ref 1

37
PENGANTAR KRIMINAL In Tak Berkategori on Desember 13, 2007 at 10:43 pm Pengantar Kriminologi. Pendahuluan. Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang sifatnya masih baru apabila kita ambil definisinya secara etimologis berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi adalah ilmu /pengetahuan tentang kejahatan. Istilah kriminologi untuk pertama kali (1879) digunakan oleh P. Topinard, ahli dari perancis dalam bidang antropologi, sementara istilah yang sebelumnya banyak dipakai adalah antropologi criminal. Menurut E.H. Sutherland, kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena social, termasuk didalamnya proses pembuatan undang-undang, pelanggaran undang-undang dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang. Bonger mengatakan bahwa kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan seluas-luasnya. Sejarah kriminologi. Meskipun Kriminologi bisa dianggap sebagai ilmu pengetahuan baru yang diakui baru lahir pada abad ke-19 ( sekitar tahun 1850 )bersamaan dengan ilmu sosiologi tetapi karangan-

Upload: danielle-martin

Post on 27-Jan-2016

239 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

LAW

TRANSCRIPT

Page 1: Ref 1

PENGANTAR KRIMINAL

In Tak Berkategori on Desember 13, 2007 at 10:43 pm

Pengantar Kriminologi.

Pendahuluan.

Kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang sifatnya masih baru apabila kita ambil

definisinya secara etimologis berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan dan logos

yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan, sehingga kriminologi adalah ilmu

/pengetahuan tentang kejahatan. Istilah kriminologi untuk pertama kali (1879) digunakan

oleh P. Topinard, ahli dari perancis dalam bidang antropologi, sementara istilah yang

sebelumnya banyak dipakai adalah antropologi criminal.

Menurut E.H. Sutherland, kriminologi adalah seperangkat pengetahuan yang mempelajari

kejahatan sebagai fenomena social, termasuk didalamnya proses pembuatan undang-

undang, pelanggaran undang-undang dan reaksi terhadap pelanggaran undang-undang.

Bonger mengatakan bahwa kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan

seluas-luasnya.

Sejarah kriminologi.

Meskipun Kriminologi bisa dianggap sebagai ilmu pengetahuan baru yang diakui baru

lahir pada abad ke-19 ( sekitar tahun 1850 )bersamaan dengan ilmu sosiologi tetapi

karangan-karangan tentang kriminologi bisa ditemukan pada zaman kuno yaitu zaman

Yunani dimulai dengan karangan Plato dalam “Republiek” menyatakan antara lain bahwa

emas , manusia adalah sumber dari banyak kejahatan sedangkan Aristotelis menyatakan

bahwa kemiskinan adalah sumber dari kejahatan.

Kemudian abad pertengahan Thomas Aqunio menyatakan bahwa “ orang kaya

memboros-boroskan kekayaanya disaat dia jatuh miskin maka dia akan mudah menjadi

pencuri”

Perkembangan hukum pidana pada Akhir abad ke 19 yang dirasakan sangat tidak

memuaskan membuat para ahli berfikir mengenai efektifitas hukum pidana itu sendiri,

Thomas Moore melakukan penelitian bahwa sanksi yang berat bukanlah faktor yang

Page 2: Ref 1

utama untuk memacu efektifitas hukum pidana buktinya lewat penelitiannya ditemukan

bahwa para pencopet tetap beraksi disaat dilakukan hukuman mati atas 24 penjahat di

tengah-tengah lapangan. Ini membuktikan bahwa sanksi hukum pidana tidak berarti apa-

apa. Ketidakpuasan terhadap hukum pidana, Hukum acara pidana dan sistem

penghukuman menjadi salah satu pemicu timbulnya kriminologi

Perkembangan ilmu statistik juga mempengaruhi timbulnya kriminologi. Statistik sebagai

pengamatan massal dengan menggunakan angka-angka yang merupakan salah satu

pendorong perkembangan ilmu sosial.

Quetelet (1796-1829) ahli statistik yang pertama kali melakukan pengamatan terhadap

kejahatan. Dialah yang pertama kali membuktikan bahwa kejahatan adalah fakta yang

ada dimasyarakat, dalam penelitiannya Quetelet menemukan bahwa kejahatan memiliki

pola-pola yang sama setiap tahunnya maka beliau berpendapat bahwa kejahatan dapat

diberantas dengan meningkatkan/ memperbaiki kehidupan masyarakat.

Sarjana lain yang menggunakan statistik dalam pengamatan terhadap kejahatan adalah G

Von Mayr ( 1841-1925) ia menemukan bahwa perkembangan antara tingkat pencurian

dengan tingkat harga gandum terdapat kesejajaran (positif). Bahwa tiap-tiap kenaikan

harga gandum 5 sen dalam tahun 1835 – 1861 di bayern. Jumlah pencurian bertambah

dengan 1 dari antara 100.000 penduduk. Dalam perkembangannya ternyata tingkat

kesejajaran tidak selalu tampak. Karena adakalanya berbanding berbalik ( invers) antara

perkembangan ekonomi dengan tingkat kejahatan.

Sebutan kriminologi sendiri diperkenalkan oleh Topinard ( 1830-1911) seorang ahli

antropologi dari perancis.

Aliran Pemikiran Dalam Kriminologi

Yang dimaksud dengan aliran pemikiran disini adalah cara pandang (kerangka acuan,

Paradigma, perspektif) yang digunakan oleh para kriminolog dalam melihat, menafsirkan,

menanggapi dan menjelaskan fenomena kejahatan.

Oleh karena pemamahaman kita terhadap dunia social terutama dipengaruhi oleh cara

kita menafsirkan peristiwa-peristiwayang kita alami/lihat, sehingga juga bagi para

ilmuwan cara pandang yang dianutnya akan dipengaruhi wujud penjelasan maupun teori

yang dihasilkannya. Dengan demikian untuk dapat memahami dengan baik penjelasan-

Page 3: Ref 1

penjelasan dan teori-teori dalam kriminologi perlu diketahui perbedaan aliran

pemikiran/paradigma dalam kriminologi.

Teori adalah bagian dari suatu penjelasan mengenai sesuatu sementara suatu penjelasan

dipandang sebagai masuk akal akan dipengaruhi oleh fenomena tertentu yang

dipersoalkan didalam keseluruhan bidang pengetahuan. Adapun keseluruhan bidang

pengetahuan tersebut merupakan latar belakang budaya kontemporer yang berupa dunia

informasi. Hal-hal yang dipercayai ( belief ) dan sikap-sikap yang membangun iklim

intelektual dari setiap orang pada suatu waktu dan tempat tertentu.

