refleksi kasus fraktur tertutup intertrochanter

53
BAB I PENDAHULUAN Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasiyang menyebabkan ketidak cukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jarngan,dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis.Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Celland tentang fisiologi keadaansyok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigenke jaringan.Syok merupakan respon tubuh terhadap gangguan pada systemperedaran darah yang menghambat darah mengalir dalam jumlah yang cukup keseluruh bagian tubuh, terutama ke organ yang penting, cedera pada jantungatau pembuluh darah, atau berkurangnya jumlah darah yang mengalir, biasmenyebabkan syok Klasifikasi syok menurut etiologi : 1. Syok hipovolemik: dehidrasi, kehilangan darah, luka bakar. 2. Syok distributif: kehilangan tonus vascular (anafilaktik, septik, syok toksik). 3. Syok kardiogenik: kegagalan pompa jantung. 1

Upload: takumiinui

Post on 17-Sep-2015

42 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Refleksi Kasus Fraktur Tertutup Intertrochanter

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUANSyok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasiyang menyebabkan ketidak cukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jarngan,dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis.Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Celland tentang fisiologi keadaansyok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigenke jaringan.Syok merupakan respon tubuh terhadap gangguan pada systemperedaran darah yang menghambat darah mengalir dalam jumlah yang cukup keseluruh bagian tubuh, terutama ke organ yang penting, cedera pada jantungatau pembuluh darah, atau berkurangnya jumlah darah yang mengalir, biasmenyebabkan syokKlasifikasi syok menurut etiologi :

1. Syok hipovolemik: dehidrasi, kehilangan darah,luka bakar.

2. Syok distributif: kehilangan tonus vascular (anafilaktik, septik, syok toksik).

3. Syok kardiogenik: kegagalan pompa jantung.

4. Syok obstruktif: hambatan terhadap sirkulasi oleh obstruksi instrinsik atau ekstrinsik. Emboli paru, robekan aneurisma dan tamponade perikard.

Syok hemoragik adalah syok hipovolemik yang disebabkan kehilangan darah yang banyak akibat perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat terbuka atau tersembunyi dalam organ tubuh. Syok hipovolemik yang akan dibahas dalam makalah ini adalah syok hipovolemik hemoragik perioperatif, yaitu syok yang terjadi preoperatig, intraoperatif, ataupun postoperatif.

Pasien yang kehilangan darah akan mengalami masa hipotensi sampai akhirnya pemberian infus cairan tidak dapat menyelamatkan nyawa pasien tersebut. Hal ini disebut sebagai syok ireversibel. Sebagian klinisi percaya bahwa pasien syok dapat diresusitasi dengan pemberian cairan, koreksi hipotermia dan pemberian obat inotropik. Tapi tetap saja masih banyak pasien yang meninggal tidak hanya karena efek akut dari syok ireversibel tapi juga dari efek syok berat yang lama.

Penatalaksanaan pasien syok tidak hanya pada awal saja karena sebenarnya banyak pasien yang tetap mengalami kegagalan sirkulasi setelah perdarahan berat ditangani. Hal ini terjadi karena koagulopati dan hipotermia berat. Pada pasien dengan perdarahan kecil namun terus menerus dapat terjadi asidosis dan hipotermia. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang baik mengenai bagaimana penanganan syok hemorargik perioperatif. Langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan, bagaimana langkah selanjutnya, dan kapan transfusi darah diperlukan

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Cairan Tubuh dan Kehilangan DarahTerdapat cairan sedikitnya setengah dari berat badan pada orang dewasa yang sehat. Volume total cairan (dalam liter) sebanding dengan 60% berat badan (dalam kilogram) pada pria, dan 50% pada wanita. Jumlah cairan dan perkiraan volume darah berdasarkan berat badan ditunjukkan pada tabel 1.1Tabel 1. Cairan Tubuh dan Volume Darah

CairanPriaWanita

Total cairan tubuh600 mL/kg500 mL/kg

Whole blood66 mL/kg60 mL/kg

Plasma40 mL/kg36 mL/kg

Eritrosit26 mL/kg24 mL/kg

Respons Kompensasi

Hilangnya darah memicu respons kompensasi tertentu yang membantu untuk mempertahankan volume darah dan perfusi jaringan. Respons yang paling awal meliputi perpindahan cairan interstisial ke dalam kapiler. Pengisian transkapiler ini dapat menggantikan sekitar 15% dari volume darah, namun hal ini menyebabkan terjadinya kekurangan cairan interstisial.

Kehilangan darah yang akut juga memicu aktivasisistem renin-angiotensin-aldosteron oleh ginjal, untuk mempertahankan kadar natrium.Natrium yang dipertahankan berdistribusi dalam cairan ekstraseluler. Karena cairan interstisial menyusun sekitar 2/3 cairan ekstraseluler, natrium yang dipertahankan akan membantu menggantikan kekurangan cairan interstisial yang diakibatkan oleh pengisian transkapiler. Kemampuan natrium untuk menggantikan kekurangan cairan interstisial, bukan volume darah interstisial, merupakan alasan bahwa cairan kristaloid yang mengandung natrium klorida (cairan salin) lebih disukai sebagai cairan resusitasi untuk perdarahan akut.

Dalam beberapa jam setelah onset perdarahan, sumsum tulang mulai meningkatkan produksi sel darah merah. Respons ini terbentuk secara perlahan-lahan, dan penggantian sepenuhnya eritrosit yang hilang dapat dicapai dalam 2 bulan.

