refleksi_filsafat_hukum

27
REFLEKSI FILSAFAT HUKUM; MENILIK ORIENTASI NILAI KEADILAN SOSIAL 1 Oleh: M. Shidqon Prabowo. SH 2 A.Pendahuluan Banyak pertanyaan mengapa wajah peradaban saat ini makin kejam, perlahan tapi pasti sinar keadilan semakin meredup tanpa memberikan pencahayaan yang berarti, dan pada saat itu kita masih belum terpanggil, walaupun dunia ini semakin sempit dengan tidak memberikan ruang dan harapan bagi keadilan. Lantas jika untuk mencapai keadilan mengalami jalan buntu; apakah masih wajar untuk menebar asa? Pertanyaan ini sebenarnya bukan wujud ketidakpercayaan pada makna keadilan, akan tetapi potret kehidupan saat ini menggambarkan betapa buruknya komitmen keadilan sosial dalam mewujudkan cita-cita bersama, yaitu cita-cita dalam mencapai kebahagiaan dan kebaikan bersama yang diwujudkan tanpa harus menerobos tatanan keadilan sosial masyarakat. Penelusuran mengenai keadilan tentu tidak akan terlepas dari dialektika hukum dalam dimensi sosial. Kemandegan hukum secara langsung akan menggeser kaidah normatif dan nilai-nilai kepatutan masyarakat. Mengambil tema refleksi mengenai filsafat hukum mengesankan akan 1 Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Hukum, yang diampu oleh Bpk Salman Luthon, S.H. M.Hum, pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta. 2 Penulis adalh mahasisiwa progam pasca sarjana ilmu hokum UII 1

Upload: humam-balya

Post on 27-Jun-2015

91 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

REFLEKSI FILSAFAT HUKUM; MENILIK ORIENTASI NILAI KEADILAN SOSIAL1

Oleh: M. Shidqon Prabowo. SH2

A.Pendahuluan

Banyak pertanyaan mengapa wajah peradaban saat ini makin kejam, perlahan

tapi pasti sinar keadilan semakin meredup tanpa memberikan pencahayaan yang

berarti, dan pada saat itu kita masih belum terpanggil, walaupun dunia ini semakin

sempit dengan tidak memberikan ruang dan harapan bagi keadilan. Lantas jika untuk

mencapai keadilan mengalami jalan buntu; apakah masih wajar untuk menebar asa?

Pertanyaan ini sebenarnya bukan wujud ketidakpercayaan pada makna keadilan, akan

tetapi potret kehidupan saat ini menggambarkan betapa buruknya komitmen keadilan

sosial dalam mewujudkan cita-cita bersama, yaitu cita-cita dalam mencapai

kebahagiaan dan kebaikan bersama yang diwujudkan tanpa harus menerobos tatanan

keadilan sosial masyarakat.

Penelusuran mengenai keadilan tentu tidak akan terlepas dari dialektika

hukum dalam dimensi sosial. Kemandegan hukum secara langsung akan menggeser

kaidah normatif dan nilai-nilai kepatutan masyarakat. Mengambil tema refleksi

mengenai filsafat hukum mengesankan akan adanya suatu uraian kefilsafatan yang

sedemikian abstrak, akan tetapi harapan tulisan ini pada akhirnya memberikan

manifestasi keseimbangan penceritaan kembali terhadap titik pertemuan antara

penyelidikan filsafat hukum mengenai konsep atau sifat hukum, masalah tujuan atau

cita-cita hukum dan pola antarpengaruh hukum dan masyarakat.3

Artinya positif dan negatif dalam menilik orientasi nilai keadilan sosial

ditanggapi secara seimbang, tidak sekedar dengan ekspresi subyektif dan cenderung

berat sebelah. Refleksi ini dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-kejanggalan

yang ada dalam penerapan hukum. Misalnya yang disebut patologi hukum, hal ini

sesuatu yang tabu sifatnya dalam pembicaraan hukum yang positivistik. Misalnya,

1 Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Hukum, yang diampu oleh Bpk Salman Luthon, S.H. M.Hum, pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta.

2 Penulis adalh mahasisiwa progam pasca sarjana ilmu hokum UII

3 S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Abardin, Jakarta, 1986, hal 13-15.

1

Page 2: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

aktualisasi antinomi nilai-nilai dalam hukum; seperti nilai kepastian dan keadilan,

individualisme dan kolektivisme, serta kebebasan dan ketertiban. Persoalan inilah

yang selalu menjadi dialektika perkembangan keadilan sosial. Karena secara wajar

aktualisasi antinomi tersebut seakan memberikan jarak yang tak mungkin dapat

bertemu dalam menggapai hukum yang berkeadilan sosial.

Jika membahas perihal refleksi filsafat hukum, secara fundamental yang

sangat perlu untuk diuraikan terlebih dahulu ialah perihal nilai. Nilai disini dilakukan

untuk lebih memahami dan mendalami hakikat suatu persoalan hukum secara

konseptual. Seyogyanya persoalan itu dipahami secara komprehensif dengan

melakukan perenungan, pengujian, serta pengajuan kritik dan penilaian secara teratur

dan sistematis. Idealnya hukum hadir ditengah-tengah masyarakat tidak untuk dirinya

sendiri, melainkan menjamin keutuhan sosial masyarakat. Sehingga tema besar dari

hadirnya hukum secara filsofis adalah bagian dari kebutuhan dan komitmen bersama

akan nilai keadilan sosial.

