6 .103 7.3 0

0

10

20

30

40

(Juta

Jiw

a)

Jumlah penduduk miskin pada periode 1999-2005 terus mengalami penurunan,kemudian mengalami kenaikan cukup tajam mulai Februari 2005-Maret 2006dampak kenaikan harga BBM yang berlebihan 1 Maret dan 1 Oktober 2005.

Jml penduduk miskin di perdesaan periode 1999-Maret 2006 sekitar 2 kali lebihbanyak daripada jumlah penduduk miskin di perkotaan desa relatif tak berdaya.

Sumber: BPS1999 Ags-99 2000 2001 2002 2003 2004 Feb-05 Jul-05 Mar-06

174

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Menurut Pulau, Tahun 1999-2004

20

25

30

1999

Profil Kemiskinan Indonesia

0

5

10

15

MA

TERA

JAW

A

+ N

USA

GGA

RA

MA

NTA

N

LA

WESI

LUK

U +

APU

A

(Juta

Jiw

a) 2000

2001

2002

2003

2004

Sumber: BPS

SU

MA

BA

LI +

TEN

G

KALIM

A

SULA

MA

L

PA

Kemiskinan paling banyak dijumpai di pulau Jawa, lalu di pulau Sumatera dan Sulawesi walaupun “akses” ke pasar dll relatif baik, kepadatan dan tekanan penduduk yg besar & ketersediaan lahan produktif perkapita yg kecilmenyebabkan kemiskinan di pulau Jawa relatif tinggi.

Distribusi Persentase Penduduk Miskin Menurut Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga

51.94

63.80

57.7054.17 57.69

59.58 58.83

50

60

70

Profil Kemiskinan Indonesia

Sumber: BPS

34.31 34.38

12.52

7.92

33.17

24.40

29.80

34.66 35.57

12.66

13.76 11.80

5.755.60

0

10

20

30

40

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

(%)

Persentase kepala rumahtangga miskin paling banyak berada di sektor pertanian.

Persentase tersebut lebih besar dibandingkan persentase kepala rumahtanggamiskin yang “tidak bekerja atau bekerja pada sektor-sektor lain”. Jadi secara umum,orang Indonesia miskin bukan karena tidak/malas bekerja.

Sumber: BPSTidak Berkerja/Lainnya Pertanian Industri

175

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Distribusi Persentase Penduduk Miskin Menurut Status Pekerjaan Kepala Rumah Tangga

40

50

60

70

Profil Kemiskinan Indonesia

0

10

20

30

1999 2000 2001 2002 2003 2004

Tidak Bekerja Berusaha Sendiri Berusaha Dibantu Karyawan/Buruh Pekerja Keluarga

Sumber: BPS

- Secara konsisten dari tahun ke tahun, kepala rumah tangga miskin yang tidakbekerja di bawah 10 persen dari total kepala rumah tangga miskin.

- Pada tahun-tahun terakhir, dominasi kepala rumah tangga miskin adalah yang“berusaha sendiri” termasuk para petani dan pelaku usaha mikro dan kecil miskinkarena “skala usaha” terlalu kecil.

Perkembangan Distribusi Persentase Penduduk Miskin Menurut Pendidikan Kepala RT

40

50

60

Profil Kemiskinan Indonesia

0

10

20

30

40

(%)

Persentase terbesar rumah tangga miskin didominasi oleh rumah tangga yangkepala rumahtangganya “tidak tamat SD” atau “(tamat) SD” miskin karenakebodohan.

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Tidak/Belum Tamat SD SD SLTP SLTA Di Atas SLTA Sumber: BPS

176

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Profil Pengangguran Indonesia

8.00

10.00

12.00

100.00

105.00

110.00Pengangguran (Juta Org)

Grow th Angkatan Kerja (%)

-

2.00

4.00

6.00

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 200580.00

85.00

90.00

95.00

Definisi Lamapenganggur terbuka

Definisi Barupenganggur terbuka

- Dari tahun ke tahun, dan seiring dengan peningkatan angkatan kerja, jumlah pengangguran terus meningkat secara persisten.

- Pengangguran yang persisten dapat menjelma menjadi hysteresis unemployment masalah pengangguran yang makin parah dan menciptakan berbagai persoalan serius lainnya.

Sumber : SAKERNAS (BPS) 1996-2005

Profil Pengangguran Indonesia

5,000

6,000

7,000

8,000

ng

Sumber: http://www.nakertrans.go.id

0

1,000

2,000

3,000

4,000

Jawa Sumatera Kalimantan Sulawesi Lainnya

000

oran

Kota Desa Jumlah

Kondisi Tahun 2005

- Sekitar 63 persen penganggur terbuka terdapat di Pulau Jawa, dan sebagian besarnya ada di perkotaan.

- Pada urutan selanjutnya, penganggur terbanyak terdapat di Sumatera dan Sulawesi. Sebagian besar di antaranya berada di perdesaan, dengan sumber pencaharian dari sektor pertanian.

177

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Profil Pengangguran Indonesia

Sudah punya tapibelum bekerja

Kategori Penganggur (Kondisi Thn 2005) • Diantara 10,8 juta jiwa penganggur terbuka tahun 2005, yang berinisiatif untuk

Mencari Pekerjaan

MempersiapkanUsaha

Merasa putus asa

j

Kota

Desa

berwirausaha sangat kecil.

• Jumlah terbesar di antara penganggur terbuka berstatus “mencari pekerjaan”.

• Sekitar 3,6 juta jiwa penganggur sudah “merasa putus asa” dalam mencari

0 2,000,000 4,000,000 6,000,000 8,000,000

Mencari Pekerjaan putus asa dalam mencari pekerjaan, dan 2 juta jiwa di antaranya berada di perdesaan.

Sumber: http://www.nakertrans.go.id

Profil Pengangguran Indonesia

4,000

5,000

6,000

7,000

rang Kota Desa Jumlah

Kondisi Tahun 2005

Sumber: http://www.nakertrans.go.id

0

1,000

2,000

3,000

15 -19 20-24 25-29 30-34 35-39

000

o

Kelompok Usia

- Sebagian besar (sekitar 60 persen) penganggur terbuka berusia di bawah 20 tahun; mereka dikenal dengan youth unemployement. Kelompok usia selanjutnya dimana banyak terdapat pengangguran adalah 20-24 tahun.

- Youth unemployment tersebar relatif merata di perkotaan maupun di perdesaan.

178

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Profil Pengangguran Indonesia

PendidikanLaki-laki

(%)Perempuan

(%)Jumlah

(000)

< SD 45.61 54.39 3,553.69

SMTP 52.17 47.83 2,680.81

SMTA 54 73 45 27 3 911 50

Kondisi Tahun 2005

SMTA 54.73 45.27 3,911.50

Diploma/Akademi 42.98 57.02 322.84

Universitas 47.87 52.13 385.42

Jumlah (000) 5,483.30 5,370.96 10,854.25

Desa Kota

Penganggur terbuka tahun 2005:• Paling banyak berpendidikan

SMTA, dan sebagian besar di perkotaan

Sumber: http://www.nakertrans.go.id

< SD SMTP SMTA Diploma/Akademi Universitas

perkotaan.• Sekitar 6.2 juta jiwa ber-

pendidikan SMTP ke bawah, dan sebagian besarnya (hampir 60%) berada di perdesaan.

PengangguranPengangguran yang sulit diturunkan (persisten) dapat berkembang menjadi hysteresis unemployment—

Strategi utk mengatasi-h l hhysteresis unemployment—

akan membutuhkan biaya yang lebih besar untuk me-mecahkannya, sehingga segera harus diatasi.

KemiskinanAngka chronicle poverty yang hampir 60% mem-butuhkan pemecahan yang berdampak

nya haruslah:

- Cepat

- Fokus dan efektif (pd/

thd unemployment

dan poverty)

- Berdampak nyata dlmpemecahan yang berdampak jangka panjang. Solusi jangka pendek/BLT tidak mencukupi.

jangka pendek s/d

jangka panjang.

179

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Kebijakan Riil Saat Ini

Kebijakan yang ada untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan cenderung bersifat:

parsial (seperti BLT)tidak fokus (seperti RUU Ketenagakerjaan)tidak fokus (seperti RUU Ketenagakerjaan)tidak memberikan dampak langsung (upaya-upaya utk menarik minat investor belum berdampak pada masuknya FDI dan pada penyerapan tenaga kerja; mungkin baru akan berdampak pd jangka panjang)

Kebijakan yang sudah dicanangkan oleh Presiden RI 1,5 tahun yang lalu, yaitu Revitalisasi PPK:

belum diimplementasikan secara efektifsehingga belum memberikan dampak yang berarti bagi rakyat banyak.

Upaya pengembangan UMKM belum berdampak nyata dalam penurunan pengangguran dan kemiskinan.

PPAN = Alternatif Kebijakan Riil yg Dibutuhkan

Diperlukan kebijakan sektor riil yg formulasi dan eksekusi-nya dpt dilakukan secara cepat, fokus, dan akan mem-berikan dampak langsung pada jangka pendek DAN jangka panjang.p j gSektor riil yang memiliki sifat-sifat tsb adalah yang dapat menyerap banyak tenaga kerja (padat karya) dan sensitif mengurangi kemiskinan, terutama pertanian dan pengolahannya.

Pertanian (on farm): menyerap banyak tenaga kerja, sejak penyiapan lahannya hingga panen terutama luar JawaPengolahan (agro-industri): linkages dan multiplier tenaga kerja yg tinggi Jawa dan luar JawaInfrastruktur: prakondisi bagi kemajuan pertanian dan agro-industri Jawa dan luar JawaPerumahan: salah satu elemen penting hak dasar rakyat Jawa dan luar Jawa.

180

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

SKEMA KEBIJAKAN PEMBIAYAAN

PPAN: SUATU POTENSI

Sumber pembiayaan PPAN dapat berasal dari domestik maupun luar negeri:maupun luar negeri:

APBN

Sumber Pembiayaan

Perbankan

Non-Bank

Asuransi

Dana Pensiun

Sumber dana dalam negeri

Luar Negeri

Pensiun

Reksadana

Sumber Pembiayaan APBN: Hendaknya difokuskan untuk pemenuhan hak-hak dasar rakyat

Tanah untuk pengembangan sumber ekonomi dan untuk shelteruntuk shelterInfrastruktur dasar untuk membuka akses rakyat guna pengembangan ekonominya Sarana pendidikan dan kesehatan untuk peningkatan kualitas SDM terutama di perdesaan

Setidaknya diperlukan besaran anggaran 1.5 –2 0 d i PDB ti t h (R 37 502.0 persen dari PDB setiap tahun (Rp 37 – 50 triliun).

181

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Sumber Pembiayaan Perbankan: Digunakan untuk perkebunan dan agroindustriTotal loanable fund yang dimiliki perbankan di atas Rp 950 triliun.

Kredit investasi yang disalurkan untuk pertanian masihKredit investasi yang disalurkan untuk pertanian masih relatif kecil (sekitar Rp 16 triliun)Kredit yang disalurkan untuk infrastruktur (secara keseluruhan) sekitar Rp 70 triliun

Diharapkan jumlah pembiayaan dari perbankan setidaknya sama dengan jumlah pembiayaan melalui APBNPenurunan suku bunga SBI masih perlu dilakukan agar suku bunga kredit menjadi lebih rendah, atau mendirikan Bank Pertanian & Perdesaan.

Sumber Pembiayaan Non-Bank: Digunakan untuk perkebunan dan agroindustriSangat terbatas total jumlah investasi dari lembaga keuangan non bank (Dana pensiun, Asuransi dan Reksa Dana) bernilai sekitar Rp 250 triliun, diantaranya Rp 165 trn merupakan investasi pada instrumen pasar modal.Besaran sekitar 1/5 dari pembiayaan bank sudah cukup baik.

Sumber Pembiayaan Luar Negeri: untukSumber Pembiayaan Luar Negeri: untuk infrastruktur dasar, sarana pendidikan dan kesehatan.

182

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Contoh: Lembaga Fasilitas Pembiayaan Khusus (Infrastruktur)

LembagaDonor

PEMERINTAH

RDI

Pemberian Pinjaman

Pinjaman

an

Dana Asuransi

P j t

Dana Pensiun

BankDANA

PEMBIAYAANINFRASTRUKTUR

RDI

Pem

beria

n P

inja

man

Pen

erus

an P

inja

ma

*0

Ear

ning

Pen

yert

aan

PASAR MODAL

Saham Obligasi

Sumber: Tim Pembiayaan Percepatan Infrastruktur

Project Sponsor

PEMDA

PROYEK

Reksadana Pin

jam

an*)

Pem

beria

n P

inja

man

Ear

ning

Pen

yert

aan*

*

PENUTUP

PPAN merupakan pilihan yang efektif untuk mengatasi masalah kritikal perekonomian IndonesiaPPAN perlu segera dilaksanakan, dan pelaksanaannya harus fokus pada satu-dua kegiatanPendanaan PPAN dapat dilakukan denganPendanaan PPAN dapat dilakukan dengan APBN, Perbankan, Non-perbankan, dan Pembiayaan luar negeri.

BBBBBAAAAAGIANGIANGIANGIANGIAN II: SIMPOSIU II: SIMPOSIU II: SIMPOSIU II: SIMPOSIU II: SIMPOSIUM MAKASSM MAKASSM MAKASSM MAKASSM MAKASSAR,AR,AR,AR,AR,

4 D4 D4 D4 D4 DESEMBERESEMBERESEMBERESEMBERESEMBER 2006 2006 2006 2006 2006

“STRA“STRA“STRA“STRA“STRATEGI IMPLEMENTTEGI IMPLEMENTTEGI IMPLEMENTTEGI IMPLEMENTTEGI IMPLEMENTASI PRASI PRASI PRASI PRASI PROGRAMOGRAMOGRAMOGRAMOGRAM

PEMBPEMBPEMBPEMBPEMBARARARARARUUUUUAN AAN AAN AAN AAN AGRARIA NGRARIA NGRARIA NGRARIA NGRARIA NASIASIASIASIASIOOOOONNNNNAL”AL”AL”AL”AL”

185

KERANGKA ACUAN KHUSUS

Simposium Agraria Nasional Kedua“Strategi Implementasi Program Pembaruan

Agraria Nasional”Makassar, 29 November 2006

A. Latar Belakang

Seperti kita ketahui, perubahan paradigma politik danpembangunan sejak dekade 1970-an lebih diarahkan padakebijakan makro ekonomi dan stabilitas politik untukmengejar pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya.Pada saat yang sama, program-program pelaksanaan pem-baruan agraria (yang oleh UUPA ditempatkan sebagaiprasyarat fundamental bagi pembangunan ekonomi danproses industrialisasi nasional) tidak lagi diposisikan sebagaivariabel penentu dalam proses perencanaan pembangunannasional. Lambat namun pasti, hal ini telah mengakibatkankondisi ketimpangan struktural dalam penguasaan danpemilikan sumber-sumber agraria terus berlanjut dan bah-kan semakin menajam. Di samping itu, ia juga melahirkankomplikasi tambahan terhadap persoalan agraria nasional,

186

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

baik secara politis, yuridis, kelembagaan, sosial, ekonomi,maupun lingkungan dan ekologis.

Adanya komplikasi dan konstelasi seperti dipaparkandi atas telah melahirkan beberapa problematika yang harusdigulati bangsa ini. Pertama adalah kesenjangan antara cita-cita kemerdekaan di bidang agraria dengan agenda politikagraria nasional yang ada. Kedua, kesenjangan antara impe-ratif pelaksanaan pembaruan agraria (baik yang berasal darituntutan cita-cita kemerdekaan, nilai-nilai luhur kebangsaandan konstitusi maupun tuntutan dari kenyataan di lapangan)dengan perangkat hukum, kebijakan dan kelembagaan yangada untuk pelaksanaannya. Ketiga, kesenjangan antaramerebaknya konflik agraria dan inisiatif penataan agrariadi aras lokal dengan kemauan pemerintah untuk menanga-ninya secara terpadu menurut jiwa dan semangat UUPA.Keempat, kesenjangan di dalam desain perencanaan pem-bangunan nasional yang dapat mendukung revitalisasi perta-nian dan industrialisasi pedesaan dalam arti luas.

Dengan demikian, komplikasi di atas dan aneka dam-pak yang ditimbulkannya telah menciptakan ancaman men-dasar bagi keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebang-saan dan kenegaraan kita sehingga upaya penanganan danpenyelesaiannya secara komprehensif menjadi sebuah impe-ratif tersendiri. Hal ini tentu bukanlah hal yang mudah samasekali. Ia menuntut adanya upaya kolektif untuk mengem-bangkan pemikiran kritis dan terobosan kebijakan alternatifdalam menangani dan memecahkan persoalan mendasar ini.Selain itu, kesepahaman dan kerjasama yang baik di antarasemua komponen bangsa mutlak diperlukan.

Setelah Simposium Agraria Nasional pertama yang di-

187

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

selenggarakan di Medan mengidentifikasi, membahas danmendiskusikan secara mendalam landasan-landasan politik,hukum, sosial dan ekonomi untuk mengatasi komplikasipersoalan agraria ini dalam kerangka program pembaruanagraria nasional, maka lebih lanjut pada tataran implemen-tasinya perlu dikaji dan ditelaah secara mendalam langkah-langkah yang lebih operasional dalam pelaksanaan programpembaruan agraria nasional ini. Dalam kaitan ini, maka Sim-posium Agraria Nasional kedua di Makassar akan memfo-kuskan pada topik: “Strategi Implementasi Program Pemba-ruan Agraria Nasional.” Melalui Simposium ini diharapkandilahirkan berbagai pemikiran kritis, terobosan kebijakan,dan langkah-langkah strategis dan operasional yang dapatdigunakan oleh pemerintah di dalam menjalankan programpembaruan agraria nasional sehingga dapat menjamin opti-malisasi manfaat, potensi, kontribusi, dan kepentingan ma-syarakat, daerah, dan nasional.

Kajian dan telaah yang mendalam atas topik ini amatpenting terutama untuk merespon komitmen politik peme-rintah yang cukup kuat dalam upaya menyelesaikan perso-alan agraria di tanah air. Seperti diketahui, pucuk pimpinannasional sendiri telah menggariskan agenda pembaruanagraria dalam visi dan misi pemerintahannya yang disebut-kan dalam dua konteks, yakni dalam agenda: “perbaikandan penciptaan kesempatan kerja” dan “revitalisasi pertaniandan aktivitas pedesaan”. Lebih lanjut, Presiden SBY telahmenggariskan strategi pembangunan yang memberikan per-hatian pada agenda revitalisasi pedesaan, revitalisasi perta-nian, pembangunan perumahan rakyat, dan pembangunaninfrastruktur ekonomi dan sosial. Sebagai satu bentuk

188

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

kebijakan konkretnya, belum lama ini Presiden SBY sudahmenca-nangkan untuk mengalokasikan 8,1 juta hektar lahanuntuk diredistribusi kepada rakyat sebagai bagian programrevitalisasi pertanian dan kehutanan. Kesemuanya ini tentuharus segera ditindaklanjuti secara lebih operasional padatataran kebijakan dan implementasi di lapangan serta dapatdiarahkan untuk penataan kembali struktur penguasaanagraria dan penyediaan program-program pendukungnya.Apabila hal ini bisa dilakukan, tentu ia akan merupakanpelaksanaan pembaruan agraria yang menyeluruh dalam artiyang sebenarnya.

B. Kerangka Acuan Khusus untuk Simposium Kedua

Dalam rangka memberikan dorongan lebih kuat bagipelaksanaan komitmen politik dan kebijakan pemerintahini, maka dipandang perlu untuk menyelenggarakan Sim-posium Agraria Nasional yang kedua yang bertempat diMakassar. Simposium ini sendiri merupakan bagian dari tigaseri Simposium Nasional yang dilaksanakan di tiga tempatterpisah, yaitu berturut-turut di Medan, Makassar dan Jakar-ta, yang masing-masing membahas tiga topik besar yangberbeda namun saling berkaitan.

Sesuai dengan topik yang diangkat, yaitu mengenaistrategi implementasi program pembaruan agraria nasional,maka dalam Simposium Agraria Nasional yang kedua iniakan dibahas dan didiskusikan beberapa pokok pertanyaansebagai berikut:(1) Kerangka, prinsip dasar, dan strategi program pemba-

ruan agraria nasional;(2) Identifikasi obyek-obyek pembaruan agraria: sasaran,

189

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

mekanisme dan prosedur penentuannya, serta proses pene-tapannya (termasuk pelibatan masyarakat di dalamnya);

(3) Identifikasi subyek-subyek pembaruan agraria danmemastikan keterkaitannya dengan kantong-kantongkemiskinan dan daerah tertinggal;

(4) Skema-skema hak yang ditetapkan atas obyek-obyekpembaruan agraria supaya menjamin distribusi yangadil, mendorong lahirnya produktivitas dan sumber-sumber kesejahteraan, dan dapat berkelanjutan;

(5) Identifikasi program-program untuk mengintegrasikanjaminan aset atas tanah dan dukungan akses yang lebihluas sebagai kesatuan paket program pembaruan agrariaserta mekanisme implementasinya; dan

(6) Prasyarat-prasyarat pendukung lainnya, baik di levelsinergi lembaga-lembaga pemerintahan maupun parti-sipasi organisasi petani.

C. Pelaksana Kegiatan

Kegiatan Simposium Agraria Nasional yang kedua inisecara teknis-operasional dilaksanakan oleh jajaran KanwilBPN RI Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan dari sisi sub-stansi di bawah tanggung jawab Panitia Pusat Bulan BhaktiAgraria Tahun 2006 BPN RI yang didukung oleh BrightenInstitute, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) danKonsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

D. Waktu dan Tempat Kegiatan

Simposium Agraria Nasional yang kedua ini dilaksana-kan pada hari Rabu, 29 November 2006 di kota Makassar,Sulawesi Selatan.

190

SAMBUTAN

Kepala Badan Pertanahan NasionalRepublik Indonesia Pada Simposium AgrariaNasional Kedua Makassar, Provinsi Sulawesi

Selatan, 04 Desember 2006

BismillahirrahmanirrahimAssalamu ‘Alaikum Wr. Wb.Yang saya hormati Gubernur Sulawesi Selatan yang

diwakili Sekretaris Daerah Sulawesi Selatan. Para cerdikcendekia, para tokoh masyarakat, para pemimpin agama,para pegiat pembangunan. Teman-teman gerakan agrariadan serikat-serikat petani, para akademisi. Saudara-saudarasemua yang hadir pada hari ini, termasuk keluarga besarBadan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Hari ini sebagian yang sudah mengenal saya agak kagetkarena saya tampil berbeda. Kata Sekretaris Daerah sayasudah menjadi orang Bugis. Semoga pakaian yang saya pakaitidak menghambat berbicara karena agak kesempitan diperut.

Ibu-Bapak, saudara-saudara sekalian.Insya Allah pada kesempatan ini saya tidak berbicara

191

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

terlalu panjang, karena saudara tahu saya terlambat, jadiminta maaf. Tetapi saya akan menyampaikan beberapa halpenting.

Di berbagai kesempatan untuk mematangkan reformaagraria atau pembaruan agraria nasional, beberapa hal telahsaya sampaikan. Yang pertama, program ini adalah kerjakita bersama-sama, bukan kerja besarnya satu lembaga saja,bukan kerjanya orang per orang. Tetapi ini adalah kerja besarbangsa ini.

Yang belum pernah saya katakan secara utuh adalahsebagai berikut. Program reforma agraria yang akan kitajalankan minimal mencakup 5 (lima) hal.

Pertama, menata kembali pemanfaatan, penggunaan,penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia. Sudah cukuplama dari literatur yang saya baca, reforma agraria sejaktahun 1972 sampai ke atas pengertian ini selalu diangkat didalam perdebatan yang ada di masyarakat: bahwa peman-faatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah diIndonesia itu masih timpang. Ini adalah momentum bagikita untuk menata kembali. Oleh karena itu pemerintahmengalokasikan di dalam kerangka ini 8,5 juta hektar. Apa-pun yang akan kita lakukan nanti harus mengacu pada prinsippertama ini.

Kedua adalah meningkatkan kesejahteraan, kemak-muran rakyat Indonesia. Dalam hal ini secara khusus seka-ligus dikaitkan untuk mengatasi persoalan kemiskinan yangada di Indonesia. Yang notabene di dalam data statistik kitapaling banyak berada di pedesaan—67% berada di pedesaanterutama berada di pulau Jawa, pulau Sumatera, dan pulauSulawesi. Jadi ini harus ditujukan dan diorientasikan ke sana.

192

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Ketiga untuk mengatasi persoalan pengangguran yangada di Indonesia.

Keempat, yang sangat penting artinya dan harus menjadibagian utuh dari reforma agraria atau gerakan pembaruanagraria nasional adalah membuka akses bagi rakyat Indo-nesia terhadap sumber-sumber ekonomi dan sumber-sumberpolitik. Untuk memastikan kehidupan rakyat bisa berkem-bang lebih baik. Kalau dibutuhkan akses untuk menyu-arakan kepentingannya, dibutuhkan akses politik. Kalaumengembangkan unit-unit tanahnya atau bidang-bidangtanahnya, untuk pengembangan pertaniannya sebagai misal,maka dibutuhkan permodalan teknologi, informasi. Inisemua harus menjadi kerangka utuh di dalam kita mela-kukan gerakan pembaruan agraria nasional.

Kelima adalah harus menjadi mekanisme sistematik,mekanisme yang efektif, untuk mengatasi sengketa dankonflik pertanahan di Indonesia.

Kalau melihat pilar-pilar ini maka ketika di tempat-tempat lain saya menyatakan ini adalah kerja besar ber-sama—hal ini sangat berlasan. Oleh karena itu, tidak adasatu lembaga, orang per orang di negeri ini yang bisa meng-klaim bahwa saya paling tahu, saya paling benar di dalamkaitannya dengan gerakan pembaruan agraria nasional.

Dalam kerangka ini saya nyatakan bahwa untuk mema-tangkan program besar ini kita perlu membangun konsensusbersama bagaimana menjalankan pembaruan agraria secarabaik. Saya memberikan catatan agar konsensus yang kitabangun dikembalikan kepada rakyat dan dikonsultasikandengan realitas yang ada di masyarakat dan dikaji berda-sarkan kajian-kajian komperatif internasional. Sebagai

193

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

contoh, apakah betul model di Bolivia cocok untuk kita.Ataukah model Philipina, Taiwan. Apakah yang cocok ada-lah model yang sekarang diterapkan di Venezuela yangdilaksanakan secara utuh dalam 5 tahun ini bersama masya-rakatnya di bawah lembaga pertanahan bernama INTI dantelah berhasil mengembangkan kehidupan rakyatnya denganmengalokasikan tanah 3,5 juta hektar.

Apapun modelnya, tetapi catatannya dalam kaitan iniadalah harus historis. Harus terkait dengan perkembangankehidupan kemasyarakatan kita sendiri. Model yang palingtepat bagi kita adalah model yang betul-betuk memahamijiwa, perasaan, dan pikiran rakyat yang ada di Indonesia.Hanya dengan cara itu program yang kita lakukan, gerakanpembaruan agraria ini, akan bisa dijalankan secara baik danapik.

Tambahan saya yang tidak banyak pada kesempatanpagi ini adalah ajakan saya kepada semuanya: sudah cukuplama di dalam perjalanan kebangsaan kita tidak memikirkanhal ini. Secara resmi yang terakhir pada tahun 1960, kalautidak salah bulan Oktober. Bung Karno menyatakan sudahwaktunya kita melakukan penataan pertanahan yang adadi tanah air dengan menggunakan Undang-undang PokokAgraria. Di mana Undang-undang Pokok Agraria adalahundang-undang yang sangat konsisten dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila.

Sekarang waktunya kita diberikan oleh Tuhan kepadakita sebagai bangsa Indonesia untuk menata kembali per-soalan-persoalan pertanahan di tanah air melalui gerakanpembaruan agraria nasional. Di dalamnya ada dua hal yangharus konsisten: (1) penataan politik dan hukum perta-

194

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

nahan; (2) aspek praktis dari penyelenggaraan gerakan pem-baruan agraria dengan alokasi tanah yang sudah disisihkanpemerintah tersebut. Dua hal ini harus berjalan seiring,sehingga pada ujung perjalanannya nanti kita memiliki sistempolitik dan hukum pertanahan yang betul-betul mencermin-kan isi pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yaknidengan menyatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat In-donesia. Selanjutnya pasal 33 ayat 3 yang ditopang pasal23 ayat 2 dan pasal 28. Harapannya adalah kita mempunyaisistem politik pertanahan yang baik yang taat asas terhadapUndang-Undang dasar 1945, yaitu sistem politik pertanahandan sistem hukum politik pertanahan yang mengarah untukmewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pertanahan mempunyai peran penting. Oleh karena itu,forum yang sangat berharga ini—para cerdik cendekia adadi sini, para praktisi ada di sini, tokoh-tokoh masyarakatada di sini—adalah saat bagi kita untuk membangun konsen-sus, bagaimana menjalankan gerakan pembaruan agrarianasional secara baik, utuh, dan apik.

Saya melihat dari perjalanan proses dan diskusi-diskusisaya dengan berbagai pihak, visi, misi dan norma sudahbersama kita. Sekarang bagaimana menjadikan ini sebagaisuatu gerakan yang utuh, gerakan yang betul-betul mencer-minkan perasaan, pikiran dan jiwanya rakyat Indonesia.Karena dengan hanya itu gerakan pembaruan agraria nasio-nal bisa jalan secara baik. Sesudah itu saya mempercayakansepenuhnya kepada ibu-bapak sekalian, saudara-saudarasekalian, guru-guru saya juga kebetulan ada di sini untukmerumuskan ini sebaik-baiknya, sehingga pada saatnya inimenjadi gerakan yang betul-betul mencapai lima tujuan yang

195

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

saya maksudkan tersebut.Ibu Bapak sekalian.Waktu sebenarnya bukan untuk saya berbicara banyak

kepada Ibu Bapak. Oleh karena itu saya tidak ingin mem-perpanjang kata. Sekali lagi saya minta maaf atas keter-lambatan saya dan saya sangat berbagia bersama Ibu Bapaksekalian. Sekali lagi terima kasih kepada pemerintah daerahSulawesi Selatan.

Billahit Taufiq Wal Hidayah.Wassalammu ‘Alaikum Wr. Wb.

STRATEGI UMUMPELAKSANAAN

PEMBARUAN AGRARIA

198

KILAS BALIK IMPLEMENTASIPEMBARUAN AGRARIASediono MP. Tjondronegoro*

I. Pendahuluan

Untuk menulis Kerangka Strategi Implementasi Pemba-ruan Agraria sebenarnya tidak terlalu sulit oleh karena sejaktahun 1960 sudah banyak gagasan yang dikemukakan dandibahas, bahkan diresmikan dalam bentuk formal oleh Lem-baga Negara. Oleh karena itu yang diusahakan dalam maka-lah ini adalah menelusuri dalam kurun waktu sejarah sejak1960 langkah-langkah Strategi Implementasi apa yang per-nah disepakati ditingkat Nasional, tetapi yang belum secaranyata dan konsekuen dilaksanakan.

Penyelenggaraan Symposium Agraria Nasional tahapkedua di Makasar setelah selesainya tahap pertama di Me-

*) Sediono MP. Tjondronegoro, Profesor Emiritus Institut PertanianBogor.

199

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

dan (15 Nopember 2006), mengingatkan kita bahwa 46tahun yang lalu juga dalam bulan Nopember (17 Oktobers/d 6 Nopember 1960) diselenggarakan Seminar Land Re-form di Jakarta untuk membahas langkah-langkah pelak-sanaan setelah Panitia Negara berhasil menyelesaikanUndang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960 pada tanggal24 September 1960.

Panitia Negara yang bekerja di Jogja dan di Jakarta sejaktahun 1947 menyerahkan hasil pekerjaan mereka kepadaDPR Gotong-Royong yang menggodok buram UUPA no.5/1960 sehingga selesai pada tanggal tersebut. Undang-un-dang juga dilahirkan pada masa terjadi perubahan dibidangKetatanegaraan, yaitu perubahan dari “demokrasi liberalis-me ke demokrasi terpimpin dan sosialisme Indonesia”

Intisari dari UUPA no. 5/1960 ialah untuk :1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum

agraria Nasional yang merupakan alat untuk memba-wakan kemakmuran; kebahagiaan dan keadilan bagiNegara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangkamasyarakat yang adil dan makmur.

2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuandan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastianhukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyatseluruhnya.Dalam UUPA no. 5/1960 itu tercantum pula prinsip-

prinsip dari land reform, yaitu suatu perombakan daristruktur dan penggunaan pertanahan, sehingga tercapai suatucara penggunaan tanah yang adil dengan mempertinggiproduksi dan pembagian yang adil pula dari hasil produksi,

200

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

menuju ke masyarakat yang adil dan makmur dan terben-tuknya suatu golongan tani yang kuat/sehat.

Beberapa prinsip land reform bahkan sudah dicantumkandalam beberapa pasal dalam UUPA no. 5/1960 seperti:- penetapan maksimum dan minimum pemilikan tanah.- penetapan batas penguasaan tanah.- pengaturan dan selanjutnya penghapusan hak-hak

sementara yang mempunyai unsur-unsur penghisapan.- mewujudkan azas tani untuk si tani.- mengadakan pertanian gotong-royong.- mengadakan landuse planning.

Tegas disepakati bahwa land reform diadakan untukmengikis sistim feodal, sistim liberal dan sistim kapitalismeatas tanah. Itulah yang dimaksud dalam rumusan “bumi,air dan ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkan-dung didalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yangdiamanatkan pada bangsa Indonesia.” Reform diartikansebagai suatu perombakan struktur pertanahan dan bukan“reform reformis atau perombakan tambal sulam”

Apabila kita telusuri beberapa peristiwa penting, makaternyata Reforma Agraria dan Landreform dilaksanakandiberbagai Negara terlepas dari sistim ekonomi yang merekaanut. Baik di benua Eropa dan benua Amerika maupun Afri-ka. Cukup banyak contoh-contoh yang dapat di acu. Di Asiapun tidak kurang contoh-contoh yang dapat kita temukan.Negara-negara yang memilih sistim kapitalis atau ekonomiliberal seperti Jepang dan Taiwan serta Korea Selatanmenerapkan Reforma Agraria dan Landreform. Bahkanpertumbuhan ekonomi setelah itu juga mengesankan.

Ada negara yang memilih sistim ekonomi yang “cam-

201

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

puran” {ada unsur-unsur Sosialis) seperti India dan Paki-stan, ada pula yang Sosialis seperti RRC dan Viet Nam,yang juga hasilnya dalam pertumbuhan ekonomi menak-jubkan. Memang juga ada kegagalan-kegagalan dalam setiapkelompok juga, sehingga dapat disimpulkan bahwa keber-hasilan Reforma Agraria dan Landreform benar-benar ter-gantung dari tekad politik suatu pimpinan negara besertasegenap aparat dan peranan serikat tani yang kuat.

Dalam seminar Departemen Agraria yang telah diacudiatas bahkan Menteri Sadjarwo dalam pidato pembuka-annya mengatakan bahwa :”Landreform itu hanya bisa dilak-sanakan dengan jiwa yang revolusioner oleh revolutionaireleiders (pemimpin-pemimpin yang revolusioner). Maka olehkarena itu pun Landreform tidak mungkin dipimpin teruta-ma didaerah-daerah dan di desa-desa oleh orang-orang yangkonservatif, oleh orang-orang yang anti-revolusioner danorang-orang yang statis”. Keberatan terhadap perombakantentu akan ada dari pemilik tanah luas dan pemodal yangtergantung pada investor asing.

Terlepas dari sistim ekonomi, yang sangat mendasar bilakita ingin/berniat memerangi kemiskinan adalah membe-rikan peluang dan hak kepada simiskin agar dapat mengak-ses asset untuk berproduksi1 Untuk masyarakat yang domi-nant agraris seperti Indonesia asset adalah tanah dan sumberair. Ini sudah diakui Hernando de Soto (2000) yang baruawal bulan Nopember ini untuk kedua kalinya mengunjungiIndonesia. “What the poor lack is easy access to the prop-

1 Hernando de Soto (2000) The Mystery of Capital; Why Capital-ism Triumphs in The West and Fails Everywhere Else.

202

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

erty mechanism that could legally fix the economic poten-tial of their assets so that they could be used to produce,secure or guarantee greater value in the expanded market”.

Di Negara Barat setiap asset sudah terdaftar sesuaiperaturan dalam suatu sistim pemilikan formal sehinggasebidang tanah, rumah dan Iain-lain terlindungi oleh hukum.Karena itulah sistim hukum juga perlu disesuaikan denganperombakan struktur agraria, sehingga yang miskin jugasecara aktif dapat turut berproduksi. Jadi pilihan ekonomipolitik adalah antara membuat potensi nasional termasuksimiskin berproduksi secara mandiri atau menarik investordengan modal asing yang keuntungannya yang diperolehjuga akan keluar negeri untuk sebagian besar.

Perombakan struktur pertanahan memang berkaitandengan dampak pada struktur perekonomian maupunstruktur sosial yang dewasa ini timpang. Oleh karena itusebaiknya suatu strategi pelaksanaan sebaiknya dilakukandalam kurun waktu sesingkat mungkin dan dijadwalkan.Bila tahun 2007sudah akan dimulai, maka sebaiknya :- Ada pernyataan pemerintah yang tegas mengenai UUPA

no. 5/1960 sebagai sumber acuan utama,- Penyesuaian undang-undang sektoral yang berhubungan

dengan “bumi, air dan ruang angkasa beserta segalakekayaan yang terkandung didalamnya, karena undang-undang sektoral adalah perumusan yang bersifat de-rivative,

- Satu lembaga negara yang selama periode pelaksanaanReformasi Agraria dan Landreform diberi wewenangsebagai koordinator pelaksanaan antar-sektor,

- Persiapan yang diusulkan untuk dilakukan antara 2007-

203

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

2010 tentu sudah harus juga membangun sistim kelem-bagaan dari pusat sampai ke pedesaan yang masing-masing diberi wewenang sesuai ruang cakup tugasnya.Sudah jelas tindakan ini setelah sistim hukum disele-saikan (tahap satu),

- Kesiapan kelembagaan termasuk segenap aparat pe-merintah dari birokrasi sampai kepolisian dan angkatanbersenjata, sudah diberikan pejelasan dan instruksi.

II. Laporan Interim Pertanahan

Pada akhir tahun 1977 menjelang Repelita ke-3 (1978-1983) Pemerintah Orde Baru telah menghadapi kesulitandibidang pertanahan yang dibutuhkan untuk PembangunanNasional. Dengan dalih partai-partai politik antara 1960-1965 mendalangi organisasi tani menuntut tanah, UUPAno. 5/1960 dibekukan. Menjelang akhir tahun 1977 PresidenSoeharto menginstruksikan kepada Menteri NegaraEKUIN/Kepala BAPPENAS dan Menteri Negara Risetuntuk mengadakan penilaian mengenai Masalah Pertanahandan Latar Belakang Masalah-masalah Pokok. Walaupundalam Pelita II sektor-sektor diluar pertanian juga berkem-bang, dalam tahun 1975 sektor pertanian saja menyum-bangkan hampir 37% kepada produk domestik bruto (PDB/GDP). Sudah diperkirakan bahwa pertanian antara 1985-2000 akan dapat ditingkatkan sampai 3,5 kali lipat.

Memang ternyata bahwa waktu krisis moneter per-tengahan 1997 ekonomi negara dan usaha diperkotaandidesak kembali ke sektor pertanian didaerah rural/pede-saan. Pada tahun 1976 pertanian menyumbangkan 35%kepada nilai total ekspor negara kita dan tahun 2006-pun,

204

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dengan adanya kelesuan industri ekspor pertanian naik lagi.Dari semua ini tampak jelas betapa pentingnya sektor perta-nian yang secara mendasar memanfaatkan “bumi dan air”.Hingga sekarangpun 8 tahun setelah krisis 1997 sektor perta-nian masih menyumbangkan 30% dari ekspor yang tahun2006 mencapai US$ 14 miliar. Namun dibalik itu pendudukpedesaan nasibnya tidak bertambah baik, khususnya petanikecil dan buruh tani semakin terdesak. Bila melihat angka-angka Sensus Pertanian dari tahun 1973-2003. Dalam 30tahun petani kecil dan buruh tani semakin kehilangan luastanah garapan mereka dari 0,50 Ha (24%) sampai 0,20 Ha(30%). Artinya keadilan kehilangan arti dan ketimpanganantar-lapisan (stratifikasi sosial) semakin timpang yangtentu suatu pertanda “lampu merah” karena peluang konflikbertambah.

Kesimpulan dan saran kebijaksanaan dari dua MenteriNegara tersebut ialah bahwa :

UUPA no.5/1960 dan UU no.56 prp 1960 serta PP 224/1961 masih tetap sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.Perlu ada penegasan tentang Struktur Panitia Landre-form, peradiian Landreform dan anggaran pembiaya-annya.Peraturan perundangan agar tanah-tanah pertanian

dikuasai dan digarap oleh pemiliknya sendiri (land to thetiller). Perlu ada peraturan perundangan tentang :a. Tanah terlantar atau yang ditelantarkan.b. Perburuan di sektor pertanian.c. Sesuai Pasal 15 UUPA no.5/1960 seorang atau badan

hukum yang menguasai suatu bidang tanah berke-

205

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

wajiban meningkatkan kesuburan tanah dan mencegahkerusakannya.

d. Agar tidak terjadi konversi penggunaan tanah-tanah per-tanian yang subur yang telah memiliki jaringan irigasiyang baik.

e. Sementara menunggu hasil penelitian, pelaksanan UUno. 2/1960 tentang perjanjian bagi hasil dan UU no.16/1964 tentang perjanjian bagi hasil perikanan harusditingkatkan.

f. Peraturan perundangan tentang perburuhan di sektorpertanian.Ini beberapa saran yang dikemukakan dalam laporan

interim tersebut yang penulis anggap penting dan diangkatdari 25 saran tentang langkah-langkah pelaksanaan, diluarsaran untuk penelitian yang berjumlah 12. Sayangnya sela-ma Pelita III (1978/79 -1983/84) sedikit sekali dari saran-saran yang dilaksanakan. Namun demikian satu langkahmaju dapat disebut ialah suatu Pertemuan Kerja yang dipra-karsai Direktur Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeridengan mengundang para Inspektur Jenderal Departemen-departemen dan Pejabat Tinggi Lembaga Tinggi NegaraNon Departemen.

Perlu dijelaskan bahwa setelah Departemen Agraria ditahun 1960-an dibubarkan, agak terpaksa dibentuk Direk-torat Jenderal Agraria didalam Departemen Dalam Negeriyang dianggap paling tepat. Namun dengan demikian kecualiini seperti dikembalikan ke susunan zaman kolonial, jugakekuasaan dan wewenang dalam mengurus permasalahanagraria sangat dikurangi. (Keputusan Presiden RI No. 63/1966).

206

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Pendek kata pada tanggal 21 Mei 1979 diselenggarakanpertemuan kerja sebagai diperintahkan oleh MPR dalamGBHN (Tap MPR No. IV/MPR/1978) dimasa Pelita III.Tugas-tugas yang diprioritaskan adalah :a) Tataguna tanah (landuse)b) Landreformc) Pengurusan Hak-hak tanah; perkebunan ; PJKA, per-

tambangan dan kehutanan.d) Pendaftaran tanah.

Praktis semua tugas yang diemban Departemen Agrariaditurunkan sampai ke Direktur Jenderal Agraria sehinggadalam praktek berbagai masalah tenggelam. Sebenarnyabaru tahun kemudian dalam Pelita IV (1985) Ditjen Agrariamenyelenggarakan suatu Diskusi Panel tentang PelaksanaanPasal 14 dan 15 UUPA no. 5/1960 mengenai land use plan-ning dan pelaksanaannya sehubungan dengan Hari UlangTahun UUPA no.5/1960 ke-25.

Dalam laporan tersebut telah disampaikan antara lainbahwa sejak tahun 1982, di Jawa Tengah 16.000 Ha tanahpertanian sudah menjadi non-pertanian. Di Jawa Barat ter-jadi konversi dibawah kedok real estate yang pada hake-katnya dikuasai orang-orang secara pribadi. Sekitar 420.000Ha tanah di Jawa Tengah mengalami kerusakan dan seba-gainya.

III. Menjelang Pelita III dan WCARRD

Pada akhir Pelita II dalam masa Orde Baru tampaknyamulai dirasakan bahwa masalah tanah menjadi hambatanpembangunan, sehingga Presiden R.I. menugaskan kepada

207

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Meneg EKUIN /Ketua BAPPENAS dan Meneg RISETdalam suatu Sidang Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional(8 Nopember 1977) untuk melakukan penilaian dan studicepat mengenai masalah pertanian.

Penugasan tersebut dilakukan dengan mengadakanpembahasan luas dan cukup mendalam dengan mengundangpejabat-pejabat tinggi departemen terkait, ahli-ahli univer-sitas dan lembaga-lembaga negara non departemen.

Dalam beberapa bulan antara Nopember 1977 danPebruari 1978 diadakan rapat-rapat di BAPPENAS., yangmenghasilkan Laporan Interim Pertanahan (4 Maret 1978)yang sebelum Pelita III dimulai dalam bulan April 1978diserahkan kepada Presiden R.I. oleh kedua Menteri Negaratersebut. Sebelumnya juga telah diadakan konsultasi denganMenteri Dalam Negeri, Amir Mahmud (Aim.) yang menye-tujui bahwa UUPA no.5/1960 tetap dipertahankan. Salahsatu pertimbangan beliau adalah karena menggantikannyaakan meminta banyak waktu dan juga dana. Akhirnya jadiUUPA no. 5/1960 dipertahankan sehingga pelaksanaan da-pat segera dimulai.

Dalam makalah ini tidak diacu semua saran operasionildan penelitian karena terlalu banyak, akan tetapi bila diper-lukan dapat difoto copy. Dalam garis besar ada saran-saran:A. JangkaPendek : (1) Operasional (25 saran)

(2) Penelitian (12 saran)B. Jangka Panjang : (1) Operasional (5 saran)

(2) Penelitian (3 saran)Yang penting adalah keputusan bahwa tanpa merubah

UUPA no. 5/1960, peraturan-peraturan pelaksanaan harusmengacu ke UU tersebut tetapi juga disesuaikan dengan

208

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

perkembangan. Didorong oleh Laporan Interim Pertanahantersebut Direktorat Jenderal Agraria, Departemen DalamNegeri menyelenggarakan pertemuan dengan para InspekturJenderal Departemen-departemen lain dan Pejabat TinggiLembaga Tinggi Negara Non-Departemen (21 Mei 1979).

Dengan mengacu kepada UUD 1945 (Pasal 33/3)ditegaskan fungsi-fungsi Direktorat Jenderal tersebut setelahpembubaran Departemen Agraria sebagai berikut:a. Mengatur Tataguna Tanah (Landuse).b. Menyelenggarakan Landreformc. Mengurus hak-hak atas tanah.d. Mengurus pendaftaran tanah.e. Melakukan administrasi.

Berdasarkan perintah MPR-RI (Tap no. IV/MPR/1978)yang tercantum dalam GBHN, tugas-tugas yang perlu di-prioritaskan adalah :- Menyusun Tataguna Tanah (Landuse).

Mulai Landreform.- Mengurus Hak-hak Tanah: Perkebunan, PJKA,

Pertambangan dan Kehutanan.- Pendaftaran Tanah.

Pertemuan-pertemuan dan keputusan-keputusan yangdihasilkan sejak Nopember 1977 ada gunanya waktu adadelegasi RI dibawah pimpinan Menteri Pertanian menghadiriWorld Conference on Agrarian Reform and Rural Develop-ment (WCARRD) antara 12-20 Juli 1979 di markas FAORoma, Italia. Dalam laporan Menteri Pertanian/KetuaDelegasi RI. kepada sidang FAO disampaikan bahwa Indo-nesia dalam melaksanakan : “Agrarian Reform and RuralDevelopment (for the 1980’s)” akan tetap memprioritaskan

209

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

pembangunan pertanian dan juga landreform akan dida-sarkan atas UUPA no.5/1960, kecuali itu dikemukakan tigaprogram prioritas, ialah : (a). Resettlement Programs; (b).Irrigation Program dan (c). Conservation of land resources.

Sayangnya sepulangnya delegasi Indonesia dari Romatidak ada pelaksanaan oleh Direktorat Jenderal Agraria; yangtampaknya dipentingkan oleh Departemen Pertanian adalahpenerapan dan penyebaran teknologi pertanian dalam Revo-lusi Hijau, serta pembentukan wilayah produksi pertanian(BUUD dan WILUD).

Baru tujuh tahun setelah WCARRD, Ditjen Agrariamenyelenggarakan Diskusi Panel tentang pelaksanaan Pasal14 dan 15 UUPA no. 5/1960 yanitu mengenai Landuse Plan-ning yang didambakan serta pelaksanaan Landuse Planningdengan mengacu kepada Pasal 2 UUPA no.5/1960 (“bumi,air dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung didalamnya”).

IV. Perkembangan Pasca Reformasi

Memasuki abad ke-21 setelah Reformasi 1998 tampak-nya timbul kesadaran kembali betapa pentingnya masalahagraria untuk Pembangunan Ekonomi Nasional yang sudahterpuruk sejak pertengahan Juli 1997. Pemicunya dikatakanadalah krisis moneter dunia, sehingga R.I. lebih terpurukdibandingkan dengan Negara-negara tetangga. Krisis per-bankan menimbulkan inflasi tajam dan pelarian modal kelu-ar negeri, sehingga juga pengangguran meningkat tinggi.Untuk beberapa lama bahkan daerah pedesaan menjadidaerah penyelamatan kaum papa.

Di tahun 2000 MPR mulai menyelenggarakan perte-

210

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

muan-pertemuan untuk mencari pemecahan agraria karenajuga LSM melaporkan banyak konflik dan sengketa didaerah. Dua pertemuan diadakan berturut-tunit di HotelPreanger dan Hotel Panghegar di Bandung dengan mengun-dang pakar-pakar universitas dan aktivis LSM. Bolehdikatakan usaha inilah yang menghasilkan TAP MPR IX/2001 tentang pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber-daya Alam. Karena konflik pertanahan semakin bertambahtahun berikutnya juga dilahirkan TAP no.VI/MPR/2002yang mengandung rekomendasi kepada Presiden R.I. untuk“menyiapkan penyusunan peraturan perundangan yangmengatur redistribusi dan pemanfaatan sumberdaya alam,termasuk bumi, air, ruang angkasa dan seterusnya. Sertasekaligus mengantisipasi konflik yang mungkin timbuldihari depan dan harus dihindari.

Langkah maju yang penting adalah juga prakarsaKomNas HAM yang bersama dengan aktivis LSM menga-dakan Seminar di Carita (Juli 2004) untuk “MenggagasPembentukan Komisi Nasional Penyelesaian Konflik Agraria(KNuPKA). Pertemuan ini menghasilkan :a. Naskah Akademik.b. Rancangan Keputusan Presiden R.I. tentang Pemben-

tukan KNuPKA.c. SK Ketua KomNas HAM tentang pembentukan Tim

Kerja Menggagas Pembentukan KNUPKA di Indone-sia.Sepanjang ingatan penulis hasil pertemuan juga telah

disampaikan Bapak Hamidan dari KomNas HAM kepadaPresiden RI tahun 2005. Demikianlah dalam garis besargagasan yang telah dirumuskan dan usul/saran yang telah

211

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

disampaikan.Terakhir, tetapi tidak kurang untuk dilaporkan adalah

sebuah PETISI CISARUA dari kalangan LSM yang “MenagihJanji SBY untuk Reforma Agraria di Indonesia” (2005).

Semoga tiga Seminar Agraria Nasional di Medan,Makassar dan Jakarta yang diprakarsai oleh BPN akanmenghasilkan kesimpulan yang segera disusul tindakannyata.

Bogor, 30 Nopember 2006,Sediono MP. Tjondronegoro

212

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Lampiran 1

Sistem Hukum 1

Boleh dikatakan dalam perubahan sistim hukum yangberlaku dalam zaman penjajahan sampai sistim hukum yangmasih kita susun dan yang sesuai dengan tuntutan zamandan masyarakat multi-ethnik dan multi kultural masih ber-langsung, dan ini harus dipercepat penyelesaiannya.

Kesimpang-siuran perundang-undangan Sektoral danPeraturan Pemerintah, mengakibatkan suatu krisis normatifartinya moral yang tercantum dalam hukum seperti memu-dar. Akibatnya memang lalu hukum tidak mengatur perilakuwarga sehingga juga “Law enforcement” sangat melemah.Legitimasi yang mendalam kehilangan pengaruhnya. Padahal ini merupakan satu tindakan pertama yang harus kitalakukan demi ketertiban kehidupan bermanfaat.

Beberapa dasawarsa kita telah mengalami kekuasaanyang relative repressif dan setelah Reformasi 1998 dalammasa Demokratisasi mengharapkan lebih banyak pelayanandari negara terutama tentu dari birokrasi baik ditingkat pusatmaupun daerah. Jadi hukum yang responsif yang ingin kitabangun adalah sistim hukum yang menyesuaikan diri ataudisesuaikan dengan kepentingan mayoritas masyarakat danyang relatif terbelakang atau ekonomis terdesak

Ada istilah “Sociological yurisprudence” yang berartirealisme hukum yang memberi kemampuan bagi institusihukum untuk secara lebih menyeluruh mempertimbangkanfakta-fakta sosial dimana hukum itu berlaku dan diterapkan.Kepentingan umum dan keadilan tetap menjadi pedoman

213

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

dalam penerapan tersebut.Salah satu tugas penting adalah menetapkan perun-

dang-undangan pelaksanaan berdasarkan prinsip-prinsipUUPA no.5/1960

Sistem Hukum 2

Beberapa UU Pelaksanaan dapat disebut:1. Pembentukan Panitia-panitia Landreform di Pusat dan

Daerah, beserta batasan wewenang masing-masing.2. Mengatur Tataguna Tanah Nasional. Tidak dapat

dihindari menentukan wilayah/ranah : (a) Tanah Negara;(b) Tanah Adat dan(c) Tanah Rakyat lain yang sudah dimanfaatkan/digarap.

3. Penentuan tanah yang dimiliki/disertifikasi yang perludibatasi maksimum dan minimum luasnya, denganmembedakan tanah berpengairan teknis, tanah tadahhujan dan tanah kering.

4. Tata ruang yang menentukan daerah/wilayah sesuaipemanfaatannya dihubungkan dengan persyaratanpelestarian lingkungannya. Dataran rendah (0-100 mdiatas permukaan laut) tanaman pangan; teras berlereng(antara 100 - 500 m) tanaman tahunan untuk perke-bunan ; wilayah hutan ( 500 m keatas)

100 m

500 m

Permukaan laut

214

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

5. Penentuan tentang penggunaan sumberdaya alam danyang tergolong pertambangcm di tiga daerah yang berbe-da diatas.Oleh karena sejak beberapa dasawarsa dimasa lampau

sampai sekarang sudah banyak terjadi sengketa dan konfliktanah perlu diadakan perundingan dan kesepakatan antar-sektor/Departemen untuk menyelesaikan konflik (perta-nian, perkebunan, kehutanan, pertambangan dan kelautan).

Seperti pernah diusulkan Komisi HAM yang didukungoleh beberapa LSM (KPA-HUMA-WALHI-Bina Desa Saja-dipa) dapat dibentuk lembaga khusus seiama masa Land-reform dilaksanakan dengan akronim KNuPKA (2004) ref.SK Ketua Komnas HAM /XI/2003, Tgl. 4 Desember2003.

215

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Lampiran 2

K EMI SKIN AN

KOMPAS 15 Nov. 2006 (p. 17) Neraca Orang Miskin dan

Penghasilan orang Indonesia dalam US$;

Tahun 2006 2007

Kurang US$ 1.00 19,5 juta 17,5 juta

Kurang US$ 2.00 113,8 juta 108,2 juta

Pertumbuhan Ekonomi 5,5 % 6,2 %

Jumlah Penduduk 229,5 juta 232,9 juta

KOMPAS 17 Nov. 2006

Pertumbuhan Ekonomi menurut B.P.S. dalam th. 2006 5,8% dan

dalam Triwulan III telah mencapai 5,52%, sedangkan untuk

Triwulan IV seharusnya lebih dari 6%.

Sumbangan PERTANIAN antara Triwulan I-II/2006 1,96 %

antara Triwulan II-III/2006 5,36 %

Juga dibandingkan Triwulan III/2005 naik 5,52 %

Tetapi menurut B.P.S. juga akibat kenaikan harga beras

KEMISKINAN BERTAMBAH:

Pebruari2005 Maret 2005

3,95 juta org.(15,97 %) 17,75 % 39,05 juta org

KOMPAS April 2005: KEMISKINAN di :

Riau 22,19 %

Kutai 14,7 %

(KalSel) Samarinda 9,2 %

Pasir 16,7 %

Bintang 8,4 %

216

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Menurut Dr. Bayu Krisnamurti (PSP3-IPB) penguasaan

tanah di Jawa dalam Tahun 2002 yang kurang dari 0,5 Ha

sudah parah

Jawa Barat 71,4 % kurang dari 0,5 Ha

Jawa Tengah 69,0 % s.d.a.

Jawa Timur 69,0 % s.d.a.

Rata-rata orang miskin membelanjakan 25 % dari penda-

patan-nya untuk membeli beras sebagai makanan utama.

Daftar Pustaka

Djojohadikusumo, Sumitro (1978), Laporan Interim Perta-nahan (kerjasama BAPPENAS-Kantor MenRistek).

Hadisaputro, Soedarsono (1979), Statement of the Minis-ter of Agriculture, Republic of Indonesia Jakarta,Ministry of Agriculture (Rome, WCARRD, 12-20Juli 1979).

Indonesian Position Paper at WCARRD, Rome, 1979.Indonesian Position Paper at ICARRD, Porto Allegre, 2006.KPA dan BSP. KEMALA (2000), Sendi-sendi Pembaruan

Agraria, Revisi UUPA no. 5 /1960 Bandung, SuaraPembaruan Agraria No.5/2000.

Komisi HAM (2004), “Menggagas Pembentukan KomisiNasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria.Jakarta, KomNas HAM.

Pergerakan (2005), Petisi Cisarua ; Menagih Janji SBY untukReforma Agraria di Indonesia. Bandung, People-Centered Advocacy Institute.

Soedargo (1962), Undang-undang Pokok Agraria Bandung,Cresco, Jl. I.

Tjondronegoro, Sediono M.P. (2001), “Agraria Penggerak

217

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Roda Ekonomi”, Bogor._______, (2001), “Membangun Kerukunan dan Kebersa-

maan Masyarakat Perkebunan Guna Meningkat-kan Daya Saing Agribisnis Perkebunan Indonesia”

Medan, DitJenBun dan Perhepi. Seminar Sehari Pem-bangunan Perkebunan.

Uraian Ditjen Agraria (1979), Pertemuan Kerja dengan ParaInspektur Jenderal Departemen-departemen danPejabat Tinggi Lembaga Tinggi Negara Non-De-partemen . Jakarta, Depdagri.

Pertemuan Kerja dengan Para Inspektur Jenderal Depar-temen-departemen dan Pejabat Tinggi LembagaTinggi Negara Non-Departemen. Jakarta, Depdagri.

218

PEMBARUAN AGRARIA MERUPAKAN JAWABAN YANG MUNCUL TERHADAP MASALAH KETIMPANGAN STRUKTUR AGRARIA, KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI BERBAGAI BELAHAN DUNIA (WCARRD 1979 ICARRD 2006)BERBAGAI BELAHAN DUNIA (WCARRD, 1979; ICARRD, 2006).TIAP NEGARA SECARA BERAGAM MENGIMPLEMENTASIKAN PROGRAM DAN AGENDA PEMBARUANNYA SESUAI DENGAN STRUKTUR DAN SISTEM SOSIAL-POLITIK YANG DIANUTNYA. NAMUN DEMIKIAN TERDAPAT KESAMAAN PANDANG DALAM MELETAKKAN KONSEP DASAR PEMBARUANNYA YAITU BERUPA 2 (DUA) KATA KUNCI: KEADILAN DAN PEMERATAAN ATAS SUMBERDAYA AGRARIA. PEMBARUAN AGRARIA (AGRARIAN REFORM)DITERJEMAHKAN DALAM BENTUK PEMBARUAN JPERTANAHAN (DIKENAL DENGAN LAND REFORM), YANG SELANJUTNYA SECARA LEBIH SEDERHANA DIIMPLEMENTASIKAN DALAM BENTUK PEMBAGIAN ULANG SUMBERDAYA TANAH (DIKENAL DENGAN REDISTRIBUTIVELAND REFORM).

DEPUTI BIDANG PENGATURAN DAN PENATAAN PERTANAHAN

BADAN PERTANAHAN NASIONAL RI

SIMPOSIUM AGRARIA NASIONAL MAKASSAR, 4 DESEMBER 2006

*) Yuswanda A. Temenggung, Deputi Bidang Pengaturan danPenataan Pertanahan BPN RI.

YUSWANDA A. TEMENGGUNG

PEMBARUAN AGRARIA NASIONALDAN ISU-ISU STRATEGIS

219

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

KETIMPANGAN PENGUASAAN, PEMILIKAN PENGGUNAAN DANPEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH

TERBATASNYA AKSES MASYARAKAT TERHADAP SUMBER KESEJAHTERAAN –TANAH.

MELAHIRKAN :MELAHIRKAN :

KEMISKINAN

SENGKETA DAN KONFLIK PERTANAHAN.

KETIMPANGAN STRUKTUR AGRARIA DAN KONFLIK AGRARIA YANG TERUS BERLANJUT BAHKAN SEMAKINBERLANJUT BAHKAN SEMAKIN MENINGKAT,MENGHENDAKI PEMBARUAN AGRARIA YANG TELAH DILAKSANAKAN PADA MASA YANG LALU, PERLU DIREVITALISASI.

KEHENDAK UNTUK MEREVITALISASI PEMBARUAN AGRARIA DIWUJUDKANPEMBARUAN AGRARIA DIWUJUDKAN DENGAN DITERBITKANNYA KETETAPAN MPR-RI NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM,

220

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

PEMERINTAH KOMIT MELAKSANAKAN PEMBARUAN AGRARIAPEMBARUAN AGRARIA MENCAKUP SUATU PROSES YANG BERKESINAMBUNGAN BERKENAAN DENGAN PENATAAN KEMBALI PENGUASAAN, PEMILIKAN, PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH, DILAKSANAKAN DALAM RANGKA TERCAPAINYA KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM SERTA KEADILAN DAN KEMAKMURAN BAGI SELURUH RAKYAT DAN KEMAKMURAN BAGI SELURUH RAKYATINDONESIA (PASAL 2 TAP.MPR-RI TAHUN 2001 TENTANG

PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM)PEMBARUAN AGRARIA PEKERJAAN BESAR, AGAR BERHASIL, PERLU DUKUNGAN SEMUA KOMPONEN BANGSA.

1.TANAH OBYEK LANDREFORM:

A. TANAH-TANAH YANG TERKENA KETENTUAN LANDREFORM – TANAH KELEBIHAN DARI BATAS MAKSIMUM, TANAH ABSENTEE,

TANAH SWAPRAJA DAN BEKAS SWAPRAJA.

B. TANAH NEGARA YANG TELAH DITEGASKAN MENJADI TANAH OBYEK LANDREFORMMENJADI TANAH OBYEK LANDREFORM

2. TANAH NEGARA LAINNYA

221

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

PENERIMA MANFAAT (BENEFICIARIES)?

BAGAIMANA MEKANISMENYA?

KELEMBAGAANNYA?

SEDANG DIKAJI SECARA INTENSIFSEDANG DIKAJI SECARA INTENSIF.

TANAH YANG TERSEDIA SEBAGIAN BESAR BERADA DI LUAR JAWA, SEDANGKAN RUMAH TANGGA MISKINSEDANGKAN RUMAH TANGGA MISKIN SEBAGIAN BESAR DI P. JAWA,

PADA MASA YANG LALU, JALAN KELUARNYA ADALAH PROGRAM “TRANSMIGRASI”

SEKARANG???

MARILAH BERSAMA, KITA DISKUSIKAN DAN KITA CARI JALAN KELUARNYA !!!!!

222

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Sumber : Laporan Perkembangan SLT, Depsos, 2005

SUMBER : BPS, SUSENAS, 2003

IDENTIFIKASI OBYEKDAN SUBYEK

PEMBARUAN AGRARIANASIONAL

224

• KETIMPANGAN PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH TELAH TERLIHAT SEJAK INDONESIA MERDEKA.

• KEBIJAKAN “PENGHAPUSAN DESA-DESA PERDIKAN”--DESA-DESA BEBAS YANG MEMPUNYAI HAK-HAK ISTIMEWA, SEPERTI TIDAK MEMBAYAR PAJAK TANAH (UU NO. 13 TAHUN 1946).

• KEBIJAKAN PENGHAPUSAN “TANAH PARTIKELIR” DENGAN UU• KEBIJAKAN PENGHAPUSAN TANAH PARTIKELIR DENGAN UU NO. 1 TAHUN 1958 TENTANG PENGHAPUSAN TANAH PARTIKELIR.

• KEBIJAKAN LAND REFORM (AGRARIAN REFORM, PEMBARUAN AGRARIA):

– UU NO. 2 TAHUN 1960 TENTANG PERJANJIAN BAGI HASIL, – UU NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-

POKOK AGRARIA (UUPA), – UU NO. 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH

PERTANIAN, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 224 TAHUN 1961 TENTANG PELAKSANAAN PEMBAGIAN TANAH DAN PEMBERIAN GANTI KERUGIAN, DAN

– PERANGKAT PERATURAN LAINNYA. • LAND REFORM DALAM KONTEKS REDISTRIBUSI TANAH,

BERTUJUAN UNTUK MENGADAKAN PEMBAGIAN TANAH YANG ADIL DAN MERATA ATAS SUMBER PENGHIDUPAN RAKYAT TANI YANG BERUPA TANAH, SEHINGGA DENGAN PEMBAGIAN TERSEBUT DAPAT DICAPAI PEMBAGIAN HASIL YANG ADIL DAN MERATA PULA.

*) Gunawan Sasmita, Direktur Land Reform Badan PertanahanNasional RI.

DIREKTUR LANDREFORMBADAN PERTANAHAN NASIONAL RI

SIMPOSIUM AGRARIA NASIONALMAKASAR, 4 DESEMBER 2006

GUNAWAN SASMITA

PEMBARUAN AGRARIA:PEMBARUAN AGRARIA:PEMBARUAN AGRARIA:PEMBARUAN AGRARIA:PEMBARUAN AGRARIA:OBYEK DAN PENEOBYEK DAN PENEOBYEK DAN PENEOBYEK DAN PENEOBYEK DAN PENETTTTTAPAPAPAPAPAN HAKAN HAKAN HAKAN HAKAN HAK

225

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

PEMBARUAN AGRARIA (AGRARIAN

REFORM) SERING DITERJEMAHKANREFORM) SERING DITERJEMAHKAN DALAM BENTUK PEMBARUAN PERTANAHAN (DIKENAL DENGAN LAND

REFORM), YANG SELANJUTNYA SECARA LEBIH SEDERHANA DIIMPLEMENTASIKAN DALAM BENTUK PEMBAGIAN ULANG SUMBERDAYA TANAH (DIKENAL DENGANSUMBERDAYA TANAH (DIKENAL DENGAN REDISTRIBUTIVE LAND REFORM).

1. PEMBARUAN HUKUM AGRARIA, 2. PENGHAPUSAN HAK-HAK ASING DAN KONSESI-

KONSESI KOLONIAL ATAS TANAH, 3. MENGAKHIRI PENGHISAPAN FEODAL SECARA

BERANGSUR-ANGSUR, 4. PEROMBAKAN MENGENAI PEMILIKAN DAN

PENGUASAAN TANAH SERTA HUBUNGAN-HUBUNGAN HUKUM YANG BERSANGKUTAN DENGAN PENGUSAHAAN TANAH, DAN

5. PERENCANAAN PERSEDIAAN, PERUNTUKAN DAN PENGGUNAAN BUMI, AIR DAN KEKAYAAN ALAM YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA ITU SECARA BERENCANA SESUAI DENGAN DAYA KESANGGUPAN DAN KEMAMPUANNYA.

226

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

1. LARANGAN UNTUK MENGUASAI TANAH PERTANIAN YANG MELAMPAUI BATAS

2. LARANGAN PEMILIKAN TANAH SECARA “ABSENTEE”3. REDISTRIBUSI TANAH-TANAH YANG SELEBIHNYA DARI

BATAS MAKSIMUM, TANAH-TANAH YANG TERKENA LARANGAN “ABSENTEE”, TANAH-TANAH BEKAS SWAPRAJA DAN TANAH-TANAH NEGARA LAINNYA

4. PENGATURAN SOAL PENGEMBALIAN DAN PENEBUSAN TANAH-TANAH PERTANIAN YANG DIGADAIKAN

5. PENGATURAN KEMBALI KEMBALI PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN DANTANAH PERTANIAN, DAN

6. PENETAPAN BATAS MINIMUM PEMILIKAN TANAH PERTANIAN, DISERTAI LARANGAN UNTUK MELAKUKAN PERBUATAN-PERBUATAN YANG MENGAKIBATKAN PEMECAHAN PEMILIKAN TANAH-TANAH PERTANIAN MENJADI BAGIAN-BAGIAN YANG TERLAMPAU KECIL.

• UU NO. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA (UUPA)( )

• UU NO. 2 TAHUN 1960 TENTANG PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN

• UU NO. 56 PRP TAHUN 1960 PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN

• PP 224 TAHUN 1961 TENTANG PELAKSANAAN PEMBAGIAN TANAH DAN PEMBERIAN GANTI KERUGIAN (j PP N 41 TAHUN 1964 d PP N 4KERUGIAN (jo. PP No. 41 TAHUN 1964 dan PP No. 4 TAHUN 1977)

• PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN LAINNYA.

227

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

• PASAL 7: LARANGAN PEMILIKAN DAN PENGUASAAN TANAH YANG MELAMPAUI BATAS.

• PASAL 10:• PASAL 10: SETIAP ORANG DAN BADAN HUKUM YANG MEMPUNYAI SESUATU HAK ATAS TANAH PERTANIAN PADA AZASNYA DIWAJIBKAN MENGERJAKAN ATAU MENGUSAHAKAN SENDIRI SECARA AKTIF, DENGAN MENCEGAH CARA-CARA PEMERASAN.

• PASAL 11:PENCEGAHAN PENGUASAAN ATAS– PENCEGAHAN PENGUASAAN ATAS KEHIDUPAN DAN PEKERJAAN ORANG LAIN YANG MELAMPAUI BATAS

– PERLINDUNGAN GOLONGAN EKONOMIS LEMAH.

• PASAL 13: – MENINGGIKAN PRODUKSI DAN KEMAKMURAN RAKYAT– MENCEGAH USAHA-USAHA DALAM LAPANGAN AGRARIA YANG

BERSIFAT MONOPOLI.

• PASAL 17– DENGAN MENGINGAT KETENTUAN DALAM PASAL 7 MAKA

UNTUK MENCAPAI TUJUAN YANG DIMAKSUD DALAM PASAL 2 AYAT 3 DIATUR LUAS MAKSIMUM DAN / ATAU MINIMUM TANAH YANG BOLEH DIPUNYAI DENGAN SUATU HAK TERTENTU TERSEBUT DALAM PASAL 16 OLEH SATU KELUARGA ATAU BADAN HUKUM.

– PENETAPAN BATAS MAKSIMUM TERMAKSUD DALAM AYAT 1 PASAL INI DILAKUKAN DENGAN PERATURAN PERUNDANGAN DI DALAM WAKTU YANG SINGKAT.DI DALAM WAKTU YANG SINGKAT.

– TANAH-TANAH YANG MERUPAKAN KELEBIHAN DARI BATAS MAKSIMUM TERMAKSUD DALAM AYAT 2 PASAL INI DIAMBIL OLEH PEMERINTAH DENGAN GANTI KERUGIAN, UNTUK SELANJUTNYA DIBAGIKAN KEPADA RAKYAT YANG MEMBUTUHKAN MENURUT KETENTUAN-KETENTUAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH.

– DILAKSANAKAN SECARA BERANGSUR-ANGSUR.

228

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

• TANAH KELEBIHAN DARI BATAS MAKSIMUMMAKSIMUM

• TANAH ABSENTEE

• TANAH SWAPRAJA DAN BEKAS SWAPRAJA

• TANAH NEGARA LAINNYA YANG DITEGASKAN OLEH MENTERI AGRARIA (SEKARANG KEPALA BPN RI)(SEKARANG KEPALA BPN-RI)

• BAGIAN-BAGIAN DARI TANAH• BAGIAN-BAGIAN DARI TANAH PARTIKELIR/EIGENDOM YANG TERKENA UU NO. 1 TAHUN 1958:

– YANG MERUPAKAN TANAH PERTANIAN ;

– YANG TIDAK DIBERIKAN KEMBALI KEPADA BEKAS PEMILIK SEBAGAI GANTI RUGI, SERTA;

– YANG TIDAK DAPAT DIBERIKAN DENGAN HAK MILIK BERDASARKAN PASAL 5 UU NO. 1 TAHUN 1958.BERDASARKAN PASAL 5 UU NO. 1 TAHUN 1958.

• TANAH BEKAS HAK ERFPACHT/GUNA USAHA– YANG MERUPAKAN TANAH PERTANIAN DAN;

– YANG SEKARANG SUDAH DIKUASAI LANGSUNG OLEH NEGARA.

229

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

a. PENGGARAP YANG MENGERJAKAN TANAH YANG BERSANGKUTAN

b BURUH TANAH TETAP PADA BEKAS PEMILIK YANGb. BURUH TANAH TETAP PADA BEKAS PEMILIK YANG MENGERJAKAN TANAH YANG BERSANGKUTAN

c. PEKERJA TETAP PADA BEKAS PEMILIK TANAH YANG BERSANGKUTAN

d. PENGGARAP YANG BELUM SAMPAI 3 TAHUN MENGERJAKAN TANAH YANG BERSANGKUTAN

e. PENGGARAP YANG MENGERJAKAN TANAH HAK PEMILIKf. PENGGARAP TANAH-TANAH YANG OLEH PEMERINTAH

DIBERI PERUNTUKKAN LAINg. PENGGARAP YANG TANAH GARAPANNYA KURANG DARI

0,5 HA.h. PEMILIK YANG LUAS TANAHNYA KURANG DARI 0,5 HA.i. PETANI ATAU BURUH TANAH LAINNYA.

• SEBELUM DIBERIKAN HAK MILIK CALON PENERIMA TANAH DIBERIKAN SIM SELAMA 2 TH, MEMBAYAR SEWA 1/3 HASILMEMBAYAR SEWA 1/3 HASIL.

• APABILA MEMENUHI PERSYARATAN TERMASUK MEMENUHI KEWAJIBAN MEMBAYAR SEWA, DIBERIKAN HAK MILIK:

– KEWAJIBAN PENERIMA TANAH:• MEMBAYAR HARGA TANAH• MENGUSAHAKAN TANAHNYA SENDIRI• KENAIKAN HASIL

MENJADI ANGGOTA KOPERASI• MENJADI ANGGOTA KOPERASI

– LARANGAN:• SEBELUM HARGA TANAH DILUNASI, HAK MILIK TSB DILARANG

DIPINDAH TANGANKAN.• PELANGGARAN - PENCABUTAN SIM DAN HM TANPA GANTI

KERUGIAN

230

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

• PASAL 16, PASAL 20 – PASAL 41 UUPA (HM, HGU, HGB,HP).HAK ATAS TANAH BERSIFAT EKSKLUSIF (EXCLUSIVITY)• HAK ATAS TANAH BERSIFAT EKSKLUSIF (EXCLUSIVITY) (NAMUN TETAP MEMPERHATIKAN FUNGSI SOSIAL), DAPAT DIWARISKAN (INHERITABILITY), DAPAT DIALIHKAN (TRANSFERABILITY), MEMPUNYAI KEKUATAN MEMAKSA (ENFORCEMENT).

• NILAI HAK ATAS TANAH DIPENGARUHI OLEH KADAR KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERMASUK SISTEM PENGADILAN, KEPOLISIAN, LEMBAGA PELAKSANAN PENGUKURAN DAN PEMETAAN TANAH, PEMBUKUAN TANAH DAN PEMBERIAN HAKNYATANAH DAN PEMBERIAN HAKNYA.

• JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM (SECURITY OF TENURE) MEMPUNYAI ARTI BAHWA PEMERINTAH MENGAKUI, MENGHORMATI DAN MELINDUNGI PEMEGANG HAK ATAS TANAH DARI GANGGUAN (CLAIM) PIHAK LAIN ATAS TANAHNYA.

231

KEBIJAKANPEMANFAATAN KAWASAN HUTAN

Ali Irsyad*

I. PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Hutan

Hutan merupakan salah satu kekayaan alam yang adadi permukaan bumi Indonesia yang menurut UndangUndang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (1) dikuasai oleh negaradan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.Sesuai dengan amanat tersebut, kawasan hutan di seluruhIndonesia telah ditunjuk dan/ atau ditetepkan oleh Peme-rintah yang luasnya mencapai 120,35 juta Ha (62 % daridaratan Indonesia) yang terdiri dari hutan lindung seluas33,52 ha, hutan produksi 66,33 ha dan hutan konservasi20,50 juta ha.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 41 tahun 1999tentang Kehutanan, dalam Pasal 1 butir 3 dijelaskan bahwa

*) Ali Arsyad, Kepala Badan Planologi Kehutanan.

232

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

kawasan hutan adalah : “wilayah tertentu yang ditunjuk danatau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankankeberadaannya sebagai hutan tetap”.

Pengertian ditunjuk dan atau ditetapkan bermakna bah-wa kawasan hutan mencakup :a. Wilayah tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah, ataub. Wilayah tertentu yang ditunjuk dan ditetapkan oleh

pemerintah.Dengan demikian meskipun suatu kawasan hutan belum

ditetapkan oleh pemerintah, selama wilayah tertentu telahditunjuk sebagai kawasan hutan, maka telah sah dan meme-nuhi syarat sebagai kawasan hutan.

Hutan tetap adalah kawasan hutan dipertahankankeberadaannya yang terdiri dari kawasan hutan suaka alam,kawasan hutan pelestarian alam, kawasan hutan lindung,kawasan hutan produksi terbatas dan kawasan hutan pro-duksi tetap.

Tidak termasuk hutan tetap adalah kawasan hutan pro-duksi yang dapat dikonversi (HPK), yang dicadangkan olehDepartemen Kehutanan untuk kepentingan pembangunandi luar kehutanan.

1.2 Penunjukan Kawasan Hutan

Pengelolaan hutan Indonesia sesungguhnya didasarkanatas berbagai komitmen baik lokal, nasional maupun glo-bal. Di tingkat nasional, beberapa peraturan yang mendasaripengelolaan hutan adalah UUD 1945 (Pasal 33), UU No.5/ 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati danEkosistem, UU No. 24/ 1992 tentang Penataan Ruang, UU

233

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

No. 6/ 1994 tentang Perubahan Iklim, UU No. 41/ 1999tentang Kehutanan dan UU No. 32/ 1997 tentang Penge-lolaan Lingkungan Hidup. Sedangkan di tingkat global,pengelolaan hutan Indonesia terikat dengan berbagai komit-men Internasional diantaranya KTT Bumi (UNCED) tahun1990 yang tertuang antara lain dalam Deklarasi Rio danAgenda 21, pedoman ITTO tahun 1990 tentang PengelolaanHutan Lestari, serta Kyoto Protocol tahun 2000. Di tingkatlokal, pemerintah juga harus menghormati hak-hak atauperijinan yang telah diberikan kepada pihak ketiga yaituperusahaan pemegang HPH-HTI demi kepastian hukumdan kepastian berusaha, sehingga tidak bisa semena-menamemberikan arealnya kepada pihak lain.

Saat ini seluruh hutan di Indonesia telah ditunjuk olehmenteri baik melalui penunjukan kawasan hutan registerpada jaman Kolonial Belanda, penunjukan parsial olehMenteri Pertanian/ Menteri Kehutanan, maupun penun-jukan kawasan hutan wilayah propinsi.

Proses penunjukan kawasan hutan seluas 120,35 hatersebut ditempuh malalui kesepakatan-kesepakatan didaerah yaitu melalui pemaduserasian antara penunjukankawasan hutan “lama” yang lebih dikenal dengan nama TataGuna Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana TataRuang Wilayah Propinsi (RTRWP). Berdasarkan kesepa-katan-kesepakatan pemaduserasian TGHK denganRTRWP di daerah itulah, selanjutnya Departemen Kehu-tanan “melegalkan secara hukum” sepanjang menyangkutkawasan hutan untuk selanjutnya ditunjuk sebagai kawasanhutan melalui pengesahan Peta Penunjukan Kawasan HutanWilayah Propinsi.

234

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Saat ini proses pemaduserasian antara TGHK denganRTRWP tinggal menyisakan 3 (tiga) propinsi yaitu Kali-mantan Tengah, Riau dan Kepulauan Riau. Namun demi-kian, seiring dengan dinamika pembangunan yang begitucepat, euforia reformasi dan otonomi daerah serta peme-karan wilayah provinsi dan kabupaten yang prosesnya jugadidasarkan atas undang-undang, Departemen Kehutananterus melakukan koordinasi dengan berbagai stake holdersuntuk merumuskan luas kawasan hutan yang optimal padasuatu wilayah.

Saat ini sebagaian besar kawasan hutan tersebut telahditata batas di mana bupati/ walikota bertindak selaku Ke-tua Panitia Tata Batas (PTB). Hasil penataan batas selan-jutnya ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai landasanpengelolaan hutan.

Melalui proses bottom-up tersebut diharapkan terwujudsuatu kawasan hutan yang mantap sesuai fungsi dan perun-tukannya sebagai landasan pengelolaan hutan lestari yangdicirikan antara lain oleh adanya kawasan hutan yang jelasbatas, letak serta luasnya baik secara yuridis formal/ legalmaupun legitimate berupa pengakuan oleh masyarakat.

II. KEADAAN KAWASAN HUTAN SAAT INI

2.1 Luas dan Fungsi Kawasan Hutan

Luas kawasan hutan berdasarkan penunjukan kawasanhutan dan perairan adalah seluas 120,35 juta hektar. Luasantersebut tidak termasuk kawasan hutan pada 3 (tiga) provin-si yang belum ditetapkan penunjukan kawasan hutan danperairannya yaitu Provinsi Riau, Kepulauan Riau, dan Kali-

235

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

mantan Tengah dimana perhitungan luas kawasan masihmenggunakan Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan(TGHK). Dari areal seluas 120,35 juta hektar tersebut, ter-diri dari Hutan Lindung (HL) seluas 33,52 juta hektar. Hu-tan produksi seluas 66,33 juta hektar dan kawasan konser-vasi seluas 20,50 juta hektar. Perbandingan kawasan hutanper fungsinya secara jelas digambarkan dalam grafik di bawahini.

2.2 Permasalahan Kehutanan

Sektor kehutanan saat ini menghadapi masalah yangsangat kompleks dan seluruh kawasan hutan dalam tekananyang luar biasa beratnya. Terjadinya perubahan tatananbangsa yang menyentuh ke seluruh elemen kehidupan ber-bangsa dan bernegara mempunyai dampak yang sangatbesar terhadap keberadaan hutan. Parahnya kondisi hutanIndonesia diperlihatkan oleh hasil penafsiran citra landsat

236

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

tahun 2000 yang menunjukkan bahwa terdapat kawasanhutan yang rusak lebih dari 59 juta ha, yakni di dalam hutanlindung (10,52 juta ha), hutan konservasi (4,69 juta ha)dan hutan produksi (44,42 juta ha). Laju kerusakan hutanpada periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta ha/ tahun. Lajukerusakan tersebut semakin parah dan tidak terkendali padaawal era reformasi (1997-2000) dengan laju degradasi sebe-sar 2,8 juta ha/ tahun dengan aktivitas penebangan liar,penyelundupan kayu dan konservasi kawasan hutan menjadiareal penggunaan lain yang semakin merajalela tanpa meng-indahkan hukum dan kaidah-kaidah pengelolaan hutan yanglestari.

Penanganan terhadap permasalahan illegal logging telahdirumuskan melalui beberapa konsep kebijakan yang akhir-nya dikeluarkan INPRES Nomor 4 Tahun 2005 tanggal 18Maret 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Seca-ra Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di SeluruhWilayah Republik Indonesia.

Pada sisi lain, dengan adanya semangat otonomi daerahdan sejalan dengan upaya daerah untuk meningkatkan pere-konomian daerahnya melalui peningkatan Pendapatan AsliDaerah (PAD), maka permohonan penggunaan kawasanhutan untuk pembangunan non kehutanan terutama pele-pasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan semakinmeningkat, karena kegiatan tersebut di nilai dapatmemberikan kontribusi pendapatan yang lebih besar dandalam jangka waktu yang lebih pendek daripada sektorkehutanan.

237

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

III. KEBIJAKAN SEKTOR KEHUTANAN

3.1 Pemanfaatan Kawasan Hutan

3.1.1. Pemanfaatan Kawasan Untuk Pembangunan

Kehutanan

Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupahamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang dido-minasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,yang satu dan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dilihat darifungsinya, hutan memiliki fungsi konservasi. Fungsi lindung,dan fungsi produksi. Pembangunan pertanian berkelanjutanbidang kehutanan tidak terlepas dari ketiga fungsi hutan.Terlebih karena hutan dapat bersifat sangat lokal namunsekaligus global. Uraian pembangunan pertanian berkelan-jutan bidang kehutanan harus mencakup ketiga fungsitersebut.

Fungsi konservasi memiliki tujuan untuk menjaga ke-beradaan keragaman hayati yang ada di hutan. Konservasihutan dilakukan dengan menetapkan sebagian hutan sebagaikawasan konservasi seluas 20,5 juta ha.

Fungsi lindung memiliki tujuan untuk melindungi tataair bagi masyarakat di sekitarnya, baik untuk memenuhikehidupannya sehari-hari, juga untuk menjamin berjalannyapembangunan sektor lainnya. Hal ini terutama terkaitdengan jaminan ketersediaan air. Upaya pembangunanuntuk menjamin keberadaan air adalah penetapan 33,52juta ha hutan sebagai hutan lindung.

Fungsi produksi memiliki tujuan untuk memproduksibarang terutama berupa kayu dan non kayu. Upaya untukmemproduksi barang dilakukan dengan dua cara, yaitu

238

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

memungut dari hutan alam dan melalui budidaya. Hutanproduksi yang seluruhnya 66,33 juta hektar, diarahkan untukmemproduksi kayu melalui pengelolaan hutan secara lestari.

3.1.2. Pemanfaatan Kawasan Untuk Pembangunan Non

Kehutanan

Dalam rangka menunjang pembangunan di luar ke-hutanan, Departemen Kehutanan telah mencadangkan ka-wasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) untukperkebunan, peternakan, pertanian, transmigrasi, pengem-bangan wilayah dan lain-lain. Hutan produksi yang dapatdikonversi (HPK) adalah kawasan hutan produksi yangsecara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengem-bangan pembangunan di luar kehutanan dalam rangka me-ningkatkan pembangunan lintas sektor dan sub sektor sertakegiatan ekonomi sekitarnya. Berdasarkan Peraturan Peme-rintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan. Kri-teria hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) adalahkawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanahdan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikandengan angka penimbang jumlah 124.

Dari luas HPK yang dicadangkan oleh Departemen Ke-hutanan pada awal tahun 1980-an semula seluas 32,1 jutahektar, saat ini tinggal tersisa seluas 13,8 juta hektar (diluar provinsi Kalimantan Tengah, Riau dan Kepulauan Riauyang masih dalam proses pemaduserasian) akibat telah di-konversi menjadi bukan kawasan hutan maupun perubahanakibat proses pemaduserasian TGHK dengan Rencana TataRuang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang tidak terelakkan.

239

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

3.1.2.1. Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Perkebunan

Pelepasan kawasan hutan yang paling banyak adalahuntuk budidaya pertanian terutama perkebunan, dimanaketentuannya diatur dalam Syrat Keputusan BersamaMenteri Kehutanan, Menteri Pertanian, dan Kepala BadanPertanahan Nasional No. 364/Kpts-II/1990; No. 519/Kpts/HK.050/7/90; No. 23-VII-1990 tentang Ketentuan Pele-pasan Kawasan Hutan untuk Pengembangan Usaha Per-tanian.

Dalam perjalanannya ternyata banyak HPK yang telahdilepaskan untuk budidaya perkebunan banyak yangdisalahgunakan. Banyak permohonan yang berdalih mem-bangun perkebunan namun ternyata hanya ingin mem-peroleh kayu melalui Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yangada di dalam kawasan HPK tersebut. Setelah izin pelepasankawasan hutan diperoleh maka kayu-kayu yang masih adaditebang, kawasan menjadi rusak dan ditelantarkan.

Perkembangan pelepasan kawasan hutan untuk usahabudidaya perkebunan sampai dengan bulan ini adalahsebagai berikut :a. Tahap Ijin Prinsip sebanyak 276 unit= 4.092.557,16 hab. Tahap SK Pelepasan sebanyak 528 unit= 4.710.167,84 hac. Tahap HGU sebanyak 320 unit= 2.048.899,61 ha

Dari data di atas dapat disumpulkan bahwa lebih dari50% kawasan hutan yang telah dilepaskan oleh MenteriKehutanan, ternyata belum memperoleh pembebanan HakGuna Usaha (HGU), yang menyebabkan ketidaktertibanadministrasi pertanahan atas kawasan yang sudah dilepaskantersebut.

240

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

3.1.2.2. Transmigrasi

Kegiatan pelepasan areal hutan untuk pemukiman tran-smigrasi diatur dalam Keputusan Bersama (SKB) MenteriTransmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan dan MenteriKehutanan Nomor SKB 126/MEN/1994 dan Nomor 422/Kpts-II/1994 tanggal 27 September 1994 dengan ketentuanpokok :a. Areal hutan yang dapat dilepaskan/ digunakan untuk

pembangunan pemukiman transmigrasi adalah hutanproduksi yang dapat dikonversi (HPK).

b. Areal HPK yang akan dilepas diutamakan areal yangtidak berhutan (belukar, semak, alang-alang, dan tanahterbuka).Progres persetujuan pelepasan kawasan hutan untuklokasi pemukiman transmigrasi yang tercatat sampaidengan 2006 sebanyak 688 lokasi meliputi areal seluas1.558.331,5 ha terdiri atas :

a. SK Pelepasan Kawasan hutan sebanyak 256 lokasimeliputi areal seluas 956.672,81 ha.

b. Persetujuan Prinsip Pelepasan Kawasan Hutansebanyak 436 lokasi meliputi areal seluas lebih dari605.203,66 ha.

3.1.2.3. Tukar Menukar Kawasan Hutan

Tukar menukar kawasan hutan dengan bukan kawasanhutan dilakukan pada provinsi yang luas kawasan hutannyakurang dari 30%, atau pada provinsi-provinsi yang tidakterdapat areal HPK. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mem-perluas kawasan hutannya dengan menggunakan rasio lebih

241

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

dari 1:1 denga harapan luas kawasan hutan di beberapaprovinsi dapat mencapai lebih dari 30% atau dalam rangkarestrukturisasi kawasan hutan lebih optimal mengingat padabeberapa provinsi terdapat HPK atau Areal PenggunaanLain (APL) yang masih berhutan dengan topografi curam,sementara kawasan hutan yang ada kondisinya rusak, ter-degradasi dan banyak perambahan.

Kegiatan tukar-menukar didasarkan pada KeputusanMenteri Kehutanan Nomor 292/Kpts-II/1995 yang hanyadapat diperbolehkan untuk kegiatan :a. Pembangunan proyek-proyek untuk kepentingan umum

terbatas oleh instansi pemerintah;b. Pembangunan proyek strategis;c. Menghilangkan enklave dalam rangka memudahkan

pengelolaan kawasan hutan;d. Menyelesaikan pendudukan tanah kawasan hutan tanpa

izin Menteri Kehutanan;e. Memperbaiki batas kawasan hutan.

Mekanisme proses tukar menukar kawasan hutantersebut harus tetap mengacu pada ketentuan Pasal 19ayat (1) atau (2) UU No. 41 tahun 1999 sebagai berikut:

a. Perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutanditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan penelitianterpadu;

b. Perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampakpenting, cakupan luas dan bernilai strategis ditetapkanoleh pemerintah berdasarkan persetujuan DPR;

3.1.2.4. Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Pinjam pakai kawasan hutan dilakukan terhadap

242

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

penggunaan kawasan hutan yang sifatnya “sementara” untukkepentingan sektor lain tetapi tidak menganggu fungsi pokokkawasan hutannya.a. Pertambangan

Kegiatan pertambangan pada kawasan hutan dapatdilakukan pada hutan lindung dan hutan produksi.Khusus untuk pertambangan dengan pola penam-bangan terbuka di hutan lindung, dilarang.Kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutang yangsampai saat ini juga mengacu pada Keputusan Bersamaantara Menteri Kehutanan dan Menteri Pertambangandan Energi Nomor 429/Kpts-II/1989 dan Nomor 969.K/05/M.PE/1989. Namun demikian dengan terbitnya UUNomor 41 Tahun 1999 maka kegiatan pertambangandi dalam kawasan hutan lebih dibatasi. Hal ini dimak-sudkan agar kerusakan hutan dapat lebih dikurangi.

b. Penggunaan Non Kehutanan LainnyaKegiatan penggunaan kawasan hutan untuk pem-bangunan di luar kegiatan kehutanan dan pertambanganmeliputi kegiatan (i) kegiatan religi; (ii) pertahanan dankeamanan; (iii) pembangunan ketenagalistrikan daninstalasi teknologi energi terbarukan; (iv) pembangunanjaringan telekomunikasi; (v) pembangunan jaringaninstalasi air; (vi) jalan umum dan jalan (rel) kereta api;(vii) saluran air bersih dan atau air limbah; (viii)pengairan; (ix) bak penampungan air; (x) fasilitasumum; (xi) repeater telekomunikasi; (xii) stasiunpemancar radio; atau (xiii) station relay televisi.Untuk menentukan layak tidaknya suatu kegiatan pem-

bangunan di luar kegiatan kehutanan dilakukan di dalam

243

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

kawasan hutan, maka persetujuan Menteri Kehutanan yangdiberikan didasarkan pada hasil penelitian terpadu. Pene-litian terpadu dilaksanakan oleh tim yang mempunyai oto-ritas ilmiah, bersifat independen (scientific-authority) yangterdiri dari unsur pemerintah dan pihak lain yang diperlukan.

3.2 Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama

Masyarakat

Sebagaimana diketahui kondisi masyarakat yang tinggaldi sekitar hutan baik di Pulau Jawa maupun luar Jawa seba-gian besar masih berada di bawah garis kemiskinan. Gunameningkatkan taraf kehidupan mereka serta untuk menekanlaju perambahan serta perusakan hutan, maka DepartemenKehutanan telah melaksanakan berabagai kebijakan danprogram Pembanguan Masyarakat Desa Hutan (PMDH),atau HPH Bina Desa Hutan. Di jawa Perum Perhutanimengembangkan intensifikasi tumpangsari pada tahun1972, dan pada tahun 1984 mengembangkan PMDH. Diluar jawa perusahaan HPH (termasuk BUMN PT Inhutani)telah mengembangkan HPH Bina Desa pada akhir tahun1980an.

Berdasarkan data Perum Perhutani per 2005, terdapat5.580 desa hutan, dan dari 5.580 desa hutan tersebut PerumPerhutani telah mengimplementasikan program PHBM pada1.030 desa (+ 18%). Realisasi sharing produksi tahun 2005untuk komoditas kayu adalah sebesar + 5,757 milyar danuntuk komoditas non kayu sebesar 881,76 juta rupiah.

Berdasarkan data Badan Planologi Kehutanan per2004, pada tahun 2003 terdapat kegiatan PMDH yangdilaksanakan oleh 169 HPH di 267 desa yang tersebar di

244

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

16 provinsi di luar jawa serta melibatkan + 20 ribu keluargadengan jumlah biaya + 7,6 milyar rupiah. Jumlah desa yangmenerima program maupun perusahaan HPH penyelenggaraprogram tersebut diperkirakan jauh lebih kecil dibandingkanpelaksanaan PMDH tahun 1990an karena di era reformasisebagian HPH terpaksa menghentikan kegiatannya akibatkonflik areal konsesi.

3.3. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

Indonesia (RPPK)

Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehu-tanan (RPPK) Indonesia dicanangkan pada tanggal 11 Juni2005 di Jatiluhur, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan tersebutdicanangkan seiring dengan tumbuhnya kesadaran untukmenempatkan arti penting kegiatan sektor pertanian, peri-kanan, dan kehutanan secara proporsional (dimana per-tanian memiliki peran yang tidak dapat digantikan dan samapentingnya dengan sektor lain), kontekstual (dimana perta-nian memiliki peran penting dimasa lalu, saat ini, dan dimasa yang akan datang baik berupa (biofuel, pangan,kesehatan, lingkungan, dan lain lain). Kegiatan tersebut jugadicanangkan dengan kesungguhan untuk menyegarkankembali ‘vitalitas’ pertanian, perikanan dan kehutanan;memberdayakan kemampuannya dan meningkatkankinerjanya.

Kegiatan ini mencakup kegiatan : pertanian dalam artiluas (termasuk petemakan, perkebunan, hortikultura, dantanaman pangan), perikanan (termasuk perikanan tangkapdan budidaya) serta kehutanan (termasuk kayu dan non

245

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

kayu). Cakupan dari ketiga sektor tersebut adalah untuksemua kegiatan dari hulu sampai dengan hilir (lahan, air,bibit, pembiayaan, alat dan mesin, budidaya, industri, dis-tribusi, eceran, dan sebagainya).

Pihak-pihak yang terlibat dalam program dimaksudantara lain: petani, nelayan, pekebun, petambak, pembudi-daya ikan, petani hutan, pengusaha dan perusahaan agri-bisnis, BUMN, koperasi, perbankan, universitas, asosiasi,dan sebagainya. Adapun tuiuan dari program RPPK adalahuntuk :• mengurangi kemiskinan di pertanian, perikanan, dan

kehutanan;• mengurangi pengangguran dipertanian, perikanan, dan

kehutanan;• meningkatkan daya saing usaha dan produk pertanian,

perikanan, dan kehutanan;• membangun ketahanan pangan;• membangun pedesaan,• membangun daerah dan mengurangi ketimpangan antar

wilayah, dan• membangun kesinambungan kegiatan pertanian,

perikanan, dan kehutanan serta melestarian lingkunganhidup.Terdapat 4 (empat) kelompok yang ditetapkan sebagai

fokus kegiatan ini yaitu :• Terkait dengan aspek ketahanan pangan, yang

mencakup aspek pasokan produk, aspek pendapatandan ketegangkauan, dan aspek kemandirian.

• Sumber perolehan devisa, terkait dengan keunggulankomparatif dan keunggulan kompetitif di pasar

246

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

internasional sebagai contoh untuk beberapa komodi-tas: sawit, udang, tuna, karet dan hutan tanaman

• Penciptaan lapangan usaha dan pertumbuhan baru, yangterutama terkait dengan peluang pengembangan ke-giatan usaha baru dan pemanfaatan pasar domestik an-tara lain hortikultura, ayam dan unggas, produk panganolahan, produk kayu dan non-kayu.

• Pengembangan produk-produk baru, yang terkaitdengan berbagai isu global dan kecenderungan per-kembangan masa depan antara lain rumput laut,bioenergi, biomedicine.Dengan adanya program RPPK ini diharapkan akan

terjadi pengurangan petani gurem dengan laju pengurangan5 persen per tahun; petani, nelayan, dan petani hutanmenguasai kegiatan usaha yang sesuai dengan skala keeko-nomiannya; pangsa jumlah petani dalam struktur tenagakerja nasional seimbang dengan pangsa kontribusi pertaniandalam struktur pendapatan nasional; petani, nelayan, danpetani-hutan memiliki akses untuk turut melakukan danmenguasai kegiatan hulu dan hilir dalam sistem produksi-distribusi pertanian (sistem agribisnis); petani, nelayan danpetani-hutan memiliki akses sepenuhnya terhadap layanandan sumberdaya produktif, seperti lahan, pembiayaan, infor-masi, teknologi, dan pasar; petani, nelayan, dan petani-hutandilindungi dalam melakukan kegiatan usaha PPK sertamemiliki kemampuan dan keberdayaan untuk mengembang-kan kegiatan PPK yang dilakukannya dan memiliki tingkatpendidikan, status gizi dan ketahanan pangan, serta kese-taraan gender yang baik.

Dari sisi kondisi sumber daya alam diharapkan akan

247

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

terkelola dengan sistem pengelolaan sumber daya alam yangmemungkinkan terjadinya kelestarian manfaat untuk saatini dan dimasa yang akan datang. Tersedia dan termanfa-atkannya produk-produk jasa lingkungan seperti emisi kar-bon, tata-air, lansekap, keanekaregaman hayati, energi pa-sang surut, konvensi energi panas laut, ekosistem pulau-pulau kecil, air bersih kaya nutrien dari laut dalam, dansebagainya.

Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa program RPPKbukan hanya program Pemerintah, tetapi juga merupakankerja bersama antara pemerintah pusat, daerah, petani/asosiasi/ organisasi masyarakat, dunia usaha, akademisi dansemua stake holder yang terlibat di bidang pertanian, peri-kanan dan kehutanan.

3.4 Investasi Sektor Kehutanan

Hutan di lndonesia mempunyai peran yang strategis,tidak hanya dalam menjaga keseimbangan ekosistem namunjuga dalam menggerakkan perekonomian baik di tingkatnasional maupun wilayah. Bahkan sejak decade 1970-an,sumberdaya hutan menjadi modal utama pembangunanekonomi nasional. Namun, seiak terjadinya krisis ekonomitahun 1998 hingga saat ini kondisi sumber daya hutansemakin memprihatinkan. Sektor kehutanan mampu ber-kontribusi dalam penerimaan devisa, penyerapan tenagakerja, maupun dalam pembangunan wilayah. Perolehandevisa sebelum krisis ekonomi, bahkan sempat mencapaiUS$ 22 miliar, namun menurun tajam pada periode 1997-2003.

Untuk memberikan solusi atas permasalahan tersebut,

248

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

ada tiga agenda pokok dalam kebijakan revitalisasi sektorkehutanan berdasarkan refocusing Rencana PembangunanJangka Menengah (RPJM) Kehutanan 2004-2009. Agendapertama, pertumbuhan sektor kehutanan rata-rata 2-3persen per tahun sebagai bagian dari pertumbuhan ekonominasional yang ditargetkan mencapai 6,6 persen per tahunsampai tahun 2009. Tujuan dari agenda ini adalah mening-katnya ekspor hasil hutan kayu dan non-kayu, serta masuk-nya investasi baru secara proporsional, yaitu antara pengu-saha besar dan usaha kecil dan menengah (UKM) baik darisektor hulu maupun hilir berbasis pengelolaan hutan lestari.

Agenda kedua adalah bergeraknya sektor riil kehutanandan usaha terkait yang berbasis usaha kecil menengah diperkotaan dalam sentra-sentra bisnis perkayuan di jawa dandi luar jawa. Tujuan agenda ini adalah penyerapan tenagakerja untuk mengurangi pengangguran di perkotaan.

Sedangkan agenda ketiga adalah memberdayakanekonomi masyarakat setempat baik di dalam maupun disekitar hutan, dengan cara memberi akses kepada merekadalam pemanfaatan hutan produksi melalui pemanfaatanhutan produksi melalui pemanfaatan tanaman rakyat danpola kemitraan antara petani sekitar hutan dengan peru-sahaan swasta maupun pemerintah.

Berkaitan dengan agenda tersebut, di Pulau Jawa akandilakukan peningkatan efektifitas pengelolaan hutanproduksi dengan meningkatkan keterlibatan masyarakatdalam bentuk kerja sama pengelolaan. Dengan demikian,status hutan yang dikelola tetap merupakan kawasan hutannegara, sedangkan masyarakat diberi akses lebih luas untukmemanfaatkan lahan tersebut. Di luar jawa, sebagian dari

249

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

luas hutan produksi yang tidak produktif dikembangkanuntuk hutan tanaman industri (HTl) yang pada akhir tahun2009 ditargetkan seluas 9 juta hektar. Dari luasan itu, 5,4juta hektar atau 60 persen dialokasikan untuk hutan ta-naman industri rakyat (HTI-R), yaitu HTI yang dikelolabersama masyarakat, dan sisanya murni HTl. Melalui upayaini, pada tahun 2009 produksi hutan alam tidak akan digu-nakan lagi untuk industri pulp dan kertas, dan pada tahun2014 untuk industi kayu gergajian, plywood dan lainnya.Dengan demikian kelestarian hutan, kemakmuran rakyat,dan meningkatnya peran industri kehutanan sebagaipenggerak perekonomian nasional dapat segera terwujud.

4. PENUTUP

• sebagai amanat penguasaan hutan oleh negara, peme-rintah telah menunjuk dan/ atau menetapkan kawasanhutan sebagai landasan pengelolaan hutan lestari. Darikawasan hutan yang telah ditunjuk, terdapat fungsikawasan hutan produksi yang dapat digunakan untukkegiatan pembangunan kehutanan, yang di dalamnyajuga terdapat hutan produksi yang dapat dikonversi(HPK) sebagai wujud komitmen Departemen Kehu-tanan untuk pembangunan non-Kehutanan.

• Departemen Kehutanan mengemban misi untukmengelola hutan secara lestari dan memberi manfaatsebesar-besamya untuk kemakmuran rakyat. Untukmeningkatkan kinerja pembangunan sektor kehutanan,dilakukan revitalisasi peran dan posisi sektor kehutananmelalui keterlibatan masyarakat dalam pengelolaanhutan secara lebih besar dan mengacu prinsip keles-

250

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

tarian, serta peningkatan investasi bidang kehutanan,sehingga sumber daya hutan dapat kembali memberikankontribusi yang nyata dalam pembangunan nasional.

Daftar Pustaka

Div Pembinaan SDH. Perum Perhutani. 2005. RangkumanRefleksi lmplementasi Pengelolaan Sumber DayaHutan Bersama Masyarakat. Perum Perhutani,Jakarta.

Didik Suharjito. 2005. Arah dan Skenario PengembanganPemberdayaan Masyarakat di Dalam dan sekitarHutan. Buletin Planologi, Oktober 2005.

Departemen Kehutanan. 2006. Rencana PembangunanJangka Panjang Kementerian/ Lembaga Kehutanan.Departemen Kehutanan, Jakarta.

________, 2006. Rencana Stratejik Departemen Kehutanan2005-2009 (Penyempurnaan). Departemen Kehu-tanan, Jakarta.

Bayu Krisnamurthi. 2006. Presentasi Revitalisasi Pertanian,perikanan, Dan Kehutanan lndonesia (RPPK).

251

PENDAHULUAN …PENDAHULUAN …

Ps. 33 UUD 1945 : Bumi, tanah, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakanuntuk sebesar besar kemakmuran rakyatuntuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Mengatur, mengurus hal yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan,

Menetapkan atau mengubah status kawasan hutan,

Wewenang Pemerintah :

p g

Mengatur dan menetapkan hubungan hukum,

Mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan.

DEPARTEMEN KEHUTANANB A D A N P L A N O L O G I K E H U T A N A N

GEDUNG MANGGALA WANABHAKTI – JAKARTA

KEBIJAKAN PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN

Disampaikan pada

SIMPOSIUM NASIONAL STRATEGI IMPLEMENTASI PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA

MAKASSAR, 4 DESEMBER 2006

PENDAHULUAN …PENDAHULUAN …

Ali Arsyad

252

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Definisi

Hutan : suatu kesatuanekosistem (hamparan, sumber daya alam hayati, didominasi pepohonan dalampersekutuan alamlingkungannya, yang satudengan lainnya tidak dapatdipisahkan).

KawasanKawasan hutanhutan : : wilayahwilayah tertentutertentu yang yang ditunjukditunjukdandan atauatau ditetapkanditetapkan oleholeh pemerintahpemerintah dipertahankandipertahankankeberadaannyakeberadaannya sebagaisebagai hutanhutan tetaptetap..

Hutan Register

EraTGHK

EraRTRWP

Paduserasi TGHK - RTRWP

Penunjukan KH Baru

1983 1992 1995 1999< 1980

UU No. 5/1990 :KSDA Hayati & Ekosistemnya

1990

UU No.5/1967

UU No.24/1992

UU No.41/1999

253

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

140,000

160,000

31592

30526 22453

33867 36643

36046 22796

40 000

60,000

80,000

100,000

120,000

,

HPKHPHPTHLHSAW-TN

18125

30316 31592

233730

20,000

40,000

TGHK Penunjukan Baru1) Provinsi Riau, Kepri dan Kalimantan Tengah masih menggunakan TGHK2) Termasuk HPK di Riau + Kepri seluas + 4.770.085 Ha dan Kalteng seluas + 4.302.181 Ha.

PENDAHULUAN

Pengelolaan hutan Indonesia didasarkan atas

komitmen :

Di ti k t i l UUD 1945 (P l 33) UU N– Di tingkat nasional : UUD 1945 (Pasal 33), UU No.

5/1990, UU No. 24/1992, UU No. 6/1994 tentang

Perubahan Iklim, UU No. 41/1999 dan UU No. 32/1997

tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

– Di tingkat global : al. KTT Bumi (UNCED) 1990 yang

tertuang antara lain dalam Deklarasi Rio dan Agenda 21,

pedoman ITTO tahun 1990 tentang Pengelolaan Hutan

Lestari serta Kyoto Protocol tahun 2000Lestari, serta Kyoto Protocol tahun 2000.

– Di tingkat lokal : menghormati hak-hak atau perijinan

yang telah diberikan kepada pihak ketiga (pemegang

HPH-HTI) kepastian hukum dan kepastian berusaha,

tidak bisa semena-mena berikan areal ke pihak lain.

254

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

KEADAAN KAWASAN HUTAN SAAT INI

Permasalahan KehutananMenghadapi masalah yang sangat kompleksMenghadapi masalah yang sangat kompleks

dan dalam tekanan yang luar biasa.

Hasil penafsiran citra Landsat th 2000 :

kawasan hutan yang rusak >59 juta ha

Laju kerusakan hutan pada periode 1985-1997

: 1,6 juta ha/tahun.

Laju kerusakan pada awal era reformasi :Laju kerusakan pada awal era reformasi :

sebesar 2,8 juta Ha/tahun

Semangat otda :

PAD

Pengelolaan Hutan di Era Otoda

Political pressure yang mempengaruhi pengelolaan

hutan

Hutan dilihat sebagai komoditas kayu

Keinginan untuk memperoleh pendapatan dalam

waktu singkat dari pada kepentingan kelestarian

usaha pada jangka panjang.

Keinginan untuk mengkonversi hutan

Review RTRWP/K

Kerusakan Hutan tahun 1998-2001 2x lipat

dibandingkan tahun-tahun sebelumnya

255

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

KEBIJAKAN SEKTOR KEHUTANAN

Fungsi konservasi : menjaga keberadaan keanekaragamn

ragaman hayati yang ada di hutan. Dengan menetapkan

sebagian hutan sebagai kwsn konservasi seluas 20,5 juta ha.sebagian hutan sebagai kwsn konservasi seluas 20,5 juta ha.

Fungsi lindung : untuk melindungi tata air bagi

masyarakat disekitarnya, baik untuk memenuhi kehidupannya

sehari-hari, juga untuk menjamin berjalannya pembangunan

sektor lainnya. Dengan menetapkan 33,52 juta ha hutan sebagai

hutan lindung.

Fungsi produksi : untuk memproduksi barang (kayu & non

kayu), yaitu memungut dari hutan alam dan melalui budidaya.

Hutan produksi yang seluruhnya 66,33 juta hektar, diarahkan

untuk memproduksi kayu pengelolaan hutan secara lestari.

– Dephut telah mencadangkan HPK untuk

perkebunan, peternakan, pertanian,

Pemanfaatan Kawasan Untuk Pembangunan Non Kehutanan

p , p , p ,

transmigrasi, pengembangan wilayah dan lain-

lain.

– PP No. 44/2004 HPK :

• Kriteria : kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan

: < 124.: 124.

– Luas HPK saat ini tersisa 13,8 juta hektar (diluar

provinsi Kalteng, Riau dan Keppri yang masih

dalam proses pemaduserasian)

256

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Diatur dlm SKB Menhut Mentan dan Ka BPN No

Pelepasan Kwsn Hutan Untuk Perkebunan

Diatur dlm SKB Menhut, Mentan dan Ka BPN No.

364/Kpts-II/1990; No. 519/Kpts/HK.050/7/90; No.

23-VIII-1990.

Banyak HPK yang telah dilepaskan disalahgunakan.

Al. berdalih membangun perkebunan namun hanya

ingin memperoleh kayu melalui Izin Pemanfaatan

Kayu (IPK) Setelah izin pelepasan kawasan hutanKayu (IPK). Setelah izin pelepasan kawasan hutan

diperoleh, kayu-kayu yang masih ada ditebang,

kawasan menjadi rusak dan ditelantarkan.

Pelepasan Kwsn Hutan Untuk Perkebunan

4.710.167,84

5000000

4.092.557,16

2.048.899,61

1000000

2000000

3000000

4000000

Pencadangan

SK Pelepasan

HGU

> 50% kawasan hutan yang telah dilepaskan, belum HGU ketidaktertiban administrasi

pertanahan atas kawasan yang sudah dilepaskan

tersebut.

0

257

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Transmigrasi

SKB Mentrans & PPH dan Menhut No SKB 126/MEN/1994 & No

422/Kpts-II/1994 tgl 27 Sep 94 dengan ketentuan pokok:

– Areal hutan yang dapat dilepas/digunakan untuk pembangunan

pemukiman transmigrasi adalah Hutan Produksi yang dapat dikonversi

(HPK).

– Areal HPK yang akan dilepas diutamakan areal yang tidak berhutan

(belukar, semak, alang-alang dan tanah terbuka).

Progres s/d 2006

1400000

605.203,66

956.672,81

0

Luas (ha)

Pencadangan

SK Pelepasan

Tukar Menukar Kawasan Hutan

Tukar menukar kawasan hutan dengan bukan kawasan hutan

dil k k d i i l k h t k d idilakukan pada provinsi yang luas kawasan hutannya kurang dari

30%, atau pada provinsi-provinsi yang tidak terdapat areal HPK.

Dimaksudkan untuk memperluas kawasan hutannya dengan

menggunakan ratio lebih dari 1:1 dengan harapan luas kawasan

hutan di beberapa provinsi dapat mencapai lebih dari 30% atau

dalam rangka restrukturisasi kawasan hutan lebih optimal mengingat

pada beberapa provinsi terdapat HPK atau Areal Penggunaan Lain

(APL) ih b h d fi(APL) yang masih berhutan dengan topogrfi curam, sementara

kawasan hutan yang ada kondisinya rusak, terdegradasi dan banyak

perambahan.

258

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Kegiatan tukar-menukar didasarkan Kptsn Menhut No 292/Kpts-II/1995

yang hanya dapat diperbolehkan untuk kegiatan:

Tukar Menukar Kawasan Hutan

– Pembangunan proyek-proyek untuk kepentingan umum terbatas oleh instansi

pemerintah;

– Pembangunan proyek strategis;

– Menghilangkan enklave dalam rangka memudahkan pengelolaan kawasan hutan;

– Menyelesaikan pendudukan tanah kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan;

– Memperbaiki batas kawasan hutan.

Mekanisme mengacu pada ketentuan Pasal 19 ayat (1) atau (2) UU No.

41 tahun 1999 :ta u 999

– Perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah

berdasarkan penelitian terpadu;

– Perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting, cakupan luas dan

bernilai strategis ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan persetujuian DPR;

Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Dilakukan terhadap penggunaan kawasan hutan yang sifatnya “sementara”

untuk kepentingan sektor lain tetapi tidak mengganggu fungsi pokok kawasan

hutannya. y

Pertambangan

– Pada HL dan HP. Khusus untuk pertambangan dengan pola penambangan terbuka

di hutan lindung dilarang.

– Mengacu pada SKB Menhut dan Mentamben No 429//Kpts-II/1989 dan No

969.K/05/M.PE/1989. Terbitnya UU 41/1999 maka kegiatan pertambangan di

dalam kawasan hutan lebih dibatasi. Hal ini dimaksudkan agar kerusakan hutan

dapat lebih dikurangi.

Non Pertambangan

– Meliputi kegiatan : (i) kepentingan religi; (ii) hankam; (iii) pembangunan

ketenagalistrikan dan instalasi teknologi energi terbarukan; (iv) pembangunan

jaringan telekomunikasi; (v) pembangunan jaringan instalasi air; (vi) jalan umum

dan jalan (rel) kereta api; (vii) saluran air bersih dan atau air limbah; (viii)

pengairan; (ix) bak penampung air; (x) fasilitas umum; (xi) repeater

telekomunikasi; (xii) stasiun pemancar radio; atau (xiii) station relay televisi.

