referat skizofrenia katatonik.doc
DESCRIPTION
SKIZOFRENIATRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Prevalensi skizofrenia di Amerika Serikat dilaporkan bervariasi terentang dari 1-1,5 %
dengan angka insidensi 1 per 10.000 orang per tahun. Skizofrenia adalah sama
prevelensinya antara laki-laki dan wanita. Tetapi, dua jenis kelamin tersebut menunjukkan
perbedaan dalam onset dan perjalaan penyakit. Laki-laki mempunyai onset skizofrenia
yang lebih awal daripada wanita. (kaplan) Lebih dari setengah semua pasien skizofrenik
laki-laki tetapi hanya sepertiga pasien skizofrenik wanita mengalami perawatan pertamanya
di rumah sakit sebelum usia 25 tahun. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15-25
tahun; untuk wanita usia puncak adalah 25-35 tahun. Beberapa penelitian telah menyatakan
bahwa laki-laki adalah lebih mungkin dari pada wanita mengalami gejala negatif dan
wanita lebih mungkin memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada laki-laki. Pada
umumnya, hasil akhir untuk pasien skizofrenik wanita lebih baik dari pada pasien
skizofrenik laki-laki.
Penyakit ini sangat menyusahkan bagi penderita maupun keluarganya karena onset
terjadinya pada saat dewasa muda produktif yaitu dibawah 45 tahun, dan dalam
perjalanannya akan mengalami keruntuhan (deteriosasi) dari taraf fungsi sebelumnya baik
fungsi sosial, pekerjaan, dan perawatan diri. Penderita sukar untuk bersosialisasi dan tidak
dapat bekerja seperti sebelumnya karena sifat regresif serta kemunduran dalam perawatan
diri. Terdapat banyak faktor yang diduga sebagai penyebab skizofrenia, di antaranya adalah
faktor biologis dan faktor lingkungan.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Sejarah Skizofrenia
Hippocrates menyingkirkan ide psikosis karena setan dan menganjurkan bahwa
gangguan seperti epilepsi, kebingungan, dan kegilaan semua berasal dari otak. Dalam
usaha menjelaskan gangguan mental dan fisik, beliau membuat dalil tentang kehadiran
"humors" di tubuh termasuk darah dan empedu. Fungsi mental dan fisik yang optimal dapat
tercapai jika humors ini berada dalam keadaan seimbang dan harmonis.
Benedict A. Morel (1809-1873), seorang dokter psikiatrik Perancis, menggunakan istilah
demense precoce untuk pasien yang memburuk dimana penyakitnya dimulai pada masa
remaja. (kaplan) Emil Kraepelin melatinkan istilah Morel menjadi demensia prekoks
(dementia precox), suatu istilah yang menekankan suatu proses kognitif yang jelas
(demensia) dan onset yang awal (prekoks). Kraepelin lebih lanjut membedakan pasien
dengan demensia prekoks dari pasien yang diklasifikasikan sebagai psikosis manik-depresif
atau paranoid. Pasien dengan psikosis manik-depresif terdapat adanya episode penyakit
yang jelas yang dipisahkan oleh periode fungsi normal. Sedangkan pasien dengan paranoid
mempunyai waham presekutorik yang persisten sebagai gejala utamanya tetapi tidak
mempunyai perjalanan demensia prekoks yang memburuk atau gejala psikosis manik-
depresif yang intermiten.
Eugen Bleuler mengajukan istilah skizofrenia dan istilah tersebut menggantikan
demensia prekoks. Beluler berpendapat bahwa istilah untuk menandakan adanya
perpecahan (schism) antara pikiran, emosi, dan perilaku pada pasien yang terkena.
Perbedaan utama yang ditarik Bleuler antara konsepnya dan konsep Kraepelin adalah
bahwa perjalanan yang memburuk tidak diperlukan dalam konsep skizofrenia, seperti pada
demensia prekoks. Bleuler menggambarkan gejala fundamental (primer) spesifik untuk
skizofrenia, termasuk suatu gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran asosiasi. (kaplan)
2
Dia memperkenalkan 4 tanda penting berupa “4 A”, yaitu :
Afek
Asosiasi
Ambivalensi
Autisme
Bleuler juga menggambarkan gejala pelengkap (sekunder), yang termasuk halusinasi,
waham, delusi, katatonia, negativisme, dan stupor.
Kurt Schneider memperkenalkan gejala tingkat pertama dan gejala tingkat kedua. Gejala
tingkat pertama berupa :
Mendengar suatu pikiran yang berbicara secara keras
Halusinasi auditorik yang mengomentari tingkah laku penderita
Thought withdrawal, insertion dan broadcasting
Halusinasi somatik, atau mengalami pikiran yang terkontrol atau dipengaruhi oleh
alasan luar yang tidak jelas.
Gejala tingkat kedua berupa bentuk halusinasi, depresi, atau suasana perasaan yang
berubah, emosi yang tumpul, kebingungan, dan ide delusi yang tiba-tiba.
Gabriel Langfeldt membagi gejala psikotik menjadi 2 kelompok :
1. True Schizophrenia (Nuclear Schizophrenia/Non remisi skizofrenia/ skizofrenia proses)
pada kelompok ini dijumpai adanya depersonalisasi, autisme, emosi tumpul dan
derealisasi. Onset biasanya perlahan-lahan.
