referat ferda ciiiin new
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada tahun 1829 Pierre Louis (Prancis) mengeluarkan istilah typhoid yang
berarti seperti tifus. Baik kata typhoid maupun tyfus berasal dari kata Yunani tyfos.
Terminology ini dipakai pada penderita yang menderita demam disertai kesadaran
yang terganggu. Baru pada tahun 1837 William Word Gerhard dari Philadelpia dapat
membedakan typhoid dan tyfus. Pada tahun 1880 Eberth menemukan Bacillus
Typhosus pada sediaan histologi yang berasal dari kelenjer limfe mesentarial dan
limfa. Pada tahun 1884, Gaffky berhasil membiakkan Salmonella Typhi dan
memastikan bahwa penularannya melalui air dan bukan udara.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat
luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus
kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai
penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di
Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita
yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
Demam tifoid merupakan infeksi bakterial sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi (S.typhi). yang masih dijumpai secara luas di
berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah. Oleh sebab itu, pada bab berikutnya akan
dibahas lebih lanjut tentang demam tifoid ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Banyak definisi mengenai tifoid, antara lain sebagai berikut:
1. Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi
Salmonella Typhi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman
yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang
terinfeksi kuman salmonella (Bruner and Sudart, 1994).
2. Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh
kuman Salmonella Typhi (Arief Maeyer, 1999).
3. Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh
kuman Salmonella Thypi dan Salmonella Para Thypi A, B, C. Sinonim
dari penyakit ini adalah Typhoid dan Paratyphoid Abdominalis
(Syaifullah Noer, 1996).
4. Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga
paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis
(Soeparman, 1996).
5. Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-
gejala sistemik yang disebabkan oleh Salmonella Typhosa, Salmonella
Type A, B, C. Penularan terjadi secara fecal-oral melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi (Mansoer Orief M, 1999).
6. Tifus Abdominalis (demam tifoid, Enteric Fever) adalah penyakit infeksi
akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala
demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pada saluran pencernaan
dan gangguan kesadaran (FKUI,1985).
7. Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella Typhi. Penyakit ini ditandai dengan
penyakit berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa
keterlibatan struktur endotelial dan endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa,
kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch (agregasi dari jaringan limfoid
yang biasanya ditemukan di bagian terendah dari usus kecil ileum pada
manusia, dengan demikian, mereka membedakan ileum dari duodenum
dan jejunum) (IDAI, 2008).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut, Dari
beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut, Typhoid adalah
suatu penyakit infeksi di saluran pencernaaan tertama usus halus dan infeksi
sistemik yang disebabkan oleh Salmonella Typhi A, B, dan C yang dapat menular
melalui fecal-oral, makanan dan minuman yang terkontaminasi.
2.2. Epidemiologi
Berdasarkan sensus yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO)
pada tahun 2004, diperkirakan sebesar 21,6 juta kasus demam tifoid terjadi setiap
tahun di seluruh dunia. Sebagian besar kasus terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin. Insidensi global terjadinya demam tifoid diperkirakan sebesar 0,5% dengan
insidensi tertinggi yang dilaporkan terjadi di Indonesia dan Papua New Guinea
sebesar 2%, dimana demam tifoid menduduki peringkat kelima penyebab kematian
dari keseluruhan penyakit. Di negara tersebut, 91% kasus merupakan anak-anak yang
berusia 3-19 tahun, dan 20.000 kematian terjadi tiap tahunnya.5
Gambar 2.2. Distribusi Geografis Infeksi S.typhi di dunia
2.3. Etiologi1
Etiologi demam tifoid adalah Salmonella Typhi, Salmonella Paratyphi A, B
dan C. Salmonella adalah genus yang termasuk famili enterobakteriasiase dan
berisi 3 spesies : S.Typhi, S choleraesuis, S. Entereditis. Dua spesies pertama
masing-masing memiliki 1 serotip, tetapi S. Entereditis mempunyai lebih dari
1800 serotip yang berbeda.