259

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN,REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK) INDONESIA

KONTRIBUSI SEKTOR KEHUTANAN DALAM PEREKONOMIAN 4PEREKONOMIAN NASIONAL/PDB (%)

TAHUN 1993-2003

Sumber Data : bps, 1993-2003

Kayu Olahan & Hasil Hutan

Olahan Lainnya

3,53,4

3,13,0 3,0

2,82,7

2,6 2,62,5

2,4

1,91 8

2

2,5

3

3,5

4

me

(ju

ta m

3)

Kayu Bulat, Rotan, Madu dan

lain-lain

1,8

1,6 1,61,7 1,7 1,7

1,6 1,6 1,61,5

0

0,5

1

1,5

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003Tahun

Vo

lum

260

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

60

Luas (juta Ha)

PRODUKSI KAYU (PRODUKSI KAYU (HPH, HTI DAN PERUM PERHUTANIHPH, HTI DAN PERUM PERHUTANI) DAN ) DAN

KONSUMSI KAYU SEKTOR KEHUTANANKONSUMSI KAYU SEKTOR KEHUTANAN

Volume Permintaan Kayu

Log

30

40

50

Produksi kayu log legal (HA &

HT)

0

10

20

1989 1990 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003

Tahun

No. Uraian 1993 2003 catatan

Hasil Sensus Pertanian Indonesia 2003

1. Jumlah Rumah Tangga Pertanian

20,8 juta RTP

25,4 juta RTP

+ 2,2%/tahun

2. Jumlah petani Gurem (Lahan Usaha < 0,5 Ha/KK)

10,8 juta RTP

13,7 juta RTP

+ 2,6%/tahun

3 % RT Petani 52 7% 56 5% Petani3. % RT Petani Gurem/RT Petani Pengguna Lahan

52,7% 56,5% Petani Semakin

Miskin

P. Jawa 69,8% 74,9%

Luar P. Jawa 30,6% 33,9%

261

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

KONDISI PETANI, NELAYAN, DAN

MASYARAKAT SEKITAR HUTAN

Tahun 2004 :

Jumlah orang miskin : 36,1 juta

Jumlah orang miskin di pedesaan : 24,8 juta

Jumlah orang miskin di dalam dan sekitar hutan : 10,2 juta

Jumlah petani dan nelayan miskin : 21,3 juta

68,7 % orang miskin ada di pedesaan

20,1 % orang desa : miskin

20,6 % petani : miskin

ISU KEHUTANAN

1. Good Governance;2. Tenurial;3. Pengelolaan htn tdk lestari;

1. Good Governance;2. Land Tenure;3. SDM Kehutanan;4. Ketersediaan data dan info

rendah;KELEMBAGAAN DAN

GOVERNANCEg ;

4. Kejahatan khtn meningkat;5. SDM Kehutanan;6. Degradasi SDH meningkat;7. Ketersediaan data dan info

rendah;8. R&D tidak efisien dan tidak

terapan;9. Perencanaan kehutanan tidak

partisipatif;10.Penegakan Hukum rendah;11 Industri & struktur industri

rendah;5. R&D tidak efisien dan tidak

terapan;6. Perencanaan kehutanan tidak

partisipatif;7. Penegakan Hukum rendah;8. Otonomi daerah9. Tata ruang10.Kemiskinan.

1. Pengelolaan hutan tidak lestari;

GOVERNANCE

LEMAH

11. Industri & struktur industri kehutanan tidak efisien;

12.Konsep konservasi belum diterapkan;

13.Otonomi daerah;14.Kemiskinan (cross cutting

issue- CCI).15.Tata ruang (CCI)

2. Land Tenure;3. Kejahatan kehutanan

meningkat;4. Degradasi SDH meningkat;5. Perencanaan kehutanan tidak

partisipatif;6. Penegakan hukum rendah;7. Industri & struktur industri

tidak efisien;;8. Konsep konservasi belum

diterapkan;9. Kemiskinan (CC-I)

PENGELOLAAN

HUTAN TIDAK

LESTARI

262

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

PencananganREVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN (RPPK)

INDONESIA

Sabtu, 11 Juni 2005, di Jatiluhur, Jawa Barat

o.n

et.

idB

ay

u K

ris

na

mu

rth

i /

yb

kri

sn

a@

ind

o

• “TRIPPLE STRATEGY” BIDANG EKONOMI (SBY-YK):EKONOMI (SBY YK): • Pertumbuhan 6,6 Persen Per Tahun, • Menggerakkan Kembali Sektor Riil, • Revitalisasi Pertanian dan

Perekonomian Pedesaan.

263

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

• Pertanian dalam arti luas, termasuk peternakan, perkebunan,

hortikultura, dan tanaman pangan. Perikanan, termasuk

perikanan tangkap dan budidaya. Kehutanan, termasuk kayu

dan non kayu

• Mencakup semua kegiatan hulu-hilir: lahan, air, bibit,

pembiayaan, alat dan mesin, budidaya, industri, distribusi,

eceran, dsb.

• Pelaku : petani, nelayan, pekebun, petambak, pembudi-daya

ikan, petani hutan, pengusaha dan perusahaan agribisnis,

BUMN, koperasi, perbankan, universitas, asosiasi, dsb

Upaya membangun kondisi industri kehutanan untuk

berperan kembali sebagai salah satu penggerak

Tujuan Revitalisasi Kehutanan

perekonomian nasional.

Indikator :

1. Nilai tambah industri kehutanan

2. Penyerapan tenaga kerja

3. Peningkatan devisag

4. Peningkatan ekonomi wilayah

5. Kesejahteraan masyarakat

6. Efisien dan Kompetitif

7. Perbaikan kualitas SDH

264

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

RENCANA STRATEGIS DAN LANGKAH PENCAPAIAN LUAS HUTAN

TANAMAN SEBESAR 5 JUTA HA SELAMA 5 TAHUN (2004 – 2009)

114 UNIT SK HPTI

214 UNITPHTI

DEFINITIFLUAS 5.802.704 Ha

REAL TANAMAN2.167.272 Ha

37 UNIT SK HPTI SEMENTARA

LUAS 748.111 HaREAL TANAMAN

237.867 Ha

63 SK HPTI PENCADANGAN

LUAS 2.762.814 HaREAL TANAMAN

HTI

DIPROSES IJIN DEFINITIF PERCEPATAN

RENCANA

LUAS HUTAN TANAMAN

5.000.000 Ha

DIPROSES IJIN DEFINITIF

103.767 Ha

PENYIAPAN AREAL Baru SELUAS 1.649.482,5 Ha

PROSES

LELANG

TIDAK DAPAT DIPROSES

IJIN DEFINITIF/DITOLAK

Investasi Sektor Kehutanan ... (1)

Tiga agenda pokok dalam kebijakan

revitalisasi sektor kehutanan berdasarkan

refocusing Rencana Pembangunan Jangka

Menengah (RPJM) Kehutanan 2004-2009.

– Agenda pertama, pertumbuhan sektor kehutanan

rata-rata 2-3% / tahun sebagai bagian dari

pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan

mencapai 6,6 persen per tahun sampai tahun 2009.

Tujuan : meningkatnya ekspor hasil hutan kayuTujuan : meningkatnya ekspor hasil hutan kayu

dan non-kayu, masuknya investasi baru secara

proporsional antara pengusaha besar dan UKM baik

dari sektor hulu maupun hilir berbasis pengelolaan

hutan lestari.

265

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Investasi Sektor Kehutanan ... (2)

Agenda kedua : bergeraknya sektor riil kehutanan dan usaha terkait

yang berbasis usaha kecil menengah di perkotaan dalam sentra-yang berbasis usaha kecil menengah di perkotaan dalam sentra

sentra bisnis perkayuan di Jawa dan di luar Jawa.

Tujuan : penyerapan tenaga kerja untuk mengurangi pengangguran

di perkotaan.

Agenda ketiga adalah memberdayakan ekonomi masyarakat

setempat baik di dalam maupun di sekitar hutan, dengan cara

memberi akses kepada mereka dalam pemanfaatan hutan produksi

melalui pemanfaatan hutan produksi melalui pemanfaatan tanaman

k t d l k it t t i kit h t drakyat dan pola kemitraan antara petani sekitar hutan dengan

perusahaan swasta maupun pemerintah.

Tujuan : Peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di

sekitar hutan

Investasi Sektor Kehutanan ... (3)

Di P Jawa : peningkatan efektifitas pengelolaan HP 1,8 juta hektar

dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam bentuk

kerjasama pengelolaan Status hutan yang dikelola tetap merupakankerjasama pengelolaan. Status hutan yang dikelola tetap merupakan

kawasan hutan negara, sedangkan masyarakat diberi akses lebih luas

untuk memanfaatkan lahan tersebut (access reform).

Di luar Jawa, sebagian dari luas HP tidak produktif dikembangkan

untuk HTI yang pada akhir tahun 2009 ditargetkan seluas 9 juta hektar.

Dari luasan itu, 5,4 juta hektar (60%) dialokasikan untuk hutan

tanaman industri rakyat (HTI-R), yaitu HTI yang dikelola bersama

masyarakat, dan sisanya murni HTI.

Pada 2009 diharapkan produksi hutan alam tidak akan digunakan lagiPada 2009 diharapkan produksi hutan alam tidak akan digunakan lagi

untuk industri pulp dan kertas dan pada 2014 untuk industri kayu

gergajian, plywood dan lainnya.

Kemakmuran rakyat dan meningkatnya peran industri kehutanan

sebagai penggerak perekonomian nasional dapat segera terwujud.

266

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat

Kondisi masyarakat sekitar hutan di bawah garis kemiskinan. y g

Kebijakan dan program Pembangunan Masyarakat Desa

Hutan (PMDH). Atau HPH Bina Desa Hutan.

Data Perum Perhutani per 2005 : Dari 5.580 Desa Hutan,

1.030 Desa (± 18%) telah diimplementasikan PHBM.

Realisasi sharing produksi tahun 2005 :

komoditas kayu : Rp ± 5,757 milyar dan

komoditas non kayu : Rp ± 881,76 juta.

Data Baplan per 2004, pada tahun 2003 terdapat kegiatan p p p p g

PMDH yang dilaksanakan oleh 169 HPH di 267 Desa yang

tersebar di 16 Provinsi di luar Jawa serta melibatkan ± 20

ribu keluarga dengan jumlah biaya ± 7,6 milyar Rupiah.

PENUTUP

Pemerintah telah menunjuk dan/atau menetapkan kawasan

hutan sebagai landasan pengelolaan hutan lestari.

Dari kawasan hutan yang telah ditunjuk, terdapat fungsiDari kawasan hutan yang telah ditunjuk, terdapat fungsi

kawasan hutan produksi yang dapat digunakan untuk kegiatan

pembangunan kehutanan, yang di dalamnya juga terdapat

hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) sebagai wujud

komitmen Departemen Kehutanan untuk pembangunan non–

kehutanan.

Dephut mengemban misi untuk mengelola hutan scr lestari dan

memberi manfaat sebesar-besarnya utk kemakmuran rakyat.

Revitalisasi peran dan posisi sektor kehutanan melaluiRevitalisasi peran dan posisi sektor kehutanan melalui

keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan secara lebih

besar dan mengacu prinsip kelestarian, serta peningkatan

investasi bidang kehutanan, sehingga sumberdaya hutan dapat

kembali memberikan kontribusi yang nyata dalam

pembangunan nasional.

DUKUNGAN PROGRAMAKSES DAN LINTAS SEKTOR

268

269

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

270

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

271

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

272

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

273

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

274

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

275

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

276

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

277

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

278

Peran Pertanian

Menyumbang pada PDB

Menyediakan kesempatan kerja

Menghasilkan pangan dan bahan baku

Menghasilkan devisa

Pembentukan modal

Th 1960: 54 % PDB

Th 2005: 14.5 % PDB ; tetapi 43.9 % tenaga kerja

PROGRAM DUKUNGAN AKSES

PAKET PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL

••HariantoHarianto

••PSP3PSP3 IPBIPB

279

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Masalah

Dilema kebijakan

K fi k l i t hKemampuan fiskal pemerintah menurun

Tututan pembangunan meningkat

Memburuknya fasilitas fisik pertanian

SDM lemah

Alih fungsi lahan meningkatAlih fungsi lahan meningkat

Petani lahan sempit dan buruh tani naik

Teknologimandeg

Bias Kebijakan

Kebijakan mikro: pajak, tarif, subsidi,

pengeluaran pemerintah

Kebijakan makro: nilai tukar, suku bunga, dan

inflasi

Bi U b d I d t iBias Urban dan Industri

Hasilnya: kesenjangan kesejahteraan

280

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Strategi Pembangunan

Ekonomi pasar menentukan arah

Keterlibatan pemerintah yang besar

Kombinasi ekonomi pasar dan intervensipemerintah

To get agriculture moving

1 Teknologi1. Teknologi

2. SDM

3. Kelembagaan

Dukungan Akses PPN

• Tujuan: kesejahteraan keluarga tani

• Y/L = A/L x Y/A

• Y – nilai (jumlah) produksi

• L – jumlah tenaga kerja

• A – luas lahan yang diusahakan

281

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

A/L (Penguasaan Lahan)

Reforma agrariaReforma agraria

Kesempatan kerja di luar usahatani

Akses terhadap pembiayaan investasi

Perbaikan sarana pertanian

Pendidikan dan kesehatanPendidikan dan kesehatan

Industri berbasis sumberdaya alam

Y/A (Produktivitas)

Teknologi (kuantitas dan kualitas)

Kelembagaan transfer teknologiKelembagaan transfer teknologi

Akses terhadap sarana produksi

Akses pembiayaan modal kerja

Infrastruktur pertanian dan pedesaan

Mengurangi resiko harga output dan input

P didik d k h tPendidikan dan kesehatan

Menghapus ekonomi biaya tinggi/pungutan

Kerjasama antar daerah otonom

282

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Dukungan Kebijakan

Kebijakan makro

Kebijakan fiskal

Kebijakan lintas sektor

Kebijakan sektor

Perlu memperhitungkan dampaknya terhadap

pembangunan pertanian dan pedesaan

TERIMA KASIH

283

PENCIUTAN LAHAN

PERMASALAHAN LAHAN PERTANIAN

LAHAN LAHAN PERTANIANPERTANIAN LAHAN KRITIS

KONFLIK PERTANAHAN TATA RUANG

KEPEMILIKAN LAHAN

LAHAN TERLANTAR

INFRASTRUKTUR

KESUBURAN/PRODUKTIVITAS

*) Dr. Suhartanto, Direktur Pengelolaan Lahan Departemen PertanianRI.

Kebijakan Pemanfaatan LahanSebagai Bagian Pelaksanaan

Pogram Pembaruan Agraria NasionalPogram Pembaruan Agraria Nasional

Oleh: Oleh: Dr. SuhartantoDr. Suhartanto

Direktur Pengelolaan Lahan Departemen Pertanian RIDirektur Pengelolaan Lahan Departemen Pertanian RI

DisampaikanDisampaikan PadaPada SimposiumSimposium AgrariaAgraria NasionalNasional KeduaKeduaMakassar, 4 Makassar, 4 DesemberDesember 20062006

284

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

MASALAHAN LAHAN PERTANIAN

• Luas Pemilikan Lahan Petani Sempit, Sehingga Sulit Untuk Menyangga Kehidupan Keluarga Tani.

• Pembangunan Agroindustri di Pedesaan dalam Upaya Merasionalisasi Jumlah Petani Dengan Lahan yang Ekonomis

SOLUSI

• Produktivitas Lahan Menurun Akibat Intensifikasi Berlebihan dan Penggunaan Pupuk Kimia Secara Terus Menerus

• Alih Fungsi Lahan Produktif ke Industri

Ekonomis • Penggalakkan Sistem

Pertanian Yang Berbasis pada Konservasi Lahan

• Dikembangkan Sistem Pertanian Ramah Lingkungan (Organik)

• Perencanaan danProduktif ke Industri Akibat Kebijakan

• Belum Optimalnya Implementasi Pemetaan Komoditas Terkait dengan Agroekosistem Lahan

• Masih Banyak Lahan Tidur

• Perencanaan dan Implementasi RTRW yang Konsisten

• Pemanfaatan Lahan Tidur untuk Pemberdayaan Masyarakat

MASALAH KEPEMILIKAN TANAH

• Persengketaan Tanah Rakyat dengan P h d

• Reforma Agraria Berpihak Pada Petani (Rakyat), Mudah dan Murahnya Sertifikasi

SOLUSI

Pengusaha dan Pemerintah

• Banyak Lahan Petani yang Belum Bersertifikat (Biaya Mahal dan Sulit)

• Sistem Pewarisan Tanah

Murahnya Sertifikasi Tanah

• Mendorong Tumbuhnya LSM Pertanian dan Peran Advokasinya Untuk Petani

• Penumbuhan• Banyak Petani yang

Tidak Punya Lahan

• Penumbuhan Kesadaran Petani Terhadap Hak-hak Petani melalui Pembinaan yang Berkelanjutan

285

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

KEBIJAKAN PENGELOLAAN LAHAN

No Sasaran Kebijakan

1. Terkendalinya laju alih fungsi

• Penyusunan bahan legislasi dan regulasi di bidang pengendalian alih fungsi lahanlaju alih fungsi

lahan.di bidang pengendalian alih fungsi lahan.

• Perlindungan kawasan pertanian produktif.• Pensertipikatan tanah petani.• Pemberian insentif dan disinsentif.

2. Meningkatnya luas areal pertanian pada

• Perluasan areal pertanian yang ditempuh melalui penambahan baku lahan / kawasan dan peningkatan intensitaspertanian pada

kawasan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan.

kawasan dan peningkatan intensitas pertanaman

• Pendayagunaan lahan bukaan baru.

3. Terwujudnya pendayagunaan lahan pertanian terlantar.

• Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pendayagunaan lahan pertanian.

• Fasilitasi penanganan lahan terlantar.

4. Tercapainya konservasi dan rehabilitasi lahan pertanian.

• Perbaikan kondisi sosial ekonomi petani di lahan kritis (potensial, semikritis, kritis)

• Peningkatan partisipasi k t d l h t imasyarakat dalam usaha tani

konservasi lahan.• Fasilitasi upaya konservasi

lahan melalui unit-unit percontohan.

286

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

R

E

V P

Strategi dan Kebijakan Pendayagunaan Sumberdaya Lahan Pertanian

a. Masalah :

b Peluang :

- Sempitnya lahan pertanian per kapita penduduk (360 m2/kapita).- Petani gurem makin bertambah, dengan luas lahan garapan < 0,5

ha/KK.- Cepatnya laju konversi lahan pertanian ke non pertanian.- Tidak amannya status penguasaan (land tenure).

I E

T R

A T

L A

I N

S I

b. Peluang : - Terdapat potensi 32 juta ha lahan untuk dijadikan lahan pertanian- Pembukaan lahan pertanian, melalui: pemanfaatan lahan baru.

Dalam upaya perluasan lahan pertanian perlu : upayakeagrariaan, sosial-ekonomi dan teknis, mengingat lahan tsbdiklaim sebagai kawasan hutan, HGU, milik adat/ hak ulayat,atau pribadi

c. Upaya percepatan Revitalisasi Pertanian, al. melalui :- kompensasi konversi lahan sawah- pembukaan lahan pertanian baru- penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri pedesaan

A A

S N

I

penciptaan suasana yang kondusif untuk agroindustri pedesaan

d. Program pembukaan lahan pertanian 5 (lima) tahun kedepan diarahkan melalui :- pemanfaatan lahan terlantar (lahan alang-alang dan semak belukar) di 13 propinsi- pengendalian konversi lahan sawah- perluasan areal sawah di luar Pulau Jawa- perluasan areal pertanian lahan kering- peningkatan luas penguasaan lahan pertanian melalui pendekatan keagrariaan- penguatan kelembagaan yang kondusif untuk menunjang agroindustri pedesaan

287

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

• Pengertian Pembaruan Agraria/ Land Reform berdasarkan

TAP.MPR-RI Nomor: 9/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria

dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, pasal 2 : ”Pembaruan

agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan

berkenaan dengan penataan kembali pengusahaan, pemilikan,

penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria,

dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan

perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi

seluruh rakyat Indonesia”.

• Program Land Reform pada dasarnya tidak hanya program

redistribusi tanah kepada rakyat tetapi harus didukung denganp y p g g

program peningkatan akses to reform yakni peningkatan

akses rakyat setelah menerima redistribusi tanah, terhadap

sumber-sumber ekonomi di perdesaan (misal : permodalan,

infra-struktur, akses trasportasi, akses pasar dll.)

RPPK

Antara lain :

PelaksanaanRA

Antara lain :

• Petani memiliki akses sepenuhnya

terhadap layanan dan sumberdaya

produktif, seperti : lahan, permo-

dalan, informasi, teknologi dan

pasar, dll.

• Petani memiliki akses untuk

Antara lain :

• Redistribusi tanah kepadarakyat / petani, disertai :

• Peningkatan akses to reformyakni peningkatan aksesthdp sumber-sumber ekonomiperdesaan : pembiayaan, in-formasi, teknologi dan pasar

Antara lain :

Petani memiliki akses untuk

melakukan kegiatan system

agribisnis dari hulu hingga ke hilir

288

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Kebijakan Pengemb Usahatani & Penyediaan Dukungan Akses yang lebih luas di Kawasan Pelaksanaan RA

Kawasan lahan yang didistri- S fi ik

Lahan datar yang dapat diairi akan diperuntukan untuk persawahanyang didistri

busikan kepada petani akan diidentifikasi lebih lanjut dimana yang cocok untuk pangan/hortikul-tura, perkebunan

• Secara fisikperuntukanlahan akandisesuaiakandengan ting-kat kesubur-an dan topo-grafi lahan

pe sa a a

Lahan dgn kemiringan 0-15 % untuk palawija, hortikultura dan ternak

dan peternakanSerta lahan dgn kemiringan 15 % untuk perkebunan dan agroforestry

MODEL-MODEL PENDISTRIBUSIAN LAHAN

A. Pola “REAL-ESTATE”

PEMERINTAHPenetapan aturan main, Sosialisasi, Pengendalian/Pengawasan

PENGEMBANG : Menyiapkan lahan dan melakukan penanaman serta membaginya dalam bentuk kapling siap jual

Pengendalian/Pengawasan

P b

Penyerahan Lahan

PETANI PERBANKAN

Pembayaran Kapling Petani

Kapling diagunkan untuk memperoleh kredit

Menjual Kapling ke Petani

289

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

B. Pola INTI-PLASMA/KEMITRAAN

PEMERINTAHPenetapan aturan main, Sosialisasi, Pengendalian/Pengawasan

Penyerahan Lahan

PERUSAHAAN INTIMenyiapkan lahan dan Melakukan penanaman

Cicilan Kredit

Pembayaran Lahan yg sdh dikonversi

Satu Kesatuan

Manajemen dalam bentuk

kemitraan

Penjualan Hasil Usahatani

Konversi Lahan ke Petani

PETANI PLASMA PERBANKANPerjanjian Kredit atas lahan yang dikonversi

Cicilan Kredit

Catatan : Petani Plasma diwadahi dalam Gapoktan, dan Gapoktan harus secara bertahap dapat memiliki perusahaan inti

C. Pola KOPERASI

PEMERINTAHPenetapan aturan main, Sosialisasi, Pengendalian/Pengawasan

Satu Kesatuan

Penyerahan Lahan

PETANI ANGGOTA

KOPERASI

Menyiapkan lahan dan Melakukan penanaman

Cicilan Kredit

Pembayaran Lahan yg sdh dikonversi

Kesatuan Manajemen

dalam bentuk kemitraan

Penjualan Hasil Usahatani

Membagikan lahan pada anggota

PETANI ANGGOTA KOPERASI

PERBANKANPerjanjian Kredit atas lahan yang dibagikan

Catatan : Semua lahan anggota, dikonsolidasikan dalam satu manajemen skala usaha, dimana anggota koperasi bekerja di lahannya sebagai tenaga kerja yang dibayar koperasi

290

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

D. Pola Swasta Murni

PEMERINTAHPenetapan aturan main, Sosialisasi, Pengendalian/Pengawasan

Penyerahan/Pembagian Lahan

Petani Individual

Petani Individual

Petani Individual

Petani Individual

Petani Individual

Kegiatan Penyediaan Input, Produksi, Pemasaran dan Permodalan, semuanya diusahakan secara Individual

Catatan : Pelaksanaan Land Clearing, Persiapan Lahan dan Penanaman juga dilakukan secara individual

Pemasaran Penyediaan Input Perbankan

E. Pola Cooperate Farming

PEMERINTAHPenetapan aturan main, Sosialisasi, Pengendalian/Pengawasan

Penyerahan/Pembagian Lahan

Petani Individual

Petani Individual

Petani Individual

Petani Individual

Petani Individual

MELAKUKAN KONSOLIDASI MANAJEMAN USAHA KELOMPOK

Pemasaran Penyediaan Input Perbankan

MENUNJUK KOODINATOR/MANAJER

291

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

F. Pola Penggembalaan Ternak

PEMERINTAHPenetapan aturan main, Sosialisasi, Pengendalian/Pengawasan

Penyerahan/Pembagian LahanUtk Penggembalaan Ternak

PeternakIndividual

PeternakIndividual

PeternakIndividual

PeternakIndividual

PeternakIndividual

Kegiatan Penyediaan Input, Produksi, Pemasaran dan Permodalan, semuanya diusahakan secara Individual

Catatan : Pelaksanaan Land Clearing, Persiapan Lahan dan Penanaman juga dilakukan secara individual

Pemasaran Penyediaan Input Perbankan

Kebijakan dalam memperkuat hak dan kapasitas petani di kawasan Pelaksanaan Pembaruan Agraria

Masalah Kondisi Petani

• Jumlahnya Sangat Besar, 25

Juta Kk Tani 20 Juta Berlahan 5

Solusi

• Sistem PendidikanRendah-Juta Kk Tani, 20 Juta Berlahan, 5

Juta Buruh Tani

• Pendidikan Formal Rendah

• Rendahnya Regenerasi Petani

• Pekerja Keras

• Miskin

menengah Berbasis

Kompetensi Daerah

• Sekolah Lapang Berbasis

Teknologi Tepat Guna (Best

Practices)

• Dukungan Sistem Insentif• Miskin

• Bekerja Tidak Efisien

• Teknologi Rendah

• Produktivitas/kk Rendah

• Dukungan Sistem Insentif

Dalam Implementasi

Produksi Komoditas

Unggulan Wilayah (Daerah)

292

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Masalah MentalitasPetani

• Petani Lemah Dalam Memperjuangkan Haknya

SOLUSI

• Sistem Pendidikan Rendah-menengah Berbasis Kompetensi Daerah

• Sekolah Lapang Berbasis Haknya• Lemahnya

Kewirausahaan• Masih Percaya Mitos• Moral Hazard

p gTeknologi Tepat Guna (Best Practices)

• Penumbuhan Kesadaran Petani Terhadap Hak-hak Petani Melalui Pembinaan yang Berkelanjutan

• Penggalakan Sistem Alih T k l i M l l iTeknologi Melalui Pendampingan, Diklat Lapangan Bagi Petani

• Pembinaan Motivasi, Etos dan Wawasan Kewirausahaan

Kebijakan Deptan terkait tata guna danKebijakan Deptan terkait tata guna dan konsolidasi pertanian, Melindungi kawasan

pertanian penghasil komoditas khusus, mengembangkan kawasan pertanain abadi

293

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

STRATEGI PENGENDALIAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN

1.Memperkecil peluang terjadinya konversi:

Mengembangkan pajak lahan progresif• Mengembangkan pajak lahan progresif

• Meningkatkan efisiensi kebutuhan lahan non-pertanian

sehingga mengurangi lahan terlantar

• Mengembangkan prinsip hemat lahan untuk industri,

perumahan dan perdagangan (misalnya rusun)

2.Mengendalikan kegiatan konversi:

• Membatasi konversi lahan pertanian yang produktif,p y g p ,

menyerap tenaga kerja dan memiliki fungsi lingkungan

• Mengarahkan konversi pada lahan kurang produktif

• Membatasi luas konversi dengan mengacu pada

penyediaan pangan mandiri di Kabupaten/Kota

• Menetapkan Kawasan Pangan Abadi dengan insentif

bagi pemilik lahan dan Pemda setempat

STRATEGI PENGENDALIAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN

3.Instrumen pengendalian konversi:

•Instrumen yuridis: peraturan perundang-undangan

yang mengikat dengan sanksi yang sesuai

• Instrumen insentif dan disinsentif bagi pemilik lahan

dan Pemda setempat

•Pengalokasian dana dekonsentrasi untuk merangsang

Pemda melindungi lahan pertanian, terutama sawahPemda melindungi lahan pertanian, terutama sawah

•Instrumen RTRW dan perizinan lokasi

294

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

KEBIJAKAN PRIORITAS PENGENDALIAN KONVERSI

1.Menyusun peraturan perundang-undangan

l d l h d k f (perlindungan lahan pertanian produktif (PP, Perpres

maupun UU)

2.Menetapkan zonasi tanah-lahan pertanian yang

dilindungi (Keppres)

3.Menetapkan bentuk insentif dan disinsentif terhadap

pemilik lahan dan Pemerintah Daerah setempat

4 M i t ik k ti k t t t b t d l4.Mengintegrasikan ketiga ketentuan tersebut dalam

RTRW Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota

5.Membentuk Komisi Pengendali Lahan Sawah tingkat

nasional, propinsi dan kabupaten/kota, dengan

keputusan kepala daerah yang bersangkutan.

PERANAN DEPTAN DALAM PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN

PERTANIAN1. Melakukan kajian penyusunan naskah

akademis RUU Lahan Pertanian Abadiakademis RUU Lahan Pertanian Abadi2. Pemberdayaan Petani: Penguatan Hak Atas

Tanah (Sertipikasi Lahan Pertanian TA. 2006

sebanyak 47.000 bidang dan rencana TA. 2007

± 38.000 bidang)

3. Mendorong Pemda dalam menetapkan Perdag p

tentang pengendalian alih fungsi lahan

pertanian, misalnya Perda tentang RTRW Prop.

Jateng yang menetapkan kriteria lahan pertanian

sawah utama, dapat dikonversi dgn syarat dan sawah

dapat dikonversi, sesuai matriks sebagai berikut :

295

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Lanjutan Peranan Deptan ….

4. Melakukan Reforma Agraria untukmeningkatkan akses petani terhadap lahan danair serta meningkatkan rasio luas lahanpertanian per kapita

5. Sebagai anggota BKTRN (Badan KoordinasiTata Ruang Nasional), melakukan pengendalianrencana perubahan RTRW (RTRWProp/Kab/Kota) ang berpotensi terjadin a alihProp/Kab/Kota) yang berpotensi terjadinya alihfungsi lahan pertanian ke non pertanian

296

297

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

298

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

299

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

300

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

301

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

302

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

303

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

304

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

305

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

306

307

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

308

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

309

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

310

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

311

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

312

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

313

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

314

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

315

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

316

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

317

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

318

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

319

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

320

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

321

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

322

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

323

Latar Belakang

Permasalahan

Pembaruan Agraria Nasional

Konsep pengembangan Agropolitan

Tujuan Pengembangan Agropolitan

Kriteria Kawasan Agropolitan

Studi Kasus Pengembangan Agropolitan

Kesimpulan

*) Dr. Sugimin Pranoto, Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum BidangPengembangan Keahlian dan Tenaga Fungsional.

PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR FISIK DALAM

RANGKA MENDUKUNG PROGRAM PEMBARUAN

AGRARIA NASIONAL

(Kasus Agropolitan)

Oleh

Dr. Sugimin Pranoto, M.Eng

324

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

PERMASALAHANPERMASALAHANOrientasiOrientasi

PembangunanPembangunanKOTA DESA

IndustriIndustri PertanianPertanian

HumanHumanPembangunanPembangunan

PerdesaanPerdesaanPerkembanganPerkembangan

Kota Kota • Backwash effect• Urbanisasi

AkselerasiAkselerasiUrbanUrban

InfraInfrastrukturstruktur

RuralRural--UrbanUrban

HumanHumanCapitalCapital

SocialSocialCapitalCapital

RuralRural--UrbanUrbanGapGap

Program pembaruan Program pembaruan Agraria NasionalAgraria Nasional

Pembangunan Perdesaan Pembangunan Perdesaan dan pertanian berkelanjutandan pertanian berkelanjutan

PersoalanPersoalanAgrariaAgraria

ProgramProgramAgropolitanAgropolitan

Menurut Todaro (1998) ada 4 pertanyaan pokok dalam

pembangunan pertanian dan perdesaanpembangunan pertanian dan perdesaan

Apakah output total dan produktivitas perkapita dapat

memberi manfaat langsung?

Cara-cara apa yang perlu ditempuh guna transformasi

subsistem tradisional ke sistem unit usaha komersial

b d k i ti i?berproduksi tinggi?

Apakah insentif ekonomi selama ini cukup?

Apakah peningkatan produktivitas pertanian saja cukup?

325

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

KONSEP AGROPOLITAN

Menurut Pradhan (2003) model agropolitan iniMenurut Pradhan (2003), model agropolitan ini

sebenarnya didasarkan pada pendekatan perencanaan

pembangunan perdesaan di Cina yang diorganisasikan

oleh Mao Tse Tsung pada awal tahun 1960-an.

Konsep ini dikembangkan oleh John Friedman dan

Mike Douglas yang disiapkan pada seminar on

d l d h h lindustrialisation strategies and the growth pole to

regional planinng and development di Nagoya Jepang

dengan nama PENGEMBANGAN AGROPOLITAN , 1975

Kawasan Agropolitan adalah ruang sosio ekonomi politik dengan aktivitas pembangunan terkonsentrasi diwilayah perdesaan dengan

k lk

Definisi Agropolitan :Definisi Agropolitan :

memperkenalkan unsur-unsur urbanism,berpenduduk 50.000-150.000 orang. Otoritas perencanaan dan pengambilan keputusan didesentralisasikan.(Friedman dan Douglass,1975)

Suatu model pembangunan yangSuatu model pembangunan yang mengandalkan desentralisasi,pembangunan infrastruktur setara kota pada kawasan tertentu di daerah perdesaan, dengan kegiatan pengolahan agrobisnis sehingga dapat mendorong kegiatan ekonomi (Pranoto,2005)

326

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Lokasi pusat pelayanan sistem kawasan

sentra –sentra aktivitas ekonomi berbasis

pertanian (Syaeful Hakim 2004)pertanian (Syaeful Hakim,2004)

Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya (Deptan 2002)

• Menciptakan pembangunan desa-kota secara berimbang

• Meningkatkan keterkaitan desa-kota yang sinergis (saling memperkuat)

Tujuan Pengembangan Agropolitan

Meningkatkan keterkaitan desa kota yang sinergis (saling memperkuat)

• Mengembangkan ekonomi melalui upaya konsentrasi/akumulasi nilai

tambah di perdesaan berbasis aktivitas pertanian

• Pengembangan lingkungan permukiman perdesaan

• Diversifikasi dan perluasan basis peningkatan pendapatan dan

kesejahteraan

• Menciptakan daerah yang lebih mandiri dan otonom

• Upaya menahan urbanisasi

327

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Kriteria Agropolitan

Kawasan Perencanaan Agropolitan

• Memiliki daya dukung dan potensi

fisik kawasan yang memadai

(kesesuaian lahan dan agroklimat)

untuk pengembangan pertanianuntuk pengembangan pertanian

• Luas kawasan dan jumlah

penduduk yang mencapai

economic of scale dan economic of

scope (biasanya dalam radius 3-10

km, mencakup beberapa desa

hingga gabungan bagian beberapa

kecamatan)

• Memiliki komoditas dan produk

olahan pertanian unggulan

(merupakan sektor basis) •Berkembangnya aktivitas

sektor-sektor sekunder

(pengolahan), dan tersier (jasa

dan financial)

Terdapat penataan ruang kawasan terencanap p gdan terkendali

Tersedianya prasarana dan sarana produksi

Tersedianya prasarana dan saranapermukiman

Kelembagaan ekonomi lokal yang kuatKelembagaan ekonomi lokal yang kuat

Adanya dukungan pemerintahkabupaten,kecamatan dan desa

328

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Hubungan Antara Pusat

Keterangan:Penghasil Bahan Baku

Pengumpul Bahan Baku

PASAR/GLOBAL

DPP

DPP

DPP

7

g

Sentra Produksi

Kota Kecil/Pusat Regional

Kota Sedang/Besar (outlet)

Jalan & Dukungan Sapras

Batas Kws Lindung, budidaya, dll

Batas Kws Agropolitan

DPP : Desa Pusat Pertumbuhan

Sketsa jaringan jalan agar terjadi efisiensi desa-kota sebagai satu

PusatAgro

Jalan Primer

Desa Hinterland

Jalan Utamaantar PusatAgropolitan

Jalan antar Desa

Sentra Produksi

j g j g j gkesatuan dalam meningkatkan SDA, Ifrasstruktur buatan & SDM

politan

Jalan Usaha Tani

Jalan Akses

329

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

KAW.AGROPOLITAN DALAM SISTEMPEMASARAN

Ibukota PropinsiKota Jenjang I

Kota Jenjang II

Jalan Kolektor Primer

Jalan Arteri Primer

Ibukota PropinsiKota Jenjang I

Kawasan Agropolitan

Kawasan AgropolitanKawasan Agropolitan

9

Jalan Arteri Primer

Kawasan Agropolitan

TipologiTipologi AgropolitanAgropolitan

KomoditasKomoditas

EkosistemEkosistem

11 PantaiPantai

AGRIBISNISAGRIBISNIS

KomoditasKomoditasUnggulanUnggulanPertanianPertanian (on (on farm)farm)

1.1. TanamanTanamanPanganPangan

2.2. HortikuturHortikutur((sayursayur, , buahbuah, , bungabunga))

3.3. PerkebunanPerkebunan

4.4. PerikananPerikanan DaratDarat

5.5. PeternakanPeternakan

6.6. PerikananPerikanan LautLaut

1.1. PantaiPantai

2.2. DataranDataran

rendahrendah

3.3. DataranDataran

TinggiTinggi

PengolahanPengolahan

1.1. PascaPasca PanenPanen

non non industriindustri

2.2. Home Home

IndustriIndustri

3.3. IndustriIndustri

KecilKecil/ /

MenengahMenengah

4.4. IndustriIndustri BesarBesar

DistribusiDistribusi

dandan PasarPasar

1.1. TengkulakTengkulak

2.2. Contract Contract

FarmingFarming

SistemSistem UrbanUrban

1.1. HirarkiHirarki

permukimanpermukiman

2.2. Mono/Mono/polipoli

sentricsentric

3.3. InfrastrukturInfrastruktur

4.4. Jumlah/kepadJumlah/kepad

atanatan

pendudukpenduduk

PenunjangPenunjang

AgribisnisAgribisnis

1.1. LembagaLembaga

KeuanganKeuangan

2.2. KiosKios

SaprotanSaprotan

dlldll

18

6.6. PerikananPerikanan LautLaut p

urbanurban

dlldll

Agropolis sebagai Sentra Agribisnis kawasan (PasarPasar PertanianPertanian/sub terminal /sub terminal agribisnisagribisnis (Cold (Cold

storage), Bank storage), Bank CabangCabang PembantuPembantu, , BalaiBalai PenyuluhanPenyuluhan dandan InformasiInformasi Pertanian/agribisnisPertanian/agribisnis, , SentraSentra

agroindustriagroindustri, , KantorKantor PengelolanPengelolan AgropolitanAgropolitan, Quality Control, , Quality Control, dlldll))

330

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

KAWASAN AGROPOLITAN PACET KABUPATEN CIANJURKAWASAN AGROPOLITAN PACET KABUPATEN CIANJUR

Peta Hasil Analisis Spasial untuk Prioritas Pengembangan Peta Hasil Analisis Spasial untuk Prioritas Pengembangan Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Pacet Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Pacet

Kabupaten CianjurKabupaten CianjurPrioritas Lahan Hasil Analisis Spasial Prioritas Lahan Hasil Analisis Spasial Berdasarkan Kesesuaian Untuk Berdasarkan Kesesuaian Untuk

Prioritas Lahan

Luas (ha)

Proporsi (%)

Prioritas 1 1496,38 16

Prioritas 2 6131,35 65

Prioritas 3 1763,99 19

J l h 9391 72 100

Pengembangan Komoditas UnggulanPengembangan Komoditas UnggulanKabupaten CianjurKabupaten Cianjur

Jumlah 9391,72 100

Kembali

KAWASAN AGROPOLITAN BELIKKAWASAN AGROPOLITAN BELIK--PULOSARI KABUPATEN PEMALANGPULOSARI KABUPATEN PEMALANG

Peta Hasil Analisis Spasial untuk Prioritas Pengembangan Peta Hasil Analisis Spasial untuk Prioritas Pengembangan Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan BelikKomoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Belik--Pulosari Pulosari

Kabupaten PemalangKabupaten Pemalang

Prioritas Lahan Hasil Analisis Spasial Prioritas Lahan Hasil Analisis Spasial

Prioritas Lahan

Luas (ha)

Proporsi (%)

Prioritas 1 1709,46 13

Prioritas 2 10713,24 80

Prioritas 3 904,83 7

Berdasarkan Kesesuaian Untuk Berdasarkan Kesesuaian Untuk Pengembangan Komoditas UnggulanPengembangan Komoditas UnggulanKabupaten PemalangKabupaten Pemalang

,

Jumlah 13327,53 100

Kembali

331

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Sosialisasi ProgramSosialisasi Program

Penetapan Lokasi Garapan

Identifikasi Potensi

Musyawarah Penyusunan Programy y g

Pendampingan Pelaksanaan Program

Kegiatan ini berdasarkan hasil musyawarah masyarakat desa yaitu dapat meliputi:masyarakat desa yaitu dapat meliputi:

> Jalan poros desa

> Sub terminal agribisnis

> Pasar desa

> Bangunan serba guna

> Sarana air bersih dll> Sarana air bersih dll.

Bantuan stimulan fisik pada kawasan agropolitan selama 3 th berturut turut berdasarkan masterplan / PJM.

332

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Studi kasus ini, tipologi kawasan yang diambil:

> Dataran Tinggi ( Kab. Cianjur, Pemalang , dan D.I.

Yogyakarta)

> Dataran Rendah/pantai (Kab. Brebes)

333

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Kabupaten Cianjur, Kecamatan Pacet

komoditas unggulan: bawang daun,wortel,cabe, dan sawigg g , , ,

Kabupaten Brebes, kecamatan Larangan

komoditas unggulan: bawang merah, cabe merah, ternak bebek

Kabupaten Pemalang, kecamatan Belik-Pulasari

Komoditas unggulan: kubis, cabe merah,bawang daun,

Kabupaten Sleman, Kecamatan Turi

komoditas unggulan: salak pondoh dan cabe merah

Analisis keragaan Usaha Tani: untuk memberikan gambaran tingkat produktivitas on farm serta kelayaan

h i k di l b i f k dusahatani komoditas unggulan sebagai faktor pendorong kawasan agropolitan.

Analisis kuadran: untuk melihat derajat keberhasilan pengembangan agropolitan.Indikator yang digunakan adalah Return/Cost ratio (R/C)

Analisis spatial: untuk mengetahui potensi daya dukung dan kesesuaian peruntukan ruang dikawasan agropolitan, dengan pendekatan sistem informasi geografi(GIS)

334

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

LokasiLokasi LembagaLembagaPenunjangPenunjang

R/CR/C KuadranKuadran

CianjurCianjur 63.6463.64 2.482.48 IIIICianjurCianjur

BrebesBrebes

PelamalangPelamalang

SlemanSleman

63.6463.64

72.7372.73

81.8281.82

90.9190.91

2.482.48

1.581.58

2.902.90

1.781.78

IIII

IIIIII

II

IVIV

Nilai TengahNilai Tengah 77.27577.275 2.1852.185

Kembali

1. ANALISIS KINERJA KAWASAN AGROPOLITANa. ANALISIS KWADRAN

Rasio R/CRasio R/C4

Pemalang IIIIII

40%40% 100%LembagaLembagaPenunjangPenunjang

CianjurCianjur

Sleman

IVIVIIIIII

BrebesBrebes

0

335

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

b. b. AnalisisAnalisis SpasialSpasial Berdasarkan Kesesuaian LahanBerdasarkan Kesesuaian Lahan

Kawasan Kawasan AgropolitanAgropolitan TotalTotal (Ha)(Ha) Prioritas 1Prioritas 1 Prioritas 2Prioritas 2 Prioritas 3Prioritas 3

Kabupaten CianjurKabupaten Cianjur 9391,729391,72 6131,356131,35 (65%)(65%) 1763,991763,99 (19%)(19%)

Kabupaten BrebesKabupaten Brebes 17734,6517734,65 8720,25 (49%)8720,25 (49%) 8744,728744,72 (49%)(49%) 269,68269,68 (2%)(2%)

Kabupaten Kabupaten PemalangPemalang 13327,5313327,53 1709,46 (13%)1709,46 (13%) 10713,2410713,24 (80%)(80%) 904,83904,83 (7%)(7%)

KabupatenKabupaten SlemanSleman 5549,865549,86 202,25 (4%)202,25 (4%) 3838,933838,93 (69%)(69%) 1508,681508,68 (27%)(27%)

1496,38 (16%)

pp ,, , ( %), ( %) ,, ( %)( %) ,, ( %)( %)

AgropolitanAgropolitan

Non AgropolitanNon Agropolitan

4540

41.377juta

35

30

35

2015

23.899

19.064

26.567

8.861

14.353

8.82410

5

6.099

0Cianjur Brebes Pemalang Sleman

336

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Konsep pengembangan agropolitan dapat mendukung pilot proyekdalam rangka program pembaruan agraria nasional, dengan tetapmemperhatikan kriteria yang telah ditetapkanmemperhatikan kriteria yang telah ditetapkan.

Dalam hal kepemilikan tanah petani terbatas perlu menumbuhkansistem pengelolaan lahan bersama (farm community ) dikalanganpetani guna mengatasi keterbatasan lahan, sehingga biayaoperasionalnya lebih rendah dan secara ekonomis menguntungkan

Perlu merumuskan peraturan perundangan tentang pencegahanalih fungsi lahan dari peruntukan lahan pertanian ke non pertanian. g p p pKebijakan ini harus didukung dengan penegakan hukum bagi yang melanggar baik perorangan maupun lembaga.

TERIMA KASIHTERIMA KASIH

DUKUNGAN DATADAN INFORMASI

338

1. Kemiskinan (1)

Definisi: Kondisi kehidupan yang serba kekurangan

yang dialami seseorang/ rumahtangga sehingga tidakyang dialami seseorang/ rumahtangga sehingga tidak

mampu memenuhi kebutuhan minimal/yang layak

bagi kehidupannya.

BPS pertama kali menghitung jumlah dan persentase

rumahtangga/penduduk miskin tahun 1984, untuk

i d 1976 1981periode 1976 1981.

* )Rusman Heriawan, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS).

IMPLEMENTASI REFORMASI AGRARIA DARI

PERSPEKTIF DUKUNGAN PENYEDIAAN DATA DANPERSPEKTIF DUKUNGAN PENYEDIAAN DATA DAN

INFORMASI STATISTIK

• Oleh:

• Rusman Heriawan• Kepala Badan Pusat Statistik (BPS)

339

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

1. Kemiskinan (2)

Garis Kemiskinan dihitung berdasarkanGaris Kemiskinan dihitung berdasarkanrata-rata pengeluaran makanan dannon-makanan perkapita yang diperolehdari besarnya rupiah yang dikeluarkanuntuk memenuhi kebutuhan minimum energi 2100 kalorie perkapita perhari,energi 2100 kalorie perkapita perhari, ditambah pengeluaran untuk non-makanan (seperti perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi dan lain lain)

1. Kemiskinan (3)Data Kemiskinan Di BPS:

Data kemiskinan makro, dari hasil pendataan Susenas (sejak

Susenas 1984)

Data kemiskinan mikro dari hasil pendataan Bantuan Langsung TunaiData kemiskinan mikro dari hasil pendataan Bantuan Langsung Tunai

(PSE05) yang memuat jumlah, nama dan alamat rumahtangga

miskin.

Catatan: data hasil pendataan makro dan hasil pendataan mikro tidak

persis jumlahnya: (1) waktu (bulan) pelaksanaan berbeda, (2) untuk

pendataan mikro melibatkan persepsi masyarakat lokal (emic perception)

yang belum tentu sama dengan standard ukuran kemiskinan makro

(Susenas).

Data mikro (BLT) mengkategorikan ruta/penduduk menurut sangat miskin,

miskin dan hampir miskin, sedangkan data makro (Susenas) hanya

mencakup penduduk sangat miskin dan miskin. Disamping itu data BLT

untuk sangat miskin + miskin masih harus dikoreksi sekitar 15 persen

untuk match dengan kriteria kemiskinan Susenas.

340

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

• Tabel 1.Perkembangan Jumlah (Juta) Dan Persentase(dalam kurung) Penduduk Miskin Hasil Susenas

Tahun Perkotaan PerdesaanPerkotaan+

Perdesaan

(1) (2) (3) (4)

20018,6

(9,8)

29,3

(24,8)

37,9

(18,4)

200213,3

(14,5)

25,1

(21,1)

38,4

(18,2)

200312,3

(13,57)

25,1

(20,23)

37,3

(17,42)

200411,4 24,7 36,1

2004(12,13) (20,11) (16,66)

200512,40

(11,68)

22,70

(19,98)

35,10

(15,97)

200614,49

(13,47)

24,81

(21,81)

39,30

(17,75)

Tabel 2. JUMLAH RUMAHTANGGA MISKIN MENURUT KATEGORI, HASIL PSE05

KEADAAN: 30 AGUSTUS 2006

KategoriNo. Propinsi

KategoriJumlah

Hampir miskin Miskin Sangat Miskin

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

1 NAD 195.745 208.774 92.519 497.038

2 Sumut 420.562 342.655 181.755 944.972

3 Sumbar 87.859 123.592 101.189 312.640

4 Riau 95.715 126.075 71.917 293.707

5 Jambi 88 753 77 676 33 309 199 7385 Jambi 88.753 77.676 33.309 199.738

6 Sumsel 269.216 265.846 148.119 683.181

7 Bengkulu 48.555 67.518 47.863 163.936

8 Lampung 230.321 342.777 211.943 785.041

9 Babel 6.569 18.692 8.391 33.652

10 Kepri 31.944 27.502 14.233 73.679

341

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Tabel 2. JUMLAH RUMAHTANGGA MISKIN MENURUT KATEGORI, HASIL PSE05

KEADAAN: 30 AGUSTUS 2006

(lanjutan)

No. PropinsiKategori

JumlahHampir Miskin Miskin Sangat Miskin

(1) (2) (3) (4) (5) (6)(1) (2) (3) (4) (5) (6)

11 DKI 66.513 70.316 23.651 160.480

12 Jabar 1.223.903 1.065.439 615.875 2.905.217

13 Jateng 1.277.795 1.544.513 348.893 3.171.201

14 DIY 105.592 130.079 39.439 275.110

15 Jatim 955.039 1.763.373 518.468 3.236.880

16 Banten 374.446 219.497 108.106 702.049

17 Bali 31 832 70 705 44 507 147 04417 Bali 31.832 70.705 44.507 147.044

18 NTB 125.969 259.907 181.729 567.605

19 NTT 187.907 297.997 137.233 623.137

20 Kalbar 160.873 98.345 101.687 360.905

21 Kalteng 62.968 62.872 71.633 197.473

22 Kalsel 106.893 62.609 76.446 245.948

Tabel 2. JUMLAH RUMAHTANGGA MISKIN MENURUT KATEGORI, HASIL PSE05

KEADAAN: 30 AGUSTUS 2006

(Lanjutan)

No. PropinsiKategori

JumlahHampir Miskin Miskin Sangat Miskin

23 Kaltim 82 591 92 395 53 109 228 09523 Kaltim 82.591 92.395 53.109 228.095

24 Sulut 33.979 60.773 32.543 127.295

25 Sulteng 42.916 83.837 84.620 211.373

26 Sulsel 170.709 238.042 186.215 594.966

27 Sultra 124.383 117.366 39.591 281.340

28 Gorontalo 23.475 37.871 41.385 102.731

29 Sulbar 21.568 60.647 29.687 111.902

30 M l k 46 921 98 463 37 457 182 84130 Maluku 46.921 98.463 37.457 182.841

31 Malut 16.303 22.072 26.979 65.354

32 Irjabar 59.956 40.626 26.936 127.518

33 Papua 191.832 138.138 156.887 486.857

JUMLAH 6.969.591 8.236.977 3.894.301 19.100.891

Catatan: rata-rata jumlah anggota ruta per ruta: 3,99

342

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

343

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

344

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Pulau Kalimantan Menurut Kabupaten/Kota

Pulau Sulawesi Menurut Kabupaten/Kota

345

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

346

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

• Tabel 3. Rumah Tangga Miskin Menurut Sumber Penghasilan Utama

Rumah Tangga dan Daerah, 2006 (%)

2. Siapa Rumahtangga/Penduduk Miskin Itu

DaerahTidak

BekerjaPertanian Industri Lainnya

(1) (2) (3) (4) (5)

Perkotaan

P d

15,81

8,10 28,41

71 93

10,10

4 86

45,68

15 10

Sumber: Hasil Susenas Panel, Maret 2006

Perdesaan

Perkotaan+Perdesaan

10,91

71,93

56,07

4,86

6,77

15,10

26,24

347

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

3. Kemiskinan Dan Kebutuhan Tanah/Lahan

Pertanian (1)

Seperti ditunjukkan oleh tabel,

penduduk/rumahtangga miskin sebagian besar beradapenduduk/rumahtangga miskin sebagian besar berada

di perdesaan.

Sebagian besar penduduk miskin bekerja di sektor

pertanian. Di daerah perdesaan, sekitar 72 persen

penduduk miskin meng gantungkan hidupnya dari

pertanian.

Mereka umumnya adalah petani yang hanya

bergantung pada tanah/lahan yang sempit kurang dari

0,5 hektar (petani gurem)

3. Kemiskinan Dan Kebutuhan Tanah/Lahan Pertanian

(2)

Di Seluruh Indonesia terdapat 13,253 juta rumahtangga pertanian yanghanya menguasai (dan belum tentu memiliki) luas tanah kurang dari 0 5hanya menguasai (dan belum tentu memiliki) luas tanah kurang dari 0,5hektar (petani gurem).

Jumlah ruta petani gurem tidak hanya monopoli petani di Pulau Jawa

tetapi juga di luar Jawa. 74 dari 100 ruta petani di Jawa adalah petani

gurem, sedangkan di luar Jawa 1 diantara 3 petani adalah petani gurem.

Ruta Petani Gurem di Kalimantan sebanyak 423.406 atau sekitar 28

persen, dan di Sulawesi sebanyak 688.968 atau 31,05 persen terhadap

l hmasing masing jumlah ruta petani.

Permasalahan redistribusi tanah pertanian merupakan tantangan ke

depan yang cukup berat.

348

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Tabel 5. Distribusi Rumahtangga Pertanian Menurut Propinsi dan Golongan Luas Lahan yang Dikuasai di Kalimantan dan Sulawesi, Hasil ST2003 (%)

PropinsiGolongan Luas Lahan yang Dikuasai (Ha) Jumlah

% (absolut)0 50 0 50 0 99 1 00 1 99 2 00 2 99 3 00 % (absolut)< 0,50 0,50-0,99 1,00-1,99 2,00-2,99 3,00

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. Kalbar 19,45 14,61 22,30 18,73 24,91 100 (585. 354)

2. Kalteng 20,89 10,90 22,80 24,15 21,26 100 (288. 611)

3. Kalsel 41,63 22,83 20,08 9,19 6,28 100 (433. 495)

4. Kaltim 31,74 10,22 18,96 18,70 20,37 100 (216. 761)

Kalimantan 27,78 15,62 21,29 17,04 18,27 100 (1. 524. 221)

5. Sulut 35,97 22,74 25,94 8,64 6,71 100 (305. 314)

6. Sulteng 19,63 18,18 31,68 17,18 13,34 100 (370. 778)

7. Sulsel 34,00 23,75 24,93 10,09 7,23 100 (1. 138. 202)

8. Sultra 25,72 16,45 28,31 17,06 12,46 100 (286. 640)

Sulawesi 31,05 21,62 26,66 11,92 8,75 100 (2. 218. 990)

3. Kemiskinan Dan Kebutuhan Tanah/Lahan

Pertanian (3)

K b t h k di t ib i l h t k it d l hKebutuhan akan redistribusi lahan, terkait pengadaan lahanbaru, akan terbentur pada fakta bahwa lahan produktifkhususnya lahan sawah hanya mengalami sedikitperkembangan.

Pertambahan lahan sawah (hasil Survei Pertanian) secaranasional hanya bertambah 0,34 persen pertahun. Sebagaicatatan: Pertumbuhan rumahtangga petani gurem nasional diperdesaan sebesar 1,7 persen pertahun.

Sinyalnya adalah keperluan untuk ekspansi lahan pertaniancukup mendesak.

Di Sulawesi, dalam hal ini Sulawesi Selatan, perkembanganluas lahan sawah menunjukkan penurunan (berkurang 11.278hektar) rata-rata dalam setahun, selama 4 tahun terakhir(2001 - 2005).

349

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

• Tabel 6. Perkembangan Luas Lahan Sawah Menurut Propinsi, • 2001-2005 (Hasil Survei Pertanian)

Propinsi2001

(Ha)

2005

(Ha)

Perkembangan (per

tahun)

(Ha) (%)

(1) (2) (3) (4) (5)

• Sumatera 2.097.939 2.340.642 60.676 2,77

• Jawa 3.339.168 3.235.546 -25.906 -0,79

3. Bali & N. Tenggara 413.377 421.515 2.035 0,49

• Kalimantan 992.165 995.919 939 0,09

• Sulawesi 937.084 892.256 -11.207 -1,22

Sulut 61.205 57.969 -809 -1,35

Sulteng 128.023 117.715 -2.577 -2,08

Sulsel 661.273 568.748 -11.278 -1,75

Sultra 64.075 73.312 2.309 3,42

Gorontalo 22.508 27.098 1.148 4,75

Sulbar 47.414

Indonesia 7.779.733 7.885.878 26.536 0,34

4. Pengembangan Data Statistik Pertanahan/

Penggunaan Lahan Di BPS (1)

Data tentang pertanahan/ penguasaan lahan dikumpulkanData tentang pertanahan/ penguasaan lahan dikumpulkanoleh BPS. Dengan bersumber pada 3 kegiatan BPS yaituSensus Pertanian, Survei Pertanian dan Pendataan PotensiDesa (Podes).

Sensus Pertanian 2003 (juga Sensus Pertanian sebelumnya),mencatat data luas lahan yang dimiliki, lahan yang dikuasaidan lahan yang berada di pihak lain (baik lahan untukpertanian maupun bukan lahan untuk pertanian).p p p )

Sedangkan Survei Pertanian mengumpulkan data luas lahansawah per kecamatan (berdasarkan laporan Mantri Tani).

350

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

4. Pengembangan Data Statistik Pertanahan/

Penggunaan Lahan Di BPS (2)

Pendataan Potensi Desa (PODES) juga mengumpulkan dataPendataan Potensi Desa (PODES) juga mengumpulkan datatentang luas tanah/lahan yaitu data tentang luasdesa/kelurahan, luas lahan sawah yang ada di suatu desa, danluas lahan bukan sawah.

Ketiga sumber data yang disebutkan memiliki kelebihan dankekurangan masing masing dari segi cakupan dankepentingannya.

L l h d i h il S /S i P i d l h l hLuas lahan dari hasil Sensus/Survei Pertanian adalah lahanyang dikuasai oleh rumahtangga, sedangkan luas lahan dariPodes adalah luas lahan dalam wilayah desa yang diketahuioleh kepala/aparat desa.

5. Pengembangan Dan Tantangan:

Koordinasi yang Lebih Efektip (1)

Data luas penguasaan tanah/lahan oleh rumahtanggaData luas penguasaan tanah/lahan oleh rumahtangga

pertanian (hasil Sensus Pertanian) merupakan data

pertanahan yang sangat berharga, terutama informasi

tentang struktur penguasaan lahan oleh rumahtangga.

BPS, dari sensus ke sensus, terus berupaya

meningkatkan kualitas data yang dikumpulkan dengan

terus meningkatkan kegiatan yang dimiliki termasuk

teknis teknis statistik yang baru.

351

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

5. Pengembangan Dan Tantangan:

Koordinasi yang Lebih Efektip (2)

Data lahan hasil pendatan Podes memiliki prospektif untuk

dikembangkan, karena tidak hanya menyangkut lahan yang dikelola oleh

rumahtangga (seperti pada Survei Pertanian), tetapi mencakup seluruh

luas tanah yang ada dalam lingkup desa.

Ke depan, mutu data lahan dari Podes masih harus ditingkatkan, karena

tidak saja ditentukan oleh kualitas petugas pengumpul data dari BPS,

tetapi juga ditentukan oleh ketersediaan data lahan di masing masing

desa.

Dari beberapa studi yang dilakukan di tingkat desa, secara umum, seluruh

desa di Indonesia belum memiliki catatan yang baik tentang luas dan

struktur penggunaan lahan di desa mereka.

5. Pengembangan Dan Tantangan:

Koordinasi yang Lebih Efektip (3)

Tantangan ke depan adalah bagaimana agar setiap desa

(aparat desa) di Indonesia memiliki kesadaran, kemauan dan

kemampuan untuk melakukan pencatatan secara baik

tehadap beragam aspek sosial ekonomi yang ada di masing

masing desa.

Perlunya koordinasi dan kerjasama BPN, BPS, Dep. Dalam

Negeri dan berbagai pihak terkait lainnya untuk mampu

menyeragamkan konsep dan pemahaman data lahan dan

d tupaya pendataannya

BPS akan terus mengupayakan perluasan pencatatan data

lahan melalui sensus/ survei yang diselenggarakannya.

PARTISIPASI MASYARAKAT

354

“Matang Atas Matang Bawah”(Prinsip Dasar dan Strategi Pelaksanaan

Pembaruan Agraria Nasional)1

Oleh Usep Setiawan2

A. Pengantar

Prinsip-prinsip yang mendasari pelaksanaan pembaruanagraria di Indonesia tidak bisa tidak mestilah merujuk padasubstansi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5Tahun 1960. Pada dasarnya, UUPA 1960 merupakan produk

1 Makalah dalam “Simposium Agraria Nasional: Pembaruan Agrariauntuk Keadilan Sosial, Kemakmuran Bangsa, dan Keberlanjutan NegaraKesatuan Republik Indonesia”, diselenggarakan Badan PertanahanNasional Republik Indonesia (BPN-RI) didukung Sekolah TinggiPertanahan Nasional (STPN), The Brighten Institute, LembagaPengkajian Pertanahan (LPP) Indonesia dan Konsorsium PembaruanAgraria (KPA), dalam rangka Bulan Bhakti Agraria 2006, di Makassar –Sulawesi Selatan, 4 Desember 2006.

2 Penulis adalah Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria(KPA). Alamat KPA: Jl. Zeni No. 10 Mampang Prapatan Jakarta Selatan12790, T/f (021) 79191644, dan Jl. Antabaru IV No.1a Bandung, T/f (022)7504967, Email: [email protected]; [email protected], HP: 0818-613667.

355

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

hukum yang bukan saja relevan, melainkan sangat mende-sak untuk dijalankan mengingat persoalan agraria yang kianmemprihatinkan.

Dalam perkembangannya, reaktualisasi substansiUUPA terkandung dalam Ketetapan MPR No. IX/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SumberdayaAlam. Esensi Tap MPR ini telah menyerap sejumlah isu yangsejalan dengan semangat UUPA, seperti penegakan hakasasi manusia dan perlindungan lingkungan hidup. Sekali-pun lahirnya Tap MPR ini disertai perdebatan pro-kontra,namun hemat penulis, secara strategis Tap MPR IX/2001dapat dijadikan sebagai pintu masuk untuk menghidupkankembali agenda nasional yang sempat tertunda sejak tahun1960-an, yakni landreform. Dengan merujuk Tap MPR IX/2001 inilah rencana kebijakan penataan agraria menjadilebih absah.

Pada intinya, pembaruan agraria yang akan dijalankanoleh pemerintah dan rakyat Indonesia hendaknya menjawabpersoalan pokok yang melatari berbagai fenomena agrariadi lapangan. Masih tingginya angka kemiskinan sejatinyaterkait erat dengan terbatasnya akses rakyat atas pemilikan,penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan keka-yaan alam lainnya. Mengatasi ketimpangan, menangani kon-flik, dan memulihkan lingkungan hidup merupakan tigaagenda yang hendaknya dijadikan dasar untuk perwujudankeadilan agraria bagi golongan ekonomi lemah, menujukeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Lebih lanjut, makalah ini akan membedah prinsip-prin-sip dasar yang penting dijadikan sebagai pijakan bagi pelak-sanaan pembaruan agraria dengan mengacu UUPA 1960

356

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dan Tap MPR IX/2001. Makalah ini juga akan mengupasrelevansi berbagai perkembangan politik agraria mutakhirdalam konteks mempersiapkan pelaksanaan danmengembangkan model-model praktis pembaruan agraria.Berangkat dari prinsip-prinsip dasar yang ada kemudiandirumuskan langkah-langkah strategis lebih lanjut, sehinggapembaruan agraria menjadi lebih operasional dalammenjawab tuntutan sosial dan perkembangan kebangsaankita saat ini.

B. Prinsip-Prinsip Dasar Pembaruan Agraria

B.1. Pengertian Pembaruan Agraria

Pembaruan agraria atau reforma agraria (agrarian reform)adalah suatu penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan,penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria,terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, danrakyat kecil pada umumnya yang sekaligus menjadi landasanmenuju proses industrialisasi nasional. Inti dari reformaagraria adalah landreform dalam pengertian redistribusipemilikan dan penguasaan tanah. Agar memberikan hasilseperti yang diharapkan, landreform yang didahului denganredistribusi tanah harus diikuti dengan sejumlah programpendukung yang intinya akan memberikan kesempatan bagipara penerima tanah untuk meraih keberhasilan pada tahap-tahap awal dijalankannya program. Karena itu, programredistribusi tanah harus diikuti dengan dukungan modalproduksi (kredit usaha) di tahap awal, perbaikan di dalamdistribusi barang-barang yang diperlukan sebagai input per-tanian, perbaikan di dalam sistem pemasaran dan perda-

357

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

gangan hasil-hasil pertanian, penyuluhan-penyuluhan perta-nian yang diperlukan untuk membantu para petani meme-cahkan masalah-masalah teknis yang dihadapinya, dan pro-gram lainnya yang pada intinya dapat mununjang keber-hasilan para petani penerima tanah dalam berproduksi.3

Pembaruan agraria yang kita maksud tidak hanyamenyangkut landreform bagi kaum tani dan sebagai dasarpengembangan sektor pertanian semata. Pembaruan agraria,melainkan juga menyentuh upaya untuk menata ulangsistem penguasaan dan pengelolaan atas seluruh kekayaanalam secara mendasar dengan prinsip keadilan agraria.Sektor-sektor kekayaan alam yang dimaksud mencakupkehutanan, perkebunan, pertambangan, perairan, pesisir,pulau-pulau kecil dan kelautan.

B.2. Merujuk Substansi Prinsipil UUPA 1960

Karena UUPA 1960 merupakan dasar sekaligus payungdari program pembaruan agraria nasional yang akandijalankan, maka substansi prinsipil dari UUPA 1960 mestidijadikan rujukan utama dalam perumusan prinsip-prinsipdasarnya. Berikut ini 10 (sepuluh) substansi prinsipil yangdiserap dari UUPA 1960 (Pasal 1-15):

3 Pengertian ini mengacu pada Petisi Cisarua: “Kerangka PelaksanaanPembaruan Agraria: Rekomendasi untuk Bapak Susilo BambangYudhoyono dan Bapak M. Jusuf Kalla (Presiden dan Wakil PresidenRepublik Indonesia Periode 2004-2009)”, disusun Sediono MPTjondronegoro, Gunawan Wiradi, Anton Poniman, Dianto Bachriadi,Syaiful Bahari, Usep Setiawan, Noer Fauzi, Dadang Juliantara, ErpanFaryadi, dan Agustiana (20 Oktober 2004).

358

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

(1) Nasionalisme. Tanah dan kekayaan alam lainnya meru-pakan karunia Tuhan bagi Bangsa Indonesia. Olehpenyusunnya, UUPA dimaksudkan untuk mengakhiripolitik hukum agraria kolonial yang ditandai perpin-dahan klaim penguasaan atas tanah dan kekayaan alamlainnya dari cengkeraman kaum kolonialis/imperialisasing ke pangkuan Bangsa Indonesia. Nasionalisme hu-kum agraria inilah penanda penting kemerdekaan bang-sa. Hanya orang Indonesia yang punya hak milik atastanah. Penghargaan atas rasa kebangsaan tercermin kuatpada prinsip hanya warga negara Indonesia yang bisamempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. Wargaasing hanya boleh mempunyai hak memanfaatkan danmengusahakan tanah dan kekayaan alam melalui meka-nisme ketat yang tetap mengutamakan hak bangsa In-donesia dan kepentingan nasional.

(2) Hak menguasai dari negara. Atas nama Bangsa In-donesia, Negara mempunyai hak untuk menguasaitanah dan kekayaan alam lainnya yang dikenal sebagaikonsepsi hak menguasai dari Negara (HMN). Negarabukanlah pemilik tanah, melainkan organisasi rakyattertinggi yang sah dan memiliki kewenangan penuhdalam mengatur penguasaan, pemilikan dan peman-faatan tanah dan kekayaan alam lainnya demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(3) Tanah untuk penggarap. Penguasaan tanah pertaniandiabdikan bagi mereka yang secara langsung menggarapdan menggantungkan hidupnya dari penguasaan danpemanfaatan tanah tersebut. Kaum tani dan golonganekonomi lemah lainnya yang hidupnya tergantung pada

359

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

tanah dijadikan sebagai subjek utama yang harus mene-rima manfaat dari tanah. Tanah pertanian tidak bolehdikuasai/dimiliki oleh para pemilik modal besar karenaakan melahirkan penghisapan manusia atas manusialainnya.

(4) Landreform. Negara berkewajiban untuk dilakukanpenataan ulang struktur agraria sehingga tak terjadiketimpangan dalam penguasaan, pemilikan dan peman-faatan atas tanah. Tidak dikehendaki adanya konsen-trasi penguasaan dan pemilikan tanah, serta monopolipenggunaan dan pemanfaatan tanah di tangan seke-lompok orang sementara begitu banyak rakyat yangmiskin karena tak bertanah atau berlahan sempit. Petanikecil dan rakyat miskin pada umumnya harus punyatanah untuk memastikan mereka memiliki sarana yangdibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dankesejahteraannya.

(5) Fungsi sosial. Tanah dan kekayaan alam lainnya tidakdibenarkan hanya digunakan untuk kepentingan eko-nomi semata. Komersialisasi atas tanah dan menjadikantanah sebagai komoditi serta objek spekulasi harus dice-gah sedemikian rupa. Demikian halnya dengan konsen-trasi penguasan dan monopoli dalam pemanfaatan tanaholeh segelintir orang/badan usaha harus dijauhi. Kesem-patan bagi masyarakat luas dalam mengakses pengu-asaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanahharus dikedepankan.

(6) Pengakuan hak adat. Keberadaan masyarakat adatdan hukum adat atas tanah dan kekayaan alam lainnyadiakui, dihormati dan dilindungi oleh negara. Masya-

360

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

rakat adat adalah komponen pembentuk negara BangsaIndonesia yang menjadi kekayaan budaya, sebagaimanasemboyan Bhineka Tungal Ika. Oleh karena itu, dele-gitimasi dan marjinalisasi eksistensi masyarakat adatdan hak-hak agrarianya harus diakhiri.

(7) Kesetaraan gender. Tidak boleh ada pembedaan hakdalam penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan atastanah antara laki-laki dan perempuan. Hak laki-laki danperempuan sebagai sesama warga negara mestilah di-akui, dilindungi dan diaktualisasikan dalam setiap kebi-jakan agraria.

(8) Kelestarian lingkungan. Penguasaan dan pengusa-haan tanah dan kekayaan alam lainnya mestilah tidakmenjadikan lingkungan hidup menjadi rusak karenanya.Menjaga kesuburan dan kelestarian alam menjadirambu-rambu etik agar tanah dan lingkungan kita tetapterpelihara untuk kelangsungan hidup generasi beri-kutnya. Usaha-usaha di lapangan agraria yang sifatnyaeksploitatif destruktif hendaknya digantikan oleh sistempengelolaan yang lebih adil terhadap lingkungan hidup.

(9) Usaha bersama. Dalam pemanfaatan dan pengu-sahaan tanah dan kekayaan alam lainnya hendaknyamengutamakan bentuk-bentuk usaha gotong-royongdan usaha bersama yang dijalankan oleh dan untukrakyat. Kekuatan ekonomi rakyat harus didorong dandikembangkan seluas-luasnya agar rakyat punyakemampuan untuk BERDIKARI (berdiri di atas kakisendiri). Ekonomi rakyat kuat maka ekonomi bangsaakan tangguh dengan sendirinya. Perlu dikembangkankoperasi-koperasi produksi agraria rakyat sehingga

361

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

usaha-usaha yang sifatnya monopolistik dapat dicegah.(10)Lintas sektor. Cakupan kebijakan agraria hendaknya

melintasi sekat-sekat sektoralisme. Keberadaan “bumi,air, dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkan-dung di dalamnya” hanya bisa dibedakan tetapi tidakmungkin dipisahkan satu sama lain. Adanya kesatuan arahdan tujuan dari kebijakan agraria (tanah, air, hutan,tambang, kebun, pertnaian, laut) tak boleh menyimpangdari prinsip demi: “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

B.3. Mengacu Tap MPR IX/2001

Disamping UUPA 1960, Tap MPR IX/2001 tentangPembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam jugamengandung prinsip-prinsip dasar yang relevan bagi pro-gram pembaruan agraria nasional, sebagaimana secara persistertuang pada Pasal 4;(a) Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.(b) Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.(c) Menghormati supermasi hukum dengan mengakomo-

dasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum.(d) Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan

kualitas sumberdaya manusia Indonesia.(e) Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, tran-

sparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat.(f) Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender da-

lam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatandan pemeliharaan sumberdaya agraria/sumberdaya alam.

(g) Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaatyang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun

362

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan dayatampung dan daya dukung lingkungan.

(h) Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsiekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat.

(i) Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektorpembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaanpembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam.

(j) Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyara-kat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atassumberdaya agraria/sumberdaya alam.

(k) Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban nega-ra, pemerintah pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota,dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu.

(l) Melaksanakan desentralisasi berupa pembagiankewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabu-paten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitandengan alokasi dan pengelolaan sumberdaya agraria/sumberdaya alam.

C. Strategi Pelaksanaan Pembaruan Agraria

C.1. Tap MPR IX/2001 Penunjuk Arah Kebijakan

Setelah terang mengenai prinsip-pinsip dasar, baru kitamenentukan strategi pelaksanaan pembaruan agraria. TapMPR IX/2001 telah memberikan arah bagi kebijakan pem-baruan agraria (Pasal 5). Arah kebijakan yang dimaksudmeliputi;(a) Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai pera-

turan perundang-undangan yang berkaitan dengan agra-ria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor

363

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yangdidasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksudPasal 4 Ketetapan ini.

(b) Melaksanakan penataan kembali penguasan, pemilikan,penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yangberkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanahuntuk rakyat.

(c) Menyelenggarakan pendataan pertanahan melaluiinventarisasi dan registrasi penguasan, pemilikan, peng-gunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensifdan sistematis dalam rangka melaksanakan landreform.

(d) Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengansumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligusdapat mengantisipasi potensi konflik di masa menda-tang guna menjamin terlaksananya penegakan hukumdengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimanadimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.

(e) Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalamrangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria danmenyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengansumberdaya agraria yang terjadi.

(f) Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaandalam melaksanakan program pembaruan agraria danpenyelesaian konflik-konflik sumberdaya agraria yangterjadi.Dengan mendasarkan diri pada Tap MPR IX/2001,

dapat direkomendasikan kerangka pelaksanaan pembaruanagraria, sebagai berikut:4

4 Lihat: Petisi Cisarua (20 Oktober 2004).

364

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Sumber: Pokja PA-PSDA, Strategi Implementasi TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber DayaAlam, 2001.

Secara sistematik, pembaruan agraria dapat dicapaidengan tahapan berikut :1. Melaksanakan kaji ulang terhadap peraturan perun-

dangan yang ada untuk melakukan sinkronisasi kebi-jakan antar sektor;

2. Menyusun strategi pelaksanaannya dengan tujuanuntuk mencapai optimalisasi manfaat, potensi, kontri-busi, dan kepentingan masyarakat, daerah, dan nasional– dengan melakukan beberapa kegiatan :a. Inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan,

penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan SDAlainnya, sebagai dasar dua kegiatan utama: (1)Penyelesaian konflik, dan (2) Penataan kembalipenguasaan, pemilikan, penggunaan, dan peman-

PEMULIHANEKOSISTEM YG RUSAK

AKIBAT OVEREKSPLOITASI SUMBER

AGRARIA/SDA

AKSES INFORMASIBAGI

MASYARAKAT,TANGGUNGJAWAB

SOSIAL,TEKNOLOGI RL/L

KAJI ULANG PERATURANPERUNDANGAN UNTUK

SINKRONISASI KEBIJAKANANTAR SEKTOR

PENATAAN KEMBALIPENGUASAAN,

PEMILIKAN,PENGGUNAAN, DAN

PEMANFAATAN SUMBERAGRARIA/SDA

INVENTARISASI DANREGISTRASI

PENGUASAAN,PEMILIKAN,

PENGGUNAAN, DANPEMANFAATAN TANAH

MENYELESAIKAN

KONFLIK YGBERKENAAN DNG

SUMBER AGRARIA/SDA

MEMPERKUATKELEMBAGA-

AN DANKEWENANG-AN DLMPELAKSANA-

AN TAP INI

MENG-UPAYAKAN

PEMBIAYAAN

INVENTARISASISDA UNTUK

OPTIMALISASIPEMANFAATAN

NYA

MEMPERHATIKANKARAKTERISTIK

SDA UNTUK

MENINGKATKANNILAI TAMBAH

SDA

STRATEGI PEMANFAATAN SUMBERAGRARIA/SDA : OPTIMALISASI MANFAAT,

POTENSI, KONTRIBUSI, KEPENTINGANMSY, DAERAH, NASIONAL

PENGELOLAAN SUMBER-SUMBER AGRARIA/SDA

SECARA ADIL DAN

BERKELANJUTAN

PRAKONDISI

365

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

faatan sumber-sumber agraria/SDA,b. Mewujudkan akses informasi bagi masyarakat

untuk menumbuhkan tanggungjawab sosial, sertamengembangkan teknologi ramah lingkungan danteknologi lokal;

c. Melakukan pemulihan ekosistem yang telah rusak;3. Mempersiapkan prakondisi pelaksanaan seluruh ke-

giatan di atas dengan melakukan penguatan kelem-bagaan dan kewenangan organisasi pelaksananya, sertamengupayakan tersedianya pembiayaan.Berangkat dari arah kebijakan di atas, kita memahami

begitu kompleksnya faktor yang perlu dipersiapkan bagipelaksanaan pembaruan agraria. Setidaknya faktor dasarlegal, data, kelembagaan dan pembiayaan sangat mendesakuntuk disiapkan agar agenda landreform maupun pe-nanganan konflik agraria dalam rangka pembaruan agrariadapat mulus dilakukan.

C.2. Perpres 10/2006 dan Sebelas Agenda BPN

Selain merujuk secara konsisten pada amanat UUPA1960 dan Tap MPR IX/2001, strategi pelaksanaan pemba-ruan agraria di Indonesia sekarang dapat masuk melaluipintu Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentangBadan Pertanahan Nasional (11 April 2006). Hemat penulis,Perpres 10/2006 merupakan kebijakan terbaru dari peme-rintah yang memberi ruang dan peluang bagi pelaksanaanpembaruan agraria.

Terbitnya Perpres 10/2006 layak diapresiasi sebagaimomentum untuk memperkokoh upaya perubahan ke arahperbaikan agraria. Penulis mencatat lima substansi pokok

366

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Perpres 10/2006 yang relevan untuk kebutuhan pembaruanagraria, yakni; (1) Posisi BPN yang langsung berada di bawahpresiden dan bertanggungjawab kepada presiden, (2) Melu-asnya cakupan tugas yang meliputi kebijakan pertanahansecara nasional, regional dan sektoral, (3) Tercantumnyatugas dan fungsi pelaksanaan reforma agraria, (4) Adanyakedeputian khusus yang menangani sengketa dan konflikpertanahan, dan (5) Dibentuknya Komite Pertanahan yangmemberikan saran, masukan dan pertimbangan.

Disamping Perpres 10/2006, di bawah visi “Tanah untuksebesar-besar kemakmuran rakyat guna mewujudkan keadilan dankeberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraanRepublik Indonesia” sebagai visi baru di bidang pertanahan,BPN juga telah menetapkan 11 prioritas agenda untuk limatahun ke depan.5 Dari kesebelas agenda BPN, menurut pe-nulis ada lima agenda mendasar terkait langsung denganprogram pembaruan agraria nasional yang perlu dielaborasi;6

1. Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah.Ini diperlukan karena rakyat selalu berposisi lemahdalam memenuhi haknya. Rakyat rentan digusur dandidera kesewenangan di lapangan agraria. Pelaksanaanlandreform adalah jantung dari agenda penguatan hakrakyat atas tanah. Oleh kerena itu, redistribusi tanahbagi kaum tani (rakyat) miskin, pengembalian danpengukuhan wilayah kuasa/kelola rakyat, dan legalisasitanah yang sudah digarap rakyat sangat relevan dalamagenda ini.

2. Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah,sengketa, dan konflik pertanahan di seluruh In-donesia secara sistematis. Sering diungkapkan bah-

367

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

wa penyelesaian konflik agraria salah satu tujuan pokokpembaruan agraria. Selama ini memang tercatat begitubanyak konflik agraria struktural yang terjadi akibatpenggunaan dan penyalahgunaan kewenangan negara.Begitu banyak korban telah jatuh dan begitu luas lahanyang dipersengketakan tanpa ada mekanisme penye-lesaiannya secara adil. Kedeputian ini memberi harapanagar sengketa dan konflik agraria dapat ditangani dandiselesaikan dengan mengutamakan hak-hak rakyatyang menjadi korban. Desain kerja yang jelas-sistematis,kelembagaan yang kuat-kredibel, serta sumberdaya yangmahir-terpercaya jadi pra-syarat agenda ini.

3. Menangani masalah KKN serta meningkatkanpartisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Korup-si, kolusi dan nepotisme adalah musuh bersama. Birok-rasi harus terbebas dari korupsi dan aparat yang korupmesti diamputasi agar tak berlaku pepatah “akibat nilasetitik rusak susu sebelanga”. Komitmen BPN untukberbenah diri dalam menyambut tugas bagi pembaruanagraria memang harus dimulai dari menjaga ketulusanhati dan kejujuran niat bekerja untuk rakyat. Sedangkanpartisipasi dan pemberdayaan masyarakat harus diwu-judkan dengan melibatkan secara aktif organisasi rakyatdalam persiapan, pelaksanaan hingga evaluasi programpembaruan agraria.

4. Membangun data-base penguasaan dan pemilikantanah skala besar. Keberadaan dan akurasi data objek-objek reform menjadi pra-syarat keberhasilan reform.Pengadaan data dan informasi objek dan subjek reformmesti dilakukan sistematis dan bisa dipertanggung-

368

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

jawabkan ilmiah maupun sosial, dan menggali faktasesungguhnya di lapangan. Tanah-tanah yang selamaini dalam skala luas dikuasai orang/badan usaha tertentuyang terbukti menyebabkan terjadinya ketimpangan danmonopoli hendaknya segera ditetapkan sebagai objekpembaruan agraria sehingga dapat diakses rakyat.

5. Mengembangkan dan memperbarui politik, hukumdan kebijakan pertanahan. Reforma agraria perluaspek legal dan konstitusional. Implementasi reformakan lebih kokoh jika dilandasi dan dipayungi politik,hukum dan kebijakan agraria yang kondusif. Meninjauulang peraturan agraria perlu disegerakan. Substansidan format hukum agraria baru ditata agar lebih men-jamin keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraanrakyat. Politik agraria yang pro kepada modal besar yangmemicu konflik dan ketimpangan mestilah digantipolitik agraria yang lebih pro kepada rakyat kecil danmendorong kemakmuran bersama.

C.3. Pembaruan Agraria untuk Mengatasi Kemiskinan

dan Pengangguran

C.3.1. Masalah Agraria versus Kemiskinan7

Dalam sudut pandang ekonomi, ketunakismaan (land-lessness) yang meluas akan menyebabkan perekonomiansuatu negara menjadi rapuh. Apalagi jika negara tersebutmasih sangat bergantung pada sektor pertanian, baik sebagaipenyumbang pendapatan domestik maupun sebagai penye-rap tenaga kerja. Ketunakismaan akan menyebabkan ren-dahnya produktivitas pertanian, karena petani-petani

369

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

penggarap yang miskin atau buruh-buruh tani tidak memilikimotivasi untuk mengerjakan lahan secara optimal. ‘Petaniyang tidak memiliki keamanan dalam penguasaan tanah(insecurity of tenure) juga tidak memiliki penghasilan yangcukup untuk meningkatkan modalnya atau untuk membelibarang-barang yang diperlukan untuk menghasilkan hasil-hasil pertanian yang baik’ (Prosterman, Temple danHanstad, 1990: 1). Maka, secara akumulatif, rendahnyaproduktivitas dan tiadanya kekuasaan dari kelompok petaniini, yang jumlahnya sangat signifikan dibandingkan denganjumlah keseluruhan penduduk, akan menjadi faktor pem-berat bagi keseluruhan proses pembangunan.

Kemiskinan di pedesaan yang berkepanjangan jugaakan menyebabkan terjadinya urbanisasi yang eksesif. Parapetani tak bertanah dan petani-petani miskin serta anggotakeluarganya yang lain akan pergi ke kota-kota atau bahkankeluar negeri untuk mencari pekerjaan. Kalau mereka berun-tung, mereka dapat menjadi tenaga kerja formal di ling-kungan industri yang banyak bertebaran di perkotaan. Kalautidak beruntung, mereka akan menambah jumlah tenagakerja di sektor informal dan menciptakan kantong-kantongkemiskinan di wilayah perkotaan. Lebih buruk lagi, jikasejumlah orang yang tidak memiliki tanah atau jadi kehi-langan tanahnya kemudian terlibat di dalam sejumlah aksikriminalitas.

C.3.2. Menyoal Rencana Redistribusi Tanah

Sebuah rencana populis spketakuler belum lama inidikumandangkan pemerintah. MS Ka’ban (MenteriKehutanan), Anton Apriantono (Menteri Pertanian), dan

370

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Joyo Winoto (Kepala Badan Pertanahan Nasional) di ha-dapan kuli tinta Istana Kepresidenan (28 September 2006)memaparkan rencana yang pada intinya: Pemerintah akanbagi-bagi tanah! Surat-surat kabar, memberitakan jumlahtanah yang akan dibagikan antara 8 - 9 juta hektar yangbersumber dari lahan bekas hutan produksi konversi. Renca-na ini, kabarnya dijalankan dalam rangka pelaksanaan refor-ma agraria untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran.

Dapat dibayangkan semburat keriangan yang terpancardi lubuk hati kaum tani berlahan sempit, buruh tani, danrakyat miskin pada umumnya menyambut rencana ini. Ber-bagai kalangan memberikan apresiasi positifnya karenamenganggap rencana ini merupakan suatu kebijakan yangsudah lama dinantikan. Kalangan ini menempatkan rencanapembagian tanah kepada rakyat miskin merupakan sinyalpaling nyata dari pemerintah dalam merealisasikan pemba-ruan (reforma) agraria. Pembagian tanah kepada rakyat me-rupakan langkah awal yang sangat tepat dari sebuah peme-rintahan yang masih diuji oleh beratnya beragam persoalankusut warisan masa lalu.

Dalam optik positif, rencana pembagian tanah ini dimak-nai sebagai redistribusi asset bagi kaum miskin dalam kon-teks “landreform” dan “akses reform” yang berimbas padaperombakan struktur agraria yang timpang sehingga jadilebih adil. Landreform yang memungkinkan si miskinmengakses pemilikan, penguasaan, penggunaan dan peman-faatan tanah agar dapat keluar dari kubangan kemiskinanmerupakan esensi reforma agraria sejati.

Di lain pihak, ada yang menanggapi rencana ini dengansikap kritis. Rencana bagi-bagi tanah ini perlu dikritisi

371

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

bahkan diwaspadai karena jangan-jangan sekedar “menanamtebu di pinggir bibir”, alias lips service belaka. Bagi kalangankritis, membagikan jutaan hektar tanah dengan data posisitanah (objek) yang masih simpang siur dan eksistensi subjekpenerima manfaat (subjek) yang juga belum terang bak meri-butkan pepesan kosong. Problem agraria yang paling akarberupa ketidakadilan agraria struktural yang memiskinkanrakyat sulit teratasi signifikan jika sekedar diterapi melaluipembagian tanah tanpa program reform yang komprehensif.Rencana ini dikhawatirkan memicu konflik agraria baru.

Jika sekedar bagi-bagi tanah tanpa keutuhan konsepdikhawatirkan rencana ini menyimpang dari rel reformaagraria sejati, malah berpotensi memberi jalan bagi pemal-suan reforma agraria. Pandangan paling ekstrim mengkha-watirkan di balik rencana ini terselubung kehendak mensa-botase tujuan asli reforma agraria. Walau pandangan kritissemacam ini masih harus diuji kesahihannya, tapi tak layakdianggap angin lalu.

Di luar pandangan positif maupun kritis tadi, masihada dua golongan lain, yakni: yang tidak tahu dan yangdilanda kecemasan. Mereka yang tidak tahu karena tidakmemiliki akses informasi yang cukup mengenai rencana ini,tapi sangat boleh jadi justru merekalah lapisan mayoritaspotential beneficiaries dari rencana ini. Adapun golongan yangcemas ialah mereka yang menguasai tanah (terlalu) luas,baik berupa badan-badan usaha maupun pribadi-pribadi dankaki-tangannya. Yang patut diwaspadai, golongan yangcemas ini punya potensi menggalang gerakan kontra reformayang dapat menghalangi tujuan mulia pembaruan agraria.

372

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

C.3.3. Meluaskan Rencana: Dari Redistrubusi ke

Reforma Menyeluruh

Apa sikap yang tepat dalam merespon geliat kebijakanagraria teranyar ini? Bersikap langsung mendukung tanpareserve tampaknya merupakan sikap yang kurang cerdas.Akan tetapi, sikap apriori dan gelap mata langsung menolakdan beritikad menggagalkannya juga merupakan sikapberlebihan yang sungguh tak bijak. Mengingat agenda refor-ma agraria di dalam tubuh pemerintahan ini masih seumurjagung –diperkenalkan SBY tahun 2004 dan belum optimaldijalankan, sehingga rentan untuk “layu sebelum berkem-bang”, penulis lebih memilih untuk memperluas wacana dari“pemerintah berencana bagi-bagi tanah” menuju “reformaagraria yang menyeluruh”. Dalam hal ini, ada tiga catatanyang dapat disorongkan:

Pertama, hendaknya segera dirumuskan konsepsi untuhmengenai konsep, arah, model dan strategi implementasiprogram pembaruan agraria nasional yang akan dijalankan.Terwujudnya keadilan sosial, kesejahteraan umum, kemak-muran rakyat dan kemajuan segenap anak bangsa hendaknyajadi terminal akhir yang dituju pembaruan agraria yangdirumuskan. Di terminal akhir ini, golongan lemah/miskinseperti kaum tani, buruh tani, nelayan, buruh, masyarakatadat dan kaum miskin kota mestilah jadi pihak yang palingharus merasakan keuntungan dari hasil pembaruan agraria.Adanya naskah konsep ini akan menjadi panduan bagisemua pihak untuk menjalankan pembaruan agraria dalampraktek di lapangan, sekaligus sebagai mekanisme kontroldan alat evaluasi atas program ini.

Kedua, Presiden RI hendaknya memimpin langsung

373

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

pelaksanaan pembaruan agraria, mulai dari perumusan kon-sepsi, mengawal pelaksanaan, evaluasi dan pemantapannya.Untuk mengefektifkan operasi, presiden sebaiknya menu-gaskan salah satu pembantunya yang dipercaya untukmemimpin dan mengkoordinasikan teknis-operasionalisasipembaruan agraria. Semua menteri dan pejabat serta aparatpemerintah di berbagai departemen/badan terkait di semualevel (pusat sampai daerah) hendaknya bersungguh-sung-guh turut mensukseskan pelaksanaan program pembaruanagraria ini. Perlu dipertegas tugas pokok dan fungsi setiapunsur pemerintahan dalam pelaksanaan pembaruan agraria.Siapa mengerjakan apa dan sejauh mana masing-masingpunya andil hendaknya disinergikan secara lintas sektor danlintas wilayah. Harus dicegah adanya kesimpangsiurandalam konsep dan praktek di internal pemerintahan karenadapat mengganjal kesuksesan pembaruan agraria.

Ketiga, pemerintah bersama masyarakat hendaknyamengupayakan pengumpulan data dan informasi seakuratmungkin mengenai posisi, jenis, sebaran, luasan tanah dansumber-sumber agraria lain yang akan dijadikan objekpembaruan agraria. Begitu juga dengan data mengenaisubjek penerima manfaatnya mesti secara paralel disiapkan.Ketersediaan data yang relatif solid dan akurat mengenaiobjek dan subjek reform menjadi pra-syarat kunci keber-hasilan program reform itu sendiri. Ketepatan objek reformhendaknya disesuaikan dengan posisi, sebaran dan jumlahsubjek calon penerima manfaat reform. Mesti diusahakanposisi lahan berada di sekitar subjek penerima manfaat.Harus dihindari model transmigrasi orang miskin dari Jawake luar Jawa yang di masa lampau sudah terbukti gagal,

374

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

memicu problem dan konflik sosial baru, serta sudah pastibukan reforma agraria sejati. Penyediaan data objek dansubjek reform ini dijalankan dengan melibatkan rakyat calonpemerima manfaat melalui organisasi-organisasinya yangsejati. Tanah-tanah yang sudah diduduki dan dikuasai rakyatmiskin hendaknya diintegrasikan sebagai bagian dari objekreform, dan jadi prioritas untuk dilegalisasi oleh pemerintah.

Dengan demikian, rencana redistribusi tanah bagi rakyatmiskin merupakan rencana bagus, namun perlu diletakkandalam kerangka pembaruan agraria nasional yang menye-luruh. Sektor-sektor keagrariaan yang disentuh programpembaruan agraria nasional hendaknya mencakup perta-nian, kehutanan, perkebunan, pertambangan, perairan, pesi-sir, pulau-pulau kecil dan kelautan. Hanya dengan pelaksa-naan program pembaruan agraria nasional yang kompre-hensif maka tujuan mengatasi kemiskinan dan penganggurandapat dicapai secara mendasar hingga menyentuh jantungakar persoalannya.

C.4. Modal Sosial: Partisipasi Rakyat8

Ketika kita menghendaki adanya partisipasi rakyatdalam pembaruan agraria, maka perlu menengok terlebihdahulu bentuk dan pola hubungan antara pemerintahdengan masyarakat di bidang agraria (pertanahan) selamaini. Secara substansial, politik agraria selama ini telah mela-hirkan ketidakadilan agraria dalam berbagai dimensinya.Politik agraria yang menganak-emaskan modal besar sem-bari meminggirkan hak-hak rakyat kecil atas tanah dan keka-yaan alam lainnya secara signifikan telah menyumbatpotensi partisipasi yang ada di dalam tubuh masyarakat.

375

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Politik agraria semacam ini menenggelamkan elanpartisipasi dan justru melahirkan resistensi dari masyarakat.

Contoh nyata dari ekspresi dari resistensi masyarakatterhadap politik agraria dewasa ini adalah maraknya aksi“okupasi” dan “reclaiming” yang dilancarkan masyarakat.Reclaiming dan okupasi kian memassal dan lebih sistematis.Metamorfosis aksi sporadik ke gerakan sistematis menjadiindikasi menguatnya kebutuhan reforma agraria. Contoh-nya, tanah-tanah perkebunan menjadi sasaran empukreklaimer dan okupaser. Perkebunan telantar, yang hak gunausahanya cacat hukum atau (hampir) habis, menjadi dalilpemicu reclaiming dan okupasi. Tanah-tanah bekas kehu-tanan juga menjadi sasaran dari aksi ini. Secara esensial,aksi reclaiming dan okupasi ini merupakan wujud kebutuhanrakyat atas lahan pertanian.

Secara legal, aksi ini “melanggar” hukum. Namun secarasosio-politik menjadi keniscayaan karena reforma agrariatak dijalankan. Reclaiming dan okupasi diistilahkan paraahli sebagai agrarian reform by leverage, pembaruan agrariayang didongkrak rakyat bawah. Dalam merespon resistensisemacam ini, pemerintah mestilah tanggap dalam membe-rikan formulasi penyelesaian secara mendasar. Yang diper-lukan, pengakuan dan perlindungan tanah rakyat. Penga-kuan hak rakyat atas tanah adalah upaya serius pemerintahuntuk mengakui hak rakyat atas kepemilikan, penguasaan,dan pemanfaatan tanah serta kekayaan alam lain, yangdisebut legalisasi hak rakyat atas tanah (lihat artikel penulis:Kompas, 14 Juli 2005).

Dengan demikian, hanya dengan pendekatan dan solusiyang memberikan ruang yang lebih luas bagi masyarakat

376

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

untuk mengakses pemilikan dan pemanfaatan tanahlah yangakan mengubah berbagai bentuk “resistensi” itu menjadi“partisipasi”. Pergeseran dari resistensi ke partisipasi ini akansecara strategis mempertemukan dua prasyarat terlaksa-nanya pembaruan agraria, yakni “komitmen pemerintah”dengan “kekuatan organisasi rakyat”.

Ada dua prasyarat yang penulis anggap terpenting untukmenumbuhkan partisipasi masyarakat; (1) Aparatus peme-rintah di bidang agraria mesti memiliki dasar keberpihakanyang kuat kepada masyarakat sebagai subyek yang harusdilayani, memahami aspirasi masayarakat sekaligus berke-mampuan membuka dan mengelola ruang pelibatan dalamperumusan dan pelaksanaan kebijakan, dan (2) Sistempelayanan di bidang agraria hendaknya memperluas kesem-patan kepada masyarakat—khususnya kepada golonganekonomi lemah yang miskin, untuk mendapatkan kemu-dahan dalam pelayanan dan pengurusan berbagai keperluanterkait pemilikan, penguasaan, pengelolaan dan peman-faatan tanah serta kekayaan alam lainnya.

Kedua prasyarat ini akan menjadi dasar bagi perluasanspektrum pelayanan pertanahan dari sekedar teknis admi-nitratif prosedural ke ranah kebijakan yang lebihmempertimbangan berbagai dimensi kepentingan masyarakatluas yang kompleks. Agar kedua prasayarat ini dapat terwujudmaka diperlukan suatu upaya mendasar dalam menggeserposisi masyarakat dari sekedar objek dari suatu kebijakanmenjadi subjek yang secara aktif terlibat dan sebagai pihakyang punya kepentingan utama. Untuk itu, imaji tentangperan aparat pemerintah sebagai “penguasa” hendaknyadigeser menjadi “pelayan” kepentingan masyarakat banyak.

377

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

D. Penutup

Setelah memperhatikan prinsip dasar dan strategi umumpelaksanaan pembaruan agraria, kita ditantang untuk dapatmenurunkannya ke dalam berbagai program dan rencanatindak yang lebih operasional. Prinsip dasar dan strategiumum ini hendaknya menjadi penunjuk arah kemanapembaruan agraria ini akan kita proyeksikan. Adalah sudahsemestinya berbagai program dan rencana tindak dapatbetul-betul menjawab akar persoalan sekaligus menun-taskan kenyataan-kenyataan praktis di lapangan agraria kita.

Berkurangnya jumlah orang miskin, tersedianya la-pangan pekerjaan dan lahirnya sumber-sumber kesejah-teraan baru sejatinya muara dari pelaksanaan pembaruanagraria kita. Tiadanya penguasaan asset yang berlebihan ditengah derita kemiskinan mayoritas rakyat adalah kondisiideal yang hendak kita tuju. Kemakmuran dan kesejahteraanbersama secara berkeadilan adalah keadaan bangsa yangdicita-citakan para pendiri republik yang mutlak dituntaskangenerasi penerusnya sekarang.

Oleh karenanya, semua pihak yang masih memiliki rasakebangsaan yang tinggi dan rasa kemanusiaan yang tulushendaknya bersatu padu mengambil peran bagi keberhasilanpelaksanaan pembaruan agraria. Sebagai bangsa besar kitaperlu segera sampai pada kesepahaman baru mengenai kon-sep dan praktek ideal pembaruan agraria sejati yang cocokdengan kebutuhan kita saat ini. Semua pihak mesti peduliagar pembaruan agraria dapat disiapkan dan dijalankandengan sematang mungkin.

Supaya pembaruan agraria berhasil ia harus diseleng-garakan oleh pemerintahan yang tahu, mau dan mampu

378

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

menjawab akar problem agraria (Matang Atas) serta dito-pang partisipasi aktif rakyat melalui organisasinya yangsejati (Matang Bawah). Tanpa kematangan salah satu pihak,pembaruan agraria terancam menyimpang, bahkan gagal.Semoga jangan!

Makassar, 4 Desember 2006

379

PERANAN ORGANISASI TANI(MASYARAKAT AGRARIS)

DALAM PEMBARUAN AGRARIAAgustiana*

Sebelum menukik kepada pembahasan tentangpermasalahan organisasi tani atau masyarakat agraris dalampelaksanaan pembaruan agraria, sebagai mana yang dimintaoleh Penitia SIMPOSIUM AGRARIA NASIONAL, perke-nalkan saya bersambang gagasan dalam kapasitas sebagaipengungkap perasaan, pikiran dan harapan petani ataumasyarakat agraris lainnya. Dalam kaitannya dengan Pem-baruan Agraria, yang mana walaupun tidak secara utuh akantetapi kiranya dapat memberikan gambaran sepintas tentangapa yang dimaksud Pembaruan Agraria / Reforma Agrariadalam cara pandang petani.

Hal ini penting terutama di hadapan audiens dari ka-langan Badan Pertanahan Nasional (BPN), supayaPembaruan Agraria tidak ditafsikan sebagai bentuk kagiatan

* (Sekjen Serikat Petani Pasundan), disampaikan pada acaraSimposium Agraria Nasional BPN-RI, Makasar, 4 Desember 2006

380

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

amal kebaikan sosial semata yang dianggap kurang menarikdan dianggap akan dapat mengurangi peran kerja BadanPertanahan Nasional (BPN).

Terkait dengan hal ini, saya akan memulai dari pertanya-an-pertanyaan pokok tentang pembaruan agraria, diantara-nya :1) Apa dan bagaimana Pembaruan Agraria menurut cara

pandang organisasi petani dan masyarakat agraris lain-nya (masyarakat adat, miskin kota, nelayan dan lain-lain)?

2) Tahapan strategis Program Pembaruan Agraria ?3) Target yang diharapkan dari pelaksanaan Pembaruan

Agraria ?4) Peran dan posisi pemerintah, baik pemerintah pusat

ataupun pemerintah daerah yang diterapkan olehorganisasi petani dan masyarakat lainnya ?

5) Bagaimana peranan organisasi tani dalam pelaksanaanPembaruan Agraria ?

I. Apa dan bagaimana Pembaruan Agraria menurut carapandang organisasi petani dan masyarakat agraris lain-nya (masyarakat adat, miskin kota, nelayan, dan lain-lain) ?Cara pandang organisasi petani atau masyarakat agraris,yang dimaksud dengan Pembaruan Agraria adalah“Penataan kembali atau memperbaiki arah kebijakandan program pembangunan nasional agar berorientasipada sektor agraris dengan memperhatikan pem-bangunan sektor lainnya, dengan daya dukung kekayaan

381

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

sumber daya alam atau sumber daya agraria yang dimi-liki secara mandiri termasuk daya dukung sumber dayamanusianya”. Karena kalau orientasinya dititikberatkanpada sektor industri seperti selama ini, maka masyarakatdan pemerintah disamping akan sulit menyiapkanpranata sosial dan daya dukung bahan baku juga per-saingan dengan negara lain yang jauh lebih maju.Kita bisa bayangkan sulitnya merubah karakter masya-rakat agraris (yang notabene mayoritas penduduk negaraini), menjadi masyarakat industri, belum lagi modaldukungan pembangunan infrastruktur yang menunjangsektor industri sangatlah minim dan tidak merata,jangankan kita bicara soal teknologi, persoalan listriksaja sudah nyata menjadi problem negara ini, belumlagi persoalan upah buruh yang sampai saat ini belummampu menjamin kesejahteraan secara adil danlayak.

II. Tahapan strategis program Pembaruan Agraria ?Tahapan strategis pembaruan agraria tidak dimulai daripemberian atau pengeluaran 8,15 juta ha tanah darikawasan yang diklaim Departenen Kehutanan (walau-pun tentunya hal itu ada manfaatnya, akan tetapi itudimulai dengan hal-hal berikut:a. Pendataan dan penataan potensi pemanfaatan

sumber daya agnaria atau sumber daya alam lainnya.b. Mengatur dan menentukan luasan serla wilayah

peruntukannya secara proposional, adil dan berke-lanjutan. Sebagai contoh, berapa luas dan di wilayah

382

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

mana sumber saya agraria untuk keperluan industri,perluasan pemukiman, pertambangan, perkebunan,konservasi, pengembangan pertanian, daerah aliransungai (DAS), peruntukan untuk masyarakat mis-kin, masyarakat adat dan cadangan masa depan.

c. Memperbaiki, membuat tata aturan sistem agrariayang terpusat, terkoodinir dan terintegratif agar ti-dak tumpang tindih seperti sekarang ini.

d. Membuat kelembagaan agraria yang terpusatdengan fungsi, pendataan, pengaturan dan kontrolatas penguasaan, pemanfaatan sumber daya agrariadan sumber daya alam lainnya, dalam kaitan ini pe-tani setuju kewenangan BPN diperluas.

e. Menyerahkan semua inventarisasi aset tanahnegara, atau sumber daya agraria lainnya yang di-kuasai pada kelembagaan agraria.

f. Penyiapan keahlian, mental dan kecakapan apara-tur pemerintah yang bekerja pada kelembagaanagraria.

g. Menyiapkan masyarakat agar mampu memanfaat-kan sumber daya agraria secara layak, cukup, adil,sejahtera dan berkelanjutan.

h. Mengevaluasi, peruntukan/ pemanfaatn dan pengu-asan tanah atau sumber daya agraria lainnya secaramonopolistik atau skala besar oleh perusahaanswasta atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN),agar tidak terjadi ketimpangan dalam penguasaandan pemanfaatan tanah atau pun sumber daya agra-ria lainnya.

383

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

III. Target yang diharapkan dari pelaksanaan PembaruanAgraria ?a. Bagi petani dan masyarakat adat yang sudah punya

tanah akan tetapi tidak memiliki legalitas formal,target dan harapannya adalah mendapatkan legalitasakan kapasitas hukum atas pemanfaatan sertapenguasaannya terutama atas tanah milik adat yangsudah menjadi sumber pokok mata pencariannya.

b. Bagi masyarakat yang telah menggarap tanah negaralebih dari 2 (dua) tahun atau sudah menjadikanlahan garapannya sebagai sumber mata pencaharianutamanya mendapatkan pengakuan dan perlin-dungan hukum yang jelas serta mampu memanfa-atkan tanah garapannya tersebut secara maksimal(produktif) mampu meningkatkan kesejahteraansecara layak, adil dan berkelanjutan.

c. Selesainya sengketa agraria dengan memperhatikanaspek pemilikan, penguasan dan pemanfaatan tanahatas sumber daya agraria terutama bagi petani miskinatau petani tak memiliki alternatif mata pencahariankehidupan lain selain dari ketergantungan atas tanahtersebut.

d. Adanya pembatasan dan pengurangan secara ber-tahap atas monopoli atau penguasaan tanah negarayang berlebihan yang dilakukan badan usaha swastamaupun BUMN, yang selanjutnya penguasaan danpemanfaatan diberikan pada masyarakat di sekitaskawasan penguasaan tanah tersebut, terutama padamasyarakat yang tidak memiliki tanah dan tidak

384

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

memiliki alternatif keahlian selain dari bertani atauberkebun.

e. Mendapatkan akses permodalan, teknologi tepatguna, informasi dan pasar produk pertanian secaramudah dan terjamin bagi peningkatan produktivitaspetani.

f. Secara bertahap terjadinya transformasi dan alihfungsi serta kecakapan management usaha per-kebunan swasta atau BUMN kepada usaha perke-bunan masyarakat biasa, sehingga dengan demikiansecara lambat laun perusahaan perkebunan tersebutdi atas tidak harus menguasai tanah yang luasdengan resiko yang besar akan tetapi cukup jadiperusahaan inti yang menguasai sektor industri per-kebunan rakyat dan perdagangan ke luar negeri(ekspor).

g. Peningkatan keberhasilan pembangunan pedesaansecara swadaya dan swadana sehingga mengurangikemiskinan dan pengangguran di pedesaan yangsecara otomatis akan mengurangi dampak urbani-sasi.

h. Terciptanya tatanan sosial, ekonomi dan politikyang dirasakan adil oleh masyarakat khususnya ke-adilan dalam memanfaatkan dan menguasai sumberdaya agraria yang dikuasai oleh negara.

IV. Peran dan posisi pemerintah, baik pemerintah pusatataupun pemerintah daerah yang diharapkan oleh orga-nisasi petani dan masyarakat lainnya ?

385

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

a. Peran Pemerintah Pusat :• Menentukan arah kebijakan (reorientasi) di bidang

Pembaruan Agraria dengan menggali aspirasi dari

daerah, walaupun kenyataannya lebih dari 70% arah

kebijakan pembangunan daerah berorientasi pada

sektor Pembaruan Agraria.

• Menyiapkan perangkat hukum dan kelembagaan

yang terintegrasi.

• Menjadikan Pembaruan Agraria sebagai prioritas

agenda pembangunan nasional yang menyeluruh.

b. Peran Pemerintah Daerah :

• Menyesuaikan arah kebijakan, program pem-

bangunan di daerah dengan program pemerintah

secara nasional di bidang pembaruan agraria

(walaupun kenyataannya lebih dari 70% arah

kebijakan pembangunan pemerintah daerah

berorientasi pada sektor agraria).

• Menyiapkan komite atau panitia pelaksanaan pem-

baruan agraria di tingkat daerah yang melibatkan

kelompok masyarakat agraris.

• Melakukan pendataan dan penataan sumber daya

agraria yang ada di wilayahnya, khususnya Tanah

Negara (TN), baik dalam penguasaan PEMDA

ataupun instansi pemerintah lainnya.

• Menentukan kawasan peruntukan, penguasaan dan

pemanfaatan tanah secara proporsional, adil dengan

memperhatikan berbagai aspek kemanfaatan,

penguasaan bagi masyarakat yang tidak punya tanah

386

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

terutama untuk kepentingan mata pencaharian

kehidupan pokok masyarakat tersebut.• Mempermudah akses masyarakat khususnya peta-

ni untuk mendapatkan kemanfaatan informasi,teknologi tepat guna, pasar, dan permodalan bagiusaha pertanian.

• Mendata, menyelesaikan dan melaporkan sengketaagraris yang ada di wilayahnya kepada pemerintahpropinsi atau pemerintah pusat.

V. Bagaimana peranan Organisasi Tani dalam pelaksanaanPembaruan Agraria ?• Melakukan pendataan wilayah penguasaan,

pemanfaatan/ garapan seluruh tanah oleh anggo-tanya.

• Membuat aturan main yang disepakati bersamadalam mengatur pemanfaatan dan penguasaantanah khususnya garapan di atas Tanah Negara, yangdidasarkan pada prinsip-prinsip peningkatan pro-duktivitas, terurus, tanggung jawab, berkeadilan,berkelanjutan (tidak diperjualbelikan) dan keseim-bangan ekologis.

• Berperan aktif dan menumbuhkan kepeloporandalam rangka pembangunan pedesaan secara swa-daya.

• Membentuk kelompok usaha bersama dalam bentukkoperasi untuk meningkatkan produktivitas usahapertanian dan kesejahteraan keluarga petani.

• Berperan aktif dalam menentukan kebijakan, baik

387

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

di tingkat daerah ataupun di tingkat pusat, terutamadalam sektor pembaruan agraria.

• Terlibat aktif dan masuk sebagai anggota resmidalam tim penyelesaian sengketa/ konflik agrariayang dibentuk pemerintah daerah.

• Membangun komunikasi yang baik dengan semuapihak, baik dengan pemerintah, badan usaha, pim-pinan PARPOL, maupun dengan pimpinan organi-sasi masyarakat lainnya.

PERAN PEMERINTAHDAERAH DAN SWASTA

390

I. LATAR BELAKANGI. LATAR BELAKANG

•POTENSIWILAYAH PESISIR SULSEL

•Wilayah pesisir Sulawesi Selatanmemiliki

potensi lahan budi daya laut sebesar

6 H d t i l h t b k600.500 Ha dan potensi lahan tambak

seluas 100.000 Ha.

•Potensi perikanan tangkap Sulawesi

Selatan sebesar 620.480 ton / tahun,

dengan rincian ;

– Selat Makassar dengan potensi

307.380 ton / tahun,3 7 3 / ,

– Laut Flores dengan potensi 168.780

ton / tahun, dan

– Teluk Bone dengan potensi sebesar

144.320 ton / tahun.

*) Dr. S. Ruslan, SE., Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan.

PEMANFAATAN POTENSI WILAYAH PESISIR

PROVINSI SULAWESI SELATAN

Oleh :

DR. S. Ruslan, SE(Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan)

391

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

LATAR BELAKANG…LATAR BELAKANG…

• KONDISIWILAYAH PESISIR SULSEL

• Masyarakat Sulawesi Selatanmemiliki sejarah dan Socio cultur

yang tak dapat dipisahkan dengan lingkungan pesisir dan laut

denganmenempatkan sumber daya pesisir dan laut sebagaig p y p g

sumber daya ekonomi.

• Potensi wilayah pesisir Sulsel dapat dikatakan besar, namun

kondisinya sudah berada pada ambang batas penipisan sumber

daya dan ekosistem yangmengkhawatirkan akibat eksploitasi

sumber daya hayati laut dengan cara cara destruktif yang tidak

ramah lingkungan.

L h t / b k t i t i i H– Luas hutanmangrove / bakau yang tersisa saat ini 22.353 Ha

(19,85% dari kondisi tahun 80 an).

– Ekosistem padang lamun dan terumbu karang yang tersisa

dalam kondisi baik hanya ± 20% dari total terumbu karang

Sulawesi Selatan.

KONDISI WILAYAH PESISIR …KONDISI WILAYAH PESISIR …

• Tingkat pencemaran semakin meningkat sejalan dengan perkembangan

mobilitas transportasi laut dan kegiatan kegiatan industri yang semakin pesat

serta limbah domestik (rumah tangga), serta limbah dari aktifitas budidaya laut

(tambak).

• Pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut cukupmemberikan sumbangan berarti

pada perekonomian wilayah, namun kurangmemberi arti/dampak terhadap

peningkatan kesejahteraanmasyarakat nelayan secara umum yang diindikasikan

bahwa komunitas perikanan / nelayanmasih merupakan kantong kantong

kemiskinan.

• Produksi eksploitasi tambakmenghasilkan 391.745,4 ton dengan tingkat

pemanfaatan potensi tambak sebesar 98,60% dari total luas 100.000 Ha. Hal inimemberikan gambaran bahwa pengembangannya dapat dikatakan sudah tidakmemberikan gambaran bahwa pengembangannya dapat dikatakan sudah tidak

memungkinkan lagi.Apalagi bila dikaitkan dengan indikasi kerapatan tambak per

– kilometer panjang pantai yaitu mencapai 49,3 Ha – per kilometer panjang

pantai yangmerupakan indikasi banyaknya usaha usaha pembangunan tambak

dengan letak persis di bibir pantai dan banyaknya alih fungsi lahan pertanian

produktif menjadi pertambakan.

392

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

• Isu Sosial Budaya, meliputi : (1) Rendahnya kualitas

sumberdaya manusia; (2) Lambatnya perubahan

II.II. ISU & PERMASALAHANISU & PERMASALAHANPengelolaanPengelolaan Wilayah Wilayah PesisirPesisir SulselSulsel

sumberdaya manusia; (2) Lambatnya perubahan

pola pikir dan perilaku masyarakat; (3) Buruknya

sanitasi lingkungan permukiman; (4) Degradasi

budaya dan semangat kebaharian (5) Masih

tingginya tingkat pertumbuhan penduduk.

• Isu Lingkungan, meliputi : (1) Degradasi ekosistem

pesisir dan laut (2)Tercemarnya wilayah pesisir (3)

Lemahnya penataan dan pengawasan pemanfaatan

ruang wilayah pesisir.

LanjutanLanjutan….….

• Isu Kelembagaan, meliputi : (1)Tidak terpadunya

pengelolaan wilayah pesisir; (2) Lemahnya

k l b k d P i h ( )kelembagaan masyarakat dan Pemerintah (3)

Lemahnya penegakan hukum diwilayah pesisir dan

laut.

• Isu Pembangunan Ekonomi, meliputi : (1) Rendahnya

daya tarik ODTWwisata bahari (2) Belum optimalnya

pengelolaan perikanan tangkap (3) Belum optimalnyapengelolaan perikanan tangkap (3) Belum optimalnya

pengelolaan perikanan budidaya (4) Belum optimalnya

pengelolaan bahan mineral (5) Rendahnya aksesibilitas

antar pulau (6) Belum tersedianya energi listrik di

pulau pulau kecil.

