purakasastra edisi#1

42
#01 AUG 14

Upload: purakasastra

Post on 21-Jul-2016

245 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Majalah Purakasastra Edisi 1

TRANSCRIPT

Page 1: Purakasastra edisi#1

0 #01 – AUG 14

Page 2: Purakasastra edisi#1

1

Page 3: Purakasastra edisi#1

2

Seluruh Staff & Tim Redaksi

Mengucapkan :

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI

1435 H

Mohon Maaf Lahir dan Batin

Page 4: Purakasastra edisi#1

KATA PENGANTAR LENTERASASTRA MENULIS = ACTION PUISI DALAM BINGKAI SURAT KECIL DARI - NYA PURA KARYA Cerita Pendek DOA MAS WAWAN PUISI DALAM BINGKAI HATI YANG MURUNG KAJIANSASTRA BEDAH KARAKTERISTIK 3 ANGKATAN SASTRA NASIONAL PUISI DALAM BINGKAI TANYA PURA KARYA Cerita Pendek NINIK SI PENGINTIP PUISI DALAM BINGKAI AYAT KE SEPULUH AYAT KE DUA BELAS PARA SASTRA NUR SUTAN ISKANDAR PUISI DALAM BINGKAI KETIKA PAPAN KUNCI MEMBUNUH UJUNG PENA SASTRA CYBER PERDENGARKAN SUARA JIWA MELALUI DUNIA CYBER PUISI DALAM BINGKAI PELANGI MALAM PURA KARYA Cerita Rakyat ASAL MUASAL SUNGAI PANJANG HILA-HILA

D A F T A R I S I

5

3

8

11

12

17

19

20

23

Page 5: Purakasastra edisi#1

PUISI DALAM BINGKAI MERCUSUAR PURA KARYA Cerita Pendek CINTAKU, TERSENYUMLAH PARA SASTRA BUYA HAMKA PUISI DALAM BINGKAI KUCIUM WANGIMU MASIH SAJA TIDUR DI BALIK TEMBOK KEKAR PARA SASTRA ERNEST MILLER HEMINGWAY PUISI DALAM BINGKAI CERITA TERPENDAM PRIA TETANGGA

D A F T A R I S I

29

32

35

35

36

36

4

Page 6: Purakasastra edisi#1

5

Kata Pengantar

Page 7: Purakasastra edisi#1

6

“Menulis tidak ditentukan oleh bakat. Bakat hanya memberikan kontribusi sebesar 10% sedangkan 90% adalah kemauan! Lalu action! “

LenteraSastra

BERLANGGANAN & IKLAN : [email protected]

089 89 120 411

Oleh : Alfian Nawawi

Setelah ada kemauan, lalu bagaimana memulainya? Berikut ada tiga tips sederhana yang bisa dicoba: Memilih Topik. Pilih topik yang ringan-ringan saja dulu. Atau anda mau menulis esai atau cerpen misalnya? Tulis saja dulu. Tidak apa-apa berantakan. Tidak usah perhatikan plot, awal, tengah, maupun endingnya. Editing berada dalam kekuasaan anda nantinya. Kapan saja anda mau. Membuat kerangka tulisan. Membuat kerangka tulisan bertujuan untuk membatasi apa yang harus kita tulis. Tulis kalimat pertama sesederhana mungkin. Tidak usah terlalu terbebani kalimat itu harus bagus dan menarik. Menabung kosa kata. Semakin banyak membaca maka kosa kata anda semakin banyak. Jangan menulis sambil mengedit. Editing ada bagiannya tersendiri, setelah anda selesai menulis dan membacanya berulangkali.

Berikut merupakan tips yang bisa digunakan ketika anda mulai rajin menulis atau paling tidak anda telah mencoba menulis. Biasakan Menulis Kalimat Singkat. Kalimat pendek rata-rata berjumlah 10 kata atau kurang Pangkas kata sifat dan kata keterangan yang tidak ekonomis. Biasakan memilih kata ‘dan’ ketimbang tanda ‘koma’. Mengapa kalimat pendek ? Otak manusia punya keterbatasan dalam mencerna kalimat panjang dan lebih mudah menyerap informasi dalam bentuk kalimat pendek. Biasakan Menulis Paragraf Pendek. Idealnya tiap paragraf hanya berisi satu ide pokok. Cara ini membantu pembaca mencerna informasi. Paragraf pendek tercipta dengan sendirinya bila kita menulis dengan jelas dan mudah dimengerti. Biasakan Kalimat Positif. Kalimat positif mudah dicerna. Kecuali jika anda ingin segera tampil sebagai penulis hebat dengan kalimat-kalimat yang rumit dan kelihatan hebat. Pada dasarnya itu adalah cara mengatakan tentang sesuatu secara langsung daripada memilih mengatakannya dengan cara berlawanan.

Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Setiap pembaca yang baik namun tidak pernah menulis, dapat disimpulkan dia tidak punya kemauan. Aneh jika ada seorang penulis tidak biasa membaca. Untuk terjun ke dunia kepenulisan, syarat utamanya adalah wajib membiasakan diri untuk membaca. Membaca apa saja yang bisa dibaca. Setelah lalu lintas peristiwa, maka bacaan merupakan gudang ide terbesar kedua. Jadi sedikit action saja maka anda sudah menulis.

Page 8: Purakasastra edisi#1

Bagaimana cara mendapatkan Ide untuk menulis ketika Anda sudah mulai terbiasa menulis? Hal sederhana dalam menulis untuk penulis pemula adalah hal penting, termasuk menyederhanakan cara mendapatkan ide. Berikut adalah beberapa jalan munculnya ide: Ide muncul dari kebiasaan kita sehari – hari Ide muncul dari tetangga yang sering mabuk Ide muncul dari curhat teman baik Ide muncul dari orang yang terhimpit di bis untuk berangkat ke kantor Ide muncul ketika melihat pak Hansip sedang tertidur pulas di posnya Ide muncul ketika caleg-caleg gagal masuk rumah sakit jiwa. Ide muncul ketika melihat pelacur pulang larut malam. Dan masih jutaan ide yang bisa Anda kembangkan sendiri dengan menggunakan kreatifitas, dan gaya kepenulisan Anda. Banyak sekali ide yang bisa kita dapatkan untuk menulis. Hanya saja terkadang kita kurang peka dengan diri kita dan lingkungan. Dari sekian banyak ide untuk menulis maka imajinasi adalah cara yang paling kreatif. Berdasarkan pengalaman pribadi, imajinasi bisa didapatkan dari pengalaman hidup atau bacaan-bacaan yang kita baca. Sebenarnya proses mengasah imajinasi ini idealnya dari waktu kita kecil. Namun sayang imajinasi kita sejak kecil sudah dibunuh oleh lingkungan pendidikan yang ada. Tapi tidak ada kata terlambat bagi orang yang mau belajar menulis.. Tahukah anda? Di saat sedang menulis artikel ini sebenarnya saya juga masih sedang belajar menulis. Dan bertekad akan terus belajar. Selamat menulis. Action!

LenteraSastra

7

Surat Kecil Dari-Nya

Jengah aku dengar bisik gerimis Keluh tanah kian terasa amis Menyengat napas muntahkan selongsong tiris Menatap banjir melabuhkan tangis mengiris Aku tak bisa merapal catatan alam Yang meninggalkan remuk kelu di kesunyian malam Dan raung si kecil mencari hangat di selembar tilam Atau sebatang kepul asap tak lagi bingar lewati kelam

Yang kupahami hanya setangkup pesan, di sana Di antara air mata dan mata air murka Tertinggal tangan-tangan hitam mengepul dosa Menelanjangi nusantara lenguh tak berdaya Dan segulung bencana adalah surat kecil dari-Nya Tangerang, Januari 2014 Maidi Chandra

Page 9: Purakasastra edisi#1

Oleh : Khoirunnisa Istiqomah “Aslmkm. Wati,,pye kbarmu dek? Pye kbar ibu? Iki Mas Wawan” Subhanallah...Mas Wawan. Dengan senyum sumringah kubalas segera. “Waalaikumsalam. Ya ampuun....Mas wawan alhamdulillah apik mas. Ibu juga sehat. Mas ganti nomer to?”

Mas Wawan. Mas-ku satu-satunya. Mas-ku yang paling ganteng. Jail tapi ngangenin. Sekarang dia sudah tidak tinggal dengan aku dan ibu lagi. Mas Wawan kuliah di Bandung. Hanya waktu liburan semester atau libur lebaran saja Mas Wawan pulang ke rumah. Bersama Mas Wawan, aku telah melalui masa-masa sulit. Itu juga yang membuat aku dengan Mas Wawan sangat dekat. Saling mengenal satu sama lain. Dari atas-bawah, kanan-kiri, depan-belakang, luar-dalam, aku sudah tahu seperti apa Mas Wawan itu. Sudah 17 tahun hidup bersamanya bukan berarti aku mengerti semua yang ada padanya. Ada sesuatu dalam diri Mas Wawan yang aku tidak bisa mengerti sampai saat ini. Sesuatu yang terjadi 10 tahun yang lalu.

Bantul, 1995 Laa ilaaha ilallah....Laa ilaaha ilallah.....Laa ilaaha ilallah... Hari itu keluarga kami tengah berduka. Bapakku meninggal. Tiga hari sebelumnya, Bapak mengalami kecelakaan karambol di Jalan Wates. Terjadi pendarahan yang parah di kepala. Bapak koma sampai akhirnya meninggal tadi subuh. Saat itu umurku 8 tahun dan Mas Wawan berumur 10 tahun. Umur kami memang masih terlalu kecil untuk memahami semua ini. Yang kami tahu saat itu hanyalah Bapak tidur di peti yang ditutupi kain hijau bertuliskan tulisan arab dan mendadak rumah kami yang kecil dipenuhi orang. Sebagian besar tetangga kami tapi ada juga beberapa teman kerja Bapak. Oh iya,,aku lupa satu lagi. Selain itu, yang kami tahu, ibu tak henti-hentinya menangis. Kalau ibu nangis-nya lagi kenceng.... “Wawan, wati,,kene karo Budhe”

Itu Budhe Narto, tetangga terdekat kami. Rumah Budhe Narto tepat berada di sebelah kanan rumah kami. Budhe Narto sangat baik dengan aku dan Mas Wawan. Budhe Narto suka ngasih kami makanan. Kadang kalo jualannya di Pasar beringharjo lagi laku-lakunya, aku sama Mas wawan suka dikasih baju batik. Kalau udah gitu, Ibu bakalan bilang... “Walah...Budhe narto mboten sah repot-repot niki. Nanti jualannya rugi lho”. Tapi Budhe Narto selalu berkilah “Rapopo...Wawan karo wati wis tak anggep anak dhewe kok”. Mungkin itu semua karena Budhe Narto tidak punya anak dan hanya tinggal bersama rewang-nya. Wawan,,wati, sini sama Budhe

Saat ini aku dan Mas Wawan sedang bersama Budhe Narto. Yaa...ibuku lagi nangis histeris. Beberapa ibu-ibu memegangi ibuku. Aku lihat Bapak yang dibungkus kain putih dikeluarin dari peti. Beberapa orang menurunkan Bapakku yang tak bergerak sama sekali ke dalam tanah. Setelah tali-tali yang ada di kain itu dilepas dan Bapakku tertutupi oleh papan-papan kayu, kami semua berdoa.

8

Page 10: Purakasastra edisi#1

9

Setelah pulang dari kuburan Bapak, aku lihat ibu sudah jarang menangis. Ibu sudah lebih tenang meskipun tidak bisa disebut tenang juga. Sore itu, ba’da ashar, sekitar 10 bapak-bapak yasinan di rumahku. Ibu sibuk buat laden. Bolak-balik bawa baki berisi teh. Budhe Narto juga ikutan sibuk menata makanan-makanan dalam besek. Ada nasi gurih, ayam bumbu kuning, sambal goreng kentang, dan kedelai hitam. Jadilah aku dan Mas Wawan main sendiri. “Hayooo kowe!” Aku mengageti Mas Wawan yang dari tadi ngelamun. Mas Wawan keliatan kaget banget. “Waah...semprul.” sambil dorong bahuku ke samping. “Ngelamunke apa to Mas?” Mas Wawan terdiam sejenak. “Kuwi...kalo ada orang meninggal tu akeh panganan yo” Aku berpikir. Bener juga sih apa kata Mas Wawan. Mendadak banyak sekali makanan di rumah kami. Tidak hanya makanan yang dibagikan untuk tetangga tapi juga makanan yang tidak boleh dimakan. Maksudnya makanan sesajen. Ada jenang putih, wedang kopi yang warnanya hitam pekat, dan juga bunga-bunga tabur. “delok kae Wat. Biasane kan di rumah kita cuma makan tahu-tempe. Kok saiki ada ayam juga.” Lanjut Mas Wawan sambil menunjuk baskom yang isinya penuh dengan ayam goreng Mendadak kita jadi anak gedongan. Paling dalam 1 bulan kita cuma makan ayam 3 kali. Itupun kadang-kadang juga oleh-oleh Budhe Narto dari kota. “Eh,,Wawan, wati, kok meneng wae to nduk? Ayo ngewangi laden” Tiba-tiba Ibu sudah ada di depan kami. Meladeni.