Salmonella adalah motil, tidak membentuk spora, tidak berkapsul, batang
gram negatif. Organisme Salmonella tumbuh secara aerobik dan mampu tumbuh
secara anaerobik fakultatif. Mereka resisten terhadap agen fisik tetapi dapat
dibunuh dengan pemanasan sampai 130°F (54,4 °C) selama 1 jam atau 140°F
(60°C) selama 15 menit. Mereka tetap dapat hidup pada suhu lingkungan dan suhu
yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan hidup selama beminggu-
minggu dalam sampah, makanan kering, dan bahan tinja.
Salmonella Thyposa, basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, tidak
berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu :
1. Antigen O (somatic, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida, dinding
sel stabil panas)
2. Antigen H (flagela, labil panas dan dapat muncul pada fase 1 atau 2)
3. Antigen Vi.
Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam
antigen tersebut. Ada dua sumber penularan Salmonella Typhi yaitu pasien dengan
demam typhoid dan pasien dengan karier. Karier adalah orang yang sembuh dari
demam typhoid dan masih terus mengekresi Salmonella Typhi dalam tinja dan air
kemih selama lebih dari 1 tahun.
Gambar 2.1. Salmonella Thyposa
2.4. Patofisiologi1,2
Masuknya kuman Salmonella Typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Penelitian yang dilakukan terhadap
sukarelawan menunjukkan dosis infeksi organism adalah 105-109 organisme, dengan
masa inkubasi berjarak selama 4-14 hari, bergantung jumlah kuman yang dapat
masuk. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk
kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Seperti yang diketahui S.typhi
menginvasi tubuh dengan menembus mukosa usus ileum terminal, yang mungkin
melalui antigen sample sel yang dikhususkan yang diketahui sebagai sel M, yang
melapisi usus, berhubungan dengan jaringan limfoid, melalui enterosit atau melalaui
rute paraselular. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik
maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke
lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel
fagosit terutama olah makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterica. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman
yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sitemik.
Didalam hati kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intemiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella
terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi infeksi sitemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut, instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi.
Hoffman mengemukakan bahwa gambaran klinis yang khas pada demam
tifoid merupakan hasil interaksi antara Salmonella typhi dan makrofag di hati,
limpa, kelenjar limfoid intestinal dan mesentrika. Sejumlah bakteri yang berada
yang berada di jaringan limfoid intestinal, hati, limfa dan sumsum tulang
menyebabkan inflamasi di tempat tersebut dan melepaskan mediator inflamasi dari
makrofag. Makrofag memproduksi sitokin diantaranya tumor necroting factor
(TNF), IL-1 dan interferon. Makrofag juga memproduksi sumber metabolit
arakhidonat dan reactive oxygen intermediates. Produk makrofag tersebut diatas
dapat menyebabkan nekrosis seluler, perangsangan sistem imun, ketidakstabilan
vaskuler, permulaan mekanisme pembekuan, penekanan sumsum tulang, demam,
dan kelainan yang berhubungan dengan demam tifoid. Tampaknya endotoksin
merangsang makrofag untuk melepaskan produknya yang secara lokal
menyebabkan nekrosis intestin maupun sel hati dan secara sistemik menyebabkan
gejala klinis demam tifoid.4
Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear didinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel direseptor endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya.
Gambar 2.3. Patofisiologi Demam Tifoid
Gambar 2.4. Patogenesis Demam Tifoid
2.5. Gambaran Klinis1,2
Infeksi demam tifoid umumnya terjadi pada anak-anak atau dewasa muda
berumur 5 – 25 tahun. Manifestasi klinis klasik demam tifoid timbul sekitar 7-14 hari
setelah S. typhi diingesti atau memasuki saluran cerna.1,3 Ada pula sumber pustaka
yang menyebutkan masa inkubasinya 3-60 hari dimana gejalanya rata-rata
berlangsung dalam 1-2 minggu.2 Pola demam biasanya stepwise/ stepladder/naik
perlahan dimana suhu badan meningkat bertahap setiap harinya dan menurun drastis
di pagi hari.1,2,3 Puncak suhu semakin hari semakin meningkat. Selama minggu
pertama sakit, dapat timbul gejala-gejala saluran cerna, antara lain nyeri perut yang
difus, perut yang menegang, dan dalam beberapa kasus, dapat terjadi nyeri perut
kanan atas yang bersifat kolik. Infiltrasi monositik dapat menginflamasi plak Peyeri
dan mempersempit lumen usus sehingga dapat menimbulkan konstipasi yang terjadi
sepanjang perjalanan penyakit.1 Pasien juga dapat mengalami anoreksia, nyeri perut,
malaise, mialgia, sakit kepala, batuk, diare atau konstipasi, dan delirium.6,7,8
37.5
37.838
39
37.5
37.838
39
37.5
38
Gambar 2. 5 Ilustrasi kurva suhu badan pada demam tifoid yang memiliki pola naik
bertahap atau stepwise/stepladder fever.
