refleksi kasus - neurorsaugm.files.wordpress.com · refleksi kasus bells’ palsy dosen pembimbing...
TRANSCRIPT
REFLEKSI KASUS
BELLS’ PALSY
Dosen Pembimbing :
dr. Farida Niken Astari Nugroho Hati, M.Sc, Sp.S
Disusun oleh :
Fandy Rachmad Dewantoro 15/377936/KU/17644
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT AKADEMIK UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT, DAN
KEPERAWATAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
2
DESKRIPSI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Usia : 73 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kalongan, Tlogoadi
Pekerjaan : Pensiunan
Agama : Islam
Status : Sudah menikah
No. RM : 03-61-xx
Masuk RS : 29/09/2019
KELUHAN UTAMA
Mulut perot dan bicara cadel
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
HMRS (29/09/2019) : Pasien datang ke poliklinik saraf RSA UGM mengeluhkan mulut
perot, mencong pada sebelah kiri, dan bicara cadel (sulit melafalkan beberapa huruf seperti
B, M, dan P) sejak siang hari pada hari tersebut. Nyeri kepala, mual muntah, kelemahan dan
kebas anggota gerak disangkal. Pasien mempunyai riwayat hipertensi (+) dan rutin
mengonsumsi amlodipin 5mg.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pasien mempunyai riwayat hipertensi, BPPV, dan dyspepsia. Pasien rutin mengonsumsi
amlodipine 5mg per hari.
Pasien sempat mengeluhkan diare, nyeri ulu hati dan kembung kurang dari 1 bulan yang
lalu, namun sudah sembuh.
Disangkal : Riwayat keluhan serupa, DM, Penyakit Jantung
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Riwayat keluhan serupa, hipertensi, dan diabetes mellitus pada keluarga disangkal.
RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Pasien kini sudah tidak bekerja. Pasien tinggal bersama istri pasien. Hubungan pasien
dengan keluarga baik. Pasien berasal dari keluarga golongan ekonomi menengah dan
3
merupakan pasien BPJS Kelas I.
ANAMNESIS SISTEM
Sistem serebrospinal : mulut perot, mencong sebelah kiri, dan sulit bicara.
Riwayat vertigo perifer (BPPV) (+)
Sistem kardiovaskular : riwayat hipertensi terkontrol
Sistem respirasi : tidak ada keluhan
Sistem gastroinstestinal : riwayat dyspepsia dan diare
Sistem muskuloskeletal : tidak ada keluhan
Sistem integument : tidak ada keluhan
Sistem urogenital : tidak ada keluhan
RESUME ANAMNESIS
Laki-laki, usia 73 tahun, datang ke poliklinik saraf RSA UGM (29/09/2019)
mengeluhkan mulut perot dan mencong pada sebelah kiri, serta bicara cadel (sulit
melafalkan beberapa huruf seperti B, M, dan P) sejak siang hari pada hari tersebut.
Riwayat hipertensi terkontrol (+) dan rutin mengonsumsi amlodipine 5 mg. Riwayat
gastroenteritis (+) <1 bulan yang lalu, dyspepsia (+) dan BPPV (+).
DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis Klinis : Mulut perot cum disarthria
Diagnosis Topik : N. VII sinistra, N. VII sinistra cabang buccal, otot-otot bibir sisi
kiri, neuromuscular junction
Diagnosis Etiologi : Bells’ Palsy dd Guillain–Barré syndrome (GBS) dd lesi
cerebellopontine angle (CPA)
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : baik
Kesadaran : Compos mentis, GCS E4V5M6
Tanda vital :
● Tekanan darah : 130/85 mmHg
● Nadi : 85 kali per menit, reguler
● Pernafasan : 22 kali per menit, reguler
● Temperatur : 36,5 oC
Kepala : Normosefal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflex
dalam batas normal
Leher : Limfonodi tidak teraba membesar
4
Toraks :
● Paru :
Inspeksi : simetris, warna kulit, luka (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), fremitus taktil kanan = kiri,
pengembangan dada simetris
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+)/(+), suara tambahan (-)/(-)
● Jantung :
● Inspeksi : simetris, warna kulit, luka (-), tidak tampak ictus cordis
● Palpasi : nyeri tekan (-), teraba ictus cordis
● Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
● Auskultasi : S I-II murni, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : flat, warna kulit, luka (-), bekas operasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani di seluruh lapang perut
Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar
Ekstremitas : edema (-), atrofi otot (-), akral hangat, nadi kuat, wpk <2 detik
Status Mental
a. Tingkah laku dan keadaan umum
● Tingkah laku : Normal
● Pakaian : Rapi
● Cara berpakaian : Sesuai usia
b. Alur pembicaraan
● Percakapan : Normal
● Bicara lemah dan miskin spontanitas : tidak
● Pembicaraan tidak berkesinambungan : tidak
c. Mood dan afek
● Mengalami euforia : Tidak
● Mood sesuai isi pembicaraan : Sesuai
● Emosi labil, meluap-luap : Tidak
d. Isi pikiran
5
Merasakan ilusi, halusinasi, delusi : Tidak
Mengeluhkan sakit seluruh tubuh : Tidak
Delusi tentang penyiksaan, merasa diawasi : Tidak
e. Kapasitas intelektual : Normal
f. Sensorium
● Kesadaran : Compos mentis
● Atensi : Normal
● Orientasi :
- Waktu : Normal
- Tempat : Normal
- Orang : Normal
● Memori :
- Jangka pendek : Normal
- Jangka panjang : Baik
● Kalkulasi : Normal
● Simpanan informasi : Normal
● Tilikan, pengambilan keputusan, dan perencanaan : Normal
Status Neurologis
Kesadaran : Compos mentis, GCS : E4V5M6
Kepala : Pupil isokor ∅ 3 mm/3 mm, reflek cahaya (+)/(+),
reflek kornea (+)/(+)
Leher : Kaku kuduk (-)
Reflek primitif : tidak dilakukan
Nistagmus : horizontal (-)/(-), vertical (-)/(-)
Nervus cranialis :
NERVUS PEMERIKSAAN KANAN KIRI
N. I. Olfaktorius Daya penghidu Normal Normal
N. II. Optikus
Daya penglihatan Normal Normal
Pengenalan warna Normal Normal
Lapang pandang Normal Normal
Ptosis - -
Gerakan mata ke medial + +
6
N. III. Okulomotor
Gerakan mata ke atas + +
Gerakan mata ke bawah + +
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Bulat Bulat
Refleks cahaya langsung + +
N. IV. Troklearis
Strabismus divergen - -
Gerakan mata ke lat-bwh + +
Strabismus konvergen - -
N. V. Trigeminus
Menggigit Normal Normal
Membuka mulut Normal Normal
Sensibilitas muka Normal Normal
Refleks kornea + +
Trismus - -
N. VI. Abdusen Gerakan mata ke lateral Normal Normal
Strabismus konvergen - -
N. VII. Fasialis
Kedipan mata Normal Sulit
Lipatan nasolabial Normal Mendatar
Sudut mulut Normal Turun
Mengerutkan dahi + -
Menutup mata + -
Meringis + -
Menggembungkan pipi + -
N. VIII.
Vestibulokoklearis Mendengar suara bisik + +
N.IX. Glossofaringeus Keterangan
Arkus Faring Normal, simetris
N. X. Vagus Keterangan
Arkus faring Normal, simetris
Bersuara Normal
Menelan Normal
N. XI. Aksesorius Keterangan
Memalingkan Kepala +
7
Sikap Bahu Normal
Mengangkat Bahu +
Trofi Otot Bahu Eutrofi
N. XII. Hipoglosus Keterangan
Sikap lidah Normal
Artikulasi Normal
Tremor lidah Tidak ada tremor
Menjulurkan lidah Normal
Kekuatan lidah Normal
Trofi otot lidah Eutrofi
Fasikulasi lidah Normal
Ekstremitas :
Sensibilitas : dalam batas normal
Vegetasi : BAK baik, BAB baik
RESUME PEMERIKSAAN FISIK
