raw panfacial fracture

Upload: najibah-ya

Post on 14-Jul-2015

511 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan mandibula. Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang datangnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Fraktur panfasial biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah.(1,2) Cedera maksilofasial yang biasa ditemui dalam pengobatan darurat. Lebih dari 50% pasien dengan cedera ini memiliki trauma multisystem yang memerlukan manajemen melibatkan koordinasi antara dokter spesialis bedah darurart, THT, bedah trauma, bedah plastik, oftalmologi, dan bedah mulut dan maksilofasial.

1

BAB II ANATOMI

II. 1. ANATOMI

II. 1. 1. Tulang Sepertiga atas wajah terdiri dari tulang frontal dan sinus frontal. Sepertiga tengah wajah terdiri dari tulang hidung,ethmoid, zigoma, dan maksila. Tulang mandibula membentuk sepertiga bagian bawah wajah.

Gambar 1: Tulang-tulang wajah

Pertumbuhan kranium terjadi sangat cepat pada tahun pertama dan kedua setelah lahir dan lambat laun akan menurun kecepatannya. Pada anak usia 4-5 tahun, besar kranium sudah mencapai 90% cranium dewasa. Maksilofasial tergabung dalam tulang wajah yang tersusun secara baik dalam membentuk wajah manusia.(6,7) Daerah maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah wajah bagian atas, di mana patah tulang melibatkan frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface tersebut. Midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Para midface atas adalah di mana rahang atas Le Fort II dan III Le Fort fraktur terjadi dan / atau di mana patah tulang hidung, kompleks nasoethmoidal atau zygomaticomaxillary, dan lantai orbit terjadi. Bagian ketiga dari daerah maksilofasial adalah wajah yang lebih rendah, di mana patah tulang yang terisolasi ke rahang bawah. Tulang pembentuk wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak. Didalam tulang wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut (cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita). a. Bagian hidung terdiri atas :

2

Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung disudut mata. Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelahatas. Dan Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam ronggahidung dan bentuknya berlipat-lipat. Septum nasi (sekat rongga hidung) adalahsambungan dari tulang tapis yang tegak.(3,4)

b. Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti : Os Maksilaris (tulang rahang atas), Os Zigomaticum, tulang pipi yangterdiri dari dua tulang kiri dan kanan. Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiridari dua dua buah tulang kiri dan kanan. Os Mandibularis atau tulang rahangbawah, terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri dan kanan yang kemudian bersatudi pertengahan dagu. Dibagian depan dari mandibula terdapat processus coracoids tempat melekatnya otot. Facial danger zones (Zona bahaya wajah) Secara anatomi, wajah memiliki beberapa serabut-serabut saraf yang tersebar di beberapa lokasi di wajah, ada 7 lokasi-lokasi penting di sekitar wajah yang apabila terjadi trauma atau kesalahan dalam penanganan trauma maksilofasial akan berakibat fatal, lokasi-lokasi tersebut disebut dengan facial danger zone.

Gambar 2: Fasial danger zone

Mandibula merupakan tulang yang besar dan paling kuat pada daerah muka, terdapat barisan gigi. Mandibula dibentuk oleh dua bagian simetris, yang mengadakan fusi dalam tahun pertama kehidupan. Tulang ini terdiri dari korpus yaitu suatu lengkungan tapal kuda dan sepasang ramus yang pipih dan lebar, yang mengarah keatas pada bagian belakang dari korpus. Pada ujung dari masing-masing ramus didapatkan dua buah penonjolan disebut3

prosesus kondiloideus dan prosesus koronoideus. Prosesus kondiloideus terdiri dari kaput dan kolum. Permukaan luar dari korpus mandibula pada garis median, didapatkan tonjolan tulang halus yang disebut simfisis mentum, yang merupakan tempat pertemuan embriologis dari dua buah tulang.(3)

Gambar 3: Tulang mandibula

Bagian atas korpus mandibula membentuk tonjolan disebut prosesus alveolaris, yang mempunyai 16 buah lubang untuk tempat gigi. Bagian bawah korpus mandibula mempunyai tepi yang lengkung dan halus. Pada pertengahan korpus mandibula, kurang lebih 1 inci dari simfisis, didapatkan foramen mentalis yang dilalui oleh vasa dan nervus mentalis. Permukaan dalam dari korpus mandibula cekung dan didapatkan linea milohiodea yang merupakan pertemuan antara tepi belakang ramus mandibula. Angulus mandibula terletak subkutan dan mudah diraba pada 2-3 jari di bawah lobules aurikularis.Prosesus koronoideus yang tipis dan tajam merupakan tempat insersio m.temporalis. Prosesus kondiloideus membentuk persendian dengan fossa artikularis permukaan infratemporalis dari skuama os temporalis. Kartilago artikuler melapisi bagian superior dan anterior dari prosesus kondiloideus, sedangkan bagian posterior tidak. Permukaan lateral dari prosesus kondiloideus ditutupi oleh kelenjar parotis dan terletak di depan tragus. Antara prosesus koronoideus dan prosesus kondiloideus membentuk sulkus mandibula dimana lewat vasa dan nervus. Kira-kira ditengah dari permukaan medial ramus mandibula didapatkan foramen mandibula. Melalui foramen ini masuk kedalam kanal yang mengarah ke bawah depan di dalam jaringan tulang, dimana dilalui oleh vasa pembuluh darah dan saluran limfe.

Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung ( os nasalis), posesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis4

superior, sepasang kartilago nasalis inferior yang disebut sebagai kartilago alar minor dan tepi anterior kartilago septum. Tulang zigoma dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari tulang temporal, tulang frontal, tulang sphenoid, dan tulang maksila. Bagian-bagian dari tulang yang membentuk zigoma ini memberikan sebuah penonjolan pada pipi di bawah mata sedikit kea rah lateral.Prosesus dari tulang ini bersatu dengan prosesus zigomatikus dari tulang temporal untuk membentuk lengkung pipi atau arcus zigimatikus. Tulang maksila membentuk rahang atas dan memuatkan gigi atas. Badan maksila memuatkan ruang udara yang agak besar, iaitu sinus maxilaris atau antrum Highmore yang berhubungan dengan hulu hidung melalui dua lubang kecil.

II. 1. 2. Pembuluh darah Perdarahan pada wajah diperdarahi oleh arteri carotis eksternal yang kemudian member cabang kepada lingualis, fasial, maksilaris internus,dan temporal superficial. Perdarahan pada wajah diperdarahi oleh arteri carotis internal mahupun eksternal. Arteri carotis interna masuk ke tengkorak kepala melewati kanal carotis dan sinus cavernosus. Arteri ini kemudian akan memberi cabang arteri ophtalmukus yang berjalan masuk ke tulang orbita melewati anterior kanalis optikus. Di sana, arteri ini dipercabangkan menjadi arteri supraorbital dan supratrochlear. Pembuluh darah ini pemberdarahi bagian muskulus letak dalam pada bagian frontal, mengsuplai bagian media periorbital dan jaringan disekitar anterior dahi.(4)

Arteri carotis eksternal mengkontribusi beberapa cabang arteri di wajah. Berjalan lateralnya melewati lapisan terdalam dermis dan anteriorinferior dari tragus, arteri karotis eksternal berakhir dengan dua cabang. Arteri temporalis superficial pula berjalan memperdarahi lapisan subdermis dan seterusnya akan beranastomosis dengan arteri supraorbital dan supratrochlearis.

