referat bedah hanifa uci
TRANSCRIPT
REFERAT BEDAH
Nutrisi
Disusun oleh :
Hanifa Adani 1102010118
Pembimbing : Dr. Dik Adi Nugraha, Sp. B
KEPANITERAAN KLINIK BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD SOREANG
2015
1
A. STATUS GIZI
1. Definisi
Gizi merupakan hasil dari makanan yang diproses melalui digesti, absorpsi,
transportasi, penyimpanan, metabolisme yang dibutuhkan tubuh untuk menghasilkan
energi, dan mempertahankan kehidupan serta fungsi organ-organ. Jadi, status gizi
merupakan keadaan tubuh akibat konsumsi dan penggunaan zat gizi.
Kebanyakan penderita yang akan dibedah tidak membutuhkan perhatian khusus
untuk masalah gizi. Pada umumnya, mereka dapat berpuasa untuk waktu tertentu
sesuai dengan penyakit dan pembedahannya. Akan tetapi, tidak jarang juga penderita
datang dalam keadaan gizi yang kurang baik, misalnya yang terjadi pada penderita
penyakit saluran cerna, keganasan, infeksi kronik, dan trauma berat. Pasien dengan
keadaan malnutrisi yang parah akan memperbesar kemungkinan terjadinya luka
terbuka, infeksi, kebocoran anastomosis luka, dan komplikasi lainnya. Dengan
mengetahui teknik dari pengukuran status gizi dapat mengestimasi status gizi pasien
yang akan ditindak.
2. Pengukuran Status Gizi
Pengukuran status gizi merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang
dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif maupun
subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia. Data
objektif dapat diperoleh dari data pemeriksaan laboratorium perorangan, serta sumber
lain yang dapat diukur oleh anggota tim penilai. Pada prinsipnya, penilaian status gizi
anak serupa dengan penilaian pada dewasa. Komponen penilaian status gizi meliputi
survei asupan makanan, pemeriksaan biokimia, pemeriksaan klinis, serta pemeriksaan
antropometri.
Survei asupan makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak
langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan
data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran kebutuhan konsumsi zat gizi
pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan
kelebihan dan kekurangan zat dalam tubuh seseorang.
Pemeriksaan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara
laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang
digunakan antara lain: darah, urin, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati
dan otot. Uji biokimiawi yang penting ialah pemeriksaan kadar hemoglobin,
pemeriksaan apusan darah untuk malaria, pemeriksaan protein. Ada dua jenis protein,
viseral dan somatik, yang layak dijadikan parameter penentu status gizi.
Pemeriksaan tinja cukup hanya pemeriksaan occult blood dan telur cacing saja.
Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi
keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik,
maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk menentukan
kekurangan zat gizi yang spesifik.
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status
gizi. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan
dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial
epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut, dan mukosa oral atau pada organ-organ
yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Pemeriksaan klinis
meliputi pemeriksaan fisik secara menyeluruh, termasuk riwayat kesehatan. Riwayat
kesehatan yang perlu ditanyakan adalah kemampuan mengunyah dan menelan,
keadaan nafsu makan, makanan yang digemari dan yang dihindari, serta masalah
saluran pencernaan.
Pemeriksaan antropometris secara umum artinya penilaian ukuran tubuh
manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri berhubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat usia dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada
pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah
air dalam tubuh. Penilaian antropometris yang penting dilakukan ialah penimbangan
berat dan pengukuran tinggi badan, lingkar lengan, dan lipatan kulit triseps.
3. Malnutrisi
Malnutrisi berat mempengaruhi morbiditas karena terganggunya penyembuhan
luka dan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Namun, malnutrisi protein-
kalori yang ringan tidak banyak memengaruhi hasil operasi. Berbeda dengan
malnutrisi akibat kelaparan, pada penderita bedah terdapat beberapa faktor lain yang
menyebabkan malnutrisi. Dua faktor utama adalah kurangnya asupan makanan dan
proses radang yang mengakibatkan katabolisme meningkat dan anabolisme menurun.
Biasanya tampak pada penurunan kadar serum albumin dan hipotrofi otot.
Keadaan malnutrisi pada bedah dapat menyebabkan peningkatan kemungkinan
infeksi, gangguan fungsi imun, melemahnya otot respirasi, gangguan fungsi organ
viseral, penyembuhan luka yang lama, rusaknya barier mukosa, dan meningkatkan
resiko kematian.
