case presentation fracture supracondylar femur
TRANSCRIPT
Identitas Pasien
Nama pasien : Jan Pierre
Umur: 20 tahun
Rekam Medik : 159152
Jenis Kelamin : Laki-laki
MRS : 25/06/2013
Alamat : BTN Tabaria 5/1
Ruangan : Ar rahman 3/III
Rumah Sakit Haji
Anamnesis
KU : Rencana Aff plate
AT : Riwayat KLL 2 tahun yang lalu. Saat itu pasien di diagnosa dengan Fraktur
supracondylar Femur dan dilakukan operasi pemasangan orif di RS. Haji Juli
2011.
Pemeriksaan Fisis
STATUS GENERALIS :
KU : Sakit sedang / Gizi cukup /Composmentis
STATUS VITALIS :
TD : 110/70mmHg
Nadi : 90x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : afebris
STATUS LOKALIS :
Kepala : Normocephal, Anemis (-), Ikterus (-), Sianosis (-)
Leher : MT (-), NT (-)
Thorax : I : Simetris Kiri dan Kanan, ikut gerak nafas, tipe
thorakoabdominal, sianosis (-)
P : NT (-), MT (-), vokal fremitus kiri dan kanan sama
P : Sonor kiri dan kanan
A : BP bronchovesikuler, BT Rh-/- Wh-/-
1
Jantung : I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis teraba
P : Pekak, Batas jantung kesan normal
A : Bj I/II murni reguler, bising jantung (-)
Abdomen : I : Cembung, ikut gerak nafas, warna kulit sama dengan sekitar
tidak terdapat darm countour dan darm steifung
P : Peristaltik ada, kesan normal
P : MT (-) NT (-)
A : Tympani
Alat Genitalia : tidak ada kelainan
Ekstremitas Superior : dalam batas normal
Ekstremitas Inferior:
Regio Femur Dextra
I : tampak luka bekas operasi ± 20 cm pada bagian antero lateral, edema (-)
P : nyeri tekan (-)
ROM : baik
NVD : baik
2
Foto klinis regio femoralis distal
Gambar 1. Foto Femur anterior distal
Gambar 2. Foto Femur posterior distal
3
Pemeriksaan Foto X-ray 25/06/2013
Hasil :
Plate dan screws terpasang dengan baik
Kedudukan fraktur relatif baik
Tidak tampak lagi celah fraktur
Callus forming banyak
Mineralisasi tulang baik
Soft tissue baik
4
Pemeriksaan Penunjang laboratorium tanggal 01/07/2013
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
WBC 4,8 4,00-10,0
RBC 6,0 4,00-6,00
HGB 11,2 12,0-16,0
HCT 40,3 37,0-48,0
PLT 274 150-400
Ureum 23,5 10-50
Kreatinin 1,06 L(<1,3); P(<1,1)
SGOT 12 < 38
SGPT 14 < 41
CT 7’50” 4’-10’
BT 2’00” 1’-7’
Resume
5
Laki-laki, 20th, masuk rumah sakit dengan rencana Aff Plate. Riwayat KLL 2
tahun yang lalu. Saat itu pasien di diagnosa dengan Fraktur supracondylar Femur dan
dilakukan operasi pemasangan orif di RS. Haji Juli 2011.
Dari pemeriksaan fisis regio femoralis, pada inspeksi tampak luka bekas operasi
± 20 cm pada bagian anterior lateral, edema (-) nyeri tekan (-), ROM : baik NVD : baik
Pada pemeriksaan radiologi didapatkan Plate dan screws terpasang dengan baik
Kedudukan fraktur relatif baik. Tidak tampak lagi celah fraktur.Callus forming banyak.
Mineralisasi tulang baik.Soft tissue baik
Diagnosis
POST ORIF E.C FRAKTUR SUPRACONDYLAR (D)
Penatalaksanaan
REMOVE ORIF
FRAKTUR SUPRACONDYLAR FEMUR
6
1. Pendahuluan
Fraktur adalah hilangnya kontinuitias tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan
epifisis, baik yang bersifat total maupun parsial. Fraktur distal femur terjadi hanya
pada 6% kasus dari semua fraktur femur. Pada umumnya terjadi akibat trauma energi
tinggi pada pasien yang lebih muda dan proses osteoporotik pada pasien yang lebih
tua. Pada pasien yang muda juga biasanya terjadi sebagai akibat dari trauma multipel
seperti kecelakaan ataupun jatuh dari ketinggian. Area supracondylar dari femur
didefinisikan sebagai zona antara condylus femoral dan hubungan antara metafisis
dan batang femoral1.