2. Psikosis skizofreniform (schizophrenic-like psychosis)
Kriteria diagnosis menurut Langfeldt :
1. Kriteria Simptom
Merupakan petunjuk penting untuk mendiagnosis suatu skizofrenia (dapat digunakan
apabila tidak ditemukan adanya tanda-tanda berupa gangguan kognitif, infeksi, atau
intoksikasi). Kriteria ini meliputi : Perubahan kepribadian. Tipe katatonik, Psikosis
Paranoid, Halusinasi kronis.
2. Kriteria perjalanan penyakit
Ditegakkan bila perjalanan penyakit pada penderita tersebut telah diikuti selama kurang
lebih 5 tahun.
II. Definisi
3
Skizofrenia didefinisikan sebagai sekelompok ciri dari gejala positif dan negatif;
ketidakmampuan dalam fungsi sosial, pekerjaan ataupun hubungan antar pribadi dan
menunjukan terus gejala-gejala ini selama paling tidak 6 bulan. Sebagai tambahan,
gangguan skizoafektif dan gangguan afek dengan gejala psikotik tidak didefinisikan
sebagai skizofrenia dan juga skizofrenia tidak disebabkan oleh karena efek langsung karena
psikologi dari zat atau kondisi medis.
Skizofrenia akut
Episode skizofrenia akut merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan onset akut
gejala-gejala skizofrenia di bawah 6 bulan. Sejak DSM-IV mendefinisikan skizofrenia
sebagai gangguan kronik, kondisi ini sekarang harus diklasifikasikan ke dalam gejala
psikotik lain, seperti gangguan skizofreniform, psikosis reaksi singkat, atau gangguan
skizoafektif.
Skizofrenia laten
Suatu jenis skizofrenia yang ditandai dengan gejala skizofrenia jelas, tetapi tanpa adanya
riwayat episode skizofrenia psikotik, mencakup kondisi yang dulu disebut sebagai
skizofrenia ambulatori, borderline, prapsikotik, pseudoneurotik, dan pseudopsikopatik,
yang didalamnya tidak pernah terdapat episode psikotik akut. Penderita yang memenuhi
istilah-istilah ini tidak memenuhi definisi skizofrenia dari DSM-IV. Oleh karena itu
sebagian besar diklasifikasikan sebagai gangguan kepribadian skizotipal.
Menurut PPDGJ III, skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan
gangguan dasar pada kepribadian, distorsi khas pada proses pikir, kadang-kadang
mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar, waham
yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnornal yang tak terpadu, dengan
situasi nyata yang sebenarnya, dan autisme. Pikiran, perasaan, dan perbuatan yang paling
mendalam dirasakan seakan diketahui oleh orang lain, dan waham-waham yang timbul
menjelaskan bahwa kekuatan alam dan supernatural sedang bekerja mempengaruhi pikiran
dan perbuatan penderita dengan cara-cara yang tidak masuk akal atau bizzare (aneh).
Halusinasi auditorik sering diketemukan dalam bentuk komentar tentang diri pasien atau
berbicara secara langsung kepadanya.
Sering terjadi penghentian dan interpolasi dalam arus proses pikir, dengan akibat pikiran
menjadi terputus-putus. Interpolasi (sisipan-sisipan) pikiran tersebut dirasakan oleh pasien
4
atau yakin bahwa pikirannya disedot (withdrawal) oleh kekuatan dari luar. Alam perasaan
dapat menjadi dangkal (shallow), berubah-ubah (capsicious), atau tidak sesuai
(incongruous). Ambivalensi dan gangguan dorongan kehendak dapat bermanifestasi
sebagai inersia, negativisme, atau stupor. Mungkin terdapat perilaku yang katatonia.
III. Epidemiologi
Di Amerika Serikat prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi
terentang dari 1-1,5% ; konsisten dengan rentang tersebut, penelitian Epidemiological
Catchment Area (ECA) yang disponsori oleh National Institute of Mental Health (NIMH)
melaporkan prevelensi seumur hidup sebesar 1,3 persen. Kira-kira 0,025-0,05% populasi
total diobati untuk skizofrenia dalam satu tahun. Walaupun duapertiga dari pasien yang
diobati tersebut membutuhkan perwatan dirumah sakit, hanya kira-kira setengah dari semua
pasien skizofrenik mendapatkan pengobatan, tidak tergantung pada keparahan penyakit.
Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa laki-laki adalah lebih mungkin dari pada
wanita untuk terganggu oleh gejala negatif dan bahwa wanita lebih mungkin memiliki
fungsi sosial yang lebih baik daripada laki-laki. Laki-laki mempunyai onset skizofrenia
yang lebih awal daripada wanita. Lebih dari setengah semua pasien skizofrenik laki-laki
tetapi hanya sepertiga pasien skizofrenik mempunyai perawatan pertamanya di rumah sakit
sebelum usia 25 tahun. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15-25 tahun; untuk wanita
usia puncak adalah 25-35 tahun.
IV. Gejala Klinis dan Diagnosis
Secara klinis untuk menegakkan diagnosis skizofrenia diperlukan kriteria diagnostik.
a) Kriteria diagnosis menurut Eugen Bleuler, dibagi menjadi gejala primer dan sekunder.
Gejala primer (4A) :
1. Asosiasi terganggu
Suatu proses pikir yang terganggu berupa ide yang satu belum habis diutarakan
sudah muncul ide yang lain sehingga pembicaraan menjadi tidak dapat diikuti atau
dimengerti.