Respons kompensasi ini dapat mempertahankan volume darah yang adekuat pada kasus perdarahan sedang (misalnya kehilangan < 15% volume darah). Saat darah yang hilang melebihi 15% volume darah, umumnya diperlukan penggantian volume darah.Perdarahan Progresif

Perdarahan Kelas I (kehilangan 0-15%)

1. Bila tidak ada komplikasi, hanya terlihat takikardia minimal.

2. Biasanya tidak ada perubahan dalam TD, tekanan nadi, atau frekuensi napas.

3. Keterlambatan pengisian kembali kapiler lebih dari 3 detik sebanding dengan kehilangan volume 10%.

Perdarahan kelas II (kehilangan 15-30%)

1. Gejala klinik mencakup takikardia ( >100 detak permenit), takipnea, penurunan tekanan nadi, kulit dingin dan lembab, pengisian kapiler terlambat dan sedikit cemas.

2. Penurunan tekanan nadi adalah hasil dari peningkatan kadar katekolamin yang menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh darah tepi yang disusul dengan peningkatan TD diastolik.

Perdarahan Kelas III (kehilangan 30-40%)

1. Pada titik ini, biasanya pasien sudah takipnea dan takikardia mencolok, TO sistolik turun, oliguria, perubahan status mental bermakna, misal bingung atau gaduh gelisah.

2. Pada pasien tanpa cedera lain atau tanpa kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah terkecil dari kehilangan darah yang selalu menyebabkan penurunan TD sistolik.

3. Sebagian besar dari pasien ini membutuhkan transfusi darah, namun keputusan memberikan darah harus didasarkan atas respons awal terhadap pemberian cairan.

Perdarahan Kelas IV (kehilangan >40%)

1. Gejala-gejala mencakup: takikardia dan penurunan TD sistolik mencolok, tekanan nadi mengecil (atau tekanan diastofik tidak terukur), jumlah urin sedikit atau tidak ada, status mental depresi (atau kehilangan kesadaran), kulit dingin dan pucat.

2. Jumlah perdarahan ini mengancam jiwa.

3. Pada pasien trauma, perdarahan biasanya dianggap sebagai penyebab syok. Walaupun demikian, ini harus dibedakan dari sebab-sebab syok lainnya, antara lain:tamponade jantung ( bunyi jantung halus, vena leher distensi), tension pneumothorax (deviasi trakea, bunyi napas berkurang pada satu sisi), dan trauma medulla spinalis (kulit hangat, takikardia tidak sebesar yang diduga, defisit neurologis).

Kelas 1Kelas 2Kelas 3Kelas 4

Kehilangan darah (ml)Sampai 750750-15001500-2000>2000

Kehilangan darah (%BV)Sampai 15%15-30%30-40%>40%

Nadi100>120>140

Tekanan darahNormalNormalMenurunMenurun

Tekanan nadiNormal atau meningkatMenurun Menurun Menurun

Frekuensi napas14-2020-3030-40>35

Urin (ml/jam)>3020-305-15Tidak ada

Status mentalGelisah ringanGelisah sedangGelisah dan bingungGelisah dan letargi

Cairan penggantikristaloidkristaloidKristaloid dan darahKristaloid dan darah

B. Evaluasi Klinis

Evaluasi klinis pada pasien-pasien yang mengalami perdarahan bertujuan untuk menentukan seberapa besar kekurangan volume darah dan pengaruhnya terhadap aliran sirkulasi dan fungsi organ.1,3,4Anamnesis dan Pemeriksaan FisikAnamnesis pada pasien dengan syok hemoragik dilakukan untuk mengetahui sebab dan jumlah darah yang keluar akibat terjadinya perdarahan seperti mekanisme trauma, lama perdarahan, dan kelainan yang terdapat pada pasien. Selain itu, perlu ditanyakan penanganan pre rumah sakit terutama pemberian cairan, perubahan tanda vital, dan lama penanganan yang diberikan.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi:

1. Kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan

a. Sumber perdarahan biasanya terlihat

b. Aliran darah kulit kepala banyak dan dapat menghasilkan perdarahan yang signifikan

c. Perdarahan intrakranial terutama pada usia muda

2. Dada

a. Perdarahan rongga toraks dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik

b. Hemotoraks dapat meliputi distres pernapasan, penurunan bunyi napas, dan perkusi pekak

c. Tension hemothorax3. Abdomen

a. Perlukaan terhadap hati atau limpa adalah penyebab umum syok perdarahan. Ruptur spontan aneurisma aorta abdominal dapat juga menyebabkan perdarahan intraabdominal berat dan syok

b. Darah dapat mengiritasi rongga peritoneal dan dapat menimbulkan nyeri tekan dan peritonitis

c. Distensi abdominal progresif pada syok perdarahan menjadi temuan pada perdarahan intraabdominal

4. Pelvis

a. Fraktur dapat menyebabkan perdarahan masif

b. Ekimosis pada panggul belakang dapat mengindikasikan perdarahan retroperitoneal

