ref besar
DESCRIPTION
kulitTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Tinea manuum adalah dermatofitosis yang mempengaruhi palmar dan
interdigital dari tangan, biasanya asimetris dan timbul bersamaan dengan Tinea
pedis. Timbul sisik yang memenuhi seluruh permukaan palmar di salah satu tangan
atau unilateral.(1,2)
Tinea manuum adalah infeksi jamur dari satu atau, kadang-kadang kedua
tangan. Hal ini sering terjadi pada pasien dengan Tinea pedis. Tinea manuum
biasanya analog dengan moccasin jenis Tinea pedis. Palm muncul hiperkeratosis
dan memiliki skala putih yang sangat halus yang menekankan garis normal tangan.
Tinea dari permukaan punggung tangan biasanya mirip dengan penyakit tinea pada
umumnya. Tinea manuum sering dihubungankan dengan Tinea pedis dan
onikomikosis, permukaan palmar difus, kering dan hyperkeratosis, ketika kuku
yang terlibat, mungkin ada sedikit vesikel, dan kondisi menyerupai eksim
dishidrotik.(3,4)
Gambar 1. Tinea manuum, dengan lesi yang luas, hiperkeratosis, eritema, dan radang
pada permukaan ekstensor tangan.
1
(Dikutip dari kepustakaan 3)
Tinea manuum diperoleh melalui kontak langsung dengan orang yang
terinfeksi atau hewan, tanah atau melalui autoinokulasi. Tinea manuum paling
sering mengenai hanya satu tangan (tunggal ; Tinea manus) dan melibatkan kaki
sehingga sering disebut one hand-two feet syndrome. Presentasi klasik dari Tinea
manus merupakan infeksi sekunder yang berasal dari tanah setelah adanya
ekskoriasi dari kaki dan kuku kaki. Tinea manuum sering disertai dengan Tinea
pedis.(4,5)
Penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton
mentagrophytes var interdigitale, dan jarang disebabkan oleh Trichophyton
violaceum dan Trichophyton erinacei. Kebanyakan kasus, selain dari infeksi hewan
terdapat pula infeksi yang diawali dari kaki yang terinfeksi baik yang terkena kuku
jarinya ataupun tidak, seperti misalnya terdapat kurap diantara cincin dan jari
tangan, jam tangan, atau terdapat maserasi akibat predisposisi pekerjaan.
Berdasarkan hal tersebut, timbul kerentanan terhadap Trichophyton
Mentagrophytes. Pada tipe infeksi interdigitale, dalam kebanyakan kasus dapat
terjadi karena adanya keterlibatan infeksi di kaki. Sirkulasi perifer yang buruk dan
palmar keratoderma merupakan faktor predisposisi yang lain.(6,7)
Infeksi Trichophyton rubrum dapat menunjukkan berbagai bentuk klinis.
Paling sering bentuk hiperkeratosis, kemudian selalu disertai dengan kaki, jika
disebabkan oleh jamur zoofilik, biasaya lebih terlokalisasi dan meradang.
Hiperkeratosis dari keseluruhan kulit, telapak tangan dan jari-jari adalah jenis yang
paling umum, namun tidak simetris pada sebagian kasus. Jenis klinis yang lain
2
termasuk sisik eksfoliasi berbentuk sabit, bercak vesikuler sirkumskripta, papul
eritem dan bercak folikuler yang bersisik pada bagian dorsal dari telapak tangan.
Sementara itu, gambaran klinik stadium akhir mirip infeksi oleh parasit.(6,7)
Gambar 2. Two feet - one hand syndrome
(Dikutip dari kepustakaan 1)
Secara histologi, hiperkeratotis Tinea manuum memiliki karakteristik berupa
akantosis, hiperkeratosis, dan infiltrasi perivaskular yang dangkal, kronik dan dapat
menyebar pada dermis. Bentuk vesiculobullous menampilkan spongiosis,
parakeratosis, dan subkornea atau spongiosis intraepitel vesiculasi dengan kedua
tipe, foci dari neutrofil biasanya dapat dilihat pada daerah stratum kornea, infiltrat
perivaskular superfisial pada dermis. Jenis vesiculobullous menunjukkan
subcorneal atau spongiotik vesikulasi intraepithelial.(1,5)
3
Gambar 3. Gambaran histlogi hiperkeratosis Tinea manuum
BAB II
DIAGNOSIS
II.1 Anamnesis
Dalam penegakkan diagnosa Tinea manus, peranan anamnesis sangat besar.