2. Autisme
5
Suatu kecenderungan untuk menarik diri dari kehidupan sosial. Orang tersebut lebih
suka menyendiri dan berdialog dengan dunianya sendiri.
3. Afek terganggu
Suatu gangguan berupa ketidaksesuaian antara afek dengan suasana perasaan
(mood), dapat berupa afek terbatas, tumpul, mendatar, labil atau tidak serasi.
4. Ambivalensi
Terdapatnya secara bersamaan dua impuls yang berlawanan terhadap suatu hal yang
sama pada orang dan waktu yang sama.
Selain gejala 4A di atas, beberapa ahli menambahkan adanya gejala A yang lain yang
dapat dijumpai pada pasien skizofrenia kronis seperti abulia, menurunnya atensi, apati,
alienasi, anhedonia, automatisme, dan lain-lain. Gejala sekundernya :
1. Waham
Keyakinan patologis yang tidak dapat dikoreksi, meskipun telah ditunjukkan bukti
nyata bahwa keyakinannya salah dan di luar jangkauan sosio-budayanya.
2. Halusinasi
Munculnya suatu persepsi baru dari panca indera yang salah (false perception) tanpa
adanya rangsangan/objek dari luar.
3. Ilusi
Munculnya suatu persepsi baru dari panca indera yang salah (false perception) akibat
adanya suatu rangsangan/objek dari luar.
4. Depersonalisasi
Suatu keadaan dimana seseorang merasa dirinya secara tiba-tiba berubah dan tidak
seperti sebelumnya.
5. Negativisme
Sikap yang menolak atau berlawanan dengan yang diperintahkan kepadanya tanpa
suatu alasan
6. Automatisasi
Suatu pekerjaan yang dilakukan dengan sendirinya tanpa adanya pengaruh dari luar
dan tidak mempunyai tujuan
7. Echolalia
6
Secara spontan menirukan bunyi, suara atau ucapan yang didengar dari orang lain
seperti membeo.
8. Manerisme
Tindakan mengulang-ulang perbuatan tertentu secara eksesif, biasanya dilakukan
secara ritual seperti melakukan suatu seremonial
9. Stereotipik
Tindakan mengulang-ulang suatu pekerjaan atau perbuatan tanpa adanya suatu
tujuan (non-goal directed) dan tidak selesai-selesai
10. Fleksibilitas Cerea
Suatu sikap, bentuk atau posisi yang dipertahankan dalam waktu yang lama. Bila
posisi tersebut digeser, maka posisi baru tersebut tetap dipertahankan (seakan-akan
seperti lilin).
b) Kriteria Gabriel Langfeldt.1
1. Kriteria gejala
Petunjuk penting ke arah diagnosis skizofrenia adalah (jika tidak ada tanda gangguan
kognitif, infeksi, atau intoksikasi yang dapat ditunjukkan)
Perubahan kepribadian, yang bermanifestasi sebagai penumpulan emosional
dengan jenis khusus diikuti oleh hilangnya inisiatif, dan prilaku yang berubah dan
sering kali aneh. (khususnya pada hebefrenik, perubahan adalah karateristik dan
petunjuk utama ke arah diagnosis.)
Pada tipe katatonik, riwayat penyakit dan tanda tipikal dalam periode kegelisahan
dan stumor (dengan negativism, wajah berminyak, katalepsi, gejala vegetative
khusus.)
Pada psikosis paranoid, gejala penting pembelahan kepribadian (atau gejala
depersonalisasi) dan hilangnya perasaan realitas (gejala derealisasi) atau waham
primer.
Halusinasi kronis
2. Kriteria perjalanan penyakit.
Keputusan akhir tentang diagnosis tidak dapat dibuat sebelum periode follow-up selama
sekurangnya lima tahun telah menenjukkan perjalanan penyakit yang jangka panjang.
Tanda dan gejala klinis skizofrenia menimbulkan 3 masalah inti, antara lain :
7
1. Tidak adanya tanda atau gejala yang patognomonik untuk skizofrenia
Setiap tanda atau gejala yang ditemukan pada skizofrenia dapat ditemukan di gangguan
psikiatrik atau neurologis lainnya. Dengan demikian, seorang klinisi tidak dapat
mendiagnosis skizofrenia semata-mata dengan pemeriksaan status mental. Riwayat
pasien adalah penting untuk diagnosis skizofrenia.
2. Gejala pasien berubah dengan berjalannya waktu
3. Klinisi harus memperhitungkan tingkat pendidikan pasien, kemampuan intelektual, dan
keanggotaan kultural dan subkultural
Berbagai organisasi keagamaan dan kultur mungkin mempunyai kebiasaan yang terlihat
aneh bagi pihak luar tetapi dianggap sangat normal bagi mereka yang beada dalam
lingkungan cultural tersebut.
c) Diagnosis menurut DSM-IV
Terdapat 2 atau lebih gejala kareakteristik, yang masing-masing ditemukan untuk
sebagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang bila berhasil
diobati). Gejala karakteristik tersebut berupa :
1. Waham
2. Halusinasi
3. Bicara terdisorganisasi (misalnya sering menyimpang atau inkoheren)
4. Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas
5. Gejala negatif, yaitu afek datar, alogia, atau tidak ada kemauan( avolition)
Catatan : Hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau atau
halusinasi terdiri dari suara yang terus menerus mengkomentari perilaku atau pikiran
pasien, atau dua atau lebih suara yang saling bercakap satu sama lainnya.