Ketika berangkat dari asumsi keadilan sosial menjadi nilai objektif yang harus

dipenuhi, tentunya hal ini tidak begitu saja akan berjalan mulus sesuai dengan

perspektif cita-cita hukum suatu bangsa. Karena nilai tersebut akan berhadap hadapan

dengan sesuatu yang tidak lunak dalam mewujudkannya. Terlebih lagi secara objektif,

sesuatu dianggap mempunyai arti nilai jika terpenuhinya faktor atau unsur utility

(manfaat) dan importance (kepentingan), dan secara subjektif apabila terpenuhinya

faktor need (kebutuhan) dan estimation (perkiraan).4

Dengan demikian, hasil perasan dari refleksi filsafat hukum nantinya akan

lebih menilik orientasi nilai keadilan yang menyangkut pandangan hidup manusia.

Karena dalam nilai keadilan yang menyangkut pandangan hidup manusia itulah akan

terpenuhi sekaligus unsur-unsur subtansial maupun formal dari cita-cita hukum yang

berkeadilan sosial. Oleh sebab itu, nilai nilai yang akan dibahas adalah nilai yang

berkaitan dengan nilai-nilai dasar secara objektif.

B.Pandangan Filsafat Terhadap Hukum

Filsafat hukum merupakan bagian penelusuran kebenaran yang tersaji dalam

ruang lingkup filsafat. Filsafat adalah kegiatan berpikir secara sistematikal yang

hanya dapat merasa puas menerima hasil-hasil yang timbul dari kegiatan berfikir itu

4 E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 20.

2

Page 3: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

sendiri. Filsafat tidak membatasi diri hanya pada gejala-gejala indrawi, fisikal,

psikhikal atau kerohanian saja. Ia juga tidak hanya mempertanyakan “mengapa” dan

“bagaimana”-nya gejala-gejala ini, melainkan juga landasan dari gejala-gejala itu

yang lebih dalam, ciri-ciri khas dan hakikat mereka. Ia berupaya merefleksi hubungan

teoritikal, yang di dalamnya gejala-gejala tersebut dimengerti atau dipikirkan.5

Dalam hal itu, maka filsafat tidak akan pernah terlalu lekas puas dengan suatu

jawaban. Setiap dalil filsafat harus terargumentasikan atau dibuat dapat dipahami

secara rasional. Karena bagaimanapun filsafat adalah kegiatan berfikir, artinya dalam

suatu hubungan dialogikal dengan yang lain ia berupaya merumuskan argumen-

argumen untuk memperoleh pengkajian. Berikutnya filsafat menurut hakikatnya

bersifat terbuka dan toleran. Filsafat bukanlah kepercayaan atau dogmatika, jika ia

tidak lagi terbuka bagi argumentasi baru dan secara kaku berpegangan pada

pemahaman yang sekali telah diperoleh, tidak heran ketika kefilsafatan secara

praktikal akan menyebabkan kekakuan.6

Ada pendapat yang mengatakan bahwa karena fisafat hukum merupakan

bagian khusus dari filsafat pada umumnya, maka berarti filsafat hukum hanya

mempelajari hukum secara khusus. Sehingga, hal-hal non hukum menjadi tidak

relevan dalam pengkajian filsafat hukum. Penarikan kesimpulan seperti ini sepertinya

tidak begitu tepat. Filsafat hukum sebagai suatu filsafat yang khusus mempelajari

hukum hanyalah suatu pembatasan akademik dan intelektual saja dalam usaha studi

dan bukan menunjukkan hakekat dari filsafat hukum itu sendiri.7

Sebagai filsafat, filsafat hukum semestinya memiliki sikap penyesuaian

terhadap sifat-sifat, cara-cara dan tujuan-tujuan dari filsafat pada umumnya. Di

samping itu, hukum sebagai obyek dari filsafat hukum akan mempengaruhi filsafat

hukum. Dengan demikian secara timbal balik antara filsafat hukum dan filsafat saling

berhubungan.

5 Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal 1. Lihat juga Ahmad Azhar Basyir, Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hal 1. Kata filsafat atau falsafat berasal dari kata Arab “falsafah” yang diturunkan dari kata Yunani “philosophia” yang merupakan kata gabungan dari kata philein yang berarti mencintai atau philia yang berarti cinta dan kata shopia yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, kata philosophia, filsafah, falsafat, berarti mencintai atau cinta kepada kebijaksanaa. Orang yang mencintai kebijaksanaan disebut philosophos yang dalam bahasa Arab disebut “failasuf’ (jamaknya: filasifah) dan dalam bahasa Indonesia disebut “filosuf”.

6 Ibid.

7 Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal 18.

3

Page 4: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat,

yaitu filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan

perkataan lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis.

Jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam

sampai kepada inti atau dasarnya, yang disebut hakikat.8

Pertanyaan tentang apa hakikat hukum itu sekaligus merupakan pertanyaan

filsafat hukum juga. Pertanyaan tersebut mungkin saja dapat dijawab oleh ilmu

hukum, tetapi jawaban yang diberikan ternyata serba tidak memuaskan. Menurut

Apeldorn,9 hal tersebut tidak lain karena ilmu hukum hanya memberikan jawaban

yang sepihak. Ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum sebagaimana dapat

diamati oleh pancaindra manusia mengenai perbuatan-perbuatan manusia dan

kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Sementara itu pertimbangan nilai di balik gejala-

gejala hukum, luput dari pengamatan ilmu hukum. Norma atau kaidah hukum, tidak

termasuk dalam dunia kenyataan (sein), tetapi berada pada dunia nilai (sollen),

sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.