Pada akhir minggu pertama sakit, plato demam mencapai 39-40oC. Pasien
dapat pula memunculkan rose spot yang berwarna seperti ikan salmon dan mengkilap
pada batang tubuh berupa makulopapul yang biasanya berukuran 1-4 cm yang
berkumpul sekitar 5 buah dan hanya terjadi selama 2-5 hari.1 Ada pula sumber
pustaka yang menyebutkan rose spot biasanya timbul di bagian anterior toraks dan
menghilang dalam 3-4 hari dengan ukuran diameter 2-4 mm yang berkumpul sekitar
5-20 buah.2 Di sumber pustaka lain, disebutkan bahwa rose spot juga dapat muncul di
punggung, lengan, dan tungkai pada 25% kasus pada akhir minggu pertama.8
Gambar 2.6 . Rose spot merupakan tanda khas pada demam tifoid tetapi
ketiadaannya tidak menyingkirkan diagnosis demam tifoid.8
Rose spot ini merupakan emboli bakteri di dermis dan kadang-kadang terjadi
pada shigelosis atau salmonelosis non-tifoid. Selama minggu kedua sakit, gejala dan
tanda di atas mulai bertambah berat. Abdomen menjadi distensi dan dapat dijumpai
splenomegali dengan konsistensi yang lunak. Dapat pula terjadi bradikardia relatif
dan nadi dikrotik (denyut ganda dimana denyut kedua lebih lemah daripada denyut
pertama).1,2 Bradikardia relatif merupakan indikator demam tifoid meskipun temuan
ini tidak universal.8
Hingga memasuki minggu ketiga sakit, pasien yang masih mengalami demam
mengalami anoreksia berat hingga terjadi penurunan berat badan yang signifikan.
Konjungtiva dapat terinfeksi dan pasien menjadi takipneu dengan rhonkii basah di
seluruh basal paru. Distensi abdomen bertambah berat. Beberapa pasien mengalami
berak cair (diare seperti sup kacang) berwarna hijau kekuningan. Pasien dapat jatuh
ke status tifoid yang ditandai oleh apatis, kebingungan, bahkan psikosis. Plak Peyeri
yang nekrotik dapat menyebabkan perforasi usus dan peritonitis. Komplikasi ini
seringkali tidak dikenali dan samar akibat penggunaan kortikosteroid. Pada saat ini,
terjadinya toksemia, miokarditis, atau perdarahan saluran cerna dapat menyebabkan
kematian.6
Penyakit ini dapat berlangsung hingga 4 minggu jika tidak diobati.6,8 Jika
pasien masih bertahan, gejala demam, status mental, dan distensi abdomen perlahan
membaik dalam beberapa hari. Komplikasi saluran cerna dan neurologik dapat terjadi
. Penurunan berat badan dan kelemahan otot dapat terjadi berbulan-bulan. Kemudian
pasien dapat menjadi karier S. typhi yang asimptomatik dan berpotensi
menularkannya ke orang lain.9,10,12,13
Gambar 2.5. Cuplikan tabel perjalanan klasik manifestasi klinis demam tifoid secara dan 2 sistem
organ. Dapat dilihat bahwa gejala dan tanda demam tifoid banyak didapatkan di minggu pertama.1,11
Gambar 2.7. Perjalanan Penyakit Demam Tifoid
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan
gejala serupa infeksi akut pada umumnya yaitu
a) Demam sekitar interminten/remiten
b) Lidah kotor, mulut kering, mual muntah
c) Gambaran gejala saluran nafas atas
d) Sakit kepala hebat, tampak apatis, lelah
e) Tidak enak di perut dan mungkin kontipasi/ diare, ditemukan
splenomegali/ hepatomegali
f) Raseola mungkin ditemukan
Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa:
a) Demam kontinyu
b) Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan denyut
nadi 8 kali permenit)
c) Keadaan penderita semakin menurun, apatis, bingung
d) Hepatomegali dan splenomegali,
e) Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor) dan
kehilangan nafsu makan
f) Nyeri, distensi perut, meteorismus
Pada minggu ketiga dapat ditemukan gejala antara lain:
a) Suhu turun jika berhasil diobati tanpa komplikasi
b) Jika keadaan memburuk:
c) Disorientasi, bingung, insomnia,
d) Komplikasi perdarahan dan perforasi.