Melalui anmnesis kita dapat menggali keluhan-keluhan yang nantinya mengarah
kepada Tinea manus dengan gejala klinis yang dikeluhkan oleh pasien.(8)
II.2 Pemeriksaan Fisik
Diagnosis dari tinea biasanaya dilakukan secara klinikal dan berdasarkan
pemeriksaan dari daerah yang terinfeksi.
Gambaran lesi kulit dari Tinea manus yaitu : Lesi berbatas tegas,
hiperkeratosis, mengikuti alur lipatan tangan dan central healing. Lesi dapat
menyebar ke dorsum manus dengan bentuk papul, nodul, dan pustul. Lesi yang
timbul pada tipe dishidrotik dapat memberi gambaran papul, vesikel dan bulla
(jarang) pada daerah telapak tangan dan tepi jari, menyerupai lesi pada Tinea pedis.
Bentuk sekunder yang dapat terjadi adalah Liken simplek kronik, nodul prorigo
dan impetigonisasi. Disribusi lesi yakni hyperkeratosis dari telapak tangan
mengikuti alur lipatan tangan dan biasanya unilateral, diserta dengan adanya Tinea
pedis. Jika kronis, sering dikaitkan dengan Tinea unguium. (8)
4
Gambar 3. Tinea manus pada telapak tangan yang juga melibatkan jari
(Dikutip dari kepustakaan 8)
Gambar 4. plak eritem besar dengan tepi tajam pada dorsum tangan kiri duhubungkan
dengan Tinea pedis dan subungual onikomikosis distal.
(Dikutip dari kepustakaan 8)
5
II.3 Pemeriksaan Penunjang
Untuk menunjang diagnosis, gambaran klinis yang tampak dapat dikonfirmasi
melalui:(1)
1) Pemeriksaan KOH
Menggunakan potassium hydroxide untuk melarutkan sel epitel untuk
menunjukkan hifa. Pada pemeriksaan dibawah mikroskop dapat ditemukan
hifa bersepta atau bercabang. (1)
2) Kultur
Media kultur yang digunakan adalah SDA (Sabouraud’s dextrose agar) atau
mengguanakan Dermatophyte tes medium (DTM) untuk mengkonfirmasi
diagnosis. Tes ini sensitif dan dapat mengindikasi perubahan warna menjadi
warna merah dalam waktu 1 minggu, hasil kultur biasanya selesai dalam
kurun waktu 4 minggu.(1)
3) Penggunaan Wood Light examination dapat dilakukan juga (jika memiliki
alatnya), pemeriksaan pada kulit kepala dan wajah dilakukan dalam ruang
gelap menggunakan wood lamp (lampu ultraviolet) dan dapat terihat warna
kehijauan pada infeksi Microsporum audonii dan Microsporum canis.(1)
6
BAB III
DIAGNOSIS BANDING
III.1 Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau subtansi
yang menempel pada kulit. Kejadian dermatitis kontak iritan maupun alegi paling
sering ditangan, mungkin karena tangan merupakan organ tubuh yang paling sering
digunakan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Dermatitis kontak tidak jarang
ditemukan pada penderita yang juga mempunyai riwayat atopi. Pada pekerjaan
basah (wet work), misalnya memasak makanan, mencuci pakaian, pengatur rambut
disalon, angka kejadian dermatitis kontak pada tangan lebih tinggi. Etiologi
dermatitis pada tangan sangat kompleks karena banyak sekali faktor yang berperan
disamping atopi. Bahan-bahan yang dapat menimbulkan dermatitis tangan,
misalnya deterjen, antiseptik, getah sayuran, semen, dan peptisida. (9,10)
Gambar 5. Dermatitis Kontak Alergi
(Dikutip dari kepustakaan 9)
7
III.2 Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit kronis, umum, dan bersisik eritem terutama