5. Ekstremitas

a. Perdarahan ekstremitas dapat terlihat atau tersembunyi

b. Fraktur femur dapat menyebabkan kehilangan darah signifikan

6. Sistem Saraf

a. Agitasi dapat dilihat pada tahap awal syok perdarahan

b. Penurunan kesadaran dapat timbul apabila terjadi hipoperfusi serebral

Tanda Vital

Takikardi (denyut nadi > 90 kali per menit) sering diasumsikan sebagai hal yang umum ditemukan pada pasien hipovolemik, namun pada posisi terlentang tidak ditemukan takikardi pada mayoritas pasien dengan perdarahan sedang hingga berat. Kenyataannya, dapat lebih sering ditemukan bradikardi pada perdarahan akut. Hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg) pada posisi terlentang juga merupakan penanda perdarahan akut yang tidak sensitif. Hipotensi umumnya timbul pada hipovolemia tahap lanjut, saat kehilangan darah melebihi 30% dari volume darah total. Metode yang digunakan untuk mengukur tekanan darah merupakan pertimbangan yang penting pada pasien yang mengalami perdarahan, karena pada tahap aliran rendah, pengukuran noninvasif sering memberikan nilai rendah yang palsu. Untuk mendapatkan hasil yang sebenarnya, direkomendasikan pemeriksaan intraarterial langsung untuk memonitor tekanan darah pada pasien yang mengalami perdarahan.C. Penatalaksanaan Syok HemorargikPenatalaksanaan pasien dengan syok hemoragik adalah resusitasi cairan. Selain itu dicari sumber perdarahan dan dilakukan usaha menghentikan perdarahan yang terjadi. Seperti halnya resusitasi kasus lain, jalan napas dan pernapasan (airway dan breathing) tetap diperhatikan.2,5 Kombinasi dari syok dan gagal napas mengakibatkan mortalitas yang sangat tinggi. Dengan demikian setiap pasien syok harus diberikan oksigen tinggi menggunakan masker. Bila pernapasan tidak adekuat, intubasi secepatnya dilakukan.

Perdarahan luar yang terlihat segera dikontrol dengan penekanan lokal. Bila usaha resusitasi menunjukkan kemungkinan perdarahan intraabdominal atau perdarahan intratorakal yang sedang berlangsung. Pemeriksaan yang rumit seminimal mungkin dilakukan dan usaha operasi definitif secepatnya dilakukan. D. Dasar Resusitasi Cairan

Keberhasilan dalam penanganan pasien dengan hipovolemi ditentukan oleh penggantian cairan dengan cepat, di mana angka kematian akibat syok hipovolemik secara langsung berhubungan dengan derajat dan durasi hipoperfusi organ. Di bawah ini dibahas mengenai resusitasi cairan dan hal-hal yang berhubungan.41. Kanulasi Vena

Hal yang perlu dipikirkan dalam resusitasi cairan adalah akses pemberian cairan. Pada pasien dengan trauma multipel berat syok hemoragik, akses vena diperlukan untuk mengembalikan cairan yang hilang. Faktor yang mempengaruhi akses vena adalah letak anatomis vena, beratnya cedera pada tubuh serta kemampuan dan pengalaman dokter yang menolong. Akses vena tidak boleh diberikan pada ekstremitas yang terluka.

Menurut acuan dari ATLS, pada kasus syok hemoragik, akses vena yang disarankan adalah dua infus vena dengan diameter besar. Pilihan pertama adalah infus perifer seperti vena pergelangan tangan dan punggung tangan, pada fosa antekubiti dan vena savena. Tempat lain yang jarang dipilih adalah vena femoralis dan jugularis. Vena subklavia dan jugular interna sebaiknya tidak secara rutin diberikan pada syok hipovolemik. Komplikasinya tinggi dan keberhasilannya rendah karena vena sering kolaps. Akses cairan melalui vena perifer dapat menjadi sulit pada pasien syok hipovolemik dengan vena yang sudah kolaps, edema, kegemukan, jaringan parut, riwayat penggunaan obat intravena dan luka bakar. Pada keadaan tertentu akses vena sentral dengan kateter diameter besar dapat dicoba pada vena femoral secara perkutan atau vena seksi. Akses vena subklavia menyediakan akses cepat dan aman di tangan ahli. Komplikasi tersering adalah pneumotoraks. Pneumotoraks terjadi pada paru kiri karena secara anatomis pleura pada paru kiri lebih tinggi. Komplikasi lainnya seperti perforasi vena atau arteri atau emboli udara vena. Pada pasien trauma, akses vena jugular jarang digunakan karena kecurigaan trauma servikal. 2. Aliran Cairan Resusitasi

Terdapat tiga jenis cairan resusitasi, yaitu:

1. Cairan yang mengandung sel darah merah (whole blood dan konsentrat eritrosit/ packed cells)

2. Cairan yang mengandung molekul-molekul besar yang kemampuan terbatas untuk keluar dari pembuluh darah (cairan koloid)

3. Cairan yang hanya mengandung elektrolit (natrium dan klorida) dan molekul-molekul kecil yang dapat keluar masuk pembuluh darah secara bebas (cairan kristaloid)

Laju aliran ketiga jenis cairan resusitasi ini bergantung pada viskositasnya. Cairan yang mengandung sel darah merah adalah satu-satunya cairan resusitasi yang memiliki viskositas lebih tinggi dari air. Viskositas yang tinggi ini adalah akibat dari kepadatan eritrosit atau hematokrit. Dengan demikian laju aliran whole blood lebih rendah dari air dan albumin 5% sementara aliran packedRBCs adalah yang paling lambat. Aliran yang lambat ini dapat ditingkatkan dengan pemberian tekanan pada kolf darah menggunakan manset. Dapat juga ditambahkan cairan garam faal pada infus yang dapat menurunkan viskositas darah. Kesalahpahaman yang sering terjadi adalah pernyataan bahwa laju aliran koloid lebih rendah dibanding laju aliran cairan kristaloid atau air. Viskositas adalah fungsi dari densitas sel sehingga laju aliran cairan tanpa sel sama dengan laju aliran air.E. Strategi Resusitasi