Refleksi filsafat hukum melandaskan diri pada kenyataan hukum, oleh karena

itu ia merenungkan semua masalah fundamental dan masalah marginal yang berkaitan

dengan gejala hukum. Setidaknya refleksi filsafat hukum berangkat dari bidang

penyelidikan secara folosofis yang pada gilirannya dapat menemukan penelusuran

terhadap landasan (dasar-dasar) kebenaran. Maka dengan itu, ada tiga bidang

penyelidikan ilmu hukum dalam kajian “filsafat hukum”, antara lain;10

(1) Masalah mengenai konsep atau sifat hukum. Bidang penyelidikan ini mencakup konsep-konsep pokok lainnya yang dianggap ada hubungannya secara esensial dengan konsep tentang hukum, misalnya sumber, subyek hukum, kewajiban hukum, kaedah hukum, dan juga sanksi hukum. Bidang penyelidikan yang terutama ini lebih dikenal sebagai mazhab analitis, oleh karena ia bertujuan untuk menganalisa dan memberi definisi kepada konsep-konsep yang disebut di atas. Mazhab analitis dikemukakan oleh John Austin, yang memiliki ciri formalisme yang metodis. Hukum sebagai dianggapnya sebagai suatu sistem kaedah-kaedah positif, yaitu kaedah-kaedah yang efektif dalam kenyataannya. Ilmu hukum hanya bertujuan untuk menentukan adanya kaedah-kaedah ini dalam hukum yang berlaku lepas dari nilai-nilai etis dan pertimbangan-pertimbangan politis. Demikian juga mazhab analitis tidak mempersoalkan masalah-masalah yang ada hubungannya dengan keadaan-

8 Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hal 10-11.

9 Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke 22 Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hal 439.

10 S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum…Op.,Cit, hal 13-15.

4

Page 5: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

keadaan sosial ke dalam mana hukum itu masuk-yaitu faktor-faktor sosial yang menentukan penciptaan hukum dan pertumbuhannya dan akibat-akibat sosial yang dihasilkan atau dimaksud untuk dihasilkan oleh kaedah-kaedah hukum.

(2) Masalah tujuan atau cita-cita hukum.Bidang penyelidikan ini memusatkan perhatiannya kepada prinsip rasional yang memberikan kepada hukum “keabsahan-nya” atau “kekuatan mengikatnya” yang khusus, dan merupakan kriterium bagi “benarnya” suatu kaedah hukum. Pada umunya cita-cita hukum itu dianggap adalah keadilan. Disinilah muncul pertanyaan-pertanyaan pokok tentang hubungan antara keadilan dan hukum positif; peranan yang dimainkan oleh prinsip keadilan dalam perundang-undangan, pengadilan dan sebagainya. Aliran hukum semacam ini sering dikenal sebagai ilmu hukum etis atau filsafat hukum alam, aliran pikiran ini yang erat hubungannya dengan pendekatan secara religius atau metafisis-filosofis, mempunyai sejarah panjang. Filsafat hukum alam dimulai sejak sejak filsuf-filsuf Yunani pertama hingga zaman kita sekarang ini. Filsafat ini mencapai puncak klasiknya dalam sistem-sistem rasionalitas yang besar dalam abad ketujuh belas dan kedelapan belas. Sesudah reaksi dari mazhab sejarah dan positivis dalam abad kesembilan belas, filsafat hukum alam telah mendapat pengaruh lagi dalam abad sekarang ini. Dasar filosofisnya pertama-tama dan secara utama adalah filsafat skolastik katolik yang diteruskan dalam hukum alam kaum Thomis; dan berbagai perkembangan dari sistem-sistem Kant dan Hegel. Teori-teori mengenai hukum alam telah juga menemukan dasar dalam mazhab-mazhab filsafat lainnya (utilitarianisme, filsafat solidaritas, intuisionisme Bergson, fenomenologisme Husserl dan lain-lain).

(3) Masalah pola antarpengaruh hukum dan masyarakat. Bidang penyelidikan ini mencakup pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan asal usul historis dan pertumbuhan dari hukum: dengan faktor-faktor sosial yang dalam zaman kita menentukan isi variabel dari hukum; dengan bergantungnya hukum dan pengaruh terhadap ekonomi dan kesadaran hukum rakyat; dengan akibat-akibat sosial dari kaedah-kaedah hukum atau lembaga-lembaga tertentu; dengan kekuasaan pembentuk undang-undang untuk membimbing perkembangan sosial; dengan hubugan antara hukum yang “hidup” dengan hukum teoritis dan kekuatan-kekuatan yang sebenarnya menjadi motif bagi penerapan hukum berlainan dengan alasan-alasan rasional dalam setiap putusan.

Pada dasarnya ketiga bidang penyelidikan filsafat hukum ini merupakan suatu

metode untuk mencari kebenaran, yang merupakan prinsip-prinsip fundamental atau

mendasar tentang hakikat hukum tersebut. Kerja filsafat merupakan usaha-usaha

untuk menguji prinsip-prinsip dasar tersebut. Secara epistemologis ada tiga teori

tentang kebenaran yakni; the correspondence theory of truth, the coherence theory of

truth, dan pragmatic theory of truth.11 Ketiga teori ini mendasarkan pengertian dalam

pencarian kebenaran. Jadi tujuan filsafat hukum dan ilmu hukum berbeda dari tujuan

hukum. Hukum itu sendiri bertujuan hendak mencari keadilan, kepastian hukum, dan

ketertiban. Tujuan hukum bersifat etis, yakni bersumber pada kebaikan.

11 Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Cet. II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal 16.