5

Gambar 4: Pembuluh darah di wajah

Drainase vena berlaku sesuai dengan jalan arteri oleh temporal superficialis,pleksus vena pterygoid, retromandibula, lingualis, fasial dan vena jugular eksternal. Kemudian berlaku pengosongan ke vena jugular internal.

II. 1. 3. Persarafan Nervus Trigeminus dapat dibagi kepada tigga cabang. Cabang yang pertama adalah nervus oftalmikus. Ini merupakan saraf sensorik yang mempersarafi baggian kulit pada dahi, kelopak mata atas dan konjuntiva. Cabang yang kedua merupakan nervus maksilaris yang mempersarafi bagian kulit di posterior hidung,kelopak mata bawah, dan bagian atas bibir. Cabang terakhir adalah nervus mandibularis yang merupakan saraf sensorik dan motorik yang mempersarafi otot-otot pengunyahan,dagu, daerah temporal dan bagian dari aurikular.

6

BAB III PANFACIAL TRAUMA

III. 1. Definisi Panfasial trauma adalah trauma sekunder akibat mekanisme kecepatan tinggi yang mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah.

III. 2. Epidemiologi Lebih dari 3 juta cedera wajah terjadi di Amerika Syarikat setiap tahun. Kebanyakannya sekunder kepada perkelahian dan kecelakaan kenderaan bermotor. Nilai statistik tentang penyebab fraktur wajah tergantung kepada negara dan lokasi trauma. Dari data penelitian menunjukkan bahawa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6% dari seluruh trauma. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak di antara dua tulang lainnya, iaitu masing-masing sebesar 29.8% disusuli fraktur zigoma 27.64% dan fraktur nasal 12.66%. Penderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia produktif,yaitu usia 21-30 tahun.(1)

III. 3. Etiologi Trauma wajah di kawasan kota paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh kenderaan bermotor dan kecelakaan industry. Os zigoma dan mandibular antara tulang yang paling sering fraktur karena perkelahian. Trauma wajah dalam komuniti yang paling sering adalah akibat dari kecelakaan kenderaan bermotor, kemudian karena perkelahian dan aktivitas rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor sering menyebabkan fraktur midface terutamnya pada pasien yang tidak menggunakan sabuk pengaman. Penyebab penting dari trauma wajah termasuk luka tusuk,kekerasan dalam rumah tangga dan penderaan anak-anak dan orang tua.(1,2)

III. 4. Patofisiologi Kehadiran energi kinetic dalam benda bergerak adalah dari massa dikalikan dengan kecepatannya. Penyebaran energy kinetic saat deselerasi menghasilkan kekuatan yang menyebabkan kecederaan. Tekanan tinggi dan rendah sesuatu kekuatan didefinisikan sebagai besar atau kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Regio wajah tertentu memerlukan kekuatan daya tertentu untuk mengakibatkan fraktur. Bagian supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut)7

dan os frontal memerlukan kekuatan bertekanan tinggi untuk menyebabkan fraktur. Fraktur di os zigoma dan os nasal hanya memerlukan kekuatan tekanan rendah sahaja untuk terjadinya fraktur.(3)

III. 4. 1. Patah Tulang Frontal . Hal ini terjadi akibat dari pukulan berat pada dahi. Bagian anterior dan / atau

posterior sinus frontal mungkin terlibat. Gangguan lakrimasi mungkin dapat terjadi jikadinding posterior sinus frontal retak. Duktus nasofrontal sering terganggu.

III. 4. 2. Fraktur Dasar Orbital . Cedera dasar orbital dapat menyebabkan suatu fraktur yang terisolasi atau dapat disertai dengan fraktur dinding medial. Ketika kekuatan menyerang pinggiran orbital, tekanan intraorbital meningkat dengan transmisi ini kekuatan dan merusakbagian-bagian terlemah dari dasar dan dinding medial orbita. Herniasi dari isi orbit ke dalam sinus maksilaris adalah mungkin. Insiden cedera okular cukup tinggi, namun jarang menyebabkan kematian.

III. 4. 3. Patah Tulang Hidung Ini adalah hasil dari kekuatan diakibatkan oleh trauma langsung.

III. 4. 4. Fraktur Nasoethmoidal (noes). Akibat perpanjangan kekuatan trauma dari hidung ke tulang ethmoid dan dapat mengakibatkan kerusakan pada canthus medial, aparatus lacrimalis, atau saluran nasofrontal.

III. 4. 5. Patah tulang lengkung zygomatic. Sebuah pukulan langsung ke lengkung zygomatic dapat mengakibatkan fraktur terisolasi melibatkan jahitan zygomaticotemporal.(3,4)

III. 4. 6. Patah Tulang Zygomaticomaxillary kompleks (ZMCs) Ini menyebabkan patah tulang dari trauma langsung. Garis fraktur jahitan memperpanjang melalui zygomaticotemporal, zygomaticofrontal, dan zygomaticomaxillary dan artikulasi dengan tulang sphenoid. Garis fraktur biasanya memperpanjang melalui foramen infraorbital dan lantai orbit. Cedera mata serentak yang umum.

III. 4. 7. Patah tulang rahang atas8

Fraktur ini dikelompokkan sebagai Le Fort I, II, atau III. 1. Fraktur Le Fort I adalah fraktur rahang horizontal di aspek inferior rahang atas dan memisahkan proses alveolar dan langit-langit keras dari seluruh rahang atas. Fraktur meluas melalui sepertiga bagian bawah septum dan termasuk sinus maksilaris dinding lateralis memperluas ke tulang palatina dan piring pterygoideus. 2. Fraktur Le Fort II adalah fraktur piramida mulai dari tulang hidung dan memperluas melalui tulang lacrimalis; ke bawah melalui jahitan zygomaticomaxillary; terus posterior dan lateral melalui rahang atas, bawah zygoma itu, dan ke dalam piring pterygoideus. 3. Fraktur Le Fort III atau dysjunction kraniofasial adalah pemisahan dari semua tulang wajah dari dasar tengkorak dengan fraktur simultan dari zygoma, rahang, dan tulang hidung. Garis fraktur meluas melalui tulang ethmoid posterolaterally, orbit, dan jahitan pterygomaxillary ke fosa sphenopalatina.

III. 4. 8. Fraktur mandibula. Ini dapat terjadi di beberapa lokasi sekunder dengan bentuk U-rahang dan leher condylar lemah. Fraktur sering terjadi bilateral di lokasi terpisah dari lokasi trauma langsung.