393

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

III.ARAH KEBIJAKAN PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR DI PROPINSI SULAWESI SELATAN

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMANFAATAN WILAYAH PESISIR SULSEL

Visi Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2020, yaitu :” Mewujudkan Sulawesi Selatan Menjadi wilayah terkemuka di Indonesia melalui Pendekatan Kemandirian Lokal yang bernafaskan Keagamaan”

Misi Propinsi Sulawesi Selatan:Menjadikan nilai-nilai keagamaan, Pancasila dan Budaya Lokalsebagai acuan dan sumber kearifan dalam pembinaan danpengembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa danbernegara;bernegara; Pilar pendukung dan perekat pengembangan perekonomiannasional terutama sebagai pusat pelayanan di KTI;Mempertahankan dan mengembangkan solidaritas kebangsaanyang berbasis NKRI (Wawasan Nusantara);Ikut melaksanakan ketertiban umum yang merupakan prasyaratbagi terciptanya iklim yang kondusif bagi pengembangan ekonomidan sosial.

RENSTRA PROPINSI SULAWESI SELATAN 2003 – 2008

AGENDA KETAHANAN EKONOMI WILAYAHAGENDA KETAHANAN EKONOMI WILAYAH

“Program Penataan dan Pengelolaan SDA dan Kelautan yang berkelanjutan”

KEGIATANKEGIATAN

• Mengembangkan sistem pengolahan sumber daya hutan

• Mendorong pengembangan pendidikan, ilmu pengetahuan dan

tehnologi serta pendidikan dan pelatihan keterampilan di bidang

sumber daya alam dan kelautansumber daya alam dan kelautan.

• Meningkatkan pengendalian lingkungan melalui pengaturan,

pengawasan dan pengendalian.

• Pemberian izin usaha pertambangan umum dan energi lintas

Kab/Kota.

394

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

• Pengelolaan sumberdayamineral dan energi non migas kecuali

bahan radio aktif pada wilayah laut kewenangan propinsi.

• Mendorong danmelaksanakan kegiatan eksploitasi,

konservasi dan pengelolaan kekayaan laut dan plasma nutfah

Kegiatan (Lanjutan) ………………………!

konservasi dan pengelolaan kekayaan laut dan plasma nutfah

spesifik serta suaka perikanan sebatas wilayah laut

kewenangan proponsi.

• Meningkatkan pengendalian usaha budidaya dan

penangkapan ikan pada perairan laut di wilayah kewenangan

propinsi,

• Mendorong penguatan kelembangaanmasyarakat dalam

pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan.

• Mendorong optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam dan

kelautan dalam pengembangan wisata bahari, agrowisata dan

ekowisata secara terpadu.

Pembangunan yangPembangunan yang memenuhimemenuhi kebutuhankebutuhan generasigenerasisekarangsekarang tanpatanpa mengorbankanmengorbankan kebutuhankebutuhan generasigenerasi yangyang

akanakan datangdatang dalamdalam memenuhimemenuhi kebutuhankebutuhan merekamereka..

IV. STRATEGI PEMANFATAAN WILAYAH PESISIR

A. PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (WCED,1986)

PerluPerlu keseimbangankeseimbangan antaraantara pencapaianpencapaian tujuantujuan ekonomiekonomi, , sosialsosial dandan kelestariankelestarian SDA SDA dandan LHLH

Tujuan SosialEkonomi

MasyarakatTujuan Ekonomi

( fi i i)(Pemerataan)y k

(Efisiensi)

Konservasi

Dgn Equity

Integrasi

Ekonomi

lingkungan

Tujuan Lingkungan

(Ekologi)

395

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

B.B. PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADUPENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU

•• DalamDalam rangkarangka upayaupaya

pemanfaatanpemanfaatan potensipotensi sumberdayasumberdaya

pesisirpesisir dandan lautlaut secarasecara

berkelanjutanberkelanjutan makamaka dilakukandilakukan

perencanaanperencanaan pengelolaanpengelolaan wilayahwilayahpesisirpesisir dandan lautlaut secarasecara nasionalnasional

dengandengan pendekatanpendekatan pengelolaanpengelolaan

wilayahwilayah pesisirpesisir dandan lautlaut terpaduterpadu

secarasecara optimal,optimal, rehabilitasirehabilitasi dandan

mitigasimitigasi bencanabencana sertaserta

pengelolaanpengelolaan jasajasa kelautankelautan dandan

kemaritimankemaritiman..

• Pengelolaan Wilayah Pesisir

RENCANARENCANAPENGELOLAANPENGELOLAAN

RENCANARENCANAAKSIAKSI

• Rencana kerja

• Pengaturankoordinasi

• Paket terpadukegiatan

• Tujuan

• Cakupankegiatan

• Tatananpelaksanaan

•Manfaat

•dll

• Alokasie ge o aa aya es s

Terpadu (Integrated Coastal

Management) mengintegrasikan

berbagai perencanaan yang

disusun oleh sektor dan daerah

sehingga terwujud keharmonisan

dan saling memperkuat dalam

pemanfaatannya.

RENSTRA PENGELOLAAN RENSTRA PENGELOLAAN WILAYAH PESISIRWILAYAH PESISIR

RENCANA ZONASIRENCANA ZONASI

kegiatan

• Public campaign

• Isu

pengelolaan

• Target kinerja

• Organisasi/ lembaga

•Rencana kerja

•Koordinasi

ruang

• Pemilihan&

penempatan

kegiatan

• AlokasiSDA

Pengelolaan wilayah pesisir secara

terpadu adalah suatu pendekatan

pengelolaan wilayah pesisir yang

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU…

p g y p y g

menghubungkan dua atau lebih

ekosistem dan sumberdaya dalam

kegiatan pemanfaatan

(pembangunan) secara terpadu

(integrated) dan berkelanjutan.

TUJUAN PENGELOLAAN SECARA TERPADUTUJUAN PENGELOLAAN SECARA TERPADU

MeminimalisasiMeminimalisasi dampakdampak kegiatankegiatan

MengurangiMengurangi munculnyamunculnya konflikkonflikMengurangiMengurangi munculnyamunculnya konflikkonflikkepentingankepentingan, , kelembagaankelembagaan

MengoptimalkanMengoptimalkan pemanfaatanpemanfaatan ruangruang dandansumberdayasumberdaya

MengkompromikanMengkompromikan kepentingankepentingan berbagaiberbagaisektorsektor pembangunanpembangunan

396

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

PRINSIPPRINSIP--PRINSIP IMPLEMENTASI PENGELOLAN WILAYAH PESISIR TERPADUPRINSIP IMPLEMENTASI PENGELOLAN WILAYAH PESISIR TERPADU

Keterpaduan AntarPemerintahan/ Kewenangan

Keterpaduan AntarEkosistem Darat

PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU…

Keterpaduan AntarLembaga/Sektor

Kewenangan dengan Laut

Keterpaduan AntarDisiplin Ilmu

DesentralisasiPengelolaan

Pengakuanterhadap HakMasyarakat

PengelolaanPesisir Terpadu

Pranata danPenegakan hukum

y

PranataKelembagaan

KonsistensiPembiyaan

KonsistensiPerencanaan

Pesisir Terpadu

397

398

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

399

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

400

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

401

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

402

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

403

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

404

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

405

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

406

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

407

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

408

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

409

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

410

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

411

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

412

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

413

GERBANG EMA

GERAKAN PEMBANGUNAN

EKONOMI MASYARAKAT

KKONSEP ONSEP GGERBANG ERBANG EEMASMAS

Latar Belakang / Masalah

1. KONSEP PENDEKATAN PENGEMBANGAN KOMODITI UNGGULAN SULAWESI SELATAN TIDAK TUNTAS, KARENA TIDAK HOLISTIC DAN BERORIENTASI PASAR

1. PELAKU UTAMA EKONOMI, TERMASUK KOMODITI UNGGULAN : UKMK, TETAPI BELUM DIBERDAYAKAN OPTIMAL

1. KENDALA UKMK : A) MODAL TERBATAS DAN B) AKSES KE SUMBER DANA/PERBANKAN LEMAHKE SUMBER DANA/PERBANKAN LEMAH

1. KEMAMPUAN PENDANAAN PEMERINTAH SEMAKIN TERBATAS

1. PENYALURAN KREDIT PERBANKAN UNTUK UKMK MASIH TERBATAS

*) Tim Sekretariat Gerbang Emas Sulawesi Selatan.

GERBANG EMAS

GERAKAN PEMBANGUNAN

EKONOMI MASYARAKAT

Oleh: Tim Sekretariat Gerbang Emas

Sulawesi SelatanSulawesi Selatan

414

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

ApaApa ituitu GERBANG EMAS ? GERBANG EMAS ?

Gerbang EmasSebuah Gerakan Pembangunan Ekonomi yang Mengintegrasikan

Unsur Pemerintah, Masyarakat dan Swasta

Gerbang EmasMerupakan Kelanjutan Kebijakan Pembangunan sebelumnya yaitu

( )Perwilayahan Komoditas (dasar pemilihan inkubator/klaster),danGRATEKS 2 (dasar pemilihan komoditi), namun Berbeda dalamhal Sumber Dana,Mekanisme Pendanaan, Peranan Pemerintah

dan Ruang Lingkup Kegiatan (Hulu Hilir)

TUJUAN PROGRAM

1. Membuka Lapangan KerjaA. Makro

1. Membuka Lapangan Kerja

2. Meningkatkan Pendapatan Masyarakat

3. Meningkatkan Citra Produk Sulsel pada Lingkup Lokal, Nasional dan Internasional

4. Meningkatkan Sinkronisasi, Harmonisasi dan Efektifitas Kegiatan Pemerintah, Masyarakat dan Swasta

415

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

TUJUAN PROGRAM

1. Pemberdayaan UKMKA. Mikro

1. Pemberdayaan UKMK

2. Meningkatkan penyaluran kreditperbankan

3. Meningkatkan penggunaan produk lokal dimasyarakat

TAHAPAN GERBANG EMASTAHAPAN GERBANG EMAS

•• KONSOLIDASI (2004), MEMBANGUN KONSOLIDASI (2004), MEMBANGUN

KESAMAAN VISI & PERSEPSI KESAMAAN VISI & PERSEPSI

•• PEMANTAPAN (2005PEMANTAPAN (2005--2006), TERIMPLEMENTASI 2006), TERIMPLEMENTASI

PD WIL. INKUBATOR & KLASTERPD WIL. INKUBATOR & KLASTER

•• AKSELERASI (2007), PERCEPATAN & AKSELERASI (2007), PERCEPATAN &

PERLUASAN CAKUPAN GERAKAN TERMASUK PERLUASAN CAKUPAN GERAKAN TERMASUK

KOMODITAS, INKUBATOR & KLASTERKOMODITAS, INKUBATOR & KLASTER

•• PELEMBAGAAN (2008), TERLEMBAGANYA PELEMBAGAAN (2008), TERLEMBAGANYA

GERAKAN INI DLM SISTEM EKONOMI MASY. GERAKAN INI DLM SISTEM EKONOMI MASY.

416

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

CIRI UTAMACIRI UTAMA

SINGLE ISSUE , SATU KOMODITAS TIAP

KABUPATENKABUPATEN

FOCUS, PADA LOKASI, PETANI, PENGUSAHA/

SWASTA, PEMERINTAH, SERTA JELAS

TARGET PRODUK AKHIR

CLEAR, JELAS PROSES DARI HULU SAMPAI HILIR ,

(BUDIDAYA, PROCESSING, MARKETING)

MENDORONG KETERLIBATAN INDUSTRI DAN

PERBANKAN

PENDEKATANPENDEKATANTERPADU,

KEGIATAN HULU HILIR,

INSTITUSI,

PEMBIAYAAN,

FOKUS,

PENGEMBANGAN KOMODITI UNGGULAN TERTENTU,

USAHA SKALA KECIL, MENENGAH DAN MIKRO,

WILAYAH INKUBATOR DAN KLASTER,

KEGIATAN & SASARAN SESUAI BUSINESS PLAN,

TERUKUR,

KUANTITAS DAN KUALITAS PRODUK ,

JUMLAH UMKM YG TERFASILITASI ,

TENAGA KERJA YG TERSERAP,

DISTRIBUSI DAN PEMUPUKAN MODAL

417

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

PIHAK YANG TERLIBAT PIHAK YANG TERLIBAT

(STAKEHOLDER)(STAKEHOLDER)

PIHAK-PIHAK YG TERLIBAT & PERANANNYA :

1. PEMERINTAH PROPINSI :– PENJAMIN DENGAN MELETAKKAN “STANDING BUDGET” DI

BANK TERKAIT– KOORDINATOR KEGIATAN PERENCANAAN, PELAKSANAAN DAN

PENGENDALIAN MELALUI INSTANSI DINAS/BADAN YANG TERKAIT

– TECHNICAL ASSISTANCE– FASILITATOR DAN MEDIATOR PADA STAKEHOLDER – REGULATORREGULATOR

2. PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA :– PENJAMIN DENGAN MELETAKKAN “STANDING BUDGET” DI

BANK TERKAIT– FASILITATOR DAN MEDIATOR PADA STAKEHOLDER UTK

IMPLEMENTASI – REGULATOR

Lanjutan…Lanjutan…

3. PETANI DAN PENGUSAHA UKMK :– PENERIMA DAN PENGELOLA DANA KREDIT

PELAKSANA PRODUKSI– PELAKSANA PRODUKSI– PROSES PENGOLAHAN AWAL

4. PENGUSAHA MENENGAH DAN BESAR :– PENJAMIN PASAR DAN HASIL PRODUKSI– PROSES PENGOLAHAN LANJUTAN– MEMBANGUN SARANA PABRIKASI– MENDORONG SUPLAI SARANA PRODUKSI

5. PERBANKAN :– SUMBER PENDANAAN– FUNGSI INTERMEDIASI– PEMBINAAN ADMINISTRASI KEUANGAN

418

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Lanjutan…Lanjutan…

6. TENAGA AHLI (EXPERT)– MEMBERIKAN JASA KONSULTASI (BIDANG :

KEBIJAKAN DAN TEKNIS) BAGI TIMKEBIJAKAN DAN TEKNIS) BAGI TIM PEMERINTAH PROPINSI DAN KABUPATEN/KOTA DALAM HAL PERENCANAAN, PELAKSANAAN DAN PENGENDALIAN PROGRAM/KEGIATAN

7 LEMBAGA DONOR BERPERAN SEBAGAI7. LEMBAGA DONOR, BERPERAN SEBAGAI :– PENYEDIA FASILITAS PENDUKUNG– MEMBERIKAN BANTUAN TEKNIS

(TECHNICAL ASISSTANT)

PENANGANAN KOMODITASPENANGANAN KOMODITAS1.1. SUTRA ALAMSUTRA ALAM

–– WILAYAH : WAJO, SOPPENG, SIDRAP, DAN ENREKANGWILAYAH : WAJO, SOPPENG, SIDRAP, DAN ENREKANG

–– BANK : BANK MANDIRIBANK : BANK MANDIRI

–– INDUSTRI : ASOSIASI PENGUSAHA SUTRA WAJOINDUSTRI : ASOSIASI PENGUSAHA SUTRA WAJO

11 KELAPAKELAPA1.1. KELAPA KELAPA –– WILAYAH : PINRANG, BONE, DAN BULUKUMBAWILAYAH : PINRANG, BONE, DAN BULUKUMBA

–– BANK : BPD SULSELBANK : BPD SULSEL

–– INDUSTRI : PT. TANJUNG COCONUT BERSINARINDUSTRI : PT. TANJUNG COCONUT BERSINAR

1.1. RUMPUT LAUTRUMPUT LAUT–– WILAYAH : TAKALARWILAYAH : TAKALAR

–– BANK : BUKOPIN DAN KOPERASI MACCINI BAJI (POLA BANK : BUKOPIN DAN KOPERASI MACCINI BAJI (POLA

SWAMITRA)SWAMITRA)

–– INDUSTRI : PT. BANTIMURUNG INDAH DAN PT GIWANGINDUSTRI : PT. BANTIMURUNG INDAH DAN PT GIWANG

1.1. GARAM GARAM –– WILAYAH : JENEPONTOWILAYAH : JENEPONTO

–– BANK : BUKOPIN DAN KOP. MEKAR GARAM (POLA SWAMITRA)BANK : BUKOPIN DAN KOP. MEKAR GARAM (POLA SWAMITRA)

–– INDUSTR I: PT. EKA SARI LESTARI INDUSTR I: PT. EKA SARI LESTARI

419

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

PENANGANAN KOMODITAS LANJUTAN

1.1. JAGUNGJAGUNG–– WILAYAH: BANTAENGWILAYAH: BANTAENG

–– BANK: BRI CAB. BANTAENGBANK: BRI CAB. BANTAENG

–– INDUSTRI: PT. JAFPA, PT. CHAROEM, DAN PT. CHARGILLINDUSTRI: PT. JAFPA, PT. CHAROEM, DAN PT. CHARGILL

2. KAKAO 2. KAKAO –– WILAYAH: LUWU DAN PINRANGWILAYAH: LUWU DAN PINRANG

–– BANK: BRI CAB LUWU DAN CAB PINRANGBANK: BRI CAB LUWU DAN CAB PINRANG

–– INDUSTRI:INDUSTRI:

3.3. KOPI KOPI –– WLAYAH: ENREKANG DAN TATORWLAYAH: ENREKANG DAN TATOR

–– BANK: BRI CAB ENREKANG DAN CAB TATORBANK: BRI CAB ENREKANG DAN CAB TATOR

–– INDUSTRI: PT. MEGAH PUTRA SEJAHTERAINDUSTRI: PT. MEGAH PUTRA SEJAHTERA

4. 4. SAPI PERAH SAPI PERAH –– WILAYAH: SINJAIWILAYAH: SINJAI

–– BANK: BRI CAB. SINJAIBANK: BRI CAB. SINJAI

–– INDUSTRI: PABRIK SUSU CV. CITRA NASIONALINDUSTRI: PABRIK SUSU CV. CITRA NASIONAL

PENANGANAN KOMODITAS (LANJUTAN)PENANGANAN KOMODITAS (LANJUTAN)

5. 5. SOUVENIRSOUVENIR

WILAYAH: MAKASSARWILAYAH: MAKASSAR–– WILAYAH: MAKASSARWILAYAH: MAKASSAR

–– BANK: BANK:

–– INDUSTRI: ASOSIASI PENGUSAHA MARKISAINDUSTRI: ASOSIASI PENGUSAHA MARKISA

6. 6. LEBAH MADULEBAH MADU

–– WILAYAH: MAROSWILAYAH: MAROS

–– BANK: BPD SULSELBANK: BPD SULSEL

–– INDUSTRI: PT. BEE TOBAINDUSTRI: PT. BEE TOBA

420

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

ALUR PIKIR ALUR PIKIR

GERBANG EMASGERBANG EMAS

•Pengolahan Garam

•Tenun Kain Sutra Polos

•Pengolahan Produk Kelapa

•Pengolahan Rumput Laut

DEFINISI /ITEM

& SASARA

N CLEAR

HULU-HILIR-Budidaya-Pengolahan-Pemasaran

- Institusi- SDM- Teknologi- Regulasi- Investasi- Pemda- Perbankan- UMKM

CAKUPAN PENDEKATAN

PROGRAM- ERPADU- FOKUS- ERUKUR

INDUSTRI

PABRIKASI

KONSEP

DAN ACTIO

N PLAN

•Harmonisasi Peran•Brand Image

Komoditi Unggulan•Penyerapan Tenaga

Kerja•Peningka

tan

HASIL YG DIHARAPKAN

SARANA DAN

PELAKUIMPLEMENTASI

TARGET PENCAPAIN

TAHAP I

CIRI UTAMA

tan Income

MasyarakatUMPAN BALIK

MONEV

IMPLEMENTASIIMPLEMENTASI

PENYUSUNAN :

•RENCANA TINDAK

•RENCANA PENGEMBANGAN USAHA

•CASH FLOW

INDUSTRIINDUSTRI

PABRIKASI

421

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

RENCANA GERBANG EMAS KEDEPAN KHUSUS RENCANA GERBANG EMAS KEDEPAN KHUSUS TENTANG IMPLEMENTASI SERTIFIKASI MASSAL TENTANG IMPLEMENTASI SERTIFIKASI MASSAL

SWADAYA (SMS)SWADAYA (SMS)

PENGERTIAN:PENGERTIAN:Sertifikasi Massal Swadaya (SMS) adalah program Sertifikasi Massal Swadaya (SMS) adalah program

pemberian sertifikat kepada masyarakat secara pemberian sertifikat kepada masyarakat secara

kelompok atau massal, Program SMS ini berupaya kelompok atau massal, Program SMS ini berupaya

untuk memberdayakan masyarakat dan petani dalam hal untuk memberdayakan masyarakat dan petani dalam hal y y py y p

pemilikan lahan guna mendukung terwujudnya pemilikan lahan guna mendukung terwujudnya

pemilikan sertifikat atas tanah milik atau lahan garapan pemilikan sertifikat atas tanah milik atau lahan garapan

petanipetani..

MaksudMaksud Dan Dan TujuanTujuan

•• M a k s u d :M a k s u d :11 MewujudkanMewujudkan caturcatur tertibtertib pertanahanpertanahan yangyang1.1. MewujudkanMewujudkan caturcatur tertibtertib pertanahanpertanahan yangyang

meliputimeliputi tertibtertib administrasiadministrasi,, tertibtertib hukumhukum,, tertibtertibpenggunaanpenggunaan,, tertibtertib pemilikanpemilikan dandan tertibtertiblingkunganlingkungan hiduphidup

2.2. TerwujudnyaTerwujudnya peningkatanpeningkatan penghasilanpenghasilan daerahdaerahmelaluimelalui pajakpajakmelaluimelalui pajakpajak

3.3. TerwujudnyaTerwujudnya pemerataanpemerataan pemilikanpemilikan sertifikatsertifikathakhak atasatas tanahtanah antaraantara golongangolongan yangyang tidaktidakmampumampu dandan yangyang mampumampu

422

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

1.1. Terciptanya ketenangan dalam menempati / Terciptanya ketenangan dalam menempati / mengolah / menggarap tanah atas kejelasan status mengolah / menggarap tanah atas kejelasan status dan kepastian hukumnya.dan kepastian hukumnya.

Tujuan

p yp y

2.2. MengurangiMengurangi birokrasibirokrasi pengurusanpengurusan hakhak atasatas tanahtanahyangyang berbelitberbelit--belitbelit sekaligussekaligus menghilangkanmenghilangkan praktekpraktekpercaloanpercaloan

3.3. MengurangiMengurangi bebanbeban biayabiaya masyarakatmasyarakat dalamdalampengurusanpengurusan sertifikatsertifikat dengandengan menggunakanmenggunakan fasilitasfasilitaskreditkredit..

4.4. SebagaiSebagai alatalat penjaminanpenjaminan dalamdalam mengaksesmengakses keke bankbanksebagaisebagai persyaratanpersyaratan dalamdalam pengambilanpengambilan kreditkreditutamanyautamanya untukuntuk UKMUKM yangyang selamaselama iniini terbenturterbenturdalamdalam halhal jaminanjaminan..

SASARANSASARAN ::

11 M b ikM b ik k d hk d h b ib i kk1.1. MemberikanMemberikan kemudahankemudahan bagibagi masyarakatmasyarakat

petanipetani dalamdalam memperolehmemperoleh dukungandukungan kreditkredit

perbankanperbankan

2.2. MewujudkanMewujudkan tertibtertib pertanahanpertanahan dalamdalam

mendukungmendukung peningkatanpeningkatan penghasilanpenghasilan Daerah Daerah gg p gp g p gp g

melaluimelalui pendapatanpendapatan pajakpajak

423

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

LangkahLangkah KegiatanKegiatan Program Program SMSSMS

Sosialisasi

Inventarisasi KelengkapanInventarisasi KelengkapanPersyaratan Administrasi

Pengukuran / PenerbitanSertifikat

Pembentukan Kelompok Masyarakat

Pemberian Fasilitas Kredit

PihakPihak Yang Yang TerkaitTerkait

Pemerintah DaerahPemerintah Daerah Kabupaten Maros

Kantor BPNKabupaten Maros

PT. Bank SulselM O U

Cabang Maros

Konsultan KeuanganMitra Bank (KKMB)

424

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

KeuntunganKeuntungan Program SMSProgram SMS•• B a n kB a n k1.1. MerupakanMerupakan PendapatanPendapatan

•• MasyarakatMasyarakat

1.1. PengurusanPengurusan sertifikatsertifikat lebihlebihpp ppBankBank

2.2. SebagaiSebagai alatalat dalamdalamsosialisasikansosialisasikan bank bank kepadakepada masyarakatmasyarakat

ggmurahmurah, , mudahmudah dandan tidaktidakberbelitberbelit--belitbelit

2.2. PembelajaranPembelajaran kepadakepadamasyarakatmasyarakat bagaimanabagaimanaberhubunganberhubungan dengandengan bankbank

3.3. AdanyaAdanya kepastiankepastian hukumhukum3.3. AdanyaAdanya kepastiankepastian hukumhukumatasatas kepemilikankepemilikan tanahtanah

4.4. MeningkatkanMeningkatkan nilainilai jualjual5.5. SebagaiSebagai alatalat penjaminanpenjaminan

dalamdalam pengambilanpengambilan kreditkredit..

425

* Mardjan Ustha (Direktur SDM PTPN V).

426

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

427

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

428

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Cata

tan

Penyu

ntin

g:

Mate

rim

engenai“

refo

rma

agra

ria

ala

Sia

k” in

ituru

tdip

rese

nta

sika

npada

Sim

posi

um

Agra

ria

Na

sio

na

lIII

ole

hM

ard

jan

Ust

ha

sala

hsa

tuD

irekt

ur

PT

PN

VM

engin

gatbahan

pre

senta

siN

asi

on

alI

II o

leh

Mard

jan

Ust

ha

, sa

lah

satu

Direkt

ur

PT

PN

V.

Mengin

gatbahan

pre

senta

si

ters

ebutsu

dah

tidak

dik

ete

muka

nla

gi,

maka

report

asi

dih

arian

Jurn

as

inid

itam

pilk

an

sebagai

ganti.

Report

ase

inid

iterb

itkan

diH

arian

Jurn

as

pada

tanggal2

6 D

ese

mber

2006.

BaBaBaBaBagiagiagiagiagian III: SIMPOSIUn III: SIMPOSIUn III: SIMPOSIUn III: SIMPOSIUn III: SIMPOSIUM JM JM JM JM JAKARAKARAKARAKARAKARTTTTTA, 12 Desember 2006A, 12 Desember 2006A, 12 Desember 2006A, 12 Desember 2006A, 12 Desember 2006

“REVIT“REVIT“REVIT“REVIT“REVITALISALISALISALISALISASI KELEMBASI KELEMBASI KELEMBASI KELEMBASI KELEMBAAAAAGGGGGAAN UAAN UAAN UAAN UAAN UNTUKNTUKNTUKNTUKNTUK

PELAKSPELAKSPELAKSPELAKSPELAKSANANANANANAAN PRAAN PRAAN PRAAN PRAAN PROGRAM PEMBOGRAM PEMBOGRAM PEMBOGRAM PEMBOGRAM PEMBARARARARARUUUUUANANANANAN

AAAAAGRARIA NGRARIA NGRARIA NGRARIA NGRARIA NASIASIASIASIASIOOOOONNNNNAL”AL”AL”AL”AL”

431

KERANGKA ACUAN KHUSUS

Simposium Agraria Nasional Ketiga“Revitalisasi Kelembagaan untuk Pelaksanaan

Pembaruan Agraria”Jakarta, 6 Desember 2006

A. Latar Belakang

Seperti kita ketahui, perubahan paradigma politik danpembangunan sejak dekade 1970-an lebih diarahkan padakebijakan makro eko-nomi dan stabilitas politik untukmengejar pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya.Pada saat yang sama, program-program pelaksanaan pemba-ruan agraria (yang oleh UUPA ditempatkan sebagai prasyaratfundamental bagi pembangunan ekonomi dan proses indus-trialisasi nasional) tidak lagi diposisikan sebagai variabelpenentu dalam proses perencanaan pembangunan nasional.Lambat namun pasti, hal ini telah mengakibatkan kondisiketimpangan struktural dalam penguasaan dan pemilikansumber-sumber agraria terus berlanjut dan bahkan semakinmenajam. Di samping itu, ia juga melahirkan komplikasitambahan terhadap persoalan agraria nasional, baik secara

432

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

politis, yuridis, kelembagaan, sosial, ekonomi, maupun ling-kungan dan ekologis.

Adanya komplikasi dan konstelasi seperti dipaparkandi atas telah melahirkan beberapa problematika yang harusdigulati bangsa ini. Pertama adalah kesenjangan antara cita-cita kemerdekaan di bidang agraria dengan agenda politikagraria nasional yang ada. Kedua, kesenjangan antara impe-ratif pelaksanaan pembaruan agraria (baik yang berasal darituntutan cita-cita kemerdekaan, nilai-nilai luhur kebangsaandan konstitusi maupun tuntutan dari kenyataan di lapangan)dengan perangkat hukum, kebijakan dan kelembagaan yangada untuk pelaksanaannya. Ketiga, kesenjangan antaramerebaknya konflik agraria dan inisiatif penataan agrariadi aras lokal dengan kemauan pemerintah untuk menanga-ninya secara terpadu menurut jiwa dan semangat UUPA.Keempat, kesenjangan di dalam desain perencanaan pem-bangunan nasional yang dapat mendukung revitalisasi perta-nian dan industrialisasi pedesaan dalam arti luas.

Dengan demikian, komplikasi di atas dan aneka dam-pak yang ditimbulkannya telah menciptakan ancaman men-dasar bagi keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebang-saan dan kenegaraan kita sehingga upaya penanganan danpenyelesaiannya secara komprehensif menjadi sebuahimperatif tersendiri. Hal ini tentu bukanlah hal yang mudahsama sekali. Ia menuntut adanya upaya kolektif untukmengembangkan pemikiran kritis dan terobosan kebijakanalternatif dalam menangani dan memecahkan persoalanmendasar ini. Selain itu, kesepahaman dan kerjasama yangbaik di antara semua komponen bangsa mutlak diperlukan.

Dalam rangka menggalang ini semua, maka penye-

433

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

lenggaraan seri Simposium Agraria Nasional dalam rangkakegiatan Bulan Bhakti Agraria Tahun 2006 memiliki nilaipenting tersendiri. Melalui seri Simposium ini diharapkandilahirkan berbagai rumusan pemikiran kritis, terobosankebijakan, dan langkah-langkah strategis yang dapat menjadimasukan bagi pemerintah di dalam menjalankan agendapembaruan agraria. Hal ini sejalan dengan komitmen pucukpimpinan nasional sendiri yang telah menetapkan programreforma agraria dalam visi dan misi pemerintahannya. Pro-gram ini diletakkan dalam dua konteks, yakni sebagai bagianprogram “agenda perbaikan dan penciptaan kesempatan ker-ja” dan “agenda revitalisasi pertanian dan aktivitas pedesa-an”. Bahkan beberapa waktu lalu Presiden SBY telah menca-nangkan untuk mengalokasikan lahan seluas 8,1 juta hektaruntuk diredistribusikan kepada rakyat sebagai bagian pro-gram penciptaan lapangan kerja dan penanggulangan kemis-kinan.

B. Kerangka Acuan Khusus untuk Simposium Ketiga

Setelah Simposium Pertama dan Kedua diselengga-rakan berturut-turut di Medan dan Makassar pada bulanNovember 2006, maka Simposium Ketiga sebagai Simpo-sium penutup akan diselenggarakan di ibukota Jakarta. Da-lam Simposium Pertama di Medan telah dibahas dan diru-muskan landasan-landasan politik, hukum, sosial danekonomi untuk pelaksanaan program pembaruan agrarianasional. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan Sim-posium Kedua di Makassar dengan topik yang lebihoperasional, yaitu mengenai strategi implementasi programpembaruan agraria nasional.

434

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Bertolak dari dua Simposium ini, Simposium Ketiga diJakarta akan mengkaji dan mendiskusikan topik yang tidakkurang pentingnya, yaitu menyangkut kerangka kelemba-gaan untuk pelaksanaan program pembaruan agrarianasional. Di sini akan dibicarakan soal penguatan kelem-bagaan dan kewenangan organisasi pelaksanaan pembaruanagraria dalam berbagai dimensinya serta sinerginya dengansektor-sektor terkait.

Beberapa pokok pertanyaan yang akan dibahas dandikaji dalam Simposium Ketiga ini di antaranya sebagaiberikut:(1) Telaah mengenai urgensi revitalisasi kelembagaan agra-

ria untuk pelaksanaan pembaruan agraria;(2) Telaah mengenai kerangka politik dan kebijakan

(nasional dan lintas sektoral) untuk penerapan pem-baruan agraria;

(3) Telaah mengenai kerangka politik dan kebijakan pem-baruan agraria dalam konteks otonomi dae-rah;

(4) Telaah mengenai kerangka kebijakan ekonomi untukmendukung penerapan pembaruan agraria;

(5) Peran institusi pendidikan keagrariaan dalam pelaksa-naan program pembaruan agraria nasional;

(6) Telaah mengenai delivery system dalam pembaruan asetdan akses terhadap sumber-sumber agraria.

C. Pelaksana Kegiatan

Kegiatan Simposium Agraria Nasional yang ketiga inisecara teknis-operasional dilaksanakan oleh jajaran KanwilBPN RI Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan dari sisi substansidi bawah tanggung jawab Panitia Pusat Bulan Bhakti Agraria

435

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Tahun 2006 BPN RI yang didukung oleh Brighten Insti-tute, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) danKonsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

D. Waktu dan Tempat Kegiatan

Simposium Agraria Nasional yang kedua ini dilak-sanakan pada hari hari Rabu, 6 Desember 2006 di Jakarta.

436

SAMBUTAN

Kepala Badan Pertanahan NasionalRepublik Indonesia Pada Simposium Agraria

Nasional KetigaJakarta, 12 Desember 2006

BismillahirrahmanirrahimAssalamu ‘Alaikum Wr. Wb.Yang saya hormati Wakil Gubernur DKI Jakarta Bapak

Fauzi Wibowo, yang saya hormati Guru-guru Besar yanghari ini bersama kita. Kerabat saya para aktivis, kerabatsaya para pemikir. Saudara-saudara saya kelompok gerakanSerikat-serikat Petani, Gerakan-gerakan Agraria, PPAT,Notaris dan semua pihak yang hari ini hadir bersama kita.

Tentu kita bersyukur kepada Allah karena pada hari inikita bisa berkumpul bersama-sama untuk mencoba meref-leksikan diri kita, menata diri kita, menyiapkan diri kitauntuk melakukan suatu langkah besar yang merupakan kerjabersama setiap komponen bangsa yaitu gerakan pembaruanagraria nasional atau reforma agraria.

Yang kita lakukan hari ini merupakan rangkaian ke-giatan yang sudah kita lakukan mulai September yang lalu.

437

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Dan saya telah berbicara di berbagai tempat untuk menyam-paikan gagasan-gagasan penting yang berkaitan denganreforma agraria ini. Tetapi saya tahu, pada hari ini tidaksemua yang hadir di sini ikut di dalam kegiatan-kegiatanyang telah kita lakukan sejak September.

Karena itu, izinkan saya menyampaikan sedikit sajaaspek globalnya, kenapa pemerintah, Bapak Presiden, men-canangkan gerakan pembaruan agraria nasional. Dan beliaumemutuskan akan beliau pimpin sendiri melalui BadanPertanahan Nasional Republik Indonesia. Ada mandatkonstitusi dan ada mandat Undang-Undang yaitu pasal 33ayat (3) yang diturunkan dari Pembukaan Undang-UndangDasar 1945. Ada Undang-Undang Pokok Agraria, ada TAPMPR No. IX Tahun 2001, ada Perpres No. 10 Tahun 2006yang di sana secara jelas mengharuskan setelah lahirnyaUndang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 negara berke-wajiban untuk menyelenggarakan reforma agraria.

Di dalam perjalanannya memang masih belum sepertiyang kita harapkan. Oleh karena itu, pada saat Bapak Presi-den menjadi Menko Polkan pada tahun 2000, gagasanmengenai reforma agraria ini telah beliau bahas secara men-dalam di dalam kaitannya dengan tataran yang beliau pikir-kan mengenai revitalisasi pertanian dan revitalisasi pedesaansebagai suatu keharusan, untuk mengembangkan kehidupanmasyarakat pedesaan dan di pertanian, sedemikian rupauntuk kesejahteraan perkotaan menjadi sedemikian baik.Itu pertama, yakni tataran normatif.

Selanjutnya, dalam sejarah Republik Indonesia, teruta-ma sejak Bung Karno menyatakan bahwa kita menjalankanReforma Agraria pada bulan Agustus Tahun 1960 dan diikuti

438

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dengan keluarnya UUPA bulan September, baru 1,15 jutahektar tanah yang dikuasai negara yang diberikan kepadamasyarakat melalui mekanisme redistribusi. Dan ternyatakajian kita juga menunjukkan bahwa mereka yang menerimaredistribusi ini tidak senantiasa kesejahteraannya mening-kat, kehidupannya membaik karena ada persoalan-perso-alan lain yang tidak menjadi pertimbangan dari proses redis-tribusi ini, yaitu terbukanya akses bagi masyarakat setelahpunya tanah bagaimana mereka bisa memanfaatkan diri danmengkaitkan dengan sumber-sumber ekonomi yang lain,termasuk pembiayaan teknologi dan seterusnya. Bahkanyang menarik adalah penerima redistribusi ini banyak yangjustru kesejahteraannya turun oleh karena setelah merekamemperoleh redistribusi itu, tanahnya dijual atau justrudikondisikan sebelumnya untuk terpaksa dijual yang kitatidak boleh menghalangi hal ini. Inilah tataran kedua, yaknirealita yang kita hadapi di masyarakat.

Ketiga, kita melihat secara jelas bahwa sengketa dankonflik pertanahan sangat sistematik dan sangat mendasarterjadi di seluruh tanah air ini. Bahkan ketika kita totalkankeseluruhan sengketa dan konflik pertanahan ini, kita telu-suri persoalan-persoalannya dan tipologi persoalan-perso-alannya, dan ketika saya berdiskusi dengan Kapolri—sayatanyakan lebih complicated mana menangani sengketa dankonflik pertanahan yang terjadi di seluruh Indonesia inidibanding dengan illegal logging? Beliau mengatakan, perso-alan pertanahan lebih complicated. Dan kita juga tahu, danini hampir menjadi jargon yang cukup lama yang kita gu-nakan, bahwa realitas yang kita hadapi adalah adanya ketim-pangan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemi-

439

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

likan tanah di tanah air.Ada di antara kita yang memperoleh hak untuk menge-

lola tanah dalam skala besar, tetapi tidak kita manfaatkan.Tetapi banyak juga sebenarnya warga kita yang untuk men-dapatkan akses mengelola tanah itu tidak tersedia. Ini perso-alan yang sangat mendasar yang kita hadapi. Belum lagiberkaitan dengan persoalan konversi tanah pertanian didaerah-daerah pertanian utama kita. Dan juga berkaitandengan keharusan dan kenyataan hidup bahwa ada transfor-masi ekonomi yang membutuhkan pengadaan tanah danperubahan penggunaan tanah yang sebagaimana tadidisampaikan Pak Fauzi Wibowo demikian mendasarnyapersoalan kita.

Persoalan-persoalan ini kalau kita rangkum secara kese-luruhan, mengharuskan kita untuk melaksanakan dua lang-kah besar. Dan dua langkah besar ini kita kemas dalam satupengertian besar yaitu gerakan pembaruan agraria nasionalatau reforma agraria yaitu: Pertama, menata kembali sistempolitik, sistem hukum pertanahan kita yang notabene kitatahu persoalan-persoalan sengketa pertanahan ini tidak lepasdari dinamika politik yang terjadi di tanah air. Kalau kitamenyadari penuh, isi dari Undang-Undang Pokok Agrariaadalah kita membangun suatu basis hukum pertanahannasional untuk menyelesaikan persoalan-persoalan perta-nahan di tanah air yang tahun 60 dikeluarkan masa transi-sinya 20 tahun sampai tahun 1980. Kenyataannya kemudianjustru dinamika politik membangkitkan kembali persoalan-persoalan pertanahan yang seharusnya sudah selesai padatahun 1980 itu.

Jadi, persoalan hukum sudah tertata, tapi ternyata ada

440

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dinamika politik yang berkembang. Oleh karena itu ke depanmau tidak mau kita harus melakukan penataan sistem hukumdan politik pertanahan ini. Dan ini komitmen BapakPresiden sudah cukup besar, sudah jelas kita menata kembalipolitik dan hukum pertanahan ini dengan acuan yang jelas,yaitu pembukaan Undang-undang dasar 1945. Nilaitertinggi yang dituju adalah mewujudkan keadilan sosial bagiseluruh rakyat Indonesia dengan acuan Pasal 33 ayat 3, TAPMPR No. IX Tahun 2001 dan peraturan pelaksana yanglain sebagai acuan nilai. Dan itu sebagai langkah pertamayang harus kita laksanakan secara sistematis. Dan tentu iniadalah gerak bersama, gerak seluruh komponen bangsa.Tidak bisa pemerintah daerah saja, tidak bisa pemerintahpusat saja, apalagi hanya BPN saja. Ini adalah gerak bersamabangsa.

Oleh karena itu, empat acuan ini, sebagaimana BapakIbu ketahui, sudah menghabiskan waktu, pikiran untukmemastikan bahwa program ini adalah program bersama,programnya seluruh rakyat Indonesia. Dan saya tidak tahubagaimana komunikasi, bagaimana reformasi agraria digedung yang demikian mewah. Tetapi saya juga mengajakteman-teman saya petani Lampung. Paling tidak, bisa bersa-ma-sama saya dan Bapak Fauzi Wibowo berada dalam ru-angan yang demikian bagus.

Tadi langkah pertama adalah penataan sistem politikdan hukum. Langkah yang kedua adalah menyelenggarakanreforma agraria itu sendiri. Presiden telah memanggil Mente-ri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala BPN RI untukmemastikan reforma agraria dijalankan secara baik danPresiden memerintahkan mengalokasikan 8,15 juta hektar

441

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

untuk menata gerak dari reforma agraria nasional ini.Kita sekarang sistem politiknya jelas, semangatnya jelas,

keinginannya jelas, cita-citanya jelas, sekarang ini subyekdari reforma agrarianya jelas, keberadaannya di mana jelas,tanahnya, obyeknya hukumnya jelas ada, yang tidak senan-tiasa bertumpuk dalam satu lokasi. Pertanyaannya adalahbagaimana kita menjalankan semua ini. Ini adalah tantangandari simposium terakhir ini sebagai rangkaian simposiumreforma agraria. Dan bagian terakhir dari keseluruhan rang-kaian ini kita memikirkan bagaimana mekanisme kelem-bagaan dan pelembagaan dari reforma agraria ini, sekaligusbagaimana sistemnya sehingga semua menerima dari limatujuan reforma agraria yang telah disampaikan ketua panitianasional tadi. Jadi begitu menyatakan bahwa kegunaan man-faat dari program ini sistem, bukan proyeknya yang sistem,bukan programnya yang sistem, tapi kegunaannya untukrakyat yaitu sistem untuk mencapai 5 tujuan besar yangtelah disampaikan.

Program gerakan reforma agraria pada 8,15 juta hektaritu luas; kurang lebih 140 kali luasan Singapura. Dan ituhal besar. Karena hal besar, maka seluruh komponen bangsaharus bergerak bersama-sama. Dan kita semua harus mem-buka diri, pikiran, hati dan gerak karena tidak ada di antarakita yang punya pengalaman ini, keilmuan kita punya. Ayosekarang kita jalankan konsensus untuk menemukan bentukterbaik dari kelembagaan dan pelembagaan dari reformaagraria ini.

Ibu Bapak sekalian, saya memang agak semangat kalauketemu mic, nanti saya bisa ngomong terlalu panjang. Sayaingin mengucapkan selamat untuk melaksanakan simpo-

442

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

sium hari ini dan saya sangat-sangat berbahagia karena nantiyang berbicara hari ini sebagian besar adalah sahabat-sahabatsaya dari pemikir. Di sini ada Dr. Bustanul Arifin, ini temansatu kamar, tetapi perkembangannya jauh lebih bagus;abang-abang saya, Bang Jakfar di sini; ada profesor-profesoryang sangat saya banggakan, ada Prof. Budi, ada Prof. Ari,ada Prof. Tjondro dan banyak sekali Guru-guru Besar, yangmendidik saya secara langsung atau tidak langsung. Danyang tidak kalah pentingnya dari semua ini, ini semua tidakada artinya nanti setelah desain kayak apapun, kalau PakSofyan dari BRI tidak bersama-sama kita. Beliau alham-dulillah bersama kita hari ini.

Akhirnya, dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirra-him, dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi MahaPenyayang, Tuhan Yang Menguasai alam semesta, TuhanYang Menguasai jiwa-jiwa manusia, secara resmi Simposiumke III Gerakan Pembaruan Agraria Nasional ini secara resmisaya buka.

Wabillahit Taufiq Wal HidayahWassalammu ‘Alaikum Wr. Wb.

URGENSIREVITALISASI KELEMBAGAAN

444

MASALAH AGRARIA DI INDONESIA

Pemilikan tanah yang sempit dan timpang;Konflik pertanahan;Sepanjang 1999-2003 terdapat 5000 masalah sengketa tanah (Kompas, 27 Mei 2003).Inkonsistensi regulasi;Data base dan inventarisasi data pertanahan. Data tahun 2003 hanya 31% tanah di Indonesia yang bersertifikat;Aspek kelembagaan dan kewenangan;

Urgensi Revitalisasi KelembagaanUntuk Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria NasionalPembaruan Agraria Nasional

Disampaikan dalam Simposium Nasional“Pembaruan Agraria untuk Keadilan Sosial, Kemakmuran Bangsa dan Keberlanjutan NKRI”BPN RI, Brighten Institute, STPN, LPPI, dan KPA

Prof. Dr. Gumilar Rusliwa Somantri(Guru Besar Sosiologi FISIP UI)Jakarta, 12 Desember 2006

*) Prof. Dr. Gumilar Rusliwa Somantri, Guru Besar Sosiologi FISIPUI.

445

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

MASALAH AGRARIA DI INDONESIA (cont…)

Pertumbuhan spekulasi tanah dan bentuk-bentuk pengelolaan tanah yang tidak produktif. Hal ini muncul sebagai bentuk investasi yang minim manajerial dan keahlian (Hans Dieter Evers, “Urban Landownership, Ethnicity and Class in Southeast Asian Cities”, International Journal of Urban and Regional Research 8 (4) 1984 hlm 481-496)Regional Research, 8 (4), 1984, hlm. 481-496)Tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran (pedesaan);Rusaknya habitus dan lifeworld; dsb.

NEGARA SEBAGAI HASIL KONSTRUKSI DAN REKONSTRUKSI SOSIAL

Negara adalah entitas yang memuat komitmen yang bersifat abstrak di antara para pendukungnya. Terbentuknya negara adalah hasil kontruksi dan rekonstruksi sosial, termasuk di dalamnya integrasi teritorial, kinship, ekonomi, politik dan kultural. Pemerintah sebagai state agency memiliki tugas untuk menyatukan orang-orang melalui sistem keadilan,menyatukan orang orang melalui sistem keadilan, administrasi dan distribusi kesejahteraan secara proporsional.Kegagalan pemerintah dalam melakukan hal ini, akan mengarahkan pada delegitimasi negara di mata para pendukungnya.

446

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

REFORMA AGRARIA

Reforma Agraria menyangkut proses berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria.

“Gerakan reforma agraria" sebagai usaha, upaya, dan kegiatan yang dilakukan secara kolektif atau bersama, dengan tujuan untuk merombak tata sosial di bidang agraria, karena tata yang ada dianggap tidak adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagiada dianggap tidak adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat (Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, 2000, 196).

Yang Perlu Dihindarkan Dalam Regulasi Reformasi Agraria

Formulasi kebijakan yang bersifat linear dari pemerintah kepada masyarakat;

Formulasi kebijakan yang bersifat parsial;

Penggunaan pendekatan dan instrumen represif dalam implementasi kebijakan.

447

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Yang Perlu Diadopsi Dalam Regulasi Reformasi Agraria

Pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan land consolidation yang bersifat integral dan holistik;Aspek kelangsungan hidup warga negara;Langkah pembangunan sosial pun dapat ditempuh dengan pendekatan empatis people centred socialdengan pendekatan empatis, people centred social development, sehingga partisipasi dan sinergi daya masyarakat dapat diciptakan.

TEROBOSAN REGULASI

Political will serta komitmen politik elit politik nasional untuk melaksanakan landreform;Dikembangkan suatu sistem perekonomian pasar yang melakukan proteksi pada sektor agriculture;Kebijakan Tata Guna Lahan diarahkan untuk tidak mudah berubah menjadi bangunan;Tata Ruang di perkotaan diarahkan untuk dibangunTata Ruang di perkotaan diarahkan untuk dibangun secara vertikal;Efisiensi penggunaan lahan di pedesaan;Menggalakan kembali program transmigrasi yang berkaitan erat dengan pemerataan penduduk.

448

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

MENGAPA REVITALISASI KELEMBAGAAN URGEN?

Melakukan pengkajian ulang aspek yuridis dan regulasi mengenai reforma agraria;Melakukan sinkronisasi dan koordinasi antar sektor;Melakukan penataan landreform yang berkeadilan;Membangun database, inventarisasi dan registrasi tanah secara komprehensif dan sistematik untuk landreform;landreform;Menyelesaikan konflik dan mengantisipasi potensi konflik pertanahan;Daya dukung finansial dan SDM.

REVITALISASI KELEMBAGAAN

Pemerintah tidak perlu membuat lembaga baru;Revitalisasi otoritas, fungsi dan peranan Badan Pertanahan Nasional (BPN RI);BPN sebagai bagian dari eksekutif diberi kewenangan yang lebih besar dalam reformasi agraria Hal ini sejalan dengan amanat TAP MPR RIagraria. Hal ini sejalan dengan amanat TAP MPR RI No IX/ MPR/ 2001Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA yang memberikan tugas kepada Presiden dan DPR untuk mengatur lebih lanjut reformasi agraria;

449

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

REVITALISASI KELEMBAGAAN (cont…)

Peningkatan otoritas BPN menjadi Kementerian Agraria yang setara dengan Kementerian Pertanian atau Kementerian Transmigrasi; Penguatan aparatus negara (state aparatus) g p g ( p )di tingkat bawah yang bersentuhan secara langsung dengan grass-roots (street level bureaucracy). Revitalisasi organ birokrasi kecamatan, kelurahan, desa, penyuluh pertanian, dsb.

REVITALISASI KELEMBAGAAN (cont…)

Daya dukung pemerintah (respon, logistik, tenaga ahli, dsb) atas segala aspek yang berkaitan dengan landreform. Penguatan masyarakat sipil hingga ke tingkat lokal dan pedesaan. Diperlukan kristalisasi belajar bersama antara pemerintah dan masyarakat sipil agar fikiran maju masuk ke desa untuk melakukan t f i i l d k i t itransformasi sosial dan ekonomi serta mengurangi terjadinya involusi pertanian;Dilakukannya penguatan dan updating data base secara komprehensif dan simultan.

450

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

REVITALISASI KELEMBAGAAN (cont…)

Dibangunnya political channelling bagi warga negara yang terkena dampak pembangunan, pemberdayaan yang berbasis ekonomi rumah tangga (household economy);Dibangunnya local financial institution yang menyertakan prinsip pengelolaan mandiri dan kontrol warga masyarakat sendiri.Pembatasan pemilikan tanah oleh pribadi dan penetapan harga pasaran tanah pada area area tertentu yang dibutuhkan bagipasaran tanah pada area-area tertentu yang dibutuhkan bagi proses pembangunan untuk menghindarkan spekulasi tanah (Peter J.M. Nas, “Urban Development and Land Speculation: With Special Reference to Tropical Asia”, Netherlands Review of Development Studies, Vol 3, 1990/ 1991, hlm. 66 )

TERIMA KASIH

451

Urgensi Revitalisasi Kelembagaan

untuk Pelaksanaan Program

Pembaruan Agraria Nasional

Prof. Dr. Bustanul [email protected]

• Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian UNILA

• Dewan Pendiri & Ekonom Senior INDEF-Jakarta

CV Prof. Dr. Bustanul ArifinLahir: Bangkalan, 27 Agustus 1963

Status: Menikah, 1 isteri dan 3 anak

Pendidikan

.Doktor Ekonomi Sumberdaya Alam

Univ. of Wisconsin-Madison (1995)

.Sarjana Agribisnis, IPB-Bogor (1985)

Pekerjaan saat ini

.Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian

Universitas Lampung (1 Sep 2005)

.Dosen Pascasarjana UI dan IPB

.Dewan Pendiri/Komisaris INDEF

.Penasehat Timnas Perunding WTO

(Keputusan Presiden No.28/2005)

Karya Ilmiah

.33 judul buku (12 sbg penulis tunggal)

.61 artikel jurnal atau bab-dalam-buku

.38 makalah di forum internasional

.lebih 200 makalah di forum nasional

.lebih 300 artikel di media massa

Pengabdian saat ini

.Badan Eksekutif ASAE (Asian AgEcon)

.Pakar di Dewan Ketahanan Nasional

.Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan

.Pengurus Pusat ISEI, Perhepi, dll

*) Prof. Dr. Bustanul Arifin,Guru Besar pada Ilmu EkonomiPertanian UNILA, Dewan Pendiri & Ekonomi Senior INDEF.

452

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Falsafah Pembaruan Agraria

• Pembaruan agraria (agrarian reform) adalah keniscayaan

sebuah negara kesejahteraan (welfare state) yang bertujuan

untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya.

• Penguasaan dan pemanfaatan tanah (dan sumber daya alam

lainnya) dilaksanakan dengan prinsip-prinsip keadilan,

kepastian dan perlindungan hukum serta keberlanjutan fungsi

tanah (dan sumber daya alam) sesuai daya dukungnya.

• Pembangunan ekonomi nasional tidak dapat dilepaskan dari

penataan penguasaan dan pemanfaatan tanah dan SDA.

• Pembaruan agraria harus diperlakukan sebagai agenda

nasional yang sangat mendesak. Selain merupakan tugas

pemerintah, pembaruan agraria juga merupakan tugas

lembaga legislatif, lembaga yudikatif, masyarakat madani,

badan usaha swasta, dan lembaga terkait lainnya.

Tiga Lapisan Kelembagaan

• Norma dan Konvensi (norms and conventions)

Keteraturan, nilai-nilai yang berlaku, aturan informal,

ditegakkan oleh keluarga, masyarakat, adat, dsb.

• Aturan Main (working rules)

Lebih banyak formal dan tertulis, walau terdapat kelas.

• Hubungan Kepemilikan (property relations)

Aransemen sosial yang mengatur: (1) individu (atau

kelompok) pemilik, (2) objek nilai bagi pemilik dan orang

lain, (3) orang dan pihak lain yang terlibat.

453

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

What we are dealing with is a complex interrelatedstructure... The institutional structure of the econombe explained by the relative costs of different institarrangements, combined with parties' efforts to keecosts at a minimum. Alongside price formation, theformation of the institutional structure is regarded aintegral step in the process of resource distribution

Ronald Coase (1998) – Nobel Laureate 1991

How do we account for the persistence of poverty in themidst of plenty? If we knew the source of plenty, wdon’t poor countries simply adopt policies that maplenty? … We must create incentives for people toinvest in more efficient technology, increase their and organize efficient markets. Such incentives arembodied in institutions.Douglass North (2000) – Nobel Laureate 1993

Pendekatan Ekonomi Kelembagaan

• Ekonomi Kelembagaan Klasik (1930-an)

Berawal dari pemikiran John R. Commons, Thorstein Veblen,

Wesley Mitchell, Clarence Ayres, etc. yang menyatakan

tegas bahwa kelembagaan bukan hanya suatu konstrain, tapi

merupakan liberasi dalam konteks sekumpulan kepentingan.

• Ekonomi Kelembagaan Baru (NIE)

Ronald Coase, Douglass North, Oliver Williamson, Mancur

Olson, etc. yang mengembangkan prinsip analisis biaya

transaksi, kontrak dan organisasi. Kelembagaan dapat

menjadi suatu solusi “efisien” dalam ekonomi, kompetisi

adalah media untuk mencari organisasi atau aturan yg efisien

454

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Tingkat Politis

(Lembaga Tinggi Negara: DPR, dsb)

Aransemen Kelembagaan

Tingkat Organisasi

(Lembaga Departemen/Non-Departemen)

Aransemen Kelembagaan

Tingkat Operasional

(Individu: Petani, Perusahaan, dsb)

Bentuk dan Pola Interaksi

Hasil Akhir/Akibat

(Kegiatan/Pekerjaan)

Evaluasi (Assessment)

Hierarki Kebijakan Publik: Aransemen Kelembagaan

Pidato Bung Hatta “Ekonomi Indonesia

di Masa Depan”, Februari 1946

• Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-seorang untuk

menindas dan memeras hidup orang banyak;

• Perusahaan yang menggunakan tanah luas sebaiknya diatur

sebagai koperasi di bawah pengawasan pemerintah;

• Menurut hukum adat Indonesia, tanah itu pada dasarnya

adalah milik masyarakat.

• Tanah di luar tanah kediaman hanya boleh dipandang sebagai

faktor produksi saja, dan tidak menjadi “obyek perniagaan”

yang diperjualbelikan semata-mata untuk mencari keuntungan.

• Seharusnya tidak terjadi pertentangan antara masyarakat adat

dan negara, karena negara adalah alat masyarakat untuk

menyempurnakan keselamatan umum.

455

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Gejolak dan Sejarah UUPA 1960

• Pembatalan perjanjian KMB, pengambilan-alihan

perkebunan belanda, menjadi PNP (lalu PTP),

Rencana Kemakmuran Istimewa (RKI) ushatani, dsb.

• UU No. 1/1998: menghapuskan tanah-tanah partikelir;

• Dekrit kembali ke UUD 1945, kembali membahas hasil

panitia ad-hocDPR dengan UGM, muncul Rancangan

Sadjarwo, lalu UU No.5/1960 Pokok-Pokok Agraria;

• Sifatnya masih pokok-pokok, perlu operasionalisasi;

• UU 56/1960: penetapan batas luas tanah pertanian

atau dikenal dengan UU Land-reform.

Kritik terhadap Kebijakan Orde Baru

• Menafikan keberadaan dan pembahasan UUPA

• Beberapa aransemen kelembagaan “meminggirkan”

UUPA (mulai UU 1/1967 ttg Penanaman Modal”

• Transmigrasi dipandang sebagai reforma agraria, dan

desain besar pembangunan pertanian dan pangan;

• Revolusi Hijau mampu menghasilkan “swasembada”,

tetapi ketergantungan terhadap input dan teknologi

baru tidak kompatibel dengan fragmentasi lahan;

• Strategi mirip neo-liberal justru memperburuk akses

lahan dan permodalan oleh sebagian besar petani.

456

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Presiden SBY: Triple-Tracks Strategy

(pro-growth, pro-employment, pro-po)

1. Perbaikan investasi dan ekspor untuk mencapai

pertumbuhan ekonomi > 6.5% per tahun;

2. Peningkatan kapasitas industri untuk menggerakkan

sektor riil dan menyerap tenaga kerja

3. Revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan untuk

mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan

meningkatkan ketahanan pangan;

Perpres 36/2005: dianggap blunder?

Perpres 65/2006: diharapkan kondusif

457

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Kepala BPN: Rakyat yang Utama(Sambutan pada Hari Agraria Nasional 2006)

1. Meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-

sumber bary kemakmuran rakyat;

2. Meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih

berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan,

penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah;

3. Menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan,

dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-

luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber

ekonomi masyarakat;

4. Menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis

dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan

di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yang tidak

lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.

Pelaksanaan Pembaruan Agraria

• Pembaruan Agraria harus dilakukan sesuai dengan

ketentuan UUPA, terutama pada tanah-tanah yang

tidak dapat diperpanjang HGU-nya karena tidak

memenuhi persyaratan yang ditentukan (PP No.

40/1996 ttg HGU, HGB, dan Hak Pakai atas tanah).

• Pelaksanaan pembaruan agraria harus dilengkapi

dengan penguatan perangkat kelembagaan sosial

masyarakat sesuai dengan kearifan lokal, termasuk

pemberdayaan koperasi pertanian dan perdesaan

yang mendukung ekonomi rakyat.

458

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

2% 4% 8%9%

63%

14%

Non Pertanian

Sawah

Lahan Kering

Perkebunan

Hutan

Lain-lain

Pola Tataguna Lahan di Indonesia(Total luas lahan 190.923 juta ha)

Sumber: BPN, 2004

(120,2 juta ha)

Ancaman Alih Fungsi Lahan Sawah

• Tingkat kebutuhan lahan untuk perumahan dan industri

sangat cepat karena pertumbuhan penduduk yang tinggi.

• Estimasi dalam lima tahun terakhir telah berkontribusi pada

konversi lahan sawah sebesar 141 ribu hektar dalam 3 tahun

pada periode 1999-2002 (Data Departemen Pertanian, 2005).

• Estimasi dalam sepuluh tahun terakhir tentang alih fungsi

lahan terakhir telah mencapai 602,4 ribu hektar atau 60 ribu

hektar per tahun (Data Badan Pertanahan Nasional, 2005).

• Bukti kasat mata di lapangan telah banyak menujukkan laju

konversi lahan sawah produktif menjadi kegunaan lain yang

cukup pesat, terutama di daerah penyangga kota-kota besar.

459

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Net PerubahanPertambahanKonversi

-423,857139,302563,159Indonesia (ha)

1981-1999

-141,28646,434187,720Indonesia (ha/th)

+1,593,6493,221,1631,627,514Indonesia (ha)

+88,536178,95490,417Indonesia (ha/th)

1999-2002

-107,48218,024167,150Jawa (ha)

-274,732121,278396,009Luar Jawa (ha)

+2,077,4802,702,939625,459 Luar Jawa (ha)

-483,831518,2241,002,055 Jawa (ha)

Laju Konversi Lahan Sawah: Membahayakan

Sawah Dijual: Semakin mudah dijumpai

460

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Ketentuan Larangan Alih Fungsi Lahan• Keppres 53/1989 jo. Keppres 33/1990 jo. Keppres 98/1998: melarang alih

fungsi tanah pertanian subur untuk kawasan industri.

• SE MNA/KBPN 410-1851 (1994): tidak mengalihfungsikan sawah irigasi

teknis dalam RTRW; alih fungsi agar dikoordinasikan dengan BKTRN.

• SE MNA/KBPN 410-2261 (1994): Izin Lokasi tidak diberikan pada sawah

irigasi teknis; membantu penyusunan RTRW agar melindungi sawah irigasi.

• SE MNA/KBPN 460-1594 (1996): melarang pengeringan sawah irigasi.

• SE MenPPN/KaBAPPENAS 5334/MK/9/1994: pencegahan konversi sawah

irigasi; Izin Lokasi yang terlanjur diberikan dibatasi dan tidak diperpanjang.

• SE MenPPN/KaBAPPENAS 5335/MK/9/1994: melarang alih fungsi dalam

RTRW serta merevisi RTRW yang merubah sawah irigasi teknis.

• SE MenPPN/KaBAPPENAS 5417/MK/10/1994: Menpera mengarahkan

perumahan pada tanah Izin Lokasi dan menghindari sawah irigasi teknis.

• SE Mendagri No. 474/4263/SJ (1994): Gubernur agar mempertahankan

sawah irigasi teknis; RTRW yang mengalihfungsikan sawah agar direvisi.

Revitalisasi Kelembagaan: Prioritas

• Pada kasus alih fungsi lahan, revitalisasi kelembagaan

dapat dimulai dari peraturan perundangan (aransemen

kelembagaan) yang mengikat dengan sanksi yang tegas;

• Operasionalisasi: Sistem insentif (dan disinsentif) bagi

pemilik tanah dan Pemda setempat, RTRW dan ijin

lokasi, dana dekonsentrasi untuk merangsang (dan

melindungi) tanah pertanian, terutama sawah beririgasi

• Gagasan “Komisi Pengendali Tanah Sawah” di tingkat

nasional, provinsi & kabupaten/kota, perlu direalisasikan.

• Analogi yang sama: untuk pelaksanaan pemberian

sertifikasi lahan milik bagi petani kecil dan buruh tani (?)

461

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Pasca Sertifikasi Lahan….

• Pemberian sertifikasi lahan perlu dilihat sebagai langkah

awal dari rangkaian proses pembaruan agraria;

• Dalam istilah ekonomi, proses berikutnya adalah pada

peningkatan skala ekonomi petani. Oleh karena itu,

akses dan dukungan pembiayaan usaha (terutama

pertanian), teknologi baru, informasi kesesuaian lahan,

pendidikan petani, akses pemasaran dan sebagainya.

• Penguatan kelembagaan internal BPN (dan instansi lain)

perlu diarahkan untuk mampu melakukan pemantauan

berlapis pasca sertifikasi, untuk mengurangi dampak

spekulasi tanah, yang dapat menjadi kontra produktif.

Peningkatan Produktivitas & Daya Saing

• Langkah berikutnya adalah peningkatan pemahaman

teknologi produksi & quality control, terutama untuk

usaha kecil-menengah di luar sektor pertanian.

• Penguasaan sisi marketing, informasi pasar, produk,

standarisasi, produk yang dikehendaki pasar, dll;

• Kualitas SDM, termasuk in-house training, lembaga

yang mampu menyediakan training berkualitas, atau

dana khusus untuk pengembangan SDM tersebut;

• Kemampuan manajerial, peraturan perpajakan,

prosedur ekspor, informasi industri pendukung, dsb.

KERANGKA ACUANREVITALISASI KELEMBAGAAN

464

PERENCANAAN PEMBANGUNANEKONOMI NASIONAL UNTUK

MENDUKUNG PELAKSANAAN PROGRAMPEMBARUAN AGRARIA NASIONAL

Bambang Prijambodo*

Sebelum membahas fungsi perencanaan secara lebihrinci, ada beberapa butir pokok yang perlu kami sampaikanmengenai peranan tanah dalam pengertian yang lebih men-dalam termasuk yang diamanatkan oleh UUD 1945.

Pertama, pasal 33 UUD 1945 ayat (3) mengamanatkanbahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuksebesar-besar kemakmuran rakyat. Pengertian ini sangatmendalam karena bumi, air, dan kekayaan alam yang ter-kandung di dalamnya adalah pokok-pokok kemakmuranrakyat. Setiap jengkal tanah, sebagai satu kesatuan tanahair, harus diupayakan dapat memberikan kesejahteraan,kemakmuran, dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

*) Bambang Prijambodo, Direktur Perencanaan Makro, KementerianPerencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

465

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Kedua, hubungan tanah dan bangsa adalah satu kesa-tuan yang tidak terpisahkan. Wilayah Indonesia yangmembentang dari 94Ú58¢21" BT sampai dengan141Ú00¢00" BT dan 06Ú04¢30" LU sampai dengan11Ú00¢36" LS memberikan posisi geo-politik dan geo-ekonomi yang sangat penting baik untuk saat ini maupunmendatang.

Geografi Indonesia membentang dari Barat ke Timursepanjang 5.110 km dan membujur dari Utara ke Selatansepanjang 1.888 km dengan luas wilayah seluruhnyamencapai 5.193.252 km2 yang terdiri dari 1.890.754 km2daratan dan 3.302.498 km2 lautan dengan panjang garispantai 108.000 km. Dari sisi teritorial, pergeseran darikoordinat kedaulatan negara dapat mengganggu eksistensibangsa. Yang dengan demikian juga mempengaruhi kemam-puan negara untuk memberi kemakmuran kepada rakyat.Intinya potensi geografi yang luas ini harus dijaga kedau-latannya untuk kepentingan bangsa Indonesia.

Tantangan Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah

Dari sudut pandang pembangunan ekonomi, potensigeografi yang sangat besar dengan tanah yang demikian luasbelum dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan dankemakmuran rakyat. Bahkan terdapat kecenderungan me-ningkatnya kerumitan yang dapat mengganggu upaya untukmemanfaatkan tanah bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Tantangan ekonomi dalam penggunaan dan peman-faatan lahan nasional adalah mengantisipasi secara cepataglomerasi ekonomi yang terus berlangsung di Jawa. Kecen-derungan ini bahkan terus berlangsung setelah reformasi.

466

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Sensus Ekonomi Tahun 2006 memberikan gambaran sekitar63,8 persen kegiatan ekonomi berpusat di Jawa yang hanyamempunyai luas sebagian kecil dari seluruh daratan Indo-nesia dengan industri pengolahan sebesar 66,7 persen. HasilSensus Ekonomi tahun 2006 dapat dilihat pada tabel berikutini.

Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Padatahun 2005, PDRB Jawa dan Bali menyumbang sekitar 60,6persen, lebih tinggi dibandingkan tahun 2000 (60,1 persen)dan bahkan lebih tinggi dibandingkan tahun 1985 (56,0persen). Perbaikan pada KTI terutama karena menurunnyaperanan Sumatera dalam perekonomian nasional. Dalamtahun 2005, peranan PDRB Sumatera turun menjadi 21,9persen dari 27,8 persen pada tahun 1985 sehingga perananKTI meningkat dari 16,2 persen pada tahun 1985 menjadi17,6 persen pada tahun 2005 (atas dasar harga berlaku).Peranan PDRB Jawa+Bali dengan Luar (Jawa+Bali) sertaKBI dan KTI pada tahun 2005 dan 1985 dapat dilihat padagrafik di bawah ini.

JUMLAH USAHA HASIL SENSUS EKONOMI TAHUN 2006

(dalam ribuan)%KeuAngkut,Perdag,Listrik,IndustriTmbang,

thdTotalJasaSewa,KomHotel,BangunGas,OlahanGalianNasJs UshRestAir

17,74022445144432251244740337Sumatera63,8144961372578172184685952146148Jawa5,31209844514061220127830Bali dan NT4,81097102529867518212228Kalimantan7,015861184822691923323513Sulawesi1,330120951175413210Maluku dan Papua

227112140876266813360168193215265INDONESIA100,09,43,911,758,80,70,114,21,2% thd Nasional

Sumber: BPS (2006)

467

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Ketimpangan pembangunan antar wilayah ini jugaterlihat dari kepadatan penduduk di Jawa dan luar Jawa.Pada tahun 2005, kepadatan penduduk di Jawa masih 18,2kali lipat dibandingkan dengan luar Jawa. Perbandingan inimakin besar untuk pulau-pulau yang luas dan berpenduduksedikit. Implikasi dari ini bahwa tanah terutama di luar Jawabelum dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuranrakyat. Kepadatan penduduk di Jawa, luar Jawa, dan Indo-nesia dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

KTI (17,56%)

KBI (82,44%)

PERANAN EKONOMI KBI DAN KTI

Tahun 2005

KTI (16,23%)

KBI (83,77%)

PERANAN EKONOMI KBI DAN KTI

Tahun 1985

Luar (Jawa+Bali) (39,44%)

Jawa+Bali (60,56%)

PERANAN EKONOMI JAWA + BALI

Tahun 2005

Luar (Jawa+Bali) (44,00%)

Jawa+Bali (56,00%)

PERANAN EKONOMI JAWA + BALI

Tahun 1985

0

200

400

600

800

1000

1200

(Ora

ng

/km

2)

1961 1971 1980 1990 1995 2000 2005

Jawa Luar Jawa Indonesia

KEPADATAN PENDUDUK

Tahun 1961 - 2005

468

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Kecenderungan ini membawa beberapa konsekuensi be-sar, termasuk dalam pengelolaan pertanahan nasional seba-gai berikut.

Pertama, konversi lahan pertanian ke non-pertanian diJawa, yang relatif lebih subur dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya, akan terus berlangsung pada laju yang agakmengkuatirkan. Hasil Sensus Pertanian 2003 menyebutkantelah terjadi konversi lahan pertanian ke non-pertanian selu-as 563,2 ribu hektar selama 3 tahun (antara tahun 1999 –2002) meskipun secara nasional terjadi peningkatan lahanpertanian seluas 285,2 ribu hektar selama 10 tahun terakhir(tahun 1996 – 2006) ini. Yang perlu diperhatikan lagi bahwalaju konversi lahan pertanian di Jawa cukup tinggi yaitu selu-as 167,2 ribu hektar antara tahun 1999 – 2002 atau lebihdari 50 ribu hektar per tahun. Nilai tambah sektor pertanianyang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kegiatan industridan permukiman mengakibatkan pengaturan tata ruang diJawa tidak akan berjalan dengan efektif.

Kedua, arus migrasi ke Jawa akan mengakibatkan dayatampung Jawa semakin tidak memadai. Tanpa adanya peru-bahan yang berarti dalam arus migrasi penduduk, Jawa akanditempati oleh sekitar 163 juta orang atau bahkan lebihpada tahun 2025 nanti. Ini akan memberi konsekuensi yangbesar bagi penyediaan fasilitas pelayanan masyarakat. Pem-bangunan transportasi di Jawa akan menghadapi biaya yangsangat tinggi baik dari sisi ekonomi maupun sosial.

Ketiga, disparitas akan tetap besar dan bahkan berpoten-si melebar antara Jawa dengan luar Jawa, serta antaraKawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan TimurIndonesia (KTI). Pada gilirannya tidak memberi penguatan

469

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

yang kokoh bagi keberlanjutan NKRI dalam jangka panjang.Keempat, bagi kebijakan pertanahan nasional, mele-

barnya disparitas pembangunan wilayah ini akan memberikonsekuensi yang rumit dalam pengelolaan pertanahannasional. Demikian juga bagi pembangunan pertaniandibutuhkan pemikiran dan implementasi yang strategisuntuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Rangkaianini merupakan tantangan bagi kita bersama yang harusdihadapi dan ditangani secara dini.

Arah Pembangunan Ekonomi

Aspek ruang, termasuk tanah, dalam pembangunan eko-nomi selama ini belum mendapat perhatian yang memadai.Ruang, terutama tanah, harus dimanfaatkan secara maksimalbagi peningkatan kemakmuran sebesar-besarn rakyat.

Kebijakan ekonomi ditujukan untuk memecahkanmasalah-masalah ini secara mendasar yang pada keselu-ruhannya diarahkan untuk meningkatkan pembangunanekonomi di luar Jawa. Dari sisi kebijakan pertanahan nasio-nal, kebijakan ekonomi diarahkan untuk meningkatkanpemanfaatan tanah bagi kesejahteraan rakyat denganmenyeimbangkan penggunaannya.

Dalam kaitan itu, pembangunan ekonomi di luar Jawaharus lebih cepat dibandingkan dengan Jawa dan di wilayahKTI harus lebih cepat dibandingkan dengan KBI. Dengansasaran pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,5 persenper tahun dalam 20 tahun mendatang dan peranan KTIterhadap perekonomian nasional diupayakan meningkatsebesar 4 persen (yaitu dari sekitar 17 persen pada tahun

470

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

2005 menjadi 21 persen pada tahun 2025, atas dasar hargakonstan tahun 2000), KTI harus tumbuh sekitar 7,6 persen.1

Berkurangnya kesenjangan antar wilayah ini nanti akandidukung oleh struktur ekonomi dengan peranan sektorpertanian yang terjaga sebesar 9 persen, sektor industripengolahan sebesar 46 persen, dan sektor-sektor lainnya(tersier serta pertambangan dan penggalian) sebesar 45persen dengan ketahanan pangan yang kokoh (Prijambodo,2006).

Gambaran ekonomi Indonesia sampai dengan tahun2025 dan gambaran pertumbuhan ekonomi daerah yangkonsisten dengan pertumbuhan ekonomi nasional danpengurangan kesenjangan antar wilayah dapat dilihat padatabel di bawah ini.

Proyeksi Ekonomi Indonesia Sampai Tahun 2025

Sumber: Prijambodo, Bambang (2006)

Tahun 2005 2010 2015 2020 2025

Penduduk (Juta Orang) 219,9 234,1 248,2 261,5 273,7

Pendapatan per Kapita (USD) 1.311 1.952 2.894 4.246 6.191

Struktur Ekonomi (%)

Pertanian 13,4 12,9 11,5 10,2 9,1

Industri 28,1 32,6 36,6 41,1 46,1

Lainnya 58,5 54,5 51,9 48,7 44,8

Pembangunan Daerah

Peranan KBI (%) 83,1 79,3

Peranan KTI (%) 16,9 20,7

1 Pada tahun 2025, tingkat pembangunan ekonomi Indonesiadiperkirakan sekitar USD 6 ribu atau sekitar 1,3 kali lipat dari Malaysiasaat ini.

471

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Untuk mencapai gambaran tersebut, ada beberapa lang-kah pokok yang perlu ditempuh. Pertama, otonomi dandesentralisasi harus benar-benar memberi kemajuan bagipeningkatan kesejahteraan rakyat terutama pada wilayahKTI. Intinya bahwa ruang (termasuk tanah) yang tersediasangat luas harus dimanfaatkan secara optimal bagi kese-jahteraan rakyat. Potensi yang terkandung di daerah perludigali dengan baik. Selanjutnya otonomi dan desentralisasijuga harus benar-benar diarahkan untuk membangun per-desaan yang saat ini dihuni oleh sekitar 52 persen pendudukIndonesia. Dengan perdesaan yang lebih maju, pembangu-nan antar kota – desa akan lebih merata dan pemerataanpendapatan akan lebih baik.

Kedua, kebijakan ekonomi nasional bersifat proaktif danmenyeluruh di dalam mendorong pemerataan pembangunan

GAMBARAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH *)

(%/tahun, 2006 - 2025)

PertumbProvinsiPertumbProvinsi

7,6KALIMANTAN7,1SUMATERA

7,7Kalimantan Barat7,1Nanggroe Aceh Darussalam7,4Kalimantan Tengah7,0Sumatera Utara7,5Kalimantan Selatan7,0Sumatera Barat7,6Kalimantan Timur6,9Riau

7,1Jambi7,7SULAWESI6,9Sumatera Selatan7,8Sulawesi Utara7,1Bengkulu8,1Gorontalo7,3Lampung7,5Sulawesi Tengah7,3Bangka Belitung7,8Sulawesi Selatan7,8Kepulauan Riau7,8Sulawesi Tenggara7,6Sulawesi Barat5,9JAWA-BALI

5,9DKI Jakarta7,5LAINNYA5,8Jawa Barat7,5Nusa Tenggara Barat5,9Banten7,0Nusa Tenggara Timur6,0Jawa Tengah7,4Maluku5,7Daerah Istimewa Yogyakarta7,1Maluku Utara6,0Jawa Timur8,1Irian Jaya Barat5,9Bali7,6Papua

Sumber: Prijambodo, Bambang (2006)*) Yang konsisten dengan sasaran pertumbuhan ekonomi nasional dan pengurangan kesenjangan antar wilayah

472

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

antar wilayah dan pembangunan pertanian. Insentif inves-tasi, termasuk perpajakan, untuk mendorong pembangunandaerah-daerah tertinggal perlu dikembangkan secaradinamis. Pembangunan infrastruktur perlu mengarah ke luarJawa.

Ketiga, meningkatkan aspek kepastian dan pemanfaatanpenggunaan tanah. Ini penting karena pembangunan eko-nomi tidak akan berjalan dengan baik apabila unsur kepas-tian dan pemanfaatan penggunaan tanah tidak dapat dijaga.Dalam kaitan itu, penyelesaian masalah, sengketa, dan kon-flik pertanahan sangat penting di dalam meningkatkan unsurkepastian tanah dalam pembangunan ekonomi. Kebijakanfiskal juga diharapkan secara progresif mampu berperanuntuk meningkatkan produktivitas tanah dengan sistempajak yang tepat.

Keempat, langkah-langkah afirmatif perlu ditingkatkanuntuk mendorong akses kepada masyarakat miskin danperdesaan terhadap kepemilikan tanah. Ini akan membantumasyarakat kurang mampu, termasuk masyarakat miskin,untuk meningkatkan akses terhadap modal. Untuk itu alo-kasi lahan seluas 8,1 juta hektar merupakan titik tolakpelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional yangpenting di dalam menjabarkan amanat konstitusi kita.

Jakarta, 12 Desember 2006

473

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2005. Statistik 60 Tahun IndonesiaMerdeka.

Badan Pusat Statistik. 2003. Profil Sektor Pertanian di In-donesia: Analisa Hasil Sensus Pertanian 2003 danStatistik Lainnya.

Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang PembaruanAgraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Peraturan Pemerintah No. 38/2002 tentang Daftar Koor-dinat Geografi Titik-Titik Garis Pangkal KepulauanIndonesia.

Prijambodo, Bambang. 2006. Skenario Global dan EkonomiIndonesia Tahun 2025: Tantangan dan Arah Pem-bangunan Ekonomi. Kertas Kerja untuk Bank In-donesia.

Yudhoyono, Susilo Bambang dan M. Jusuf Kalla. 2004.Membangun Indonesia Yang Aman, Adil, danSejahtera: Visi, Misi, dan Program.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

474

PERANAN TANAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

1. Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) mengamanatkan bahwa y ( ) gbumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. – Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat.

– Setiap jengkal tanah, sebagai satu kesatuan tanah p j g , gair, harus diupayakan dapat memberikan kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI NASIONALUNTUK MENDUKUNG

PELAKSANAAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONALPELAKSANAAN PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL

DISAMPAIKAN PADA SIMPOSIUM AGRARIA NASIONAL:PEMBARUAN AGRARIA UNTUK KEADILAN SOSIAL, KEMAKMURAN BANGSA,

DANKEBERLANJUTAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

OLEH:BAMBANG PRIJAMBODO

DIREKTUR PERENCANAAN MAKROKEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL (BAPPENAS)

475

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

2. Hubungan tanah dan bangsa adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Wilayah Indonesia yang membentang dari 94˚58 21” BT sampai dengan 141˚00 00” BT dan 06˚04 30” LU sampai dengan141 00 00 BT dan 06 04 30 LU sampai dengan 11˚00 36” LS memberikan posisi geo-politik dan geo-ekonomi yang sangat penting baik saat ini maupun mendatang.

— Dari sisi teritorial, pergeseran dari koordinat kedaulatan negara dapat mengganggu eksistensi bangsa. Yang dengan demikian juga mempengaruhi kemampuan negara untukmempengaruhi kemampuan negara untuk memberi kemakmuran kepada rakyat.

— Potensi geografi yang luas ini harus dijaga kedaulatannya untuk kepentingan bangsa Indonesia.

TANTANGAN PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH

Potensi geografi yang sangat besar dengan tanah yang d iki l b l di f tk ti l b idemikian luas belum dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

– Terdapat kecenderungan meningkatnya kerumitan yang dapat mengganggu upaya untuk memanfaatkan tanah bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

Salah satu tantangan pokok dalam pemanfaatan tanah nasional adalah mengantisipasi secara cepat aglomerasi ekonomi yang terus berlangsung di Jawa.

476

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Sensus Ekonomi Tahun 2006 menyampaikan gambaran sekitar 63,8 persen kegiatan ekonomi berpusat di Jawa yang hanya mempunyai luas sebagian kecil dari seluruh daratan Indonesia dengan industri pengolahan sebesar 66 7 persenIndonesia dengan industri pengolahan sebesar 66,7 persen.

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Pada tahun 2005, PDRB Jawa dan Bali menyumbang sekitar 60 6 persen lebih tinggidan Bali menyumbang sekitar 60,6 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun 2000 (60,1 persen) dan bahkan jauh lebih besar dibandingkan tahun 1985 (56,0 persen).

PERANAN EKONOMI JAWA + BALITahun 1985

PERANAN EKONOMI JAWA + BALITahun 2005

Luar (Jawa+Bali) (44,00%)

Jawa+Bali (56,00%)

Luar (Jawa+Bali) (39,44%)

Jawa+Bali (60,56%)

477

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Perbaikan terjadi pada KTI. Diperkirakan karena menurunnya peranan Sumatera dalam perekonomian nasional. Dalam tahun 2005, peranan PDRB Sumatera turun menjadi 21,9 persen dari 27,8 persen pada tahun 1985 sehingga peranan KTI meningkat dari 16 2 persen1985 sehingga peranan KTI meningkat dari 16,2 persen pada tahun 1985 menjadi 17,6 persen pada tahun 2005 (atas dasar harga berlaku).

KTI (17,56%)

PERANAN EKONOMI KBI DAN KTITahun 2005

KTI (17,56%)

PERANAN EKONOMI KBI DAN KTITahun 2005

KBI (82,44%) KBI (82,44%)

Ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga terlihat dari kepadatan penduduk di Jawa dan luar Jawa. Pada tahun 2005, kepadatan penduduk di Jawa masih 18,2 kali lipat dibandingkan dengan luar Jawa. Perbandingan ini makin besar untuk pulau-pulau yang luas dan berpenduduk sedikit Artinyauntuk pulau pulau yang luas dan berpenduduk sedikit. Artinya bahwa tanah terutama di luar Jawa belum dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

1000

1200

2)

KEPADATAN PENDUDUKTahun 1961 - 2005

0

200

400

600

800

(Ora

ng/k

m2

1961 1971 1980 1990 1995 2000 2005

Jawa Luar Jawa Indonesia

478

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

BEBERAPA KONSEKUENSI DARI PEMBANGUNAN YANG MASIH TERPUSAT KE JAWA

Pertama, konversi lahan pertanian ke non-pertanian di Jawa akan terus berlangsung pada laju yang agakJawa akan terus berlangsung pada laju yang agak mengkuatirkan. Hasil Sensus Pertanian 2003 menyebutkan telah terjadi konversi lahan pertanian ke non-pertanian seluas 563,2 ribu hektar selama 3 tahun (antara tahun 1999 – 2002) meskipun secara nasional terjadi peningkatan lahan pertanian seluas 285,2 ribu hektar selama 10 tahun terakhir (tahun 1996 – 2006). – Laju konversi lahan pertanian di Jawa cukup tinggi j p p gg

yaitu seluas 167,2 ribu hektar antara tahun 1999 –2002 atau lebih dari 50 ribu hektar per tahun.

– Nilai tambah sektor pertanian yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan kegiatan industri dan permukiman mengakibatkan pengaturan ruang di Jawa tidak akan berjalan dengan efektif.

Kedua, arus migrasi ke Jawa akan mengakibatkan daya tampung Jawa semakin tidak memadai. – Tanpa adanya perubahan yang berarti dalam arus

migrasi penduduk, Jawa akan ditempati oleh sekitar 163 juta orang atau bahkan lebih pada tahun 2025 j g pnanti.

– Ini akan memberi konsekuensi yang besar bagi penyediaan fasilitas pelayanan masyarakat.

– Pembangunan transportasi di Jawa akan menghadapi biaya yang sangat tinggi baik dari sisi ekonomi maupun sosial.

Ketiga, disparitas akan tetap besar dan bahkan berpotensi melebar antara Jawa dengan luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). – Pada gilirannya tidak memberi penguatan yang kokoh

bagi keberlanjutan NKRI dalam jangka panjang.

479

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Keempat, bagi kebijakan pertanahan nasional dan p , g j ppertanian.– Melebarnya disparitas pembangunan wilayah ini

akan memberi konsekuensi yang rumit dalam pengelolaan pertanahan nasional.

– Demikian juga bagi pembangunan pertanian dibutuhkan pemikiran dan implementasi yang strategis untuk meningkatkan ketahanan pangan g g p gnasional.

Rangkaian ini merupakan tantangan bagi kita bersama yang harus dihadapi dan ditangani secara dini.

ARAH PEMBANGUNAN EKONOMI

MENDORONG PEMBANGUNAN DI LUAR JAWADari kebijakan pertanahan nasional, mendorong

keseimbangan pemanfaatan tanah dengan mendorong f h d lpemanfaatan tanah di luar Jawa.

Pembangunan ekonomi di luar Jawa harus lebih cepat dibandingkan dengan Jawa dan di wilayah KTI harus lebih cepat dibandingkan dengan KBI.

Dengan sasaran pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,5 persen per tahun dalam 20 tahun mendatang dan peranan KTI terhadap perekonomian nasionalperanan KTI terhadap perekonomian nasional diupayakan meningkat sebesar 4 persen (yaitu dari sekitar 17 persen pada tahun 2005 menjadi 21 persen pada tahun 2025), KTI harus tumbuh sekitar 7,6 persen.

480

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Berkurangnya kesenjangan antar wilayah ini nanti akan didukung oleh struktur ekonomi dengan peranan sektor pertanian yang terjaga 9 persen, sektor industri pengolahan 46 persen, dan sektor-sektor lainnya (tersier serta pertambangan dan penggalian) 45 persen dengan ketahanan pangan yangdan penggalian) 45 persen dengan ketahanan pangan yang kokoh (Prijambodo, 2006). PROYEKSI EKONOMI INDONESIA SAMPAI TAHUN 2025

Tahun 2005 2010 2015 2020 2025 Penduduk (Juta Orang) 219,9 234,1 248,2 261,5 273,7 Pendapatan per Kapita (USD) 1.311 1.952 2.894 4.246 6.191 Struktur Ekonomi (%) Pertanian 13,4 12,9 11,5 10,2 9,1 Industri 28,1 32,6 36,6 41,1 46,1 Lainnya 58,5 54,5 51,9 48,7 44,8 Pembangunan Daerah Peranan KBI (%) 83,1 79,3

Peranan KTI (%) 16 9 20 7 Peranan KTI (%) 16,9 20,7 Sumber: Prijambodo, Bambang (2006)

481

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

BEBERAPA LANGKAH POKOK PERLU DITEMPUH

Pertama, mendorong otonomi dan desentralisasi agar benar-benar memberi kemajuan bagi peningkatanbenar-benar memberi kemajuan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat terutama pada wilayah KTI. – Ruang (termasuk tanah) yang tersedia sangat luas

harus dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan rakyat.

– Potensi yang terkandung di daerah digali dengan baik.

– Otonomi dan desentralisasi juga harus benar-benar di hk t k b d tdiarahkan untuk membangun perdesaan yang saat ini dihuni oleh sekitar 52 persen penduduk Indonesia. Dengan perdesaan yang lebih maju, pembangunan antar kota – desa akan lebih merata dan pemerataan pendapatan akan lebih baik.

Kedua, kebijakan ekonomi nasional bersifat proaktif dan menyeluruh di dalam mendorong pemerataan pembangunan antar wilayah dan pembangunan pertanian. – Insentif investasi, termasuk perpajakan, untuk

mendorong pembangunan daerah-daerah tertinggal perlu dikembangkan secara dinamisdikembangkan secara dinamis.

– Pembangunan infrastruktur perlu mengarah ke luar Jawa.

Ketiga, meningkatkan aspek kepastian dan pemanfaatan penggunaan tanah. – Pembangunan ekonomi tidak akan berjalan dengan baik

apabila unsur kepastian dan pemanfaatan penggunaan tanah tidak dapat dijaga.

– Penyelesaian masalah, sengketa, dan konflik pertanahan sangat penting di dalam meningkatkan unsur kepastian tanah dalam pembangunan ekonomi.

– Kebijakan fiskal juga diharapkan secara progresif mampu berperan untuk meningkatkan produktivitas tanah dengan sistem pajak yang tepat.

482

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Ketiga, meningkatkan aspek kepastian dan pemanfaatan penggunaan tanah. – Pembangunan ekonomi tidak akan berjalan dengan

baik apabila unsur kepastian dan pemanfaatanbaik apabila unsur kepastian dan pemanfaatan penggunaan tanah tidak dapat dijaga.

– Penyelesaian masalah, sengketa, dan konflik pertanahan sangat penting di dalam meningkatkan unsur kepastian tanah dalam pembangunan ekonomi.

– Kebijakan fiskal juga diharapkan secara progresif mampu berperan untuk meningkatkan produktivitasmampu berperan untuk meningkatkan produktivitas tanah dengan sistem pajak yang tepat.

Keempat, mempercepat langkah-langkah afirmatif untuk mendorong akses kepada masyarakat miskin dan perdesaan terhadap kepemilikan tanah.

Keempat, mempercepat langkah-langkah afirmatif untuk mendorong akses kepada masyarakat miskin dan g p yperdesaan terhadap kepemilikan tanah. – Sangat membantu masyarakat kurang mampu,

termasuk masyarakat miskin, untuk meningkatkan akses terhadap modal.

– Alokasi lahan seluas 8,1 juta hektar merupakan titik tolak pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional yang penting di dalam menjabarkan

TERIMA KASIH

y g p g jamanat konstitusi kita.

483

Inland

TIPOLOGI KAWASAN PESISIR

Offshore

zoneBeach

zone

zoneLowland

zoneOffshore

zone

Adrianto (2006)

*) Arif Satria, Pengajar Institut Pertanian Bogor.

Arif Satria,

Disampaikan pada Simposium Agraria Nasional, Oleh BPN, Jakarta Selasa, 12 Desember 2006

484

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

WILAYAH PESISIR

© Denny Boy Mochran (Puter) – Dec 18, 2002

PETA KEMISKINAN MASYARAKAT PESISIR

Sumber diolah dari Yayasan SMERU dan BPS, 2002

Kondisi Faktual Masyarakat Pesisir

8.090 desa pesisir

16,42 Juta jiwa penduduk

3,91 Juta KK

Poverty Headcount Index 0,3214

485

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

KARAKTERISTIK KEMISKINANStruktural/eksternal

• Hubungan patron-klien• Kurang dukungan politik

Ak d l i t k &• Akses modal, iptek & pasar

Kultural/internal dan Alamiah

• Budaya subsistensi

• Kapasitas manajemen

• Kondisi sumberdaya alam

DEFINISI PULAU KECIL

PPK adalah kumpulan pulau-pulau yang secara p p y gfungsional saling berinteraksi dari sisi ekologis, ekonomi, sosial, dan budaya, baik secara individual maupun secara i i d tsinergis dapat

meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumber dayanya.

486

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

KARAKTERISTIK PULAU-PULAU KECIL

ukuranfisik yang kecil 10 000 k 2

homogenitaskecil :10.000 km2

gpenduduk

Jumlah pendudukTerbatas200.000 orang

karakteristiksosial yangkhas

lingkungandan ekonomi tidak menguntungkan

potensi sumberdayalaut yang besar

Sumber: dimodifikasi dari Adrianto (2006)

PENTINGNYA PULAU KECIL

Vulnerability (kerentanan)

KEBERLANJUTANPPK

FAKTOR EKSOGEN•Economic exposures•Remoteness•Environmental Disasters

FAKTOR ENDOGEN•Natural Resources•Population dynamics•Specialized economy, e.g.fisheries

Resilience (ketahanan)

Sumber: Adrianto (2006)

487

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

• Sumberdaya HayatiS b d ik

POTENSI PULAU-PULAU KECILPOTENSI PULAU-PULAU KECIL

POTENSI

PULAU-PULAU KECIL

Mineral

Karang SD Ikan

• Sumberdaya ikan• Mangrove• Lamun• Terumbu karang, dll

• Sumberdaya Nir-Hayati• Nikel, Bauksit• Energi panas bumi

Wisata Bahari

Mineral

Migas

• Energi panas bumi,• Pasang surut, gelombang

• Jasa-jasa Lingkungan• Pariwisata• Industri maritim

DKP (2006)

1. Sekitar 9.396 pulau belum bernama, 2 Data dan informasi pulau kecil masih terbatas2. Data dan informasi pulau kecil masih terbatas, 3. Kerusakan ekosistem beberapa pulau kecil, 4. Peluang investasi yang belum dimanfaatkan,

serta 5. Infrastruktur pulau kecil belum berkembang

488

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

SUMBER AGRARIA

ISU AKTUAL

Tanah

- Pemberian HGU sebagai “Penyewaan” Pulau Kecil (private property regime)

-Privatisasi sumberdaya laut untuk/oleh Wisata Bahari

Airuntuk/oleh Wisata Bahari (private property regime)-Ketidakadilan Konservasi (state property regime)

489

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

KONFLIK PROPERTY RIGHTKasus Kawasan Konservasi Laut

Private Property

State Property Right BKSDA

koalisi konflik

Private Property Right

Pengusaha Wisata bahari

Common Property Right

nelayankonflik

Penangkapan ikanWisata bahari

Sebelum

Kebijakan

Konservasi

(1950 1999)(1950-1999)

Setelah

Muroami

Fishing

groundA

Setelah

Kebijakan

Knservasi (1999-

2004)

B

CD

ABCD: state property right

490

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Sebelum Setelah

Property-Right NelayanSebelum dan Setelah Kebijakan

KOnservasi (1950-2005)

Tipe Hak Konservasi (1950-1999)

konservasi (1999-2005)

Access right ya dibatasi

Withdrawal right ya dibatasi

Management right ya tidak

Exclusion right ya dibatasi

Proprietor Authorized UserStatus :

“Compensation fee”Solusi :

Pemanfaatan

Ekstraksi pasirRekreasi dan Pariwisata P ki

ISU-ISU AGRARIA WILAYAH PESISIR

PemukimanPertambakan Industri garamPembangunan pelabuhanKOnservasi

Inland

zoneLowland2Offshore

zoneBeach

zone

Lowland

zone2

gambar: Adrianto (2006)

491

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

ISU

ISU-ISU AGRARIA WILAYAH PESISIRSUMBER AGRARIA

ISU AKTUAL

Tanah-Status lahan pemukiman,tambak, garam, mangrove-Reklamasi abrasi konflik spasial

Inland

zoneLowland2

Tanah -Reklamasi, abrasi, konflik spasial-Relokasi nelayan

Air- Overfishing, polusi, kerusakan ekosistem- Hak pengelolaan sumberdaya laut oleh masyarakat?

Offshore

zoneBeach

zone

Lowland

zone2

gambar: Adrianto (2006)

Status Lahan Apung ?

492

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Status Lahan hasil “reklamasi” ?

Kepmen 41/2000Hak ulayat/hak adat atas penguasaan tanah dan wilayah perairan PPK oleh masyarakat hukum adat diakui negaraadat diakui negaraPPK yang dikuasa oleh masyarakat hukum adat,

pengelolaannya sepenuhnya berada di tangan masyarakat hukum adat itu sendiri, Setiap kerja sama pengelolaan PPK antara masyarakat hukum adat dengan pihak ketiga dari dalam/luar negeri:dari dalam/luar negeri:

didasarkan pada kesepakatan yang saling menguntungkan dengan memperhatikan daya dukung lingkunganmendapatkan izin dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan memperhatikan kepentingan nasional.

493

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Pemerintah pusat dan daerah harus menjamin bahwa pantai dan perairan PPK merupakan

k t b k b i k takses yang terbuka bagi masyarakat, Pengelolaan PPK yang dilakukan oleh pihak ketiga harus memberdayakan masyarakat lokal, baik dalam bentuk penyertaan saham maupun kemitraan lainnya secara aktif dan memberikan keleluasaan aksesibilitas terhadap pulau-pulau kecil tersebutkecil tersebut. Kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil yang berbasis masyarakat harus memperhatikan adat, sosial budaya serta kepentingan masyarakat setempat”.

Spektrum Petunjuk Pengelolaan PPK

Guidelines Framework Manual Methodology

Level of direct applicability

+Low

++ +++ ++++high

Level of prescriptive

+Low

++ +++ ++++high

ness

Level of flexibility

++++high

+++ ++ +Low

494

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Negara :RUU Pengelolaan wilayah pesisir (PWP)

Hak Pemanfaatan dan Pengelolaan Perairan (HP3) ?Pengakuan hak ulayat laut

Harmonisasi aturan pusat-daerahHrmonisasi aturan BPN- DKPSertifikasi tanah

Pada lahan pemukiman Lahan produksi (tambak, garam)

Masyarakat :Penguatan organisasi rakyat pesisir Revitalisasi hak ulayat laut

495

KEBIJAKAN AGROPOLITAN DANREFORMASI AGRARIA DI PEDESAAN

(PENGALAMAN DI GORONTALO)Fadel Muhammad*

Separuh penduduk masih rentan menjadi miskin,demikian head line Harian Kompas 8 Desember 2006. BankDunia memperhitungkan 108,78 juta orang atau 49% daritotal penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentanmenjadi miskin. Kalangan ini hanya hidup dengan kurangdari US$ 2 per hari. Revitalisasi pertanian dinilai salah satujalan keluarnya. Namun sejak dicanangkan dari tahun 2005hingga sekarang belum menunjukkan perkembangan yangsignifikan. Kantong kemiskinan paling besar di Indonesiaadalah petani. Mereka hidup di pedesaan dengan penguasa-an tanah yang cenderung terus menurun.

Hasil penelitian SDP/SAE 1979 – 1984 di beberapadesa padi di Jawa menunjukkan bahwa secara umum kehi-dupan petani makin sulit. Dengan luas pemilikan lahan rata-rata hanya 0,21 – 0,37 ha, petani sulit mengandalkan pen-

*) Fadel Muhammad, Gubernur Gorontalo.

496

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dapatannya dari pertanian. Temuan SDP/SAE yang lainadalah terjadinya akumulasi pemilikan tanah. 37 – 50%tanah pertanian dikuasai oleh 3 – 9% pemilik. Pada 1995 –1999 PATANAS-ASEM melakukan penelitian yang samamenunjukkan kecenderungan yang lebih mengkhawatirkan.Petani tidak bertanah jumlahnya sudah mencapai hampirdari separuh dari total petani padi di Jawa.

Fenomena “pelambatandan ketidakstabilan” produksipadi yang dikemukakan oleh Simatupang dalam makalahseminar tentang “Perspektif Pembangunan Pertanian danKehutanan Tahubn 2001 ke Depan” adalah berkaitandengan semakin menciutnya penguasaan lahan yang menye-babkan semakin tidak ekonomisnya melakukan budidayapadi. Usaha tani diatas lahan yang kurang dari 1 hektarhanya mampu memberikan tingkat penerimaan 1,44 kalibiaya input, oleh karena itu kegiatan pertanian sudah tidakbisa diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga.

Revitalisasi pertanian hampir tidak mungkin bisa dila-kukan tanpa diiringi dengan reformasi agraria. Reformasiagraria diarahkan untuk memperbaiki struktur penguasaanlahan di masyarakat, namun ini tidak mudah dilakukan.

Merujuk pada Deklarasi Akhir Konferensi InternasionalPembaruan Agraria dan Pembangunan Pedesaan yang dise-lenggarakan di Porto Alegre, Brazil 7 – 10 Maret 2006 yangmenekankan tentang pentingnya pembaruan agraria danpembangunan pedesaan guna mendukung pembangunanyang berkelanjutan. Pembaruan ini dilakukan denganmembentuk sistem administrasi yang kondusif dan efesienterhadap proses pendaftaran, sertifikasi dan survai kepe-milikan tanah, perbaikan sarana pasar, hukum dan kelem-

497

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

bagaan termasuk peraturan yang mengatur tentang peng-gunaan air, dan pengakuan formal terhadap hak pemakaiansecara adat dan comunal dalam cara-cara yang bersifattransparan, dapat ditegakkan, dan consisten dengan kepen-tingan rakyat. Deklarasi Porto Alegre ini.

Di Gorontalo kami menjalankan kebijakan pem-bangunan pertanian dengan pendekatan agropolitan yangkemudian ditindaklanjuti dengan reformasi agraria meskipunmasih dalam skala lokal. Pendekatan agropolitan adalah sta-tus strategi untuk pengembangan pedesaan dengan membe-rikan pelayanan perkotaan di kawasan pedesaan. Dalamkebijakan ini, petani ditempatkan sebagai customer agarkebutuhan (need) dan keinginannya (want) dapat terpenuhi.Kebutuhan dasar petani yang berkaitan dengan produksidan pemasaran dilayani di sentra-sentra agropolitan, Goron-talo sentra agropolitan berada di kecamatan.

Tujuan utama kebijakan agropolitan adalah mening-katkan pendapatan petani melalui efesiensi biaya produksi,peningkatan harga produk dan membuka akses finansialke petani. Ini sejalan dengan teori ekonomi elementer, nilaimoneter dari suatu produk akan terbagikan habis kepadapembayaran factor-faktor produksi yang terlibat dalammenghasilkan produk yang bersangkutan. Oleh karena itu,agar manfaat ekonomi dari pembangunan ekonomi daerahdapat dinikmati seara nyata oleh rakyat daerah yang ber-sangkutan, maka kegiatan ekonomi yang dikembangkandalam pembangunan ekonomi haruslah kegiatan ekonomiyang mendayagunakan sumberdaya yang terdapat ataudikuasai/dimiliki daerah yang bersangkutan. UntukGorontalo adalah ekonomi jagung.

498

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Salah satu hambatan yang dihadapi oleh sebagian besarpetani adalah hambatan modal untuk berproduksi. Mayo-ritas aset yang dimiliki oleh petani tidak layak bank (un-bankable), sementara mereka butuh modal untuk berpro-duksi. Saya terinspirasi oleh pemikiran Hernando de Sotobahwa keterbelakangan yang diidap oleh masyarakat negaraberkembang terutama kaum tani adalah berkaitan denganmasalah ketiadaan akses terhadap sumber-sumber ke-uangan ini. Hak atas kekayaan (property right) di negaraberkembang masih bersifat informal, ini harus diubahmenjadi formal. Untuk menyelesaikannya perlu ada itikadbaik dari pemerintah untuk menuntut petani agar mela-kukan sertifikasi aset sehingga menjadi layak bank (bank-able).

Kami mengikuti pemikiran Hernando de Soto bahwapemberian status hukum bagi sektor informal adalah salahsatu inti dari pemberdayaan sektor informal seperti yangtertuang dalam bukunya The Mistery of Capital: Why Capi-talism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else. Melaluipenelitiannya di Peru sekitar tahun 1980-an, de Soto mene-mukan bahwa banyak kegiatan usaha di sektor informalternyata tidak memiliki izin usaha. Hasil temuannya itu me-mbuat pemerintah Peru menyadari bahwa ternyata tulangpunggung perekonomian Peru adalah sektor informal.

Hernando de Soto dengan dukungan pemerintah Perudan bantuan dana dari USAID, bersama rekan-rekannyamulai memfasilitasi perolehan status kepemilikan yang sahatas 300.000 usaha sektor informal di Peru, termasukkepemilikan atas lahan dan rumah mereka. Kemudian, difa-silitasi juga perolehan pinjaman dari lembaga pemberi kredit

499

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

untuk usaha mereka, dengan jaminan kepemilikan merekayang telah sah itu. Hasilnya, usaha yang tadinya berstatussebagai sektor informal itu mampu meningkatkan peneri-maan pajak oleh pemerintah sebesar 300 juta dollar AS pertahun.

Apa yang dilakukan oleh de Soto kami replikasi danmodifikasi, mayoritas petani Gorontalo tidak memiliki cukupmodal untuk melakukan usaha tani. Setiap musim tanammereka kesulitan mendapatkan uang untuk membeli benih,mengolah tanah, membeli pupuk karena tanahnya belumbersertifikat tidak bisa dijadikan jaminan untuk pinjam kebank.

Kami bersama rekan kerja akhirnya berunding dengankalangan perbankan untuk membuka jalan bagi penyalurankredit untuk petani jagung. Nyaris dead lock, akhirnya dite-mukan jalan keluar untuk memberikan akses petani kelembaga keuangan. Pemerintah Provinsi Gorontalo bersamaBUMD memberikan jaminan ke perbankan di Gorontalodengan menaruh dana APBD, sebaliknya perbankan menge-luarkan uang atas tanggungjawab Pemerintah Provinsi un-tuk disalurkan ke Petani melalui skema pembiayaan agrpo-litan. Ini adalah tindakan sementara. Untuk jangka panjangdilakukan upaya melakukan sertifikasi asset petani baikberupa tanah maupun sarana produksi lanilla agar memenuhikelayakan perbankan.

Selain itu kami juga melakukan reformasi agraria. DiGorontalo banyak tanah-tanah bekas HPH yang terlantar,sebelumnya tanah-tanah tersebut sering menjadi incaranpara pejabat karena bisa dikonversi menjadi hak milikdengan biaya yang tidak terlalu mahal. Dengan dana pem-

500

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

bangunan dibuat infrastruktur seperti jalan yang membukaakses ke tanah-tanah tersebut, lokasi-lokasi yang strategisbiaanya dikuasai oleh para pejabat.

Kami melakukan reformasi agraria bekerjasama denganKanwil BPN Gorontalo, melalui kebijakan agropolitan, ta-nah-tanah HPH dikonversi menjadi lahan pertanian danpetani-petani yang tidak bertanah dan tinggal di lingkungantersebut yang mendapat prioritas mendapatkan tanah eksHPH. Ini dapat dikatakan sebagai implementasi landreformyang sejak dulu tidak pernah berhasil. Apa yang kami laku-kan akhirnya dijadikan model untuk landreform terbatas.

REVITALISASIDAN SINERGI KELEMBAGAAN

502

URGENSI PEMBARUAN AGRARIA DAN KESIAPANBADAN PERTANAHAN NASIONAL

503

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

504

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

505

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

506

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

507

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

508

Pasal 33 ayat (3) UUD tahun 1945 : bumi, air dan kekayaan alam

yang terkandung didalamnya dimanfaatkan sebesar-besarnyayang terkandung didalamnya dimanfaatkan sebesar besarnya

untuk kemakmuran rakyat ;

UUPA :

merupakan arahan untuk operasionalisasi pemanfaatan sumber daya agraria

sebagai sumber kemakmuran rakyat secara nyata ;

i tk k b ih k N d k t t i

2

mengisyaratkan keberpihakan Negara pada rakyat petani.

Dalam konstalasi kehidupan petani : tanah sebagai faktor

produksi

*) Ir. Benny, M.Si, Inspektur Utama dan Plh Deputi BidangPengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat, BPN RI.

Ir. Benny, MSi

(Inspektur Utama dan Plh. Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan

dan Pemberdayaan Masyarakat, BPN RI)

URGENSI PEMBARUAN AGRARIA DANKESIAPAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL

509

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Suatu proses besar mengenai penatan asset pertanahan yang dilakukan secara intensif, massif dan sistematik ;

Tujuan :(1) menata kembali struktur P4T, yang di Indonesia sangat timpang dan

diharapkan akan seimbang;

(2) mengatasi kemiskinan di daerah pedesaan/pertanaian, yang pada umumnya

90 % rakyat telah bekerja keras namun tetap dalam keadaan miskin;

(3) mengatasi pengangguran;(3) mengatasi pengangguran;

(4) membuka akses dan harapan bagi rakyat untuk lebih baik; dan

(5) sebagai mekanisme utama dalam mengatasi sengketa dan konflik pertanahan yang memiliki banyak dimensi.

Obyek : tanah HPKV seluas 8,15 juya Ha

3

4

HAKHAK KEWAJIBANKEWAJIBAN

510

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

KEWAJIBANKEWAJIBAN

5

HAKHAK

HAK KEWAJIBAN

•Merencanakan sesuatu

sesuai tujuan pemberian

•Memelihara agar tidak terlantar

•Dst.

•Terjamin kepastian hak•Terlindungi secara hukum

•Menjual•Menjaminkan•Mewariskan

•Dst.

HAK

6

Membayar UP/Pajak

511

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

UUD 45 Pasal 33 ayat (3) PP 36/98

Penertiban dan

Pendayagunaan

Tanah Terlantar

Tanah untuk sebesar-besarkemakmuran

rakyat

PENEGAKAN HAK DAN KEWAJIBAN DALAM PENGELOLAAN PERTANAHAN

PENEGAKAN HAK DAN KEWAJIBAN DALAM PENGELOLAAN PERTANAHAN

UUPA (UU 5/60)

PENGENDALIAN

• PREVENTIF

• REPRESIF

Psl. 2 ayat 2 (umum)Norma Aspek Penguasaan/Pemilikan (Psl. 4,6,7,9,10,11,12,13,17,18,27,34,40)

Norma Aspek Penggunaan Tanah (Psl. 4,14,15)

( )

Norma Aspek Kepastian Hukum/Adm (Psl.19, 20,28,35,41)

7

TANAH YG DIBERIKAN HAK TDK

DIGUNAKAN SESUAI SIFAT DAN TUJUAN

TANAH YG DIBERIKAN HAK TDK

DIGUNAKAN SESUAI SIFAT DAN TUJUAN

(BERINDIKASI TELANTAR)

AKIBAT:

- KETIMPANGAN PENGUASAAN TANAH

- KERUSAKAN TANAH

- PENURUNAN PRODUKTIFITAS

- PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN

HAK & KEWAJIBAN

• Jenis Hak• Ketentuan per-UU• Karakteristk

wilayah

UUD 45 Pasal 33 ayat (3)

UUPA (UU 5/60

Tanah untuk sebesar-besarkemakmuran

rakyat

Mengatur Kewenangan, Penguasaan, Penggunaan, administrasi.

Hak atas tanah, Fungsi Sosial, Tidak boleh berlebihan, tdk monopoli.

sesuai sifat dan tujuan dstHak dapat dicabut, jika terlantar

8

PP 36/98Penertiban dan

Pendayagunaan

Tanah Terlantar

TANAH YG DIBERIKAN HAK TDK

DIGUNAKAN SESUAI SIFAT DAN TUJUAN

(BERINDIKASI TELANTAR)

512

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

UUD 45 Pasal 33 ayat (3)

Tujuan Negara(Pembukaan UUD 45)

Tanah untuk sebesar-besarkemakmuran

rakyat UUPA (UU 5/60

Menggariskan Kewenangan Negara dlm pengelolaan Keagrariaan/pertanahan.

Menggariskan NORMA-NORMA dalam Pengelolaan keagrariaan/pertanahan.

M i k t P

PENGENDALIAN DAN

PEMBERDAYAAN

9

Menggariskan pengaturan Penguasaan Tanah, Penggunaan Tanah, administrasi/ pendaftaran tanah.

HAK & KEWAJIBANPIHAK-PIHAK YANG

TERLIBAT

MASYARAKAT

Pengendalian & Pemberdayaan (Political Will, Kebijakan,

Regulasi, Sosialisasi, Pemantauan dan Evaluasi)

STRATEGI DASAR

PENGENDALIAN PERTANAHAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

)

Peningkatan kesadaran untuk

memenuhi kewajiban & Hak oleh Para Pihak terkait

Upaya Penegakan Hak &

Kewajiban Pemegang HAT (Pengguna

Tanah)

INSTRUMENT• TAP IX/2001• UUPA & UU Lain• PP. 36/98 & PP Lain• Perda• Diktum SK (HAT)

10

Feed back : Konflik Penguasaan/Penggu-naan Tanah & Peningkatan

Produktivitas

• Diktum SK (HAT)

513

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Tugas Badan Pertanahan Nasional RI ( Perpres 10/2006 ) :

melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan pada tingkatmelaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan pada tingkat

nasional, regional dan sektoral ;

Tindak Lanjut Perpres 10/2006 (antara lain) :Peraturan Kepala Badan Pertanahan RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional RI ;

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 4 Tahun 2006

tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah BPN Provinsi dan Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota

11

Langkah proaktif BPN RI :

Penyiapan peraturan perundangan ( legal framewo);Penyiapan peraturan perundangan ( legal framewo);Penyiapan organisasi dan sumber daya manusia : organisation and personal capacity building, well experienced personals;

Penyiapan basis data dan sistem informasi : penyederhanaan prosedur

pengaturan dan pelayanan, implementasi ICT, kemudahan akses informasi

pertanahan bagi rakyat;

Sinergitas program dan kegiatan jajaran BPN RI dengan kebijakan

t k i kipengentasan kemiskinan

12

514

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Pembaruan agraria merupakan suatu gerakan nasional

yang sangat strategis untuk pengentasan kemiskinan danyang sangat strategis untuk pengentasan kemiskinan dan

penanggulangan tingginya tingkat pengangguran :

Lintas sektoral, cakupan aspek yang terlibat sangat luas;

Menuntut koordinasi, kerja sama dan kontribusi berperan aktif

berbagai lembaga pemerintah pusat hingga daerah LSMberbagai lembaga pemerintah pusat hingga daerah, LSM,

swasta dan partisipasi masyarakat ;

13

515

PENDIDIKAN TINGGI AGRARIA:BERTEMUNYA CENDEKIAWAN-

TEKNOKRAT MERUMUSKAN MASADEPAN

Endriatmo Soetarto*

Posisi ’Yang Ahli’ dan ’Yang Berkuasa’

1. Di masa lalu empu, guru, atau begawan sudah hadir disekitar tahta kerajaan. Nasehat kaum cendekiawan yangarif bijaksana itu diterima dan dipakai sang Raja atauPangeran hanya kalau beliau berkenan memintanya.Seorang raja yang menerima nasehat orang lain tanpadiminta sebelumnya dianggap pertanda kelemahan ataukurang bijaknya sang pemimpin tersebut.

2. Kini jaman sudah berubah, raja-raja modern tak bisalagi bersikap seperti tempo doeloe. Nasehat para ahli dan

*) Prof. Endriatmo Soetarto, Penulis kini menjabat Ketua SekolahTinggi Pertanahan Nasional di Yogyakarta, selain sebagai Staf Pengajarpada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM),FEMA IPB Bogor.

516

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

kaum cerdik cendekia tak bisa lagi mereka hindari.Masyarakat kita sekarang sudah berkembang dipacuoleh pertumbuhan ekonomi dan perkembangan tekno-logi yang telah menglobal. Proses pembagian tugas danspesialisasi bidang-bidang kegiatan sudah sedemikianrupa hingga masyarakat sudah tersekat-sekat dalam ja-ringan yang begitu kompleks. Dengan demikian tak satupangeran pun yang mampu mengendalikan kerumitanjaringan kekuasaannya tanpa bantuan terus-menerusdari para ahli berbagai bidang dan ilmu.

3. Tuntutan penggunaan iptek menonjol sekali, demikianpula keahlian teknis dan kemampuan profesional de-mikian besar hingga banyak menggeser pola politiktradisional yang hanya menggandalkan kekuatan masapengikut, bahkan juga menggantikan pola persainganideologis yang sering membingungkan rakyat.