Didalam sejarah intelektual terhadap masalah “penjelasan” ini secara umum dapat

dibedakan dua cara pendekatan yang mendasar yakni pendekatan spiritistik atau

demonologik dan pendekatan naturalistic, yang kedua-duanya merupakan pendekatan

yang dikenal pada masa kuno maupun modern.

Penjelasan demonologik mendasarkan pada adanya kekuasaan lain atau spirit ( roh).

Unsur utama dalam penjelasan spiristik adalah sifatnya yang melampaui dunia empiric;

dia tidak terikat oleh batasan-batasan kebendaan atau fisik, dan beroperasi dalam cara-

cara yang bukan menjadi subyek dari control atau pengetahuan manusia yang bersifat

terbatas.

Pada pendekatan naturalistik penjelasan diberikan secara terperinci dengan melihat dari

segi obyek dan kejadian-kejadian dunia kebendaan dan fisik. Secara garis besar

pendekatan ini dibagi tiga bentuk sistem pemikiran atau bisa disebut sebagai paradigma

yang digunakan sebagai kerangka untuk menjelaskan fenomena kejahatan, adapun ketiga

paradigma/ aliran ini adalah aliran klasik, positivisme dan aliran kritis.

a. Aliran Klasik

Aliran ini mendasarkan pada pandangan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan

ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia, baik yang

bersifat perorangan maupun kelompok. Intelegensi mampu membawa manusia untuk

berbuat mengarahkan dirinya sendiri, dalam arti lain ia adalah penguasa dari dirinya

sendiri. Ini adalah pokok pikiran aliran klasik dengan dilandasi pemikiran yang demikian

maka penjahat dilihat dari batasan-batasan perundang-undangan yang ada.

Kejahatan dipandang sebagai pelanggaran terhadap undang-undang hukum pidana,

penjahat adalah setiap orang yang melakukan kejahatan. Secara rasionalitas maka

Page 4: Ref 1

tanggapan masyarakat adalah memaksimalkan keuntungan dan menekan kerugian yang

ditimbulkan oleh kejahatan. Kriminologi disini sebagai alat untuk menguji sistem

hukuman yang dapat meminimalkan kejahatan.

Salah satu tokoh dalam aliran ini adalah Cesare Beccaria ( 1738 – 1794 ) merupakan

tokoh yang menentang kesewenang-wenangan lembaga peradilan pada saat itu. Dalam

bukunya Dei Delitti e delle pene secara gamblang dia menyebutkan keberatan-

kebaratannya atas hukum pidana.

Aliran ini melahirkan aliran Neo-Klasik dengan ciri khas yang masih sama tetapi ada

beberapa hal yang diperbaharui antara lain adalah kondisi si pelaku dan lingkungan mulai

diperhatikan. Hal ini dipicu oleh pelaksanaan Code De Penal secara kaku dimana tidak

memperhitungkan usia, kondisi mental si pelaku, aspek kesalahan. Semua faktor tersebut

tidak menjadi pertimbangan peringanan hukuman, penjatuhan hukuman dipukul rata

berdasarkan prinsip kesamaan hukum dan kebebasan pribadi.

b. Aliran Positivisme

Aliran pemikiran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh

faktor-faktor diluar kontrolnya, baik yang berupa faktor biologi maupun kultural. Ini

berarti manusia bukanlah mahluk yang bebas untuk mengikuti dorongan keinginannya

dan intelegensinya, akan tetapi mahluk yang dibatasi atau ditentukan perangkat

biologinya dan situasi kulturalnya. Manusia berubah bukan semata-mata akan

intelegensianya akan tetapi melalui proses yang berjalan secara perlahan-lahan dari aspek

biologinya atau evolusi kultural. Aliran ini melahirkan dua pandangan yaitu

Determinisme Biologik yang menganggap bahwa organisasi sosial berkembang sebagai

hasil individu dan perilakunya dipahami dan diterima sebagai pencerminan umum dari

warisan biologik. Sebaliknya Determinis Kultural menganggap bahwa perilaku manusia

dalam segala aspeknya selalu berkaitan dan mencerminkan ciri-ciri dunia sosio kultural

yang melingkupinya. Mereka berpendapat bahwa dunia kultural secara relatif tidak

tergantung pada dunia biologik, dalam arti perubahan pada yang satu tidak berarti akan

segera membuat perubahan yang lainnya.

Salah satu pelopor aliran positivis ini adalah Cesare Lombrosso (1835-1909) seorang

dokter dari itali yang mendapat julukan Bapak Kriminologi Modern lewat teorinya yang

terkenal yaitu Born Criminal, Lombrosso mulai meletakkan metodologi ilmiah dalam

Page 5: Ref 1

mencari kebenaran mengenai kejahatan serta melihatnya dari banyak faktor.

Teori Born Criminal ini di ilhami oleh teori evolusi dari darwin. Lombrosso membantah

mengenai Free Will yang menjadi dasar aliran klasik. Doktin Avatisme membuktikan

bahwa manusia menuruni sifat hewani dari nenek moyangnya. Gen ini dapat muncul

sewaktu-waktu dan menjadi sifat jahat pada manusia modern.

Dalam perkembangan teorinya bahwa manusia jahat dapat dilihat dari ciri-ciri fisiknya

lewat penelitian terhadap 3000 tentara dan narapidana lewat rekam mediknya beberapa

diantaranya telingan yang tidak sesuai ukuran, dahi yang menonjol, hidung yang

bengkok.

Pada dasarnya teori lombrosso ini membagi penjahat dengan empat golongan, yaitu :

1. Born Criminal yaitu orang yang memang sejak lahir berbakat menjadi penjahat seperti

paham avatisme

2. Insane Criminal yaitu orang termasuk dalam golongan orang idiot, embisil,dan

paranoid

3. Ocaccasial criminal atau criminaloid adalah pelaku kejahatan yang berdasarkan pada

pengalaman yang terus menerus sehingga mempngaruhi pribadinya.

4. Criminal of Passion yaitu orang yang melakukan kejahatan karena cinta, marah atapun

karena kehormatan.

c. Aliran Kritis

Pemikiran Kritis lebih mengarhkan kepada proses manusia dalam membangun dunianya

dimana dia hidup. Menurut aliran ini tingkat kejahatan dan ciri-ciri pelaku terutama

ditentutakan oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalanka. Sehubungan denga

itu maka tugas dari kriminologi adalah bagaimana cap jahat tersebut diterapkan terhadap

tindakan dan orang-orang tertentu.