5

Page 6: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

Tiga teori kebenaran yang telah disebut dimuka, dapat diterapkan dalam

filsafat hukum, ilmu hukum, dan teknik hukum. Teori korespondensi memandang

bahwa suatu pernyataan adalah benar bila sesuai atau sebanding dengan kenyataan

yang menjadi objeknya, teori ini sesuai dengan dimensi perilaku hukum dan menjadi

bahan kajian sosiologi hukum dan antropologi hukum. Kemudian teori koherensi

berpendapat bahwa suatu pernyataan adalah benar apabila sesuai dengan pernyataan

sebelumnya, dalam pengertian inilah yang menjadi landasan bahan kajian filsafat

hukum. Berbeda dengan teori pragmatik, bahwa suatu pernyataan adalah benar bila

berguna bagi kehidupan praktis, yang sesuai dengan bahan kajian teknik hukum

secara praksis.12

Teori koherensi mengantarkan kita, sebagaimana berfikir secara kefilsafatan

untuk memiliki karakteristik yang bersifat menyeluruh dan universal. Dengan cara

berfikir holistik tersebut, maka siapa saja yang mempelajari filsafat hukum diajak

untuk berwawasan luas dan terbuka. Kemudian filsafat hukum dengan sifat

universalitasnya, memandang kehidupan secara menyeluruh, tidak memandang hanya

bagian-bagian dari gejala kehidupan saja atau secara partikular. Dengan demikian

filsafat hukum dapat menukik pada persoalan lain yang relevan atau menerawang

pada keseluruhan dalam perjalanan refelektifnya, tidak hanya memecahkan masalah-

masalah yang dihadapinya.

Melihat fungsi filsafat hukum lebih jauh; ialah sebagai cara pandang untuk

berfikir secara kreatif dengan menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah,

dan menuntun pada jalan baru. Adanya karakteristik khusus dari pemikiran filsafat

hukum di atas sekaligus juga menunjukkan letak urgensinya. Dengan mengetahui dan

memahami filsafat hukum dengan berbagai sifat dan karakternya tersebut, maka

sebenarnya filsafat hukum dapat dijadikan salah satu alternatif untuk ikut membantu

memberikan jalan keluar terhadap orientasi keadilan sosial selama ini. Tentu saja

kontribusi yang dapat diberikan dari agenda refleksi filsafat hukum dalam bentuk

konsepsi dan persepsi terhadap pendekatan yang hendak dipakai dalam penyelesaian

masalah-masalah sosial yang terjadi. Pendekatan mana didasarkan pada sifat-sifat dan

karakter yang melekat pada filsafat hukum itu sendiri.

C.Menilik Pertalian Hukum dan Keadilan

12 Ibid.

6

Page 7: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

Asumsi yang melatarbelakangi pembicaraan topik pada bagian ini ialah bahwa

hukum bisa, atau, sering kali bertentangan dengan nilai keadilan. Hal ini

menimbulkan pertanyaan; bagaimana kaitan antara keduannya, serta dalam kondisi

mana hukum sebagai perangkat paling khas dalam masyarakat modern untuk

menciptakan tata kehidupan masyarakat dan melaksanakan kebijakan dapat dipakai

untuk tujuan keadilan sosial.

Meminjam pribahasa latin, berbunyi: fiat justisia et pereat mundus (ruat

coelum); yang artinya; hukum yang berkeadilan harus dilaksanakan sekalipun dunia

harus kiamat (sekalipun juga langit runtuh karenanya).13 Pribahasa latin tersebut

menyiratkan suatu komitmen yang sangat tinggi untuk mewujudkan keadilan di dalam

kehidupan bersama. Kehidupan yang memiliki kehendak kuat untuk menyajikan

seperangkat teks keadilan berdasarkan cita-cita hukum suatu bangsa. Lebih dari itu

untuk meletakkan fondasi konseptual keadilan selalu dipaksa untuk berdaptasi dengan

struktur sosial dan karakteristik problem sosialnya. Untuk alasan inilah, hukum sangat

dinamis dalam mewujudkan keadilan sebagai hasil akhir dari nilai yang

diperjuangkan.

Dialektika hukum dan keadilan adalah permasalahan lama akan tetapi selalu

menarik pertalian antar keduanya. Meskipun secara aktual, setiap kali kita dihadapkan

dengan sikap kritis terhadap hukum dan keadilan, namun tidak dapat disangkal bahwa

kehidupan bersama tetap memerlukan hukum dan keadilan itu. Pada dasarnya

manusia selalu memerlukan keadilan, kebenaran dan hukum, karena hal itu

merupakan nilai dan kebutuhan azasi bagi masyarakat manusia yang beradab.

Keadilan adalah milik dan untuk semua orang serta segenap masyarakat dan tidak

adanya keadilan akan menimbulkan kehancuran dan kekacauan keberadaan serta

eksistensi masyarakat itu sendiri. Bahkan perbedaan sikap dan kebencian terhadap

orang lain tidak boleh mengakibatkan sikap yang tidak adil.

Apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai keadilan

itu berkembang dengan pendekatan yang berbeda-beda, karena perbincangan tentang

keadilan yang tertuang dalam banyak literatur itu, tidak mungkin tanpa melibatkan

tema-tema moral, politik, dan teori hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan

mengenai keadilan secara tunggal hampir sulit untuk dilakukan.14

13 Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian, Membangun Hukum Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2008, hal 87.