2.6.Diagnosis Banding
Demam tifoid harus dibedakan dengan demam akut atau subakut lainnya. Pada
daerah yang tidak endemik demam tifoid, riwayat berkunjung/melakukan perjalanan
perlu diperhatikan. Apabila terdapat gejala klinis misalnya rose spots, demam lama,
bradikardi relatif, dan leukopenia maka diagnosis demam tifoid dapat dengan kuat
ditegakkan. Akan tetapi, pada kebanyakan kasus demam tifoid gejala tersebut tidak
selalu muncul. Diagnosis banding demam tifoid antara lain adalah infeksi dengan
demam lama contohnya Malaria, abses, tuberkulosis, abses hati akibat amuba,
ensefalitis, influenza, demam dengue, leptospirosis, mononukleosis infeksiosa,
endokarditis, bruselosis, lesmaniasis viseral, toksoplasmosis, penyakit
limfoproliferatif dan beberapa penyakit jaringan ikat.17
2.7. Penegakkan diagnosa3,4
Demam tifoid pada biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang
timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran
pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap
dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise,
anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta
gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal
dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah
dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu
seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri
abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium.
Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat
timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan
berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala
dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang
diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis, dan serologis.
Darah Tepi
Patogenesis perubahan gambaran darah tepi pada demam tifoid masih belum
jelas, umumnya ditandai dengan leukopenia, limfositosis realtif dan menghilangnya
eosinofil (aneosinofilia). Dahulu dikatakan bahwa leukopenia mempunyai nilai
diagnostik yang penting, namun hanya sebagian kecil penderita demam tifoid
mempunyai gambaran tersebut. Diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit
oleh toksin dalam peredaran darah. Dapat juga terjaadi anemia karena supresi
sumsum tulang, defisiensi FE, atau perdarahan usus. Trombositopenia terutama pada
demam tifoid berat.
Serologi
Tes Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi.
pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi
dengan antibody yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji
widal adalah suspense Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah
dilaboratorium. Tujuan uji widal adalah untuk menentukan adanya agluitinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu :
a). agglutinin O (dari tubuh kuman)
b). agglutinin H (flagella kuman)
c). agglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin
besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai
terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat
dan mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa
minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti
dengan agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih tetap
dijumpai setelah 4-6 bulan, setelah agglutinin H menetap lebih lama antara 9-
12 bulan.
Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh
dengan selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya kenaikan titer
antibody. Serum yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat)
lalu dites terhadap antigen Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut :
1) Titer O yang tinggi atu kenaikan titer O (≥ 1 : 160)
menunjukkan adanya infeksi aktif.
2) Titer H yang tinggi (≥ 1 : 160) menunjukkan bahwa penderita
itu pernah divaksinasi atau pernah terkena infeksi.
3) Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu :
1) Pengobatan dini dengan antibiotik
2) Gangguan pembentukan antibodk dan pemberian
kortikosteroid
3) Waktu pengambilan darah
4) Daerah endemik atau non endemik
5) Riwayat vaksinasi
6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada
infeksi bukan demam tifoid akibat demam tifoid masa lalu atau
vaksinasi
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi
silang dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.
Biakan Salmonella
Diagnosis pasti demam tifoid bila ditemukan kuman S.typhi dari darah, urin,
tinja, sumsum tulang, cairan duodenum atau rose spots. Berkaitan dengan
patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum tulang
di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya didalam urin dan tinja. Hasil
biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung beberapa faktor. Faktor
tersebut adalah (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan
media empedu, serta (3) waktu pengambilan darah. Untuk menetralisir efek
bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat kuman
pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan
darah paling baik adalah pada saat demam tinggi atau sebelum pemakaian antibiotik,
karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan di dalam
darah.