Asupan nutrisi yang faali adalah melalui makanan dan minuman yang dapat
diberikan secara oral, melalui sonde hidung, atau secara intravena. Diet juga
dibedakan atas diet biasa dan diet khusus, misalnya pada penderita diabetes. Penderita
kolelitiasis juga memerlukan diet khusus yang kurang mengandung lemak. Contoh
lain adalah diet tinggi serat untuk penderita obstipasi dan diet rendah kalori untuk
penderita obesitas. Diet khusus kalori dan protein telur tinggi dibutuhkan oleh
penderita malnutrisi kronik yang mampu makan secara normal.
Makanan biasa yang dicairkan diberikan kepada penderita dengan obstruksi
esofagus atau pada orang yang tidak dapat mengunyah, seperti pada patah tulang
rahang. Kadang penderita begitu lemah dan mengalami anoreksia, atau terdapat
gangguan mekanik dan obstruksi saluran cerna yang mengakibatkan proses faali itu
tak dapat berlangsung. Fungsi saluran cerna bisa sangat terganggu sehingga proses
pencernaan dan penyerapan sedemikian terganggu dan kebutuhan nutrisinya tidak
terpenuhi. Keadaan ini disebut kegagalan intestinal. Keadaan ini terdapat pada
sindrom usus pendek akibat reseksi sebagian besar ileum dan jejunum, fistel usus,
gangguan motilitas usus misalnya pada paralisis usus dan pada peradangan usus yang
luas seperti pada penyakit Crohn dan kolitis ulserosa. Pada kasus khusus dan sulit ini
diperlukan tambahan nutrisi secara enteral atau parenteral.
B. PERUBAHAN PADA PASIEN BEDAH
1. Perubahan Fisiologis Pada Pasien Bedah
Permeabiltas usus meningkat 2 (dua) sampai 4 (empat) kali pada periode segera
pascaoperasi, dan normalnya berlangsung selama 5 hari. Akhir-akhir ini ditemukan
kurangnya nutrisi berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dan menurunnya
tinggi dari villus. Penemuan ini mengarah ke investigasi dari penatalaksanaan yang
bertujuan menjaga barrier mukosa yang intak. Meningkatnya permeabilitas usus
mengindikasikan kegagalan dari fungsi barrier usus untuk mengeluarkan bakteri dan
toksin endogen. Hal ini menjadi salah satu agen penyebab dalam systemic
inflammatory response syndrome, sepsis dan gagal organ multipel. Meskipun, terdapat
kegagalan untuk menunjukan bahwa terdapat korelasi antara rusaknya fungsi barrier
usus dan komplikasi sepsis setelah kegagalan gastrointestinal bagian atas.
2. Perubahan Metabolik Pada Pasien Bedah
Semakin ringan cedera, responnya akan semakin tumpul dan cepat hilang,
sedangkan semakin besar luka yang didapat, maka respon yang muncul akan semakin
lama dan parah khususnya bila terjadi komplikasi. Respon tersebut akan
meningkatkan tingkat metabolisme, sekresi glukokortikoid dan katekolamin, produksi
sitokin proinflamasi, dan retensi cairan.
Setiap respon tersebut memiliki peranan khusus seperti retensi garam dan air
yaitu untuk menjaga volume darah, meningkatnya produksi glukosa hepar yaitu untuk
menyediakan "tenaga" yang cukup, dan mobilisasi dari asam amino untuk
glukoneogenesis, produksi protein hepar, proliferasi fibroblas, dan regulasi
imunologi. Perubahan kecepatan katabolisme protein, khususnya pretein otot.
Katekolamin menstimulasi glikogenolisis dan glukoneogenesis hepar. Kortisol
merangsang glikogenolisis, glukoneogenesis, dan proteolisis protein dan efek
potensial katekolamin pada hepar.
Tingkat metabolik biasanya meningkat sekitar 10% pasca operasi. Jika
dukungan gizi yang memadai tidak ada pada tahap ini akan terjadi proteolisis dari
otot rangka yang berlebihan dan terjadi depresi metabolisme yang lebih lanjut.
Peningkatan pengeluaran energi dikaitkan dengan berbagai tanggapan hormonal yang
terjadi sebagai akibat dari trauma bedah. Sitokin, termasuk Tumor Necrotizing Factor
(TNF) dan interleukin (IL-1 dan IL-6) memiliki peran penting dalam menentukan
perubahan metabolik jangka panjang. Perubahan ini tidak relevan secara klinis,
kecuali terjadinya sepsis pasca bedah atau trauma setelah operasi tetapi dalam
hubungannya dengan kelaparan preoperatif sering mengakibatkan keseimbangan
nitrogen negatif secara signifikan.