Disfungsi sosial atau pekerjaan untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset
gangguan, satu atau lebih fungsi utama, seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau
perawatan diri, adalah jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset
pada masa anak-anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat pencapaian
interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang diharapkan).
Durasi tanda gangguan terus menerus menetap selama sekurang-kurangnya 6 bulan.
Periode 6 bulan ini harus termasuk sekurangnya 1 bulan gejala (atau kurang jika diobati
dengan berhasil) yang memenuhi kriteria A (yaitu, gejala fase aktif) dan mungkin
8
termasuk periode gejala prodomal atau residual, tanda gangguan mungkin
dimanifestasikan hanya oleh gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang dituliskan
dalam kriteria A dalam bentuk yang diperlemah (misalnya, keyakinan yang aneh,
pengalaman persepsi yang tidak lazim).
Penyingkiran ganguan skizoafektif dan gangguan suasana perasaan
Gangguan skizoafektif dan gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan
karena :
(1) tidak ada episode depresif berat, manik, atau campuran yang telah terjadi bersama-
sama dengan gejala fase aktif; atau
(2) jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya adalah relatif
singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual.
Penyingkiran zat/ kondisi medis umum: Gangguan tidak disebabkan oleh afek
biologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu
medikasi) atau suatu kondisi medis umum.
Hubungan dengan perkembangan pervasif: Jika terdapat riwayat adanya gangguan
autistik atau gangguan perkembangan pervasif lainnya, diagnosis tambahan
skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol juga ditemukan
untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang jika diobati secara berhasil).
A. Tanda dan Gejala Pramorbid.
Tanda dan gejala pramorbid tampak sebelum fase prodromal dari penyakit. Riwayat
pramorbid yang tipikal sebagian besar adalah mereka yang mempunyai kepribadian
schizoid atau skizotipal. Kepribadian tersebut mungkin ditandai sebagai pendiam, pasif,
dan introvert. Meskipun mereka dirawat di rumah sakit yang pertama kali sering
dianggap sebagai awal gangguan, tanda dan gejala seringkali telah ada selama berbulan-
bulan bahkan bertahun-tahun. Tanda dan gejala tersebut telah dimulai dengan keluhan di
sekitar gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung, dan otot, kelemahan, dan
masalah pencernaan. Diagnosis awal mungkin gangguan berpura-pura atau gangguan
somatisasi. Keluarga dan teman-teman akhirnya memperhatikan bahwa orang tersebut
telah berubah dan tidak lagi berfungsi baik dalam aktivitas pekerjaan, sosial, dan pribadi.
9
Tanda dan gejala prodromal tambahan adalah perilaku yang sangat aneh, afek yang
abnormal, bicara yang tidak lazim, gagasan aneh, dan pengalaman perceptual yang asing.
B. Pemeriksaan Status Mental
i. Penjelasan Umum.
Penampilan umum pasien skizofrenia bermacam-macam dari orang yang sama sekali
acak-acakan, berteriak-teriak, teagitasi sampai orang yang berdandan secara obsesif,
sangat tenang, dan tidak bergerak. Di antara kedua kutub tersebut, pasien mungkin
senang berbicara dan mungkin menunjukkan postur tubuh yang aneh. Perilaku mungkin
menjadi teragitasi atau menyerang, tampaknya dalam suatu cara yang tidak
terprovokasi tetapi biasanya sebagai respon terhadap halusinasi.
Perilaku tersebut berbeda secara dramatis pada stupor katatonik, seringkali disebut
katatonia, dimana pasien tampak tanpa kehidupan sama sekali dan mungkin tanda
kebisuan (mutisme), negativisme, dan kepatuhan otomatis. Fleksibilitas lilin (waxy
flexibility) digunakan untuk tanda umum pada katatonia. Pasien katatonik mungkin
duduk tanpa bergerak dan tidak berbicara, berespons terhadap pertanyaan hanya dengan
jawaban yang singkat, dan bergerak hanya bila diperintah. Perilaku lain yang mungkin
adalah kecanggungan atau kekauan yang aneh dalam pergerakan tubuh, ini sebagai
kemungkinan menyatakan proses patologi di ganglia basalis.
Depresi dapat merupakan suatu ciri dari psikosis akut dan suatu akibat dari episode
psikotik. Gejala depresif kadang-kadang disebut sebagai depresi sekunder pada
skizofrenia atau sebagai gangguan depresif pascapsikotik dari skizofrenia. Gejala
afektif lain yang sering ditemukan dalam skizofrenia adalah penurunan responsivitas
emosional, yang cukup parah seperti anhedonia, dan emosi yang sangat aktif dan tidak
sesuai, seperti penyerangan yang ekstrem, kegembiraan, dan kecemasan. Suatu afek
datar atau tumpul dapat merupakan suatu gejala penyakitnya sendiri, efek samping
parkinsonisme dari medikasi antipsikotik, atau depresi.
Pada pasien psikiatrik, semua lima indera dapat dipengaruhi oleh pengalaman
halusinasi, tetapi yang paling sering adalah halusinasi auditorik. Suara-suara seringkali
mengancam, kotor, menuduh, atau menghina. Dua atau lebih suara dapat saling
berbicara satu sama lain, atau sebuah suara mungkin berkomentar tentang perilaku atau
kehidupan pasien. Terdapat halusinasi kenestetik adalah sensasi perubahan keadaan
10
organ tubuh yang tidak mempunyai dasar. Contohnya perasaan terbakar di toak, sensasi
mendorong dipembuluh darah, dan sensasi memotong di sumsum tulang. Ilusi berbeda
dari halusinasi, yaitu suatu penyimpangan (distorsi) dari citra atau sensasi yang
sesungguhnya, sedangkan halusinasi adalah tidak didasarkan pada citra atau sensasi
yang nyata. Ilusi dapat terjadi pada pasien skizofrenia selama fase aktif, tetapi juga
dapat terjadi selama fase prodromal dan selama periode remisi.
