reaksi kusta
DESCRIPTION
Laporan kasus reaksi kustaTRANSCRIPT
BAB II
PENDAHULUAN
Lepra atau kusta adalah infeksi bakteri pada kulit dan saraf yang dapat
menyebabkan hilangnya rasa raba, kelemahan otot dan kelumpuhan. Salah satu
ciri khas lepra adalah kemungkinan timbulnya reaksi, yaitu suatu periode di mana
terjadi peradangan yang dapat mengenai saraf. Reaksi kusta adalah suatu episode
akut di dalam perjalanan klinik penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi
kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response),
ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang kadang-kadang
disertai dengan gejala sistemik.[1,2]
Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat pengobatan,
maupun sesudah pengobatan, namun reakis kusta paling sering terjadi pada 6
bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan. Reaksi kusta dibagi
menjadi dua yaitu reaksi tipe I atau reaksi reversal yang disebabkan karena
meningkatnya kekebalan seluler secara cepat dan reaksi tipe II atau reaksi
erythema nodosum leprosum (ENL) yang merupakan reaksi humoral yang
ditandai dengan timbulnya nodul kemerahan, neuritis, dan gangguan saraf. [1,3]
Sekitar 25 - 30 persen dari total penderita lepra cepat atau lambat akan mengalami
reaksi atau kerusakan saraf. Studi dari ScollardD.M, et.al (1994), menyimpulkan
bahwa frekuensi terjadinya reaksi tipe I adalah 32% dan frekuensi reaksi tipe II 37
%. Reaksi kusta dapat merugikan pasien kusta, oleh karena dapat menyebabkan
kerusakan syaraf tepi terutama gangguan fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat
menimbulkan kecacatan pada pasien kusta. Reaksi merupakan penyebab utama
kerusakan saraf dan kecacatan pada lepra. [1,3,4]
Apabila reaksi dapat diobati secara efektif, kerusakan saraf yang masih tahap awal
dapat membaik dan kecacatan masih dapat dicegah. Sayangnya banyak penderita
terlambat didiagnosis sehingga risiko terjadinya reaksi dan neuritis menjadi lebih
1
besar. Diharapkan dengan penatalksanaan yang baik dan cepat, dapat mengurangi
kecacatan permanen yang terjadi pada penderita kusta. [4,5]
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Reaksi Kusta
2.1 Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama,
lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat keorgan
lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta biasa disebut juga lepra atau Morbus
Hansen.[1]
Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta. Reaksi kusta ini adalah interupsi
dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik,
yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen
antibody (humoral response). Reaksi kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi tipe I
atau reaksi reversal yang disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler
secara cepat dan reaksi tipe II atau reaksi erythema nodosum leprosum (ENL)
yang merupakan reaksi humoral yang ditandai dengan timbulnya nodul
kemerahan, neuritis, dan gangguan saraf. [1,3,4]
2.2 Epidemiologi
Kusta terdapat dimana-mana, tertama di Asia,Afrika, Amerika latin, daerah tropis
dan subtropik, serta masyarakat yang social ekonominya rendah. Menurut data
kusta nasional tahun 2000, sebanyak 5 % penderita kusta mengalami reaksi
kusta. Penderita tipe PB dapat mengalami reaksi kusta sebanyak 1 kali dan
penderita tipe MB sebanyak 2 kali. Menurut Pieter A.M Schreuder (1998),
sebanyak 12 % penderita kusta mengalami reaksi tipe I selama masa pengobatan
dan1,6 % terjadi setelah penderita RFT (Realease From Treatment). Penelitian R.