Hari-hari berlalu dengan sama kecuali tidak adanya lagi Bapak di rumah. Orang-orang masih banyak berdatangan ke rumah kami. Ibu-ibu tetangga rumah kami sibuk memasak di samping rumah. Tumpukan besek masih menggunung di salah satu sudut rumah. Hanya saja hari ini kelihatannya lebih sibuk karena sekarang adalah peringatan 7 harinya meninggalnya Bapak. Bagi kamu yang bukan orang Jawa mungkin tidak biasa mendengar istilah peringatan 7 harian. Sebenarnya tidak hanya 7 harian, tapi juga 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun, dan 1000 hari. Peringatan ini mengadopsi dari kepercayaan masyarakat Hindu saat itu. Orang Jawa meyakini bahwa di hari-hari itu ruh orang yang meninggal berada di posisi-posisi tertentu. Budhe Narto pernah menjelaskan tentang itu ke aku dan Mas Wawan tapi aku lupa. Karena bagi kami saat itu bukan itu yang kami pahami. Waktu itu kami sedang dolan dengan teman-teman rumah... “Wan, jajan cilok yo” ajak Mas Raka yang sepantaran dengan mas Wawan. “Emoh ah, di rumahku wis akeh panganan. Enak-enak meneh” “Wah...gelem aku” “Yowis,,mas Raka melu neng ngomah wae yo” ajakku. “Hush...ra sopan kowe Ka. Kuwi wis ono jatah’e” Mas Lutfi, yang paling tua diantara kami dan yang dari tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Rapopo Mas Lutfi, banyak kok di rumah” kata Mas Wawan “Ojo ah. Mesakke karo ibumu. Gawe panganan ki yo butuh duit. Mbok pikir ibumu ora ngetokke duit po?” Kami langsung terdiam. Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah, aku memikirkan kata-kata Mas Lutfi. Ibu hanya guru TK yang gajinya tidak seberapa. Darimana Ibu bisa mendapat uang untuk peringatan kematian Bapak? Ini aja baru 7 harian. Masih ada sampai 1000 hari. Aku jadi resah memikirkannya. Kulihat Mas Wawan juga sedari tadi diam. Entah apakah dia juga memikirkan hal yang sama.

Page 11: Purakasastra edisi#1

10

Tak terasa, 10 hari lagi adalah 40 harian Bapak. Aku sudah cukup terbiasa kalau malam hari tidak ada yang nonton bola keras-keras. Itulah kebiasaan Bapak. Tapi apa yang aku pikirkan saat itu benar terjadi. Sudah seminggu belakangan ini, kami makan dengan sangat seadanya. Tahu dan tempe bertransformasi menjadi kerupuk dan sambal. Kalau tidak sangat seadanya bahkan hanya satu kali dalam sehari. Belakangan barulah aku tahu bahwa selama peringatan 7 harian Ibu mengutang tetangga-tetangga. Hutangnya pun cukup besar apalagi bagi kami yang sudah ditinggalkan Bapak. Akhirnya, gaji ibu sepenuhnya digunakan untuk melunasi hutang. Hanya uang lawatan lah yang membuat kami bertahan. Sempat terbersit dalam pikiranku kenapa kita harus merayakan 40 harian Bapak? Untuk makan saja kami kesulitan. Kenapa harus menambah beban dengan memberikan makan kepada orang lain? Sayangnya pikiranku itu hanya ada di dalam otak. Tidak seperti Mas Wawan. “Bu, kenapa to 40 harian Bapak harus dirayain? Kan buang-buang duit, Bu” kata Mas wawan kepada Ibu Ibu dengan cepat menjawab, “Itu namanya adat, Le. Udah turun-temurun di dusun ini. Ra penak karo tangga-ne” Mas wawan pun diam. Adat. Kami tidak tahu betul apa arti kata itu. Yang kami tahu adat itu tidak boleh dilanggar karena kata pak guru adat itu harus dijaga. Hari ini tiga kali kentongan berbunyi di dusun kami. Tiga orang meninggal di hari yang sama. Yang satu seorang ibu pemilik kontrakan, yang kedua seorang pelajar SMA karena kecelakaan, dan yang ketiga seorang mbah-mbah kakung. Orang-orang menerka-nerka kutukan apa yang sedang terjadi ini. Salah apa mereka sampai harus dihukum seperti ini. Maklum saja, dusun kami saat itu masih percaya dengan hal-hal takhayul. Karena kepercayaan itulah, orang-orang dusun lalu mengadakan suatu acara. Aku tidak tahu apa namanya yang jelas fungsinya untuk tolak bala dan memohon ampunan kepada penunggu dusun. Mereka sibuk menyiapkan berbagai macam makanan yang kebanyakan merupakan hasil dari sawah dan ladang mereka. Makanan ini nantinya adalah untuk sesajen. Setelah diadakan yasinan, sesajen itu lalu disebarnya di

beberapa tempat di dusun yang katanya banyak penunggunya. Ibuku juga termasuk salah seorang yang percaya. Menurut Ibu, itu artinya dusun kami sedang dihukum oleh alam. Dusun kami melakukan kesalahan dengan alam sehingga penunggu alam pun menghukum dusun kami. Lain cerita dengan Budhe Narto. Kata Budhe Narto, itu gara-gara wewe gombel marah karena tidak mendapat anak kecil untuk diculik jadi membunuh orang-orang. Sebagai anak kecil, yang aku tahu berarti ada tiga upacara peringatan kematian. Ada tiga macam 7 harian sampai 1000 harian dalam waktu yang sama. Ada 7 harian ada makanan. Berarti ada banyak makanan. Benar saja, dalam satu hari ini ada 3 besek yang dikirim ke rumahku. Nampaknya untuk beberapa hari ke depan aku bisa makan enak dan terlepas dari kutukan. Kutukan kerupuk dan sambal, maksudku. “Mas Wawan, alhamdulillah ya, kita bisa makan enak” kataku kepada Mas Wawan saat pulang sekolah bersama. “Iya. Alhamdulillah yo. Seneng kowe, Wat?” Aku mengangguk. Kami terdiam lagi. Tapi aku juga sedih kenapa harus banyak yang meninggal. Lama-lama aku pun jadi ikut mikirin apa kata orang dusun, apa bener ya dusun kita ini kena kutukan? “Mas, kamu percaya nggak sama yang dikatain orang-orang kalo dusun kita ini kena kutukan?” “Ora” jawab Mas Wawan dengan cepat dan yakin. “Kok mas ngerti?” Tentu saja aku heran. Persoalan yang berhubungan sama takhayul yang bikin orang ragu-ragu gini, dia malah yakin. Bukan apa-apa, lagian waktu itu kan kita masih anak-anak. Mas Wawan tiba-tiba memasang muka serius, “kamu tau ndak, waktu itu aku donga sama Allah, biar ada orang yang meninggal di dusun” “HAH?” seruku dengan kaget dan dengan sigap Mas Wawan menutup mulutku. berdoa

Page 12: Purakasastra edisi#1

11

“Hush...ojo banter-banter!” kata Mas Wawan sambil melepas tangannya dari mulutku. “Kok Mas Wawan berdoa kayak gitu to? Kan mesakke” “Aku kan mung pengen mangan sing enak meneh. Bosen makan kok cuma kerupuk sambel. Aku juga kaget kok tau-tau langsung 3 orang yang meninggal” Aku hanya bisa diam mendengarkan. Badanku terasa dingin semua. “Aku kasian lihat ibu banyak ngeluarin duit. Kasian juga liat kita yang makan seadanya banget. Lagian kamu juga seneng kan kita bisa makan enak lagi?” Aku cuma bisa diam. Tidak tahu harus bagaimana. Ya Allah....jadi semua ini karena doa Mas Wawan? Doa seorang anak yatim yang polos. Semua ini tetap menjadi rahasia antara aku dan Mas Wawan. Sampai saat ini. “Iya Mas Wawan gnti nomer. Eh, Wat, kmu msih inget kan wktu kita kecil dulu, wktu kita hdup gak enak, aku prnah doa ada org yg meninggal? Kirain doa-ku wis ra mempan tapi kmaren aku nyobain doa kayak dulu lagi, terus tetangga kosan-ku meninggal, Wat” Yogyakarta, 29 Juli 2013

Hati yang Murung.. Semua orang memandangku sebagai pencinta sunyi setiap waktu.. Selang beberapa hari kemudian, aku tetap dalam sepi dan kaku.. Aku ragu pada bibirku sendiri "DAN BISU LAH AKU".. Aku ragu pada telingaku sendiri "DAN TULI LAH AKU".. Aku seperti seekor naga yang marah terkendala awan menjepit.. Ruang, gerak dan batas bersekat tembaga di bilik sempit.. Aku harus bicara dengan kakiku terlebih dahulu sebelum pergi dari rumahku.. Aku ingin angin menjadi sepasang mata buat kakiku.. Tapi...... Kini aku telah berubah menjadi kenangan pilu bagi orangtuaku, adik-adikku, saudara-saudara ku, kekasihku dan sahabat-sahabatku.. Ibarat penyair yang terusir.. Ke tempat paling jauh aku menyingkir.. Pada suatu siang,, aku sedang duduk mematung dibawah cuaca kering sesakkan jantung.. Dan pada suatu malam aku terjaga di tepi kiri asap dan haru..

Dalam keramaian tawa asing oleh teman baru.. Lama-lama aku lelah dengan diriku sendiri.. Dan ingin bergegas memeluk orang-orang yang ku kasihi.. Aku takut mereka tak mengenal aku lagi.. Yang hilang dari catatan waktu malam dan pagi.. Tapi hari ini akan kucoba lebih tegar.. Ku bukukan semua,,berharap nanti kalian dengar.. Karena puluhan puisi telah lahir disini.. Puluhan puisi juga telah mati disini.. Aku ada di Utara.. Aku ada di Selatan.. Di langit,, di bumi.. Aku ada di Barat.. Aku ada di Timur.. Di sorga,, di neraka.. Kini.... Aku menangis,, aku meratap.. Aku menjerit,, aku menghiba.. Aku berbisik,, aku berseru.. Langit ini tak benar-benar biru.. Tidak ada yang lebih membuatku sengsara selain mendengar suara pesawat, mobil, motor yang memaksa ingatanku kembali ke masa lalu untuk sementara.. Arrgghhhh.... Kopi ini menjadi dingin tak lagi nikmat..

HADAREWA TODU

Page 13: Purakasastra edisi#1

12

BEDAH KARAKTERISTIK

3 ANGKATAN

SASTRA NASIONAL

KajianSastra

Setiap karya sastra sangat dipengaruhi oleh latar belakang penciptanya karena setiap pencipta hidup pada masa yang berbeda Oleh sebab itu karya sastra yang dihasilkan pada masa yang berbeda akan memiliki karakteristik yang berbeda pula. Hal ini disebabkan oleh karakteristik masyarakat yang berbeda dan juga karakteritik wawasan estetika yang berbeda pula. Dan bicara tentang karakteritik sastra tidak akan lepas dari periode-periode perkembangan sastra yang berubah dari waktu ke waktu. Rangkaian periode-periode sastra itu saling bertumpang-tindih, artinya sebelum angkatan kemarin atau angkatan lama lenyap, maka timbul benih-benih baru yang lebih kritis dan kreatif secara bertahap akan diterima oleh masyarakat dan menggantikan angkatan sebelumnya.

Karakteristik karya sastra satu angkatan dipengaruhi oleh karakteristik jamannya. Beberapa angkatan sastra di Indonesia dengan mengacu pada penulisan sejarah sastra menunjuk adanya angkatan angkatan antara lain : Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Sastra Melayu Lama, Angkatan Balai Pustaka (angkatan 20-an), Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 1945, Angkatan 1950 - 1960-an, Angkatan 1966 - 1970-an, Angkatan 1980 - 1990-an, Angkatan Reformasi, Angkatan 2000-an dan tentunya akan terus berkembang seiring berkembangnya jaman. Pada kajian ini kita akan membedah 3 diantara begitu banyaknya angkatan berdasarkan jaman dan karakteristik yang khas dari angkatan tersebut.

Angkatan Balai Pustaka

Balai Pustaka merupakan suatu angkatan dalam periodisasi sastra yang terkenal dengan sebutan angkatan pembangkit karena lahir pada masa kebangkitan sastra Indonesia yaitu pada periode tahun 1920 sampai tahun 1942. Namun Balai Pustaka juga dikenal sebagai nama sebuah penerbit yang memang keberadaannya menunjang penerbitan sastra-sastra pada masa itu. Angkatan Balai Pustaka atau disebut angkatan 20 an dan popular juga dengan sebutan angkatan Siti Nurbaya. Balai Pustaka memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan sastra Indonesia dengan keberadaanya maka sastrawan Indonesia dapat melontarkan apa yang menjadi beban pikirannya melalui tulisan yang dapat dinikmati oleh dirinya sendiri dan juga orang lain (penikmat sastra). Balai Pustaka mempunyai tujuan untuk memberikan konsumsi berupa bacaan kepada rakyat yang berisi tentang politik pemerintahan kolonial, serta praktek nyatanya yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat lokal. Sehingga secara perlahan tapi pasti, menyulut kesadaran rasa nasionallisme dan patriotisme.. Hal ini diperlihatkan melalui karya sastra yang telah mempergunakan bahasa persatuan Indonesia, dengan tanpa maksud meninggalkan adat istiadatnya. Malah sebaliknya dengan keaneka-ragaman adat-istiadat menjadikannya sebagai alat untuk mempersatukan bangsa Indonesia.