Walaupun kasus yang terjadi tidak banyak seperti fraktur hip ataupun batang
femur, penanganan fraktur distal femur menjadi suatu tantangan. Adanya kerusakan
jaringan lunak, komunitif, fraktur intraartikular yang meluas, dan kerusakan pada
otot quadriceps menyebabkan hasil yang tidak memuaskan pada beberapa kasus.
Sebelumnya, fraktur femur suprakondilar diterapi dengan traksi skeletal dengan
durasi yang bervariasi dan diikuti dengan cast ataupun brace imobilisasi. Adanya
komplikasi akibat penanganan secara tertutup dari fraktur ini menyebabkan dipilih
metode alternatif yaitu internal fiksasi. Pada tahun 1996, Stewart dan pada tahun
1967, Near dan beberapa kasus fraktur distal femur diterapi dengan metode terbuka
dan tertutup. Sebagian besar ahli bedah merawat pasien dengan menyarankan
imobilisasi yang lama. Hal ini kemudian memperkuat untuk direkomendasikan
dilakukannya manajemen tertutup2,3.
2. Epidemiologi
Fraktur suprakondylar femur pada dewasa terjadi pada 7% kasus dari semua
kasus fraktur femur yang terjadi, tapi karena gaya hidup yang modern dan
transportasi berkendaraan tinggi, kejadian fraktur ini meningkat frekuensinya. Pada
usia muda, trauma ini biasanya terjadi sebagai suatu trauma multipel dengan
kecepatan tinggi dan energi tinggi seperti kecelakaan dan jatuh dari ketinggian.
Kecelakaan merupakan penyebab utama pada trauma ini di usia 17 - 30 tahun. Pada
7
pasien yang lebih tua, fraktur yang terjadi sebagai akibat trauma yang ringan
contohnya gagal untuk melakukan fleksi pada lutut, hal ini biasanya diakibatkan
adanya proses osteoporotik2.
3. Anatomi
Femur merupakan tulang yang paling panjang dan paling berat dalam tubuh
manusia. Panjangnya kira-kira 1/4 sampai 1/3 dari panjang tubuh. Pada posisi
berdiri, femur meneruskan gaya berat badan dan pelvis menuju ke os tibia. Terdiri
dari corpus, ujung proximal dan ujung distal. Pada ujung proximal terdapat caput
ossis femoris, collum ossis femoris, trochanter major dan trochanter minor. Pada
ujung distal terdapat condylus medialis dan condylus lateralis. Pada posisi Anatomi
kedua ujung condylus medialis dan condylus lateralis terletak pada bidang horizontal
yang sama4.
Caput ossis femoris berbentuk 2/3 bagian dari sebuah bulatan (bola), letak
mengarah ke cranio-medio-anterior. Pada ujung caput femoris, di bagian caudo-
posterior dan titik sentral, terdapat fovea capitis, yang menjadi tempet perlekatan
dari ligamentum teres femoris. Collum femoris terletak di antara caput dan corpus
ossis femoris, ukuran panjang 5 cm, membentuk sudut sebesar 125 derajat. Pada bayi
dan anak-anak sudut tersebut lebih besar dan pada wanita lebih kecil4.
Trochanter major adalah sebuah tonjolan ke arah lateral yang terdapat pada
perbatasan collum dan corpus ossis femoris. Pada facies anteriornya melekat
m.gluteus minimus. Pada permukaan lateral melekat m.gluteus medius. Pada sisi
medial dari trochanter major terdapat fossa trochanterica, tempat melekat m.obturator
externus4.
Trochanter major berada 10 cm di sebelah caudal dari crista iliaca, dan dapat
dipalpasi pada sisi lateral tungkai. Pada posisi berdiri trochanter major berada pada
bidang horizontal yang sama dengan tuberculum pubicum, caput femoris dan ujung
os coccygeus. Trochanter minor merupakan suatu tonjolan berbentuk bundar
(konus), terletak mengarah ke medial dan berada di bagian postero-medial
perbatasan collum dengan corpus ossis femoris. Di antara trochanter minor dan
8
trochanter major, pada permukaan posterior terdapat crista intertrochanterica, tempat
melekat m.quadratus femoris4.