Bwire dan H.J.S Kawuma(1993), menyatakan bahwa reaksi kusta dapat terjadi
sebelum pengobatan adalah 14,8%, selama pengobatan 80,5 % dan setelah
3
pengobatan 4,7 %.31. Studi dari ScollardD.M, et.al (1994), menyimpulkan bahwa
frekuensi terjadinya reaksi tipe I adalah 32% dan frekuensi reaksi tipe II 37 %.[1,3,4]
2.3 Etiologi
Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran3-8
µm x 0,5 µm, tahan asam dan alkohol, serta positif – Gram.1 Meskipun gambaran
klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor pencetus reaksi kusta sudah
diketahui dengan jelas, namun penyebab pasti belum diketahui. Kemungkinan
reaksi ini menggambarkan episode hipersensitivitas akut terhadap antigen basil
yang menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang telah ada.[2,4]
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih belum diketahui. Yang
diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput
lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta
adalah melalui sekret hidung (basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang
sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2 – 7 x 24 jam), dan kontak kulit
dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun,dan adanya
kontak yang lama dan berulang-ulang. [4]
2.4 Patofisiologi
Mycobacterium leprae dapat ditemukan di seluruh tubuh seperti saraf, kulit dan
jaringan tubuh lainnya. Perubahan patologik dari saraf biasanya
merupakan respon dari ditemukannya Mycobacterium leprae dalam kulit yang
memunculkan reaksi imunologi pada penderita. Pada kusta tipe TT kemarnpuan
fungsi system imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup
menghancurkan kuman. Pada kusta tipe LL, terjadi kelumpuhan sistem-imunitas,
dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman
dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan. [1,3,7]
Respon imun pada penyakit kusta meliputi respon imun humoral atau antibody
mediated immunity dan respon imun seluler atau cell mediated immunity (CMI).
Pada respon imun humoral, tubuh akan memproduksi antibodi untuk
menghancurkan antigen yang masuk. Dengan CMI, antigen akan memacu
4
produksi sel pertahanan spesifik yang dapat dimobilisasi untuk menghancurkan
antigen dan akan memicu terjadinya reaksi kusta. [1,3]
Meskipun respon imun berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap bakteri atau
antigen, tetapi respon imun yang berlebihan dapat menimbulkan reaksi kusta
reversal maupun ENL. Pada kusta tipe lepromatosa aktivasi limfosit Th2
mempengaruhi produksi IL - 4 dan IL -10, yang akan menstimulasi respon imun
humoral dan intensitas produksi antibody limfosit B2. Mekanisme imunopatologi
ENL masih kurang jelas. ENL diduga merupakan manifestasi pengendapan
kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah. Diperkirakan reaksi pada ENL
ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan
terjadi pada tempat-tempat basil lepra berada, yaitu pada saraf dan kulit,
umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama.[1,4]
2.5 Gejala Klinis
Reaksi kusta dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:
1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal)
Menurut jopling reaksi kusta tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity reaction
seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Reaksi kusta tipe 1 terutama terjadi
pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi dalam 6 bulan
pertama ataupun sedang mendapat pengobatan. Pada reaksi ini terjadi peningkatan
respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta dikulit dan syaraf.[1,3]
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T
disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1 adalah
adanya perubahan keseimbangan antara imunitas selular dan basil. Dengan
demikian sebagai hasil reaksi tersebut terjadi upgrading/reversal, apabila menuju
kearah bentuk lepromatosa (terjadi penurunan system imun seluler). [1,7]
Gejala yang terjadi pada reaksi tipe I berupa adanya perubahan lesi kulit (lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi macula menjadi infiltrate) maupun saraf
akibat peradangan yang terjadi, onset nya mendadak. Manifestasi lesi pada kulit
5
dapat berupa warna kemerahan, bengkak, nyeri dan panas, sering muncul lesi kulit
yang baru dengan waktu yang relative singkat. Pada saraf dapat terjadi neuritis
dan gangguan fungsi saraf. Kadang dapat terjadi gangguan keadaan umum
penderita (demam). Hampir tidak terjadi peradangan pada organ lain.Reaksi kusta
tipe I dapat berlangsung 6-12 minggu atau lebih. [2]
Menurut beratnya, reaksi tipe I dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan berat.