Biakan darah positif ditemukan pada 75-80% penderita pada minggu pertama
sakit, sedangkan pada akhir minggu ke-tiga, biakan darah positif hanya pada 10%
penderita. Setelah minggu ke-empat penyakit, sangat jarang ditemukan kuman di
dalam darah. Bila terjadi relaps, maka biakan darah akan positif kembali.Biakan
sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada
fase penyembuhan.
Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam
setelah pemberian, sedangkan kuman di dalam sumsum tulang lebih sukar dimatikan.
Oleh karena itu pemeriksaan biakan darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian
antibiotik.
Walaupun metoda biakan kuman S.typhi sebenarnya amat diagnostik namun
memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan
kesehatan sederhana yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap.
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut :
1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah
telah mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat
dan hasil mungkin negatif.
2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah
yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil
sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu
(oxgall) untuk pertumbuhan kuman
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam
darah psien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan
darah dapat negatif.
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin
meningkat.
2.8. Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap demam tifoid merupakan gabungan antara pemberian
antibiotik yang sesuai, perawatan penunjang termasuk pemantauan, manajemen
cairan, serta pengenalan dini dan tata laksana terhadap adanya komplikasi
(perdarahan usus, perforasi dan gangguan hemodinamik).
Pengobatan akan berhasil dengan baik bila penegakan diagnosis dilakukan
dengan tepat.6,7
1. Antibiotik
Pemilihan antibiotik sebelum dibuktikan adanya infeksi Samonella dapat
dilakukan secara empiris dengan memenuhi kriteria berikut (1) spektrum
sempit, (2) penetrasi ke jaringan cukup, (3) cara pemberian mudah untuk
anak, (4) tidak mudah resisten, (5) efek samping minimal, dan (6) adanya
bukti efikasi klinis.
Saat redanya demam (time of fever defervescence) merupakan parameter
keberhasilan pengobatan, dan saat tersebut menentukan efektifitas antibiotik.
Bila suhu turun, berarti membaik, sedang bila menetap mungkin ada infeksi
lain, komplikasi, atau kuman penyebab adalah MDRST (multidrug resistant
S.typhi)
Penggunaan antibiotik yang dianjurkan selama ini adalah sebagai berikut :
1. Lini pertama
a. Kloramfenikol, masih merupakan pilihan pertama dalam urutan antibiotik,
diberikan dengan dosis 50-100 mg/kgBB/hari secara intravena dalam 4 dosis
selama 10-14 hari. Banyak penelitian membuktikan bahwa obat ini masih
cukup sensitif untuk Salmonella typhi namun perhatian khusus harus
diberikan pada kasus dengan leukopenia (tidak dianjurkan pada leukosit
<2000/ul)
b. Ampisilin dengan dosis 150-200 mg/kgBB/hari diberikan peroral/iv selama
14 hari, atau
c. Kotrimoksazol dengan dosis 10 mg/kgBB/hari trimetoprim, dibagi 2 dosis,
selama 14 hari.
2. Lini ke dua, diberikan pada kasus-kasus demam tifoid yang disebabkan
S.typhi yang resisten terhadap berbagai obat (MDR=multidrug resistance),
yang terdiri atas :
a. Seftriakson dengan dosis 50-80 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 10 hari
Penyembuhan sampai 90% juga dilaporkan pada pengobatan 3-5 hari.
b. Sefiksim dengan dosis 10-12 mg/kgBB/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis
selama 14 hari, adalah alternatif pengganti seftriakson yang cukup handal.
c. Florokinolon dilaporkan lebih superior daripada derivat sefalosporin diatas,
dengan angka penyembuhan mendekati 100% dalam kesembuhan kinis dan
bakteriologis, di samping kemudahan pemberian secara oral. Namun
pemberian obat ini masih kontroversial dalam pemberian untuk anak
mengingat adanya pengaruh buruk terhadap pertumbuhan kartilago.
Siprofloksasin, 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis, sudah dipakai untuk
pengobatan. Demam biasanya turun dalam 5 hari. Lama pemberian obat
dianjurkan 2-10 hari. Penggunaan obat-obat ini dianjurkan pada kasus demam
tifoid dengan MDR.
d. Asitromisin dengan pemberian 5-7 hari juga telah dicoba dalam beberapa
penelitian dengan hasil baik, berupa penurunan demam sebelum hari ke 4.