Page 14: Purakasastra edisi#1

KajianSastra

Berdasarkan hal tersebut maka sifat-sifat khas angkatan Balai Pustaka adalah: Sebagian besar karya sastra angkatan Balai Pustaka bercorak romantic dan mengambil tema masalah kawin paksa (Menurut masyarakat paada masa itu perkawinan adalah urusan orang tua, pihak orang tua berkuasa sepenuhnya untuk menjodohkan anaknya). Latar belakang sosial sastra angkatan Balai Pustaka berupa pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum tua. Kita bisa mengambil contoh novel Salah Asuhan, Si Cebol Rindukan Bulan, yang memiliki kecenderungan simpati kepada yang lama, bahwa yang baru tidak semuanya membawa kebaikan. Unsur nasionalitas pada sastra Balai Pustaka belum jelas. Pelaku-pelaku novel angkatan Balai Pustaka masih mencerminkan kehidupan tokoh-tokoh yang berasal dari daerah-daerah. Peristiwa yang diceritakan sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat. Analisis psikologis pelakunya belum dilukiskan secara mendalam. Sastra Balai Pustaka merupakan sastra bertendes dan bersifat didaktis yaitu lebih cenderung pada sesuatu khususnya mengenai permasalahan diatas sehingga terlihat seolah-olah karyanya hanya itu-itu saja/monoton. Bahasa sastra Balai Pustaka adalah bahasa Indonesia pada masa permulaan perkembangan yang pada masa itu disebut bahasa melayu umum dan masih menggunakan banyak perumpamaan dalam gaya bahasanya. Genre sastra Balai Pustaka berbentuk novel, sedangkan puisinya masih berupa pantun dan syair.

Beberapa Tokoh-tokoh angkatan Balai Pustaka dan karyanya antara lain :

Nur Sutan Iskandar, Neraka Dunia – 1937 Salah Pilih – 1928 Jangir Bali – 1942 Abu Nawas - 1929

Abdul Muis Salah Asuhan Pertemuan Jodoh Suropati

Marah Rusli Siti Nurbaya Anak dan Kemenakan Memang Jodoh – La Harni

I G Njoman Pandji Tisna Ni Rawi Ceti penjual Orang Sukreni Gadis Bali I Made Widiadi

Secara ringkas karakteristik angkatan Balai Pustaka adalah . Bahasa sastra Balai Pustaka adalah bahasa Indonesia pada masa permulaan perkembangan yang disebut bahasa melayu umum. Gaya Bahasa yang dipergunakan masih banyak menggunakan perumpamaan atau kiasan. Tokoh-tokoh (pelaku-pelaku)nya masih menunjukkan asal daerah dengn peristiwa sesuai realitas kehidupan masyarakat. Penggambaran psikologis tokoh/pelaku tidak mendalam. Selain itu, merupakan sastra bertendes dan bersifat didaktis hingga terlihat monoton. Genre sastra berbentuk novel dengan puisi masih berbentuk syair dan pantun. 13

Page 15: Purakasastra edisi#1

14

KajianSastra

Angkatan Pujangga Baru

Angkatan Pujangga Baru, muncul pada tahun 30-an, dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis. Pujangga baru semula adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang diterbitkan oleh penerbit Pustaka Rakyat, antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah berkuasa di Indonesia. Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armaijn Pane , Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Sastrawan yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru,hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya pernah dimuat di dalam majalah tersebut.

Pada masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu : 1. Kelompok “Seni untuk Seni” yang

dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah, dan

2. Kelompok “Seni untuk Pembangunan

Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.

Kebudayaan masyarakat saat itu bersifat dinamis. Sumbangan yang terpenting dari angkatan Dalam perkembangan sastra Indonesia sumbangan terbesar dari angkatan ini adalah pembaharuan di bidang puisi, roman dalam bentuk novel mulai diperkenalkan para sastrawan. Di samping itu, tulisan-tulisan dalam bentuk esai dan kritik merupakan sesuatu yang baru, yang digunakan untuk memajukan kebudayaan dan sastra Indonesia Angkatan 33 (Pujangga Baru) terdiri dari sejumlah sastrawan yang memiliki keaneka-ragaman suku bangsa, agama, kepercayaan yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka mempunyai cita-cita yang sama, yaitu membentuk kebudayaan baru, kebudayaan Indonesia. Dalam memajukan kebudayaan, khususnya sastra Indonesia. Para sastrawan menerima pengaruh secara eksternal. Sementara itu pengaruh internal juga cukup kuat, maka terjadi akulturasi budaya.

Para sastrawan yang sebelumnya banyak berfikir soal kedaerahan, sejak jaman Pujangga Baru mulai mengarah pada hal-hal yang bersifat nasional dan universal. Pada angkatan Pujangga Baru karya sastra yang berbentuk puisi terlihat ada dua unsur yaitu unsur estetik dan unsur ekstra Estetik. Unsur estetik puisi pujangga baru bercirikan bentuknya yang teratur rapi, simetris. Mempunyai persajakan akhir. Banyak menggunakan pola sajak pantun dan syair meskipun ada pola yang lain, kebanyakan berupa puisi empat seuntai. Tiap-tiap barisnya terdiri atas dua periodus dan terdiri atas sebuah gatra (kesatuan sintaktis). Tiap gatranya pada umumnya terdiri atas dua kata. Pilihan katanya menggunakan “kata-kata Pujangga” atau “bahasa nan indah”. Gaya ekpresinya beraliran romantik. Gaya sajak Pujangga Baru diafan atau polos, tidak mempergunakan kata-kata kiasan yang bermakna ganda, kata-katanya serebral, hubungan antar kalimatnya jelas. Unsur Ekstra Estetik bercirikan isinya tentang kehidupan masyarakat kota, seperti masalah percintaan dan masalah individu manusia, nasionalisme dan cita-cita kebangsaan banyak mengisi sajak-sajak Pujangga Baru, keagamaan menonjol, curahan perasaan atau curahan jiwa tampak. Sifat didaktis masih tampak kuat.

Page 16: Purakasastra edisi#1

15

KajianSastra

Beberapa Tokoh-tokoh angkatan Balai Pustaka dan karyanya antara lain :

Armaijn Pane Belenggu Gamelan Djiwa Jiwa Berjiwa

Sanusi Pane Pancaran Cinta Puspa Mega Kertajaya

Sutan Takdir Ali Sjahbana Dian tak Kunjung Padam Tebaran Mega Layar Terkembang

Buya Hamka Di bawah lindungan Ka’bah Tenggelamnya kapal Van Der Wijck

Secara umum karaterisrik dari periode Angkatan Pujangga Baru adalah sebagai berikut : tema pokok cerita tidak lagi berkisar pada masalah adat, tetapi masalah kehidupan kota atau modern. Terdapat sifat kebangsaan atau unsur nasional. Bebas dalam menentukan bentuk dan isi. Adanya kebebasan ini merangsang tumbuhnya keanekaragaman karya sastra, seperti novel, cerpen, puisi, kritik dan esai. Bahasa sastra Pujangga Baru adalah bahasa Indonesia yang hidup dalam masyarakat, seperti kosa kata, kalimat dan ungkapan-ungkapan yang digunakan baru dan hidup. Romantik idealisme menjadi cirinya juga. Dalam melukiskan sesuatu dengan bahasa yang indah-indah, secara berlebihan. Pengaruh asing yang cukup kuat dari negeri Belanda.

Page 17: Purakasastra edisi#1

16

KajianSastra

Angkatan 45

Tokoh-tokoh angkatan 45 adalah sastrawan-sastrawan yang hidup dan lahir pada masa revolusi kemerdekaan dan masa-masa itu sangat mempengaruhi karakteristik karya-karya sastra mereka. Pada masa kehidupan sastra angkatan ’45, kita ketahui berbagai macam peristiwa terjadi. Angkatan ’45 dimulai sejak tahun 1942, tetapi angkatan ini tidak dinamai dengan Pujangga Angkatan ’42 adalah karena golongan ini diberi nama kemudian, yaitu setelah proklamasi kemerdekaan Rosihan Anwar mengusulkan untuk memberi nama angkatan ini dengan nama : Pujangga Angkatan ’45. Yang setelahnya mendapat dukungan publik, meskipun beberapa kritikus mengkritknya dengan keras. Sebelumnya angkatan ini disebut Pujangga Gelanggang, karena mereka menulis dalam rubrik majalah Siasat , dalam rubrik Gelanggang. Seperti sudah disampaikan sebelumnya pada awal tulisan ini bahwa karakteristik karya sastra pada setiap angkatan sastra dipengaruhi oleh karakteristik jamannya. Karya sastra angkatan 45 dipengaruhi oleh beberapa peristiwa penting yang secara signifikan mempengaruhi karakteristiknya. Peristiwa penting yang terjadi yaitu : Penjajahan Jepang (1942—1945), Proklamasi

kemerdekaan (17 Agustus 1945), Agresi Militer Belanda I dan II (21 Juli 1949 dan 18 Desember 1948), Penyerahan kedaulatan RI (12 Desember 1949), Gebrakan Chairil Anwar dengan bahasa puisinya yang pendek, padat, berbobot, dan bernas dan struktur puisinya yang menyimpang dari pola sastra sebelumnya, diumumkannya di Surat Kepercayaan Gelanggang pada 23 Oktober 1950. Dengan latar belakang seperti yang telah diuraikan maka karya sastra angkatan 45 meunjukan karakteristik sebagai berikut : Revolusioner dalam bentuk dan isi. Membuang tradisi lama dan menciptakan bentuk baru sesuai dengan getaran sukmanya yang merdeka, mengutamakan isi dalam pencapaian tujuan yang nyata. Karena itu bahasanya pendek, terpilih, padat berbobot. Dalam proses mencari dan menemukan hakikat hidup. Seni adalah sebagai sarana untuk menopang manusia dan dunia yang sedalam-dalamnya, Ekspresionis, mengutamakan ekspresi yang jernih. Individualis, lebih mengutamakan cara-cara pribadi. Humanisme universal, bersifat kemanusiaan umum. Indonesia dibawa dalam perjuangan keadilan dunia.Tidak terikat oleh konvesi masyarakat yang penting adalah melakukan segala percobaan dengan kehidupan dalam mencapai nilai kemansiaan dan perdamaian dunia. Tema yang dibicarakan: humanisme, sahala (martabat manusia), penderitaan rakyat, moral, keganasan perang dengan keroncongnya perut lapar. Secara singkat dapat dilihat bahwa angkatan 45 berkarater : terbuka, bercorak isi realis dan naturalis, meninggalkan corak romantis, menonjolkan individualismenya, menggunakan sedikit kata, ekspresif dan spontan, terlihat sinisme dan sarkasme, Menerima pengaruh unsur sastra asing lebih luas dibandingkan angkatan sebelumnya . Angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam. Perjalanan angkatan 45 berlanjut hingga menjelang tahun 1950-an dan mulai tergeser dengan munculnya angkatan 1950 – 1960an

Page 18: Purakasastra edisi#1

17

KajianSastra

Chairil Anwar Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus Deru Campur Debu

Beb

erap

a To

koh

-to

koh

an

gkat

an

45

dan

kar

yan

ya a

nta

ra la

in :

Pramoedya Ananta Toer Cerita dari Blora Keluarga Gerilya Bumi Manusia

Mochtar Lubis Harimau! Harimau! Tidak Ada Esok

Achdiat K. Mihardja Atheis Keretakan dan Kerenggangan Debu Cinta Berterbangan

Tanya Sebuah tanya Namun terkubur Apa dia? Ku jawab entah Masih Untuk warna yang tinggal serabut Aku masih Dalam lubuk terkuak Kiranya hanya dalam tengkuk ia seruak Lalu diam Ini bukan tentang perangah Aku hanya.. begitulah Masih Diam

Terduduk pandangi geliat dengan seluruh Tapi di sana aku terdiam Kadang suatu berkata, Masihkah? Ku jawab, Entah Untuk sebuah waktu Ku terka, sempit Bahkan sulit Hanya ku tunggu waktu hingga terjepit Antara kuduk, jakun Di sini, di tenggorokan Sedang mata meraih citra Djoen – camar13

Faisal Akhsan

Page 19: Purakasastra edisi#1

18

Oleh : Edward Angimoy

Bilik kerja, di belakang meja. Dingin membungkus. Lewat tengah malam. Ninik masih juga belum berhasil menjaring petunjuk apa-apa. Namun, bukan lelah atau bosan yang menyanderanya, melainkan penasaran yang tumpah-ruah di sepanjang labirin perasaannya. Sesekali ia coba menajamkan kembali intuisi dan nalarnya, berharap ada bunga api pencerahan yang bisa ditemukannya tercecer di jalan-jalan setapak pikirannya.Ia semakin menaikkan level fokus. Kelopak matanya yang sedari tadi mengatupkini semakin mengkerut, menjepit semakin dalam.

