referat ect
TRANSCRIPT
Electro Convulsive Therapy (ECT)
Bab I Pendahuluan
Electroconvulsive Therapy (ECT) atau Terapi Kejang Listrik merupakan
terapi yang termasuk penatalaksanaan dalam gangguan psikiatri.
Electroconvulsive Therapy (ECT) sudah lama dikenal sebagai terapi dalam bidang
psikiatri. Electro Convulsive Therapy (ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu
intervensi non farmakologi penting yang efektif dalam pengobatan pasien dengan
gangguan neuro psikiatrik tertentu yang berat. ECT menggunakan arus listrik
singkat melalui otak yang menginduksi kejang umum sistem saraf pusat. Respons
ECT dapat terjadi secara cepat dan perlu diberikan dalam suatu periode dalam
beberapa minggu. Bila melihat sejarah penggunaan terapi ini, maka terapi ini
sudah dimulai pada tahun 1934, dimana saat itu Ladislas J. Von Meduna
melaporkan terapi yang berhasil dari katatonia dan gejala skizofrenia lain dengan
kejang yang ditimbulkan secara farmakologis.1
1
Bab II
Pembahasan
A. Definisi
Terapi ElektroKonvulsif (ECT) adalah terapi yang aman dan efektif untuk
pasien dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan mental
serius lainnya.1 Terapi Elektrokonvulsi (ECT) merupakan suatu pengobatan untuk
penyakit psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala
digunakan untuk menghasilkan suatu kejang tonik-klonik umum.4 Electro
Convulsive Therapy (ECT) atau terapi kejang listrik adalah suatu intervensi non
farmakologi penting yang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan
neuro psikiatrik tertentu yang berat. ECT menggunakan arus listrik singkat
melalui otak yang menginduksi kejang umum sistem saraf pusat. Respons ECT
dapat terjadi secara cepat dan perlu diberikan dalam suatu periode dalam beberapa
minggu. Prosedur biasanya dapat diterima pasien dan dapat menggunakan
profilaksis yang memungkinkan penyembuhan parsial atau sempurna dari gejala.5
Electro Convulsive Therapy (ECT) merupakan prosedur medis yang dilakukan
oleh dokter dimana pasien diberikan anestesi umum dan relaksasi otot. Ketika
efeknya telah bekerja, otak pasien distimulasi dengan suatu rangkaian dan
dikontrol dengan electrode yang dipasang di kepala pasien. Stimulus ini
menyebabkan bangkitan kejang di otak sampai 2 menit. Karena penggunaan
anestesi dan relaksasi otot sehingga badan pasien tidak ikut terangsang dan tidak
merasa nyeri.8 Terapi Elektro Konvulsif merupakan suatu terapi yang aman dan
efektif untuk berbagai gangguan psikiatri.6
B. Sejarah
Walaupun kejang akibat champor pernah digunakan awal abad ke-16
sebagai terapi psikosis, sebagian besar sejarah ECT dimulai pada tahun 1934, saat
Ladislas J. Von Meduna melaporkan terapi yang berhasil dari katatonia dan gejala
skizofrenia lain dengan kejang yang ditimbulkan secara farmakologis.1 Hal ini
berdasarkan keyakinan bahwa pasien epilepsi dengan psikosis memperlihatkan
2
perbaikan gejala psikotik setelah kejang spontan. Untuk menimbulkan kejang Von
Meduna menggunakan injeksi champora.5 Von Meduna mulai menggunakan
penyuntikan champor yang disuspensikan dalam minyak tetapi dengan cepat
pindah menjadi pemberian pentylenetetrazol (Metrazol) intravena. Von Meduna
mengusahakan metode terapi didasarkan pada dua pengamatan: pertama, gejala
skizofrenik seringkali menurun setelah kejang, kejang seringkali secara tidak
sengaja atau secara iatrogenik ditimbulkan pada pasien psikiatrik sekunder karena
pemutusan medikasi (sebagai contohnya, barbiturat). Kedua, skizofrenia dan
epilepsi yang dipercaya secara keliru, tidak dapat terjadi secara bersama-sama
pada pasien yang sama, dengan demikian, menimbulkan kejang mungkin
melepaskan pasien skizofrenia.1 Von Meduna menemukan bahwa
phentiylenetetrazol, suatu agent yang sekarang dikenal sebagai penghambat
reseptor gamma amino butiric tipe A telah memberikan hasil yang memuaskan.5