4. Kini semua masalah sepertinya mesti dihadapi dengankekuatan akal bukan hanya dengan emosi dan kekuatanotot belaka. Masalah-masalah pembangunan juga harusdidekati secara rasional walaupun tentu bukan berartihanya mengandalkan data-data statistik belaka, dengananalisis pendekatan sistem, pola pemecahan secarasistematis dll. Juga bukan dengan hanya berpuas diripada pemahaman-pemahaman planning, programming,budgeting system, atau pun istilah lain seperti target, out-put, cost-benefit, efisiensi, monitoring, dan evaluasi. Bah-kan, masih menjadi tanggung jawab yang tak bolehdielakkan pula oleh para cendekiawan manakala istilah-istilah tersebut telah berkembang menjadi aturan per-mainan nasional dan bahasa sehari-hari para Menteri,

517

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Dirjen, Gubernur, Pimpro sampai dengan Camat danmanajer koperasi di desa. Mengapa, karena istilah-istilah tersebut tak boleh sampai kehilangan ’makna’sejatinya hanya karena tereduksi menjadi alat social en-gineering belaka.

5. Mengapa demikian ?, karena tantangan yang senantiasaharus mampu dijawab para cendekiawan dalam peranantersebut adalah memastikan soal tanggung jawab mere-ka, secara moral, dan profesional maupun sosial: kepen-tingan siapa yang yang harus mereka dahulukan. Apa-kah cendekiawan hanya melayani kepentingan elitenasional tertentu saja, atau hanya mengikuti kepen-tingan kelompok penekan (pressure group) saja, atauhanya mengikuti kaedah-kaedah ilmu positivistikdengan dalih ’ilmu bebas nilai’ ?

Pendidikan Tinggi Agraria: Melahirkan Cendekiawan-

Teknokrat yang Bukan Sekedar Berkemahiran (Kasus

STPN)

1. Di Indonesia tak banyak perguruan tinggi yang mengu-sung agraria sebagai pokok keilmuan yang ditekuni.Kalau toh ada lebih terpusat pada masalah pertanahan/agraria dalam pengertian teknis-fisik belaka sepertimisalnya yang ada di lingkungan Departemen IlmuTanah dan Sumberdaya Lahan Pertanian di IPB Bogor.Di perguruan tinggi lain ada juga yang menekuni ilmuadministrasi tanah di tingkat pascasarjana semisal diITB dan perguruan tinggi lain yang menekuni bidanggeodesi semisal di UGM Yogyakarta.

2. Pertanyaan berikut adalah apakah kita memerlukan juga

518

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

suatu kehadiran Institusi Pendidikan Tinggi Agraria yangmeliputi aspek lengkap, baik menempa kemahiran teknismaupun berancangan sosial-idealis. Sampai seberapajauh kebutuhan pendidikan ini diperlukan? Bila kitatengok permasalahan agraria maka paling sedikit ada 5(lima) hal yang perlu kita laksanakan dalam kontekspembaruan agraria nasional di waktu-waktu mendekatini, sbb:a. Menata kembali pemanfaatan, penggunaan, pengu-

asaan dan pemilikan tanah (dan sumber-sumberagraria lainnya; pen.) yang masih timpang;

b. Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rak-yat khususnya di pedesaan yang menurut data sta-tistik merupakan tempat konsentrasi kemiskinan(67%);

c. Mengatasi persoalan pengangguran dengan mem-buka lapangan kerja baru di bidang pertanian danekonomi pedesaan;

d. Membuka akses bagi rakyat terhadap sumber-sum-ber ekonomi dan politik; di dalamnya adalah tanahdan semua hal yang dibutuhkan untuk membuatkehidupan rakyat lebih baik dan sejahtera (aksesmodal, penyuluhan, informasi, infrastruktur, tekno-logi, manajemen, dan bahkan akses politik).

e. Mewujudkan mekanisme sistematis dan efektifuntuk mengatasi sengketa dan konfik pertanahandi Indonesia (Joyowinoto, 2006).

3. Mengacu pada rumusan tersebut segera kita dapat kata-kan bahwa di aras pendidikan tinggi diperlukan institusikhusus yang mampu melahirkan dan memberdayakan

519

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

kelompok cendekiawan-teknokrat. Mengapa?, karenaseorang cendekiawan-teknokrat tidak akan mengguna-kan scientific approach murni dalam tindakan-tin-dakannya. Seorang cendekiawan-teknokrat bertindaklebih lanjut dari apa yang bisa dilakukan oleh seorangilmuwan atau pun teknolog.

4. Seorang teknolog saja sudah bisa bertindak lebih lanjutdari apa yang bisa dilakukan seorang ilmuwan yang serbailmiah. Ilmuwan dapat memiliki pengetahuan untukmenjelaskan dan membuat prediksi-prediksi; seorangteknolog menguasai keterampilan teknis untuk bertin-dak atas dasar perhitungan daya guna dan hasil gunamematerialisasi prediksi-prediksi keilmuwanan.Sedangkan seorang cendekiawan-teknokrat seyogyanyaakan menguasai pula intuisi atau apa yang disebut senidan kemampuan pragmatis untuk mengontrol danmengamankan upaya-upaya pematerialisasian itu,namun sekaligus dengan itu juga merasa terpanggil danterlibat secara sah melaksanakan upaya-upaya itu.

5. Di sinilah kita dapat nyatakan bagi seorang cende-kiawan-teknokrat scientific approach bukanlah satu-satunya ancangannya. Ia bukan hanya orang berke-mahiran tekno-struktur, tetapi sekaligus sebagai orangyang merasa terpanggil menjalankan suatu misi sejarah,sebab ia adalah pejuang yang tahu mengendalikan diridi tengah dinamika politik dan perubahan sosio-kulturalyang tengah berlangsung.

6. Dengan kata lain cendekiawan-teknokrat adalah modelpolitical decision making, yaitu para pengambil kata putuspolitik itu sendiri, atau setidaknya bagian integral dari

520

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

struktur dan proses pengambilan kata putus. Dia tidakberposisi netral dengan pandangan-pandangan yangbersifat ontologis, epistemologis saja. Dia juga terlibatdan pandangannya yang aksiologis mewarnai sikap dantindakannya sejak awal.

Perlunya Reposisi STPN dan Institusi Pendidikan

Tinggi Agraria lainnya Dalam Konteks Baru.

1. STPN sebagai Institusi Pendidikan Tinggi Kedinasanantara lain ditugasi mendidik dan mengembangkanPendidikan Pertanahan/Agraria bagi para pegawai BPNRI, jelas paling dekat dengan peluang melahirkan alumniyang berkarakter cendekiawan-teknokrat. Mengapa?,sebagai pegawai institusi pertanahan/agraria merekatelah menjalani pengalaman penting bidang teknis yangrelevan di d alamnya. Sedang sebagai cendekiawanmereka (seharusnya) dicerahkan lebih jauh dalam gugusilmu-ilmu humaniora dan sosial yang kontekstualsehingga dapat menjadi pemikir-pemikir kritis dengandasar moral yang luhur dan sekaligus mampu menjadipengambil keputusan yang rasional.

2. Kita sadar tenggelamnya kebanyakan lulusan perguruantinggi yang advance - di tempat kerjanya, juga meru-pakan masalah. Mereka menjadi begitu sibuk, dan tidaklagi mempunyai kesempatan untuk diam merenung.Jangan dilupakan, bahwa untuk menghasilkan prestasiyang besar, orang membutuhkan waktu untuk diam,berkonsentrasi untuk memikir entah di perpustakaan,laboratorium, atau di mana. Di sinilah STPN dapat dija-

521

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

dikan wahana aparatnya (yang sebagian adalah alumniKAPTI) untuk melakukan refleksi diri. Hal lain yangtak kalah penting ’kontrol sosial’ juga bisa dilakukanInstitusi Pendidikan Tinggi Agraria melalui kajian-kajianilmiah yang kritis terhadap jalannya birokrasi yangmembidangi bidang pertanahan/agraria, sehingga me-mastikan pembaruan agraria berjalan menurut tujuannormatifnya.

3. Dalam istilah yang lebih lengkap STPN harus mampumereposisi diri menjadi institusi yang melahirkanlulusan yang mampu meng-artikulasi-kan pikirannyasecara jernih dan tajam (A), didukung bekal substansiyang kuat (S), memiliki dasar moral yang luhur (M),dan sekaligus memiliki determinasi pribadi yang tinggi(D) - ’ASMD’- manusia dengan kapasitas teknis yangmemadai dan secara sosial-kultural tercerahkan.

4. Dengan kata lain STPN bukan hanya tempat berkumpulstaf pengajar dan mahasiswa, akan tetapi merupakan’wahana bertemu’. Karena jika hanya berfungsi sebagaiwadah berkumpul Perguruan Tinggi serupa itu tak ubah-nya hanya sebuah habitat belaka, seperti induk ayamyang kegelisahannya sudah terobati ketika semua anak-anaknya berceriricitan di seputar kelapak sayapnya.Bukankah telah cukup buat induk ayam bila mereka(anak-anaknya) sudah berkumpul semua, tak ada lagiurusan buat sang induk untuk bertanya mengapamereka harus berkumpul.

5. Dengan kata lain hewan hanya memiliki habitat, tempatberdiri, tidur, makan, berkelamin, berbiak, dan lantasmati. Dia tidak membutuhkan kesadaran tempat (a-

522

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

spatial). Manusia ingin lebih dari itu. Perkumpulan fisikhanya syarat, pra-kondisi, untuk kebutuhan lebih jauhyaitu wahana bertemu. STPN (dan juga PendidikanTinggi Agraria lainnya) harus mampu menjadi ’tempatbertemu’. Suatu pertemuan yang menumbuhkan kesa-daran baru: titik temu antara ilmu teknologi, eksaktadan ilmu humaniora, sosial yang masing-masing ilmusaling membutuhkan dan menguatkan–academic excel-lence. Tempat bertemu untuk menumbuhkan ’ASMD’di kalangan sivitas akademikanya. Tempat bertemu un-tuk merumuskan masa depan yang lebih menjanjikan.

Penutup

STPN dan Pendidikan Tinggi Agraria lainnya Masa Kinidibentuk oleh Masa Lampau dan Masa Depan yang harusmampu diantisipasikan. Ada hubungan timbal balik antaradiri kita yang berdiri sebagai cendekiawan-teknokrat danmasyarakat di mana diri kita adalah produk masyarakat itusendiri. Namun bersamaan dengan itu kita sebagai cende-kiawan-teknokrat dituntut membantu membentuk masya-rakat yang lebih cerah daripada waktu sebelumnya, suatuhubungan dialektis. Yang penting di sini adalah STPN danInstitusi Pendidikan Agraria lainnya harus mampu menjaditempat atau wahana bertemu di kalangan sivitas akade-mikanya agar mampu merumuskan masa depan yang lebihmencerahkan.

523

Makalah PendukungREVITALISASI TRIDHARMA

PERGURUAN TINGGI DAN ARAH BARUPENELITIAN PERTANAHAN:

DUKUNGAN STPN TERHADAP PROGRAMPEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN)1

Endriatmo Soetarto dan Moh. Shohibuddin2

Reforma Agraria Sebagai Cita-cita Kemerdekaan

Ketika bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdeka-annya dari kungkungan kolonialisme, salah satu alasanpokok yang mendasari kesadaran nasionalisme itu adalahperasaan ketidakadilan atas kondisi ketimpangan agrariadi tanah air pada saat itu. Ketimpangan struktural di bidang

1 Versi ringkas tulisan ini diterbitkan di Harian Kedaulatan Rakyat,Rabu, 27 September 2006.

2 Endriatmo Soetarto adalah Ketua Sekolah Tinggi PertanahanNasional dan staf pengajar pada Fakultas Ekologi Manusia IPB. Moh.Shohibuddin adalah peneliti pada Brighten Institute dan Sajogyo Insti-tute yang berkedudukan di Bogor; saat ini turut membantu menyusunblue print transformasi kelembagaan dan pengembangan riset STPN

524

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

agraria ini lahir akibat penguasaan sumber-sumber agrariadi tanah air oleh kekuatan modal asing maupun tuan tanahfeodal yang menyebabkan rakyat kebanyakan menjadi kaumtani tak bertanah. Dihadapkan pada permasalahan mendasarini, maka wajarlah apabila kemerdekaan yang dicita-citakansaat itu salah satunya bermakna kemerdekaan bangsa In-donesia dari beban struktur agraria warisan kolonial danfeodal yang timpang dan menindas ini.

Sebagaimana diketahui bersama, kelahiran UU No. 5Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria(lazim disingkat UUPA) merupakan tonggak penting dalampolitik pembaruan agraria nasional. Melalui UUPA, bangsaIndonesia memancangkan tekad politiknya untuk mem-bongkar struktur penguasaan agraria yang bercorak kolonialdan feodal menjadi struktur penguasaan yang dapat menja-min terwujudnya “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Olehkarena itu ada lima misi utama UUPA, yaitu: (1) perom-bakan Hukum Agraria; (2) pelaksanaan land reform; (3)penataan penggunaan tanah; (4) likuidasi hak-hak asing da-lam bidang agraria; dan (5) penghapusan sisa-sisa feodaldalam bidang agraria.

Dari sini terlihat jelas bagaimana kondisi agraria yangbercorak kolonial dan feodal saat itu dan upaya transfor-masinya dalam rangka mewujudkan kemakmuran bangsatelah ditempatkan sebagai faktor penentu dalam agenda“revolusi kemerdekaan”. Hal itu berarti, ia menjadi faktorpenentu bagi pembentukan karakter bangsa dan nasionalis-me yang hendak dibangun, bagi upaya pembangunan eko-nomi yang bertumpu kepada kekuatan nasional, maupunbagi konfigurasi perundangan dan kelembagaan nasional

525

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

yang hendak ditata ke depan. Sesungguhnya di sinilah letakzitgeist, yakni semangat jaman dan situasi batin, yangmelatari diundangkannya UUPA pada tahun 1960.

Agenda transformasi struktur agraria seperti dikehen-daki UUPA inilah inti dari kebijakan reforma agraria. Padaintinya, reforma agraria adalah upaya sistematis untuk mela-kukan perubahan struktur penguasaan tanah dan perbaikanjaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yangmemanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertai-nya, dan yang diikuti pula oleh perbaikan sistem produksimelalui penyediaan fasilitas teknis dan kredit pertanian,perbaikan metode bertani, hingga infrastruktur sosial lain-nya.

Harus diakui, selama Orde Baru amanat dari cita-citakemerdekaan nasional di lapangan agraria ini cenderungdiingkari. Tidak mengherankan apabila persoalan agrarialantas hanya dilihat dalam bingkai sempit perspektif sekto-ralisme. Dengan begitu, maka ia telah diposisikan sebagai“non-faktor” dari proses ekonomi-politik yang berlangsung.Problem-problem agraria yang sudah ada maupun yang barumuncul (seperti meningkatnya kesenjangan penguasaantanah, konversi lahan pertanian, konflik dan sengketa agra-ria, dll.) hanya dilihat sebagai “dampak” belaka, atau“eksternalitas”, dari sebuah proses ekonomi-politik yangdisebut “Pembangunan”. Dengan kata lain, merupakan“efek samping” yang bisa dimengerti dan dianggap wajar-wajar saja.

Pemahaman semacam ini sudah pasti salah besar karenaapa yang disebut sebagai “efek samping” itu ternyata telahmelahirkan 1.753 sengketa tanah struktural dengan luas

526

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

lahan sengketa hampir 11 juta hektar dan menimbulkankerugian pada lebih dari 1,1 juta KK (data base KPA selamaperiode 1970-2001). Padahal ini baru kasus yang manifesdan terdokumentasi saja. Secara lebih fundamental, penga-baian agenda agraria selama sekian dekade ini telah menye-babkan transformasi agraria yang diharapkan semakin jauhdari kenyataan. Ini ditandai dengan masih bertahan dan kianmenajamnya kontradiksi-kontradiksi struktural dalamperekonomian nasional kita, dualisme antara sektor perta-nian dengan non-pertanian, antara sektor yang teknologinyamaju dengan yang teknologinya rendah; berikut segala dam-pak sosial-ekonomi-politiknya seperti: merebaknya konflikagraria, ketidakpastian hukum dalam penguasaan tanah(yang memberikan dis-insentif bagi dunia usaha), sekto-ralisasi kebijakan di bidang agraria (pertanahan, kehutanan,pertambangan, pertanian, tata ruang, sumberdaya air, ke-lautan dan pesisir, dll), instabilitas politik, dan pudarnyaperspektif mengenai harmoni sosial dalam bingkai kesatuannasional.

Revitalisasi Tridharma Perguruan Tinggi STPN

Adanya komplikasi dan konstelasi seperti dipaparkandi atas telah melahirkan beberapa problematika yang harusdigulati bangsa ini. Pertama adalah kesenjangan antara cita-cita kemerdekaan di bidang agraria dengan agenda politiknasional dari rezim yang memerintah. Kedua, kesenjanganantara imperatif pelaksanaan reforma agraria (baik yangberasal dari tuntutan cita-cita kemerdekaan, nilai-nilai luhurkebangsaan dan konstitusi maupun tuntutan dari kenyataanriil di lapangan) dengan perangkat hukum, kebijakan dan

527

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

kelembagaan untuk pelaksanaannya.Ketiga, kesenjangan antara kebutuhan teori reforma

agraria yang terus berkembang seiring dengan perubahankondisi dan tuntutan mutakhir di lapangan dengan keman-degan kajian dan diskursus mengenai berbagai aspek perso-alan agraria, termasuk di lingkungan akademis. Keempat,kesenjangan antara intensitas dan skala konflik agraria daninisiatif penataan struktur agraria di aras lokal (termasukaksi reklaiming dan land reform by leverage oleh berbagai orga-nisasi tani) dengan kemauan dan kapasitas aparatur perta-nahan untuk menanganinya secara terpadu menurut jiwadan semangat UUPA. Kelima, kesenjangan antara urgensipersoalan agraria dengan rendahnya kesadaran aparat peme-rintah maupun publik mengenai masalah ini.

Dalam kaitan ini, patut diajukan pertanyaan reflektifmengenai di mana peran Sekolah Tinggi Pertanahan Na-sional (STPN) di dalam menanggapi berbagai kesenjanganyang tersebut di atas. Sebagai institusi pendidikan kedinasankeagrariaan di bawah Badan Pertanahan Nasional (BPN),ada dua identitas yang secara intrinsik melekat pada jatidiri STPN. Di satu sisi, seperti dimuat dengan jelas dalampembukaan Statuta STPN, institusi kedinasan ini “mengem-ban tugas untuk menghasilkan sumberdaya manusiaprofesional yang dapat mengantisipasi segala tantangan,hambatan dan perubahan internal maupun eksternal dibidang pertanahan, sehingga jiwa dan semangat Undang-Undang Pokok Agraria yang populis dapat diwujudkan.”Di sisi lain, sebagai sebuah perguruan tinggi STPN meru-pakan institusi akademis yang dituntut untuk menyeleng-garakan Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, peneli-

528

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

tian dan pengabdian kepada masyarakat.Status ganda semacam ini—yakni institusi kedinasan

dan institusi akademis—pada dasarnya merupakan kele-bihan tersendiri bagi STPN yang tidak dimiliki perguruantinggi lainnya yang memiliki program studi yang terkaitdengan pertanahan. Oleh karena itu, dalam kaitan dengantuntutan menjawab sejumlah problematika yang dikemu-kakan di atas, kelebihan semacam ini seharusnya dapatdidayagunakan secara optimal oleh STPN sebagai modalpenting untuk menjalankan peran-peran strategis sebagaiberikut.

Pertama, dalam peran kedinasannya untuk menghasil-kan SDM yang profesional di bidang pertanahan, makaSTPN sesungguhnya memiliki ruang yang luas untuk mela-kukan mainstreaming agenda reforma agraria di lingkunganpemerintahan, khususnya di antara para calon birokrat agrariayang menjadi peserta didiknya. Apabila peran “ideologisasi”itu berhasil dijalankan dengan baik, melalui pembentukankarakter yang kuat melalui sistem pendidikan berasrama,disertai dengan pembekalan kemampuan analitis dan teknisyang mumpuni di bidang pertanahan, maka proses pendi-dikan di STPN ini sangat potensial untuk mewujudkan peru-bahan mindset birokrat agraria yang peka terhadap semangatUUPA sekaligus kompeten secara teknis untuk merealisa-sikan cita-cita keadilan sosial di bidang agraria.

Kedua, sebagai institusi akademis yang menjalankandharma penelitian, maka STPN dituntut untuk bisamengembangkan arah baru penelitian akademis yang bersifatkritis dan sekaligus solutif mengenai berbagai isu kebijakanpertanahan dan perubahan agraria. Dengan demikian, maka

529

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

proses penelitian itu akan dapat beresonansi langsungdengan proses-proses kebijakan di bidang pertanahan dandinamika implementasinya, baik di lingkup BPN sendiriataupun di lingkup badan pemerintah lain (pusat maupundaerah) yang bersinggungan dengan masalah pertanahan.

Ketiga, dalam menjalankan dharma ketiga (pengabdiankepada masyarakat), STPN memiliki potensi sumberdayayang besar berupa ribuan mahasiswa dan jejaring alumninya.Sebagian besar dari mereka ini adalah calon birokrat, stafyang masih aktif, dan bahkan pejabat dari Badan PertanahanNasional. Mendayagunakan potensi modal sosial yang amatbesar ini untuk dikerahkan dalam berbagai pilot project pe-nanganan beberapa kasus yang terkait dengan problematikayang dikemukakan di atas dapat menjadi satu peran strategisyang mungkin dimainkan oleh STPN.

Arah Baru Penelitian Pertanahan di STPN

untuk Mendukung PPAN

Saat ini Badan Pertanahan Nasional sedang gencar-gencarnya mempersiapkan pelaksanaan Program PembaruanAgraria Nasional. Dalam kaitan ini, STPN sebagai institusikedinasan dan sekaligus institusi akademis di bawah BPNmemiliki kepentingan besar untuk dapat berkontribusi danmengambil peranan strategis dalam proses-proses kebijakandan implementasi PPAN ini.

Sejalan dengan peran Tridharma Perguruan Tingginya,maka concern utama STPN adalah bagaimana agar pelaksa-naan penelitian dan pengembangan masyarakat dapat ber-jalan terpadu serta diarahkan untuk dapat mendukungagenda kebijakan nasional di atas. Upaya ini akan dilakukan

530

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

pada dua level sekaligus. Di satu sisi, dua dharma ini dila-kukan untuk menghasilkan naskah-naskah kebijakan yangdapat memberikan feedback terhadap formulasi kebijakannasional di tingkat pusat. Dan di sisi lain, melalui kegiatanlapangan kolaboratif-multi pihak di daerah, dua dharma inijuga didorong untuk bisa menghasilkan temuan-temuan em-piris yang sangat penting dalam rangka mendorong keber-hasilan implementasi agenda nasional maupun untukmempengaruhi proses kebijakan pembaruan agraria di leveldaerah.

Dengan menempatkan kedua dharma pada dua tataransemacam di atas, maka diharapkan akan diperoleh aku-mulasi pengetahuan dan pengalaman yang amat kaya yangberasal dari dua proses pergulatan dialektis STPN, yaitu:“formulasi kebijakan dan implementasi kebijakan” sekaligus“kiprah dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas”. Akumulasipengetahuan dan pengalaman semacam ini akan menjadibahan utama bagi pekerjaan besar rekonstruksi teori umummengenai struktur agraria dan land reform ala Indonesiayang memang dicita-citakan untuk dapat dikontribusikanoleh STPN. Karena disusun berbasis dua proses pergulatandialektis di atas, maka teori reforma agraria dimaksud (apa-bila berhasil diformulasikan menjadi sebuah buku darasuntuk pengajaran di STPN) akan benar-benar merupakanhasil rekonstruksi dari landasan kenyataan empiris yang adadi Indonesia yang sangat bhineka.

Untuk membangun teori reforma agraria semacam itu,sebuah framework studi kolaboratif sedang dikembangkansebagai kerangka konseptual yang komprehensif untuksemua penelitian individual maupun kelembagaan yang

531

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

dilakukan di STPN. Framework studi dimaksud difokuskanpada isu kebijakan mengenai “penanggulangan kemiskinanmelalui pelaksanaan reforma agraria ala Indonesia” di manaunit kabupaten dijadikan sebagai lokus pelaksanaannya.Dalam framework ini kegiatan riset kolaboratif akan meru-pakan satu tahapan menuju proses formulasi dan imple-mentasi kebijakan pembaruan agraria di daerah.

Meskipun framework ini sendiri masih akan terus disem-purnakan lagi, namun setidaknya ada tiga hal yang dapatdijadikan sebagai pilar utama untuk membangun frameworkstudi kolaboratif ini, yaitu pilar pengkajian, pilar kebijakanasset reform, dan pilar kebijakan access reform. Tiga pilar inimerupakan tahapan dalam arti logis (bukan dalam penger-tian kronologis), dan karenanya dalam pelaksanaannyaketiganya bisa berlangsung secara dialektis dan simultan.

Pilar pengkajian sendiri mencakup dua komponen studi,yaitu studi studi kemiskinan dan studi kerentanan tenurial(tenurial insecurity assessment). Studi pertama dibayangkandapat dilaksanakan dengan Pemda sebagai bagian dari ren-cana pembangunan di tingkat kabupaten, khususnya pro-gram pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangankerja. Sedangkan studi kedua mengandung dua fokus kajian:pertama, studi identifikasi struktur P4T (pemilikan, pengu-asaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah) yang dibayang-kan dapat dilaksanakan dengan Kantor Pertanahan BPN-RI; dan kedua, studi mengenai rezim tenurial dan pengu-asaan sumberdaya agraria yang ada di masyarakat yangdibayangkan dapat dilaksanakan dengan LSM atau pergu-ruan tinggi di daerah. Output dari kegiatan pengkajian inilahyang bakal melandasi formulasi dan implementasi kebijakan

532

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

pembaruan agraria di daerah yang mencakup komponenkebijakan asset reform (pilar kedua) dan kebijakan access re-form (pilar ketiga). Lebih lanjut mengenai framework ini dapatdicermati pada bagan di bawah ini (Gambar 1).

Untuk merealisasikan rencana studi kolaboratif ini,salah satu langkah penting adalah menjajagi kemungkinankolaborasi di daerah dan merumuskan tema-tema lebihspesifik yang disepakati bersama mengenai riset kolaborasiyang akan dilakukan. Apabila kolaborasi di daerah ini nan-tinya dapat diwujudkan, maka pelaksanaan Tridharma Pergu-ruan Tinggi oleh STPN akan dapat dijalankan secara terpadudan sekaligus berorientasi pada proses kebijakan secaralangsung, yakni dengan menjadikan kegiatan pendidikan,penelitian dan pengembangan masyarakat sebagai bagianyang tidak terpisahkan dari upaya kolaborasi pemahaman,penanganan dan penyelesaian atas kasus spesifik perma-salahan agraria yang menjadi fokus kegiatan.

533

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Gam

bar

1. K

eran

gka

Kon

sept

ual

Pene

litia

n K

olab

orat

if P

enan

ggul

anga

n K

emis

kina

n m

elal

ui P

elak

sana

anR

efor

ma

Agr

aria

ala

Ind

ones

ia

534

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Penutup

Pada akhirnya peran strategis STPN dalam mendukungpelaksanaan agenda reforma agraria akan diuji oleh sejauhmana ia dapat menyumbang pada pengembangan teoriumum mengenai struktur agraria dan kebijakan land reformyang khas sesuai dengan kondisi keindonesiaan, sekaliguspada saat bersamaan menyiapkan kader-kader birokratagraria yang mumpuni untuk dapat mewujudkannya.Apabila peran itu dapat diupayakan, maka STPN secarainstitusional akan dapat berproses menjadi semacam “cul-tural broaker” untuk proses-proses sebagai berikut: meng-arusutamakan agenda reforma agraria di lingkunganpemerintahan di pusat maupun daerah; memperantarai“dinamika di bawah” (inisiatif penyelesaian konflik agrariadi aras lokal) dengan “proses politik di atas” (perumusankebijakan dan dukungan legal dan program); memperantaraiakumulasi pengetahuan yang diperoleh dari riset dan pem-berdayaan masyarakat dengan perumusan kebijakan yanglebih operasional; dan pada akhirnya juga memperantaraidialog antara “pihak atas” (elit politik dan birokrasi) dan“pihak bawah” (masyarakat, civil society, dan kalangan usa-hawan) dalam rangka mendorong komunikasi, negosiasi dankonsensus bagi penyelesaian berbagai persoalan agraria.

Kesemuanya ini adalah tantangan-tantangan yang diha-dapkan kepada STPN di tengah gelombang kebangkitanagenda reforma agraria saat ini. Apakah tantangan-tan-tangan ini bisa diwujudkan STPN? Hal itu sangat tergan-tung pada civitas akademika STPN sendiri dan institusiBPN RI secara khusus, serta dukungan dari para pendukunggerakan reforma agraria secara umum. Semoga.

535

1 Penunjukan & Penetapan Kawasan Hutan

POKOK-POKOK BAHASAN

1. Penunjukan & Penetapan Kawasan Hutan

2. Reforma Agraria pada Kawasan Hutan

3. Masalah Reforma Agraria pd Kawasan Hutan

4. Kelembagaan yang diperlukan

*) Iman Santoso, Sekretaris Badan Planologi Kehutanan.

KELEMBAGAAN UNTUK DELIVERY SYSTEM DALAM PELAKSANAAN PPAN: Peran Departemen Kehutananp

Iman SantosoIman Santoso

Sekretaris Badan Planologi [email protected]

536

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Penunjukan dan Penetapan KH

KH il h di j k d /• KH: wilayah tertentu yg ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan tetap;

• Hutan tetap: KSA, KPA, HL, HPT, HP;• Tidak termasuk kawasan Hutan tetap:• Tidak termasuk kawasan Hutan tetap:

HPK

Penunjukan Kawasan Hutan

Komitmen Nasional: • UUD 1945 : Pasal 33UUD 1945 : Pasal 33,• UU No.5/1990: KSDAH dan Ekosistemnya,• UU No. 6/1994: Perubahan Iklim,• UU No. 32/1997: Pengelolaan LH, dan• UU No. 41/1999: Kehutanan

Komitmen Global:• Deklarasi Rio & Agenda 21,• Pedoman ITTO, dan• Kyoto Protocol

537

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Penunjukan KH: bagian & tindak

Penunjukan dan Penetapan KH

Penunjukan KH: bagian & tindak lanjut dari penataan ruang

Penetapan KH: bagian dari pembent kan nit/s b nitpembentukan unit/sub unit manajemen

Penunjukan dan Penetapan KH

Fungsi-fungsi Hutan :

KSA :menjaga fenomena alam dan melestarikan flora/fauna penting (CA), dan melestarikan fauna penting ddan habitatnya (SM)

HL :terutama untuk perlindungan tata tanah & air HPT :terutama untuk produksi hasil hutan secara

terbatasterbatasHP :terutama untuk produksi hasil hutanHPK :produksi hasil hutan sebelum dikonversi

untuk penggunaan lain

538

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Prinsip-Prinsip RA pada KH

• Penguasaan negara atas sumberdaya i /h tagraria/hutan

• Bingkai NKRI dan kedaulatan negara• Pengutamaan sistem penyangga

kehidupan & kesejahteraan menyeluruhFungsi sosial sumberdaya agraria/hutan• Fungsi sosial sumberdaya agraria/hutan, dan pentaatan pada fungsi ruang

Prinsip-Prinsip RA pada KH

• Hak masyarakat hukum adat, penggarap, d h k h l idan pemegang hak yg sah lainnya

• Kesetaraan dan keadilan proporsional;• Proses partisipatif, multisektor, dan

multistakeholder;Penghormatan pada nilai nilai setempat• Penghormatan pada nilai-nilai setempat

• Distribusi kewenangan yang logis dan situasional

539

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Type-type RA pada KH

• Land reform : pada HPK, namun perlu dijamin tdk terjadi transfer p j jshg masyarakat kembali tak bertanah

• Akses ke sumber-sumber ekonomi/ finansial: pasar dan pendanaan

• Akses ke pengelolaan (usufruct): hak kelola & hak pemanfaatan pada kawasan hutan tetap

Permasalahan RA pada KH

UUPA 5/1967

UUKSDAHE 51990UUK 5/1999

TAP MPR IX/2001Reforma Agraria

UU Lain ygTerkait sumberdaya

agraria

UUPA 5/1967UUTR 24/1992

540

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Permasalahan Institusional

RA pada KH

U d U d k it t h• Undang-Undang yang mengkait pertanahan kawasan hutan dan non-kawasan hutan

• Masyarakat Hukum Adat belum di PERDA-kan• Blm ada mekanisme penyelesaian okupasi yg

secara de facto sdh lama terjadi• Blm ada mekanisme penyelesaian kasus

sertifikat yg sudah ada di KH

Masalah Faktual RA pd KH

• HPK sdh dirubah menjadi APL tapi b i b b k di t kk ksebagian besar bukan diperuntukkan ke

masyarakat,• Persepsi mengenai review dan perubahan

RTRW• Persepsi yg kurang tepat atas KH• Persepsi yg kurang tepat atas KH• Tenur pada KH ‘kurang kuat’• Tenur pada KH tdk dapat digunakan untuk

mendapatkan dana bank

541

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Kelembagaan yg diperlukan

• Kriteria dan Indikator, • Aturan dan prosedur • Organisasi

Kriteria dan IndikatorKriteria Indikator

Berkurangnya Ketimpangan • Keragaman pemilikan lahan eks g y p gpemilikan, pemanfaatan, dan penggunaan lahan

g pHPK;

• Terealisasinya eclave• Terealisasinya HTR

Terevitalisasinya sektor kehutanan di sekitar/dalam k h t

• Terjadinya kegiatan produksi masyarakat di dlm/sekitar hutan

kawasaan hutan • Terinformasikannya ketentuan/ peraturan/kebijakan pd masy.

• Terbukanya masyarakat pada pasar dan lembaga pendanaan

• Meningkatnya indeks pembangunan manusia

542

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Aturan dan Prosedur

• Tegas namun dapat dikembangkan untuk ifik i l k lspesifikasi lokal:

• Mekanisme yang pasti dan sederhana sehingga transparan dan dapat dilaksanakan;

Organisasi

• Pusat : susun kriteria dan pengesahan,• Pemerintah Provinsi : Rekomendasi dalam

rangka pengendalian fungsi ruang,• Pemerintah Kabupaten/Kota: pelayanan

langsung dan pembinaan, danUPT : pelayanan teknis• UPT : pelayanan teknis

Perlukan unit khusus pengelola konflik?

543

KELEMBAGAAN UNTUK DELIVERYSYSTEM DALAM PELAKSANAAN

PROGRAM PEMBARUAN AGRARIANASIONAL (PPAN):

Peran Departemen PertanianAchmad Suryana dan Erizal Jamal*

Abstrak

Salah satu persoalan yang menyulitkan pelaksanaan pembaruan agrariadi Indonesia adalah belum adanya suatu kesepahaman antara berbagaikalangan, terutama antara pihak pengambil kebijakan dan pihak LSMserta beberapa akademisi pada sudut lain, tentang pendekatan danpola pelaksanaan pembaruan agraria itu sendiri. Melalui pelaksanaansimposium ini, kita mempunyai harapan besar untuk terjadinya dia-log yang konstruktif bagi implementasi PPAN. DepartemenPertanian sebagai muara dari semua persoalan pembangunan pertaniandan petani di Indonesia, sangat berkepentingan untuk suksesnyapelaksanaan PPAN ini, karena pengalaman empiris menunjukkanterbatasnya alternatif upaya yang dapat dilakukan untuk perbaikan

*) Achmad Suryana, Kepala Badan Litbang Departemen Pertanian.Erizal Jamal, Peneliti Utama pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi danKebijakan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.

544

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

kehidupan petani karena sempitnya rata-rata penguasaan lahan ditingkat petani. Pelaksanaan PPAN perlu direncanakan secara cermat,sehingga dampak dari kegitan ini bisa optimal. Untuk itu beberapahal berikut perlu mendapat perhatian kita bersama : (1) Kebijakanpendukung dalam upaya perbaikan distribusi dan struktur penguasaantanah, (2) Perbaikan upah buruh tani (3) Upaya pengembangankegiatan non-pertanian di pedesaan dan (4) Upaya memperkuat posisirebut tawar petani.

Pendahuluan

Keinginan pemerintah untuk merealisasikan upayaperbaikan distribusi penguasaan dan pengusahaan lahan ditingkat petani, melalui pendistribusian 8,1 juta hektar lahannegara kepada petani berlahan sempit atau tuna kisma, patutdisambut baik. Karena salah satu persoalan pelik kita selamaini adalah sempitnya rata-rata penguasaan lahan di tingkatpetani, sehingga membatasi ruang gerak kita dalam upayapeningkatan taraf hidup petani. Kami dari DepartemenPertanian yang sehari-harinya selalu berhubungan denganpetani, menyadari betul bahwa upaya ini perlu direncanakandengan seksama, sehingga upaya ini dapat menghasilkanefek pengganda yang tidak saja menguntungkan petani, teta-pi juga dapat menggerakkan perekonomian desa lebih prog-resif lagi.

Secara umum permasalahan agraria di Indonesia dapatdikelompokkan kedalam empat bentuk, yaitu: pemilikantanah yang sempit dan timpang, konflik pertanahan,inkosistensi hukum, serta kerusakan sumber daya alam.Kalau kita runut ke belakang, pangkal dari persoalan inisebagian besar merupakan warisan kolonial. Persoalandimulai dengan adanya keterlibatan swasta besar dalampemanfaatan lahan di Indonesia dari lahirnya Undang-

545

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet). Semangat dari undang-undang ini adalah memberikan berbagai kemudahan kepadapihak swasta kolonial menanamkan modalnya terutama da-lam bidang perkebunan. Upaya ini tidak diimbangi oleh pem-berian kesempatan yang memadai kepada pihak pribumi,sehingga ketimpangan pemilikan lahan berawal dari sini.

Sementara itu permasalahan yang terkait dengan aspekhukum, lebih disebabkan peraturan perundangan yang ber-laku kadangkala bersifat paradoksal dan dualistik. Sebagaicontoh, berbagai peraturan perundangan yang terkait denganupaya menahan laju alih fungsi lahan pertanian subur, terlihatadanya kepentingan yang bertolak belakang dari pemerintahsendiri. Disatu sisi hendak melindungi lahan sawah dari alihfungsi, pada sisi lain pemerintah juga mendorong pertum-buhan industri yang juga membutuhkan lahan sebagaibasisnya. Kondisi semacam inilah yang menyebabkan tim-bulnya berbagai konflik dalam hal pertanahan.

Berdasarkan gambaran di atas, diperlukan perspektifyang jauh ke depan dalam pengaturan distribusi lahan dalamprogram PPAN. Selain perlunya upaya preventif dalam men-cegah konflik, perlu pemikiran yang komprehensif berkaitandengan masalah fragmentasi lahan, skala ekonomi terhadappengembangan usaha dalam satu kawasan, serta sistem ke-lembagaan yang menjamin pemanfaatan lahan yang akandidistribusikan secara lebih baik lagi. Tulisan ini akan lebihterfokus pada saran-saran konstruktif dalam delivery sistemdalam pelaksanaan PPAN, tulisan ini akan diawali daripengalaman Departemen Pertanian dengan program sejenisdan dilanjutkan dengan beberapa saran praktis yang terkaitdengan peran Departemen Pertanian.

546

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Departemen Pertanian dan

Program Pembangunan Pedesaan

Pembangunan pertanian dan pedesaan di Indonesiadiarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatdan mengurangi jumlah rumah tangga miskin. Persoalanpokok yang dihadapi selama ini adalah, terpecahnya pelak-sanaan pembangunan yang ada atas berbagai sektor. Dalambanyak kasus, pada sektor yang mendasarkan kegiatannyapada lahan, sering terjadi tumpang tindih klaim dan perben-turan kepentingan. Akibatnya pembangunan pedesaanbelum dapat dilaksanakan secara maksimal. Sehingga preva-lensi kemiskinan di pedesaan masih merupakan fenomenaumum yang dapat ditemui pada banyak lokasi.

Persoalan lain yang terkait dengan pembangunan pede-saan adalah rendahnya produktivitas pertanian dibanding-kan sektor lain. Bila dilihat dari nilai Produk DomestikBruto (PDB) per tenaga kerja, berdasarkan harga konstan1993, pendapatan tenaga kerja pertanian hanya sekitar 0,23-0,26 dari tingkat pendapatan tenaga kerja non-pertanian.Hal ini tidak saja berkaitan dengan rendahnya akses petaniterhadap berbagai sumber permodalan tetapi juga pencer-minan dari rendahnya rata-rata luas lahan yang dikuasaipetani (Tabel 1).

547

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Tabel 1. Tingkat pendapatan tenaga Kerja pertanian dannonpertanian 1993– 2003(Rp/th harga konstan 1993)

Di sektor pertanian sendiri pembangunan selama inilebih banyak terfokus pada upaya pemenuhan kebutuhanpangan secara nasional, dan dalam beberapa kasus upayaini belum sepenuhnya sejalan dengan upaya peningkatanpendapatan petani. Untuk usahatani padi misalnya, dari sisipetani yang melaksanakan program peningkatan produksipadi, karena berbagai input yang digunakan harus di belisementara kemampuan permodalan mereka sangat lemah,menyebabkan paket program dalam upaya peningkatanproduksi lebih banyak menguntungkan dan dimanfaatkanpetani kaya. Akumulasi peningkatan hasil dari programintensifikasi telah menumbuhkan petani-petani kaya barudipedesaan yang sangat intensif dalam upaya perluasanlahan yang dikuasainya. Kondisi ini jelas mempersulit petanigurem (penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar), alternatifbagi mereka hanyalah menggarap lahan mereka dengan in-put apa adanya atau menjual lahannya pada petani kaya.

Selama tahun 1973-1993 jumlah petani kaya relatif

Periode/Tahun Pertanian Non PertanianRasio

Pertanian/Non

Pertanian

1993-1997 1.656.886 7.054.242 0,23

1998-1999 1.653.568 6.356.905 0,26

2000-2003 1.673.812 6.955.986 0,24

2000 1.627.685 6.708.731 0,24

2001 1.682.225 6.753.018 0,25

2002 1.690.718 7.021.665 0,24

2003 1.694.619 7.340.531 0,23

548

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

tetap sekitar 11,5-11,9 persen dari total rumah tanggapetani, namun persentase total areal yang mereka kuasaimeningkat dari 47,1 persen menjadi 50,2 persen. Ini berartiterjadi peningkatan rata-rata luas areal yang dikuasai petanikaya di pedesaan. Rata-rata luas pemilikan petani yangberada pada selang pemilikan 2,00 – 4,99 hektar, meningkatdari rata-rata 2,78 hektar menjadi 3,23 hektar, demikianjuga untuk golongan petani dengan pemilikan lebih dari 5,0hektar, rata-rata pemilikan meningkat dari 8,11 hektarmenjadi 11,90 hektar (Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi Usaha Tani Di Indonesia (1983-1993)

Sumber : Sensus Pertanian Indonesia 1985 dan 1995.

Hal lain yang sejalan dengan fenomena di atas, salahsatu diantaranya dari hasil analisis data Panel PetaniNasional (PATANAS) yang dilakukan Pusat PenelitianSosial Ekonomi Pertanian, Balitbang Deptan menunjukkanbahwa sekitar 51 persen dari pendapatan rumah tanggaadalah berasal dari pertanian (Di Jawa 33 persen, di LuarJawa 61 persen). Pertanian semakin penting peranannya

No.

Kelompok Luas Usaha Tani(ha)

Distribusi Usaha Tani

1983 1993

% UsahaTani

Luas Rata-Rata (ha)

% UsahaTani

Luas Rata-Rata (ha)

1. < 0,5 40,8 0,26 48,5 0,17

2. 0,5 – 1,99 44,9 0,94 39,6 0,90

3. 2,0 – 4,99 11,9 2,72 10,6 3,23

4. > 5 2,4 8,11 1,3 11,9

� Jumlah Usaha Tani (juta)

� Jumlah Areal (juta ha)

� Rata-Rata Luas Usaha Tani (ha)

15,9

16,7

1,05

17,9

15,4

0,74

549

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

sebagai gantungan nafkah utama rumah tangga pada kelas-kelas pendapatan rendah. Jika rumah tangga dipilah menjadi3 golongan: (1) 40 persen rumah tangga berpendapatanterendah, (2) 40 persen rumah tangga berpendapatan me-nengah, dan (3) 20 persen rumah tangga berpendapatantertinggi maka dapat disimak bahwa proporsi pendapatandari pertanian untuk masing-masing kelas itu adalah 62,52, dan 45 persen. Kecenderungan seperti itu konsisten baikdi Jawa maupun pedesaan Luar Jawa.

Berkaitan dengan kondisi di atas dan sejalan dengansemangat untuk merevitalisasi kembali pembangunan perta-nian, maka Departemen Pertanian pada tahun 2005-2009mencanangkan tiga program utama, yaitu : (1) Program Pe-ningkatan Ketahanan Pangan, (2) Program PengembanganAgribisnis; dan (3) Program Peningkatan Kesejahteraan Pe-tani.

Program peningkatan ketahanan pangan diarahkanuntuk memberikan fasilitasi bagi terjaminnya masyarakatmemperoleh pangan yang cukup setiap saat, sehat dan halal.Adapun sasaran yang ingin dicapai adalah: (1) dicapainyaketersediaan pangan tingkat nasional, regional dan rumahtangga yang cukup, aman dan halal, (2) meningkatnya kera-gaman produksi dan konsumsi pangan masyarakat, dan (3)meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengatasimasalah kerawanan pangan. Rencana tindak programpeningkatan ketahanan pangan yang utama antara lain: (1)Intensifikasi dan ekstensifikasi produksi komoditas panganpokok, (2) Pengembangan sumber pangan alternatif lokal,(3) Pengembangan pola konsumsi pangan lokal non-beras,(4) Fasilitasi subsidi input produksi, (5) Perumusan dan

550

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

penetapan kebijakan harga pangan, (6) Pengelolaan tataniaga pangan, (7) Penyusunan dan penerapan standarkualitas dan keamanan pangan, dan (8) Pengembangansistem kewaspadaan pangan dan gizi.

Program Pengembangan Agribisnis diarahkan untukmemfasilitasi kegiatan yang berorientasi memperluascakupan kegiatan ekonomi produktif petani serta pening-katan efisiensi dan dayasaing. Perluasan kegiatan ekonomiyang memungkinkan dilakukan adalah: (1) peningkatannilai tambah melalui pengolahan dan perbaikan kualitas;dan (2) mendorong kegiatan usahatani secara terpadu men-cakup beberapa komoditas (sistem integrasi tanaman-ternak atau sistem integrasi tanaman-ternak-ikan). Adapunsasaran dari program ini adalah: (1) berkembangnya usahadi sektor hulu, usahatani (on-farm), hilir (agroindustri) danusaha jasa penunjang; (2) meningkatnya pertumbuhan PDBsektor pertanian; dan (3) meningkatnya ekspor produk per-tanian segar dan olahan. Selanjutnya rencana tindakprogram pengembangan agribisnis yang utama antara lain:(1) Pengembangan sentra produksi komoditas unggulan,(2) Penyuluhan, pendampingan, pendidikan dan pelatihankewirausahaan, (3) Pengembangan varietas/jenis ternak ung-gul, (4) Pengembangan teknologi mekanisasi pertanian un-tuk peningkatan produktivitas dan efisiensi, serta peman-faatan sumberdaya energi terbarukan, (5) Pemanfaatanbioteknologi untuk perbaikan tanaman dan ternak, (6) Pene-rapan teknologi pasca panen, (7) Pengembangan agro-industri di kawasan sentra produksi, dan (8) Penyesuaiankebijakan tarif impor dan subsidi ekspor.

Program peningkatan kesejahteraan petani

551

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

diarahkan untuk memfasilitasi peningkatan pendapatanpetani melalui pemberdayaan, peningkatan akses terhadapsumberdaya usaha pertanian, pengembangan kelembagaan,dan perlindungan terhadap petani. Sedangkan sasaran yangingin dicapai adalah: (1) meningkatnya kapasitas dan posisitawar petani, (2) semakin kokohnya kelembagaan petani,(3) meningkatnya akses petani terhadap sumberdaya pro-duktif; dan (4) meningkatnya pendapatan petani.

Rencana tindak program peningkatan kesejahteraanpetani yang utama antara lain: (1) Penguatan kelembagaanpenyuluhan dan pertanian lain di perdesaan, (2) Pengem-bangan diversifikasi usaha rumahtangga berbasis pertanian,(3) Advokasi penataan hak pemilikan, sertifikasi dan pen-cegahan konversi lahan, (4) Perumusan kebijakan penataan,pemanfaatan dan pajak progresif lahan, (5) Pemberianinsentif usaha dan promosi investasi, (6) Fasilitasi investasidan kemitraan usaha, (7) peningkatan infrastruktur perde-saan, dan (8) Pengembangan model kelembagaan usahataniberbasis inovasi pertanian.

Langkah-Langkah yang Dapat Dilakukan

Departemen Pertanian

Dalam upaya mendukung pelaksanaan PPAN, Depar-temen Pertanian, melalui berbagai kelembagaan yang adadapat membantu dalam percepatan pelaksanaannya dansinkronisasi program lintas sektor. Namun sebelum itu perluidentifikasi secara tepat berbagai persoalan yang ada dalampelaksanaan PPAN, serta berbagai atribut yang perlumendapat perhatian dalam pelaksanaannya kelak.

Dari sudut pandang sosial ekonomi, masalah perta-

552

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

nahan di Indonesia pada saat ini dan di masa mendatangmasih akan berkutat dengan implikasi dari faktor-faktor be-rikut:1. Disparitas pembangunan antar sektor yang kurang

serasi2. Disparitas pembangunan antar wilayah yang cukup

besar3. Sistem administrasi pertanahan dan penegakan hukum

yang belum memadai4. Implementasi Undang-Undang Penataan Ruang masih

lemah5. Penguasaan tanah tidak kondusif untuk pengembangan

pertanian yang kompatibel dengan tuntutan pening-katan keunggulan kompetitif produk. Rata-rata pengu-asaan tanah terlalu kecil dan terus menyusut seiringdengan meningkatnya jumlah penduduk dan terus ber-langsungnya pemecahan lahan melalui pewarisan.

6. Persaingan antar sektor, antar golongan masyarakatataupun antar individu untuk memperoleh lahansemakin tajam. Peningkatan kebutuhan tanah untukpengembangan prasarana perhubungan, industri, jasa,dan pemukiman serta untuk pertanian.Karenanya upaya pemerintah untuk memperbaiki

distribusi penguasaan lahan di tingkat petani, melaluipemanfaatan lahan-lahan negara, patut disambut baik.Namun harus mendapat perhatian dari semua pihak terkait,bahwa upaya ini harus mempertimbangkan beberapa faktorstrategis berikut:1. Perangkat pendukung perbaikan distribusi dan

struktur penguasaan tanah.

553

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Secara teoritis, redistribusi tanah (land reform) adalahjawaban paling tajam yang dapat diajukan dalam uapayperbaikan distribusi tanah ditingkat petani. Akan tetapi,perumusan maupun implementasi kebijakan mengenaisubstansi ini memang membutuhkan suatu keputusanpolitik yang berani. Dalam konteks demikian itu, pem-baruan agraria merupakan pendekatan yang secara teo-ritis maupun empiris layak ditempuh. Dalam pem-baruan agraria, perbaikan distribusi penguasaan tanahditempuh melalui dua jalur: (i) distribusi pemilikan, dan(ii) distribusi penggarapan.Sebelum sampai pada keputusan tersebut, langkah per-tama yang harus dibenahi adalah sistem dokumentasidan administrasi pertanahan. Penegakan hukum dibidang pertanahan sebagaimana tertuang dalam UUPAharus dilakukan secara konsisten dan konsekuen.Simultan dengan itu, perlu dipikirkan pula kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk mencegah fragmentasitanah lebih lanjut. Pola pewarisan barangkali perludikaji. Sistem transaksi tanah antara satu pihak denganpihak lain harus dibatasi apabila kecenderungannyaadalah untuk memperlakukan tanah sebagai komoditas.Pemanfaatan ruang harus efisien. Konversi lahanpertanian ke non pertanian harus dikendalikan sampaipada tingkat paling rendah, karena bukan hanya luasanlahan pertanian menjadi semakin sempit tetapi lahan-lahan disekitarnya pada umumnya menjadi tidak kon-dusif lagi untuk kegiatan pertanian.Pada saat yang sama, perbaikan persebaran pendudukharus terus diupayakan, baik secara langsung maupun

554

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

tidak langsung. Terkait dengan konteks ini, dalam imple-mentasi undang-undang perluasan otonomi daerahdiperlukan berbagai pendekatan yang dapat mengeli-minasi/ meminimalkan konflik-konflik pendatangdengan penduduk setempat.

2. Perbaikan upah buruh tani.Sulit untuk membayangkan rumah tangga pedesaandapat memenuhi kebutuhan hidupnya apabila sumberpendapatan utamanya harus tergantung pada kegiatanburuh tani semata. Permintaan tenaga kerja di pertanianadalah berfluktuasi dan musiman (seasonal). Sementaraitu, jumlah permintaan tenaga kerja per unit luasanusahatani semakin menurun pula.Perbaikan upah buruh tani harus dilakukan secara tidaklangsung melalui peningkatan intensitas pengusahaangarapan usahatani maupun melalui penciptaan kesem-patan kerja non pertanian yang dapat menyerap tenagakerja lebih banyak. Secara teoritis sulit untuk mela-kukan intervensi formal dalam perbaikan upah buruhtani karena posisi petani maupun buruh tani dilematis.Hal ini disebabkan sebagian besar buruh tani adalahjuga petani, demikian pula sebaliknya. Akibatnyaseorang petani di satu sisi berdiri sebagai pihak pema-sok tenaga kerja (sisi penawaran), di bagian lain ketikaberurusan dengan usahatani garapannya mereka berdiridi sisi permintaan.Tidak ada suatu kebijaksanaan yang dapat menjawabbanyak masalah, dan tak ada suatu masalah yang peme-cahannya hanya membutuhkan satu pendekatan.Dengan kata lain masih banyak aspek-aspek relevan

555

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

yang sinergis dengan upaya-upaya tersebut di atas yangharus ditempuh. Kebijaksanaan-kebijaksanaan dibidang harga (masukan maupun keluaran), subsidi dibidang sarana/prasarana pertanian, dan kebijakan yangditujukan untuk pemberdayaan kelembagaan-kelemba-gaan lokal/tradisional yang berkenaan dengan redis-tribusi pendapatan masyarakat adalah beberapa contohyang dimaksud.

3. Upaya Pengembangan Kegiatan non-pertanian diPedesaanSelain hal atas, permasalahan lain yang menghambatpelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia adalahkurangnya perhatian terhadap syarat keharusan bagiterlaksananya pembaruan agraria, yaitu tersedia danberkembangnya kegiatan non-pertanian di wilayah pe-desaan. Berbagai kalangan, terutama pihak LSM danbeberapa akademisi lebih menekankan prasyarat politisyang dapat dikategorikan sebagai syarat kecukupan bagipelaksanaan pembaruan agraria, dengan melihat danmenyoroti kemauan politik dari pemerintah, data yangakurat, organisasi tani yang kuat, elit politik dan bisnisyang terpisah dan dukungan dari angkatan bersenjatadan kepolisian (KPA dan Wiradi dalam berbagai tulisan-nya).Padahal Hayami dan Kikuchi dalam bukunya Asianvillage economy at the crossroads (1981) secara gamblangmenguraikan bahwa berkembangnya kegiatan non-pertanian di pedesaan, merupakan kunci keberhasilanJepang dan Taiwan dalam memperbaiki struktur pengua-saan lahan di tingkat petaninya. Dengan berkembang-

556

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

nya kegitan non-pertanian di wilayah pedesaan di keduanegara tersebut, kelebihan tenaga kerja di pertanianakibat restrukturisasi penguasaan lahan yang ada, dapatdiserap oleh sektor non-pertanian.Logikanya, bagaiman mungkin dapat dilakukan per-baikan terhadap struktur penguasaan lahan ada, bilapetani yang terpaksa tersingkir akibat dari upaya ini,tidak mempunyai alternatif lapangan pekerjaan yangmemadai bagi hidupnya. Sementara itu upaya per-baikan distribusi penguasaan lahan dengan membagikanlahan negara, perlu dibarengi dengan pengembanganusaha yang dapat mengurangi tekanan terhadap lahanyang ada. Pengalam sebelumnya menunjukkan bahwatanpa upaya ini, petani yang menerima lahan dalamkurun waktu tertentu akan kembali menjadi gurem,karena keturunan mereka tidak punya alternatif usahalain yang tidak terkait dengan lahan yang dimilikinya.

4. Penguatan Posisi Rebut Tawar PetaniSalah satu titik lemah sistem pertanian kita, yang perlusegera kita carikan jalan pemecahannya, adalahabsennnya organisasi ekonomi petani yang kokohsebagai salah satu ciri pertanian modern. Petani cende-rung berusaha sendiri-sendiri, sangat tergantung kepadabantuan pemerintah dan pelaku usaha lainnya seperti :pabrikan, pedagang dan pemilik modal. Pertanian indi-vidual seperti ini tentu saja menjadi tidak efisien karenaharus mendatangkan input dalam volume kecil, sertajuga mengalami masalah dalam peningkatan produk-tivitas dan mutu hasil, pemasaran, akses ke teknologidan permodalan.

557

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Berbeda dengan petani di negara-negara maju yangmemperoleh dukungan domestik (domestic support)yang memadai, petani Indonesia sangat minin dukungandomestik. Bahkan harus selalu menerima beban ke-tidakeffisienan sektor lainnnya. Naiknya harga inputdan dibatasinya kenaikan harga komoditas pangantanpa dukungan domestik yang memadai, misalnya,merupakan jawaban mengapa petani kita tidak kunjungsejahtera dan pertanian primer menjadi kurang menarikbagi generasi muda. Bunga bank yang relatif mahaldibandingkan dengan negara-negara lain, serta persya-ratan perbankan yang sulit dipenuhi petani, mengaki-batkan petani harus tergantung kepada pemilik modalswasta yang menyediakan bunga atau bagi hasil yangkurang menguntungkan petani.Di era otonomi daerah, perhatian pemerintah daerahterhadap pertanian secara umum dapat dikatakansemakin menurun. Maraknya alih fungsi lahan pertaniansubur di berbagai lokasi merupakan salah satu buktidari sinyalemen di atas. Selain itu penyuluh pertanianyang sudah menunjukkan peran nyata dalam pencapaianswasembada pangan, kurang mendapat perhatian yangmemadai. Sementara itu pungutan dan retribusi terha-dap usaha pertanian, dengan alasan pendapatan asli da-erah (PAD) semakin menurunkan daya saing komoditikita.Dalam masalah harga, petani belum sepenuhnya bisamenikmati harga yang baik karena tingginya fluktuasiharga antar musim panen dan panceklik. Selain itu mi-nimnya fasilitas, pengetahuan serta bimbingan dalam

558

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

pasca panen juga berpengaruh terhadap rendahnya har-ga yang diterima petani. Demikian juga dalam hal aksesterhadap sarana produksi, petani sulit untuk mendapatsarana produksi yang murah dan tepat waktu yang an-tara lain disebabkan oleh buruknya berbagai infra-struktur pendukung, terutama jalan.Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disiniadalah belum terbentuknya suatu sistem perencanaanpembangunan pertanian yang berjenjang dengan baik,dari tingkat desa sampai tingkat pusat. Masih jarangkita temui wilayah kabupaten, apalagi kecamatan ataudesa, yang memiliki cetak biru (master plan) pem-bangunan pertanian dan tahapan-tahapan pencapaian-nya (road map). Proposal-proposal pembangunan perta-nian seringkali dibuat parsial dan tidak jelas kemanaarahnya. Berbeda dengan Thailand misalnya, yang telahberhasil mengembangkan OTOP (one tamboun oneproduct atau satu desa satu produk), kabupaten-kabupaten di Indonesia pada umumnya belum memilikifokus penanganan komoditas, sehingga wajah pem-bangunan pertanian kita belum tertata dengan baik.Kondisi ini menyebabkan sulitnya mengumpulkan satuproduk pertanian yang bermutu, karena areal pengem-bangannya tersebar/terpencar yang membuat mahalbiaya pengumpulan dan sulitnya melakukan bimbingandan pengawalan.

Pada tataran praktis yang dapat dilakukan Depar-temen Pertanian adalah :(1) Dalam konteks pengkajian ulang peraturan dan

559

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

perundang-undangan, Departemen Pertanian dapatmengkaji ulang seluruh produk hukum yang dikeluarkanDepartemen Pertanian sendiri, untuk kemudian disin-kronkan dengan UUPA, Tap MPR, dan produk hukumdari departemen lain. Beberapa produk hukum perludiperkuat posisinya misalnya perlindungan lahanpertanian dari konversi melalui RUU Lahan PertanianAbadi yang saat ini sedang disusun, perbaikan sistembagi hasil, dan peningkatan akses petani terhadap sum-ber daya air.

(2) Untuk penataan kembali penguasaan, pemilikan,penggunaan dan pemanfaatan, perlu dilakukan rekapi-tulasi secara menyuluruh konfigurasi penguasaan lahanyang terjadi antara pemerintah, rakyat, dan swasta. Disisi lain, dalam konteks aspek non-landreform Depar-temen Pertanian dapat menyampaikan peta kebutuhantanah pertanian berdasarkan kebutuhan ketahananpangan nasional.

(3) Pendataan pertanahan yang terpenting bagi sektorpertanian adalah data potensi tanah di Indonesia denganmempertimbangkan kesesuaian agroekosistem sertapertimbangan konservasi.

(4) Dalam konteks penyelesaian konflik pertanahan,Departemen Pertanian akan pro-aktif memberikan datadan bantuan teknis dalam penyelesasian konflikpenguasaan antara petani dengan swasta besar, tanahpertanian, dan tanah negara lain.

(5) Departemen Pertanian juga akan memperkuat orga-nisasi petani, dalam konteks sebagai organisasi produksi

560

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

ekonomi maupun politik.(6) Dari sisi pembiayaan, Departemen Pertanian dapat

mengusulkan pembiayaan yang dibutuhkan, khususnyauntuk seluruh peran yang harus dijalankan untukmengimplementasikan reforma agraria.

Kelembagaan Pemerintah daerah

Sejalan dengan semangat otonomi daerah, DepartemenPertanian menyadari bahwa pembagian kewenangan danperan instansi pusat dan daerah perlu diperhatikan. Berda-sarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Da-erah, khususnya pasal 11 ayat 1 dan 2, disebutkan bahwatugas pertanahan merupakan bidang pemerintahan yangwajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan kota. Aturanini merupakan implementasi dari Pasal 2 UUPA No. 5 tahun1960 yaitu “hak menguasai dari negara pelaksanaannyadapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra danmasyarakat hukum adat”.

Meskipun pemerintah daerah bersama-sama denganmasyarakatnya telah memiliki legalitas yang cukup untukmelakukan reforma agraria di wilayah mereka, namunberbagai permasalahan kendala sosial, politik, dan ekonomimasih menjadi kendala yang nyata. Stigma politik yangnegatif terhadap konsep reforma agraria pada masa lalu,khususnya pada pelaksanaan landreform di zaman OrdeLama, menyebabkan permasalahan ini belum menjadi topikyang populer baik pada tingkat birokrasi maupun masya-rakat. Namun, sebagaimana yang telah diamanatkan dalamTap MPR no. IX tahun 2001 tersebut, maka reforma agrariasudah harus menjadi tugas birokrasi lokal, dan sekaligus

561

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

semua pemangku kepentingan yang terkait.Dalam upaya memposisikan peran pusat dan daerah

ini, sebaiknya pemerintah pusat lebih memfokuskan kepadakebijakan tentang Hukum Tanah Nasional, pemerintahanpropinsi pada kewenangan yang bersifat lintas kabupaten,sedangkan pemerintahan kabupaten/kota akan menitikbe-ratkan kepada pelayanan di bidang agrarianya. Urusanpertanahan tidak harus seluruhnya berada di pemerintahankabupaten/kota. Wewenang yang berada di kabupaten/kotamengenai pertanahan sebatas yang bersifat lokalitas, teruta-ma dalam penetapan spatial planning, izin lokasi, dan izinprinsip.

Penutup

Secara teknis Departemen Pertanian sudah siap denganberbagai kelembagaan yang ada atau bentukan baru untukmenyukseskan implementasi PPAN. Namun perlu disadaribersama, bahwa yang terpenting dari semua itu adalah ada-nya konsistensi perhatian yang seimbang semua pemangkukepentingan yang ada, dan terus terbinanya dialog yang kon-struktif bagi terlaksananya PPAN. Pelaksanaan uji cobaPPAN tahun depan diharapkan dapat makin memperkayapemahaman kita bersama terhadap berbagai permasalahandalam implementasi PPAN, dan semua pentahapan yangdirencanakan dapat dilaksanakan secara baik, sehingga upa-ya ini benar-benar dapat dijadikan sebagai titik awal dalammemperbaiki penguasaan lahan di tingkat petani.

562

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Daftar Pustaka

Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan, Deputi Otonomidaerah dan Pengembangan Regional, Bappenas.Jakarta, 12 September 2002.

Fauzi, Noer. 2002. Land reform sebagai Variabel Sosial:Perkiraan tentang Rintangan Politik dan FinansialPelaksanaan Land Reform. Seminar “mengkajiKembali Land Reform d Indonesia. BPN, LandLaw Initiative (LLI) dan Rural Development Insti-tute (RDI), Jakarta 8 Mei 2002.

Jamal, Erizal; Tri Pranadji; Aten M. Hurun; Adi Setyanto;Roosgandha E. Manurung; dan Yusuf Nopirin.2001. Struktur dan dinamika penguasaan lahanpada komunitas lokal. Laporan Penelitian PSE no.526, Bogor.

Harsono, Boedi. 2002. Menuju penyempurnaan hukumtanah nasiona dalam hubungannya dengan TapMPR RI Nomor IX tahun 2001, makalah pad semi-nar nasional pertanahan 2002 “pembaruan agraria”.STPN Yogyakarta, tanggal 16 Juli 2002.

Husodo, SY. Penataan Keagrariaan dan Pertanahan WujudKesinambungan Pertanian. Dalam: EndangSuhendar dkk. (eds) 2002. Menuju KeadilanAgraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. YayasanAKATIGA, Bandung.

Hussein, Benyamin. 2002. Kelembagaan Pertanahan dalamEra Desentralisasi dan Otonomi Daerah. DiskusiPengembangan Kebijakan Pertanahan dalam EraDesentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Perta-nahan Kepada Masyarakat. Direktorat Tata Ruang

563

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

dan Pertanahan, Deputi Otonomi daerah danPengembangan Regional, Bappenas. Jakarta, 12September 2002.

Mubyarto. 2002. Reforma Agraria Menuju PertananBerkelanjutan. Diskusi Panel “Pembaruan Agraria”di Hotel Salak Bogor, 11 September 2002, De-partemen Peratnain.

Nasikun. 2002. Pembaruan Agraria: Perjalanan yang TidakBoleh Berakhir. Dalam Endang Suhendar dkk.(eds) 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 TahunGunawan Wiradi. Yayasan AKATIGA, Bandung.

Simatupang, Pantjar. 2002. Reforma Agraria MenujuPertanan Berkelanjutan: Komentar Terhadap Maka-lah Profesor Mubyarto. Diskusi Panel “PembaruanAgraria” di Hotel Salak Bogor, 11 September 2002,Departemen Peratanin.***

Sitorus, Oloan. 2002. Pembagian Kewenangan usat,Propinsi, dan Daerah di Bidang Pertanahan. DiskusiPengembangan Kebijakan Pertanahan dalam EraDesentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Perta-nahan Kepada Masyarakat.

Sumaryanto; Syahyuti, Saptana, Bambang Irawan, dan AtenM. Hurun. 2002. Kajian pembaruan agraria dalammendukung pengembangan usaha dan sistemagribisnis. Laporan Penelitian PSE no. 561, Bogor.

564

PENDAHULUAN

Upaya perbaikan distribusi penguasaan dan p y p p gpengusahaan lahan di tingkat petani, patut disambut baik.sempitnya rata-rata penguasaan lahan di tingkat petani membatasi ruang gerak kita dalam upaya peningkatan taraf hidup petani.

2

KELEMBAGAAN UNTUK DELIVERY SYSTEM DALAM PELAKSANAAN

PPAN: Peran Departemen Pertanian

Oleh:Oleh:Achmad Suryana dan Erizal JamalAchmad Suryana dan Erizal Jamal

Badan Litbang Departemen Pertanian Badan Litbang Departemen Pertanian

1

SIMPOSIUM PEMBARUAN AGRARIAJAKARTA 12 DESEMBER 2006

565

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

PENDAHULUAN

Upaya ini perlu direncanakan dengan seksama agar menghasilkan efekseksama agar menghasilkan efek pengganda menguntungkan petani, dan juga menggerakkan perekonomian desa lebih progresif lagi.

3

g

PENDAHULUAN

Diperlukan perspektif yang jauh ke depan dalam pengaturan distribusidepan dalam pengaturan distribusi lahan dalam program PPANBerkaitan dengan fragmentasi lahan, skala ekonomi, sistem kelembagaan yang menjamin pemanfaatan lahan

4

y g j pyang akan didistribusikan secara lebih baik.

566

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Departemen Pertanian dan Program Pembangunan Pedesaan

Pembangunan pertanian dan pedesaan di Indonesiapedesaan di Indonesia meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi RT MiskinTerpecahnya pelaksanaan

5

Terpecahnya pelaksanaan pembangunan yang ada atas berbagai sektor.

Departemen Pertanian dan Program Pembangunan Pedesaan

Persoalan lain : rendahnya produktivitas pertanianproduktivitas pertanian dibandingkan sektor lainUpaya peningkatan produksi belum sejalan dengan upaya

6

peningkatan pendapatan petani

567

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Departemen Pertanian dan Program Pembangunan Pedesaan

Akumulasi peningkatan hasil dari program intensifikasiprogram intensifikasi menumbuhkan petani kaya baru dipedesaan.Alternatif petani gurem menggarap lahan mereka dengan input apa

7

lahan mereka dengan input apa adanya atau menjual lahannya pada petani kaya.

Departemen Pertanian dan Program Pembangunan Pedesaan

Menjawab tantangan di atas Departemen Pertanian mencanangkan pogram g p gpembangunan pertanian periode 2005-2009 yaitu:

(1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan,

(2) P P b A ibi i d

8

(2) Program Pengembangan Agribisnis; dan (3) Program Peningkatan Kesejahteraan

Petani.

568

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Masalah pertanahan di Indonesia pada saat ini dan di masa mendatang

Disparitas pembangunan antar sektor yang kurang serasiyang kurang serasiDisparitas pembangunan antar wilayah yang cukup besarSistem administrasi pertanahan dan penegakan hukum yang belum

9

penegakan hukum yang belum memadai

Masalah pertanahan di Indonesia pada saat ini dan di masa mendatang

Penguasaan tanah tidak kondusif untuk pengembangan pertanianuntuk pengembangan pertanian Persaingan antar sektor, antar golongan masyarakat ataupun antar individu untuk memperoleh lahan semakin tajam

10

semakin tajam.

569

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Upaya Perbaikan Pertimbangkan beberapa faktor strategis

1. Perbaikan distribusi dan strukturpenguasaan tanahpenguasaan tanah.

2. Perbaikan upah buruh tani.3. Upaya Pengembangan Kegiatan

non-pertanian di Pedesaan4 P t P i i R b t T

11

4. Penguatan Posisi Rebut TawarPetani (kelompok Tani)

Hal-hal yang perlu mendapat perhaian

Perlu dilakukan rekapitulasi secara menyuluruh konfigurasi penguasaan lahan y g p gyang terjadi antara pemerintah, rakyat, dan swasta.Pendataan potensi pertanahan dengan mempertimbangkan kesesuaian agroekosistem dan pertimbangan

12

agroekosistem dan pertimbangan konservasi

570

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Kelembagaan untuk Delivery Sistem

Undang-Undang dan PeraturanP t i P iPetani PenerimaDepartemen Pertanian beserta jajarannya

13

Undang-Undang dan Peraturan

Undang-Undang Perkebunan, Undang-Undang Budidaya Pertanian,Undang-Undang Lahan

( )Pertanian Abad i (dalam proses), Undang-Undang Penyuluhan.Persoalannya pada Implementasi dan Tindak lanjut.Kita Perlukan : Kesepakatan Nasional

14

Pertanian mau kemana? (Proyeksi tahun 2010,2025)

571

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Undang-Undang dan Peraturan

Otonomi daerah Perhatian Terhadap Pertanian Rendah (Alokasi Anggaran < 8%).Perhatian Kepala Daerah Thd Pertanian tidak samaKeberhasilan Pembangunan Pertanian Tolak ukur Keberhasilan DaerahAlokasi Anggaran Konversi lahan Pertanian

15

ggRendah

Petani Penerima

Rata-rata Usia Petani di atas 48 Tahun,semakin langka Generasi Muda t t ik d P t itertarik pada Pertanian85% petani Jawa Barat menguasa lahankurang dari 0,5 hektar (Petanian Pekerjaansambilan)Kelompok tani Mati suri Gapoktan

16

p pPenyuluh Pertanian Terbatas dan banyak terlibat dalam pekerjaan administrasi

572

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Departemen Pertanian danJajarannyaDitjen Pengelolaan Lahan dan Air Optimalisasi Pemanfaatan lahan (bukan p (penguasaan)Dinas di daerah Dibawah Pemda, menyulitkan koordinasi, selain itu jumlahnya terbatas.K l Di P i B k J b

17

Kepala Dinas Pertanian Bukan Jabatan karier lagi

Peran Deptan dalam PPAN

Departemen Pertanian dapat mengkaji ulang seluruh produk hukummengkaji ulang seluruh produk hukum yang dikeluarkannya, untuk kemudian disinkronkan dengan UUPA, Tap MPR, dan produk hukum dari departemen lain.

18

p

573

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Peran Deptan dalam PPAN

Dalam konteks penyelesaian konflik pertanahan Departemen Pertanianpertanahan, Departemen Pertanian akan pro-aktif memberikan data dan bantuan teknis dalam penyelesasian konflik .Departemen Pertanian juga akan

19

Departemen Pertanian juga akan memperkuat organisasi petani .

20

574

Permasalahan Permasalahan

Perbendaan cara pandang menghasilkan rumusan permasalahan Perbendaan cara pandang menghasilkan rumusan permasalahan yang berbedayang berbeda--beda sehingga menyebabkan pilihan solusi yang beda sehingga menyebabkan pilihan solusi yang y gy g gg y p y ggg y p y gjuga berbedajuga berbeda--bedabeda

Apa yang “workable” di negara lain, belum tentu “workable” Apa yang “workable” di negara lain, belum tentu “workable” untuk Indonesiauntuk Indonesia

Indonesia juga kondisi untuk masingIndonesia juga kondisi untuk masing--masing wilayahnya beraneka ragam masing wilayahnya beraneka ragam sehingga memerlukan solusi yang tidak homogensehingga memerlukan solusi yang tidak homogen

Perlu menggunakan cara pandang yang “pas” untuk ruang dan Perlu menggunakan cara pandang yang “pas” untuk ruang dan waktu serta karakteristik yang sesuai dengan kondisi masingwaktu serta karakteristik yang sesuai dengan kondisi masing--waktu serta karakteristik yang sesuai dengan kondisi masingwaktu serta karakteristik yang sesuai dengan kondisi masingmasing permasalahanmasing permasalahan

Misalnya: ruang dan waktuMisalnya: ruang dan waktu abad keabad ke--21; kondisi Jawa dan Luar 21; kondisi Jawa dan Luar Jawa.Jawa.

*) Agus Pakpahan,Deputi Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas,Percetakan, dan Penerbitan Kemen BUMN.

REFORMASI AGRARIA: REFORMASI AGRARIA: KONSOLIDASI DANKONSOLIDASI DANKONSOLIDASI DAN KONSOLIDASI DAN

TRANSFORMASI EKONOMI TRANSFORMASI EKONOMI PERDESAANPERDESAAN

Agus PakpahanAgus Pakpahan

Deputi Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan Deputi Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitandan Penerbitandan Penerbitandan Penerbitan

Kementrian Badan Usaha Milik NegaraKementrian Badan Usaha Milik Negara

Jakarta, 12 Desember 2006 Jakarta, 12 Desember 2006

575

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Simplifikasi PermasalahanSimplifikasi Permasalahan

JawaJawa

Kepadatan penduduk per satuan Kepadatan penduduk per satuan wilayah yg sudah sangat tinggiwilayah yg sudah sangat tinggi

Luar JawaLuar JawaKepadatan penduduk per satuan wilayah Kepadatan penduduk per satuan wilayah rendah relatif thd Jawarendah relatif thd Jawawilayah yg sudah sangat tinggiwilayah yg sudah sangat tinggi

Pertumbuhan penduduk yang masih Pertumbuhan penduduk yang masih tinggitinggi

Laju dan skala konversi lahan pertanian Laju dan skala konversi lahan pertanian tinggitinggi

Masih tergantung terhadap pertanianMasih tergantung terhadap pertanian

Kerusakan lingkungan berhubungan Kerusakan lingkungan berhubungan erat dengan kependudukanerat dengan kependudukan

Pusat penghasil pangan nasional, Pusat penghasil pangan nasional, khususnya padi dan palawijakhususnya padi dan palawija

JJ

Pertumbuhan penduduk yang masih tinggi Pertumbuhan penduduk yang masih tinggi dengan distribusi tdk meratadengan distribusi tdk merata

Laju dan skala konversi lahan pertanian Laju dan skala konversi lahan pertanian relatif rendah dan masih tergantung relatif rendah dan masih tergantung terhadap pertanianterhadap pertanian

Kerusakan lingkungan berhubungan erat Kerusakan lingkungan berhubungan erat dengan eksploitasi SDAdengan eksploitasi SDA

Pusat penghasil nonPusat penghasil non--pangan nasional, seperti pangan nasional, seperti perkebunan dan kehutanan;perkebunan dan kehutanan;

Infrastruktur relatif belum berkembang, Infrastruktur relatif belum berkembang, khususnya KTI; indikator: jumlah kotakhususnya KTI; indikator: jumlah kotay p p jy p p j

Infrastruktur relatif sudah berkembangInfrastruktur relatif sudah berkembang

Pengangguran besar proporsional Pengangguran besar proporsional terhadap jumlah penduduk terhadap jumlah penduduk

khususnya KTI; indikator: jumlah kota khususnya KTI; indikator: jumlah kota terbatasterbatas

Pengangguran besarPengangguran besar

Kesempatan investasi di bidang pertanian Kesempatan investasi di bidang pertanian besar; didominasi investasi perkebunan; besar; didominasi investasi perkebunan; khususnya k. sawit. khususnya k. sawit.

Potensi perikanan besar, khususnya KTI Potensi perikanan besar, khususnya KTI

DUA SKEKARIO BESAR DUA SKEKARIO BESAR REFORMASI AGRARIAREFORMASI AGRARIA

SKENARIO ISKENARIO I

REDISTRIBUSI ASSET LAHAN REDISTRIBUSI ASSET LAHAN UNTUK PETANIUNTUK PETANI

SKENARIO IISKENARIO II

TRANSFORMASI EKONOMI TRANSFORMASI EKONOMI SEKALIGUS KONSOLIDASISEKALIGUS KONSOLIDASIUNTUK PETANIUNTUK PETANI

LAND REFORMLAND REFORM

PENYEDIAAN LAHAN BARU PENYEDIAAN LAHAN BARU UNTUK PETANIUNTUK PETANI

SEKALIGUS KONSOLIDASI SEKALIGUS KONSOLIDASI PERTANIANPERTANIAN

PENINGKATAN SKALA USAHA PENINGKATAN SKALA USAHA PETANI SEBAGAI HASIL DARI PETANI SEBAGAI HASIL DARI TRANSFORMASI EKONOMI TRANSFORMASI EKONOMI YANG MENGALIRKAN TENAGA YANG MENGALIRKAN TENAGA KERJA KE SEKTOR NON KERJA KE SEKTOR NON PERTANIANPERTANIAN

REFORMASI AGRARIA REFORMASI AGRARIA MERUPAKAN PROSES YANG MERUPAKAN PROSES YANG KOMPLEKS YANGKOMPLEKS YANGKOMPLEKS, YANG KOMPLEKS, YANG MENSINERGISKAN SEMUA MENSINERGISKAN SEMUA ASPEK PEMBANGUNAN ASPEK PEMBANGUNAN DENGAN SASARAN UTAMA DENGAN SASARAN UTAMA TRANSFORMASI EKONOMI.TRANSFORMASI EKONOMI.

576

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

KERANGKA PEMIKIRANKERANGKA PEMIKIRAN

CARA PANDANG ICARA PANDANG I1.1. TANAH SEBAGAI SUMBER TANAH SEBAGAI SUMBER

KESEJAHTERAANKESEJAHTERAAN

CARA PANDANG IICARA PANDANG II1.1. PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, PENGETAHUAN, TEKNOLOGI,

INFORMASI SEBAGAI SUMBER INFORMASI SEBAGAI SUMBER JJ

2.2. PETANI SEBAGAI INDIVIDUPETANI SEBAGAI INDIVIDU

3.3. PERTANIAN PRIMER BERDIRI PERTANIAN PRIMER BERDIRI SENDIRI DAN TERPISAHSENDIRI DAN TERPISAH

4.4. FOKUS PADA “FUNGSI FOKUS PADA “FUNGSI PRODUKSI”PRODUKSI”

5.5. ORGANISASI EKONOMI PETANI ORGANISASI EKONOMI PETANI BERSIFAT ORGANISASI SOSIALBERSIFAT ORGANISASI SOSIAL

6.6. ORGANISASI EKONOMI TIDAK ORGANISASI EKONOMI TIDAK DAPAT MEDAPAT ME--LEVERAGE LEVERAGE KEKAYAAN LOKAL MENJADI KEKAYAAN LOKAL MENJADI MODAL USAHAMODAL USAHA

KEKAYAANKEKAYAAN

2.2. TRANSAKSI SEBAGAI TRANSAKSI SEBAGAI MEKANISME UNTUK MEKANISME UNTUK MENDAPATKAN PENDAPATANMENDAPATKAN PENDAPATAN

3.3. ORGANISASI EKONOMI ORGANISASI EKONOMI SEBAGAI MEDIA PERKUATAN SEBAGAI MEDIA PERKUATAN TRANSAKSI DAN INVESTASITRANSAKSI DAN INVESTASI

4.4. AKUMULASI KEKAYAAN AKUMULASI KEKAYAAN SEBAGAI HASIL DARI SEBAGAI HASIL DARI AKUMULASI MODAL AKUMULASI MODAL (EKONOMI, SOSIAL, SPIRITUAL)(EKONOMI, SOSIAL, SPIRITUAL)

MODAL USAHAMODAL USAHA

7.7. INTERVENSI PEMERINTAH INTERVENSI PEMERINTAH TIDAK MENGAKAR PADA TIDAK MENGAKAR PADA BUDAYA MASYARAKATBUDAYA MASYARAKAT

8.8. INTEGRASI PETANIINTEGRASI PETANI--DUNIA DUNIA USAHA LEMAHUSAHA LEMAH

( , , )( , , )

5.5. ORGANISASI EKONOMI ORGANISASI EKONOMI SEBAGAI MEDIA SEBAGAI MEDIA TRANSFORMASI EKONOMI TRANSFORMASI EKONOMI (LEVERAGING)(LEVERAGING)

6.6. KEKUATAN PETANI DICIRIKAN KEKUATAN PETANI DICIRIKAN OLEH KEMAMPUAN OLEH KEMAMPUAN ORGANISASI DALAM BUTIR 1ORGANISASI DALAM BUTIR 1--5 5

IMPLIKASI CARA PANDANG IIMPLIKASI CARA PANDANG I

1.1. PENGUASAAN TANAH PENGUASAAN TANAH MENJADI FOKUS UTAMA MENJADI FOKUS UTAMA (BIAYA MENGUASAI (BIAYA MENGUASAI TANAH)TANAH)

6.6. DEKUMULASI MODAL, DEKUMULASI MODAL, INVOLUSI, DAN PROSES INVOLUSI, DAN PROSES ENTROPY PERTANIANENTROPY PERTANIANTANAH) TANAH)

2.2. MODEL PERTANIAN MODEL PERTANIAN ATOMISTIK DALAM ATOMISTIK DALAM KONDISI PADAT KONDISI PADAT PENDUDUK PENDUDUK PERTANIAN PERTANIAN GUREMGUREM KEMISKINAN. KEMISKINAN.

3.3. KARENA GUREM (SKALA KARENA GUREM (SKALA KECIL) KEMAMPUAN KECIL) KEMAMPUAN MEMANFAATKAN MEMANFAATKAN POTENSI EKONOMI, POTENSI EKONOMI, IPTEK, DLL LEMAH.IPTEK, DLL LEMAH.

ENTROPY PERTANIAN ENTROPY PERTANIAN TERUS BERLANGSUNG TERUS BERLANGSUNG

7.7. PERAN PEMERINTAH PERAN PEMERINTAH TERASA SANGAT TERASA SANGAT DIPERLUKAN TETAPI DIPERLUKAN TETAPI SERING TIDAK EFEKTIF SERING TIDAK EFEKTIF DAN TIDAK EFISIEN DAN TIDAK EFISIEN SERTA TIDAK SERTA TIDAK BERKELANJUTANBERKELANJUTAN

88 PERTANIAN DAN PARAPERTANIAN DAN PARAIPTEK, DLL LEMAH. IPTEK, DLL LEMAH. 4.4. MELIHA FOKUS SOLUSI MELIHA FOKUS SOLUSI

PADA KOMODITAS DAN PADA KOMODITAS DAN FAKTOR BIOFISIK FAKTOR BIOFISIK

5.5. ENERGI SOSIAL, ENERGI SOSIAL, SPIRITUAL, DAN SPIRITUAL, DAN INTELEKTUAL PETANI INTELEKTUAL PETANI TERCERAI BERAITERCERAI BERAI

8.8. PERTANIAN DAN PARA PERTANIAN DAN PARA PETANINYA MAKIN PETANINYA MAKIN TERTINGGAL DAN TERTINGGAL DAN MAKIN TIDAK MAKIN TIDAK BERDAYABERDAYA

577

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

IMPLIKASI CARA PANDANG IMPLIKASI CARA PANDANG IIII

FOKUS PADA KEMAMPUAN AKUMULASI MODAL SOSIAL, FOKUS PADA KEMAMPUAN AKUMULASI MODAL SOSIAL, SPIRITUAL, INTELEKTUAL DALAM PENINGKATAN SPIRITUAL, INTELEKTUAL DALAM PENINGKATAN KAPABILITAS SECARA BERKELANJUTAN (KITA INGIN MENJADIKAPABILITAS SECARA BERKELANJUTAN (KITA INGIN MENJADIKAPABILITAS SECARA BERKELANJUTAN (KITA INGIN MENJADI KAPABILITAS SECARA BERKELANJUTAN (KITA INGIN MENJADI APA DAN APA YANG BISA KITA KERJAKAN)APA DAN APA YANG BISA KITA KERJAKAN)

ORGANISASI SEBAGAI ALAT DAN TUJUAN UNTUK ORGANISASI SEBAGAI ALAT DAN TUJUAN UNTUK MENINGKATKAN KAPABILITAS: INVESTASI, TRANSAKSI, MENINGKATKAN KAPABILITAS: INVESTASI, TRANSAKSI, KONSUMSI, DLL.)KONSUMSI, DLL.)

ENTITLEMENT/PROPERTY RIGHTS INDIVIDUAL UTAMANYA ENTITLEMENT/PROPERTY RIGHTS INDIVIDUAL UTAMANYA BUKAN TERHADAP TANAH TETAPI TERHADAP HASIL KERJA BUKAN TERHADAP TANAH TETAPI TERHADAP HASIL KERJA (PENDAPATAN, DLL)(PENDAPATAN, DLL)

MASA DEPAN MENJADI TANGGUNG JAWAB BERSAMA TANPA MASA DEPAN MENJADI TANGGUNG JAWAB BERSAMA TANPA MENGABAIKAN KEMAMPUAN SETIAP INDIVIDUMENGABAIKAN KEMAMPUAN SETIAP INDIVIDUMENGABAIKAN KEMAMPUAN SETIAP INDIVIDUMENGABAIKAN KEMAMPUAN SETIAP INDIVIDU

KONSOLIDASI KEKUATAN & TRANSFORMASI EKONOMI TIDAK KONSOLIDASI KEKUATAN & TRANSFORMASI EKONOMI TIDAK SEMATASEMATA--MATA BERGANTUNG PADA FAKTOR PEMERINTAH MATA BERGANTUNG PADA FAKTOR PEMERINTAH ATAU FAKTOR EKSTERNAL ATAU FAKTOR EKSTERNAL

INVESTASI DALAM ORGANISASI EKONOMI PETANI MENJADI INVESTASI DALAM ORGANISASI EKONOMI PETANI MENJADI PRIORITAS PERTAMAPRIORITAS PERTAMA

TAHAP I: IDENTIFIKASI DAN TAHAP I: IDENTIFIKASI DAN IMPLEMENTASI CARA PANDANG IIIMPLEMENTASI CARA PANDANG II

ENTITLEMENT/PROPERTY RIGHTS/OWNERSHIP SEBAGAI ASAL ENTITLEMENT/PROPERTY RIGHTS/OWNERSHIP SEBAGAI ASAL MULA STRUKTUR & KULTUR EKONOMI MODERNMULA STRUKTUR & KULTUR EKONOMI MODERN

SUMBER KESEJAHTERAAN ADALAH ENTITLEMENTSUMBER KESEJAHTERAAN ADALAH ENTITLEMENTSUMBER KESEJAHTERAAN ADALAH ENTITLEMENTSUMBER KESEJAHTERAAN ADALAH ENTITLEMENT

PETANI ENTITLE TERHADAP OUTPUT EKONOMI BERBASIS PETANI ENTITLE TERHADAP OUTPUT EKONOMI BERBASIS PERTANIANPERTANIAN

MENYATU PADA DIRI INDIVIDU PETANIMENYATU PADA DIRI INDIVIDU PETANI

PETANI ADALAH INDIVIDU YANG BEKERJA DAN MENGHASILKAN PETANI ADALAH INDIVIDU YANG BEKERJA DAN MENGHASILKAN PRODUK PERTANIANPRODUK PERTANIAN

PENDAPATAN DARI SELURUH PRODUK TURUNAN PETANI PENDAPATAN DARI SELURUH PRODUK TURUNAN PETANI MENJADI SUMBER PENDAPATAN PETANIMENJADI SUMBER PENDAPATAN PETANI

ENTITLEMENT MENJADI ALAT PEMERSATU PETANI DALAM ENTITLEMENT MENJADI ALAT PEMERSATU PETANI DALAM MEMBANGUN ORGANISASI EKONOMI PETANIMEMBANGUN ORGANISASI EKONOMI PETANIMEMBANGUN ORGANISASI EKONOMI PETANIMEMBANGUN ORGANISASI EKONOMI PETANI

SAHAM (SHARE) PETANI INSTRUMEN UNTUK KONSOLIDASI DAN SAHAM (SHARE) PETANI INSTRUMEN UNTUK KONSOLIDASI DAN TRANSFORMASI EKONOMI PETANI SECARA KESELURUHAN.TRANSFORMASI EKONOMI PETANI SECARA KESELURUHAN.

STATUS PETANI BERUBAH DARI “LABOR” ATAU STAKE HOLDER STATUS PETANI BERUBAH DARI “LABOR” ATAU STAKE HOLDER MENJADI SHAREHOLDERMENJADI SHAREHOLDER

578

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

TAHAP I: LANJUTANTAHAP I: LANJUTAN

DARI MANA DATANGNYA SAHAM PETANI DARI MANA DATANGNYA SAHAM PETANI PETANI TELAH MEMBERIKAN KONTRIBUSI BERUPA HASIL PETANI TELAH MEMBERIKAN KONTRIBUSI BERUPA HASIL PRODUK PRIMER, MISAL: GABAHPRODUK PRIMER, MISAL: GABAH

KEMAMPUAN PETANI MENGHASILKAN GABAH ADALAH KEMAMPUAN PETANI MENGHASILKAN GABAH ADALAH MODAL UTAMA DALAM KETAHANAN PANGANMODAL UTAMA DALAM KETAHANAN PANGAN

TIDAK SEMUA HAL YANG TERKANDUNG DALAM GABAH TIDAK SEMUA HAL YANG TERKANDUNG DALAM GABAH NILAINYA SUDAH TERCAKUP DALAM HARGA GABAH. NILAINYA SUDAH TERCAKUP DALAM HARGA GABAH. APALAGI PASAR GABAH TIDAK SEMPURNA.APALAGI PASAR GABAH TIDAK SEMPURNA.

NILAI TOTAL GABAH = HARGA PASAR (X)+ NILAI NILAI TOTAL GABAH = HARGA PASAR (X)+ NILAI INSTRINSIK (Y)+ NILAI EKSISTENSI (Z) Y & Z DINIKMATIINSTRINSIK (Y)+ NILAI EKSISTENSI (Z) Y & Z DINIKMATIINSTRINSIK (Y)+ NILAI EKSISTENSI (Z). Y & Z DINIKMATI INSTRINSIK (Y)+ NILAI EKSISTENSI (Z). Y & Z DINIKMATI MASYARAKAT TETAPI TIDAK DINIKMATI PETANIMASYARAKAT TETAPI TIDAK DINIKMATI PETANI

PEMERINTAH SEBAGAI INSTRUMEN NEGARA PERLU PEMERINTAH SEBAGAI INSTRUMEN NEGARA PERLU MEMBERIKAN KOMPENSASI KEPADA PETANI UNTUK Y DAN MEMBERIKAN KOMPENSASI KEPADA PETANI UNTUK Y DAN ZZ

TAHAP I: LANJUTANTAHAP I: LANJUTAN

DALAM BENTUK APA KOMPENSASI NILAI DALAM BENTUK APA KOMPENSASI NILAI

Y+ZDIBERIKAN PEMERINTAH?Y+ZDIBERIKAN PEMERINTAH?Y+ZDIBERIKAN PEMERINTAH?Y+ZDIBERIKAN PEMERINTAH?

SAHAM ATAU BENTUK LAIN YANG BISA SAHAM ATAU BENTUK LAIN YANG BISA

MELEVERAGE KEKUATAN PETANI (MIRIP MELEVERAGE KEKUATAN PETANI (MIRIP

UNEMPLOYMENT COMPENSATION DI NEGARA UNEMPLOYMENT COMPENSATION DI NEGARA

MAJU)MAJU)

FASILITASI PEMBENTUKAN ORGANISASI FASILITASI PEMBENTUKAN ORGANISASI

EKONOMI PETANI (BADAN USAHA MILIK PETANI)EKONOMI PETANI (BADAN USAHA MILIK PETANI)EKONOMI PETANI (BADAN USAHA MILIK PETANI) EKONOMI PETANI (BADAN USAHA MILIK PETANI)

DAN DUKUNGAN MANAGERIAL SERTA DAN DUKUNGAN MANAGERIAL SERTA

KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PETANIKEBIJAKAN PERLINDUNGAN PETANI

579

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

TAHAP I: LANJUTANTAHAP I: LANJUTAN

UNTUK APA SAHAM DIBERIKAN?UNTUK APA SAHAM DIBERIKAN?MENGUBAH STATUS PETANI MENJADI SHAREHOLDER MENGUBAH STATUS PETANI MENJADI SHAREHOLDER JJSEHINGGA PETANI MEMILIKI HAK TERHADAP NILAI SEHINGGA PETANI MEMILIKI HAK TERHADAP NILAI TAMBAH DAN KEUNTUNGAN BUMPTAMBAH DAN KEUNTUNGAN BUMP

KONSOLIDASI EKONOMI TANAH DARI BENTUK FISIK KONSOLIDASI EKONOMI TANAH DARI BENTUK FISIK MENJADI ‘SURAT BERHARGA’ YANG TIDAK MENJADI ‘SURAT BERHARGA’ YANG TIDAK MEMFRAGMENTASI KEPEMILIKAN TANAHMEMFRAGMENTASI KEPEMILIKAN TANAH

SAHAM PETANI DALAM BENTUK PERUSAHAAN SAHAM PETANI DALAM BENTUK PERUSAHAAN MEMBENTUK KEKUATAN MODAL UNTUK MELEVERAGE MEMBENTUK KEKUATAN MODAL UNTUK MELEVERAGE EKONOMI PERDESAANEKONOMI PERDESAAN

ORGANISASI BUMP MENGKONSOLIDASIKAN PETANI ORGANISASI BUMP MENGKONSOLIDASIKAN PETANI MELALUI KEKUATAN MODAL PERUSAHAAN MILIKNYAMELALUI KEKUATAN MODAL PERUSAHAAN MILIKNYA

MENCIPTAKAN RUANG UNTUK MANAGER DAN TENAGA MENCIPTAKAN RUANG UNTUK MANAGER DAN TENAGA PROFESIONAL MENANGANI PERTANIAN SECARA UTUH PROFESIONAL MENANGANI PERTANIAN SECARA UTUH

TAHAP I: LANJUTANTAHAP I: LANJUTAN

APA WUJUD BUMP:APA WUJUD BUMP:

HIBRIDA ANTARA KOPERASI DAN HIBRIDA ANTARA KOPERASI DAN

PERUSAHAAN SWASTAPERUSAHAAN SWASTA

KOPERASI: ONE MAN, ONE VOTE KOPERASI: ONE MAN, ONE VOTE

PERUSAHAAN SWASTA: ONE SHARE ONE VOTEPERUSAHAAN SWASTA: ONE SHARE ONE VOTE

BIASA DINAMAKAN: KOPERASI GENERASI BIASA DINAMAKAN: KOPERASI GENERASI

BARU ATAU BADAN USAHA SWASTABARU ATAU BADAN USAHA SWASTABARU ATAU BADAN USAHA SWASTA BARU ATAU BADAN USAHA SWASTA

BERJIWA KOPERASI BERJIWA KOPERASI

580

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

TAHAP II: IMPLEMENTASI TAHAP II: IMPLEMENTASI PENDIRIAN BUMPPENDIRIAN BUMP

IDENTIFIKASI PETANI: SIAPA YANG IDENTIFIKASI PETANI: SIAPA YANG

MENGHASILKAN PRODUK PERTANIANMENGHASILKAN PRODUK PERTANIANMENGHASILKAN PRODUK PERTANIAN MENGHASILKAN PRODUK PERTANIAN

PRIMER, MISAL: SIAPA YANG PRIMER, MISAL: SIAPA YANG

MENGHASILKAN GABAH. STATUS PENYEWA, MENGHASILKAN GABAH. STATUS PENYEWA,

PENYAKAP, PEMILIKI TIDAK MENJADI PENYAKAP, PEMILIKI TIDAK MENJADI

UKURAN SIAPA YANG BERHAK MENERIMA UKURAN SIAPA YANG BERHAK MENERIMA

SAHAM. SAHAM.

KEPEMILIKAN SAHAM HANYA BOLEH KEPEMILIKAN SAHAM HANYA BOLEH

DIPERJUALDIPERJUAL--BELIKAN DI ANTARA PETANI BELIKAN DI ANTARA PETANI

ATAU DARI PETANI KE BUMP.ATAU DARI PETANI KE BUMP.

TAHAP II: IMPLEMENTASITAHAP II: IMPLEMENTASI

BATAS YURISDIKSI OPERASIONAL BUMP @ 10.000 HABATAS YURISDIKSI OPERASIONAL BUMP @ 10.000 HA

ASUMSI: PER PETANI = 0.2 HAASUMSI: PER PETANI = 0.2 HA

ANGGOTA BUMP = 50.000 PETANIANGGOTA BUMP = 50.000 PETANI

BUMP DI KELOMPOKKAN KE DALAM 10 UNIT KERJA OPERASIONAL (UKO)BUMP DI KELOMPOKKAN KE DALAM 10 UNIT KERJA OPERASIONAL (UKO)PER UKO = 5000 PETANI = 1000 HAPER UKO = 5000 PETANI = 1000 HA

TENAGA PROFESIONAL PER UKO 10 ORANGTENAGA PROFESIONAL PER UKO 10 ORANG

INDIVIDU PETANI BISA TETAP MENJADI PEKERJAINDIVIDU PETANI BISA TETAP MENJADI PEKERJA

BUMP DIPIMPIN OLEH DIREKSI DAN DIAWASI OLEH KOMISARIS YANG DI BUMP DIPIMPIN OLEH DIREKSI DAN DIAWASI OLEH KOMISARIS YANG DI DALAMNYA TERDAPAT KOMISARIS INDEPENDEN. DIREKSI DAN KOMISARIS DALAMNYA TERDAPAT KOMISARIS INDEPENDEN. DIREKSI DAN KOMISARIS DIPILIH OLEH PEMEGANG SAHAMDIPILIH OLEH PEMEGANG SAHAM

PEMEGANG SAHAM BUMP: PETANI, BUMN DAN SWASTA.PEMEGANG SAHAM BUMP: PETANI, BUMN DAN SWASTA.

KOMPOSISI KEPEMILIKAN SAHAM TERGANTUNG PADA KONDISI SOSIALKOMPOSISI KEPEMILIKAN SAHAM TERGANTUNG PADA KONDISI SOSIAL--EKONOMI DI SETIAP WILAYAHEKONOMI DI SETIAP WILAYAH

OPSI PERTAMA KEPEMILIKAN SAHAM MAYORITAS DIBERIKAN KEPADA OPSI PERTAMA KEPEMILIKAN SAHAM MAYORITAS DIBERIKAN KEPADA PETANI (ORGANISASI PETANI)PETANI (ORGANISASI PETANI)

RENCANA KERJA DAN HALRENCANA KERJA DAN HAL--HAL TEKNIS MENJADI TUGAS DEWAN DIREKSIHAL TEKNIS MENJADI TUGAS DEWAN DIREKSI

PETANI MEMBENTUK DEWAN PERWAKILAN PETANI (DPP) YANG PETANI MEMBENTUK DEWAN PERWAKILAN PETANI (DPP) YANG BERANGGOTAKAN SATU WAKIL PER UKO; JADI JUMLAH DPP PER BUMP = 10 BERANGGOTAKAN SATU WAKIL PER UKO; JADI JUMLAH DPP PER BUMP = 10 ORANG. BUMN, BUMD DAN BUMS MASINGORANG. BUMN, BUMD DAN BUMS MASING--MASING DIWAKILI OLEH SATU MASING DIWAKILI OLEH SATU ORANG. SEHINGGA DEWAN PERWAKILAN BUMP (DPBUMP) = 15 ORANG. ORANG. SEHINGGA DEWAN PERWAKILAN BUMP (DPBUMP) = 15 ORANG.

581

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

TAHAP II: IMPLEMENTASITAHAP II: IMPLEMENTASITOTAL VALUE CREATION: CONTOH PADITOTAL VALUE CREATION: CONTOH PADI

Horizontal Development (sideHorizontal Development (side--stream development):stream development):

Selain Beras, Minyak Beras dapat dihasilkan dari Dedak Selain Beras, Minyak Beras dapat dihasilkan dari Dedak (bran). (bran).

Jerami dan Sekam dapat menghasilkan Energi Biomass.Jerami dan Sekam dapat menghasilkan Energi Biomass.

Brown Rice menjadi sumber Nutrisi Tinggi, Kosmetik dll.Brown Rice menjadi sumber Nutrisi Tinggi, Kosmetik dll.Vertical Development (from Upstream up to Downstream):Vertical Development (from Upstream up to Downstream):

Food Industry :Food Industry :Tepung Beras.Tepung Beras.

Mi BMi BMie BerasMie Beras

Infant Food.Infant Food.

Instant Rice.Instant Rice.

Non Food Industry:Non Food Industry:

Particle board.Particle board.

Cement and concrete, dan lainCement and concrete, dan lain--lainlain

TAHAP III: OPERASIONALTAHAP III: OPERASIONAL

PulauPulau Produksi Produksi

PadiPadi

Produksi Produksi

SekamSekam

Produksi Produksi

Abu SekamAbu SekamPadi Padi

(Juta Ton)(Juta Ton)

SekamSekam

(Juta Ton)(Juta Ton)

Abu SekamAbu Sekam

(Juta Ton)(Juta Ton)

SumateraSumatera 11,911,9 2,62,6 0,460,46

JawaJawa 28,528,5 6,26,2 1,121,12

Bali dan NTTBali dan NTT 2,52,5 0,50,5 0,090,09

KalimantanKalimantan 2 92 9 0 60 6 0 110 11KalimantanKalimantan 2,92,9 0,60,6 0,110,11

SulawesiSulawesi 5,15,1 1,11,1 0,200,20

Maluku dan PapuaMaluku dan Papua 0,010,01 ---- ----

IndonesiaIndonesia 51,251,2 1111 1,981,98

582

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

TAHAP III: OPERASIONALTAHAP III: OPERASIONAL--CONTOH MANFAAT SEKAMCONTOH MANFAAT SEKAM

TAHAP III: OPERASIONALTAHAP III: OPERASIONAL--HASIL LISTRIK DARI SEKAM HASIL LISTRIK DARI SEKAM

PADIPADI

583

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

TAHAP III: OPERASIONALTAHAP III: OPERASIONAL

Sinergi BUMN lingkup agro sebagai langkah awal:Sinergi BUMN lingkup agro sebagai langkah awal:PERUM BULOGPERUM BULOG

PT. PUPUK PUSRIPT. PUPUK PUSRI

PT. PUPUK KALTIMPT. PUPUK KALTIM

PT. PUPUK KUJANGPT. PUPUK KUJANG

PT. PETRO KIMIA GRESIKPT. PETRO KIMIA GRESIK

PT. PERTANIPT. PERTANI

PERUM SANG HYANG SERIPERUM SANG HYANG SERI

PERUM JASA TIRTA IPERUM JASA TIRTA I

PERUM JASA TIRTA IIPERUM JASA TIRTA IIPERUM JASA TIRTA IIPERUM JASA TIRTA II

9 BUMN MEMBENTUK PT. PANGAN ENERGI 9 BUMN MEMBENTUK PT. PANGAN ENERGI NUSANTARA (PT. PEN) UNTUK MENDUKUNG BUMPNUSANTARA (PT. PEN) UNTUK MENDUKUNG BUMP--BUMPBUMP

POTENSI PENGEMBANGAN………………POTENSI PENGEMBANGAN………………

PT. PANGAN ENERGI

NUSANTARA

RICE

MILLING

INDUSTRI

HILIR

SEKAM ( 20%)

Rp 64/kg

BERAS UTUH(66%)

Rp 4.670/kg

BERAS SMALL BROKEN (2%)

1.800/kg

LISTRIK

USD 5,4 cent

Tepung Beras

Rp4 850/kg

Fly Ash Utk Bhn.

Bangunan Rp300/kg, pack

dlm 50 kg bag

g

BRAN/DEDAK(11%)

Rp 800/kg

Un Accounted

Losses (1%)

Rp4.850/kg

Rice Brain Oil

USD 13,2 /kg

SRB(Stabilized Rice Bran

USD 32,2/kg, pack dlm

capsul

584

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

KONSORSIUM

STRUKTUR USAHA

KONSORSIUM

9 BUMN

PT. PEN

Research & Dev. SecurityHuman Res. DevTrading

PT. PEN DAN PT. BUMPPT. PEN DAN PT. BUMP

PT PEN

BUMP 1 BUMP 2……K BUMP K…N

585

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

LINGKUP USAHA BUMPLINGKUP USAHA BUMP

INDUSTRI

PANGAN ENERGI

RICE MILLING

BUMP 1

INDUSTRI

NON-PANGAN

RICE MILLING

STRUKTUR KORPORASISTRUKTUR KORPORASI

BUMN

PT PEN SWASTAPETANI/

KEL. TANI

KELOMPOKTANIKELOMPOK

TANIKELOMPOKTANI

BUMN

BUMN

BUMP

BUMN

586

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

PERANAN MASINGPERANAN MASING--MASING MASING PEMEGANG SAHAMPEMEGANG SAHAM

1.1. IndustriIndustri PupukPupuk (PUSRI,(PUSRI, PETRO,PETRO, KALTIM,KALTIM, KUJANG)KUJANG) menjaminmenjaminiiketersediaanketersediaan pupukpupuk kepadakepada BUMPBUMP secarasecara 66 tepattepat..

2.2. SHSSHS menjaminmenjamin ketersediaanketersediaan benihbenih dandan pestisidapestisida kepadakepadaBUMPBUMP secarasecara 66 tepattepat..

3.3. PERTANIPERTANI menjaminmenjamin ketersediaanketersediaan AlsintanAlsintan dandan pestisidapestisidakepadakepada BUMPBUMP secarasecara 66 tepattepat..

4.4. PJTPJT II dandan PJTPJT IIII membimbingmembimbing penerapanpenerapan pengelolaanpengelolaan airair(water(water managementmanagement )) yangyang efisienefisien..

55 PERTANIPERTANI dandan BULOGBULOG sebagaisebagai offoff takertaker dalamdalam pembelianpembelian5.5. PERTANIPERTANI dandan BULOGBULOG sebagaisebagai offoff takertaker dalamdalam pembelianpembelianprodukproduk daridari BUMPBUMP..

6.6. BULOGBULOG memfasilitasimemfasilitasi pemanfaatanpemanfaatan produkproduk sampingsamping berupaberupajeramijerami dandan sekamsekam sehinggasehingga menjadimenjadi produkproduk tertentutertentu dalamdalamrangkarangka meningkatkanmeningkatkan nilainilai tambahtambah BUMPBUMP..

7.7. PETANIPETANI MENYEDIAKANMENYEDIAKAN BAHANBAHAN BAKUBAKU

MEKANISME OPERASIONAL MODEL USAHA MEKANISME OPERASIONAL MODEL USAHA BUMPBUMP

B BULOGBERASINDUSTRI

PEMBAYARAN TUNAI

PUPUK

PT. PANGAN ENERGI NUSANTARA

B

U

M

P

BULOG

DAN

PERTANI

PASAR

UMUM

BERAS

PUPUK

SANG

HYANG

SERI

PERTANI

PEMBAYARAN TUNAI

Permintaan Kredit

PEMBAYARAN TUNAI

PEMBAYARAN TUNAI

PESTISIDA &

ALSINTAN

U U

BENIH DAN PESTISIDA

Jaminan

KELOMPOK

TANI

HASIL

GKP BERAS

BANK

ASURANSI

Permintaan Kredit

Penyaluran Kredit

PEMBAYARAN TUNAI

Premi / Provisi

JASA

TIRTA

SUPPLY AIR / IRIGASI

Catatan : - Untuk tahap awal BUMP sebagai SBU dari konsorsium dimana petani belum sebagaipemegang saham, hanya sebagai anggota

587

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Risk Analysis: Risk Analysis: Dengan Risk sharing, potensial loss akan semakin rendah Dengan Risk sharing, potensial loss akan semakin rendah JenisJenis –– jenis Risikojenis RisikoJenis Jenis jenis Risikojenis Risiko

Counter partyCounter partyProducerProducer

Risiko gagal pasok/gagal panen kecilRisiko gagal pasok/gagal panen kecilRisiko terlambat pasok kecilRisiko terlambat pasok kecil

ConsumerConsumerRisiko gagal bayar Risiko gagal bayar risiko di pasaran umum kecilrisiko di pasaran umum kecilRisiko terlambat bayar Risiko terlambat bayar risiko di pasaran umum kecilrisiko di pasaran umum kecil

OperationalOperationalppRisiko kehilangan barang kecilRisiko kehilangan barang kecilRisiko susut kecilRisiko susut kecilRisiko kekurangan/kelebihan stok kecilRisiko kekurangan/kelebihan stok kecil

PricePriceRisiko dampak perubahan harga komoditas pertanian relatif besarRisiko dampak perubahan harga komoditas pertanian relatif besarRisiko perubahan suku bunga kecilRisiko perubahan suku bunga kecilRisiko perubahan kurs tidak adaRisiko perubahan kurs tidak ada

UNIT PANGANUNIT PANGAN

Prakondisi yang merupakan syarat untuk dapat berjalannya operasi Prakondisi yang merupakan syarat untuk dapat berjalannya operasi usaha BUMP sesuai dengan kelayakannya adalah :usaha BUMP sesuai dengan kelayakannya adalah :usaha BUMP sesuai dengan kelayakannya adalah :usaha BUMP sesuai dengan kelayakannya adalah :

HargaHarga PokokPokok ProduksiProduksi GKPGKP diatasdiatas HPPHPP

LuasanLuasan arealareal mendekatimendekati minimalminimal 1010..000000 HaHa arealareal panenpanen perpertahuntahun..

HargaHarga jualjual berasberas ratarata--ratarata RpRp.. 44..300300/Kg/Kg..

ProduktivitasProduktivitas ratarata--ratarata GKPGKP 66 TonTon // HaHa..

RendemenRendemen GKPGKP menjadimenjadi GKGGKG berkisarberkisar 8383 %% dandan daridari GKGGKGmenjadimenjadi BerasBeras 6363%%

InvestasiInvestasi RpRp 110110 MilyarMilyar dengandengan equityequity RpRp 3333 MilyarMilyar dandan hutanghutang RpRpInvestasiInvestasi RpRp 110110 MilyarMilyar dengandengan equityequity RpRp 3333 MilyarMilyar dandan hutanghutang RpRp7777 MilyarMilyar..

ModalModal kerjakerja tepattepat jumlahjumlah dandan tepattepat waktuwaktu..

SaranaSarana produksiproduksi memenuhimemenuhi kriteriakriteria 66 (enam)(enam) tepattepat..

SaranaSarana pascapasca panenpanen terutamaterutama pengeringpengering dandan gudanggudang harusharustersediatersedia mencukupimencukupi..

588

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

KELAYAKAN USAHA UNIT PANGAN PT PEN (10.000 KELAYAKAN USAHA UNIT PANGAN PT PEN (10.000 Ha / MT)Ha / MT)

1.1. InvestasiInvestasi / Modal / Modal KerjaKerja ((RpRp) = 110.000.000.000) = 110.000.000.000

2.2. D/E Ratio D/E Ratio = 70 : 30= 70 : 30.. D/E Ratio D/E Ratio 70 : 30 70 : 30

3.3. Equity (Equity (RpRp) ) = 33.000.000.000= 33.000.000.000

4.4. Debt (Debt (RpRp)) = 77.000.000.000= 77.000.000.000

5.5. Internal Rate of Return, IRR Internal Rate of Return, IRR = 16,15 %= 16,15 %

6.6. IRR on EquityIRR on Equity = 38,18 %= 38,18 %

7.7. Pay Back PeriodPay Back Period = 4,16 = 4,16 TahunTahun

8.8. Net Present Value (Net Present Value (ii=16%)=16%) = = RpRp 0,48 0,48 MilyarMilyar

U t kU t k li ikli ik PTPT PP E iE i N tN t b ib iUntukUntuk merealisasikanmerealisasikan PTPT PanganPangan EnergiEnergi NusantaraNusantara sebagaisebagaiBadanBadan UsahaUsaha diperlukandiperlukan EquityEquity RpRp 3333 MilyarMilyar,, jikajika dibagidibagi rataratamasingmasing--masingmasing PemegangPemegang SahamSaham didi PTPT PanganPangan EnergiEnergiNusantaraNusantara makamaka perluperlu menyetormenyetor sebesarsebesar RpRp 33,,666666 MilyarMilyar..

UNIT ENERGI UNIT ENERGI

Prakondisi yang merupakan syarat untuk dapat berjalannya Prakondisi yang merupakan syarat untuk dapat berjalannya

operasi usaha BUMP sesuai dengan kelayakannya adalah :operasi usaha BUMP sesuai dengan kelayakannya adalah :

SekamSekam PadiPadi (Rce(Rce Husk)Husk) == 2222%% GKGGKG

LuasLuas LahanLahan == 1010..000000 HaHa

HargaHarga JualJual ListrikListrik == 600600 Rp/KWHRp/KWH

11 KWHKWH setarasetara dengandengan == 11,,55 KgKg SekamSekam

InvestasiInvestasi RpRp 2727,,55 MilyarMilyar dengandengan equityequity RpRp 88,,33 MilyarMilyar dandan

hutanghutang RpRp 1919 22 MilyarMilyarhutanghutang RpRp 1919,,22 MilyarMilyar..