Resusitasi yang dilakukan dalam mengatasi syok hemorargik terdriri atas dua tahap yaitu resusitasi dini (early resuscitation) dan resusitasi lambat (late resuscitation).6 Pembagian kedua tahapan ini dikarenakan adanya suatu siklus yang menyebabkan resusitasi tidak dapat dilakukan hanya di awal saja. Ketika terjadi syok hemorargik dan dilakukan resusitasi cairan, akan terjadi dilusi dari sel darah merah yang akan mengurangi pengantaran oksigen. Hal tersebut akan menyebabkan hipotermia dan koagulopati. Selain itu, cairantubuh yang meningkat akan meningkatkan tekanan darah, dan karena adanya efek reversal dari vasokonstriksi pembuluh darah akan menyebabkan perdarahan yang semakin banyak sehingga membutuhkan lebih banyak cairan resusitasi. Pada akhirnya, siklus kenaikan tekanan darah dalam waktu singkat, perdarahan yang makin banyak, dan kembali ke hipotensi akan terjadi terus menerus bila resusitasi tidak dilakukan dalam dua tahap.

Resusitasi dini dilakukan ketika perdarahan aktif masih berlangsung pada pasien. Resusitasi lambat dilakukan setelah seluruh perdarahan dapat dikontrol. Karena dilakukan pada kondisi yang berbeda, maka tujuan dari kedua resusitasi ini berbeda.

Tujuan dari resusitasi dini adalah:6 Mempertahankan tekanan darah sistolik pada level 80-100 mmHg.

Mempertahankan hematokrit 25-30%.

Mempertahankan PT dan PTT pada kisaran normal.

Mempertahankan trombosit > 50.000.

Mempertahankan kalsium terionisasi serum dalam batas normal.

Mempertahankan suhu > 35(C.

Mempertahankan fungsi oksimetri denyut.

Mencegah peningkatan serum laktat.

Mencegah perburukan asidosis.

Setelah perdarahan terkontrol, resusitasi akan memasuki fase selanjutnya yaitu fase lambat. Tujuan dari resusitasi fase lambat adalah: 6 Mempertahankan tekanan darah sistolik di atas 100 mmHg.

Memperahankan hematokrit di atas batas transfusi individu.

Normalisasi status koagulasi.

Normalisasi keseimbangan elektrolit.

Normalisasi temperatur tubuh.

Mengembalikan output urin ke batas normal.

Maksimalisasi curah jantung dengan metode invasif maupun non invasif.

Memperbaiki asidosis sistemik.

Menurunkan laktat ke batas normal.

Pada saat resusitasi fase lambat ini dilakukan, pemberian cairan tetap dilakukan sampai diyakini sudah terjadi perfusi sistemik yang adekuat.

Tujuan utama penggantian cairan pada kehilangan darah akut adalah mempertahankan ambilan oksigen (VO2) oleh jaringan dan mempertahankan kelangsungan metabolisme aerobik.4 Cairan pengganti logikanya sesuai dengan cairan yang keluar atau yang mendekati. Kontroversi masih terjadi seputar penggunaan cairan kristaloid maupun koloid sebagai pengembang plasma. Pendukung koloid berpendapat bahwa resusitasi menggunakan koloid lebih cepat dan aman bagi paru-paru. Sementara pengguna kristaloid berpendapat bahwa kristaloid lebih tepat menangani syok karena menggantikan cairan intravaskular dan ekstravaskular (karena pada syok terjadi pengecilan volume cairan ekstraselular). Kristaloid lebih murah walaupun dibutuhkan volume yang lebih besar (dibutuhkan 2-4 kali cairan kristaloid agar efek resusitasinya sama dengan koloid). Cairan koloid memiliki efek alergi lebih sedikit. Walaupun begitu tidak terdapat bukti yang mengharuskan seseorang menggunakan salah satu cairan. Penggunaan kedua cairan bersama-sama sering digunakan dalam klinis sehari-hari.

Kehilangan darah akut mempengaruhi dua komponen yaitu curah jantung dan konsentrasi hemoglobin dalam darah. Dengan begitu resusitasi mencakup bagaimana cara meningkatkan curah jantung dan mengoreksi kekurangan hemoglobin.

F. Meningkatkan Curah Jantung

Konsekuensi dari curah jantung yang menurun jauh lebih membahayakan dari konsekuensi anemia, jadi prioritas pertama dalam penatalaksanaan pasien dengan perdarahan adalah meningkatkan curah jantung.

Cairan resusitasi dan curah jantung

Kemampuan setiap jenis cairan untuk meningkatkan curah jantung dinilai dengan mengukur dan membandingkan infus whole blood (1 unit = 450 ml), packed cells (2 unit = 500 ml), dextran-40 (500 ml). Didapatkan efek infus ketiga cairan ini selama satu jam dalam meningkatkan curah jantung adalah sama. Sedangkan kemampuan cairan Ringer laktat (1 L) adalah dua kali cairan lainnya. Bila dibandingkan volume per volume maka cairan koloid adalah yang paling efektif. Koloid dua kali lebih efektif dibanding whole blood, enam kali lebih efektif dari packed cells dan delapan kali lebih efektif dibanding cairan kristaloid (RL). Kemampuan darah yang terbatas untuk meningkatkan curah jantung adalah karena efek viskositas darah. Jika peningkatan curah jantung adalah prioritas pertama dalam penatalaksanaan perdarahan akut maka darah bukanlah cairan yang dipilih sebagai terapi awal resusitasi cairan.

