radio rimba raya

6
Tugas PKN Peranan Radio Rimba Raya Pada Masa Kemerdekaan D I S U S U N OLEH : NAMA : ARDI MUNAWIR KELAS : XII IPA 1 SMA HARAPAN PERSADA TAHUN 2011

Upload: ards-munawir

Post on 10-Jul-2015

75 views

Category:

Education


14 download

DESCRIPTION

Sejarah SMA Peranan Radio Rimba Raya Pada Masa Kemerdekaan 2009

TRANSCRIPT

Page 1: Radio rimba raya

Tugas PKN

Peranan Radio Rimba Raya Pada Masa Kemerdekaan

D

I

S

U

S

U

N

OLEH :

NAMA : ARDI MUNAWIR

KELAS : XII IPA 1

SMA HARAPAN PERSADA TAHUN 2011

Page 2: Radio rimba raya

Monumen Radio Rimba Raya

Di Desa Rime Raya

Kec. Pintu Rime Gayo

Kab. Bener Meriah

Radio Rimba Raya merupakan radio yang berdaya pancar 1 kilowatt dan bekerja pada frekuensi 19,25 dan 61 meter ini mulai bersiaran sejak terjadinya Agresi Belanda I sampai dengan Konferensi Meja Bundar berakhir dan tentara pendudukan Belanda ditarik dari

Indonesia. Penyiar-penyiarnya adalah W. Schutz, Raden Sarsono, Abdullah Arief, M. Syah Asyik, Syarifuddin, Ramli Melayu, Syarifuddin Taib, Syamsudin Rauf, dan Agus Sam.

Gambar :

Abdullah Arif (kiri)

T A. Talsya (kanan)

Pesan Kemerdekaan

Melalui radio inilah disiarkan pesan–pesan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Karena pada saat itu Yogyakarta yang merupakan ibu kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia telah dikuasai Belanda. Radio ini memiliki panggilan sinyal: “Suara Radio Republik Indonesia”, “Suara Indonesia Merdeka”, “Radio Rimba Raya”, “Radio Divisi X”, “Radio Republik Indonesia”.

Membantah provokasi Belanda

Radio Rimba Raya berjasa sangat besar dalam menyebarkan berita tentang kemerdekaan RI. Sejak Agresi Belanda ke-dua, 19 Desember 1948, peranan radio sebagai penyampai berita di tanah air sudah dilakukan oleh Radio Rimba Raya yang beroperasi di tengah hutan raya Aceh Tengah. Pada saat itu Belanda telah menguasai ibu kota pemerintahan Indonesia. Dan mengumumkan lewat radio Hilversum (milik Belanda) kepada dunia, bahwa Negara Indonesia tidak ada lagi Bahkan, siaran Radio Rimba Raya saat menyampaikan berita tentang Kemerdekaan Republik Indonesia itu dapat ditangkap jelas oleh sejumlah radio di Semananjung

Page 3: Radio rimba raya

Melayu (Malaysia), Singapura, Saigon (Vietnam), Manila (Filipina) bahkan Australia dan Eropa sehingga negara-negara luar mengetahui bahwa Republik Indonesia masih ada.

Sejarah Perjalanan Radio Rimba Raya

Kontroversi pengadaan peralatan siar

Perangkat Radio Rimba Raya itu dipesan oleh tentara Divisi Gajah I dan dibeli melalui raja penyelundup Asia Tenggara waktu itu, John Lie (seorang pahlawan nasional, Tionghoa dari Manado) yang menjadi perantara pembelian perangkat radio tersebut, menjelang Agresi Militer Belanda I bulan Juli 1947. Perangkat Radio Rimba Raya itu dibeli di Malaya dan dibawa ke kota juang Bireuen.

Untuk mengangkut perangkat penyiaran dari Malaya ke Aceh, John Lie menggunakan dua buah speedboat, yang satu berisi bahan makanan dan kelontong, yang satunya lagi berisi alat pemancar radio. Ketika berpapasan dengan patroli laut Belanda, speedboat yang berisi bahan makanan dan kelontong melaju dengan kencang untuk memberi kesan mencurigakan. Patroli Belanda terpancing lalu mengejar speedboat tersebut dan berhasil dilumpuhkan. Sedangkan speedboat yang berisi alat pemancar melaju menuju pantai Sumatera dan mendarat di Sungai Yu, Aceh Timur.

Tapi, keterangan lain menyebutkan, orang yang membeli peralatan itu adalah Nip Xarim, pernah menjabat Wakil Pemerintah Gubernur Militer Aceh dan Tanah Karo yang berkedudukan di Pangkalan Brandan.

Tiba di Aceh

Tiba di Aceh, perngkat Radio Rimba Raya dibawa ke Bireuen. Setelah beberapa bulan dengan pertimbangan agar bisa menyiarkan secara cepat dan luas, pemancar tersebut dipindahkan ke Koetaradja (Banda Aceh) dan sempat dirangkai komponen-komponennya pada akhir tahun 1948, namun belum sempat mengudara. Pemancarnya dipasang di kawasan pegunungan sebelah selatan Banda Aceh, Cot Gue, sebagai cadangan sewaktu-waktu bisa digunakan apabila Koetaradja direbut musuh. Studio siarannya berada di sebuah rumah peninggalan Belanda Peunayong. Sayangnya, pemancar radio di Cot Gue sama sekali tidak pernah bisa digunakan, karena pada saat yang sama terjadi Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Dalam situasi yang tidak mendukung itu, Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh memerintahkan alat pemancar dipindahkan ke tempat lain. Maka disepakatilah Aceh Tengah sebagai daerah tujuan. Daerah ini dianggap lebih aman karena wilayahnya bergunung dan berhutan-hutan.