3. Kebutuhan Nutrisi
Tujuan pertama dari pemenuhan nutrisi suportif adalah melengkapi kebutuhan
energi untuk mempertahankan fungsi metabolisme, pemeliharaan suhu basal, dan
perbaikan jaringan. Kegagalan penyediaan sumber energi nonprotein yang memadai
akan menyebabkan penggunaan cadangan jaringan tubuh. Kebutuhan untuk energi
dapat diukur dengan kalorimetri secara langsung atau diperkirakan dari ekskresi
nitrogen urin, yang sebanding dengan pengeluaran energi selama istirahat. Namun,
penggunaan kalorimetri secara tidak langsung, terutama pada pasien yang sakit kritis,
sering mengarah kepada perhitungan yang terlalu tinggi dari kebutuhan kalori.
Untuk menentukan kebutuhan kalori harus diketahui metabolisme basal,
sedangkan untuk menentukan basal energy expenditure (BEE) ini digunakan suatu
rumus Harris-Benedict.
Rumus :
BEE (Laki-laki) = 66,47 + 13,75 (Berat badan/Kg) + 5,0 (Tinggi Badan/Cm) - 6,76
(Usia/tahun) Kkal/hari
BEE (Perempuan) = 655,1 + 9,56 (Berat badan/Kg) + 1,85 (Tinggi badan/Cm) -
4,68 (Usia/tahun) Kkal/hari
Persamaan ini, disesuaikan dengan jenis stres bedah, yang cocok untuk
memperkirakan kebutuhan energi pada lebih dari 80% pasien rawat inap. Telah
terbukti bahwa penyediaan 30 kkal / kg per hari akan cukup memenuhi kebutuhan
energi pada sebagian besar pasien pascaoperasi, dengan risiko rendah kelebihan
makan. Pada trauma atau sepsis, kebutuhan substrat energi meningkat, memerlukan
kalori yang lebih besar melebihi pengeluaran energi nonprotein yang dihitung (Tabel
2.1). Kebutuhan tambahan kalori nonprotein ini diberikan setelah luka biasanya 1,2-
2,0 kali lebih besar daripada resting energy expenditure (REE) yang dihitung,
tergantung pada jenis cedera.
Untuk mengoreksi katabolisme yang tinggi seperti yang terjadi pascatrauma,
pascabedah, pada infeksi atau sepsis, harus ditambahkan 50% atau lebih dari BEE,
tetapi jangan melebihi 150% BEE.
Kondisi Kkal/kg per day
Perhitungan di atas BEE
Gram Protein/kg per day
Kalori non protein: Nitrogen
Normal/moderate malnutrition 25–30 1.1 1 150:1Mild stress 25–30 1.2 1.2 150:1Moderate stress 30 1.4 1.5 120:1Severe stress 30–35 1.6 2 90–120:1Burns 35–40 2 2.5 90–100:1
Tabel 2.1 Penyesuaian kalori di atas Pengeluaran Energi Basal (BEE) pada kondisi
hipermetabolik.
Tujuan kedua dari nutrisi suportif adalah untuk memenuhi kebutuhan substrat
untuk sintesis protein. Kalori nonprotein yang sesuai: rasio nitrogen 150:1 (misalnya,
1 g N = 6,25 g protein), harus dipertahankan, yang merupakan kebutuhan kalori basal
yang diberikan untuk mencegah penggunaan protein sebagai sumber energi. Sekarang
terdapat bukti yang lebih besar yang menunjukkan bahwa asupan protein meningkat,
dan kalori lebih rendah: nitrogen rasio 80:1 untuk 100:1, yang mungkin memiliki
manfaat penyembuhan pada pasien dengan hipermetabolik dan sakit kritis. Dengan
tidak adanya disfungsi ginjal atau gangguan hati yang berat dapat dugunakan rejimen
gizi standar, sekitar 0,25-0,35 g nitrogen per kilogram berat badan harus disediakan
setiap hari. (1)
Kebutuhan kalori harus dirinci. Karbohidrat sebagai sumber kalori diberikan
tidak lebih dari 6 g/kgBB/hari, bila berlebihan, terjadi hipermetabolisme. Oleh karena
pembatasan penggunaan karbohidrat seperti di atas, lemak digunakan juga sebagai
sumber kalori, sekaligus sebagai sumber asam lemak esensial.
Penderita dengan katabolisme berat, seperti trauma ganda dan luka bakar,
memerlukan nutrisi tinggi protein dan asam amino untuk mengatasi keseimbangan
nitrogen yang negatif. Umumnya diperlukan 1,2-1,5 g protein/kgBB/hari.
Elektrolit dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan elektrolit dan asam basa,
juga untuk metabolisme sel. Unsur Na+, K+, Mg+, Ca+, P+, Cl- sama pentingnya seperti
protein dan kalori dalam proses penggantian sel yang rusak. Vitamin dan unsur runut
(trace element) juga esensial untuk proses metabolisme. Dosis tinggi vitamin tertentu,
seperti vitamin C atau vitamin E, memainkan peranan penting dalam pertahanan
tubuh sebagai antioksidan. Konsentrasi plasma vitamin C dan E telah ditunjukkan
dapat mengurangi pasien sakit berat dengan Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS) dibandingkan dengan sukarelawan yang sehat.