Aztreonam juga diuji pada beberapa kasus demam tifoid pada anak dengan
hasil baik, namun tidak dianjurkan sebagai pengobatan lini pertama.
2. Pada kasus toksik tifoid (demam tifoid disertai gangguan kesadaran dengan
atau tanpa kelainan neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak
masih dalam batas normal) langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4 x
500 mg dengan ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg
3. Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau
perforasi, renjatan septik.
4. Steroid hanya diindikasikan pada kasus toksik tifoid atau demam tifoid yang
mengalami renjatan septik.
5. Istirahat dan perawatan professional; bertujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal
7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan
bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu
jaga sekali dijaga higiene perseorangan, kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
peralatan yang dipakai oleh pasien. Pasien dengan kesadaran menurun,
posisinya perlu diubah-ubah untuk mencegah dekubitus dan pneumonia
hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-
kadang terjadi obstipasi dan retensi urin.
6. Diet dan terapi penunjang (simtomatis dan suportif)
Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya
nasi sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian
menunjukkan bahawa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk
pauk rendah selulosa ( pantang sayuran dengan serat kasar ) dapat diberikan
dengan aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup
untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga
keseimbangan dan homeostasis, sistem imun akan tetap berfungsi dengan
optimal.
Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan
intensif dengan nutrisi parenteral total. Spektrum antibiotic maupun kombinasi
beberapa obat yang bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kortikosteroid
selalu perlu diperhatikan pada renjatan septik. Prognosis tidak begitu baik pada
kedua keadaan di atas.
2.9. Komplikasi:8,9
Dapat terjadi pada:
1. Usus Halus
Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal, yaitu:
a. Perdarahan usus.
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
bensidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila beratdapat
disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda renjatan.
b. Perforasi usus.
Timbul biasanya pada minggu ke-3 atau setelah itu dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara di rongga peritoneum, yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada rontgen
abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c. Peritonitis.
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang (defense musculair) dan nyeri pada tekanan.
2. Komplikasi di luar usus.3,4
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteremia) yaitu
meningitis, kolesistitis, enselopati, dll. Terjadi karena infeksi sekunder, yaitu
bronkopneumonia. Dehidrasi dan asidosis dapat timbul akibat masukan
makanan yang kurang dan perspirasi akibat suhu tubuh yang tinggi.
Komplikasi extra intestinal antara lain :
Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis),
miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma
uremia hemolitik.
Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
Komplikasi ginjal : glomerulonephritis, pyelonephritis dan perinephritis.
Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan
arthritis.
Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis,
polineuritis perifer, sindroma Guillain Bare dan sindroma katatonia
2.10. Pencegaahan
Ada 3 strategi pokok dalam memutuskan transmisi tifoid, yaitu :
1. Identifikasi dan Eradikasi S.typhi pada pasien tifoid Asimptomatik,
karier dan Akut
Dalam identifikasi pasien terdapat 2 tipe, yaitu secara aktif dan pasif. Yang
dimaksud aktif disini adalah mendatangi sasaran, sedangkan pasif adalah
menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran
aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pada pengelola sarana
makanan- minuman , pelayanan kesehatan, guru, petugas kebersihan,dsb.
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S.typhi akut
maupun karier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun rumah dan lingkungan
sekitar orang yang telah mengidap demam tifoid.
3. Proteksi pada orang beresiko terinfeksi4,5
Pada daerah non-endemik :
Sanitasi air dan kebersihan lingkungan.
Penyaringan pengelolaan pembuatan/ distributor/ penjualan makanan
dan minuman.
Pencarian dan pengobatan pada kasus tifoid karier.
Bila terjadi epidemic tifoid :
Pencarian dan eliminasi dari sumber penularan.
Pemeriksaan air minuman dan air mandi-cuci-kakus.
Penyuluhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut.
Pada daerah endemic :
Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang
memenuhi standart prosedur kesehatan ( Perebusan > 570 O C,iodisasi,
dan klorinisasi ).