Kejang yang diinduksi oleh phentiylenetetrazol pernah digunakan sebagai suatu
terapi yang efektif selama empat tahun sebelum diperkenalkannya kejang yang
diinduksi listrik.1
Atas dasar penelitian Von Meduna, Ugo Carletti dan Lucion Bini
melakukan elektrokonvulsif pertama kali pada pasien psikosis pada bulan April
1938 di Roma. Pada awalnya terapi dinamakan terapi elektrosyok (EST,
Electroshock therapy), yang kemudian dikenal sebagai Terapi Elektrokonvulsif.1
pada tahun 1939, Lothar Kalinowsky memperkenalkan ECT di Amerika. Pada
tahun 1940, A.E. Bernett memperkenalkan penggunaan curare sebagai pelemas
otot untuk menghindarkan kontraksi otot dan meminimalkan resiko fraktur.5
Masalah utama yang berhubungan dengan ECT adalah rasa tidak nyaman yang
dialami oleh pasien yang disebabkan oleh prosedur dan fraktur tulang yang
diakibatkan oleh aktifitas mototrik kejang. Masalah tersebut akhirnya dihilangkan
dengan pemakaian anastetik umum dan pelemas otot farmakologis selama terapi
yang diperkenalkan oleh Bernett. Pada tahun 1951 succinylcholine (Anectine)
diperkenalkan menjadi pelemas otot yang paling luas digunakan untuk ECT. Pada
tahun 1957 hexafluorinated diethylether (Indokolon) diperkenalkan sebagai cara
farmakologis baru menginduksi kejang dengan memberikan senyawa sebagai gas.
Namun, setelah diperkenalkannya obat anti depressan pada tahun 1950-an telah
3
menyebabkan dihilangkannya hexafluorinated diethylether dari pasaran.1
C. Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja Electro Convulsive Therapy (ECT) belum diketahui
secara pasti. Namun, dikaitkan dengan teori psikologik dan psikodinamika, teori
molekular, biokimia, neuroendokrin, dan teori struktural.5 Suatu penelitian untuk
mendekati mekanisme kerja ECT adalah dengan mempelajari efek neuropsikologi
dari terapi. Tomografi emisi positron (PET; Positron Emission Tomography)
mempelajari aliran darah serebral maupun pemakaian glukosa telah dilaporkan.
Penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa selama kejang aliran darah serebral,
pemakaian glukosa dan oksigen, dan permeabilitas sawar darah otak adalah
meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun,
kemungkinan paling jelas pada lobus frontalis. Beberapa penelitian menyatakan
bahwa derajat penurunan metabolisme serebral adalah berhubungan dengan
respons terapeutik. Fokus kejang pada epilepsi idiopatik adalah hipometabolik
selama periode interiktal, ECT sendiri bertindak sebagai antikonvulsan, karena
pemberiannya disertai dengan peningkatan ambang kejang saat terapi berlanjut.1
Penelitian neurokimiawi tentang mekanisme kerja ECT telah memusatkan
perhatian pada perubahan reseptor neurotransmitter dan, sekarang ini, perubahan
sistem pembawa pesan kedua (second-messenger). Hampir setiap sistem
neurotransmitter dipengaruhi oleh ECT. Tetapi, urutan sesion ECT menyebabkan
regulasi turun reseptor adrenergik-β pascasinaptik, reseptor yang sama dan terlihat
pada hampir semua terapi antidepressan. Efek ECT pada neuron serotonergik
masih merupakan daerah penelitian yang kontroversial. Berbagai penelitian
melaporkan telah menemukan suatu peningkatan reseptor serotonin pascasinaptik,
tidak ada perubahan pada neuron serotonin, dan perubahan pada regulasi
prasinaptik pelepasan serotonin. ECT telah dilaporkan mempengaruhi sistem
neuronal muskarinik, kolinergik, dan dopaminergik. Pada sistem pembawa kedua,
ECT telah dilaporkan mempengaruhi pengkopelan protein G dengan reseptor,
aktivitas adenylyl cyclase dan phospholipase C, dan regulasi masuknya kalsium
4
ke dalam neuron.1
Electro Convulsive Therapy (ECT) memiliki efek anti konvulsi yang
membangkitkan ambang kejang dan menurunkan lamanya kejang. Hal ini diduga
bekerja pada sel yang menghubungkan bangkitan kejang pada SSP. Pada tingkat
dasar obat antikonvulsi mempunyai efek meningkatkan penghambatan dan
mengurangi eksitasi. Obat ini meningkatkan transmisi GABAergic melalui
