pterygium + des

Upload: sicilia-eha

Post on 06-Jan-2016

253 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kasus mata

TRANSCRIPT

PTERYGIUMI. ANATOMI KONJUNGTIVAKonjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.(4,5)

Pterygium

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat keposterior (pada fornices superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris.(4)Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. Duktus-duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior) kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm), konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya.(4,5)Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa.(4)Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hinggalimalapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata di seluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan didekat limbus dapat mengandung pigmen.

Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi atas tarsus atas.

Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri pelpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan pembuluh limfe kelopak mata hingga membentuk pleksus limfatikus yang kaya. Konjungtiva menerima persyarafan dari percabangan (oftalmik) pertama nervus V, saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.(4)Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.(5)

Gambar: Skema konjuntiva beserta tempat kelenjar

II.DEFINISI Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif dan infasif.pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau tengah kornea.2 Pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan, berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke dalam kornea, dengan puncak segitiganya di kornea, kaya akan pembuluh darah yang menuju ke puncak pterigium. Pada kornea penjalaran ini mengakibatkan kerusakan epitel kornea dan membran bowman.3Pterigium adalah semacam pelanggaran batas suatu pinguecula berbentuk segitiga berdaging ke kornea, umumnya disisi nasal dan bilateral, dimana lapis bowman kornea diganti oleh jaringan hialin dan elastis.1 Pterigium adalah pertumbuhan konjuntiva bulbi melimpah keatas kornea dan , biasanya diikuti adanya jaringan fibrovaskular. Pada potongan yang tegak lurus dengan sumbunya terdapat bentuk seperti sayap yang pelekatan pada konjuntiva memanjang pada sumbunya. Kadang konjuntiva bulbi digunakan untuk membuat flap ke kornea, bentuk seperti pterigium, tetapi tak ada perlekatan kekonjuntiva bulbi sehingga disebut pterigium palsu.6

Pterygium

1

2

3

1.Pterigium awal yang mulai menutup mata

2.Pterigium yang semakin bertambah dan menutupi media penglihatan

3.Pterigium yang tumbuh pada dua sisi

III. EPIDEMIOLOGI Di Amerika Serikat angka kejadian pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 400lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 280-360. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat dan daerah-daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah garis lintang utara ini. Secara Internasional hubungan antara menurunnya insidensi pada daerah atas lintang utara dan relative terjadi peningkatan untuk daerah di bawah garis balik lintang utara.7Mortalitas/Morbiditas Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau penglihatan bila kasusnya telah lanjut. Mata ini bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.

Jenis Kelamin Pterygia dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan wanita.

Umur Jarang sekali orang menderita pterygia umurnya di bawah 20 tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygia yang paling tinggi.

IV. ETIOLOGI Penyebab dari pterigium tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang, dan degenerasi. Pterigium juga diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari, dan udara panas. Penyebab paling umum adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang diterima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor2 lain seperti zat allegen, kimia dan zat pengiritasi lainnya.2Faktor resiko untuk pterygium itu bisa meliputi sebagai berikut:1. Meningkatnya terkena sinar ultraviolet, termasuk tinggal di daerah yang beriklim subtropics dan tropis.

2. Melakukan pekerjaan dan memerlukan kegiatan di luar rumah sertaorang yang hidup di daerah dengan banyak sinar matahari, daerah berpasir atau daerah berangin. Petani, nelayan dan orang-orang yang hidup di sekitar garis khatulistiwa sering terpengaruh.

Predisposisi genetika timbulnya pterygia cenderung pada keluarga tertentu. Kecenderungan laki-laki mengalami kasus ini lebih banyak dibandingkan dengan perempuan, meskipun disini hasil temuan ini lebih banyak disebabkan besarnya paparan sinar ultraviolet dalam kelompok populasi tertentu.7 Gangguan lain yang mungkin ikut berperan adalah Pseudopterygia (misalnya disebabkan oleh bahan kimia atau luka bakar, trauma, penyakit kornea marginal) dan Neoplasma (misalnya karsinoma in situ yang menyebabkan konjungtiva perilimbal yang tidak meluas sampai ke kornea).