Namun lagi-lagi, yang bisa Iajumpai dalam penglihatan inderanya hanyalah potongan-potongan kejadian setelah peristiwa kebakaran di balai desa kemarin pagi. Lebih persis pada saat hiruk-pikuk seluruh isi desa menjinakkan kobaran api telah selesai. Juga pada saat beberapa mulut di antaranya mulai melempar asumsi dan rumor tentang penyebab kebakaran.Hanya itu. Ninik adalah seorang pengintip. Menurut ayahnya, nama Ninik berasal dari bahasa adat kampung ibunya yang berarti mengintip. Sungguh seperti sebaris ramalan, Ninik pada akhirnya menjadi seorang pengintip, selalu mengintip. Dalam hal ini, lebih nyaman disebut pengintip daripada intel, mata-mata, telik sandi, agen rahasia, atau apapun itu yang berbau militer. Barangkali karena Ia punya trauma yang mendalam terhadap militer. Lalu entah mengapa, kata pengintip membuatnya merasa jauh lebih lentur. Ninik pengintip terbaik di negeri ini. Ia didaulat sebagai Mata Elang. Pandangannya begitu luas dan jernih. Intuisi dan nalarnya seolah pedang bermata dua. Dua-duanya pamungkas. Tatapannya adalah yang paling awas. Detail yang paling mikro sekalipun tidak pernah dilewatkannya begitu saja sebab Ia memang punya keyakinan bahwa setiap peristiwa dalam skala apapun adalah sebuah puzzle. Sebuah puzzle berdiri di atas rangkaian detail-detail kecil. Detail jadi kata kunci. Sekumpulan digdaya itu menempatkan pandangannya jadi yang paling mendekati presisi. Konon,selain koruptor, Ninik menjadi sosok paling dicari di seantero negeri. Media menyebut mereka musuh publik. Namun dalam soal klaim media ini, Ia tidak pernah sudi disejajarkan dengan koruptor. Bagi Ninik, koruptor berada di level terendah bersama teroris bila modus kejahatan diranking. Banyak kasus perampokan dan pencurian bernilai miliaran rupiah yang melibatkan perannya sebagai pengintip. Tugasnya sederhana namun menyumbang andil yang sangatdominan. Ia hanya perlu mengintip, mengamati, mengumpulkan data

sedetail mungkin, lalu merangkumnya dalam sekumpulan informasi intelejen yang kemudianakan dijual ke pembeli yang telah lebih dulu memesan. Ia semacam bank data.Namanya melegenda di kalangan kriminal bawah tanah sampai akhirnya suatu ketika identitasnya ditelanjangi. Sebulan setelahnya Ia tertangkap dalam pelarian diluar negeri. Namun, Ia tak lantas diproses di pengadilan. Unit intelejen negara menawarinya pembebasan bersyarat asalkan Ia bersedia mengabdi pada kepentingan negara.Ia tak punya daya tawar sedikitpun. *** Segera setelah kebakaran balai desa, Ninik kembali menjadi sosok yang paling dicari. Reputasinya yang mentereng membuat Ia dipercaya menyimpan informasi penting terkait peristiwa itu. Barangkali karena Ninik punya aksen kerja yang khas.Setelah mengabdi pada negara, Ia tak lagi mengintip berdasarkan pesanan. Ia mengintip apa saja. Apa saja yang berbau busuk dan disembunyikan. Konspirasi atas nama apapun, korupsi, terorisme, rencana pembunuhan, perselingkuhan, atau apapun itu. Tak pernah ada yang luput. Itu dilakukannya semata-mata untuk mendukung mekanisme preventif yang selalu jadi kiblatnya. Mencegah lebih baik daripada mengobati, demikian doktrin dari masa kecilnya memberi pembenaran.Namun untuk peristiwa kali ini, Ia seutuh-utuhnya kecolongan. Intuisinya seolah lumpuh hingga tak mampu mencium petunjuk apa-apa sebelum kejadian. Jika ingin dramatis, maka ini semacam kalah sebelum berperang baginya.

PuraKarya

Page 20: Purakasastra edisi#1

19

Ninik kembali mengenang saat Ia menerima telegram rahasia selepas kebakaran balai desa. Ini mungkin penugasan paling rumit yang pernah Ia terima. Menjadi rumitkarena kebakaran itu menghanguskan balai desa sebagai lumbung data daninformasi penting. Apalagi peristiwa tersebut terjadi di kampung halamannya sendiri dan entah mengapa luput dari pengamatannya yang awas. Belum lagi sejumlah isu tentang penyebab kebakaran yang mulai beterbangan bebas. Semua menjurus pada sebuah rangkaian asumsi bahwa kebakaran itu disengaja, dilakukan untuk sebuah kepentingan rahasia, dan melibatkan sejumlah aparat desa. Rangkaian asumsi demikian menjalar seperti virus dari kuping ke kuping. Lalu membelah diri mirip amuba. Satu isu pecah menjadi dua. Dua menjadi empat. Begitu seterusnya dengan pola kelipatan dua. Ninik semakin terbebani. Mirip pendosa yang dipasangi kuk di lehernya lalu ditenggelamkan ke lautan paling dalam. Hampir fajar. Dingin sudah merangkak pergi. Ninik masih tertahan di bilik kerja, dibalik meja. Namun, setelah membiarkan pikirannya dirasuki fokus yang begitu dalam, Ia akhirnya mulai menemukan titik pijar. Perlahan Ia mulai mampu mengurai simpul-simpul yang tadinya saling membelit. Tetapi aneh, tak ada senyum kemenangan yang melompat dari bibirnya. Air mukanya justru berubah lebih persis penjudi yang kalah

bertaruh. Ia rebah begitu pasrah pada kursi yang sedari tadi setia menahan beban pikirannya. Pantas saja peristiwa ini luput begitu saja dari sorot mata elangnya, Ninik membatin. Pantas saja tak ada satu pun petunjuk yang tercium olehnya sebelum kebakaran terjadi, Ninik menyambung gerutunya. Malahan Ia seolah tak mengingat apa yang terjadi beberapa jam sebelum kebakaran. Ia seperti baru tersadar dari tidur panjang pada saat kobaran api telah berhasil ditaklukkan warga desa“Kau dihipnotis,”pikirannya setengah mengutuk. Jangan sampai ini bertalian dengan perselingkuhan salah satu aparat desa yang pernah diintipnya beberapa waktu silam, nalarnya mulai memperlebar asumsi. Ninik melepas nafas panjang yang suram. Ia serentak berubah melankolis, mendayu-dayu. Nyalinya mundur dengan sangat kemayu. Kali ini takut menjajahnya dengan pecut yang menari-nari. Segala digdaya yang pernah ia miliki barangkali sudah merangkak pergi bersama dingin. Ia benar-benar serupa Yesus ketika berdoa seorang diri di Taman Getsemani. Ia juga ingin menangis air mata darah seperti Yesus. Ingin sekali. Namun, belum sempat air mata darahnya meluap, pintu bilik kerjanya telah lebih dulu didobrak. “Saudara Ninik, Anda kami tangkap atas tuduhan telah dengan sengaja membakar balai desa”. ***

PuraKarya

Ayat ke sepuluh Perjalanan belum usai Malam jadi bermakna Di sujud yang merangkum sengalanya Disini, aku tak menemukan arah Untuk kujadikan parjalan kata-kata Pada perjalanan waktu dan do’a Kucoba menyimak satu persatu Dari tubuh yang terbaring Dalam nafas yang mengusik pegendangan Melepas pekat dalam diam Pada langkah-langkah Dan suara yang menjelma dalam dada Dan nafasmu terhenti sejenak Madura 2013.

Ayat ke dua belas Malam menjelmakanmu Selepas bulan menyulam satu titik Seperti bunyi do’a yang mengetuk jiwa Mengutuk diam Di sajak-sajak yang tak bernyawa Dan di dalam kata-kata yang tak usai kutata Di ayatmu aku kembali Meski bibir-bibir gemetar mengucap ayatmu Sementara aku masih tak paham Madura 2013

Page 21: Purakasastra edisi#1

20

Nur Sutan Iskandar

Muhammad Nur atau yang lebih dikenal dengan nama Nur Sutan Iskandar lahir pada tanggal 3 November 1893 di Sungaibatang, Maninjau, Sumatera Barat. Asal usul namanya menjadi Nur Sutan Iskandar bermula ketika ia menikahi Aminah. Oleh keluarga Aminah, ia diberi gelar Sutan Iskandar. Sejak itu, ia memakai gelar itu yang dipadukan dengan nama aslinya menjadi Nur Sutan Iskandar. Dari perkawinannya dengan Aminah itu, Nur Sutan memperoleh lima anak: (1) Nursinah Supardo, lahir 5 Januari 1918, (2) Nursjiwan Iskandar, lahir 6 November 1921, (3) Nurma Zainal Abidin, lahir 24 Mei 1925, (4) Nurtinah Sudjarno lahir 7 Agustus 1928, dan (5) Nurbaity Iskandar, lahir 22 Maret 1933. Dua dari lima anaknya, yaitu Nursinah Supardo dan Nursjiwan Iskandar, menuruni bakatnya, gemar dengan dunia karang-mengarang. Nur menghabiskan masa kanak-kanaknya di tempat kelahirannya, Sungaibatang yang terletak persis di tepi Danau Maninjau. Keindahan kampungnya dan suasana kehidupan masyarakat di kampungnya itu betul-betul diresapinya. Hal ini terlihat dari karya yang dilahirkannya. Dalam Pengalaman Masa Kecil (1949), misalnya, Nur Sutan Iskandar dengan jelas bercerita tentang keindahan kampung halamannya dan suka

duka masa kecilnya. Sementara itu, dalam Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1923), Cinta yang Membawa Maut (1926), Salah Pilih (1928), dan Karena Menua (1932), ia banyak bercerita tentang kepincangan yang terjadi dalam masyarakatnya, khususnya yang berkaitan dengan adat istiadat. Berpendidikan Sekolah Rakyat (Sekolah Melayu) Kelas II (1908), belajar untuk menjadi guru bantu (tamat 1911), dan menempuh ujian Klien Ambtenaars Examen. Pemah menjadi guru Sekolah Desa di Sungai Batang (1908), guru bantu di Murabeliti (palembang), guru Sekolah Melayu Kelas II di Padang (1914), kemudian di Jakarta, ia bekerja di Balai Pustaka sebagai pengoreksi naskah karangan yang masuk ke redaksi (sebagai korektor, redaktur, dan terakhir redaktur kepala) hingga pensiun. Ia mendapat tugas itu dari Sutan Muhammad Zein, Pemimpin Balai Pustaka saat itu. Di Balai Pustaka itu ia banyak memperoleh pengalaman dan pengetahuan mengenai dunia karang-mengarang dan juga mulai terasah bakatnya ke arah itu. Ia juga pernah menjadi pengurus Jong Sumatranen Bond Jakarta (1919).

ParaSastra

Page 22: Purakasastra edisi#1

21

A. Karya Asli 1.Apa Dayaku karena Aku Perempuan (Jakarta: Balai Pustaka, 1923) 2.Cinta yang Membawa Maut (Jakarta: Balai Pustaka, 1926) 3.Salah Pilih (Jakarta: Balai Pustaka, 1928) 4.Abu Nawas (Jakarta: Balai Pustaka, 1929) 5.Karena Mentua (Jakarta: Balai Pustaka, 1932) 6.Tuba Dibalas dengan Susu (Jakarta: Balai Pustaka, 1933) 7.Dewi Rimba (Jakarta: Balai Pustaka, 1935) 8.Hulubalang Raja (Jakarta: Balai Pustaka, 1934) 9.Katak Hendak Jadi Lembu (Jakarta: Balai Pustaka, 1935) 10.Neraka Dunia (Jakarta: Balai Pustaka, 1937) 11.Cinta dan Kewajiban (Jakarta: Balai Pustaka, 1941) 12.Jangir Bali (Jakarta: Balai Pustaka, 1942) 13.Cinta Tanah Air (Jakarta: Balai Pustaka, 1944) 14.Cobaan (Turun ke Desa) (Jakarta: Balai Pustaka, 1946) 15.Mutiara (Jakarta: Balai Pustaka, 1946) 16.Pengalaman Masa Kecil (Jakarta: Balai Pustaka, 1949) 17.Ujian Masa (Jakarta: JB Wolters, 1952, cetakan ulang) 18.Megah Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas II (Jakarta: JB Wolters, 1952) 19.Megah Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas III (Jakarta: JB Wolters, 1952) 20.Peribahasa (Karya bersama dengan K. Sutan Pamuncak dan Aman Datuk Majoindo. Jakarta: JB Wolters, 1946) 21.Sesalam Kawin (t.t.)

Ketika berkesempatan mengikuti Kongres Pemuda di Surabaya (1930-an), ia berkenalan dengan Dokter Sutomo, tokoh pendiri Budi Utomo. Oleh Dr. Sutomo, ia diajak berkeliling kota Surabaya. Hampir semua tempat di sana mereka kunjungi, tidak terkecuali tempat pelacuran. Bakat menulisnya yang sudah tumbuh mulai memainkan peran. Pengalaman berkeliling di tempat pelacuran, kemudian dituangkannya menjadi karangan yang diberi judul Neraka Dunia (1937). Meskipun hanya berijazah sekolah dasar, Nur Sutan Iskandar dikenal sebagai orang yang haus ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sambil bekerja ia terus berusaha untuk menambah pengetahuannya, baik secara formal maupun nonformal. Pada tahun 1921, ia dinyatakan lulus dari kleinambtenaar ‘pegawai kecil’ di Jakarta dan tahun 1924 ia juga mendapat ijazah dari Gemeentelijkburen Cursus ‘Kursus Pegawai Pamongpraja’ di Jakarta. Sementara itu, ia juga terus memperdalam kemampuan berbahasa Belanda. Berkat ketekunannya, ia

diangkat sebagai Pemimpin Redaksi Balai Pustaka (1925-1942) dan Kepala Pengarang Balai Pustaka (1942-1945). Pada saat itulah, kreativitasnya sebagai penulis sangat berkembang. Nur Sutan Iskandar termasuk penulis yang produktif. Selain menulis karya asli, ia juga menulis karya saduran dan terjemahan. Hal itu dimungkinkan karena penguasaan bahasa asingnya cukup baik. Nur pernah juga menjadi bendahara Partai Indonesia Raya (1935-1942), pengurus Partai Nasional Indonesia, dosen Fakultas Sastra UI (1955-1960), dan anggota Konstituante

(1955-1960). Ia adalah salah seorang perintis kemerdekaan RI dan tahun 1961 menerima Satyalencana Kebudayoon dari Pemerintah RI. Pada usia 82 tahun, tepatnya tanggal 28 November 1975, Nur Sutan Iskandar meninggal dunia.