Adapun perbedaan antara reaksi kusta tipe I ringan dan berat dapat dilihat pada
pada tabel berikut: [2]
Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat
Lesi Kulit Tambah aktif, menebal, merah,
panas, nyeri, makula
membentuk plaque
Lesi bengkak sampai pecah,
merah, panas, nyeri, kaki dan
tangan bengkak, ada kelainan
kulit baru, sendi sakit
Saraf Tepi Tidak ada nyeri tekan dan
gangguan fungsi
Nyeri tekan dan atau gangguan
fungsi
2. Reaksi kusta tipe II (Erythema Nodosum Leprosum/ ENL)
Reaksi kusta tipe II sering terjadi pada penderita kusta tipe MB dan merupakan
respon imun humoral karena tingginya respons imun humoral penderita. Pada
kusta tipe MB, reaksi kusta banyak terjadi setelah pengobatan. Kompleks imun
dapat beredar dalam sirkulasi darah dan mengendap pada organ kulit, saraf,
limfonodus dan testis. Diagnosis ENL diperoleh dengan pemeriksaan klinik
maupun histologi. Secara mikroskopis spesimen ENL digolongkan menjadi 3
bagian mengikuti lokasi peradangan utama yaitu : klasikal (subkutis), kulit dalam,
dan permukaan. Gejala ENL bisa dilihat pada perubahan lesi kulit berupa nodul
kemerahan yang multiple, mengkilap, tampak berupa nodul atau plakat,
ukurannya pada umumnya kecil, terdistribusi bilateral dan simetris, terutama
didaerah tungkai bawah, wajah, lengan dan paha, serta dapat pula muncul
6
di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang berambut, aksila,
lipatan paha dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi dan
ulserasi juga disertai gejala sistematik seperti demam, malaise, nyeri sendi, nyeri
otot dan mata, neuritis, gangguan fungsi saraf, gangguan konstitusi dan
komplikasi pada organ tubuh lainnya. Bila mengenai organ lain dapat
menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis,
orkitis, dan nefritis yang akut dengan adanya proteinuria. Ia juga dapat disertai
gejala konstitusi dari ringan sampai berat. Lama perjalanan ENL dapat
berlangsung 3 minggu atau lebih. [4,9, 10]
Menurut beratnya, reaksi tipe II dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan berat.
Adapun perbedaan antara reaksi kusta tipe II ringan dan berat dapat dilihat pada
pada tabel berikut: [2]
Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat
Lesi Kulit Nodul Nyeri tekan, jumlah
sedikit, hilang sendiri 2 – 3 hari
Nodul Nyeri tekan, pecah,
jumlah banyak, berlangsung
lama
Keadaan
umum
Tiddak demam atau demam
ringan
Demam ringan sampai berat
Saraf Tepi Tidak ada nyeri saraf dan
gangguan fungsi
Nyeri saraf dan atau gangguan
fungsi
Organ
Tubuh
Tidak ada gangguan Peradangan pada mata, testis,
limfa.
Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf perifer
yang menghasilkan claw hand atau drop foot.11 kerusakan mata pada kusta dapat
primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu
mata. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.facialis yang dapat membuat paralisis
N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus
7
yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian – bagian mata lainnya. Secara
sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan. [8,9]
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta
tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrate
difus, berwarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama
di ekstremitas, kemudian meluas keseluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih
eritematous disertai purpur, bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta
ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan
parut.[1]
2.6 Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gambaran klinis, dan pemeriksaan penunjang.
Tanda-tanda reaksi umumnya yaitu pada kulit berupa peradangan bercak kulit,
pada saraf berupa rasa sakit atau nyeri tekan pada saraf, timbul kehilangan rasa
raba baru, timbul kelemahan otot baru, dan pada mata berupa rasa sakit atau
kemerahan pada mata, timbul penurunan daya penglihatan yang baru, dan timbul
kelemahan otot-otot penutup mata yang baru. [1,4]
Pemeriksaan penunjang pada ENL dapat berupa pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan histopatologi.
Pada pemriksaan laboratorium dilakukan pemeriksaan protein dan sel
darah merah dalam urine yang dapat menunjukan terjadinya
glomerulonefritis akut.