Corpus ossis femoris melengkung ke ventral, membentuk sudut sebesar 10
derajat dengan garis vertical yang ditarik melalui caput femoris, garis tersebut
merupakan axis longitudinalis dari articulatio coxae. Axis longitudinalis dari corpus
ossis femoris dengan axis longitudianlis dari collum ossis femoris membentuk sudut
inklinasi, yang bervariasi menurut usia dan sex. Apabila sudut inklinasi mengecil
maka kondisi ini dinamakan coxa valga4.
Bentuk corpus ossis femoris di bagian proximal bulat dan makin ke distal
menjadi agak pipih dalam arah anterior-posterior. Pada facies dorsalis terdapat linea
aspera, yang terdiri atas labium laterale dan labium mediale. Ke arah superior labium
laterale membentuk tuberositas glutea dan labium medial menjadi linea pectinea
sampai pada trochanter minor. Ke arah inferior labium laterale berakhir pada
epicondylus lateralis dari labium mediale mencapai epicondylus medialis femoris. Di
antara kedua ujung distal labium laterale dan labium mediale terdapat planum
popliteum. Pada linea aspera melekat mm.adductores, m.vastus medialis, m.vastus
lateralis dan caput breve m.biceps femoris4.
Gambar 1. Anatomi Femur
9
Distal femur terdiri dari area supracondylar dan area condylar. Area
supracondylar dari femur didefinisikan sebagai zona antara condylus femoral dan
hubungan antara metafisis dan batang femoral. Daerah ini biasanya 9 cm dari distal
femur, diukur dari permukaan artikular. Hal ini penting untuk membedakan fraktur
suprakondylar dengan fraktur diafisial dari distal femur karena metode penanganan
dan prognosisnya berbeda. Pada distal femur, terdapat dua condylus. Pada bagian
anterior, condylus menyatu dan berlanjut menjadi batang femur. Pada bagian
posterior, keduanya berpisah oleh fossa intercondylar1.
Gambar 2. Pembagian dari distal femur
Ujung distal corpus ossis femoris membentuk dua buah tonjolan yang
melengkung, disebut condylus medialis dan condylus lateralis. Daerah di antara
kedua condylus itu, di bagian posterior dan caudal disebut fossa intercondyloidea.
Di bagian ventral, kedua condylus tersebut membentuk facies patellaris, yang dibagi
oleh sebuah alur menjadi dua bagian yang tidak sama besar, pars lateralis lebih besar
dan kurang menonjol dibandingkan dengan pars medialis. Pars lateralis mengadakan
persendian dengan facies articularis lateralis patellae. Facies medialis lebih kecil dan
lebih menonjol ke distal, mengadakan persendian dengan facies articularis patellae4.
Bagian distal condylus lateralis secara relatif lebih besar dan terjal, sedangkan
condylus medialis lebih kecil dan melengkung. Facies medial dari condylus medialis
10
femoris konveks dan kasar, dan bagian yang paling menonjol disebut epicondylus
medialis. Bagian yang paling menonjol pada facies lateralis condylus lateralis
femoris disebut epicondylus lateralis femoris, bentuknya lebih kecil daripada yang
medial4.
Adanya tekanan pada perlengkatan otot akan menyebabkan pergeseran yang
karakteristik. Gastrocnemius akan menyebabkan fleksi dari fragmen distal
menyebabkan pergeseran ke posterior dan angulasi. Otot quadriceps dan hamstring
mendesak bagian proksimal sehingga menghasilkan pemendekan pada ekstremitas
bawah6..
Gambar 3. Anatomi distal femur. (a) aspek anterior. (b) Aspek lateral. Batang femur
berada segaris dengan sebagian dari bagian anterior condylus lateral. (c) aspek axial.
Distal femur berbentuk trapezium. Bagian anterior melandai turun dari lateral ke
medial, bagian dinding lateral cendering membentuk sudut 100 dan dinding medial
cenderung membentuk sudut 250
4. Etiologi
11
Etiologi dari fraktur suprakondyler femur adalah :7
Usia muda : trauma energy tinggi (contoh : kecelakaan dan jatuh dari
ketinggian)
Usia tua : trauma energy rendah (contoh : gagal melakukan fleksi pada
lutut)
Sebagai komplikasi dari arthtoplasty total pada lutut (jarang terjadi)
Pada pasien anak-anak, trauma yang terjadi mengakibatkan fraktur pada
daerah metafisis pada sisi kompresi, menyebabkan fraktur Salter Harris tipe II
5. Patofisiologi
Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, kita
harus mengetahui keadaan fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan
tulang patah. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi dan
tekanan memutar (shearing). Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang
menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan3.