Nervus cranialis : Parese N. VII LMN sinistra
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi
AL : 8,2 x 103/ul (normal)
AE : 4,6 x 106/ul (normal)
Hb : 13,4 g/dl (normal)
Hct : 39,3% (turun)
MCV : 85 fl (normal)
MCH : 28,9 pg (normal)
MCHC : 34,0 g/dl (normal)
AT : 191 x 103/ul (normal)
Neutrofil : 51,7% (normal)
Limfosit : 34,4% (normal)
Monosit : 7,3% (normal)
Eosinofil : 3,7% (normal)
Basofil : 0,4% (normal)
RDW(CV) : 13,4%
Faal Ginjal
Ureum : 23,6 mg/dl (normal)
Kreatinin : 1,3 mg/dl (naik)
GERAKAN KEKUATAN
REFLEKS
FISIOLO
GIS
REFLEKS
PATOLO
GIS
KLONUS TROFI TONUS
B B 5/5/5 5/5/5 +2 +2 (-) (-) (-) (-) Eu Eu N N
B B 5/5/5 5/5/5 +2 +2 (-) (-) Eu Eu N N
8
Glukosa sewaktu : 130 mg/dl (normal)
Elektrolit
Na/K/Cl : 138/3,3/107 (normal/normal/normal)
LDL dan Trigliserida
LDL : 132 mg/dl (batas tinggi)
Trigliserida : 121 mg/dl (normal)
Chest X-Ray PA/AP
AP, supine, simetris, kondisi dan inspirasi cukup
Corakan bronchovaskular kasar
Sinus costophrenicus lancip terbuka
Diafragma normal, licin, tak mendatar
Cor : CTR > 0,56
Kesan : Bronchitis, cardiomegali
MSCT Head
Tak tampak soft tissue swelling extracranial
Sistema tulang normal
SPN dan air cellulae mastoidea normal
Sulci dan gyri tak prominent
Batas cortex dan medulla tegas
Sistem ventrikel simetris, ukuran normal, tak tampak edema periventrikuler
Struktur mediana ditengah, tidak terdeviasi
Kesan : tak tampak kelainan pada MSCT kepala tanpa kontras ini, tak tampak
gambaran infark maupun perdarahan intracranial.
DIAGNOSIS AKHIR
Diagnosis Klinis : Parese N. VII LMN sinistra
Diagnosis Topik : N. VII (nervus facialis) sinistra
Diagnosis Etiologi : Bells’ Palsy
Diagnosis lain : Hipertensi, bronchitis, cardiomegali
TATA LAKSANA
Non farmakologis :
o Edukasi pemberian pelindung mata
o Edukasi untuk menghindari paparan angin atau dingin secara langsung di wajah
o Fisioterapi
9
Farmakologis :
o Tablet metil prednisolone 16 mg 1x sehari 3 tablet
o Tetes mata karboksimetilselulosa 3x sehari bila perlu
o Tablet ranitidine 150 mg 2x sehari 1 tablet
o Tablet miniaspi (aspirin) 80 mg 1x sehari 1 tablet
o Tablet simvastatin 20 mg 1x sehari 1 tablet
o Tablet amlodipine 5 mg 1x sehari 1 tablet
PLANNING
Fisioterapi
PROGNOSIS
Death : Ad bonam
Disease : Ad bonam
Disability : Dubia ad bonam
Discomfort : Dubia ad bonam
Disatisfaction : Ad bonam
Destitution : Ad bonam
10
DISKUSI : BELLS’ PALSY
DEFINISI
Bell’s Palsy pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan
dokter bedah bernama Sir Charles Bell. Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan
saraf perifer wajah secara akut (acute onset) pada sisi sebelah wajah. Bells’ palsy merupakan
kejadian akut, unilateral, paralisis nervus fasial tipe LMN (perifer), yang secara gradual
mengalami perbaikan pada 80-90% kasus.
EPIDEMIOLOGI
Bells’ palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering yang melibatkan saraf
kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis fasialis unilateral akut)
paralisis fasial di dunia. Bells’ palsy lebih sering ditemukan pada usia dewasa, orang dengan
DM, dan wanita hamil. Insidensi Bells’ palsy di Amerika mencapai 23 kasus per 100000
penduduk.
ETIOLOGI
Lima kemungkinan (hipotesis) penyebab Bell’s palsy, yaitu iskemik vaskular, virus,
bakteri, herediter, dan imunologi. Hipotesis virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi
penyakit ini. Sebuah penelitian mengidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di
ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam minggu setelah
mengalami Bell’s palsy.
Etiologi Bell’s palsy terbanyak diduga adalah infeksi virus. Mekanisme pasti yang
terjadi akibat infeksi ini yang menyebabkan penyakit belum diketahui. Inflamasi dan edema
diduga muncul akibat infeksi. Nervus fasialis yang berjalan melewati terowongan sempit
menjadi terjepit karena edema ini dan menyebabkan kerusakan saraf tersebut baik secara
sementara maupun permanen. Virus yang menyebabkan infeksi ini diduga adalah herpes
simpleks. Peningkatan kejadian berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV type I dan
reaktivasi herpes zoster dari ganglia nervus kranialis.