ParaSastra

Page 23: Purakasastra edisi#1

22

ParaSastra

B. Karya Saduran 1. Si Bakhil (1926) 2. Pelik-pelik Pendidikan I--IV (1952). C. Karya Terjemahan 1. Tiga Orang Panglima Perang (Alexander Dumas) (1922) 2. Dua Puluh Tahun Kemudian (Alexander Dumas) (1925) 3. Graaf de Monte Cristo I--IV (Alexander Dumas) (1925) 4. Belut Kena Ranjau I--Il (Banonesse Orczy) (1951) 5. Anjing Setan (A. Conan Doyle) (1928) 6. Anak Perawan di Jalan Sunyi (A. Conan Doyle) (1928) 7. Gudang Intan Nabi Sulaeman (H. Rider Haggard) (1929) 8. Kasih Beramuk dalam Hati (Beatrice Harraden) (1931) 9. Memperebutkan Pusaka Lama (Edouard Kijzer) (1932) 10. Iman dan Pengasihan I--IV (H. Sienkiewicz) (1933) 11. Permainan Kasti (F.H.A. Claesen) (1940) 12. Perjalanan Ahmad ke Eropa (N.K. Bieger) (1940) 13. Sayur-Sayuran Negeri Kita (J.J. Ochse) (1942) 14. Pablo (Lidow) (1948) 15. Asal Binatang (Giane Anguissola) (1948) 16. Si Buyung (S. Franke) (1949) 17. Bersiap (C. Wilkeshuis) (1949) 18. Pengajaran di Sweden (Jan Lighthart) (t.t.) 19. Sepanjang Garis Kehidupan (R. Kasimier) (1951) 20. Medan Perdagangan (K. Gritter) (1951) 21. Edison Sripustaka (K. Gritter) (t.t.) 22. Maw Volksalmanak (K. Gritter) (t.t.)

KETIKA PAPAN KUNCI

MEMBUNUH UJUNG PENA

Tanggal-tanggal itu telah datang Aku disana menyaksikannya, memperhatikan Mendekap lembut membius perlahan Menyanyikan lagu pengantar tidurnya Huruf persegi mulai bekerja Merampas ketajaman ujung pena Mencekiknya pelan-pelan, hingga habis kata-kata Huruf sambungnya mulai patah Tidak lagi panjang dan mengayun, Mendustakan kurva dan paragraf Lepas tanpa tekanan dua ujung jari Melambaikan sajak perpisahan

Demi garis –garis buku baru yang tinggal kenangan Kertas bekas kantoran, sobekan bungkus rokok Atau kertas minyak kuning bekas bendera duka ibuku... Apa yang harus kulakukan? Baiknya, kubiarkan saja dulu Mungkin nanti tiba waktunnya Karena jarum pendek yang terlalu berat Untuk diputar kembali dan mengulang Kejayaan tinta yang meracau pada goresannya Irfan Purnama 12/13/JKT

Page 24: Purakasastra edisi#1

SastraCyber

Mungkin bagi sebagian orang nama Iskandar Ys sudah tidak asing lagi, hampir tiap hari tulisannya selalu hadir dalam beberapa Grup Sastra di media sosial Facebook. Dalam edisi kali ini kita akan sedikit lebih mengenal sosok “ Bang Is “ melalui sesi wawancara singkat tentang latar belakang dan tanggapannya mengenai Sastra Cyber Indonesia. Pria bernama lengkap Iskandar Yusuf ini lahir di Bone pada tanggal 21 Oktober 1961, Sosok yang menyandang gelar S2 filsafat ini saat ini mempunyai usaha pembibitan ayam bangkok yang baru saja dirintisnya sekitar 3 bulan yang lalu. Pada awalnya Bang Is sama seperti sebagian orang yang menganggap bahwa media sosial Facebook ‘tidak bermanfaat’ lantaran hanya digunakan sebagai wadah ajang eksis untuk tempat guyon, curhat, ataupun hal hal yang sepele lainnya. Dengan semakin berkembangnya teknologi juga turut andil dalam memperbanyak masyarakat untuk setidaknya memiliki sebuah akun Facebook. Maka secara otomatis juga semakin menjamurnya akun akun yang berstatuskan tulisan yang sekedar tempat curhat dan bahkan menghujat. Maka itu Bang Is berpikiran bahwa sebaiknya media sosial Facebook juga digunakan untuk berbagi hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi orang banyak. Alhasil setiap kali menuliskan baik puisi dan juga beberapa filosofi yang bertujuan sebagai motivasi mendapatkan apresiasi dan reaksi yang positif. Hampir tiap hari Bang Is selalu memposting karyanya, tak pernah habis inspirasi yang dimiliki Bang Is, inspirasi bisa dengan mudah didapatkan mulai dari diri sendiri ataupun

lingkungan sekitar. “Kalau puisi bisa saya dapatkan inspirasi dari sekitarnya, namun lebih banyak itu dari suara jiwa saya, makanya saya buat grup Puisi Suara Jiwa, suara jiwa dapat di 'dengar' atau di 'rasa' oleh yang membacanya... kalau tulisan sosial, politik karena saya melihat negeri ini semakin lama semakin tidak bertuan saya menulis sejak smp, beberapa puisi dan soliloquy pernah dimuat di majalah aktuil, tahun 80-an saya kolumnis free lance di dua surat kabar daerah .“ begitu tulisnya. Keaktifan duda berputri satu ini tidak hanya sebagai pemosting karya tulisnya, tapi Bang Is juga membuat beberapa grup Facebook yang memiliki spesifikasi tersendiri dalam setiap grupnya. Seperti Grup Puisi Suara Jiwa yang khusus memposting hasil karya berupa puisi dari para anggotannya. Lalu ada KRONIKA dimana anggotanya dapat mengirimkan tulisan atau pemikiran yang bersifat Konstruktif tentang kritik Sosial, Politk dan Hukum. Dan juga Grup KOPI PAHiT yang memberikan ruang bagi anggotanya untuk saling memotivasi, dan belajar bagaimana mengelola kehidupan dengan semangat untuk tidak menyerah, dalam grup ini setiap anggota hanya boleh mengirimkan tulisan yang mendorong terbukanya inspirasi-inspirasi baru yang memungkinkan anggota lainnya untuk lebih mudah mengambil keputusan dan hikmah dari setiap peristiwa yang dialami. Tidak hanya itu, Bang Is juga membuat grup puisi Soul Sound Poet, yang mana setiap hasil karya yang diposting menggunakan bahasa Inggris. 23

PERDENGARKAN SUARA JIWA MELALUI DUNIA CYBER Oleh : Firman D. Permana

Page 25: Purakasastra edisi#1

24

SastraCyber

Saya buat grup puisi Soul Sound Poet, membernya komunitas luar negeri, itu grup versi bhs inggris, disana saya tahu sastra, puisi, kita tidak kalah halusnya dengan pusi karya barat, sering puisi saya mendapat apresiasi, rata2 mereka memberi pujian lewat inbox “ jelasnya. Jika ditelisik lebih dalam,setiap karya dari Bang Is ini terpengaruh gaya bahasa seorang Khalil Gibran dan juga Chairil Anwar dan Remy Silado. Yang dibenarkan oleh pemilik akun lain Iskandar Ys Poet ini. “Bagus, saya respect, meski banyak mereka baru sekedar mencoba menulis puisi, tetapi lebih baik sebagai awal menjadi baik dalam penulisannya, ada grup dimana saya member disana, Forum sastra Indonesia (Forsasindo) anggotanya 38 ribu lebih, sayang adminnya tidak 'turun' ke lapangan meng-appreciate tulisan-tulisan membernya. “ Begitu jawaban Bang Is saat ditanya tentang tanggapannya mengenai begitu maraknya grup grup Facebook yang menggangkat sastra baik itu berupa grup pembelajaran tentang sastra, ataupun grup yang khusus memberikan tempat untuk mengapresiasi segala bentuk karya tulis para anggotanya.

Sebagaimana seorang penulis dan sastrawan lain Bang Is berharap bahwa karya karyanya dapat dibukukan atau setidaknya berkontribusi dalam sebuah antologi baik itu puisi maupun soliloquy. ” kalau ada yang berminat dengan senang hati saya dapat bekerjasama “ begitu tulisnya. Saat ditanya mengenai impian yang ingin dicapai dalam dunia Sastra Cyber Bang Is dengan penuh harap menjawab. “ saya berharap lahir penulis2 muda yang berkualitas dengan memanfaatkan IT dari FB ini, Cyber sebuah ruang untuk kita bisa lebih dalam lagi memahami karya2 sastra ternama, dahulu kita tidak mengenal cyber, tetapi banyak tokoh sastra yang lahir dari kondisi apa adanya, banyak karya yg hebat berawal dari tulisan dari bungkus rokok, saya menaruh harapan Rubrik Sastra Cyber - Jurnal Puraka Sastra menjadi wadah sekaligus pionir di bidang sastra, semakin orang memahami sastra semakin santun seseorang dalam bertindak, saat ini kita butuh banyak orang santun di negeri ini ”. Dan sebagai penutup wawancara Bang Is memberikan saran agar para generasi muda cyber memanfaatkan teknologi cyber ini dengan optimal untuk sebuah karya yang hebat.

PELANGI MALAM Doa pelangi malam bersemayam di pundak sang rembulan Memejamkan sedikit siksa kerinduan terpanjang Tenangnya mengusir badai keresahan Ia percaya takdirnya takkan lepas melayang. Kini pori-pori napas bumi menanti kepastian Terikat lugunya menjejak tunas harapan Terbangun dari mimpi yang memikat janji-janji nyata Bunga pun menggoda dengan aroma-aromanya. Berkibarlah tegar pelangi malam Selaksa petir mendaratkan pukulan kejam Kubur malumu di bukit batu nisan Bawalah bunga-bunga cinta sebarkan kata menentramkan Dianie Apnialis M

Page 26: Purakasastra edisi#1

25

PuraKarya

“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh,” jawab Khatib Bungsu. Pemuda itu langsung menjabat dan mencium tangan Khatib Bungsu. Lalu ia berkata, “Alhamdulillah. puang datang tepat pada waktunya!’ “Ada apa, muridku?” Tanya Khatib Bungsu agak sedikit heran dengan ucapan pemuda itu. Pemuda itu adalah salah seorang muridnya di kampung ini. “Begini, puang. Kita harus segera melakukan

sesuatu. Kemarau berkepanjangan telah membuat sebahagian besar pengikut kita di kampung ini menjadi hampir putus asa. Mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa ketika mereka diejek oleh orang-orang yang masih belum diberikan hidayah Sang Khalik.” “Subhanallah. Sesungguhnya apa yang telah terjadi, anak muda? Mereka diejek dalam hal apa?” Tanya Khatib Bungsu dengan suara tenang dan berwibawa.

Asal - Muasal Sungai Panjang Hila-Hila Bulukumba, Sulawesi Selatan

Pagi di atas tanah kering berdebu dan berbatu. Seorang lelaki separuh baya berjalan dengan tenang melewati jalan setapak di sebuah kampung kecil. Perawakannya agak sedang. Tubuhnya jangkung dibalut pakaian serba putih. Rambutnya yang hitam legam agak panjang dengan sedikit uban dibalut sorban putih gading. Tangan kanannya memegang sebuah tongkat kayu. Wajahnya tenang berwibawa dan tampak bercahaya sesekali menunduk. Matanya bias sesekali melepaskan pandangan ke sekitar. Sepanjang jalan setapak yang dilaluinya dipenuhi batu-batu kerikil. Di sisi kiri kanan jalan terdapat banyak batu-batu besar dan tanaman meranggas. “Astagfirullahhalazim. Kemarau yang sangat panjang telah membuat kampung ini begitu kekeringan.” bathin lelaki itu. Sambil matanya terus memandang ke sekitar seperti mencari-cari dan hendak melakukan sesuatu. Matahari naik sepenggalah diatas kepalanya yang berbalut sorban. Lelaki itu berhenti di dekat sebuah batu besar berwarna hitam. Permukaan batu berbentuk agak datar. Tampaknya dia telah menemukan apa yang ia cari. “Alhamdulillah. Terimakasih ya Allah. Engkau telah membawaku ke batu ini untuk melaksanakan shalat dhuha,” gumamnya sambil menengadahkan wajahnya ke langit. Lalu kedua telapak tangannya diletakkan ke tanah, untuk mulai bertayammum sebab sedari tadi ia tidak kunjung menemukan satupun sumber mata air maupun air sungai. Lelaki itu lalu berdiri melaksanakan Shalat Dhuha di atas batu besar itu. Lelaki berpakaian serba putih itu adalah Khatib Bungsu. Seorang ulama dari Koto Tangah, Minangkabau yang menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yang sedang melakukan perjalanan menuju Kerajaan Tiro. “Assalamualaikum, puang.” Seorang pemuda berbadan tegap berpakaian serba hitam-hitam tiba-tiba muncul dari balik sebuah batu besar setelah Khatib Bungsu menyelesaikan sholat Dhuha nya.