JaminanJaminan ketersediaanketersediaan bahanbahan bakubaku sekamsekam

589

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

KELAYAKAN UNIT ENERGI PT PENKELAYAKAN UNIT ENERGI PT PEN

Investasi (Rp) Investasi (Rp) = 27.450.000.000= 27.450.000.000

D/E RatioD/E Ratio = 70 : 30= 70 : 30D/E Ratio D/E Ratio = 70 : 30= 70 : 30

Equity (Rp) Equity (Rp) = 8.235.000.000= 8.235.000.000

Debt (Rp)Debt (Rp) = 19.215.000.000= 19.215.000.000

IDC IDC = Rp. 1,54 M= Rp. 1,54 M

Modal KerjaModal Kerja = Rp. 2,1 M= Rp. 2,1 M

TanahTanah = Rp. 1,0 M= Rp. 1,0 M

Internal Rate of Return, IRR Internal Rate of Return, IRR = 18,41 %= 18,41 %

IRR on EquityIRR on Equity = 37,33 %= 37,33 %

Pay Back PeriodPay Back Period = 4,52 Tahun= 4,52 TahunPay Back PeriodPay Back Period 4,52 Tahun 4,52 Tahun

Net Present Value (i=16%)Net Present Value (i=16%) = Rp 2,3 Milyar= Rp 2,3 Milyar

Untuk merealisasikan pengembangan unit energi PT PEN Untuk merealisasikan pengembangan unit energi PT PEN tersebut perlu tambahan dana Equity sebesar Rp 8,235 tersebut perlu tambahan dana Equity sebesar Rp 8,235 milyar milyar

STRUKTUR ORGANISASI PT PENSTRUKTUR ORGANISASI PT PEN

DEKOM

DIREKTUR UTAMADIREKTUR UTAMA

DIREKTUR

INVESTASI &

KEUANGAN

DIREKTUR

KOMERSIL &

PENGEMBANGAN

DIREKTUR

OPERASI BUMP

MANAJER

KEUANGAN

MANAJER

OPERASI/PABRIK

MANAJER

PEMASARAN

MANAJER

KEBUN

Lampiran

590

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

STRUKTUR ORGANISASI BUMPSTRUKTUR ORGANISASI BUMP

KEPALA RAYON(500 ha)

KEPALA RAYON(500 ha)

KEPALA IT

KEPALA

KEPALAPENYIMPANAN

& PENGEMASAN

KEPALAPENGOLAHAN

SEKSI PENGOLAHAN

KEPALA PENJUALAN

KEPALAPEMASARAN

SEKSI PEMASARAN

SEKSI O OS

KETUA KELOMPOK

TANI(50 HA)

KETUAKELOMPOK

TANI(50HA)

KEPALA DIKLAT

SEKSIGUDANG

SEKSI PENGEMASAN

PENGOLAHAN GABAH

PENGOLAHANBERAS

PEMASARAN& DISTRIBUSI

SEKSIPEMASARAN

RETAIL

PROMOSI ON FARM

SEKSI PROMOSIOFF FARM

LAMPIRANLampiran

RINCIAN BIAYA MODAL KERJARINCIAN BIAYA MODAL KERJAInvestasiInvestasi (Project(Project Cost)Cost) didi perusahaanperusahaan KonsorsiumKonsorsium (PT(PTPEN)PEN) adalahadalah RpRp 110110..000000..000000,,--

KeseluruhanKeseluruhan biayabiaya tersebuttersebut digunakandigunakan sebagaisebagai modalmodalk jk j dd i ii ikerja,kerja, dengandengan rincianrincian ::

KeteranganKeterangan Satu Musim Tanam Satu Musim Tanam

(Rp)(Rp)

3 Bulan Operasi (Rp)3 Bulan Operasi (Rp)

Modal Petani @ Rp 4.000.000/HaModal Petani @ Rp 4.000.000/Ha 40.000.000.00040.000.000.000 40.000.000.00040.000.000.000

Pembelian Gabah Kering Panen (GKP)Pembelian Gabah Kering Panen (GKP) 62.000.000.00062.000.000.000 31.000.000.00031.000.000.000

Biaya Processing & Out SourcingBiaya Processing & Out Sourcing 6.986.940.0006.986.940.000 3.493.470.0003.493.470.000

Biaya GajiBiaya Gaji 5.798.000.0005.798.000.000 2.899.000.0002.899.000.000y jy j

Biaya PemeliharaanBiaya Pemeliharaan 1.397.388.0001.397.388.000 698.694.000698.694.000

Biaya GudangBiaya Gudang 1.397.388.0001.397.388.000 698.694.000698.694.000

Overhead (penyuluhan, kendaraan, kantor & bag)Overhead (penyuluhan, kendaraan, kantor & bag) 5.133.600.005.133.600.00 2.566.800.0002.566.800.000

Biaya Bunga (i = 16%)Biaya Bunga (i = 16%) 6.160.000.0006.160.000.000 3.080.000.0003.080.000.000

Biaya Depresiasi dan AmortisasiBiaya Depresiasi dan Amortisasi 4.125.000.0004.125.000.000 2.062.500.0002.062.500.000

Jumlah Modal KerjaJumlah Modal Kerja 132.998.316.200132.998.316.200 86.499.158.60086.499.158.600

591

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Revenue 10.000 Ha BUMPRevenue 10.000 Ha BUMPUNIT PANGANUNIT PANGAN

1.1. Produksi GKPProduksi GKP : 124.000 Ton : 124.000 Ton

2.2. Hasil GKG (84% GKP)Hasil GKG (84% GKP) : 102.920 Ton: 102.920 Ton

3.3. Beras (63% GKG)Beras (63% GKG) : 64.840 Ton : 64.840 Ton = Rp 278.812.000.000= Rp 278.812.000.000

4.4. Menir (3% GKG)Menir (3% GKG) : 3.088 Ton: 3.088 Ton = Rp 4.940.800.000= Rp 4.940.800.000( )( ) pp

5.5. Dedak (7% GKG)Dedak (7% GKG) : 7.204 Ton: 7.204 Ton = Rp 5.040. 720.000 = Rp 5.040. 720.000

Revenue / PendapatanRevenue / Pendapatan Rp 288.793.520.000Rp 288.793.520.000

Biaya ProduksiBiaya Produksi Rp 278.588.146.600Rp 278.588.146.600

Keuntungan Keuntungan (A)(A) Rp 10.205.573.400Rp 10.205.573.400

UNIT ENERGIUNIT ENERGI

Sekam (Husk) ~ 22% GKGSekam (Husk) ~ 22% GKG : 22.642 Ton : 22.642 Ton ~ ~ 15.094.933 KWH15.094.933 KWH

Pendapatan penjualan ListrikPendapatan penjualan Listrik = Rp 9.056.960.000,= Rp 9.056.960.000,-- pertahunpertahun

Biaya Produksi ListrikBiaya Produksi Listrik = Rp 7.610.380.800,= Rp 7.610.380.800,-- pertahunpertahun

KeuntunganKeuntungan (B)(B) = Rp 1.446.579.200= Rp 1.446.579.200

A+BA+B = Rp 11 652 152 600= Rp 11 652 152 600A+BA+B = Rp 11.652.152.600= Rp 11.652.152.600

Apabila 75 % keuntungan dibagikan dalam dividen = Rp 8.739.114.450Apabila 75 % keuntungan dibagikan dalam dividen = Rp 8.739.114.450

Apabila saham petani 70 %, dividen petani = Rp 6.117.380.115Apabila saham petani 70 %, dividen petani = Rp 6.117.380.115

Apabila jumlah petani 50.000 orang/10000 ha, dividen/petani = Rp 122.347 sebagai tambahan pendapatan Apabila jumlah petani 50.000 orang/10000 ha, dividen/petani = Rp 122.347 sebagai tambahan pendapatan individu petani.individu petani.

Pendapatan petani keseluruhan = Rp 2.4 jt + Rp 0.48 juta + Rp 0.12 jutaPendapatan petani keseluruhan = Rp 2.4 jt + Rp 0.48 juta + Rp 0.12 juta

= Rp 3 juta/tahun/0.2 ha = Rp 15 juta/tahun/ha= Rp 3 juta/tahun/0.2 ha = Rp 15 juta/tahun/ha

(hasil penjualan gabah + tenaga kerja + dividen)(hasil penjualan gabah + tenaga kerja + dividen)

MODEL REFORMASI AGRARIA UNTUK LAHANMODEL REFORMASI AGRARIA UNTUK LAHAN--LAHAN NEGARA BARU YANG AKAN DIALOKASIKAN LAHAN NEGARA BARU YANG AKAN DIALOKASIKAN

UNTUK PETANIUNTUK PETANI

PENGALAMAN MODEL PERKEBUNAN INTIPENGALAMAN MODEL PERKEBUNAN INTI--PLASMAPLASMAHAMPIR SEMUA PETANI PESERTA PIR TIDAK DAPAT HAMPIR SEMUA PETANI PESERTA PIR TIDAK DAPAT MENGEMBALIKAN KREDITNYA KECUALI PETANI KELAPA SAWITMENGEMBALIKAN KREDITNYA KECUALI PETANI KELAPA SAWITMENGEMBALIKAN KREDITNYA, KECUALI PETANI KELAPA SAWITMENGEMBALIKAN KREDITNYA, KECUALI PETANI KELAPA SAWIT

NAMUN, PETANI KELAPA SAWIT PADA AKHIR MASA TANAMAN, NAMUN, PETANI KELAPA SAWIT PADA AKHIR MASA TANAMAN, TIDAK MAMPU MELAKUKAN REPLANTING KEBUNNYATIDAK MAMPU MELAKUKAN REPLANTING KEBUNNYA

BANYAK TERJADI PENGALIHAN KEPEMILIKAN KEBUN PETANIBANYAK TERJADI PENGALIHAN KEPEMILIKAN KEBUN PETANI

PRODUKTIVITAS KEBUN/PERTANIAN PETANI PADA UMUMNYA PRODUKTIVITAS KEBUN/PERTANIAN PETANI PADA UMUMNYA RENDAH, MISAL HASIL CPO PETANI HANYA MENCAPAI RENDAH, MISAL HASIL CPO PETANI HANYA MENCAPAI SEKITAR 1SEKITAR 1--2 TON/ HA, POTENSI USAHA 42 TON/ HA, POTENSI USAHA 4--5 TON/HA, 5 TON/HA, KEHILANGAN GAP: KEHILANGAN GAP: ±± 3 TON/HA ATAU US$ 1500/HA. 3 TON/HA ATAU US$ 1500/HA.

HASIL UTAMA AGRIBISNIS KITA MASIH TETAP BERUPA PRODUK HASIL UTAMA AGRIBISNIS KITA MASIH TETAP BERUPA PRODUK PRIMER ATAUPRIMER ATAU BULKBULK ATAU ASALANATAU ASALAN NILAI RENDAHNILAI RENDAHPRIMER ATAUPRIMER ATAU BULKBULK, ATAU ASALAN, ATAU ASALAN NILAI RENDAHNILAI RENDAH

PETANI MASIH TETAP MISKIN DAN TERTINGGAL, PERTANIAN PETANI MASIH TETAP MISKIN DAN TERTINGGAL, PERTANIAN SECARA KESELURUHAN MASIH BELUM MAMPU BERSAING SECARA KESELURUHAN MASIH BELUM MAMPU BERSAING SECARA GLOBAL.SECARA GLOBAL.

POLA/MODEL PIR PERLU PENYEMPURNAANPOLA/MODEL PIR PERLU PENYEMPURNAAN

592

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

PENYEMPURNAAN MODEL PIRPENYEMPURNAAN MODEL PIR

PERTUMBUHAN PERTANIAN SANGAT TERGANTUNG PADA MODAL PERTUMBUHAN PERTANIAN SANGAT TERGANTUNG PADA MODAL (INVESTASI) DAN KEBIJAKSANAAN INSENTIF SERTA KEBIJAKSANAAN (INVESTASI) DAN KEBIJAKSANAAN INSENTIF SERTA KEBIJAKSANAAN HARGA YANG KOMPREHENSIFHARGA YANG KOMPREHENSIF

PERLU ORGANISASI EKONOMI YANG MAMPU MENJADI ALAT DAN PERLU ORGANISASI EKONOMI YANG MAMPU MENJADI ALAT DAN PROSES INTERNALISASI ASPEKPROSES INTERNALISASI ASPEK--ASPEK EKSTERNAL YANG SELAMA INI ASPEK EKSTERNAL YANG SELAMA INI BELUM MEMBERIKAN KESEMPATAN KEPADA PARA PETANIBELUM MEMBERIKAN KESEMPATAN KEPADA PARA PETANI

PERLU KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN YANG PERLU KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN YANG SUDAH DAN AKAN MENJADI MILIK PETANI DAN KEBIJAKSANAAN SUDAH DAN AKAN MENJADI MILIK PETANI DAN KEBIJAKSANAAN PENGELOLAANNYA SEKALIGUS.PENGELOLAANNYA SEKALIGUS.

SESUAI DENGAN UU NO. 18 TAHUN 2004 TENTANG PERKEBUNAN, SESUAI DENGAN UU NO. 18 TAHUN 2004 TENTANG PERKEBUNAN, BUMN DAN BUMS DAPAT MENJADI MITRA PETANI UNTUK BUMN DAN BUMS DAPAT MENJADI MITRA PETANI UNTUK MENGELOLA KEBUNMENGELOLA KEBUN--KEBUN PETANI DALAM BENTUK BUMPKEBUN PETANI DALAM BENTUK BUMP--BUMP BUMP

MODEL KONTRAK MANAJEMEN DAPAT DIJADIKAN MODEL KERJAMODEL KONTRAK MANAJEMEN DAPAT DIJADIKAN MODEL KERJAMODEL KONTRAK MANAJEMEN DAPAT DIJADIKAN MODEL KERJA MODEL KONTRAK MANAJEMEN DAPAT DIJADIKAN MODEL KERJA DENGAN JAMINAN PENDAPATAN BAGI PETANI. DALAM MODEL INI DENGAN JAMINAN PENDAPATAN BAGI PETANI. DALAM MODEL INI PETANI DAPAT JUGA MENJADI PEKERJA DI PERUSAHAAN YANG PETANI DAPAT JUGA MENJADI PEKERJA DI PERUSAHAAN YANG MENJADI MILIKNYA.MENJADI MILIKNYA.

PENGEMBANGAN PERUSAHAAN MILIK PETANI (BUMP) SEBAGAIMANA PENGEMBANGAN PERUSAHAAN MILIK PETANI (BUMP) SEBAGAIMANA TELAH DIKEMUKAKAN MERUPAKAN KUNCI.TELAH DIKEMUKAKAN MERUPAKAN KUNCI.

ILUSTRASI PENYEMPURNAAN ILUSTRASI PENYEMPURNAAN MODEL PIRMODEL PIR

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KELAPA SAWITPENINGKATAN PRODUKTIVITAS KELAPA SAWITPIR 10.000 HA MENJADI BUMPPIR 10.000 HA MENJADI BUMP

PRODUKTIVITAS DITINGKATKAN SEKITAR 3 TON/HA ATAU US $PRODUKTIVITAS DITINGKATKAN SEKITAR 3 TON/HA ATAU US $PRODUKTIVITAS DITINGKATKAN SEKITAR 3 TON/HA ATAU US $ PRODUKTIVITAS DITINGKATKAN SEKITAR 3 TON/HA ATAU US $ 1500/HA1500/HA

PER 10.000 HA MENINGKAT US$15.000.000/TAHUNPER 10.000 HA MENINGKAT US$15.000.000/TAHUN

ANDAIKAN INI DIBAGI 50:50 DAN SEMUA INPUT DIPIKUL ANDAIKAN INI DIBAGI 50:50 DAN SEMUA INPUT DIPIKUL PERUSAHAAN KONTRAKTOR, PENINGKATAN PETANI PERUSAHAAN KONTRAKTOR, PENINGKATAN PETANI MENINGKAT US$ 750/TAHUN, SEHINGGA PENDAPATAN MENINGKAT US$ 750/TAHUN, SEHINGGA PENDAPATAN TOTALNYA MENJADI US$ 1750/TAHUN/HA.TOTALNYA MENJADI US$ 1750/TAHUN/HA.

PENINGKATAN PENDAPATAN PER 10000 HA BUMP SAWIT ADALAH PENINGKATAN PENDAPATAN PER 10000 HA BUMP SAWIT ADALAH US $ 7.500.000/TAHUNUS $ 7.500.000/TAHUN

BUMN ATAU BUMS AKAN MENDAPATKAN TAMBAHANBUMN ATAU BUMS AKAN MENDAPATKAN TAMBAHANBUMN ATAU BUMS AKAN MENDAPATKAN TAMBAHAN BUMN ATAU BUMS AKAN MENDAPATKAN TAMBAHAN PENDAPATAN DAN PENCIPTAAN KESEMPATAN KERJA BARUPENDAPATAN DAN PENCIPTAAN KESEMPATAN KERJA BARU

MODEL SEMACAM INI DAPAT JUGA DIGUNAKAN UNTUK AREALMODEL SEMACAM INI DAPAT JUGA DIGUNAKAN UNTUK AREAL--AREAL PENGEMBANGAN BARUAREAL PENGEMBANGAN BARU

ORGANISASI PETANI DIKEMBANGKAN UNTUK BERSINERGIS ORGANISASI PETANI DIKEMBANGKAN UNTUK BERSINERGIS DENGAN BUMN DAN BUMS YANG BERSEDIA BERMITRA.DENGAN BUMN DAN BUMS YANG BERSEDIA BERMITRA.

593

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

INPUT KEBIJAKSANAANINPUT KEBIJAKSANAAN

DISTRIBUSI ENTITLEMENT BERUPA SURAT SAHAM DARI PEMERINTAH DISTRIBUSI ENTITLEMENT BERUPA SURAT SAHAM DARI PEMERINTAH UNTUK PETANIUNTUK PETANI

MEWAJIBKAN BUMN/BUMS BERMITRA DENGAN PETANI (UU NO. 18MEWAJIBKAN BUMN/BUMS BERMITRA DENGAN PETANI (UU NO. 18MEWAJIBKAN BUMN/BUMS BERMITRA DENGAN PETANI (UU NO. 18 MEWAJIBKAN BUMN/BUMS BERMITRA DENGAN PETANI (UU NO. 18 TAHUN 2004 TTG PERKEBUNAN)TAHUN 2004 TTG PERKEBUNAN)

PEMBENTUKAN LEMBAGA PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN PEMBENTUKAN LEMBAGA PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN (UNTUK PERKEBUNAN SUDAH TERAKOMODIR DALAM UU NO. 18 (UNTUK PERKEBUNAN SUDAH TERAKOMODIR DALAM UU NO. 18 TAHUN 2004 TTG PERKEBUNAN)TAHUN 2004 TTG PERKEBUNAN)

PEMETAAN LAHANPEMETAAN LAHAN--LAHAN PIR DAN LAHANLAHAN PIR DAN LAHAN--LAHAN BARU UNTUK LAHAN BARU UNTUK KONSOLIDASI DAN TRANSFORMASI EKONOMI PERTANIANKONSOLIDASI DAN TRANSFORMASI EKONOMI PERTANIAN

PEMBENTUKAN SEKRETARIAT BERSAMA REFORMASI AGRARIA DI PEMBENTUKAN SEKRETARIAT BERSAMA REFORMASI AGRARIA DI PUSAT, PROPINSI DAN KABUPATEN/KOTAPUSAT, PROPINSI DAN KABUPATEN/KOTA

PEMBENTUKAN BUMPPEMBENTUKAN BUMP--BUMPBUMP

PENGEMBANGAN SISTEM INSENTIF BAGI BUMN/BUMS YANG PENGEMBANGAN SISTEM INSENTIF BAGI BUMN/BUMS YANG BERSEDIA MENJADI MITRA PETANI MELALUI BUMPBERSEDIA MENJADI MITRA PETANI MELALUI BUMP--BUMPBUMP

PENGEMBANGAN SISTEM PENJAMINAN BAGI USAHAPENGEMBANGAN SISTEM PENJAMINAN BAGI USAHA--USAHA USAHA PERTANIAN STRATEGIS (MISAL PANGANPERTANIAN STRATEGIS (MISAL PANGAN--PADI), DAN TANAMANPADI), DAN TANAMAN--TANAMAN PENGHASIL DEVISATANAMAN PENGHASIL DEVISA

PENUTUPPENUTUPREFORMASI AGRARIA MANA YANG AKAN DIPILIH TERGANTUNG PADA REFORMASI AGRARIA MANA YANG AKAN DIPILIH TERGANTUNG PADA

POTENSI KEBERHASILAN PILIHAN MANA YANG AKAN MENINGKATKAN POTENSI KEBERHASILAN PILIHAN MANA YANG AKAN MENINGKATKAN

KESEJAHTERAAN PETANI DI SATU PIHAK DAN MEMPERCEPAT PROSES KESEJAHTERAAN PETANI DI SATU PIHAK DAN MEMPERCEPAT PROSES

KONSOLIDASI DAN TRANSFORMASI EKONOMI NASIONAL SECARA KONSOLIDASI DAN TRANSFORMASI EKONOMI NASIONAL SECARA

KESELURUHANKESELURUHAN

UNTUK EKSISTING USAHA TANI, TANPA MENYINGGUNG KEPEMILIKAN UNTUK EKSISTING USAHA TANI, TANPA MENYINGGUNG KEPEMILIKAN

LAHAN, PEMERINTAH DAPAT MENGALOKASIKAN MODAL MILIK PETANI LAHAN, PEMERINTAH DAPAT MENGALOKASIKAN MODAL MILIK PETANI

DALAM BENTUK SAHAM SEBAGAI ENERGI TRANSFORMASI EKONOMI DAN DALAM BENTUK SAHAM SEBAGAI ENERGI TRANSFORMASI EKONOMI DAN

ALAT UNTUK MENARIK MANAJEMEN PROFESIONAL KE BIDANG PERTANIAN ALAT UNTUK MENARIK MANAJEMEN PROFESIONAL KE BIDANG PERTANIAN

DAN SEKALIGUS PULA UNTUK MENCIPTAKAN TOTAL VALUE YANG TERSEDIA DAN SEKALIGUS PULA UNTUK MENCIPTAKAN TOTAL VALUE YANG TERSEDIA

DALAM PERTANIAN.DALAM PERTANIAN.

UNTUK LAHANUNTUK LAHAN--LAHAN YANG MASIH DIMILIKI OLEH NEGARA, LAHAN LAHAN YANG MASIH DIMILIKI OLEH NEGARA, LAHAN

DIALOKASIKAN UNTUK PETANI MELALUI KEPEMILIKAN SAHAM YANG DIALOKASIKAN UNTUK PETANI MELALUI KEPEMILIKAN SAHAM YANG

MENJADI MODAL BUMP. BUMP INI MENJADI WADAH PETANI UNTUK MENJADI MODAL BUMP. BUMP INI MENJADI WADAH PETANI UNTUK

MENCAPAI KINERJA KESEJAHTERAAN YANG LEBIH BAIK MELALUI TOTAL MENCAPAI KINERJA KESEJAHTERAAN YANG LEBIH BAIK MELALUI TOTAL

VALUE CREATION.VALUE CREATION.

BUMN DAPAT MENJADI MITRA PETANI, DEMIKIAN JUGA BUMS DAN BUMD BUMN DAPAT MENJADI MITRA PETANI, DEMIKIAN JUGA BUMS DAN BUMD

DALAM PROSES REFORMASI AGRARIA.DALAM PROSES REFORMASI AGRARIA.

594

595

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

596

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

597

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

598

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

599

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

600

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

601

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

602

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

603

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

604

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

605

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

606

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

607

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

608

Arah penyempurnaan, antara lain:

Arah Penyempurnaan UUPA

1. Falsafah UUPAPenggunaan bumi, air, ruang udara, dan kekayaan alamyang terkandung didalamnya (sumber daya alam)digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

2. Orientasi UUPAPencapaian keadilan sosial, efisiensi, pelestarianp , , plingkungan, dan penggunaan sumber daya alamberkelanjutan.

*) Bunasor Sanim, Komisaris PT Bank Rakyat Indonesia.

PT BANK RAKYAT INDONESIA (Persero) Tbk

Jakarta, 12 Desember 2006

KEKEKEKEKEBIJAKAN PERBANKANBIJAKAN PERBANKANBIJAKAN PERBANKANBIJAKAN PERBANKANBIJAKAN PERBANKANDALDALDALDALDALAM MENDUKUNGAM MENDUKUNGAM MENDUKUNGAM MENDUKUNGAM MENDUKUNG

PEMBPEMBPEMBPEMBPEMBAHARUAN AGRARIAAHARUAN AGRARIAAHARUAN AGRARIAAHARUAN AGRARIAAHARUAN AGRARIA

609

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

BRI mendukung Penggunaan bumi, air, ruang udara, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (sumber daya alam) digunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran

Kebijakan BRI Dalam Mendukung Penyempurnaan

UUPA

alam) digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan memiliki komitmen target portofolio pinjaman: (September 2006)

Target Realisasi PortofolioPortofolio (%) (%) (Rp)

Agribisnis 40,00 24,29 20,82 TNon Agribisnis 60,00 75,61 64,91 TTotal 100,00 100,00 85,73 T

Mikro, Ritel, Menengah 80,00 87,59 75,09 TKorporasi 20,00 12,41 10,64 TTotal 100,00 100,00 85,73 T

Catatan : Portofolio kredit agribisnis perbankan nasional sekitar 5 %

BRI melalui beberapa skim kredit dari Pemerinah UNTUK merealisasikan kredit kepada petani penggarap menjadi petani pemilik atas tanah garapannya dengan memiliki Sertifikat Hak Milik.

Skim Kredit tersebut menggunakan Pola Inti Plasma antara lain:

Kebijakan BRI

Dalam Mendukung Penyempurnaan UUPA

Skim Kredit tersebut menggunakan Pola Inti - Plasma, antara lain:

Kredit Perkebunan Inti Rakyat (PIR), PIR-TRANS- Perkebunan Inti Rakyat dikaitkan progam Transmigrasi.- Perusahaan Inti Membangunkan Kebun Plasma untuk selanjutnya dikonversi/diserahkan kepada Petani.

KKPA- Pembangunan Kebun Plasma kpd Koperasi Premier u/ Anggotanya.- Perusahaan Inti membangun membengunkan Kebun Inti & Pabrik. - Anggota Koperasi membangun Kebun Plasma melalui Koperasi & gg p g pPerusahaan Inti.

KPEN-RP- Kredit Pengembangan Energi Nabati & Revitalisasi Perkebunan. - Direncanakan Tgl 23 Des 2006 Penandatanganan Perjanjian Kerjasama antara Menkeu R dengan Dirut BRI.

- Target 2 Juta Ha terdiri dari: kebun Kelapa Sawit 1,5 juta Ha, Karet 300 Ribu Ha & Kakao 200 Ribu Ha.

610

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Untuk mendukung percepatan realisasi Skim Kredit Pola Inti Plasma tersebut diatas untuk memberikan status kepemilikan kepada Petani Plasma dan memberikan

Kebijakan BRI Dalam Mendukung Penyempurnaan

UUPA

kepemilikan kepada Petani Plasma dan memberikan kepastian jaminan bagi kreditor, diperlukan dari pihak BPN dan Instansi terkait:

Percepaan Proses SHGU untuk Perusahaan Inti.

Percepatan Proses SHM untuk Petani Plasma.

M h j di b i iji l k i /h k l hMencegah terjadinya pemberian ijin lokasi /hak atas lahan yang tumpang tindih.

Mendayagunakan pemetaan via Satelit.

TERIMA KASIH

BaBaBaBaBagiagiagiagiagian IV: n IV: n IV: n IV: n IV: PRPRPRPRPROSES PEROSES PEROSES PEROSES PEROSES PERUUUUUMMMMMUSUSUSUSUSAN HASIL-HASILAN HASIL-HASILAN HASIL-HASILAN HASIL-HASILAN HASIL-HASIL

SIMPOSIUSIMPOSIUSIMPOSIUSIMPOSIUSIMPOSIUM AM AM AM AM AGRARIA NGRARIA NGRARIA NGRARIA NGRARIA NASIASIASIASIASIOOOOONNNNNAL DAL DAL DAL DAL DANANANANAN

USULAN KERANGKA KEBIJUSULAN KERANGKA KEBIJUSULAN KERANGKA KEBIJUSULAN KERANGKA KEBIJUSULAN KERANGKA KEBIJAKAN PRAKAN PRAKAN PRAKAN PRAKAN PROGRAMOGRAMOGRAMOGRAMOGRAM

PEMBPEMBPEMBPEMBPEMBARARARARARUUUUUAN AAN AAN AAN AAN AGRARIA NGRARIA NGRARIA NGRARIA NGRARIA NASIASIASIASIASIOOOOONNNNNALALALALAL

613

KERANGKA ACUANLOKAKARYA PERUMUSAN HASIL-HASIL

SIMPOSIUM AGRARIA NASIONAL“Pembaruan Agraria untuk keadilan Sosial,

Kemakmuran Bangsa danKeberlanjutan Negara Kesatuan Republik

Indonesia”

Latar Belakang

Setelah 60 tahun merdeka, Indonesia masih terusberjuang untuk memastikan bahwa pengelolaan sumber-sumber agraria (bumi, air dan ruang angkasa) benar-benardapat berkontribusi nyata dalam proses mewujudkan“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (amanat silakelima Pancasila) serta “mewujudkan sebesar-besarnyakemakmuran rakyat” (amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945).Menyadari hal tersebut pemerintah telah menyatakan komit-mennya untuk menjadikan agenda pembaruan agrariasebagai bagian dari visi, misi dan program pemerin-tahan. Pelaksanaan agenda ini diletakkan dalam dua ke-rangka program pembangunan nasional, yaitu sebagai

614

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

bagian dari agenda “perbaikan dan penciptaan kesem-patan kerja” dan “revitalisasi pertanian dan aktivitaspedesaan”.

Perpres No.10 Tahun 2006 harus dilihat sebagai pengu-atan kelembagaan di dalam kerangka pelaksanaan agendapembaruan agraria tersebut, di mana Badan PertanahanNasional Republik Indonesia memperoleh mandat sebagaipelaksananya. Agenda ini, bersama dengan pengkajian danpenanganan konflik agraria, merupakan bagian dari 21fungsi BPN RI dalam menjalankan tugas pemerintahan dibidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.Pada tataran kebijakan, titik tolak bagi pelaksanaan agendaini juga telah ditunjukkan oleh komitmen pemerintah yangdinyatakan Presiden SBY beberapa waktu lalu untuk meng-alokasikan 8,15 juta lahan sebagai obyek pelaksanaanpembaruan agraria. Hal ini akan dilaksanakan dalamsebuah kerangka terpadu Program Pembaruan AgrariaNasional (disingkat PPAN).

Dalam rangka sosialisasi dan mendapatkan masukanbagi operasionalisasi agenda di atas ke dalam kebijakan kon-krit, maka dilakukan suatu rangkaian Simposium AgrariaNasional yang digelar di tiga kota (pada 15 November 2006di Medan, tgl 4 Desember 2006 di Makassar dan tgl. 12Desember di Jakarta), dan dilanjutkan dengan RoundtableDiscussion di IPB Bogor. Rangkaian kegiatan di atas mengu-sung tiga tema pokok, yaitu: 1) landasan politik, hukum,sosial dan ekonomi untuk pelaksanaan program pembaruanagraria nasional; 2) Strategi implementasi program pemba-ruan agraria nasional; 3) Kelembagaan untuk pelaksanaanprogram pembaruan agraria nasional. Tujuan yang diharap-

615

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

kan dari rangkaian kegiatan tersebut adalah:1. Melahirkan pemikiran dan terobosan kebijakan untuk

memecahkan berbagai persoalan keagrariaan yang diha-dapi bangsa Indonesia.

2. Mendorong kesadaran serta menggalang kerjasama diantara semua komponen bangsa untuk mengatasi berba-gai persoalan struktural keagrariaan.

3. Mendorong komitmen politik dan konsensus nasionaluntuk menjalankan amanat pembaruan agraria secarasungguh-sungguh, sinergis, terpadu dan berkelanjutan.

4. Memperjuangkan kepentingan rakyat banyak dalammemperoleh akses pada tanah sebagai sumber kese-jahteraan dan keadilan.

5. Menghasilkan kerangka kebijakan dan kelembagaanberikut langkah-langkah strategis untuk implementasiProgram Pembaruan Agraria Nasional.

Peran Lokakarya di STPN

Lokakarya di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional(STPN) dimaksudkan sebagai forum untuk memformulasi-kan lebih lanjut hasil-hasil kegiatan sebelumnya menjadisebuah kerangka kebijakan yang operasional. Rencanapemerintah untuk dalam waktu dekat mengalokasikan lahanyang tersebar di Jawa dan luar Jawa sebagai objek pembaruanagraria merupakan tantangan yang mencari jawaban-ja-waban nyata mengenai berbagai aspek dari proses imple-mentasi agenda tersebut. Tantangan di atas dapat diterje-mahkan ke dalam pertanyaan-pertanyaan konkrit di bawahini:1. Sistem dan proses identifikasi Subjek pembaruan

616

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

agraria/redistribusi tanah?2. Skema hak atas obyek pembaruan agraria agar menja-

min distribusi yang adil, mendorong produktivitas tanpameninggalkan azas keberlanjutan dan menciptakansumber kesejahteraan rakyat?

3. Identifikasi suatu sistem yang mengintegrasikan ja-minan aset atas tanah dengan akses pada sistem du-kungan produksi (modal, teknologi, pasar, manajemenusaha tani) sebagai satu paket program pembaruan ag-raria?

4. Kerangka delivery system pembaruan agraria: peran danmandat dari instansi pemerintah yang terlibat; sistemkerjasama dan komunikasi antara instansi pemerintah?

5. Sistem dan kelembagaan penyelesaian sengketa agrariayang efektif untuk berbagai skala dan tingkat adminis-trasi?

6. Peran organisasi petani dalam implementasi pembaruanagraria?Keenam pertanyaan diatas dapat dikelompokkan ke

dalam empat kompleks permasalahan:A. Permasalahan di sekitar membangun suatu sistem untuk

identifikasi subjek pembaruan agraria serta membangunsuatu skema hak atas obyek pembaruan agraria yangmenjamin distribusi yang adil serta sesuai dengan kon-disi setempat.

B. Permasalahan di sekitar membangun suatu sistem yangmengintegrasikan jaminan aset atas tanah dengan aksespada sistem dukungan produksi (permodalan, teknologibudi daya maupun pasca panen, manajemen usaha tanidan akses pada pasar).

617

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

C. Kerangka delivery system bagi implementasi pembaruanagraria, termasuk di dalamnya pembagian peran sertakomunikasi di antara instansi pemerintah, dan sistemberjenjang kelembagaan penyelesaian sengketa agraria.

D. Permasalahan di sekitar penguatan dan peran dari orga-nisasi tani dan masyarakat lokal di dalam proses pem-baruan agraria.

Keluaran dari Lokakarya

Keluaran dari kegiatan lokakarya ini adalah penjabaranyang cukup kongkrit dari jawaban terhadap pertanyaan-per-tanyaan di atas ke dalam sebuah kerangka kebijakan opera-sional, sehingga dapat dijadikan masukan kepada KepalaBPN dalam memformulasikan kebijakan dan programpembaruan agraria.

Metode Lokakarya

Lokakarya ini akan berlangsung selama dua hari. Padahari pertama akan dilakukan diskusi terfokus yang akanmenelaah lebih mendalam hasil-hasil ketiga simposium yangtelah diformulasikan menjadi jabaran-jabaran kebijakanyang lebih operasional pada acara Round Table Discussion diIPB Bogor; sekaligus disandingkan dengan materi-materikertas posisi yang telah dihasilkan oleh KPA (KonsorsiumPembaruan Agraria) dan beberapa organisasi petani nasio-nal. Diskusi pada hari pertama ini diikuti oleh peserta yanglebih banyak. Diskusi akan dipandu oleh fasilitator denganmengacu kepada panduan kisi-kisi pertanyaan sebagaimanaterlampir.

618

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Pada hari kedua, hasil-hasil diskusi pada hari pertamaini akan menjadi bahan bagi Tim Perumus Kecil untukmenghasilkan jabaran formulasi kebijakan yang lebihoperasional.

Peserta Lokakarya

Mengacu pada target keluaran yang diharapkan darikegiatan lokakarya ini, maka peserta pada hari pertamamerupakan kombinasi dari orang-orang yang yang mem-punyai pengalaman dalam permasalahan agraria, ahli hukumyang berkecimpung dalam pembaruan agraria, pejabatinstansi pemerintah yang terlibat dalam implementasipembaruan agraria, ahli ekonomi rakyat, ahli ilmu sosial,dan akademisi. Jumlah peserta pada hari pertama diperki-rakan sekitar 40 orang.

Sedangkan kegiatan hari kedua terbatas pada anggotaTim Perumus Kecil yang telah diundang secara khusus,mewakili pejabat BPN RI, akademisi, ahli hukum, dan LSM.

PEMAPARAN RANCANGANAWAL PROGRAM

PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL

620

Permasalahan

LatarLatar BelakangBelakang

Permasalahan

1. Kemiskinan

2. Penganggurang gg

3. Ketimpangan

4. Tanah Terlantar

PPAN:

Latar Belakang, Tujuan, Landasan

K i i l P kiKonstitusional, Perkiraan

Dampak dan Pembiayaan

Hemanto Siregar (Staf Khusus Kepala BPN)

Harianto (Brighten Institute)

621

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

1. Kemiskinan

• Kota = 13.47 persen

• Desa = 21.81 persen• Total = 17 75 persen• Total = 17.75 persen

2. Pengangguran

Pengangguran Terbuka

Kota = 13 32 persen (5 82 juta jiwa)Kota = 13.32 persen (5.82 juta jiwa)

Desa = 8.44 persen (5.28 juta jiwa)

Total = 10.45 persen (11.10 juta jiwa)

Setengah Pengangguran

Kota = 15.83 persen (6.92 juta jiwa)Kota 15.83 persen (6.92 juta jiwa)

Desa = 36.76 persen (23.00 juta jiwa)

Total = 28.16 persen (29.92 juta jiwa)

622

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

3. Ketimpangan

• Kemiskinan di sektor industri = 6 77Kemiskinan di sektor industri = 6.77

persen

• Kemiskinan di sektor pertanian =

56.07 persen

• Petani gurem (penguasaan• Petani gurem (penguasaan

lahan<0.5 hektar) = 56.5 persen

4. Tanah Terlantar

• Hutan rusak > 59 juta hektar• Hutan rusak > 59 juta hektar

• Laju kerusakan hutan = 2.8 juta hektar/th

• Luas HPK = 13.8 juta (di luar Kalteng, Riau, dan

Kepulauan Riau)

623

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Sasaran Pembangunan

• Pengangguran 2009 = 5.1 persen

• Kemiskinan 2009 = 8.2 persen

• Pertumbuhan = 6.6 persen

• Pendapatan per kapita = 1731 USDPendapatan per kapita 1731 USD

Agenda Pembangunan

(Triple Tracts Strategy)

M i k tk t b h k i• Meningkatkan pertumbuhan ekonomi

melalui investasi dan ekspor.

• Menggerakkan sektor riil agar semakin

tumbuh dan berkembang.

• Melaksanakan revitalisasi pertanian dan

pedesaan.

624

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Makna, Landasan dan Tujuan PPAN

1. Makna Pembaruan Agraria

Restrukturisasi pemilikan, penguasaan,

dan pemanfaatan sumber sumber

agraria, terutama tanah, yang mampu

menjamin keadilan dan keberlanjutan

peningkatan kesejahteraan rakyat.

625

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Komponen dalamMakna Pembaruan

Agraria

• Restrukturisasi

• Sumber agraria (terutama tanah)

• Keadilaan (equity)

P i k k j h k• Peningkatan kesejahteraan rakyat

(efficiency)

• Keberlanjutan (sustainability)

2. Tujuan Pembaruan Agraria

• Mengatasi kemiskinan.

• Mengurangi pengangguran.

• Meningkatkan ketahanan pangan, energi, dan

pasokan air.

• Memperbaiki akses rakyat terhadap sumber

sumber ekonomisumber ekonomi.

• Menata struktur penguasaan tanah menjadi

lebih adil.

626

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

3. Landasan Konstitusional

• UUD 1945 (Pembukaan)

• UU No 5 Tahun 1960 tentang UUPAUU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA

• UU No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas

Tanah Pertanian

• PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan

Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian

(jo. PP No.41/1964 dan PP No.4/1977)

• Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumberdaya Alam

Perkiraan Dampak PPAN

627

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Jumlah RT Miskin yang Ditargetkan untuk

Dientaskan Melalui PPAN

Jawa Luar Jawa JumlahJawa Luar Jawa Jumlah

Jumlah RT miskin yang hendak dientaskan

4,29 juta 2,21 juta 6,5 juta

Luas tanah yang hendak dialokasikan

0,9 juta ha 5,1 juta ha 6,0 juta ha

Kecepatan Pengalokasian Tanah dalam

PPAN

Periode Jawa Luar JawaJawa dan

Periode Jawa Luar JawaLuar Jawa

2007-20080,1755 juta ha/

2 thn0,9945 juta ha/

2 thn0,6 juta ha/

thn

2009-20100,3042 juta ha/ 1,7238 juta ha/ 1,1 juta ha/

2009-20102 thn 2 thn thn

2011-20120,4203 juta ha/

2 thn2,3817 juta ha/

2 thn1,5 juta ha/

thn

628

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Perkiraan Jumlah Tambahan Kesempatan

Kerja Melalui PPAN

Jawa Luar Jawa Jawa dan L J

Ja a ua Ja aLuar Jawa

Asumsi : 0,5 tk/ha 1 tk/ha -

2007-2008 0,0878 juta tk 0,9945 juta tk 1,0823 juta tk

2009-2010 0 1521 juta tk 1 7238 juta tk 1 8759 juta tk2009-2010 0,1521 juta tk 1,7238 juta tk 1,8759 juta tk

2011-2012 0,2102 juta tk 2,3817 juta tk 2,5919 juta tk

Jumlah 0,45 juta tk 5,10 juta tk 5,5 juta tk

Estimasi Pembiayaan PPAN

629

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Estimasi Kebutuhan Anggaran PPAN

• Komponen Sertifikasi

– Pemetaan, pengukuran… dst sampai dengan

terbitnya sertifikat: Rp 500.000/ha x 6 juta ha

• Komponen Pematangan Tanah

– Land clearing (environmentally friendly) … dst

sampai siap tanam: Rp 3,8 juta/ha x 6 juta ha

• Komponen Infrastruktur

– Jalan pedesaan, irigasi… dst.: Rp 7,5 juta/ha x 6

juta ha

• Komponen modal kerja dan investasi

– Tanaman semusim (kebutuhan pembiayaan

perbankan untuk modal kerja, 2 musim setahun): Rp

6 juta x 1 juta ha

– Tanaman keras (kebutuhan pembiayaan perbankan

untuk investasi): Rp 7 juta x 5 juta ha

630

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Sumber Pembiayaan (1)

• Biaya Sertifikat (Rp 3 T) bisa dibebankan

k d t (APBN) d d hkepada anggaran pusat (APBN) dan daerah

(APBD)

• Anggaran Pusat dibebankan kepada

Departemen Teknis

• Pemda harus memikul sebagian biaya karenaPemda harus memikul sebagian biaya karena

manfaatnya langsung dirasakan masyarakat

miskin di daerah

Sumber Pembiayaan (2)

• Sumber pembiayaan untuk pematangan lahan

(R 22 8 T)(Rp 22,8 T)

– APBN = Rp 4,56 T

– Perbankan = Rp 18,24 T

• Sumber pembiayaan untuk infrastruktur (Rp

45 T) bisa dibebankan kepada anggaran pusat45 T) bisa dibebankan kepada anggaran pusat

(APBN) dan daerah (APBD).

631

Daftar Isi

• Pendahuluan

Si l i Bi• Simulasi Biaya

– Estimasi Biaya Penerbitan Sertifikat

– Estimasi Biaya Working Capital

• Sumber Pembiayaan

• Alternatif Sumber Pembiayaan

• Hambatan

• Alternatif Strategi Ladreform+

Simulasi Kebutuhan Dana Program

Landreform+ dan Alternatif Strategi

Landreform+

Taufik Sumawinata

Brighten Institute

632

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Pendahuluan

• Pemerintah, c.q BPN dan Kementerian Kehutanan, berencanal k k L d f lmelakukan program Landreform plus

• Program ini bukan semata landreform (redistribusi tanah)tetapi merupakan kebijakan landreform plus, atau landreformdengan program penunjang yang intinya memberikan aksesfaktor produksi kepada masyarakat miskin

• Dengan diberikannya faktor produksi tanah, masyarakatmiskin diharapkan bisa mendapatkan akses lainnya, utamanyaakses perbankan penyuluhan dan lainnyaakses perbankan, penyuluhan, dan lainnya

• Program ini tidak bisa menghindari konsekuensi keuangan,baik dari sisi APBN maupun dari sisi moneter, sehinggadiperlukan estimasi biaya yang akan timbul dari programlandreform plus ini

Estimasi Biaya

• Asumsi:su s

1. 8,5 juta hektar dibagikan 6 juta hektar kepada masyarakat

miskin dan 2,5 juta hektar kepada pengusaha

2. Dari 6 juta hektar kepada masyarakat miskin, 3 juta hektar

ditanami tanaman keras (kelapa sawit dan tebu) dan 3 juta

hektar ditanami tanaman musiman (padi)

3. Seluruh 2,5 juta kepada pengusaha ditanami tanaman keras,

kelapa sawit dan tebukelapa sawit dan tebu

• Paling sedikit ada dua jenis biaya

1. Biaya penerbitan sertifikat

2. Biaya program plus

633

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

1. Estimasi Biaya Sertifikasi Masyarakat

Miskin (Pemetaan, Pengukuran, sd.

Sertifikasi)

• Rp 500.000, /hektar

• Total Biaya:

– Rp 3 triliun

R 500 000 6 j h k– Rp 500.000, x 6 juta hektar

2. Estimasi Kebutuhan Dana Masyarakat

Miskin

• Dana Pendampingan per tahun• Tanaman Musiman dan Keras … ?

• Dana kebutuhan perbankanA. Tanaman Musiman:

• Modal kerja 2 x panen setahun @ Rp 3.000.000/ha

• Rp 6.000.000 x 1 juta hektar

• Total Biaya: Rp 6 triliunTotal Biaya: Rp 6 triliun

B. Tanaman Keras

• Biaya investasi Rp 7.000.000/tahun

• Rp 7.000.000 x 5 juta hektar

• Total Biaya: Rp 35 triliun

• Biaya hidup sebelum panen …. ?

634

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

3. Total Kebutuhan Dana Masyarakat

Miskin

• Sertifikat: Rp 1,8 T

• Tanaman Musiman Rp 6 T

• Tanaman Keras Rp 15 T

• Total Biaya Rp 22,8 T

Sumber Pembiayaan (1)

• Biaya Sertifikat (Rp 1,8 T) bisa dibebankan kepada

APBN anggaran pusat dan otonomi daerahAPBN, anggaran pusat dan otonomi daerah

• Anggaran Pusat dibebankan kepada Departemen

Tehnis (BPN, Pertanian, BPS, Kehuatanan?)

• Pemda harus memikul sebagian biaya karena

manfaatnya langsung dirasakan masyarakat miskin

didaerahdidaerah

635

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Sumber Pembiayaan (2)

• Sisa kebutuhan dana, Rp 21 T, bisa didapat

d i APBN d P b kdari APBN dan Perbankan

• APBN = Rp 4,2 T (20%?)

• Perbankan = Rp 16,8 T (80%?)

• Apakah perbankan mempunyai dana cukup?

BRI? Mandiri?BRI? Mandiri?

4. Estimasi Kebutuhan Dana

Pengusaha

b k k l• Biaya pembukaan kelapa sawit

USD3,000/hektar untuk 4 tahun

• Biaya 1 tahun = USD 750 = Rp 6.750.000,

• Total Biaya = 2,5 juta hektar x Rp 6.750.000 =

Rp 168, 75 Tp

• Dana yang dibutuhkan perbankan 70% = Rp

118,125 T per tahun

636

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Sumber Pembiayaan (3)

• Subsidi Silangg

– Sebagian Biaya Sertifikat Masyarakat Miskin didapat dari Biaya

Sertifikat Pengusaha

– Sebagian Biaya Program Plus didapat dari Biaya Sertifikat Pengusaha

• Agraria Fund

– Total pendapatan Biaya Sertifikasi Tanah Pengusaha dijadikan modal

Agraria Fund, ditawarkan kepada equity participantsAgraria Fund, ditawarkan kepada equity participants

– Misalkan dari Rp 1.300.000, /hektar biaya sertifikasi, Rp 700 ribu

menjadi dana Fund, total Rp 1,75 T, total equity Fund bisa didapat Rp 7

T, dan ini bisa membiayai Rp 23,3 T Program Plus (30% Fund, 70%

foreign banks)

Hambatan

• Perbankan dan Capital Market (Agraria Fund) mempunyai SOPb h ll t l (t h) h j l t t h k hibahwa collateral (tanah) harus jelas status hukumnya, sehinggatanah bisa dieksekusi (dijual) bilamana petani gagal bayar

• Pemerintah harus memperhatikan persyaratan perbankan danCapital Market, karena bilamana ada pembatasan penjualan dalamperiode tertentu, ini akan menjadi hambatan dalam pembiayaan

• Pemerintah harus jelas dalam mengatur partisipasi lembagakeuangan luar negeri yang ikut dalam program pembiayaanLandreform+ karena ada konsekuensi loan equity swap (tanahberalih pengusaannya) bilamana ada gagal bayar baik di Agrariaberalih pengusaannya) bilamana ada gagal bayar, baik di AgrariaFund maupun skema pembiayaan tanah pengusaha

• Partisipasi lembaga keuangan luar negeri tidak bisa dihindari karenabesarnya kebutuhan dana dalam membiayai program Lendreform+

637

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Alternatif Strategi Landreform+

Bilamana memang pemerintah:a) Tidak punya sumber dana yang dapat menutupi seluruh) p y y g p p

program Landreform+

b) Tidak setuju dengan partisipasi pendanaan dari luarnegeri karena adanya risiko loan equity swap pada saatgagal bayar

Maka strategi Landreform+ harus melihattersedianya dana maksimum dari APBN dantersedianya dana maksimum dari AP N danperbankan domestik setiap tahunnya, barukemudian menentukan jumlah redistribusi tanahsetiap tahunnya, e.q, 20% setahun

Terima Kasih

MASUKAN KALANGANCIVIL SOCIETY

UNTUK PERUMUSAN PROGRAMPEMBARUAN AGRARIA NASIONAL

640

Poin-Poin Usulan Reforma AgrariaDaniel Hutagalung (Perhimpunan Pendidikan

Demokrasi)

Problem:

1. Persoalan reforma agraria yang akan dihadapi dalamwaktu dekat adalah distribusi tanah/lahan. Problemyang akan muncul di sini adalah subyek (siapa) yangakan menjadi penerima; Wilayah mana (obyek) yangakan digunakan/dibagikan? Dan berapa luas lahan yangakan dibagikan.

2. Pertanyaan-pertanyaan berikutnya adalah: Bagaimana(proses) penentuan wilayah/lahan yang akan dibagikan?Siapa yang akan melakukannya? Dan apa dasar hukumyang menjamin proses tersebut memiliki kekuatan le-gal-formal?Dua problem tersebut merupakan problem-problem

yang berkisar di seputaran pembagian/distribusi lahan, pada-hal reforma agraria bukan semata-mata persoalan bagi-bagitanah. Reforma agraria merupakan suatu kebijakan politikpertanahan yang kompleks, yang di dalamnya terdapat prob-lem ekonomi-sosial-politik dan kebudayaan. Tapi di sini

641

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

langkah awal yang paling dekat yang harus dihadapi adalahbagaimana pembagian tanah yang telah ditetapkan melaluiKeppres bisa berjalan dengan baik, efektif dan efisien, danterutama tepat sasaran sesuai program reforma agraria.

Tujuan:

1. Problem Siapa, harus dirujuk pada subyek yang meng-gantungkan hidupnya dari kerja-kerja agraria (pertanian,perkebunan, kehutanan). Dari subyek-subyek inilahdiharapkan di kemudian hari akan berkembang kualitaskehidupan dari tanah yang dibagikan. Tanah bukan dipe-runtukkan bagi subyek yang mengandalkan kehidupankesehariannya bukan dari mengolah tanah. Penegasanini penting untuk menghindari adanya penyalahgunaanlahan, bukan untuk peningkatan manfaat tanah bagimasyarakat-tani, melainkan untuk beralih fungsi menjadilahan-lahan industri non-pertanian (sewa-menyewa).Fungsi produktivitas tanah harus dapat berkorelasi lurusdengan peningkatan kualitas hidup masyarakat miskinyang hidupnya bergantung dari mengolah tanah.

2. Problem Wilayah (Obyek), harus dirujuk pada wila-yah-wilayah (lahan-lahan) di mana penguasaan tanahada pada negara, dan bukan berada dalam situasi seng-keta/konflik hukum. Tanah yang sedang dalam sengketahukum memiliki dimensi-dimensi konflik sosial-ekono-mi yang sangat tinggi, di mana keputusan-keputusansepihak pada lahan-lahan sengketa akan mengakibatkanjuga tindakan-tindakan sepihak yang membuatkebijakan reforma agraria menjadi tidak populer danjustru menjadi tidak produktif. Wilayah (lahan) yang

642

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dikuasai oleh komunitas/masyarakat adat juga bukanlahan yang bisa dijadikan dasar untuk distribusi. Seng-keta tanah akan merebak menjadi sengketa sosial danpolitik yang lebih meluas jika distribusi dilakukan dengancara intervensi berbagai lahan sengketa atau milik ma-syarakat adat (komunal).

3. Problem Luas lahan juga harus merujuk pada seberapabesar populasi wilayah-wilayah yang memungkinkanuntuk dilakukan distribusi, ketimpangan jumlah luasakan mengakibatkan persoalan susulan, baik persoalandalam satu wilayah, maupun antar wilayah. Prinsip sama-rata sama-rasa mau tidak mau harus diterapkan dalamkerangka ini, untuk menimilasir persoalan lain sepertikecemburuan, agitasi sosial-politik, dan nilai ekonomi.

4. Penentuan Wilayah tentu saja harus dikuasai oleh BPNsebagai lembaga yang paling menguasai dan mengetahuistruktur kepemilikan tanah di Indonesia. Dalam hal iniBPN harus mampu menghadapi berbagai intervensiyang akan muncul sehubungan dengan proses distribusi,di mana kepentingan politik akan dengan cepat menge-rubung pada kebijakan-kebijakan yang bersifat populis,dengan upaya untuk menarik simpati dan perhatian kon-stituen ataupun floating voters. Kepentingan politik darilembaga legislatif (baik pusat maupun daerah) akanseketika muncul dan harus dihadapi dengan cara-carategas dan rasional-bernalar, sehingga argumen-argumendalam menentukan wilayah didasarkan pada suatuargumen rasional-bernalar yang harus terlihat tidakbesentuhan dengan kepentingan politik atau individu.

5. Subyek Pelaku kerja-kerja distribusi ini harus sepenuh-

643

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

nya di bawah kendali BPN dengan menyertakan mitrapokok Pemerintah-pemerintah Daerah dan Kanwil-kanwilDepartemen Kehutanan dan Departemen Pertanian, danjuga menyertakan mitra sekunder dari organisasi-organisasimasyarakat sipil, pengusaha di sektor agraria dan kehu-tanan. Unsur-unsur TNI yang banyak bergulat dalam halpenguasaan dan permainan sektor pertanahan juga harusdapat dikendalikan, dan perlu untuk dalam jangak pendekdiajak terlibat dalam hal mengontrol hasrat bisnis yangmasih meletup-meletup dari individu-individu dalammiliter maupun institusi-institusi militer sendiri.

6. Dasar Hukum yang selama ini dikenal adalah UUPokok Agraria No.5 tahun 1960 sebagai UU payungbagi proses reforma agraria, yang di bawahnya terdapatbanyak sekalai Keppres, Inpres, SK Menteri, SKGubernur (dan jajaran Pemda lainnya) yang secara po-kok bertentangan dengan UU No.5/1960. Pembenahandan penyelarasan harus dilakukan beriringan denganproses redistribusi lahan, agar tidak terjadi ketumpang-tindihan yang bisa berakibat pada persoalan legal-for-mal yang berbelit-belit. Dalam hal ini fungsi Presidensebagai Kepala Negara akan sangat berperan besar un-tuk menciptakan keselarasan dalam hal legalitas, forma-litas dan normativitas proses redistribusi. Sehinggakerja-kerja reforma agraria di tahap yang paling awalini memiliki pijakan yang kuat untuk melangkah padatahap-tahap selanjutnya.

Capaian:

Sebagaimana disebutkan pada bagian awal bahwa

644

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

reforma agraria bukan sekedar pekerjaan bagi-membagitanah, melainkan capaian maksimum apa yang bisa diha-silkan dari pembagian tanah ini. Capaian maksimum yangminimum penting untuk dicapai adalah:1. Tanah yang dibagikan menjadi salah satu sumber peng-

hidupan pokok bagi masyarakat miskin di sektor perta-nian, sehingga nilai produktivitasnya – dalam hal menca-pai peningkatan kualitas hidup masyarakat miskin –harus dapat dipenuhi.

2. Akses terhadap kepemilikan dan pengelolaan tanahharus juga didukung dengan akses kepada sumber-sum-ber pangairan dan bibit-biibt cocok-tanam serta upayapengembangan pengelolaan tanah dalam rupa dukunganteknologi untuk dapat berkembang dalam pasar.Untuk dapat memperoleh capaian-capaian maksimum

maka hal-hal yang perlu dikerjakan selanjutnya adalah:1. Dukungan untuk akses terhadap modal pengembagan

usaha pengelolaan tanah yang dibagikan (kapital);2. Pembentukan koperasi-koperasi untuk memfasilitasi

pengembangan pengelolaan lahan (produksi);3. Dukungan untuk peningkatan kualitas produksi lahan

(tekonologi); dan4. Dukungan kepastian pemasaran hasil-hasil pengelolaan

lahan (distribusi).Ini bisa dilakukan beriringan dengan proses redistribusi

yang akan memakan waktu yang tidak pendek. Contoh-contoh keberhasilan (success story) yang bisa diukur dariproyek awal reforma agraria, secara politik dan ekonomiakan menjadi rujukan bagi pengembangan proyek reformaagraria ke tahapan yang lebih lanjut.

645

Catatan-catatan Tambahan untukProgram Pembaruan Agraria Nasional

Dadang Juliantara

646

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

647

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

648

Kertas Posisi TerhadapProgram Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)

Oleh: Petani Mandiri, AGRA, FSPI, STN, DTI,AMAN, API, KRKP, SBD, PBHI, KPA, UPC,Pergerakan, Pokja-PA-PSDA, Walhi, HuMA,

RACA, FWI, JKPP

Pemerintah baru-baru ini mewacanakan kepada masya-rakat hendak melaksanakan Pembaruan Agraria. Rencanapemerintah ini sangat penting, sebab agenda PembaruanAgraria adalah agenda bangsa yang sampai saat ini belumterlaksana.

Oleh sebab itu, kami dari berbagai Organisasi Petani,Masyarakat Adat dan NGO merasa penting menyampaikanposisi dan pandangan kami yang terangkum dalam pan-dangan sebagai berikut:

Pembaruan Agraria yang hendak dijalankan olehpemerintah mestilah dibawah kerangka hukum Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Kerangka hukumini tentu saja harus diikuti dengan itikad untuk memegangteguh lima prinsip dasar melatar belakangi kelahiran UUPAyaitu: 1. Pembaruan hukum agraria agraria kolonial menuju

649

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

hukum agraria nasional yang menjamin kepastian hukum,Penghapusan hak asing dan konsesi kolonial atas tanah diIndonesia, Mengakhiri penghisapan feodal dan perombakanstruktur penguasaan tanah, Wujud implementasi atas pasal33 UUD 1945.

Pengertian Pembaruan Agraria adalah penataan ulangatau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaansumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentinganpetani, buruh tani, dan rakyat kecil atau golongan ekonomilemah pada umumnya seperti terangkum dalam pasal6,7,9,10,11,12,13,14,15,17. Inti dari pembaruan agrariaadalah landreform yaitu redistribusi kepemilikan dan pengu-asaan tanah. Meskipun demikian landreform tidak akanberhasil jika tidak didukung oleh program-program penun-jang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan,pemasaran, dan sebagainya. Jadi pembaruan agraria adalahlandreform plus.

Tujuan pembaruan agraria menurut UUPA adalahpenciptaan keadilan sosial, peningkatan produktivitas danpeningkatan kesejahteraan rakyat untuk mewujudkan tujuankemerdekaan bangsa yang terangkum dalam PembukaanUUD 1945 dan terjemahan dari praktek ekonomi negaradalam Pasal 33 UUD 1945.

Selama ini, akibat tidak dijalankannya PembaruanAgraria dan dipetieskannya UUPA telah menyebabkan se-makin mendalamnya ketimpangan kepemilikan, pengu-asaan dan penggunaan sumber-sumber agraria khususnyatanah, maraknya konflik agraria dan kerusakan lingkungan.Maraknya konflik graria yang merebak selama ini adalahtanda dari perlu dilaksanakannya pembaruan agraria. Jadi:

650

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Pembaruan Agraria yang dimaksudkan oleh pemerintahadalah selain untuk menata ulang struktur kepemilikan,penguasaan sumber-sumber agraria sehingga dapat menja-wab ketimpangan agraria juga untuk menuntaskan konflikagraria yang selama ini timbul.

Konflik agraria juga dapat terjadi dalam proses pelak-sanaan pembaruan agraria apabila prasyarat pendukungnyatidak disiapkan secara matang. Prasyarat utama tersebutadalah: kemauan dan dukungan politik yang kuat dari peme-rintah, data agraria yang akurat, serta organisasi tani yangkuat serta terpisahnya elit bisnis dan elit politik dalam men-jalankan Pembaruan Agraria. Dengan melihat prasyarat inimaka peran negara sangat penting bahkan tidak tergantikan,sementara pelaksanaan pembaruan agraria tanpa melibatkanorganisasi rakyat maka tujuan-tujuan dari Pembaruan Agra-ria tidak akan tercapai dan bahkan mengalami kegagalan.

Pengalaman pelaksanaan pembaruan agraria di sejum-lah negara Asia (seperti: China, Taiwan, Jepang, dan KoreaSelatan), Afrika dan Amerika Latin,) menunjukkan setidak-nya ada 10 (sepuluh) aspek utama yang perlu diurus keleng-kapannya oleh penyelenggara negara bila pembaruan agrariamau berhasil, yakni : (1) Mandat Konstitusional, (2) HukumAgraria dan Penegakkannya, (3) Organisasi Pelaksana, (4)Sistem Administrasi Agraria, (5) Pengadilan, (6) DesainRencana dan Evaluasi, (7) Pendidikan dan Latihan, (8) Pem-biayaan, (9) Pemerintahan Lokal, dan (10) Keterlibatan pe-nuh Organisasi Petani.

Langkah-langkah

Untuk menjalankan Pembaruan Agraria maka diper-

651

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

lukan sebuah badan pelaksana atau komite yang bertugasmenjalankan Pembaruan Agraria. Komite tersebut adalahsebuah Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA).KNPA ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden.Tugas utamanya adalah untuk: (i) Merumuskan strategi dantata cara pelaksanaan pembaruan agraria; (ii) Mengkordi-nasikan departemen-departemen terkait dan badan-badanpemerintah lainnya, pemerintah daerah, dan organisasimasyarakat untuk mempercepat pelaksanaan pembaruanagraria; (iii) Melaksanakan penataan struktur penguasaan,pemilikan dan penggunaan tanah serta sumber-sumber agra-ria lainnya; dan (iv) Menangani konflik-konflik agraria, baikwarisan masa lalu, maupun konflik-konflik agraria yangmungkin muncul akibat pelaksanaan pembaruan agraria.

Komisi Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) adalahsebuah badan adhoc yang bekerja hanya dalam jangka waktupelaksanaan Pembaruan Agraria. Keanggotaanya komite iniwajib merepresentasikan unsur pemerintahan, unsur serikatpetani, NGO, dan pakar yang sejak awal concern dalam per-juangan dan tujuan-tujuan Pembaruan Agraria.

KNPA merumuskan desain rencana pelaksanaan hinggaevaluasi Pembaruan Agraria. Desain rencana pelaksanaanitu sekurang-kurangnya memuat (1). Sistem pendataan ob-jek dan subjek Pembaruan Agraria, (2). Data peruntukantanah, (3) Desain redistribusi tanah dalam skema rumahtangga pertanian, kolektive/komunal masyarakat, koperasiproduksi dan atau usaha bersama pertanian oleh masyarakat,(4). Desain larangan dan sanksi bagi penerima tanah yangmenelantarkan tanah dan menjual tanah, (5) sanksi beratbagi pemalsu objek dan subjek Pembaruan Agraria, (6).

652

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Desain keterlibatan dan peran para pihak dalam pelaksanaanPembaruan Agraria (7). Desain dukungan akses infrastruk-tur dan keuangan setelah distribusi.

Untuk memudahkan KNPA mendata objek-objek Pem-baruan Agraria, KNPA menjalankan tugas berdasarkan sis-tem administrasi agraria yang nasional yang lintas sektoral,lintas regional sehingga identifikasi atas objek dan subjekPembaruan Agraria akan dapat lebih mudah dilakukan.Dengan mengacu kepada UUPA maka objek-objek pemba-ruan agraria sebagian besar adalah tanah negara yang diku-asai oleh pihak perkebunan, tanah negara yang dikuasai olehKehutanan khususnya industri kehutanan dan tanah kele-bihan maksimum, tanah absentee (pertambangan, peri-kanan, peternakan dll).

Pembaruan Agraria mestilah dibiayai oleh APBN/Dpemerintah bersama DPR berkewajiban mengalokasikananggaran untuk Pembiayaan Pembaruan Agraria secara pro-porsional. Pembiayaan seluruh komponen dari PembaruanAgraria haruslah berasal dari sumber dana yang bukanberasal dari Hutang Luar Negeri dan atau bantuan pendana-an lain dari pihak manapun yang mengikat dan dapatmenyebabkan tujuan-tujuan Pembaruan Agraria menjaditidak tercapai.

KNPA mengkoordinasikan dukungan departemen-departemen dan lembaga pemerintah non departemen dipemerintahan yang terkait dengan tujuan Pembaruan Agra-ria. KNPA juga bertugas melakukan sosialisasi dan pendi-dikan kepada masyarakat tentang pengetahuan dasar Pem-baruan Agraria khususnya mengenai tujuan, agenda, strategidan pelaksanaan Pembaruan Agraria sehingga dapat mobili-

653

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

sasi dukungan dari rakyat. Dalam tahap pelaksanaan KNPAberhak merekrut dan mendidik para sukarelawan KNPAtentang tata cara pelaksanaan Pembaruan Agraria di tingkatwilayah.

Pemerintah Daerah di tingkat Provinsi maupunKabupaten/Kota berkewajiban membantu melaksanakansepenuhnya program pembaruan agraria nasional ini sesuaidengan pasal 14 UUPA 1960. Dalam hal ini, PemerintahDaerah juga berkewajiban menghapus segala PeraturanDaerah yang dapat menghalang-halangi dan menghambatpelaksanaan Pembaruan Agraria. Pemerintah Daerah berke-wajiban menjaga hasil-hasil Pembaruan Agraria sehinggadapat lebih maju dan berkembang, yang secara nyata tercer-min dalam program dan anggaran Pemerintah Daerah.

Keterlibatan penuh Organisasi Rakyat sejak dari peren-canaan, pelaksanaan dan evaluasi Pembaruan Agraria adalahsyarat utama keberhasilan pelaksanaan Pembaruan Agraria.Keterlibatan ini dimulai dari level nasional hingga levellokal. Keterlibatan ini untuk menjamin kepastian bahwasubjek utama penerima tanah dalam pelaksanaan Pem-baruan Agraria adalah petani miskin, buruh tani tanpapembedaan laki-laki dan perempuan. Keterlibatan organisasitani juga untuk memastikan bahwa serikat petani ataupunkoperasi serikat petani bersama-sama pemerintah berke-wajiban memajukan taraf produksi dan teknologi produksidi lapangan agraria secara bersama-sama sesuai dengan pasal33 UUD 1945.

Demikian pandangan kami.

JAKARTA, 27 November 2006

654

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)L

ampi

ran

Ker

tas

Posi

siT

AB

EL

1.

STR

AT

EG

I P

EL

AK

SAN

AA

N P

PAN

Se

pu

luh

As

pe

k U

tam

a R

AR

inc

ian

Ke

ter

an

ga

n(1

) M

an

da

t K

on

stit

usi

on

al,

UU

D 1

94

5 (

Kh

usu

sny

a p

asa

l 2

7,

28

da

n p

asa

l 3

3)

(2)

Hu

ku

m A

gra

ria

da

n P

eneg

ak

ka

nn

ya

1.U

UP

A 1

96

0.

2.

PA

ad

ala

h k

ewa

jib

an

da

n t

an

ggu

ng

ja

wa

b n

ega

ra p

asa

l 11

Ko

ven

an

Inte

rna

sio

na

l E

coso

c3

.P

A h

aru

s se

sua

i d

eng

an

sem

an

ga

t d

an

pri

nsi

p U

UP

A.

4.

Pen

cab

uta

n t

erh

ad

ap

UU

da

n p

era

tura

n y

an

g b

erte

nta

ng

an

sem

an

ga

t d

an

pri

nsi

p U

UP

A.

5.

Pen

yu

sun

an

da

n p

ela

ksa

na

an

ber

ba

ga

i p

era

tura

n p

eru

nd

an

ga

no

per

asi

on

al

UU

PA

.6

.S

ink

ron

isa

si p

eru

nd

an

ga

n d

an

per

atu

ran

(3)

Org

an

isa

si P

ela

ksa

na

,1.

Ha

rus

ad

a l

emb

ag

a k

hu

sus

ya

ng

mem

pu

ny

ai

kew

ena

ng

an

pen

uh

da

lam

men

jala

nk

an

PA

2.

Lem

ba

ga

in

i h

aru

sd

ipim

pin

da

nb

erta

ng

gu

ng

ja

wa

b l

an

gsu

ng

kep

ad

a P

resi

den

.3.

Tu

ga

s u

tam

an

ya

ad

ala

h u

ntu

k:

(i)

Mer

um

usk

an

str

ate

gi

da

n t

ata

cara

pel

ak

san

aa

np

emb

aru

an

ag

rari

a;(i

i) M

emim

pin

da

nm

eng

ko

rdin

asi

ka

n d

epa

rtem

en-d

epa

rtem

en t

erk

ait

sert

a l

emb

ag

ap

emer

inta

h l

ain

ny

a,

pem

erin

tah

da

era

h,

da

n o

rga

nis

asi

ma

sya

rak

at

un

tuk

mem

per

cep

at

pel

ak

san

aa

np

emb

aru

an

ag

rari

a;(i

ii)

Mel

ak

san

ak

an

pen

ata

an

str

uk

tur

pen

gu

asa

an

, p

emil

ika

n d

an

pen

gg

un

aa

n t

an

ah

ser

ta s

um

ber

-su

mb

er a

gra

ria

la

inn

ya

; d

an

(iv

)M

ena

ng

an

i k

on

flik

-ko

nfl

ik a

gra

ria

, b

aik

wa

risa

n m

asa

la

lu,

ma

up

un

ko

nfl

ik-k

on

flik

ag

rari

a y

an

g m

un

gk

in m

un

cul

ak

iba

tp

ela

ksa

na

an

pem

ba

rua

n a

gra

ria

Un

tuk

sem

enta

raL

emb

ag

a i

ni

da

pa

t d

iket

ua

i o

leh

kep

ala

BP

Nse

ba

ga

i le

mb

ag

a p

ela

ksa

na

PA

men

ga

cu p

ad

a P

erp

res

no

10/2

00

6 t

enta

ng

BP

N.

(4)

Sis

tem

Ad

min

istr

asi

Ag

rari

a1.

Dib

utu

hk

an

da

ta y

an

g a

ku

rat

men

gen

ai

ob

jek

da

n s

ub

jek

PA

.2

.In

ven

teri

sasi

men

gen

ai

tan

ah

-ta

na

h d

an

kek

ay

aa

n a

lam

la

in y

an

ga

ka

n d

ija

dik

an

ob

jek-

ob

jek

ya

ng

PA

.3

.P

end

ata

an

men

gen

ai

sub

jek

ya

ng

ak

an

men

erim

a m

an

faa

t P

A.

4.

Sis

tem

ad

imin

tra

si t

erp

usa

t d

ala

m b

ida

ng

ag

rari

a.

5.

Inv

enta

risi

r w

ila

ya

h k

on

flik

ag

rari

a

Ca

tata

n:

Sis

tem

ad

min

istr

asi

ag

rari

a h

aru

sm

eng

ak

ui

sist

em a

dm

inis

tra

siw

ila

ya

h a

da

t y

an

g s

esu

ai

den

ga

np

rin

sip

PA

.

655

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

(5)

Pen

ga

dil

an

1.P

eng

ad

ila

n i

ni

dib

utu

hk

an

un

tuk

men

ga

nti

sip

asi

sen

gk

eta

ak

iba

td

ila

ksa

na

ka

nn

ya P

A.

2.

Uk

ura

n l

ega

l a

pa

ya

ng

dis

ebu

t d

eng

an

sen

gk

eta

PA

.3

.P

eng

ad

ila

n i

ni

tid

ak

mem

pu

nya

i w

ewen

an

g u

ntu

k m

ela

yan

ig

ug

ata

n d

ari

pih

ak-

pih

ak

ya

ng

an

ti P

A.

4.

Per

lin

du

ng

an

ter

ha

da

p s

ub

jek

PA

.(6

) D

esa

in R

enca

na

da

n E

valu

asi

,1.

Des

ain

pel

iba

tan

ser

ika

t ta

ni

da

n o

rga

nis

asi

ra

kya

t la

inn

ya s

eja

kd

ari

pra

per

enca

na

an

hin

gga

eva

lua

si.

2.

Sis

tem

pen

da

taa

n o

bje

k d

an

su

bje

k P

emb

aru

an

Ag

rari

a3

.D

ata

per

un

tuk

an

ta

na

hb

ag

i k

era

ng

ka

PA

.4

.D

esa

in r

edis

trib

usi

ta

na

h d

ala

m s

kem

a r

um

ah

ta

ng

ga

per

tan

ian

,k

ole

kti

ve/k

om

un

al

ma

sya

rak

at,

ko

per

asi

pro

du

ksi

da

n a

tau

usa

ha

ber

sam

a p

erta

nia

n o

leh

ma

sya

rak

at

5.

Des

ain

la

ran

ga

n d

an

sa

nk

si b

ag

i p

ener

ima

ta

na

h y

an

gm

enel

an

tark

an

ta

na

h d

an

men

jua

l ta

na

h6

.sa

nk

si b

era

t b

ag

i p

ema

lsu

ob

jek

da

n s

ub

jek

Pem

ba

rua

n A

gra

ria

7.

Des

ain

ket

erli

ba

tan

da

n p

era

n p

ara

pih

ak

da

lam

pel

ak

san

aa

nP

emb

aru

an

Ag

rari

aD

esa

in d

uk

un

ga

n a

kse

sin

fra

stru

ktu

r d

an

keu

an

ga

n s

etel

ah

dis

trib

usi

.(7

) P

end

idik

an

da

n L

ati

ha

n1.

Pen

yusu

na

n n

ask

ah

men

gen

ai

ko

nse

p d

an

str

ate

gi

pel

ak

san

aa

n P

Aya

ng

men

yelu

ruh

2.

Pen

did

ika

n k

epa

da

pej

ab

at

da

n a

pa

rat

pel

ak

san

a P

A d

ari

tin

gk

at

na

sio

na

l h

ing

ga

da

era

h

3.

So

sia

lisa

si d

an p

end

idik

an

kep

ad

a m

asy

ara

ka

t te

nta

ng

pen

get

ah

ua

n d

asa

r P

emb

aru

an

Ag

rari

a k

hu

susn

ya m

eng

ena

itu

jua

n,

ag

end

a,

stra

teg

i d

an

pel

ak

san

aa

n P

emb

aru

an

Ag

rari

ase

hin

gg

a d

ap

at

mo

bil

isa

si d

uk

un

ga

n d

ari

ra

kya

t4

.M

erek

rut

da

n m

end

idik

pa

ra s

uk

are

law

an

KN

PA

ten

tan

g t

ata

cara

pel

ak

san

aa

n P

emb

aru

an

Ag

rari

a d

i ti

ng

ka

t w

ila

yah

5.

Mem

per

ku

at

ka

pa

sita

s d

an

pen

get

ah

ua

n d

ari

Org

an

isa

si R

ak

yat

ten

tan

g P

A.

Dis

usu

nn

ya k

am

pa

nye

po

pu

ler

un

tuk

so

sia

lisa

si P

A.

(8)

Pem

bia

yaa

n,

1.

Pem

bia

yaa

n u

ntu

k P

A b

ersu

mb

er d

ari

AP

BN

/DP

emb

iaya

an

ber

sum

ber

da

ri

656

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

2.

Pem

bia

yaa

n s

elu

ru

h k

om

po

nen

da

ri P

emb

aru

an

Ag

rari

a h

aru

sla

hb

era

sal

da

ri s

um

ber

da

na

ya

ng

bu

ka

n b

era

sal

da

ri H

uta

ng

Lu

ar

Neg

eri

da

n a

tau

ba

ntu

an

pen

da

na

an

la

in d

ari

pih

ak

ma

na

pu

n y

an

gm

eng

ika

t d

an

da

pa

t m

enye

ba

bk

an

tu

jua

n-t

uju

an

Pem

ba

rua

nA

gra

ria

men

jad

i ti

da

k t

erca

pa

i.

na

sio

na

lisa

s i a

t as

ha

s il-

ha

s il

tam

ba

ng

(9)

Pem

erin

tah

an

Lo

ka

l1.

Pem

erin

tah

Da

era

h d

i ti

ng

ka

t P

rov

insi

ma

up

un

Ka

bu

pa

ten

/Ko

tab

erk

ewa

jib

an

men

du

ku

ng

pen

uh

pel

ak

san

aa

n p

rog

ram

pem

ba

rua

na

gra

ria

na

sio

na

l.

2.

Pem

erin

tah

Da

era

h j

ug

a b

erk

ew

aji

ba

n m

eng

ha

pu

s se

ga

laP

era

tura

n D

aer

ah

ya

ng

ber

ten

tan

ga

n d

an

men

gh

am

ba

tp

ela

ksa

na

an

Pem

ba

rua

n A

gra

ria

.

3.

Pem

erin

tah

Da

era

h m

enyu

sun

pro

gra

m d

an

an

gg

ara

n p

emd

au

ntu

k m

ema

stik

an

ha

sil-

ha

sil

PA

leb

ih m

aju

da

n b

erk

emb

an

g.

(10

)K

eter

lib

ata

n p

enu

hO

rga

nis

asi

Ra

kya

t.1.

Org

an

isa

si R

ak

yat

yan

g d

ima

ksu

d a

da

lah

org

an

isa

sik

au

mp

eta

ni

mis

kin

, m

asy

ara

ka

t a

da

t, k

au

m m

isk

in k

ota

, n

ela

yan

da

n o

rga

nis

asi

bu

ruh

yan

g m

emil

iki

pen

get

ah

ua

n d

an

id

eolo

gi

yan

g m

an

tap

da

lam

PA

2.

Org

an

isa

si t

erse

bu

t h

aru

s m

eng

ko

nso

lid

asi

ka

n m

ass

ap

eta

ni.

3.

Men

emp

atk

an

Org

an

isa

si R

ak

yat

mu

lai

da

ri t

ing

ka

t lo

ka

l h

ing

ga

na

sio

na

l se

ba

ga

i p

eren

can

a,

pel

ak

san

a d

an

ev

alu

asi

ser

ta p

era

nk

on

tro

l P

A.

4.

Pel

iba

tan

org

an

isa

si r

ak

yat

da

lam

pen

gu

mp

ula

n d

ata

-da

ta o

bje

kd

an

su

bje

k P

A.

5.

Mem

ast

ika

nb

ah

wa

su

bje

k u

tam

a p

ener

ima

ta

na

h d

ala

mp

ela

ksa

na

an

Pem

ba

rua

n A

gra

ria

ad

ala

h p

eta

ni

mis

kin

, b

uru

h t

an

ita

np

a p

emb

eda

an

la

ki-

lak

i d

an

per

emp

ua

n.

6.

Mem

ast

ika

n O

R d

ala

m p

ena

taa

n k

aw

asa

n d

an

per

un

tuk

an

la

ha

nd

ala

m k

era

ng

ka

PA

.7.

Mem

ast

ika

nO

rga

nis

asi

Ra

kya

t d

ala

mm

ema

juk

an

ta

raf

pro

duk

sid

an

tek

no

log

i p

rod

uk

si d

i la

pa

ng

an

ag

rari

a s

eca

ra b

ersa

ma-

sam

a.

Ca

tata

n:

Bu

tuh

nya

ko

nso

lid

asi

da

np

erb

aik

an

org

an

isa

si t

an

i ya

ng

mem

per

jua

ng

ka

n P

A.

657

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007TA

BE

L 2.

RIN

CIA

N T

UG

AS

KN

PA

Tu

ga

s u

tam

aR

inc

ian

Tu

ga

sK

ete

ra

ng

an

(i)

Me

rum

usk

an

str

ate

gi

da

n t

ata

cara

pe

lak

san

aa

np

em

ba

rua

n a

gra

ria;

Men

terj

ema

hk

an

des

ain

ren

can

a, t

ime

fra

me

(ii)

Mem

imp

ind

an

me

ng

ko

rdin

asi

ka

nd

ep

art

em

en

-de

pa

rte

me

n t

erk

ait

da

n b

ad

an

-ba

da

np

em

eri

nta

h l

ain

ny

a,

pe

me

rin

tah

da

era

h,

da

no

rga

nis

asi

ma

sya

rak

at

un

tuk

me

mp

erc

ep

at

pe

lak

san

aa

np

em

ba

rua

n a

gra

ria;

1.M

em

be

rik

an

ara

h d

an

tu

jua

n p

ela

ksa

na

an

PP

AN

2.

Me

ma

stik

an

se

tia

p d

ep

art

em

en

da

n l

em

ba

ga

te

rka

ith

ing

ga

pe

md

a m

em

ilik

i tu

ga

s d

an

fu

ng

si y

an

g j

ela

s d

ala

mP

PA

N.

3.

Me

ng

hil

an

gk

an

tu

mp

an

g t

ind

ih p

era

n d

an

eg

o s

ek

tora

ld

ala

m p

ela

ksa

na

an

PA

.4

.M

eny

ed

iak

an

su

mb

er

da

ya

da

n i

nfr

ast

ruk

tur

da

lam

me

nu

nja

ng

pe

lak

san

aa

nP

A.

(iii

) M

ela

ksa

na

ka

n p

en

ata

an

str

uk

tur

pe

ng

ua

saa

n,

pe

mil

ika

n d

an

pe

ng

gu

na

an

ta

na

h s

ert

a s

um

be

r-su

mb

er

ag

rari

a l

ain

ny

a;

da

n

1.M

en

jam

in t

ida

k a

da

ny

a k

on

sen

tra

si k

ep

em

ilik

an

da

np

en

gu

asa

an

.2

.M

en

jam

in t

ida

k a

da

ny

a m

on

op

oli

da

lam

pe

ma

nfa

ata

nd

ari

se

gi

pro

du

ksi

dis

trib

usi

da

n k

on

sum

si.

3.

Me

nja

min

pe

tan

i m

en

da

pa

tka

n l

ah

an

ya

ng

cu

ku

pte

ruta

ma

un

tuk

pro

du

ksi

pa

ng

an

da

n p

en

da

pa

tan

(ke

da

ula

tan

pa

ng

an

)4

.M

en

jam

in k

em

ba

lin

ya

wil

ay

ah

ku

asa

da

n w

ila

ya

h k

elo

lara

ky

at.

5.

Me

nja

min

ke

lest

ari

an

lin

gk

un

ga

n d

an

ke

be

rla

nju

tan

lay

an

an

ala

m.

6.

Me

nja

min

ke

ters

ed

iaa

n t

an

ah

un

tuk

be

ke

rja

da

n t

an

ah

un

tuk

te

mp

at

tin

gg

al

ba

gi

rak

ya

t m

isk

in.

7.

Me

nja

min

ke

seja

hte

raa

n b

uru

h y

an

g b

ek

erj

a p

ad

ala

pa

ng

an

ag

rari

a.

8.

Me

ng

ata

si k

on

tra

dik

sip

ert

an

ian

da

n i

nd

ust

ri s

ert

a d

esa

da

n k

ota

se

rta

ke

sen

jan

ga

n d

ae

rah

ma

ju d

an

te

rtin

gg

al.

1.P

em

ba

tasa

n k

ep

em

ilik

an

lah

an

(b

ata

s m

ak

sim

um

da

n b

ata

s m

inim

um

).2

.P

em

ba

tasa

n p

em

be

ria

niz

in u

sah

a s

ka

la b

esa

rd

ala

m s

ek

ala

wil

ay

ah

da

nm

wa

ktu

ba

gi

HP

H,

HG

U,

HG

U a

ir,

HT

I d

an

KK

P3

.A

ud

it t

erh

ad

ap

HG

U d

ll4

.P

en

cab

uta

n H

PH

, H

GU

,H

GU

air

, H

TI

da

n K

KP

ya

ng

tid

ak

se

sua

i d

en

ga

nU

UP

A5

.N

asi

on

ali

sasi

te

rha

da

pin

du

stri

da

n p

eru

sah

aa

na

sin

g d

i la

pa

ng

an

ag

rari

a.

6.

(Po

int

3)

Re

dis

trib

usi

ata

u p

en

ye

dia

an

ta

na

hu

ntu

kra

ky

at

mis

kin

pe

tan

ik

eci

l, b

uru

h t

an

i.7

.le

ga

lisa

si a

tas

tan

ah

-ta

na

h y

an

g t

ela

hd

idit

rib

usi

ke

pa

da

ra

ky

at.

658

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)8

.D

i ad

ak

an

ny

ap

rog

ram

-p

rog

ram

pen

un

jan

gse

per

ti p

eng

air

an

,p

erk

red

ita

n,

pen

yu

luh

an

,p

end

idik

an

, p

ema

sara

n,

da

n s

eba

ga

iny

a.

9.

Dik

emb

an

gk

an

ny

ain

du

stri

pen

du

ku

ng

per

tan

ian

da

n p

eng

ola

hh

asi

l p

erta

nia

n o

leh

ko

per

asi

ra

ky

at

ya

ng

did

uk

un

g o

leh

per

usa

ha

an

neg

ara

.10

.A

da

ny

a s

iste

m b

ag

i h

asi

ly

an

g a

dil

un

tuk

pet

an

i.11

.(P

oin

t 4

)p

emu

lih

an

da

nre

stit

usi

ha

k k

elo

la r

ak

ya

tk

hu

susn

ya

ba

gi

ma

sya

rak

at

ad

at

ya

ng

tan

ah

ny

a t

era

mp

as

pa

da

ma

sa l

alu

.12

.P

eng

ak

ua

n s

iste

mte

nu

ria

l m

asy

ara

ka

t a

da

t.13

.(p

oin

t 5

) m

ence

ga

h a

lih

fun

gsi

la

ha

n p

erta

nia

n k

en

on

per

tan

ian

.14

.A

da

ny

a k

esei

mb

an

ga

nfu

ng

si s

osi

al,

ek

on

om

id

an

ek

olo

gis

da

lam

pen

yu

sun

an

ta

ta r

ua

ng

.15

.m

ence

ga

h e

kp

loit

asi

da

nek

splo

rasi

la

ha

n d

an

kek

ay

aa

n a

lam

la

inn

yase

cara

ber

leb

iha

n.

16.

Men

gem

ba

ng

ka

n s

iste

mp

erta

nia

n y

an

gb

erk

ela

nju

tan

.

659

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

(iv

) M

ena

ng

an

i k

on

flik

-ko

nfl

ik a

gra

ria

, b

aik

wa

risa

n m

asa

la

lu,

ma

up

un

ko

nfl

ik-k

on

flik

ag

rari

a y

an

g m

un

gk

in m

un

cul

ak

iba

t p

ela

ksa

na

an

pem

ba

rua

n a

gra

ria

1.P

enet

ap

an

men

gen

ai

ko

nfl

ik a

gra

ria

ad

ala

h p

ela

ng

ga

ran

neg

ara

ata

s h

ak

ra

ky

at

terh

ad

ap

su

mb

er-s

um

ber

ag

rari

a(p

ela

ng

ga

ran

HA

M).

2.

Inv

enta

risa

si s

elu

ruh

ko

nfl

ik3

.M

eru

mu

ska

n m

eka

nis

me

pen

yel

saia

n k

on

flik

sec

ara

sist

ema

tis

da

n t

eren

can

a b

ersa

nd

ark

an

kep

ad

a h

ak-

ha

kk

orb

an

.4

.M

eng

emb

ali

ka

n t

an

ah-t

an

ah

ya

ng

dir

am

pa

s d

an

leg

ali

sasi

tan

ah

ya

ng

tel

ah

dik

ua

sai

ole

h r

ak

ya

t.5

.A

mn

esti

, re

ha

bil

ita

si,

rest

itu

si,

ko

mp

ensa

si u

mu

mte

rha

da

pp

eta

ni

ya

ng

dk

rim

ina

lka

n d

ala

m m

emp

erju

an

gk

an

pem

ba

rua

na

gra

ria

6.

Ad

an

ya

reh

ab

ilit

asi

, re

stit

usi

, k

om

pen

sasi

da

ri n

ega

rate

rha

da

p p

ara

ko

rba

n k

on

flik

ag

rari

a7

.M

ence

ga

h a

da

ny

a k

rim

ina

lisa

si a

tas

per

jua

ng

an

ra

ky

at

ata

sta

na

h d

an

kek

ay

aa

n a

lam

la

inn

ya.

Pen

dek

ata

n d

ala

m p

eny

eles

aia

nk

on

flik

ag

rari

a d

ija

lan

ka

nd

eng

an

men

gg

un

ak

an

per

sep

ekti

ve

ha

m y

an

gm

emp

rio

rita

ska

n h

ak-

ha

kk

orb

an

ata

s su

mb

er a

gra

ria

.

Jaka

rta,

1 D

esem

ber 2

006

660

Pandangan dan Sikap Federasi Serikat Petanilndonesia (FSPI) Tentang Program Pembaruan

Agraria NasionalFederasi Serikat Petani Indonesia

661

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

662

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

663

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

664

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

665

Pandangan Serikat Tani Nasional (STN) atasProgram Pembaruan Agraria Nasional

Pemerintahan SBY- JKSerikat Tani Nasional

666

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

667

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

PERUMUSAN HASIL-HASIL

SIMPOSIUM DAN

USULAN KERANGKA KEBIJAKAN

PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA

NASIONAL

670

I. Pengertian Pembaruan Agraria

A. Mengapa Pembaruan Agraria?

B. Makna Pembaruan Agraria;

C. Cakupan Pembaruan Agraria

Rumusan Program Pembaruan Agraria

NasionalNasional

Hasil Lokakarya di Yogyakarta

17 18 Desember 2006

671

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

A. Mengapa Pembaruan Agraria?

• Pembaruan Agraria adalah mekanisme mewujudkan politik dankebijakan agraria nasional yang menjamin “keadilan sosial bagij g y g j gseluruh rakyat Indonesia” (Preambule UUD 1945) danterwujudnya “sebesar besarnya kemakmuran rakyat” (Pasal 33ayat 3 UUD 1945)

• Pembaruan Agraria merupakan bagian tak terpisahkan dari citacita kemerdekaan, yakni mewujudkan kemerdekaan nasional dilapangan agraria:

Lahir UUPA 1960 dengan tujuan: (1) perombakan Hukum Agraria; (2)likuidasi hak hak asing dalam bidang agraria; (3) penghapusan sisa sisalikuidasi hak hak asing dalam bidang agraria; (3) penghapusan sisa sisafeodal dalam bidang agraria; (4) pelaksanaan land reform; dan (5)penataan penggunaan tanah

• Pembaruan Agraria adalah elemen kunci pembentuk imajikeindonesiaan (imagined community) yang hendak dicapai:

“Pembaruan Agraria adalah alat revolusi” (Bung Karno)

“Pembaruan Agraria adalah bagian dari strategi pembangunan berbasispemenuhan hak dasar (entitlement)” (SBY)

• Dalam perspektif sosio kultural, Pembaruan Agraria adalah

mekanisme utama untuk memastikan terjadinya transisi

agraris dari struktur “agraris tradisional” (yang bercorak

kolonial dan feodal) menjadi struktur agraris modern (di manakolonial dan feodal) menjadi struktur agraris modern (di mana

hubungan sektor pertanian dan pedesaan di dalamnya tidak

lagi terkucil dan terinvolusi).

• Dengan transisi itu, maka sektor pertanian dan pedesaan

dapat terintegrasi ke dalam pilar pilar ekonomi lainnya,

menjadi lebih produktif, mengalami proses industrialisasi yang

genuine, serta melahirkan kesejahteraan rakyat.

• Tak kurang dari itu, pembaruan Agraria juga harus dilihat

sebagai ikhtiar kebangsaan untuk membangun struktur baru

penguasaan sumber daya ekonomi dan politik yang lebih

mandiri, adil, demokratis dan berkelanjutan.

672

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

B. Makna Pembaruan Agraria

• PEMBARUAN AGRARIAMENCAKUP SUATU PROSES

YANG BERKESINAMBUNGAN BERKENAAN DENGANYANG BERKESINAMBUNGAN BERKENAAN DENGAN

PENATAAN KEMBALI PENGUASAAN, PEMILIKAN,

PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH,

DILAKSANAKAN DALAM RANGKA TERCAPAINYA

KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM SERTA

KEADILAN DAN KEMAKMURAN BAGI SELURUH

RAKYAT INDONESIA (PASAL 2 TAP. MPR RI TAHUN 2001 TENTANG

PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM)

C. Cakupan Pembaruan Agraria

Dari pengertian di atas, Pembaruan Agraria mencakupkomponen komponen:– Restrukturisasi

– Sumber agraria (terutama tanah)

– Keadilan (equity)

– Peningkatan kesejahteraan rakyat (efficiency)

– Keberlanjutan (sustainability)

• Pengertian di atas menegaskan bahwa Pembaruan Agrariabukan sekedar pekerjaan membagi bagi tanah, melainkanlebih dari itu harus dapat mewujudkan capaian maksimumlebih dari itu harus dapat mewujudkan capaian maksimumyang bisa dihasilkan dari redistribusi tanah itu sendiri.

• Pembaruan Agraria juga bukan merupakan tujuan padadirinya sendiri, tetapi merupakan mekanisme niscaya untukmewujudkan kesejahteraan dan keadilan

673

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

II. Komitmen Pemerintah

A. Latar Belakang

B. Komitmen Pemerintahan SBY JK

C. Program Pembaruan Agraria Nasional

A. Latar Belakang

• Sampai saat ini, setelah 60 tahun lebih merdeka, kita ternyata

masih terus berjuang untuk memastikan bahwa pengelolaan

sumber sumber agraria (bumi, air dan ruang angkasa) benar

benar berkontribusi nyata dalam proses mewujudkan keadilan

sosial dan kemakmuran bangsa.

• Tingginya angka kemiskinan dan pengangguran (terutama di

pedesaan dan pertanian), belum adilnya tatanan kehidupan

bersama, maraknya sengketa dan konflik pertanahan, serta

degradasi lingkungan besar besaran di seantero tanah airdegradasi lingkungan besar besaran di seantero tanah air

merupakan indikasi bahwa cita cita kemerdekaan untuk

mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran bangsa di bidang

agraria belum sepenuhnya dapat diwujudkan secara nyata.

674

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

B. Komitmen Pemerintahan SBY

• Pemerintahan SBY telah menyatakan komitmennya untukmenjadikan agenda pembaruan agraria sebagai bagian dari visi,misi dan program pemerintahan. Dengan pelaksanaan agendatersebut, maka diharapkan “perbaikan dan penciptaankesempatan kerja” dan “revitalisasi pertanian dan aktivitaspedesaan” akan dapat diwujudkan.

• Dikeluarkannya Perpres No. 10 Tahun 2006 merupakan buktikomitmen pemerintah dalam melakukan penguatankelembagaan untuk pelaksanaan agenda pembaruan agraria, dimana Badan Pertanahan Nasional RI memperoleh mandatsebagai pelaksananya Agenda ini bersama dengan pengkajiansebagai pelaksananya. Agenda ini, bersama dengan pengkajiandan penanganan konflik agraria, ditetapkan sebagai bagian dari21 fungsi BPN RI dalam menjalankan tugas pemerintahan dibidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral.

C. Program Pembaruan Agraria Nasional

Secara konkret, komitmen pemerintah untuk melaksanakanagenda pembaruan agraria diwujudkan melalui alokasi 8,15 jutah kt t h b i b k l k b i H lhektar tanah sebagai obyek pelaksanaan pembaruan agraria. Halini dilaksanakan dalam kerangka program terpadu yang disebutProgram Pembaruan Agraria Nasional (disingkat PPAN) yangmencakup dua komponen program.Pertama, redistribusi tanah (land reform) untuk menjamin hak rakyat atas sumbersumber agraria. Hal ini disebut dengan asset reform. Kedua, upaya pembangunan lebihluas dan multipihak untuk menjamin agar aset tanah yang telah diberikan dapatberkembang secara produktif dan berkelanjutan. Hal ini disebut access reform yangmencakup, antara lain, pemenuhan hak hak dasar dalam arti luas (pendidikan,k h dll) j di d k d l k l i jkesehatan, dll), juga penyediaan dukungan modal, teknologi, manajemen,infrastruktur, pasar, dll.

PPAN, dengan demikian, bukan semata mata bagi bagi tanahmelainkan gabungan dari kedua jenis reform sekaligus. Hal inilahyang dimaksud dengan “Landreform Plus”.

675

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

III. Landasan Hukum

III. Landasan Hukum

• Pancasila

Secara keseluruhan, Pancasila menjadi landasan idiil danSecara keseluruhan, Pancasila menjadi landasan idiil dan

prinsipil yang utama dari konsep dan pelaksanaan PPAN.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagai sila

kelima Pancasila, merupakan muara akhir yang hendak

dituju dari pelaksanaan PPAN.

• UUD 1945

PPAN juga mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, khususnya

A t 3 b b i “B i i k dAyat 3 yang berbunyi: “Bumi, air, ruang angkasa dan

kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh

Negara untuk dipergunakan sebesar besarnya bagi

kemakmuran rakyat”.

676

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

• Tap MPR No. IX/2001

Pinsip prinsip pelaksanaan PPAN merujuk kepada 12 prinsipdasar pembaruan agraria yang tertuang dalam Ketetapan MPRNo. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan PengelolaanSumberdaya Alam, yaitu:

– Memelihara dan mempertahankan NKRI,

– Menghormati dan menjunjung tinggi HAM,

– Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalamunifikasi hukum,

– Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan SDM,

– Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan partisipasirakyat,

– Mewujudkan keadilan agraria,

– Memelihara keberlanjutan sumber sumber agrariaMemelihara keberlanjutan sumber sumber agraria,

– Melaksanakan fungsi sosial dan fungsi ekologis sesuai kondisi sosial budayasetempat,

– Meningkatkan koordinasi antar sektor pembangunan dan antar daerah,

– Mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat,

– Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban Negara, pemerintah pusat,daerah, masyarakat dan individu, dan

– Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasionaldan daerah.

• UUPA No. 5/1960

UUPA No. 5/1960 merupakan landasan pokok dan peganganoperasional dalam perumusan konsep dan pelaksanaanPPAN. Ada 10 (sepuluh) prinsip dasar yang dapat diserapdari substansi UUPA, yaitu: (1) Nasionalisme, (2) Hak, y ( ) , ( )menguasai dari negara, (3) Tanah untuk penggarap, (4)Landreform, (4) Fungsi sosial, (6) Pengakuan hak adat, (7)Kesetaraan gender, (8) Kelestarian lingkungan, (9) Usahabersama rakyat, dan (10) Lintas sektor.

• Perpres 10 Tahun 2006

Perpres 10 Tahun 2006 menjadi landasan kelembagaanuntuk pelaksanaan PPAN. Perpres ini memberikan mandatkepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesiauntuk menjalankan reformasi agraria sebagai bagian dariuntuk menjalankan reformasi agraria sebagai bagian daripelaksanaan tugas pemerintahan di bidang pertanahansecara nasional, regional dan sektoral.

677

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

IV. Tujuan dan Arah Pelaksanaan PPAN

A. Tujuan PPAN

B. Arah Pelaksanaan PPAN

A. Tujuan PPAN

• Ada 6 (enam) tujuan utama dalam pelaksanaan PPAN ini,yakni:yakni:– Menata kembali struktur pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan

pemilikan tanah dan kekayaan alam lainnya sehingga menjadi lebihberkeadilan sosial,

– Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, khususnyakaum tani dan rakyat miskin di pedesaan,

– Mengatasi pengangguran dengan membuka kesempatan kerja baru dibidang pertanian dan pengembangan ekonomi pedesaan,

– Membuka akses bagi rakyat terhadap sumber sumber ekonomi danMembuka akses bagi rakyat terhadap sumber sumber ekonomi danpolitik,

– Mewujudkan mekanisme sistematis dan efektif untuk mengatasisengketa dan konflik agraria,

– Kesemua hal di atas dilaksanakan dengan cara cara yang dapatmenjamin keberlanjutan daya dukung lingkungan.

678

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

• Mengacu kepada tujuan di atas, maka pelaksanaan PPAN ini

diharapkan dapat secara simultan mengurangi kemiskinan dan

pengangguran, meningkatkan produkti vitas pertanian,

mewujudkan ketahanan pangan dan energi, memperkuat

ekonomi desa dan pembangunan pedesaan, sekaligus

menyelesaikan sengketa dan konflik agraria yang

mengutamakan hak hak korban.

• Secara khusus, PPAN diarahkan untuk dapat mendorong

peningkatan usaha tani yang produktif sehingga dapatpeningkatan usaha tani yang produktif sehingga dapat

meningkatkan pendapatan keluarga keluarga petani di

pedesaan. Peningkatan pendapatan petani ini pada akhirnya

akan mengangkat kualitas martabat kemanusiaan dari kaum

tani dan sekaligus menjadi landasan sistem ekonomi nasional.

B. Arah Pelaksanaan PPAN

• PPAN harus dijalankan secara komprehensif dan mestimengintegrasikan berbagai kekuatan dan sumberdaya yangada baik di pemerintahan, masyarakat, maupun sektor usaha.Ol h b b it PPAN dil t kk b i d d i it li iOleh sebab itu, PPAN diletakkan sebagai dasar dari revitalisasipertanian dan pembangunan pedesaan, serta agendapengentasan kemiskinan dan pengurangan angkapengangguran.

• Untuk itu PPAN mengandung tiga program utama:– Suatu upaya untuk meningkatkan kualitas hidup penerima tanah

tanah redistribusi, dalam bentuk akses kesehatan, pendidikan, subsidiperumahan, dan hak hak dasar lainnya,

– Suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan penerima tanahredistribusi untuk mengelola lahan dan berproduksi secara optimal,dalam bentuk akses modal, teknologi, infrastruktur (irigasi, jalan,jembatan, listrik), subsidi sarana produksi (benih, pupuk, teknologi,dll), pendampingan, akses pasar; dan

– Suatu kebijakan insentif dan dis insentif (subsidi, pajak, proteksi, dll)untuk memberi perlindungan terhadap komoditas yang dihasilkan olehusaha tani penerima tanah tanah redistribusi.

679

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

• Secara prinsip, pembiayaan PPAN tidak boleh berasal dari

dana hutang melainkan harus disediakan melalui APBN, APBD

dan sumber sumber domestik lainnya. Implementasi

pembiayaan PPAN akan dikelola di pusat dan daerah.

Diupayakan juga penggalian sumber pendanaan dari badan

badan usaha di lapangan agraria, seperti dari pendapatan

pertambangan, kelautan dan perikanan, kehutanan dan

perkebunan.

• PPAN dilakukan dengan pendekatan “communityPPAN dilakukan dengan pendekatan community

empowerment” di mana subjek PPAN ditempatkan sebagai

pihak yang diberdayakan sehingga pada akhirnya mampu

mencapai kemandirian.

V. V. DasarDasar HukumHukum OperasionalOperasional

680

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

V. Dasar Hukum Operasional

• Pre memory

VI. Penentuan Obyek & Subyek

A ObyekA. Obyek

B. Subyek

681

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

A. Obyek

• Obyek utama dari pelaksanaan PPAN ini adalah alokasitanah seluas 8,15 juta hektar dari pelepasan kawasan hutanproduksi konversi yang akan ditetapkan melalui Kepresmengenai PPANmengenai PPAN.

• Simultan dengan ini, penguatan fungsi dan pengembanganstruktur kelembagaan BPN RI melalui Perpres 10 Tahun2006 juga memungkinkan BPN RI untuk langsung memulaiupaya pelaksanaan pembaruan agraria sesuai dengankewenangan yang dimilikinya.

• Dalam rangka ini, dengan memanfaatkan momentumpelaksanaan PPAN, maka secara simultan dan bertahapdapat diupayakan untuk melaksanakan pembaruan agrariadapat diupayakan untuk melaksanakan pembaruan agrariapada obyek obyek tanah sengketa/konflik, HGU yang sudahberakhir atau ditelantarkan, dan tanah tanah obyeklandreform lainnya.

• Beberapa kategori berikut juga dapat diupayakan

untuk menjadi obyek pelaksanaan pembaruanuntuk menjadi obyek pelaksanaan pembaruan

agraria:

– Tanah timbul;

– Tanah bekas bengkok desa yang telah menjadi kelurahan;

– Tanah cadangan di sekitar HGU; dan

– Tanah yang pernah ditetapkan sebagai obyek landreform,Tanah yang pernah ditetapkan sebagai obyek landreform,

tetapi saat ini dikuasai oleh Perhutani atau pihak lain

682

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Subyek

• Kriteria subjek yang akan menerima manfaat dari PPANadalah:– Korban sengketa agraria pada periode sebelumnya, dengan kriteria

k t t k t d d t di t j bkyang ketat, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan;

– Petani gurem;

– Petani tidak bertanah;

– Rakyat miskin yang tidak memiliki pekerjaan dan sangatmembutuhkan lahan produksi pertanian;

• Semua kriteria subjek ini tidak bersifat diskriminatif baikberdasarkan gender, suku, agama, asal usul, dll. Prioritassubjek PPAN adalah penduduk miskin di pedesaan, dimulaidari penduduk yang lokasinya terdekat; dan dibukakemungkinan untuk melibatkan kaummiskin dari daerah laindan di perkotaan sebagai penerima manfaat. Diperlukanmekanisme khusus untuk mengidentifikasi dan menentukansubjek secara teliti, partisipatif dan dapatdipertanggungjawabkan.

• Dalam penentuan subjek di lapangan, selain melalui

mekanisme pendataan oleh instansi pemerintah, juga harus

melibatkan kelompok kelompok tani lokal, serikat serikat tani

di tingkat wilayah dan nasional yang selama ini bekerja,

perguruan tinggi atau lembaga independen yang ditunjuk.

• Harus dipastikan mekanisme yang jelas, transparan dan

partisipatif agar pelaksanaan PPAN ini bersih dari penumpang

penumpang gelap, yang justru bertentangan dengan

semangat pembaruan agraria.semangat pembaruan agraria.

683

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

VII. Delivery Mechanism

A. Dasar Pemikiran

B. Kelembagaan

C. Dilema yang Dihadapi

D. Out Put yang Diharapkan

E. Road Map

A. Dasar Pemikiran

• PPAN harus dilaksanakan dengan tepat, khususnya pada aspeksasaran dan mekanismenya. Tepat sasaran berarti PPAN harusb b i k d k b h k S d kbenar benar sampai kepada mereka yang berhak. Sedangkantepat pada tataran mekanisme berarti PPAN harus menjadiprogram terpadu lintas sektor dan level pemerintahan sehinggabenar benar bisa mencapai tujuan tujuannya.

• Untuk menjamin bahwa PPAN berjalan dengan aman, lancar,tepat sasaran dan mencapai tujuannya, maka ada beberapa halyang harus dipenuhi. Pertama, kelembagaan untuk pelaksanaanPPAN ini harus didefinisikan secara jelas. Kedua, PPAN menjadiPPAN ini harus didefinisikan secara jelas. Kedua, PPAN menjadiagenda politik nasional yang menuntut koordinasi dengansemua sektor yang terkait langsung maupun tidak langsung,koordinasi antar level pemerintahan, maupun antarapemerintah dan masyarakat.

684

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

B. Kelembagaan

• Dengan memperhatikan peluang dan kemungkinan politik

yang ada, maka harus ada produk hukum sekurangnya

Peraturan Presiden (Perpres) mengenai PPAN dan( p ) g

kelembagaan pelaksananya. Dalam Perpres ini diatur

ketentuan sebagai berikut.

– PPAN akan mendasarkan diri pada posisi dan fungsi BPN RI yang

sekarang.

– Untuk keperluan pelaksanaan PPAN akan dibentuk kelembagaan

kepanitiaan PPAN dengan skema berikut: (a) Dipimpin langsung oleh

Presiden dengan Ketua Pelaksana Harian adalah Kepala BPN RI; (b) di

tingkat Provinsi dipimpin oleh Gubernur dengan Ketua Pelaksanatingkat Provinsi dipimpin oleh Gubernur dengan Ketua Pelaksana

Harian Kakanwil BPN RI; dan (c) di tingkat Kabupaten dipimpin oleh

Bupati dengan Ketua Pelaksana Harian Kepala Kantor Pertanahan BPN

RI. Di tingkat lebih bawah (kecamatan dan desa) bisa dibentuk panitia

pelaksana khusus untuk keperluan pelaksanaan program ini.

– Pembentukan kelembagaan kepanitiaan PPAN di daerah dilakukan di

tempat di mana obyek dan subyek PPAN berada (tidak dibentuk secara

nasional)nasional)

– Pengawasan pelaksanaan PPAN dilakukan oleh sebuah oversight

committe (Komite Pengawasan) yang dibentuk Kepala BPN RI sebagai

Ketua Pelaksana Harian PPAN.

– Sengketa mengenai subjek akan diselesaikan di tingkat kepanitiaan

PPAN. Untuk sengketa mengenai administrasi dan mekanisme

pembagian objek juga akan diselesaikan di tingkat kepanitiaan PPAN.

– Sengketa mengenai alas hak dan status objek akan diselesaikan di

lembaga mediasi penyelesaian sengketa di dalam kepanitiaan PPAN.

Apabila proses mediasi sengketa tidak bisa diselesaikan dalam periode

tertentu di lembaga mediasi, maka akan diselesaikan melalui lembaga

peradilan umum.

685

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

D. Dilema yang Dihadapi

• Desain kelembagaan seperti di atas akan menghadapi dilema

dalam prinsip dan sistem ketatanegaraan. Dilema itu antara

lain masih adanya persepsi bahwa pelaksanaan PPAN hanya

menjadi urusan dan tanggung jawab sektoral—yakni BPN saja.

Sehingga hal ini bisa menghambat koordinasi untuk

pengembangan access reform yang akhirnya menimbulkan

persepsi bahwa PPAN adalah sekedar membagi bagikan

tanah;

• Intinya, desain kelembagaan berdasar Perpres hanyaIntinya, desain kelembagaan berdasar Perpres hanya

sementara. Apabila kondisi politik memungkinkan, maka

harus diupayakan agar kelembagaannya dilaksanakan di

bawah kementerian agraria sehingga fungsi koordinasi lintas

departemen dapat dilakukan.

C. Out Put yang Diharapkan

Bagi Petani

• Petani tidak bertanah menjadi memiliki tanah;

• Petani bertanah sempit menjadi memiliki tanah yang lebih• Petani bertanah sempit menjadi memiliki tanah yang lebihmemadai untuk dikelola sehingga bisa meningkatkan tarafkehidupan sosial ekonominya;

• Petani yang memiliki tanah memadai namun tidak bisamengakses lembaga lembaga pendanaan menjadi bisa memilikiakses yang mudah kepada lembaga pendanaan tersebut;

• Dapat terlibat dalam sistem produksi yang lebih menguntungkanmelalui model model kemitraan

686

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Bagi Pengusaha

• Mendapatkan kepastian hukum akan diperolehnya hak untukpengelolaan tanah dengan jangka waktu yang feasible secaraekonomi;

• Mendapatkan jaminan keamanan untuk usahanya, baik darisisi ketersediaan tanah, maupun keamanan sosial dari warga;

• Mendapatkan gambaran kepastian akan ketersediaan bahanbaku pemasok industri yang dikelolanya sehingga bisabaku pemasok industri yang dikelolanya—sehingga bisadihitung berbagai economic costnya.

Bagi Pemerintah Lokal

• Mendapatkan kepastian hukum atas alokasi tanah danpemanfaataannya

• Mendapatkan insentif dari terkelolanya sumberdaya agrariayang terlantar;

• Mendapatkan potensi ekonomi untuk meningkatkan• Mendapatkan potensi ekonomi untuk meningkatkankesejahteraan masyarakatnya;

• Mendapatkan jaminan masuknya investasi ke daerahnyasehingga bisa meningkatkan aktivitas aktivitas ekonomi didaerahnya.

D. Road Map

• Tahapan pelaksanaan PPAN ini mengikuti road map sebagai

berikut.berikut.

Klik tabel

687

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Tahapan Program/Action Periode Sasaran

Persiapan Identifikasi subjek 2006-2010 Subjek:� 2007-2008: 0,63 juta

RT per tahun� 2009-2010: 1,1 juta RT

per tahun� 2011-2012: 1,52 juta

RT per tahun

Identifikasi objek 2006-2010 Objek:� 2007-2008: 750 ribu ha

per tahun� 2009-2010: 1,3-1,5 juta

ha per tahun� 2011-2012: 1,8-2 juta

ha per tahun

Inventarisasi tanah-tanah sengketa(tugas reguler Deputi BidangPengkajian dan Penanganan Sengketadan Konflik Pertanahan)

2007 dst.

Penyusunan dokumen akademik dandokumen legal

2006-Januari2007

Keluar produk hukum mengenaiPPAN dan kelembagaanpelaksanaannya

Februari-Maret 2007

Koordinasi antar sektor dan levelpemerintahan

Februari2007-2012

Penyiapan tenaga pelaksana 2007-2012

Implementasi Sosialisasi 2006-2007

Pengembangan model pelaksanaanprogram pembaruan agraria nasional

2007

Pelepasan objek PPAN (dari kawasanhutan menjadi tanah negara untukimplementasi PPAN)

Mulai April2007-2010

Pengkajian dan penanganan tanah-tanah sengketa (tugas reguler DeputiBidang Pengkajian dan PenangananSengketa dan Konflik Pertanahan)

2007 dst.

Redistribusi tanah Mulai Mei2007-2012

Penerapan program-programpendukung (access reform)� Pelatihan dan pendampingan� Akses modal� Saprotan� Teknologi

Mulai April2007

Pengendaliandan Evaluasi

Monitoring dan pengendalian 2007-2012

Penyelesaian sengketa dan konflik 2007-2012

Evaluasi 2007-2012

Terminasi Penutupan PPAN 2012

Road MapPelaksanaan Program Pembaruan Agraria

Nasional

688

Rumusan Final Usulan Kerangka KebijakanProgram Pembaruan Agraria Nasional

Rumusan Hasil-hasil RangkaianKegiatan Simposium Agraria Nasional

“Pembaruan Agraria untuk Keadilan Sosial,Kemakmuran Bangsa dan KeberlanjutanNegara Kesatuan Republik Indonesia”

Panitia Bulan Bhakti Agraria BPN RI

Didukung Oleh:Brighten Institute

Sekolah Tinggi Pertanahan NasionalKonsorsium Pembaruan Agraria

Lembaga Pengkajian Pertanahan Indonesia

689

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

DAFTAR ISI

I. Pendahuluan

A. PengantarB. Komitmen Pemerintah untuk Menjalankan

Pembaruan AgrariaC. Pengertian Program Pembaruan Agraria Nasional

(PPAN)II. Landasan dan Prinsip-prinsip Dasar PPAN

A. PancasilaB. UUD 1945C. Tap MPR No. IX/2001D. UUPA No. 5 Tahun 1960E. Perpres 10 Tahun 2006

III. Tujuan dan Arah PPAN

IV. Dasar Hukum Operasional PPAN

A. Yang mendukungB. Yang harus disempurnakanC. Yang perlu dicabut

V. Bentuk dan Sasaran Program

A. Objek dan SubjekB. Program Dukungan

VI. Pelaksanaan Program

A. Kelembagaan Pelaksanaan PPANB. Tahapan Pelaksanaan

VII. Penutup

690

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

I. Pendahuluan

A. Pengantar

Kenyataan bahwa Indonesia merupakan negara yangsusunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya,bercorak agraris melahirkan konsekuensi bahwa kebijakandalam pengelolaan sumber-sumber agraria (bumi, air danruang angkasa) harus dipastikan bisa berkontribusi nyatadalam proses mewujudkan “keadilan sosial bagi selu-ruh rakyat Indonesia” (amanat sila kelima Pancasila)atau “mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat”(amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Keberlanjutansistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan In-donesia, oleh karenanya, sangat ditentukan oleh sejauhmanaamanat cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan keadilansosial dan kemakmuran bangsa ini juga dapat diwujudkansecara nyata di bidang agraria.

UUPA No. 5 Tahun 1960 telah menempatkan sendi-sendi kesatuan nasional dan keberlanjutan bangsa ini padapondasi agraria, dengan menekankan kesatuan hubunganantara bangsa Indonesia dengan tanah-air tumpahdarahnya. Dalam Pasal 1 ayat 1 UUPA disebutkan: “Selu-ruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruhrakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.”Selanjutnya Pasal 1 ayat 3 menyebutkan: “Hubungan antarabangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa ... adalahhubungan yang bersifat abadi.” Dengan demikian, hu-bungan manusia/masyarakat Indonesia dengan tanahbersifat abadi dan keterkaitan keduanya itulah yang

691

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

menentukan keindonesiaan kita. Ini berarti bahwa selamabangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruangangkasa Indonesia itu masih ada pula, maka dalam keadaanyang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akandapat memutuskan atau meniadakan hubungan itu. Dengankata lain, hubungan keduanya bersifat asasi atau mendasardan fundamental.

Hubungan yang tertata baik dalam kerangka keindo-nesiaan di antara keduanya inilah yang menentukan kese-jahteraan, kemakmuran, keadilan sosial, dan keberlanjutansistem kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan In-donesia. Dan sesuai garis UUPA, hubungan tersebuthanya bisa dijamin oleh pelaksanaan pembaruan agra-ria. Melalui pembaruan agraria ini, UUPA menempatkanupaya transformasi struktural atas hubungan keagrariaanini sebagai faktor penentu dalam perjuangan nasionaluntuk pembentukan karakter bangsa (nation building),pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada kekuatannasional, maupun penyusunan perundangan dankelembagaan agraria di masa depan. Ini berarti, pemba-ruan agraria adalah salah satu elemen kunci dalam pem-bentukan imaji keindonesiaan yang dicita-citakan dalamsejarah perjuangan kemerdekaan nasional.