Pengunjung yang mengunjungi daerah ini harus minum air yang telah
melalui pendahuluan dan menjauhi makanan segar ( sayur/ buah ).
Vaksinasi secara menyeluruh kepada masyarakat setempat maupun
pengunjung.
Vaksinasi
Vaksinasi pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960
efektivitas vaksin telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88% ( WHO )
dan sebesar 67% ( Universitas Maryland ) bila terpapar 105 bakteri tetapi tidak
mampu proteksi terpapar 107 bakteri.
Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikian juga
didaerah lain. Indikasi vaksinasi ini adalah 1). Hendak mengunjungi daerah endemic,
risiko daerah terserang demam tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang
( Amerika Latin, Asia, Afrika). 2). Orang yang terpapar dengan penderita karier
tifoid, dan 3). Petugas laboratorium/ mikrobiologi kesehatan.
Jenis Vaksinasi
Vaksin Oral : -Ty21a ( Vivotif Berna ).
Vaksin parenteral : -ViCPS (Typhim Vi/ Pasteur Merieux ), vaksin kapsul
polisakarida
1. Vaksin demam tifoid oral
Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonell Typhi galur non
pathogen yang telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami
siklus pembelahan dalam usus dan akan dieleminasi dalam waktu 3 hari
setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin parenteal, respon imun pada
vaksin ini termasuk sekretorik IgA. Secara umum efektifitas vaksin oral
sama dengan vaksin parenteral yang diinaktifasi dengan pemanasan namun
vaksin oral mempunyai reaksi samping lebih rendah. Vaksin tifoid oral
dikenal dengan nama Ty-21a.
Penyimpanan pada suhu 2-8 derajat celcius.
Kemasan dalam bentuk kapsul untuk anak umur 6 tahun atau lebih.
Cara pemeberian 1 kapsul vaksin dimakan tiap hari ke 1, 3, dan 5, 1 jam
sebelum makan dnegan minuman yang tidak lebih dari 37 derajat celcius.
Kapsul ke-4 pada hari ke 7 terutama bagi turis.
Kapsul harus ditelan utuh dna tidak boleh dibuka karena kuman dapat mati
oleh asam lambung.
Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotic, sulfonamide atau
anti malaria yang aktif terhadap salmonella.
Karena vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari interferon
mukosa, pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda 2 minggu setelah
pemberian terakhir dari vaksin tifus ini.
Imunisasi ulangan diberikan tiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus
terekspos dengan infeksi salmonella sebaiknya diberikan 3-4 kapsul tiap
beberapa tahun.
Daya proteksi vaksin inihanya 50-80% maka yang sudah di vaksinasipun di
anjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.
Diberikan pada umur lebih dari 6 tahun, dikemas dalam kapsul diberikan 3
dosis dengan interval selang sehari (hari 1, 3 dan 5).
Imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun. Vaksin oral pada umumnya
diperlukan untuk turis yang akan berkunjung kedaerah endemis tifoid.
2. Vaksin Polisakarida Parenteral
Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman salmonella
typhi, polisakarida 0,02 mg, fenol dan larutan buffer yang mengandung
natrium klorida, disodium fosphat, monosodium fosphat dan pelarut untuk
suntikan.
Penyimpanan dapat suhu 20-8 derajat celcius jangan dibekukan.
Kadaluarsa dalam 3 tahun.
Pemberian secara suntikan IM atau SC pada daerah deltoid atau paha.
Imunisasi ulangan tiap 3 tahun.
Reaksi samping local berupa demam, nyeri kepala, pusing, nyeri sendi, nyeri
otot, nausea, nyeri perut jarang dijumpai. Sangat jarang bisa terjadi reaksi
alergi berupa pruritus, ruam kulit dan urtikaria.
Indikasi kontra: alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin. Juga pada saat
demam penyakit akut maupun penyakit kronik progresif.
Daya proteksi 60-80% maka yang sudah divaksinasi pun di anjurkan untuk
melakukan seleksi pada makanan dan minuman.
Diberikan pada umur lebih dari 2 tahun. Ulangan dilakukan tiap 3 tahun.
Kemasan dalam prefilled syringe 0,5 ml, pemberian secara IM.