C. Rute Pemberian Nutrisi Suportif
1. Nutrisi Enteral
Nutrisi enteral memberi hasil lebih baik karena prosesnya berlangsung faal.
Nutrisi enteral lebih disukai daripada nutrisi parenteral atas dasar kurangnya biaya
yang harus dikeluarkan dan risiko yang terdapat jika diberikan secara intravena.
Pemberian nutrisi secara enteral telah menghasilkan beberapa manfaat klinis yang
spesifik, termasuk mengurangi kejadian komplikasi infeksi pasca operasi dan
peningkatan respon penyembuhan luka. Nutrisi enteral dapat memiliki efek
menguntungkan lain, termasuk mengubah eksposur antigen dan mempengaruhi
oksigenasi dari mukosa usus. Penelitian lebih lanjut diperlukan pada hal ini untuk
menjelaskan apakah nutrisi enteral benar-benar memodulasi fungsi usus atau apakah
indikasi pemberian gizi enteral tergantung oleh bahwa pasien telah memiliki fungsi
organ tubuh yang sehat kembali.
Pengobatan konvensional setelah reseksi usus biasanya diperlukan puasa
dengan pemberian cairan intravena sampai terjadinya flatus, terutama karena
kekhawatiran terjadinya ileus pasca operasi. Ini didasarkan pada asumsi bahwa
makanan per oral tidak dapat ditoleransi pada ileus dan integritas dari anastomosis
yang baru dibangun dapat mempengaruhinya juga. Namun demikian, motilitas usus
pulih 6-8 jam setelah trauma bedah dan absoprsi tetap ada bahkan ketika tidak adanya
gerak peristaltik normal. Sejak itu telah menunjukkan bahwa pemberian makan
enteral pascaoperasi pada pasien yang menjalani reseksi gastrointestinal aman dan
dapat ditoleransi dengan baik bahkan ketika dimulai dalam waktu 12 jam dari operasi.
Pilihan diet cairan encer untuk diet pertama pascaoperasi berdasarkan teori
bahwa cairan encer lebih mudah ditoleransi daripada cairan yang kental atau makanan
padat pada periode dini pascaoperasi. Alasan lainnya yaitu cairan encer menyediakan
rehidrasi oral dan meminimalkan sekresi pankreas dan gastrointestinal dibandingkan
makanan biasa.
Studi prospektif acak untuk pasien dengan status gizi yang baik (albumin 4 g /
dL) dan menjalani operasi pencernaan tidak menunjukkan perbedaan dalam hasil dan
komplikasi bila diberikan nutrisi enteral dibandingkan dengan pemberian
pemeliharaan infus sendiri pada hari-hari pertama setelah operasi. Selanjutnya, pada
studi permeabilitas usus pada pasien gizi baik yang menjalani operasi kanker
gastrointestinal bagian atas menunjukkan normalisasi permeabilitas usus pada hari
kelima pasca operasi. Pada kasus ekstrem yang lain, meta-analisis terbaru pada pasien
sakit kritis menunjukkan penurunan 44% komplikasi infeksi pada mereka yang
menerima dukungan nutrisi enteral lebih dari mereka yang menerima nutrisi
parenteral. Kebanyakan studi prospektif acak untuk trauma abdomen dan toraks yang
parah menunjukkan penurunan yang signifikan terjadinya komplikasi infeksi untuk
pasien yang diberi nutrisi enteral awal bila dibandingkan dengan mereka yang tidak
diberi makan atau menerima nutrisi parenteral. Selain itu, pemberian makanan ke
lambung sejak awal setelah cedera kepala tertutup sering dihubungkan dengan makan
yang kurang dan defisiensi kalori karena kesulitan mengatasi gastroparesis dan risiko
tinggi terjadinya aspirasi.
Rekomendasi nutrisi enteral dini untuk pasien bedah dengan malnutrisi sedang
(albumin = 2,9-3,5 g / dL) hanya dapat dilakukan oleh penarikan kesimpulan karena
kurangnya data secara langsung berkaitan dengan populasi ini. Untuk pasien ini,
pemberian nutrisi enteral diukur berdasarkan pengeluaran energi dari pemulihan
pasien, atau jika timbul komplikasi yang dapat mengubah rencana pemulihan
(misalnya, kebocoran anastomotic, operasi kembali, sepsis, atau kegagalan untuk
disapih saat menggunakan ventilator). Keadaan klinis lain yang memperkuat nutrisi
suportif enteral dapat digunakan pada penurunan neurologis permanen, disfungsi
orofaringeal, short bowel syndrome, dan pasien transplantasi sumsum tulang.