V.PATOFISIOLOGI Sinar ultraviolet, angin, dan debu dapat mengiritasi permukaan mata, hal ini akan mengganggu proses regenerasi jaringan konjungtiva dan diganti dengan pertumbuhan berlebih dari jaringan fibrous yang mengandung pembuluh darah. Pertumbuhan ini biasanya progresif dan melibatkan sel-sel kornea sehingga menyebabkan timbulnya pterigium. Radiasi sinat termasuk sinar atau cahaya tampak dan sinar ultraviolet yang tidak tampak itu sangat berbahaya bisa mengenai bagian tubuh. Permukaan luar mata diliputi oleh lapisan sel yang disebut epitel. Epitel pada mata lebih sensitif dibanding dengan epitel bagian tubuh lain khususnya terhadap respon kerusakan jaringan akibat paparan ultraviolet karena epitel pada lapisan mata tidak mempunyai lapisan luar yang disebut keratin. Jika sel-sel epitel dan membran dasar terpapar oleh ultraviolet secara berlebihan maka radiasi tersebut akan merangsang pelepasan enzim yang akan merusak jaringan dan menghasilkan faktor pertumbuhan yang akan menstimulasi pertumbuhan jaringan baru. Jaringan baru yang tumbuh ini akan menebal dari konjungtiva dan menjalar ke arah kornea. Kadar enzim tiap individu berbeda, hal inilah yang menyebabkan terdapatnya perbedaan respon tiap individu terhadap paparan radiasi ultraviolet yang mengenainya.8Patofisiologi pterygia ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan ploriferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium, Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.7 Ditemukan epitel konjungtiva ireguler, kadang-kadang berubah menjadi epitel gepeng berlapis. Pada puncak pterigium, epitel kornea meninggi dan pada daerah ini membran Bowman menghilang. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi sebagai jaringan granulasi yang penuh pembuluh darah. Degenerasi ini menyebuk ke dalam kornea serta merusak membran Bowman dan stroma kornea bagian atas. Pterigium juga dapat muncul sebagai degenerasi stroma konjungtiva dengan penggantian oleh serat elastis yang tebal dan berliku-liku. Fibroblas aktif pada ujung pterigium menginvasi lapisan Bowman kornea dan diganti dengan jaringan hialin dan elastis. Pterigium sering muncul pada pembedahan. Lesi muncul sebagai luka fibrovaskuler yang berasal dari daerah eksisi. Pterigium ini mungkin tidak ada hubungannya dengan radiasi sinar ultraviolet, tetapi kadang dikaitkan dengan pertumbuhan keloid di kulit. Kondisi pterygium akan terlihat dengan pembesaran bagian putih mata, menjadi merah dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu proses cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya penglihatan si penderita.9VI. GEJALA KLINISPasien yang menderita pterygia sering mempunyai berbagai macam keluhan, yang mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai mata menjadi merah sekali, pembengkakan mata, mata gatal, iritasi, dan pandangan kabur disertai dengan jejas pada konjungtiva yang membesar dan kedua mata terserang penyakit ini.7 Penderita biasanya datang untuk pemeriksaan mata lainnya, misalnya untuk pemeriksaan kacamata dan tidak mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh diatas korneanya, namun terkadang penderita merasa penglihatannya terganggu misalnya astigmat, dan dapat pula disertai keratitis pungtata dan dellen (penipisan kornea akibat kering) dan garis besi (iron line dari stocker) yang terletak di ujung pterigium.7

Gambaran klinis bisa dibagi menjadi 2 katagori umum, sebagai berikut : Kelompok kesatu pasien yang mengalami pterygium berupa ploriferasi minimal dan penyakitnya lebih bersifat atrofi. Pterygium pada kelompok ini cenderung lebih pipih dan pertumbuhannya lambat mempunyai insidensi yang lebih rendah untuk kambuh setelah dilakukan eksisi.

Pada kelompok kedua pterygium mempunyai riwayat penyakit tumbuh cepat dan terdapat komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Pterygia dalam group ini mempunyai perkembangan klinis yang lebih cepat dan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi untuk setelah dilakukan eksisi.