Trauma bisa bersifat3 :
Trauma langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang
dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat
komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
Trauma tidak langsung. Disebut trauma tidak langsung apabila trauma
dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan
tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini
biasanya jaringan lunak tetap utuh.
Tekanan pada tulang dapat berupa3 :
Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik
Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi, atau fraktur dislokasi
Kompresi vertical dapat menyebabkan fraktur komunitif atau memecah misalnya
pada badan vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak
12
Trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan
menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z
Fraktur oleh karena remuk
Trauma karena tarikan pada ligament atau tendo akan menarik sebagian tulang
Gambar 4. Mekanisme Trauma
(a) berputar (b) kompresi (c) fragmen triangular butterfly (d) tension
Never et al (1967) menemukan bahwa mekanisme fraktur supracondylar
berhubungan dengan kehebatan pada waktu melakukan fleksi lutut. Hal ini terbagi
menjadi1 :
Minor . Jatuh pada saat jalan di rumah (pukulan ringan pada fleksi lutut), sering
terjadi pada medial ke aksis femur, menyebabkan deformitas ringan berupa
13
valgus, mengakibatkan fraktur tidak bergeser. Hal ini umum terjadi pada pasien
dengan usia tua dan mengalami proses osteoporotic.
Mayor. Hal ini terjadi karena kecelakaan pada dash-board atau jatuh dari
ketinggian, Tenaga dipergunakan untuk melakukan fleksi lutut dan derajat
kegagalan dan pergeseran dari fragmen distal femur berdasarkan besar serta arah
dari gaya yang ditimbulkan.
Ekstrem. Biasanya terjadi pada aspek anterior dari fleksi lutut dikarenakan jatuh
dari ketinggian dan kecelakaan mobil ataupun motor. Hal ini akan menimbukan
kominusi yang parah pada area supracondylar dan condylar. Hal ini biasanya
melibatkan bagian bawah dari batang femur. Fraktur supracondylar terjadi ketika
gaya varus atau valgus yang berat ditambah dengan beban aksial serta gaya
memutar.
Beberapa tekanan atau gaya memiliki peranan pada pergeseran fraktur. Otot
mengambil alih peran sebagai penjaga keseimbangan terhadap pergeseran yang
terjadi setelah terjadinya fraktur. Hal ini terjadi akibat dari perubahan arah dan aksis
dari aktifitas otot gastrocnemius, quadriceps, dan adductors. Hal ini penting untuk
diketahui bahwa otot ini menjaga agar pergeseran tidak bertambah hingga fraktur
menyatu. Berat tungkai dan gravitasi adalah factor lain yang member peran pada
pergeseran. Semua factor ni akan saling mempengaruhi untuk menentukan derajat
pergeseran fraktur yang terjadi1.
Adanya tekanan pada perlengkatan otot akan menyebabkan pergeseran yang
karakteristik. Gastrocnemius akan menyebabkan fleksi dari fragmen distal
menyebabkan pergeseran ke posterior dan angulasi. Otot quadriceps dan hamstring
mendesak bagian proksimal sehingga menghasilkan pemendekan pada ekstremitas
bawah. 6
14
Gambar 5. Pada aspek lateral menunjukkan perlengkatan otot dan me babkan gaya
deformitas. Hal ini menghasilkan pergeseran dan angulasi pada sisi fraktur.
6. Klasifikasi
Beberapa klasifikasi yang dapat digunakan pada fraktur supracondylar adalah1 :
Klasifikasi Neer. Klasifikasi ini disusun berdasarkan arah pergeseran dari
fragmen distal. Hal ini disusun untuk dapat mengidentifikasi mekanisme
kerusakan dan pola jaringan lunak serta terapi yang akan diberikan.
Gambar 6. Klasifikasi Neer.
I : minimally displaced < 1 cm
II : medial displacement of the condyles > 1 cm
III : lateral displacement of the condyles > 1 cm
IV : conjointed supracondylar and shaft fracture
Klasifikasi Hall. Klasifikasi ini berdasarkan stabilitas fraktur setelah
dilakukan reduksi dan menunjukkan cedera musculoskeletal yang terjadi.