Diet lengkap berbentuk cairan yang menghasilkan ampas terbatas, biasanya
diberikan melalui pipa lambung, duodenum, atau yeyunum. Makanan dan minuman
yang sudah separuh dicerna ini digunakan untuk orang yang keadaannya payah
karena malnutrisi berat, koma lama, penderita yang sedang menggunakan respirator,
dan penderita sakit berat di ruang rawat intensif.
Diet dasar (elemental diet) mulai dipakai di penerbangan ruang angkasa karena
hampir tidak menghasilkan ampas. Diet ini terdiri atas campuran asam amino,
glukosa, dan trigliserida yang hampir tidak usah dicerna dan langsung diserap. Diet
itu juga dapat diberikan melalui pipa lambung halus pada penderita sindrom usus
pendek, fistel usus, atau penderita radang usus yang parah seperti kolitis ulserosa atau
penyakit Crohn.
Terdapat beberapa teknik yang tersedia untuk akses enteral. Saat ini digunakan
metode dan indikasi pilihan dirangkum dalam tabel 2.2.
Pilihan Akses Komentar
Nasogastric Tube Penggunaan jangka pendek; risiko aspirasi; trauma
nasofaring; sering menyangkut.
Nasoduodenal/nasojejunal Penggunaan jangka pendek; risiko aspirasi rendah pada
jejunum; adanya tantangan dalam menempatkannya
(bantuan radiografi sering diperlukan)
Percutaneous endoscopic gastrostomy (PEG)
Diperlukan keterampilan endoskopi; dapat digunakan untuk
dekompresi lambung atau bolus feed; risiko aspirasi; bisa
bertahan 12-24 bulan; tingkat komplikasi sedikit lebih tinggi
yaitu disebabkan cara penempatan dan kebocoran pada
lokasi penempatan.
Operasi gastrostomy Membutuhkan anestesi umum dan laparotomi kecil;
mungkin dapat dibuat penempatan feeding port duodenum
jejunum yang diperpanjang ; dapat ditempatkan secara
laparoskopik
Gastrostomi fluoroskopi Penempatan jarum dan garpu T sebagai jangkar ke perut;
dapat menyisipkan kateter kecil melalui gastrostomy ke
duodenum / jejunum menggunakan fluoroskopi
PEG-jejunal tube Ditempatkan pada jejunum dengan endoskopi biasa yang
tergantung pada keahlian operator; jejunum sering
tersangkut retrograde; prosedur dua tahap dengan
penempatan PEG, diikuti dengan konversi fluoroskopi
dengan tabung pengisi jejunum melalui PEG
Direct percutaneous
endoscopic jejunostomy
(DPEJ)
Menempatkan melalui endoskopik langsung dengan
enteroscope; adanya tantangan dalam penempatan; risiko
cedera lebih besar
Operasi Jejunostomi Umumnya diterapkan saat laparotomi; anestesi umum;
penempatan ilaparoskopi biasanya membutuhkan asisten
untuk penyisipan kateter; laparoskopi menawarkan
visualisasi langsung dari penempatan kateter
Fluoroscopic jejunostomy Pendekatannya sulit dengan risiko cedera; tidak umum
dilakukan
Tabel 2.2 Beberapa pilihan untuk akses pemberian makan secara enteral.
2. Nutrisi Parenteral
Nutrisi parenteral hanya diberikan bila nutrisi enteral tak dapat dilakukan,
contoh pada kasus kelainan gastrointestinal sedemikian berat sehingga fungsi digesti
dan absorbsi terganggu.
Nutrisi Cara Pemberian Contoh Indikasi
Makanan cair Oral Obstruksi esophagus, patah tulang rahang
Diet khusus
Tinggi kalori protein
Lengkap cair
Diet dasar
Parenteral total
Oral
Oral/Parenteral
Oral/enteral
Oral/Parenteral
Parenteral
Diabetes, kolelitiasis, obstipasi, obesitas
Malnutrisi kronis
Malnutrisi, respirasi buatan, koma yang
lama, perawatan intensif
Penerbangan ruang angkasa, fistel usus,
ileus, morbus Crohn, colitis
Fistel, short bowel syndrome, kolitis
Tabel 2.3 Diet dan nutrisi khusus.
Nutrisi parenteral total terdiri atas nutrisi intravena yang mengandung semua
nutrien yang diperlukan. Nutrisi ini dipakai pada penderita dengan ileus lama atau
fistel usus. Nutrisi parenteral total ini melalui vena sentral, sebaiknya ujung kateter
berada di vena kava superior. Pada ketiga cara khusus di atas, yaitu diet lengkap cair,
diet dasar, dan diet parenteral total, diperlukan formula nutrisi khusus sehingga
pencernaan dapat berlangsung sempurna.