Pemeriksaan histology, ENL akan menunjukan imflamasi akut berupa
lapisan infiltrate pada inflamasi granulomatosa yang kronik dari BL dan
LL. Selain itu akan tampal peningkatan vaskularisai dengan dilatasi
kapiler pada dermis bagian atas dab pada dermis bagian bawah terdapat
infiltrasi leukosit polimorfonuklear yang likasinya disekeliling pembuluh
darah dan menyerang dinding pembuluh darah. [4,8]
2.7 Diagnosis Banding
8
Reaksi kusta tipe Eritema nodusum leprosum (ENL) perlu dibedakan dengan :
Eritema nodusum
2.8 Penatalaksanaan
Prinsip dalam penatalaksanaan reaksi kusta adalah mengontrol neuritis akut untuk
mencegah anastesi, paralisis dan kontraktur, serta menghentikan kerusakan pada
mata dan mencegah kebutaan. Prinsip pengobatan reaksi kusta yaitu
istirahat/imobilisasi, pemberian analgesic/sedative, pemberian obat anti
reaksi pada reaksi berat, dan melanjutkan terapi MDT. [4,11]
Penatalaksanaan reaksi kusta tergantung dari berat ringannya reaksi. pada reaksi
ENL ringan dapat diberikan analgesik/antipiretik, berobat jalan dan istirahat di
rumah. Jika tidak membaik setelah pengobatan 6 minggu harus diobati sebagai
reaksi kusta berat. Berdasarkan pedoman WHO untuk penanganan reaksi eritema
nodosum leprosum (ENL) berat dilakukan pemberian prednisone dengan cara
bertahap atau”tappering off ”selama 12 minggu. [4,11]
Manajemen dengan kortikosteroid:
1. Jika masih dalam pengobatan kusta, lanjutkan pemberian MDT.
2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan
nyeri.
3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1 mg/Kg BB
dengan total durasi pemberian 12 minggu.
Minggu Dosis harian
1-2 40 mg
3-4 30 mg
5-6 20 mg
7-8 15 mg
9-10 10 mg
11-12 5 mg
9
Reaksi tipe II berulang dapat diberikan prednison dan clofazimin. Selain itu
klofazimin juga dapat diberikan jika tidak berespon dengan pengobatan
kortikosteroid atau dimana risiko toksisitas dengan kortikosteroid yang tinggi.
Imobilisasi lokal dan bila perlu penderita dirawat di rumah sakit. [5,8]
2.9 Komplikasi dan Prognosis
Di dunia, kusta mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan
infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun
ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang
ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatous difus, infiltrative dan non
nodular. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan
menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan penyulit
pada penyakit kusta berat terutama ENL kronik. Setelah program terapi obat
biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manjemen dan gejala
neurologis, krontraktur, dan perubahan pada tangan dan kaki. [1,10]
BAB III
LAPORAN KASUS
10
3.1 Identitas Pasien
Nama : Putu Renis
Jenis kelamin : Laki - laki
Usia : 51 tahun
Alamat : Desa Pejarakan Buleleng
Agama : Hindu
Suku bangsa : Bali
Warga negara : Indonesia
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Status : Sudah menikah
Tanggal pemeriksaan : 21 April 2014
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Bentol – bentol kemerahan di badan yang terasa nyeri.
Anamnesa Umum
Pasien datang dengan diantar oleh anaknya ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUD Buleleng dengan membawa rujukan dari puskesmas. Pasien datang dengan
keluhan kulit bentol – bentol kemerahan sejak kurang lebih satu tahun yang lalu.
Bentol – bentol ditemukan di dada, punggung, bahu, siku, dan kedua cuping
telinga. Pasien mengatakan bentol – bentolnya semakin bertambah besar dan
banyak. Pasien juga mengeluh adanya rasa nyeri hampir seluruhh tubuh, nyeri
sendi. Sebelumnya pasien memiliki riwayat kusta dan sudah menyelesaikan
pengobatan anti kusta selama 1 tahun. Keluhan bentol – bentol dikatakan timbul
beberapa hari setelah pasien selesai mengkonsumsi obat anti kustanya.
Riwayat Pengobatan
Sebelumnya pasien sempat datang ke puskesmas untuk mendapatkan pengobatan
mengenai keluhannya ini dan pasien mengatakan sempat diberikan prednison
11
untuk tiga hari dan keluhannya dirasakan membaik tetapi setelah pasien tidak
minum obat keluhannya muncul kembali kemudian dari puskesmas pasien dirujuk
ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Buleleng. Pasien dirujuk ke Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUD Buleleng dengan kecurigaan terjadi reaksi kusta.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelum ini memiliki riwayat penyakit kusta dan sudah berobat untuk
penyakit kustanya. Pasien juga sudah menyelesaikan pengobatan anti kustanya
selama 1 tahun.
Riwayat penyakit dalam keluarga
Pasien menyatakan tidak ada anggota keluarga yang lain yang memiliki keluhan
serupa.
Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang petani. Waktu sehari-harinya dihabiskan dengan
menggarap sawah miliknya.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status present :
Kesadaran : compos mentis
Kesadran Umum : baik
Tensi : 110/60mmHg
Nadi : 88 kali/menit
Respirasi rate : tidak diperiksa
Suhu axila : tidak diperiksa
Status generalis:
Kepala : Normocephali
Mata : Anemis(-/-), ikterus(-/-), reflek pupil (+/+)
Thorax : nodul multiple diatas kulit eritema
Abdomen : nodul multiple diatas kulit eritema
Extremitas : nodul multiple diatas kulit eritema pada
ekstremitas atas
12
Status dermatologis :
Lokasi : 1. Dada
2. Punggung
3. Ekstremitas atas kanan dan kiri
4. Cuping telinga kanan dan kiri
Efloresensi : Nodul eritema multiple, batas tegas, mengkilap,
bentuk dump shaped, dengan ukuran 1 cm x 1 cm
hingga 3 cm x 3 cm, terdistribusi bilateral.
Gambar 1. Nodul multiple pada dada Gambar 2. Nodul multiple pada punggung
Gambar 3. Nodul multiple pada lengan
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang antara lain:
1. Kimia darah : dalam batas normal
13
2. Darah lengkap : dalam batas normal
3. Pemeriksaan bakterioskopik :
Sedian dari kerokan jaringan kulit yang diambil dari cuping telinga, siku,
dan punggung. Pemeriksaan BTA negatif (-)
3.5 Resume
Pasien datang dengan rujukan dari puskesmas, dengan keluhan kulit bentol –
bentol kemerahan sejak kurang lebih satu tahun yang lalu. Bentol – bentol
ditemukan di dada, punggung, bahu, siku, dan kedua cuping telinga. Pasien
mengatakan bentol – bentolnya semakin bertambah besar dan banyak. Pasien juga
mengeluh adanya rasa nyeri hampir seluruhh tubuh, nyeri sendi. Sebelumnya
pasien memiliki riwayat kusta dan sudah menyelesaikan pengobatan anti kusta
selama 1 tahun. Bentol – bentol timbul beberapa hari setelah pasien selesai
mengkonsumsi obat anti kustanya.
Sebelumnya, pasien sempat datang ke puskesmas dan diberikan prednison untuk
tiga hari, karena keluhannya muncul kembali setelah obatnya habis pasien
kemudian dirujuk ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Buleleng dengan
kecurigaan terjadi reaksi kusta. Pasien merupakan seorang petani. Riwayat
penyakit yang sama dikeluarga penderita disangkal.
Pemeriksaan Fisik
Status present : dalam batas normal
Status general : Nodul eritema multiple pada dada, punggung, ekstremitas
atas kanan dan kiri, dan cuping telinga kanan dan kiri.
Status dermatologis :
Lokasi : Dada, punggung, ekstremitas atas kanan dan kiri, dan
cuping telinga kanan dan kiri.
Efloresensi : Nodul eritema multiple, batas tegas, mengkilap, bentuk
dump shaped, dengan ukuran 1 cm x 1 cm hingga 3 cm
x 3 cm, terdistribusi bilateral.
Pemeriksaan penunjang :
1. Kimia darah : dalam batas normal
14
2. Darah lengkap : dalam batas normal
3. Pemeriksaan bakterioskopik : pemeriksaan BTA negatif (-)
3.6 Diagnosis banding
Eritema nodusum
3.7 Diagnosis Kerja
Reaksi kusta tipe II (Eritema Nodusum Leprosum) pada kusta tipe MB
3.8 Penatalaksanaan
Pengobatan medikamentosa
Sistemik : - Prednison tablet 2x10 mg
- Paracetamol tablet 3x500 mg
- Sohobion 2x1
KIE :
Memberi penjelasan kepada keluarga tentang penyakit pasien, dari jenis
penyakit, penyebab, perjalanan penyakit sampai prognosisnya.
Menyarankan pasien menjaga kondisi tubuhnya dengan beristirahat dan
olah raga yang cukup.
menghindari stres fisik karena stres fisik bisa menjadi pencetus timbulnya
reaksi kusta.