III. 4. 9. Patah tulang alveolar. Ini dapat terjadi dalam isolasi dari kekuatan rendah energi langsung atau dapat hasil dari perpanjangan garis fraktur melalui bagian alveolar rahang atas atau rahang bawah 1

III. 4. 10. Fraktur Panfacial. Fraktur tipe ini biasanya sekunder mekanisme kecepatan tinggi mengakibatkan cedera pada wajah atas, midface, dan wajah yang lebih rendah.

III. 5. Klasifikasi Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.

9

III. 5. 1. Trauma jaringan lunak wajah

Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar. Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :

III. 5. 1. 1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab: a. Ekskoriasi b. Luka sayat, luka robek , luka bacok. c. Luka bakar d. Luka tembak III. 5. 1. 2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan III. 5. 1. 3. Dikaitkan dengan unit estetik Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.

III. 5. 2. Trauma jaringan keras wajah Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya, trauma pada jaringan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :

III. 5. 2. 1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik. a. Berdiri Sendiri : fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla, mandibulla, gigi dan alveolus. b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur kompleks mandibula

III. 5. 2. 2. Berdasarkan Tipe fraktur : a. Fraktur simpel Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus, koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi. Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstik fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.

b. Fraktur kompoun Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak.

10

Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.

c. Fraktur komunisi Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk. Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan kerusakan tulang dan jaringan lunak.

d. Fraktur patologis keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.

III. 5. 2. 3. Perluasan tulang yang terlibat a) Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang. b) Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )

III. 5. 3. Konfigurasi ( garis fraktur ) a) Tranversal, bisa horizontal atau vertikal. b) Oblique ( miring ) c) Spiral (berputar) d) Komunisi (remuk)

III. 5. 4. Hubungan antar Fragmen 3 a) Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat b) Undisplacement, bisa terjadi berupa : i. Angulasi / bersudut ii. Distraksi iii. Kontraksi iv. Rotasi / berputar v. Impaksi / tertanam

11

Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah : a. Dento alveolar b. Prosesus kondiloideus c. Prosesus koronoideus d. Angulus mandibula e. Ramus mandibula f. Korpus mandibula g. Midline / simfisis menti h. Lateral ke midline dalam regio insisivus

III. 5. 5. Khusus pada maksila fraktur dapat dibedakan : a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita) b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III c. Fraktur segmental mandibula

III. 6. Manifestasi Klinis Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa : Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur

mandibula. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur. Rasa nyeri pada sisi fraktur. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah fraktur. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur. Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah nervus alveolaris. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan pergerakan bola mata dan penurunan visus

.

12

III. 7. Diagnosis III. 7. 1. Anamnesa Dari anamnesa, perlu didapatkan informasi tentang alergi obat, status tetanus, riwayat medis dan pembedahan masa lalu dan mekanisme kecederaan dan seputarnya. Perlu diketahui adakah pasien hilang kesedaran atau mengalami perubahan status mental dan jika didapatkan positif perubahan, harus digali tempoh lama berlangsungnya perubahan tersebut. Digali juga tentang gejala lain seperti gangguan penglihatanseperti

buram,fotophobia,diplopia,nyeri pada perubahan pada gerakan mata. Gejala lain yang harus ditanya tentang ada tidaknya vertigo,tinnitus, atau gangguan pada pendengaran. Harus diperhatikan juga ada tidaknya sesak nafas pada pasien atau kesulitan bernafas pada hidung. Dapat ditanyakan juga tentang keluar tidaknya secret dari hidung mahupun telinga pasien.(4,5) Diperhatikan juga tentang kesulitan lain seperti kesulitan untuk membuka mulut,kesulitan menggigit,terasa sakit atau kejang,nyeri diseluruh wajah,atau ada tidaknya bagian pada wajah yang terasa baal atau mati rasa.

III. 7. 2. Pemeriksaan Fisik A. Inspeksi Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah : 1. Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema. 2. Luka tembus. 3. Asimetris atau tidak. 4. Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal. 5. Otorrhea / Rhinorrheaf. 6. Cedera kelopak mata. 7. Ecchymosis, epistaksisi. 8. Defisit pendengaran. 9. Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas

B. Palpasi 1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak, ecchymosis, jaringan

hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka terbukauntuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu kerikil.

13

2.

Periksa

gigi

untuk

mobilitas,

fraktur,

atau

maloklusi.

Jika

gigi

avulsi,

mengesampingkan adanya aspirasi. 3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah pinggiran supraorbital dan

infraorbital, tulang frontal, lengkungan zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan rahang atas. 4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos, menonjol

lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk,dan reaksi terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual. 5. 6. 7. 8. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis dan proptosis. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan, seperti hyphema. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan kerusakan pada

kompleks nasoethmoidal. 9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung, bius dan tekan intranasal terhadap lengkung

orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal yang retak. 10. Lakukan tes traksi. Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa dicurigai gangguan dari canthus medial. 11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi. 12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan, laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan rhinorrhea cairan cerebrospinal. 13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan serebrospinal, integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi, atauecchymosis daerah mastoid (Battle sign). 14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak. Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau mobilitas. 15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang lainnya di sisi tengah hidung. 16. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III. 17. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit, gingival dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi. 18. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada pisau. Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan mengalami rasa sakit.14

Gambar 5: Palpasi pada tulang zygomatic 19. Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis. 20. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran telinga eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur. 21. Periksa paresthesia atau anestesi saraf pada setiap bagian wajah dengan menggunakan sentuhan ringan dan objek tajam.

III. 7. 3. Pemeriksaan Penunjang A. Laboratorium a. Pemerisaan darah lengkap tiap 4 jam untuk evaluasi haemoglobin dan hematokrit bila terdaji perdarahan massif. b. Golongan darah dan cross match c. Pemeriksaan koagulasi d. Pemeriksaan beta human chronic gonadotropin (bhCG) B. Pencitraan a. Wajah bagian atas: pilihan utama adalah CT Scan koronal dan axial. Alternatif lain adalah seri tengkorak dan radiografi Waters. b. Wajah bagian tengah: Pilihan adalah CT Scan koronal dan aksial. Alternative lain adalah posisi Waters, posterior anterior, submental vertex dan occlusal.

15

c. Wajah bagian bawah: pilihan adalah x-ray panografi. Alternatif lain posisi posterior anterior, lateral obliq kanan dan kiri untuk mandibular,projeksi Towne occlusal. CT Scan kondilus diindikasikan jika curiga fraktur yang hasil radiografi negatif.