Cairan koloid dan kristaloid

Kedua jenis cairan ini memiliki viskositas mendekati air karena keduanya tidak mengandung sel. Perbedaan keduanya adalah pada distribusi volume cairannya. Cairan kristaloid tersusun atas natrium yang terdistribusi merata pada cairan ekstraselular. Plasma darah mewakili 20% cairan ekstraselular sehingga cairan kristaloid yang mengisi pembuluh darah hanya 20% cairan yang masuk. Delapan puluh persen sisanya akan keluar ke cairan interstisial. Cairan koloid di lain pihak akan menambah volume plasma karena molekul koloid yang besar tidak dengan mudah keluar pembuluh darah. Sekitar 75 atau 80% cairan infus koloid akan tetap berada di ruang vaskular dan menambah volume plasma paling tidak pada jam-jam awal infus. Peningkatan curah jantung adalah efek dari peningkatan preload (peningkatan volume darah) dan efek penurunan afterload (efek dilusi dari viskositas darah). Berikut poin penting dalam resusitasi cairan:

Cairan koloid lebih efektif dari whole blood, packed cells dan cairan kristaloid untuk meningkatkan curah jantung

Konsentrat eritrosit relatif tidak efektif untuk meningkatkan curah jantung sehingga sebaiknya tidak digunakan sendirian pada resusitasi

Cairan koloid menambah volume plasma sementara cairan kristaloid menambah volume interstisial

Untuk mendapatkan efek yang sama pada curah jantung, volume infus cairan kristaloid setidaknya tiga kali lebih banyak dari volume infus cairan koloid

Memperkirakan volume cairan total

Pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut:

Memperkirakan jumlah volume darah normal. Caranya adalah dengan menghitung berat badan dikali 66 ml (laki-laki) atau 60 ml (perempuan).

Memperkirakan jumlah darah yang keluar. Kelas I bila kehilangan darah < 15% volume darah, kelas II bila kehilangan darah 15-30% volume darah, kelas III bila kehilangan darah 30-40% dan kelas IV bila kehilangan darah lebih dari 40% volume darah.

Menghitung defisit volume dengan mengkalikan volume darah normal dikali % kehilangan darah

Menghitung jumlah cairan untuk masing-masing jenis cairan yang dibutuhkan dengan anggapan bahwa peningkatan volume darah adalah 100% volume infus whole blood, 50-75% volume infus cairan koloid dan 20-25% volume infus cairan kristaloid. Volume resusitasi setiap cairan dihitung dari defisit volume dibagi persen retensi cairan. Sebagai contoh jika defisit volume 2 L dan cairan resusitasi yang digunakan adalah koloid (50-75% tertahan di intra vaskular) maka volume resusitasi adalah 2/0,75 = 3 L hingga 2/0,5 = 4 L cairan koloid.

Tabel 2. Estimasi Volume Resusitasi

Tahapan DeterminasiJumlah Volume

1. Estimasi volume darah normal (BV)BV = 70mL/kg ()

= 65 mL/kg ()

2. Estimasi % volume darah yang hilangKelas I: < 15%

Kelas II: 15-30%

Kelas III: 30-40%

Kelas IV: > 40%

3. Kalkulasi defisit volume (VD)VD = BV x % BV yang hilang

4. Determinasi volume resusitasi (RV)RV = VD x 1 (koloid)

= VD x 3 (kristaloid)

Setelah volume penggantian total dihitung, kecepatan penggantian cairan dihitung berdasarkan kondisi klinis pasien.G. Pemantauan Resusitasi

Selama resusitasi perlu dipantau laju jantung, tekanan darah, frekuensi napas, urin yang keluar, status mental dan suhu tubuh. Vena sentral dapat digunakan untuk memantau preload pada ventrikel kanan. Pemeriksaan laboratorium rutin termasuk diantaranya gas darah, elektrolit dan keseimbangan asam basa, fungsi hati dan ginjal, gula darah, hematologi dan koagulasi rutin. Kadar laktat cukup sering digunakan untuk mengetahui efektivitas dukungan kardiovaskular.

BAB III

STATUS PASIEN

1. IDENTITAS PENDERITA

Nama

: Nn. Selvian Umur

: 21 Tahun

Alamat

: Desa Lombogia Poso Pekerjaan

: Honorer Agama

: Islam

Ruangan

:Intensive Care Unit RSUD Undata Palu

Tanggal Masuk

: 21Maret 2014

Tanggal Pemeriksaan: 21Maret 2015 No.Rek.Medis

: 5673872. ANAMNESIS

Keluhan Utama

: robek pada kelamin dan paha Riwayat Penyakit Sekarang

:

Pasien rujukan dari RSUD Poso dengan diagnosa Vulnus Laseratum Regio Inguinal-Genital Eksterna-Femoralisdan Close Fracture Tibia-Fibula setelah kecelakaan lalu lintas menabrak truk tronton. Pasien mengeluhkan nyeri pada vagina, yang dirasakan setelah kecelakaan. Dalam perjalanan, pasien mengalami pendarahan yang cukup banyak, mulai gelisah, akral dingin dan penurunan tekanan darah berulang, pernapasan cepat dan nadi cepat

Riwayat Penyakit Sebelumnya

Riwayat pendarahan sebelumnya (-) Riwayat alergi (-)3. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum: Sakit Berat