reseptor GABA yang mempunyai efek anti konvulsi. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa peningkatan kadar GABA pada regio SSP tertentu setelah
ECS, mendukung suatu kemungkinan peningkatan dalam inhibisi tonik. Ini juga
membuktikan bahwa ECS menyebabkan peningkatan GABA yang menengahi
inhibisi presinaps dan postsinaps.5
D. Indikasi
Indikasi Primer ECT
1. Gangguan Depresi Mayor
Indikasi yang paling sering untuk penggunaan ECT adalah gangguan depresif
berat atau ganggaun depresi mayor.1,4,6 ECT harus dipertimbangkan sebagai terapi
pada pasien yang gagal dalam uji coba medikasi, mengalami gejala yang parah
atau psikotik, mencoba bunuh diri atau membunuh dengan mendadak, atau
memiliki gejala agitasi atau stupor yang jelas. Sebagian klinisi yakin bahwa ECT
menyebabkan sekurangnya derajat perbaikan klinis yang sama dengan terapi
standar dengan obat antidepressan.1
Penggunaan ECT sebagai terapi dapat diberikan pada gejala-gejala depresi yang
berkaitan dengan:6
Pencobaan bunuh diri dengan resiko melakukan bunuh diri.
Gejala-gejala psikotik
Penurunan keadaan fisik karena komplikasi depresi, seperti intake oral yang
menurun.
Respon yang minimal setelah pengobatan.
Riwayat terapi ECT dengan hasil yang baik
Merupakan pilihan pasien
Katatonia
5
ECT efektif untuk gangguan depresi berat dengan gangguan bipolar.
Depresi delusional atau psikotik telah lama dianggap cukup responsif terhadap
ECT, tetapi penelitian terakhir telah menyatakan bahwa episode depresi berat
dengan ciri psikotik tidak lebih responsif terhadap ECT dibandingkan gangguan
depresi nonpsikotik. Namun demikian, karena episode depresi berat dengan gejala
psikotik adalah berespon buruk terhadap farmakologi anti depressan saja, ECT
harus sering dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk pasien dengan
gangguan-gangguan depresi berat dengan ciri melankolik (seperti gejala parah
yang jelas, retardasi psikomotor, terbangun dini hari, variasi diurnal, penurunan
nafsu makan dan berat badan, dan agitasi, diperkirakan lebih mungkin berespon
terhadap ECT.1
Terapi Elektrokonvulsi biasanya tidak efektif untuk mengobati depresi
yang lebih ringan, seperti gangguan disritmik atau gangguan penyesuaian dengan
alam perasaan depresi.4
2. Mania
ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul dibandingkan
lithium dalam terapi episode manik akut. Beberapa data menyatakan bahwa
pemasangan elektrode bilateral selama ECT lebih efektif, dengan pemasangan
unilateral pada terapi episode manik. Tetapi, terapi farmakologis untuk episode
manik adalah sangat efektif dalam jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga
pemakaian ECT untuk terapi episode manik biasanya terbatas pada situasi dengan
kontraindikasi spesifik untuk semua pendekatan farmakologis.1
3. Skizofrenia
ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut dan tidak untuk
gejala skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia dengan gejala afektif dianggap paling
besar kemungkinannya berespons terhadap ECT.1
Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila terdapat:
Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.
Katatonia
Riwayat terapi ECT dengan hasil yang baik.
6
Indikasi Sekunder ECT
1. Katatonia
Katatonia merupakan suatu gejala yang berkaitan dengan gangguan mood,
skizofrenia, dan gangguan medis dan neurologis yang efektif diberikan terapi
ECT.1,6
2. Penyakit Parkinson
ECT dapat bermanfaat bagi penyakit parkinson, khususnya berkaitan
dengan ”on-off” phenomenon atau fenomena nyala-mati.1,6
3. Sindrom Neuroleptik Maligna
ECT dapat bermanfaat pada sindrom neuroleptik maligna dengan
mengehntikan semua obat anti psikosis yang diberikan dan pasien harus dalam
keadaan tenang sebelum dilakukan ECT pada pasien tersebut.1,6
4. Delirium
Pemberian ECT juga bermanfaat bagi pasien dengan delirium.