III. 8. Penatalaksanaan Perawatan dan manajemen Panfasial Trauma A. Perawatan Umum 1. Airway,Breathing and Circulation i. Airway

Beri oksigen dan mempertahankan jalan nafas paten. Mempertahankan tulang belakang leher setiap kkali bergerak. Menyingkirkan benda asing atau debris dan suction jika sudah ada darah.(6,7) Intubasi jikak diindikasikan. Sediakan persiapan krikotiroidotomi dan trakeostomi sebelum upaya awal intubasi. Pertimbangkan intubasi dengan sedasi sadar jika terdapat distorsi dari mandibula dan maksila karena masker mungkin tidak dapat disegel ketat saat memompa ambubag. Pertimbangkan intubasi orotrakeal jika trauma wajah midface atau atas. Jiak tidak dilakukan intubasi secara nasotrakeal atau endotrakeal, trikotiroidoitomi adalah prosedur berikutnya. ii. Breathing

Menilai fungsi nafas dengan melihat pergerakan dada dan merasai adanya hembusan nafas di wajah pemeriksa saat ekspirasi. iii. Circulation Jangan keluarkan benda asing yang tertusuk karena dapat memperparah kerusakan jaringan dan memperbanyak perdarahan. Kontrol perdarahan dengan member tekanan langsung. 2. Disability Menilai pasien dengan menggunakan skala Glasgow Coma Scale. Lakukan pemeriksaan neurologis singkat. Perhatikan perubahan status mental. 3. Exposure Lepas semua pakaian dan aksesori tetapi tetap menjaga kehangatan. Memulihkan semua jaringan keras dan lunak avulse, dan tranportasi jaringan dengan kasa basah tanpa es dan manipulasi manual yang sangat minimal.

16

B. Terapi Medis dan Bedah 1. Terapi medis umum Diberikan oksigen dan cairan kristaloid isotonic. Mengadministrasikan packed red cell (PRC) jika pasien mengalami pendarahan masif. Diindikasikan tetanus profilaksis. 2. Antibiotik Untuk luka wajah, gunakan Kefzol manakala untuk lukarongga mulut, digunakan klindamisin. Untuk patah tulang sinus, gunakan amoksisilin. Untuk patah tulang dengan robeknya durameter atau kebocoran cairan serebrospinal, gunakan vankomisin dan ceftazidine. 3. Managemen Nyeri Gunakan obat oral untuk luka ringan dan obat parenteral jikapasien tidak dapat mengambil obat oral. Untuk obat anti-inflamasi bisa digunakan ibuprofen,naproxen,atau ketaralac. Untuk kontrop system saraf pusat, bisa digunakan narkotika misalnya kodein,oxycodone,meperidin,morfin. 4. Tindakan Bedah Pada saat operasi, trakeostomi atau intubasi submandibular diperlukan.Intubasi nasoendotracheal merupakan kontraindikasi absolute. Reposisi tulang wajah dimulai dari tengkorak. Setelah oklusi ini didirikan oleh fiksasi intermaxillari, tulang wajah yang tersisa diperbaiki dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal. Tetapi rawatan pada fraktur wajah ini boleh ditunda sekurang-kurangnya 2 minggu setelah trauma jika fraktur tidak melibatkan struktur kranial. Pasien dengan kelainan saraf cranial hanya bisa dilakukan operasi setelah keadaan penderita stabil. Ini termasuklah koreksi volume darah, elektrolit,dan deficit nutrisi member waktu untuk ahli bedah merencanakan prosedur pembedahan terbaik.

17

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA

IV. 1. Fraktur maxillofacial

IV. 1. 1. FRAKTUR MAKSILA Tulang maksila memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai tempat melekatnyay gigi, membentuk atap dari rongga mulut, sebagai dasar dan melekat pada dinding lateral dan atap rongga hidung, merupakan sinus dasar dari sinus maxilaris, dan juga berperan pada rima orbital inferior dan merupakan dasar dari obita.(7) Jika terjadi fraktur maka harus segera dilakukan tindakan untuk mendapatkan fungshi dan efek kosmetik yang baik. Tujuan darii tindakan penanggulangan ini adalah untuk memperoleh fungsi normal pada waktu menutup mulut atau oklusi gigi dan memperoleh kontur muka yang cocok. Tindakan segera ini harus diperhatikan juga jalan nafas yang baik serta profilaksis kemungkinan terjadinya infeksi. Edema faring dapat menimbulkan gangguan pada jalan nafas sehingga mungkin dilakukan tindakan trakeostomi. Perdarahan yang hebat berasal dari arteri maksilaris interna dan arteri ethmoidalis anterior sering terdapat pada fraktur maksila dan harus segera diatasi. JIka tidak berhasil , dilakukan pengikatan arteri maksilaris interna atau arteri karotis eksterna atau arteri ethmoidalis anterior.(7) a. Fraktur Le Fort I Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan tunggal atau bergabung dengan fraktur fraktur Le Fort II dan III. Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur transverses rahang atas melalui lubang piriform di atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur transmaksilari. b. Fraktur Le Fort II Fraktur Le Fort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatimaksilaris dan nasofrontalis

merupakan sutura yang sering terkena.

18

Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung rahang atas, biasa merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat pemeriksaan. Derajat gerakan seringtidak lebih besar dibanding fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah pada Le Fort I.(6,7) c. Fraktur Le Fort III Fraktur craniofacial disjunction, merupakan cedera yang parah. Bagian tengah wajah benar-benar terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk mengakibatkan trauma intracranial.

Gambar 6: klasifikasi Le Fort I,II dan III

IV. 2. FRAKTUR NASAL Fraktur nasal merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma yang ditandai dengan patahnya tulang hidung baik sederhana maupun kominunitiva. Fratur nasal merupakan fraktur pada wajah yang paling sering dijumpai pada manusia; pada kasus trauma wajah sekitar 40 % adalah fraktur nasal. Fraktur nasal pada orang dewasa dijumpai pada kasus berkelahi, trauma akibat olahraga, jatuh dan kecelakaan lalu lintas, sedangkan pada anak-anak sering disebabkan karena bermain dan olahraga. Fraktur nasal dapat ditemukan dan berhubungan dengan fraktur tulang wajah yang lain. Oleh karena itu fraktur nasal sering tidak terdiagnosa dan tidak mendapat penanganan karena pada beberapa pasien sering tidak menunjukkan gejala klinis. Jenis fraktur nasal tergantung pada arah pukulan yang mengenai hidung. Jenis trauma yang sering ditemukan adalah fraktur transversal, vertikal atau fraktur

19

maksila multiple,dan terutama fraktur akibat arah pukulan mengenai hidung bagian bawah. Fraktur lateral biasanya merupakan fraktur nasal tertutup yang mencapai tulang frontalis dan maksilaris. Fraktur nasal lateral jarang dihubungkan dengan fraktur maksila.

Fraktur nasal sering menyebabkan deformitas septum nasal karena adanya pergeseran septum dan fraktur septum. Pada jenis fraktur nasal kominunitiva, prosessus frontalis os maksila dan lamina perpendikularis os ethmoidalis dan vomer biasanya mengalami fraktur.