VII. KLASIFIKASIKlasifikasi Pterygium:

1.Pterygium Simpleks; jika terjadi hanya di nasal/ temporal saja.

2.Pterygium Dupleks; jika terjadi di nasal dan temporal.

Gradepada Pterygium :

Grade 1: tipis (pembuluh darah konjungtiva yang menebal dan konjungtiva sklera masih dapat dibedakan), pembuluh darah sklera masih dapat dilihat.

Grade 2: pembuluh darah sklera masih dapat dilihat.

Grade 3: resiko kambuh, ngganjel, hiperemis, pada orang muda (20-30 tahun), mudah kambuh.

VIII.DIAGNOSIS Diagnosis pterigium dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Melalui anamnesis akan kita dapatkan keluhan-keluhan pasien seperti adanya ganjalan pada mata yang semula dirasakan didekat kelopak namun lama-kelamaan semakin ke tengah (kornea), mata merah dan tidak disertai belek(sekret). Dari anamnesis ini kita juga akan dapatkan informasi mengenai pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, dan kebiasaan hidupnya karena hal ini berhubungan dengan besarnya paparan sinar ultraviolet yang mengenainya.

Pemeriksaan fisik pada pasien pterigium akan didapatkan adanya suatu lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh dari kelopak baik bagian nasal maupun temporal yang menjalar ke kornea, umumnya berwarna putih, namun apabila terkena suatu iritasi maka bagian pterigium ini akan berwarna merah.

Pemeriksaan penunjang dalam menentukan diagnosis pterigium tidak harus dilakukan, karena dari anamnesis dan pemeriksaan fisik kadang sudah dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis pterigium. Pemeriksaan histopatologi dilakukan pada jaringan pterigium yang telah diekstirpasi. Gambaran pterigium yang didapat adalah berupa epitel yang irreguler dan tampak adanya degenerasi hialin pada stromanya.3IX.DIAGNOSIS BANDINGPenyakit penyakit yang menyerupai pterigium atau diagnosis banding dari pterigium antara lain pseudopterigium, pannus dan kista dermoid. Pseudopterigium adalah perlengkatan konjungtiva dengan kornea yang cacat, biasanya hal ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea, dimana letaknya berdekatan dengan proses tukak kornea sebelumnya. Perbedaannya dengan pterigium adalah letaknya yang tidak harus dimulai dari celah kelopak atau fissura palpebra, selalu didahului oleh riwayat tukak kornea sebelumnya, dan pada pseudopterigium ini dapat diselipkan sonde di bawahnya.2 Pannus merupakan salah satu penyebab kekeruhan didaerah kornea yang ditandai dengan terdapatnya sel radang disertai pembuluh darah yang membentuk tabir pada kornea. Pembuluh darah ini berasal dari limbus yang memasuki kornea diantara epitel dan membran bowman.3 Kista dermoid merupakan tumor kongenital yang berasal dari lapisan mesodermal dan ektodermal. Jaringan tumor ini terdiri atas jaringan ikat, jaringan lemak, folikel rambut, kelenjar keringat, dan jaringan kulit. Lokasinya dapat berada pada limbus konjungtiva bulbi atau tumbuh jauh ke orbita posterior dan menyebabkan ptosis.3X. PENATALAKSANAAN Pengobatan pterigium tergantung dari keadaan pteriumnya sendiri, dimana pada keadaan dini tidak perlu dilakukan pengobatan, namun bila terjadi proses inflamasi dapat diberikan steroid topikal untuk menekan proses peradangan, dan pada keadaan lanjut misalnya terjadi gangguan penglihatan (refraktif), pterigium telah menutupi media penglihatan (menutupi sekitar 4mm permukaan kornea) maupun untuk alasan kosmetik maka diperlukan tindakan pembedahan berupa ekstirpasi pterigium.3 Obat-obatan yang sering digunakan pada kasus pterigium adalah :

-Pemakaian air mata artifisial(obat tetes topikal untuk membasahi mata) untuk membasahi permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air. Obat ini merupakan obat tetes mata topikal atau air mata artifisial (air mata penyegar, Gen Teal (OTC)air mata artifisial akan memberikan pelumasan pada permukaan mata pada pasien dengan permukaan kornea yang tak teratur dan lapisan permukaan air mata yang tak teratur. Keadaan ini banyak terjadi pada keadaan pterygium.