15
Pada klasikasi ini, dikelompokkan fraktur supracondylar dan fraktur
intercondylar pada 4 kelompok yaitu :
I : fraktur supracondylar stabil
II : fraktur supracondylar tidak stabil
III : fraktur intercondylar stabil
IV : fraktur intercondylar tidak stabil
Klasifikasi by AO (Muller and colleagues. Klasifikasi ini paling banyak
digunakan dalam kasus fraktur supracondylar. Pada klasifikasi ini,
diidentifikasi tiga tipe dari fraktur supracondylar dengan tiga subtype
berdasarkan gambaran radiologi.
Grup A : fraktur extra-artikular
A1 : simple
A2 : metafisis irisan
A3 : metafisial kompleks
Grup B : fraktur articular parsial
B1 : condylus lateral (sagital)
B2 : condylus medial (sagital)
B3 : condylus lateral atau medial (coronal)
Grup C : fraktur artikular total
C1 : articular simple, metafisis simple
C2 : articular simple, metafisis multifragmen
C3 : articular multirgamen
16
Gambar 7. Klasifikasi AO (Muller and colleagues)
7. Diagnosis
Fraktur pada supracondylar terjadi pada pasien yang memiliki trauma multiple
dengan karakteristik adanya trauma pada kepala, dada, dan abdomen, dan system
skeletal lainnya. Penilaian secara cepat dan mengatasi masalah yang mengancam
nyawa dan menjamin stabilitas cardiovascular adalah hal yang harus dilakukan.
Walaupun fraktur ini jarang mengancam jiwa, namun dapat memberikan peran
dalam hemodinamik tubuh serta menyangkut struktur neurovascular2.
a. Anamnesis
Pada anamnesis, didapatkan adanya nyeri ataupun ketidakmampuan untuk
berjalan. Anmnesis penting untuk mengetahui apakah pasien mengalami trauma
dengan energi besar atau tidak. Kecelakan motor, jatuh dari ketinggian lebih dari
10 kaki, dan ditabrak dengan kendaraan sementara berjalan merupakan contoh
mekanisme trauma dengan energi tinggi. Anamnesis lainnya yang pertu
ditanyakan adalah factor-faktor komorbid dari pasien yang akan berpengaruh
pada terapi ataupun prognosis. Pasien dengan penyakit penyerta seperti penyakit
arteri koroner, emfisema, perokok, ataupun diabetes tidak terkontrol memiliki
resiko besar untuk timbulnya komplikasi dari cedera yang terjadi1,.
b. Pemeriksaan Fisis 1,3
1. Inspeksi
Deformitas : angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi
(rotasi, perpendekan atau perpanjangan).
Edema ataupun hematom.
2. Palpasi
17
- Tenderness (nyeri tekan) pada derah fraktur.
- Krepitasi.
- Pada lutut, didapatkan hemaarthrosis berupa edem dan nyeri pada lutut.
3. Range of Movement (ROM)
- Pergerakan dapat dinilai dengan mengajak penderita untuk menggerakaan
secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang
mengalami trauma. Pada pasien fraktur akan terasa nyeri bila digerakan,
baik gerakan aktif maupun pasif.
4. Neurovaskular Distal (NVD) :
Hal-hal yang dinilai pada neurovascular distal adalah pulsus arteri,
pengembalian darah ke kapiler (capillary refil time), sensasi motorik dan
sensorik. Pada fraktur supracondylar, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap
arteri popliteal yaitu diantara proksimal dari adductor hiatus dan distal dari
soleus serta pemeriksaan nervus peroneal.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi harus menunjukkan keseluruhan femur pada aspek
anterior-posterior dan lateral termasuk panggul dan sendi lutut. CT scan dan MRI
dibutuhkan untuk menilai fraktur patologis dan diagnosis adanya kerusakan
jaringan1.
18
Gambar 8. Gambaran radiologi pada fraktur suprakondilar femur
8. Penatalaksanaan
Pengelolaan penderita yang terluka parah memerlukan penilaian yang
cepat dan pengelolaan yang tepat guna menghindari kematian. Pada penderita
trauma, waktu sangat penting, karena itu diperlukan adanya suatu cara yang mudah
dilaksanakan. Proses ini dikenal sebagai initial assessment yang secara garis besar
terdiri dari primary survey dan secondary survey3.
Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai, resusitasi
dilakukan dan ABC nya penderita dipastikan membaik. Survey sekunder adalah
pemeriksaan kepala sampai kaki (head to toe examination) , termasuk re-evaluasi
pemeriksaan tanda vital. Pada survey sekunder ini dilakukan pemeriksaan
neurologis lengkap termasuk mencatat skor GCS bila belum dilakukan dalam
primary survey. Prosedur khusus seperti laboratorium dan radiologis dapat
dilakukan.
Terapi pada fraktur suprakondyler dapat berupa operatif dan non-operatif.
a. Terapi non-operatif 1
Manajemen non operatif termasuk reduksi tertutup, traksi skeletal, dan
imobilisasi cast. Metode ini membutuhkan kenyamanan di tempat tidur, waktu
yang lama, mahal, dan tidak cocok pada pasien dengan kerusakan multiple serta
pasien yang tua. Studi comparative mengenai fraktur suprakondylar melaporkan
hasil yang baik pada 54% pasien yang diterapi dengan metode tertutup dan
memberikan hasil yang baik pada 84% yang diterapi bedah.
19
Walaupun resiko pembedaham dihindari dengan metode tertutup, namun
kesalahan alligment dan kekakuan pada lutut dapat juga terjadi. Beberapa
masalah pada terapi traksi dapat diatasi dengan menggunakan metode brace.
Nicke et al menjelaskan masa rawat inap yang pendek, ambulasi yang cepat, dan
menopang tubuh memberikan hasil pergerakan lutut yang lebih baik dan
menurunkan insidens non-union.
Indikasi dari terapi non-operatif adalah :
Fraktur yang tidak bergeser dan incomplete
Pasien berusia tua dnegan kominusi yang berat atau osteopeni atau
keduanya
Fraktur non-intraartikular pada anak-anak yang lebih tua atau dewasa
muda
Fraktur terbuka yang terkontaminasi (tipe IIIB)
Osteoporosis
Beberapa fraktur dapat direduksi dengan traksi yang melewati distal femur
atau proksimal tibia. Walaupun demikian, pemasangan dari pin pada distal
femur bisa menjadi sulit dikarenakan adanya pembengkakan jaringan lunak,
hemaarthrosis, dan fraktur kominusi.
20
GGambar 9. (a) Titik masuk dari pin adalah 2 cm dibawah dan dibelakang
dari tibial tuberosity. (b) pin Steinman dimasukkan dari lateral ke medial. (c) Pin
terpasang parallel terhadap aksis dari sendi lutut.
Sementara traksi, pasien dianjurkan untuk mengurangi pergerakan fleksi dari
lutut. Setelah pembengkakan akut dari jaringan lunak mereda dengan nyeri tekan
minimal pada daerah fraktur dan foto x-ray menunjukkan formasi callus, pasien
dapat menggunakan brace. Brace digunakan selama 3 hingga 6 minggu setelah
trauma. Alat ini harus digunalan dengan tungkai dalam keadaan ekstensi,
eksternal rotasi, dan valgus minimal. Gejala klinis dan radiologi harus diperiksa
kembali pada 1, 2, dan 3 minggu setelah pemasangan brace.
b. Terapi operatif 8,10
Terapi operatif dengan internal fiksasi dapat secara akurat menjadi cara
reduksi fraktur, khususnya pada permukaan sendi dan pergerakan yang lebih
awal. Jika fasilitas dan kemampuan tersedia, terapi ini merupaka suatu pilihan
yang baik. Pada pasien yang lebih tua, imobilisasi yang lebih cepat merupakan
hal penting dan fiksasi internal merupakan suatu yang wajib dilakukan. Kadang-
kadang, keadaan tulang yang osteoporotic, pasien yang tua dengan tulang yang
rapuh membuat mobilisasi sulit atau beresiko tinggi, namun perawatan di tempat
tidur membuat lebih mudah dan pergerakan lutut dapat dimulai lebih cepat.
Beberapa alat-alat yang dapat digunakan adalah :
Locked intramedullary nail. Alat ini cocok untuk fraktur tipe A atau tipe C
21
Gambar 10. Lockerd Intramedular Nail
Plat yang dipasang pada permukaan lateral dari femur. Alat ini cocok
untuk fraktur tipe A dan tipe C. Pada fraktur kominusi yang berat (tipe C),
rancangnan plat dengan screw yang terkunci dapat disarankan. Hal ini akan
menyebabkan stabilitas yang adekuat, bahkan pada keadaan yang osteoporotic,
tapi penopang tubuh yang tidak terlilndungan sebaiknya dihindari hingga terjadi
union.