Oleh : Alfian Nawawi

Page 27: Purakasastra edisi#1

26

“Begini, puang. Mereka berkata bahwa mereka lebih baik mempertahankan ajaran nenek moyang mereka dibanding mengikuti agama baru yang diajarkan oleh puang. Agama baru ini tidak bisa menolong mereka keluar dari kemarau berkepanjangan ini. Hujan tidak kunjung turun. Setiap hari ada saja ternak yang mati akibat kekeringan. Tanaman mereka juga gagal panen. Puang, mereka bahkan sangat yakin bahwa agama baru ini tidak mampu membawa mereka kepada penghidupan yang lebih baik.” “Masya Allah. Sesungguhnya Allah SWT Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah tidak akan menimpakan sesuatu beban kepada hamba-Nya manakala hamba-Nya itu tidak sanggup menanggungnya,” ujar Khatib Bungsu. Kemudian ia berkata lagi,”yakinlah, anak muda. Allah akan selalu menolong orang-orang yang menolong agama-Nya. Mari, anak muda. Insya Allah, kita akan membuktikan bahwa sesungguhnya Allah Maha Penolong.” Keduanya pun lalu bergegas berjalan meninggalkan tempat itu. Keduanya berjalan menuju ke arah perkampungan penduduk. Ketika tiba di kelokan jalan, keduanya dikejutkan dengan sebuah pemandangan yang sangat mengerikan. Puluhan lelaki dan perempuan dewasa tampak mengelilingi sebuah batu besar yang kelihatannya adalah sebuah altar. Di atas batu besar itu terbaring seorang gadis dengan wajah penuh ketakutan. Kedua tangan dan kaki nya terikat tali. Seorang lelaki bertelanjang dada berdiri di samping batu besar tempat gadis itu diletakkan. Dengan memegang dua bilah badik di kedua tangannya. Badik itu tampak sakral, gagangnya seperti terbuat dari tulang manusia yang diukir. Menunjukkan bahwa bukan orang sembarangan yang dapat memilikinya. “Masya Allah. Muridku, apa gerangan yang dilakukan orang-orang itu?” Khatib Bungsu berkata pada muridnya. “Puang, itu adalah sebuah upacara persembahan kepada dewa mereka. Mereka akan mengorbankan gadis itu untuk meminta hujan!” “Astagfirullahhalaziim. Apakah upacara semacam ini telah sering mereka lakukan selama ini?” Dia bertanya dengan nada terkejut. “Upacara ini baru dilakukan lagi. Terakhir kali kami saksikan, upacara seperti ini ketika terjadi kemarau panjang belasan tahun lalu, dengan mengorbankan seorang gadis yang

masih perawan.” Upacara persembahan di hadapan mereka tampaknya sudah dimulai. Puluhan lelaki dan perempuan di sekeliling altar batu mengucapkan semacam mantra yang kedengaran seperti nyanyian dan ratapan kepedihan. Lelaki bertelanjang dada yang tampaknya adalah pemimpin upacara itu melakukan semacam tarian mengelilingi altar batu. Sejurus kemudian pemimpin upacara itu berhenti menari. Kedua tangannya diangkat ke langit sambil mengeluarkan mantra. Ia lalu berjalan ke arah sebuah wadah berisi air dan memasukan kedua badik itu kedalam air suci. kemudian dia mengangkat kedua badik itu tinggi-tinggi ke arah langit. Mulutnya tak henti meracau mengeluarkan ucapan-ucapan mantra. Hening dan ketegangan meliputi tempat itu. Pemimpin upacara itu lalu berjalan menghampiri gadis persembahannya di altar batu. Pemandangan mengerikan akan segera terjadi. Kedua badik itu diayun sekuat tenaga. Sesaat lagi kepala gadis itu akan segera terpisah dari badannya. “Tunggu...!” Dalam detik-detik eksekusi yang akan dilakukan itu, tiba-tiba terdengar suara menggelegar. Suara itu ..mengejutkan semua orang yang ada di situ. Mereka serempak melihat ke arah datangnya suara itu. “Kau rupanya, Khatib Bungsu!” seru lelaki pemimpin upacara. Perlahan ia menurunkan badiknya. Lalu ia berkata lantang, ”Khatib Bungsu..! Ada urusan apa tiba-tiba muncul di sini mengganggu jalannya upacara kami?” “Hentikan upacara setan ini! Ketahuilah, mengorbankan nyawa gadis yang tidak berdosa tidak akan merubah apapun. Hujan tetap tidak akan turun kecualli kemalangan atas nasib gadis itu. Perbuatan kalian ini sungguh sangat kejam dan tidak manusiawi. Jika ingin meminta hujan, mintalah kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam dengan berdoa dan malakukan kebajikan.” “Hahahahahaahaaa! Upacara ini kami lakukan berdasarkan ajaran leluhur kami dan telah berlangsung selama ratusan tahun. Ajaran baru yang kamu ajarkan nyatanya juga tidak bisa menurunkan hujan di negeri ini, bukan?” Lelaki itu berkata sambil matanya memandang sinis pada Khatib Bungsu

PuraKarya

Page 28: Purakasastra edisi#1

27

PuraKarya

“Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan-Nya,” kata Khatib Bungsu dengan suara tenang. “Omong besar! Buktikan jika kamu mampu menurunkan hujan.” Khatib Bungsu terdiam sejenak. Dengan suara yang tetap tenang dan berwibawa ia berkata,”baiklah, aku akan mencoba meminta kepada Allah SWT, air yang kalian inginkan itu, tapi dengan syarat kalian harus melepaskan gadis itu dan meninggalkan cara-cara keji ini.” “Hei, Khatib Bungsu. Kami tidak akan melepaskan gadis persembahan kami. begini saja, buktikan kepada kami jika kamu bisa meminta air kepada Tuhanmu itu. Buktikan saja kalau ajaranmu itu benar. Jika kamu bisa membuktikan omong besarmu, maka kami melepaskan gadis ini,” ujar lelaki itu sinis. “Baiklah, tetapi kalian harus menepati janji. Kalian harus melepaskannya” ujar Khatib Bungsu. Ia lalu berjalan beberapa langkah. Sejenak kemudian wali Allah itu mengangkat kedua tangannya dan lalu berdoa beberapa saat. Setelah mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya lalu secara tiba-tiba ia mengangkat tongkat kayunya lalu dihunjamkan ke tanah dengan keras. Separuh tongkat itu terhunjam ke dalam tanah. Khatib Bungsu lalu menarik tongkat itu dan membentuk semacam garis. Dan apa yang terjadi sungguh sangat mencengangkan! Sekonyong-konyong dari dalam lubang bekas tongkat itu memancarlah air yang sangat deras! Semakin deras dan menggenangi tanah tempat mereka berpijak.Genangan air itu semakin banyak hingga menggenangi semua orang-orang di tempat itu sampai setinggi lutut. Semua mata yang ada di tempat itu terbelalak. Mereka terperangah dengan peristiwa ajaib di hadapan mata mereka. “Anak muda, cepat bebaskan gadis itu!” Khatib Bungsu berseru kepada muridnya. Pemuda itu dengan sigap langsung melompat ke altar batu dan melepaskan tali-tali yang mengikat gadis itu. Puluhan orang dipimpin lelaki pemimpin upacara itu lalu beramai-ramai mengerumuni Khatib Bungsu. Mereka bahkan lalu membungkuk di hadapan Khatib Bungsu. Tetapi Khatib Bungsu segera mencegah mereka melakukan hal itu. “Tidak! Tidak! Kalian tidak boleh membungkuk seperti itu di hadapanku. Aku

hanya manusia biasa sama seperti kalian. Kita sama-sama diciptakan Allah SWT Yang Maha Menciptakan segala apa yang ada di langit dan segala apa yang ada di bumi!” Lelaki pemimpin upacara itu lalu berkata sambil matanya mengeluarkan airmata,”Khatib Bungsu. Kami percaya dengan kebenaran ajaran yang tuan bawa. Kami mempercayai tuan.” “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Khatib Bungsu dan muridnya mengucapkan takbir berkali-kali. Mereka lalu menuntun orang-orang itu mengucapkan Dua Kalimah Syahadat. Disaksikan Khatib Bungsu dan muridnya, mereka masuk Islam dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Mata air ajaib yang memancar dari tempat itu terus mengalirkan air dan tidak pernah kering hingga kini. Airnya senantiasa berlimpah meski kemarau berkepanjangan. Aliran airnya membentuk sungai yang berkelok-kelok seperti ular. Di dekat sumber mata air itu dibuatlah sebuah kolam. Di samping kolam itu dibangunlah sebuah mesjid yang diberi nama Mesjid Hila-Hila dan berdiri sejak tahun 1605 M . Mesjid Hila-Hila adalah peninggalan langsung Al Maulana Khatib Bungsu atau Dato Tiro, seorang wali Allah yang akan selalu dikenang sebagai sosok ulama besar penyebar Islam di Bulukumba. Pada tahun 1997 mesjid Hila-Hila diganti namanya menjadi Mesjid Nurul Hilal Dato Tiro. Mesjid Nurul Hilal telah mengalami lima kali renovasi. Renovasi pertama dilakukan pada tahun 1625, sedangkan renovasi terakhir dilakukan pada tahun 1998. Mesjid Nurul Hilal memiliki keunikan berupa kubah yang menyerupai rumah adat Jawa dan terdiri dari tiga tingkat. Arsitektur dinding jendela diambil dari bentuk rumah khas Sulawesi Selatan, Tongkonan. Di luar mesjid terdapat dua buah menara setinggi 20 meter. Sedangkan di dalam mesjid terdapat empat buah tiang dan sejumlah tulisan kaligrafi di sudut-sudut dinding mesjid. Mesjid Nurul Hilal hingga kini masih berdiri kokoh di wilayah Kecamatan Bontotiro, sekitar 36 kilometer dari kota Bulukumba. Mesjid ini akan selalu dikenang sebagai salah satu peninggalan penting dari sejarah masuknya Islam di Bulukumba yang dimulai dari Bontotiro.

Page 29: Purakasastra edisi#1

Datanglah ke mesjid tertua di Sulawesi Selatan ini. Kita bisa merasakan nuansa tersendiri ketika shalat di dalamnya. Salah satu yang bisa kita rasakan adalah barakah dan spirit perjuangan Dato Tiro yang datang dari pulau seberang ke Bulukumba untuk menyebarkan agama Islam. Setelah Al Maulana Khatib Bungsu wafat, jasadnya dimakamkan sekitar 100 meter dari mesjid Nurul Hilal. Makam beliau hingga kini banyak dikunjungi orang-orang dari berbagai penjuru untuk berziarah. Kolam di dekat sumber mata air ajaib dan Mesjid Nurul Hilal

hingga kini juga selalu ramai dikunjungi banyak orang untuk berekreasi dan mandi-mandi. Dewasa ini, kita sering mendengar cara penyebutan kepada Dato Ri Tiro dengan sebutan “Puang Dato” di kalangan masyarakat Hila-Hila Bontotiro. Ini dikarenakan sebahagian besar anak cucu keturunan langsung dari Dato Tiro bermukim di Hila-Hila Bontotiro. (*)

PuraKarya

(*) Tahun 1604 M, Al Maulana Khatib Bungsu bersama dua sahabatnya, Khatib Makmur dan dan Khatib Sulaiman mengembara hingga ke wilayah Selatan Pulau Sulawesi. Ketiganya berasal dari Pulau Andalas atau Sumatera. Ketiga orang inilah yang merupakan penyebar agama Islam yang pertama kali di Bulukumba dan sekitarnya. Nama lain dari Khatib Bungsu adalah Abdul Djawad. Sebuah catatan sejarah juga menyebut nama aslinya adalah Nurdin Ariyani. Ia menyebarkan Islam pertama kali di wilayah Kerajaan Tiro. Sementara kedua orang sahabatnya menyebarkan Islam di wilayah Barat dan Tenggara. Oleh masyarakat setempat ketiganya diberi gelar. Khatib Bungsu diberi gelar Dato Ri Tiro atau Dato Tiro. Khatib Makmur diberi gelar Dato Ri Bandang. Sedangkan Khatib Sulaiman diberi gelar Dato Patimang.

28

Mercusuar Tiap lima waktu, dua puluh empat jam sekali Mercusuar waktu menaburkan tanda Ilahi Setiap tanda itu membentuk huruf Dan hurufnya-pun titisan-Nya Apalagi kata-kata itu menjelma syair tanpa tanding Tak ada alasan kita untuk tidak mencerna panggilan itu Itu kewajiban, yang haram bila dipatahkan Sudahi dulu sibukmu, sisakan waktu sesaat menghadap-Nya

Khairul Mufid Jr,

Page 30: Purakasastra edisi#1

29

Menatapmu bukanlah gambaran jiwaku, melihatmu menenenangkan debaran jantungku. Manis yang tak terwakilkan dari ucap pujaku, sekalipun kau disukukan tak luntur niatku melirikmu cantik. Kita punya latar belangkang yang jauh berbeda, tapi bagiku kaulah paru-paru belahan nafasku. Seminggu jeda kita tak bersua tapi rinduku sudah setahun rasanya, lambayan terurai mahkota sekujurmu tak terlupakan. Aku punya sesuatu untukmu, kamu harus mencobanya. Mmm... kau habiskan dalam sekali tegukan, sehaus itukah kamu? atau rasanya sangat menggoda? Kenapa kau diam saja? tak rindukah kamu untuk bertanya walau hanya sebatas basa-basi! Aku tahu raut rindu diwajahmu Wie, agar kau tak salah paham, sebaiknya kujelaskan padamu. Tentang perawan yang kau lihat bersamaku kemarin, namanya Seruni. Sari yang mengajaknya kerumah dia sangat menggoda layaknya saat pertama kali kita bertemu dulu. Wie... tolong jangan menatapku seperti itu, kau pantas untuk cemburu tapi bagiku kalian layak berdampingan disebelah hatiku. “ Hai … apa kabarmu hari ini cantik? Puasakah kamu? Pesonamu dengan gaun tropis favoritmu sungguh aku tak bosan mengagumimu. Begitu anggunya dirimu cantik. Jika saja aku tidak melihat Seruni melirik kearah kita ingin rasanya kusentuh dirimu. Menyentuhmu tak membuat puasaku batal

dan mengurangi fahala, karena ia tak makruh, ini adalah hari pertama bulan Ramadan, diawal ramadhan terkadang bagi sebagian kita baik itu bagi yang pertama kali menunaikan ibadah puasa maupun yang sudah pernah. Terasa ringan (biasa saja), berat. Bisa dimaklumi dan manusiawi. Wie, izinkan aku menyapa Seruni sebentar saja! pedoman cinta tidak harus selalu memiliki tidak bagiku kedua kalian selalu dihatiku, tak ego kan? Saat pagi menyentuh bersama embun kau tersenyum bersama mentari. Dari balik tirai kulihat kamu menggoyangkan kemolekanmu bersama hembusan semilir kamu sungguh seksi.... Aku sudah dengar selintingan tentang Bambang yang sering menggoda kamu Wie. Namun aku percaya padamu melebihi mereka yang usil dengan kedekatan kita. Perawan tampan sejagad sukunya. Wie do’ain puasaku lancar tanpa celah terlebih cacat ya? Aku memang lebih percaya kalau Bambang hanya penggemar berat Wie. Aku tahu Bagaimana tingkah pola penggemar fanatik dan tergolong fanatik ekstrem. Percayaku takkan pupus. Bambang ya Bambang dua senyawa berbeda. Itu artinya kamu layak untuk tidak ditepiskan. Jujur aku sempat mendengar saat Bambang memainkan gitar berdawai asmara yang khusus diperuntukkan untuk mu Wie. Melintasi jerjak perdu siliwangi berbisik padaku kalau kamu Wie, selingkuh dengan semilir. Sebagai yang punya hati tentu kata-kata itu menusuk pori-pori emosi cemburuku.