E. Kontra Indikasi
ECT tidak memiliki kontraindikasi mutlak, hanya dimana pasien berada
dalam resiko tinggi dan memerlukan pemantauan yang lebih ketat.1,6 Berikut ini
merupakan keadaan yang merupakan kontraindikasi dari pelaksanaan ECT:
Penyakit kardiovaskuler yang berat dan tidak stabil, seperti infark miokard,
unstable angina, gagal jantung, penyakit katup jantung yang berat termasuk
stenosis aorta yang berat.6
Malformasi vaskuler dan aneurisma yang dapat rupture dengan peningkatan
tekanan darah.6 Hal ini dapat disebabkan terapi elektrokonvulsi dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah sementara, sehingga hipertensi
harus dikontrol, paling tidak sebelum setiap pengobatan.4
Peningkatan tekanan intracranial karena adanya tumor otak atau lesi desak
ruang pada cerebri.6 Hal ini dikarenakan terapi elektrokonvulsi dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intracranial.4
Infark cerebri.
Gangguan pernapasan seperti, penyakit paru obstruksi kronik, asma, dan
7
pneumonia.6 Hal ini dikarenakan pasien dengan kelainan pernapasan tidak
mampu mentolelir efek anestesi umum singkat.4
F. Prosedur Kerja
Persiapan ECT
1. Persetujuan Tertulis
Persetujuan tertulis harus dilakukan sebelum pelaksanaan ECT. Psikiater,pasien
dan keluarga pasien, harus membahas:
a. Sifat dan keseriusan dan gangguan mental
b. Kemungkinan perjalanan penyakit dengan dan tanpa ECT.
c. Sifat prosedur
d. Kemungkinan resiko dan manfaat (termasuk penjelasan mengenai
kebingungan pasca-pengobatan dan gangguan fungsi memori).
e. Pilihan pengobatan alternative (termasuk pilihan tanpa pengobatan).
2. Rekam Medis
Rekam medis yang teliti harus disimpan oleh psikiater dan rumah sakit atau klinik
yang melakukan ECT. Hal ini meliputi:
a. Sifat dan riwayat keadaan yang menyebabkan dipertimbangkannya ECT.
b. Perincian pengobatan sebelumnya, termasuk respons terapeutik dan reaksi
berlawanan.
c. Alasan untuk memilih ECT.
d. Perincian dari semua pembahasan yang relevan untuk mengizinkan ECT.
e. Formulir persetujuan dengan tanda tangan pasien dan atau keluarga atau
wali jika memang sesuai.
f. Pendapat konsultan yang ditandatangani, jika hal ini diminta.
3. Evaluasi Pra Pengobatan
a. Terapi elektrokonvulsi merupakan suatu prosedur yang dapat memberikan
stress pada susunan kardiovaskuler, pernapasan, muskuloskelet, dan saraf,
sehingga diperlukan evaluasi pra pengobatan yang seksama.
Pemeriksaan fisik dan riwayat medis standar (termasuk pemeriksaan
neurologis).
Uji darah dan kemih (sesuai riwayat pemeriksaan, tetapi termasuk
8
elektrolit dan urinalisis rutin).
Elektrokardiogram.
b. Pada sebagian besar keadaan (contohnya, adanya peenyakit skelet atau
riwayat ECT), harus didapatkan foto rontgen torakolumbal. Pada kasus
dugaan penyakit cranial dan intracranial, elektroensefalogram (EEG) dan atau
skan tomografi komputasi kepala merupakan hal yang sesuai.
c. Sebelum prosedur ini pasien harus dievaluasi oleh seorang anastesis atau
dokter yang berpengalaman dalam penggunaan anesthesia, untuk
mengevaluasi sepenuhnya resiko anesthesia dan kemungkinan interaksi obat
untuk setiap individu.
Pada hakekatnya pasien harus bebas litium, karena litium meningkatkan
sekuele susunan saraf pusat dari ECT dan memperpanjang aksi obat-obatan
neuromuskuler.
