refarat asma bronkial

Upload: monazzt-asshagab

Post on 07-Mar-2016

25 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

asma

TRANSCRIPT

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAMFAKULTAS KEDOKTERAN

REFERATNOVEMBER 2013UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

ASMA BRONKIAL

OLEH :ADHYATMAN10542 0060 09

PEMBIMBING KONSULEN :dr. FAISAL SALEH, Sp.PD FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU PENYAKIT DALAMFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUHAMMDIYAH MAKASSAR2013

23

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangAsma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa.[1]Asma bronkial merupakan kelainan saluran napas kronik yang merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia. Penyakit ini dapat terjadi pada berbagai usia, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam dekade terakhir ini prevalensi asma bronkial cenderung meningkat, sehingga masalah penanggulangan asma menjadi masalah yang menarik.[2]Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas atau dapat juga bersifat menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan sehari-hari.1 Asma menyebabkan kehilangan hari kerja pada 34% penderita dewasa di Asia, 25% di Amerika dan 17% di Eropa. Asma pada anak di Amerika Serikat menyebabkan kehilangan hari sekolah sekitar 40%, 34% di Eropa dan 16% di Asia.2 Produktivitas menurun akibat mangkir dari kerja ataupun sekolah dan menimbulkan disability (kecacatan) sehingga menurunkan kualitas hidup.[3]Meskipun asma telah dikenal sejak ribuan tahun yang lalu. Para ahli masih belum sepakat mengenai definisi penyakit tersebut. Dari waktu ke waktu definisi asma terus mengalami perubahan. Definisi asma ternyata tidak mempermudah membuat diagnosis asma, sehingga secara praktis para ahli berpendapat: asma adalah penyakit paru dengan karakteristik: 1). Obstruksi saluran napas yang reversibel; 2). Inflamasi saluran napas; 3). Peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hiperaktivitas).[4]

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Definisi Asma adalah penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat penyempitan saluran napas yang sifatnya reversibel (penyempitan dapat hilang dengan sendirinya) yang ditandai oleh episode obstruksi pernapasan diantara dua interval asimtomatik.[5]Asma adalah penyakit pernapasan obstruksi yang ditandai inflamasi saluran napas dan spasme akut otot polos bronkiolus. Kondisi ini menyebabkan produksi mukus yang berlebihan dan menumpuk, penyumbatan aliran udara, dan penurunan ventilasi alveolus.[6]B. Epidemiologi Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD(6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%.[1]Pada negara berkembang prevalensi asma lebih rendah daripada negara maju namun peningkatan urbanisasi diperkirakan berhubungan dengan peningkatan prevalensi asma di negara berkembang. Asma termasuk sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia. Hal itu tergambar dari data studi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Pada SKRT tahun 1992 asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995 prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.1 Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2008, angka kejadian asma di Provinsi Riau sebesar 3,3%.[3]Penelitian epidemiologi di berbagai negara mengenai prevalensi asma menunjukkan angka yang sangat bervariasi, di Skandinavia 0,7-1,8%; Norwegia 0,9- 2,0%; Finlandia 0,7-0,8%; Inggris 1,6-5,1%; Australia 5,4-7,4%, India 0,2%; Jepang 0,7%; Barbados 1,1%4). Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 8-10% pada anak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50%5). Penelitian prevalensi asma di Australia 1982-1992 yang didasarkan kepada data atopi atau mengi menunjukkan kenaikan prevalensi asma akut di daearah lembah (Belmont) dari 4,4% (1982) menjadi 11,9% (1992), dari daerah perifer yang kering adalah sebesar 0,5% dari 215 anak dengan bakat atopi sebesar 20,5% dan mengi 2%6). Beberapa survei menunjukkan bahwa penyakit asma menyebabkan hilangnya 16% hari sekolah pada anak-anak di Asia, 43% anak-anak di Eropa, dan 40% hari pada anak-anak di Amerika Serikat.[7]

C. ETIOLOGIWalaupun prevalensi kejadian asma pada populasi tidak kecil, yaitu 3 5%, etiologi asma belum dapat ditetapkan dengan pasti. Tampaknya terdapat hubungan antara asma dengan alergi. Pada sebagian besar penderita asma, ditemukan riwayat alergi, selain itu serangan asmanya juga sering dipicu oleh pemajanan terhadap alergen. Pada pasien yang mempunyai komponen alergi, jika ditelusuri ternyata sering terdapat riwayat asma atau alergi pada keluarganya. Hal ini menimbulkan pendapat bahwa terdapat faktor genetik yang menyebabkan seseorang menderita asma. Faktor genetik yang diturunkan adalah kecendrungan memproduksi antibodi jenis IgE yang berlebihan.[5] Asma terjadi pada individu tertentu yang berespon secara agresif terhadap berbagai jenis iritan di jalan napas. Faktor risiko untuk salah satu jenis gangguan hiper responsif ini adalah riwayat asma atau alergi dalam keluarga, yang mengisyaratkan adanya kecendrungan genetik. Pajanan yang berulang atau terus menerus terhadap beberapa rangsangan iritan, kemungkinan pada masa penting perkembangan, juga dapat meningkatkan risiko penyakit ini. Meskipun kebanyakan kasus asma didiagnosis pada masa kanak kanak, pada saat dewasa dapat menderita asma tanpa riwayat penyakit sebelumnya. Stimulasi pada asma awitan dewasa seringkali terjadi dikaitkan dengan riwayat alergi yang memburuk. Infeksi pernapasan atas yang berulang juga dapat memicu asma awitan dewasa, seperti yang dapat terjadi akibat pajanan okupasional terhadap debu di lingkungan kerja.[6]D. PATOGENESISSampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti, namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan respon saluran napas yang berlebihan.Asma sebagai penyakit inflamasiInflamasi ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) dan rubor (kemerahan karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan sensoris), dan functio laesa (fungsi yang terganggu). Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa membedakan penyebabnya baik yang alergik maupun non alergik.Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non alergik dijumpai adanya inflamasi dan hiperaktivitas saluran napas. Oleh karena itu paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur imunologis yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen kedalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells = sel penyaji), untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T penolong). Sel T penolong inilah yang akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin agar sel sel plasma membentuk IgE, serta sel sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrin (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX) dan lain lain akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding vaskuler, edema saluran napas, infiltrasi sel sel radang, sekresi mukus dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hiperaktivitas saluran napas (HSN). Jalur non alergik selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN.Hiperaktivitas saluran napas (HSN)Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran napas pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia (histamin, metakolin), dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik, selain peka terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga sangat peka terhadap alergen yang spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat. Berbagai keadaan dapat meningkatkan hiperaktivitas saluran napas seseorang yaitu: Inflamasi saluran napas. Sel sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan terbukti berkaitan derat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh fakta bahwa intervensi pengobatan dengan anti inflamasi dapat menurunkan derajat HSN dan gejala asma.Kerusakan epitel. Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan iritasi ujung ujung saraf autonom sering lebih mudah terangsang. Sel sel epitel bronkus sendiri sebenarnya mengandung mediator yang dapat bersifat sebagai bronkodilator. Kerusakan sel sel epitel bronkus akan mengakibatkan bronkokonstriksi lebih muda terjadi.Mekanisme neurologis. Pada pasien asma terdapat peningkatan respon saraf parasimpatis. Gangguan intrinsik. Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada saluran napas diduga berperan pada HSN. Obstruksi saluran napas. Meskipun bukan faktor utama. Obstruksi saluran napas diduga ikut berperan pada HSN.[4]E. GAMBARAN KLINISGambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang kadang purulen. Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan cuaca.Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya.[4]Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi mengi (wheezing), batuk yang disertai serangan sesak napas yang kumat kumatan. Pada beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat dan sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin meningkat atau tiba tiba menjadi lebih berat. Sedangkan pada sebagian besar penderita keluhan utama ialah sukar bernapas disertai rasa tidak enak di daerah retrosternal. Mengi (wheezing) terdengar terutama waktu ekspirasi.[8] F. DIAGNOSIS Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi (wheezing), atau rasa berat di dada. Tetapi kadang kadang pasien hanya mengeluh batuk batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Gejala asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi pada musim tertentu. Dengan mengetahui faktor pencetus, kemudian menghindarinya, maka diharapkan gejala asma dapat di cegah.Faktor faktor pencetus pada asma yaitu : 1. Infeksi virus saluran napas : influenza2. Pemajanan terhadap alergen tungau, debu rumah, bulu binatang3. Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi4. Kegiatan jasmani : lari5. Ekspresi emosional takut, marah, frustasi6. Obat obat aspirin, penyekat beta, anti inflamasi non steroid7. Lingkungan kerja : uap zat kimia8. Polusi udara : asap rokok 9. Pengawet makanan : sulfit10. Lain lain, misalnya haid, kehamilan,sinusitisYang membedakan asma dengan penyakit paru yang lain yaitu pada asma serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya serangan asma tanpa diobati ada yang hilang sendiri. [4]Anamnesis Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampet (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sring terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang didalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang dikamar tidur. Apakah sesak dengan bau bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok dirumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta bloker, aspirin atau steroid. Pemeriksaan KlinisUntuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.[9]Pada perkusi dada, suara napas normal sampai hipersonor. Pada asma ringan letak diafragma masih normal, dan menjadi datar serta rendah pada asma berat. Suara vesikuler meningkat, disertai ekspirasi memanjang. Kalau ada sekret, terengar ronki kasar waktu inspirasi dan tumpang tindih dengan wheezing waktu ekspirasi. Suara napas tambahan yang bersifat lokal, mungkin menunjukkan ada bronkiektasis atau pneumoni dan kadang kadang karena atelektasis ringan.Pada pemeriksaan fisik, mungkin dijumpai penyulit yang sering menyertai asma misalnya pneumoni, pneumotoraks, pleuritis, payah jantung dan emboli paru. Sedangkan jari tabuh hampir tidak pernah dijumpai pada penderita asma, kecuali pada penyakit paru supuratif, keganasan atau penyakit paru yang menimbulkan hipoksemia.[8]Pemeriksaan Penunjang1. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma. Pada asma yang disertai obstruksi berat, didapatkan gambaran radiologi hyperluscent, dengan pelebaran sela antar iga, diafragma letak rendah, penumpukan udara di daerah retrosternal tetapi jantung masih dalam batas normal.[8,9]4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism).5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yangm diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin. [9]Pemeriksaan Laboratorium1. DahakDahak atau sputum mukoid berwarna jernih, terdiri dari mukopolisakarida dan serabut glikoprotein, bila disebabkan alergi murni, umumnya dahak sukar dikeluarkan saat batuk. Dahak yang sangat kental sering kali menyebabkan penyumbatan yang disebut airways plugging. 2. Pemeriksaan DarahPada asma tipe alergi, eosinofil dapat meningkat sampai 800 1000/mm3. Kalau peningkatan eosinofil ini melebihi 1000/mm3, ada kemungkinan peningkatan ini disebabkan infeksi. Bila eosinofil tetap tinggi setelah diberi kortikosteroid, maka asma tipe ini disebut steroid resistant bronchial asthma.3. Pemeriksaan EKGBila terjadi serangan asma akut, tekanan darah meningkat dan EKG menunjukkan gambaran strain ventrikel kanan yang disertai perubahan aksis jantung kekanan dan perubahan ini dapat pulih. Juga didapatkan RBBB (Right Bundle Branch Block), P pulmonal. Aritmia terjadi bila penderita mendapat epinefrin atau bila ada kenaikan ketokolamin waktu terjadi serangan.[8]G. DIAGNOSIS BANDINGSuatu konsep yang memberikan arahan dan perlu dipahami benar ialah pengertian dasar bahwa wheezing bukanlah semata mata disebabkan oleh asma, walaupun wheezing itu sendiri sering dianggap patognomonis bagi asma. Karena itu setiap penderita dengan keluhan wheezing, perlu dilakukan pemeriksaan fisis dan laboratorium yang diteliti sebelum diagnosis asma ditegakkan.Diagnosis banding asma antara lain sbb : Penyakit Paru Obstruktif Kronik Bronkitis kronik Gagal jantung Kongestif (Asma Kardial) Batuk kronik akibat lain lain Disfungsi larings Obstruktif mekanis (misal tumor) Emboli Paru.[8,10]

H. TATALAKSANABerdasarkan patogenesis yang telah dikemukakan, strategi pengobatan asma dapat ditinjau dari berbagai pendekatan. Seperti mengurangi respon saluran napas, mencegah ikatan alergen dengan IgE, mencegah pengelepasan mediator kimia, dan merelaksasi otot otot polos bronkus.Mencegah ikatan alergen IgE a. Menghindari alergen, tampaknya sederhana, tetapi sering sukar dilakukan.b. Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil alergen yang dosisnya makin ditingkatkan diharapkan tubuh akan membentuk IgG (blocking antibody) yang akan mencegah ikatan alergen dengan IgE pada sel mast. Efek hiposensitisasi pada orang dewasa saat ini masih diragukan.Mencegah pengelepasan mediator Premedikasi dengan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus yang dicetuskan oleh alergen. Natrium kromolin mekanisme kerjanya diduga mencegah pengelepasan mediator dari mastosit. Obat tersebut tidak dapat mengatasi spasme bronkus yang telah terjadi. Oleh karena itu hanya dipakai sebagai obat profilaktik pada terapi pemeliharaan. Natrium kromolin paling efektif untuk asma anak yang penyebabnya alergi. Meskipun juga efektif pada sebagian pasien asma intrinsik dan asma karena kegiatan jasmani. Obat golongan agonis beta 2 maupun teofilin selain bersifat sebagai bronkodilator juga dapat mencegah pengelepasan mediator.Melebarkan saluran napas dengan bronkodilator a. Simpatomimetik : 1). Agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol) merupakan obat obat terpilih untuk mengatasi serangan asma akut. Dapat diberikan secaara inhalasi melalui MDI (Metered Dosed Inhaler) atau nebulizer ; 2). Epinefrin diberikan subkutan sebagai pengganti agonis beta 2 pada serangan asma yang berat. Dianjurkan hanya dipakai pada asma anak atau dewasa muda.b. Aminofilin dipakai sewaktu serangan asma akut. Diberikan dosis awal, diikuti dengan dosis pemeliharaan.c. Kortikosteroid sistemik. Tidak termasuk obat golongan bronkodilator tetapisecara tidak langsung, dapat melebarkan saluran napas. Dipakai pada serangan asma akut atau terapi pemeliharaan asma yang berat.d. Antikolinergik (ipatropium bromida) terutama dipakai sebagai suplemen bronkodilator agonis beta 2 pada serangan asma.Mengurangi respon dengan jalan meredam inflamasi saluran napas Banyak peneliti telah membuktikan bahwa asma baik yang ringan maupun yang berat menunukkan inflamasi saluran napas.Obat obat anti asma. Pada dasarnya obat obat anti asma dipakai untuk mencegah dan mengendalikan gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti asma antara lain : Pencegah (controller) yaitu obat obat yang dipakai setiap hari, dengan tujuan agar gejala asma persisten tetap terkendali. Termasuk golongan ini yaitu obat obat anti inflamasi dan bronkodilator kerja panjang (long acting). Obat obat anti inflamasi khususnya kortikosteroid hirup adalah anti alergi, bronkodilator atau obat golongan lain sering dianggap termasuk obat pencegah, meskipun sebenarnya kurang tepat, karena obat obat tersebut mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas misalnya mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma kronik, memperbaiki fungsi paru, menurunkan reaktivitas bronkus dan memperbaiki kualitas hidup. Termasuk golongan obat pencegah adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL), agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan oral, dan obat anti alergi. Falmaterol, antileukotrien dan anti I-gE.Penghilang gejala (reliever). Obat penghilang gejala yaitu obat obat yang dapat merelaksasi bronkokonstriksi dan gejala gejala akut yang menyertai dengan segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu agonis beta 2 hirup kerja pendek (short acting), kortikosteroid sistemik, natikolinergik hirup, teofilin kerja pendek, agonis beta 2 oral kerja pendek. Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol) merupakan obat terpilih untuk gejala asma akut serta bila diberikan sebelum kegiatan jasmani, dapat mencegah serangan asma karena kegiatan jasmani. Agonis beta 2 hirup juga dipakai sebagai penghilang gejala pada asma episodik.Peran kortikosteroid sistemik pada asma akut adalah untuk mencegah perburukan gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung mencegah atau mengurangi frekuensi perawatan diruang rawat darurat atau rawat inap. Antikolinergik hirup atau ipatropium bromida selain dipakai sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut, juga dipakai sebagai obat alternatif pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping agonis beta 2. Teofilin maupun agonis beta 2 oral dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa memakai sediaan hirup[4]I. KOMPLIKASIStatus asmatikus adalah keadaan spasme bronkiolus berkepanjangan yang mengancam jiwa yang tidak dapat dipulihkan dengan pengobatan dapat terjadi pada beberapa individu. Pada kasus ini, kerja pernapasan sangat meningkat. Apabila kerja pernapasan meningkat, kebutuhan oksigen juga meningkat. Karena individu yang mengalami serangan asma tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen normalnya, individu semakin tidak sanggup memenuhi kebutuhan oksigen yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk berinspirasi dan berekspirasi melawan spasme bronkiolus, pembengkakan bronkiolus, dan mukus yang kental. Situasi ini dapat menyebabkan pneumotoraks akibat besarnya tekanan untuk melakukan ventilasi. Apabila individu kelelahan, dapat terjadi asidosis respiratorik, gagal napas, dan kematian.[6]

J. PENCEGAHAN A. Mencegah SensititasiCara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma. Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi kearah Th1, respons nonalergi atau modulasi sel T regulator masih merupakan hipotesis.B. Mencegah EksaserbasiEksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen (indoor seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita dengan beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya.[3]

K . KESIMPULANAsma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Asma adalah penyakit pernapasan obstruksi yang ditandai inflamasi saluran napas dan spasme akut otot polos bronkiolus. Kondisi ini menyebabkan produksi mukus yang berlebihan dan menumpuk, penymbatan aliran udara, dan penurunan ventilasi alveolus. Pada sebagian besar penderita asma, ditemukan riwayat alergi, selain itu serangan asmanya juga sering dipicu oleh pemajanan terhadap alergen. Asma terjadi pada individu tertentu yang berespon secara agresif terhadap berbagai jenis iritan di jalan napas. Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Pada pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks.Pemeriksaan penunjang meliputi spirometri, Peak flow meter (PFM), X Ray dada, pemeriksaan IgE, uji Hiperaktivitas Bronkus (HRB), pemeriksaan dahak, pemeriksaan darah, dan EKG. Obat obat anti asma. Pada dasarnya obat obat anti asma dipakai untuk mencegah dan mengendalikan gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti asma antara lain : pencegah (controler) dan penghilang gejala (reliever).

DAFTAR PUSTAKA1. Rengaganis, Iris. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran Indonesia.. 2008; 58(11) : 444 451.2. Meiyanti, Julius I. Mulia. Perkembangan patogenesis dan pengobatan Asma Bronkial. J. kedokteran Trisakti. 2000; 19(3): 125 132.3. Desmawati, Indra Yovi, Eka Bebasan. Gambaran Hasil Pemeriksaan Spirometri pada Pasien Asma Bronkial di Poliklinik Paru RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. 2012.4. Sundaru Heru, Sukamto. Asma Bronkial. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru W. Sudoyo, Bambang Stiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati, Editor. Jilid 1. Edisi V Jakarta: InternaPublishing. 2010 ; 404 412.5. R. Darmanto Djojodibroto. Respirologi (respiratory medicine); editor penyelaras, Teuku Istia Muda Perdan, Diana Susanto. Jakarta : EGC. 2009; 105 114.6. Corwin, Elizabeth J. Asma . Dalam : Patofisiologi . buku saku ; alih bahasa, Nike Budhi Subekti ; editor edisi bahasa Indonesia, Egi Komara Yudha. Edisi. III. Jakarta : EGC. 2009 ; 565 570. 7. Purnomo. Faktor Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma Bronkial pada Anak (Studi Kasus di RS Kabupaten Kudus). Semarang. 2008. 8. Dasar dasar Ilmu Penyakit Paru / Editor Hood Alsagaf, Abdul Mukty Cet. 6 Surabaya : Airlangga University press. 2009 ; 263 299.9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. ASMA : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2003. http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.html#DIAGNOSISBANDING