Cintaku, Tersenyumlah

Oleh : Nilam

PuraKarya

Page 31: Purakasastra edisi#1

30

PuraKarya

Aku melihat sendiri saat mereka bersalsa dengan semilir dengan gaya sedikit kaku, Siliwangi menusuk marahku. Kalaupun yang aku lihat benar, rasanya aku tak harus cemburu. Dengan alasan semilir temanku dan teman kamu juga Wie. Tepatnya temanku sebelum aku kenal kamu. Semilir itu sejatiku. Siapa tahu dia Cuma menghibur atau juga Wie lagi ikut sayembara. Lalu meminta semilir untuk mengajarinya. Wie itu paling alergi pada Siliwangi yang seringkali mencelakai Wie dan Aku sendiri pernah melihatnya. Derasnya hujan membuat aku tidak bisa menemui Wie tapi dari balik jendela aku dapat melihat setiap lekuk rona Wie. Wie sungguh menawan dibawah guyuran hujan aku bisa melihat bebas senyumnya yang manawan tanpa celah. Dia begitu menikmati setiap butiran yang menyentuhnya, Allah maha besar. Ini adalah kencanku entah untuk yang keberapa kali. Kenapa baru sekarang aku menyadari bertapa mulus kulitmu. Bertapa lembut porimu, bertapa dingin tubuhmu saat kusentuh menyejukkan relung hatiku. Wie, jujur tak ada niatku untuk merenggut keperawananmu aku tahu ini bulan suci. Dimana dinamakan bulah keberkahan bulan diantara bulan yang sangat ditunggu umat muslim sedunia dimana fahala dan dosa dilipat gandakan. Kamu tentu tahu apa artinya puasa, puasa itu menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari pastinya dengan niat dan beberapa syarat. Menjalankan ibadah puasa hukumnya wajib bagi mereka yang islam, balig, kuat berpuasa, berakal sehat. Tidak wajib berpuasa bagi yang sakit dan orang gila Sari, memintaku untuk menemui Wie. Tubuh mulus Wie menguning entah penyakit apa yang sedang menggerogotinya, sepertinya bukan dehidrasi entahlah. Aku yang sering memberi asupan gizi untuk Wie jadi aku tahu gizi yang dikonsumsi Wie. Sari juga tak memberi sembarangan asupan gizi untuk Wie, karena ia tahu akan apa dan disuka Wie bisa dan tidaknya dikonsumsi Wie. Wie maaf ya! aku tidak bisa menemanimu. Aku sibuk sekali belum lagi deadline… aku mesti menghadiri kasus yang aku tangani ditambah lagi saksi kuncinyanya kabur. Nanti malam ada acara berbuka puasa bersama dilanjutkan dengan seminar samapi sahur,

setelah shalat subuh aku baru pulang. Sari sudah berjanji kepadaku untuk menjagamu. InsyaAllah esok hari aku membesukmu. Aku tahu saat-saat begini kamu butuh perhatianku Wie. Aku sudah titip obat dan vitamin, jangan lupa diminum ya! tulisku pada sepucuk daun. Aku ingin melihat senyummu esok kalau kamu sudah sembuh. Aku akan kembali untukmu. Kita bisa kencan lagi tapi aku takkan mencium takutnya aromamu menusuk tembus keronggaku. Sekalipun tak membatalkan puasaku. Wie dan Seruni. Kedua perawan cantik itu duduk diteras dengan gaun green tea Seruni memakai mahkota berwarna keemasan. Aku harap keduanya tidak bermaksud menabur benih-benih pesonanya, mungkin ini alasanya Sari bela-belain untuk mengajak Seruni kerumah. Harapku sipenjantan tangguh Siliwangi tidak tahu tentang keberadaan Seruni. Karena aku tak mungkin bisa menjaga mereka setiap saat. “ Hafis...tunggu! sijinak Yusuf, sudah berada disampingku. “Kemarin aku kerumahmu, siapa perawan cantik yang ada ditaman rumahmu.” “Perawan siapa, Sari?” “Mm... sok ngelak lagi.” “O…,” o nya kulebarkan. “Inocent begitu namanya O yang benar saja.” “Hafis sayang pertanyaannya namanya?!” Ini orang maksa banget, ku percepat langkahku, tapi Yusuf bisa mengibangiku. “Seruni.” “Yang satunya lagi.” . “Wija.” “Wijakusuma, itu Wijayakusuma. Simekar malam hari ya Tuhan jadi itu Wijayakusuma. Tapi aku tidak pernah bertemu dengannya ketika kerumah kamu sebelumnya,” Yusuf seperti baru sembuh dari amnesia. “Tampan sekali dia tahu tidak Haf,” belum lagi aku menggeleng Yusuf terus cuap-cuap. “Selama ini aku hanya tahu namanya tampang boleh biasa tapi em… kamu sudah?” “Sudah apa jangan berburuk sangka ini bulan puasa!” “Melihat rekahan Wijayakusuma?” Yusuf menggigit bibirnya seraya menyenggol lenganku. “Dapat darimana kamu?” Yusuf kembali menyodok sikunya, dengan sorot mata inginnya….

Page 32: Purakasastra edisi#1

31

PuraKarya

“Sorry ya, aku keperpus dulu,” ku percepat langkahku. Menuju parkiran dekat pustaka untung Yusuf tidak menguntitku. Aku merasa Yusuf tahu kalau aku bukan keperpus tapi Yusuf tidak mengikutiku. Maaf Yusuf untuk sekarang ini aku tak rela Wie kau pinang sekalipun olehmu Yusuf. Aku menemui Wie dan Seruni ditaman samping. Terlihat jelas mereka sangat kompak memakai gaun senada kecuali debar jantung dan senyum dimatak. Aku tidak tahu siapa yang harus kusapa duluan. sekalipun poligami free dalam hal ini namun untuk yang satu ini aku belum siap. Aku mengambil posisi didepan keduanya setidaknya inilah posisi adil menurutku entah dengan kedua sicantik ini, hatiku tumbuh berbunga, bermekaran disetiap titik sarafku menggelitik aku untuk terus tersenyum diapit dua ranum yang menggoda mata hatiku. Selang minggu Wija… kenapa denganmu? aku yang menafkahimu. Aku pula yang mencintaimu pertama kali merawatmu bukanya aku tak tulus. Engkau hadiahi pesonamu pada malam. Aku tahu tak ada perjanjian apapun atau ikatan yang mengekang kita. Bagaimanapun hatiku terlanjur gundah bersama air dalam mataku. Pecuma juga aku marah tak ada rasa bersalah dalam sinar tubuhmu mungkin saja suatu ketika angin kemenangan akan menghampiri impianku. akan ku dapat setiap rekahan ranummu, akan kucium setiap kelopakmu. Kusimpan wanginya dironggaku agar saraf terus merinduimu. Aku tak melihat Seruni dan Wie kemana mereka. Sari mengajak mereka jalan-jalan ketaman. perasaanku tidak enak. “Sari! Kenapa dengan Wie…?” Wija terluka. Tubuhnya penuh cakaran sebagian hancur kulit mulusnya… aku histeris ia harus segera diamputasi. Tak adakah cara lain untuk menyelamatkan Wie? ini cara satu-satunya untuk mencegah agar tidak agar Wie tak infeksi. Dengan sigap Sari memberi pertolongan. Wie diamputasi dalam hal ini Sari ahlinya. Aku hanya bisa memandang Wie tampa bisa berbuat apa-apa. Wie terlihat tak berdaya, “sabar ya Wie ini semua untuk kesembuhan kamu juga.” “ siapa yang melakukan ini pada Wija.” “Entahlah kak, tadi pas Sari pulang sekolah mereka sudah tergeletak dan kondisi tubuk Wie remuk.” “Sepertinya ini ulah sabotase Pejantan kak.” “Sipejantan! awas dia kalau ku dapat akan kukenduri dia.” Wie, memang pernah mengaduk cemburuku tapi siapapun yang berani menyakiti Wie akan kukerupukin ia. Sari menguburi bagian tubuh Wie dengan harapan Wie dapat berinkarnasi. Menjadi wija...wija kecil yang menawan. Stomata mulusmu akan melahirkan wija baru. Aku tidak tahu kapan itu kemungkinan itu ada untuk sebuah harapan. Hanya waktu dan kuasa Tuhan yang punya jawaban. Meskipun kamu hanya sebatang pohon yang tumbuh ditamanku aku masih ingin melihat kamu bersalsa bersama semilir dan tersenyum disetiap bait pujaku.

Page 33: Purakasastra edisi#1

32

Kelangkaan sosoknya menjadikannya masih merupakan salah satu monumen

emas di jagad sastra tanah air. Selain menjadi sastrawan dan budayawan

kapasitasnya adalah juga ulama, ilmuwan, pendidik, politisi dan jurnalis.

Di hari-hari ini ketika idealisme mulai tergerus arus hebat materialisme-hedonisme maka orang-orang pun mencoba untuk mengadopsi gaya Hamka melalui sinergitas antara agama, politik, pendidikan, kebudayaan, seni dan pers untuk mencapai tujuan. Diyakini bahwa apa yang telah dicontohkan oleh Buya Hamka bisa efektif. Tapi satu hal yang banyak dilupakan orang dari diri Hamka yaitu bahwa efektifitas tidak akan tercapai jika ketulusan niat tidak bersenyawa dengan proses dan tujuan. Di masa kecil Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Ketika usianya 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka kemudian mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Melalui sebuah perpustakaan yang dimiliki oleh salah seorang gurunya, Engku Dt. Sinaro, bersama dengan Engku Zainuddin, Hamka diizinkan untuk membaca buku-buku yang ada diperpustakaan tersebut, baik buku agama maupun sastra. Tidak pernah ada yang menyangka bocah Minangkabau berusia 10 tahun itu di kemudian hari akan menjadi salah satu inspirasi idealisme terbesar bagi bangsanya

sepanjang masa. Inspirasi itu melecut pergerakan perjuangan agama, jurnalisme, politik, sastra, dan budaya. Karya-karyanya yang masih terus menjadi inspirasi banyak generasi sesudahnya menjadi monument tak terbantahkan di jagad sastra tanah air. Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan namanya, (lahir di Maninjau, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat, dan aktivis politik. Hamka diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan Keppres No. 113/TK/Tahun 2011 pada tanggal 9 November 2011. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar.