Pendekatan kritis ini secara relatif dapat dibedakan antara pendekatan “interaksionis” dan

“konflik”. Pendekatan interaksionis berusaha untuk menentukan mengapa tindakan-

tindakan dan orang-orang tertentu didefinisikan sebagai kriminal di masyarakat tertentu

dengan cara mempelajari “persepsi” makna kejahatan yang dimiliki masyarakat yang

bersangkutan. Mereka juga mempelajari kejahatan oleh agen kontrol sosial dan orang-

orang yang diberi batasan sebagai penjahat, juga proses sosial yang dimiliki kelompok

Page 6: Ref 1

bersangkutan dalam mendifinisikan seseorang sebagai penjahat.

Hubungan antara kejahatan dan proses kriminalisasi secara umum dijelaskan dalam

konsep “penyimpangan” ( deviance ) dan reaksi sosial. Kejahatan dipandang sebagai

bagian dari “penyimpangan sosial” dengan arti tindakan yang bersangkutan “berbeda”

dengan tindakan orang pada umumnya dan terhadap tindakan menyimpang ini

diberlakukan reaksi yang negatif dari masyarakat.

Menurut pendekatan “konflik” orang berbeda karena kekuasaan yang dimilikinya dalam

perbuatan dan bekerjanya hukum. Secara umum dapat dijelaskan bahwa mereka yang

memiliki kekuasaan yang lebih besar dan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam

mendifinisikan kejahatan adalah sebagai kepentingan yang bertentangan dengan

kepentingan dirinya sendiri. Secara umum kejahatan sebagai kebalikan dari kekuasaan;

semakin besar kekuasaan seseorang atau sekelompok orang semakin kecil

kemungkinannya untuk dijadikan kejahatan dan demikian juga sebaliknya.

Orientasi sosio-psikologis teori ini pada teori-teori interaksi sosial mengenai

pembentukan kepribadian dan konsep “proses sosial” dari perilaku kolektif.

Dalam pandangan teori ini bahwa manusia secara terus menerus berlaku uintuk terlibat

dalam kelompoknya dengan arti lain hidupnya merupakan bagian dan produk dari

kumpulan kumpulan kelompoknya. Kelompok selalu mengawasi dan berusaha untuk

menyeimbangkan perilaku individu-individunya sehingga menjadi suatu perilaku yang

kolektif.

Dalam perkembangan lebih lanjut aliran ini melahirkan teori “kriminologi Marxis”

dengan dasar 3 hal utama yaitu; (1) bahwa perbedaan bekerjanya hukum merupakan

pencerminan dari kepentingan rulling class (2) kejahatan merupakan akibat dari proses

produksi dalam masyarakat, dan (3) hukumj pidana dibuat untuk mencapai kepentingan

ekonomi dari rulling class.

Daftar Pustaka

Bonger, W.A , Pengantar Tentang Kriminologi, Pustaka Sarjana, Jakarta 1982

Romli Atmasasmita, Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung

1992

Susanto I.S, Kriminologi, FH Universitas Diponegoro, Semarang, 1995

Page 7: Ref 1

Topo Santoso & Eva Achjani, Kriminologi, Rajawali Press, 2004

Yoblonsky Lewis, Criminologi Crime and Criminality Fourth Edition, Harper & Row

Publhiser, New York, 1990

Page 8: Ref 1

Tujuan hukum pidana memberi system dalam bahan-bahan yang banyak dari hukum:

azas-azas dihubungkan satu sama lain sehingga dapat dimasukkan dalam satu system.

Penyelidikan secara demikian adalah dogmatis yuridis. Peninjauan bahan-bahan hukum

pidana terutama dilakukan dari sudut pertanggung jawaban manusia tentang perbuatan

yang dapat dihukum. [1]

Pada prinsipnya sesuai dengan sifat hukum pidana sebagai hukum public tujuan pokok

diadakannya hukum pidana ialah melindungi kepentingan –kepentingan masyarakat

sebagai suatu kolektiviteit dari perbuatan-perbuatan yang mengancamnya atau bahkan

merugikannya baik itu datang dari perseorangan maupun kelompok orang (suatu

organisasi). Berbagai kepentingan bersifat kemasyarakatan tersebut antara lain ialah

ketentraman, ketenangan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat.[2] Salah satu

kesimpulan dari seminar kriminologi ke-3 1976 di Semarang antara lain, hukum pidana

hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defense yaitu untuk

perlindungan masyarakat.[3]

Namun demikian, dalam perspektif Barat yang kehidupan bersamannya lebih didasarkan

pada paham-paham seperti individualisme dan liberalisme. Konsep tentang tujuan

diadakannya hukum pidana agaknya cenderung diorientasikan untuk memberikan

perlindungan terhadap berbagai macam kepentingan warga Negara secara individu dari

kesewenang-wenangan penguasa. Konsep demikian antara lain dapat ditelusuri melalui

berbagai pemikiran barat khususnya yang terkait dengan gagasan tentang azas legalitas.

Page 9: Ref 1

Sementara itu, ada pula pemikiran yang menggabungkan secara sekaligus dua tujuan

diadakannya hukum pidana yang telah disebutkan diatas. Sehingga konsepnya menjadi

bahwa hukum pidana diadakan tujuannya adalah disamping untuk melindungi

kepentingan-kepentingan yang bersifat kemasyarakatan, sekaligus (secara implisit) juga

melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan.[4]

Hukum pidana dilihat sebagai ilmu kemasyarakatan tidak terlepas dari sebab-sebab dari

kejahatan (Kriminology). Didalam Etiology terdapat beberapa aliran (mazhab=sekolah)

tentang sebab-sebab kejahatan antara lain:[5]

1. Aliran Biologi-Kriminal (mazhab Italia), penganjurnya adalah DR. C.

Lombrosso yang menyimpulkan bahwa memang ada orang jahat dari sejak lahir

dan tiap penjahat mempunyai banyak sekali sifat yang menyimpang dari orang-

orang biasa.

2. Aliran Sosiologi-Kriminil (mazhab Prancis), penganjurnya A.Lacassagne,

aliran ini menolak aliran diatas dengan mengeluarkan pendapat bahwa seseorang

pada dasarnya tidak jahat, ia akan berbuat jahat disebabkan karena susunan, corak

dan sifat masyarakat dimana penjahat itu hidup.

3. Aliran Bio-Sosiologis, penganjurnya adalah E. Feri, aliran ini merupakan

sintesa dari kedua aliran diatas yang menyimpulkan kejahatan itu adalah hasil dari

factor-faktor individual dan social.