Pemilihan Vaksinasi
Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara bermakna
menurunkan 66% selama 5 tahun, laporan ini sebesar 33% selama 3 tahun. Usia
sasaran vaksinasi berbeda efektifitasnya, dilaporkan insidens turun 53% pada anak
>10 tahun sedangkan anak usia 5-9 tahun insiden turun 17%.
Vaksinasi parenteral non-aktif relative lebih sering menyebabkan reaksi efek
samping serta tidak seefektif dibandingkan degan ViCPS maupun Ty21a oral.
Indikasi Vaksinasi
Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada factor risiko yang
berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi epidemiologisnya :
Populasi : Anak usia sekolah di daerah endemic, personil militer, petugas
rumah sakit, laboratorium kesehatan dan industry makanan/ minuman.
Induvidual : pengunjung/ wisatawan ke daerah endemic, orang yang kontak
erat dengan penidap tifoid ( karier ).
Anak usia 2-5 tahun toleransi dan respon imunologisnya sama dengan anak
usia lebih besar.
Kontraindikasi Vaksinasi
Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran yang
alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan ( karena
sedikitnya data ). Bila diberikan bersamaan dengan obat anti-malaria ( klorokuin,
meflokuin ) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan
vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat
sulfonamide atau antimikroba lainnya.
Efek samping Vaksinasi
Pada vaksin Ty21a demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-5%,
sakit kepala (0-5%), sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil ( demam
0,25%, malaise 0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi nyeri local 17% ). Efek
samping terbesar pada vaksin parenteral adalah heat-phenol inactivated, yaitu demam,
6,7-24% , nyeri kepala 9-10% dan reaksi local nyeri dan edema 3-35% bahkan reaksi
berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok dilaporkan pernah terjadi meskipun
sporadis dan sangat jarang terjadi.
Efektivitas Vaksinasi
Serokonversi ( peningkatan titer antibody 4 kali ) setelah vaksinasi dengan
ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari- 3 minggu dan 90% bertahan selama
3 tahun. Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemic ( Nepal ) dan sekitar
60% untuk daerah hiperendemik.
2.9. Prognosis
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat
berobat. Mortalitas pada penderita yang dirawat ialah 60 %. Prognosis menjadi
kurang baik atau buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti :
1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinua.
2. Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma, atau delirium.
3. Terdapat komplikasi yang berat misalnya dehidrasi, asidosis, peritonitis,
bronkopneumonia, dan lain-lain.
4. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein).
BAB III
KESIMPULAN
Demam tifoid merupakan infeksi bakterial sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype typhi (S.typhi). yang masih dijumpai secara luas di
berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.
Penegakkan diagnosis demam tifoid dapat dibuat dari anamnesis berupa
demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin perubahan atau sampai penurunanan
kesadaran. Untuk memastikan maka diperlukan pemeriksaan laboratorium berupa
darah tepi, serologi, dan bakteriologi.
Pengobatan terhadap demam tifoid merupakan gabungan antara pemberian
antibiotik yang sesuai, perawatan penunjang termasuk pemantauan, manajemen
cairan, serta pengenalan dini dan tata laksana terhadap adanya komplikasi
(perdarahan usus, perforasi dan gangguan hemodinamik).
DAFTAR PUSTAKA
1. Background Document.2003.The Diagnosis, Treatment and Prevention of
Thypoid Fever. Comunicable Disease Surveillance and Response Vaccinase
and Biologicals. WHO.
2. Bhutta ZA. 2006.Clinical Review. Current Concepts in the Diagnosis and
Treatment of Thypoid Fever. BMJ; 333: 78-82
3. Braunwald. 2008.Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Edition,
New York,
4. Brush, John L. 2009. Typhoid Fever, in http://
emedicine.medscape.com/article 231135-overview dikunjungi pada 20
Februari 2011.
5. Jawetz Ernest et al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Alih Bahasa : Nugroho
Edi, Maulani RF. Jakarta EGC
6. Ranjan L.Fernando et al. 2001. Tropical Infectious Diseases Epidemiology,
Investigation, Diagnosis and Management, London,;45:270-272
7. Widodo Djoko. 2007. Demam Tifoid didalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta FKUI
8. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama. 2003. Jakarta ;Ikatan Dokter Anak
Indonesia: 37-46
9. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jilid 1. Fakultas Kedokteran VI.2001