Gangguan berpikir adalah gejala yang paling sulit untuk dimengerti. Pada
kenyataannya merupakan gejala inti dari skizofrenia. Gangguan berpikir dibagi menjadi
gangguan isi pikir, bentuk pikiran, dan proses berpikir.
Gangguan isi pikiran mencerminkan gagasan, keyakinan, dan interpretasi pasien
tentang stimuli. Waham adalah contoh yang paling jelas dari gangguan isi piker,
antara lain waham kejar, kebesaran, keagamaan, atau somatik. Pasien mungkin
percaya bahwa lingkungan luar mengendalikan pikiran atau perilaku mereka,
atau sebaliknya bahwa mereka mengendalikan kejadian-kejadian di luar dengan
cara yang luar biasa. Pasien juga mungki memiliki keasyikan (preokupasi) yang
kuat dan menghabiskan waktu dengan gagasan yang hanya dapat diketahui dan
diketahui dan dipahami oleh orang tertentu saja (esoteric), abstrak, simbolik,
psikologis, atau filosofi.
Gangguan bentuk pikiran secara objektif terlihat dalam ucapan dan bahasa
tulisan pasien. Gangguan berupa kelonggaran asosiasi, hal yang keluar dari
jalurnya, inkoherensi, tangensialitas, sirkumstansialitas, neologisme, ekolalia,
verbigerasi, kata yang campur aduk, dan mutisme. Walaupun kelonggaran
asosiasi pernah digambarkan sebagai patognomonik untuk skizofrenia, gejala
seringkali ditemukan pada mania.
Gangguan proses pikir mempermasalahkan cara gagasan dan bahasa yang
dibentuk. Pemeriksan menemukan gangguan dari apa dan bagaimana pasien
berbicara, menulis, atau menggambar, mengamati perilaku pasien. Gangguan
proses berpikir dapat berupa (flight of ideas), hambatan pikiran (thought
blocking), gangguan perhatian, kemiskinan isi pikiran, kemampuan abstraksi
yang buruk, melibatkan diri secara berlebihan (over inclusion), dan
sirkumstansialitas.
11
Pasien dengan skizofrenia mungkin teragitasi dan mempunyai pengendalian impuls
yang kecil jika mereka mengalami sakit. Mereka juga memiliki kepekaan social yang
menurun, tampak menjadi impulsif termasuk usaha bunuh diri dan pembunuhan,
mungkin sebagai respons dari halusinasi yang memerintah pasien untuk melakukan hal
tersebut. Pencetus lain untuk bunuh diri adalah perasaan kekosongan yang mutlak,
kebutuhan untuk membebaskan diri dari penyiksaan mental. Faktor risiko untuk bunuh
diri adalah :
1) Kesadaran pasien akan penyakitnya
2) Jenis kelamin laki-laki
3) Pendidikan perguruan tinggi
4) Usia muda
5) Perubahan dalam perjalanan penyakit
6) Ambisi yang terlalu tinggi
7) Usaha bunuh diri pada perjalanan penyakit sebelumnya
8) Tinggal sendirian
Sedangkan prediktor yang mungkin untuk aktivitas membunuh adalah :
1) Riwayat kekerasan sebelumnya
2) Perilaku berbahaya saat dirawat di rumah sakit
3) Halusinasi atau waham yang berhubungan dengan kekerasan
Sedangkan pedoman diagnostik lain yang dapat digunakan adalah PPDGJ III, yaitu :
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau
lebih gejala- gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :
a. “thought echo” : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun
kualitasnya berbeda:.
b. “thought insertion” : isi yang asing masuk di dalam pikirannya (insertion) atau
isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar.
c. “thought broadcasting” : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya.
12
d. “delusion of control” : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar
e. “delusion of passivitiy” : waham tentang dirinya tidak berdaya dan Pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya : secara jelas merujuk
kepergerakan ubuh/ anggota gerak atau ke pikiran, tindakan atau penginderaan
khusus)
f. delusional perception” : pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna
sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik
Halusinasi pendengaran, dapat berupa suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien diantara mereka
sendiri (diantara berbagai suasana yang berbicara) atau, jenis suara halusinasi lain yang
berasal dari salah satu bagian tubuh. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang
menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya
perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas
manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
mahluk asing dan dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
a) Halusinasi yang menetap dan panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang
menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-
bulan terus menerus.
b) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),
yang berakibat inkoherensiatau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme.
c) Perilaku katatonik, seperti keadaan gelisah-gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan stupor.
d) Gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons
emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.
13
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik (prodromal).
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan makna dalam mutu keseluruhan (overall
quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior), bermanifestasi
sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam
diri sendiri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.
ii. Sensorium dan Kognisi.
Pada pasien skizofrenia, orientasi terhadap orang, waktu, dan tempat baik. Tidak
terdapatnya orientasi harus langsung mengarah ke kemungkinan gangguan otak medis
atau neurologis. Daya ingat pada pasien skizofrenia biasanya intak. Biasanya pasien
skizofrenia memiliki tilikan yang buruk terhadap sifat dan keparahan penyakitnya.