Kesadaran

: Composmentis (GCS E4 V5 M6)Berat Badan

: 51 kg

Status Gizi

: Gizi Baik

Primary Survey

Airway: Paten

Breathing: Respirasi23 kali/menit

Circulation: Tekanan darah:70mmhg/ palpasi

Nadi

: 126kali/menit, ireguler, lemah,tidak kuatangkat Secondary Survey

Kepala:

Bentuk

: Normocephal Rambut

: Warna hitam distribusi padat Kulit kepala: Psoriasis (-), lesi (-) Wajah

:Simetris, paralisis facial (-), afek ekspresi serasi, deformitas (-) Kulit

:Keriput (-), pucat (+), sianosis (-), turgor 3 detik.Mata:Eksoftalmus (-), enophtalmus (-), palpebra edema (-),ptosis (-), kalazion (-),konjungtiva anemis (+/+), sclera ikterik(-).Pupil

:Bentuk isokor, bulat, diameter 2mm/2mm,

refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak

langsung +/+.Hidung & Sinus

: Deviasi septum nasi (-), polip (-), rhinorrhea (-),

epistaksis (-), nyeri tekan pada sinus (-)

Mulut &Faring:Bibir: sianosis (-), pucat (+)

Lidah: deviasi lidah (-), lidah kotor (-), tremor (-)

Leher:Inspeksi: jaringan parut (-), massa (-)

Palpasi:pembengkakan kelenjar limfe (-), pembesaran pada kelenjar tiroid (-)Trakhea: Deviasi trakhea (-)

Thorax

Inspeksi:Normochest, retraksi (-), massa (-), cicatrix (-), spider nevi (-)

Palpasi:nyeri tekan (-), ekspansi paru simetris kiri dan kanan, fremitus taktil kesan normal.

Perkusi:sonor (+) diseluruh lapang paru, batas paru hepar SIC VI dextra.

Auskultasi:vesicular +/+, bunyi tambahan (-).

Jantung

Inspeksi:lctus cordis tidak tampak Palpasi:lctus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula (s), thrill (-) Perkusi:Batas atas: SIC II linea parasternal dextra et sinistraBatas kanan: SIC V linea parasternal dextra

Batas kiri: SIC V linea midclavicula sinistra Auskultasi:Bunyi jantung I/II reguler murni, murmur (-), gallop (-)Abdomen

Inspeksi:Bentuk datar terhadap thorax dan symphisis pubis, massa (-). Auskultasi:Peristaltik (+) kesan normal ( 20 kali/menit) diseluruh kuadran abdomen ,Bruit (-). Perkusi:Timpani (+) diseluruh kuadran abdomen. Palpasi:hepar tidak teraba

Spleen tidak teraba

Nyeri tekan (-)

Ginjal tidak terabaGenitalia

: terdapat darah yang keluar terus menerus dari vulnus laseratum inguinal, genitalEkstremitas:

Atas:Edema (-), Akral dingin (+/+), refleks fisiologis normal,kekuatan 5/5, tonus normal

Bawah:Edema (-), Akral dingin (+/-), refleks fisiologis tidak bisa dilakukan, kekuatan -/-, tonus normal4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium tanggal 21 Maret 2015Hematologi Rutin

ParameterHasilSatuanRange Normal

RBC

Hemoglobin (Hb)

HematokritPLTWBC2,096,218,51054,6106/mm3

gr/dl

%

103/mm3

103/mm33,80-5,80

11,5-16,0

37,0-47,0

150-500

4,0-10,0

5. RESUME

Pasien usia21 tahun. Masuk dengan vulnus laseratum regio genitalia eksterna-inguinal-femoralis dan close fracture tibia fibula setelah kecelakaan lalu lintas. Setelah kecelakaan, pasien mengalami pendarahan yang cukup banyakm diikuti dengan hipotensi, takipnoe, gelisah, dan takikardi.Pemeriksaan Fisik Airway: Paten

Breathing: Respirasi32 kali/menit

Circulation: Tekanan darah:60mmhg/ palpasi

Nadi

: 126kali/menit, ireguler, lemah,tidak kuatangkat6. Diagnosis Kerja:

Vulnus Laseratum regio Inguinal-Genitalia Eksterna-Femoralis + Hipotensi e.c Syok Hipovolemik Post KLL7. Penatalaksanaan:

Airway: O2 5 Lpm via nasal kanul

Breathing: Spontan

Circulation: IVFD RL1000cc tiap jam dalam 2jam pertama

NaCl 300 cc

Transfusi Whole Blood 2x350 ccDrug:Ranitidin 2,5 mg/IV

Ketorolac 30 mg /IV

Ceftriaxone 1gr/12jam/iv

8. Anjuran Pemeriksaan:

Pemeriksaan Darah Lengkap SerialPemeriksaan Kimia Darah (ureum kreatinin)Pemeriksaan Fungsi Hemostasis

FOLLOW UPTanggal 22Maret 2014 (Perawatan Hari 1)

S: Lemah (+), gelisah (+), nyeri kaki kiri (+), nyeri paha (+), pendarahan (-)O: Tek.Darah: 82/40 mmHg

Nadi

: 107 kali/menit

Pernapasan: 24 kali/menit

Suhu

: 370C

Konjungtiva anemis (+/+), Perdarahan daerah vulnus (+)

InputOutput

Ringer Lactat 1500mlMinum : 200mlUrine 200/12 jam

IWL 372

Total 1730Total572

Hematologi Rutin

ParameterHasilSatuanRange Normal

RBC

Hemoglobin (Hb)