14 E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal 96.

7

Page 8: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

Namun pada garis besarnya perdebatan mengenai keadilan terbagi atas dua

arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan metafisik, diungkapkan oleh Plato,

kemudian dimensi keadilan rasional yang diwakili oleh Aristoteles. Keadilan yang

rasional pada dasarnya mencoba menjawab prihal keadilan dengan cara

menjelaskannya secara ilmiah. Sementara keadilan yang metafisik, mempercayai

eksistensi keadilan sebagai sebuah kualitas atau suatu fungsi di atas dan di luar

makhluk hidup, dan oleh sebab itu tidak dapat dipahami menurut kesadaran manusia

berakal.15

Pemetaan dua arus pemikiran keadilan tadi, dalam kaitannya dengan

transformasi sosial Karl Marx mengenai pemetaan kelas sosial. Marx memandang

masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang antagonistis. Dalam pandangan marx

watak dasar yang antagonistis ini ditentukan oleh hubungan konflik antar kelas-kelas

sosial yang kepentingan-kepentingannya saling bertentangan dan tak dapat diuraikan

karena perbedaan kedudukan mereka di dalam tatanan ekonomi.16 Pertentangan kelas

yang kemudian menimbulkan konflik sosial merupakan bagian penjelasan marx

mengenai dinamika keadilan pada zaman itu. Bagaimana kelas pekerja dalam

masyarakat kapitalis modern; tidak pernah diperhitungkan pada taraf kelas sosial yang

sama, sehingga kedudukan mereka terkucilkan dari kelas sosial di atasnya. Oleh

karena itulah ketimpangan keadilan ini dapat dilihat dengan rasionalisasi yang

dilakukan oleh marx.

Mengetengahkan tentang sifat relatifitas hukum dan keadilan sebagaimana

dikemukakan oleh Kusumohamidjojo, bahwa oleh karena hukum adalah kenyataan

yang melekat pada manusia yang terus menerus berubah, maka kaidah-kaidah

normatif yang menjadi muatan hukum selalu bersifat relatif, dengan akibat bahwa

ketertiban umum serta benang merah keadilan yang harus dihasilkannya juga selalu

bersifat relatif, sehingga terus-menerus menjadi objek kontemplasi, justru untuk terus

menempatkannya dalam konteks yang kontemporer.17

Sifat relativitas keadilan yang diungkapkan di atas, merupakan ragam dalam

pemberian makna secara konseptual terhadap nilai keadilan. Jhon Rawls misalnya,18

15 Ibid.

16A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial “Buku Teks Sosiologi Hukum Ke I”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988, hal 146.

17 Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil, Grassindo, Jakarta, 1999, hal 222.

18 Bur Susanto, Keadilan Sosial “Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal 19-20.

8

Page 9: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

teori keadilan sosial bertujuan memberikan dasar-dasar bagi kerja sama sosial

masyarakat bangsa pluralistik modern. Berbeda dari masyarakat tradisional, mereka

berpendapat masyarakat modern tak terelakkan menjadi masyarakat pluralistik dengan

kepentingan dan anutan nilai hidup berbeda-beda, bahkan mungkin bertentangan.

Bagaimanapun pengaturan masyarakat pluralistik modern itu tidak boleh didasarkan

atas suatu anutan nilai hidup tertentu, melainkan harus-lah dikendalikan oleh prinsip

yang menjamin dan mengekspresikan kepentingan bersama. Prinsip itu adalah

keadilan sosial.

Konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu upaya untuk mentesiskan paham

liberalisme dan sosialisme. Sehingga secara konseptual rawls menjelaskan keadilan

sebagai fairness, yang mengandung asas-asas, “bahwa orang-orang yang merdeka dan

rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya

hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan

itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpuan

yang mereka hendaki.19

Namun secara umum, unsur-unsur formal dari keadilan yang dikatakan oleh

rawls pada dasarnya harus memenuhi nilai unsur hak dan unsur manfaat. Dengan nilai

keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur hak dan manfaat-ditambah

bahwa dalam diskursus hukum, perihal realisasi hukum itu berwujud lahiriah, tanpa

mempertanyakan terlebih dahulu itikad moralnya. Maka nilai keadilan di sini

mempunyai aspek empiris juga, di samping aspek idealnya. Maksudnya adalah

diaktualisasikan secara konkret menurut ukuran manfaatnya.20

Memang dapat dipahami bahwa cukup sulit untuk dapat mewujudkan

kesesuaian antara idealitas dengan realitas. Bahwa paradoks antara idealitas hukum

dengan realitas sosial yang banyak terjadi dalam masyarakat kita dewasa ini menilik

pertalian hukum dan keadilan mengalami disorientasi. Walaupun keduanya memiliki

kausa yang positif bila dapat diwujudkan dengan benar. Disinilah nilai keadilan

berfungsi menentukan secara nyata, dinamika hukum dalam realitas sosial, dan

sebagai konsekuensinya hukum harus dilihat dari ruang sosial yang lebih luas.

D.Hukum dan Perubahan Sosial

19 E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal 99.

20 Ibid.

9

Page 10: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

Kita sekarang sudah sampai ke tingkat peradaban manusia sedemikian rupa,

dimana masyarakat sudah ditata secara sangat maju. Maka sekalian pekerjaan hukum

juga ditempatkan dalam konteks dan bingkai penataan masyarakat yang sudah

dilakukan sangat maju dan rasional. Masyarakat di dunia sudah berubah dari

masyarakat yang tradisional menjadi sesuatu yang serba ditata dan tertata secara lebih

rasional. Dengan demikian ia sudah menjadi masyarakat yang sarat dengan berbagai

konstruksi, atau suatu masyarakat yang dikonstruksikan secara rasional. Hukum

menjadi bagian dari konstruksi tersebut, dan dengan demikian bersifat artifisial.