Persoalan ini menimbulkan bermacam-macam teori hukum pidana, pada akhirnya

teori hukum pidana dibagi dalam 3 jenis, yaitu:

a. Teori mutlak (pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel,

Herbart, Stahl. Teori ini teori tertua (klasik) berpendapat bahwa dasar

keadilan hukum itu harus dalam perbuatan jahat itu sendiri. Seseorang

mendapat hukuman karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman itu melulu

untuk menghukum saja (mutlak) dan untuk membalas pebuatan itu

(pemabalasan).

b. Teori relative (teori tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum

bukanlah pembalasan tetapi lebih kepada maksud/ tujuan hukuman,

artinya tujuan ini mencari manfaat daripada hukuman. Beberapa doktrin

mengajarkan yaitu diantaranya tujuan hukuman untuk mencegah kejahatan

Page 10: Ref 1

baik pencegahan umum (Algemene Crime) maupun pencegahan khusus

(Special Crime). Selain itu, terdapat paham lain yaitu tujuan hukuman

adalah untuk membinasakan orang yang melakukan kejahatan dari

pergaulan masyarakat, tujuan pelaksanaaan daripada hukuman terletak

pada tujuan hukuman. Akan tetapi disamping teori relative ini ini masih

dikenal lagi Teori relative modern , penganutnya Frans Von Lizt, Van

Hommel, D. Simons. Teori ini berpendapat dasar hukuman adalah untuk

menjamin ketertiban hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara, dimana

negara melindungi masyarakat dengan cara membuat peraturan yang

mengandung larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/ norma.

c. Teori gabungan (1 dan 2), menurut teori ini dasar hukuman adalah

terletak pada kejahatan sendiri yaitu pembalasan atau siksaan (teori

mutlak) tetapi disamping itu diakuinya dasar-dasar tujuan daripada

hukuman. Penganut aliran ini diantaranya adalah Binding.

Dalam perspektif teori tentang aliran-aliran pemikiran hukum pidana tersebut, tiga

konsep mengenai tujuan diadakannya hukum pidana diatas sebenarnya tercermin

(termanifestasi) dalam tiga aliran pokok yang pernah berkembang dalam hukum pidana.

Tiga aliran pokok tersebut ialah:[6]

1. Aliran Hukum Pidana Klasik (Daad Strafrecht)

Secara garis besar, konsep pemikiran tentang hukum pidana yang beraliran klasik

memiliki ciri sebagai berikut:

a. titik sentral perhatian hukum pidana dan penegakannya menurut aliran ini adalah

perbuatan pelaku kejahatan (Daad artinya perbuatan). Jadi yang terpenting

adalah sepanjang fakta/ kenyataan ada orang yang telah berbuat tindak pidana

(melanggar aturan hukum pidana), maka orang tersebut harus dijatuhi sanksi

pidana sebagaimana telah diancamkan dalam ketentuan hukum tanpa melihat

motivasi yang mendorong si pelaku berbuat pelangaran.

b. Timbulnya konsep Daad Strafrecht, sebenarnya secara teoritik adalah akibat dari

pengaruh kuat paham “Indeterminisme” , yaitu suatu paham yang memandang

bahwa manusia dan perbuatan adalah otonom/ mandiri (dalam arti tidak terjadi

karena pengaruh factor-faktor lain diluar dirinya) melainkan murni dari

Page 11: Ref 1

pilihannnya sendiri. Dalam konfigurasi pemikiran yang demikian ini, maka

konsep bahwa perbuatan pidana = penjatuhan sanksi pidana menjadi logis adanya.

c. Aliran ini dengan dikaitkan dengan salah satu konsep tujuan diadakanya hukum

pidana maka bisa dikatakan bahwa aliran klasik tersebut sesungguhnya adalah

cermin atau malah penjabaran dari konsep mengenai tujuan diadakannya

hukum pidana yang pertama yaitu melindungi kepentingan-kepentingan

yang bersifat luas/ kemasyarakatan. Karena dalam aliran klasik ini, begitu

terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan seseorang, maka demi untuk

melindungi masyarakat, orang tersebut harus segera dijatuhi pidana tanpa

memperhatikan kondisi (motivasi/ latar belakang) dirinya saat berbuat tindak

pidana.

2. Aliran Hukum Pidana Modern (Daader Strafrecht)

Secara garis besar, konsep pemikiran tentang hukum pidana yang beraliran modern atau

daader strafrecht ini memiliki cirri-ciri pokok sebagai berikut:

a. Titik sentral perhatian hukum pidana dan penegakannnya dalam aliran ini

adalah pada diri si pelaku kejahatan (Daader artinya pelaku). Jadi, ketika terjadi

suatu tindak pidana maka tidaklah selalu otomatis pelakunya harus dijatuhi sanksi

pidana tertentu sesuai dengan ketentuan hukum. Karena dalam ini harus

diselidiki/ dibuktikan terlebih dahulu apa yang sesungguhnya menjadi latar

belakang atau motivasi dari pelaku saat melakukan tindak pidana tersebut.

b. Timbulnya konsep Daader Strafrecht diatas, secara teoritik adalah akibat

adanya pengaruh kuat dari paham “Determinisme”, yaitu paham yang

memandang bahwa manusia dan perbuatannya adalah sama sekali tidak otonom.

Artinya dipengaruhi oleh hal-hal eksternal diluar dirinya. Dalam

perkembangannya Determinisme ini pun kemudian sampai pada gagasan perlunya

mengganti konsep pemberian sanksi pidana (yang cenderung bersifat punishment/

hukuman, menjadi pengenakan tindakan (yang lebih bersifat treatment/

pembinaan).

c. Apabila aliran pemikiran hukum pidana modern ini dikaitkan dengan salah satu

konsep tentang tujuan diadakannya hukum pidana, maka bisa dikatakan bahwa

Page 12: Ref 1

aliran ini sesungguhnya adalah cermin atau malah penjabaran dari konsep

mengenai tujuan diadakannya hukum pidana yang kedua (yaitu melindungi

kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan dari setiap individu

warga Negara). Hal ini terlihat dari konsep aliran modern ini yang menghendaki

aspek kondisional dalam diri pelaku tujuannya ialah agar individu pelaku

kejahatan yang menjadi calon terpidana tersebut pun dapat tetap terjamin

perlindungan hak-haknya dari kemungkinan mengalami kesewenag-wenangan

penguasa.