Sebuah uji klinis besar multicentre tidak menunjukkan penurunan yang
signifikan dalam morbiditas atau kematian ketika Total Parenteral Nutrition (TPN)
perioperatif diberikan kepada sekelompok pasien bedah yang heterogen. Stratifikasi
pasien dalam percobaan ini yang disesuaikan dengan status gizi menunjukkan bahwa
pasien dengan gizi buruk ringan tidak memiliki manfaat dari pemberian TPN tetapi
lebih banyak terjadi komplikasi infeksi. Hal ini menyebabkan para peneliti
menyimpulkan bahwa TPN perioperatif harus dibatasi pada pasien dengan malnutrisi
berat tanpa adanya indikasi spesifik lainnya. Studi berikutnya difokuskan terutama
pada pasien malnutrisi parah dengan keganasan gastrointestinal. Pasien ini telah
menunjukkan secara klinis mengalami penurunan yang signifikan, baik pada
komplikasi infeksi maupun noninfeksi ketika diberi makan secara parenteral selama
minimal sepuluh hari sebelum dioperasi. Penelitian terbaru yang dianalisa dengan
kualitas metodologi yang lebih baik hanya menunjukkan manfaat sedikit daripada
studi sebelumnya. Studi tersebut hanya menunjukkan kecenderungan penurunan
angka komplikasi pada pasien malnutrisi.
Di bawah ini merupakan situasi di mana nutrisi parenteral telah digunakan
dalam upaya untuk mencapai tujuannya:
1. Bayi baru lahir dengan anomali pencernaan gastrointestinal, seperti fistula
trakeoesofagus, gastroschisis, omphalocele atau atresia usus besar.
2. Bayi yang gagal berkembang karena kekurangan pencernaan disebabkan
dengan short bowel syndrome, malabsorpsi, defisiensi enzim, ileus mekonium,
atau diare idiopatik.
3. Pasien dewasa dengan short bowel syndrome sekunder disebabkan reseksi usus
halus yang luas (<100 cm tanpa usus atau katup ileocecal, atau <50 cm dengan
katup ileocecal utuh dan usus besar).
4. Enteroenteric, enterocolic, enterovesical, atau fistula enterocutaneous dengan
output yang tinggi (> 500 mL/hari).
5. Pasien operasi dengan ileus paralitik berkepanjangan setelah operasi besar (> 7
- 10 hari), luka multipel, trauma tumpul atau perut terbuka, atau pasien dengan
refleks ileus yang rumit dengan berbagai penyakit medis.
6. Pasien dengan panjang usus normal, tetapi terdapat malabsorpsi sekunder
meliputi sariawan, hypoproteinemia, insufisiensi enzim atau pankreas, enteritis
regional, atau kolitis ulserativa.
7. Dewasa pasien dengan gangguan pencernaan fungsional seperti esofageal
diskinesia setelah kecelakaan serebrovaskular, diare idiopatik, muntah
psikogenik, atau anorexia nervosa.
8. Pasien dengan kolitis granulomatosa, kolitis ulseratif, dan enteritis TB, di mana
bagian-bagian utama dari mukosa absorptif terserang penyakit.
9. Pasien dengan keganasan, dengan atau tanpa cachexia, di antaranya gizi buruk
mungkin membahayakan keberhasilan cara pemberian pilihan terapeutik.
10. Gagal untuk mencoba memberikan kalori yang memadai dengan tabung enteral
atau terdapat sisa residu yang tinggi.
11. Pasien sakit kritis yang hipermetabolik selama lebih dari 5 hari.
Kondisi kontraindikasi diberikannya nutrisi parenteral meliputi:
1. Kurangnya tujuan khusus dari manajemen pasien, atau pada kasus yang bukan
untuk memperpanjang hidup yang bermakna.
2. Periode ketidakstabilan hemodinamik atau kekacauan metabolis yang parah
(misalnya, hiperglikemia berat, azotemia, ensefalopati, hyperosmolality, dan
gangguan cairan elektrolit) membutuhkan kontrol atau koreksi terlebih dahulu
sebelum mencoba pemberian infus yang hipertonik.
3. Pasien layak untuk makan melalui saluran pencernaan, pada sebagian besar
kasus, ini adalah jalan terbaik yang digunakan untuk memberikan gizi.
4. Pasien dengan status gizi yang baik.
5. Bayi dengan usus halus kurang dari 8 cm, ketika bayi tidak mampu beradaptasi
meskipun dengan pemberian gizi parenteral.