Kenyataan ini menunjukkan, bahwa dalam pembuatan hukum serta penegakan

hukum semua itu tidak terlepas dari perilaku hukum masyarakat. Maka sudah

semestinya apa yang dikatakan oleh Prof Tjip, sebutan akrab dari tokoh sosologi

hukum Indonesia yang mencetuskan teori hukum progresif dengan gagasan bahwa

hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya.21 Apabila kita berpegangan pada

keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu

diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang

telah dibuat oleh hukum.

Suatu masyarakat senantiasa mempunyai aspek struktural dan prosedural, oleh

karena masyarakat sekaligus merupakan wadah dan proses kehidupan bersama

manusia. Oleh karena itu lazim dikatakan, bahwa masyarakat terdiri dari aspek yang

relatif statis dan dinamis. Aspek yang relatif statis terwujud dalam struktur sosial,

sedangkan aspek dinamisnya terwujud dalam proses sosial. Kesemuanya itu

merupakan unsur-unsur pokok dari suatu sistem kemasyarakatan (societal-system).22

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa hukum dan perubahan sosial merupakan

salah satu bagian dari dinamika sosial atau dinamika masyarakat.

Membaca dinamika hukum dan perubahan sosial hendaknya menempatkan

hukum pada ruang sosial yang lebih luas. Seperti halnya, dalam suasana keterpurukan

seperti ini kita terdorong untuk mengajukan berbagai pertanyaan mendasar; seperti:

“kita bernegara hukum untuk apa?” Hukum itu mengatur masyarakat semata-mata

21 Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI PRESS, Jakarta, 2006, hal 151. Sejak hukum itu diadakan tidak untuk diri dan kepentingan sendiri, melainkan untuk bekerja dalam masyarakat, maka hukum sebagai konstruksi dihadapkan kepada lingkungan yang alami. Sebuah konstruksi harus bekerja dalam lingkungan yang alami. Keadaan ini menimbulkan banyak persoalan dan komplikasi. Hukum tidak selalu berhasil dengan baik untuk memproyeksikan “keinginannya” ke dalam masyarakat. Secara padat bisa daikatakan, bahwa “hukum bekerja dan tertanam dalam sebuah matriks sosio-kultural. Ibid hal 142.

22 Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal 49.

10

Page 11: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

untuk mengatur atau untuk suatu tujuan yang lebih besar?23 Dibalik pertanyaan ini

terkesan memberikan pendapat bahwa hukum hendaknya bisa mendatangkan

kebahagiaan bagi yang membutuhkannya.

Sudah tentu pembicaraan mengenai perubahan sosial lebih baik diawali

dengan suatu pembahasan ringkas mengenai konsepnya. Suatu konsep merupakan

hasil proses abstraksi yang dilakukan terhadap gagasan-gagasan atau pengalaman-

pengalaman secara empiris. Setiap masyarakat selama hidupnya pasti mengalami

perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan di dalam masyarakat mungkin berkaitan

dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah pola sikap dan seterusnya.24

Bagaimana hukum menjadi sebuah diskursus dari arus perubahan sosial yang

begitu cepat mengikuti perkembangan jaman. Kita ingat sebagaimana kelompok-

kelompok wanita, warga Bali dan Yogyakarta menolak RUU Anti Pornografi dan

Pornoaksi (RUU APP). Bagi mereka RUU APP akan mengakhiri keragaman budaya

dan pembunuhan karakter terhadap individu seniman, khususnya wanita untuk

mengatur tubuhnya sendiri. Berbagai penolakan itu membuktikan telah terjadi

pergeseran nilai dalam struktur sosial masyarakat, yang mana hukum berusaha

mereduksi persoalan pornografi dan pornoaksi masuk ke dalam upaya kriminalisasi.

Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa perubahan sosial seketika dapat

mendorong terjadinya perubahan pada lembaga-lembaga sosial yang mempengaruhi

sistem sosial, termasuk nilai-nilai, sikap-sikap dan pola prilaku di antara kelompok-

kelompok dalam masyarakat. Seperti apa yang dikatakan oleh Van Doorn;25 hukum

adalah skema yang dibuat untuk menata (prilaku) manusia, tetapi manusia itu sendiri

cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya, ini disebabkan faktor

pengalaman, pendidikan, tradisi, dan lain-lain yang mempengaruhi dan membentuk

prilakunya.

Interaksi antara hukum dan masyarakat dipertajam oleh kehadiran hukum

modern yang segala sudut pandangnya dialogis terhadap prinsip rasionalitas. Artinya

hukum hanya berdaya-guna bila memiliki kebenaran rasional, sebuah kebenaran yang

bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan prinsip-prinsip logis-kritis. Rasionalitas itu

memaksa hukum menjamin kepastian demi terwujudnya keadilan. Persoalannya

23 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Cet II, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 9.

24 Soerjono Soekanto, Pendekatan..Op.,Cit, hal 52.

25 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..Op.,Cit, hal 4.

11

Page 12: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

keadilan yang dimaksud ialah keadilan hukum, sebagai ranah dari penjelmaan doktrin

positivisme hukum. Keadilan hukum semata-mata hanya akan menjalankan hukum

secara praktikal sesuai dengan prosedur hukum demi terwujudnya nilai kepastian

hukum.