Peralatan “diungsikan” ke Aceh Tengah tanggal 20 Desember 1948, dalam suatu pengawalan ketat dan rahasia. Daerah yang hendak dituju Burni Bies. Perjalanan menuju Tanah Gayo dilukiskan begitu dramatis. Berkali-kali rombongan terpaksa menyingkir dari jalan raya untuk bersembunyi dari kejaran Belanda yang mengintai dengan pesawat udara. Karena risiko perjalanan sangat tinggi, akhirnya rencana yang semula menuju Burni Bies dialihkan ke tempat lain, yakni Rime Raya (Rimba Raya).

Pada awalnya pemancar tersebut dipasang di Krueng Simpo, lebih kurang 20 km dari Bireuen arah Takengon. Di tempat inilah akhirnya pemancar didirikan. Namun, waktu itu muncul kesulitan, tak ada mesin listrik. Ny Ummi Salamah, istri Kolonel Husein Yoesoef berusaha mendapatkannya ke Lampahan dan Bireuen. Usaha itu gagal. Mesin listrik akhirnya diperoleh Ummi dari Kuala Simpang. Beres soal listrik, muncul masalah lain, kabel tak cukup. Kabel dicari lagi ke Lampahan dan Bireuen, dan berhasil ditemukan. Sender radio dibangun di pucuk gunung dan tersembunyi, hingga sukar dideteksi musuh. Sebuah rumah juga dibangun untuk tempat peralatan kelengkapan radio.

Page 4: Radio rimba raya

Mulai mengudara

Setelah melewati perjuangan berat dalam mendirikan Radio Rimba Raya, akhirnya Desember 1948, Radio Rimba Raya mengudara yang memberitakan bahwa Republik Indonesia masih berdiri kepada dunia luar. Dari Radio Rimba Raya ini para pahlawan Aceh mengumandangkan pesan kepada pejuang-pejuang kemerdekaan lainnya untuk terus berjuang mempertahankan negara dari penjajahan Belanda. Selain berita kemerdekaan Republik Indonesia yang diinformasikan, Radio Rimba Raya juga menyiarkan berita tentang kenduri akbar di Aceh.

”Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republik masih ada, tentera republik masih ada, pemerintah republik masih ada, wilayah republik masih ada dan di sini adalah Aceh”.

Selain mengudara untuk kepentingan umum, para awak radio ini juga melakukan monitor, mengirim berbagai pengumuman dan instruksi penting bagi kegiatan angkatan bersenjata. Selain bahasa Aceh dan bahasa Indonesia, siaran Radio Rimba Raya di tengah hutan belantara Aceh Tengah itu, menampilkan lima bahasa, yakni bahasa Inggris, Belanda, Cina, Urdu, dan Arab.

Kontak dengan India

Radio Rimba Raya setiap hari juga melakukan kontak dengan perwakilan Republik Indonesia di New Delhi, India. Berita-berita itu selain diterima langsung oleh petugas sandi perwakilan RI di New Delhi, juga dikutip oleh All India Radio dan seterusnya disampaikan ke alamat yang dituju. Ketika Konferensi Asia tentang Indonesia digelar tanggal 20-23 Januari 1949 di New Delhi, jam kerja Radio Rimba Raya diperpanjang mengingat banyaknya berita yang harus dikirim ke wakil-wakil Indonesia yang menghadiri konferensi tersebut.

Akhir penyiaran

Radio ini terus berperan sampai saat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintahan Belanda pada 27 Desember 1949 di Jakarta sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag.

Dimuseumkan

Perangkat tua radio Rimba Raya itu teronggok di salah satu sudut ruang Museum Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat Yogyakarta. Teregistrasi dengan No 60.607.318. Tertera sebuah keterangan pendek, “Pemancar hasil selundupan dari Malaya, digunakan oleh Pemerintah RI di Sumatera/Aceh 1948.” Sama sekali tidak ada keterangan lain tentang Radio Rimba Raya di museum itu. Ironi dan menyedihkan. Padahal, Radio Rimba Raya pernah menjadi penyelamat Indonesia, dan satu-satunya radio yang menyuarakan keberadaan Indonesia, setelah RRI Jogjakarta jatuh ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948.

Perangkat Radio Rimba Raya di Museum TNI AD Yogyakarta

Page 5: Radio rimba raya

Monumen peringatan

Monumen Radio Rimba Raya dibangun untuk mengenang sejarah Radio Rimba Raya yang berperan sangat besar dalam mempertahankan Indonesia dari agresi Belanda. Monumen ini diresmikan oleh Menteri Koperasi/Kepala Badan Urusan Logistik, Bustanil Arifin pada 27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB. Monumen tersebut terletak di Kmpung Rime Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah. Tugu ini selain menjadi tempat bersejarah juga menjadi salah satu obyek wisata yang menarik untuk dikunjungi.

Pengoperasionalan kembali

Sejak tahun 2008, Pemerintah Kabupaten Bener Meriah berupaya mengoperasionalkan kembali stasiun radio ini dengan membeli seperangkat alat penyiaran radio yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Bener Meriah sebesar Rp. 287.000.000.-

Materi penyiaran yang direncanakan adalah informasi dan hiburan bagi masyarakat Bener Meriah dan sekitarnya. Bagaimanapun pelaksanaan penyiaran kembali radio ini mengalami beberapa hambatan, misalnya krisis listrik yang belum juga usai.

Page 6: Radio rimba raya