IV. 2.1 INSIDEN

Di Amerika Serikat fraktur nasal merupakan fraktur pada wajah yang paling sering dijumpai. Sekitar 39-45% dari seluruh fraktur wajah. Pria dua kali lebih banyak dibanding wanita. Insiden meningkat pada umur 15-30 tahun dan dihubungkan dengan perkelahian dan cedera akibat olahraga.

IV.2.3.ETIOLOGI

Fraktur nasal pada dewasa dapat disebabkan oleh karena perkelahian, cedera akibat olahraga, terjatuh, dan kecelakaan lalu lintas. Sedangkan pada anak-anak disebabkan karena bermain dan olahraga.

IV.2. 4. DIAGNOSIS

IV.2.5.a. Anamnesis

Rentang waktu antara trauma dan konsultasi dengan dokter bedah sangatlah penting untuk penatalaksanaan pasien. Sangatlah penting untuk menentukan waktu trauma dan menentukan arah dan besarnya kekuatan dari benturan. Sebagai contoh, trauma dari arah frontal bisa menekan dorsum nasal, dan menyebabkan fraktur nasal. Pada kebanyakan pasien yang mengalami trauma akibat olahraga, trauma nasal yang terjadi berulang dan terus menerus, dan deformitas hidung akan menyebabkan sulit menilai antara trauma lama dan trauma baru sehingga akan mempengaruhi terapi yang diberikan. Informasi mengenai keluhan hidung sebelumnya dan bentuk hidung sebelumnya juga sangat berguna. Keluhan utama yang sering dijumpai adalah epistaksis, deformitas hidung, obstruksi hidung dan anosmia.

20

IV. 2.5.b. Pemeriksaan fisik

Kebanyakan fraktur nasal adalah pelengkap trauma seperti trauma akibat dihantam atau terdorong. Bagaimanapun, manakala manksir suatu pasien dengan fraktur nasal, seorang dokter tidak hanya memusatkan perhatian pada hidung yang mengalami trauma. Ini sangat penting bagi pasien yang telah mengalami suatu kecelakaan lalu lintas atau suatu perkelahian. Pukulan substansial yang mengenai daerah wajah bagian tengah akan mengakibatkan trauma pada tulang belakang dan oleh karena itu dokter harus mempunyai pertimbangan klinis dalam melakukan tindakan dengan mengesampingkan trauma tulang belakang. Sepanjang penilaian awal dokter harus menjamin bahwa jalan napas pasien aman dan ventilasi terbuka dengan sewajarnya. Fraktur nasal sering dihubungkan dengan trauma pada kepala dan leher yang bisa mempengaruhi patennya trakea. Fraktur nasal ditandai dengan laserasi pada hidung, epistaksis akibat robeknya membran mukosa. Jaringan lunak hidung akan nampak ekimosis dan udem yang terjadi dalam waktu singkat beberapa jam setelah trauma dan cenderung nampak di bawah tulang hidung dan kemudian menyebar ke kelopak mata atas dan bawah. Deformitas hidung seperti deviasi septum atau depresi dorsum nasal yang sangat khas, deformitas yang terjadi sebelum trauma sering menyebabkan kekeliruan pada trauma baru. Pemeriksaan yang teliti pada septum nasal sangatlah penting untuk menentukan antara deviasi septum dan hematom septi, yang merupakan indikasi absolut untuk drainase bedah segera. Sangatlah penting untuk memastikan diagnosa pasien dengan fraktur, terutama yang meliputi tulang ethmoid. Fraktur tulang ethmoid biasanya terjadi pada pasien dengan fraktur nasal fragmental berat dengan tulang piramid hidung telah terdorong ke belakang ke dalam labirin ethmoid, disertai remuk dan melebar, menghasilkan telekantus, sering dengan rusaknya ligamen kantus medial, apparatus lakrimalis dan lamina kribriformis, yang menyebabkan rhinorrhea cerebrospinalis.

Pada pemeriksaan fisis dengan palpasi ditemukan krepitasi akibat emfisema sukutan, teraba lekukan tulang hidung dan tulang menjadi irregular. Pada pasien dengan hematom septi nampak area berwarna putih mengkilat atau ungu yang nampak berubah-ubah pada satu atau kedua sisi septum nasal. Keterlambatan dalam mengidentifikasi dan penanganan akan menyebabkan deformitas bentuk pelana, yang membutuhkan penanganan bedah segera. Pemeriksaan dalam harus didukung dengan pencahayaan, anestesi, dan semprot hidung vasokonstriktor. Spekulum hidung dan lampu kepala akan memperluas lapangan pandang.(7)

21

Pada pemeriksaan dalam akan nampak bekuan darah dan/atau deformitas septum nasal.

IV. 2. 6. Pemeriksaan radiologis

Jika tidak dicurigai adanya fraktur nasal komplikasi, radiografi jarang diindikasikan. Karena pada kenyataannya kurang sensitif dan spesifik, sehingga hanya diindikasikan jika ditemukan keraguan dalam mendiagnosa. Radiografi tidak mampu untuk mengidentifikasi kelainan pada kartilago dan ahli klinis sering salah dalam mengintrepretasikan sutura normal sebagi fraktur yang disertai dengan pemindahan posisi. Bagaimanapun, ketika ditemukan gejala klinis seperti rhinorrhea cerebrospinalis, gangguan pergerakan ekstraokular atau maloklusi dapat mengindikasikan adanya fraktur nasal.

IV.2.7. PENATALAKSANAAN

A. Konservatif

Fraktur nasal merupakan fraktur wajah yang tersering dijumpai. Jika dibiarkan tanpa dikoreksi, akan menyebabkan perubahan struktur hidung dan jaringan lunak sehinggga akan terjadi perubahan bentuk dan fungsi. Karena itu, ketepatan waktu terapi akan menurunkan resiko kematian pasien dengan fraktur nasal. Penatalaksanaan fraktur nasal berdasarkan atas gejala klinis, perubahan fungsional dan bentuk hidung, oleh karena itu pemeriksaan fisik dengan dekongestan nasal dibutuhkan. Dekongestan berguna untuk mengurangi

pembengkakan mukosa. Pasien dengan perdarahan hebat, biasanya dikontrol dengan pemberian vasokonstriktor topikal. Jika tidak berhasil bebat kasa tipis, kateterisasi balon, atau prosedur lain dibutuhkan tetapi ligasi pembuluh darah jarang dilakukan. Bebat kasa tipis merupakan prosedur untuk mengontrol perdarahan setelah vasokonstriktor topikal. Biasanya diletakkan dihidung selama 2-5 hari sampai perdarahan berhenti. Pada kasus akut, pasien harus diberi es pada hidungnya dan kepala sedikit ditinggikan untuk mengurangi pembengkakan. Antibiotik diberikan untuk mengurangi resiko infeksi, komplikasi dan kematian. Analgetik berperan simptomatis untuk mengurangi nyeri dan memberikan rasa nyaman pada pasien.