-Salep untuk pelumas topikal suatu pelumas yang lebih kental pada permukaan okular.alep untuk pelumas mata topikal (hypotears,P.M penyegar (OTC). Suatu pelumas yang lebih kental untuk permukaan mata. Sediaan yang lebih kental ini akan cenderung menyebabkan kaburnya penglihatan sementara; oleh karena itu bahan ini sering dipergunakan pada malam hari terkecuali bila pasien merasakan sakit dalam pemakaiannya.

-Obat tetes mata anti inflamasi untuk mengurangi inflamasi pada permukaan mata dan jaringan okular lainnya. Bahan kortikosteroid akan sangat membantu dalam penatalaksanaan pterygia yang inflamasi dengan mengurangi pembengkakan jaringan yang inflamasi pada permukaan okular di dekat jejasnya. Prednisolon asetat (Pred Forte 1%) suatu suspensi kortikosteroid topikal yang dipergunakan untuk mengu-rangi inflamasi mata. Pemakaian obat ini harus dibatasi untuk mata dengan inflamasi yang sudah berat yang tak bisa disembuhkan dengan pelumas topikal lain.

Tindakan pembedahan untuk ekstirpasi pterygia biasanya bisa dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan anastesi topikal ataupun lokal, bila diperlukan dengan memakai sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau salep mata antibiotika atau antiinflamasi.

Pembedahan pterigium dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain :51. Teknik Bare scleraa. Anastesi : proparacain atau pantokain atau dapat juga menggunakan kokain 4% yang diteteskan maupun dioles dengan kapas pledget, kemudian diberikan suntikan subkonjungtiva dengan lidokain 1-2 % .b. Persiapkan duk steril untuk menutupi derah operasi.c. Siapkan lid spekulumd. Lakukan pengujian untuk menunjukkan otot yang terkait dengan pterigium.e. Lakukan fiksasi dengan benang ganda 6.0 pada episklera searah jam 6 dan jam 12.f. Posisi mata pada jahitan korset.g. Buatlah garis demarkasi pterigium dengan cautery.h. Gunakanlah ujung spons atau kapas untuk membersihkan darah ketika sedang dilakukan pengikisan pterigium dari apek dengan menggunakan forcep jaringan.i. Laksanakan pembedahan dari kepala pterigium yang ada di dekat kornea mata dengan menggunakan scarifier. Traksi dengan forcep ukuran 0.12 mm akan memudahkan pengangkatan pterigium.j. Bebaskan sklera dari pterigium. Menggunakan westcott gunting untuk memotong sepanjang tanda cautery.

Kikislah pterigium dengan gunting.

Pindahkan semua jaringan pterigium dari limbus dengan menggunakan sharp sehingga tampak jaringan sklera yang telanjang.

Jika perlu, mengisolasi rektus otot horizontal dengan suatu sangkutan otot untuk menghindari kerusakan jaringan yang akan membentuk sikatrik.

k. Pindahkan pterigium dilimbus dengan menggunakan gunting.l. Gunakan cautery untuk menjaga keseimbangan.m. Menghaluskan sekeliling tepi limbus. Dengan menggunakan burr intan Dengan tepi punggung mata pisau scarifier.

n. Berikan antibiotik dan steroid topikal.

o. Kemudian tutup mata dengan kasa steril dan fiksasi.

2. Teknik Mc. ReynoldsMencangkok dan menguburkan pterigium di dalam konjungtiva dilakukan dengan cara ;

a.Setelah pterigium dipindahkan dari kornea, buatlah goresan di bawah konjungtiva dengan gunting, antara kornea dan sklera, yang lebarnya disesuaikan dengan lebar dri pertumbuhan pterigium yang semula, sehingga diharapkan bila terjadi pterigium ulang tidak akan menyeberang ke kornea.

b.Jahitlah apek dari lapisan konjungtiva tersebut dan masukkan ke dalam celah di bawah konjungtiva yang terletak di antara kornea dan sklera.

c.Setelah lapisan konjungtiva tadi dimasukkan ke lapisan bawah antara kornea dan sklera, kemudian lakukan fiksasi.