Beberapa ahli menduga inhibitor monoamine oksidase (MAO) harus
dihentikan 2 minggu sebelum pengobatan untuk menghindari penyulit
anestetik. Sedative dan anti konvulsan dapat menganggu kemampuan untuk
menimbulkan kejang, dan obat ini harus dikurangi atau dihentikan secepatnya
jika layak secara klinik.4
Prosedur Kerja
a. Pengobatan harus digunakan pada suatu daerah yang dirancang untuk ECT
dan diperlengkapi untuk pemulihan media yang diawasi, termasuk peralatan
dan medikasi untuk resusitasi kardiopulmoner. Elektrokardiogram, tekanan
darah, nadi, dan pernapasan harus dipantau selama prosedur.
b. Kepada pasien tidak boleh diberikan sesuatu per oral selama 8-12 jam
sebelum setiap pengobatan, dan segera setalah prosedur, staf harus berusaha
agar pasien sepenuhnya mengosongkan rectum dan kandung kemihnya.
c. Untuk mencegah bradikardia terkait pengobatan dan untuk memperkecil
sekresi, seringkali diberikan obat antikolinergik (0,6 hingga 1,2 mg atropine
atau 0,2-0,4 mg glikopirolat) secara intramuskuler atau subkutan dalam waktu
30 menit.
d. Akses venosa perifer harus dimulai dan dipertahankan hingga pasien pulih
sepenuhnya. Tepat sebelum memulai pengobatan harus dilakukan
9
pemeriksaan gigi, untuk melepaskan semua perlengkapan gigi atau untuk
mencatat adanya gigi yang longgar atau gompel.
e. Anesthesia ringan untuk memperkecil efek samping yang berlawanan dari
anestesi maupun kecenderungan obat-obatan yang biasa digunakan untuk
meningkatkan ambang kejang (dan dengan demikian memerlukan intensitas
stimulasi listrik yang lebih tinggi). Anestetik yang biasa digunakan adalah
metoheksital (0,5-1,0 mg/kg) atau tiopental (3 mg/kg). kadang-kadang
etomidat (0,15-0,30 mg/kg) atau malah digunakan ketamin intramuskuler (6-
10 mg/kg). Pada pasien harus diberi ventilasi melalui masker dengan oksigen
100 % sejak mulai timbul anestesi hingga pulihnya pernapasan spontan yang
adekuat.
f. Setelah timbul efek anestetik, diberi perelaksasi otot suksinilkolin (0,5-1,5
mg/kg). tujuannya adalah relaksasi cukup untuk menghentikan sebagian besar
tetapi tidak seluruh pergerakan iktal tubuh, kecuali pada beberapa kasus
penyakit mukuloskeletal atau penyakit jantung dimana diperlukan relaksasi
otot total.
Kerja suksinilkolin, penyekat depolarisasi, ditandai dengan fasikulasi otot
yang bergerak secara rostrokaudal. Jika hal ini hilang, maka telah terjadi
relaksasi maksimal. Relaksasi juga harus dinilai dengan suatu coretan pada
kaki pasien dengan cara seperti untuk menimbulkan tanda babinski. Pada
relaksasi otot minimal, tidak akan terjadi respon plantar. Stimulator saraf
dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk menguji relaksasi otot.
g. Pemantauan kejang dapat dicapai melalui teknik EEG dan atau melalui teknik
“manset”. Dengan hal ini, suatu manset tensimeter ditempatkan pada lengan
atau tungkai pasien dan inflasi hingga tekanan yang lebih besar daripada
sistolik sebelum menyuntikkan suksinilkolin. Hal ini memungkinkan
terjadinya gerakan konvulsif tidak termodifikasi dari ekstremitas tersebut dan
ditentukan waktunya.4
Penempatan Elektroda
Terdapat banyak alternative untuk penempatan elektroda. Lead harus
dikenalkan dengan gel penghantar, pada kulit kepala yang bersih. Pada ECT
bilateral, kedua electrode dapat ditempatkan secara bifrontotemporal, dengan
10
masing-masing sekitar 2 inci diatas titik tengah garis yang ditarik dari meatus
akustikus eksternus ke sudut lateral mata. Pada ECT unilateral, kedua electrode
ditempatkan diatas hemisferum non dominan. Satu ditempatkan diatas area
frontotemporal, seperti untuk ECT bilateral, sementara yang lain biasanya
ditempatkan pada kulit kepala sentroparietal nondominan, tepat lateral dari vertek
garis tengah. Jarak antara titik tengah dua electrode sekitar 4,5 inci. Yang
bertangan tidak kidal sangat berkorelasi dengan dominan hemiferik kiri.