3. Aliran Hukum Pidana Neo Klasik/ Neo Modern (Daad-Daader Strafrecht)

Secara garis besar, konsep pemikiran tentang hukum pidana yang beraliran Neo Klasik/

Neo Modern (Daad-Daader Strafrecht) memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut:

a. Titik setral perhatian hukum pidana dan penegakannya dalam aliran ini adalah

aspek perbuatan pidana dan pelaku dari perbutan pidana secara seimbang (Daad-

Daader artinya perbuatan dan pelakunya). Jadi suatu pemidanaan adalah haruslah

didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan secara matang dan seimbang antara

fakta berupa telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan seseorang maupun

kondisi subyektif dari pelaku tindak pidana khususnya saat ia berbuat. Gabungan

antara keduanya harus bisa melahirkan keyakinan bahwa orang tersebut memang

pelaku sebenarnya dari tindak pidana yang terjadi dan untuk itu ia memang patut

dicela, yang dalam hal ini ialah dengan cara dikenakan sanksi pidana terhadap

dirinya.

b. Apabila aliran ini dikaitkan dengan salah satu konsep tentang tujuan

diadakannnya hukum pidana, maka bisa dikatakan bahwa aliran ini

sesunggguhnya adalah cermin atau malah penjabaran dari konsep mengenai

tujuan diadakannya hukum pidana yang ketiga yaitu untuk melindungi

kepentingan-kepentingan yang bersifat kemasyarakatan dan sekaligus juga

kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan. Hal ini menunjukkan

bahwa keharusan perhatian terhadap realitas tentang telah terjadinya perbuatan

pidana, kiranya dapat disamakan dengan orientasi untuk memberikan

perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan yang bersifat publik.

Sedangkan keharusan perhatian terhadap kondisi subjektif pelaku perbuatan

Page 13: Ref 1

pidana, kiranya dapat disamakan dengan orientasi untuk memberikan

perlindungan terhadap kepentingan yang bersifat perseorangan (c.q

individu pelaku tindak pidana sebagai warga Negara).

Apabila ketiga aliran tersebut diatas dikaitkan dengan konteks bangunan hukum pidana

Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa KUHP Indonesia yang sekarang adalah

mencerminkan sosok hukum pidana yang mencerminkan sosok hukum pidana yang

beraliran klasik (daad strafrecht). Kesimpulan demikian misalnya terlihat dari rumusan

pasal-pasal KUHP yang selalu diawali dengan kata-kata: “Barang siapa

melakukan…………..dst”, hal ini menunjukkan arti bahwa siapa yang berbuat tindak

pidana akan dikenai pidana tertentu (tanpa harus memperhatikan kondisi subyektif pelaku

saat berbuat). Ini adalah ciri khas aliran pemikiran hukum pidana klasik yang sangat

menekankan aspek perbuatan daripada pelakunya. Namun, apabila dikaitkan dengan

hukum pidana Indonesia mendatang (RUU KUHP Indonesia) maka dapat dikatakan

bahwa bangunan RUU KUHP adalah mencerminkan sosok hukum pidana yang beraliran

neo klasik/ neo modern atau daad-daader strafrecht.[7] Kesimpulan ini karena dilihat

dari beberapa konsepnya yaitu:[8]

a. Pasal 51 tentang tujuan pemidanaan. Yaitu:

Ayat (1):

1. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum

demi pengayoman masyarakat

2. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadi orang yang baik dan berguna.

3. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan

keseimbangan dam mendatangkan rasa damai dalam masyarakat

4. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Ayat (2):

Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat

manusia.

a. Pasal 52-94 tentang pedoman pemidanaan yang baik bersifat umum maupun

pedoman pemidanaan bagi setiap jenis sanksi pidana.

Page 14: Ref 1

b. Pasal 125-129 tentang hal-hal yang meringankan dan memperberat pidana.

c. Adanya konsep tentang individualisasi pidana yang dimasukkan dalam beberapa

ketentuan pasal seperti mengenai modifikasi pidana, Rechterlijk pardon dan

sebagainya.

Adanya ketentuan tentang pedoman pemidanaan, pertimbangan mengenai hal-hal yang

meringankan dan yang memberatkan pemidanaan serta individualisasi pidana diatas,

secara eksplisit jelas menunjukkan bahwa RUU KUHP tidak dimaksudkan untuk

menderitakan dan merendahkan martabat manusia Indonesia merupakan sosok hukum

pidana Indonesia mendatang yang menganut aliran klasik (daad Strafrecht) sekaligus

aliran modern (daader strafrecht) karena konsep tujuan pemidanaan diatas yang nomor 1

dan 2 cermin dari aliran pemikiran klasik sedangkan nomor 3 dan 4 cerminan dari aliran

pemikiran modern. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum pidana Indonesia

mendatang (RUU KUHP) adalah hukum pidana yang menganut aliran pemikiran neo

klasik/ neo modern.

[1] CST. Kansil, Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Ctk.9, Balai Pustaka, Jakarta, 1993,

hlm. 97

[2] M.Abdul Kholiq, Buku Pedoman kuliah hukum pidana, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2002,

hlm.15.

[3] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana, Ctk. I, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2005, hlm.52

[4] Ibid.

[5] CST Kansil, Op.Cit…, hlm.97-105

[6] M.Abdul Kholiq, Buku Pedoman kuliah hukum pidana, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2002,

hlm.15-20

[7] M.Abdul Kholiq, Buku Pedoman kuliah hukum pidana, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2002,

hlm.20-21

[8] Direktorat Jenderal Peraturan prundang-undangan, Departement Hukum dan HAM, Rancangan

Undang-undang KUHP, 2005.

Page 15: Ref 1

Soal No.1 : Mengenai Paradigma Kriminologi, kita sebaiknya mencermati sejarahnya,

dari Klasik hingga Kritis. Aliran klasik, mulai berkembang di Inggris pada akhir abad ke

19 dan kemudian meluas ke negara-negara lain di Eropa dan Amerika, dasar dari mazhab

ini adalah hedonistic-psycology dan metodenya Arm- Chair (tulis menulis). Psikologi

mejadi dasar aliran ini , sifatnya adalah individualistis, intelectualistis dan voluntaristis,

aliran ini berpandangan adanya kebebasan kehendak sedemikain rupa, sehingga tidak ada

kemungkinan untuk menyelidiki lebih lanjut sebab-sebab kejahatan atau usaha-usaha

pencegahan kejahatan. Contoh yang sederhana adalah setiap perbuatan yang bertentangan

dengan undang-undang, sangat sederhana, namun pandangan ini berhasil menjadi tulang

punggung hukum pidana dan merupakan doktrin yang berpengaruh hingga sekarang.