HematokritPLTWBC3,599,127,7

115

10,9106/mm3

gr/dl

%

103/mm3

103/mm33,80-5,80

11,5-16,0

37,0-47,0

150-500

4,0-10,0

A: Hipotensi + Anemia e.c Syok hipovolemik post KLLP: IVFD RL:NaCl 1:1 28tetes per menitRanitidin 2,5 mg/IV

Ketorolac 30 mg /IVCeftriaxone 1gr/12jam/ivPasien minta pulang paksa

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini seorang wanita usia 21tahun dengan vulnus laseratum regio ingunal-genitalia eksterna-femoralis dan close fracture tibia-fibula, tindakan yang sudah dilakukan adalah resusitasi cairan dan immobilisasi daerah fraktur.Berdasarkan klasifikasi perdarahan, pasien dalam kasus ini mengalami perdarahan kelas III (kehilangan volume darah sekitar 30% - 40%), dimana pasien menunjukkan tanda klasik perfusi yang tidak adekuat, yaitu takikardi ringan, takipnoe yang jelas, gelisah, dan penurunan tekanan darah sistolik. pasien dalam kasus ini kehilangan darah sebesar 1500-2000 cc (pada pasien ini 1500cc)Penatalaksanaan awal pasien dengan syok hipovolemik atau syok hemoragik adalah dengan memperhatikan Airway (A), breathing (B), Circulation (C), Disability (D), Exposure (E). pada pasien ini untuk pengelolan jalan nafas (Airway) dilakukan pemberian terapi oksigen melalui nasal kanul 5 lpm, sedangkan untuk pernapasan (Breathing) masih secara spontan. Untuk sikulasi (C) pasien dilakukan resusitasi cairan berupa pemberian cairan kristaloid yaitu Ringer Lactat 2000ml dalam waktu 2jam dan transfusi WB 700cc, posisi syok (Trendelenbergs position) tidak bisa dilakukan karena fraktur pada kaki kiri pasien dan nyeri pada regio femoralis saat digerakkan. Untuk disability (D), pasien dilakukan pemeriksaan neurologis tetapi pemeriksaan neurologis tidak bisa dilakukan pada ekstremitas bawah karena fraktur tibia fibula sinistradan vulnus laseratum regio femoralis dextra dan semua masih dalam batas normal, hanya saja pasien terlihat gelisah.selanjutnya pasien diperiksa dari ujung kepala sampai ujung kaki, dan memperhatikan volume urine dalam urine bag. Volume urine 200cc/12jam.Berdasarkan hasil laboratorium darah lengkap menunjukkan kadar hemoglobin pasien adalah 6,2 gr/dl saat masuk rumah sakit, yang diikuti oleh terjadinya perdarahan terus menerus, maka pasien ini diberikan transfuse darah sebesar 350cc sebanyak 2 kali dan dilakukan pemeriksaan darah rutin posttransfusi terjadi perbaikan dengan hasil hemoglobin 9,1gr/dl. Dari tanda-tanda vital juga demikian, ketika masuk rumah sakit, tekanan darah pasien 70mmhg/palpasi, berikan terapi cairan 2000cc dalam 2 jam pertama, dan menujukkan kemajuan yaitu 82/40mmhg.Jika dilihat dari teori, terapi cairan yang diberikan seharusnya sebagai berikut:

1. Estimasi volume darah normal (BV)BV = 70mL/kg ()

= 65 mL/kg ()

2. Estimasi % volume darah yang hilangKelas I: < 15%

Kelas II: 15-30%

Kelas III: 30-40%

Kelas IV: > 40%

3. Kalkulasi defisit volume (VD)VD = BV x % BV yang hilang

4. Determinasi volume resusitasi (RV)RV = VD x 1 (koloid)

= VD x 3 (kristaloid)

Atau pada pasien ini:

1. EBV:60ml/kgbb = 65ml x 51kg = 33152. EBL : kelas 3 (30-40%) 40%

3. Kalkulasi defisit volume (VD):

EBV x EBL

3315 x %40 = 1326cc4. Terapi cairan:

WB 2x350 = 700cc Kristaloid (RL) = 626 x 3 = 1878cc(1900cc)Ditambahkan dengan maintenance 30-50cc/kgbb (40cc/kgbb)

Sehingga didapatkan 40x51= 2000cc/hariSehingga total kebutuhan cairan dari pasien adalah 3900cc

Resusitasi cairan sendiri terbagi atas 2, yaitu resusitasi cepat (20ml/kgbb dalam 1 jam pertama), atau resusitasi lambat yang dibagi menjadi 2 yaitu 50% dalam 8jam pertama, 50% sisanya dalam 16jam berikutnya. Pada pasien ini, perlu dilakukan resusitasi cepat karena kondisi dari pasien (tekanan darah 70/palpasi) Sehingga dilakukan resusitasi cepat yaitu 20ml/kgbb dalam 1 jam pertama 1000ccPada resusitasi lambat, kebutuhan dibagi menjadi 2, yaitu 50% pada 8jam pertama (1950cc dikurangi 1000cc dari resusitasi cepat = 950 dalam 7 jam berikutnya)