Stimulus Listrik dan Kejang
Ambang kejang dan lamanya sangat bervariasi diantara pasien dan
kemungkinan sukar untuk ditentukan. Tujuannya ialah untuk mencapai kejang
anatar 25-60 detik dengan menggunakan jumlah energy listrik terkecil. Sejumlah
peralatan ECT memungkinkan penentuan energy stimulus sebenarnya, dan nilai
ini harus dipertahankan serendah mungkin. Kejang yang lebih besar dari 60 detik
sering menunjukkan bahwa stimulus adalah ambang supra dan harus dikurangi
pada saat pengobatan berikutnya. Jika tidak terjadi kejang, stimulasi harus segera
diikuti dengan stimulasi berulang pada intensitas stimulus yang lebih tinggi. Pada
kejang yang berlangsung kurang dari 25 detik, stimulus harus diulang sekali. Jika
hal ini menghasilkan suatu kejang yang pendek, maka intensitas stimulus harus
ditingkatkan, dan harus diberikan stimulu ketiga. Jika stimulasi gagal untuk
menimbulkan kejang yang adekuat, maka saat pengobatan harus diakhiri. Karena
keadaan refrakter terhadap kejang berikut yang terjadi setelah kejang, maka harus
dibiarkan berlalu interval 60 hingga 90 detik sebelum mengulangi stimulasi,
selama waktu ini pasien harus diventilasi dengan oksigen.4
Jumlah dan Jarak Pengobatan ECT
Jumlah pengobatan dalam suatu rancangan bervariasi dan harus ditentukan
berdasarkan respon klinis. Keputusan untuk mengehentikan rancangan ECT
biasanya didasarkan atas pencapaian respon maksimal atau tidak adanya
perbaikan bermakna setelah sejumlah pengobatan tertentu. Enam sampai dua
belas kali pengobatan biasanya efektif, walaupun beberapa pasien mungkin
memerlukan 20-25 pengobatan.
11
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Terapi ElektroKonvulsif (ECT) adalah terapi yang aman dan efektif untuk pasien
dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan gangguan mental serius
lainnya.1 Terapi Elektrokonvulsi (ECT) merupakan suatu pengobatan untuk
penyakit psikiatri berat dimana pemberian arus listrik singkat pada kepala
digunakan untuk menghasilkan suatu kejang tonik-klonik umum. Bila melihat
sejarah penggunaan terapi ini, maka terapi ini sudah dimulai pada tahun 1934,
dimana saat itu Ladislas J. Von Meduna melaporkan terapi yang berhasil dari
katatonia dan gejala skizofrenia lain dengan kejang yang ditimbulkan secara
farmakologis. Indikasi Primer ECT yaitu gangguan depresi mayor, mania,
skizofrenia,sedangkan indikasi sekunder ECT yaitu katatonia, penyakit parkinson,
sindrom neuroleptik maligna dan delirium.
Daftar Pustaka
1. Kaplan dan Sadock. 2010. Sinopsis Psikiatri, Ilmu Pengetahuan Perilaku, Psikiatri Klinis. Tangerang: Bina Rupa Aksara.
12
2. Maramis, Willy F dan Albert Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
3. Nevid, Jeffrey S, Spencer A Rathus, dan Beverly Greene. Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.
4. Guze, Barry MD. 2010. The Handbook of Psychiatry. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5. Idrus, Faisal, dr. 2011. Electroconvulsive Therapy. Makassar: Bagian Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
6. British Colombia, Ministry of Health Services. 2010. Electroconvulsive Therapy Guidelines. Colombia: Mheccu (Mental Health Evaluation and Community Consultant Unit).
7. Greenberg, Robert M and Charles H Kellner. 2005. Electroconvulsive Therapy. New Jersey, USA: American Association for Geriatric Psychiatry.
8. A Victorian State Government Initiative. Electroconvulsive Therapy About Your Rights. State Government Victoria.
13