Ada berbagai variasi pada teknik Mc. Reynolds.Yaitu:1. Neher: pterigium dikuburkan di bagian konjungtiva superior, kemudian di fiksasi pada episklera.2. Desmarres: Buatlah incisi pada bagian bawah konjungtiva kemudian apek dari pterigium di transplantasikan ke jaringan di bawah konjungtiva tersebut, kemudian di fiksasi pada konjungtiva dan tepi kornea sehingga bentuknya seperti sayap.3. Berens: Pertumbuhan dicangkok di bagian atas konjungtiva tanpa penguburan jaringan pterigium. Dua goresan kecil parakorneal dibuat untuk menutup konjungtiva yang cacat dan untuk menutupi area kornea yang terbuka. Kemudian di fiksasi untuk mengamankan pterigium di tempat yang baru.4. Knapp: Teknik ini digunakan untuk pterigium yang sangat luas. Pertumbuhannya di pisah dengan goresan horizontal, masing-masig dipindahkan ke busur konjungtiva atas dan bawah.5. Callahan: Buatlah suatu goresan miring dari limbus sampai konjungtiva kurang lebih 5-10 mm sepanjang garis tepi yang menyangkut pada pterigium. Goresan juga dibuat sepanjang garis tepi bagian atas konjungtiva sebagai penutup. Pencangkokan dibuat pada daerah limbus yang ditelanjangi atau membiarkan area limbus tersebut terbuka (teknik Bare Sclera).6. Blaskovics: Teknik ini dilakukan apabila dikhawatirkan akan kambuh, dengan cara konjungtiva dilipat ke bawah kemudian dijahit.

XI.KOMPLIKASIKomplikasi dari pterygia meliputi sebagai berikut:7 Penyimpangan atau penurunan tajam penglihatan

Kemerahan.

Iritasi.

Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea.

Astigmatisme

Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan memberi kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot rektus umumnya menyebabkan diplopia pada pasien dengan pterygium yang belum dilakukan pembedahan.

Pada pasien dengan pterygia yang sudah diangkat, terjadi pengeringan focal kornea mata akan tetapi sangat jarang terjadi. Komplikasi postooperasi pterygium meliputi : Infeksi, diplopia, perforasi bola mata, perdarahan vitreous dan yang sering adalah kambuhnya pterigium post operasi yaitu sekitar 50-80%, namun kejadian ini akan berkurang sekitar 5-15% apabila menggunakan autograf konjungtiva pada saat proses eksisi. Sesudah operasi, eksisi pterygium, steroid topikal pemberiannya lebih di tingkatkan secara perlahan-lahan. Pasien pada steroid topikal perlu untuk diamati, untuk menghindari permasalahan tekanan intraocular dan katarak. Untuk mencegah kekambuhan dapat juga dengan pemberian Mitomicin C intraoperatif.10

XII. PENCEGAHAN Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi resiko berkembangnya pterygia pada individu yang mempunyai resiko lebih tinggi. Pasien di sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran, sebagai tambahan terhadap radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata pelindung dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada pasien yang memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet (misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi pelindung.11XIII. PROGNOSIS Pterigium merupakan suatu neoplasma konjungtiva benigna, umumnya prognosisnya baik secara kosmetik maupun penglihatan, namun hal itu juga tergantung dari ada tidaknya infeksi pada daerah pembedahan. Untuk mencegah kekambuhan pterigium (sekitar 50-80 %) sebaiknya dilakukan penyinaran dengan Strontium yang mengeluarkan sinar beta, dan apabila residif maka dapat dilakukan pembedahan ulang. Pada beberapa kasus pterigium dapat berkembang menjadi degenerasi ke arah keganasan jaringan epitel.DRY EYE SYNDROMEDefinisi Dry eye syndrome atau keratokonjungtivitis sicca adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva. Keratokonjungtivitis merupakan suatu kondisi komplek yang ditandai adanya inflamasi pada- permukaan mata dan kelenjar lakrimalis.Etiologi Dry eye syndromeA. Kondisi ditandai hipofungsi kelenjar lakrimal