Pemahaman tentang hukum seperti demikian itu berimbas pula pada

pemahaman antara keterkaitan hukum dan kepastian hukum menjadi relatif. Hukum

tidak serta merta menciptakan kepastian hukum. Yang benar adalah bahwa hukum

menciptakan kepastian peraturan, dalam arti adanya peraturan seperti undang-

undang.26 Lebih jauh Charles Sampford melakukan kritik terhadap ajaran dari

postivisme hukum yang melihat sisi hukum hanya pada ranah kepastian hukum saja,

ia mengatakan; hukum itu penuh dengan ketidakteraturan (the disorder of law).27

Kalau para ahli hukum mengatakan, bahwa hukum itu harus dijalankan dengan penuh

kepastian dan keteraturan, maka itu sebetulnya bertolak dari kepentingan profesi yang

mereka lakoni pada waktu itu saja, dan bukan hal yang sebenarnya.

Sebab bagaimana ahli hukum bisa bekerja dengan tenang, kalau hukum yang

mereka gunakan itu banyak mengandung ketidakpastian. Dengan demikian, menurut

Sampford, kepastian hukum itu lebih merupakan keyakinan yang dipaksakan

daripada keadaan yang sebenarnya.28 Ternyata peraturan bukan satu-satunya faktor

yang menyebabkan munculnya kepastian tersebut, melainkan juga faktor lain, seperti

tradisi dan prilaku.

Akhir dari itu semua, bahwa hukum merupakan ekspresi dari kehendak sosial

masyarakat, ia akan selalu fluktuatif berdasarkan dengan nilai-nilai, kaidah-kaidah

dan prilaku sosial masyarakat. Keadilan sosial akan menjadi pintu terakhir dari cita-

cita hukum setiap bangsa, atau rumusan yang lebih konkret adalah yang dikatakan

oleh Gustav Radbruch; yaitu hukum adalah kehendak untuk bersikap adil.29 Sisanya

hanya adil untuk siapa? dan untuk apa?. Hal inilah yang menjadi pokok bahasan pada

bagian selanjutnya, yaitu; refleksi filsafat hukum dalam menuai catatan akhir mencari

reposisi keadilan sesungguhnya.

26 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Buku Kompas, Jakarta, 2007, hal 78.

27 Ibid.

28 Ibid.

29 E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum…Op.,Cit, hal xviii

12

Page 13: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

E. Refleksi Filsafat Hukum; Sebuah Catatan Akhir Menuju Keadilan Progresif

Seperti apa yang telah di bahas pada bagian sebelumnya, bahwa refleksi

filsafat hukum pada akhirnya memberikan manifestasi keseimbangan penceritaan

kembali terhadap titik pertemuan antara penyelidikan filsafat hukum mengenai

konsep atau sifat hukum, masalah tujuan atau cita-cita hukum dan pola antarpengaruh

hukum dan masyarakat. Artinya positif dan negatif dalam menilik orientasi nilai

keadilan sosial ditanggapi secara seimbang, tidak sekedar dengan ekspresi subyektif

dan cenderung berat sebelah.

Refleksi filsafat hukum dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-

kejanggalan yang ada dalam penerapan hukum. Fokus kerjanya ialah refleksi secara

sistematikal tentang “kenyataan” dari hukum. Kenyataan hukum harus dipikirkan

sebagai realisasi (perwujudan) dari ide-hukum (cita-hukum).30 Dalil yang dikatakan

oleh Gustav Radbruch; bahwa ia menjabarkan ide-hukum dikemas melalui tiga

aspek, yakni kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. pertautan antara ketiganya

itu sangat dinamis. Menurutnya; tidak dapat ditentukan asas mana yang harus

diutamakan, karena yang paling bisa menentukan ialah kekusaan kehendak dari

pembuat undang-undang: positivitas dari hukum pada akhirnya tergantung pada

keputusannya.

Akan tetapi dibalik kenyataan itu, nilai kebenaran ialah suatu keniscayaan

menuju jalan terang keadilan. Hanya kemudian prevensi nilai kebenaran akan sangat

tergantung sekali terhadap faktor kepentingan dan kebutuhan. Fakta tersebut

memperlihatkan betapa sulitnya dalam menentukan sikap adil. Keadilan merupakan

sasaran utama dari hukum, maka penegakan hukum haruslah diarahkan, antara lain

agar tercapai keadilan, baik bagi individu maupun keadilan bagi masyarakat, yang

dikenal dengan istilah keadilan sosial. Keadilan mestilah merupakan faktor penting

bagi adanya justifikasi terhadap suatu penegakan hukum, karena penegakan hukum

merupakan perwujudan “kenyataan hukum” yaitu; cita-cita hukum bangsa.

Dalam praktek hukum di Indonesia, seringkali para penegak hukum telah

menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan main yang ada, dalam artian aturan main

yang formal. Terhadap kasus tindak pidana korupsi misalnya, sesuai hukum yang

berlaku, jaksa sudah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan ke

pengadilan. Pengacara sudah menjalankan fungsinya untuk membela dan

30 Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan..Op.,Cit, hal 19.

13

Page 14: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

mempertahankan hak-hak tersangka. Dan hakim sudah mendengar kedua belah pihak,

sehingga dikeluarkanlah putusan pengadilan. Semua aturan hukum yang relevan

sudah dipertimbangkan dan diterapkan. Serta semua formalitas dan tata cara yuridis

sudah diikuti.

Persoalannya, mengapa terhadap penegakan hukum yang demikian masih saja

banyak masyarakat yang tidak puas, dan masih saja dikatakan bahwa penegakan

hukum di Indonesia ditenggarai sangat rendah dan sudah mencapai titik nadir. Inilah

masalahnya, yakni tidak terpenuhinya nilai keadilan, terutama keadilan masyarakat.