Beberapa kasus Bell’s palsy disebabkan iskemia oleh karena diabetes dan
aterosklerosis. Hal ini mungkin menjelaskan insiden yang meningkat dari Bell’s palsy pada
pasien tua. Kelainan ini analog dengan mononeuropati iskemik pada saraf kranialis lain
pada pasien diabetes.
PATOFISIOLOGI
Saraf fasialis keluar dari otak di angulus ponto-cerebelaris memasuki meatus
akustikus internus. Saraf selanjutnya berada di dalam kanalis fasialis memberikan cabang
11
untuk ganglion pterygopalatine, sedangkan cabang kecilnya ke muskulus stapedius dan
bergabung dengan korda timpani. Pada bagian awal dari kanalis fasialis, segmen labirin
merupakan bagian yang tersempit yang dilewati saraf fasialis. Foramen meatal pada
segmen ini hanya memiliki diameter sebesar 0,66 mm.
Otot-otot wajah diinervasi saraf fasialis. Kerusakan pada saraf fasialis di meatus
akustikus internus (karena tumor), di telinga tengah (karena infeksi atau operasi), di kanalis
fasialis (perineuritis, Bell’s palsy) atau di kelenjar parotis (karena tumor) akan
menyebabkan distorsi wajah, dengan penurunan kelopak mata bawah dan sudut mulut pada
sisi wajah yang terkena. Ini terjadi pada lesi lower motor neuron (LMN). Lesi upper motor
neuron (UMN) akan menunjukkan bagian atas wajah tetap normal karena saraf yang
menginnervasi bagian ini menerima serat kortikobulbar dari kedua korteks serebral.
Murakami, dkk menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi
sekuens genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling
nervus fasialis pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s palsy yang dilakukan dekompresi
pembedahan pada kasus yang berat. Murakami, dkk menginokulasi HSV dalam telinga dan
lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus tersebut
kemudian ditemukan pada nervus fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan adanya
temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat diadopsi.
Gambaran patologi dan mikroskopis menunjukkan proses demielinisasi, edema, dan
gangguan vaskular saraf.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan
neurologis (saraf kranialis, motorik, sensorik, serebelum). Bells’ palsy adalah diagnosis
eksklusi. Gambaran klinis penyakit yang dapat membantu membedakan dengan penyebab
lain dari paralisis fasialis:
a. Onset yang mendadak dari paralisis fasial unilateral
b. Tidak adanya gejala dan tanda pada susunan saraf pusat, telinga, dan penyakit
cerebellopontin angle. Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial yang lain,
kelumpuhan motorik dan gangguan sensorik, maka penyakit neurologis lain harus
dipikirkan (misalnya: stroke, GBS, meningitis basilaris, tumor cerebellopontine
angle).
Berdasarkan tingkat keparahan, Bells’ palsy diklasifikasikan dengan sistem grading
yang dikembangkan oleh House and Brackmann dengan skala I sampai VI. Berikut adalah
sistem grading pada Bells’ palsy yaitu:
12
a. Grade I adalah fungsi fasial normal.
b. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
1. Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil.
2. Sinkinesis ringan dapat terjadi.
3. Simetris normal saat istirahat.
4. Gerakan dahi sedikit sampai baik.
5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha.
6. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
c. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:
1. Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.
2. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat ditemukan
3. Simetris normal saat istirahat.
4. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.
6. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.
d. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya sebagai
berikut:
1. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
2. Simetris normal saat istirahat.
3. Tidak terdapat gerakan dahi.
4. Mata tidak menutup sempurna.
5. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.
e. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
1. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.
2. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.
3. Tidak terdapat gerakan pada dahi.
4. Mata menutup tidak sempurna.
5. Gerakan mulut hanya sedikit.
f. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:
1. Asimetris luas.
2. Tidak ada gerakan.
*Grade I-II = baik, Grade III-IV = moderate, Grade V-VI = buruk
13
DIAGNOSIS BANDING
Acoustic neuroma dan lesi cerebellopontine angle.
Otitis media akut atau kronik.
Amiloidosis.
Aneurisma A. vertebralis, A. basilaris, atau A. carotis.