1. Congenital

a. Dysautonomia familier (sindrom Riley-Day)

b. Aplasia kelenjar lakrimal (alakrimal kongenital)

c. Aplasia nervus trigeminus

d. Dysplasia ectodermal

2. Didapat

Penyakit sistemik

a. Sindrom sjogren

b. Sklerosis sistemik progresif

c. Sarkoidosis

d. Leukemia, limfoma

e. Amiloidosis

f. Hemokromatosis

Infeksi

a. Trakoma

b. Parotitis epidemica

Cedera

a. Pengangkatan kelenjar lakrimal

b. Iradiasi

c. Luka bakar kimiawi

Medikasi

a. Antihistamin

b. Antimuskarinik: atropine, skopolamin

c. Anastesi umum: halothane, nitrous oxide

d. Beta-adrenergik bloker: timolol prastolol

Neurogenik-neuroparalitik (facial nerve palsy)B. Kondisi ditandai defisiensi musin:

1. Avitaminosis A

2. Sindrom steven-johnson

3. Pemfigoid okuler

4. Konjungtivitis menahun mis trakoma

5. Luka bakar kimiawi

6. Medikasi

7. Obat tradisional (kermes)C. Kondisi ditandai defisiensi lipid:

1. Parut tepian palpebra

2. Bleparitis

D. Penyebaran defektif film air mata disebabkan:

1. Kelainan palpebra

a. Defek, koloboma

b. Ektropion dan entropion

c. Keratinisasi tepian palpebra

d. Berkedip berkurang atau tidak ada

1. Gangguan neurologic

2. Hipertiroid

3. Lensa kontak

4. Obat

5. Keratitis herpes simplek

6. Lepra

e. Lagopthalmus

1. Lagopthalmus noctura

2. Hipertiroid

3. Lepra

2. Kelainan konjungtiva

a. Pterygium

b. Symblepharon

3. Proptosis

Patogenesis Dry Eye Syndrome

Kelenjar air mata berfungsi untuk menghasilkan air mata yang berfungsi untuk membasahi kornea dan konjungtiva, mempunyai daya bacterioside (anti mikroba), dan secara mekanis membilas/ membersihkan permukaan bagian depan mata. Adanya penyakit atau kelainan fungsi akan menyebabkan terjadinya sindroma mata kering. Penurunan sekresi air mata dan fungsi mekanis akan merangsang reaksi inflamasi pada permukaan mata dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa reaksi inflamasi ini memegang peranan penting dalam pathogenesis terjadinya sindroma mata kering.

Populasi yang mempunyai resiko tinggi untuk terkena sindroma mata kering antara lain:

1. Penyakit inflamasi (vaskuler, alergi, asma)

2. Penyakit autoimun (RA,SLE, colitis)

3. Pada wanita peri dan postmenopause dan pasien dengan HRT

4. Diabetes mellitus

5. Penyakit thyroid

6. Sindroma sjogrens

7. Transplantasi corneal

8. Riwayar keratitis atau scarring kornea

9. Operasi katarak (ekstra atau intrakapsuler dengan insisi luas)

10. LASIK (Laser in siti keratomileusis)

11. Pengobatan sistemik (diuretic, antihistamin, psychotropic,obat penurun kolesterol)

12. Pemakaian lensa kontak

13. Kondisi lingkungan (allergen, asap rokok, angin, iklim panas, bahan kimia)

14. Defisiensi vitamin A

Gejala Klinis

Pasien dengan dry eye syndrome akan mengeluh mata gatal, mata seperti berpasir, silau dapat penglihatan dapat kabur. Pada mata didapatkan sekresi mucus yang berlebihan, sensai terbakar, merah, sakit dan kelopak mata sukar digerakkan. Ciri yang khas pada pemeriksaan slitlamp adalah terputus atau tiadanya meniscus air mata ditepian palpebra inferior. Pada konjungtiva bulbi tidak tampak kilauan yang normal dan mungkin menebal, edema dan hiperemik. Epitel kornea terlihat bertitik halus pada fissure interpalpebra. Sel-sel epitel konjungtiva dan kornea yang rusak terpulas dengan Bengal rose 1% dan defek pada epitel kornea terpulas dengan fluorescensi. Pada tahap lanjut keratokonjungtivitis sicca tampak filament-filamen (satu ujung setiap filament melekat pada epitel kornea dan ujung lainnya bergerak bebas).