Page 16: Ref 1

 Menurut aliran ini orang yang melanggar undang-undang tertentu harus menerima

hukuman yang sama tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi

sosial dan keadaan-keadan lain. Hukuman dijatuhkan harus berat, namun propossional,

dan untuk memperbaiki, dan lain-lain. Meskipun aliran ini kurang mampu menjelaskan

mengapa seseorang berperilaku jahat, namun hingga sekarang mencengkram kuat dan

mempengaruhi terhadap pemberian makna penjahat. Penjahat adalah mereka yang dicap

demikian oleh undang-undang, merupakan pengaruh nyata terhadap pola berfikir banyak

ahli (hukum) di Indonesia.

Aliran positivis muncul sebagai proses ketidak puasan dari jawaban-jawaban aliran

klasik, aliran ini berusaha menjelaskan mengapa seseorang bisa bertindak jahat. Aliran

ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar

kontrolnya, baik yang berupa faktor biologik maupun kultural. Ini berarti bahwa manusia

bukan makhluk yang bebas untuk berbuat menuruti dorongan keinginannya dan

intelegensinya, akan tetapi makhluk yang dibatasi atau ditentukan oleh perangkat

biologiknya dan situasi kulturalnya.  

Lambroso, yang dianggap sebagai pelopor mazhab ini pada pertengahan abad ke 19

secara tegas mengetengahkan apa yang disebut Born Criminal (penjahat sejak lahir),

bahwa penjahat sejak lahirnya merupakan tipe khusus, dengan kalsifikasi khusus

misalnya pencuri, pembunuh atau penjahat-penjahat lainnya memiliki tanda atau ciri

yang berbeda-beda, Aliran biologis yang dipeloporinya ini meskipun mendapat kritikan

dari beberapa ahli kriminologi, namun sampai saat ini pengaruh dari Lombroso masih

terasa, misalnya seseorang akan dicurigai apabila menampilakan ciri-ciri biologis

berambut gondrong, berdahi lebar, seperti satau atau dua jumlah uyeng-uyeng di kepala

bayi yang baru dilahirkan, dll. Kemudian muncul aliran yang memperluas dari individu

(biologis) kepada kondisi-kondisi yang dapat menghasilkan penjahat. Kejahatan

merupakan produk sistem sosial, yang menekankan pada struktur kesempatan yang

berbeda atau diffrential opartunity structure, kemiskinan, rasisme dan lain-lain, sebagai

faktor penyebab yang penting. Tercatat beberapa tokoh teori ini seperti Tarde, Lacasagne,

WA Bonger dan Sutherland. Ketidak puasan terhadap aliran-aliran di atas kemudian

Page 17: Ref 1

menampilkan perspektif baru dalam melihat mengapa seseorang dapat menjadi jahat,

sebagai hasilnya muncul apa yang disebut denagan perspektif aliran kriminologi baru

yang memiliki pemikiran-pemikiran kritis dan radikal.

Munculnya aliran ini, tidak luput dari perkembangan atau konteks perubahan-perubahan

sosial di Amerika Serikat sekitar tahun 1960, dan dibagian-bagian dunia setelah redanya

perang dingin, muncul apa yang disebut dengan kriminologi kritis sampai radikal., bahwa

pengungkapan terhadap kejahatan harus lebih kritis, selektif dan waspada. Wawasan

kriminologi ini disebut kriminologi baru. Munculnya kriminologi baru ini salah satunya

dan di mulai dengan munculnya teori Labbeling (labelling theory), dikemukakan Howard

Becker yang mengatakan pada dasarnya kejahatan merupakan suatu proses dalam

konteks, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial.  

Perkembangan selanjutnya, perbuatan jahat (kejahatan) ditafsirkan sebagai hasil dari

keadaan disorganisasi sosial dan kejahatan diakibatkan dari berbagai hal yang bersifat

sosial seperti Industrialisasi, perubahan sosial yang cepat dan modernisasi. Kejahatan

bukanlah kualitas perbuatan yang dilakukan oleh orang, melainkan sebagai akibat

diterapkannya peraturan dan sanksi oleh orang-orang lain kepada seorang pelanggar.

Oleh karena itu teori labelling ini telah merubah konteks studi kriminologi, yaitu dari

penjahat kepada proses terjadinya kejahatan, meskipun istilah pertamanya teori ini

muncul dalam bukunya Frank Tannenbaun, dan E.M Lemert, Disusul kemudian oleh

teori-teori yang dikemukakan Austin Turk, Ralf Dahrendorf Chambliss dan Seidman,

dengan teori Konflik,aliran ini disebut pula dengan aliran Kriminologi radikal.

Bagi aliran-aliran kriminologi baru penyimpangan adalah normal, dalam pengertian

manusia terlibat secara sadar dalam penjara-penjara yang sesungguhnya dan masyarakat

yang juga merupakan penjara, dalam menyatakan kebhinekaan mereka. Tugas ahli

kriminologi bukanlah sekedar mempermasalahkan stereotype atau bertindak sebagai

pembawa-pembawa alternatif phenomenological realities, kewajiban ahli kriminologi

adalah untuk menciptakan suatu masyarakat di mana kenyataan-kenyataan keragaman

personal, organik dan sosial manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa.

Page 18: Ref 1

Munculnya aliran baru kriminologi sebenarnya merupakan kritik terhadap perkembangan

kriminologi itu sendiri, disaat kriminologi tradisional atau oleh Taylor disebut dengan

istilah Orthodoks kriminologi, tidak mampu memuaskan jawaban-jawabn terutama

terhadap mengapa mereka melakukan perbuatan-perbuatan jahat. Terlebih lagi studi yang

dilakukan masih tradisional, fokus kejahatan hanyalah terhadap apa yang disebut dengan

“kejahatan jalanan.” Terutama di Indonesia, hal ini telah menyita tenaga dari sistem

peradilan pidana sehingga kejahatan-kejahatan dengan klasifikasi lain atau kejahatan

yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan menjadi tidak tersentuh, sehingga

lahirnya aliran-lairan baru dalam kriminologi, apabila ditempatkan dalam konteks

paradigma Thomas Kuhn, maka proses ini bisa disebut sebagai Lompatan Paradigmatik,

bahwa Ilmu pengetahuan itu hidup karena revolusi bukan akumulasi. Menurut

Mardjono,lahirnya Kriminologi yang non konvensional memberikan analisa berbeda,

dilihat dari kacamata kriminologi yang non konvensional itu maka apa yang disjikan oleh

kriminologi konvensional adalah menyesatkan, dengan dua hal yang menjadi sangat

penting; bahwa angka kriminalitas yang tidak dilaporkan dan tidak tercatat cukup besar

(the dark number of crime), dan ;di samping kejahatan jalanan masih terdapat kejahatan

korporasi (Corporate crime) dan kejahatan-kerah putih/orang berdasi (White Collar

Crime), yang jarang diketahui, dilaporkan dan dicatat.  