B. Komitmen Pemerintah untuk Menjalankan

Pembaruan Agraria

Saat ini, setelah 60 tahun lebih merdeka, Indonesiaternyata masih terus berjuang untuk memastikan bahwapengelolaan sumber-sumber agraria (bumi, air dan ruangangkasa) benar-benar berkontribusi nyata dalam proses

692

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran bangsa ini.Tingginya angka kemiskinan dan pengangguran (terutamadi pedesaan dan pertanian), belum adilnya tatanan kehi-dupan bersama, maraknya sengketa dan konflik pertanahan,serta degradasi lingkungan besar-besaran di seantero tanahair merupakan indikasi bahwa cita-cita kemerdekaan untukmewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran bangsa dibidang agraria belum sepenuhnya dapat diwujudkan secaranyata.

Kesemuanya ini tidak lain adalah akibat dari tidak dija-lankannya pembaruan agraria sesuai dengan mandat kon-stitusi. Oleh karena itu pelaksanaan pembaruan agrariamenjadi suatu keharusan yang tidak bisa dielakkandemi menjamin kesatuan hubungan antara rakyat dantanah yang harmonis, berkeadilan dan membawa padakemakmuran bersama. Tanpa jaminan hubungan semacamitu, maka persoalan keagrariaan akan menjadi sumber disin-tegrasi dan perpecahan yang pada gilirannya akan mengan-cam eksistensi keindonesiaan kita.

Menyadari hal tersebut pemerintahan SBY telah menya-takan komitmennya untuk menjadikan agenda pembaruanagraria sebagai bagian dari visi, misi dan programpemerintahan. Pelaksanaan agenda ini diletakkan dalamdua kerangka program pembangunan nasional, yaitu sebagaibagian dari agenda “perbaikan dan penciptaan kesem-patan kerja” dan “revitalisasi pertanian dan aktivitaspedesaan”.

Sejalan dengan ini, Perpres No. 10 Tahun 2006 meru-pakan penguatan kelembagaan di dalam kerangkapelaksanaan agenda pembaruan agraria tersebut, di

693

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

mana Badan Pertanahan Nasional Republik Indone-sia memperoleh mandat sebagai pelaksananya. Agendaini, bersama dengan pengkajian dan penanganan konflikagraria, merupakan bagian dari 21 fungsi BPN RI dalammenjalankan tugas pemerintahan di bidang pertanahansecara nasional, regional dan sektoral.

Pada tataran kebijakan, titik tolak bagi pelaksanaanagenda ini juga telah ditunjukkan oleh komitmenpemerintah yang dinyatakan Presiden SBY beberapawaktu lalu untuk mengalokasikan 8,15 juta lahansebagai obyek pelaksanaan pembaruan agraria. Hal iniakan dilaksanakan dalam sebuah kerangka terpadu Pro-gram Pembaruan Agraria Nasional (disingkat PPAN).

Dengan digulirkannya kebijakan semacam ini, makatantangannya kemudian adalah bagaimana merumuskankerangka kebijakan operasional PPAN ini sehingga nantinyabisa dilaksanakan secara terpadu dan sistematis serta dapatdiorientasikan pada penataan ulang struktur penguasaanagraria dan penyediaan pro-gram-program pendukungnyayang lebih luas (baca: reformasi aset dan akses). Apabilahal ini dapat dijamin, maka PPAN ini akan merupakan sebu-ah paket reforma agraria yang menyeluruh dalam arti sebe-narnya.

C. Pengertian Program Pembaruan Agraria Nasional

Pembaruan agraria mencakup suatu proses yangberkesinambungan berkenaan dengan penataan kembalipenguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan ta-nah, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian danperlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi

694

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

seluruh rakyat indonesia (Pasal 2 TAP MPR-RI No IX Tahun2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sum-berdaya Alam).

Pada intinya, pengertian pembaruan agraria adalah suatuupaya penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, pengu-asaan, penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber agra-ria, terutama tanah, untuk kepentingan petani, buruh tani,dan rakyat kecil pada umumnya yang sekaligus menjadi lan-dasan menuju upaya industrialisasi nasional. Jadi inti pem-baruan agraria adalah landreform atau redistribusi pemilikandan penguasaan tanah. Program redistribusi ini harusdidukung dengan program lainnya dalam rangka mengem-bangkan produksi dan keberlanjutan pengusahaan tanah-tanah yang telah diredistribusikan tersebut melalui du-kungan modal, input pertanian, sistem pemasaran, penyu-luhan dan lain-lain. Di samping itu, yang dimaksudkanpembaruan agraria juga mencakup sumberdaya alam lainseperti kehutanan, perkebunan, pertambangan, perairan,wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan kelautan.

PPAN adalah program yang dicanangkan pemerintahdalam rangka melaksanakan agenda pembaruan agraria ini.Sesuai dengan makna pembaruan agraria di atas, PPANbukanlah sekedar proyek bagi-bagi tanah, melainkan suatuprogram terpadu yang diorientasikan pada upaya perwu-judan keadilan sosial dan peningkatan kesejahteraan rakyatmelalui revitalisasi pertanian dan aktivitas ekonomi pede-saan secara menyeluruh. Hal ini mencakup dua komponen.Pertama adalah redistribusi tanah untuk menjamin hakrakyat atas sumber-sumber agraria. Kedua adalah upayapembangunan lebih luas yang melibatkan multipihak untuk

695

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

menjamin agar aset tanah yang telah diberikan dapat ber-kembang secara produktif dan berkelanjutan. Hal inimencakup pemenuhan hak-hak dasar dalam arti luas(pendidikan, kesehatan, dll), juga penyediaan dukunganmodal, teknologi, manajemen, infrastruktur, pasar, dll. Kom-ponen yang pertama disebut sebagai asset reform, sedang-kan yang kedua disebut access reform. Gabungan antara keduajenis reform inilah yang dimaksud dengan “Landreform Plus”.

Dengan kandungan semacam ini maka PPAN meru-pakan pekerjaan besar yang tidak bisa ditangani oleh satupihak saja. PPAN adalah kepentingan kolektif bangsa yangmenuntut konsensus, keterlibatan dan perjuangan aktif darisemua komponen bangsa. Dengan kata lain, PPAN meru-pakan agenda kolektif bangsa ini secara keseluruhan. Danmengingat kompleksitas dan keterkaitan begitu banyakpihak dalam pelaksanaan PPAN ini, maka program ini harusdijalankan sebagai suatu gerakan yang bersifat nasional.Oleh karena itu, program ini harus dipimpin langsung olehPresiden RI, dan dijalankan oleh semua unsur pemerintahyang terkait dari pusat sampai daerah, dengan keterlibatanaktif dari seluruh rakyat Indonesia.

II. LANDASAN DAN Prinsip-PRINSIP Dasar PPAN

A. Pancasila

Secara keseluruhan, Pancasila menjadi landasan idiildan prinsipil yang utama dari konsep dan pelaksanaanPPAN. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,sebagai sila kelima Pancasila, merupakan muara akhir yanghendak dituju dari pelaksanaan PPAN.

696

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

B. UUD 1945

PPAN juga mengacu pada Pasal 33 UUD 1945, khu-susnya Ayat 3 yang berbunyi: “Bumi, air, ruang angkasa dankekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai olehNegara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemak-muran rakyat”.

C. UUPA No. 5/1960

UUPA No. 5/1960 merupakan landasan pokok danpegangan operasional dalam perumusan konsep danpelaksanaan PPAN. Ada 10 (sepuluh) prinsip dasar yangdapat diserap dari substansi UUPA, yaitu: (1) Nasionalisme,(2) Hak menguasai dari negara, (3) Tanah untuk penggarap,(4) Landreform, (4) Fungsi sosial, (6) Pengakuan hak adat,(7) Kesetaraan gender, (8) Kelestarian lingkungan, (9)Usaha bersama rakyat, dan (10) Lintas sektor.

D. Tap MPR No. IX/2001

Pinsip-prinsip pelaksanaan PPAN juga merujuk kepada12 (dua belas) prinsip dasar pembaruan agraria sebagaimanatertuang dalam Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pem-baruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Keduabelas prinsip tersebut meliputi:(1) Memelihara dan mempertahankan NKRI,(2) Menghormati dan menjunjung tinggi HAM,(3) Menghormati supremasi hukum dengan mengako-

modasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum,(4) Mensejahterakan rakyat, terutama melalui pening-

katan SDM,

697

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

(5) Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum,transparansi, dan partisipasi rakyat,

(6) Mewujudkan keadilan agraria,(7) Memelihara keberlanjutan sumber-sumber agraria,(8) Melaksanakan fungsi sosial dan fungsi ekologis sesuai

kondisi sosial budaya setempat,(9) Meningkatkan koordinasi antar sektor pembangunan

dan antar daerah,(10) Mengakui, menghormati dan melindungi hak masya-

rakat hukum adat,(11) Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban

Negara, pemerintah pusat, daerah, masyarakat danindividu, dan

(12) Melaksanakan desentralisasi berupa pembagiankewenangan di tingkat nasional dan daerah.

E. Perpres 10 Tahun 2006

Perpres 10 Tahun 2006 menjadi landasan kelembagaanuntuk pelaksanaan PPAN. Perpres ini memberikan mandatkepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesiauntuk menjalankan reformasi agraria sebagai bagian daripelaksanaan tugas pemerintahan di bidang pertanahansecara nasional, regional dan sektoral.

III. Tujuan dan Arah PPAN

Ada 5 (lima) tujuan utama dalam pelaksanaan PPANini, yakni:(1) Menata kembali struktur pemanfaatan, penggunaan,

penguasaan dan pemilikan tanah dan kekayaan alamlainnya sehingga menjadi lebih berkeadilan sosial,

698

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

(2) Meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat,khususnya kaum tani dan rakyat miskin di pedesaan,

(3) Mengatasi pengangguran dengan membuka kesem-patan kerja baru di bidang pertanian dan pengem-bangan ekonomi pedesaan,

(4) Membuka akses bagi rakyat terhadap sumber-sumberekonomi dan politik,

(5) Mewujudkan mekanisme sistematis dan efektif untukmengatasi sengketa dan konflik agraria,

(6) Kesemua hal di atas dilaksanakan dengan cara-carayang menjamin keberlanjutan daya dukung lingkungan.

Mengacu kepada tujuan di atas, maka pelaksanaanPPAN ini diharapkan dapat secara simultan mengurangikemiskinan dan pengangguran, meningkatkan produktivitaspertanian, mewujudkan ketahanan pangan dan energi, mem-perkuat ekonomi desa dan pembangunan pedesaan, sekali-gus menyelesaikan sengketa dan konflik agraria yang mengu-tamakan hak-hak korban.

Secara khusus, PPAN diarahkan untuk dapat mendo-rong peningkatan usaha tani yang produktif sehingga dapatmeningkatkan pendapatan keluarga-keluarga petani dipedesaan. Peningkatan pendapatan petani ini pada akhirnyaakan mengangkat kualitas martabat kemanusiaan dari kaumtani dan sekaligus menjadi landasan sistem ekonomi na-sional. Operasional PPAN harus dihindarkan dari suatukompetisi individual di kalangan rakyat. Sebaliknya, yangmesti didorong adalah upaya-upaya pengembangan usahabersama petani secara berkelompok melalui pembentukanunit-unit usaha tani dalam koperasi-koperasi petani danlembaga sejenisnya yang bersemangatkan gotong royong.

699

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

IV. DASAR hukum operasional

Untuk pelaksanaan PPAN diperlukan suatu regulasikhusus yang memungkinkan PPAN dapat berjalan danmencapai maksud dan tujuannya. Diusulkan diterbitkanPerpres tentang PPAN yang dalam konsiderannya mele-takkan produk regulasi yang ada dan mendukung PPANsebagai landasan hukum dan pedoman operasional.

Dalam Perpres tersebut juga akan ditetapkan peru-bahan-perubahan terhadap produk regulasi yang tidak me-mungkinkan berjalannya PPAN secara efektif dan tepatsasaran.

Terkait dengan objek dan subjek, Perpres akan menga-tur penambahan objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal1 PP 224/1961, dan subjek sebagaimana dimaksud dalamPasal 8 (1) PP 224/1961.

Usulan lebih rinci mengenai hal ini akan disampaikankemudian.

V. Bentuk dan sasaran Program

A. Objek

Objek utama dari pelaksanaan PPAN ini adalah alokasitanah seluas 8,15 juta hektar dari pelepasan kawasan hutanproduksi konversi yang akan ditetapkan melalui Kepresmengenai PPAN.

Simultan dengan ini, penguatan fungsi dan pengem-bangan struktur kelembagaan BPN RI melalui Perpres 10Tahun 2006 juga memungkinkan BPN RI untuk langsungmemulai upaya pelaksanaan pembaruan agraria sesuaidengan kewenangan yang dimilikinya. Dalam rangka ini,

700

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dengan memanfaatkan momentum pelaksanaan PPAN,maka secara simultan dan bertahap dapat diupayakan untukmelaksanakan pembaruan agraria pada obyek-obyek tanahsengketa/konflik, HGU yang sudah berakhir atau ditelan-tarkan, dan tanah-tanah obyek landreform lainnya.

Beberapa kategori berikut juga dapat diupayakan untukmenjadi obyek pelaksanaan pembaruan agraria:(1) Tanah timbul;(2) Tanah bekas bengkok desa yang telah menjadi kelu-

rahan;(3) Tanah cadangan di sekitar HGU; dan(4) Tanah yang pernah ditetapkan sebagai obyek landre-

form, tetapi saat ini dikuasai oleh Perhutani atau pihak lain;

B. Subjek

Kriteria subjek yang akan menerima manfaat dari PPANadalah:(1) Korban sengketa agraria pada periode sebelumnya,

dengan kriteria yang ketat, akurat dan dapat dipertang-gungjawabkan;

(2) Petani gurem;(3) Petani tidak bertanah;(4) Rakyat miskin yang tidak memiliki pekerjaan dan sangat

membutuhkan lahan produksi pertanian;Pemberian hak tanah atas subjek-subjek inidividual

dilakukan dalam unit rumah tangga.Semua kriteria subjek ini tidak bersifat diskriminatif baik

berdasarkan gender, suku, agama, asal-usul, dll. Prioritas subjekPPAN adalah penduduk miskin di pedesaan, dimulai daripenduduk yang lokasinya terdekat; dan dibuka kemungkinan

701

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

untuk melibatkan kaum miskin dari daerah lain dan diperkotaan sebagai penerima manfaat. Diperlukan mekanismekhusus untuk mengidentifikasi dan menentukan subjek secarateliti, partisipatif dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam penentuan subjek di lapangan, selain melaluimekanisme pendataan oleh instansi pemerintah, juga harusmelibatkan kelompok-kelompok tani lokal, serikat-serikattani di tingkat wilayah dan nasional yang selama ini bekerja,perguruan tinggi atau lembaga independen yang ditunjuk.Harus dipastikan agar pelaksanaan PPAN ini bersih daripenumpang-penumpang gelap, yang justru bertentangandengan semangat pembaruan agraria.

Dalam pertimbangan sangat khusus, dimungkinkanmelalui skema tertentu subyek hak diberikan kepada: (1)kelompok tani dan (2) komunitas adat yang benar-benar“eksis”, untuk menghindari terjadinya ketegangan antar ke-lompok dan komunitas, yang selama ini telah “ada”. Halini untuk menjaga agar pelaksanaan PPAN ini tidak justrumerusak ikatan-ikatan sosial yang ada dan pada gilirannyaakan menghancurkan modal sosial.

C. Program Dukungan (Access Reform)

PPAN harus dijalankan secara komprehensif dan tidakbersifat parsial. Pelaksanaan PPAN mesti mengintegrasi ber-bagai kekuatan dan sumberdaya yang ada baik di peme-rintahan, masyarakat, maupun sektor usaha. Oleh sebabitu, PPAN diletakkan sebagai dasar dari revitalisasi pertaniandan pembangunan pedesaan, serta agenda pengentasankemiskinan dan pengurangan angka pengangguran.

Secara operasional, PPAN mengandung tiga program utama:

702

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

(1) Suatu upaya untuk meningkatkan kualitas hiduppenerima tanah-tanah redistribusi, dalam bentuk akseskesehatan, pendidikan, subsidi perumahan, dan hak-hak dasar lainnya,

(2) Suatu upaya untuk meningkatkan kemampuan pene-rima tanah redistribusi untuk mengelola lahan dan ber-produksi secara optimal, dalam bentuk akses modal,teknologi, infrastruktur (irigasi, jalan, jembatan, listrik),subsidi sarana produksi (benih, pupuk, teknologi, dll),pendampingan, akses pasar; dan

(3) Suatu kebijakan insentif dan disintensif (subsidi, pajak,proteksi, dll) untuk memberi perlindungan terhadapkomoditas yang dihasilkan oleh usaha tani penerimatanah-tanah redistribusi.Instansi-instansi yang terkait, dan harus menjadi bagian

integral dari pelaksanaan program dukungan pasca redis-tribusi tanah (asset reform) adalah: Pertanian; Pedesaan(dalam negeri dan pemda); Keuangan; Koperasi dan UsahaKecil dan Menengah; Pekerjaan Umum (infrastruktur); Per-tambangan dan Energi; Kehutanan; Kelautan dan Perikanan;Tenaga Kerja; Perdagangan dan Industri; Lingkungan hidup;Pendidikan; Kesehatan; Perumahan; PemberdayaanPerempuan; Sosial; dan juga badan usaha (milik swastamaupun pemerintah).

Secara prinsip, pembiayaan PPAN tidak boleh berasaldari dana hutang melainkan harus disediakan melalui APBNdan APBD. Implementasi pembiayaan PPAN akan dikeloladi pusat dan daerah. Diupayakan juga penggalian sumberpendanaan dari badan-badan usaha di lapangan agraria,seperti dari pendapatan pertambangan, kelautan dan peri-

703

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

kanan, kehutanan dan perkebunan.PPAN dilakukan dengan pendekatan “community em-

powerment” di mana subjek PPAN ditempatkan sebagai pihakyang diberdayakan sehingga pada akhirnya mampu menca-pai kemandirian.

VI. Pelaksanaan Program

A. Kelembagaan Pelaksanaan PPAN

PPAN harus dilaksanakan dengan tepat, khususnyapada aspek sasaran dan mekanismenya. Tepat sasaranberarti PPAN harus benar-benar sampai kepada merekayang berhak. Sedangkan tepat pada tataran mekanismeberarti PPAN harus bisa menjadi program yang bisa me-nanggulangi masalah pengangguran dan pengentasankemiskinan.

Agar mekanisme delivery yang dimaksud itu bisa berjalandengan aman, lancar, dan tepat sasaran, maka ada beberapahal yang harus dipenuhi. Pertama, kelembagaan untukpelaksanaan PPAN ini harus didefinisikan secara jelas.Kedua, PPAN menjadi agenda politik nasional yangmenuntut koordinasi dengan semua sektor yang terkaitlangsung maupun tidak langsung, koordinasi antar levelpemerintahan, maupun antara pemerintah dan masyarakat.Atas dasar pertimbangan tersebut, dan dengan memper-hatikan peluang dan kemungkinan politik yang ada, makaharus ada produk hukum sekurangnya Peraturan Presiden(Perpres) mengenai PPAN dan kelembagaan pelak-sananya. Dalam Perpres ini diatur ketentuan sebagai berikut.• PPAN akan mendasarkan diri pada posisi dan fungsi

704

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

BPN RI yang sekarang.• Untuk keperluan pelaksanaan PPAN akan dibentuk

kelembagaan kepanitiaan PPAN dengan skema berikut:(a) Dipimpin langsung oleh Presiden dengan KetuaPelaksana Harian adalah Kepala BPN RI; (b) di tingkatProvinsi dipimpin oleh Gubernur dengan KetuaPelaksana Harian Kakanwil BPN RI; dan (c) di tingkatKabupaten dipimpin oleh Bupati dengan KetuaPelaksana Harian Kepala Kantor Pertanahan BPN RI.Di tingkat lebih bawah (kecamatan dan desa) bisadibentuk panitia pelaksana khusus untuk keperluanpelaksanaan program ini.

• Pengawasan pelaksanaan PPAN dilakukan oleh sebuahoversight committe (Komite Pengawasan) yang diben-tuk Kepala BPN RI sebagai Ketua Pelaksana HarianPPAN.

• Sengketa mengenai subjek akan diselesaikan di tingkatkepanitiaan PPAN. Untuk sengketa mengenai admi-nistrasi dan mekanisme pembagian objek juga akandiselesaikan di tingkat kepanitiaan PPAN. Sedangkansengketa mengenai alas hak dan status objek akandiselesaikan di lembaga mediasi penyelesaian sengketadi dalam kepanitiaan PPAN. Apabila proses mediasisengketa tidak bisa diselesaikan dalam periode tertentudi lembaga mediasi, maka akan diselesaikan melaluilembaga peradilan umum.

B. Tahapan Pelaksanaan

Tahapan pelaksanaan kegiatan ini mengikuti road mapberikut.

705

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007R

OA

D M

AP

PELA

KSA

NA

AN

PR

OG

RA

M P

EM

BA

RU

AN

AG

RA

RIA

NA

SIO

NA

L

Tah

apan

Pro

gra

m/A

ctio

nP

erio

de

Sas

aran

Pem

bia

yaa

n

Fu

ng

sio

nal

Lo

kas

i

Per

siap

an

Iden

tifi

kas

i su

bje

k20

06-2

012

Sub

jek

:�

2007

-200

8: 0

,63

juta

RT

per

2ta

hu

n�

2009

-201

0: 1

,1 ju

ta R

Tp

er2

tah

un

�20

11-2

012:

1,5

2 ju

ta R

Tp

er2

tah

un

Jaw

a:�

4,29

juta

RT

Lu

ar J

awa:

�2,

21 ju

ta R

T

Iden

tifi

kas

i ob

jek

2006

-201

2O

bje

k:

�20

07-2

008:

0,6

juta

ha

per

tah

un

�20

09-2

010:

1,1

juta

ha

per

tah

un

�20

11-2

012:

1,5

juta

ha

per

tah

un

Jaw

a:�

2007

-200

8: 0

,175

5 jt

ha/

2 th

n�

2009

-201

0: 0

,304

2 jt

ha/

2 th

n�

2010

-201

2: 0

,420

3 jt

ha/

2 th

nL

uar

Jaw

a:�

2007

-200

8: 0

,994

5 jt

ha/

2 th

n�

2009

-201

0: 1

,723

8 jt

ha/

2 th

n�

2011

-201

2: 2

,381

7 jt

ha/

2 th

n

Inv

enta

risa

si t

anah

-tan

ah s

eng

ket

a(t

ug

asre

gu

ler

Dep

uti

Bid

ang

Pen

gk

ajia

n d

anP

enan

gan

an S

eng

ket

a d

an K

on

flik

Per

tan

ahan

)

2007

dst

.

Pen

yu

sun

an d

ok

um

en a

kad

emik

dan

do

ku

men

leg

al20

06-J

anu

ari

2007

706

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)g

Kel

uar

pro

du

k h

uk

um

men

gen

ai P

PA

Nd

an k

elem

bag

aan

pel

aksa

naa

nn

ya

Feb

ruar

i-M

aret

200

7

Ko

ord

inas

i an

tar

sek

tor

dan

lev

elp

emer

inta

han

Feb

ruar

i 200

7-20

12

Pen

yia

pan

ten

aga

pel

aksa

na

2007

-201

2

Imp

lem

enta

si

So

sial

isas

i20

06-2

007

Pen

gem

ban

gan

mo

del

pel

aksa

naa

np

rog

ram

pem

bar

uan

ag

rari

a n

asio

nal

2007

Pel

epas

an o

bje

k P

PA

N (

dar

i k

awas

anh

uta

n m

enja

di

tan

ah n

egar

a u

ntu

kim

ple

men

tasi

PP

AN

)

Mu

lai

Ap

ril

2007

-201

0

Pen

gk

ajia

n d

an p

enan

gan

an t

anah

-tan

ahse

ng

ket

a(t

ug

as r

egu

ler

Dep

uti

Bid

ang

Pen

gk

ajia

n d

an P

enan

gan

an S

eng

ket

a d

anK

on

flik

Per

tan

ahan

)

2007

dst

.

Red

istr

ibu

si t

anah

Mu

lai

Mei

2007

-201

2

Pen

erap

an p

rog

ram

-pro

gra

m p

end

uk

un

g(a

cces

s re

form

)�

Pel

atih

an d

an p

end

amp

ing

an�

Ak

ses

mo

dal

�S

apro

tan

�T

ekn

olo

gi

Mu

lai

Ap

ril

2007

Pen

gen

dal

ian

dan

Ev

alu

asi

Mo

nit

ori

ng

dan

pen

gen

dal

ian

2007

-201

2

Pen

yel

esai

an s

eng

ket

a d

an k

on

flik

2007

-201

2

Ev

alu

asi

2007

-201

2

Pen

gak

hir

an

Pen

utu

pan

PP

AN

2012

707

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

VII. Penutup

PPAN bukan merupakan agenda politik jangka pendek,meskipun pembaruan agraria adalah program yang dike-rangkai oleh periode waktu tertentu. PPAN harus dapatdipastikan diterima oleh kekuatan-kekuatan politik yangada di masyarakat, sebagai agenda nasional yang dijalankannegara. Untuk itu, pelaksanaan PPAN harus memper-hitungkan momentum politik yang ada dan tingkat resistensidari berbagai pihak.

BaBaBaBaBagiagiagiagiagian V:n V:n V:n V:n V:

RRRRRUUUUUMMMMMUSUSUSUSUSAN PRAN PRAN PRAN PRAN PROGRAMOGRAMOGRAMOGRAMOGRAM

PEMBPEMBPEMBPEMBPEMBARARARARARUUUUUAN AAN AAN AAN AAN AGRARIA NGRARIA NGRARIA NGRARIA NGRARIA NASIASIASIASIASIOOOOONNNNNAL (PPAL (PPAL (PPAL (PPAL (PPAN)AN)AN)AN)AN)

710

PAPARANPAPARANKEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

RREPUBLIK INDONESIAEPUBLIK INDONESIA

RAPAT TERBATASDALAM RANGKA PELAKSANAAN

REFORMA AGRARIAREFORMA AGRARIA

KANTOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Hari/Tanggal : Selasa/22 Mei 2007Jam : 10.00 WIB - Selesai

REFORMA AGRARIAREFORMA AGRARIA

BADAN PERTANAHAN NASIONALBADAN PERTANAHAN NASIONAL

REPUBLIK INDONESIAREPUBLIK INDONESIA

BADAN PERTANAHAN NASIONALBADAN PERTANAHAN NASIONAL

REPUBLIK INDONESIAREPUBLIK INDONESIA

“Program Pembaruan Agraria Nasional

711

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

A. 4 PRINSIP KEBIJAKAN DAN PENGELOLAAN PERTANAHAN

Pertanahan Harus Berkontribusi Secara Nyata:y

• Untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

• Untuk menata kehidupan bersama yang lebih

berkeadilan;

• Untuk mewujudkan keberlanjutan sistem

kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia

• Untuk menciptakan kehidupan sosial yang harmonis

(terselesaikannya sengketa dan konflik pertanahan).

1. Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan

Pertanahan Nasional RI

2 M i k tk p l d p l k p d ft r

B. 11 AGENDA BPN RI

2. Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran

tanah, serta sertipikasi tanah secara menyeluruh di

seluruh Indonesia

3. Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah

4. Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah

korban bencana alam dan daerah-daerah konflik di

seluruh tanah air

5. Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah,

sengketa dan konflik pertanahan secara sistematis

712

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

B. 11 AGENDA BPN RI (lanjutan)

6. Membangun Sistem Informasi Manajemen

Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan sistem

pengamanan dokumen pertanahan di seluruh

Indonesia

7. Menangani masalah KKN serta meningkatkan

partisipasi dan pemberdayaan masyarakat

8. Membangun basis data penguasaan dan pemilikan

tanah skala besar

9. Melaksanakan secara konsisten semua peraturan p

perundang-undangan pertanahan yang telah

ditetapkan

10. Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional RI

11. Mengembangkan dan memperbaharui politik, hukum

dan kebijakan pertanahan (Reforma Agraria).

PIDATO POLITIK PRESIDEN RI

(31 JANUARI 2007)

“Program Reforma Agraria … secara bertahap … akanProgram e o a g a a … secara bertahap … akan

dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu

dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat

termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain

yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan

bagi kepentingan rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai

prinsip Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan

Rakyat … [yang] saya anggap mutlak untuk dilakukan.”

713

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

TANAH UNTUK KEADILAN DAN TANAH UNTUK KEADILAN DAN

KESEJAHTERAAN RAKYATKESEJAHTERAAN RAKYAT

REFORMA AGRARIA

(UUPA, Keputusan MPR No. 5 MPR/2003)

=

PEMBARUAN AGRARIA

(Tap IX/MPR/2001, Keputusan MPR No.5 MPR/2003)

I. TAP MPR No. IX/MPR/2001.

C.C. DEFINISIDEFINISI

Pembaruan Agraria : merupakan suatu proses yang

berkesinambungan berkenaan dengan penataan

kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah, dilaksanakan dalam rangka

t i k ti d li d h k ttercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta

keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat

Indonesia

714

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

II. Penjelasan UUPA Pasal 10 Ayat 1 dan 2.Reforma Agraria: Dalam pasal 10 ayat 1 dan 2

dirumuskan suatu azaz yang pada dewasa ini sedang menjadi

d r d ri p d p rub h n p rub h n d l truktur

DEFINISI (lanjutan)DEFINISI (lanjutan)

dasar dari pada perubahan-perubahan dalam struktur

pertanahan hampir di seluruh dunia, yaitu negara-negara yang

telah/sedang menyelenggarakan apa yang disebut “land

reform” atau “agrarian reform” yaitu “tanah ……harus

dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya

sendiri.”

Akhirnya ketentuan itu perlu dibarengi pula dengan......... Akhirnya ketentuan itu perlu dibarengi pula dengan

pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya dengan

syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan

terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan

penguasaan tanahnya kepada orang lain.

DEFINISI (lanjutan)

III. Definisi Operasional

Reforma Agraria :

a. Penataan ulang sistim politik dan hukum

pertanahan berdasarkan prinsip pasal – pasal

UUD 45 dan UUPA;

b. Proses penyelenggaraan land reform (LR) dan

access reform (AR) secara bersama;

RA = LR + AR

715

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

b1. LR adalah proses redistribusi tanah untuk menata

Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan

T h b d k litik d h k t h

DEFINISI (lanjutan)

Tanah berdasarkan politik dan hukum pertanahan.

b.2. AR adalah suatu proses penyediaan akses bagi

masyarakat (Subyek Reforma Agraria) terhadap segala

hal yang memungkinkan mereka untuk

mengembangkan tanahnya sebagai sumber kehidupan

(partisipasi ekonomi-politik, modal, pasar, teknologi,

pendampingan, peningkatan kapasitas dan

kemampuan).

I. Istilah dan pelaksanaan Reforma Agraria jarang menjadi

perdebatan.

II P d b t t j di d ti k t d l d l f

D.D. MODELMODEL REFORMA AGRARIA

II. Perdebatan terjadi pada tingkat model-model reforma

yang dijalankan

III. Berdasarkan pengalaman negara-negara lain yang

menjalankan, Reforma Agraria dapat dikatagorikan

dalam 4 Model :

1. Radical Agrarian Reform

2. Land Right Restitution

3. Land Colonization

4. Market Based Agrarian Reform

716

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

I. Upaya bersama untuk mewujudkan keadilan sosial;

E.E. REFORMAREFORMA AGRARIA MERUPAKANAGRARIA MERUPAKAN::

. Upaya bersama untu mewujud an eadilan sosial;

II. Mandat politik, konstitusi dan hukum;

III. Keharusan sejarah;

IV. Bagian mendasar Triple Track Strategy.

Masalah-masalah Struktural yang kita hadapi :

1. Adanya konsentrasi aset di sekelompok masyarakat

I. UPAYA BERSAMA UNTUK MEWUJUDKAN

KEADILAN SOSIAL

2. Kemiskinan

3. Pengangguran

4. Sengketa dan konflik pertanahan yang sistemik

5. Ketahanan pangan dan ketahanan energi rumah tangga

6. Kualitas lingkungan hidup6. Kualitas lingkungan hidup

7. Akses terhadap hak-hak dasar masyarakat

Reforma Agraria dilakukan untuk langsung menyentuh akar

permasalahan-permasalahan struktural tersebut di atas

717

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

II. REFORMA AGRARIA SEBAGAI MANDAT POLITIK, KONSTITUSI DAN HUKUM

RA merupakan keharusan untuk dilaksanakan atas dasar:

A.1. Tap MPR No. IX/MPR/2001

A.2. Keputusan MPR-RI No. 5/MPR/2003

A.3. Pidato politik Presiden RI awal tahun tanggal 31

Januari 2007

B1. Pembukaan UUD’45

B2. Pasal 33 ayat 3, Pasal 27 ayat 2, dan pasal 28 UUD’45

C1. Semua peraturan perundang-undangan yang terkait

1. Pengalaman negara-negara yang menjalankan Reforma

III. REFORMA AGRARIA SEBAGAI

KEHARUSAN SEJARAH

. Pengalaman negara negara yang menjalankan Reforma

Agraria

2. Reforma Agraria di penghujung abad 20 dan di abad 21

3. Pengalaman Reforma Agraria di Indonesia

718

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

IV. REFORMA AGRARIA SEBAGAI

TRIPLE TRACK STRATEGY

1. Sejalan dengan strategi pembangunan ekonomi

Pemerintah (Triple Track Strategy):

Meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui

investasi dan ekspor

Menggerakkan sektor riil agar semakin tumbuh dan

berkembang

Revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan

2. Reforma Agraria berdampak langsung untuk

masyarakat pedesaan dan perkotaan baik pertanian

maupun jasa, perdagangan, industri dan lainnya

F. TUJUAN REFORMA AGRARIA

1. Menata ulang ketimpangan struktur penguasaan dan

penggunaan tanah ke arah yang lebih adil,

2. Mengurangi kemiskinan,

3. Menciptakan lapangan kerja,

4. Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber

ekonomi, terutama tanah,

5. Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan5. Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan,

6. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup,

7. Meningkatkan ketahanan pangan dan energi rumah

tangga.

719

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

1 Melakukan penataan atas konsentrasi aset dan atas

G. STRATEGI DASAR REFORMA AGRARIA

YANG AKAN DILAKSANAKAN

1. Melakukan penataan atas konsentrasi aset dan atas

tanah-tanah terlantar melalui penataan politik dan

hukum pertanahan berdasarkan Pancasila,

UUD’45 dan UUPA

2 Mengalokasikan tanah yang langsung dikuasai oleh2. Mengalokasikan tanah yang langsung dikuasai oleh

negara (Obyek Reforma Agraria) untuk rakyat

(Subyek Reforma Agraria)

H. OBYEK REFORMA AGRARIA

I. Tanah-tanah yang berasal dari:

1. tanah bekas HGU, HGB atau HP;, ;

2. tanah yang terkena ketentuan konversi;

3. tanah yang diserahkan secara sukarela oleh

pemiliknya;

4. tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan

peraturan perundang -undangan;

5. tanah obyek landreform;

720

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

6. tanah bekas obyek landreform;

7 h i b l

OBYEK REFORMA AGRARIA (lanjutan)

7. tanah timbul;

8. tanah bekas kawasan pertambangan;

9. tanah yang dihibahkan oleh pemerintah;

10. tanah tukar menukar dari dan oleh pemerintah;

11 tanah yang dibeli oleh pemerintah;11. tanah yang dibeli oleh pemerintah;

Berdasarkan penelitian BPN tanah dalam kelompok ini

diperkirakan seluas 1,1 juta hektar yang tersebar di seluruh

provinsi di Indonesia

OBYEK REFORMA AGRARIA (lanjutan)

II. Tanah yang dialokasi oleh Bapak Presiden RI yang

berasal dari hutan produksi konversi, tersebar di 17

provinsi (Rapat Terbatas Presiden RI, Menteri

Kehutanan, Menteri Pertanian, dan Kepala BPN-RI

l 28 S b 2006 l 8 15 j h k )tanggal 28 September 2006 seluas 8,15 juta hektar)

721

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

PETA OBYEK REFORMA AGRARIA((Tanah Negara berasal dari hutan produksi Tanah Negara berasal dari hutan produksi konversikonversi))

III. Tanah-tanah hasil koordinasi antara Departemen

OBYEK REFORMA AGRARIA (lanjutan)

Kehutanan, Departemen Pertanian dan BPN-RI

tanggal 27 Maret 2007 atas tanah-tanah yang sudah

dilepaskan dari Kawasan Kehutanan menjadi tanah

negara yang pemanfaatan tanahnya tidak sesuai dengan

peruntukannya. Luas sedang dalam proses indentifikasi

Departemen Kehutanan dan BPN-RI

722

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

I. HUBUNGAN ANTARA OBYEK DAN TUJUAN PPAN

TUJUANOBYEK

1 2 3 4 5 6 7

1. Tanah bekas HGU, HGB atau HP

2. Tanah yang terkena ketentuan konversi - -

3. Tanah yang diserahkan oleh pemiliknya - - -y g p y

4. Tanah hak yang pemegangnya melanggar -

5. Tanah obyek landreform -

6. Tanah bekas obyek landreform -

7. Tanah timbul - - -

8. Tanah bekas kawasan pertambangan

9. Tanah yang dihibahkan oleh pemerintah

10. Tanah tukar menukar dari dan oleh pemerintah - -

11 T h dib li l h i h11. Tanah yang dibeli oleh pemerintah - -

12. Tanah dari hutan produksi konversi

13. Tanah hutan produksi konversi yang dilepaskan

1. Menata ulang ketimpangan struktur penguasaan

dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil,

2. Mengurangi kemiskinan,

3. Menciptakan lapangan kerja,

4. Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber

ekonomi, terutama tanah,

5. Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan,

6. Memperbaiki dan menjaga kualitas

lingkungan hidup,

7. Meningkatkan ketahanan pangan dan energi

rumah tangga.

I. Secara umum :

Masyarakat miskin sebagaimana yang telah

J. SUBYEK REFORMA AGRARIA

Masyarakat miskin sebagaimana yang telah

diindentifikasi oleh Badan Pusat Statistik (BPS)

II. Secara Khusus :

Penduduk miskin di perdesaan, baik petani, nelayan

maupun profesi lain, dimulai dari yang di dalam lokasi

ataupun yang terdekat dengan lokasi, dan dibuka

kemungkinan untuk melibatkan kaum miskin dari

daerah lain (sebagaimana skema berikut).

723

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

SUBYEK REFORMA AGRARIA

BERDASARKAN PRIORITAS

K. MEKANISME & DELIVERY SYSTEM

724

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

L. TAHAPAN PELAKSANAAN REFORMA

AGRARIA

Luas (Ha)

2.000.000 Wilayah Padat Penduduk

600.000

800.000

1.000.000

1.200.000

1.400.000

1.600.000

1.800.000 Wilayah Jarang PendudukTotal

0

200.000

400.000

1 2 3 4 5 6 7 82007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Tahun

Organisasi DRA:

1. Dewan Reforma Agraria (DRA)

M. KELEMBAGAAN PELAKSANA

REFORMA AGRARIA

Merumuskan dan menetapkan kebijakan Reforma Agraria

Organisasi DRA:

1. Tingkat Pusat DRAN

2. Tingkat Provinsi DRAP

3. Tingkat Kabupaten/Kota DRAK

2. Badan Pengelolaan Dan Pembiayaan Reforma Agraria (BPP-RA)Merupakan unit kerja BPN-RI, mengelola dan memberikanp j , gakses pembiayaan operasional Reforma Agraria

Organisasi BPP-RA:1. BPP-RA Nasional2. BPP-RA Regional (1 atau > 1 provinsi)3. BPP-RA Cabang (1 atau > 1 kabupaten/kota)4. BPP-RA Ranting I1 atau > 1 kecamatan)

725

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

I. PEMATANGAN GAGASAN SECARA

INTERNAL DI BPN-RI:

N. LANGKAH PERSIAPAN YANG

TELAH DILAKUKAN

1. Arahan dan konsultasi secara terus menerus

dengan Bapak Presiden RI

2. Penataan substansi pertanahan (Tap MPR No.

IX/MPR/2001 dan Perpres No. 10/2006)

3 P k l b h (T MPR3. Penataan kelembagaan pertanahan (Tap MPR

No. IX/MPR/2001 dan Perpres No. 10/2006)

4. Pembentukan dan penyusunan program

Reforma Agraria

5. Pembentukan kelompok kerja Reforma Agraria

PEMATANGAN GAGASAN SECARA INTERNAL DI

BPN-RI (lanjutan):

6. Pemantapan gagasan dan proses Reforma Agraria : rapat

kerja, kunjungan kerja/seminar/simposium, dll.

7. Penyusunan dan pengembangan Model-model

Reforma Agraria di 3 provinsi dan diikuti oleh

provinsi lainnyaprovinsi lainnya.

8. Studi banding ke Venezuela, Thailand

dan Taiwan.

726

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

1. Komisi II DPR RI secara rutin melalui rapat-rapat

k j d kh R f A i did k

II. KONSULTASI BPN RI DENGAN LEMBAGA-

LEMBAGA NEGARA :

kerja dan khusus tentang Reforma Agraria: didukung

secara resmi pada tanggal 29 Januari 2007

2. Ketua Mahkamah Agung dengan seluruh jajaran

III. KONSULTASI DAN KOORDINASI DENGAN

LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAH

1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian beserta

jajaranj j

2. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Masyarakat

beserta jajaran

3. Menteri Keuangan beserta jajaran

4. Menteri Perencanaan Pembangunan / Kepala Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional beserta jajaranPerencanaan Pembangunan Nasional beserta jajaran

5. Menteri Kehutanan beserta jajaran

6. Menteri Pertanian beserta jajaran

7. Menteri Pertahanan beserta jajaran

727

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

8. Panglima TNI beserta jajaran

9. Kepala Kepolisian Republik Indonesia beserta jajaran

KONSULTASI DAN KOORDINASI DENGAN

LEMBAGA-LEMBAGA PEMERINTAH (lanjutan)

j j

10. Jaksa Agung Republik Indonesia beserta jajaran

11. Kepala Badan Intelejen Negara beserta jajaran

12. Kepala Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS-TNI)

beserta jajaran

13. Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional RI

beserta jajaran

14. Dan lain-lain yang sedang menunggu

jadwal pertemuan

1. Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin)

IV. KOMUNIKASI/DISKUSI/MEMBANGUN

KESEPAHAMAN

1. Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin)

2. Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)

3. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

4. Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA)

5. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia

(YLBHI)

728

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

KOMUNIKASI/DISKUSI/MEMBANGUN

KESEPAHAMAN (lanjutan)

6. Serikat-Serikat Petani di hampir Seluruh Provinsi

7. Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)

8. Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia

(PPNSI)

9 Ob T i9. Obor Tani

10. KOPEBANG (Koalisi Penyelamat Bangsa)

11. Dan lain-lain yang sudah dan sedang diatur waktunya.

1. Institut Pertanian Bogor (IPB)

V. KOMUNIKASI DAN KERJASMA DENGAN

BERBAGAI PERGURUAN TINGGI

2. Universitas Gajah Mada (UGM)

3. Universitas Indonesia (UI)

4. Universitas Jember (UNEJ)

5. Universitas Brawijaya (UNIBRAW)

6. Universitas Bengkulu (UNIB)

7. Dan lain-lain yang sedang diatur waktunya

729

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

1. Pusat Kajian Agraria (PKA), IPB

2. Pusat Studi Pembaruan Agraria, UGM

VI. KOMUNIKASI DAN KERJASAMA DENGAN

LEMBAGA-LEMBAGA KAJIAN

g ,

3. Akatiga

4. Pusat Studi Agraria, UGM

5. Rural Development Institute, Washington

6. Land Policy Institute, Michigan State University

7 Brighten Institute (BI)7. Brighten Institute (BI)

8. Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)

9. Ong Hok Ham Institute

10. Dan lainnya yang sedang diatur waktunya.

1. Langsung dengan masyarakat di berbagai daerah

VII. SOSIALISASI SECARA BERTAHAP

2. Melalui media masa cetak, media elektronik,

3. Melalui wahana budaya, seni dan olah raga

4. Melalui buku, brosur, dan sebagainya.

730

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Telah dilakukan pembahasan interdep untuk menetapkan

VIII. FINALISASI PERATURAN PEMERINTAH

MENGENAI REFORMA AGRARIA

Telah dilakukan pembahasan interdep untuk menetapkan

mekanisme pelaksanaan Reforma Agraria dan telah

melakukan pembahasan interdep untuk keputusan

Presiden mengenai kelembagaan Pelaksanaan

Reforma AgrariaReforma Agraria

PENCANANGAN

PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA

UNTUK MEWUJUDKAN:

TANAH UNTUK KEADILAN DAN

KESEJAHTERAAN RAKYAT

731

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

LOKASI PELAKSANAAN

Lapangan Sepakbola Desa Gadungan

Kecamatan Gandusari

Kabupaten Blitar

Provinsi Jawa Timur

PETA KABUPATEN BLITARKec. Gandusari

Desa Gadungan

Kec. Doko

Desa Ngaringan

Desa Sumber Agung

Desa Kalimanis

Kec. Selorejo

Kec. Kesamben

Desa Sidomulyo

Desa Resapombo

Desa Sumberurip

Desa Bumirejo

Kec. Panggung Rejo

Desa Balerejo

732

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

ROUTE LOKASI TEMPAT ACARA

Lokasi Acara

FOTO LOKASI TEMPAT ACARA

Luas Lapangan ± 6.500 m2

Lapangan Sepakbola Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari

Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur

733

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

FOTO – FOTO SEKELILING

LOKASI TEMPAT ACARA

FOTO – FOTO SEKELILING

LOKASI TEMPAT ACARA

734

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

FOTO – FOTO SEKELILING

LOKASI TEMPAT ACARA

FOTO – FOTO SEKELILING

LOKASI TEMPAT ACARA

735

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

FOTO – FOTO SEKELILING

LOKASI TEMPAT ACARA

SALAH SATU TANAH OBYEK REFORMA

AGRARIA YANG DIDISTRIBUSIKAN

736

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Pencanangan Pelaksanaan Reforma Agraria

Ditandai Dengan Redistribusi Tanah Bersertipikatg p

Kepada 12.001 Keluarga Petani

yang tersebar di 27 Dusun, 9 Desa, 5 Kecamatan

di Kabupaten Blitar,

Provinsi Jawa Timur

PENYERAHAN TANAH REDISTRIBUSI

BERSERTIPIKAT• 30 tanah redistribusi bersertifikat diserahkan secara simbolis oleh

Presiden Republik Indonesiap

• 900 tanah redistribusi bersertifikat diserahkan di tempat acara

oleh Panitia, setelah acara dengan Presiden RI selesai

(masing-masing desa 100 sertifikat)

• Sisa tanah redistribusi bersertifikat akan diserahkanb b

di masing-masing desa mulai dari H +1 sampai selesai

737

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

PENYERAHAN TANAH REDISTRIBUSI

BERSERTIPIKAT

• Seleksi dan penyiapan petani penerima tanah redistribusi

bersertifikat dilaksanakan oleh Panitia BPN Kab. Blitar dan

Panitia Pemkab. Blitar

• Jumlah dan seleksi petani untuk temu wicara dengan Presiden RI

akan difasilitasi oleh Panitia Kantor Pertanahan Kab. Blitar dan

Panitia Pemkab. Blitar

NO KECAMATAN DESA JUMLAHBIDANG TANAH

1 GANDUSARI NGARINGAN 601

DAFTAR KECAMATAN, DESA DAN JUMLAH BIDANG TANAH

REDISTRIBUSI BERSERTIPIKAT

KABUPATEN BLITAR TAHUN 2007

1 GANDUSARI NGARINGAN 601SUMBER AGUNG 720GADUNGAN 1.201

2 SELOREJO SIDOMULYO 960

3 DOKO RESAPOMBO 2.652KALIMANIS 738SUMBER URIP 1.955SU U 955

4 PANGGUNG REJO BALEREJO 485

5 KESAMBEN BUMIREJO 2.689JUMLAH TOTAL 12.001

Luas Total Tanah Redistribusi Bersertipikat : 2.151, 0817 Ha

738

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

PROFIL PENERIMA TANAH REDISTRIBUSI

BERSERTIFIKAT

Berdasarkan Jenis Kelamin

41.0%

Berdasarkan Jenis Kelamin

59.0%

LAKI-LAKI PEREMPUAN

PROFIL PENERIMA TANAH REDISTRIBUSI

BERSERTIFIKAT (lanjutan)

Berdasarkan UsiaBerdasarkan Usia12.0%

38.0%

50.0%

Kurang Dari 30 Tahun 30-50 Tahun Lebih Dari 50 Tahun

739

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

PROFIL PENERIMA TANAH REDISTRIBUSI

BERSERTIFIKAT (lanjutan)

Berdasarkan Mata PencaharianBerdasarkan Mata Pencaharian

6.8% 2.1%

2.1%

0.7%

88.3%Petani

Buruh Tani

Buruh Harian, Tukang, Sopir, PRT

Pedagang, Wiraswasta

Lain-lain

PROFIL PENERIMA TANAH REDISTRIBUSI

BERSERTIFIKAT (lanjutan)

Berdasarkan Luas TanahBerdasarkan Luas Tanah

18.1%

25 0%

15.6%2.9%

25.0%

38.4%

Kurang dari 500 m2 501-1.000 m2 1.001-2.500 m2

2.501-5.000 m2 Lebih dari 5.000 m2

740

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

PROFIL PENERIMA TANAH REDISTRIBUSI

BERSERTIFIKAT (lanjutan)

Berdasarkan Penggunaan TanahBerdasarkan Penggunaan Tanah

18.6%

0 0%

14.3%

6.0%4.6%

6.4%

50.1%

0.0%

Sawah Tegalan

Kolam Kebun campuran

Tegalan dan Rumah Kebun Campuran dan Rumah

Perumahan

No Acara Jam Keterangan

1 Presiden Tiba di Bandara ABD Saleh Malang

2 Presiden Menuju Blitar

JADWAL ACARA

a. Kedatangan dan Keberangkatan Presiden RI

2 Presiden Menuju Blitar

3 Presiden Tiba di Hellipad Batalion 511 Blitar

4 Presiden menuju Ke Pendopo

5 Presiden tiba di Pendopo Kab. Blitar

6 Presiden menuju ke tempat acara

7 Presiden di tempat acara

8 Penyelenggaraan Acara

9 Presiden meninggalkan tempat acara menuju9 Presiden meninggalkan tempat acara menuju Pendopo Blitar

10 Tiba di Pendopo: Istirahat/melihat pameran (bila ada)/makan siang

11 Meninggalkan Pendopo, ke Hellipad batalion 511 Blitar dan menuju Bandara ABD Saleh Malang

741

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

No Acara Waktu Keterangan

1 Pembukaan

2 Tarian selamat datang

3 Sambutan oleh Gubernur Provinsi Jawa Timur

b. Jadwal Acara Pelaksanaan Reforma Agraria

4 Laporan Kepala Badan Pertanahan Nasionaltentang Pembaruan Agraria Nasional

5 Penyerahan Tanah Redistribusi Bersertipikat secara simbolis oleh Presiden RI dalam rangka pelaksanaan Reforma Agraria

30 petani mewakili 9 desa

6 Amanat Presiden RI dilanjutkan dengan penandatangan prasasti Program Reforma Agraria

7 Temu wicara

8 Doa

9 Presiden meninggalkan tempat acara menuju Pendopo BlitarPendopo Blitar

10 Penyerahan Tanah Redistribusi Bersertipikatsecara langsung

900 sertifikat.

Penyerahan Sertifikat sisanya dilaksanakan oleh Petugas BPN

di desa masing-masing

KEPANITIAAN

Diselenggarakan oleh Panitia Gabungan, yang terdiri dari :

Panitia Nasional (BPN-RI)

Panitia Provinsi (Kanwil BPN dan Pemerintah

Provinsi Jawa Timur)

Panitia Kabupaten (Kantor Pertanahan Kabupaten

dan Pemerintah Kabupaten Blitar)

742

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

UNDANGAN

Undangan disiapkan oleh BPN-RI dengan menampilkan

tiga logo (BPN-RI, Pemda Provinsi Jawa Timur dan

- Jumlah Undangan : 440 orang

- Seluruh Petani /masyarakat penerima tanah redistribusi

bersertifikat (12.001 keluarga) + diluar masyarakat

Pemda Kabupaten Blitar)

penerima tanah redistribusi bersertipikat

Undangan untuk Petani dikelola oleh Pemkab. Blitar

melalui 9 kepala desa, masing-masing desa 260 petani.

DAFTAR UNDANGAN

1. Presiden RI

2. Wakil Presiden RI

3. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu3. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu

4. Duta Besar/Korps Diplomatik Negara Sahabat

5. Lembaga Tinggi Negara/DPR/DPD

6. Ketua Komisi Negara

7. Lembaga Pemerintah Non Departemen

8. Ketua Fraksi DPR RI

9 K t U P t i9. Ketua Umum Partai

10. Gubernur Seluruh Indonesia

11. Ketua DPRD Provinsi Seluruh Indonesia

12. Rektor Universitas Se-Jawa

743

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

13. BUMN

14. Eselon I Departemen/LPND Terkait

15. TNI/Polri

DAFTAR UNDANGAN (lanjutan)

16. Eselon I BPN RI

17. Staf Khusus BPN RI

18. Eselon II BPN RI

19. Kepala Kantor Wilayah BPN Seluruh Indonesia

20. Bupati dan Walikota Seluruh Jawa Timur

21 Pemda Provinsi Jawa Timur21. Pemda Provinsi Jawa Timur

22. Ketua DPRD Kab/Kota Seluruh Jawa Timur

23. Kepala Kantor Pertanahan Kab/Kota Seluruh

Jawa Timur

24. Asosiasi Profesi/LSM

KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

Mengharap dengan hormat kehadiran Bapak/Ibu/Saudara pada acara

Pelaksanaan REFORMA AGRARIA (Program Pembaruan Agraria Nasional) Tahun 2007

ditandai dengan redistribusi tanah bersertipikat kepada 12.001 keluarga petani di Kabupaten Blitar

Oleh

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Hari , tanggal 2007, pukul WIB Bertempat di Lapangan Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari,

Kabupaten Blitar Provinsi Jawa Timur

Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur

- Harap hadir 60 menit sebelum acara dimulai dan

membawa undangan - Harap jawaban telepon :

Biro TU Pimpinan dan Protokol BPN RI 021-7222420, 7228874,7394262

Pakaian : Pejabat Pemerintah : Batik lengan panjang TNI/POLRI : Yang berlaku pada hari itu

Undangan : Menyesuaikan

744

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

TULISAN PRASASTI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENCANANGAN PELAKSANAAN REFORMA AGRARIA

UNTUK MEWUJUDKAN “TANAH UNTUK KEADILAN DAN

KESEJAHTERAAN RAKYAT INDONESIA”

Blitar-Jawa Timur, 2007

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIAPRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DR.H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

MOHON ARAHAN

BAPAK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

1 A k P P l k R f1. Atas waktu Pencanangan Pelaksanaan Reforma

Agraria dan langkah yang dipandang kurang dalam

persiapan

2. Finalisasi RPP-RA dan Keppres yang akan

disampaikan ke Sekretaris Negara

745

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

TERIMA KASIH

LAMPIRAN

746

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Kemiskinan: sebagian besar di perdesaan (petani)

• Penduduk miskin: 39,05 juta jiwa (17,75%)

• Perkotaan: 13,36%; perdesaan: 21,90% (90%Perkotaan: 13,36%; perdesaan: 21,90% (90%

pekerja).

kembali ke kemiskinan

Pengangguran: erat kaitannya dengan kemiskinan

• Pengangguran terbuka: 11,1 juta (10,45%)

• Tersebar di perdesaan maupun perkotaanp p p

Ketimpangan Sosial: distribusi pendapatan belum

merata

• Angka kemiskinan: sektor pertanian 56,07%;sektor

i d i 6 77%industri 6,77%

• Penguasaan tanah sempit (petani gurem <0,5 ha:

56,5%)

kembali ke pengangguran

747

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

JUMLAH KASUS TAHUN 2006

1/3

SENGKETA : 1.423 kasus

KONFLIK : 322 kasus

PERKARA : 1.065 kasus

TOTAL KASUS : 2 810 kasusTOTAL KASUS : 2.810 kasus

70

80

90

100

DIAGRAM PROSENTASE KASUS BERDASARKAN TIPOLOGI2/3

0

10

20

30

40

50

60

A B C D E F G H

Keterangan:

A :Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

B :Sengketa Prosedur Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah

C :Sengketa batas/letak bidang tanah

D :Sengketa ganti rugi tanah ex partikelir

E :Sengketa tanah ulayat

F :Sengketa tanah obyek landreform

G :Sengketa pengadaan tanah

H :Sengketa pelaksanaan putusan pengadilan

748

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

DIAGRAM PROSENTASE SEBARAN PIHAK-PIHAK DALAMSENGKETA BERDASARKAN TIPOLOGI

Instansi Pemerintah -M k t

0.9 %

2 %

3/3

MasyarakatMasyarakat - Masyarakat

Orang - Perorang

Perorangan - Badan Hukum

Perorangan - InstansiPemerintahBadan Hukum - BadanHukum

36.85 %13.5 %

3.4 %

4.9 %12.1 % 8.2 %

HukumBadan Hukum - InstansiPemerintahBadan Hukum - Masyarakat

Instansi Pemerintah -Instansi Pemerintah/BUMN

18.1 %

kembali ke Sengketa dan konflik pertanahan yang sistemik

DASAR HUKUM PPAN (1)

a. Landasan Idiil: Pancasila

b. Landasan Konstitusional: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Perubahannya

c. Landasan Politis:

1/3

1. TAP MPR-RI Nomor IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam

2. Keputusan MPR-RI Nomor 5/MPR-RI/2003 tentang Penugasankepada Pimpinan MPR-RI untuk menyampaikan Saran atasPelaksanaan Putusan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK, MA padaSidang Tahunan MPR-RI Tahun 2003

3. Pidato Politik Presiden-RI awal tahun 2007 (31 Januari 2007)

d. Landasan Hukum:

1. UU No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir

2. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-undang Pokok Agraria/UUPA)

3. UU No. 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil

749

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

DASAR HUKUM PPAN (2)

d. Landasan Hukum:

4. UU No. 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak

5. UU No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

2/3

5. UU No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

6. UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah

7. UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang

8. UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan

9. UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian

10. UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

11 UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup11. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

12. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Perpu No. 1 Tahun 2004

13. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

14. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

15. UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

DASAR HUKUM PPAN (3)

d. Landasan Hukum (lanjutan):

16.PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian

17.PP No. 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan P i t h N 224 T h 1961

3/3

Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961

18.PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah

19.PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

20.PP No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

21.PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan

22.PP No. 35 Tahun 2002 tentang Dana Reboisasi

23.PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah

24.Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang Badan PertanahanNasional

Kembali ke semua peraturan perundang-undangan yang terkait

750

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

PENGALAMAN BERBAGAI NEGARA

• Banyak negara dengan ideologi kanan atau kiri melaksanakan

pembaruan agraria

1/2

• Ideologi kanan, seperti Jepang dan Taiwan, Korea Selatan, Filipina,

Brazil,

• Ideologi kiri, seperti Cina, Vietnam, Rusia

• Hasil yang beragam – ada yang berhasil, setengah berhasil dan

gagal.

• Beberapa negara melaksanakan land reform lebih dari satu kali• Beberapa negara melaksanakan land reform lebih dari satu kali

seperti: Rusia, Jepang dan Mexico, Venezuela.

MODEL LAND REFORM

• radical land reform, tanah milik tuan tanah yang luas diambil alih oleh

pemerintah, dan selanjutnya dibagikan kepada petani tidak bertanahan.

Contoh, land reform yang dilaksanakan di Cina dan Rusia,

• land restitution tanah tanah perkebunan luas yang berasal dari tanah tanah

2/2

• land restitution, tanah-tanah perkebunan luas yang berasal dari tanah-tanah

masyarakat diambil alih oleh pemerintah, kemudian tanah tersebut

dikembalikan kepada pemilik asal. Contoh, land reform yang dilaksanakan di

Afrika Selatan.

• land colonization, pembukaan dan pengembangan daerah-daerah baru,

kemudian penduduk dari daerah yang padat penduduknya dipindahkan ke

daerah baru tersebut dan dibagikan tanah dengan luasan tertentu Contoh;daerah baru tersebut, dan dibagikan tanah dengan luasan tertentu. Contoh;

cikal bakal transmigrasi yang dilaksanakan di Indonesia 1905.

• Market based land reform (market assisted land reform), land reform yang

dilaksanakan berdasarkan atau dengan bantuan mekanisme pasar. Contoh,

land reform yang dilaksanakan di Brazil.

Kembali ke pengalaman negara-negara yang menjalankan Reforma Agraria

751

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

PERIODE AWAL

• Penghapusan desa-desa perdikan (UU No. 13 Tahun 1946).

• Penghapusan tanah partikelir (UU No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan

1/5

Tanah Partikelir).

• Komitmen Pemimpin Bangsa:

Tanggal 17 Agustus 1959, dalam pidato kenegaraan, Presiden

Soekarno menyatakan bahwa land reform bila dilaksanakan secara

tepat akan menghasilkan distribusi pendapatan yang lebih merata

diantara penduduk dan menciptakan struktur sosial yang dapat

meningkatkan produksi pertanian nasional.

PERIODE PELETAKAN DASAR

• UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, untuk mencipatakan

pembagian hasil yang adil antara pemilik tanah dan penggarap

• UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

2/5

UU induk pembaruan agraria Indonesia, dan berakhirlah dualisme hukum

pertanahan di Indonesia.

• Pembaruan Agraria Indonesia dituangkan dalam program yang meliputi: (1)

pembaruan hukum agraria, (2) penghapusan hak-hak asing dan konsesi-

konsesi kolonial atas tanah, (3) mengakhiri penghisapan feodal secara

berangsur-angsur, (4) perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah

serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan

tanah, dan (5) perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu secara berencana sesuai

dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.

752

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

PERIODE PELAKSANAAN

• 1 Januari 1961, berlaku UU No. 56 PrpTahun 1960 tentang Penetapan Luas

Tanah Pertanian.

• Pada tanggal yang sama Presiden Soekarno memerintahkan dilaksanakannya

3/5

• Pada tanggal yang sama, Presiden Soekarno memerintahkan dilaksanakannya

landreform pada upacara Pengayunan Cangkul Pertama Pembangunan Nasional

Semesta Berencana.

• UU ini mengatur: (a) penetapan luas maksimum dan minimum penguasaan

dan pemilikan tanah pertanian, (b) larangan untuk melakukan perbuatan-

perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah menjadi bagian-

bagian yang kecil, dan (c) penebusan dan pengembalian tanah-tanah pertanian g y g , ( ) p p g p

yang digadaikan.

• Sebagai pelaksanaan UU ini diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun

1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian,

dan peraturan perundang-undangan lainnya.

PERGESERAN MAKNA

•• Landreform di Indonesia mengalami pasang surut seirama dengan Landreform di Indonesia mengalami pasang surut seirama dengan

perkembangan jaman. Landreform mencapai puncaknya antara tahun perkembangan jaman. Landreform mencapai puncaknya antara tahun

1962 1962 –– 19641964..

4/5

•• PPerubahan konstelasi politik Indonesia pasca 1965, menyebabkan erubahan konstelasi politik Indonesia pasca 1965, menyebabkan

pula pembaruan agraria surut. Namun bukan hilang, tetapi pula pembaruan agraria surut. Namun bukan hilang, tetapi

mengalami pergesaran. mengalami pergesaran.

•• TanahTanah--tanah yang akan diredistribusikan (dibagikan) kepada petani tanah yang akan diredistribusikan (dibagikan) kepada petani

penggarap, yang awalnya terutama berasal dari tanahpenggarap, yang awalnya terutama berasal dari tanah--tanah yang tanah yang

terkena ketentuan landreformterkena ketentuan landreform----tanah kelebihan dari batas maksimum tanah kelebihan dari batas maksimum

dan tanah absentee dan tanah absentee –– bergeser menjadi tanahbergeser menjadi tanah--tanah yang dikuasai tanah yang dikuasai

langsung oleh negara. langsung oleh negara.

•• Program landreform sendiri telah menyusut menjadi kegiatan Program landreform sendiri telah menyusut menjadi kegiatan

redistribusi tanah baik secara langsung kepada petani penggarap redistribusi tanah baik secara langsung kepada petani penggarap

maupun melalui program transmigrasi, Perkebunan Inti maupun melalui program transmigrasi, Perkebunan Inti

Rakyat/Nucleus Estate Small holders (PIR/NES), PIRRakyat/Nucleus Estate Small holders (PIR/NES), PIR--Trans, dsb. Trans, dsb.

753

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

KEBERHASILAN DAN HAMBATAN

• Secara fisik, sampai saat ini (1961 – 2005), telah dibagikan tanah

obyek landreform diseluruh Indonesia seluas lebih kurang

1.159.527,273 Ha kepada 1.510.762 KK dengan rata-rata luasan

0,77 Hektar.

5/5

0,77 Hektar.

• Ditinjau dari segi tujuan akhir landreform yaitu peningkatan taraf

hidup atau kesejahteraan petani penerima tanah (beneficiaries),

dapat dikatakan belum seperti yang diharapkan.

• Faktor penghambat:

– Rendahnya dukungan politik, stigma bahwa ideologi land

reform adalah kiri.

K k h k– Kurangnya penegakan hukum,

– Tidak tersedianya biaya, data dan informasi yang memadai,

– Peraturan perundang-undangan yang tidak secara jelas dan

tegas mengatur,

– Lemahnya lembaga pelaksana dan kualitas sumber daya

manusia.

Kembali ke pengalaman Reforma Agraria di Indonesia

754

REFORMA AGRARIADAN KEADILAN SOSIAL1

Joyo Winoto, Ph.D.Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

IndonesiaDosen Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB

Direktur Senior Brighten Institute

“Program Reforma Agraria Reforma Agraria Reforma Agraria Reforma Agraria Reforma Agraria … ... Inilah yang saya sebut sebagaiprinsip Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan RakyatTanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan RakyatTanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan RakyatTanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan RakyatTanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat

… [yang] saya anggap mutlakmutlakmutlakmutlakmutlak untuk dilakukan.”

(Presiden RI, 31 Januari 2007)

Bismillaahirrohmaanirrohiim,Assalamu’alaikum Warrohmatullahi WabarokatuhSelamat pagi, salam sejahtera bagi kita semuaYang saya hormati, Ketua dan Anggota MWA-IPBYang saya hormati, Rektor IPB dan Seluruh Jajaran Pim-

pinan IPBYang saya hormati, Ketua dan Anggota Senat Guru

Besar IPBYang saya hormati, Para Guru Besar, Dosen, Seluruh

755

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Unsur Civitas Academica, dan Hadirin sekalianAdalah suatu kehormatan bagi saya – baik sebagai priba-

di, sebagai dosen Departemen Ilmu Ekonomi IPB, sebagaiDirektur Senior Brighten Institute, maupun sebagai KepalaBPN–RI – bisa berdiri di mimbar yang terhormat ini. Dan,saya merasa lebih terhormat lagi karena IPB mengundangsaya untuk menyampaikan orasi ilmiah dengan topik yangsangat penting bagi negeri ini dan sangat menggugah pemi-kiran para akademisi, yaitu “Reforma Agraria dan KeadilanSosial”. Hal ini menunjukkan kejelian IPB dalam melihatrealita yang dihadapi rakyat, bangsa dan negeri ini serta da-lam mengambil fokus pemikiran untuk dikontribusikan.Reforma Agraria dan keadilan sosial adalah suatu hal yangmendasar bagi negeri ini, bagi masa depan negeri ini. Melaluigerak dan pemikiran bersama dalam menjalankan reformaagraria, IPB akan mampu mengukir kembali kontribusinyabagi negeri ini sebagaimana telah berhasil ditorehkan dalamsejarah sebelumnya melalui BIMAS.

Selanjutnya ijinkan saya, secara bertahap menyampai-kan pemikiran-pemikiran tentang Reforma Agraria dan Ke-adilan Sosial. Tetapi sebelum itu, ijinkan saya atas namakeluarga besar BPN–RI, atas nama keluarga besar BrightenInstitute, dan atas nama pribadi menyampaikan selamatmerayakan hari lahir IPB yang ke–44 semoga kontribusiIPB semakin dirasakan kebaikannya oleh rakyat, bangsadan negeri ini.

1. Keadilan Sosial sebagai Tujuan Mendasar

Ketika kita memerdekakan diri, tekad kita jelas. Kitabertekad untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

756

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertibandunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dankeadilan sosial”. Itu adalah tekad besar. Dan kalau kita re-nungkan lebih dalam, ujung dari perjalanan kehidupan kitasebagai bangsa dan negara Indonesia adalah mewujudkankeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Itulah amanat,itulah mandat, itulah cita-cita, itulah ujung perjalanan yangkita tuju.

Pertanyaannya kemudian: Sudah sampai di mana kitaberjalan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia ini? Sudahkah kita mengkaji dan mem-bangun strategi bersama untuk mewujudkan keadilan sosialbagi seluruh rakyat Indonesia tersebut? Mari kita lihat apayang sudah ada dan kita miliki saat ini.

Untuk bisa mewujudkan keadilan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia, kita harus terlebih dahulu memaknaikemerdekaan. Kemerdekaan sesungguhnya adalah prosespembebasan. Ketika kita canangkan kemerdekaan, ia baru-lah pembebasan dari penguasaan asing. Menurut BungKarno, kemerdekaan merupakan jembatan emas untukmenuju pembebasan-pembebasan lainnya. Yang kita perlu-kan lebih jauh dari itu, yaitu: sebagai bangsa merdeka kitaharus mampu membebaskan diri kita dari kebodohan dankemiskinan, dari kedunguan dan ketidakadilan, dari keter-gantungan, dari hegemoni pemikiran dan penguasaan, dariberbagai persoalan mendasar dan belenggu masa lalu. Proses-proses pembebasan ini adalah sekaligus proses rangsangan-rangsangan kreatif dan rangsangan-rangsangan inovatif daribangsa kita untuk mewujudkan keadilan sosial tersebut.

757

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

2. Kemiskinan, Pengangguran, dan Colonial Mode of

Development

Apakah proses-proses pembebasan sudah cukup jauhkita lalui? Apa persoalan-persoalan utama yang kita hadapi?Mari kita lihat terlebih dahulu persoalan kemiskinan. Datakemiskinan terakhir dari BPS menunjukkan bahwa jumlahorang miskin di Indonesia mencapai 37,17 juta jiwa atau16,58 persen dari total populasi Indonesia. Di kawasanperkotaan, percepatan kemiskinan tersebut adalah 13,36persen, sedangkan di kawasan perdesaan mencapai 21,90persen. Ini menunjukkan bahwa kemiskinan paling banyakdialami penduduk perdesaan yang pada umumnya adalahpetani. Dari total rakyat miskin di Indonesia, sekitar 66persen berada di pedesaan dan sekitar 56 persen menggan-tungkan hidupnya dari pertanian. Dari seluruh pendudukmiskin pedesaan ini ternyata sekitar 90 persen bekerja –bekerja keras tetapi tetap miskin. Hal ini terutama disebab-kan oleh lemahnya akses masyarakat terhadap sumber-sum-ber ekonomi dan sumber-sumber politik termasuk yangterutama adalah tanah. Dan, peluruhan kehidupan di pede-saan ternyata memiliki percepatan yang lebih tinggi daripadaperkotaan. Hal ini menandakan pentingnya kita menatakembali kehidupan di pedesaan, dalam konteks keadilanspasial.

Selanjutnya, UUD 1945 pasal 27 ayat 2 mengamanat-kan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh peker-jaan yang layak untuk kehidupannya. Berkenaan denganhal ini, bagaimana keadaan kita sekarang? Penganggurandi Indonesia relatif tinggi. Angka pengangguran terbuka

758

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

mencapai 11,10 juta jiwa (10,45 persen dari total angkatankerja), yang tersebar di perdesaan sejumlah 5,28 juta jiwa(8,44 persen dari jumlah angkatan kerja di perdesaan) dandi perkotaan 5,82 juta jiwa (13,32 persen dari jumlah ang-katan kerja di perkotaan). Sedangkan angka setengahpengangguran di Indonesia mencapai 29,92 juta jiwa (28,16persen); paling banyak terdapat di perdesaan yaitu 23,00juta jiwa (36,76 persen) dan di perkotaan 6,92 juta jiwa(15,83 persen). Lemahnya kesempatan di pedesaan mendo-rong angkatan kerja mengalir ke perkotaan yang ternyatajuga belum mampu menyerap angkatan kerja yang ada.

Kedua masalah tersebut di atas adalah cerminan daripersoalan-persoalan struktural yang kita hadapi. Mari kitalihat sekarang dengan perspektif yang lebih jauh. Bagaimanakemiskinan dan masalah ketenagakerjaan ini sepertinyademikian rumit untuk bisa kita pecahkan? Persoalan-per-soalan struktural ini lahir dari akumulasi persoalan sebelumkemerdekaan dan sejak kemerdekaan. Adalah wajar bilapersoalan keadilan sosial itu tidak terwujud pada saat In-donesia di bawah penjajahan. Tetapi ketika kita telah mer-deka, adalah wajar kemudian kita berharap bahwa keadilansosial di negeri merdeka ini membaik. Tetapi, data di atasmenunjukkan bahwa kita masih harus berjuang keras untukmewujudkannya. Perjuangan ini harus kita mulai terlebihdahulu secara konsepsional dengan melepaskan diri kita,nilai-nilai pemikiran, dan praksis – dari colonial mode of de-velopment, yaitu kerangka pemikiran pembangunan yangkolonialistik, eksploitatif, tidak membebaskan, myopic, danberperspektif jangka pendek. Dan setelah itu, kita juga harusmembebaskan diri kita dari perspektif penanganan masalah

759

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

berbasis simptomatik, kita harus akhiri end pipe policies ataukebijakan ujung pipa.

Dengan colonial mode of development, kita tidak akanmampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatIndonesia. Dengan end pipe policies kita tidak akan mampumengatasi persoalan struktural yang ada. Akibatnya, selainmasalah kemiskinan dan pengangguran yang demikianpersisten, kesenjangan sosial-ekonomi menjadi melebar. Iniadalah persoalan keadilan sosial. Distribusi pendapatanIndonesia belum tersebar secara merata. Indeks Ginimengalami peningkatan dari 0,308 (tahun 1999) menjadi0,329 (2002) dan menurut data terakhir dari BPS 0,363(2005). Indeks Gini tersebut dihitung dengan pendekatanpengeluaran; bila dihitung dengan pendekatan kepemilikanaset, tentu lebih besar. Dan hal ini menandakan adanyakesenjangan yang lebih lebar. Lebarnya kesenjanganpendapatan juga terjadi antara petani dan non-petani.Dengan tenaga kerja sebanyak 44 persen dari total tenagakerja, Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian—yang merupakan proksi dari pendapatan petani—hanya 13persen dari PDB total. Pada tahun yang sama (2006), sektorindustri dengan tenagakerja 12 persen dari total tenagakerjamemiliki PDB sejumlah 28 persen dari PDB total. Padasektor tersebut percepatan kemiskinan mencapai 56,07persen, jauh melebihi yang terjadi di sektor industri yakni6,77 persen. Banyaknya kemiskinan di sektor pertanianberkaitan dengan penguasaan tanah yang timpang. Dataterakhir menunjukkan bahwa petani gurem (penguasaantanah kurang dari 0,5 hektar) mencapai 56,5 persen daritotal jumlah petani.

760

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

3. Akhir dari End Pipe Policies:

Langkah ke Arah Kebijakan untuk Memecahkan

Persoalan Mendasar

Kalau kita mau mengatasi persoalan-persoalan struk-tural sebagaimana telah dijelaskan di atas, end pipe policies,yakni kebijakan yang terjebak hanya mengatasi symptom daripermasalahan namun gagal mengidentifikasikan danmemecahkan akar persoalan, tidak akan mampu mengatasipersoalan. Bahkan, akar masalah yang tidak terpecahkanakan melahirkan berbagai persoalan-persoalan baru ikutan-nya. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan-kebijakan yangmemang langsung mengatasi persoalan-persoalan strukturalini. Namun demikian, tetap harus diingat bahwa dalammengatasi persoalan struktural kita tetap harus taat asaspada konstitusi, harus taat asas kepada ideologi yang kitaanut.

Kita mengenal apa yang disebut sebagai structural ad-justment program (SAP).2 Telah lama dikampanyekan bahwaSAP merupakan pendekatan kebijakan yang dapat menye-lesaikan persoalan struktural di tanah air. Tetapi pertanya-annya kemudian adalah: apakah SAP itu taat asas dengankonstitusi dan taat asas dengan ideologi negara, Pancasila?Kalaupun SAP tidak bersifat generik dan cukup efektifmengatasi “persoalan mendasar” tetapi ahistoris dan tidaktaat asas pada ideologi dan konstitusi kita, apakah kebijakansemacam ini layak dijalankan? Tentu, kita harus kritisterhadap hal ini. Sebagai ilustrasi, untuk mengatasi “per-soalan mendasar” lambatnya pertumbuhan ekonomi, SAPcenderung akan berupaya memaksimalkan investasi,terutama investasi asing—baik dalam bentuk portfolio in-

761

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

vestment di pasar modal maupun dalam bentuk foreign directinvestment. Fokus ini umumnya tanpa memperhatikanbagaimana dampaknya terhadap kesenjangan dan rasakeadilan. Mungkin SAP menyebabkan pertumbuhan eko-nomi menjadi lebih tinggi; namun, melahirkan senjangnyadistribusi pendapatan serta melahirkan ketidakadilan barubagi rakyat. Dan, hal ini tentunya tidak sejalan denganmandat yang tertuang dalam Pembukaan Undang-undangDasar 1945.

Saya telah kemukakan bahwa kita tidak bisa lagimengatasi persoalan-persoalan struktural menggunakan co-lonial mode of development dan end pipe policies. Oleh karenaitu, yang kita butuhkan adalah kebijakan atau program yangdengannya akar persoalan utama harus diselesaikan; hulupersoalan diatasi, dan kerak-karat sepanjang pipa diber-sihkan. Hanya dengan empowering mode of development, sertakebijakan dan program pembangunan yang langsungmengatasi persoalan dasar, masalah-masalah struktural yangdihadapi negeri ini dapat diatasi.

Kita ambil sebagai contoh, kemiskinan. Kajian-kajiandi seluruh dunia, baik di negara-negara Asia, Afrika maupunAmerika Latin, mengkonfirmasi bahwa rakyat miskin ham-pir tidak pernah berbicara mengenai pendapatan. Penda-patan menjadi variabel yang irrelevant karena seberapa pun“besarnya” pendapatan yang diperoleh, tetap tidak mencu-kupi untuk bisa memberikan kehidupan yang layak. Rakyatmiskin itu, dengan apa pun bahasa dan ungkapan kata yangmereka gunakan, hampir selalu bicara mengenai aset apayang bisa dikelola dan bagaimana dia bisa menggarap asetitu untuk sandaran kehidupannya, untuk meningkatkan

762

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

kehidupan keluarganya. Rakyat miskin juga hampir selaluberbicara kesempatan atau akses apa yang mereka bisa da-patkan agar bisa meningkatkan derajad dan kualitas kehi-dupannya. Jadi ketika kita berbicara tentang kemiskinan,mau tidak mau kita harus berbicara mengenai aset dan aksesrakyat miskin pada sumber-sumber kehidupan – yaitu, sum-ber-sumber ekonomi dan sumber-sumber politik.

Berbicara mengenai aset dan akses bagi rakyat miskinberarti kita berbicara mengenai hak dasar. Secara akademik,hak dasar rakyat bisa dibagi dua. Pertama, yang disebut seba-gai given rights yaitu hak-hak yang bisa lahir dari keharusankonstitusi, Undang-undang, peraturan, norma, budaya, ataulainnya. Kedua, yang disebut exercised rights yaitu hak-hakyang perwujudannya harus diperjuangkan. Karena kitamenghadapi persoalan struktural, yang given rights itu punternyata masih harus diperjuangkan, apa lagi the exercisedrights. Karena itu, kita harus wujudkan langkah yang haruskita tempuh pertama adalah given rights melalui proses dankebijakan pembangunan yang tepat. Paralel dengan itu, ex-ercised rights dikembangkan sebagai bagian penting dari kom-ponen negara modern. Dalam pengertian ini, konsepsiAmartya Sen menemukan bentuknya, yaitu bahwa pem-bangunan sebagai proses pembebasan. Proses pembebasanini dilakukan dengan memberikan hak-hak rakyat melaluipengembangan akses rakyat – masyarakat – pada sumber-sumber ekonomi dan sumber-sumber politik.

Rakyat harus punya akses untuk membebaskan dirinyatentu melalui proses pembangunan – dari kebodohan, keter-tinggalan, ketertindasan, sempitnya ruang gerak kehidupan,ketergantungan, rasa takut. Dan, untuk ini rakyat harus

763

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

punya aset yang dapat dikelola dan punya akses untukmemberdayakan asetnya. Petani harus punya tanah danpunya akses pada modal, teknologi, pasar, manajemen danseterusnya. Petani harus punya alat-alat produksi, punyakapasitas dan kemampuan untuk menyuarakan kepen-tingannya. Punya akses untuk melahirkan inovasi-inovasisosial yang menjadi prasyarat lahirnya perubahan sosial dipedesaan. Dalam kerangka itulah, reforma agraria menjadibagian penting yang harus dijalankan. Reforma agraria meru-pakan strategi dasar negara-negara untuk membangunstruktur politik, ekonomi, dan sosial yang berkeadilan. Ba-gaimana kita, sebagai bangsa, memandang dan memaknaireforma agraria ini?

Indonesia mulai menjalankan land reform tahun 1961,bersamaan dengan Taiwan memulai program reforma agra-rianya. Taiwan berhasil dan terus melanjutkan strategi inidalam pembangunannya, namun Indonesia berhenti padapertengahan tahun enam puluhan. Dampaknya, empatdekade kemudian timbul persoalan ketidak-merataan distri-busi penggunaan tanah pertanian di Indonesia yang disertaidengan serangkaian masalah struktural3. Tanpa adanyareforma agraria, persoalan keadilan sosial tampaknya sulitsekali untuk diatasi dan masih menjadi bagian penting yangharus diperjuangkan dalam proses pembangunan kita. Syu-kurlah kesadaran baru atas pentingnya mewujudkan ke-adilan sosial melalui reforma agraria tumbuh dan ber-kembang kembali di masyarakat kita serta di berbagai negaralain.

Bagaimana reforma agraria bisa mengatasi masalah itu?Bagaimana perspektif reforma agraria di negara-negara yang

764

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

telah menjalankan, dan bagaimana kita akan menjalankan-nya? Negara-negara yang pada saat ini mempunyai struktursosial, ekonomi dan politik yang lebih baik, seperti Jepang,Taiwan, Cina serta beberapa negara lain adalah negara telahmengalami, menjalankan, atau sedang merevitalisasi pro-gram reforma agrarianya. Sebelum memaparkan jawabanterhadap pertanyaan tersebut, akan terlebih dahulu saya pa-parkan peran sentral tanah bagi kita dan bagaimana reformaagraria akan kita jalankan.

4. Tanah, Kebangsaan, dan Pembangunan

4.1. Tanah sebagai identitas kebangsaan dan

kenegaraan Indonesia (cross border identity)

Tanah air Indonesia–yang merupakan karunia TuhanYang Maha Esa–menyatukan seluruh rakyat Indonesiamenjadi bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, hubungandengan tanah air Indonesia bersifat abadi. Selama bangsaIndonesia ada, ada pula tanah air Indonesia. Tidak ada suatukekuasaan dan kekuatan – selain Tuhan Yang Maha Esa –yang dapat memutus hubungan antara bangsa Indonesiadengan tanah air Indonesia.

Tanah–yang merupakan kekayaan Nasional–dalamwilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diper-juangkan oleh seluruh bangsa Indonesia, merupakan hakdari bangsa Indonesia. Tanah–untuk menjamin keber-lanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara–tidaksemata menjadi hak pemiliknya saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah sematamenjadi hak rakyat dari daerah atau pulau yang bersang-

765

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

kutan saja, tapi merupakan hak seluruh rakyat Indonesia.Bagi rakyat Indonesia hubungan dengan tanah meru-

pakan hal yang sangat mendasar dan asasi. Hubungan inisangat menentukan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan,keberlanjutan dan harmoni bagi bangsa dan Negara Indo-nesia. Jika hubungan ini tidak tersusun dengan baik, akanlahir kemiskinan bagi sebagian terbesar rakyat Indonesia,ketidakadilan, peluruhan serta sengketa dan konflik yangberkepanjangan yang bisa bersifat struktural. Hubunganyang mendasar dan asasi tersebut dijamin dan dilindungikeberadaannya oleh Konstitusi4.

4.2. Tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat

Sejalan dengan UUD 1945 yang menunjukkan suatuperjalanan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia,sebagaimana yang tertuang dalam alinia ke-4 PembukaanUUD 1945, bahwa ujung dari cita-cita negara adalah mewu-judkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UUD194555

Pasal 33 ayat (3) memberikan dasar bagi lahirnya kewe-nangan negara yang disebut dengan hak menguasai negara6.Hak negara dimaksud berisi kewenangan: (a) mengatur danmenyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaandan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut,(b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hu-kum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,dan (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubunganhukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukumyang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Ketigakewenangan dimaksud, merupakan landasan untuk

766

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

mewujudkan cita-cita mencapai sebesar-besar kemakmuranrakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemer-dekaan dalam masyarakat dan Negara hukum RepublikIndonesia7.

Negara mempunyai kekuasaan atas seluruh bumi, airdan ruang angkasa. Negara dapat memberikan tanah yangbelum dipunyai sesuatu hak kepada seseorang atau badanhukum dengan sesuatu hak menurut peruntukannya. Atasdasar hak menguasai dari Negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah8.

4.3. Tanah untuk keadilan sosial

Negara menggariskan nilai-nilai dalam upaya menatastruktur keagrariaan nasional yang berkeadilan: (a) semuahak atas tanah mempunyai fungsi sosial, (b) penguasaandan pemilikan tanah yang melampaui batas tidak diper-kenankan, (c) tanah harus dikerjakan sendiri secara aktifoleh pemiliknya dan mencegah cara-cara pemerasan, (d)usaha dalam bidang agraria tidak boleh bersifat monopoli,(e) menjamin kepentingan golongan ekonomi lemah, dan(f) untuk kepentingan bersama 9.

Tidak dapat dibenarkan, bila pemegang hak atas tanahmempergunakan atau tidak mempergunakan tanahnya untukkepentingan pribadinya semata. Apalagi jika merugikankepentingan umum. Penggunaan dan pemanfaatan tanahharus sesuai dengan keadaan dan sifat haknya, sehinggamemberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pemeganghak, masyarakat dan Negara. Ini tidak berarti bahwa kepen-tingan perseorangan terabaikan oleh kepentingan umum.Kepentingan umum dan kepentingan perseorangan harus

767

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

seimbang, sehingga tercapai kemakmuran, keadilan dankebahagiaan seluruh rakyat.

Guna mencegah tertumpuknya penguasaan dan pemili-kan tanah di tangan segelintir orang, maka penguasaan danpemilikan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankankarena merugikan kepentingan umum. Untuk itu, ditetap-kan batas minimum dan maksimum luas tanah yang dapatdimiliki oleh seseorang sehingga dapat memperoleh peng-hasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dankeluarganya. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan daribatas maksimum akan diambil oleh Pemerintah denganganti kerugian dan selanjutnya tanah tersebut akan dibagi-kan kepada rakyat yang membutuhkannya.

Orang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hakatas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakanatau mengusahakan sendiri secara aktif, dengan mencegahcara-cara pemerasan. Lebih jauh, usaha dalam bidang agrariatidak boleh bersifat monopoli, harus dapat menjaminkepentingan golongan ekonomi lemah, dan untuk kepen-tingan bersama.

4.4. Tanah adalah kehidupan

Pancasila, UUD 45 dan UUPA menuntut agar politik,arah dan kebijakan pertanahan memberikan kontribusi nyatadalam proses mewujudkan keadilan sosial dan sebesar-besarkemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai luhurini mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk dapatmengakses berbagai sumber kemakmuran, utamanya tanah.Terbukanya akses rakyat kepada tanah dan kuatnya hakrakyat atas tanah, memberikan kesempatan rakyat untuk

768

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

memperbaiki sendiri kesejahteraan sosial-ekonominya–hak-hak dasarnya terpenuhi, martabat sosialnya meningkat, rasakeadilannya tercukupi–harmoni sosial tercipta. Kesemuanyaini akan menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan,kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.

Dalam rangka mewujudkan tanah untuk keadilan dankesejahteraan politik, arah dan kebijakan pertanahan dida-sarkan pada empat prinsip: (1) pertanahan harus berkon-tribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraanrakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuranrakyat, (2) pertanahan harus berkontribusi secara nyatauntuk meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebihberkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, peng-gunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah, (3) pertanahanharus berkontribusi secara nyata dalam menjamin keber-lanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kene-garaan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnyapada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomimasyarakat—tanah, dan (4) pertanahan harus berkontribusisecara nyata dalam menciptakan tatanan kehidupan bersamasecara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dankonflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistempengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflikdi kemudian hari.

Berlandaskan empat prinsip pengelolaan pertanahantersebut, Pemerintah melalui Badan Pertanahan NasionalR.I. telah merumuskan 11 Agenda Prioritas,10 antara lain,mengembangkan dan memperbaharui politik, hukum dankebijakan pertanahan. Semua ini dibingkai dalam sebuahkebijakan yaitu Reforma Agraria.

769

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

5. Reforma Agraria sebagai Kebijakan Pembangunan

yang Mendasar

5.1. Reforma agraria (RA): strategi dasar pembangunan

Di berbagai belahan dunia, reforma agraria merupakanjawaban yang muncul terhadap masalah ketimpangan struk-tur agraria, kemiskinan dan ketahanan pangan, dan pem-bangunan wilayah. Berbagai negara, secara beragam meng-implementasikan reforma agraria sesuai dengan struktur dansistem sosial, politik dan ekonomi yang dianut masing-masing. Terdapat kesamaan pandang dalam meletakkankonsep dasar pembaruannya: keadilan dan kesejahteraanrakyat.

Reforma agraria sebagai strategi dasar pembangunantelah ditempuh oleh hampir semua negara yang mempunyaistruktur politik, ekonomi, dan sosialnya baik, seperti China,Jepang, Taiwan, atau bahkan Amerika Serikat. Pada peng-hujung abad yang lalu, reforma agraria telah menjadi bagianpenting strategi negara-negara di dunia11 untuk menatastruktur politik, ekonomi, dan sosialnya dalam memasukiabad sekarang ini.

Negara-negara Amerika Latin—seperti Venezuela, Bra-zil, Uruguay, El Salvador, Bolivia sebagai contoh—dandemikian juga negara-negara Asia—seperti Vietnam, Thai-land, Philippines, India—telah menjadikan reforma agrariasebagai strategi dasar pembangunannya. Demikian jugaTaiwan—yang berhasil dalam melaksanakan reformaagraria—masih terus melanjutkan strategi ini dalam prosespembangunannya12.

Pengalaman pelaksanaan reforma agraria di berbagai

770

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

negara, menunjukkan bahwa hampir tidak ada perbedaanpendapat mengenai reforma agraria sebagai strategi dasarpembangunan, perdebatan akan muncul pada tataran imple-mentasi model apa yang akan diterap oleh suatu negara.Memetik pengalaman dari berbagai negara, reforma agrariasecara garis besar dapat dikelompokan menjadi empat kate-gori: (1) radical land reform, tanah milik tuan tanah yangluas diambil alih oleh pemerintah tanpa ganti kerugian, danselanjutnya dibagikan kepada petani tidak bertanah, (2) landrestitution, tanah-tanah perkebunan luas yang berasal daritanah-tanah masyarakat diambil alih oleh pemerintah, ke-mudian tanah tersebut dikembalikan kepada pemilik asaldengan kompensasi, (3) land colonization, pembukaan danpengembangan daerah-daerah baru, kemudian pendudukdari daerah yang padat penduduknya dipindahkan ke daerahbaru tersebut, dan dibagikan tanah dengan luasan tertentu,dan (4) market based land reform (market assisted land reform),land reform yang dilaksanakan berdasarkan atau denganbantuan mekanisme pasar yang bisa berlangsung bila tanah-tanah diberikan hak (land titling) agar security in tenureshipbekerja untuk mendorong pasar finansial di pedesaan.Model-model ini umumnya tidak bisa memenuhi prinsipland reform untuk melakukan penataan penguasaan danpemilikan tanah yang adil.

5.2. RA: upaya bersama bangsa mewujudkan keadilan

sosial

Cita-cita reforma agraria yang digagas oleh para pendiribangsa sejak tahun 194613 untuk menata struktur keagra-riaan nasional dari yang feodalistik dan kolonialistik—yang

771

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

dicirikan oleh adanya sistem pertuanan dan konsentrasi asetkeagrariaan pada sekelompok kecil masyarakat—menjadistruktur keagrariaan yang berkeadilan sosial, secara resmidicanangkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 1 Januari1961. Pencanangan reforma agraria (yang saat itu disebutsebagai land reform) – bersamaan dengan diberlakukannyaUndang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentangPenetapan Luas Tanah Pertanian (yang merupakan UUpelaksana UUPA) – pada saat Pencangkulan Pertama KaliPembangunan Semesta Nasional yang merupakanpencanangan pembangunan semesta nasional. Dengandemikian reforma agraria diposisikan sebagai bagian daristrategi dasar dari pembangunan.

Dalam perjalanannya, reforma agraria yangdilaksanakan tahun 1961 terhenti pada tahap awalpelaksanaannya di pertengahan tahun sembilan belasenampuluhan. Kenyataan ini menjadikan persoalan-persoalan keadilan sosial masih menjadi bagian penting yangharus diperjuangkan dalam proses pembangunan Indone-sia. Kesadaran baru atas pentingnya mewujudkan keadilansosial melalui reforma agraria tumbuh dan berkembangkembali di masyarakat dan juga—sebagaimana disebut diatas—di negara-negara lain.

Kesadaran akan pentingnya menata kembali kehidupanbersama yang berkeadilan sosial melalui reforma agrariamencapai puncaknya dengan diterbitkannya KetetapanMajelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) RI NomorIX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan PengelolaanSumber Daya Alam, yang mengharuskan dilakukannyapembaruan agraria atau reforma agraria. Kemudian, MPR

772

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

RI mengingatkan kembali perlunya pelaksanaan reformaagraria ini dengan dilahirkannya Keputusan MPR Nomor 5Tahun 2003. Hal ini dimaknai sebagai bentuk konsensussosial dan konsensus politik baru dalam mewujudkan ke-adilan sosial, konsensus baru yang taat azas dan taat kon-stitusi.

Bila dicermati secara seksama, jiwa dan isi TAP MPRtersebut di atas sangat konsisten dengan Pembukaan UUD1945 dan Batang Tubuh UUD 1945, khususnya Pasal 33ayat (3), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28. Lebih lanjut, isiTAP MPR tersebut juga sejalan dan konsisten dengan jiwadan isi Undang-undang Pokok Agraria, undang-undang yangdilahirkan oleh para pendiri bangsa melalui proses peru-musan yang memakan waktu sekitar 14 tahun (1946-1960).Undang-undang Pokok Agraria inilah yang menjadi payunghukum dan dasar dari pelaksanaan Reforma Agraria di In-donesia.

Sebagai tindak lanjut konsensus sosial dan konsensuspolitik sebagaimana dijelaskan diatas, reforma agrariadituangkan dalam BAB IV.1.5 Mewujudkan Pembangunanyang Lebih Merata dan Berkeadilan, Undang-UndangNomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana PembangunanJangka Panjang Nasional 2005 -2025 : “....... menerapkansistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif sertamelaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanahdengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi,dan demokrasi. ........, perlu dilakukan penyempurnaanpenguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanahmelalui........land reform”.

773

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

5.3. RA: jawaban terhadap masalah dan tantangan

kekinian

Di samping lahirnya konsensus politik dan sosial yangbaru serta peneguhan pelaksanaan mandat konstitusi danundang-undang, reforma agraria saat ini semakin pentinguntuk dilaksanakan mengingat kenyataan-kenyataan beri-kut. Sebagai bangsa, sebagaimana telah diuraikan di atas,saat ini kita masih menghadapi persoalan-persoalan struk-tural yang mewujud dalam bentuk: (a) tingginya tingkatpengangguran, (b) besarnya kemiskinan, (c) tingginyakonsentrasi aset agraria pada sebagian kecil masyarakat, (d)tingginya sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indo-nesia14, (e) rentannya ketahanan pangan dan ketahananenerji rumah tangga dari sebagian besar masyarakat kita,(f) semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup, dan(g) lemahnya akses sebagian terbesar masyarakat terhadaphak-hak dasar rakyat termasuk terhadap sumber-sumberekonomi keluarga.

Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, reformaagraria ditujukan untuk: (1) menata kembali ketimpanganstruktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yanglebih adil, (2) mengurangi kemiskinan, (3) menciptakan la-pangan kerja, (4) memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah, (5) mengurangi sengketadan konflik pertanahan, (6) memperbaiki dan menjagakualitas lingkungan hidup, serta (7) meningkatkan ke-tahanan pangan rakyat Indonesia dan ketahanan enerjinasional.

Apabila dicermati, keseluruhan tujuan reforma agrariadi atas bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat

774

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dan penyelesaian berbagai permasalahan bangsa. Namundemikian, dalam pelaksanaannya tidak tertutup kemung-kinan dapat menimbulkan potensi sengketa dan masalahbaru yang tidak kita inginkan bersama. Kemungkinan po-tensi sengketa dimaksud bisa lahir akibat kekurangpahamankita bersama terhadap pelaksanaan reforma agraria yangstrategis ini. Untuk itu penyamaan persepsi, kesatuan gerakdan langkah semua pihak menjadi sangat penting.

5.4. RA: mengatasi persoalan struktural bangsa

Persoalan-persoalan struktural yang menghambat per-wujudan keadilan sosial tersebut, seperti telah dikemukakandi depan, tidak akan pernah memadai bila diatasi denganpendekatan yang bersifat end pipe policies. Proses pem-bangunan yang masih banyak dipengaruhi oleh colonial modeof development, maupun proses-proses pembangunan yangtidak senantiasa taat azas pada tujuan dan cita-cita Indone-sia merdeka harus segera ditinggalkan. Proses pembangunanyang dibutuhkan ialah yang secara mendasar mampumengatasi persoalan struktural. Di era transisi demokrasiini, rakyat Indonesia memiliki caranya sendiri untuk meng-gulirkan roda pembangunan.

Reforma agraria sebagai strategi dan langkah pem-bangunan telah terbukti dalam sejarah dan dalam penga-laman negara-negara lain, sebagaimana telah diuraikan diatas. Mengapa reforma agraria mampu mengatasi persoalan-persoalan struktural dan dapat kita jalankan sesuai dengankondisi sosial, ekonomi, dan politik kita? Tidak lain karenareforma agraria—baik sebagai konsepsi, strategi, maupunlangkah pembangunan—bergerak langsung untuk mengatasi

775

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

pokok persoalannya dengan menggunakan mandat negara,yang merupakan mandat publik, dan sepenuhnya untukkepentingan rakyat.

Untuk saat ini, dapat saya pahami, reforma agrariadiartikan secara beragam oleh beragam orang, profesi, ataukelompok. Di kalangan akademisi, di kalangan pegiatreforma agraria, maupun di kalangan pemerintah, reformaagraria tidak jarang dipahami secara berbeda-beda. Tetapi,dari semua ragam pemahaman ini, ada benang merah yangdapat menghubungkan semuanya, yaitu bahwa reformaagraria dimaknai sebagai penataan atas penguasaan, pemi-likan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T) atau sum-ber-sumber agraria menuju suatu struktur P4T yang berke-adilan dengan langsung mengatasi pokok persoalannya.Apabila makna ini didekomposisi, terdapat lima komponenmendasar di dalamnya, yaitu : (a) restrukturisasi penguasaanasset tanah ke arah penciptaan struktur sosial-ekonomi danpolitik yang lebih berkeadilan (equity), (b) sumber pening-katan kesejahteraan yang berbasis keagrariaan (welfare), (c)penggunaan/pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksilainnya secara optimal (efficiency), (d) keberlanjutan (sustai-nability), dan (e) penyelesaian sengketa tanah (harmony).

Penataan tersebut tentu membutuhkan kekuatan danmandat negara untuk memastikan bahwa rakyat harusmemiliki sumber-sumber ekonomi dan memiliki akses sosialdan politik bagi kehidupannya. Dalam kerangka mandatinilah diperlukan pula adanya distribusi/redistribusi aset-aset yang dimiliki negara untuk rakyat yang tidak memilikiaset atau yang asetnya tidak memadai untuk menopangkehidupan rumah tangganya, termasuk di dalamnya tanah

776

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dan aspek-aspek agraria lainnya. Distribusi/redistribusi asetini harus pula disertai dengan pengembangan akses masya-rakat terhadap berbagai hal yang memungkinkan rakyatmemanfaatkan asetnya secara baik15. Di antaranya adalahakses untuk bisa berpartisipasi secara bermakna dalamkehidupan sosial dan politik serta akses terhadap modal,teknologi, manajemen, pendampingan/pembinaan, pening-katan kapasitas dan kemampuan, pasar input dan pasaroutput, atau lainnya yang dibutuhkan untuk berkembang.

Perlu dicermati bahwa meskipun pendistribusian tanahkepada masyarakat yang berhak merupakan salah satukomponen kegiatan penting dalam program ini, namunreforma agraria tidaklah sama maknanya dengan programpendistribusian atau pembagian tanah semata. Justru, esensiyang perlu terus dijaga adalah bagaimana agar masyarakatpenerima manfaat dapat mengoptimalkan pengelolaan asettanahnya secara berkesinambungan guna meningkatkankualitas hidup dan penghidupannya, yang pada gilirannyaberdampak pada pertumbuhan perekonomian wilayahnya.Sehingga, secara keseluruhan akan sejalan dengan tujuanreforma agraria. Pembukaan akses perlu direncanakan,diselenggarakan dan dikendalikan secara cermat baik dalamkonteks penyediaan dukungan-dukungan teknis dan mana-gerial maupun dalam pembinaan lanjutan lainnya sertaketentuan-ketentuan hukumnya. Pembukaan akses inimerupakan komponen kegiatan yang bersifat multi-sektoral,oleh karena itu koordinasi intensif dan kontributif darisegenap komponen yang terkait dalam kegiatan inimerupakan suatu keharusan. Atas dasar hal tersebut, untukmempermudah pemahaman, reforma agraria dapat kita

777

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

definisikan sebagai land reform plus. Artinya reforma agrariaadalah land reform di dalam kerangka mandat konstitusi,politik, dan undang-undang untuk mewujudkan keadilandalam P4T ditambah dengan access reform. Atau, secaramudah dirumuskan sebagai berikut:

Reforma Agraria = Land Reform + Access Reform

Di dalam kerangka inilah, Presiden Republik Indone-sia, Bapak Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, melaluiPidato Awal Tahun yang dilakukan pada tanggal 31 Januari2007 memutuskan bahwa mulai tahun 2007 ini secarabertahap reforma agraria dilaksanakan dengan prinsip dasar:tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat.

5.5. RA: persiapan dan perencanaan

Reforma agraria merupakan agenda besar bangsa yangmembutuhkan persiapan dan perencanaan yang matang dancermat guna memastikan tercapainya tujuan. Untukmemastikan bahwa reforma agraria tersebut berjalan secarabaik, Pemerintah merencanakan akan mengalokasikan 9,25juta hektar tanah yang berasal dari berbagai sumber,termasuk di dalamnya tanah kelebihan maksimum dan tanahabsentee yang telah ditetapkan berdasarkan undang-undangtetapi masih belum diredistribusikan, tanah-tanah negara yanghaknya telah berakhir, tanah-tanah negara yang peman-faatan dan penggunaannya tidak sesuai dengan suratkeputusan pemberian haknya, tanah-tanah yang secara fisikdan secara hukum terlantar, tanah bekas kawasankehutanan, dan jenis-jenis tanah lainnya yang telah diatur

778

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

oleh undang-undang.Sering dipertanyakan oleh berbagai pihak, siapa pene-

rima manfaat reforma agraria? Penerima manfaat reformaagraria adalah rakyat miskin. Semua tanah yang dialoka-sikan untuk reforma agraria pada prinsipnya untuk rakyatmiskin. Kriteria miskin disusun secara hati-hati dan menda-lam, dengan mempertimbangkan berbagai standar kemis-kinan. Penyusunan kriteria penerima manfaat berdasarkanpendekatan hak-hak dasar rakyat (basic rights approach), yangmerupakan hak yang universal dan dijamin oleh konstitusi.Kemudian diperoleh 3 (tiga) variabel pokok dalam mene-tapkan kriteria: kependudukan, sosial-ekonomi, danpenguasaan tanah. Dari ketiga variabel ini akan ditetapkankriteria umum, kriteria khusus dan urutan prioritas. Prosesseleksi penerima manfaat dapat dilihat pada Gambar 1.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana mekanisme dan de-livery system reforma agraria? Data menunjukkan bahwakantong-kantong kemiskinan berada terutama berada dihampir semua provinsi di Pulau Jawa, kemudian provinsiSumatera Utara dan Provinsi Sulawesi Selatan. Sedangkantanah yang dialokasikan sebagian besar tersedia di luarprovinsi tersebut. Dengan perkataan lain, penerima manfaat(subyek) reforma agraria tidak berada dalam satu lokasidengan tanah yang tersedia (obyek). Namun terdapat pulakeadaan dimana penerima manfat berada pada lokasi yangsama dengan tanah yang tersedia. Keterpisahan antarapenerima manfaat dengan tanah yang dialokasikanmemerlukan desain sosial dan ekonomi, sehingga penerimamanfaat dan tanahnya berada pada lokasi yang sama. Daripendalaman diperoleh 3 (tiga) model dasar mekanisme dan

779

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

delevery system sebagai berikut: (1) Mendekatkan Obyek keTempat Subyek.

Gambar 1. Alur Seleksi Calon Penerima Manfaat.

Dalam model ini, tanah dari daerah yang surplus tanahatau tidak padat penduduknya didekatkan ke daerah yangminus tanah, padat penduduknya dan dekat denganpenerima manfaat. (2) Mendekatkan Subyek ke TempatLetak Obyek. Dalam model ini calon penerima manfaat

Warga

Negara

Indonesia

Berusia minimal

18tahun atau

sudah menikah

Miskin

Kemauan yang

tinggi untuk

mendayagunakan

tanahi

Memiliki aset

yang bernilai

<15juta

rupiah

Bertempat tinggal atau bersedia

tinggal di kecamatan letak

tanahnya

KRITERIA UMUM

KRITERIAKHUSUS

a. Tidak memiliki tanah (landless)b. Jumlah Tanggungan Keluarga,c. Lamanya bertempat Tinggald. Mata Pencahariane. Pendidikan.

URUTANPRIORITAS

Pembobotan

Bertempat

tinggal atau bersedia

tinggal di kecamatan letak tanahnya

780

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

(subjek) berpindah secara sukarela (voluntary) ke lokasitanah yang tersedia,.(3) Subyek dan Obyek di Satu Lokasiyang Sama. Model ini untuk keadaan di mana subyek danobyek berada di lokasi yang sama. Secara skematis,ketigamodel dasar delivery system obyek Reforma Agraria tersebutdapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Model dasar meknisme dan delivery system

Guna menjamin terlaksananya Reforma Agraria akandisempurnakan peraturan perundang-undangan yangbersifat operasional, termasuk yang berkaitan dengankelembagaan reforma agraria. Kelembagaan Reforma Agrariadibagi dalam dua kelompok kelembagaan, yaitu: (1)lembaga yang berfungsi menetapkan kebijakan, koordinasidan pengendalian reforma agraria, serta (2) Lembaga yangberfungsi mengelola dan membiayai reforma agraria.

Kepemilikanperorangan

Kepemilikanbersama

KepemilikanBadan Usaha

V1

V2

V3

Kepemilikanperorangan

Kepemilikanbersama

KepemilikanBadan Usaha

V6

V7

V8

Kepemilikanperorangan

Kepemilikanbersama

V4

V5

Obyek

Subyek

Model II

(S ? O )

Model III

(O ? S )

Delivery ObyekMekanisme Penyatuan Obyek-SubyekModel Dasar

M1

Pelepasan danperolehan tanah

Kewajiban badan usahamenyediakan tanah

Tukar-menukar tanahsecara langsung

Tukar-menukar tanahguna menyelesaikan

konflik

Perolehan tanah daripenerimaan Negara

M2

M3

M4

M5

M7

Tukar-menukar tanahsecara tidak langsung

& menyelesaikan konflik

Penerimaansecara

langsung

Perusahaanpatungan

Melaluiperusahaanpatungan

Keterangan:- M= mekanisme, V = varian- Mekanisme, sistem dan varian dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai

dengan karakteristik subyek obyek dan masing-masing wilayah-- Perusahaan patungan: Pemerintah Pemdapenerima manfaat badan usaha

Obyek&Subyek PPANtelah beradapada lokasiyang sama

Mendekatkan subyekke obyek PPAN

M6

Model I

(O ? S )

P1

P2

P3

781

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

5.6. RA: niat menuju perwujudan

Reforma agraria bukanlah program yang ringan untukdilaksanakan. Cakupan dan dampak dari program iniberdimensi sangat luas bagi kehidupan masyarakat, bangsa,dan negara. Oleh karenanya, reforma agraria menuntutkomitmen dan keterlibatan penuh dari semua komponenbangsa. Tidaklah berlebihan kemudian bahwa reformaagraria ini dipimpin langsung oleh Bapak Presiden,sebagaimana negara-negara lain yang berhasil melaksanakanreforma agraria semuanya dipimpin langsung oleh pimpinantertinggi negara.

Pengalaman banyak negara yang berhasil menjalankanreforma agraria juga mengajarkan bahwa reforma agrariaharus dilakukan dengan sepenuh hati, pikiran, dan sum-berdaya; tiada mengenal kata setengah-setengah; terusmengembangkan diri dan mencoba berbagai pola implemen-tasi yang sesuai dengan kebiasaan dan budaya masyarakatsetempat; memberikan ruang gerak bagi terjadinya peru-bahan sosial (social change) yang taat azas terhadap konstitusidan budaya bangsa; serta memberikan ruang gerak yangleluasa bagi masyarakat untuk mengembangkan inovasisosial (social inovation) di bidang teknologi, ekonomi, dansosial.

Niat, tekad, dan langkah untuk menjalankan reformaagraria telah kita bulatkan. Daya, kreasi, dan keuletan telahkita tuangkan, dan masih akan lebih banyak lagi yang perlukita tuangkan. Komitmen, konsensus, dan gerak bersamatelah pula kita ikrarkan. Bersama ini semua, kita bersandarkepada Allah SWT—Tuhan yang menguasai bumi danbeserta isi-isinya, termasuk jiwa-jiwa manusia. Dengan

782

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

bersandar penuh kepada-Nya, reforma agraria yang tengahkita siapkan agar mampu kiranya mewujudkan keadilansosial bagi seluruh rakyat Indonesia, baik untuk generasikini maupun untuk generasi yang akan datang. Gagasan danniat besar untuk mewujudkan keadilan sosial melaluireforma agraria akan dapat dijalankan dengan kesungguhandan dengan komitmen yang utuh dan tak berkesudahan dariseluruh pihak.

6. Penutup

Sebagai penutup, saya ingin mengundang gagasan-ga-gasan bernas dari Institut Pertanian Bogor. Reforma agrariaadalah gagasan besar. Diperlukan pemikiran-pemikiranbesar yang membumi dari kalangan ilmuwan dan cerdik-cendekia dari IPB. IPB pernah menghasilkan programBIMAS, yang telah kita saksikan bersama, mampu mening-katkan kinerja usahatani khususnya padi. Namun perjalanansejarah membuktikan kepada kita semua, bahwa pening-katan kinerja usahatani saja tidak cukup. It is necessary butnot sufficient. Telah saya uraikan bahwa ada persoalan struk-tural yang secepatnya perlu kita atasi, dan reforma agrariamerupakan strategi/kebijakan mendasar yang saya yakinimampu mengatasi persoalan tersebut. Melalui sumbangsihpemikiran dari IPB (dan perguruan-perguruan tinggi lainyang berkompeten) untuk mempertajam dan semakin mem-pertajam detil kebijakan reforma agraria, insya Allah kebi-jakan ini dapat mengatasi persoalan-persoalan strukturalyang tengah kita hadapi.

Sehubungan dengan hal tersebut, kolaborasiPemerintah dengan lembaga pendidikan tinggi dan lembaga-

783

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

lembaga pengkajian dan pegiat pembangunan (civil society)sangat diperlukan. Saya melalui Brighten Institute telahberkomunikasi dengan pemenang hadiah Nobel bidangekonomi tahun 2001 yaitu Prof. J.E. Stiglitz. Beliau yangsaat ini mengajar di Columbia University, USA dan jugaberkiprah di sebuah lembaga Initiatives for Policy Dialogue(IPD) di USA berkenan untuk memberikan pandangan-pandangannya. Beliau terbuka untuk bekerjasama dalamhal penelitian serta dialog kebijakan dengan lembagapendidikan seperti IPB—di mana sebagai dosen FEM IPB,saya juga masih sangat tertarik untuk melakukannya. Bidangkolaborasi BPN, IPB, dan lembaga pengkajian seperti IPDdan Brighten Institute terutama adalah kebijakan reformaagraria, pengurangan kemiskinan, dan pengelolaan sumber-daya alam. Semoga semuanya bisa kita wujudkan demikesejahteraan bangsa dan negara. Amiin. Billaahittaufik walhidayah, wassalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaa-tuh.

Catatan-catatan

1 Orasi ilmiah disampaikan pada acara Dies Natalis Institut Pertanian Bogor(IPB) ke-44, Bogor, 1 September 2007

2 Structural adjustment program (SAP) adalah paket kebijakan yangcenderung bersifat generik, yang biasanya disusun oleh lembagainternasional tertentu untuk diterapkan bersamaan dengan penyaluranpinjaman atau bantuan oleh lembaga tersebut. Karena sifatnya yangcenderung generik, paket kebijakan tersebut umumnya gagal memecahkanpokok persoalan yang sebenarnya.

3 Persentase usahatani yang tergolong gurem (kurang dari 0.5 ha) cenderungmeningkat, yaitu dari sekitar 41 persen menjadi 55 persen dari total usahatani,sepanjang periode 1983-2003. Peningkatan ini seiring dengan penurunanpersentase jumlah usahatani pada kelompok luas 0.5-1.99 ha, yakni darisekitar 45 persen menjadi 33 persen pada periode yang sama, yang

784

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

mengindikasikan terjadinya masalah fragmentasi tanah usahatani yangsignifikan. Fragmentasi tersebut diikuti oleh marjinalisasi tanah usahatani.Rataan luas usahatani pada periode 1983-1993 untuk kelompok luas <0.5 hamenurun dari 0.26 ha menjadi 0.17 ha; dan pada kelompok 0.5-1.99 hapenurunannya adalah dari 0.94 ha menjadi 0.90 ha. Sementara itu, padakelompok luas 2.0-4.99 maupun ³5 ha, rataan luas usahataninya pada periodeyang sama meningkat masing-masing dari 2.72 ha menjadi 3.23 ha dan dari8.11 ha menjadi 11.90 ha

4 Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 dan Pasal 33 UUD’45.5 Pasal 33 ayat (3)6 Pasal 2 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria ( UUPA).7 Pasal 2 ayat (3) UUPA menyatakan bahwa : “ Wewenang yang bersumber

pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini, digunakanuntuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan,kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indo-nesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”.

8 Pasal 4 UUPA, menurut pasal 16 UUPA hak atas tanah meliputi : hakmilik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membukatanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak lain yang akah ditetapkan olehUU serta hak-hak yang sifatnya sementara; hak guna air dan ruang angkasameliputi: hak guna air, hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, hak gunaruang angkasa.

9 Pasal 6, 7, 10, 11, 12, 13, 17 UUPA10 Sebelas Agenda Prioritas yang telah dicanangkan Pemerintah melalui Badan

Pertanahan Nasional RI adalah: (1) Membangun kepercayaan masyarakatpada Badan Pertanahan Nasional RI, (2) Meningkatkan pelayanan danpelaksanaan pendaftaran tanah, serta sertipikasi tanah secara menyeluruh diseluruh Indonesia, (3) Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah,(4) Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencanaalam dan daerah-daerah konflik di seluruh tanah air, (5) Menangani danmenyelesaikan perkara, masalah, sengketa dan konflik pertanahan secarasistematis, (6) Membangun Sistem Informasi Manajemen PertanahanNasional (SIMTANAS) dan sistem pengamanan dokumen pertanahan diseluruh Indonesia, (7) Menangani masalah KKN serta meningkatkanpartisipasi dan pemberdayaan masyarakat, (8) Membangun basis datapenguasaan dan pemilikan tanah skala besar, (9) Melaksanakan secarakonsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang telahditetapkan, (10) Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional RI, (11)Mengembangkan dan memperbaharui politik, hukum dan kebijakanpertanahan (Reforma Agraria).