berlokasi di epidermis, yang ditandai dengan peningkatan proliferasi dan
diferensiasi sel, sehingga menyebabkan hiperkeratosis dan parakeratosis. Psoriasis
bersifat kronik dan residif. Lesi klasik psoriasis berbatas tegas, plak merah dengan
permukaan bersisik putih. Lesi psoriasis dapat bervariasi dalam berbagai ukuran
dari papul pinpoint untuk plak yang menutupi sebagian besar tubuh. Berdasarkan
skala, kulit mengkilap eritema homogen, dan titik perdarahan muncul ketika
penebalan sisiknya dihapus karena terjadi pelebaran kapiler di bawah kulit (Auspitz
sign). Psoriasis cenderung menjadi erupsi, dan simetri dan hal tersebut membantu
dalam menegakkan diagnosis. Keterlibatan sepihak dapat terjadi, namun fenotip
psoriasis dapat menyebabkan spektrum penyakit yang berubah ekspresi bahkan
dalam pasien yang sama.(10,11)
Gambar 6. Psoriasis pada tangan
(Dikutip dari kepustakaan 11)
8
III.3 Kandidiasis
Kandidiasis adalah penyakit jamur, yang bersifat akut atau subakut
disebabkan oleh spesies kandida, biasanya oleh spesies Candida albicans, dan
dapat mengenai mulut, vagina, kulit, kuku, bronki atau paru, kadang-kadang dapat
menyebabkan septikema, endokarditis atau meningitis. Kandidiasis adalah bagian
dari Candida albicans dan termasuk genus Candida. Organisme ini meyerang kulit,
kuku, membran mukosa dan gastrontenstinal. Karakeristik lesi berukuran 0,5-1,0
cm papul eritem dengan kemerahan atau pustul ditengah. Hal terpenting yang bisa
kita dapatkan pada pasien yang menderita kandidiasis yaitu ditemukannya infeksi
kandidiasis yang berulang mengenai pada kulit, kuku dan juga mukosa. Candida
albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang terus memanjang,
membentuk hifa semu. Hifa semu terbentuk dengan banyak kelompok blastospora
berbentuk bulat atau lonjong disekitar septum, beberapa strain glastospora
berukuran besar, berbentuk bulat atau seperti botol dalam jumlah sedikit. Sel ini
dapat berkembang menjadi klamidospora yang berdinding tebal dan bergaris tengah
sekitar 8 – 12 µ. Morfologi koloni Candida albicans pada medium padat
Sabouraud’s dextrose agar berbentuk bulat dengan permukaan sedikit cembung,
halus, licin dan kadang-kadang sedikit berlipat-lipat terutama pada koloni yang
telah tua, warna koloni putih kekuningan dan berbau asam seperti aroma tape.(10,12)
9
Gambar 7. Multiple papul erimatous
(Dikutip dari kepustakaan 12)
10
BAB IV
PENATALAKSANAAN
Terapi yang dapat diberikan adalah dalam bentuk topikal maupun sistemik.
Terapi topikal efektif diberikan pada infeksi yang sedikit dan terlokalisir. Terapi
sistemik diberikan pada infeksi yang luas.(1, 13)
IV.1 Terapi Topikal
Terapi topikal yang digunakan adalah ointment witfield golongan azoles,
imidazoles atau allylamines. Golongan azoles seperti miconazole dan clotrimazole,
imidazole yang digunakan seperti ketoconazole dan allylamines seperti terbinafine
atau naftifine cream. Terapi topikal ini digunakan sehari dua kali selama 4 minggu.
(1)
Imidazole adalah obat antijamur golongan azole mempunyai spektrum yang
luas. Kelompok imidiazole terdiri atas ketokonazole, mikonazole, dan klotrimazole.