Pada intinya aliran baru mengecam statistik kriminalitas yang tidak mampu memberikan

data akurat, dan menjelaskan kejahatan secara faktual. Seorang kriminolog Indonesia

yaitu Paul Moedikdo, memberikan komentar terhadap pandangan aliran-aliran

kriminologi baru ini, menurutnya kadar kebenaran dan nilai praktis teori kritis dapat

bertambah apabila hal itu dikembangkan dalam situasi kongkret demi kepentingan atau

bersama-sama mereka yang diterbelakangkan, guna memperbaiki posisi hukum atau

pengurangan keterbelakangan mereka dalam masyarakat. Akan tetapi bahaya praktek

pengalaman yang terbatas adalah adanya penyempitan kesadaran dan diadakannya

generalisasi terlalu jauh jangkauannya. Mereka sampai kepada perumusan-perumusan

tentang kejahatan dan perilaku menyimpang yang tidak dapat dipertahankan oleh karena

adanya generalisasi yang berlebihan bahwa delik-delik adalah pernyataan dari

perlawanan sadar dan rasional terhadap masyarakat yang tidak adil yang hendak

Page 19: Ref 1

menyamaratakan orang menjadi objek-objek pengaturan oleh birokrasi ekonomi.  

Ini kemudian dipertegas oleh Soedjono bahwa, dengan kata lain kriminologi baru

melupakan sama sekali adanya street crime yang konvensional dan tradisional yang

berkait dengan tatanan birokratis yang ada, maka dapat dikatakan catatan atau kritik

terhadap kriminologi baru ini bahwa, perspektif baru memang diperlukan dalam

meluruskan pandangan sempit dari kriminologi konvensional, namun rumusannya

tentang kejahatan dan generalisasinya mengenai teori kejahatan dan perilaku

menyimpang terlalu jauh, sehingga justru melahirkan pertentangan pendapat yang

berkepanjangan dan dapat memecah belah para kriminologi ke dalam dua kubu. Paul

Moedikdo juga memberikan komentarnya terhadap Ian Taylor dll, yaitu bahwa rumusan

kewajiabn ahli kriminologi untuk berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana

kenyataan-kenyataan kebhinekaan manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa

adalah rumusan yang keliru. Bukan kekuasaan untuk mengkriminalisasi kajahatan yang

harus dirumuskan atas dasar prinsip-prinsip egalitarian dan kooperatif, bukan berdasarkan

hierarkhikal dan eksploitatif. Suatu kritik dilontarkan pula terhadap teori Labelling

bahwa, teori ini bersifat deterministik dan menolak pertanggungjawaban individual, dan

teori ini tidak berlaku untuk semua jenis kejahatan, bahkan meurut Hagan, teori labeling

yang selalu berangapan bahwa setiap orang melakukan kejahatan dan nampak bahwa

argumentasinya adalah cap, dilekatkan secara random. Kenyataannya bahwa hanya

kejahatan yang sangat serius memperoleh reaksi masyarakat atau cap. 

Namun apabila kita lihat pandangan-pandangan atau kritik yang dikemukakan oleh Paul

Modikdo dan Soejono terhadap Kriminologi baru itu, nampaknya banyak yang tidak

tepat, meski bisa dipertimbangkan (sebagai scientific device). Hanya saja kritik tersebut

terkesan umum (tidak cermat) serta kurang memiliki landasan cukup tajam terhadap

pandangan-pandangan kriminologi baru, apalagi kritik itu lebih bersifat kehati-hatian

daripada melihat substansi teori yang dikembangkan, pemikiran kritis sering dicap

sebagai bagian yang harus diwaspadai dalam pengertian negatif, apalagi pandangan yang

dikemukakan aliran kritis/radikal sering bersinggungan dengan konteks kekuasaan atau

bentuk perlawanan, sehingga apabila dibaca dalam paradigma kekuasaan yang pada

Page 20: Ref 1

waktu itu sangat dominan (Rezim Orde Baru begitu alergi terhadap pandangan-

pandangan kritis dan perlawanan, sehingga aliran-aliran kritis sering dicurigai). Saat ini

penafsiran terhadap kejahatan mengalami suatu perubahan cukup mendasar, yang timbul

akibat perubahan besar disegala bidang kehidupan, sehingga kalau boleh saya jelaskan

bahwa kritik terhadap kriminologi baru yang dikemukakan kedua pakar krimonolog di

atas adalah kritik yang kering interpretasi, tidak melihat konteks. Hanya perlu

diperhatikan mengenai kritik dari Paul Meodikdo, tentang generalisasi yang terlau jauh

dari jangkauannya, untuk kategori ini kita memang harus berhati-hati karena

penyamarataan itu memang akan menyesatkan mengenai pandangan kita tentang

kejahatan.

Bahwa aliran aliran baru terutama kritis dan radikal, dalam menguraikan teori mereka

didasarkan kepada kemampuan apa yang disebut dengan motif-motif berfikir kritis

dengan “melihat tembus “ “melihat dibalik” (adegan), dengan kata lain untuk tidak

menerima apa adanya Take for Granted. Sebagai contoh, hal ini bisa dilihat dari uraian

Steven Box , mengenai hubungan kejahatan dengan kekuasaan, dengan menguraikan

suatu analisis bahwa “Undang-Undang Percobaan usaha kriminal (Criminal Attemps

Act), 1981, dimaksudkan untuk mencabut hukum-hukum ‘sus’ yang banyak dikutuk

orang. Akan tetapi penguatan hukum usaha percobaan bisa direntangkan sebagai akibat

dari undang-undang ini, untuk mencakup usaha pencurian materi yang tidak di kenal oleh

orang-orang tidak dikenal, serta usaha untuk mencuri mobil yang sedang diparkir.

Sekedar keberadaan (kehadiran), terutama kalau wajah anda tidak sesuai, atau warna kulit

anda kurang layak di sebuah jalan dengan sebuah mobil yang sedang diparkir, dimata

polisi bisa di anggap sebagai suatu usaha percobaan pencurian mobil. Melalui undang-

undang ini wewenang polisi telah ditambah dan bukannya dikurangi. Demikian pula

dengan undang-undang polisi dan Bukti Kriminal, (police and Criminal Evidence Bill

1982 ) adalah contoh lain dari usaha negara untuk mendapatkan kekuasaanya. Ini hanya

sekedar satu di dalam satu deretan manuver legal yang konsekuensi latennya, tidak peduli

apapun maksud yang dinyatakan, adalah untuk meningkatkan kekuasan polisi untuk

menyerang privasi individu dan menunda mereka sampai bukti ditemukan, bisa

dibayangkan efek yang timbul. Tengok pula bagaimana di Indonesia kejahatan mengalir

Page 21: Ref 1

tanpa hambatan melalui legalisasi peraturan perundang-undangan. 