Menggunakan terapi yang telah diberikan sesuai dengan anjuran dokter
dan apabila keluhan masih timbul atau timbul lesi baru, penderita
diharapkan kontrol ulang ke poli kulit & kelamin
Hindari kontak dengan orang lain.
3.9 Prognosis
Prognosis baik selama pengobatan dilakukan secara adekuat dan terkontrol.
15
BAB IV
PEMBAHASAN
16
Reaksi kusta tipe II sering terjadi pada penderita kusta tipe MB dan merupakan
respon imun humoral karena tingginya respons imun humoral penderita. Pada
kusta tipe MB, reaksi kusta banyak terjadi setelah pengobatan. Diagnosis ENL
diperoleh dengan anamnesis, pemeriksaan fisik maupun histologi. Gejala ENL
bisa dilihat pada perubahan lesi kulit berupa nodul kemerahan yang multiple,
mengkilap, tampak berupa nodul atau plakat, ukurannya pada umumnya kecil,
terdistribusi bilateral dan simetris. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi dan
ulserasi juga disertai gejala sistematik seperti demam, malaise, nyeri sendi, nyeri
otot dan mata, neuritis, gangguan fungsi saraf, gangguan konstitusi dan
komplikasi pada organ tubuh lainnya.
Dari anamnesi diperoleh informasi bahwa keluhan yang dialami pasien laki – laki
51 tahun adalah timbulnya bentol – bentol kemerahan pada badan sejak satu tahun
yang lalu. Pasien juga merasakan nyeri pada bentolan, nyeri hampir diseluruh
tubuh, dan nyeri pada persendian. Sebelumnya pasien memiliki riwayat penyakit
kusta dan sudah menyelesaikan pengobatan anti kustanya selama 1 tahun.
Beberapa hari setelah menyelesaikan pengobatan anti kustanya muncul keluhan
bentol – bentol tersebut. Adanya nodul eritema dengan riwayat penyakit kusta
sebelumnya dan pasien sudah menyelesaikan pengobatan kustanya mengarahkan
pada terjadinya reaksi kusta tipe II (Eritema Nodusum Leprosum) pada kusta tipe
MB.
Oleh karena menampakkan gejala klinis yang mirip, Eritema Nodusum Leprosum
(ENL) dalam kasus ini didiagnosis banding dengan Eritema Nodusum.
Didiagnosis banding dengan Eritema Nodusum oleh karena gambaran klinik yang
hampir sama yaitu terlihat nodul eritema dengan batas tegas. Dari informasi yang
diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang kasus ini lebih
mengarah pada reaksi kusta tipe Eritema Nodusum Leprosum setelah pengobatan
kusta, karena sebelumnya pasien memiliki riwayat penyakit kusta dan pasien
sudah menyelesaikan pengobatan anti kustanya. Dari pemeriksaan bakterioskopik
tidak ditemukan lagi bakteri basil tahan asam yang menunjukan kustanya tidak
aktif. Reaksi kusta tipe ENL yang khas ditandai dengan adanya nodul multiple
diatas kulit eritema yang dirasakan nyeri dan disertai gejala lain seperti nyeri
sendi. Reaksi kusta tipe ENL timbul pada kusta tipe lepromatosa. Gejala yang
17
dialami pasien ini sesuai dengan teori untuk gejala dari reaksi kusta tipe ENL.
Diagnosis banding Eritema Nodusum dapat dibedakan melalui pemeriksaan
histopatologis. Pada ENL menunjukan terjjadi vasculitis, sedangkan pada Eritema
Nodusum menunjukan panniculitis tanpa disertai atau minimal vasiculitis. 1,3,4
Penatalaksanaan reaksi kusta tergantung dari berat ringannya reaksi. Pemanfaatan
modalitas terapi yang dipilih untuk penangana kasus pasien diatas adalah berupa
medikamentosa yaitu agen sistemik. Oleh karena dasar pathogenesis reaksi kusta
adalah factor imunologik yang mengalami hipersensitivitas, maka agen yang
diberikan adalah berupa agen sistemik meliputi kortikosteroid sebagai anti reaksi.