Diagnosis

Berdasarkan pada guideline AAO (American Academy of Opthalmology) 2003 prefeerred practice pattern, tujuan dari diagnose, terapi dan managemen pasien dengan dry eye syndrome adalah untuk menegakkan diagnosa dry eye syndrome, untuk membedakan dengan gejala iritasi dan mata merah laannya, mengetahui penyebab dry eye syndrome, untuk memberikan terapi yang tepat, untuk meringankan keluhan pasien, mencegah komplikasi termasuk penurunan visus, infeksi dan kerusakan struktur jaringa, memberikan edukasi pada pasien dan mebgikutsertakan pasien dalam managemen penyakitnya.

Untuk menegakkan diagnose dry eye syndrome tidaklah mudah karena adanya inkonsistensi hubungan antara symptom dan clinical sign dan tes diagnostic yang kurang sensitive dan spesifik. Oleh karena dry eye syndrome adalah kondisi yang kronis maka observasi dan pemeriksaan berkala sangat diperlukan untuk menegakkan diagnose dry eye syndrome dengan tepat.

Adapun klasifikasi diagnose untuk dry eye syndrome berdasarkan National Eye Institute Workshop adalah sebagai berikut:

Diagnosis dan penderajatan keadaan mata kering dapat diperoleh dengan teliti memakai cara diagnostic berikut:

1. Tes Schirmer

Tes Schirmer adalah tes saringan bagi penilaian produksi air mata. Tes ini dilakukan dengan mengeringkan film air mata dan memasukkan strip Schirmer ke dalam cul-de-sac konjungtiva inferior pada batas sepertiga tengah dan temporal dari palpebra inferior. Bagian basal yang terpapar diukur 5 menit setelah dimasukkan. Bila dilakukan tanpa anastesi, tes ini digunakan untuk mengukur fungsi kelenjar lakrimal utama. Bila panjang bagian basal kurang dari 10mm maka dianggap abnormal. Tes Schirmer yang dilakukan dengan anastesi topical (tetrakain 0,5%) digunakan untuk mengukur fungsi kelenjar lakrimal tambahan (pensekresi basa). Bila panjang bagian basal kurang dari 5mm dalam waktu 5 menit maka dianggap abnormal. Hasil rendah kadang-kadang dijumpai pada orang normal dan tes normal dijumpai pada mata kering terutama yang sekunder terhadap defisiensi musin.

2. Tear Film Break-up Time

Pengukuran tear film break-up time berguna untuk memperkirakan kandungan musin dalam cairan air mata. Kekurangan musin mungkin tidak mempengaruhi tes Schirmer tapi dapat menyebabkan film air mata tidak stabil sehingga lapisan ini cepat pecah. Bintik kering akan terbentuk sehingga memaparkan epitel kornea dan konjungtiva. Proses ini akan menyebabkan kerusakan sel-sel epitel yang dipulas dengan Bengal rose. Sel epitel yang rusak akan lepas dari kornea dan meninggalkan daerah kecil yang dapat dipulas bila permukaan kornea dibasahi fluorescein.

Tear film break-up time dapat diukur dengan meletakkan secarik kertas berfluorescein pada konjungtiva bulbi dan meminta pasien untuk berkedip. Film air mata kemudian diperiksa dengan bantuan saringan cobalt pada slitlamp. Waktu sampai munculnya titik-titik kering yang pertama dalam lapis fluorescein kornea adalah tear film break-up time. Keadaan normal waktunya tidak lebih dari 15 detik tetapi akan berkurang nyata dengan anastesi local, memanipulasi mata atau dengan menahan palpebra agar tetap terbuka. Waktu ini akan lebih pendek pada mata dengan defisiensi air pada air mata dan selalu lebih pendek dari normalnya pada mata dengan defisiensi musin.