22

Gambar 7: Reduksi Tertutup

B.Operatif Untuk fraktur nasal yang tidak disertai dengan perpindahan fragmen tulang, penanganan bedah tidak dibutuhkan karena akan sembuh dengan spontan. Deformitas akibat fraktur nasal sering dijumpai dan membutuhkan reduksi dengan fiksasi adekuat untuk memperbaiki posisi hidung.

1. Penanganan fraktur nasal sederhana. Periosteum dibungkus dan dinaikkan dengan kasa vaselin sampai ke dalam lubang hidung. Dengan adanya tekanan maka fraktur tulang akan terangkat dan dengan bantuan jari-jari tangan, tekanan dimanipulasikan untuk memperbaiki posisi hidung. Jika perdarahan terus berlangsung, hidung harus ditutup dengan kasa tipis berminyak selama 24 jam. Jika memungkinkan, fragmen tulang harus dipindahkan dalam beberapa jam sebelum terjadi pembengkakan yang akan menyebabkan deformitas. Bidai ekstrenal digunakan untuk mempertahankan posisi tulang hidung. Jika bidai tidak digunakan maka deformitas akan terjadi. Bidai fraktur nasal sederhana : Kazanjian dan Converse menggambarkan bidai hidung sempurna sebagai sepotong lempeng logam lunak (ukuran 22), bentuk seperti jam pasir dibengkokan, jadi bagian bawah sesuai dengan bentuk hidung dan bagian atas dari lempeng berada pada dahi. Sebagian kecil dari pelat timah. Bidai hidung ini merupakan bidai biasa yang dapat membentuk hidung dan meratakan tekanan di segala sisi. Segala alat-alat tersebut ditahan oleh strip plester adhesif berbentuk T , yang melintasi dahi di bagian atas dan plester di bagian bawah menahan hidung . Hanya tekanan sedang yang dapat digunakan, bebat ini tidak dapat digangu paling sedikit 2 hari. Batas waktu penggunaan bebat adalah sampai hidung tidak meradang dan bengkak.(5)

23

Bidai fraktur nasal Kazanjian : Bidai ini diciptakan untuk melawan kekuatan yang timbul pada bagian lateral hidung pada titik tertentu yang diinginkan. Bidai ini terdiri dari bingkai logam berbentuk bujur; yang permukaan bagian bawah disediakan jeruji yang mengelilingi dengan ketebalan sekitar inchi. Bingkai merupakan pelat timah dan berada pada dahi. Bingkai dan pelat timah ini ditahan dengan bantuan plester adhesif yang berada di sekitar kepala. Batang horizontal dari bidai tidak dilapisi oleh pelat timah tetapi tetap terbuka sebagai persendian umum yang dapat dilalui dengan bebas dan tetap berada diposisinya pada kanan atau kiri garis tengah. Batang vertikal mencapai bagian bawah dan dilapisi tipis oleh pelat timah , berguna untuk melawanan tekanan dari samping hidung. Perban elastis dipasang untuk melawan tekanan dari samping hidung; tekanan kuat pada hidung berguna untuk mempertahankan posisi hidung agar berada pada posisi koreksi.

2. Fraktur nasal kominunitiva

Fraktur nasal dengan fragmentasi tulang hidung ditandai dengan batang hidung nampak rata (pesek); tulang hidung mungkin dinaikkan ke posisi yang aman tetapi beberapa fragmen tulang tetap hilang. Bidai digunakan untuk memindahkan fragmen tulang ke posisi yang sebenarnya. Untuk tujuan tersebut beberapa kasa vaselin dimasukkan ke dalam lubang hidung; Metode suspensi; Kawat ini diperkenalkan oleh Kazanjian dan Converse sebagai penyokong bagian dalam hidung untuk mengangkat dan menggerakan fragmen tulang yang terpisah-pisah. Kawat ini berukuran 14, panjang 2 inchi, bentuk U dengan bahannya pelat timah. Kemudian kawat ini dimasukkan ke dalam hidung, yang dengan sendirinya akan mengangkat fragmen tulang tersebut ke atas dan melawanan tekanan yang timbul akibat bergesernya fragmen tulang hidung. Elastis perban kecil dihubungkan untuk menjangkau intranasal dan ekstranasal. Dengan adanya penahan elastis maka cukup kekuatan untuk menahan fragmen tulang agar berada diposisi yang seharusnya. Teknik manipulasi reduksi tertutup. Teknik ini merupakan satu teknik pengobatan yang digunakan untuk mengurangi fraktur nasal yang baru terjadi. Sekitar 2-3 minggu setelah trauma, akan terbentuk jaringan fibrotik pada fragmen tulang di posisi yang tidak seharusnya, dan hal inilah yang menyebabkan reduksi dengan teknik ini tidak mungkin dilakukan. Hal yang kebanyakan menyebabkan kegagalan dalam terapi yang tidak adekuat adalah trauma septum nasal. Trauma septum nasal tidak lebih dari 30 % dari fraktur dasal. Dimana, satu hal yang sering ditemukan adalah fraktur depresi tulang hidung dan kasus Harisson (1979) telah24

menunjukkan bahwa sekitar 70 % dari frakktur nasal adalah disertai dengan fraktur septum nasal, yang biasanya dimulai di bagian atas spina nasalis anterior dan kemudian melewati bagian belakang dan naik sepanjang kartilago kuadrilateral sebelum belok ke dalam lamina perpendikularis os ethmoidalis, dan akhirnya meneruskan ke arah tulang hidung. Fraktur nasal dapat dikurangi dengan forceps Walshams yang mempunyai jarak antara mata pisau setelah bagian penutup jadi bagian tersebut memungkinkan penutupan jaringan hidung yang tidak hancur. Mata pisau yang lebar agak berlekuk untuk mencapai dinding hidung bagian luar dan dan melindungi kulit hidung. Mata pisau bagian dalam lebih kecil dan bentuknya disesuaikan untuk mencapai hidung bagian dalam. Pertama-tama dokter ahli bedah harus berhati-hati dalam menentukan lokasi dari garis fraktur dan sangatlah penting untuk tidak menggunakan forceps Walshams di atas garis fraktur. Gillies dan Kilner (1992) telah menggambarkan teknik yang efektif digunakan.Antara yang harus diperhatikan adalah:

1. Memindahkan kedua prosesus nasofrontalis. Forceps Walshams digunakan untuk memindahkan kedua prosesus nasalis keluar maksila dan menggunakan tenaga yang terkontrol untuk menghindari gerakan menghentak yang tiba-tiba.

2. Perpindahan posisi tulang hidung. Septum kemudian dipegang dengan forceps Asch yang diletakkan di belakang dorsum nasi. Forceps ini diciptakan sama prinsipnya dengan forceps walshams, tetapi forcep Asch mempunyai mata pisau yang dapat memegang septum yang mana bagian mata pisau tersebut terpisah dari pegangan utama bagian bawah dengan ukuran lebih besar dan lekukan berguna untuk menghindari terjadinya kompresi dan kerusakan kolumela yang hebat dan lebih luas.