Tidak adanya tilikan dihubungkan dengan kepatuhan terhadap pengobatan yang buruk.
C. Temuan Neurologis.
Adanya tanda dan gejala neurologis berhubungan dengan meningkatnya keparahan
penyakit, penumpulan afektif, dan prognosis yang buruk. Tanda neurologis abnormal
lainnya adalah tiks, stereotipik, menyeringai (grimacing), gangguan keterampilan motorik
yang halus, tonus motorik abnormal, dan gerakan yang abnormal.
Pada pemeriksaan mata, pasien skizofrenik mempunyai kecepatan kejapan mata
yang lebih tinggi. Peningkatan kecepatan tersebut diperkirakan mencerminkan aktivitas
hiperdopaminergik.
D. Tes Psikologis.
Pada umumnya, pasien skizofrenik berkelakuan sama dengan pasien gangguan
mental organik. Skizofrenia adalah suatu penyakit otak yang mengganggu fungsi normal
dari banyak kemampuan kognitif sehingga memberikan hasil buruk terhadap berbagai
macam tes psikologik.
14
V. Diagnosis Banding
1. Gangguan Psikotik Sekunder dan Akibat Obat.
Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai macam keadaan medis
nonpsikiatrik dan diakibatkan oleh berbagai macam zat. Manifestasi psikiatrik dari
berbagai kondisi medis nonpsikiatrik dapat terjadi pada awal perjalanan penyakit,
seringkali sebelum perkembangan gejala lainnya. Pada umumnya, pasien dengan
gangguan neurologis mempunyai lebih banyak tilikan pada penyakitnya.
2. Berpura-pura atau Gangguan Buatan.
Baik berpura-pura atau gangguan buatan mungkin merupakan suatu diagnosis yang
sesuai pada pasien yang meniru gejala skizofrenia tetapi sebenarnya tidak. Orang yang
secara lengkap mengendalikan produksi gejalanya mungkin memenuhi diagnosis
berpura-pura (malingering). Pasien yang kurang mengendalikan pemalsuan gejala
psikotiknya mungkin memenuhi diagnosis suatu gangguan buatan (factitious disorder).
3. Gangguan Psikotik Lain.
Gejala psikotik yang terlihat pada skizofrenik identik dengan yang terlihat pada
gangguan skizofreniform, gangguan psikotik singkat, dan gangguan skizoafektif.
Gangguan skizofreniform berbeda dari skizofrenia karena memiliki lama (durasi) gejala
yang < 6 bulan. Gangguan psikotik singkat adalah diagnosis yang tepat jika gejala
berlangsung sekurang-kurangnya 1 hari tetapi < 1 bulan dan jika ia tidak kembali ke
tingkat fungsi pramorbidnya. Gangguan skizoafektif adalah diagnosis tepat jika
sindrom manik atau depresif berkembang bersama-sama dengan gejala utama
skizofrenia.
4. Gangguan Mood.
Gejala afektif atau mood pada skizofrenia harus relatif singkat terhadap lama gejala
primer. Tanpa adanya informasi selain dari pemeriksaan status mental, klinisi harus
menunda diagnosis akhir atau harus menganggap adanya suatu gangguan mood, bukan
membuat diagnosis skizofrenia secara prematur.
5. Gangguan Kepribadian.
Berbagai gangguan kepribadian dapat ditemukan dengan suatu ciri skizofrenia,
gangguan kepribadian skizotipal, schizoid, dan ambang (borderline).
15
VI. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit Skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase prodromal, fase
aktif, fase residual. Pada fase prodromal biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang
lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik menjadi
jelas. Gejala tersebut meliputi : rendahnya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi
penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan-perubahan ini akan
menggangu individu serta membuat resah keluarga dan teman, mereka akan mengatakan
“orang ini tidak seperti dulu”. Semakin lama fase prodromal semakin buruk
prognosisnya.
Pada fase aktif gejala positif / psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik,
inkoherensi, waham, halusinasi, disertai gangguan afek. Hampir semua individu datang
berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala-gejala tersebut dapat hilang
spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau terus bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh
fase residual dimana gejala-gejalanya sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif /
psikotiknya sudah berkurang. Disamping gejala-gejala yang terjadi pada ketiga fase
diatas, penderita skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan
berbicara spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi,
konsentrasi, hubungan sosial).
Secara karakteristik, gejala dimulai pada masa remaja, diikuti dengan perkembangan
gejala prodromal dalam beberapa hari sampai beberapa bulan. Onset gejala yang
mengganggu terlihat dicetuskan oleh suatu perubahan sosial atau lingkungan. Sindrom
prodromal dapat berlangsung selama 1 tahun atau lebih sebelum onset gejala psikotik
yang jelas. Gejala positif cenderung menjadi membaik dengan berjalannya waktu, tetapi
gejala negative yang menimbulkan ketidakmampuan secara sosial atau gejala defisit
dapat meningkat keparahannya.1 Secara klinis skizofrenia dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa golongan, tiap golongan mempunyai spesifikasi masing-masing. Skizofrenia
dapat digolongkan menjadi :
1. Skizofrenia tipe hebefrenik
2. Skizofrenia tipe katatonik
3. Skizofrenia tipe paranoid
4. Skizofrenia tipe residual
16
5. Skizofrenia tipe tak tergolongkan
Skizofrenia merupakan penyakit yang cenderung berlanjut, maka pengobatan penyakit ini
memerlukan waktu yang lama. Pengobatan penyakit ini dimaksudkan untuk menekan
kemungkinan kekambuhan. Perkembangan di dalam metode yang bersifat komprehensif
dan holistik, terapi yang dimaksud meliputi penggunaan obat psikofarmaka dan
psikoterapi.