Kortikosteroid yang diberikan biasanya prednisone dengan cara bertahap
atau”tappering off. Pada reaksi ENL dapat ditambahkan analgesik/antipiretik,
dengan dosis adekuat untuk mengatasi nyeri, tambhan vitamin untuk
meningkatkan daya tahan tubuh pasien terhadap penyakitnya.
Pada kasus ini pasien diberikan prednisone 20 mg/hari selama 5 hari, antipiretik
paracetamol 500 mg selama 3 hari, dan vitamin sohobion yang diberikan selama 5
hari. Pengobatan yang diberikan ini sesuai dengan teori dimana diberikan
prednisone sebagai anti imflamsi, dan paracetamol sebagai antipiretik. Pengobatan
ini diharapkan memberikan hasil yang maksimal dan efektif untuk mengatasi
reaksi kustanya dan mencegah kecacatan lebih lanjut. Prognosis pasien tergantung
dari berat ringannya reaksi, kepatuhan terhadap terapi, dan efektivitas terapi.
BAB V
SIMPULAN
18
5.1 Kesimpulan
1. Reaksi kusta ini adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik, yang merupakan suatu reaksi
kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral
response).
2. Reaksi kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi tipe I atau reaksi reversal
yang disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat dan
reaksi tipe II atau reaksi erythema nodosum leprosum (ENL) yang
merupakan reaksi humoral.
3. Gejala ENL bisa dilihat pada perubahan lesi kulit berupa nodul eritema
yang multiple, terdistribusi bilateral dan simetris yang disertai dengan
nyeri.
4. Penatalaksanaan reaksi kusta tergantung dari berat ringannya reaksi.
Terapi medikamentosa reaksi kusta yang utama adalah dengan pemberian
kortikosteroid sebagai anti reaksi.
5. Prinsip dalam penatalaksanaan reaksi kusta adalah mengontrol neuritis
akut untuk mencegah anastesi, paralisis dan kontraktur, serta
menghentikan kerusakan pada mata dan mencegah kecacatan.
5.2 Saran
Penatalaksanaan ENL bertujuan untuk mengontrol neuritis akut untuk mencegah
anastesi, paralisis dan kontraktur, serta mencegah kecacatan akibat reaksi kusta
tersebut. Sehingga memrlukan kepatuhan terhadap terapi dan kontrol yang rutin
untuk pengawasan perkembangan penyakitnya untuk mencegah terjadinya
kecacatan akibat reaksi kusta.
DAFTAR PUSTAKA
19
1. Kosasih, A, Wisnu,M, Sjamsoe,E, dkk. Kusta. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin FKUI, edisi kelima. 2007. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
2. Prawoto. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi
(Studi di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Brebes). Available at:
http://eprints.undip.ac.id/17745/2/PRAWOTO.pdf. Access on : April 21
2014.
3. Mary Tamplin, June Nash, Tim Almond. Bagaimana Mengenali dan
Menatalaksana Reaksi Lepra.2002. The International Federation of Anti-
Leprosy Associations (ILEP) London
4. Amirudin MD. Eritema Nodosum Leprosum. Ilmu Penyakit Kusta. 2003.
Makassar : Hassanudin University Press. Hlm. 83-99.
5. Freedbeg IM, Eizen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 6 th ed. 2003, New York: McGraw Hill.
Hlm. 1962-1971.
6. Dermatology Online Journal [Online]. 2001. Available at:
url:http://dermatology.cdlib.org/121/case_presentations/leprosy2/chauhan.htm
l .Access on:April 21 2014.
7. Sridharan R, Lorenzo NZ. Neuropathy of leprosy. 2007. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/1171421-overview
8. Lockwood DNJ, Bryceson ADM. Leprosy. In : Champion RH, Burton JL,
Burns DA, Breathnach SM, editor. Rook. Wilkinson/Ebling Textbook of
Dermatology. 7th ed. London: Blackwel science; 1998.p.29
9. Menaldi,S. repository reaksi kusta. Dept. I.K. Kulit dan Kelamin RSUP Dr.
CiptoMangunkusumo. Jakarta. 2010
10. Warren, Grace. Reaction In Leprosy. Pediglione Dermatologia Sociate. P ; 1-
14.2006
20
11. World Health Organization. WHO Expert Committee on Leprosy Six Report.
WorldHealth Organization, Geneva. 1988
21