6. Pasien yang dengan cara berfikir yang ireversibel atau tidak manusiawi.
3. Rute Nutrisi Enteral Banding Parenteral
Setiap rute pemberian nutrisi suportif berhubungan dengan komplikasi yang
berbeda-beda. Umumnya, komplikasi yang terkait dengan nutrisi parenteral
berhubungan dengan morbiditas yang lebih besar daripada nutrisi enteral karena sifat
invasif dari cara pemberiannya. Rute cara pemberian juga memiliki efek pada fungsi
organ, terutama saluran usus. Substrat makanan yang diberikan oleh rute enteral lebih
baik dimanfaatkan oleh usus daripada diberikan pemberian nutrisi secara parenteral.
Selain itu, pemberian nutrisi secara enteral bila dibandingkan dengan solusi TPN
dapat mencegah atrofi mukosa gastrointestinal, melemahkan respon trauma stres,
menjaga imunokompetensi dan melestarikan flora usus normal.
Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah bahwa rute enteral harus
digunakan sedapat mungkin, tetapi jika rute pemberian secara enteral tidak dapat
dilakukan lebih dari 1 (satu) minggu maka pemberian TPN yang dini harus
dipertimbangkan.
Jadi, pertama-tama harus diusahakan agar pasien bisa makan melalui mulut
dalam bentuk makanan lunak atau makanan cair. Bila ini tidak berhasil, nutrisi enteral
dapat diberikan melalui pipa lambung melalui hidung (nasogastric tube), atau bila
perlu, sonde dapat dimasukkan lebih dalam lagi sampai ke duodenum, bahkan bagian
proksimal yeyunum. Kadang-kadang makanan ini perlu diberikan melalui sonde
gastrostomi atau yeyunostomi. Nutrisi parenteral dapat diberikan sebagai tambahan
bila nutrisi enteral tidak memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
Komplikasi nutrisi enteral, antara lain aspirasi, muntah, diare, salah letak pipa,
sedangkan komplikasi nutrisi parenteral serupa dengan masalah kateter vena, seperti
salah letak, menembus vena, atau tersumbat. Penyulit lain ialah tromboflebitis,
infeksi dan sepsis umum, serta gangguan metabolikyang bisa terjadi karena
pemberian cairan terlalu cepat.
4. Nutrisi Perioperatif
Banyak penelitian meneliti nutrisi suportif preoperatif dan postoperatif, meskipun
hasilnya terdapat banyak konflik. Masalah utama dari data-data tersebut ialah
pengambilan pasien yang tidak mempunyai resiko terhadap komplikasi yang
berkaitan dengan nutrisi. Terutama ketika nutrisi perenteral pada lengan dimasukkan,
hasil sering menunjukkan peningkatan komplikasi septik pada pasien yang
mendapatkan nutrisi parenteral yang seharusnya tidak perlu mendapatkan keadaan
yang penyulit seperti ini. Contoh klasik adalah Veterans Affairs Cooperive Study,
yang secara acak memilih pasien pra operasi bedah untuk diberikan nutrisi parenteral
selama 7 sampai 15 hari sebelum operasi atau untuk kelompok kontrol dengan akses
gratis untuk diet. Jumlah nutrisi parenteral yang diberikan dalam studi melebihi
rekomendasi saat ini, dan ini memperburuk efek negatif. Secara keseluruhan, saat itu
terjadi pengurangan komplikasi penyembuhan (luka terbuka, anastomosis luka yang
tidak adekuat, pembentukan fistula) pada kelompok nutrisi parenteral, tetapi terjadi
peningkatan komplikasi infeksi secara signifikan, terutama pneumonia. Setelah
stratifikasi disesuaikan dengan tingkat gizi buruk yang sudah ada sebelumnya, sangat
jelas manfaat nutrisi parenteral pada pasien gizi buruk, dengan pengurangan yang
signifikan dalam penyembuhan komplikasi dan tidak ada kenaikan (dan penurunan
beberapa) pada komplikasi infeksi.
Dalam percobaan gizi perioperatif, hampir semua percobaan dengan hasil negatif
atau efek negatif dari gizi terjadi pada sebagian besar pasien dengan gizi yang baik.
Namun, percobaan yang menyertakan sejumlah besar pasien malnutrisi menunjukkan
manfaat yang signifikan dengan nutrisi perioperatif. Orang bisa menyimpulkan
bahwa pasien dengan gizi yang baik-yang teridentifikasi setelah anamnesis riwayat
dan pemeriksaan fisik - tidak mungkin untuk mendapatkan manfaat preoperatif baik
menggunakan nutrisi parenteral meupun makanan enteral. Namun, jika pasien
memiliki defisiensi gizi yang sudah ada sebelumnya, terdapat data-data yang
mendukung penggunaan nutrisi suportif di awal sebelum operasi dan/atau periode
pasca operasi.