Gambar 11. Plat yang dipasang pada permukaan lateral femur
Lag screw yang sederhana. Alat ini cocok untuk fraktur tipe B dan
dipasang parallel dengan kepala screw terkubur di dalam cartilage sendi untuk
menghindari pengelupasan dari permukaan sendi. Alat ini juga digunakan untuk
menjaga condylus femoral pada fraktur tipe C sebelum intramedullary nail atau
plat lateral digunakan untuk menjaga kerusakan supracondylar.
22
Gambar 12. Lag screw sederhana
Gambar 10. Terapi pada fraktur supracondylar fractue. (a) fraktur condylar dapat
direduksi dengan open dan Kirschner wire (b) pemasangan screw (c) fraktur yang
berbentuk T atay Y baik jika diterapi dengan plat dan screw condylar
9. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur supracondylar adalah1,8 :
a. Dini
Kerusakan arteri. Insidensi terjadinya kerusakan vaskular pada fraktur
suprakondylar femur yaitu sekitar 2% hingga 3%. Oleh karena itu, insidensi
kerusakan arteri popliteal setelah trauma sangat rendah. Hal ini terjadi
karena kumpulan vaskular tertambat secara proksimal pada hiatus dari
23
adductor magnus dan secara distal pada arkus soleus. Kerusakan vaskular
dapat disebabkan oleh laserasi langsung atau kontusio dari arteri atau vena
oleh fragmen fraktur atau secara tidak langsung oleh pemanjangan tunika
intima. Pemeriksaan secara menyuluruh dan hati-hati meliputi tungkai dan
denyut perifer, walaupun gambaran radiologik menunjukkan hanya terjadi
pergeseran yang minimal.
b. Lanjut
Kekakuan sendi lutut. Hal ini hampir tak dapat dihindari. Diperlukan masa
latihan yang lama, tetapi gerakan penuh jarang diperoleh kembali
Non-union. Hal ini dapat disertai kekakuan lutut dan mungkin sesungguhnya
diakibatkan oleh gerakan lutut yang dipaksakan terlalu awal. Fraktur sulit
diterapi dan kecuali kalau dilakukan dengan amat cermat, batas rentang
gerakan lutut mungkin lebih sedikit daripada rentang gerakan saat terjadi
fraktur.
Malunion. Fiksasi internal pada kasus ini sangat sulit dan malunion
(biasanya varus) kadang terjadi. Osteotomi dibutuhkan pada pasien yang
masih melakukan aktifitas fisik untuk melakukan koreksi terhadap malunion
yang terjadi.
10. Prognosis
Prognosis dari fraktur suprakondylar femur adalah7 :
Prognosis dari kasus ini tergantung dari tipe serta tingkat keparahan fraktur
(semakin kompleks fraktur yang terjadi semakin jelek prognosisnya)
Pada umumnya, terapi yang sesuai akan memberikan hasil yang baik pada
pasien
Terapi dengan intramedullary nail memberikan hasil yang memuaskan.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Kamel Kasem. Management of Supracondylar Fracture of The Femur.
Department of Orthopaedic Surgery & Traumatology Faculty of Medicine
Minia University. 2004. p52-65,89-97
2. Chapman, Michael W. Chapman’s Orthopaedic Surgery 3rd edition. Lippincolt
William & Wilkins. 2001. p710-5.
3. Chairuddin, Rasjad Prof, MD, PhD.Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. 2003.
Makasar. P355-60
4. Luhulima JW. Musculoskeletal. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. Makassar. Indonesia. 2002.p12-3
25
5. Netter, Frank H. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy 2nd edition. Saunders
Elseiver.
6. Koval, Kenneth J. Handbook of Fractures 3rd edition. Lippincolt William &
Wilkins. 2006.p356-40
7. Frassica, Frank dkk. The 5-Minute Orthopaedic Consult 2nd edition. Lippuncolt
William & Wilkins. 2007.p222-3
8. Alan Graham Aplpley. Appley’s System of Orthopedics and Fracture 9 th
edition. Butterworths Medical Publications. 2010.p687-90, 870-2.
26