Lalu dilanjutkan 50% pada 16 jam berikutnya yaitu 1950cc dalam 16 jam.Berdasarkan teori, setelah terjadi perdarahan tanpa pertolongan, akan terjadi mekanisme kompensasi dalam tubuh menurut pola tertentu yang merupakan upaya tubuh mempertahankan hemodinamiknya agar tetap stabil guna mempertahankan hidupnya. Apabila seseorang mengalami perdarahan, berarti volume darahnya berkurang, ini menyebabkan curah jantung menurun, seterusnya tekanan darah akan menurun. Dengan turunnya tekanan darah, baroreseptor yang terletak pada arteri karotis akan mengirim impuls ke hipotalamus yang selanjutnya akan terjadi reflex berupa timbulnya pacuan saraf simpatis yang selanjutnya akan merangsang pengeluaran katekolamin berupa adrenalin dan noradrenalin baik neural maupun hormonal. Katekolamin tersebut menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pada sistem pembuluh darah akibat terangsangnya reseptor alfa.Sedangkan pada jantung menyebabkan takikardi disertai dengan naiknya kontraksi jantung akibat terangsangnya reseptor beta yang ada pada jantung (chronotropic dan inotropic effect). Vasokonstriksi ini pada berbagai pembulu darah yag mempunyai akibat yang berbeda. Pada sistem vena, vasokonstriksi ini menyebabkan terjadinya penyesuaian yang paling besar antara kapasitas pembuluh darah dan volume darah yang sisa, seolah darah diperas dari sistem vena ke jantung agar curah jantung tidak banyak menurun. Sistem darah vena disebut juga sebagai capacitance Vessels karena memiliki kapasitas yang besar dalam menampung darah yang beredar dalam tubuh, 75% darah beredar dalam tubuh berada pada sistem vena, 20% pada sistem arteri, dan 5% berada ada kapiler. Pada sistem arteri, vasokonstriksi ini tidak merata tergantung pada organya. Sistem arteri ke jantung dan otak kurang peka terhadap pengaruh katekolamin, di lain pihak sistem arteri untuk daerah ginjal, usus, hati, otot, dan kulit sangat peka terhadap pengaruh katekolamin sehingga mengalami vasokonstriksi yang lebih hebat. Sistem arteri ini disebut resistance vessels oleh karena sistem arteri inilah yang menentukan tahanan perifer.Hasiil akhir dari mekanisme inni menyebabkan perfusi jantung dan otak relative tidak berkurang, sedangkan perfusi ginjal, usus, hati, dan lain-lain sudah banyak berkurang.Akibat vasokonstriksi arteriole mengakibatkan naiknya tahanan perifer sehingga walaupun curah jantung sedikit turun, tekanan darah tidak banyak turun, erfusi otak dan jantung tetap terjamin.Tahap vasokonstriksi ini merupakan upaya kompensasi tubuh untuk mempertahanka organ-organ vital kelassatu yaitu otak dan jantung dengan mengorbankan organ-organ kkelas dua yaitu ginjal, usus, hati, otot, kulit, dan lain-lain. Apabila syok tersebut berkelanjutan tanpa pertolongan maka vasokontriksi pembuluh darah arteri dan vena akan bertambah hebat, menyebabkan jaringan tubuh semakin hipoksia sampai anoksia. Hal ini akan membawa akibat berupa gangguan metabolism aerob (Siklus Krebs) macet, menyebabkan terjadinnya penimbunan asam laktat yang pada gilirannya membawa suasana asam yang disebut asidosis metabolic. Suasana asam pada jaringan tersebut menyebabkan arteriola tidak mampu mempertahankan tonusnya lagi sehingga berelaksasi, pada saat yang sama venula tonusnya menetap. Akibatnya darah dapat mengalir masuk ke dalam kapiler tetapi tertahan keluar oleh tonus venula yang menetap, sehingga darah akan tertimbun dalam kapiler, terjadi Congested Capillares akibatnya tekanan hidrostatik dalam kapier meninggi sehingga cairan berbalik keluar dari ruang intravascular. Jika proses stagnansi ini berlangsung terus, dinding kapiler akan hilang integritasnya menyebabkan darah dan plasma dapat keluar ke dalam jaringan yang menyebabkan komplikasi yaitu irreversible shock.

Setelah dilakukan perawatan di ruang ICU selama satu hari, pasien mengalami perbaikan klinis. Perdarahan di daerah vulnus berhenti, tekanan darah 82/40, nadi 107 kali/menit, pernapasan 24 kali/menit, dan hasil laboratorium menunjukkan angka hemoglobin menjadi 9,1 g/dl. Akan tetapi, keluarga pasien meminta pulang paksa karena kecewa pasien tidak dapat langsung sembuh dengan cepat.1. DAFTAR PUSTAKA2. Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal ofEmergency Surgery. 2006. 1-143. Martel MJ. Hemorrhagic shock. J Obstet Gynaecol Can. Vol 24 (6). 2002. 504-114. Stern SA. Low-volume fluid resuscitation for presumed hemorrhagic shock:Helpful or harmful? Curr Opin Crit Care 7:422, 20015. Sjamsuhidayat, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005. 119-246. Udeani J. Shock, Hemorrhagic. 2008 [cited November 26th 20117. Brandler ES, editor. Cardiogenic shock in emergency medicine [monograph onthe Internet]. 7.Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29]8. Lenneman A, Ooi HH, editors. Cardiogenic shock. [monograph on theInternet]. Washington:Medscape reference; 2010 [cited 2011 Nov 29]9. Suryono B. Diagnosis dan pengelolaan syok pada dewasa. [Clinical updatesemergency case]. FK UGM: RSUP dr. Sadjito, 200810. Japardi, Iskandar. 2002. Manifestasi Neurologik Shock Sepsis

1