Mimbar pengadilan telah terisolasi dengan pemahaman makna kepastian hukum saja,

tanpa mau membuka diri dan menggali nilai-nilai keadilan yang ada di masyarakat.

Sampailah kita pada pembicaraan bahwa refleksi filsafat hukum yang

memfokuskan diri pada cita-cita hukum yaitu bagaimana mencapai keadilan subtantif,

pada kenyataanya makna keadilan saat ini telah terkikis oleh paradigma yang sangat

kaku, hanya melihat sisi keadilan pada ejaan pasal-perpasal dalam mewujudkan

keadilan prosedural. Apa yang akan penulis ketengahkan sebenarnya bukanlah

sesuatu hal yang baru, berangkat dari pemahaman gagasan brillian Satjipto

Rahardjo31 yaitu; paradigma hukum progresif yang mana lahir sebagai oposisi

keilmuan terhadap paham postivisme hukum.

Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat

menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan

perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia”.

Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya

mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan

segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan

menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu

sendiri.32

Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang

kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh

dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang

tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai yang sedang

31 Gagasan dimaksud pertama kali dilontarkan pada tahun 2002 lewat sebuah artikel yang ditulis di Harian Kompas dengan judul “Indonesia Butuhkan Penegakan Hukum Progresif”, Kompas, 15 juni 2002.

32 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..Op.,Cit, hal ix.

14

Page 15: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

mencari jati diri–bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di

masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas

penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses

pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab

menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi

paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.33

Dalam kaitannya dengan mencari alternatif nilai keadilan di tengah-tengah

rapuhnya penegakan hukum Indonesia saat ini, sebagai catatan akhir penulis menuju

keadilan progresif yang pada aktualisasinya selalu percaya diri dengan prinsip-

prinsip kebenaran. Keadilan progresif akan selalu mencerminkan diri pada kenyataan

hukum di masyarakat. Setidaknya keadilan progresif ini secara konseptual harus

berdiri atas tiga varian pokok, yaitu; pertama, menempatkan diri sebagai kekuatan

“pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum

yang legalistik-dogmatis, analitis-positivistik. Sekalian dengan ciri pembebasan itu,

keadilan progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”.

Kemudian yang kedua, didasarkan pada “logika kepatutan sosial” dan tidak

semata-mata berdasarkan pada logika peraturan. Sehingga dalam hal ini keadilan

progresif dapat menjunjung tinggi moralitas. Hati nurani ditempatkan sebagai

penggerak, pendorong sekaligus pengendali aktivitas perjuangan itu. Dan yang ketiga,

paling utama keadilan progresif banyak bertumpu pada kualitas dan kemampuan

sumberdaya manusia penegak hukumnya. Faktor modalitas menjadi amat penting,

seperti: empati, “kejujuran dan keberanian”. Faktor-faktor itulah yang harus

dikedepankan daripada sekedar menjalankan peraturan secara mekanistis-linier.

Dalam kualitas yang demikian itu, maka keadilan progresif akan selalu gelisah

melakukan pencarian dan pembebasan. Pencarian terus dilakukan, oleh karena

memang hakikat dari keadilan progresif; yaitu mencari kebenaran hakiki.

F. Simpulan

Refleksi filsafat hukum dilakukan agar dapat mengetahui kejanggalan-

kejanggalan yang ada dalam penerapan hukum. Fokus kerjanya ialah refleksi secara

sistematikal tentang “kenyataan” dari hukum. Kenyataan yang berbasis cita-cita

hukum adalah berangkat dari sisi keadilan pada realitas sosial yang lebih luas.

33 Ibid. hlm 10-11, Lihat juga Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003, hlm 22-25.

15

Page 16: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

Setidaknya kenyataan hukum, dapat di konstruksikan melalui ranah hukum progresif

dengan gagasan bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Apabila kita

berpegangan pada keyakinan bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia

itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam

skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sehingga tak heran ketika manusia itu

untuk hukum, keluarannya mesti keadilan prosedural. Berbeda ketika hukum adalah

untuk manusia, ia membentuk skema hukum berdasarkan kebutuhan dan hanya untuk

melayani kepentingan manusia, disitulah terdapat keadilan progresif. Keadilan yang

mana dapat menjawab stagnasi supremasi hukum kita saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkembangan Sosial “Buku

Teks Sosiologi Hukum Ke I”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988.

Abdul Ghofur Anshori dan Sobirin Malian, Membangun Hukum Indonesia, Kreasi

Total Media, Yogyakarta, 2008.

Ahmad Azhar Basyir, Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, UII Press,

Yogyakarta, 2000.

Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori

Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007.

Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban Yang Adil, Grassindo, Jakarta, 1999.

16

Page 17: REFLEKSI_FILSAFAT_HUKUM

Bur Susanto, Keadilan Sosial “Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas”,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005.

Darji Darmodiharjo dan Arief Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

1995.

E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Buku Kompas, Jakarta,

2007.

Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2003.

______________, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI PRESS, Jakarta, 2006.

______________, Membedah Hukum Progresif, Cet II, Buku Kompas, Jakarta, 2007.

______________, Biarkan Hukum Mengalir, Buku Kompas, Jakarta, 2007.

S.Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Abardin, Jakarta, 1986.

Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta,

1988.

Sugiyanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat, Mandar Maju,

Bandung, 1998.

Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Cet. II, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2007.

Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke 22 Pradnya Paramita, Jakarta, 1985.

17