5. Monitoring Terapi Nutrisi Suportif
Status cairan harus dievaluasi setiap hari pada pasien sakit kritis. Formulasi
nutrisi parenteral harus terkonsentrasi dan natrium harus dikurangi saat berat badan
pasien tiba-tiba meningkat 1-2 kg dalam 24 jam. Laboratorium untuk pengukuran
glukosa, natrium, kalium, status asam-basa, dan fungsi ginjal harus dilakukan setiap
hari, sedangkan pengukuran untuk kalsium, fosfor, dan magnesium harus dilakukan
setidaknya tiga kali seminggu. Konsentrasi trigliserida, tes fungsi hati, hitung darah
lengkap dengan diferensial, waktu prothrombin, dan waktu tromboplastin harus
dinilai mingguan selama fase akut cedera pada populasi pasien ini.
Keseimbangan nitrogen dapat dihitung setelah pengumpulan urin 24 jam untuk
volume dan urea nitrogen yang digunakan untuk menentukan beratnya katabolisme.
Keseimbangan nitrogen didefinisikan sebagai perbedaan antara asupan nitrogen dan
ekskresi nitrogen. Pasien yang memiliki cedera tulang belakang atau kepala berat
akan tetap berada dalam keseimbangan nitrogen negatif bahkan ketika diberikan dosis
protein 2 g/kg/hari disebabkan atrofi disuse. Keseimbangan nitrogen, atau
keseimbangan nol nitrogen, dapat terjadi pada pasien stress, sehat sebelumnya, dan
pasien bedah yang muda.
Konsentrasi protein serum dapat digunakan sebagai ukuran status gizi karena
kenaikan konsentrasi protein tertentu dapat mencerminkan terjadinya anabolisme
protein. Konsentrasi serum albumin merupakan penanda protein yang paling umum
digunakan untuk menilai status gizi. Namun, albumin merupakan penanda yang
buruk untuk menilai status gizi pada pasien sakit kritis karena konsentrasinya cepat
menurun jika terjadi stres atau luka akibat redistribusi dari ruang intravaskuler ke
ruang interstisial, dan karena waktu paruh hidupnya yang panjang (<21 hari). Serum
protein lain, seperti prealbumin dan TFN, lebih sensitif terhadap pemberian nutrisi
suportif karena waktu paruh hidupnya yang lebih pendek yaitu 2 dan 7 hari, masing-
masing. Penilaian kombinasi dengan C Reactive Protein (CRP) dapat
dipertimbangkan karena protein ini merupakan protein serum jangka pendek. CRP
diakui sebagai protein fase akut yang positif, dan sintesisnya meningkat selama
inflamasi dan stres. Jika terjadi peningkatan konsentrasi CRP dan serum prealbumin
tiba-tiba menurun, ini mungkin menandakan adanya suatu kondisi inflamasi yang
mendasari daripada terjadinya penurunan status gizi. Namun, gabungan prealbumin
rendah dan konsentrasi CRP dapat mencerminkan kalori atau protein yang tersedia
tidak memadai. Hal-hal ini merupakan prinsip-prinsip dasar yang bisa digunakan
untuk membantu klinisi dalam membuat penyesuaian yang diperlukan dalam
membuat rejimen gizi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. F. Charles B., Dana K. Anderson, Timothy R. Billiar, David L. Dunn, John G.
hunter, Raphael E. Pollock. Chapter 1. Systemic Response to Injury and Metabolic
Support In: E Book Schwartz's Principles Of Surgery. United States: The McGraw-
Hill Companies. 2007.
2. I Dewa Nyoman S dan Bachyar Bakri. Penilaian Status Gizi, Jakarta: Buku
Kedokteran EGC. 2002.
3. Josef E. Fischer, Justin A. Maykel, and Nicholas E. Tawa JR. Chapter 7 -
Metabolism in Surgical Patients In: Sabiston Textbook of Surgery, 17th edition.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2004.
4. Kate Willcutts and Kelly O'Donnell. Surgical Diets In: Clinical Nutrition In
Surgical Patient. Canada: Jones and Bartlett Publishers. 2008.
5. Kenneth A. Kudsk, Gordon S. Sacks. Nutrition in the Care of the Patient with
Surgery, Trauma, and Sepsis In: Modern Nutrition in Health and Disease, 10th
Edition. New York: Lippincott Williams & Wilkins. 2006.
6. Soekirman. Ilmu Gizi dan Aplikasinya, Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi. 2000.
7. Widjseno-Gardjito. Persiapan Prabedah In: Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta:
EGC. 2005.