3. Tes Ferning mata

Tes ini digunakan untuk meneliti mucus konjungtiva . Tes Ferning mata dilakukan dengan mengeringkan kerokan konjungtiva di atas kaca obyek bersih. Arborisasi (ferning) mikroskopik terlihat pada mata normal. Pada pasien konjungtivitis yang meninggalkan jaringan parut (pemphigoid mata, sindrom steven Johnson, parut konjungtiva difus) arborisasi mucus berkurang atau hilang.

4. Sitologi impresi

Sitologi impresi adalah cara menghitung densitas sel goblet pada permukaan konjungtiva. Pada orang normal populasi sel goblet paling tinggi di kuadran infra-nasal. Kelainan pada sel goblet dapat ditemukan pada kasus keratokonjungtivitis sicca, trachoma, pemphigoid mata cicatrix, sindrom steven Johnson dan avitaminosis A.5. Pemulasan fluorescein

Tes ini bertujuan untuk mengetahui adanya kerusakan pada epitel kornea. Menyentuh konjungtiva dengan secarik kertas kering berfluorescein adalah indikator yang baik untuk menilai derajat basahnya mata dan meniscus air mata mudah terlihat.

6. Pemulasan Bengal RoseTes ini bertujuan untuk melihat sel mata (sel epitel non-vital) pada kornea dan konjungtiva. Rose Bengal mewarnai sel dan nucleus dan hanya sel yang telah mati. Sel mati dengan pewarnaan rose Bengal akan memberikan warna merah. Pewarnaan positif pada konjungtiva merupakan hal yang selalu terjadi pada sindroma mata kering (dry eye syndrome). Pada keratokonjungtivitis sicca akan terlihat segitiga berwarna merah dengan dasar di limbus dan puncak pada kantus internus yang mengisi seluruh celah kelopak.

7. Pengujian Kadar Lizosim air mata

Cara yang paling umum untuk menguji kadar lisozim air mata adalah dengan spektrofotometri. Penurunan konsentrasi lisozim air mata umumnya terjadi pada awal perjalanan sindrom sjogren dan pengujian ini berguna untuk menegakkan diagnosa penyakit ini. Air mata ditampung dalam kertas schirmer dan diuji kadarnya.

8. Osmolaritas air mata

Beberapa laporan menyebutkan bahwa hiperosmolalitas adalah tes paling spesifik bagi keratokonjungtivitis sicca. Keadaan ini bahkan dapat ditemukan pada pasien dengan tes schirmer normal dan pemulasan Bengal rose normal.

9. Lactoferrin

Lactoferrin dalam cairan air mata akan rendah pada pasien dengan hiposekresi kelenjar lakrimal.

Komplikasi

Pada tahap awal perjalanan dry eye syndrome, penglihatan akan sedikit terganggu. Pada kasus yang lanjut dapat timbul ulkus kornea, penipisan kornea dan perforasi. Kadang bisa juga terjadi infeksi bakteri sekunder yang dapat berakibat parut dan neovaskularisasi pada kornea yang dapat menurunkan pengihatan. Terapi

Pasien harus mengerti bahwa mata kering adalah keadaan menahun dan pemulihan total sukar terjadi kecuali pada kasus ringan. Adapun pengobatan untuk keratokonjungtivitis sicca ini terganting pada penyebabnya:

1. Pemberian air mata tiruan bila yang kurang adalah komponen air.

2. Pemberian lensa kontak apabila komponen mucus yang berkurang

3. Penutupan pungtum lacrima bila terjadi penguapan yang berlebihan. Tindakan bedah pada mata kering adalah pemasangan sumbatan pada punctum yang bersifat temporer (kolagen) atau untuk waktu yang lebih lama (silicon) untuk menahan secret air mata. Penutupan puncta dan kanalikuli secara permanen dapat dilakukan dengan terapi thermal (panas), kauter listrik atau dengan laser.

Pasien dengan mata kering oleh karena sembarang penyebab akan mempunyai resiko lebih besar untuk terkena infeksi. Blepharitis menahun sering terjadi dan harus diobati dengan memperhatikan hygiene dan memakai antibiotic topical.