Obat antijaamur ini banyak dugunakan sebagai antijamur sistemik. (13,14)
Ketokonazole, merupakan turunan dari imidazole sintetik yang bersifat
liofilik dan larut dalam air pada pH asam. Ketokonazole aktif sebagai antijamur
baik sistemik maupun nonsistemik, efektif terhadap candida, coccidiodes immitis,
Cryptococcus neoformans, dll. Farmakokinetik ketokonazole, obat ini
menghasilkan kadar plasma yang cukup untuk menekan berbagai kenis jamur. Efek
samping dari ketokonazole yaitu ketokonazole memiliki efek toksik lebih ringan
dari pada aamfoterisin B. Mual dan muntah paling sering dijumpai. Efek samping
yang paling jarang ialah saakit kepala, vertigo, nyeri epigastrik, dan juga dapat
11
meningkatkan aktifitas enzim hati dalam beberapa waktu. Obat ini sebaiknya tidak
digunakan pada wanita hamil maaupun pada wanita yang sedang menyusui, karena
obat ini disekresi dalam asi. Indikasi pemakaian ketokonazole efektif untuk
histoplasmosis paru, tulang , send, dan jaringan lemak. Ketokonazole tersedia
dalam tablet 200 mg, krim 2%. Dosis yang dianjurkan padaa orang dewasa satu
kaali 200-400 mg sehari. Pada anak-anak diberikan 3,3-6,6mg/kg/BB/hari. (13,14)
Mikonazole, obat antijamur yang memiliki spectrum luas terhadap jamur
dermatofit. Mikonazole menghambat aktivitas jamur Trichophyton,
Epidermophton, Microsporum, Candida dan Malassazia furfur. Mikonazol in vitro
efektif terhaadap beberapa kuman gram positif. Mekanisme kerja obat ini belum
siketahui ssepenuhnya. Mikonazole masuk kedalam sel jaamur dan menyebabkan
kerusakaan dinding sel sehingga permeabilitas terhadap berbagai zat intrasel
meningkat. Mikonazole topical diindikasokan untuk dermatofitosis, tinea
versicolor, dan kandidiasis mukokutan. Efek samping dari mikonazole berupa
iritasi, rasa terbakar dam maserasi. Pemakainan mikonazole pada kehamilan
trimester pertama sebaiknya dihindari. Obat ini tersedia dalam bentuk krim 2% dan
bedak tabur dipakai dalam dua kali sehari selama 2-4 minggu. Krim 2% untuk
penggunan intravaginal diberikan sekali saja pada malam hari selama 7 hari. (13,14)
Itrakonaazole, merupakan antijamur dimana aktivitas antijamurnya lebih
besar namun efek sampingnya lebih sedikit. Merupakam antijamur spectrum luas.
Itrakonazole tersedia dalam kapsul 100 mg, dosis yang disarankan 200 mg sekali
sehari. (13,14)
12
Klotrimazol, memiliki efek antijamur dengan antibiotik dengan mekanisme
kerja mirip dengan mikonazole dan secara topical digunakan untuk pengobaataan
tinea pedis, rubrum, korporis. Obat ini tersedia dalam bentuk krim dan larutan
dengan kadar 1% dioleskan dua kali sehari.(13,14)
IV.2 Terapi Sistemik.
Terapi sistemik yang digunakan untuk tinea manus meliputi griseofulvin
untuk dewasa dosisnya 250-500 mg/hari dan untuk anak-anak 10-20 mg/kg hari.