3. Manipulasi septum nasal. Forceps Asch kemudian digunakan lagi untuk meluruskan septum nasal.

4. Membentuk piramid hidung. Dokter ahli bedah seharusnya mampu untuk mendorong hidung sampai mencapai posisi yang tidak seharusnya dan adanya sumbatan/kegagalan mengindikasikan kesalahan posisi dan pergerakan tidak sempurna dan harus diulang. Prosesus nasofrontalis didorong ke dalam dan tulang hidung akhirnya dapat terbentuk dengan bantuan jari-jari tangan.

25

5. Kemungkinan pemindahan akhir septum. Dokter ahli bedah harus berhati-hati dalam menilai bagian anterior hidung dan harus mengecek posisi dari septum nasal. Jika memuaskan, dokter harus mereduksi terbuka fraktur septum melalui septoplasti atau reseksi mukosa yang sangat terbatas. 6. Kemungkinan laserasi sutura kutaneus. Jika tipe fraktur adalah tipe patah tulang riuk, maka dibutuhkan laserasi sutura pada kulit yang terbuka. Pertama-tama, luka harus dibuka. Sangatlah penting untuk membuang semua benda asing yang berada pada luka seperti pecahan kaca, kotoran atau batu kerikil. Hidung membutuhkan suplai darah yang cukup dan oleh karena itu sedikit atau banyak debridemen sangat dibutuhkan. Penutupan pertama terlihat kebanyakan luka sekitar 36 jam dan sutura nasalis menutup sekitar 3-4 mm. Kadang luka kecil superfisial dapat menutup dengan plester adhesive (steristrips) .

Teknik reduksi terbuka Fraktur nasal reduksi terbuka cenderung tidak memberikan keuntungan. Pada daerah dimana fraktur berada sangat beresiko mengalami infeksi sampai ke dalam tulang. Masalah pada hidung menjadi kecil karena hidung mempunyai banyak suplai aliran darah bahkan pada masa sebelum adanya antibiotik, komplikasi infeksi setelah fraktur nasal dan rhinoplasti sangat jarang terjadi. Teknik open reduksi terbuka diindikasikan untuk :

Ketika operasi telah ditunda selama lebih dari 3 minggu setelah trauma. Fraktur nasal berat yang meluas sampai ethmoid. Disini, sangat nyata adanya fragmentasi tulang sering dengan kerusakan ligamentum kantus medial dan apparatus lakrimalis. Reposisi dan perbaikan hanya mungkin denga reduksi terbuka, dan sayangnya hal ini harus segera dilakukan. Reduksi terbuka juga dapat dilakukan pada kasus dimana teknik manipulasi reduksi tertutup telah dilakukan dan gagal. Pada teknik reduksi terbuka harus dilakukan insisi pada interkartilago. Gunting Knapp disisipkan di antara insisi interkartilago dan lapisan kulit beserta jaringan subkutan yang terpisah dari permukaan luar dari kartilago lateral atas, dengan melalui kombinasi antara gerakan memperluas dan memotong.

26

IV.3.

FRAKTUR ZIGOMA

Fraktur zigoma merupakan merupakan fraktur fasial yang paling sering terjadi. Tingginya insiden dari fraktur zigoma berhubungan dengan lokasi zigoma yang lebih menonjol. Predileksi terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1 dengan perempuan. Penyebab dari fraktur zigoma yang paling sering adalah dikarenakan kecelakaan kendaraan bermotor. Bilateral fraktur zigoma jarang terjadi, hanya sekitar 4 % dari 2067 kasus yang diteliti oleh Ellis et al. Zigoma mempunyai peran yang penting dalam membentuk struktur wajah, dan disrupsi dari posisi zigoma dapat mengganggu fungsi okular dan mandibular; oleh karena itu trauma pada zigoma harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara adekuat.(6)

Gambar 8: Fraktur Zigoma Diagnosa dari fraktur zigoma didasarkan pada pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Riwayat trauma pada wajah dapat dijadikan informasi kemungkinan adanya fraktur pada kompleks zigomatikus selain tanda-tanda klinis.Tetapi pemeriksaan klinis seringkali sulit dilakukan karena adanya penurunan kesadaran, oedem dan kontusio jaringan lunak dari pasien yang dapat mengaburkan pemeriksaan klinis, dan pula tidak ada indikator yang sensitif terhadap adanya fraktur zigoma. Dari anamnesis dapat ditanyakan kronologis kejadian trauma, arah dan kekuatan dari trauma terhadap pasien maupun saksi mata. Trauma dari arah lateral sering mengakibatkan fraktur arkus zigoma terisolasi atau fraktur zigoma komplek yang terdislokasi inferomedial. Trauma dari arah frontal sering mengakibatkan fraktur yang terdislokasi posterior maupun inferior. Pemeriksaan zigoma termasuk inspeksi dan palpasi. Inspeksi dilakukan dari arah frontal, lateral, superior, dan inferior. Diperhatikan simetri dan ketinggian pupil yang merupakan petunjuk adanya pergeseran pada dasar orbita dan aspek lateral orbita, adanya27

ekimosis periorbita, ekimosis subkonjungtiva, abnormal sensitivitas nervus, diplopia dan enoptalmus; yang merupakan gejala yang khas efek pergeseran tulang zigoma terhadap jaringan lunak sekitarnya. Tanda yang khas dan jelas pada trauma zigoma adalah hilangnya tonjolan prominen pada daerah zigomatikus. Selain itu hilangnya kurvatur cembung yang normal pada daerah temporal berkaitan dengan fraktur arkus zigomatikus. Deformitas pada tepi orbita sering terjadi jika terdapat pergeseran, terutama pada tepi orbital lateral dan infraorbita. Ahli bedah juga meletakkan jari telunjuk dibawah margin infraorbita, sepanjang zigoma, menekan ke dalam jaringan yang oedem untuk palpasi secara simultan dan mengurangi efek visual dari oedem saat melakukan pemeriksaan ini.(6) Penggunaan CT Scan dan foto roentgen sangat membantu menegakkan diagnosa, mengetahui luasnya kerusakan akibat trauma, dan perawatan.4 CT scan pada potongan axial maupun coronal merupakan gold standard pada pasien dengan kecurigaan fraktur zigoma, untuk mendapatkan pola fraktur, derajat pergeseran, dan evaluasi jaringan lunak orbital. Secara spesifik CT scan dapat memperlihatkan keadaan pilar dari midfasial:

pilar nasomaxillary,zygomaticomaxillary, infraorbital, zygomaticofrontal, zygomaticosphenoi d, dan zygomaticotemporal. Penilaian radiologis fraktur zigoma dari foto polos dapat menggunakan foto waters, caldwel, submentovertek dan lateral. Dari foto waters dapat dilihat pergeseran pada tepi orbita inferior, maksila, dan bodi zigoma. Foto caldwel dapat menunjukkan region frontozigomatikus dan arkus zigomatikus. Foto submentovertek menunjukkan arkus zigomatikus.

IV.3.1 Klasifikasi fraktur komplek zigomatikus adalah:

1. Fraktur stable after elevation: (a) hanya arkus (pergeseran ke medial), (b) rotasi pada sumbu vertikal, bisa ke medial atau ke lateral 2. Fraktur unstable after elevation: (a) hanya arkus (pergeseran ke medial); (b) rotasi pada sumbu vertikal, medial atau lateral; (c) dislokasi en loc, inferior, medial, posterior, atau lateral; (d) comminuted fracture. Fraktur midfasial merupakan tantangan di bidang bedah karena struktur anatomi yang kompleks dan padat.Penanganan yang tepat dapat menghindari efek samping baik anatomis, fungsi, dan kosmetik. Tujuan utama perawatan fraktur fasial adalah rehabilitasi penderita28

secara maksimal yaitu penyembuhan tulang yang cepat, pengembalian fungsi okuler, fungsi pengunyah, fungsi hidung, perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah dan gigi-geligi yang memenuhi estetis serta memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa sakit akibat adanya mobilitas segmen tulang. Optimalnya fraktur ditangani sebelum oedem pada jaringan muncul, tetapi pada praktek di lapangan hal ini sangat sulit. Keputusan untuk penanganan tidak perlu dilakukan terburu-buru karena fraktur zigoma bukan merupakan keadaan yang darurat. Penundaan dapat dilakukan beberapa hari sampai beberapa minggu sampai oedem mereda dan penanganan fraktur dapat lebih mudah. Penatalaksanaan fraktur zigoma tergantung pada derajat pergeseran tulang, segi estetika dan defisit fungsional.Perawatan fraktur zigoma bervariasi dari tidak ada intervensi dan observasi meredanya oedem, disfungsi otot ekstraokular dan parestesi hingga reduksi terbuka dan fiksasi interna. Intervensi tidak selalu diperlukan karena banyak fraktur yang tidak mengalami pergeseran atau mengalami pergeseran minimal. Penelitian menunjukkan bahwa antara 9-50% dari fraktur zigoma tidak membutuhkan perawatan operatif. Jika intervensi diperlukan, perawatan yang tepat harus diberikan seperti fraktur lain yang mengalami pergeseran yang membutuhkan reduksi dan alat fiksasi.

IV.5.FRAKTUR MANDIBULA

Hilangnya kontinuitas pada rahang bawah dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar. Gejala fraktur mandibula antaranya ialah: (7) a. Pembengkakan, ekimosis atau laserasi pada kulit yang meliputi mandibula. b. Rasa nyeri yang disebabkan oleh kerusakan n.alveolaris inferior c. Anastesi dapat terdajdi pada bibir bawah, pada gusi atau gigi dimana n.alveolaris inferior menjadi rosak. d. Maloklusi e. Gangguan mobilitas atau adanya krepitasi f. Malfungsi berupa trismus, rasa nyeri waktu mengunyah. g. Gangguan jalan nafas

IV.5.1. Tipe fraktur mandibula

1. Simple fraktur/closed fracture29

Bagian tulang yang patah tidak berhubungan dengan dunia luar contohnya a) Fraktur linier tertutup dari condylecoronoid,ramus dan corpus mandibula yang tidak bergigi. b) Green stick fracture. 2. Compound fraktur/ open fracture Bagian tulang yang berhubungan dengan dunia luar misalnya pada corpus mandibula. 3. Comminuted fraktur Tulang hancur,remuk,menjadi beberapa fragmen kecil, mislanya luka tembakn peluru. 4. Patologi fraktur Karena adanya patologis dari tulang misalnya osteomeilitis, tumor ganas, penyakit tulang sistemik,kista.

IV.5.2. Penatalaksanaan

Pasien dengan fraktur non-displaced atau minimal displace fraktur condilar dapat diobati dengan analgesic, diet lunak, dan observasi. Pasien dengan fraktur coronoideus sebaiknya diperlakukan sama. Selain itu, pasien-pasien mungkin memerlukan latihan mandibula untuk mencegah trismus. Jika fraktur mandibula membatasi gerak, tetapi medis merupakan kontraindikasi. Teknik reduksi secara tertutup dan fiksasi dari fraktur mandibula memiliki berbagai variasi.Penempatan Ivy loop menggunakan 24 gauge antara 2 gigi yang stabil dengan kawat yang lebih kecil untuk memberikan fiksasi maxillomandibular.

30

BAB V KESIMPULAN Trauma wajah merupakan jenis trauma yang cukup sering terjadi akibat kecelakaan. Luka atau jejas yang terjadi harus ditangani agar tidak terjadi komplikasi atau perburukan yang menggangu fungsi dan kosmetik memandang wajah adalah asset terpenting buat manusia. Fraktur wajah yang multiple harus ditangani secara holistic memandangkan ia melibatkan banyak fungsi dan kelaianan jika ditangani dengan tidak adekuat. Penganangan utama harus diperhatiakn primary survey sebelumnnya dan baru difikirkan tindakan bedah rekonstruksi atau plastic atau tindakan rehabilitasi kemudiannya. Oleh sebab terdapat banyak komplikasi dan gangguan pada trauma maksilofasial, maka lebih baik menjaga agar tidak terjadi trauma maksilofasial tersebut.

31

BAB VI DAFTAR PUSTAKA

1. Moe K.2009. Facial Trauma, Management of Panfacial Fracture.[Intenet]. Accessed 20th December 2011]. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1283471overview#a05 2. Hendra J. Trauma Maksilofasial.[Internet].Accessed on 20th December 2011]. Available maksilofasial.html 3. Arshad S, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti D. Buku Ajar Ilmu Kesihatan Telinga,hidung,tenggorok, Kepala & Leher.6th Edition.Fakultas 7th Kedokteran at http://muniraulfahanwar.blogspot.com/2011/10/trauma-

Universitas Indonesia.2007.page 199-207. 4. Evelyn C. Anatomi Fisiologi Sinus Paranasalis. edition.Elsilver

Publisher.2007.page 168-190. 5. Sofii I, Dachlan I. Correlation between midfacial fractures and intracranial lesion in mild and moderate head injury patients. (online), (http://bedahugm.com/Correlationbetween-midfacial-fractures-and-intracranial-lesion-in-mild-and-moderate-headinjury-patients.php , diakses 18 april 2008). 6. Bailey JS, Goldwasser MS. Management of Zygomatic Complex Fractures. Dalam : Miloro M et al. Petersons principles of Oral and Maxillofacial Surgery 2nd. Hamilton, London : BC Decker Inc. 2004. 7. Ellis E. fractures of the zygomatic complex and arch. Dalam : fonseca rj et al. oral and maxillofacial trauma. St. louis : Elsevier. 2005

32