Sindroma autoimun.
Botulismus.
Karsinomatosis.
Penyakit carotid dan stroke, termasuk fenomena emboli.
Cholesteatoma telinga tengah.
Malformasi congenital.
Schwannoma N. Fasialis.
Infeksi ganglion genikulatum
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah rutin, ureum, kreatinin, gula darah
EMG
MRI kepala + Kontras (jika curiga lesi sentral)
TATALAKSANA
Algoritma Tatalaksana Bells’ Palsy
14
Gambar 1. Algoritma tatalaksana Bells’ Palsy
Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf N. VII (nervus fasialis) dan
menurunkan kerusakan saraf. Pengobatan dipertimbangkan untuk pasien dalam 1-4 hari
onset. Hal penting yang perlu diperhatikan sebagai dokter umum ialah:
a. Pengobatan inisial
1. Steroid dan asiklovir mungkin efektif untuk pengobatan Bells’ palsy
(American Academy Neurology/AAN, 2011).
2. Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan fungsi saraf
kranial, jika diberikan pada onset awal (AAN, 2012).
3. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/hari selama 6 hari,
diikuti penurunan bertahap total selama 10 hari.
4. Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari selama 10
hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari.
b. Perlindungan mata
Perawatan mata menggunakan air mata artifisial pada siang hari dengan lubrikasi
okular topikal dapat mencegah corneal exposure.
c. Fisioterapi atau akupunktur diharapkan dapat mempercepat perbaikan dan
menurunkan sequelae.
PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan Bells’ palsy bervariasi secara luas sehingga dibedakan menjadi 3
grup yaitu:
a. Penyembuhan total fungsi motoris nervus fasialis
b. Penyembuhan tidak total tetapi tidak terdapat berdampak secara aspek kosmetik
c. Kerusakan permanen dan terlihat sangat jelas
Sekitar 80-90% pasien Bells’ palsy sembuh tanpa dampak secara kosmetik dalam 6
minggu sampai 3 bulan. Kemungkinan pengembalian fungsi saraf fasialis dalam 1 bulan dapat
diukur dengan Sunnybrook grading scale (Gambar 2).
15
Gambar 2. Sunnybrook Facial Grading System untuk memprediksi pengembalian fungsi nervus
fasialis dalam 1 bulan
Berdasarkan sistem grading Sunnybrook, nilai skor komposit dapat dikonversikan
menjadi sistem grading House and Brackmann dengan H-B I setara dengan skor komposit 100
pada sistem grading Sunnybrook, H-B II setara 70-99, H-B III setara 43-69, H-B IV setara 26-42,
H-B V setara 13-25 dan H-B VI setara 0-12.
16
REFERENSI
Baugh, RF. et al., (2013). Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy, Otolaryngology-Head
and Neck Surg. J., Vol.149,pp.S1–S27.
De Almeida, JR. et al., (2014). Management Of Bell Palsy: Clinical Practice Guideline.
CMAJ :Canadian Med. Ass. J, Vol. 186(12), pp. 917–922.
Gilden, D. H. (2004). Bell’s Palsy. New England Journal of Medicine, 351(13), 1323–1331.
doi:10.1056/nejmcp041120
Huang, B. et al., (2012). Psychological factors are closely associated with the Bell's palsy: a
casecontrol study. J Huazhong University of Sci. Tech. Med. Sci. Vol 32(2), pp.272-9.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI). 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer
Kanerva, M., Jonson, L., Berg, T., Engstrom, M., Pitkaranta, A., 2017. Sunnybrook and
House-Brackmann systems in 5397 Facial Gradings. Otorhinolaryngology
Department of Helsinki University, Finland
Lowis, H., Gaharu, MN. (2012). Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan
Primer. J of Indonesia Med. Ass.,Vol.62(1), pp.32.
Murthy, JMK., Saxena, AB. (2011), Bell's Palsy: Treatment Guidelines. Annals of Ind. Acad.
Of Neurology,Vol.14(1), pp.70-72.
Netter, FH. (2014). Atlas of Human Anatomy Sixth Edition. Philadelphia: Saunders.
PERDOSSI.2016.Acuan Panduan Praktis Klinis Neurologi 2016.
Sabirin, J. (1990). Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.
Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro:171-81.
Snell, RS. (2012). Clinical Anatomy By Regions 9th
Edition. Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins.