case presentation fracture supracondylar femur

36
Identitas Pasien Nama pasien : Jan Pierre Umur: 20 tahun Rekam Medik : 159152 Jenis Kelamin : Laki-laki MRS : 25/06/2013 Alamat : BTN Tabaria 5/1 Ruangan : Ar rahman 3/III Rumah Sakit Haji Anamnesis KU : Rencana Aff plate AT : Riwayat KLL 2 tahun yang lalu. Saat itu pasien di diagnosa dengan Fraktur supracondylar Femur dan dilakukan operasi pemasangan orif di RS. Haji Juli 2011. Pemeriksaan Fisis STATUS GENERALIS : KU : Sakit sedang / Gizi cukup /Composmentis STATUS VITALIS : TD : 110/70mmHg Nadi : 90x/menit RR : 20x/menit Suhu : afebris STATUS LOKALIS : 1

Upload: jezy-reisya

Post on 02-Jan-2016

98 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

Identitas Pasien

Nama pasien : Jan Pierre

Umur: 20 tahun

Rekam Medik : 159152

Jenis Kelamin : Laki-laki

MRS : 25/06/2013

Alamat : BTN Tabaria 5/1

Ruangan : Ar rahman 3/III

Rumah Sakit Haji

Anamnesis

KU : Rencana Aff plate

AT : Riwayat KLL 2 tahun yang lalu. Saat itu pasien di diagnosa dengan Fraktur

supracondylar Femur dan dilakukan operasi pemasangan orif di RS. Haji Juli

2011.

Pemeriksaan Fisis

STATUS GENERALIS :

KU : Sakit sedang / Gizi cukup /Composmentis

STATUS VITALIS :

TD : 110/70mmHg

Nadi : 90x/menit

RR : 20x/menit

Suhu : afebris

STATUS LOKALIS :

Kepala : Normocephal, Anemis (-), Ikterus (-), Sianosis (-)

Leher : MT (-), NT (-)

Thorax : I : Simetris Kiri dan Kanan, ikut gerak nafas, tipe

thorakoabdominal, sianosis (-)

P : NT (-), MT (-), vokal fremitus kiri dan kanan sama

P : Sonor kiri dan kanan

A : BP bronchovesikuler, BT Rh-/- Wh-/-

1

Page 2: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

Jantung : I : Ictus cordis tidak tampak

P : Ictus cordis teraba

P : Pekak, Batas jantung kesan normal

A : Bj I/II murni reguler, bising jantung (-)

Abdomen : I : Cembung, ikut gerak nafas, warna kulit sama dengan sekitar

tidak terdapat darm countour dan darm steifung

P : Peristaltik ada, kesan normal

P : MT (-) NT (-)

A : Tympani

Alat Genitalia : tidak ada kelainan

Ekstremitas Superior : dalam batas normal

Ekstremitas Inferior:

Regio Femur Dextra

I : tampak luka bekas operasi ± 20 cm pada bagian antero lateral, edema (-)

P : nyeri tekan (-)

ROM : baik

NVD : baik

2

Page 3: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

Foto klinis regio femoralis distal

Gambar 1. Foto Femur anterior distal

Gambar 2. Foto Femur posterior distal

3

Page 4: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

Pemeriksaan Foto X-ray 25/06/2013

Hasil :

Plate dan screws terpasang dengan baik

Kedudukan fraktur relatif baik

Tidak tampak lagi celah fraktur

Callus forming banyak

Mineralisasi tulang baik

Soft tissue baik

4

Page 5: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

Pemeriksaan Penunjang laboratorium tanggal 01/07/2013

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

WBC 4,8 4,00-10,0

RBC 6,0 4,00-6,00

HGB 11,2 12,0-16,0

HCT 40,3 37,0-48,0

PLT 274 150-400

Ureum 23,5 10-50

Kreatinin 1,06 L(<1,3); P(<1,1)

SGOT 12 < 38

SGPT 14 < 41

CT 7’50” 4’-10’

BT 2’00” 1’-7’

Resume

5

Page 6: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

Laki-laki, 20th, masuk rumah sakit dengan rencana Aff Plate. Riwayat KLL 2

tahun yang lalu. Saat itu pasien di diagnosa dengan Fraktur supracondylar Femur dan

dilakukan operasi pemasangan orif di RS. Haji Juli 2011.

Dari pemeriksaan fisis regio femoralis, pada inspeksi tampak luka bekas operasi

± 20 cm pada bagian anterior lateral, edema (-) nyeri tekan (-), ROM : baik NVD : baik

Pada pemeriksaan radiologi didapatkan Plate dan screws terpasang dengan baik

Kedudukan fraktur relatif baik. Tidak tampak lagi celah fraktur.Callus forming banyak.

Mineralisasi tulang baik.Soft tissue baik

Diagnosis

POST ORIF E.C FRAKTUR SUPRACONDYLAR (D)

Penatalaksanaan

REMOVE ORIF

FRAKTUR SUPRACONDYLAR FEMUR

6

Page 7: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

1. Pendahuluan

Fraktur adalah hilangnya kontinuitias tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan

epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial. Fraktur distal femur terjadi hanya

pada 6% kasus dari semua fraktur femur. Pada umumnya terjadi akibat trauma energi

tinggi pada pasien yang lebih muda dan proses osteoporotik pada pasien yang lebih

tua. Pada pasien yang muda juga biasanya terjadi sebagai akibat dari trauma multipel

seperti kecelakaan ataupun jatuh dari ketinggian. Area supracondylar dari femur

didefinisikan sebagai zona antara condylus femoral dan hubungan antara metafisis

dan batang femoral1.

Walaupun kasus yang terjadi tidak banyak seperti fraktur hip ataupun batang

femur, penanganan fraktur distal femur menjadi suatu tantangan. Adanya kerusakan

jaringan lunak, komunitif, fraktur intraartikular yang meluas, dan kerusakan pada

otot quadriceps menyebabkan hasil yang tidak memuaskan pada beberapa kasus.

Sebelumnya, fraktur femur suprakondilar diterapi dengan traksi skeletal dengan

durasi yang bervariasi dan diikuti dengan cast ataupun brace imobilisasi. Adanya

komplikasi akibat penanganan secara tertutup dari fraktur ini menyebabkan dipilih

metode alternatif yaitu internal fiksasi. Pada tahun 1996, Stewart dan pada tahun

1967, Near dan beberapa kasus fraktur distal femur diterapi dengan metode terbuka

dan tertutup. Sebagian besar ahli bedah merawat pasien dengan menyarankan

imobilisasi yang lama. Hal ini kemudian memperkuat untuk direkomendasikan

dilakukannya manajemen tertutup2,3.

2. Epidemiologi

Fraktur suprakondylar femur pada dewasa terjadi pada 7% kasus dari semua

kasus fraktur femur yang terjadi, tapi karena gaya hidup yang modern dan

transportasi berkendaraan tinggi, kejadian fraktur ini meningkat frekuensinya. Pada

usia muda, trauma ini biasanya terjadi sebagai suatu trauma multipel dengan

kecepatan tinggi dan energi tinggi seperti kecelakaan dan jatuh dari ketinggian.

Kecelakaan merupakan penyebab utama pada trauma ini di usia 17 - 30 tahun. Pada

7

Page 8: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

pasien yang lebih tua, fraktur yang terjadi sebagai akibat trauma yang ringan

contohnya gagal untuk melakukan fleksi pada lutut, hal ini biasanya diakibatkan

adanya proses osteoporotik2.

3. Anatomi

Femur merupakan tulang yang paling panjang dan paling berat dalam tubuh

manusia. Panjangnya kira-kira 1/4 sampai 1/3 dari panjang tubuh. Pada posisi

berdiri, femur meneruskan gaya berat badan dan pelvis menuju ke os tibia. Terdiri

dari corpus, ujung proximal dan ujung distal. Pada ujung proximal terdapat caput

ossis femoris, collum ossis femoris, trochanter major dan trochanter minor. Pada

ujung distal terdapat condylus medialis dan condylus lateralis. Pada posisi Anatomi

kedua ujung condylus medialis dan condylus lateralis terletak pada bidang horizontal

yang sama4.

Caput ossis femoris berbentuk 2/3 bagian dari sebuah bulatan (bola), letak

mengarah ke cranio-medio-anterior. Pada ujung caput femoris, di bagian caudo-

posterior dan titik sentral, terdapat fovea capitis, yang menjadi tempet perlekatan

dari ligamentum teres femoris. Collum femoris terletak di antara caput dan corpus

ossis femoris, ukuran panjang 5 cm, membentuk sudut sebesar 125 derajat. Pada bayi

dan anak-anak sudut tersebut lebih besar dan pada wanita lebih kecil4.

Trochanter major adalah sebuah tonjolan ke arah lateral yang terdapat pada

perbatasan collum dan corpus ossis femoris. Pada facies anteriornya melekat

m.gluteus minimus. Pada permukaan lateral melekat m.gluteus medius. Pada sisi

medial dari trochanter major terdapat fossa trochanterica, tempat melekat m.obturator

externus4.

Trochanter major berada 10 cm di sebelah caudal dari crista iliaca, dan dapat

dipalpasi pada sisi lateral tungkai. Pada posisi berdiri trochanter major berada pada

bidang horizontal yang sama dengan tuberculum pubicum, caput femoris dan ujung

os coccygeus. Trochanter minor merupakan suatu tonjolan berbentuk bundar

(konus), terletak mengarah ke medial dan berada di bagian postero-medial

perbatasan collum dengan corpus ossis femoris. Di antara trochanter minor dan

8

Page 9: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

trochanter major, pada permukaan posterior terdapat crista intertrochanterica, tempat

melekat m.quadratus femoris4.

Corpus ossis femoris melengkung ke ventral, membentuk sudut sebesar 10

derajat dengan garis vertical yang ditarik melalui caput femoris, garis tersebut

merupakan axis longitudinalis dari articulatio coxae. Axis longitudinalis dari corpus

ossis femoris dengan axis longitudianlis dari collum ossis femoris membentuk sudut

inklinasi, yang bervariasi menurut usia dan sex. Apabila sudut inklinasi mengecil

maka kondisi ini dinamakan coxa valga4.

Bentuk corpus ossis femoris di bagian proximal bulat dan makin ke distal

menjadi agak pipih dalam arah anterior-posterior. Pada facies dorsalis terdapat linea

aspera, yang terdiri atas labium laterale dan labium mediale. Ke arah superior labium

laterale membentuk tuberositas glutea dan labium medial menjadi linea pectinea

sampai pada trochanter minor. Ke arah inferior labium laterale berakhir pada

epicondylus lateralis dari labium mediale mencapai epicondylus medialis femoris. Di

antara kedua ujung distal labium laterale dan labium mediale terdapat planum

popliteum. Pada linea aspera melekat mm.adductores, m.vastus medialis, m.vastus

lateralis dan caput breve m.biceps femoris4.

Gambar 1. Anatomi Femur

9

Page 10: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

Distal femur terdiri dari area supracondylar dan area condylar. Area

supracondylar dari femur didefinisikan sebagai zona antara condylus femoral dan

hubungan antara metafisis dan batang femoral. Daerah ini biasanya 9 cm dari distal

femur, diukur dari permukaan artikular. Hal ini penting untuk membedakan fraktur

suprakondylar dengan fraktur diafisial dari distal femur karena metode penanganan

dan prognosisnya berbeda. Pada distal femur, terdapat dua condylus. Pada bagian

anterior, condylus menyatu dan berlanjut menjadi batang femur. Pada bagian

posterior, keduanya berpisah oleh fossa intercondylar1.

Gambar 2. Pembagian dari distal femur

Ujung distal corpus ossis femoris membentuk dua buah tonjolan yang

melengkung, disebut condylus medialis dan condylus lateralis. Daerah di antara

kedua condylus itu, di bagian posterior dan caudal disebut fossa intercondyloidea.

Di bagian ventral, kedua condylus tersebut membentuk facies patellaris, yang dibagi

oleh sebuah alur menjadi dua bagian yang tidak sama besar, pars lateralis lebih besar

dan kurang menonjol dibandingkan dengan pars medialis. Pars lateralis mengadakan

persendian dengan facies articularis lateralis patellae. Facies medialis lebih kecil dan

lebih menonjol ke distal, mengadakan persendian dengan facies articularis patellae4.

Bagian distal condylus lateralis secara relatif lebih besar dan terjal, sedangkan

condylus medialis lebih kecil dan melengkung. Facies medial dari condylus medialis

10

Page 11: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

femoris konveks dan kasar, dan bagian yang paling menonjol disebut epicondylus

medialis. Bagian yang paling menonjol pada facies lateralis condylus lateralis

femoris disebut epicondylus lateralis femoris, bentuknya lebih kecil daripada yang

medial4.

Adanya tekanan pada perlengkatan otot akan menyebabkan pergeseran yang

karakteristik. Gastrocnemius akan menyebabkan fleksi dari fragmen distal

menyebabkan pergeseran ke posterior dan angulasi. Otot quadriceps dan hamstring

mendesak bagian proksimal sehingga menghasilkan pemendekan pada ekstremitas

bawah6..

Gambar 3. Anatomi distal femur. (a) aspek anterior. (b) Aspek lateral. Batang femur

berada segaris dengan sebagian dari bagian anterior condylus lateral. (c) aspek axial.

Distal femur berbentuk trapezium. Bagian anterior melandai turun dari lateral ke

medial, bagian dinding lateral cendering membentuk sudut 100 dan dinding medial

cenderung membentuk sudut 250

4. Etiologi

11

Page 12: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

Etiologi dari fraktur suprakondyler femur adalah :7

Usia muda : trauma energy tinggi (contoh : kecelakaan dan jatuh dari

ketinggian)

Usia tua : trauma energy rendah (contoh : gagal melakukan fleksi pada

lutut)

Sebagai komplikasi dari arthtoplasty total pada lutut (jarang terjadi)

Pada pasien anak-anak, trauma yang terjadi mengakibatkan fraktur pada

daerah metafisis pada sisi kompresi, menyebabkan fraktur Salter Harris tipe II

5. Patofisiologi

Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, kita

harus mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan

tulang patah. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan

tekanan memutar (shearing). Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang

menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan3.

Trauma bisa bersifat3 :

Trauma langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang

dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat

komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.

Trauma tidak langsung. Disebut trauma tidak langsung apabila trauma

dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan

tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini

biasanya jaringan lunak tetap utuh.

Tekanan pada tulang dapat berupa3 :

Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik

Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal

Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi,

dislokasi, atau fraktur dislokasi

Kompresi vertical dapat menyebabkan fraktur komunitif atau memecah misalnya

pada badan vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak

12

Page 13: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan

menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z

Fraktur oleh karena remuk

Trauma karena tarikan pada ligament atau tendo akan menarik sebagian tulang

Gambar 4. Mekanisme Trauma

(a) berputar (b) kompresi (c) fragmen triangular butterfly (d) tension

Never et al (1967) menemukan bahwa mekanisme fraktur supracondylar

berhubungan dengan kehebatan pada waktu melakukan fleksi lutut. Hal ini terbagi

menjadi1 :

Minor . Jatuh pada saat jalan di rumah (pukulan ringan pada fleksi lutut), sering

terjadi pada medial ke aksis femur, menyebabkan deformitas ringan berupa

13

Page 14: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

valgus, mengakibatkan fraktur tidak bergeser. Hal ini umum terjadi pada pasien

dengan usia tua dan mengalami proses osteoporotic.

Mayor. Hal ini terjadi karena kecelakaan pada dash-board atau jatuh dari

ketinggian, Tenaga dipergunakan untuk melakukan fleksi lutut dan derajat

kegagalan dan pergeseran dari fragmen distal femur berdasarkan besar serta arah

dari gaya yang ditimbulkan.

Ekstrem. Biasanya terjadi pada aspek anterior dari fleksi lutut dikarenakan jatuh

dari ketinggian dan kecelakaan mobil ataupun motor. Hal ini akan menimbukan

kominusi yang parah pada area supracondylar dan condylar. Hal ini biasanya

melibatkan bagian bawah dari batang femur. Fraktur supracondylar terjadi ketika

gaya varus atau valgus yang berat ditambah dengan beban aksial serta gaya

memutar.

Beberapa tekanan atau gaya memiliki peranan pada pergeseran fraktur. Otot

mengambil alih peran sebagai penjaga keseimbangan terhadap pergeseran yang

terjadi setelah terjadinya fraktur. Hal ini terjadi akibat dari perubahan arah dan aksis

dari aktifitas otot gastrocnemius, quadriceps, dan adductors. Hal ini penting untuk

diketahui bahwa otot ini menjaga agar pergeseran tidak bertambah hingga fraktur

menyatu. Berat tungkai dan gravitasi adalah factor lain yang member peran pada

pergeseran. Semua factor ni akan saling mempengaruhi untuk menentukan derajat

pergeseran fraktur yang terjadi1.

Adanya tekanan pada perlengkatan otot akan menyebabkan pergeseran yang

karakteristik. Gastrocnemius akan menyebabkan fleksi dari fragmen distal

menyebabkan pergeseran ke posterior dan angulasi. Otot quadriceps dan hamstring

mendesak bagian proksimal sehingga menghasilkan pemendekan pada ekstremitas

bawah. 6

14

Page 15: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

Gambar 5. Pada aspek lateral menunjukkan perlengkatan otot dan me babkan gaya

deformitas. Hal ini menghasilkan pergeseran dan angulasi pada sisi fraktur.

6. Klasifikasi

Beberapa klasifikasi yang dapat digunakan pada fraktur supracondylar adalah1 :

Klasifikasi Neer. Klasifikasi ini disusun berdasarkan arah pergeseran dari

fragmen distal. Hal ini disusun untuk dapat mengidentifikasi mekanisme

kerusakan dan pola jaringan lunak serta terapi yang akan diberikan.

Gambar 6. Klasifikasi Neer.

I : minimally displaced < 1 cm

II : medial displacement of the condyles > 1 cm

III : lateral displacement of the condyles > 1 cm

IV : conjointed supracondylar and shaft fracture

Klasifikasi Hall. Klasifikasi ini berdasarkan stabilitas fraktur setelah

dilakukan reduksi dan menunjukkan cedera musculoskeletal yang terjadi.

15

Page 16: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

Pada klasikasi ini, dikelompokkan fraktur supracondylar dan fraktur

intercondylar pada 4 kelompok yaitu :

I : fraktur supracondylar stabil

II : fraktur supracondylar tidak stabil

III : fraktur intercondylar stabil

IV : fraktur intercondylar tidak stabil

Klasifikasi by AO (Muller and colleagues. Klasifikasi ini paling banyak

digunakan dalam kasus fraktur supracondylar. Pada klasifikasi ini,

diidentifikasi tiga tipe dari fraktur supracondylar dengan tiga subtype

berdasarkan gambaran radiologi.

Grup A : fraktur extra-artikular

A1 : simple

A2 : metafisis irisan

A3 : metafisial kompleks

Grup B : fraktur articular parsial

B1 : condylus lateral (sagital)

B2 : condylus medial (sagital)

B3 : condylus lateral atau medial (coronal)

Grup C : fraktur artikular total

C1 : articular simple, metafisis simple

C2 : articular simple, metafisis multifragmen

C3 : articular multirgamen

16

Page 17: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

Gambar 7. Klasifikasi AO (Muller and colleagues)

7. Diagnosis

Fraktur pada supracondylar terjadi pada pasien yang memiliki trauma multiple

dengan karakteristik adanya trauma pada kepala, dada, dan abdomen, dan system

skeletal lainnya. Penilaian secara cepat dan mengatasi masalah yang mengancam

nyawa dan menjamin stabilitas cardiovascular adalah hal yang harus dilakukan.

Walaupun fraktur ini jarang mengancam jiwa, namun dapat memberikan peran

dalam hemodinamik tubuh serta menyangkut struktur neurovascular2.

a. Anamnesis

Pada anamnesis, didapatkan adanya nyeri ataupun ketidakmampuan untuk

berjalan. Anmnesis penting untuk mengetahui apakah pasien mengalami trauma

dengan energi besar atau tidak. Kecelakan motor, jatuh dari ketinggian lebih dari

10 kaki, dan ditabrak dengan kendaraan sementara berjalan merupakan contoh

mekanisme trauma dengan energi tinggi. Anamnesis lainnya yang pertu

ditanyakan adalah factor-faktor komorbid dari pasien yang akan berpengaruh

pada terapi ataupun prognosis. Pasien dengan penyakit penyerta seperti penyakit

arteri koroner, emfisema, perokok, ataupun diabetes tidak terkontrol memiliki

resiko besar untuk timbulnya komplikasi dari cedera yang terjadi1,.

b. Pemeriksaan Fisis 1,3

1. Inspeksi

Deformitas : angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi

(rotasi, perpendekan atau perpanjangan).

Edema ataupun hematom.

2. Palpasi

17

Page 18: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

- Tenderness (nyeri tekan) pada derah fraktur.

- Krepitasi.

- Pada lutut, didapatkan hemaarthrosis berupa edem dan nyeri pada lutut.

3. Range of Movement (ROM)

- Pergerakan dapat dinilai dengan mengajak penderita untuk menggerakaan

secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang

mengalami trauma. Pada pasien fraktur akan terasa nyeri bila digerakan,

baik gerakan aktif maupun pasif.

4. Neurovaskular Distal (NVD) :

Hal-hal yang dinilai pada neurovascular distal adalah pulsus arteri,

pengembalian darah ke kapiler (capillary refil time), sensasi motorik dan

sensorik. Pada fraktur supracondylar, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap

arteri popliteal yaitu diantara proksimal dari adductor hiatus dan distal dari

soleus serta pemeriksaan nervus peroneal.

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi harus menunjukkan keseluruhan femur pada aspek

anterior-posterior dan lateral termasuk panggul dan sendi lutut. CT scan dan MRI

dibutuhkan untuk menilai fraktur patologis dan diagnosis adanya kerusakan

jaringan1.

18

Page 19: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

Gambar 8. Gambaran radiologi pada fraktur suprakondilar femur

8. Penatalaksanaan

Pengelolaan penderita yang terluka parah memerlukan penilaian yang

cepat dan pengelolaan yang tepat guna menghindari kematian. Pada penderita

trauma, waktu sangat penting, karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah

dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai initial assessment yang secara garis besar

terdiri dari primary survey dan secondary survey3.

Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai, resusitasi

dilakukan dan ABC nya penderita dipastikan membaik. Survey sekunder adalah

pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe examination) , termasuk re-evaluasi

pemeriksaan tanda vital. Pada survey sekunder ini dilakukan pemeriksaan

neurologis lengkap termasuk mencatat skor GCS bila belum dilakukan dalam

primary survey. Prosedur khusus seperti laboratorium dan radiologis dapat

dilakukan.

Terapi pada fraktur suprakondyler dapat berupa operatif dan non-operatif.

a. Terapi non-operatif 1

Manajemen non operatif termasuk reduksi tertutup, traksi skeletal, dan

imobilisasi cast. Metode ini membutuhkan kenyamanan di tempat tidur, waktu

yang lama, mahal, dan tidak cocok pada pasien dengan kerusakan multiple serta

pasien yang tua. Studi comparative mengenai fraktur suprakondylar melaporkan

hasil yang baik pada 54% pasien yang diterapi dengan metode tertutup dan

memberikan hasil yang baik pada 84% yang diterapi bedah.

19

Page 20: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

Walaupun resiko pembedaham dihindari dengan metode tertutup, namun

kesalahan alligment dan kekakuan pada lutut dapat juga terjadi. Beberapa

masalah pada terapi traksi dapat diatasi dengan menggunakan metode brace.

Nicke et al menjelaskan masa rawat inap yang pendek, ambulasi yang cepat, dan

menopang tubuh memberikan hasil pergerakan lutut yang lebih baik dan

menurunkan insidens non-union.

Indikasi dari terapi non-operatif adalah :

Fraktur yang tidak bergeser dan incomplete

Pasien berusia tua dnegan kominusi yang berat atau osteopeni atau

keduanya

Fraktur non-intraartikular pada anak-anak yang lebih tua atau dewasa

muda

Fraktur terbuka yang terkontaminasi (tipe IIIB)

Osteoporosis

Beberapa fraktur dapat direduksi dengan traksi yang melewati distal femur

atau proksimal tibia. Walaupun demikian, pemasangan dari pin pada distal

femur bisa menjadi sulit dikarenakan adanya pembengkakan jaringan lunak,

hemaarthrosis, dan fraktur kominusi.

20

Page 21: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

GGambar 9. (a) Titik masuk dari pin adalah 2 cm dibawah dan dibelakang

dari tibial tuberosity. (b) pin Steinman dimasukkan dari lateral ke medial. (c) Pin

terpasang parallel terhadap aksis dari sendi lutut.

Sementara traksi, pasien dianjurkan untuk mengurangi pergerakan fleksi dari

lutut. Setelah pembengkakan akut dari jaringan lunak mereda dengan nyeri tekan

minimal pada daerah fraktur dan foto x-ray menunjukkan formasi callus, pasien

dapat menggunakan brace. Brace digunakan selama 3 hingga 6 minggu setelah

trauma. Alat ini harus digunalan dengan tungkai dalam keadaan ekstensi,

eksternal rotasi, dan valgus minimal. Gejala klinis dan radiologi harus diperiksa

kembali pada 1, 2, dan 3 minggu setelah pemasangan brace.

b. Terapi operatif 8,10

Terapi operatif dengan internal fiksasi dapat secara akurat menjadi cara

reduksi fraktur, khususnya pada permukaan sendi dan pergerakan yang lebih

awal. Jika fasilitas dan kemampuan tersedia, terapi ini merupaka suatu pilihan

yang baik. Pada pasien yang lebih tua, imobilisasi yang lebih cepat merupakan

hal penting dan fiksasi internal merupakan suatu yang wajib dilakukan. Kadang-

kadang, keadaan tulang yang osteoporotic, pasien yang tua dengan tulang yang

rapuh membuat mobilisasi sulit atau beresiko tinggi, namun perawatan di tempat

tidur membuat lebih mudah dan pergerakan lutut dapat dimulai lebih cepat.

Beberapa alat-alat yang dapat digunakan adalah :

Locked intramedullary nail. Alat ini cocok untuk fraktur tipe A atau tipe C

21

Page 22: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

Gambar 10. Lockerd Intramedular Nail

Plat yang dipasang pada permukaan lateral dari femur. Alat ini cocok

untuk fraktur tipe A dan tipe C. Pada fraktur kominusi yang berat (tipe C),

rancangnan plat dengan screw yang terkunci dapat disarankan. Hal ini akan

menyebabkan stabilitas yang adekuat, bahkan pada keadaan yang osteoporotic,

tapi penopang tubuh yang tidak terlilndungan sebaiknya dihindari hingga terjadi

union.

Gambar 11. Plat yang dipasang pada permukaan lateral femur

Lag screw yang sederhana. Alat ini cocok untuk fraktur tipe B dan

dipasang parallel dengan kepala screw terkubur di dalam cartilage sendi untuk

menghindari pengelupasan dari permukaan sendi. Alat ini juga digunakan untuk

menjaga condylus femoral pada fraktur tipe C sebelum intramedullary nail atau

plat lateral digunakan untuk menjaga kerusakan supracondylar.

22

Page 23: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

Gambar 12. Lag screw sederhana

Gambar 10. Terapi pada fraktur supracondylar fractue. (a) fraktur condylar dapat

direduksi dengan open dan Kirschner wire (b) pemasangan screw (c) fraktur yang

berbentuk T atay Y baik jika diterapi dengan plat dan screw condylar

9. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur supracondylar adalah1,8 :

a. Dini

Kerusakan arteri. Insidensi terjadinya kerusakan vaskular pada fraktur

suprakondylar femur yaitu sekitar 2% hingga 3%. Oleh karena itu, insidensi

kerusakan arteri popliteal setelah trauma sangat rendah. Hal ini terjadi

karena kumpulan vaskular tertambat secara proksimal pada hiatus dari

23

Page 24: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

adductor magnus dan secara distal pada arkus soleus. Kerusakan vaskular

dapat disebabkan oleh laserasi langsung atau kontusio dari arteri atau vena

oleh fragmen fraktur atau secara tidak langsung oleh pemanjangan tunika

intima. Pemeriksaan secara menyuluruh dan hati-hati meliputi tungkai dan

denyut perifer, walaupun gambaran radiologik menunjukkan hanya terjadi

pergeseran yang minimal.

b. Lanjut

Kekakuan sendi lutut. Hal ini hampir tak dapat dihindari. Diperlukan masa

latihan yang lama, tetapi gerakan penuh jarang diperoleh kembali

Non-union. Hal ini dapat disertai kekakuan lutut dan mungkin sesungguhnya

diakibatkan oleh gerakan lutut yang dipaksakan terlalu awal. Fraktur sulit

diterapi dan kecuali kalau dilakukan dengan amat cermat, batas rentang

gerakan lutut mungkin lebih sedikit daripada rentang gerakan saat terjadi

fraktur.

Malunion. Fiksasi internal pada kasus ini sangat sulit dan malunion

(biasanya varus) kadang terjadi. Osteotomi dibutuhkan pada pasien yang

masih melakukan aktifitas fisik untuk melakukan koreksi terhadap malunion

yang terjadi.

10. Prognosis

Prognosis dari fraktur suprakondylar femur adalah7 :

Prognosis dari kasus ini tergantung dari tipe serta tingkat keparahan fraktur

(semakin kompleks fraktur yang terjadi semakin jelek prognosisnya)

Pada umumnya, terapi yang sesuai akan memberikan hasil yang baik pada

pasien

Terapi dengan intramedullary nail memberikan hasil yang memuaskan.

24

Page 25: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

DAFTAR PUSTAKA

1. Kamel Kasem. Management of Supracondylar Fracture of The Femur.

Department of Orthopaedic Surgery & Traumatology Faculty of Medicine

Minia University. 2004. p52-65,89-97

2. Chapman, Michael W. Chapman’s Orthopaedic Surgery 3rd edition. Lippincolt

William & Wilkins. 2001. p710-5.

3. Chairuddin, Rasjad Prof, MD, PhD.Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. 2003.

Makasar. P355-60

4. Luhulima JW. Musculoskeletal. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin. Makassar. Indonesia. 2002.p12-3

25

Page 26: Case Presentation Fracture Supracondylar Femur

5. Netter, Frank H. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy 2nd edition. Saunders

Elseiver.

6. Koval, Kenneth J. Handbook of Fractures 3rd edition. Lippincolt William &

Wilkins. 2006.p356-40

7. Frassica, Frank dkk. The 5-Minute Orthopaedic Consult 2nd edition. Lippuncolt

William & Wilkins. 2007.p222-3

8. Alan Graham Aplpley. Appley’s System of Orthopedics and Fracture 9 th

edition. Butterworths Medical Publications. 2010.p687-90, 870-2.

26