Ketoconasole untuk dewasa dosisnya 200 mg/hari. Terbinafine dosis 250 mg/hari
untuk dewasa, dan 125 mg/hari untuk anak-anak (anak-anak dengan berat badan
20-40 kg), sedangkan obat anti jamur triazole dosis 200 mg/hari dan 100 mg/hari
unuk anak-anak dengan berat badan 20-40 kg. (1)
Griseofulvin, hanya efektif atau berespon terhadap berbagai jenis jamur
dematovites (Trichopyhton, Epidermophyton, dan Mikosporum), infeksi ragi
termasuk yamg disebabkan oleh organism Candida, organisme Pityrosporum dan
infeksi jamur yang lebih dalam tidak berespon pada Griseofulfin. Obat ini telah
tersedia selama lebih dari 40 tahun dan telah terbukti aman. Griseofulvin bersifat
fungisidal yaitu obat ini akan menghambat mitosis sel muda dengan mengganggu
sintesis dan polymerase asam nukleat. Griseofulvin kemungkinan berdifusi
kedalam statum korneum melalui cairan ekstraseluler dan keringat. Peningkatan
keringat dapat meningkatkan konsentrasi griseofulvin di stratum korneum, sehingga
meningkatkan efek dari obat tersebut. Penyerapan griseofulvin berbeda pada setiap
individu, pemakaian dengan level tinggi atau rendahnya obat tergantung pasien.
13
Griseofulvin kurang baik penyerapannya paada saluran cerna bagian atas karena
obat ini tidak larut dalam air. Pemberian obat griseofulvin dengan makanan
berlemak dapat meningkatkan penyerapan obat griseofulvin. Obat ini
dimetabolisme di hati dan metabolit utamanya adalah 6-metilgriseofulvin. Waktu
paruh daari obat ini kira-kira 24 jam, 50% dari dosis oral yang diberikan
dikeluarkan bersama urin dalam bentuk metabolit selama 5 hari. Efek samping
yang berat dari pemakaian griseofulvin jarang timbul. Leucopenia dan
granulusitopenia dapat terjadi pada pemakaian dosis besar dalam waktu lama, oleh
karena itu sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah yang teratur selama pemakaian
obat ini. Sakit kepala dan gejala gastrointestinal lebih sering ditemukan. Efek
samping lainnya seperti artralgia, neuritis perifer, demam, penglihatan kabur,
insomnia, berkurangnya fungsi motorik dan sinkop. Indikasi pemakaian griseofulfin
yaitu menghasilkaan yang terbaik terhadap penyakit jamur pada kulit, rambut dan
kuku yang disebabkan oleh jamur yang sensitive. Griseofulfin tersedia dalam
bentuk tabel berisi 125-500 mg dan tablet yang mengandung partikel
ultramikrokristal tersedia dalam takaran 330 mg, untuk anak-anak diberikan 5-15
mg/hari/kh/BB/hari, sedangkan untuk dewasaa 500-1000 mg/hari dalam dosis
tunggal. Bila dosis tunggaltidak dapat ditoleransi, maka dibagi dalam beberapa
dosis. Dosis sangat tinggi griseofulvin bersifat karsinogenik dan teratogenik
sehingga dermatofitosis tidak perlu diberikan griseofulvin, cukup dengan
pemberian preparat tropical. (13,14)
14
Terbinafin, merupakan derivate alilanim sintetik. Obat ini digunakan dalam
terapi dermatofitosis. Terbinafin bersifat keratofilik dan fungisidal. Obat ini
mempengaruhi biosintetis ergosterol dinding sel jamur melalui penghambatan
enzim skualen epoksidase pada jamur dan bukan melalui penghambatan sitokrom
p-450. Terbinafin diabsorbsi dengan baik melalui saluran cerna dan didistribusi ke
seluruh jaringan adipose, dermis, epidermis, dan kuku. Obat ini bertahan dalm
plasma, dermis-epidermis, rambut dan kuku selama beberapa minggu. Terbinafin di
kirim ke stratum korneum melalui sebum dan pada tingkat lebih rendah, melalui
penggabungan ke dalam keratinosis pada basal dan difusi melalui dermis-
epidermis. Terbinafin tidak ditemukan pada ekrin. Waktu paruh awalnya adalah
sekitar 12 jam dan berkisar antara 200 sampai 400 jam bila telah mencapai kadar
mantap. Obat ini masih dapat ditemukan di kuku 6-12 minggu setelah pemakaian
oral, terbinafin masih dapat dideteksi di kuku 30 sampai 36 minggu. Terbinafin di
metabolism di hati menjadi metabolit tidak aktif dan diekskresi dalam urin.
Terbinafin tidak boleh diberikan pada pada penderita azotemia dan gagal hati. Efek
samping terbinbafin jarang ditemukan, biasanya berupa gangguan saluran cerana,
sakit kepala dan rush. Terbinafin dapat menyebabkan Sindrom Steven Johnson tapi
jarang. Terbinafin tersedia dalam bentuk tablet oral 250 mg, dosis terapi 250 mg
dalam sehari. (13,14)
Itrakonazole, merupakan antijamur dimana aktivitas antijamurnya lebih besar
namun efek sampingnya lebih sedikit. Merupakam antijamur spectrum luas dapat
diberikan dalam bentuk oral dan intra vena. Itrakonazole diserap lebih sempurna
15
bial diberikan bersamaan makanan. Itrakonazole tersedia dalam kapsul 100 mg,
dosis yang disarankan 200 mg sekali sehari. Itrakonazole juga tersedia dalam
bentuk suspensi 10 mg/ml dan larutan intra vena 10 mg/ml. Efek samping
kemerahan, pruritus, pusing, edema kaki dan kehilangan libido.(13,14)
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Edith Nkechi Nnouka FDO, Osume Faye. Common skin disease and treatment
in Afrika. In : Kelly AP TS, editor. Dermatology for skin color. New York:
McGraw Hill Medicine:2007. p. 600-2
2. Gawkrodger DA. Fungal Disease. In: Gawkrodger DA, editor. Dermatology:
An Illustrated Colour Text. 2rd Edition. USA: Churchill Livingstone; 2003. p.
57
3. Hainer BL. Dermatophyte Infections. In: American Family Physician. South
Carolina : Medical University of South Carolina, Charleston, South Carolina
Am Fam Physician. 2003.p.101-109
4. Verma S, Heffernan MP. Superficial fungal infction: dermatophytosis,
onychomycosis, tinea nigra, piedra. in: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 8th .edition.1. New York: McGraw-Hill Medicine; 2012; 3257-8
5. Brian Thomas M. Clear Choices in Managing Epidermal Tinea Infection. The
Journal of Family Pratice. 2003;52:850-62.
6. Sterry W, Paus R, Burgdorf W. Fungal Disease. In Thieme Clinica Companion
Dermatology. New York: Stuttgart;2006.p.106-11
7. Hay RJ, Ashbee HR. Mycology, in: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
eds. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th edition.1. Cambridge: Wiley-
Balckwell; 2010. p.36.32-3
17
8. Wolff, Klaus. Johnson, RA. Superficial Fungal Infection. In: Fritzpatrick’s
Color Atlas And Synoopsis of Clinical Dermatology. 6th Ed. New York :
McGraw-Hill Medicine. p. 701
9. Castanedo Mari Paz –Tardan, A. Zug Kathryn. Allergic Contact Dermatitis :
Hand and feet, in; Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th .edition.1.
New York: McGraw-Hill Medicine; 2012; 247, 252
10. Djuanda A. Dermatosis Eritroskuamosa. In: Djuanda PDdA, Hamzah dM,
Aisah PDdS, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p. 130,135.
11. Proksch Ehrhardt,Jensen Jens-Michael. Psoriasis : Cutaneus Lesion, in; Wolff
K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th .edition.1. New York:
McGraw-Hill Medicine; 2012; 323, 725
12. Janik M, Heffernan M. Yeast Infection: Candidiasis and Tinea (Pityriasis)
Versicolor. In: Fritzpatrick’s Color Atlas And Synoopsis of Clinical
Dermatology. 6th Ed. New York : McGraw-Hill Medicine. p. 1860
13. Setiabudy Rianto, Bahry Bhroelim. Editor Gunawan Gan Sulistia. Farmakologi
dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. p. 871-4
14. Habif TP, editor. Treatment of Fungal Infections. In: Clinical Dermatology: A
Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th edition. USA; Mosby. 2004.p.434-9
18