ParaSastra

Oleh : Alfian Nawawi

Page 34: Purakasastra edisi#1

33

ParaSastra

Di antara novel-novelnya seperti Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli juga menjadi perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Beberapa penghargaan dan anugerah juga ia terima, baik peringkat nasional maupun internasional. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam. Hamka belajar secara otodidak untuk bidang filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, ia dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti, dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx, dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka semasa kecil rajin mendalami agama Islam dan bahasa Arab. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di sanalah Hamka belajar. Namun sebagaimana tradisi pada masa itu Hamka juga mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo. Ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati. Hamka adalah akronim dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padangpanjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Page 35: Purakasastra edisi#1

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertumbuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar

ParaSastra

Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletakkan jabatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. Aktivitas politik Hamka bermula pada tahun 1925 dalam partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di hutan belantara di Medan. Pada tahun 1947, Hamka dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa di penjara Hamka menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia. Pada tahun 1959, Hamka mendapat anugerah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Cairo atas jasa-jasanya dalam penyiaran agama Islam dengan menggunakan bahasa Melayu. Kemudian pada 6 Juni 1974, kembali ia memperoleh gelar kehormatan tersebut dari Universitas Nasional Malaysia pada bidang kesusasteraan, serta gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo. Hamka wafat pada 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun dan dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

34

Page 36: Purakasastra edisi#1

35

INDONESIA

KE 69

Page 37: Purakasastra edisi#1

36

Masih Saja Tidur di balik Tembok

Kekar

Membaca peluh asin dari wajahmu Kutemukan sepotong kisah tergolek sedu

Tiada keluh tak pula lenguh mampu Robohkanmu di tengah terik dan hujan yang membatu 12 tahun Kau tampar waktu sepanjang usia Menahun

Membawa raga muda terjerembap kerasnya hidup yang meracun

Laburkan mimpi kecil lekas timpas terbawa angin lamun

Dan kau tukar koin rupiah di berai detik labirin tegun

Selepas kubertanya sapa pada titik dan koma

Rupanya tuli menerungku adamu di serpihan dunia Hingga kau lupa derit kapur mengeja cakrawala Menuntun jejak langkah cita yang kini

aksa Terbuang dari kepal tanganmu mengeras baja Tubuhku selingar Tatapmu nanar Tangan itu terlalu cepat meninggalkan leret-leret kasar Sementara pendidikan masih saja tidur... M.R Meidi

Kucium wangimu Kucium wangimu sebelum kulihat datangmu Kau kurindu.. Dengan doa kuhamparkan harap, kita bisa bertemu Selepas jingga kau di isbadkan bersamaku Entah detik keberapa engkau menjamuku Duhai ramadhan... Bibir merekah jari menari, kulepas rindu memujamu Dengan sujud, wirid dan tadarus Sungguh aku ingin indah bersamamu Sebulan aku bersamamu tak cukup bait mengungkap rindu merayu Dengan sujud dan lantunan bait suci Aku tak rela berpisah denganmu karena munajatku belumlah seberapa Kesuciamu tak tertandingi ramadhanku.... Fitrah barakah ada padamu, kau masih ku nanti

Nilam

Page 38: Purakasastra edisi#1

37

ERNEST

MILLER HEMINGWAY

Pemenang Hadiah Nobel Ernest Hemingway dipandang sebagai salah satu novelis abad ke-20 besar Amerika, dan dikenal atas karyanya seperti : A Farewell to Arms dan The Old Man and the Sea. Lahir pada tanggal 21 Juli 1899, di Cicero (sekarang di Oak Park), Illinois, Ernest Hemingway bertugas di Perang Dunia I dan bekerja di jurnalisme sebelum menerbitan koleksi ceritanya In Our Time. Dia terkenal untuk novel seperti The Sun Also Rises, A Farewell to Arms, For Whom the Bell Tolls, dan The Old Man and the Sea, yang memenangkan Pulitzer 1953. Pada tahun 1954, Hemingway memenangkan Hadiah Nobel. Sayangnya, dia bunuh diri pada tanggal 2 Juli 1961, di Ketchum, Idaho. AWAL KEHIDUPAN DAN KARIRNYA

Ernest Miller Hemingway lahir pada tanggal 21 Juli 1899 di Cicero (sekarang Oak Park), Illinois. Clarence dan Grace Hemingway membesarkan anak laki-laki mereka dalam lingkungan konservatif di pinggiran kota Chicago, dan juga pernah tinggal dan menghabiskan waktu yang indah di sebelah utara Michigan, dimana mereka memiliki rumah pedesaan yang sederhana. Disanalah kelak orang yang senang dengan olahraga ini belajar berburu, memancing, dan sangat menyukai kegiatan yang berhubungan dengan alam. Pada masa sekolah menengah, Hemingway muda bergabung di koran sekolah, Trapeze and Tubula, yang kebanyakan berisi liputan pemberitaan mengenai olahraga. Secepatnya setelah kelulusannya, jurnalis muda ini pergi bekerja untuk Kansas City Star, yang nantinya menghasilkan pengalaman dan mempengaruhi gaya prosanya yang mempreteli hingga dalam. Dia pernah mengatakan, “ Di sini (Kansas City Star) anda dipaksa untuk belajar menulis kalimat-kalimat yang deklaratif dan sederhana. Hal ini sangat berguna bagisiapa saja. Bekerja untuk surat kabar tidak akan menyulitkan penulis muda dan dapat membantu mereka untuk keluar dari masalah pada saat yang tepat.”

ParaSastra

Oleh : Irfan Purnama

Page 39: Purakasastra edisi#1

38

PENGALAMAN MILITER

Pada tahun 1918, Hemingway ikut berpartisipasi sebagai supir ambulans untuk Angkatan Bersenjata Italia. Selama masa pengabdiannya dia pernah meraih Medali Perak untuk Keberanian, namun tidak lama setelah itu dia harus mendapatkan perawatan karena luka yang dialaminya di sebuah rumah sakit di Milan. Disanalah dia bertemu seorang perawat bernama Agnes von Kurowsky, yang kemudian menerima pinangannya untuk menikah. Walaupun setuju, perempuan itu malah pergi meninggalkannya bersama dengan laki-laki lain. Saat –saat rapuh seperti inilah yang memicunya untuk menelurkan karyanya “ A Very Short Story” dan juga yang salah satu karyanya yang terkenal A farewell to Arms. Masih merawat lukanya dan memulihkan diri dari kebrutalan perang, pemuda berusia 20 tahunan tersebut kembali ke Amerika dan memilih untuk tinggal di bagian utara Michigan lagi. Hingga akhirnya dia mengambil pekerjaan di Toronto Star. Pada saat di Chicago lah Hemingway bertemu dengan Hadley Richardson, perempuan yang akhirnya menjadi istri pertamanya. Pasangan itu menikah cepat dan memutuskan untuk pindah ke Paris, dimana Hemingway bekerja sebagai koresponden asing untuk Toronto Star.

HIDUP DI EROPA

Di Paris, Hemingway segera menjadi bagian penting seperti apa yang paling terkenal dikatakan oleh Gertrude Stein, “Generasi yang hilang. “Dengan Stein sebagai mentornya, Hemingway berkenalan dengan banyak penulis dan seniman besar dari generasinya, seperti F. Scott Fitzgerald, Ezra Pound, Pablo Picasso dan James Joyce. Pada tahun 1923, Hemingway dan Hadley memiliki seorang putra, John Hadley Nicanor Hemingway. Pada saat ini penulis juga mulai sering mengunjungi Festival terkenal San Fermin di Pamplona, Spanyol. Pada tahun 1925, pasangan tersebut bergabung dengan kelompok Ekspatriat Inggris – Amerika, dan melakukan perjalanan ke sebuah festival yang nantinya akan menjadi inspirasi dan dasar dari novel pertama Hemingway, The Sun Also Rises. Novel ini dianggap sebagai pekerjaan terbesar Hemingway. Sangat berseni dan mengangkat tuntas kondisi pemulihan kenyataan pasca perang dari generasinya. Segera setelah penerbitan The Sun Also Rises, Hemingway dan Hadley akhirnya bercerai, dikarenakan oleh skandalnya bersama perempuan yang bernama Pauline Pfeiffer, yang nantinya akan menjadi istri keduanya setelah perceraiannya dengan Hadley akhirnya terjadi. Hemingway pun kembali meneruskan buku yang berisi cerita pendek, Men Without Women.

ParaSastra

Cinta Terpendam Pria Tetangga Kadang- kadang aku memikirkanmu , seraya gumam dalam hati, kapan kiranya bisa mengobrol berdua Menikmati bulan sabit dan benda benda angkasa.. bilamana ku Perhatikan Dirimu, simak gurat-gurat wajahmu, begitu teduh, begitu damai, tenang bak Telaga Sarangan. Kagum aku tidaklah jemu, oh indahnya rahasia perawan pujaan..

namun sunguh sayang. ... Ibarat unggas, merpati itu sudah pergi. lepas dari genggaman, terbang, terbang tinggi di balik awan.. angin malam menusuk kulit ini, dingin engkau tiada disisi... kemarin kulihat engkau bergandeng tangan mesra degan pemuda, aku dibelakangmu sambil memegang bunga. Engkau pergi aku terpaku bungaku ku cium sendiri Rizal, 2014

Page 40: Purakasastra edisi#1

39

MASA-MASA KRITIS

Tidak lama kemudian, Pauline hamil dan pasangan itu memutuskan untuk pindah kembali ke Amerika. Setelah kelahiran anak laki-lakinya, Patrick Hemingway di tahun 1928, mereka menetap di Key West, Florida, tapi tinggal untuk musim panas di Wyoming. Selama periode ini Hemingway menyelesaikan novel bertema perang dunia pertamanya, A Farewell to Arms, yang sekaligus momen ini merupakan caraya untuk mengamankan tempatnya secara abadi sebagai sastrawan yang berhasil pada masa itu. Saat dia sedang tidak menulis, Hemingway menghabiskan waktunya berpetualang: berburu di Afrika, menjadi matador di Spanyol, memancing di laut dalam di Florida. Saat melaporkan dan menjadi koresponden perang sipil di Spanyol tahun 1937, Hemingway bertemu dengan sesama koresponden perang yang bernama Martha Gelhorn (yang kemudian menjadi istri ketiganya) dan dalam masa ini dia mengumpulkan materi untuk novel selanjutnya, For Whom the Bells Tolls, yang pada akhirnya mengantarkan dirinya untuk meraih Hadiah Pulitzer. Seperti yang diprediksi sebelumnya, pernikahannya dengan Pauline pun akhirnya kandas, dan mereka bercerai. Gelhorn dan Hemingway menikah sesaat setelah mereka membeli sebuah peternakan dekat dengan Havana, Kuba, yang nantinya mereka putuskan tempat itu sebagai rumah musim dinginnya. Saat Amerika akhirnya terlibat dalam Perang Dunia II di 1941, Hemingway bertugas sebagai koresponden perang, dan hadir pada beberapa kejadian penting dalam perang tersebut, diantaranya adalah Hari H dimana sekutu mendaratkan pasukannya untuk menyerang Jerman. Tidak lama menjelang perang berakhir, dia bertemu kembali dengan koresponden perang lainny, Mary Welsh, yang kemudian dinikahinya setelah dia menceraikan Martha Gelhorn. Ditahun 1951, Hemingway menulis The Old Man and the Sea, yang dikemudian hari mungkin akan menjadi buku karangan terkenalnya dan akhirnya membuat dirinya meraih Hadiah Pulitzer yang sebelumnya telah lama ia tolak.

PERJUANGAN PRIBADINYA DAN BUNUH DIRI

Penulis itu tetap melanjutkan petualangannya ke Africa dan mendapatkan beberapa cedera serius selama itu, bahkan dia sempat selamat dari beberapa kecelakaan pesawat. Ditahun 1954, dia memenangkan Hadiah Nobel dalam bidang sastra. Bahkan pada saat puncak kejayaannya dalam dunia sastra, meskipun tubuh dan pikirannya kekar, tetap saja keduanya mengkhianatinya. Saat pemulihandari berbagai luka lama yang dideritanya di Kuba, Hemingway menderita depresi dan dirawat untuk berbagai kondisi seperti tekanan darah tinggi dan penyakit hati. Dia menulis A Moveable Feast, sebuah memoar atas pengalamannya selama hidup di Paris, dan akhirnya dia benar-benar pensiun dan pindah ke Idaho. Disanalah dia berjuang untuk memulihkan kondisi mental dan fisiknya. Pagi hari 2 July 1961, Ernest Hemingway melakukan bunuh diri dikediamannya di Ketchum. WARISAN

Hemingway meninggalkan karya yang mengesankan dan gaya ikonik yang masih mempengaruhi penulis-penulis sesudahnya. Kepribadiannya dan pengejaran petualangannya yang konstan sebanding dengan betapa besarnya bakat kreatifnya. Ketika ditanya oleh George Plimpton tentang fungsi dari karya seninya, Hemingway membuktikan sekali lagi untuk menjadi master dari "satu kalimat yang benar" : "Dari hal-hal yang telah terjadi dan dari hal-hal sebagaimana adanya dan dari segala sesuatu yang Anda tahu dan semua orang Anda tidak bisa tahu, Anda membuat sesuatu melalui penemuan Anda yang bukan merupakan representasi tetapi seluruh hal baru yang lebih benar dari apa yang benar dan hidup, dan Anda membuatnya hidup, dan jika Anda membuatnya cukup baik, Anda memberikan keabadian. "

ParaSastra

Page 41: Purakasastra edisi#1

40

ingat waktu Ketika labirin waktu mulai menipis. pundak tak sanggup lagi mengangkat beban. Ketika jarum jam terus dikejar bayangnya. ketika itu mata mulai menciut dan pandangannya kabur. kulihat para insan mengabdikan dirinya lebih kepada Sang Pencipta. Hinggap dalam guliran waktu, sayup-sayup keheningan yang begitu sunyi menyanyat dalam kalbu.. menyayat meski hilang lagi sesudahnya Guratan wajah lambang kepasrahan akan semangat yang mulai layu. Tatapan senja telah terlukis di raut wajah. berpikir tak lama lagi dia berpulang ? ada seorang pemuda duduk termenung di sampingnya. Diam... Lalu batinnya penuh tanya. Adakah persiapan dariku untuk menghadapi ajal ? sedang orang tua itu begitu yakin akan kematian yang kerap datang kerap menjemputnya. Tuhan seruh sekalian alam tahu kapan akan memanggil manusia. dan mengapa aku terlalu sibuk dengan duniaku ? Akankah surga akan dihuni kalangan tua seperti mereka yang khusyuk masyuk ? Yang tak hentinya memanjatkan doa di setiap dhuha ? namun kadang kadang ku sadar

Muthi'ah

Menembaki Senja Senapanku tegak menantang angkasa Peluru melepaskan dirinya Membelah senja Juga ada pesan di dalamnya Tentang rindu tiada habisnya Semoga dapat kau terima

Aesna

Page 42: Purakasastra edisi#1

Purakasastra adalah media independen yang bertujuan untuk ikut membangun dan memajukan dunia kesusasteraan nasional.

Kami menerima semua bentuk sumbangan naskah untuk dapat dipublikasikan secara

nasional melalui media ini. Sumbangan tersebut dapat berupa kajian-kajian kesusasteraan, liputan kegiatan sastra , tips-tips menulis, karya sastra, buku-buku sastra,

dan lain-lain.