VII. Terapi
Medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia, selain itu penelitian juga
telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis.
Sebagian besar pasien skizofrenik mendapatkan manfaat dari pemakaian kombinasi
pengobatan antipsikotik dan psikososial. Indikasi utama perawatan di rumah sakit adalah :1
Tujuan diagnostik
Menstabilkan medikasi
Keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh
Perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar
Tujuan utama ikatan efektif antara pasien dan system pendukung masyarakat
Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung pada keparahan penyakit pasien dan
tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit harus
memiliki orientasi ke arah masalah kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup,
pekerjaan, dan hubungan sosial.
1) Antipsikotik
Obat antipsikotik sering juga disebut “neuroleptik”. Antispikotik termasuk 3 kelas obat
yang utama adalah antagonis reseptor dopamine, risperidone, dan clozapine.
Antagonis reseptor dopamine (antipsikotik tipikal)
Adalah obat antipsikotik yang klasik dan efektif dalam pengobatan skizofrenia.
Obat ini mempunyai kekurangan, seperti hanya sejumlah kecil pasien (± 25%)
cukup tertolong untuk mendapatkan fungsi mental yang cukup normal. Selain
itu, obat ini mempunyai efek samping yang cukup mengganggu yaitu efek
17
ekstrapiramidal (akatisia, gejala parkinsonism, tardive diskinesia, bahkan
sampai sindrom neuroleptik maligna).
Risperidone (antipsikotik atipikal)
Risperidone adalah suatu obat antipsikotik dengan aktivitas antagonis yang
bermakna pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2) dan pada reseptor dopamine
tipe 2 (D2). Data penelitian menyatakan obat ini lebih efektif dalam mengobati
gejala positif maupun negatif dari skizofrenia. Selain itu risperidone disertai
dengan efek samping neurologis yang kurang bermakna dan juga lebih ringan
dibandingkan antagonis dopamine tipikal. Risperidone menjadi obat lini
pertama dalam pengobatan skizofrenia karena lebih efektif dan lebih aman
daripada antagonis reseptor dopamine yang tipikal.
Clozapine
Adalah suatu obat antipsikotik yang efektif. Telah diketahui bahwa clozapine
adalah suatu antagonis lemah terhadap reseptor D2 dan antagonis kuat terhadapt
reseptor D4 serta mempunyai aktivitas antagonistik pada reseptor serotonergik.
Sayangnya, clozapine disertai dengan insidensi 1-2% mengalami
agranulositosis.
Tabel 1. Sediaan Obat Antipsikosis dan Dosis Anjuran.
Anti-psikosis tipikal (I)
Gol. Phenotizine
Rantai Aliphatic Chlorpromazine 150-600 mg/hari
Rantai Piperazine Perphenazine
Trifluoperazine
Fluphenazine
12-24 mg/hari
10-15 mg/hari
10-15 mg/hari
Rantai Piperidine Thioridazine 150-300 mg/hari
Gol. Butyrophenone Haloperidol 5-15 mg/hari
Diphenyl-butyl-piperidine Pimozide 2-4 mg/hari
18
Anti-psikosis Atipikal (II)
Benzamide Sulpiride 300-600 mg/hari
Dibenzodiazepine Clozapine
Olanzapine
Quetiapine
Zotepine
25-100 mg/hari
10-20 mg/hari
50-400 mg/hari
75-100 mg/hari
Benzisoxazole Risperidone
Aripiprazole
2-6 mg/hari
10-15 mg/hari
Indikasi penggunaan anti-psokosis adalah sindrom psikosis, diantaranya :
1) Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (RTA), bermanifestasi dalam
gejala : kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya nilai norma sosial
(judgement) terganggu, dan daya tilikan diri (insught) terganggu.
2) Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala POSITIF :
gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikiran yang tidak wajar (waham),
gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan, perilaku yang aneh atau tidak
terkendali (disorganized), dan gejala NEGATIF : gangguan perasaan (afek tumpul,
respon emosi minimal), gangguan hubungan sosial (menarik diri, pasif, apatis),
gangguan proses pikir, isi pikiran yang stereotip dan tidak ada inisiatif, perilaku yang
sangat terbatas dan cenderung menyendiri (abulia).
3) Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala :
tidak mampu bekerja, menjalin hubungan sosial, dan melakukan kegiatan rutin.
Pemakaian medikasi antipsikotik pada skizofrenia harus mengikuti 5 prinsip utama :
1) Klinisi harus secara cermat menentukan gejala sasaran yang akan diobati
19
2) Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu pada pasien harus
digunakan lagi. Jika tidak ada informasi, pemilihan antipsikotik biasanya didasarkan
pada sifat efek samping.
3) Lama minimal percobaan antipsikotik adalah 4-6 minggu pada dosis yang adekuat.
Jika reaksi awal yang parah dan negaif ditemukan, dapat dipertimbangkan untuk
mengganti obat menjadi obat antipsikotik yang berbeda dalam waktu < 4 minggu.