785

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

11 Beberapa pengalaman Negara di dunia antara lain:Di Cina, Landreform merupakan kerangka perjuangan untuk menata kembalistruktur sosial dan politik. Pertengahan tahun 20an –30an, Cina melaksanakantiga program besar yaitu menghilangkan neo imperialisme, menata ulangstruktur sosial dan politik, menata kembali struktur penguasaan tanah.Namun, fokusnya berada pada yang ketiga yaitu menata kembali strukturpenguasaan tanah (Landreform). Artinya dalam gerakan besar Cina,Landreform menjadi suatu kerangka perjuangan politik untuk menata kembalistruktur politik yang ada di Cina. Program Landreform di Cina, mengalamistagnasi ketika Cina dijajah oleh Jepang. (1935 – 1945). Namun, perjuanganmelawan Jepang tetap berpusat pada isu tanah. Isu tanah dalam konteksuntuk mempersiapkan struktur sosial dan politik yang menjadi dasarperkembangan selanjutnya. Ketika Jepang menyerah, program Landreformdilaksanakan kembali dan mencapai puncaknya antara tahun 1959 – 1961,bersamaan dengan peristiwa banjir besar dan kekeringan yang sangat parahmelanda Cina. Periode yang sangat menyakitkan bagi rakyat Cina. Selepastahun 1961, Landreform terus dijalankan, tanah-tanah milik tuan tanahdibagikan kepada penggarap secara kolektif (koperasi), yang dalamperkembangannya kemudian tanah tersebut bergeser menjadi tanah miliknegara, namun petani mempunyai akses penuh untuk memanfaatkan tanahtersebut (usufruct right). Awalnya para pakar ekonomi pembangunanmenyatakan periode 1959 -1961 merupakan ketidakberhasilan dariLandreform. Namun kemudian pendapat tersebut bergeser, periodetersebut merupakan penentu bagi pertumbuhan ekonomi Cina yang luarbiasa.Jepang berhasil melaksanakan Reforma Agraria. Tanah-tanah luas milik paradaimyo diambil alih oleh pemerintah dan dibagikan kepada petani penyewatanah. Landreform di Jepang dilaksanakan pada masa pemerintahanpendudukan Amerika dan dipimpin oleh Mac Arthur. Namun sebelumnyaJepang telah berpengalaman melakukan Reforma Agraria (tahun 1868) ––Restorasi Meiji. Sehingga pada waktu melaksanakan Landreform, Jepangtelah mempunyai data tanah yang lengkap. Landreform menjadi dasarpembangunan ekonomi Jepang.Venezuela, Reforma Agraria dimulai pada tahun 1960an dengandikeluarkannya UU mengenai Reforma Agraria. Dalam perjalanannya sejaktahun 1960 sampai dengan 1999, boleh dikatakan Reforma Agraria di Ven-ezuela kurang begitu berhasil. Pada tahun 1999, Hugo Chaves terpilihmenjadi Presiden Venezuela, salah satu programnya adalah Reforma Agraria.Kemudian melalui referendum (1999) konstitusi disempurnakan, danReforma Agraria merupakan mandat dari konstitusi, yang kemudian diikuti

786

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dengan dikeluarkannya UU Landreform yang berlaku tahun 2002. Presidenmemimpin langsung pelaksanaan Reforma Agraria, sehingga dapat dikatakania satu-satunya Presiden di Amerika Latin atau bahkan di dunia, saat ini,yang melaksanakan Reforma Agraria dengan antusias. Tahun 2002 terjadikudeta yang menggulingkan Presiden Chaves, namun rakyat Venezuelamengembalikan ia ke posisinya. Selain itu pemerintah juga memperkenalkanprinsip-prinsip kebijakan pertanian yang baru, seperti kedaulatan pangandan mengutamakan penggunaan tanah (land use) dari pada pemilikan tanah.Zimbabwe tidak terlalu berhasil melaksanakan Landreform. Ketidak-berhasilan itu disebabkan oleh perencanaan yang kurang matang. Yangmenjadi target adalah tanah-tanah pertanian milik orang kulit putih, sehinggaterjadi perlawanan atau penolakan yang sangat kuat.Thailand melaksanakan land reform pada tahun 1975, dengan dikeluarkannyaUU Landreform Pertanian BE 2518, dipimpin langsung oleh Raja sehinggadisebut juga “Crowny Landreform.” Agricultural Landreform meliputitenurial structure reform, production structure reform dan supportingservice reform. Tanah-tanah yang dibagikan awalnya adalah tanah milikpribadi yang merupakan tanah-tanah kelebihan dari batas maksimum danabsentee, atau tanah-tanah yang dilepaskan (dijual) secara sukarela olehpemiliknya. Dalam perjalanannya karena tanah tersebut semakin langka,maka tanah yang dibagikan dalam rangka Landreform (agriculturalLandreform) adalah tanah-tanah negara, antara lain yang berasal dari tanahkawasan hutan.Taiwan, land reform dilaksanakan dengan perencanaan yang matang, dansecara berkesinambungan dan damai. Pemerintah memberikan perlindunganbaik kepada petani penyewa atau penggarap tanah maupun kepada tuantanah. Prinsip keadilan sosial mendasari program ini. Program Landreformdi Taiwan diawali dengan program pengurangan sewa tanah (farm land rentalreduction) menjadi 37,5%. Melalui program ini, diperoleh data dan informasimengenai tanah, pemilik dan petani penyewa tanah yang dipakai untukmelaksanakan program selanjutnya. Program ini dilanjutkan dengan pelepasantanah pertanian milik pemerintah (release of public land), program “tanahuntuk petani yang menggarapnya”, program penyeimbangan hak tanah(equalization of land right), dan konsolidasi tanah pertanian dan perkotaan.Sampai saat ini Landreform di Taiwan telah mencapai tahap ketiga. Tahappertama dimulai tahun 1949 – 1971, tahap kedua 1971 – 2000, dan tahap ketiga2000 sampai sekarang. Hasilnya, jumlah tenaga kerja di bidang pertanianyang tadinya di atas 35% dari jumlah total tenaga kerja (pada awal Landreform),menjadi 8% (2004). Terjadi pergeseran struktur sosio-profesional masyarakatdari pertanian ke industri dan jasa, namun landasan pembangunannya tetap

787

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

pertanian. Sementara, kontribusi sektor pertanian secara agregat tetap besar,walaupun angka nisbinya terhadap ekonomi nasional––Gross National Prod-uct––saat ini hanya 1,8%, dari yang sebelumnya 35% (1970 – 1975).

12 Yang menarik dan layak dicatat adalah bahwa Taiwan memulai programreforma agrarianya berbarengan dengan Indonesia pada tahun 1961. Taiwanberhasil dan terus melanjutkan strategi ini dalam pembangunannya, Indo-nesia berhenti pada pertengahan tahun enam puluhan.

13 Tahun 1946 reforma agraria telah menjadi agenda utama bangsa Indonesiasebagaimana telah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa. Hal ini ditandaidengan lahirnya UU Nomor 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa-Desa Perdikan. Dan, pada tahun ini juga ditandai dengan dimulainyapenyusunan undang-undang keagrariaan nasional yang berkeadilan sosialoleh suatu Panitia Negara yang dibentuk untuk itu. Hasil dari proses panjanginilah yang akhirnya melahirkan Undang-undang Pokok Agraria (UUNomor 5 Tahun 1960) yang menjadi acuan penataan keagrariaan nasionalyang berkeadilan dan sekaligus menjadi payung dasar pelaksanaan reformaagraria.

14 Saat ini, terdapat 2.810 kasus pertanahan yang dilaporkan daerah ke KantorBadan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Tanah yang berada dalamsengketa/konflik/perkara tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, sehinggamerupakan opportunity loss dan menutup akses rakyat untukmemanfaatkannya.

15 Stiglizt dalam Bardhan (1991) telah menunjukkan bahwa land reformberdampak ekonomi lebih baik daripada sharecropping. Pendekatan sharecropping semata, manakala terjadi kemajuan teknologi dan infrastruktur,juga meningkatkan kesenjangan. Namun land reform yang dimaksud bukanlahsemata-mata pembagian tanah melainkan juga memperbaiki akses petaniterhadap teknologi, infromasi, pasar input, kredit maupun output.

BaBaBaBaBagiagiagiagiagian VI:n VI:n VI:n VI:n VI:

PPPPPANDANDANDANDANDANGANGANGANGANGAN KALANGAN KALANGAN KALANGAN KALANGAN KALANGAN MASYAN MASYAN MASYAN MASYAN MASYARAKAARAKAARAKAARAKAARAKATTTTT

SIPIL TERHADSIPIL TERHADSIPIL TERHADSIPIL TERHADSIPIL TERHADAP PRAP PRAP PRAP PRAP PROGRAM PEMBOGRAM PEMBOGRAM PEMBOGRAM PEMBOGRAM PEMBARARARARARUUUUUANANANANAN

AAAAAGRARIA NGRARIA NGRARIA NGRARIA NGRARIA NASIASIASIASIASIOOOOONNNNNAL (PPAL (PPAL (PPAL (PPAL (PPAN)AN)AN)AN)AN)

790

Reforma Agraria untuk Keadilan Sosialdan Kesejahteraan Rakyat:

Pelaksanaannya di Masa Lalu danRevitalisasinya Pada Saat Ini

Moh. Shohibuddin1

1. Pendahuluan

Seperti diketahui bersama, pemerintah saat ini menya-takan komitmennya untuk menjalankan kembali landreformmelalui program pembaruan agraria nasional (PPAN).Dalam program ini, pemerintah akan meredistribusikantanah kepada rakyat seluas 9,25 juta ha selama tujuh tahunke depan hingga tahun 2014. Selain redistribusi tanah, pro-gram ini juga akan diikuti dengan pengembangan aksessecara luas kepada petani penerima untuk dapat memanfa-atkan dan mengusahakan tanah yang telah diperolehnyasecara optimal.

1 Penulis adalah staf peneliti pada Brighten Institute dan saat inimenjabat Direktur Eksekutif Sajogyo Institute.

791

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai rencana pro-gram pemerintah ini, tulisan berikut akan memerikan secaralebih detil program reforma agraria yang telah dipersiapkanoleh pemerintah sejauh ini. Dalam hal ini, ketimbangmenyajikan uraian kritis-analitis,2 tulisan ini lebih bersifatdeskriptif untuk melihat bagaimana program reforma agrariaini pernah berjalan pada satu masa sampai kemudian terdis-torsi, dan dalam pengertian apa upaya revitalisasinya padasaat ini. Untuk itu, tulisan ini akan diawali dengan uraianmengenai pelaksanaan reforma agraria pada masa lalu dansejauh mana capaian yang dihasilkannya; persoalan struk-tural yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini yang menjadikonteks pelaksanaan reforma agraria saat ini; dan bagai-mana proses politik yang berlangsung untuk merevitalisasiagenda reforma agraria ini, termasuk perangkat kelemba-gaannya.

Bagian berikutnya secara rinci akan diuraikan kerangkakebijakan dan perencanaan kegiatan reforma agraria yangtelah dipersiapkan oleh pemerintah, dalam hal ini BadanPertanahan Nasional. Hal ini mencakup penentuan obyek,subyek, mekanisme dan delivery system, hingga pengem-bangan acces reform. Akhirnya pada bagian penutup penulisakan menngajukan beberapa isu kunci yang sangat menen-tukan bagi keberhasilan program reforma agraria yang diren-canakan oleh pemerintah ini.

2 Untuk ulasan kritis-konstruktif atas program reforma agraria, lihatlaporan riset awal atas pilot project reforma agraia di Kabupaten LampungSelatan dan Lampung Tengah: Moh. Shohibuddin et, al., LaporanPelaksanaan Model Reforma Agraria di Provinsi Lampung. Sekolah TinggiPertanahan Nasional dan Sajogyo Institute, 2007.

792

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

2. Program (Re)distribusi Tanah yang Sudah

Dilakukan dan Capaiannya

Landreform dapat dimaknai sebagai usaha sistematisuntuk memperbaiki hubungan antara manusia dengan tanahyang karena faktor-faktor historis, politis dan ekonomismasih dirasakan belum harmonis dan belum mencerminkankeadilan sosial. Usaha perbaikan semacam ini dilakukandengan menata kembali struktur penguasaan, pemilikan,penggunaan, dan pemanfaatan tanah menjadi tatanan keag-rariaan baru yang dapat menjamin keadilan, harmoni sosial,produktivitas dan keberlanjutan, berdasarkan prinsip bahwa“tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secaraaktif oleh pemiliknya sendiri” (land for the tiller).

Pelaksanaan landreform dengan demikian bertujuanuntuk memperbaiki keadaan sosial-ekonomi rakyat melaluipembagian yang lebih adil atas sumber penghidupan petaniberupa tanah. Landreform juga diharapkan dapat mening-katkan gairah kerja petani penggarap dengan jalan mem-berikan kepastian hak pemilikan atas tanahnya. Pengertianini dapat dilihat dalam penjelasan umum PP No. 224/ 1961yang menyebutkan bahwa landreform bertujuan menga-dakan pembagian yang adil dan merata atas sumber peng-hidupan rakyat tani yang berupa tanah, sehingga denganpembagian tersebut diharapkan akan dapat dicapai pemba-gian hasil yang adil dan merata.

Secara umum, ada enam elemen pokok program landre-form sebagaimana diamanatkan oleh Undang-UndangPokok Agraria 1960:1. Larangan untuk menguasai tanah pertanian yang

melampaui batas (pembatasan pemilikan maksimum);

793

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

2. Larangan pemilikan tanah secara absentee;3. Redistribusi tanah-tanah yang melampaui batas

maksimum, tanah-tanah yang terkena ketentuan absen-tee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah negaralainnya;

4. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanahpertanian; dan

5. Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian,disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatanyang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanahpertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.Implementasi kebijakan landreform ini pada masa yang

lampau ternyata masih sangat terbatas dan belum dapatmemenuhi tujuan-tujuan seperti yang diharapkan di atas.McAuslan (dalam Wiradi 2006), misalnya, menyebutkandua hambatan pokok (di samping berbagai hambatan lain-nya) dalam pelaksanaan program landreform ini. Pertamaadalah hambatan hukum. Baik di pusat maupun di daerah,aparat hukum belum menguasai benar persoalan agraria.Hal ini berkaitan dengan hambatan pokok kedua, yaitu ham-batan ilmiah. Berbeda dari negara berkembang lainnya, diIndonesia jumlah ilmuwan agraria amat terbatas. Akibatnyasetiap kali membahas agraria, yang dibahas selalu “hukumagraria”. Padahal agraria itu mencakup hampir semua aspekkehidupan (sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan politik,bahkan juga hankam).

Walf Ladejinsky, arsitek landreform di Jepang di bawahJendral McArthur, setelah tiga kali datang ke Indonesia padatahun 1961-1963, memberi penilaian serupa mengenaipelaksanaan landreform yang saat itu sedang dilaksanakan.

794

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Ada dua kritik utama Ladejinsky (dalam Wiradi 2006): Per-tama, antara gagasan dan tindakan pelaksanaan landreformtidak konsisten. Gagasannya revolusioner, tetapi pelemba-gaan pelaksanaannya rumit. Birokrasi berbelit-belit dan datatidak akurat sehingga di lapangan pelaksanaan redistribusimenjadi sulit dan terhambat. Kedua, model redistribusinyatidak sesuai dengan kondisi obyektif yang ada. Batasankepemilikan minimum 2 ha yang diberlakukan secaramenyeluruh menurut Ladejinsky tidaklah realistis. Juga tidakjelas siapa dan berapa jumlah orang yang berhak menerimaredistribusi tanah (potential beneficiaries), dan berapa yangdiperkirakan akan menjadi penerima nyata (real beneficia-ries)? Juga tanah-tanah apa saja yang akan menjadi objeklandreform?

Prosterman dan Mitchell (2002) menyoroti capaianpelaksanaan program redistribusi di Indonesia yang menurutmereka sangat terbatas. Selama periode 1960-2000, peme-rintah ternyata hanya dapat membagikan tanah di bawahprogram redistribusi seluas 850.128 ha saja, yang dari jum-lah itu sebesar 339.227 ha berada di Jawa.3 Jumlah ini hanyamencerminkan 3% tanah pertanian di Indonesia dan 6% diJawa menurut luasan tanah pertanian pada tahun 1960an(lihat Tabel 1).

3 Seperti diuraikan di bawah, angka yang dikemukakan Prostermandan Mitchell ini terbatas pada capaian landreform yang beruparedistribusi tanah dari tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee,dan belum memasukkan pembagian tanah negara secara langsung melaluiprogram-program seperti transmigrasi, PIR, PIR-Trans dan sebagainya.

795

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Tabel 1. Tanah Pertanian yang Diredistribusi MelaluiLandreform

Dilihat dari penerima manfaat, program redistribusi initelah membagikan tanah kepada hanya 1.292.851rumahtangga, termasuk 816.849 rumahtangga di Jawa. Rata-rata luas tanah yang diterima adalah 0,66 ha di Indonesiadan 0,42 ha di Jawa. Menurut data populasi rumahtanggapetani tahun 1963 (tidak memasukkan rumahtangga petaniburuh), jumlah ini hanya mencapai 11% dari total rumah-tangga petani di Indonesia atau 10% di Jawa. Dari jumlahini ternyata sedikit sekali yang menjangkau kelompok petaniyang paling rentan, yaitu rumahtangga buruh tani musimanyang menempati prioritas paling bawah dalam kategoripenerima yang disebutkan dalam Pasal 8 PP No. 224/1961.

Pasca perubahan drastis konstelasi politik sejak tahun1965, pelaksanaan reforma agraria mulai surut. Namun initidak berarti bahwa program distribusi tanah terhenti samasekali, melainkan mengalami pergeseran makna yang signi-fikan. Tanah-tanah yang dibagikan, yang pada awalnyaterutama berasal dari tanah-tanah yang terkena ketentuanlandreform—tanah kelebihan dari batas maksimum dantanah absentee—bergeser menjadi tanah-tanah yang dikuasailangsung oleh negara. Hal ini dilakukan baik dengan carapembagian tanah baik secara langsung kepada petanimaupun melalui skema-skema program seperti: transmigrasi,

Tanahpertanian yangdiredistribusi

Total tanahpertanian yang

diusahakan

Persentase tanah yangdiredistribusi terhadap total tanah

pertanian yang diusahakan

Indonesia 850.128 ha 26.000.000 ha 3%

Jawa 339.227 ha 5.800.000 ha 6%

796

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

PIR, PIR-Trans, dsb. Apabila kategori yang disebutkanterakhir ini turut diperhitungkan, maka total tanah yangtelah dibagikan di seluruh Indonesia cukup luas yaitu lebihkurang 1.159.527,273 ha. Jumlah penerima tanah seluasini adalah sebanyak 1.510.762 keluarga petani dengan rata-rata tanah yang diterima per keluarga adalah seluas 0,77 ha(lihat Tabel 2).

Tabel 2. Tanah Pertanian yang Sudah Dibagikan MelaluiSemua Skema Distribusi

No ProvinsiTanah yang

Diredistribusi,1961-2005 (ha)

Jumlah PenerimaRedistribusi, 1961-

2005 (KK)

Rata-rata LuasTanah yang

Diterima (ha)

1. ACEH 17.976,000 13.120 1,370

2. SUMUT 111.145,000 123.260 0,902

3. R I A U 9.308,000 9.079 1,025

4. SUMBAR 11.615,000 12.516 0,928

5. SUMSEL 20.254,000 22.497 0,900

6. JAMBI 10.855,620 6.868 1,581

7. BENGKULU 36.208,000 22.630 1,6008. LAMPUNG 37.116,000 59.909 0,620

9. DKI. JAKARTA 0,000 0 0,000

10. JAWA BARAT 183.614,019 426.930 0,430

11. D.I.Y. 692,000 3.447 0,201

12. JATENG 39.566,682 142.987 0,277

13. JATIM 262.936,073 261.708 1,00514. B A L I 9.854,000 17.979 0,548

15. NTB 17.668,000 9.466 1,86616. NTT 41.468,000 49.660 0,835

17. KALSEL 20.793,158 22.052 0,943

18. KALTENG 42.842,326 30.734 1,394

19. KALBAR 13.634,000 11.246 1,212

20. KALTIM 26.761,478 13.879 1,928

21. SULTENG 12.705,917 15.927 0,798

22. SULTRA 57.529,000 49.723 1,157

23. SULSEL 88.764,000 103.719 0,856

24. SULUT 5.526,000 5.145 1,074

25. MALUKU 18.697,000 9.714 1,925

26. PAPUA 2.860,000 2.117 1,351

27. BABEL 915,000 929 0,985

28. BANTEN 50.186,000 52.347 0,959

29. MALUKU UTARA 0,000 0 0,000

30. GORONTALO 8.037,000 11.174 0,719

JUMLAH 1.159.527,273 1.510.762 0,768

797

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

3. Persoalan Krusial yang Dihadapi Bangsa Indonesia

Saat Ini

Terlepas dari upaya yang telah dilakukan di atas, namunsampai saat ini struktur penguasaan tanah di Indonesiamasih amat timpang. Pelaksanaan distribusi dan redistribusitanah di masa lalu belum pernah berhasil dilakukan sebagaisebuah kebijakan yang menyeluruh dan konsisten sehinggabelum berdampak signifikan terhadap pengurangan strukturpenguasaan dan pemilikan tanah yang timpang dan tidakadil. Sebagai gambaran, saat ini ada sekitar 40% rumah-tangga pedesaan yang merupakan petani tanpa tanah. Hallain yang menyedihkan adalah: banyak petani setelah mene-rima tanah melalui program landreform terpaksa melepas-kan tanahnya kepada orang lain. Kasus ini terjadi karenakebanyakan petani, setelah diberi tanah, ternyata tetap tidakmemiliki akses kepada sumber finansial, pasar, manajemenusaha, hingga teknologi pertanian. Akibatnya, mereka tidakdapat memaksimalkan manfaat dari tanah yang dimiliki,dan melalui sistem pewarisan yang berlaku maka penguasaantanah oleh petani generasi berikutnya semakin kecil dantidak lagi mencapai skala ekonomi untuk menjalankan usa-hatani yang berkelanjutan.

Secara makro, saat ini bangsa Indonesia juga mengha-dapi permasalahan struktural yang mendasar berupa kemis-kinan, pengangguran dan ketimpangan. Data kemiskinandari BPS4 menunjukkan bahwa jumlah orang miskin di In-

4 Semua penyajian data BPS tentang kemiskinan, pengangguran dandistribusi pendapatan di sini mengutip tulisan Winoto (2007).

798

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

donesia mencapai 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen daritotal populasi Indonesia. Di kawasan perkotaan, percepatankemiskinan adalah 13,36%, sedangkan di kawasan pedesaanmencapai 21,90%. Ini menunjukkan kemiskinan palingbanyak dialami penduduk pedesaan yang umumnya petani.Dari total rakyat miskin di Indonesia, sekitar 66% beradadi pedesaan dan sekitar 56% menggantungkan hidup daripertanian. Dari seluruh penduduk miskin di pedesaan ini90% bekerja, yakni mereka bekerja keras akan tetapi tetapmiskin.

Angka pengangguran terbuka kini mencapai 11,10 jutajiwa (10,45% dari total angkatan kerja), yang tersebar dipedesaan sejumlah 5,28 juta jiwa (8,44% dari jumlahangkatan kerja di pedesaan) dan di perkotaan 5,82 juta jiwa(13,32% dari jumlah angkatan kerja di perkotaan).Sedangkan angka setengah pengangguran di Indonesiamencapai 29,92 juta jiwa (28,16%); paling banyak terdapatdi pedesaan yaitu 23,00% juta jiwa (36,76%) dan diperkotaan 6,92 juta jiwa (15,83%).

Masalah struktural lain yang tidak kalah pelik adalahproblem ketimpangan dari berbagai dimensinya. Distribusipendapatan belum tersebar merata. Indeks Gini meningkatdari 0,308 (tahun 1999) menjadi 0,329 (2002) dan menurutdata terakhir 0,363 (2005). Indeks Gini ini dihitung denganpendekatan pengeluaran; bila dihitung dengan pendekatankepemilikan aset tentu lebar kesenjangan akan lebih besarlagi. Wiradi (2006) mengemukakan rasio Gini penguasaantanah di Indonesia yang terus meningkat, dari 0,55175(tahun 1963) menjadi 0,5200 (tahun 1973), 0,54535(1983) dan 0,5938 (1993). Secara detil, tabel-tabel menge-

799

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

nai distribusi penguasaan tanah dan petani gurem berikutmenggambarkan kondisi ketimpangan penguasaan tanah diIndonesia.

Tabel 3. Distribusi Penguasaan Tanah Pertanian diIndonesia, 1963

Sumber: Wiradi (2006)

Tabel 4. Distribusi Penguasaan Tanah Pertanian di Indo-nesia, 1973-1993

Sumber: Wiradi (2006)

Tabel 5. Rasio Gini Penguasaan Tanah, 1963-1993

Sumber: Wiradi (2006)

Golongan Luas Tanah (ha)Rumahtangga Pertanian

yang Menguasai Tanah (%)Tanah yang Dikuasai (%)

0,10 – 0,25 18,80 3,01

0,25 – 0,50 24,77 8,34

0,50 – 1,00 26,52 17,30

1,00 – 2.00 18,17 22,83

2,00 – 5,00 9,19 24,75>5,00 2,55 23,76

Total 12.236.470 12.883.868

GolonganLuas

Tanah (ha)

Rumahtangga Pertanian yangMenguasai Tanah (%)

Tanah yang Dikuasai (%)

1973 1983 1993 1973 1983 1993

<0,10 3,41 7,30 8,09 0,22 0,38 0,48

0,10 – 0,19 12,48 10,37 12,27 1,86 1,48 2,02

0,20 – 0,49 29,76 26,84 28,24 9,79 8,63 10,32

0,50 – 0,99 24,73 23,43 22,19 17,10 15,77 16,95

1,00 – 1,99 18,07 18,62 16,80 23,98 24,27 24,81

2,00 – 5,00 9,42 11,18 11,04 26,55 30,80 33,57

>5,00 2,14 2,27 1,37 20,51 18,67 11,84

Total 14.373.542 17.076.016 19.713.744 14.168.192 16.841.249 17.145.036

1963 1973 1983 1993

43,57% 45,64% 44,51% 48,61%

800

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Khusus untuk desa-desa padi di Jawa, hasil penelitianSDP/SAE pada tahun 1979"1984 (dalam Erizal Jamal dkk(2002) menunjukkan bahwa kehidupan petani Jawa secaraumum semakin sulit. Dengan luas pemilikan lahan yangrata-rata hanya 0,21" 0,37 ha, petani sulit mengandalkanpendapatannya hanya dari pertanian saja. Apalagi bagisekitar 38"58% petani yang tidak bertanah. Sementara itu,akibat berbagai kebijakan yang kurang berpihak kepadapetani kecil, akumulasi tanah pada petani kaya tidak bisadihindari. Dari desa-desa yang dikaji dalam penelitian SDP/SAE ini ditemukan bahwa akumulasi tanah terdapat padasekitar 3"9% petani yang menguasai lahan sawah sekitar37"50% dari total lahan sawah yang ada. Akibatnya, IndeksGini pemilikan lahan sawah relatif tinggi yaitu sebesar0,57"0,85, di mana persentase petani yang menguasai lahankurang dari 0,25 ha berkisar 29"40%.

Kondisi ini setelah 15 tahun cenderung semakin meng-khawatirkan. Hasil penelitian PATANAS-ASEM(1995"1999) sebagaimana dikutip Erizal Jamal dkk (2002)menunjukkan bahwa jumlah petani tuna kisma mencapaihampir setengah dari total petani padi di Jawa. Pemilikantanah cenderung menyempit, sementara itu akumulasi lahanpada beberapa petani kaya tidak banyak mengalami peru-bahan, sehingga Indeks Gini pemilikan cenderung makintimpang. Hasil dua penelitian ini juga memperlihatkan bahwapersentase petani dengan luas pemilikan lahan di bawah0,25 ha kian berkurang. Setelah dicermati ternyata bagianterbesar dari petani kelompok ini telah tergeser menjadipetani tuna kisma karena tanah-tanahnya telah dilepaskankepada petani kaya.

801

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Sumber: Erizal Jamal dkk (2002)

4. Revitalisasi Kebijakan Reforma Agraria dan

Lembaga Pelaksananya

Ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yangsemakin meningkat di atas dan pengaruhnya terhadapmerebaknya angka kemiskinan dan pengangguran dipedesaan tidak terlepas dari faktor kebijakan pertanahantiga dekade terakhir ini, yang diorientasikan untuk mendu-kung kebijakan makro ekonomi nasional yang lebih menge-jar pertumbuhan ekonomi semata. Kebijakan pertanahanbukannya didasarkan atas penataan aset produksi terlebihdahulu, akan tetapi langsung diarahkan kepada upayapeningkatan produktivitas. Akibat orientasi pembangunansemacam ini, maka rakyat kecil pun semakin terpinggirkan,misalnya petani yang tadinya memiliki tanah berubah men-jadi petani penggarap dan akhirnya menjadi buruh tani(Winoto, 2005). Selain itu, ia juga telah melahirkan

Tabel 6.

802

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

berbagai persoalan keagrariaan mendasar yang mengeja-wantah dalam bentuk kerusakan sumber-sumber agraria itusendiri serta meluasnya konflik-konflik sosial terkait agraria.

Kesemua permasalahan ini pada intinya dapat dijelas-kan dari bagaimana proses peruntukan, penatagunaan danalokasi pemanfaatan dari sumber-sumber agraria yang dila-kukan pemerintah. Secara khusus bisa dicatat bahwa penga-daan sumber-sumber agraria ternyata lebih sering diperun-tukkan kepada segolongan masyarakat yang bermodal besardan untuk jenis pemanfaatan dengan skala besar. Sementaradi pihak lain, komunitas lokal seringkali justru merasadisingkirkan dan bahkan dihilangkan hak-haknya terhadappenguasaan serta pemanfaatan sumber-sumber agraria yangselama ini melekat dalam kehidupan mereka. Kebijakan pe-merintah semacam ini didasari asumsi bahwa mereka yangmemiliki modal besar diyakini akan mampu mendorongtingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang padagilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyatbanyak (trickle down effect); suatu asumsi linier dan naif yangnujumannya tidak pernah terbukti.

Dari sini bisa disimpulkan bahwa kebijakan peruntukan,penatagunaan dan alokasi pemanfaatan sumber-sumber agrariadalam rangka memfasilitasi orientasi pertumbuhan ekonomitinggi telah melahirkan hubungan asimetris di antara pihak-pihak pelaku yang berkepentingan dengan sumber-sumberagraria. Sudah barang tentu, seiring perkembangan waktudan makin langkanya tanah maka hubungan asimetris inimenjadi kian kompleks, terutama karena di dalamnyaterbentuk pula akulturasi dengan proses kapitalisasi danliberalisasi yang datang dari luar (PKA IPB, tt). Komplikasi

803

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

dari semua keadaan inilah yang menimbulkan parselisasitanah di tingkat rumahtangga petani, meningkatnya pengu-asaan tanah skala besar, konversi penggunaan tanah yangtidak terencana, tata ruang dan penatagunaan tanah yangtidak konsisten dan tumpang tindih, serta terus berlang-sungnya konflik dan sengketa tanah. Tanah semakin lamasemakin diartikan sebagai komoditas yang diletakkan dalamkerangka perburuan rente, yang tentunya hanya menjadiajang permainan para spekulan tanah. Yang dikorbankandari proses ini adalah sebagian besar masyarakat, pem-bangunan itu sendiri, maupun hal-hal mendasar bagi rakyatdan bangsa ini seperti: ketahanan pangan, infrastruktur sosialdan ekonomi masyarakat, perumahan rakyat, lingkunganhidup, dsb (Winoto, 2006).

Kesemuanya ini menghendaki dilaksanakannya reformaagraria yang merupakan kebijakan yang bertujuan mengu-rangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah (perta-nian) yang pada akhirnya akan bermuara pada pengentasankemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Denganbergulirnya reformasi pada tahun 1998, maka peluang politikuntuk menata kondisi ekonomi, sosial dan politik bangsaIndonesia, termasuk di bidang pertanahan, terbuka kembali.Pada masa ini MPR pun mengeluarkan Ketetapan MPRNomor 16/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rang-ka Demokrasi Ekonomi. Pasal 7 ayat (1) menyatakan:“Pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alamlainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilang-kan segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikandalam rangka pengembangan kemampuan usaha ekonomikecil, menengah, koperasi dan masyarakat luas.” Ketetapan

804

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

MPR ini telah mengawali konsensus dan komitmen seluruhbangsa Indonesia untuk menjalankan kembali reforma agra-ria demi mewujudkan distribusi penguasaan dan peman-faatan tanah yang adil dan dapat melahirkan kesejahteraanrakyat.

Selanjutnya MPR mengeluarkan Ketetapan Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan PengelolaanSumberdaya Alam, yang dimaksudkan untuk memberikandasar dan arah pembaruan agraria yang adil, berkelanjutandan ramah lingkungan serta untuk memastikan penguatankelembagaan untuk menanganinya. Dalam Pasal 3 Kete-tapan ini dinyatakan: “Pembaruan agraria mencakup suatuproses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataankembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan peman-faatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka ter-capainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilandan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Secara rinci, Ketetapan MPR No. IX ini memberikanmandat mengenai arah kebijakan pembaruan agraria yangtersebut dalam Pasal 5 sebagai berikut:a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai pera-

turan perundang-undangan yang berkaitan denganagraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektordemi terwujudnya peraturan perundang-undangan yangdidasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksudPasal 4 Ketetapan ini.

b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemi-likan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform)yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikantanah untuk rakyat.

805

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melaluiinventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan,penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehen-sif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengansumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligusdapat mengantisipasi potensi konflik di masa men-datang guna menjamin terlaksananya penegakan hukumdengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimanadimaksud Pasal 4 Ketetapan ini.

e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalamrangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria danmenyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengansumber daya agraria yang terjadi.

f. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaandalam melaksanakan program pembaruan agraria danpenyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yangterjadi.Sejalan dengan amanat konstitusi tersebut, Pemerin-

tahan SBY-JK sejak awal telah berkomitmen untuk melak-sanakan reforma agraria ini. Melalui pelaksanaan reformaagraria diyakini bahwa pertanahan akan dapat berkontribusisecara nyata pada perwujudan keadilan sosial, penciptaanlapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Melaluireforma agraria juga dapat dijamin kontribusi pertanahanpada proses revitalisasi pertanian, revitalisasi pedesaan, pem-bangunan perumahan rakyat, dan pembangunan infrastruk-tur serta, yang lebih kongkrit lagi, pada proses pemenuhanhak-hak dasar rakyat (Winoto, 2005).

Komitmen politik untuk melaksanakan reforma agraria

806

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

ini selanjutnya juga dikukuhkan sebagai komponen pentingdalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pem-bangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2005. Dalam UUini reforma agraria dituangkan pada Bab IV.1.5 mengenaiMewujudkan Pembangunan yang Lebih Merata dan Berke-adilan sebagai berikut: “...menerapkan sistem pengelolaanpertanahan yang efisien, efektif serta melaksanakan pene-gakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkanprinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi ...perlu dilakukan penyempurnaan penguasaan, pemilikan,penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui ... land reform.”Sebagai operasionalisasi lebih lanjut, dalam RencanaPembangunan Jangka Menengah 2004-2009, khususnyapada Bab 16, Butir C, Sub-Bab 1.7. terkait dengan “peme-nuhan hak atas tanah”, dikemukakan program-programkonkret antara lain sebagai berikut:1. Penegakan hukum pertanahan yang adil dan transparan

untuk meningkatkan kepastian hukum hak atas tanahkepada masyarakat melalui sinkronisasi peraturan per-undangan pertanahan, penyelesaian konflik danpengembangan budaya hukum;

2. Penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pe-manfaatan tanah yang berkeadilan, berkelanjutan, danmenjunjung supremasi hukum;

3. Pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria;4. Redistribusi secara selektif terhadap tanah absentia dan

perkebunan sesuai dengan UUPA;5. Pembangunan sistem pendaftaran tanah yang transparan

dan efisien termasuk pembuatan peta dasar pendaftarantanah dalam rangka percepatan pendaftaran tanah;

807

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

6. Sertifikasi massal dan murah bagi masyarakat miskindan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan danpemanfaatan tanah yang berkeadilan, berkelanjutan,dan menjunjung supremasi hukum;

7. Perlindungan tanah ulayat masyarakat adat tanpadiskriminasi gender;

8. Pembuatan forum lintas pelaku dalam penyelesaiansengketa tanah;

9. Fasilitasi partisipasi masyarakat miskin dan lembagaadat dalam perencanaan dan pelaksanaan tata ruang;Terlepas dari ketentuan legal dan komitmen politik di

atas, pelaksanaan reforma agraria mensyaratkan upayapenguatan kapasitas di lingkungan internal lembaga negarayang melaksanakannya maupun lingkungan yangmendukungnya dari tingkat pusat sampai tingkat daerahsecara sistematis dan terukur (Arifin, 2007). Dalam kaitanini Perpres No. 10 Tahun 2006 tentang Badan PertanahanNasional sebenarnya merupakan penguatan kelembagaandi dalam kerangka pelaksanaan reforma agraria tersebut.Agenda reforma agraria ini, bersama dengan pengkajian danpenanganan konflik agraria serta pemberdayaan masyarakat,merupakan tiga fungsi penting BPN di antara keseluruhan21 fungsinya dalam “melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral”.Dalam Perpres ini struktur kelembagaan BPN juga diper-kuat dengan menegaskannya sebagai instansi vertikal. Selainitu, struktur keorganisasian BPN oleh Perpres ini dikem-bangkan, termasuk dengan penambahan kedeputian baruyakni Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketadan Konflik Pertanahan.

808

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Penataan kelembagaan BPN ini selain menyangkut“perangkat keras” juga dilakukan terhadap “perangkatlunaknya”, antara lain berupa reorientasi kebijakan sebagai-mana tertuang dalam Dokumen Renstra BPN RI 2007-2009. Dalam Renstra ini dinyatakan Visi BPN-RI 2007-2009 adalah: “Menjadi lembaga yang mampu mewujudkantanah dan pertanahan untuk sebesar-besar kemakmuran rak-yat, serta keadilan dan keberlanjutan sistem kemasya-rakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia.”Sedangkan Misi BPN-RI adalah: “Mengembangkan danmenyelenggarakan politik dan kebijakan pertanahan untuk:• peningkatan kesejahteraan rakyat, penciptaan sumber-

sumber baru kemakmuran rakyat, pengurangankemiskinan dan kesenjangan pen-dapatan, sertapemantapan ketahanan pangan;

• peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebihberkeadilan dan bermartabat dalam kaitannya denganpenguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatantanah (P4T);

• perwujudan tatanan kehidupan bersama yang harmonisdengan mengatasi berbagai sengketa, konflik danperkara pertanahan di seluruh tanah air dan penataanperangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahansehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkaradi kemudian hari;

• keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dankenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanahsebagai sumber kesejahteraan masyarakat;

• Menguatkan lembaga pertanahan sesuai dengan jiwa,

809

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

semangat, prinsip dan aturan yang tertuang dalamUUPA dan aspirasi rakyat secara luas.Lebih lanjut, dengan memperhatikan tugas pokok dan

fungsi serta visi dan misi BPN di atas, maka sasaran strategisyang diharapkan akan dicapai adalah sebagai berikut:1. Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk mening-

katkan kesejahteraan rakyat, penciptaan sumber-sumberbaru kemakmuran rakyat, pengurangan kemiskinan dankesenjangan pendapatan, serta peningkatan ketahananpangan (Prosperity).

2. Pertanahan berkontribusi secara nyata dalam pening-katan tatanan kehidupan bersama yang lebih berke-adilan dan bermartabat dalam kait-annya dengan pengu-asaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah(P4T) (Equity).

3. Pertanahan berkontribusi secara nyata untuk mewujud-kan tatanan kehidupan bersama yang harmonis denganmengatasi berbagai sengketa, konflik dan perkara perta-nahan di seluruh tanah air serta melakukan penataanperangkat hukum dan sistem pengelolaan pertanahansehingga tidak melahirkan sengketa, konflik dan perkaradi kemudian hari (Social Welfare).

4. Pertanahan berkontribusi secara nyata bagi terciptanyakeberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dankenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi yang akan datang terhadap tanahsebagai sumber kesejahteraan masyarakat (Sustainabi-lity).

810

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

5. Kerangka Pelaksanaan Kebijakan Reforma Agraria5

5.1. Reforma Agraria Sebagai Bagian Strategi

Pembangunan Nasional

Presiden SBY telah menegaskan bahwa program reformaagraria akan dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2007ini. Saat menyampaikan Pidato Politik Awal Tahun 2007pada tanggal 31 Januari 2007 lalu, Presiden menyatakanarah kebijakannya mengenai pertanahan sebagai berikut:

“Program Reforma Agraria ... secara bertahap ... akan dilaksanakanmulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikantanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dantanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkanbagi rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip Tanah untukTanah untukTanah untukTanah untukTanah untukKeadilan dan Kesejahteraan RakyatKeadilan dan Kesejahteraan RakyatKeadilan dan Kesejahteraan RakyatKeadilan dan Kesejahteraan RakyatKeadilan dan Kesejahteraan Rakyat... (yang) saya anggap mutlakuntuk dilakukan.”

Dalam dokumen “Reforma Agraria: Mandat Politik,Konstitusi, dan Hukum dalam Rangka Mewujudkan Tanahuntuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat” yang diterbitkanBadan Pertanahan Nasional (2007) dinyatakan bahwa pro-gram reforma agraria ini merupakan bagian penting dariagenda pembangunan nasional yang dicanangkan PresidenSBY. Dalam rangka mengatasi problem kritikal kemiskinandan pengangguran, Presiden SBY telah menetapkan tigastrategi pembangunan yang disebut Triple Track Strategy seba-

5 Uraian pada bagian ini sebagian besar mengacu pada: Reforma Agra-ria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum dalam Rangka MewujudkanTanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat; dokumen resmi yangditerbitkan BPN RI untuk mensosialisasikan program reforma agrariayang akan dilaksanakan.

811

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

gai berikut: [1] meningkatkan pertumbuhan ekonomi melaluiinvestasi dan ekspor; [2] menggerakkan sektor riil agarsemakin tumbuh dan berkembang; [3] melaksanakanrevitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan. Strategipertama dan kedua dimaksudkan untuk memacu perekono-mian agar tumbuh lebih cepat sekaligus mengatasi masalahpengangguran. Sedangkan strategi ketiga dimaksudkan untukmengurangi masalah kemiskinan. Ada empat indikatorsasaran pembangunan yang ingin dicapai pemerintah melaluitiga strategi tersebut per 2009, yaitu: angka pengangguranterbuka menjadi 5,1%, kemiskinan 8,2%, pertumbuhan rata-rata 6,6%, dan pendapatan per kapita US$ 1.731.

Namun penerapan tiga strategi ini secara parsial menye-babkan capaian hasil-hasil pembangunan tidak saling ber-kaitan satu sama lain sehingga stabilitas di tataran makroyang sudah baik tidak mampu untuk mengatasi dua masalahkritikal pengangguran dan kemiskinan di tataran mikro.Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang sekaligusdapat menerapkan ketiga unsur triple track strategy ini. Meng-ingat kedua masalah kritikal ini berada pada tataran mikro,maka kebijakan dimaksud haruslah langsung menyentuhrakyat yang mengalami kemiskinan dan pengangguran yangsekaligus diyakini akan efektif meningkatkan pertumbuhandan memperkuat stabilitas perekonomian di tingkat makro.Kebijakan yang dipandang dapat mewujudkan semua ituadalah restrukturisasi sumber-sumber kemakmuran—terutama tanah—secara lebih adil dan lebih mampu men-jamin kesejahteraan rakyat, yaitu melalui pelaksanaanreforma agraria. Program ini, yang akan mengalokasikantanah dan layanan-layanan pendukungnya, diyakini akan

812

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

berdampak signifikan pada pengurangan kemiskinan danpenciptaan tambahan kesempatan kerja.

Untuk menciptakan dampak semacam itu, maka refor-ma agraria haruslah merupakan proses sistematis restruk-turisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan dan pemili-kan sumber-sumber agraria, terutama tanah, yang mampumenjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejah-teraan rakyat. Apabila makna ini didekomposisi, terdapatlima komponen mendasar di dalamnya yaitu:1. restrukturisasi penguasaan aset tanah ke arah pencip-

taan struktur sosial-ekonomi dan politik yang lebihberkeadilan (equity);

2. sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasis keag-rariaan (welfare);

3. penggunaan/pemanfaatan tanah dan faktor-faktorproduksi lainnya secara optimal (efficiency);

4. keberlanjutan (sustainability); dan5. penyelesaian sengketa tanah (harmony).

Dengan kata lain, pelaksanaan reforma agraria harusdiarahkan untuk bisa mewujudkan distribusi/redistribusiaset yang dimiliki negara untuk rakyat yang tidak memilikiaset atau yang asetnya tidak memadai untuk menopangkehidupannya, terutama di dalamnya adalah aset tanah danaspek-aspek agraria lainnya. Namun distribusi/redistribusiaset saja tidak cukup. Menyadari kekurangan program seru-pa di masa lalu, maka distribusi/redistribusi aset harus diser-tai dengan pengembangan akses terhadap berbagai hal yangmemungkinkan rakyat memanfaatkan aset mereka secarabaik. Hal ini antara lain mencakup akses rakyat untuk bisaberpartisipasi secara bermakna dalam kehidupan sosial dan

813

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

politik; akses pada modal, teknologi, manajemen, pendam-pingan/pembinaan, peningkatan kapasitas dan kemampuan,pasar input dan pasar output; bahkan juga penataan organi-sasi usaha serta akses-akses lain yang dibutuhkan para petaniuntuk dapat berkembang.

Atas dasar ini, maka reforma agraria yang akan dilak-sanakan oleh BPN ini didefinisikan sebagai landreform plus,yakni landreform untuk mewujudkan keadilan dalam pengu-asaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah,ditambah dengan access reform. Atau secara mudah diring-kaskan dalam rumusan sebagai berikut: Reforma Agraria= Land Reform + Access Reform (Winoto 2007). Denganpengertian yang menyeluruh semacam ini, maka pelaksa-naan reforma agraria diharapkan dapat mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut:1. menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan

penggunaan tanah ke arah yang lebih adil;2. mengurangi kemiskinan;3. menciptakan lapangan kerja;4. memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber eko-

nomi, terutama tanah;5. mengurangi sengketa dan konflik pertanahan;6. memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup;

dan7. meningkatkan ketahanan pangan.

5.2. Kerangka Operasional Pelaksanaan Kebijakan

Reforma Agraria

Program reforma agraria yang dicanangkan pemerintahini—yang disebut sebagai Program Reforma Agraria

814

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Nasional (PPAN)—direncanakan berlangsung dalam kurunwaktu tujuh tahun (2007-2014). Secara umum, pelaksanaanprogram ini akan mencakup empat lingkup kegiatan sebagaiberikut ini: [1] penetapan obyek, [2] penetapan subyek,[3] mekanisme dan delivery system untuk distribusi asettanah, dan [4] pengembangan access reform. Secara skematis,keempat lingkup kegiatan ini dapat digambarkan dalamgambar berikut.

Gambar 1. Bagan Alir Penetapan Obyek, PenetapanSubyek, Mekanisme dan Delivery System Aset Tanah, dan

Penyediaan Akses

5.2.1. Penetapan Obyek Reforma Agraria

Tanah-tanah yang ditetapkan sebagai obyek reformaagraria pada dasarnya adalah tanah negara dari berbagaisumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapatdidistribusikan kepada masyarakat. Identifikasi tanah

815

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

negara yang dapat menjadi obyek reforma agraria meru-pakan tahapan yang sangat krusial. Per definisi, tanah negaraadalah bidang-bidang tanah yang tidak dimiliki peroranganatau badan hukum dengan hak tanah tertentu yang dite-tapkan dalam UUPA dan peraturan pelaksanaannya, dandengan demikian dikuasai langsung oleh negara. Terhadaptanah semacam ini kekuasaan negara bersifat penuh danmutlak: negara sebagai “Badan Penguasa” (bukan pemilik)dapat mengatur peruntukan tanah ini dan menentukan hu-bungan hukumnya dengan seseorang atau badan hukumdengan suatu hak tertentu sesuai dengan peruntukan yangtelah ditentukan. Apabila tanah tersebut telah diberikannegara dengan suatu hak tertentu kepada perseorangan ataubadan hukum, maka dengan sendirinya kekuasaan negaratelah dibatasi oleh isi dari hak itu.

Meskipun demikian, dalam faktanya kekuasaan negaraatas tanah-tanah yang belum dipunyai oleh seseorang ataubadan hukum ini sedikit banyak dibatasi pula, misalnya olehhak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat.Bilamana menurut kenyataan masih terdapat hak-hak ulayatsedemikian ini, maka kekuasaan negara atas tanah-tanahtersebut tidak bebas sepenuhnya. Begitu juga terhadap ka-wasan hutan yang secara legal juga tanah negara, tidak bisadiberikan suatu hak tertentu sampai ia dilepaskan terlebihdulu dari status kawasan hutan (cf. Gautama, 1997). Dengandemikian, tidak semua tanah negara dapat dengan bebasdijadikan sebagai obyek reforma agraria.

Dari segi lain, dengan memperhatikan karakteristiksebaran penduduk di Indonesia, maka penyediaan tanahyang dialokasikan sebagai obyek reforma agraria juga perlu

816

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dibedakan menurut tingkat kepadatan penduduknya, yakniantara wilayah yang memiliki penduduk padat dan yangkurang padat. Mengingat makna strategis reforma agrariaini adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, pengu-asaan dan pemilikan sumber-sumber agraria, maka diper-lukan penyediaan tanah yang memadai baik dari luasannyamaupun kualitasnya guna menjamin terselenggaranyarestrukturisasi tersebut. Untuk itu, diperlukan penyediaantanah dalam jumlah luas dan berada pada wilayah-wilayahyang berpenduduk kurang padat. Di sisi yang lain, pemilihanobyek reforma agraria di wilayah yang berpenduduk padatjuga dipandang amat strategis untuk dapat menjawabpersoalan kemiskinan dan penguasaan tanah yang sempit,selain diharapkan bisa turut membantu menyelesaikan seng-keta dan konflik pertanahan yang umumnya terkonsentrasidi wilayah-wilayah yang lebih padat penduduknya.

Berdasarkan kesemuanya ini, maka persoalan menge-nai lokasi yang akan ditetapkan sebagai obyek reformaagraria haruslah ditunjuk pada tanah-tanah yang pengu-asaannya ada pada negara sepenuhnya. Apabila masih terda-pat hak-hak yang melekat pada tanah yang menjadi calonlokasi reforma agraria, atau yang haknya masih disengke-takan oleh berbagai pihak, maka hal ini harus diselesaikanterlebih dahulu sesuai dengan ketentuan yang berlaku danmelalui kesepakatan dari pihak-pihak yang terlibat. Apabiladalam faktanya tanah negara yang akan dijadikan lokasireforma agraria telah digarap oleh para petani, maka merekaini harus mendapat prioritas sebagai penerima redistribusitanah sehingga hak mereka atas tanah yang telah merekagarap selama ini dapat dikuatkan.

817

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Mengenai kategori obyek reforma agraria menurut ting-katan kepadatan penduduk, pemerintah sendiri telahmenyiapkan alokasi tanah baik untuk wilayah yang berpen-duduk kurang padat maupun yang padat. Untuk obyekreforma agraria di wilayah berpenduduk kurang padat, Presi-den SBY telah mengalokasikan tanah seluas 8,15 juta hayang berada di luar Jawa. Tanah seluas ini diidentifikasi dariareal indikatif kawasan hutan produksi konversi yang akandilepaskan statusnya sebagai kawasan hutan untuk tujuanreforma agraria ini. Sedangkan untuk obyek reforma agrariapada wilayah penduduk padat, BPN telah mengidentifikasitanah negara seluas 1,1 juta ha dari berbagai sumber yangdapat dialokasikan sebagai obyek reforma agraria. Dengandemikian, luasan keseluruhan tanah obyek reforma agrariayang dialokasikan untuk pelaksanaan program reformaagraria ini dalam periode 2007-2014 adalah seluas 9,25 jutaha. Secara rinci, penyediaan tanah bagi pelaksanaan reformaagraria ini diperoleh dari sejumlah sumber sebagai berikut:a. Tanah bekas Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,

atau Hak Pakai;b. Tanah yang terkena ketentuan konversi;c. Tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya;d. Tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan

peraturan perundang-undangan;e. Tanah obyek landreform;f. Tanah bekas obyek landreformg. Tanah timbul;h. Tanah bekas kawasan pertambangan;i. Tanah yang dihibahkan oleh pemerintah;j. Tanah tukar menukar dari dan oleh pemerintah;

818

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

k. Tanah yang dibeli oleh pemerintah;l. Tanah pelepasan Kawasan Hutan Produksi Konversi;m. Tanah bekas kawasan hutan yang pernah dilepaskan.

Tabel 7. Hubungan Antara Obyek dan Tujuan ReformaAgraria

5.2.2. Penetapan Subyek Reforma Agraria

Keberhasilan program reforma agraria selain ditentukanketersediaan tanah yang menjadi obyeknya, juga amat ter-gantung pada penentuan penerima manfaatnya (subyekreforma agraria) secara tepat. Pada prinsipnya, tanah yangdialokasikan untuk reforma agraria adalah untuk rakyat mis-kin. Kriteria miskin ini disusun secara hati-hati dan menda-lam, dengan mempertimbangkan berbagai standar

1. Menata ulang ketimpangan struktur penguasaandan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil,

2. Mengurangi kemiskinan,3. Menciptakan lapangan kerja,4. Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-

sumber ekonomi, terutama tanah,

5. Mengurangi sengketa dan konflikpertanahan,

6. Memperbaiki dan menjaga kualitaslingkungan hidup,

7. Meningkatkan ketahanan pangan danenergi rumah tangga.

819

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

kemiskinan. Penyusunan penerima manfaat akan didasarkanpada pendekatan hak-hak dasar rakyat (basic rights approach)yang merupakan hak yang universal dan dijamin oleh kon-stitusi. Dari sini diperoleh tiga variabel pokok dalam menen-tukan kriteria, yaitu kependudukan, sosial-ekonomi, danpenguasaan tanah (Winoto 2007). Dari ketiga variabel iniditetapkan kriteria umum, kriteria khusus dan urutan pri-oritas.

Gambar 2. Alur Proses Seleksi Calon Penerima Manfaat

Tahapan penentuan rakyat miskin ini mestilah dimulaidari mereka yang tinggal di dalam atau terdekat denganlokasi, baru selanjutnya dibuka kemungkinan melibatkankaum miskin dari daerah lain (termasuk dari daerahperkotaan), sejauh punya kemauan tinggi untuk mendaya-

820

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

gunakan tanah. Dalam proses seleksi dan penentuan finalnama-nama penerima manfaat ini, Pemerintah Daerahbersangkutan tentunya harus banyak berperan. Secaraumum, urutan kelompok-kelompok prioritas dalampenentuan subyek penerima dapat digambarkan dalam polasebagai berikut.

Gambar 3. Urutan Kelompok-kelompok Prioritas dalamPenentuan Subyek

5.2.3. Mekanisme dan Delivery System

Setelah obyek dan subyek reforma agraria ditetapkan,maka persoalan selanjutnya yang mendesak adalah bagai-manakah mekanisme dan delivery system reforma agraria?Pertanyaan ini penting terutama jika dihadapkan padakondisi di mana subyek agraria tidak berada dalam satulokasi dengan tanah yang tersedia (obyek eforma agraria).Kondisi semacam ini sangat mungkin terjadi karena, sepertidiketahui, kantong kemiskinan terutama berada di Jawa,kemudian di Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan. Semen-

821

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

tara sebagian besar alokasi tanah yang disiapkan untukreforma agraria justru berada di luar provinsi tersebut.

Untuk itu dikembangkan model-model alternatif ber-dasarkan letak/posisi obyek dan subyek reforma agraria.Secara garis besar mekanisme dan delivery system reformaagraria ini dapat dikelompokkan menjadi tiga model dasarberikut:1. Model I: mendekatkan obyek ke tempat subyek. Dalam

model ini, tanah dari daerah surplus tanah atau tidakpadat penduduk didekatkan ke daerah minus tanah,padat penduduknya dan dekat dengan penerima man-faat.

2. Model II: mendekatkan subyek ke tempat letak obyek.Dalam model ini calon penerima manfaat (subyek) ber-pindah secara sukarela (voluntary) ke lokasi tanah yangtersedia.

3. Model III: subyek dan obyek di satu lokasi yang sama.Model ini berlaku untuk keadaan di mana subyek danobyek berada di lokasi yang sama.

822

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Gambar 4. Mekanisme dan Delivery SystemReforma Agraria

Seperti terlihat dalam gambar di atas, ketiga model da-sar tersebut saling berkaitan erat dan merupakan siklus ter-tutup, sekaligus mempunyai manfaat sesuai dengan tujuanreforma dan prinsip-prinsip pengelolaan pertanahan, yaituantara lain:1. Menyerap calon penerima manfaat sekaligus tenaga

kerja yang mau berpindah ke lokasi tanah yang tersedia,untuk bekerja dan menerima tanah, dengan membangunkegiatan usaha yang sesuai.

2. Menyediakan tanah bagi calon penerima manfaat yangtidak ingin pindah ke tempat lain yang jauh.

3. Menyelesaikan konflik-konflik pertanahan yang seba-gian besar berada di daerah-daerah yang berpendudukpadat dan ketersediaan tanahnya sangat terbatas.

823

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

5.2.4. Pengembangan Access Reform

Setelah tanah dibagikan, kepastian keberlanjutan man-faat yang diterima oleh subyek reforma agraria memerlukanpengembangan access reform dalam arti luas secara tepat.Access reform dilakukan guna mengoptimalkan pengusahaanobyek reforma agraria oleh penerima manfaat (subyekreforma agraria).

Pada pokoknya, access reform ini merupakan rangkaianaktivitas yang saling terkait dan berkesinambungan yangmeliputi antara lain: (a) penyediaan infrastruktur dan saranaproduksi, (b) pembinaan dan bimbingan teknis kepadapenerima manfaat, (c) dukungan permodalan, (d) dukungandistribusi pemasaran serta dukungan lainnya. Pengelolaanaccess reform dapat dikembangkan dalam berbagai alternatifmodel, namun struktur dasarnya kurang lebih mengikutimodel sebagai berikut.

Gambar 5. Model Access Reform

Dalam rangka pengembangan access reform ini penerimamanfaat dapat memilih alternatif untuk mengelola tanah

824

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

secara perorangan atau membentuk usaha bersama ataupunkelompok tani. Apabila membentuk kelompok tani makaperlu dilakukan penggabungan tanah untuk kegiatan usahabersama tertentu. Selanjutnya kelompok tani tersebut,bersama dengan Pemerintah Daerah/BUMD dan badanusaha lain/penanam modal, dapat membentuk badan usahapatungan misalnya di bidang perkebunan. Untuk mendu-kung usaha patungan ini, Bank atau lembaga keuanganlainnya diharapkan dapat memberikan dukungan permo-dalan.

Selain model di atas, petani penerima manfaat juga da-pat memilih opsi lain yaitu membentuk sebuah badan usahamilik petani (BUMP) yang pembentukannya difasilitasioleh Pemerintah/Pemerintah Daerah guna mengoptimalkanpengusahaan tanahnya. BUMP ini dapat juga terlibat dalamproses produksi turunan dari kegiatan produksi badan usahapatungan. BUMP ini merupakan salah satu model dari ac-cess reform yang sedang dikembangkan oleh berbagai pegiatpembangunan pedesaan. Dalam model BUMP ini, kontri-busi petani penerima manfaat dapat dikelompokkan kedalam tiga kemungkinan pilihan, yaitu sebagai penyediatenaga kerja terutama apabila tidak memiliki tanah, sebagaipemilik saham apabila mereka berkeinginan menjadikantanahnya sebagai aset modal dalam proses produksi kegiatanBUMP, dan sebagai pemilik tanah jika mereka lebih memilihmengelola tanahnya sendiri di dalam BUMP. Selanjutnyaterhadap tanah-tanah tersebut dapat dikembangkan usaha-usaha produktif yang dapat menunjang dan meningkatkanperekonomian petani, di samping fasilitas pengelolaan usahadalam aneka bentuknya.

825

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

6. Penutup: Beberapa Isu Kunci untuk Keberhasilan

Reforma Agraria

Menyadari bahwa program reforma agraria merupakanrangkaian kegiatan yang sangat kompleks dan pelik, makapelaksanaan program ini agar dapat berhasil baik harusdidasarkan pada konsep pentahapan yang jelas. Konseppentahapan ini perlu direncanakan dengan cermat dan terinciagar proses pembaruan terkelola baik dan mencapai tujuanyang diharapkan. Selain itu, supaya semua rangkaian ke-giatan reforma agraria dapat berjalan lancar di berbagaitataran, maka juga penting untuk menentukan distribusiperan antar berbagai level pemerintahan maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan (Prosterman et al, 2007).

Lebih lanjut, Prosterman et al (2007) menyebut enamtahapan yang sangat krusial dalam pelaksanaan reformaagraria yang prosedur, mekanisme dan peran berbagai pihakdi dalamnya harus didefinisikan secara jelas. Keenamtahapan itu adalah sebagai berikut:1. Tahap identifikasi tanah-tanah dan memperkirakan

jumlah penerima manfaat di level provinsi dan kabu-paten.

2. Tahap identifikasi desa-desa yang terkait dengan masing-masing obyek reforma agraria.

3. Tahap penentuan jumlah keluarga yang akan menerimatanah, rata-rata ukuran bidang tanah yang dialokasikan,serta keluarga mana yang bakal menerima.

4. Tahap mengorganisir keluarga-keluarga yang akanberpartisipasi dalam pelaksanaan reforma agraria.

5. Tahap alokasi tanah untuk para keluarga sasaran, mengu-atkan hak mereka atas tanah, dan mendaftarkan haknya.

826

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

6. Tahap pemberdayaan terhadap keluarga-keluarga pene-rima tanah.Dalam perspektif lintas negara, Jacobs dan Brenda

(2001) mengemukakan beberapa pelajaran penting untukkeberhasilan program reforma agraria, yaitu di antaranya:1. Keberhasilan program reforma agraria mebutuhkan

tingkat kemauan politik yang tinggi dan konsistensidalam kerja-kerja politik dan administratif.

2. Reforma agraria sangat tergantung kepada wilayah dannegara; ia merupakan fungsi dari budaya, sejarah, ke-rangka legal. Tidak ada formula yang mudah atau dapatdijiplak mengenai bagaimana pendekatan pembaruanagraria yang akan dilakukan. (Keragaman semacam inijuga meniscayakan pentingnya fleksibilitas dan adap-tabilitas yang tinggi untuk konteks keragaman antardaerah yang ada di Indonesia.)

3. Keberhasilan reforma agraria mensyaratkan transparansidan partisipasi yang luas, yang dengan sendirinya mem-butuhkan suatu proses implementasi dengan mekanismeresolusi sengketa yang efektif dan tidak dapat diganggugugat.

5. Keberhasilan dalam reforma agraria juga membutuhkanketerbukaan untuk mengadopsi beragam bentuk hakpenguasaan. (Termasuk penguasaan komunal yang masihbanyak berlaku pada sejumlah komunitas di Indonesia).

6. Program reforma agraria juga harus sangat antisipatifterhadap konsekuensi-konsekuensi yang tak dike-hendaki dari perencanaan kebijakan dan pembaruan.Di luar itu, keberhasilan pelaksanaan reforma agraria

juga memerlukan kelembagaan yang tangguh guna dapat

827

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

menyelenggarakan fungsi perencanaan, perumusankebijakan, pelaksanaan dan pengendalian rangkaian ke-giatan reforma agraria. Keberadaan lembaga semacam iniperlu diperkuat dengan landasan hukum sehingga lembagaini mampu melaksanakan sejumlah agenda-agenda strategis,mulai dari tingkat penyusunan kebijakan dan koordinasisampai dengan tingkat pelaksanaannya. Lembaga ini jugaharus dipimpin langsung oleh Presiden sehingga dapatberjalan efektif dan mampu menangkal berbagai intervensiyang akan muncul sehubungan dengan proses distribusi,mengingat banyak kepentingan politik dan perilaku rent seek-ing yang akan mengerubungi kebijakan-kebijakan yangbersifat populis semacam ini.

Kesemuanya ini merupakan isu penting dan krusial yangperlu diperhatikan dalam semua proses pelaksanaan reformaagraria. Mengingat Indonesia baru akan memulai kembaliprogram yang mencakup serangkaian kegiatan yang amatpelik dan kompleks ini, maka menjadi langkah strategis un-tuk memulainya dalam situasi yang “lebih mudah”, mengu-jicoba dan mencapai kesuksesan dari proses itu, dan barusetelahnya beranjak lebih lanjut dari kisah sukses itu untukmenjalankannya secara lebih luas dan pada situasi yang lebihkompleks. Uji coba semacam ini juga harus disadari menge-nai konteks utama yang menjadi arena pelaksanaannya,yaitu kian meluasnya tuntutan atas terselenggaranya tatapemerintahan yang baik dan partisipatif, serta konteks In-donesia yang terdesentralisasi.

Untuk itulah dibutuhkan adanya dialog kebijakan yangintens pada berbagai tingkatan sepanjang rangkaian kegiatanreforma agraria. Melalui proses semacam ini diharapkan

828

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

dapat dibangun kapasitas pemerintah untuk mengkoordi-nasikan dan melaksanakan kebijakan reforma agraria mela-lui proses yang konsultatif dan partisipatif, sekaligus denganproses itu dapat dikembangkan distribusi peran antar berba-gai sektor dan level pemerintahan, maupun pihak-pihak lainyang terkait dan berkepentingan (masyarakat sipil, orga-nisasi tani, swasta).6

Sejauh mana sinergi semacam ini dapat diwujudkan,hal itulah yang turut menentukan conditions for success bagipelaksanaan program populis ini, baik terkait mekanismeimplementasinya maupun kaitan dan dampaknya padakebijakan makro dan proses pembangunan yang lebih luas.[]

6 Lihat Lampiran untuk ilustrasi mengenai aspek-aspek kebijakanreforma agraria dan tahap-tahap kritikal di mana sinergi antar sektor danlevel pemerintah serta partisipasi luas dari serikat-serikat tani amatlahdibutuhkan untuk pelaksanaan reforma agraria yang berhasil.

829

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Lampiran

Berbagai Aspek Kebijakan Reforma Agraria

Gambar di atas secara skematis memperlihatkan aspek-aspek terkait dari kebijakan reforma agraria, mulai dari pe-nentuan obyek dan subyek, pelaksanaan model-model as-set reform yang tepat, dan pengembangan berbagai dukunganaccess reform yang dibutuhkan.

Semua tanda panah putus-putus yang diberi tanda tanyapada gambar di atas menunjukkan proses-proses pelaksa-naan reforma agraria yang amat genting di mana pembelokanagenda reform dapat terjadi. Untuk itu, dalam gambar ter-sebut ditunjukkan pentingnya penyelenggara kebijakanreforma agraria untuk melakukan koordinasi dan sinergiantar sektor dan level pemerintah, serta di sisi lain memberiruang yang besar bagi partisipasi dari masyarakat khususnyaserikat-serikat tani.

830

Aspek Keadilan dalam Reforma AgrariaRobertus Robet (Perhimpunan Pendidikan

Demokrasi)

831

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

832

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

833

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

834

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

835

836

Momentum Baru Reforma AgrariaOleh Usep Setiawan*

Realisasi reforma agraria kini menemukan momentumbaru. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakanakan memulainya tahun 2007.

Presiden beberapa waktu lalu menyebutkan, programreforma agraria, yakni pendistribusian bertahap tanah untukrakyat, dilaksanakan mulai 2007. Dialokasikan tanah bagirakyat termiskin dari hutan konvesi dan tanah lain yangmenurut hukum pertanahan di Indonesia boleh diperun-tukan bagi kepentingan rakyat. Presiden menyebutnyasebagai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraanrakyat (Kompas, 12/2/2007). Rencana besar ini patut diap-resiasi dan menuntut persiapan matang.

Batang terendam

Sebelumnya, Kepala Badan Pertanahan Nasional JoyoWinoto menegaskan, pemerintah akan melaksanakan

Penulis adalah Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria(KPA). [Sumber Tulisan: KOMPAS, 23 Februari 2007]

837

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

reforma agraria pada 2007 hingga 2014. Untuk tahap awal,pemerintah mengalokasikan 8,15 juta hektar tanah untukdiredistribusi.

Disebutkan, tanah yang akan dibagikan berasal darilahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar, tanahmilik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanahbekas swapraja.

Reforma agraria dimaksudkan untuk memberi rakyatakses atas tanah sebagai sumber ekonomi, mengatasisengketa, dan konflik pertanahan. Pemberian tanah bagikeluarga miskin diharapkan meningkatkan taraf hidup mere-ka (Kompas, 13/12/2006).

Riwayat pembaruan (reforma) agraria di Indonesiapanjang berliku. Sejak merdeka, reforma agraria telahmengisi benak Bung Karno yang lalu meluncurkan gagasanland reform sebagai inti reforma agraria.

Pertengahan tahun 1960 land reform dipraktikkan. Saatitu land reform bertujuan menumpas ketimpangan pengu-asaan tanah sisa feodalisme dan kolonialisme. Masa ke-emasan raja-raja pribumi dan penjajah asing pra-Indonesiadalam penguasaan tanah-air di Nusantara coba dikikis.Tanah-tanah yang kepemilikannya melewati batas maksi-mum dan dikuasai di luar ketentuan Undang- UndangPokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) dijadikanobjek land reform.

Sayang, land reform yang menurut Bung Karno “bagianmutlak revolusi kita” ternyata ternoda konflik vertikal danhorizontal. Kericuhan sosial dipengaruhi polarisasi ideologis-politis massa rakyat yang terkotak-kotak bingkai ideologidan partisan. Kelompok “kiri” pendukung land reform bersi-

838

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

tegang dengan “kanan” penolak land reform. Stabilitas poli-tik nasional terguncang.

Pada era Bung Karno, land reform yang baru dimulaiterhenti akibat pergantian rezim. Kolaborasi kepentinganelite dalam negeri dengan kekuatan asing anti-reform meng-ganjal land reform. Jika Soekarno menganut politik agrariapro-rakyat kecil, Soeharto pro-modal besar.

Sepanjang 30 tahun Orde Baru, land reform tak hanyadiabaikan, tetapi dimusuhi, ide maupun penganut-pengan-jurnya. Kini, Presiden Yudhoyono membangkitkan “batangyang terendam”.

Kematangan bersama

Perlu pengkajian pengalaman mempraktikkan land re-form pada masa lampau dan menjadikannya pelajaranberharga. Kita kenali cita-cita pendiri bangsa sambil mem-bedah ulang bentuk dan model reforma agraria, agar tidakterjerembap ke lubang kekeliruan yang sama.

Kita harus berangkat dari kesadaran reforma agrariasebagai keniscayaan bagi bangsa. Karena itu, birokrasi danmasyarakat perlu disiapkan paralel terintegrasi. Perlukeuletan kerja dan komunikasi intensif semua pihak. Kha-layak luas diberi pengertian utuh-jernih mengenai agendaini. Salah pengertian dan gesekan yang tak perlu antar-komponen masyarakat dan masyarakat-pemerintah harusdicegah.

Mustahil reforma agraria dapat dijalankan seorang pre-siden, satu-dua pejabat, maupun tiga-empat instansi. Refor-ma agraria ialah panggilan mendesak bagi segenap anakbangsa. Pejabat dan instansi pemerintah yang terkait urusan

839

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

tanah dan kekayaan alam harus bekerja keras, tepat, cepat.Ketegasan dan konsistensi presiden memang wajib.

Namun, juga harus dipastikan para gubernur, bupati/walikota, dan pemerintahan daerah menggulirkan agendareforma agraria.

Arah, prinsip, tujuan, dan garis besar program reformaagraria perlu ditetapkan pemerintah pusat sebagai guide-line. Kekhasan model implementasi reforma agraria didaerah tetap diakomodasi. Perbedaan teknis sejatinya keka-yaan kebhinekaan bangsa.

Agar pembaruan agraria berhasil, jajaran pemerintahanmesti tahu, mau, dan mampu menjawab akar problem agra-ria. Keikutsertaan rakyat melalui organisasi yang sejati perluditumbuhkembangkan. Tanpa kematangan pemerintah danrakyat, reforma agraria terancam menyimpang dari tujuandan gagal sasaran.

Setelah pidato pada awal tahun diucapkan, kini publikmenanti langkah nyata Presiden dan jajarannya. Waktunyatidak lama, Detik sekarang hingga Pemilu 2009 ialah per-taruhan menyiapkan (memulai) reforma agraria secara lebihmatang.

Kemauan Presiden memulai reforma agraria adalah mo-mentum baru yang harus dioptimalkan. Kita tak tahu kapanmomentum berulang. Begitu momentum menguap, mimpireforma agraria patut digantungkan kembali di bibirlangit.***

840

FA J A R R E F O R M A A G R A R I AD I I N D O N E S I A ?

D A R I A G E N D A P E T A N I K E A G E N D A B A N G S A

D is am pa ik an p ad a ac a r a

Re f l ek s i A kh i r Ta hun Ko ns o r s i um Pe mb ar ua n Ag ra r i a ,

Ja ka r t a 27 D es em be r 20 07

NOER FAUZI1

Sejak mula saya harus terang-benderang menunjukkan bahwa tempat berangkat dan carapandang refleksi ini berpinjak dari pengalaman kerja-kerja dalam gerakan-gerakan sosial,organisasi-organisasi non-pemerintah dan kemudian dunia akademis dimana saya sekarangbercokol. Penegasan ini sangatlah membantu, sebab dalam ilmu sosial dan humaniora, tidakdapat dibenarkan ada klaim bahwa penceritaan suatu karya – baik dengan klaim ilmiah, essayfilosofis, observasi sekilas, maupun fiksi – adalah bebas dari pengaruh dari posisi-posisi sipembuatnya. Bila ada klaim bahwa narasi ilmu sosial dan humaniora itu bebas-posisi alias netral,maka yang musti diselidiki adalah bukan benar salahnya klaim tersebut, karena akan sia-sia dantak berkesudahan, melainkan dalam kondisi apa dan bagaimana klaim itu disebarluaskan dankemudian dianut oleh komunitas tertentu, dan kemudian kepentingan apa yang diemban olehpengetahuan dan penyebar-penganut pengetahuan tersebut.

Pentingnya posisi dan kesadaran akan posisi (positionality) mempengaruhi isi dan carapengetahuan disajikan telah disadari oleh sejumlah penulis kalangan antropologi refleksif,

1 Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria 1995-2002, Kordinator Dewan Pakar Konsorsium PembaruanAgraria 2002-2005. PhD Candidate di University of California – Berkeley, Department Environmental Science, Policy andManagement (ESPM).

841

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

sosiologi ilmu, dan feminis di tengah tahun 1980-an (misalnya Clifford dan Marcus 1986;Haraway 1988; Hartsock 1987). Argumen utama yang mereka kemukakan adalah bahwa semuapengetahuan akademik, juga pengetahuan lainnya, senantiasa bergantung situasi (are alwayssituated), dan selalu dihasilkan oleh pelaku yang berposisi tertentu (are always produced bypositioned actors), yang bekerja di dalam berbagai hubungan sosial dan di antara berbagai posisilain yang dihadapinya. Semua inilah yang membuat satu pengetahuan yang satu berbeda denganpengetahuan lainnya, sebagai akibat dari proses pembuatannya (dilakukan oleh siapa, bagaimanadan juga untuk siapa bentuk akhir pengetahuan itu mau disajikan). Justru kesadaran danpengakuan bahwa pengetahuan yang dihasilkan senantiasa bersifat kontekstual dan relasionalinilah yang kemudian dinilai lebih jujur, meyakinkan dan memberdayakan para pembaca danpeneliti lainnya untuk melihat hubungan-hubungan baru yang sering tidak terduga, termasukyang memberi kemungkinan untuk aksi-aksi kolektif yang baru pula (Cook 2005).

Kebangkitan Agenda Reforma Agraria di Badan Dunia, Negara dan OrganisasiGerakan Sosial

Pada jaman kiwari, akses pada tanah dan agenda mengubah struktur agraria – yang biasadikenal dengan istilah reforma agraria (bahasa spanyol), atau dikenal juga dengan nama agrarian

reform (bahasa Inggeris) atau pembaruan agraria (bahasa Indonesia) – telah kembali menjadisalah satu pokok bahasan terdepan dari agenda pembangunan dari berbagai badan internasional,negara dan organisasi gerakan sosial pedesaan di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Kebangkitanitu diiringi pula oleh beragam cara pandang untuk memahami, menganalisas dan merancangjalannya reforma agraria (Putzel 2000, Ghimire 2001, FAO 2001, Prosterman and Hanstaad2001, Ghonemy 2003, Cox et al 2003, Moyo and Yeros 2005b, Cauville and Patel 2006, Quan2006, Borras et al 2006, and Cousin 2007).

Pertama, kegagalan global teori dan praktek neoliberalisme sepanjang 25 tahun, semenjakdilancarkannya apa yang diistilahkan dengan SAP (Structural Adjustment Program) atau ProgramPenyesuaian Struktural, yang diberlakukan secara menyeluruh dalam suatu negara maupun yangkhusus pada sektor pertanian. Apa yang dimaksud dengan SAP itu adalah serangkai paketkebijakan IMF dan Bank Dunia yang dimulai tahun 1980-an untuk menghadapi krisis hutangyang dialami oleh negara-negara sedang berkembang di Amerika Latin, Asia, dan Afrika. Paketkebijakan itu dapat dibedakan menjadi dua: stabilisasi dan kebijakan-kebijakan penyesuaianstruktural. Sebagaimana diurai Rita Abrahamsen, ”Stabilisasi didorong oleh IMF dan umumnyaberjangka pendek serta dirancang untuk segera mempunyai dampak pada nota anggaran negaramelalui kebijakan-kebijakan seperti devaluasi, deflasi, serta kontrol moneter dan fiskal. Program-program ini, diharapkan mengurangi pendapatan riil sehingga dapat menekan permintaandomestik baik terhadap barang-barang import maupun eksport. Meskipun program-programstabilisasi memusatkan perhatian pada pengendalian permintaan, namun kebijakan-kebijakanpenyesuaian struktural ditujukan pada sisi suplai ekonomi. Sementara itu, tindakan-tindakanpenyesuaian struktural dikelola oleh Bank Dunia dan berusaha mengatasi persoalankeseimbangan pembayaran dengan meningkatkan produksi ekspor. Program-program iniumumnya lebih berjangka-panjang serta berupaya meningkatkan produktifitas dan efisiensi,mengubah sumberdaya menjadi proyek-proyek yang produktif, dari sektor yang tidak dapatdiperdagangkan menjadi sektor yang dapat diperdagangkan” (Abrahamsen, 2003:65-66). Akibatdari SAP ini adalah liberalisasi ekonomi, dimana peran-negara secara drastis telah direduksimelalui pengurangan-pengurangan pengeluaran publik, privatisasi kegiatan-kegiatan sektor

842

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

publik, serta penghapusan kontrol atas impor, ekspor dan devisa.

Kedua, sepanjang periode yang sama, bangkitnya kembali suatu generasi baru gerakan-gerakansosial pedesaan. Dengan sangat menyadari perbedaan asal-usul dan cara bagaimana gerakan-gerakan itu menampilkan dirinya, titik berangkat pemahaman kita dapat dimulai dari kerangkabesar proses penghilangan dunia pedesaan, agraria dan petani (deruralization, deagrarianization and

depesasantization processes), yang dilakukan melalui bentuk-bentuk urbanisasi yang umum, danmasuknya perkebunan-perkebunan skala raksasa, perusahaan ekstraksi sumber daya alam(tambang, hutan, dll), industri manufaktur, perluasan kawasan industri dan permukiman, danlainnya, ke pedesaan. Araghi mengemukakan istilah global depeasantisation untuk gejala“meningkatnya jumlah orang yang tadinya terlibat dalam pertanian … dalam waktu yang cepatdan dalam jumlah besar-besaran menjadi terkonsentrasi di wilayah perkotaan” (1995:338).Seperti yang dilaporkan World Population Prospects (1988), di negara-negara Asia, Afrika danAmerika Latin – yang pada dalam konteks perang dingin diistilahkan “Dunia Ketiga” –penduduk yang hidup di kota mencapai 41 persen di tahun 2000, melonjak cepat dari 16 persendi tahun 1950 (Araghi 1995). Sejarawan kondang Hobsbawm adalah penyuara dari golonganyang menganggap petani akan lenyap, seperti yang ditulisnya dalam karya klasik Age of Extremes

bahwa “… perubahan yang sangat dramatis dari paruh kedua abad ini, dan sesuatu yangmemutus hubungan kita dari dunia masa lalu, adalah the death of the peasantry, kematian petani(yang merupakan mayoritas penduduk manusia sepanjang sejarah yang diketahui)(Hobsbawm,1994: 288-9, 415). Kenyataan ini diperparah oleh ”penerapan kebijakan-kebijakanpenyesuaian struktural (structural adjustment policies) dan liberalisasi pasar skala dunia akan terusmemberi akibat pemusnahan (dissolving effect) kehidupan petani” (Bryceson dkk 2000: 29),sebagai mana yang ditunjukkan oleh penelitian-penelitian perubahan agraria di Asia, Afrika danAmerika Latin di akhir abad 20.

Ketiga, adalah suatu faktor kesempatan politik yang terbuka, yang memungkinkan diangkutnyaagenda akses atas tanah ke dalam arena-arena pembuatan kebijakan publik di tingkat lokal,nasional dan global. Perubahan struktur kesempatan politik memberi sinyal dan peluang bagiangkai aksi kolektif tertentu. Tentunya, tiap-tiap aksi kolektif tertentu niscaya menghadapistruktur kesempatan politik yang tertentu pula. Adalah tidak mungkin menggeneralisir strukturkesempatan politik yang dihadapi setiap aksi dari gerakan tertentu. Namun, memang adaperubahan politik utama yang dihadapi oleh masing-masing gerakan pedesaan. Secara umumpada skala nasional, kesempatan politik bagi aksi-aksi kolektif dan perjalanan gerakan sosialdapat dibuka oleh tumbangnya rejim apartheid, transisi dari rejim otoritarian atau komunis, danadanya berbagai partai politik yang membutuhkan legitimasi dan dukungan mayoritas pendudukpedesaan. Sedangkan pada tingkat global, kesempatan politik itu dapat dibuka melaluiperubahan kepemimpinan, kebijakan, orientasi teori dan agenda pembangunan badan-badaninternasional.

Penyelidikan atas pemanfaatan kesempatan-kesempatan politik yang tersedia itu, diketahuibahwa bentuk umum dari aksi-aksi kolektif dari gerakan pedesaan saat ini berbeda nyata denganyang dilakukan gerakan-gerakan yang berkembang di masa kolonial maupun di masa ketika landreform berjaya di tahun 1960an-1970-an. Petras (1998), yang menuliskan bahwa ”Gerakan-gerakan petani kontemporer tidak dapat dibandingkan dengan gerakan-gerakan yang terdahulu,yang tidak juga cocok dengan pandangan umum mengenai para petani yang tidak kemana-mana,buta huruf dan tradisional yang berjuang demi “tanah untuk penggarap.” Webster (Webster,

843

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

2004:2) menguatkan ”Dapat dipastikan adanya perbedaan yang nyata dengan karakter gerakan-gerakan sosial pedesaan yang dahulu bertumbuhan mulai awal tujuh dekade pertama abad 20dan seterusnya, baik perubahan bentuk organisasinya, bentuk mobilisasinya, gagasan perjuanganyang disuarakannya, hingga bentuk aksi yang dilancarkannya.”

Publikasi Akademik yang Mengiringi Kebangkitan Agenda Reforma Agraria

Di publikasi akademik di awal abad 21 ini, pokok bahasan seputar akses pada tanah danreforma agraria kembali tampil berupa buku maupun artikel dalam jurnal-jurnal ilmiah. Sekedarsebagai ilustrasi, di awali di tahun 2001, terbit naskah di bawah bendera the UN World Institutefor Development Economics Research (WIDER) berjudul Access to Land, Rural Poverty and Public

Action (de Janvry et al. 2001). Naskah ini mendiskusikan panjang lebar seluk-beluk betapapentingnya akses atas tanah dan kebijakan dan tindakan publik untuk memerangi kemiskinan dipedesaan. Buku kumpulan tulisan ini juga menghadirkan evaluasi terhadap dua bentuk landreform, yakni State-led Land Reform dan untuk sebagian menghadirkan Grassroot-Initiatiated Land

Reform. Namun, pada intinya buku itu adalah promosi mengenai tak tergantikannya peran pasardalam meningkatkan akses orang miskin terhadap tanah, dan perlunya pemerintah mengadopsiMarket-assisted Land Reform. Jelas-jelas promosi pendekatan pasar ini dielaborasi dalam bukuLand Policies for Growth and Poverty Reduction. World Bank Policy Research Report. Walaupun buku inidinyatakan sebagai karya karya Klaus Deininger (2003), namun lebih jauh buku ini merupakan“pegangan ideologis” dari the WB’s Thematic Group on Land Policy and Administration(sering disebut secara singkat sebagai The Land Thematic Group), yang mengarahkan proyek-proyek land reform dan manajemen dan administrasi pertanahannya Bank Dunia, dan badan-badan pembangunan internasional lainnya.

Pendekatan pasar ini memperoleh tantangan dari IFAD (International Fund forAgricultural Development) yang mengeluarkan IFAD Poverty Report 2001: The Challenge of Ending

Rural Poverty,yang secara eksplisit menghidupkan kembali keunggulan usaha pertanian skalakecil, dan redistribusi tanah skala besar dalam strategi mengurangi kemiskinan di pedesaansecara drastis. Yang memimpin penulis laporan IFAD tersebut adalah Michael Lipton, yangtelah terkenal sebagai tokoh pendekatan neo-populis dalam pembangunan pedesaan (Lipton1977) dan juga khususnya berjasa dalam teorisasi land reform ketika agenda ini sedang jaya-jayanya di badan-badan pembangunan interansional dan negara-negara berkembang di akhirtahun 1970an (Lipton 1974). Laporan tersebut segera dikuatkan oleh artikel panjang dari K.Griffin, A.R. Khan and A. Ickowitz, (2002) “Poverty and Distribution of Land” dalam Journal of

Agrarian Change No. 2(3), yang untuk kembali menghidupkan argumen tentang kebijakan danpraktek urban bias yang memelihara kemiskinan, dan pentingnya land reform sebagai strategimemeranginya.

Sebagai tanggapan atas artikel ini, dan buku Access to Land di atas, Bernstein (2002)“Land Reform: Taking A Long(er) View” dalam Journal of Agrarian Change 2002 No. 2(4)mengedepankan suatu kritik yang tajam berangkat dari pandangan strukturalis Marxis baikterhadap pendekatan pasar maupun neo-populis. Selanjutnya, Byres (2004) menyunting artikel-artikel yang mengelaborasi lebih lanjut pandangan Marxis strukturalis ini dalam Journal of

Agrarian Change 2004 No. 4 (1&2) dan mengkritik argumen utama pendekatan neo-populisdengan basis contoh-contoh empiris, yang kemudian ditanggapi balik oleh Griffin, A.R. Khanand A. Ickowitz (2004) dalam karya “In Defence of Neo-Classical Neo-Populism” dalam Journal

of Agrarian Change 2004 no 4(3).

844

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Keseluruhan naskah yang disebut di atas sekarang ini merupakan naskah-naskah wajibbagi para pelajar kebangkitan agenda land reform. Setahun kemudian, terbit pula bukusuntingan Sam Moyo and Paris Yeros (2005) Reclaiming the Land: The Resurgence of Rural Movements

in Africa, Asia and Latin America, yang mengkoleksi artikel-artikel tentang politik perjuangantanah dari berbagai belahan negara Afrika, Asia and Latin America. Argumen utama dari parapenulis ini memperoleh tanggapan kritis dari Ben Cousin (2006) “Debating the Politics of LandOccupations” dalam Journal of Agrarian Change No. 6(4). Selanjutnya UNDP (the United NationsDevelopment Programme) membiayai dan kemudian menerbitkan studi yang berjudul Land,

Livelihoods and Poverty in an Era of Globalization: Perspectives from Developing and Transition Countries

yang disunting oleh A. Haroon Akram-Lodhi, Saturnino M. Borras Jr, Cristóbal Kay (2007),dan yang terakhir adalah karya-karya tulis yang bermutu tinggi dari suatu lingkaran aktivis yangtergabung dalam LRAN (Land Research Action Network) yang sepanjang tiga tahun pergulatanadvokasi kebijakan nasional dan global pada “Agrarian Reform and Food Sovereignty”: Promised

Land: Competing Visions of Agrarian Reform, yang disunting oleh Peter Rosset,Raj Patel,MichaelCourville (2007).

Sekelumit karya akademik yang diulas di atas, dimaksudkan untuk menunjukkankecenderungan global dan rangkai karya akademik yang mendebatkan agenda reforma agrariadari berbagai sudut pandang, dan menghantar pada suatu niat pokok untuk meninjau fajar (?)agenda reforma agraria di Indonesia saat ini. Dalam suasana demikian itu lah refleksi darikemelut-kemelut keagrariaan saat ini dilakukan. Pesan refleksi utama yang hendak secara tegasdisampaikan disini adalah reforma agraria pada dasarnya adalah bukan sekedar agendanyapetani, tapi lebih dari itu adalah agenda kebangsaan. Saat ini sedang kita cari adalah carabagaimana agenda bangsa itu bekerja di atas alas kemelut kelembagaan dan perjuangan kongkritrakyat untuk mempunyai dan menggarap tanah, dan mengelola kekayaan alam dengan aman dannyaman.

Perjalanan Panjang Berliku Reforma Agraria di Indonesia

Di dalam sejarah Indonesia sendiri, agenda Reforma Agraria memiliki perjalanan yangpanjang, berjalinan dengan pembentukan bangsa dan negara. Elan kebangsaan yang dahulutumbuh dan ditumbuhkan dari alas pengalaman penderitaan kolektif di bawah imperialisme dankolonialisme itu, telah menjadi dasar bagi dijalankannya program-program reforma agraria diawal masa dekolonisasi, seperti penghapusan hak istimewa desa-desa perdikan di Banyumas(UU No. 13/1946), penghapusan hak conversie, hak istemewa sekitar 40 perusahaan tebu diSurakarta dan Yogyakarta untuk peroleh tanah dan tenaga kerja (UU Darurat No. 13/1948),legalisasi pemakaian tanah-tanah perkebunan oleh rakyat (UU Darurat No. 8/1954), danpelarangan tanah-tanah partikelir (UU No. 1/1958). Elan kebangsaan itulah yang tidakmengizinkan berlangsungnya struktur agraria yang eksploitatif dan organisasi “negara dalamnegara” yang berjalinan langsung dengan penderitaan kaum tani di desa-desa perdikan, kawasanvostenlanden dan tanah-tanah pertikelir itu. Elan kebangsaan dan penderitaan kaum petani ini jualah yang mendasari pembentukan panitia negara untuk menyusun undang-undang agrarianasional (melalui Surat Penetapan Presiden No 16/1948), yang selama 12 tahun melalui banyaklika-liku dan pada gilirannya menjadi apa yang kita kenal sekarang dengan nama UUPA 1960,yang lengkapnya bernama Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. (Praptodihardjo 1952, Tauchid 1953, Gautama 1973, Soemardjan 1962, Fauzi1999).

845

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Sayangnya karya monumental bangsa (UUPA 1960) itu, ruang dan program penerapannyamenyempit pada sektor pertanian rakyat dengan pengaturan perjanjian bagi hasil agar lebih adil(UU No. 2/1960), pembatasan penguasaan tanah maksimum dan minimum (UU No.56/PRP/1960), dan cara pelaksanaan redistribusi tanah objek land reform, yakni tanahkelebihan, tanah absentee, tanah swapraja dan tanah negara lainnya (PP 224/1960). Sistemagraria dan kawasan perkebunan dan kehutanan yang seyogyanya dikenai program reformaagraria berhasil menghindarkan diri dan selamat dari peluruhan yang dilakukan politik agrariadan pergerakan rakyat pada saat itu. Tenaga rakyat petani yang didorong oleh rasa pemenuhankeadian sosial itu telah digerakkan secara politik untuk berhadapan frontal dengan para tuantanah. Yang kemudian terjadi adalah penciptaan perjuangan kelas di pedesaan di keseluruhanJawa dan Bali, serta sebagian Sumatera dan Nusa Tenggara. Penyederhanaan dan penyempitanhubungan sosial dan kebudayaan menjadi sekedar hubungan kelas belaka memungkinkanmasing-masing aliran ideologi dan pengelompokan politik menemukan arena pertarungannyasecara nyata di pedesaan (Lyon 1976, Utrecht 1969, Mortimer 1972). Kelembagaan dan desainpenerapan land reform – seperti panitia pendaftaran tanah desa-demi-desa, panitia land reformhingga pegadilan land reform – pun menjadi arena dari pertarungan itu.2 Walhasil, yangterbentuk adalah suatu “bara” bagi percik api pertarungan elite nasional yang di tahun 1965-19966 berujung pada peralihan politik yang brutal dan sangat dramatis dari rejim yang kemudiandijuluki “Orde Lama” ke rejim “Orde Baru” (Cribb 1990, 2001, 2002, Fauzi 1999).

Selanjutnya, di bawah masa konsolidasi kekuasaan orde yang baru, agenda redistribusikekayaan jelas dikeluarkan dari perancangan strategi pembangunan. Agenda itu akan akanmemporak-porandakan koalisi politik antara militer, elite-elite partai politik kanan, teknokratpro-kapitalime Barat, petani-petani penguasa tanah luas, dan segelintir pengusaha modal besarbangsa pribumi dan asing. Koalisi ini lah yang menjadi sandaran dari strategi pembangunanagraria yang baru (Mas’oed 1983, 1989, Utrecht 1973). Politik agraria dan pengelolaan sumberdaya alam yang kapitalistik dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian dan sektoralsepanjang 32 tahun (Husken and White 1989, Kasim dan Suhendar 1996, Fauzi 1977, 1999,Farid 2005).

Keterputusan perjalanan reforma agraria itu, dan selanjutnya pilihan model pembangunanitu menyebabkan terciptanya berbagai bentuk ketidakadilan sosial yang kronis, kesemerawutantata penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam, kerusakan lingkungan dan konflik agrariayang berkepanjangan (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). Kesemua pusaka itu, yang mungkinsaja dapat diwakili dalam konsep “ketidakadilan agraria dan lingkungan” semakin diperhebatdengan cara penanganan dan pemulihan krisis ekonomi yang berlangsung semenjak 1997sampai 2004, bahkan hingga sekarang. Yang merebak di kalangan rakyat dan pimpinan lokal dibanyak daerah adalah sentimen “anti-negara”, sebagai proksi dari anti-praktek rejim Orde Baru,dan merebaknya etno-nasionalime. Ironisnya, instrumen-instrumen pembentukan negara yangdemokratis dan terdesetralisir saat ini belum sanggup mendekatkan perjuangan keadilan sosialdan lingkungan itu dengan pembentukan rasa kebangsaan. Kontras dengan hal itu, yang terjadiadalah suatu pendalaman integrasi sumberdaya alam dan tenaga kerja rakyat ke dalam sirkuitkapital modal internasional, yang saat ini telah sampai pada apa yang dirumuskan oleh Karl

2 Dalam suasana demikian, tidak heran bila Ladejinsky (1961) menyatakan “I am almost inclined to to view that it isessentially an anti-land redistribution program, although I am certain that it was not planned that way originally”(Walinsky 1977:298)

846

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Polanyi (1944) kekuasaan pasar yang memaksa tenaga kerja, uang dan tanah dilepas dari sistem-sistem sosial yang mengikatnya. Inilah hakekat dari Neoliberalisme, suatu utopia eksplotasitanpa batas (Bourdieu 1998).

Geliat Reforma Agraria Saat ini

Agenda “Reforma Agraria” dan “pengelolaan sumber daya alam” kembali bergeliat dimulaisejak awal 1990an dan terus digeluti oleh sejumlah sarjana dan aktivis agraria dan lingkunganyang aktif dalam pengorganisasian penduduk miskin pedesaan (petani, masyarakat adat, dankelompok marjinal lainnya), dan advokasi kebijakan land reform/pembaruan agraria, sertamenghasilkan naskah-naskah studi kondisi agraria dan kritik politik agraria yang dianut rejimOrde Baru (Kasim dan Suhendar 1996, Bachriadi et al 1997, Suhendar dan Winarni 1997,Wiradi 1999). Lebih dari itu, rangkaian kegiatan demonstrasi, diskusi, seminar, konferensi yangdimotori serikat-serikat petani lokal, dan organisasi non-pemerintah tak putus-putusnyamenyuarakan keharusan penyelesaian konflik agraria dan agenda reforma agraria (lihat misalnyaHarman et al 1995, Fauzi and Fidro 1998). Sementara itu, tuntutan-tuntutan keadilan agrariadan lingkungan yang dijalankan oleh penduduk-penduduk desa berlangsung terus hinggamenemukan momentum yang pas untuk meluaskan aksi-aksi pendudukan tanah itu, yakni saatmengiringi berakhirnya kekuasaan rejim Soeharto, di tahun 1998.

Keterbukaan politiklah yang memungkinkan penampilan terbuka dari berbagai mobilisasimassa hingga pembentukan asosiasi-asosiasi organisasi gerakan agraria di tingkat lokal hingganasional, yang di antaranya ditulang punggungi oleh aktivis-aktivis agraria dan lingkungan.Ketika kesempatan politik terbuka dalam sidang-sidang tahunan Majelis PermusyawaratanRakyat (MPR) di tahun 1999 hingga 2001, yang terbentuk sebagai bagian dari transisi politiknasional setelah Soeharto mundur sebagai presiden Indonesia 1966-1998, para promotorreforma agraria dan aktivis gerakan lingkungan untuk pertama kalinya mampu memasukkanagenda pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dalam proses pembuatandokumen negara, yang kemudian menjadi TAP MPR RI No. IX/MPRRI/2001 tentangPembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Meskipun dokumen ini dinilaiberbeda-beda oleh kalangan ornop (Bey 2002, 2003, Bachriadi 2002 , Wiradi 2002, Lucas andWarren 2003, Ya’kub 2004), namun dokumen negara itu merupakan tonggak bersejarah, yangmembentuk rute selanjutnya dari agenda reforma agraria, baik yang diusung oleh badan-badannegara, maupun organisasi-organisasi gerakan agraria (Fauzi 2002, Soemarjono 2002, 2006,Winoto 2007).

Salah satu badan negara yang selanjutnya mengusung agenda ini adalah Komisi NasionalHak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam konteks “transitional justice” untukmenyelesaikan pelanggaram HAM di masa Orde Baru.3 Ujung dari usaha ini adalah promosiusulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA) yangkemudian ditolak pembentukannya oleh Presiden Megawati Sukarnoputri, dan

3 Sebelumnya, Komnas bekerjasama dengan organisasi gerakan agraria menyelenggarakan Konferensi NasionalPembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani 17-20 April 2001 di Jakarta. Salahsatu resolusinya adalah desakan pembentukan TAP MPR tentang Pembaruan Agraria.

847

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

merekomendasikan penguatan kelembagaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI untukmenangani dan menyelesaikan konflk-konflik agraria (Fauzi 2001, Bachriadi 2004, Tim kerjaKNUPKA 2004).

Pimpinan BPN-RI pada periode 2002 - 2005 menggunakan TAP MPR itu untuk melakukanpengusulan undang-undang baru pengganti UUPA dengan “meredefinisi prinsip-prinsipnya”(Soemardjono 2006). Hal ini tentu menangguk pro dan kontra yang tidak selesai, baik dikalangan ornop, sarjana hukum agraria, dan pejabat pemerintahan, hingga akhirnya tercapaikesepakatan antara pimpinan baru BPN-RI saat ini dengan Komisi II DPR-RI pada tahun 2006untuk tidak mengubah UUPA, dan pembaruan perundang-undangan dilakukan terhadapproduk perundang-undangan di bawah UUPA. Sedangkan, BPN-RI berkonsentrasi untukmenjalankan dan mengembangkan mandat pelaksanaan reforma agraria dari Presiden RI denganprinsip “tanah untuk keadilan dan kemakmuran”, termasuk mencoba apa yang disebut sebagaiPPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang didengungkan akan mengalokasikan tanahobjek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar (8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1juta ha berasal dari tanah di bawah kewenangan langsung BPN) (Winoto 2006).

Meskipun pengumuman bahwa pemerintah hendak menjalankan PPAN itu dilakukanKepala BPN bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Pertanian (Republika Online September28,�2006), dan sejumlah studi telah merekomendasikan keharusan agenda reforma agraria danpengelolaan sumber daya alam di jurisdiksi kedua departemen ini (misalnya untuk sectorkehutanan lihat Kartodirjo 2002, Contreras-Hermosilla and Fay 2005, sedangkan untuk sektorpertanian lihat Mayrowani et al 2004), namun di dua departemen itu, agenda reforma agrariabelum menjadi agenda utama. Dengan demikian, tidaklah mengherankan, kita sulit menemukanintegrasi program Reforma Agraria di kedua departemen itu. Bahkan inisiatif-inisiatif dariDepartemen Kehutanan, mulai dari pembentukan kawasan konservasi yang koersif,pembolehan invesasi pertambahangan di kawasan konservasi hingga bentuk-bentuk baruperhutanan sosial, dan Departemen Pertanian, mulai dari revitalisasi perkebunan, perkebunanuntuk bahan bakar nabati hingga pelestarian lahan pertanian sawah abadi, dapat dinilai sebagaibentuk-bentuk yang tergolong dalam apa yang disebut Feder (1970) sebagai counterreform.Tentunya hal ini semakin memperumit kelembagaan agraria dan pengelolaan sumberdaya alamsaat ini.

Tatapan Ke Depan: Kebutuhan akan Pengetahuan Teori dan Praktek Reforma Agraria

Saat ini karya tulis akademik berbahasa Indonesia mengenai seluk-beluk kondisi, politik,gerakan dan reforma agraria masih sangat terbatas. Undangan Benjamin White (2005:132) untukmerintis bahan pengajaran “teori dan praktek reforma agraria” sungguh-sungguh relevan untukIndonesia saat ini. Dengan sangat menyadari bahwa salah satu syarat dari pelaksanaan reformaagraria yang berhasil adalah tersedianya basis pengetahuan yang memadai, maka yang benar-benar diperlukan adalah produksi pengetahuan mengenai keragaman kondisi dan strukturagraria wilayah, kelembagaan agraria, politik dan pembangunan agraria wilayah, danKesemerawutan pengelolaan sumber daya alam, serta berbagai inisiatif menjalankan reformaagraria. Reforma agraria meniscayakan ragam-ragam itu. Keragaman itu sungguh adalahkekayaan bangsa Indonesia. ***)

848

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

B I B I L I O G R A F I Y A N G D I K U T I P

Abrahamsen, Rita. 2000. Disciplining Democracy: Development Discourse and Good Governance in Africa, NewYork: Zed Book.

_____. 2003, Sudut Gelap Kemajuan, Relasi Kuasa dalam Wacana Pembangunan, Yogyakarta, Lafald Pustaka.

Araghi, Farshad A. (1995). Global Depeasantization, 1945-1990. Sociological Quarterly, 36(2), 337-

368.Bachriadi, Dianto (2002)"Lonceng Kematian atau Tembakan Tanda Start? Kontroversi seputar

Ketetapan MPR RI No.IX/MPR/2001 - Komentar untuk Idham Samudra Bey", Kompas, 11January 2002.

_____(2004). “Tendensi dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia: Menunggu Lahirnya KomisiNasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA)”. Jurnal Dinamika Masyarakat Vol. III,

No. 3/ 2004: pp 497-521.Bey, Idham Samudra (2002) "Lonceng Kematian UUPA 1960 Berdentang Kembali - Menyoal TAP

MPR No IX/MPR/2001," Kompas, 10 January 2002 (2003)_____“UUPA 1960 Lebih Baik Dibandingkan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam” Kompas, 10 May

2003.Bernstein, Henry (2002) “Land Reform: Taking a Long(er) View”. Journal of AgrarianChange 2(4):433-463.

Borras Jr., Saturnino M., Cristóbal Kay, and A. Haroon Akram Lodhi (2007) “Agrarian Reform andRural Development: Historical Overview and Current Issues,” in Land, Poverty and Livelihoods in

an Era of Globalization. Perspectives from Developing and Transition Countries. Edited by Akram-Lodhi,A.H., S.M. Borras Jr, and C. Kay. London: Routledge.

Clifford, James , and George Marcus (eds) (1986) Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography. LosAngeles & Berkeley: University of California Press.

Contreras-Hermosilla, Arnoldo and Fay, Chip (2005) Strengthening Forest Management in Indonesia through

Land Tenure Reform: Issues and Framework for Action. Washington D.C.:Forest Trends.Cook, I et al: ‘Positionality / situated knowledge’, in D Atkinson et al (eds) Cultural Geography: A Critical

Dictionary of Key Concepts. London, I.B. Tauris. Halaman 16-26Cousins, Ben (2006) “Debating the Politics of Land Occupations” Journal of Agrarian Change, 6(4): 584-

597._____ (2007) “Land and Agrarian Reform in the 21st Century: Changing Realities, Changing

Arguments?” Keynote address on the Global Assembly of Members, International LandCoalition. Entebbe, Uganda, 24-27 April 2007.

Courville, Michael and Raj Patel (2006) “The Resurgence of Agrarian Reform in the Twenty-firstCentury” dalam Promissed Land. Competing Visions of Agrarian Reform. Edited by Rosset, Peter, RajPatel, and Michael Courville. Oakland: Food First.

Cribb, Robert, 1990. “Problems in the Historiography of the Killings in Indonesia.” In The Indonesian

Killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali, ed. Robert Cribb, 1–43. Clayton, Victoria,Monash University Centre of Southeast Asian Studies.

_____ (2001) “Genocide in Indonesia, 1965–1966” Journal of Genocide Research (2001), 3(2), 219–239._____ (2002) “unresolved Problems in The Indonesian Killings of 1965-1966” Asian Survey, 42:4, pp.

550–563.Davis, Mike (2004a) “The Urbanization of Empire. Megacities and The Laws of Chaos” Social Text

22(4):9-15._____ (2004b) “Planet of Slums”. New Left Review 26: 5-34, merupakan bagian inti dari_____ 2006. Planet of Slums. Verso: London and New York.Deininger, Klaus (2003) Land Policies for Growth and Poverty Reduction, A World Bank Policy Research. Report,

Oxford, Oxford University Press and the World Bank.

849

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

De Janvry, Alain, Gustavo Gordillo, Jean-Philippe Platteau (eds) (2001) Access to Land, Rural Poverty and

Public Action. Oxford : Clarendon Press.De Soto, Hernando (2000) The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails

Everywhere Else. London, Bantam Press._____ (2003) “ Listening to the Barking Dogs: Property Law against Poverty in the non-West”.

Focaal - European Journal of Anthropology. 41:179-185.El-Ghonemy, M.R. (2003) “Land Reform Development Challenges of 1963-2003 Continue into the

Twenty-First Century”. Land Reform, Land Settlement and Cooperatives No. 2/2003.FAO (2002) “The continuing Need for Land Reform: Making. the Case for Civil Society”. FAO Land

Tenure Series: Concept Paper, Vol. 1. Rome: FAO.Farid, Hilmar, (2005). Indonesia’s Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965–66. Inter-

Asia Cultural Studies 6(1):3-16.Fauzi, Noer (1997) “Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria

Indonesia Paska Kolonial”. In Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan

Agraria di Indonesia, Jakarta: LP-FEUI dan KPA. 67 - 122._____. (1999) Petani dan Penguasa. Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Konsorsium

Pembaruan Agraria bekerjasama dengan Insist Press dan Pustaka Pelajar._____ (2003) Bersaksi untuk Pembaruan Agraria. Jogjakarta, Karsa..Fauzi, Noer, dan Boy Fidro (Eds) (1998). Pembangunan Berbuah Sengketa. Kumpulan Kasus-kasus

Sengketa Pertanahan Sepanjang Orde Baru. Medan: Yayasan Sintesa dan Serikat PetaniSumatera Utara .

Feder, Ernest (1970) Counterreform. In Stavenhagen, Rudolfo (ed), Agrarian Problems and Peasant

Movements in Latin America. Doubleday Anchor, New York.Ghimire, Krishna B. (2001) “Land Reform at the End of the Twentieth Century: An Overview of Issue,

Actors and Processes” dalam Land Reform and Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural

Poverty and Agrarian Reform. Edited by Krishna Ghimire. London: ITDG; Geneva: UNRISD.Griffin, Keith, A.R. Khan and A. Ickowitz, (2002) “Poverty and Distribution of Land”. Journal of

Agrarian Change No. 2(3): 279 – 330_____ (2004) “In Defence of Neo-Classical Neo-Populism”. Journal of Agrarian Change 2004 no 4(3):361-

386.Haraway, Donna (1988) "Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and Privilege of

Partial Perspective" Feminist studies 14, p.575-99.Harman, Benny K., Paskah Irianto, dan Noer Fauzi (eds). (1995) Pluralisme. Hukum. Pertanahan. dan.

Kumpulan Kasus Pertanahan. Yayasan Lembaga Bantuan. Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta.Hartsock, Nancy (1987) "The Feminist Standpoint" in Sandra Harding (ed) Feminism & Methodology.

Milton Keynes: Open University Press.

Hobsbawm, Eric. (1985). Age of Extremes: The Short Twentieth Century 1914-1991. London:

Abacus Books, Little, Brown and Co.Husken, Frans and Ben White, 1989, “Java: Social Differentiation, Food Production, and Agrarian

Control”, in Hart, G., Andrew Turton, Benjamin White, (eds.), 1989, Agrarian Transformations:

Local Processes and the State in Southeast Asia, University of California Press, Berkeley.IFAD (2001) IFAD Poverty Report 2001: The Challenge of Ending Rural Poverty. Rome: international Fund

for Agricultural Development.Kartodihardjo, Haryadi (2002) “Hutan kemasyarakatan dalam belenggu Penguasaan Sumber-sumber

Agraria”, dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 tahun Gunawan Wiradi. Endang Suhendar, SatyawanSunito, MT. Felix Sitorus, Arif Satria, Ivanovich Agusta, dan Arya Hadi Dharmawan (Eds).Bandung, Akatiga. Halaman 339-357.

Kartodiharjo, Hariadi dan Hira Jhantami (2006) Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia.Jakarta: Equinox Publishing.

Kasim, Ifdhal dan Suhendar (1996). Tanah sebagai Komoditas Strategis: Tinjauan ritis terhadap Kebijakan

Pertanahan Orde baru. Jakarta: ELSAM.Ladejinsky, Wolf. (1961) “Land reform in Indonesia” (memorandum, 24 January 1961), dalam Land

850

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Reform as Unfinished Business: The Selected Papers of Wolf Ladejinsky. L. Walinsky, ed. Pp. 297-299.Oxford: University Press for the World Bank.

_____ (1964) “Land reform in Indonesia” (memorandum, 27 February 1964), dalam Land Reform as

Unfinished Business: The Selected Papers of Wolf Ladejinsky. L. Walinsky, ed Pp. 340-352. Oxford:University Press for the World Bank.Leite, Sergio and Avila, Rodrigo (2006) “Agrarian Reform,Social Justice and Sustainable Development”, Issue Paper 4 in International Conference onAgrarian Reform and Rural Development (ICARD), Porto Algere, 7-10 Maret 2006.

Lipton, Michael (1974) “Toward A Theory of Land Reform”, in Agrarian Reform and Agrarian and

Reformism: Studies in Peru, Chile, China and India, edited by D. Lehmann. London: Faber._____ (1977) Why Poor People Stay Poor: Urban Bias in World Development. Cambridge: Harvard University

Press, 1977.Lucas, Anton and Carrol Warren, (2003) “The State, The People and Their Mediators: The Struggle over

Agrarian Law Reform in Post New Order Indonesia”. Indonesia, October, 76: 87-126.Lyon, Margo. L., (1970) Bases of Conflict in Rural Java. Berkeley, Center for South and Southeast Asia

Studies: University of CaliforniaMas'oed, Mochtar, (1983). ‘The Indonesian Economy and Political Structure During the Early New

Order 1966-1971’. PhD dissertattion, Ohio State University._____ (1989) Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971. Jakarta, LP3ES.McKeon, Nora, Michael Watts and Wendy Wolford. 2004. “Peasant Associations in Theory and

Practice”. UNRISD (United Nations Research Institute for Social Development): Civil Societyand Social Movements Programme Paper Number 8.

Mayrowani, Henny (2004) “Studi Prospek dan Kendala Penerapan Reforma Agraria di SektorKehutanan”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan penelitiandan Pengembagan Pertanian, Departemen Pertanian.

Moyo, Sam (2004). ‘African Land Questions, the State and Agrarian Transition: Contradictions ofNeoliberal Land Reforms’. Paper Presented at CODESRIA Conferences on Land Reform, theAgrarian Question and Nationalism in Gaberone and Dakar during 2003.www.sarpn.otg.za/documents/d0000692/index.php

Moyo Sam and Yeros Paris (2005a). ‘Introduction’ and ‘The Resurgence of Rural Movements underNeoliberalism’ in Moyo S and Yeros P (eds.). 2005. Reclaiming the Land: The Resurgence of Rural

Movements in Africa, Asia and Latin America. London, Zed Books.Moyo, Sam and Paris Yeros (Eds) (2005b) Reclaiming the Land: The Resurgence of Rural Movements in Africa,

Asia and Latin America. London: Zed Book.Petras, James. 1998. “The New Revolutionary Peasantry, The growth of peasant-led opposition to

neoliberalism”, Z Magazine, dalam http://www.mstbrazil.org/petras1098.htmlPolanyi, Karl. 1944. The Great Transformation, The Political and Economi Origin of Our Time. Boston, Beacon

PressProsterman, Roy L. and Tim Hanstad (2001) “Land Reform in the 21st Century: New Challenges, New

Responses” Rural Development Institute (RDI) Reports on Foreign Aid and Development No.117.

Putzel, James (2000) “Land Reform in Asia: Lessons from the Past for the 21st Century”. LSEDevelopment Studies Institute, London School of Economics and Political Science. WorkingPaper Series No 00-04.

Tim Kerja KNUPKA (2004). Pokok Pokok Pikiran mengenai Penyelesaian Konflik Agraria. HasilLokakarya Persiapan Menuju Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian KonflikAgraria (KNUPKA). Jalarta: KOMNAS HAM, KPA, HUMA, WALHI, BINA DESA, Maret2004.

Quan, Julian (2006) “Land Access in the 21st Century: Issues, Trends, Linkages and Policy Options”.Food and Agriculture Organization - Livelihood Support Program(FAO- LSP) Working Paperno. 24.

851

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Syahyuti (2004) Peran Strategis Departemen Pertanian terhadap Reforma Agraria di Indonesia dalamKonteks Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian,Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian Republik Indonesia.

Soemarjono, Maria S.W. (2002). “Implementasi Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentangPembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Bidang Pertanahan”, Makalah padaRapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Pertanahan Nasional di Malino, 25-28 Maret 2002.

_____ (2006) Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi. Edisi revisi. Jakarta: PenerbitKompas.

Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni (1997). Petani dan Konflik Agraria, Bandung: Akatiga.Webster, Neil, 2004. “Understanding the Evolving Diversity and Originalities in Rural Social

Movements in the Age of Globalization”: Civil Society and Social Movements - Paper No. 7.United Nation Research Institute for Social Development.

Wiradi, Gunawan. (1997). “Pembaruan Agraria: Masalah yang Timbul Tenggelam”. In.Reformasi Agraria:

Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Jakarta: LP-FEUI dan KPA.Halaman 39 – 44.

______. (2001). Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Noer Fauzi (Ed) Yogyakarta: Insist Pressand Pustaka Pelajar.

_____. (2002). “Tantangan Gerakan Pembaruan Agraria “Posta” TAP-MPR No. IX/2001. Jurnal

Analisis Sosial 7(3):1-10. Bandung, Yayasan Akatiga.Ya’kub, Ahmad (2004). “Agenda Neoliberal menyusup Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia”, Jurnal

Analisis Sosial 9(1):47-64. Bandung, Yayasan Akatiga.White, Benjamin (2002) “Agrarian Debates and Agrarian Research in Java, Past and Present”, Menuju

Keadilan Agraria: 70 tahun Gunawan Wiradi. Endang Suhendar, Satyawan Sunito, MT. FelixSitorus, Arif Satria, Ivanovich Agusta, dan Arya Hadi Dharmawan (Eds). Bandung, Akatiga.Halaman 41-83.

_____ (2005) “Between Apologia and Critical Discourse: Agrarian Transitions and ScholarlyEngagement in Indonesia” in Social Science and Power in Indonensia. Veri R. Hadiz and DanielDhakidae (Eds). Jakarta: Equinox and ISEAS. Halaman 107-142.

Winoto, Joyo (2007). “Reforma Agraria dan Keadilan Sosial”. Orasi Ilmiah di Instititut Pertanian Bogor(IPB) 1 September 2007.

852

Bagi-bagi Lahan 22 Juta Hektar:Menuju Pasar Tanah, Tanam Paksa, atau

Konflik Horisontal?Torry Kuswardono (WALHI)

Dalam 2 minggu terakhir di bulan November 2006,Departemen Kehutanan dan Perkebunan, DepartemenPertanian, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) secarabersamaan mengeluarkan pernyataan akan membagi-bagilahan sebesar kurang lebih 22 juta hektar kepada petanidan rakyat miskin di seluruh Indonesia. Menurut kabar yangbisa dipercaya, Presiden SBY pun merestui hal ini dan akanmengeluarkan Keppres dalam waktu dekat.

Menurut jadual yang dikeluarkan oleh DepartemenKehutanan yang diperoleh dalam rapat Working GroupTenure, dan anggota-anggota Pokja PSDA pada bulan De-sember 2006, presiden akan mengeluarkan keputusan ber-kaitan dengan program ini. Seluruh program bagi-bagi tanahini direncanakan berakhir pada tahun 2009, persis pada saatakhir masa jabatan Presiden SBY.