Apabila kita melihat seadanya maka nampak, bahwa terbitnya undang-undang itu

merupakan rasa peduli pemerintah dan kekhawatiran pemerintah, terhadap

warganegaranya, namun pemerintah sendiri telah menciptakan opini publik yang

berlebihan tentang kejahatan (warungan) melalui media-media, dan menciptakan setan

rakyat, dari para pengemis, pencuri jaminan sosial. Pada gilirannya pemerintah kemudian

tampak responsif terhadap keprihatinan publik, sementara pada kenyataanya tujuannya

adalah untuk menanamkan kedisiplinan dan rasa takut akan penganggur yang menerima

keuntungan negara, karena mereka bukan golongan menegah yang terhormat atau yang

secara potensial rusak. Aliran-aliran kriminologi baru ( Taylor dll ) mengakui secara jujur

bahwa gambaran yang diromantisasikan merupakan suatu formulasi yang kasar dan

bahkan salah, serta lebih banyak merupakan pemujaan dari pada analisa perbuatan

menyimpang yang dikagumi penyusun-penyusun teori seperti perilaku hippi, pemakaian

narkotik, vandalisme dan sabotase industri. Namun harus diakui apa yang ditawarkan

oleh aliran kriminologi baru, kritis dan radikal adalah alternatif pemikiran yang mencoba

membuka pemahaman kita akan realitas kejahatan serta memberikan kegairahan

perkembangan pemikiran kejahatan dalam konteks kriminolog.

Soal No.2 : Relativitas Kejahatan, sosiologi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan

karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-

perilaku sosial lainnya. Analisis terhadap kondisi-kondisi dan proses-proses tersebut

menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama yang terdapat hubungan antara variasi

kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi.

Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan

organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi, maka angka-angka

kejahatan dalam masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan kelompok-kelompok

sosial mempunyai hubungan dengan kondisi-kondisi dari proses-proses misalnya gerak

sosial, persaingan dan penentangan kebudayaan, ideologi, politik, agama, ekonomi.

Dengan cara inilah sosiologi memandang arti sebuah kejahatan.

Page 22: Ref 1

Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari

sejak Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan

persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana ada

manusia, pasti ada kejahatan “Crime is eternal-as eternal as society”. Masalah ini

merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum maupun sesudah

kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini. Maka

pengertian kejahatan adalah relativ tak memilki batasRelativitas kejahatan dan aspek

yang terkait di dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum semata-mata, sekalipun

memang legalitas penentuan kejahatan lebih nyata nampak dan dapat dipahami, akan

tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra legal) tidaklah mudah untuk ditafsirkan.

karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka macam seperti itu sering didengar didalam

percakapan sehari-hari, kejahatan dalam artian hukum, sosiologi, dan kombinasi dari

semuanya itu. Relativitas jelas akan berpengaruh terhadap penggalian faktor sebab

musababnya yang pada gilirannya berpengruh terhadap metode penanggulangan

kriminalitas pada umumnya.

Tentunya relativitas kejahatan memerlukan atau bergantung kepada ruang dan waktu,

serta siapa yang menamakan seuatu itu adalah kejahatan.”Misdaad is benoming” yang

berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak

mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. Meskipun kejahatan itu relatif, ada pula

perbedannya antara “mala in se” dengan “mala in prohibita”.Mala in se adalah suatu

perbuatan yang tanpa dirumuskan sebagai kejahatan sudah merupakan kejahatan.

Sedangka Mala in prohibita, adalah suatu perbuatan manusia yang diklasifikasikan

sebagai kejahatan apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam Undang-undang. 

Siapakah sebenarnya penjahat itu. Apakah cukup mereka yang dinyatakan melakukan

perbuatan yang dilarang dan diberi sanksi hukum yang tercantum dalam pasal undang-

undang disebut sebagai penjahat? Dalam KUH-Pidana (kita) tidak ada satu pasal pun

yang mengatakan bahwa penjahat adalah..., dan KUH-Pidana kita tidak menyebutkan

siapakah orangnya yang menyandang gelar penjahat. Akan tetapi mereka hanya dicap

Page 23: Ref 1

sebagai penjahat dengan sebutan “barang siapa” (Yesmil Anwar. 2004:5), tentunya

penjahat itu merupakan label atau stigma dari undang-undang.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, ternyata aliran klasik atau aliran positif tidak

dapat bertahan lama, aliran-aliaran ini kembali mendapat kritikan dari aliran atau mazhab

sosiologis. Dalam lapangan kriminologi, aliran ini paling banyak melahirkan variasi-

variasi dan perbedaan-perbedaan analisa dari sebab musabab kejahatan. Pokok pangkal

dari ajaran ini adalah kelakuan-kelakuan jahat yang dihasilkan dari proses-proses yang

sama seperti kelakuan-kelakuan sosial lainnya. 

Bukan suatu penjungkirbalikan terhadap paham klasik, positivistik, namun merupakan

sebuah perkembangan yang begitu dasyat dalam lapangan kriminologi. Edwin Hardin

Sutherland (1883-1950), boleh kita sebuat sebagai seorang berani tampil beda dalam

menelaah kejahatan, ”the white collar crime” adalah suatu hal yang bagus, yang ia

hasilkan, bahwa kejahatan tidak hanya dilakukan orang-orang kelas bawah, namun

kejahatan dilakukan juga oleh orang-orang kelas atas. J.E Sahetapy menyebut hal ini

sebagai ”kejahatan dalam kemasan baru”.

Kejahatan dalam tataran seperti yang Sutherland kemukakan adalah merupakan

”educated criminals”. Dalam pandangannya, Pelaku kejahatan adalah orang-orang yang

berasal dari kelas-kelas sosial dan ekonomi yang rendah, kejahatan tersebut itu berupa,

perampokan, pencurian, dan kekerasan lainya hal ini menunjukan bahwa kejahatan

merupakan fenomena yang dapat diketemukan juga dalam kelas-kelas masyarakat yang

lebih tinggi, yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan secara tradisional, seperti

kemiskinan, atau fakto-faktor patologik yang bersifat individual.