refarat test garpu tala

Upload: andi-tenri-maya

Post on 18-Jul-2015

538 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

TES GARPU TALA

I.

PENDAHULUAN Seseorang dapat mendengar melalui getaran yang dialirkan melalui udara

atau tulang langsung ke koklea. Aliran suara melalui udara lebih baik dibandingkan dengan aliran suara melalui tulang.1 Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji pendengaran yaitu gangguan konduktif, gangguan sensorineural dan gabungan keduanya atau tipe campuran. Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif, sedangkan gangguan telinga dalam dapat menyebabkan tuli sensorineural yaitu lesi pada koklea, nervus VIII dan di pusat pendengaran. Sedangkan pada tuli campuran dapat merupakan suatu penyakit, misalnya radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang berlainan, misalnya tumor nervus VIII dengan radang telinga tengah.THT, boies, dhingra disease

Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui udara dan tulang dengan memakai garpu tala atau audiometer nada murni. Tes penala atau garpu tala merupakan tes kualitatif yaitu menilai jenis gangguan pendengaran. 1,3 THT, Dhingra Tes ini dilakukan dengan garpu tala dengan frekuensi yang berbeda seperti 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, dan 2048 Hz, tetapi untuk praktek klinis digunakan garpu tala 512 Hz karena penggunaan garpu tala ini tidak terlalu dipengaruhi suara bising disekitarnya. 1,4THT, bull color atlas

1

Conductive sensorineural

Cochlear

Retrocochlear

Gambar 1. Gangguan pendengaran konduktif dan sensorineural. color atlas

II.

ANATOMI

Gambar 2. Anatomi telinga

Telinga adalah organ pendengaran. Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam.THT,

2

1. Telinga luar terdiri atas aurikel atau pinna dan kanalis auditori eksternus sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Kanalis auditori eksternus berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada seperti bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2- 3 cm. 2. Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas: Batas luar Batas depan Batas bawah : membran timpani : tuba eustachius : vena jugularis (bulbus jugularis)

Batas belakang : aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis. Batas atas Batas dalam : tegmen timpani : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis

semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong, tingkap bundar, dan promontorium. 3. Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibulir yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli. Kanalis semisirkularis saling

berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran secara tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media

berisi endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Hal ini penting untuk untuk pendengaran. Dasar skla ventibuli disebut sebagai membran vestibule ( Reissners membran) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ Corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti.

3

III.

FISIOLOGI PENDENGARAN Telinga terdiri dari tiga bagian yaitu telinga luar, tengah, dan dalam. Bagian

luar dan tengah telinga menyalurkan gelombang suara dari udara ke telinga dalam yang berisi cairan, untuk memperkuat energi suara dalam proses tersebut. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong endolimfe, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel sel rambut, sehingga kanal ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensi aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39 - 40 ) di lobus temporalis.THT, sherwood 1,5

IV. JENIS TES GARPU TALA Satu perangkat garpu tala yang memberikan skala pendengaran dari frekuensi rendah hingga tinggi akan memudahkan survei kepekaan pendengaran. Perangkat yang lazim mengambil beberapa sampel nada C dari skala musik yaitu 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, dan 2048 Hz.. Hz adalah singkatan dari hertz yang merupakan istilah kontemporer dari siklus per detik sebagai satuan frekuensi. Semakin tinggi frekuensi, makin tinggi pula nadanya. Dengan mambatasi survei pada frekuensi bicara, maka frekuensi 512, 1024 dan 2048 Hz yang biasanya memadai. 1,2THT, boies

4

Gambar 3. Garpu tala (Indiana jones) Sebuah garpu tala digetarkan dengan cara memukul dengan lembut pada siku pemeriksa, tumit tangan atau tumit karet sepatu. Untuk

menguji konduksi udara, garpu tala yang bergetar ditempatkan secara vertikal, sekitar 2 cm dari kanalis auditori eksternus. Gelombang suara ditransmisikan melalui membran timpani, telinga tengah dan ossikula ke telinga bagian dalam. Jadi pada tes konduksi udara ini, dapat dinilai fungsi mekanisme konduksi dan koklea. Biasanya, mendengar melalui konduksi udara lebih keras dan dua kali lebih lama disbanding melalui jalur konduksi tulang. 3,6 dhingra, probst Garpu besar. Untuk tala harus memiliki dasar yang luas dengan area permukaan menguji konduksi tulang, pangkal garpu tala yang bergetar

diletakkan dengan kuat pada tulang mastoid. Koklea dirangsang secara langsung oleh konduksi getaran yang melalui tulang tengkorak. Dengan demikian, konduksi tulang adalah untuk mengetahui fungsi koklea saja.3dhingra Terdapat berbagai macam tes garpu tala yaitu : 1. Tes batas atas & batas bawah. Tujuan melakukan tes batas atas & batas bawah yaitu agar kita dapat menentukan frekuensi garpu tala yang dapat didengar pasien dengan hantaran