Sejumlah pertanyaan muncul dalam benak aktifis-aktifisagraria dan lingkungan. Tanah di bagian mana yang hendak

853

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

dibagikan? Apa dasar hukumnya? Bagaimana prosesnya?Siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana perangkat-nya? Bagaimana dengan lahan-lahan yang saat ini masihdisengketakan antara negara dan warga, antara korporasidan warga, atau antar warga? Bagaimana dengan tanah-tanahyang berhasil direbut dan diduduki oleh rakyat?

Adapula yang mengeluarkan pertanyaan lebih kritis,kenapa tiba-tiba ada pembagian lahan 22 juta hektar dengankomposisi riil 9 juta hektar lahan yang dikuasai oleh Dep-hutbun, 8 juta hektar tanah yang dikuasai atau dalam wewe-nang oleh BPN, dan sisanya tidak jelas kewenangannya.

Pokok tulisan ini mencoba mengkritisi skenario lewatsejarah dan konsep teoritik yang barangkali melatarbe-lakangi dikeluarkannya kebijakan ini.

Restrukturisasi penguasaan lahan adalah titik puntirdari kebangkitan kapitalisme dimana pun termasuk di In-donesia. Gubernur Van den Bosch, dalam pidatonya di depanparlemen Kerajaan Belanda, pada intinya mengatakan pen-tingnya mengundang investasi swasta untuk berbisnis diHindia Belanda. Investasi swasta diperlukan untuk menaik-kan pendapatan pajak kerajaan Belanda demi membayarutang yang disebabkan oleh bangkrutnya parastatal VOCdan utang akibat perang di awal abad ke 19. Investasi disektor perkebunan dan infrastruktur termasuk energi danbahan tambang penting demi pundi-pundi pajak KerajaanBelanda.

Namun, yang menjadi persoalan adalah lahan-lahanyang terhampar di seluruh kepulauan masih berada dalamkewenangan kerajaan-kerajaan dan suku-suku yang ribuanjumlahnya. Untuk memastikan agar investasi masuk,

854

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

diperlukan satu program restrukturisasi lahan yangmelahirkan Agrarische Wet di pertengahan abad ke 19, yangmengubah seluruh moda pemerintahan dan penguasaanlahan di sebagian wilayah Hindia Belanda terutama PulauJawa.

Apa relevansinya dengan program bagi-bagi lahan rejimSBY? Kondisi Republik Indonesia di penghujung abad ke20 memiliki kemiripan yang sama dengan Kerajaan Belandadi awal abad ke 19; krisis dan penuh utang. Secara keselu-ruhan pidato-pidato kepala negara dan para menteri RI darijaman Habibie hingga SBY pun tak jauh berbeda; pentingmengundang investasi langsung untuk mendorong rodaperekonomian demi membayar utang.

Dalam banyak pidato pula, bahkan jauh sebelum krisis1997, persoalan penguasaan dan kepemilikan lahan disebut-sebut sebagai salah satu penghambat masuknya investasi.Di jaman orde baru, penggunaan kekerasan boleh jadi men-jadi jalan tol pembebasan lahan. Tetapi seiring dengan ber-tumbuhnya demokrasi yang masih amat muda, kekerasantampaknya bukan satu-satunya cara. Apalagi, para pemberiutang dikecam oleh kelompok masyarakat sipil dan pem-bayar pajak di negara-negara donor jika menggunakan keke-rasan dalam penyediaan lahan.

Untuk memudahkan penyediaan lahan yang dianggaplebih ekonomis, terbentuknya pasar tanah adalah jalan yangdianggap paling mudah. Maka, institusi garis depan masuk-nya modal asing yaitu Bank Dunia menciptakan programyang disebut sebagai Land Administration Project padatahun 1996. Program ini juga didukung oleh AusAid yangmendanai pengembangan kapasitas pemetaan dan pengu-

855

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

kuran yang efisien bagi para petugas sertifikasi.Program ini mendapat legitimasi kuat, setelah Hernan-

do de Soto, mantan Presiden Peru yang juga seorang eko-nom, menulis buku berjudul the Mistery of Capital. Bukuini menjelaskan pentingnya formalisasi aset lahan pendudukmiskin agar dapat menjadi aset yang dapat diagunkan dibank-bank demi perbaikan nasib penduduk miskin. Bukuini pula yang saat ini menjadi pegangan Bank Dunia untukmenjalankan misinya membentuk pasar tanah di negeri-negeri pengutang.

Di Indonesia, misi pembentukan pasar tanah dilanjut-kan dengan Land Administration Project II (LAP II) yanglagi-lagi bekerja sama dengan BPN untuk mensertifikasilahan-lahan di pedesaan di Pulau Jawa, dan melakukan studikemungkinan sertifikasi lahan-lahan komunal di luar Jawa.Program ini juga mendanai penyusunan UU PendaftaranTanah yang mencoba menerobos ketidakpastian pemilikanlahan.

Tetapi, pembentukan pasar tanah boleh jadi bukanlahsatu-satunya obat dari mandeknya penguasaan properti diIndonesia.

Kurang lebih 4 tahun belakangan, setelah semakin lang-kanya bahan baku berbasis hutan dan perkebunan baikuntuk kertas, furniture, dan yang paling mutakhir energi,pasar dunia mulai kelimpungan mencari kembali sumber-sumber bahan baku. Tingginya harga minyak dunia dan ke-tergantungan terhadap minyak mulai mengganggu pereko-nomian negara-negara utara terutama Eropa dan Asia Timur.

Di Indonesia, perkembangan perkebunan bukannyamenyusut tetapi malah semakin menggila. Bakrie Group

856

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

salah satu kelompok bisnis terkuat negeri ini dalam strategiusaha kelompoknya menempatkan perkebunan sebagaitulang punggung bisnis strategisnya. Selain itu, Uni Eropapun melirik Indonesia tetap sebagai sumber produksi bahanbakar nabati (biofuel) dengan asumsi luasnya lahan dikepulauan.

Ya, energi nabati menjadi primadona saat ini. Lebih gilalagi, Junta Militer di Myanmar bahkan menetapkan hu-kuman mati bagi warganegaranya yang menolak menanamjarak (jathropa sp), bahan baku bahan bakar nabati.

Mengundang investasi bukanlah hal gampang. Setiapinvestasi menginginkan modalnya mulus bekerja termasukdalam soal-soal pembebasan lahan. Negeri pemburu renteseperti Indonesia perlu memutar otak agar sekelompok or-ang masih bisa mengutip dari produksi ekonomi skala besaryang masih ditunggu-tunggu.

Mengembangkan perkebunan lewat inisiatif swastabukanlah hal mudah. Perlu keberanian dan kenekatan luarbiasa untuk mampu mendorong orang mau menjual tanah-nya. Hingga saat ini hanya perusahaan tambang yang lewatrekayasa teknisnya mampu mengusir orang tanpa kekerasandan tanpa bayaran. Perusahaan tambang mampu meng-hancurkan tata air tanah atau meracuni air dan udara hinggaorang pergi dari lahannya dengan biaya murah atau tanpabayaran sama sekali.

Tetapi perkebunan tidak memiliki daya rusak secepatpertambangan. Lantas apa yang perlu dilakukan?

Sebetulnya sama dengan yang dilakukan oleh Admi-nistrasi Hindia Belanda sebelum kapitalisme berkembanglewat perkebunan-perkebunan swasta. Tanam paksa! Ya itu

857

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

jawabannya.Jika tidak percaya, tiliklah kepulauan Nusa Tenggara

Timur, di mana modus lain dari tanam paksa tetapberlangsung. Bisa dikatakan kepulauan yang dikatakanmiskin itu tidak memiliki estat perkebunan sepertiSumatera, Sulawesi, atau Kalimantan. Yang ada adalahkebun-kebun tanaman komoditi (kopi, mente, kemiri, kayumanis, lada, pala, dsb) milik rakyat.

Seluruh bibitnya adalah hasil introduksi Hindia Belandamaupun Administrasi RI. Para petani dibujuk sedemikianrupa untuk mengganti tanaman pangannya dengan tanamankomoditi. Rakyat dipaksa sedemikian rupa agar tergantungpada pasar dan tidak punya pilihan lain untuk bertahanhidup selain menjual hasil panennya. Mengapa karenatanaman komoditi tak satupun bisa dimakan.

Apakah rakyat menjadi makmur, sayangnya tidak.Seluruh hasil panen dimonopoli oleh kartel dari kelompok-kelompok bisnis di Surabaya yang memainkan hargasedemikian rupa hingga petani tak bisa memiliki daya tawarlagi.

Investasi saat ini membutuhkan lahan dan buruh murahsebagai faktor produksinya. Membangun sebuah estatbukan menjadi pilihan karena lambatnya perbaikan aturansoal bisnis dan investasi. Memberikan lahan pada petanidan memaksa petani dan rakyat miskin menanam tanamankomoditi jelas lebih mudah. Dalam beberapa kasus, lebihmudah dan murah membeli hasil dari petani dibanding mem-bangun sebuah estate. Tidak ada urusan perburuhan, tidakada urusan pajak tanah, dan harga bisa dimainkan.

Bahkan bagi perusahaan tambang batu bara skala Arut-

858

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

min dan Adaro di Kalimantan Selatan atau PT Bukit Asamdi Sumatera Barat pun menggunakan sistem yang serupauntuk mempertinggi keuntungan. Lepaskan lahan pada parapenambang rakyat dan menengah, beli batu bara darimereka, dan jual kepada pembeli. Tidak ada risiko perbu-ruhan dan beban lingkungan. Yang ada hanya tambah ku-rang dari hasil pembelian dan penjualan.

Kondisi kemiskinan yang meninggi di Indonesia,rendahnya harga tanaman pangan, akan mendorong rakyatuntuk terjebak dalam tiga skenario; pertama menjual lahanyang diberikan oleh negara, atau kedua menanam tanamankomoditi yang dibutuhkan oleh pasar dunia (Eropa dan AsiaTimur) dan terjebak dalam lilitan sirkuit produksi kapital.

Skenario dua ini amat terlihat lewat program Depar-temen Kehutanan yang akan mendeklarasikan HutanTanaman Rakyat pada bulan Desember 2006 (lihat: ActionPlan Penanganan HTR). Hutan Tanaman Rakyat akan men-dorong ditanaminya tanaman komoditi. Studi ketersediaandan permintaan sudah didesain untuk memastikan tanamanapa yang cocok untuk HTR.

Pada kondisi lain terutama di wilayah-wilayah yangmemiliki ketegangan pemilikan antar etnik atau semi-feodaldi luar Jawa, pembagian tanah yang serampangan akanmemicu konflik antar warga yang bisa jadi setinggi eskalasikekerasan di Poso dan Ambon. Kelompok yang menamakandirinya masyarakat adat adalah kelompok yang paling rentanberhadapan dengan skenario ketiga ini.

Keputusan membagi-bagi lahan dalam jumlah besarkepada rakyat miskin barangkali adalah setetes embun ditengah padang gurun yang dinanti-nanti oleh berjuta rakyat.

859

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Tetapi bagi kaum kapitalis, pembagian lahan adalah sebuahlangkah kecil untuk langkah-langkah lanjutan demi menarikkeuntungan dari keringat dan jerih payah kaum miskin.

Kita perlu berhati-hati dan kritis terhadap agenda ini.Seluruh agenda studi kita mengenai agraria, perdagangan,dan investasi langsung perlu dibaca kembali untuk menandaidan memaknai agenda pertanahan yang boleh jadi ditunggu-tunggu ini.

Agenda rakyat mengenai land reform tidak berhentipada urusan pembagian lahan. Ancaman masih menantibahkan ketika alat produksi sudah ditangan. Masyarakatsipil hingga saat ini belum berhasil menemukan moda pro-duksi dan konsumsi tandingan yang mampu mencegah pasartanah, tanam paksa, maupun eskalasi konflik.

860

Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau

Redistribusi Tanah ala Pemerintahan SBY1

Dianto Bachriadi2

“Kekeliruan pembangunan yang mendasar adalah tidak ditempatkannya pembaruan agraria yang berupa penataan kembali penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, peruntukan dan pemeliharaan sumber-sumber agraria sebagai pra-kondisi dari pembangunan… Pembaruan agraria dipercayai pula sebagai proses perombakan dan pembangunan kembali struktur sosial masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan, sehingga tercipta dasar pertanian yang sehat, terjaminnya kepastian penguasaan atas tanah bagi rakyat sebagai sumberdaya kehidupan mereka, sistem kesejahteraan sosial dan jaminan sosial bagi rakyat pedesaan, serta penggunaan sumberdaya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” (Deklarasi Pembaruan Agraria, Jogjakarta 1998)

“Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia.” (Soekarno, Djalannja Revolusi Kita, 1960)

Akhirnya yang dinanti-nanti terjadi juga: Presiden SBY dalam rangka pidato

awal tahun 2007 di TVRI (31/01/2007 malam) menyinggung tentang rencana

pemerintah untuk menjalankan pembaruan agraria (Reforma Agraria) yang pada

intinya adalah melakukan redistribusi Tanah Negara kepada sejumlah rumah tangga

yang dikategorikan sebagai petani termiskin. Pidato ini hendak menjawab keraguan

sejumlah kalangan akan niatan SBY menjalankan reforma agraria ketika beliau

bersama dengan Jusuf Kalla (JK) menyusun visi, misi dan agenda kerja kandidat

presiden pada Pemilu 2004 yang lalu3. Adapun agenda untuk menjalankan reforma

1 Tulisan untuk bahan diskusi dalam Pertemuan Organisasi-organisasi Rakyat se-Jawa di Magelang, 6-7 Juni

2007. Tulisan yang sama pernah disampaikan dalam diskusi di Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UniB),

Bengkulu, 2 Juni 2007, dan beberapa pertemuan/diskusi lainnya di Indonesia.

2 Pada tahun 1995 ikut mendirikan, dan pernah menjadi Ketua (1998-2002) serta anggota Dewan Pakar (2002-

2005), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Saat ini sedang melakukan riset tentang Gerakan Sosial

Pedesaan di Bengkulu dan Jawa Barat.

3 Lihat dokumen yang berjudul Membangun Indonesia yang aman, adil, dan sejahtera: Visi, Misi, dan Program

Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla, 2004, khususnya halaman 55-69. Dalam dokumen ini

tercantum agenda dan program ekonomi dan kesejahteraan yang mengedepankan kebijakan, di antaranya: (a)

Perbaikan dan penciptaan kesempatan kerja, (b) Peningkatan kinerja dan stabilitas ekonomi makro, (c)

Penghapusan kemiskinan, (d) Peningkatan akses rakyat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas, (e)

Peningkatan akses rakyat terhadap layanan kesehatan yang lebih berkualitas, (f) Penghapusan ketimpangan

dalam berbagai bentuknya, (g) Perbaikan pengelolaan sumber daya alam serta pelestarian mutu lingkungan

hidup, dan (h) Revitalisasi pertanian dan aktivitas pedesaan. Pada agenda ini, pelaksanaan reforma agraria

disebutkan sebanyak dua kali, yakni pada agenda (a) dan (h).

861

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

agraria ini diletakan sebangun dengan berbagai program lainnya dalam kerangka

revitalisasi pertanian di Indonesia. Secara teknis, program ini dikatakan akan mulai

dilaksanakan pada bulan April 2007, tetapi hingga saat ini kepastian rencana

peluncuran (launching) program ini oleh Presiden masih belum jelas, karena

Peraturan Pemerintah (PP) yang akan dijadikan landasan teknis pelaksanaan

program in belum rampung4.

Pandangan-pandangan yang mencoba mendorong pemerintahan baru pasca

Pemilu 2004 untuk menjalankan Reforma Agraria telah jauh hari dikemukakan

oleh sejumlah kalangan akademisi, aktivis Ornop dan organisasi tani5. Salah satunya

adalah yang tersusun di dalam satu dokumen yang berjudul “Petisi Cisarua” yang

disusun oleh sejumlah akademisi, aktivis Ornop dan pimpinan organisasi tani yang

telah disampaikan kepada SBY sejak yang bersangkutan masih menjadi kandidat

presiden dalam Pemilu 2004 dan disampaikan kembali hanya berselang beberapa

bulan setelah ia dan Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI –

untuk untuk mengingatkan keduanya akan janji-janji politik ketika mereka

berkampanye6.

4 Hingga saat ini, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tersebut dapat dikatakan belum beredar secara terbuka

di berbagai kalangan untuk memperoleh masukan-masukan dan kritik. Hal ini seperti ‘biasanya’. Banyak RPP

yang sedang disusun sudah beredar sebelum ditetapkan sehingga memperoleh second opinion dari berbagai

pihak di luar pemerintah itu sendiri. Akibatnya, terkesan konsep utuh dari rencana pelaksanaan program

‘reforma agraria’ ini seperti disembunyikan oleh pihak pemerintah sendiri. Pada kenyataannya memang telah

timbul sejumlah kontroversi dan pandangan yang pro dan kontra mengenai rencana pelaksanaan program

tersebut sejak awal pemerintah mulai merumuskannya sekitar setahun yang lampau.

5 Seruan ini menguat dan semakin utuh dengan dibentuknya Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun

1995 yang melibatkan puluhan organisasi non pemerintah (ornop), aktivis, dan akademisi. KPA menjadi wadah

bagi kerja-kerja advokasi di tingkat nasional untuk mempromosikan dan mendorong dijalankannya reforma agraria di Indonesia. Pada tahun 1998, KPA mengeluarkan Deklarasi Pembaruan Agraria yang kemudian

menjadi dasar dari penyusunan usulan KPA untuk dikeluarkannya Ketetapan MPR RI No. IX/2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Mengenai sejarah singkat terbentuknya KPA serta

kerja-kerja advokasinya, lihat misalnya: Bachriadi, Dianto dan Noer Fauzi (2001), Dari Aksi-aksi Protes menuju Pembaruan Agraria di Indonesia Masa Kini, makalah yang disampaikan dalam Lokakarya “Reconstructing the

Historical Tradition of 21th

Century Indonesian Labour”, CLARA-CAPTRANS-LIPI, Bali 4-6 Desember 2001;

dan Bachriadi, Dianto (2001), “Melihat Selayang ke Dalam: Latar Belakang Munculnya Usulan Ketetapan MPR

tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Berkelanjutan”, pengantar editor dalam

Meneguhkan Komitmen, Mendorong Perubahan, Dianto Bachriadi (ed.), hal. v-xxxiv (Bandung: KPA-Pokja

PSDA-KSPA).

6 Lihat: Poniman, Anton, et.al. (2005), Petisi Cisarua: Rekomendasi untuk Presiden Republik Indonesia Periode

2004-2009, “Reforma Agraria dalam Rangka Pelaksanaan Visi, Misi dan Program Pemerintah Baru”

(Bandung: Pergerakan).

862

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Reforma Agaria sebagai Dasar bagi Pembangunan Nasional Indonesia Baru

Dalam dokumen “Petisi Cisarua” sejumlah pakar dan aktivis pembaruan

agraria telah mengingatkan bahwa jika hendak menjalankan reforma agraria di

Indonesia jangan lah “setengah-setengah”, tetapi jadikan reforma agraria sebagai

dasar bagi pembangunan ekonomi (nasional) bagi Indonesia baru7. Sesungguhnya

reforma agraria yang berhasil – dalam pengalaman banyak negara seperti di

Jepang, Taiwan, Cina, Korea Selatan, Mesir, dan sebagainya – adalah yang

menempatkannya sebagai dasar bagi pembangunan ekonomi secara nasional yang

kemudian menjadikannya basis penting bagi pertumbuhan industri nasional yang

kuat.

Dalam hal ini Reforma Agraria dapat diartikan sebagai suatu upaya

sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktu

tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta

menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat ‘baru’ yang demokratis dan

berkeadilan; yang dimulai dengan langkah menata ulang penguasaan, penggunaan,

dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul dengan

sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan produktivitas petani

khususnya dan perekonomian rakyat pada umumnya8. Reforma agraria jika

7 Poniman, et.al. (2005), Petisi Cisarua (Bandung: Pergerakan). Lihat juga: Bachriadi, Dianto (1999),

Pembaruan Agraria (Agrarian Reform): Urgensi dan Hambatannya dalam Pemerintahan Baru di Indonesia Pasca Pemilu 1999, makalah untuk Seminar “Mendesakan Agenda Pembaruan Agraria dalam Sidang Umum

(SU) MPR 1999” yang diselenggarakan oleh KPA, ELSAM, dan Lab. Sosiologi-Antropologi IPB di Jakarta, 22

September 1999; dan Wiradi, Gunawan (2000), Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir

(Yogyakarta: Insist Press-KPA-Pustaka Pelajar). Dalam hal ini patut juga disampaikan adanya sejumlah

keraguan dari para pakar bahwa sesungguhnya momentum bagi palaksanaan reforma agraria yang sejati

sesungguhnya belum lagi terbentuk, meskipun SBY-JK selaku kandidat calon presiden dan wakil presiden telah

mencanangkannya sebagai bagian dari Visi dan Misi yang mereka ajukan ke KPU dan publik untuk

menjalankan program ini jika mereka terpilih sebagai pimpinan nasional yang baru pasca Pemilu 2004.

Gunawan Wiradi, salah seorang pakar agraria di Indonesia dan mantan anggota Dewan Pakar Konsorsium

Pembaruan Agraria (KPA), dalam berbagai kesempatan sering mengatakan bahwa momentum yang paling pas

bagi pelaksanaan reforma agraria yang sejati sesungguhnya telah terlewat dan tidak berhasil dimanfaatkan

dengan baik oleh para pemimpin negeri ini ketika pemerintahan Orde Lama mengesahkan UUPA 1960 dan

mulai menjalankan program landreform setahun kemudian. Dalam pandangannya, pada saat itu sejumlah

prasyarat bagi dilaksanakan reforma agraria yang sejati di Indonesia relatif tersedia, tetapi tidak pada saat ini.

Mengenai sejumlah prasyarat ini lihat: King, Russel (1977), Land Reform: A World Survey (Boulder: Westview

Press); dan Wiradi (2000), Reforma Agraria.

8 Lihat: Tuma, Elias H. (1965), Twenty-Six Centuries of Agrarian Reform, a Comparative Analysis (Berkeley:

University of California Press); Senior, Clarence (1958), Land Reform and Democracy (Westport: Greenwood

Press); Dorner, Peter (1972), Land Reform and Economic Development (Baltimore: Penguin Books); Lin, Sein

(ed.) (1974), Readings in Land Reform (Taipe: Good Friends Press); Lehmann, David (ed.) (1974), Agrarian Reform and Agrarian Reformism (London: York: Holmes and Meier Pub.); Rodriguez, Joel (1978), Genuine Agrarian Reform (Quezon City: URM-NCCP); FAO (1981), Peasant Charter (Rome: UN-FAO); Herring,

Ronald J. (1983), Land to the Tiller: The Political Economy of Agrarian Reform in South Asia. (New Haven:

863

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

dijalankan dengan benar dan baik, akan menjadi landasan bagi pembangunan –

termasuk pengembangan industrialisasi – nasional yang kokoh.

Inti dari reforma agraria adalah landreform dalam pengertian redistribusi

pemilikan dan penguasaan tanah. Meskipun demikian landreform tidak akan

berhasil jika tidak didukung oleh program-program penunjang seperti pengairan,

perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya9. Tuma (1965)

menyimpulkan bahwa “landreform” dalam pengertian luas akhirnya dapat

disamakan dengan “agrarian reform” (reforma agraria), yakni suatu upaya untuk

mengubah struktur agraria demi terciptanya tujuan sebagaimana disebutkan di atas.

Jadi reforma agraria dapat diartikan sebagai landreform plus10.

Penataan ulang struktur penguasaan tanah (landreform), bukan saja akan

memberikan kesempatan kepada sebagian besar penduduk yang masih

menggantungkan hidupnya pada kegiatan pertanian untuk meningkatkan taraf

kehidupannya. Lebih dari itu, landreform bukan hanya akan suatu dasar yang kokoh

dan stabil bagi pembangunan ekonomi dan sosial, tetapi juga menjadi dasar bagi

pengembangan kehidupan masyarakat yang demokratis. Program ini akan membuka

kesempatan untuk terjadinya proses pembentukan modal (capital formation) di

pedesaan yang akan menjadi dasar bagi proses industrialisasi yang kokoh. Selain itu,

ia juga akan memberikan sejumput kekuasaan pada kelompok-kelompok petani

miskin di pedesaan di dalam ikatan-ikatan sosial pada masyarakatnya. Memberikan

tanah kepada para petani miskin yang selama ini terpinggirkan, seperti dikatakan

Yale University Press); Prosterman, Roy L. dan Jeffrey M. Riedinger (1987), Land Reform and Democratic Development (Baltimore: John Hopkins Univ. Press); Putzel, James (1992), The Captive Land: the Politics of Agrarian Reform in the Philippines (London: CIIR); Sobhan, Rehman (1993), Agrarian Reform and Social Transformation: Preconditions for Development (London: Zed Books); Setiawan, Bonnie (1997), “Konsep

Pembaruan Agraria: Sebuah Tinjauan Umum”, dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Dianto Bachriadi, Erpan Faryadi, dan Bonnie Setiawan (ed.), hal. 3–

38 (Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Univ. Indonesia); Wiradi (2000), Reforma Agraria; Borras Jr.,

Saturnino M. (2004), Rethinking Redistributive Land Reform: Struggles for Land and Power in the Philippines,

Phd Thesis at the Institute for Social Science, The Hague, The Netherlands; dan Eric, Eckholm (tt), “Orang-

orang yang Tergeser: Land Reform dan Pembangunan yang Mantap”, dalam Seri Wawasan, hal. 28-62.

9 Lihat, misalnya, dokumen Kelompok Studi Pembaruan Agraria (2001), Ketetapan MPR RI tentang Pembaruan

Agraria sebagai Komitmen Negara Menggerakan Perubahan menuju Indonesia yang Lebih Baik, masukan

Pemikiran dari Kelompok Studi Pembaruan Agraria Disampaikan kepada Badan Pekerja II MPR-RI pada 21

Mei 2001.

10 Istilah reforma agraria dan landreform itu sendiri sering dipergunakan secara bertukaran untuk makna (dalam

pengertian) yang sama. Lihat Wiradi, Gunawan (1984), “Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria”, dalam

Dua Abad Penguasaan Tanah di Indonesia: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Sediono MP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (ed.), hal. 286-382 (Jakarta: Gramedia), khususnya hal. 312-

313.

864

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

oleh Prosterman, Temple dan Hanstad, adalah “satu-satunya cara yang efektif untuk

menggeser ketidakseimbangan di dalam struktur kekuasaan yang kemudian dapat

menjadi dasar bagi pengembangan institusi-institusi sosial dan politik yang lebih

partisipatoris, baik di tingkat lokal dan nasional, sekaligus memperkuat

demokrasi”11. Tetapi tidak boleh diabaikan, dalam landreform selain ada proses

redistribusi tanah bagi petani-petani miskin, tak bertanah atau yang hanya

menguasai lahan sedikit, harus terkandung muatan aksi-aksi untuk mencegah dan

mengurangi konsentrasi penguasaan tanah.

Dalam pengamatannya terhadap pelaksanaan landreform di beberapa negara

Amerika Latin, Lindquist (1979) menyimpulkan bahwa suatu landreform harus12:

(1) Bermakna sebagai suatu transfer kekuasaan;

(2) Pengembalian tanah-tanah (property) rakyat yang dirampas;

(3) Pembagian tanah secara merata (hal ini dapat menimbulkan konflik dengan

poin no. 2);

(4) Mengarah kepada pengelolaan tanah yang lebih baik (hal ini dapat konflik

dengan poin no. 2 dan 3);

(5) Meningkatkan standar kehidupan dari petani-petani yang menerima manfaat

dari reform;

(6) Meningkatkan produksi pertanian;

(7) Menciptakan lapangan kerja;

(8) Mempercepat pembentukan modal (capital formation), investasi dan teknologi

(inovasi di bidang pertanian);

(9) Menciptakan dukungan politik untuk partai atai kelompok-kelompok politik

yang pro reform;

(10) Memungkinkan untuk dilakukan/diterapkan dalam kondisi yang ada di tengah

masyarakat, khususnya dalam hal kapasitas personal/orang-orang yang

ada/tersedia; dan

(11) Menjungkirbalikan (mengubah) masyarakat kapitalis.

11

Prosterman, Roy L., Mary N. Temple dan Timothy M. Hanstad (1990), “Introduction”, dalam Agrarian Reform and Grassroots Development: Ten Case Studies, Roy L. Prosterman, Mary N. Temple dan Timothy M.

Hanstad (ed.) (Boulder: Lynne Rienner Publisher, Inc.), hal. 2.

12 Lindquist, Sven (1979), Land and Power in South America (Harmondsworth: Penguin Books).

865

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Jadi, reforma agraria selain merupakan bagian dari program pembangunan

ekonomi, juga bermakna sebagai “suatu program politik untuk merubah struktur

kekuasaan dalam lapangan agraria (penguasaan dan penggunaan sumber-sumber

agraria)”13. Di dalamnya, redistribusi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya yang

telah dikuasai dalam skala besar atau melebihi batas maksimum yang ditentukan,

dan pengembalian tanah-tanah dan sumber-sumber agraria lainnya yang diambil

dari penguasaan rakyat sebelumnya, menjadi satu program penting dalam rangka

merombak struktur penguasaan tanah atau sumber-sumber agraria tersebut.

Dalam konteks peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan

rakyat, dapat dikatakan hampir semua negara industri maju telah melakukan

reforma agraria sebelum melaksanakan industrialisasinya. Pengalaman

pelaksanaan reforma agraria di sejumlah negara Asia (seperti: Taiwan, Jepang,

Korea Selatan, dan Cina), Afrika dan Amerika Latin, seperti yang diungkapkan oleh

Lin (1974) menunjukkan setidaknya ada 10 (sepuluh) aspek utama yang perlu diurus

kelengkapannya oleh penyelenggara negara bila reforma agraria mau berhasil,

yakni: (1) Mandat Konstitusional, (2) Hukum Agraria dan Penegakkannya, (3)

Organisasi Pelaksana, (4) Sistem Administrasi Agraria, (5) Pengadilan, (6) Desain

Rencana dan Evaluasi, (7) Pendidikan dan Latihan, (8) Pembiayaan, (9)

Pemerintahan Lokal, dan (10) Partisipasi Organisasi Petani14.

Reforma agraria akan menghasilkan revitalisasi sektor pertanian dan

pedesaan yang kokoh. Reforma agraria yang berhasil ditandai oleh kepastian

penguasaan tanah yang menjamin penghidupan dan kesempatan kerja bagi petani,

tata-guna tanah yang mampu memperbaiki pengelolaan sumberdaya alam dan

pelestarian mutu lingkungan hidup, kedaulatan pangan, kemampuan produktivitas

yang mampu membuat keluarga petani mampu melakukan re-investasi dan memiliki

daya beli yang tinggi. Kalau hal ini terjadi, sektor pertanian kita akan menjadi

sandaran hidup mayoritas rakyat dan juga sekaligus penyokong industrialisasi

nasional. Dengan demikian reforma agraria akan mewujudkan keadilan,

kesejahteraan dan keamananan.

Dengan kata lain tujuan pokok dari reforma agraria (yang sejati) adalah

penciptaan keadilan sosial yang ditandai dengan adanya keadilan agraria (agrarian

13

Bachriadi (1999), Pembaruan Agraria (Agrarian Reform), hal. 27.

14 Lin (ed.) (1974), Readings in Land Reform.

866

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

justice), peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Keadilan

agraria itu sendiri dapat dimaknai sebagai suatu kondisi dimana struktur

penguasaan tanah secara relatif tidak memperlihatkan ketimpangan, yang

memberikan peluang bagi terciptanya penyebaran dan penguatan aktivitas

perekonomian rakyat yang berbasis di pedesaan, dan kemudian menjadi basis bagi

partisipasi aktif (dan produktif) bagi sebagian besar penduduk yang nyatanya

bergantung pada aktivitas pertanian untuk terlibat dalam kegiatan pembangunan

nasional baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Itu sebabnya pula, sejak lama

banyak ahli meyakini bahwa reforma agraria yang sejati akan memberikan

kontribusi penting bagi proses demokratisasi pedesaan yang dalam konteks

Indonesia adalah salah satu pangkalan penting bagi kehidupan sosial sebagai besar

penduduknya15.

Sementara itu, konflik agraria yang merebak selama ini adalah tanda lain dari

perlu dilaksanakannya reforma agraria, karena konflik agraria itu sendiri

merefleksikan pudarnya keadilan agraria di dalam suatu masyarakat (:negara).

Reforma agraria dimaksudkan untuk menjawab ketimpangan dan konflik yang

timbul. Konflik agraria selain merupakan akibat tidak dilaksanakannya reforma

agraria, juga dapat terjadi dalam proses reforma agraria apabila persiapannya

tidak matang16. Karena itu, untuk mencegah terjadinya konflik yang biasanya

menyertai pelaksanaan reforma agraria, maka reforma agraria perlu dipersiapkan

dengan matang dengan memenuhi berbagai prasyarat yang diperlukan. Peran negara

(dalam hal ini: pemerintah) sangat penting, bahkan tidak tergantikan dalam

pelaksanaan reforma agraria, termasuk menyediakan prasyarat-prasyaratnya.

Prasyarat pelaksanaan reforma agraria yang dimaksud meliputi: (1) kemauan

politik, (2) data keagrariaan yang lengkap dan akurat, (3) adanya organisasi tani

15

Lihat misalnya: Senior (1958), Land Reform and Democracy (Westport: Greenwood Press); Prosterman dan

Riedinger (1987), Land Reform and Democratic Development (Baltimore: John Hopkins Univ. Press);

Prosterman, Roy L., Mary N. Temple dan Timothy M. Hanstad (ed.) (1990), Agrarian Reform and Grassroots Development: Ten Case Studies (Boulder: Lynne Rienner Publisher, Inc.).

16 Lihat, misalnya: Lindquist (1979), Land and Power in South America (Harmondsworth: Penguin Books);

Christodolou, Demetrios (1990), The Unpromised Land: Agrarian Reform and Conflict Worldwide (London:

Zed Books); dan Wiradi, Gunawan (2002), Pembaruan Agraria Anak Kandung Konflik Agraria, Konflik Agraria Anak Kandung “Pembaruan” Agraria, makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pembaruan

Agraria, Yogyakarta 16 Juli 2002, STPN dan BPN.

867

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

yang kuat, (4) elit politik dan elit bisnis yang harus terpisah, dan (5) dukungan dari

angkatan bersenjata17.

Berdasarkan sejumlah pandangan di atas, seperti ditegaskan oleh para pakar

dan aktivis penyusun “Petisi Cisarua”, siapa pun yang memerintah Indonesia

khususnya pemerintahan baru pasca Pemilu 2004, hendak lah tidak sekedar

menempatkan reforma agraria sebagai program penyerta atau complementary

program bagi revitalisasi pertanian. Apalagi sejatinya gagasan tentang revitalisasi

pertanian itu masih disandarkan pada cara-cara lama, yakni mengandalkan

kekuatan modal besar yang diundang dari luar pedesaan untuk mengeksploitasi

potensi lokal. Jika reforma agraria hanya ditempatkan sebagai complementary

program, apalagi lebih diorientasikan untuk memberikan kepastian hukum (secara

formal) bagi penguasaan tanah oleh petani semata untuk kemudian dilibatkan dalam

program-program pengembangan ekonomi yang eksploitatif yang dikendalikan oleh

korporat-korporat bisnis. Jika demikian, maka itu lah yang disebut dengan reforma

agraria “pura-pura” yang kemudian akan lebih mencuatkan kepentingan-

kepentingan ekonomi dan politik yang berbeda ketimbang untuk mencapai tujuan-

tujuan pokoknya yang berujung pada penciptaan keadilan agraria (agrarian justice).

Hal-hal yang Patut Diwaspadai dari Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)

atau Program “Reformasi Agraria” ala SBY

Perlu diperhatikan bahwa rencana SBY untuk menjalankan “reforma agraria”

– yang dalam pidatonya disebutkan secara salah sebagai reformasi agraria – lebih

ditumpukan kepada dua hal, yakni: (1) redistribusi lahan secara terbatas, dan (2)

sertifikasi tanah18. Dalam pidatonya tersebut, Presiden SBY tidak menyebutkan

berapa banyak Tanah Negara yang akan diredistribusi, dimana lokasinya, berapa

banyak rumah tangga petani (yang disebutnya sebagai “termiskin”) yang akan

menjadi penerima manfaat langsung, dan siapa saja serta dengan cara bagaimana

para “petani termiskin” ini diidentifikasi. Dalam pidatonya hanya disebutkan,

“langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang

17

King (1977), Land Reform. Lihat juga Wiradi (2000), Reforma Agraria.

18 Naskah Pidato Presiden Republik Indonesia DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono Pada Awal Tahun 2007,

Jakarta 31 Januari 2007, hal. 10.

868

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

berasal dari hutan konversi, dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita

boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat”19.

Dari pemberitaan media massa terakhir20, diketahui oleh publik bahwa Tanah

Negara yang hendak diredistribusi adalah sekitar 9,25 juta hektar yang terdiri dari

1,1 juta hektar merupakan tanah-tanah yang menurut UU sudah bisa diperuntukan

bagi landreform21, dan 8,15 merupakan tanah-tanah yang berstatus kawasan hutan

produkti konversi22. Sementara itu menurut Kepala BPN, Joyo Winoto, pihak

pemerintah yang dalam hal ini adalah BPN dan Departemen Kehutanan masih akan

melakukan indentifikasi dan penghitungan kembali terhadap sejumlah lahan yang

mungkin dapat diredistribusikan melalui program ini23. Sebelumnya, sejak akhir

tahun 2006 hingga pertengahan bulan Mei ini, pemberitaan di media massa yang

mengutip pernyataan sejumlah pejabat negara terkait, khususnya kepala BPN, lebih

sering mengutip bahwa ada 8,15 juta hektar eks kawasan hutan produksi konversi

dan tanah-tanah negara lainnya yang jumlahnya tidak diketahui24.

19

Naskah Pidato Presiden Republik Indonesia DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono Pada Awal Tahun 2007, Jakarta 31 Januari 2007, hal. 10.

20 Lihat, misalnya: “9,25 juta hektar Tanah Gratis untuk Rakyat Miskin”, Media Indonesia Online, 22 Mei 2007

[www.media-indonesia.com]; “Rakyat Miskin bisa Punya Tanah”, Pikiran Rakyat, 23 Mei 2007; “Rakyat

Miskin akan Dapat Lahan”, Republika, 23 Mei 2007.

21 Bandingkan juga pernyataan Kepala BPN ini, dengan pernyataan mantan Wakil Kepala BPN periode

sebelumnya, Prof DR. Maria Soemardjono, SH, MPA yang memperkirakan bahwa secara akumulatif jumlah

Tanah Negara yang dapat diredistribusi ada sekitar 1.397.167 hektar, dimana hingga tahun 1998 telah

diredistribusi sekitar 56,4% atau sekitar 787.931 hektar. Lihat: Bachriadi, Dianto (2000), “Land for the landless:

Why are the democrats in Jakarta not interested in land reform?”, dalam Inside Indonesia No. 64, October-

December 2000.

22 Tanah-tanah yang berstatus sebagai “kawasan hutan produksi” merupakan bagian dari kawasan yang disebut

dengan Hutan Negara yang berada dalam yurisdiksi UU Pokok Kehutanan dan memerlukan proses pelepasan

kawasan hutan oleh Departemen Kehutanan terlebih dahulu sebelum dapat dipergunakan untuk kegiatan-

kegiatan yang tidak berkaitan dengan pengelolaan hutan.

23 Lihat, “9,25 juta hektar Tanah Gratis untuk Rakyat Miskin”, Media Indonesia Online, 22 Mei 2007

[www.media-indonesia.com].

24 Lihat, misalnya: “Tanah Gratis untuk Petani Dibagikan 2007”, Tempo Interaktif, 04 Oktober 2006,

[www.tempo-interaktif.com]; “Pemerintah Siapkan Pembagian Lahan Petani”, Koran Tempo 13 November

2006; “Redistribusi Lahan bukan Hanya untuk Petani”, KOMPAS 6 Januari 2007; dan “Lahan 24 juta hektar

Tidak Teridentifikasi”, KOMPAS 16 Januari 2007. Sementara itu, Tempo Interaktif, 28 September 2006 (19:54

WIB), “Pemerintah Bagikan 9 Juta Hektar Tanah” [www.tempo-interaktif.com], memberitakan bahwa

pemerintah akan meredistribusi 9 juta hektar Tanah Negara yang akan diberikan kepada petani sebanyak 60%

dan sisanya (40%) disediakan kepada investor, baik investor domestik dan asing, untuk pengembangan

perkebunan besar yang diberi HGU selama 100 tahun (khusus untuk investor asing disesuaikan dengan UU

Penanaman Modal Asing yang baru). Dalam Tempo Interaktif, 04 Oktober 2006, “Tanah Gratis untuk Petani

Dibagikan 2007” [www.tempo-interaktif.com], Menteri Pertanian menyebutkan selain 9 juta ha tanah negara

yang berupa hutan tanaman rakyat, masih ada 8,12 juta hektar tanah lain dan 2 juta hektar tanah perusahaan

umum Perhutani di Jawa yang 1,15 juta hektar diantaranya sudah dapat dipergunakan untuk kepentingan

program ini. Namun menurut BPN, tanah seluas 8,12 juta hektar tersebut masih berupa alokasi indikatif. Artinya

869

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Kesimpang-siuran mengenai angka ini, yang tentu saja nantinya berdampak

pada soal penentuan lokasi implementasi program, bisa jadi bertambah runyam jika

dihubungkan dengan pernyataan Presiden SBY dalam pidato akhir tahunnya. Beliau

mengatakan “… mengingat selama kurun waktu 43 tahun (sejak 1961 hingga 2004),

tanah negara yang diberikan kepada rakyat baru berjumlah 1,15 juta hektar”25.

Apakah angka yang disebutkan oleh Presiden SBY ini (: 1,15 juta hektar) sama

dengan angka yang disebut-sebut sebagai “1,1 juta hektar merupakan tanah-tanah

yang menurut UU sudah bisa diperuntukan bagi landreform” oleh media massa di

atas? Jika benar angka yang dimaksud adalah sama, maka ada dua kemungkinan

yang bisa terjadi di sini. Kemungkinan pertama adalah, pemerintah melalui Kepala

BPN telah mengklaim tanah-tanah yang telah diredistribusi selama ini sebagai

bagian atau hasil dari program “reformasi agraria ala SBY”. Kedua, pihak media

massa telah salah menyitir atau mengintepretasi pernyataan dari Kepala BPN

sehubungan dengan angka 1,1 juta hektar tersebut.

Kenyataan-kenyataan yang terurai ini menyiratkan bahwa sesungguhnya

pemerintah tidak memiliki suatu jaringan data dan informasi yang baik, apalagi

akurat, yang bisa dijadikan pegangan tepat untuk menjalankan program landreform.

Selain itu, pada kenyataannya hingga saat ini belum diketahui benar siapa yang akan

menjadi subyek (penerima manfaat langsung pembagian tanah), dengan cara

bagaimana redistribusi tanah ini akan dilakukan dan apa bentuk hak yang akan

timbul atas tanah-tanah tersebut. Ditambah dengan ketidakjelasan – untuk tidak

mengatakannya dengan ‘absen’ alias ‘tidak ada’ – beberapa hal yang sangat prinsip di

dalam suatu program landreform ataupun reforma agraria di dalam konsepsi

“reformasi agraria ala SBY” ini, seperti: pembatasan penguasaan tanah,

penyelesaiakan konflik, dan penyediaan sarana-sarana produksi serta proteksi

terhadap kegiatan produktif di atas lahan-lahan yang diredistribusi. Maka patut

dipertanyakan apakah SBY memang menganggap dan meyakini reforma agraria

sebagai suatu agenda yang penting untuk dijalankan sebagai landasan baru bagi

penataan struktur penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia atau gagasan ini

tanah tersebut belum berstatus Tanah Negara yang bisa dibagikan. Mengenai tanah-tanah obyek program

“reformasi agraria ala SBY” yang tidak hanya ditujukan untuk kalangan petani, lihat juga “Redistribusi Lahan

bukan Hanya untuk Petani”, KOMPAS 6 Januari 2007.

25 Naskah Pidato Presiden Republik Indonesia DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono Pada Awal Tahun 2007,

Jakarta 31 Januari 2007, hal. 10.

870

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

sesungguhnya lebih sebagai suatu program politik untuk merebut simpati dan

dukungan politik khususnya dari kaum tani bagi kepentingan-kepentingan yang

sama sekali tidak memiliki kaitan dengan upaya menciptakan keadilan agraria.

Sudah menjadi keyakinan teoritik sejumlah ahli agraria bahwa tidak seluruh

pelaksanaan redistribusi tanah dapat disebut sebagai landreform atau lebih luas lagi

sebagai reforma agraria. Karena pada dasarnya, reforma agraria harus bermakna

penataan ulang struktur penguasaan tanah yang di dalamnya dapat terliput – dan

biasanya menjadi program intinya – suatu aktivitas redistribusi tanah dan

pembatasan (: pencegahan) konsentrasi penguasaan tanah. Bahkan dapat pula di

dalamnya terkandung aksi-aksi untuk menata ulang sistem bagi hasil dalam kegiatan

pertanian26.

Aktivitas redistribusi tanah tersebut selanjutnya harus disertai dengan

sejumlah program ikutan yang tidak bisa tidak harus disediakan secara programatik

pula, yakni penyediaan segala kemudahan bagi petani penerima tanah untuk

memulai mengembangkan potensi produktivitasnya di atas tanah yang mereka

terima. Peran negara (dalam hal ini pemerintah) tidak hanya menyiapkan sarana

untuk kemudahan berproduksi dan kemudian memasarkan hasil-hasil produksi

kelompok-kelompok petani penerima tanah tersebut, tetapi juga ada perannya untuk

memberikan perlindungan ketika petani-petani penerima tanah masih harus

memperkuat unit-unit ekonomi produksinya.

Di sini masih menjadi pertanyaan, apakah program redistribusi tanah yang

baru saja dicanangkan oleh SBY juga akan menjadikan negara (: pemerintah)

menjadi penyedia (kemudahan) berbagai sarana produksi dan kemudian melindungi

mereka dari berbagai ancaman nyata atau potensial atas keberlangsungan kegiatan

produktifnya? Tampaknya dua hal ini masih perlu diragukan mengingat berbagai

kebijakan ekonomi dan kebijakan-kebijakan sosial lainnya dalam beberapa tahun

terakhir justru menegaskan hilangnya peran negara (: pemerintah) sebagai

pelindung bagi penguatan aktivitas perekonomian rakyat yang berbasis di pedesaan,

selain sebagai penyedia berbagai kemudahan bagi masyarakat untuk menegakan

hak-hak dasarnya untuk dapat hidup layak sebagai warga negara. Ingat saja

26

Mengenai hal ini lihat: Cohen, Suleiman. I. (1978), Agrarian Structures and Agrarian Reform (Leiden:

Martinus Nijhoff); dan Parlindungan. A. P. (1991), Undang-undang Bagi Hasil di Indonesia: Suatu Studi Komparatif (Bandung: Mandar Maju).

871

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

kebijakan-kebijakan SBY-JK yang menaikan harga BBM, melanjutkan dan

mempertegas kebijakan pengurangan subsidi untuk sarana produksi pertanian,

kebijakan bagi kemudahan masuknya hasil-hasil pertanian dari luar begeri untuk

menyaingi produk lokal, membiarkan pelayanan kesehatan dan pendidikan

dikendalikan oleh hukum pasar dan korporat bisnis, dan lain sebagainya lagi yang

semuanya sudah memerosotkan kemampuan petani untuk berproduksi – apalagi

menjadi kuat! – dan memerosotkan kualitas kehidupan rakyat pada umumnya.

Jeratan komitmen pemerintah Indonesia terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi

global saat ini, seperti perjanjian-perjanjian untuk memfasilitasi investasi dan pasar

bebas, adalah hal pertama dan pokok yang harus diterabas jika memang hendak

menjalankan reforma agraria yang sejati di Indonesia.

Hal lain yang sangat penting disorot dari rencana program redistribusi tanah

ala SBY adalah absennya komitmen pemerintah untuk membatasi penguasaan tanah

secara berlebihan. Padahal, reforma agraria yang sejati dalam kerangka

mewujudkan keadilan agraria bukan hanya mengandung program redistribusi tanah,

tetapi secara bersamaan harus disertai dengan mengurangi dan mencegah terjadinya

konsentrasi penguasaan tanah. Artinya, jika ditemukan praktek-praktek penguasaan

tanah berlebih, termasuk yang menguasainya dengan cara guntai (absentee)27, maka

pemerintah dalam kerangka reforma agraria harus melakukan upaya-upaya

pencabutan hak atas tanah-tanah yang dikuasai melebihi batas-batas yang

ditentukan untuk kemudian diredistribusi kepada pihak-pihak yang secara hukum

telah ditetapkan sebagai penerima manfaat redistribusi. Mengenai hal ini sejumlah

peraturan hukum yang masih berlaku hingga saat ini sangat jelas mengatakan hal

tersebut, seperti: (1) UUPA 1960 pasal 728 dan pasal 1729; UU No.56/Prp/1960

27

Pengertian absenteeism dalam bidang pertanahan adalah adanya tanah yang dimiliki atau dikuasai yang

letaknya berjauhan atau tidak sama dengan letak tempat tinggal si pemilik/penguasa, sehingga yang

bersangkutan tidak dapat atau tidak mengusahakan sendiri tanah tersebut secara aktif.

28 Dalam pasal 7 dinyatakan: “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah

yang melampaui batas tidak diperkenankan”.

29 Pasal yang terdiri dari 4 ayat ini menyatakan: (1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk

mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang

boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum; (2) Penetapan

batas maksimim termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu

yang singkat; (3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat 2 pasal

ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang

membutuhkan menurut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah; (4) Tercapainya batas minimum termaksud

dalam ayat 1 pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-

angsur.

872

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian30; dan PP No. 6/1999 tentang

Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi, serta

Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 2/1999 tentang Izin Lokasi31. Sedangkan

ketentuan tentang larangan tanah guntai (absenteeism) diatur dalam pasal 1032.

Selebihnya, pemerintah (: negara) kemudian harus melindungi para penerima

manfaat (: penerima tanah dan bagi hasil yang relatif setara) ini dari aksi-aksi

perlawanan yang biasanya digerakan oleh pihak-pihak yang merasa “dirugikan” oleh

kebijakan afirmatif tersebut33.

Dalam pidato politiknya beberapa bulan yang lampau, SBY sama sekali tidak

menyinggung dan menegaskan kembali pentingnya pencegahan dan pelarangan

penguasaan tanah secara berlebihan baik oleh perseorang maupun oleh korporasi ini

sebagai bagian pokok dari kerangka “reformasi agraria” yang hendak

dijalankannya34. Bahkan sebaliknya, dari beberapa pemberitaan media massa35 dan

30

Penetapan batas maksimum penguasaan tanah dibuat berdasarkan kondisi tanah, wilayah dan keadaan

geografi setempat serta komposisi demografi. 30

Menurut UU No. 56/Prp/1960, penetapan luas tanah maksimal

yang dapat dikuasai dibedakan menurut: (a) daerah yang padat dan tidak padat; (b) tanah sawah (arable land)

dan tanah kering (non arable land); (c) besaran keluarga yang terdiri dari 7 (tujuh) orang dan keluarga yang

terdiri dari lebih tujuh orang; dan kebijakan bagi anggota ABRI/Pegawai Negeri yang sedang bertugas di luar

daerah yang berhak hanya 2/5 dari yang dimungkinkan untuk penduduk biasa. Lihat: “UU No.56 PRP Tahun

1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian”; “Penjelasan UU No.56 PRP Tahun 1960”; dan “Keputusan

Menteri Agraria No.SK 978/Ka/1960 tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian”, dalam Harsono,

Boedi (1996), Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, edisi revisi (Jakarta:

Penerbit Djambatan), hal. 771-777, 778-788, dan 789-796.

31 Kedua peraturan ini muncul setelah adanya sejumlah desakan untuk menguangi dan mengerem ekspansi usaha

perusahaan-persuhaan pemegang HPH serta ekspansi areal perkebunan sawit, maupun pengembangan kawasan-

kawasan wisata dan perumahan-perumahan terpadu yang dalam 15 tahun terakhir menunjukan kecenderungan

ekspansionis yang luar biasa. Walaupun kedua peraturan ini tidak diberlakukan surut, dan terlepas dari

lemahnya aspek penerapan dan pengawasannya, keduanya sebagai peraturan yang membatasi konsentrasi

penguasaan tanah oleh satu perusahaan atau satu perusahaan induk (holding company) peraturan ini cukup

progresif.

32 Pasal ini menyatakan: (1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian

pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara

pemerasan; (2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat 1 ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan

perundangan; (3) Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat 1 pasal ini diatur dalam peraturan perundangan.

33 Mengenai pelaksanaan program landreform di Indonesia dan juga gerakan perlawanannya lihat, misalnya:

Utrect, Ernst (1969), “Land Reform”, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies 5(3), hal. 71-88; Morad,

Aly A. (1970), Land Reform: Report to the Government of Indonesia (Rome: FAO); Huizer, Gerrit (1980),

Peasant Movements and Their Counterforces in South-East Asia (New Delhi: Marwah Publications);

Hutagalung, Arie Sukanti (1985), Program Redistribusi Tanah di Indonesia: Suatu Sarana ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan Tanah dan Pemilikan Tanah (Jakarta: Rajawali Pres); Bachriadi, Dianto (1999),

Landreform terhadap Tanah Negara dan Lahan Tidur, makalah untuk Karya Latihan Bantuan Hukum

(KALABAHU) 1999 LBH–Jakarta, Jakarta 7 April 1999; Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas (segera terbit), “Loosing Rights to land: the fate of landreform in five villages in West Java”, dalam Land for the People: State Policy and Agrarian Conflicts in Indonesia, Anton Lucas dan Carol Warren (ed.) (London: Zed Books).

34 Lihat Naskah Pidato Presiden Republik Indonesia DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono Pada Awal Tahun

2007, Jakarta 31 Januari 2007.

873

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

dalam beberapa diskusi yang berkembang di “lingkungan dalam” dari para penyusun

gagasan “reformasi agraria ala SBY” ini juga berkembang gagasan untuk juga

memberikan porsi kepada sejumlah korporat bisnis. Dalam salah satu lokakarya

terbatas yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Ketua

STPN, DR Endriatmo Sutarto, mengatakan: “Rencana Pembaruan Agraria atas lahan

seluas 8,15 juta hektar yang dialokasikan untuk rakyat (seluas 6 juta hektar), dan

pengusaha (sekitar 2,15 juta hektar) harus dilihat dalam rangka model Reforma

Agraria gabungan semacam ini”36.

Berikut ini adalah 7 hal lainnya yang patut diwaspadai sehubungan dengan

rencana “reformasi agraria ala SBY” yang secara formal dinyatakan sebagai Program

Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)37. Ke-7 hal tersebut adalah:

(1) Program reformasi agraria ini besar kemungkinannya merupakan kemasan

baru dari upaya pemerintah untuk memperluas kembali areal-areal perkebunan

besar dengan mengerahkan petani kecil sebagai bagian penting penyangga

tenaga kerja murah melalui sejumlah skema kemitraan seperti model inti-

plasma yang sesungguhnya merupakan gagasan “kuno” dan sudah “bangkrut”,

baik secara teoritik maupun prakteknya dalam kerangka memberdayakan petani

kecil38. Dalam berbagai studi dan literatur malah disebutkan model inti-plasma,

35

Salah satu pemberitaan media massa, “Pemerintah Bagikan 9 Juta Hektar Tanah”, Tempo Interaktif, 28

September 2006 (19:54 WIB) [www.tempo-interkatif.com] disebutkan: “pemerintah menyediakan 9 juta hektar

tanah dikuasai negara untuk diberikan kepada masyarakat sebesar 60 persen dan investor dalam negeri dan asing

sebesar 40 persen. Reformasi agraria ini diberikan untuk masa pemanfaatan tanah itu selama 100 tahun.”

36 Sutarto, Endriatmo (2006), Perlunya Konsensus Mengenai Reforma Agraria ala Indonesia, Pidato Sambutan

Ketua STPNdalam Lokakarya Perumusan Hasil-hasil Simposium Agraria Nasional, Yogyakarta 17-18

Desember 2006.

37 Hal ini saya kemukakan secara lebih jelas dalam Bachriadi, Dianto (2006), Keterbatasan Politik

Penyelenggara Negara: 7 Alasan Logis untuk Menyatakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) sebagai Penyesatan, makalah yang disampaikan dalam Forum Dialog Refleksi Akhir Tahun Gerakan Sosial di

Indonesia, Bandung 27-28 Desember 2006.

38 Mengenai kritik mengenai praktek pengembangan perkebunan besar dengan model inti-plasma di Indonesia,

lihat misalnya: Wiradi, Gunawan (1991), Industri Gula di Jawa dalam Perspektif Model “Inti-Satelit”: Kasus di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Working Paper PSP-IPB Vol. A-31 (Bogor: PSP-IPA); Bachriadi, Dianto

(1995), Refleksi 20 Tahun Program TRI: Madu Pahit untuk Petani, makalah untuk seminar Program TRI dan

Kesejahteraan Petani Tebu, Yogyakarta 24 Agustus 1995; Bachriadi, Dianto (1995), Ketergantungan Petani dan Penetrasi Kapital: Lima Kasus Intensifikasi Pertanian dengan Pola Contract Farming (Bandung: Akatiga); dan

Gunawan, Rimbo, Juni Thamrin, dan Mies Grijns (1995), Dilema Petani Plasma: Pengalaman PIR-Bun Jawa Barat (Bandung: Akatiga). Mengenai “kebangkrutan” perspektif perkebunan besar sebagai penyangga

pertumbuhan ekonomi dan pembangunan masyarakat pedesaan, melainkan sebaliknya menjadi sumber

bertahannya kemiskinan di pedesaan-pedesaan Dunia Ketiga, lihat misalnya: Beckfors, George L. (1972),

Persistent Poverty: Underdevelopment in Plantation Economic of the Third World (Oxford: Oxford Univ.

Press); dan Bachriadi, Dianto (1999), From Neo-Feodalism to Neo-Liberalism: Big Plantations, Small

874

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

yang kemudian di Indonesia diperlunak istilahnya dengan “kemitraan”, pada

hakekatnya tidak lebih dari upaya untuk menjadikan petani sebagai buruh

murah di atas tanah mereka sendiri39. Jadi dalam hal ini Petani kecil diikutkan

dalam skema penguatan sektor pertanian, tetapi tidak dijadikan basis bagi

pembentukan fondasi bagi pertumbuhan ekonomi sebagaimana layaknya

orientasi pokok dari reforma agraria yang sejati.

Hal ini jelas nampak dari pernyataan Kepala BPN, Joyo Winoto, yang

menyatakan bahwa kebijakan untuk menjalankan “reformasi agraria” saat ini

hanya merupakan complementary program untuk mendukung kebijakan

pemerintah dalam merevitalisasi sektor pertanian40, perikanan, dan

kehutanan41.

(2) Program redistribusi tanah ala SBY tidak lebih merupakan suatu instrumen

untuk memperkuat kebijakan penciptaan pasar tanah yang didahului dengan

penciptaan kepastian hukum terhadap pemilikan tanah melalui sertifikasi42.

Redistribusi tanah dapat meningkatkan jumlah sertifikat tanah yang pada

dasarnya menjadi salah satu fondasi dari Program Manajemen/Administrasi

Pertanahan dalam kerangka menciptakan “pasar tanah yang bebas” (free land

Plantations, and Plantation Workers Conditions in Indonesia, Laporan Penelitian untuk The International Union

of Food and Agriculture Workers (IUF) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

39 Mengenai hal ini lihat: Wilson, John (1986), “The Political Economy of Contract Farming”, dalam Review of

Radical Political Economy 18(4), hal. 47-70; Kirk, Colin (1987), “Contracting Out: Plantations, Smallholders,

and Transnational Enterprises”, dalam Institute of Development Studies Bulletin 18(8), hal. 45-51; Wiradi

(1991), Industri Gula di Jawa dalam Perspektif Model “Inti-Satelit” (Bogor: PSP-IPA); Bachriadi (1995),

Refleksi 20 Tahun Program TRI; Bachriadi (1995), Ketergantungan Petani dan Penetrasi Kapital (Bandung:

Akatiga); dan Gunawan, Thamrin dan Grijns (1995), Dilema Petani Plasma (Bandung: Akatiga).

40 Salah satu bagian dari program revitalisasi pertanian adalah Program Revitalisasi Perkebunan yang dapat

diselenggarakan dengan berbagai macam skema, yang salah satunya adalah denga melibatkan kebun-kbun atau

tanah-tanah garapan yang dikuasai atau dimiliki oleh petani setempat dengan skema PIR atau Kemitraan. Jika

tanah-tanah belum dikuasai secara formal oleh masyarakat setempat, program sertifikasi lahan yang akan

menjadi bagian dari program “reformasi agraria ala SBY” atau PPAN dapat/akan mendahuluinya dengan jalan

menerbitkan sertifikat-sertifkat tanah dengan status Hak Milik yang dapat diklaim sebagai bagian dari program

redistribusi tanah. Mengenai Program Revitalisasi Perkebunan, lihat: Program Revitalisasi Perkebunan, bahan

presentasi yang disusun oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta, 29 Maret 2007.

41 “Pemerintah Bagikan 9 Juta Hektar Tanah”, Tempo Interaktif, 28 September 2006 (19:54 WIB) [www.tempo-

interaktif.com].

42 Suatu konsepsi teoretik mengenai efek pendaftaran tanah terhadap pembangunan keuangan dan pertumbuhan

ekonomi dikembangkan oleh Bank Dunia, seperti yang tampak misalnya pada Byamugisha, Frank F.K. (1999),

The Effects of Land Registration on Financial Development and Economic Growth: A Theoretical and Conceptual Framework, World Bank’s Policy Research Working Paper 2240.

875

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

market)43. Dalam konteks ini, menurut Lutfi Nasution, Kepala BPN periode yang

lalu, “dari sekitar 85 juta bidang tanah di seluruh Indonesia, baru 25 juta bidang

yang sudah disertifikasi atau sekitar 32%-nya”44. Sedangkan menurut Bank

Dunia, “hanya sekitar 27 juta (30%) dari sekitar 80 juta parsil tanah yang sudah

terdaftar selama 40 tahun sejak pendaftaran tanah diberlakukan di Indonesia.

Jika gerak pendaftaran tanah seperti ini terus dipertahankan, dengan

pertumbuhan total persil tanah sebanyak 1 juta persil setiap tahunnya, maka

pendaftaran tanah di Indonesia tidak akan pernah dapat meliputi seluruh persil

yang ada”45.

Patut dicatat bahwa sertifikasi tanah dalam kerangka penciptaan “pasar tanah

yang bebas” adalah suatu kebijakan global yang didorong oleh sejumlah lembaga

keuangan internasional, seperti Bank Dunia misalnya, untuk memberikan

landasan bagi intensifikasi penetrasi kapital yang lebih leluasa dalam era

globalisasi saat ini46. Ini adalah bagian dari operasi paham neoliberal untuk

melanjutkan suatu proses yang biasa disebut dengan primitive capital

accumulation47. Dalam konteks Indonesia, pengembangan pasar tanah yang

efisien itu sendiri diyakini oleh Bank Dunia akan memberikan keuntungan bagi

sebagian besar rakyat dan dapat membantu mengurangi kemiskinan [sic!]48.

43

Lihat Rosset, Peter (2002), The Good, the Bad, and the Ugly: World Bank Land Policies, makalah di

presentasikan pada Seminar “The Negative Impacts of the World Bank’s Policies on Market-Based Land

Reform”, George Washington University, Washington, DC, 15-17 April 2002.

44 “BPN: 60 Juta Bidang Tanah Belum Bersertifikat”, Tempo Interaktif 05 Pebruari 2004 [www.tempo-

interaktif.com].

45 Project Appraisal Document Report No. 28178-IND for a Land Management and Policy Development

Project, World Bank’s Document, March 31 2004, hal. 5. Kutipan ini telah diterjemahkan secara bebas oleh

penulis dari sumber aslinya yang berbahasa Inggris.

46 Lihat, misalnya: Kay, Cristobal (2000), “Latin America’s Agrarian Transformation: Peasantisation and

Proletarianisation”, dalam Dissapearing Peasantries? Rural Labour in Africa, Asia and Latin America, Deborah

Brycesson, Cristobal Kay dan J. Mooij (ed.), hal. 123-138 (London: ITDG Press); dan Borras Jr., Saturnino M.

(2003), “Questioning Market-Led Agrarian Reform: Experiences from Brazil, Colombia and South Africa”,

dalam Journal of Agrarian Change 3(30), hal. 367-394. Mengenai konsepsi Bank Dunia mengenai pentingnya

pasar tanah yang bebas (free land market), lihat misalnya: Deininger, Klaus dan Hans Binswanger (1999), “The

Evolution of the World Bank's Land Policy: Principles, Experience, and Future Challenges”, dalam World Bank Research Observer 14(2), hal. 247-276; dan Deininger, Klaus (2003), Land Policies for Growth and Poverty Reduction: A World Bank Policy Research Report (Oxford: Oxford Univ. Press).

47 Byres, Terrence J. (2005), “Neoliberalism and Primitive Accumulation in Less Developed Countries”, dalam

Neoliberalism: A Critical Reader, Alfredo Saad-Filho (ed.), hal. 83-90 (London: Pluto Press);

48 Lihat: Project Appraisal Document Report No. 28178-IND for a Land Management and Policy Development

Project, World Bank’s Document, March 31 2004, hal. 10.

876

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

(3) Pelaksanaan program ini bersama dengan beberapa program penyediaan lahan

lainnya yang secara pararel akan dijalankan – seperti penyediaan tanah untuk

alasan pengembangan bahan bakar nabati (bio-fuel), pengembangan areal-areal

pertambakan, dan revitalisasi perkebunan49 – memiliki potensi untuk

menciptakan bentuk-bentuk baru penguasaan tanah dalam skala besar50.

Ditambah dengan kenyataan bahwa program reformasi agraria ala SBY ini

tidak menyasar pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah dalam jumlah

yang melebihi batas-batas maksimal penguasaan tanah yang telah ditetapkan

oleh peraturan perudangan, maka program ini bukannya menata ulang struktur

penguasaan dan pemilikan tanah tetapi malah berpotensi memperkuat proses

re-konsentrasi penguasaan tanah51.

(4) Program redistribusi dan sertifikasi tanah ala SBY ini dapat menjadi sumber

baru bagi penambahan utang luar negeri. Melalui pemelintiran gagasan land

reform, program ini dapat memberikan legitimasi baru bagi pemerintah saat ini

untuk mengakses hutang baru dari Bank Dunia, karena pihak Bank Dunia

sendiri dalam beberapa dokumen resmi mereka telah menyatakan menyiapkan

diri untuk memberikan hutang baru jika pemerintah hendak menjalankan land

reform di Indonesia yang tentu saja harus sejalan dengan prinsip-prinsip baru

yang mereka anut, yakni land reform yang pro pada pasar (pro-market land

reform scheme).

Dalam salah satu dokumen Bank Dunia yang berjudul “Project Appraisal

Document Report No: 28178-IND for a Land Management and Policy

Development Project”52 disebutkan: “… proyek53 akan mendukung studi-studi

49

Dalam program revitalisasi perkebunan ada beberapa skema, di antaranya adalah revitalisasi perkebunan

rakyat dan revitalisasi perkebunan besar itu sendiri, khususnya melalui program kemitraan dan PIR. Lihat:

Program Revitalisasi Perkebunan, bahan presentasi yang disusun oleh Direktorat Jenderal Perkebunan,

Departemen Pertanian, Jakarta, 29 Maret 2007, hal. 5-6.

50 Lihat kembali poin nomor (1) dalam bagian ini.

51 Mengenai konsentrasi penguasaan tanah oleh korporat-korporat besar di Indonesia, termasuk oleh perusahaan-

perusahaan perkebunan besar milik negara maupun swasta, lihat: Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi

(segera terbit), “Land Problem in Indonesia: the Need for Reform”, dalam Land for the People Lucas dan

Warren (ed.) (London: Zed Books).

52 Dokumen ini adalah suatu dokumen Bank Dunia yang sifatnya hanya dapat didistribusikan dan digunakan

secara terbatas (restricted distribution and for official use only).

53 “Proyek” yang dimaksud di sini adalah Land Management and Policy Development Project (LMPDP).

LMPDP merupakan nama untuk Land Administration Project (LAP) atau Proyek Administrasi Peratanah fase II,

yang dimulai sejak Juni 2004 hingga Desember 2009. Proyek ini bernilai US$87.62 juta yang bersumber dari

pinjaman ke Bank Dunia sebesar US$32.8 juta dan International Development Agency (IDA) juga sebesar

877

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

kebijakan dalam rangka untuk menilai kelayakan dan lingkup dari land reform,

dan akan mencoba membuat isu ini menjadi suatu konsensus nasional. Jika

suatu konsensus nasional telah tercapai, dan pemerintah mengadopsi suatu

pendekatan yang dapat diterima oleh masyarakat dan kelompok-kelompok

masyarakat sipil (CSOs), maka Bank akan menyediakan dana dalam bentuk

mekanisme pinjaman yang terpisah untuk menjalankan skema yang telah

disetujui”54. Tentu saja pendekatan dan skema yang dimaksud adalah suatu land

reform yang pro pada pembentukan pasar tanah atau suatu “market-friendly

land reform”.

(5) Program redistribusi tanah ala SBY ini tidak didisain sebagai suatu upaya

pemerintah saat ini untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang ada dan

telah meluas sedemikian rupa hingga saat ini55. Apalagi untuk menjawab

kenyataan pendudukan tanah oleh kelompok-kelompok petani tak bertanah

yang telah berkembang sedemikian rupa dalam 15 tahun terakhir sebagai cara

genuine dari mereka untuk merebut hak-hak ekonomi mereka yang telah

diabaikan selama ini. Semestinya kenyataan ini ditempatkan sebagai prioritas

untuk diakomodasi secara optimal melalui program reforma agraria yang sejati,

seperti telah dimaknai oleh Christodolou (1990); Wiradi (2002); Eckholm (tt);

dan Bachriadi, Faryadi dan Setiawan (1997)56.

US$32.8 juta, sementara yang berasal dari sumber dana dalam negeri (non hutang) sebesar US$22.02 juta.

Lihat: Project Appraisal Document Report No. 28178-IND for a Land Management and Policy Development

Project, World Bank’s Document, March 31 2004. Proyek ini sendiri memiliki 5 komponen implementasi,

yakni: (1) Pengembangan Kerangka Kebijakan dan Kebijakan Pertanahan Nasional; (2) Pengembangan

Institusional, Pembangunan Kapasitas, dan Pelatihan; (3) Impelementasi Program yang Diakselerasikan dengan

Land Titling; (4) Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan; (5) Mendukung/mendorong Pengembangan

Kapasitas Pemerintahan Lokal. Sedangkan gagasan untuk mendukung dan mendorong pelaksanaan land reform

yang pro pada pasar akan diletakan dalam komponen implementasi proyek nomor (3) dan (5). Suatu analisa

kritis mengenai rencana proyek ini, lihat: Bachriadi, Dianto dan Meidi Pratama (2006), Dijual Tanah! yang Berminat Silahkan Hubungi Pemilik. Seratus Persen Dijamin oleh Pemerintah: Kritik dan Implikasi Pelaksanaan Land Management Policy and Development Project (LMPDP) di Indonesia, Kertas Posisi ARC

No. 001/2006 (Bandung: Agrarian Resource Center).

54 Project Appraisal Document Report No. 28178-IND for a Land Management and Policy Development

Project, World Bank’s Document, March 31 2004, hal. 12. Kutipan yang dicantumkan di sini telah

diterjemahkan secara bebas dari bentuk aslinya yang berbahasa Inggris.

55 Suatu analisis yang komprehensif mengenai konflik agraria yang bersifat struktural, lihat misalnya: Bachriadi,

Dianto (2004), “Tendensi dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia: Menunggu Lahirnya Komisi

Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA)”, dalam Jurnal Dinamika Masyarakat Vol. III, No. 3,

November 2004, hal. 497-521.

56 Christodolou (1990), The Unpromised Land (London: Zed Books); Wiradi (2002), Pembaruan Agraria Anak

Kandung Konflik Agraria, Konflik Agraria Anak Kandung “Pembaruan” Agraria; Bachriadi, Faryadi dan

Setiawan (ed.) (1997), Reformasi Agraria (Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Univ. Indonesia); Eckholm (tt), “Orang-orang yang Tergeser: Land Reform dan Pembangunan yang Mantap”.

878

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Dalam kesempatan menyampaikan hasil-hasil pembicaraannya dengan Presiden

SBY, Kepala BPN, Joyo Winoto, tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa

PPAN akan diarahkan kepada penyelesaian konflik-konflik agraria khususnya di

lokasi-lokasi di mana sejumlah lahan HGU perkebunan maupun yang diklaim

oleh pemerintah sebagai kawasan hutan telah diduduki dan digarap oleh

sejumlah petani. Disebutkannya bahwa penyelesaian konflik-konflik pertanahan

yang dikatakan berjumlah sekitar 2.810 kasus di seluruh Indonesia akan

dilokalisasi ke dalam wilayah kewenangan instansi penyelesaian sengketa

pertanahan yang berada dalam tubuh BPN sendiri yang berada di bawah Deputi

Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Selain itu, yang

bersangkutan juga mengatakan bahwa penyelesaian sengketa dan konflik

pertanahan akan dilakukan secara proporsional dengan mengacu kepada dan

mempertimbangkan hak-hak dari para pihak yang bersengketa sesuai dengan

peraturan hukum yang berlaku57. Dalam hal ini patut diperhatikan bahwa

selama ini putusan-putusan BPN yang mengeluarkan sertifikat-sertifikat HGU –

baik dalam bentuk HGU baru maupun HGU perpanjangan – sesungguhnya telah

menjadi salah satu sumber permasalah atau sumber dari konflik itu sendiri58.

Suatu studi yang dilakukan oleh Komisi Ombudsman Nasional (KON) yang

bekerja sama dengan KPA malah menyimpulkan bahwa BPN dan Kantor-kantor

Pertanahan-nya memang telah terjerumus ke dalam jurang praktek mal

administrasi pertanahan yang cukup serius59.

(6) Alih-alih menyelesaikan berbagai konflik agraria yang telah merebak tersebut,

program redistribusi tanah ala SBY ini malah dapat menjadi alat delegitimisasi

bagi aktivitas reclaiming tanah di atas60. Bahkan program ini dapat menjadi

57

“Sengketa Tanah: Terdapat 2.810 Kasus Sengketa dan Konflik”, KOMPAS 23 Mei 2007; “9,25 juta hektar

Tanah Gratis untuk Rakyat Miskin”, Media Indonesia Online, 22 Mei 2007 [www.media-indonesia.com].

58 Lihat: Bachriadi (2004), “Tendensi dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia”; dan Tim Kerja

Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) (2004), Naskah Akadaemik Penyelesaian Konflik Agraria dan Usulan Pelembagaannya (Jakarta: Komnas HAM dan KPA).

59 Lihat: Bachriadi, Dianto, Yudi Bachrioktora, dan Hilma Safitri (2005), Ketika Penyelenggaraan

Pemerintahan Menyimpang: Mal Administrasi di Bidang Pertanahan (Yogyakarta: Pustaka Lapera).

60 Presiden RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pernah menyampaikan dalam Sidang Tahunan MPR tahun

2000, ada sekitar 119.136 hektar tanah perkebunan yang dikuasai oleh PTPN (I hingga XIV) yang telah digarap

oleh rakyat. Lihat dokumen “Jawaban Presiden Dalam Sidang Tahunan MPR 2000, Rabu 9 Agustus 2000”,

khususnya halaman 5-6. Sementara itu, menurut catatan BPN, dan ada sekitar 60.000 hektar lahan perkebunan

dari 120 perusahaan perkebunan yang telah diduduki oleh rakyat. Lihat: Bachriadi (2000), “Land for the

Landless”, hal. 28.

879

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

penguat legitimasi dan tameng politik bagi proses pengusiran kembali

kelompok-kelompok petani tersebut dari lahan-lahan yang sekarang telah

mereka kuasai dan pada kenyataannya di beberapa tempat telah dapat

meningkatkan kesejahteraan mereka61. Jika demikian, ditambah dengan

keterbatasannya untuk menjangkau petani-petani miskin lainnya yang juga

potensial menjadi subyek penerima tanah, program ini malah dapat menjadi

sumber konflik agraria yang baru.

(7) Program reformasi agraria ini dapat dibaca sebagai cara SBY dan politisi di

sekelilingnya “mendekati” petani sebagai sumber suara bagi kepentingan

politiknya dalam Pemilu 2009. Dalam satu dokumen yang dikeluarkan oleh

BPN, disebutkan bahwa dalam implementasi PPAN akan dibentuk “Kelompok-

kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan” (disingkat “Pokmasdartibnah”)

di seluruh desa dan kelurahan di Indonesia62. Adapun secara formal tujuan dan

fungsi kelompok-kelompok yang terdiri dari sekurang-kurangnya 30 orang ini

adalah untuk “memperoleh kesamaan persepsi dalam pembentukan dan

peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan PPAN”63, dan untuk

proses pembentukan serta aktivitasnya disediakan anggaran yang berasal dari

anggaran PPAN itu sendiri64. Dalam konteks pelaksanaan reforma agraria, jelas

kelompok-kelompok seperti ini tidak memiliki relevansi. Jika yang dimaksud

untuk menyelenggarakan reforma agraria atau landreform yang dimaksud,

maka yang seharusnya dibentuk oleh pemerintah adalah lembaga penyelengara

program ini yang berbentuk badan-badan atau komite landreform yang disusun

bertingkat dari tingkat nasional hingga tingkat desa/kelurahan. Adapun badan

ini tugas pokoknya pada tahap awal adalah untuk melakukan pendataan

61

Kehadiran UU No. 18/2004 tentang Perkebunan dalam hal ini akan menjadi alas hukum baru untuk

melakukan kriminalisasi petani-petani penggarap di areal lahan perkebunan besar tanpa memperhatikan alasan-

alasan dan motif-motif keadilan yang lebih luas, tetapi sekedar menegakan “keadilan dan hak” dari para

pemegang HGU semata.

62 Pembentukan “Pokmasdartibnah” dijelaskan dalam tiga buah dokumen petunjuk teknis (juknis) yang

dikeluarkan BPN pada tahun 2007 dalam rangka pelaksanaan PPAN, yakni: (1) “Petunjuk Pelaksanaan

Koordinasi Lintas Sektoral Penanganan PPAN”; (2) “Petunjuk Tenis Pelaksanaan Fasilitasi Pembentukan dan

Peningkatan Partisipasi Kelompok Masyarakat Tertib Pertanahan (Pokmasdartibnah) dalam PPAN”; dan (3)

“Petunjuk Pelaksanaan Penyuluhan dalam PPAN”.

63 Disebutkan pada halaman 1 dalam ketiga dokumen petunjuk teknis pelaksanaan PPAN yang dikeluarkan BPN

tahun 2007, seperti tertulis pada catatan kaki nomor 58.

64 Dalam dokumen “Petunjuk Tenis Pelaksanaan Fasilitasi Pembentukan dan Peningkatan Partisipasi Kelompok

Masyarakat Tertib Pertanahan (Pokmasdartibnah) dalam PPAN” halaman 5, disebutkan “penggunaan anggaran

sesuai DIPA (Daftar Isian Proyek Anggaran) tahun 2007 untuk pelaksanaan PPAN”.

880

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

mengenai subyek dan obyek landreform itu sendiri dan kemudian bersama-

sama dengan pemerintah daerah kemudian menjadi pelaksana dari proses

redistribusi tanah. Komite-komite pelaksana landreform ini dapat disusun

sedemikian rupa secara demokratis dengan melibatkan serikat-serikat petani

yang ada. Jika dikehendaki juga dapat dibentuk lembaga-lembaga peradilan

agraria di tingkat desa/kelurahan untuk menyelesaikan sengketa yang

mungkin/dapat terjadi akibat proses reform itu sendiri, seperti hal dahulu

pernah dibentuk lembaga “peradilan landreform” di tingkat desa ketika

landreform dilaksanakan di Indonesia pada masa Orde Lama65.

Pembentukan “Pokmasdartibnah” di tiap-tiap desa/kelurahan itu sendiri

disebutkan dalam dokumen-dokumen petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh

BPN tidak hanya dalam kerangka atau untuk pelaksanaan PPAN saja, tetapi “…

dalam penyelenggaraan kegiatan pertanahan pada umumnya dan PPAN 2007,

meliputi PRONA, redistribusi tanah, konsolidasi tanah, sertifikasi tanah

transmigrasi, inventarisasi P4T, model Reforma Agraria, LMPDP dan PPAN”66.

Artinya, ada anggaran PPAN yang itu akan dimanfaatkan untuk berbagai

kegiatan yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan proses reforma

agraria itu sendiri. Dengan kata lain, dari segi pemanfaatan anggaran ini, PPAN

itu tidak lebih dari sekedar urusan pemantapan administrasi pertanahan semata

– bukan penataan struktur penguasaan tanah. Dari perspektif politik,

“Pokmasdartibnah” dapat saja berubah menjadi suatu mesin politik yang pada

saatnya dapat digerakan untuk kepentingan politik elektoral (peraihan suara),

seperti halnya ketika Golkar melalui Departmen Penerangan pada masa Orde

Baru membentuk “Kelompencapir” (kelompok pemirsa, pembaca dan

penyampai informasi) di setiap desa/keluarahan di seluruh Indonesia67.

Berbagai studi klasik telah mengingatkan bahwa program redistribusi tanah

selalu mengandung kepentingan politik yang lebih luas dari sekedar komitmen

65

Pada masa itu, lembaga “peradilan landreform” yang dibentuk berdasarkan UU No.21/1964 tentang

Pengadilan Landreform yang dimaksud adalah peradilan adhoc yang dibentuk di desa-desa yang beranggotakan

perwakilan-perwakilan dari serikat-serikat petani.

66 Dokumen “Petunjuk Tenis Pelaksanaan Fasilitasi Pembentukan dan Peningkatan Partisipasi Kelompok

Masyarakat Tertib Pertanahan (Pokmasdartibnah) dalam PPAN” yang dikeluarkan oleh BPN pada tahun 2007,

hal. 1.

67 Bagi para peneliti ilmu sosial, dugaan ini seharusnya dapat menjadi suatu topik atau agenda penelitian lebih

lanjut yang sangat menarik dan menantang.

881

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

untuk keadilan sosial68. Dalam hal ini artinya akan banyak kepentingan politik

non populis yang akan mendompleng dan menyelewengkan program “reformasi

agraria ala SBY” ini untuk kepentingan yang tidak ada hubungannya sama sekali

penciptaan keadilan agraria.

PPAN Sungguh Dapat Menjadi Reforma Agraria Palsu!

Akhirnya, sejumlah keraguan di atas patut ini juga diperhatikan di dalam

bingkai kenyataan adanya “pertarungan kepentingan yang berbeda” di dalam tubuh

rejim SBY-JK (= SBY tidak sekuat yang kita duga dan harapkan!). Jika reforma

agraria yang sesungguhnya hendak dijalankan di Indonesia, jelas ada banyak

kepentingan ekonomi dan politik para tuan tanah dan pengusaha yang akan

terancam. Padahal penerapan reforma agraria oleh pemerintah (agrarian reform

by grace) memerlukan suatu rejim negara yang kuat dan memiliki komitmen penuh

untuk membela kepentingan ekonomi dan politik kaum tani dan rakyat miskin

lainnya69. Rejim yang lemah akan membuat program reforma agraria dapat

terombang-ambing, besar kemungkinan dikooptasi oleh kepentingan lain, dan

potensial untuk menyimpang.

Karena itu, ketimbang berharap terlalu banyak kepada program “reformasi

agraria ala SBY” ini yang dalam pidato awal tahunnya diberi jargon sebagai

penegakan prinsip “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”70, baiknya

sejak awal kita mewaspadai (: bisa juga dinyatakan) bahwa ini adalah jalan bagi

pelaksanaan Reforma Agraria Palsu!

68

Lihat misalnya: Senior (1958), Land Reform and Democracy (Westport: Greenwood Press); Stavenhagen,

Rodolfo (1970), Agrarian Problem and Peasant Movement in Latin America (New York: Anchor Book);

Jacoby, Erich H. dan Charlotte F. Jacoby (1971), Man and Land (New York: Alfred A. Knopf); Migdal, Joel S.

(1974), Peasants, Politics, and Revolution: Pressures toward Political and Social Change in the Third World

(Princeton: Princeton Univ. Press); Prosterman dan Riedinger (1987), Land Reform and Democratic Development (Baltimore: John Hopkins Univ. Press); Putzel (1992), The Captive Land (London: CIIR); dan

Borras Jr. (2004), Rethinking Redistributive Land Reform, Phd Thesis at the Institute for Social Science, The

Hague, The Netherlands.

69 Mengenai hal ini lihat: Bachriadi, Dianto (2007), Membedakan “Agrarian Reform by Grace” dan “by

Laverage”, bahan presentasi dalam Sekolah Politik untuk Reforma Agraria, diselenggarakan oleh

PERGERAKAN-KPA-SPP, 4 -15 Februari 2007.

70 Naskah Pidato Presiden Republik Indonesia DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono Pada Awal Tahun 2007,

Jakarta 31 Januari 2007, hal. 10.

882

DI BALIK PROGRAM PEMBARUANAGRARIA NASIONAL (PPAN)

Iwan Nurdin1

Pendahuluan

Secara singkat, kondisi agraria nasional kita yang sangatmemprihatinkan dewasa ini disebabkan oleh kesalahanpembangunan ekonomi kapitalistik yang selama ini dija-lankan.

Meski pada masa awal pembangunan era Soekarno,pembaruan agraria sempat menjadi agenda bangsa, namuntelah kita ketahui bersama bahwa program pembaruan agra-ria akhirnya dipetieskan sebelum berhasil dijalankansepenuhnya pada saat orde baru berkuasa.

Kebijakan pembangunan ekonomi Orba sedikitnyatelah menambah persoalan dalam bidang pertanahan yaitu:pertama, di sektor pertanian, kebijakan pertanahan tidakdidasarkan atas penataan aset produksi tetapi langsung

1 Penulis adalah Koordinator advokasi kebijakan KonsorsiumPembaruan Agraria (KPA)

883

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

diarahkan kepada upaya peningkatan produktivitas melaluirevolusi hijau. Sehingga meningkatkan jumlah petani tunakisma dan mendorong percepatan guremisasi petani. Kedua,pada saat banyak petani kehilangan akses pada tanah, ber-langsung pula kebijakan pengalokasian tanah dalam skalabesar kepada industri perkebunan dan industri kehutanan.Ketiga, Pembangunan industri dan perluasan kota juga telahmenimbulkan konversi besar-besaran lahan pertanian, apa-lagi belum ditaatinya tata ruang dan penataan tanah sebagaiacuan pemanfaatan dan peng-gunaan tanah. Kelima, tum-buhnya kecenderungan meletakkan tanah dalam kerangkaperburuan rente sehingga menjadi ajang permainan speku-lasi. Kelima hal ini telah mengakibatkan setidaknya duahal utama: pertama, kesemua proses di atas telah mendo-rong semakin tingginya kuantitas dan kualitas sengketaserta konflik pertanahan di tanah air. Kedua, kesemua haldi atas telah mendorong semakin timpangnya pemilikan,penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria khusus-nya tanah.

Sudah barang tentu, berbagai komplikasi tambahan diatas semakin mengukuhkan argumentasi bahwa pembaruanagraria adalah sebuah agenda yang sangat mendesak untukdijalankan bagi bangsa ini. Juga, ini merupakan tantangan,sebab mewujudkan pembaruan agraria pada masa kini tidaklebih mudah dibanding era sebelumnya.

Rezim Pasar dalam Pembaruan Agraria.

Pasca ditetapkannya Tap. MPR No. IX/2001 tentangPembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam,diskursus dan aksi politik yang berelasi dengan isu pemba-

884

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

ruan agraria semakin mendapat tempat dalam panggungpolitik Indonesia. Tapi, kecenderungan ini bukanlah gejalaIndonesia semata. Karena, sebenarnya hampir di semua tem-pat di berbagai belahan dunia yang tengah mengalami prosesintegrasi ke dalam rezim pasar bebas yang intensif, keadaanyang demikian ini selalu terjadi. Jadi, bisa dikatakan, iniadalah sebuah gejala internasional.

Jika merunut lebih kebelakang, sejak tahun 1975, BankDunia sebenarnya telah mengeluarkan sebuah dokumenpenting yang berjudul Land Reform Policy Paper (LRPP).Dalam dokumen tersebut, Bank Dunia mengakui bahwaprogram Land Reform adalah sebuah jalan yang pentingdalam menggerakkan perekenomian nasional sebuah negaradan dapat mendorong lebih cepat pertumbuhan ekonomipedesaan.

Namun, mengacu pada situasi pasar politik dewasa itu,dokumen tersebut tidak dijalankan. Sebab, pada masa itulembaga-lembaga semacam WB masih menaruh keperca-yaan yang tinggi kepada keberhasilan revolusi hijau di bidangpertanian yang dianggap jauh lebih mudah dan aman secarapolitik. Di lain sisi, jurus penyesuaian ekonomi domestikke dalam sistem ekonomi pasar internasional (StructuralAdjusment Programs—SAPs) dianggap lebih jitu dalammendorong pertumbuhan ekonomi.

Dalam perkembangannya kemudian, kedua programtersebut justru secara nyata terbukti semakin meningkatkanketergantungan petani kepada para industriawan benih, pu-puk dan pestisida. Sementara lahan-lahan pertanian merekasemakin kurus akibat model pertanian semacam ini. Semen-tara itu, SAPs bisa dengan mudah dibuktikan kegagalannya

885

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

di banyak tempat di berbagai belahan dunia.Bercermin pada dua kegagalan ini, isu tentang pemba-

ruan agraria kembali mendapat tempat yang penting di era90-an. Bahkan, pembaruan agraria saat ini, selalu tidakdipisahkan dengan isu-isu pengentasan kemiskinan dunia.Sayangnya, pembaruan agraria yang dimaksud oleh lembagaseperti WB, IMF, WTO dan bahkan FAO serta berbagailembaga pengabdi pasar lainnya adalah pembaruan agrariayang sama sekali berbeda dari pembaruan agraria yangdiperjuangkan oleh banyak kalangan gerakan sosial danserikat petani. Pembaruan agraria yang disebarluaskan olehlembaga-lembaga ini adalah sebuah pembaruan agraria yangsingkatnya mendorong secara luas sertifikasi tanah, dandistribusi tanah kepada para penggarap dengan cara dikredit/dihutangkan kepada para petani penggarap.

Basis argumentasi utamanya adalah, dengan sertifikasitanah yang meluas maka para petani akan lebih mudah ber-hubungan dengan lembaga keuangan karena sertifikat tanahadalah surat berharga yang dengan mudah diagunkan. Pada-hal, sistem ekonomi pasar telah menempatkan pertanianpada posisi yang kerdil dan terkucil. Sehingga, cara ini dalamjangka menengah akan mengakibatkan petani terlemparsecara legal dari tanahnya. Pilihan ini sebenarnya sebuahfase transisi untuk mencapai jalan yang lempang bagi kemu-dahan transaksi tanah, dan upaya menjadikan tanah danair sebagai komoditas jual beli (saat ini, isu ini tengah dibahas di WTO). Di sisi lain, cara ini akan memudahkankonsentrasi kepemilikan tanah kepada pemodal besar.

Sistem kredit/hutang kepada para petani yang men-dapatkan tanah berdasarkan pada pandangan bahwa tanah

886

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

hanya akan terdistribusi kepada petani yang benar-benarbisa memproduktifkan tanah. Padahal, proses ini telahmendorong petani penggarap mendapatkan tanah-tanahdengan harga yang lebih mahal dan kurang subur. Bukankahakan selalu lebih banyak permintaan (demand) dibandingkansupply tanah. Juga, tanah-tanah yang subur kecil kemung-kinan dilepaskan oleh para tuan tanah kepada para petani.Model ini juga juga membahayakan perekonomian nasionalsecara luas dan jangka panjang, sebab seringkali biaya pem-belian tanah tersebut didapat oleh pemerintah melalui ske-ma hutang. Dan, hutang tersebut diperoleh dengan persya-ratan membuka pasar pertanian di dalam negeri.

Pembaruan agraria versi pasar juga didasarkan kesim-pulan bahwa pembagian tanah kepada rumah tangga petaniakan lebih menguntungkan ketimbang kepada serikat taniatau koperasi produksi serikat tani. Pandangan ini dida-sarkan bahwa pertanian besar yang selama ini dikelola negaradan komune produksi di negara-negara sosialis telah menga-lami kegagalan dalam mencapai efisiensi produksi.

Pandangan inilah yang mengkhawatirkan dan sekaligusmendapat perlawanan banyak gerakan sosial dunia. Sebab,pembaruan agraria yang dijalankan adalah sebuah upayasistematis dalam mengintegrasikan masyarakat pertaniandan pedesaan kedalam rezim pasar bebas dalam hal produksidan keuangan. Proses pembaruan agraria yang dibimbingpasar ini sama sekali tidak ditujukan sebagai sebuah caradalam mendorong transformasi sosial melalui lapangan agra-ria melalui pembentukan modal di pedesaan. Sehingga, pem-baruan agraria model pasar sama sekali tidak menyentuhproses perencanaan pembangunan ekonomi desa kota yang

887

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

saling menguatkan, serta menumbuhkan industri nasionalyang kuat.

Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)

Lalu, bagaimana dengan pembaruan agraria di Indone-sia di tengah situasi nasional dan internasonal yang demikianini? Berikut rangkuman pandangan yang membingkaiadvokasi PPAN.

Sebagai kebijakan yang dilatari keinginan untukmendistribusikan lahan hutan produksi yang bisa dikonversisejumlah 8.15 juta hektar, tentu beragam tanggapan diberi-kan oleh kalangan termasuk juga kelompok yang mem-perjuangkan Pembaruan Agraria. Ada dua tanggapan utama.Pertama, kalangan yang menganggap bahwa Program Pem-baruan Agraria Nasional (PPAN) ini mesti ditentang.Sementara kelompok kedua kalangan yang menganggap bah-wa program ini mesti dikawal secara kritis mulai dari sisisubstansi hingga ke sisi implementasi.

Kelompok pertama yang menentang misalnya, membe-rikan ulasan setidaknya ada tujuh alasan mengapa PPANmesti ditolak. Pertama, PPAN bertumpu pada revitalisasipertanian sehingga lebih mengacu pada upaya intensifikasidan ekstensifikasi pertanian yang sudah ada khususnyaperkebunan. Upaya jenis ini jelas-jelas sangat dititikberat-kan pada investasi bukan membentuk modal pedesaan yangkuat. Kedua, Pembaruan Agraria hanya dijadikan urusanteknis semata sehingga sejalan dengan proyek administrasipertanahan dan mendorong integrasi usaha petani kecil kedalam pertanian/perkebunan skala besar. Ketiga, PPANhanya ditujukan pada tanah-tanah Negara yang hanya

888

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

mungkin dibagikan tanpa ada keinginan kuat merombakstruktur agraria yang ada.

Keempat, PPAN tidak mengakomodasi sepenuhnyakeinginan menyelesaikan konflik agraria. Kelima, PPANbertumpu pada institusi yang lemah yakni BPN. Keenam,PPAN kemungkinan di bawah bimbingan program-programBank Dunia yang mendorong liberalisasi pertanahan. Danterakhir, PPAN kemungkinan besar hanya sebuah daganganpolitik jangka pendek SBY-JK (Dianto Bahcriadi: 2006).

Sementara kelompok kedua, berangkat dari pandanganbahwa PPAN bukanlah reforma agraria sejati seperti yangdiinginkan selama ini. Namun, sebagai sebuah batu loncatandalam mendorong pembaruan agraria sejati yang diinginkan.Dengan demikian, PPAN dianggap sebagai peluang politikyang ada dalam memperkuat basis-basis kelompok masya-rakat dalam memperjuangkan Pembaruan Agraria.

Menurut Gunawan Wiradi, pembaruan agraria yangsukses setidaknya memenuhi beberapa prasyarat utamayang harus dipenuhi. Di antaranya: adanya keinginan politikyang kuat dari pemerintah, organisasi tani yang kuat, adanyaelit politik yang terpisah kepentingannya dari elit bisnis,adanya dukungan dari pihak tentara dan kepolisian, sertaminimal adanya pemahaman dasar dalam hal pembaruanagraria. Dengan mengacu pada prasyarat inilah sesungguhnyaPPAN, dalam implementasinya kelak, mestilah diperjuang-kan sebagai peluang politik untuk memperkuat prasyaratyang diperlukan.

Pertama, dengan dijadikannya pembaruan agrariasebagai sebuah program nasional dari pemerintah yangberkuasa, pembaruan agraria akan lebih dapat menarik

889

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

masyarakat banyak sesuai dengan beragam kepentinganpolitiknya untuk terlibat dan peduli dalam mengawasikebaikan, keburukan dan kesalahan teknis implementasidari program ini. Melalui proses dan keterlibatan masya-rakat banyak semacam ini, ruang-ruang publik yang bebas(free public sphare) akan termanfaatkan secara lebih luasdalam menyebarluaskan gagasan dan pengetahuan tentangpembaruan agraria sejati.

Kedua, PPAN haruslah diperjuangkan sebagai programnasional yang akan melibatkan pejabat birokrasi dari pusathingga daerah dengan kewajiban melibatkan organisasi rak-yat dan masyarakat sipil dari nasional hingga wilayah. Polakerja ini, akan membuka luas lahirnya serikat-serikat ataukelompok tani baru di semua wilayah nasional. Dengandemikian, terjadi sebuah lompatan kebutuhan masyarakattani untuk mengorganisasikan diri. Proses ini juga akanmembuka keragaman baru dari serikat-serikat tani yangselama ini masih didominasi oleh petani yang terlibat konfliksemata.

Ketiga, meski belum terlalu kuat dijelaskan, PPANmestilah dipandang oleh serikat tani sebagai salah satu jalanbagi penyelesaian konflik agraria. Dalam kaitan ini, upaya-upaya legalisasi tanah-tanah rakyat yang selama terkaitdalam kawasan konflik agraria dan telah diduduki olehmasyarakat mempunyai peluang lebih luas untuk segeradiselesaikan. Peluang ini dapat dilakukan dengan melakukanpendataan kawasan-kawasan yang selama ini telah dikuasaidan dikelola oleh masyarakat tani. Pendataan ini semestinyadilakukan dalam aspek-aspek antara lain: pemetaan wilayahklaim atau wilayah kelola masyarakat, pemetaan rencana

890

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

tata kuasa, tata guna, tata produksi serta tata wilayah padakawasan masyarakat tersebut. Selanjutnya, data harusdilengkapi dengan sejarah pendudukan tanah dan data darikalangan masyarakat yang berhak menjadi subjek pem-baruan agraria.

Keempat, PPAN adalah salah satu wahana legal yangada dan tersedia (bukan semua) sebagai salah satu alat tran-sformasi serikat tani yang selama ini telah ada. Transformasiyang dimaksud berdasarkan kenyataan: selama ini organisasitani keberadaannya didasarkan pada ikatan solidaritassesama korban konflik agraria. Padahal, upaya penyelesaiankonflik yang selama ini dilakukan pemerintah adalah mem-bagi tanah-tanah yang diklaim oleh masyarakat per-individu.Melihat kenyataan selama ini bahwa tanah-tanah tersebutjuga secara satuan ekonomi tidak membuat petani dapatbertransformasi secara pendapatan dan teknologi apalagidi tengah situasi makro ekonomi nasional yang meming-girkan pertanian dan petani. Sehingga, dalam kurun waktutertentu, tanah-tanah tersebut dijual dan terkonsentrasikembali pada golongan ekonomi kuat.

Dengan terbukanya berbagai skema implementasidalam PPAN, kalangan gerakan pembaruan agraria dapatmemperjuangkan agar tanah-tanah yang diklaim olehorganisasi rakyat jatuh dalam wilayah pengelolaan danpenguasaan bersama. Penguasaan secara kolektif ini jugaharus diupayakan pada usaha penataan kembali strukturcorak produksi yang berlaku selama ini menuju strukturkolektif usaha pertanian bersama (koperasi). Dengan demi-kian, upaya-upaya penetrasi teknologi, manajemen, dan mo-dal akan dapat dilakukan oleh masyarakat secara bersama.

891

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

Pelatihan dan pengawalan intensif harus dilakukan oleh ka-langan gerakan sehingga menjadi alternatif penataan pro-duksi dari yang ditawarkan regim.

Kelima, program ini akan membuka peluang kesadaranpolitik baru di masyarakat. Sebab, idiom-idiom pembaruanagraria yang selama ini seringkali dilekatkan dengan komu-nisme akan mendapat alat peredam yang kuat dari tubuhlembaga negara sendiri. Dengan demikian, pengawalanterhadap PPAN dapat dipandang sebagai sebuah prosesadvokasi dalam mendorong alat negara seperti tentara dankepolisian “mendukung” atau minimalnya tidak anti ter-hadap pembaruan agraria.

Keenam, PPAN haruslah dipandang sebagai peluangpolitik dan peluang ini dapat dimanfaatkan oleh kalangangerakan tani dengan cara mengawal pelaksanaan PPANsetidaknya dapat dilakukan dengan langkah-langkah seba-gai-berikut:• Melakukan pendataan secara akurat wilayah

penguasaan dan pengelolaan; wilayah klaim masyarakat;rencana-rencara tata kuasa, tata kelola, dan tata pro-duksi; rencana tata wilayah sekaligus data subjek secarajelas.

• Menyusun dan mempraktekkan model pembaruanagraria yang disepakati oleh organisasi rakyat dengandipandu dengan prinsip-prinsip kolektif dan berke-adilan.

• Melakukan dialog intensif, hingga perjuangan melaluiaksi-aksi terbuka dalam wadah implementasi PPANkepada pemerintah untuk dapat mengimplementasikanmodel pembaruan agraria versi rakyat pada wilayah-

892

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

wilayah yang selama ini telah diduduki sekaligus perlin-dungan legalnya.

• Melakukan promosi keberhasilan pembaruan agrariaversi rakyat agar diadopsi secara nasional dalam pro-gram PPAN.

• Membentuk jaringan kerja untuk melakukan monitor-ing terhadap implementasi PPAN pada level wilayahdan melaporkan hasil-hasil monitoring pada pusat-pusatkordinasi jaringan kerja di wilayah dan nasional. Moni-toring ini mestilah mencatat secara jernih keberhasilan,kegagalan teknis implementatif PPAN. Sehinggamembuka peluang politik lebih luas bagi dijalankannyaPA sejati dan membuka peluang dalam memperjuang-kan objek-objek pembaruan agraria yang lain dari yangditawarkan semata-mata oleh pemerintah selama ini.Dengan corak pandang yang demikian, pengawalan dan

keterlibatan organisasi gerakan Pembaruan Agraria bukanlahsebuah keterlibatan dan pengawalan tanpa kekritisan darisisi substansi hingga implementasi. Juga, cara pandanganini telah menempatkan PPAN sebagai salah satu peluangyang ada dalam mendorong Pembaruan Agraria sejati.

Ketujuh, PPAN sesungguhnya secara praktek telahmenggiring kelompok pembaruan dan kontra pembaruanbergerak dalam sebuah ruang persinggungan dan perten-tangan yang sama yakni PPAN. Sehingga, identifikasi perso-alan (substansi filososofis, praktek implementasi, dishar-moni produk hukum) mudah dilakukan, sekaligus jugakemudahan bagi konsolidasi dan kerja bersama antar serikatdan unsur gerakan reforma agraria dalam memberikanperlawanan.

893

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

PPAN Menjelang Lauching

Pada pertemuan dengan elemen-elemen Gerakan Pem-baruan Agraria di kantor BPN jalan Sisingamangaraja (09/5 2007), Kepala BPN Joyowinoto mengungkapkan bahwa:Pemerintah sedang menggodok PP Reforma Agraria dansedang dalam tahap-tahap akhir. Setelah disahkan presiden,Reforma Agraria akan dilaunching ke publik di Blitar tang-gal 20 Mei 2007 atau 1 Juni. Namun, hingga sekaranglaunching tersebut belum ada kelanjutan kabarnya.

Menurut keterangan Kepala BPN, bahwa penerima man-faat dari Reforma Agraria ini adalah: WNI yang sudah dewasabaik laki-laki maupun peremuan dengan syarat-syarat:perorangan, usia paling kurang 18 tahun, sudah kawin, miskin,tidak memiliki tanah, memiliki tanah kurang dari 0.5 Ha.

Sementara, Objek Reforma Agraria ini adalah:• Tanah bekas HGU, HGB dan HP• Tanah yang terkena ketentuan konversi• Tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya• Tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan

peraturan perundang-undangan• Tanah objek Landreform• Tanah bekas objek landreform• Tanah timbul• Tanah bekas kawasan pertambangan• Tanah yang dihibahkan oleh pemerintah• Tanah tukar-menukar dari dan oleh pemerintah• Tanah yang dibeli oleh pemerintah• Tanah pelepasan Kawasan Hutan Produksi Konversi

atau tanah bekas kawasan hutan yang pernah dilepaskanyang jumlahnya 8.15 Juta ha.

894

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Sementara, dalam melaksanakan rencana ini, akandibentuk lembaga Dewan Reforma Agraria Nasional (KetuaPresiden dan Ketua Pelaksana Ka. BPN RI), di tingkatprovinsi akan dibentuk DRAP serta di tingkat kabupaten/kota DRAK. Untuk pembiayaan, akan dibentuk BadanPengelolaan dan Pembiayaan Reforma Agraria (BPP-RA)di nasional dan di wilayah. Badan ini akan bertanggungjawab kepada Ka.BPN. Pembiayaan dari RA ini akanmengambil APBN dan APBD.

Dalam tatacara pelaksanaannya, identifikasi objek akandilakukan oleh BPN Wilayah atau BPN Provinsi yangdilaporkan kepada Ka.BPN. Selanjutnya, hasil identifikasiini akan divalidasi. Dalam inventarisasi penerima manfaat(subjek reform), identifikasi akan dilakukan olehpemerintah daerah dimulai dari tingkat terendah (desa/kelurahan), atau inventarisasi langsung yang dilakukan BPNRI atau dengan BPP-RA. Para penerima manfaat yangdiusulkan ini akan diseleksi sesuai dengan syarat penerimamanfaat yang telah disebutkan.

Di sinilah kita mulai melihat bahwa harapan-harapandalam advokasi PPAN mulai menjauh. Sebab, rencana kitasebagai insan gerakan tidak terwadahi. Bukankah subjekindividu di tengah ekonomi makro dan mikro yangmeminggirkan pertanian akan mengakibatkan tanah-tanahtersebut tidak akan dapat secara maksimal mengangkatkesejahteraan rakyat. Bukankah dengan subjek individu,transformasi organisasi petani (tanah, modal dan teknologi)yang kita harapkan melalui PPAN tidak terwadahi.

Sementara, objek-objek yang ditawarkan oleh PPANmemang mewadahi keinginan selama ini. Namun,

895

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

mekanisme identifikasi objek yang ditentukan oleh peme-rintah tanpa melibatkan serikat tani telah mengakibatkansemua objek tersebut sebenarnya sangat sulit diperoleh rak-yat. Seharusnya, masyarakat dibuka kesempatan melakukanklaim objek reforma agraria dalam wadah PPAN. []

896

EPILOG:Quo Vadis Program Pembaruan Agraria

Nasional?Noer Fauzi Rachman*

Pada perayaan Hari Tani 24 September 2012 yang barulalu, lebih dari sepuluh ribu petani dan aktivis berdemon-strasi, termasuk di depan kantor Badan Pertanahan Nasional(BPN), Jakarta, menuntut BPN di bawah kepemimpinanHendarman Supandji untuk tanggap terhadap masalah yangdihadapi oleh petani, khususnya yang hidup dalam konflik-konflik agraria. Lebih dari itu, para demonstran menuntutBPN untuk menjalankan reforma agraria sebagai jawabanatas struktur penguasaan tanah yang semakin hari semakintimpang saja. Menurut penulis, demonstrasi semacam iniakan terus menerus berlangsung karena tidak adanya penye-lesaian yang adekuat, menyeluruh dan tuntas terhadap ka-sus-kasus konflik agraria yang bersifat struktural, kronis danberdampak luas.

Tulisan pendek ini hendak menunjukkan bahwa apayang disebut Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)telah diagendakan dan dijalankan oleh BPN di bawah

897

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

kepemimpinan Joyo Winoto (2005-2012). Namun sayang-nya, hal itu tidak memperoleh dukungan yang memadai darikementerian-kementerian lainnya. Juga tidak dari PresidenSusilo Bambang Yudhoyono sendiri yang telah menjanjikanagenda reforma agraria ini dalam visi dan misi pemerin-tahannya.

Program Pembaruan Agraria Nasional yang dirancangoleh kepemimpinan BPN terdahulu mensyaratkan kerja-sama lintas kementerian, setidaknya Kementerian Kehu-tanan dan Kementerian Pertanian. Namun, kerjasama initidak berjalan karena masing-masing badan pemerintahanmemiliki dan terus memelihara “ego sektoral”, suatu kecen-derungan dari suatu badan pemerintah untuk hanyamemenuhi kepentingan lembaga/sektornya sendiri-sendiritanpa perduli dengan kepentingan lembaga/sektor lainnya.Yang juga tidak terjadi adalah upaya Presiden SBY untukmengkoordinasikan dan mensinkronkan kepentingan yangberbeda-beda dari badan-badan pemerintah untuk menja-lankan Program Pembaruan Agraria tersebut.

Agenda redistribusi 8,15 juta hektar tanah-tanah negarayang berada dalam “Kawasan Hutan Negara” yang tergolonghutan produksi Konversi (HPK) yang terletak di 474 lokasidi 17 provinsi—tidak berjalan sama sekali. Menurut La-poran Persiapan Pelaksanaan PPAN BPN 2007, dari kese-luruhan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang berjumlah22.140.199 ha, di dalamnya telah dikuasai oleh masyarakatlokal seluas 13.411.025 hektar, alias lebih dari 60 persen(Badan Pertanahan Nasional 2007: 56). BPN telah memi-liki detil data dan peta tanah seluas 8.15 juta hektar itu.Sayangnya, komunikasi dan koordinasi BPN dengan Ke-

898

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

menterian Kehutanan mengenai agenda redistribusi tanahseluas 8,15 juta ha tersebut sama sekali tidak mema-dai. Kementerian Kehutanan tidak bersedia memenuhiagenda ini, dan tetap mempertahankan diri sebagai ‘tuantanah negara’ terbesar, melalui penguasaan sekitar 70 persenwilayah Republik Indonesia dalam “Kawasan HutanNegara”.

Kementerian Pertanian pun tidak mendukung programReforma Agraria yang diinisiasi oleh BPN tersebut. Alih-alih menyokong segala upaya memberdayakan petani pene-rima tanah-tanah yang telah diredistribusi oleh BPN dengansegala fasilitas, asistensi, kredit, dan bentuk-bentuk “accessreform” lainnya untuk membuat tanahnya produktif, efisiendan berkelanjutan, Kementerian Pertanian justru menjalan-kan skema-skema baru untuk menggenjot produksi pangan,terutama beras, dalam program food security, mengagen-dakan RUU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berke-lanjutan yang kemudian menjadi UU No. 41/2009, hinggamemfasilitasi perusahaan-perusahaan raksasa untukmembuat perkebunan-perkebunan baru untuk produksimakanan dan energi, termasuk yang paling luas: MeraukeIntegrated Food and Energy Estate (MIFEE).

Selain dari Kementerian Kehutanan dan Pertanian,hambatan utama lainnya adalah tidak disetujuinya usulanBPN untuk membentuk Lembaga Pengelola Reforma Agra-ria, suatu badan otorita khusus yang dirancang mengurussegala sesuatu berkenaan dengan upaya merencanakan hing-ga memberdayakan para penerima tanah objek land reformdan membuat tanah-tanah yang diredistribusikan itu pro-duktif dan bisa dikelola secara berlanjutan. Namun,

899

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

pembentukan Badan yang diancangkan berbentuk “BadanLayanan Umum” (BLU) ini—yakni suatu jenis badan usahapemerintah yang tidak ditujukan untuk kepentingan profit—tidak berhasil memperoleh otorisasi dari Departemen Keu-angan sehubungan dengan keharusan untuk menunjukkanbahwa badan ini tidak akan terus-menerus bergantung padadana APBN, melainkan sanggup secara terus-menerushidup dari perputaran uang yang bermula dari modal awalyang akan diberikan pemerintah. Walhasil, ide LembagaPengelola Reforma Agraria ini kemudian dihilangkan daridraft RPP Reforma Agraria, yang juga belum tuntas dija-dikan Peraturan Pemerintah hingga Joyo Winoto diganti olehHendarman Supandji.

Dengan segala keterbatasan ini, pada praktiknya apayang disebut Program Pembaruan Agraria Nasional olehJoyo Winoto adalah suatu skema legalisasi hak atas tanahmelalui jalur “pemberian hak di atas tanah negara”, di manadiagendakan sekitar 1,1 juta hektar tanah negara yang beradadi bawah jurisdiksi BPN akan diredistribusikan kepadarakyat. Sumber lain untuk “redistribusi tanah” adalah “ta-nah-tanah terlantar”. “Tanah-tanah terlantar” adalah tanahyang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik,Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, danHak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah, yangkemudian berstatus terlantar karena tidak diusahakan, tidakdipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengankeadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasarpenguasaannya. Hasil identifikasi BPN menemukan bahwaluasan “tanah terlantar” tersebut mencapai 7.386.289 hektar,terdiri atas Hak Guna Usaha 1.925.326 ha, Hak Guna

900

M. Shohibuddin & M. Nazir S (Penyunting)

Bangunan 49.030 ha, Hak Pengelolaan 535.682 ha, dantanah dengan ijin lokasi dan lainnya 4.475.172 ha (SumberData: Deputi Pengendalian Tanah dan PemberdayaanMasyarakat, BPN 2009).

Untuk melakukan pengambilalihan dan pemanfaatankembali keseluruhan “tanah terlantar” ini, BPN membuatPP No. 11/2010 tentang Penertiban dan PendayagunaanTanah Terlantar. Sebagai pasangannya BPN memprakarsaiRPP tentang Reforma Agraria yang memuat ketentuankategori asal tanah yang akan diredistribusikan, yang disebutsebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), kriteriapenerima TORA, dan mekanisme distribusinya, hingga pem-berdayaan subjek yang menerima TORA. Namun, berbedadengan RPP tentang Tanah terlantar yang berhasil diun-dangkan menjadi PP No 41/2009, RPP RA tidak kunjungberhasil menjadi PP.

Penulis kerap bertanya pada pejabat-pejabat di BPNmengenai mengapa RPP ini tidak kunjung dibahas di RapatKabinet dan disetujui? Dari waktu ke waktu penulis menda-patkan jawaban bahwa dukungan politik atas ReformaAgraria kurang memadai, dan menggantungkan padahubungan antara Joyo Winoto dengan Presiden. Presidenpun tidak menggunakan kewenangannya untuk membuatRPP itu terwujud menjadi PP. Dengan demikian, usaha men-ciptakan legislasi yang mengatur pelaksanaan reforma agrariayang menyeluruh dan membentuk kelembagaan pelaksanayang kuat dan mampu menjalankan program-programredistribusi tanah tak kunjung terwujud karena tidak adanyadukungan yang memadai dari pimpinan tertinggi pemerin-tahan maupun koalisi partai yang berkuasa di pemerintah

901

Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007

dan DPR RI.Dalam jaman demokrasi liberal saat ini, dijalankan atau

tidak dijalankannya reforma agraria tidak mengganggukeberlangsungan dan reproduksi elit penguasa politik di par-lemen maupun pemerintahan yang dihasilkan melalui meka-nisme pemilihan legislatif, pemilihan presiden, maupunpemilihan kepala daerah. Walhasil, walau konflik agrariameletus di sana-sini, reforma agraria tidak menjadi agendautama pemerintahan nasional. Lebih jauh dari itu, sekto-ralisme hukum dan kelembagaan pemerintahan yang terusdilanjutkan pada akhirnya membuat apa yang disebut PPANmenjadi urusan BPN saja.

Quo vadis Program Pembaruan Agraria Nasional?

*) Noer Fauzi Rachman PhD adalah Direktur Eksekutif Sajogyo Institute,Penasehat pada Kemitraan untuk Pembaruan Tata-Pemerintahan, DewanPakar Konsorsium Pembaruan Agraria, dan dosen luar biasa di DepartemenSains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), FakultasEkologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB).Tulisan ini semula adalah artikel opini yang dimuat di harian Sinar Harapan,26 September 2012. Tulisan ini dimuat kembali sebagai epilog denganbeberapa penyesuaian dan tambahan di sana-sini. Untuk mengikuti analisisyang lebih elaboratif mengenai trajektori program reforma agraria di Indo-nesia mulai 1945-2009 bisa dibaca publikasi terakhir Noer Fauzi Rachman,Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta: STPN Press, Desember,2012.

902

Tentang Penyunting

Moh. Shohibuddin adalah staf pengajar pada Depar-temen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,Fak. Ekologi Manusia IPB. Menyelesaikan studi masternyapada Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pasca-sarjana IPB dengan tesis mengenai devolusi hutan berbasiskelembagaan adat pada komunitas Toro Sulawesi Tengah.Kini tengah menempuh studi doktoral di University ofAmsterdam, Belanda.

M. Nazir Salim adalah staf pengajar di Sekolah TinggiPertanahan Nasional, Yogyakarta dan peneliti agraria diPPPM STPN. Alumni Pascasarjana Sejarah UGM 2008.E-mail: [email protected]