4) Umumnya penggunaan lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu adalah
jarang diindikasikan.
5) Pasien harus dipertahankan pada dosis efektif yang serendah mungkin yang
diperlukan untuk mencapai pengendalian gejala selama episode psikotik.
Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade Dopamine pada
reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonist) sehingga efektif untuk gejala
POSITIF. Sedangkan obat anti-psikosis atipikal disamping berafinitas terhadap
Dopamine D2 Receptors juga terhadap Serotonin 5HT2 Receptors (Serotonin-
dopamine antagonists), sehingga efektif untuk gejala NEGATIF.
Dalam keadaan akut, hampir seluruh pasien berespons terhadap dosis berulang suatu
antipsikotik, tiap 1-2 jam dengan pemberian intramuscular (IM) atau 2-3 jam dengan
pemberian per oral. Ketidakpatuhan penggunaan antipsikotik adalah alasan utama untuk
terjadinya relaps dan kegagalan percobaan obat. Biasanya merupakan suatu kesalahan
dengan meningkatkan dosis atau untuk mengubah mediaksi antipsikotik dalam 2 minggu
pertama pengobatan.
Jika percobaan yang adekuat dengan minimal satu antagonis reseptor dopaminergik tidak
berhasil, terapi kombinasi dengan salah satu dari obat tersebut dan medikasi tambahan.
Medikasi tambahan dengan data yang paling mendukung adalah litium, 2 antikonvulsan,
dan benzodiazepine.
Efek Samping
20
Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa :
1. Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja
psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun)
2. Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik : mulut kering,
kesulitan miksi & defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, TIO meninggi, gangguan
irama jantung)
3. Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom Parkinson : tremor,
bradikinesia, rigiditas)
4. Gangguan endokrin (amenorrhea, gynecomastia), metabolic (jaundice), hematologic
(agranulocytosis), biasanya pada pemakaian jangka panjang.
Dalam penggunaan obat anti-psikosis yang ingin dicapai adalah :optimal response with
minimal side effects”. Efek samping dapat juga irreversible : tardive dyskinesia (gerakan
berulang involunter pada : lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada
waktu tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang
(terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Bila terjadi gejala tersebut : obat anti-
psikosis perlahan-lahan dihentikan, bisa dicoba pemberian obat Reserpine 2,5 mg/hari,
(Dopamine Depleting agent), pemberian obat anti parkinson atau L-dopa dapat
memperburuk keadaan. Obat pengganti anti-psikosis yang paling baik adalah Clozapine
50-100 mg/hari.
BAB III
21
KESIMPULAN
Skizofrenia merupakan gangguan mental yang kompleks dan banyak aspek. Sebagai
suatu sindrom, pendekatan Skizofrenia harus dilakukan secara holistik dengan melibatkan
aspek neurobiologi, psikososial, psikodinamik, psikoedukatif dan lain-lain.
Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis dengan variasi psikopatologi, biasanya berat,
berlangsung lama dan ditandai oleh penyimpangan dari alam pikiran, alam perasaan dan
alam perbuatan. Prevalensi skizofrenia di Amerika Serikat dilaporkan bervariasi terentang
dari 1 dari 1,5 persen dengan angka insidens 1 per 10.000 orang per tahun. Berdasarkan jenis
kelamin prevalensi skizofrenia adalah sama, perbedaannya terlihat dalam onset dan
perjalanan penyakit. Onset untuk laki-laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita 25-35
tahun.
Hingga saat ini etiologi skizofrenia belum dapat diketahui dengan pasti. Dapat dikatakan
bahwa faktor keturunan mempunyai pengaruh. Faktor yang mempercepat, yang menjadikan
manifest atau factor pencetus (“precipiting factor”) seperti penyakit badaniah atau stress
psikologik, biasanya tidak meyebabkan skizofrenia secara langsung, walaupun pengaruhnya
terhadap suatu penyakit skizofrenia yang sudah ada tidak dapat disangkal.
Prevalensi skizofrenia lebih tinggi pada golongan sosioekonomi yang rendah.
Disamping itu kondisi hidup yang penuh dengan stress dinyatakan mempunyai andil dalam
menimbulkan skizofrenia.
Untuk itu agar penyakit mental ini tidak bertambah berat dilakukan dengan anggota
keluarga memberikan dukungan dan menyiapkan lingkungan yang lebih baik sehingga
derajat keparahan penyakit menurun, disamping itu peranan masyarakat dan kelompok sosial
juga mempengaruhi respon terhadap perjalanan penyakit secara langsung maupun tidak
langsung.
DAFTAR PUSTAKA
22
1. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Skizofrenia dalam Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid I. Binarupa Aksara, Tangerang : 2010 ; 699-742.
2. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit FK UI, Jakarta : 2010.
3. Sejarah skizofrenia. Dikutip tanggal 18 Desember 2011. Diunduh dari
http://www.happymac8.blogspot.com/2010/12/sejarah-skizofrenia.html
4. American Psychiatric Associates. Diagnostic Criteria From DSM-IV. Skizofrenia and Other
Psychotic Disorders. Washington : 2000. Hal 153-154.
5. Direktorat Kesehatan Jiwa. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia. Gangguan Skizofrenik. Jakarta : 1983. Hal 118-120.
6. Ibrahim SA. Skizofrenia. Cetakan kedua. Jakarta : PT. Dian Ariesta. 2002.
7. Rusdi M. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta. 2001.14-22.
23