5

udara pada intensitas ambang normal. (Rahmawati.A. PEMERIKSAAN FUNGSI PENDENGARAN PADA SENSORINEURAL HEARING LOSS.available from : www.fkumycase.com cited February 13, 2012) ( Prof. Dr. dr. Sardjono

Soedjak, MHPEd, Sp.THT, dr. Sri Rukmini, Sp.THT, dr. Sri Herawati, Sp.THT & dr. Sri Sukesi, Sp.THT. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung & Tenggorok. Jakarta : EGC. 2000) Cara pemeriksaan : Semua garpu tala (dapat dimulai dari frekuensi terendah berurutan sampai frekuensi tertinggi atau sebaliknya) dibunyikan satu persatu, dengan cara dipegang tangkainya kemudian kedua ujung kakinya dibunyikan dengan lunak (dipetik dengan ujung jari/kuku, didengarkan terlebih dulu oleh pemeriksa sampai bunyi hampir hilang untuk mencapai intensitas bunyi yang terendah bagi orang normal/nilai ambang normal, kemudian diperdengarkan pada penderita dengan meletakkan garpu tala di dekat meatus akustikus eksterna (MAE) pada jarak 1-2 cm dalam posis tegak dan 2 kaki pada garis yang menghubungkan MAE kanan dan kiri. ( Prof. Dr. dr. Sardjono Soedjak, MHPEd, Sp.THT, dr. Sri Rukmini, Sp.THT, dr. Sri Herawati, Sp.THT & dr. Sri Sukesi, Sp.THT. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung & Tenggorok. Jakarta : EGC. 2000) Ada 3 interpretasi dari hasil tes batas atas & batas bawah yang kita lakukan, yaitu : a. Normal. Jika pasien dapat mendengar garpu tala pada semua frekuensi. b. Tuli konduktif. Batas bawah naik dimana pasien tidak dapat mendengar bunyi berfrekuensi rendah. c. Tuli sensorineural. Batas atas turun dimana pasien tidak dapat mendengar bunyi berfrekuensi tinggi.

6

Kesalahan interpretasi dapat terjadi jika kita membunyikan garpu tala terlalu keras sehingga kita tidak dapat mendeteksi pada frekuensi berapa pasien tidak mampu lagi mendengar bunyi.teknik pmeriksaan 2. Tes Rinne Tes Rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa. 1,7 Cara pemeriksaan: a. Garpu tala frekuensi 512 Hz digetarkan, tangkainya diletakkan tegak lurus pada planum mastoid penderita (posterior dari MAE), setelah tidak terdengar garpu tala dipindahkan ke depan meatus kira - kira 2 cm. 1,7 b. Bunyikan garpu tala frekuensi 512 Hz, kemudian diletakkan pada planum mastoid, kemudian segera dipindah di depan MAE, penderita ditanya mana yang lebih keras. Bila lebih keras di depan disebut Rinne positif, bila lebih keras di belakang Rinne negatif.

gambar 4. Tes Rinne 4 Interpretasi : 1,3,7 a. Bila masih terdengar disebut Rinne positif (+). Artinya konduksi udara lebih panjang atau lebih keras dibanding dengan konduksi tulang. Hal ini terlihat pada orang normal atau mereka yang memilki tuli sensorineural. b. Bila tidak terdengar disebut Rinne negatif (-). Artinya konduksi tulang lebih dari konduksi udara. Hal ini terlihat pada tuli konduktif. Sebuah Rinne negarif menunjukkan celah udara-tulang minimal 15-20 dB.

7

Gambar 5. Interpretasi tes Rinne6

Kadang-kadang terjadi false Rinne (pseudo positif atau pseudo negatif) yang terjadi bila stimulus bunyi ditangkap oleh telinga yang tidak di tes, pendengarannya jauh lebih baik daripada yang di tes. pemeriksaan THT Kesalahan :pemeriksaan THT Garpu tala yang diletakkan dengan baik pada mastoid atau miring, terkena rambut, jaringan lemak tebal sehingga penderita tidak mendengar atau getaran terhenti karena kaki garpu tala tersentuh aurikulum. Penderita terlambat memberi isyarat waktu garpu tala sudah tidak terdengar lagi, sehingga waktu dipindahkan di depan MAE getaran garpu tala sudah berhenti.

3. Tes Weber Tes Weber lebih sensitif dari tes Rinne. Tujuan dari tes ini adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga penderita. Garpu tala diletakkan pada dahi dan gelombang suara ditransmisikan pada kedua telinga melalui tulang. Tuli konduksi pada salah satu telinga akan menyebabkan suara terdengar pada telinga yang sakit. Pada tuli sensorineural, suara akan terdengar pada sisi yang sebaliknya. 2,8 Uji Weber sangat bermanfaat pada kasus-kasus gangguan unilateral, namun dapat meragukan bila terdapat gangguan konduktif maupun sensorineural (campuran), atau bila hanya menggunakan penala frekuensi tunggal. Klinisi harus

8

melakukan uji Weber bersama uji lainnya dan tidak boleh diinterpretasikan secara tersendiri. 2 Cara pemeriksaan: Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan pada garis tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, ditengah tengah gigi seri atau di dagu). Penderita diminta untuk menunjukkan telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras. Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi.1,7, teknik pemeriksaan

Gambar 6. Para Weber uji. Interpretasi :6

4

1. Ketika pendengaran normal, getaran dirasakan sama pada kedua sisi dan demikian pula suara juga terdengar diantara telinga. Pada tes abnormal, suara akan mengalami lateralisasi pada satu sisi atau lainnya. 2. Pada pasien dengan gangguan sensorineural, akan terjadi lateralisasi pada telinga yang lebih baik. 3. Pada pasien dengan gangguan konduktif, lateralisasi pada telinga yang sakit karena energi getaran kurang baik ditransmisikan dari koklea sampai telinga tengah dan sehingga suara sulit menjangkau koklea.

9

Gambar 7 . Interpretasi tes Weber 6

Karena menilai kedua telinga sekaligus maka kemungkinannya dapat lebih dari satu. pemeriksaan THT Contoh: lateralisasi ke kanan dapat di interpretasikan : pemeriksaan THT a. Tuli konduksi kanan dan telinga kiri normal. b. Tuli konduksi kanan dan kiri, tetapi kanan lebih berat. c. Tuli sensorineural kiri, telinga kanan normal. d. Tuli sensorineural kanan dan kiri tetapi kiri lebih berat. e. Tuli konduksi kanan dan sensori neural kiri.

4. Tes Schwabach Tes Schwabach membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal. Pemeriksaan tht, fkumycase, Cara pemeriksaan : Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. 1

10

Gambar. Tes Schwabach indiana Interpretasi : 1 a. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut Scwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu pelana diletakkan pada prosessus mastoideus pemeriksa lebih dulu. b. Bila pasien masih dapat mendengar bunyi disebut Scwabach memanjang. c. Bila pasien dan pemeriksa sama-sama mendengarnya disebut dengan Scwabach sama dengan pemeriksa.

5. Tes Bing ( Tes oklusi ) Tes Bing adalah aplikasi dari apa yang disebut sebagai efek oklusi, dimana penala terdengar lebih keras bila telinga normal ditutup. Bila liang telinga ditutup dan dibuka bergantian saat penala yang bergetar ditempelkan pada mastoid, maka telinga normal akan menangkap bunyi yang mengeras dan melemah ( Bing positif). 2 Cara pemeriksaan : Tragus telinga ditekan sampai menutup liang telinga, sehingga terdapat tuli konduktif kira kira 30 dB. Penala digetarkan dan diletakkan pada pertengahan kepala ( seperti pada tes Weber ). 1,2

11

Interpretasi: 1,2 a. Bila terdapat lateralisasi ke telinga yang ditutup ( Bing positif), berarti telinga tersebut normal. b. Bila bunyi pada telinga yang ditutup tidak bertambah keras (Bing negatif), berarti telinga tersebut menderita tuli konduktif. c. Bila terdapat lateralisasi ke telinga yang ditutup ( Bing positif), berarti telinga tersebut bisa terjadi gangguan sensorineural.

Gambar 8. Tes Bing 4

12

DAFTAR PUSTAKA

1. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran (Tuli). Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.Ed.6. Jakarta: FKUI hal.10-22 2. Iassman FM, Levina SC, Greenfield DG. Audiologi. Dalam BOIES Buku Ajar Penyakit THT edisi 6, Adams Boies Higler. Jakarta:EGC, 1997. Hal.47-49 3. Dhingra,P.L. Disease of Ear, Nose, and Throat 4th edition. Elseiver. P.22-8 4. Bull. TR. Color Atlas of ENT Diagnosis 4th edition revised and expanded. New York:Thieme Stuttgart, 2003. P. 10-1 5. Sherwood.L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 2. Jakarta: EGC. 2001 hal.176-182 6. Probst.R. Grevers.G.Iro.H. Basic Otorhinolaryngology : Thieme,2006. p.167-9 7. Bull. PD. Lecture Notes on Disease of Ear, Nose and Throat ninth edition. USA:Blackwell Science,2002. p.7-11 8. Dhillon.RS. East. CA. An Ilustrared Colour Text Ear, Nose, and Throat and Head and Neck Surgery Second Edition. New York: Churchill Livingstone. 2000. p.3

13