pterygium derajat 3 ods.docx

38
PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS (CASE REPORT) Preceptor: Dr. Aryanti Ibrahim., Sp.M Oleh: Fakhmiyogi, S.Ked 1018011118 KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN MATA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. ABDOEL MOLOEK 1

Upload: fakhmiyogii

Post on 21-Dec-2015

50 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS

(CASE REPORT)

Preceptor:

Dr. Aryanti Ibrahim., Sp.M

Oleh:

Fakhmiyogi, S.Ked

1018011118

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN MATA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. ABDOEL MOLOEK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2014

1

Page 2: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

KATA PENGANTAR

Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas rahmat-Nya

sehingga saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul " PTERYGIUM DERAJAT 3

ODS” tepat pada watunya. Adapun tujuan pembuatan laporan ini adalah sebagai salah satu syarat

dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepanitriaan Klinik Bagian Mata Rumah Sakit Umum

Daerah Dr. Abdoel Moloek

Saya mengucapkan Terima kasih kepada dr. Aryanti Ibrahim.,Sp.M. yang telah meluangkan

waktunya dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Saya menyadari banyak sekali kekurangan

dalam laporan ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangan penulis harapkan.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat bukan hanya untuk kami, tetapi juga bagi siapa pun yang

membacanya.

Bandar Lampung,11 Juli 2014.

Penulis

2

Page 3: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

DAFTAR ISI

Kata pengantar……………………………………………………………………………2

Daftar isi………………………………………………………………………………….3

BAB I…………………………………………………………………………………….4

BAB II …………………………………………………………………………………..5

BAB III………………………………………………………………………………….11

BAB IV………………………………………………………………………………….13

Daftar Pustaka…………………………………………………………………………...27

3

Page 4: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular pada konjungtiva bulbi yang bersifat

degeneratif dan invasif. Secara klinis pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada

konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian

nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal.

Pterigium banyak terdapat pada orang dewasa, tetapi dijumpai pula pada anak-anak, baik laki-

laki maupun perempuan. Di Amerika Serikat, pasien pterigium lebih kurang 2%, diatas umur 40

tahun dan meningkat pada kalangan yang sering terpapar sinar ultraviolet tinggi. Laki-laki dua

kali lebih banyak terkena dibandingkan perempuan.

4

Page 5: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

BAB II

LAPORAN KASUS

1. Identitas pasien

Nama : Ny. R

Umur : 46 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Kedaton

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal pemeriksaan : 7 Juli 2014

2. Anamnesis

Keluhan utama : Kedua mata perih dan kabur sejak 4 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke RSAM dengan keluhan penglihatan kabur, nyeri, perih, terasa mengganjal dan

berair sejak 4 hari yang lalu. Pandangan seperti melihat terowongan disangkal, keluhan sakit

kepala disertai rasa sakit pada mata dan mual muntah juga disangkal oleh pasien. Mata merah (-),

gatal (-), kotoran mata (-), Dan keluhan ini mengganggu aktivitas sehari-harinya.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat penyakit serupa (+) pterygium yang sudah pernah dioperasi 3 tahun yang lalu, riwayat

diabetes mellitus (-), riwayat hipertensi (-), riwayat trauma pada mata (-), riwayat opname (-).

Riwayat Pengobatan:

Riwayat penggunaan xytrol (+).

Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial:

Pasien mengakui ada keluarga yang mengalami penyakit serupa yaitu ibunya sendiri. Hal ini

merupakan faktor herediter timbulnya penyakit pada pasien. Pasien merupakan seorang ibu

rumah tangga yang tinggal di Kedaton

Riwayat alergi: Riwayat alergi makanan (-), alergi obat-obatan (-), dan asma (-).

5

Page 6: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

3. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

KU : Baik

Keadaan sakit : Sedang

Kesadaran/GCS : Compos mentis/E4V5M6

Keadaan gizi : Cukup

Pemeriksaan Tanda Vital

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 79 kali/menit

Frekuensi Napas : 18 kali/menit

Suhu : 36,6oC

Status Lokalis

Pemeriksaan Mata kanan Mata kiri

Visus 6/6 6/6

Gerakan bola mata Baik ke segala arah

Tidak terasa nyeri

Baik kesegala arah

Tidak terasa nyeri

Palpebra superior

- Edema

- Hiperemi

- Bulu mata

Arah pertumbuhan

- Margo palpebra

-

-

-

Normal

Krusta (-)

-

-

-

Normal

Krusta (-)

Palpebra inferior

- Edema

- Hiperemi

-

-

N

-

-

N

6

Page 7: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

- Margo palpebra

- Bulu mata

Arah pertumbuhan

N N

Konjungtiva palpebra

superior dan inferior

Hiperemi (-)

Folikel (-)

Hiperemi (-)

Folikel (-)

Konjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva (+)

Injeksi silier (-)

Pterigium (+)

Penebalan (+)

Injeksi konjungtiva (+)

Injeksi silier (-)

Pterigium (+)

Penebalan (+)

Kornea Jernih

Permukaan cembung

Infiltrasi (-)

Pterigium (+)

Jernih

Permukaan cembung

Infiltrasi (-)

Pterigium (+)

COA Normal Normal

Iris Warna coklat

Bentuk normal

Warna coklat

Bentuk normal

Pupil Bentuk Reguler

Reflek langsung dan tak

langsung (+)

Bentuk Reguler

Reflek langsung dan tak

langsung (+)

Lensa Jernih Jernih

TIO (dengan palpasi) Kesan normal Kesan normal

7

Page 8: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

Mata kanan

Mata kiri

8

Page 9: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

1. Resume

Pasien wanita 46 tahun datang ke RSAM dengan mata perih dan kabur sejak 4 hari yang

lalu, pasien juga mengeluh di matanya seperti ada yang mengganjal. Riwayat penyakit dahulu

yang diderita pasien adalah pterygium yang sdah dioperasi 3 tahun yang lalu. Selain itu

ibunya pernah mengalami hal serupa.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan VODS : 6/6. Pada pemeriksaan konjungtiva bulbi dan

kornea didapatkan ada pembentukan fibrovaskular.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat didiagnosis bahwa pasien ini mengalami

pterygium rekurens atau pterygium residif pada derajat 3 bagian ODS. Tindakan yang harus

dilakukan adalah pembedahan, hal ini dikarenakan perygiumnya sudah mengganggu refraksi

pada mata pasien. Operasi yang dilakukan untuk mencegah kambuhnya pterygium adalah

autograf konjungtiva. Prognosis baik pada pasien.

2. Assessment

Diagnosis : pterygium residif derajat 3 ODS

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, derajat pertumbuhan pterygium

dibagi menjadi :

Derajat 1 : Jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.

Derajat 2 : Jika sudah melewati limbus korrnea tetapi tidak lebih 2 mm melewati

kornea.

Derajat 3 : Sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil.

Derajat 4 : Pertumbuhan pterygium melewati pupil sehinga mengganggu

penglihatan.

3. Planning

- Usulan pemeriksaan lanjutan (-)

9

Page 10: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

- Tatalaksana

Non farmakologik

1. Menghindari pajanan matahari, menghindari debu

2. Menggunakan kacamata atau topi jika keluar

Farmakologik

1. Menggunakan steroid topikal

Pembedahan (pterygium yang dapat mengganggu refraksi atau bisa dengan alasan

kosmetik)

1. Bare sclera : Melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon

rektus. Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka.

2. Mcreynolds : Mencangkok dan menguburkan pterigium di dalam

konjungtiva.

3. Autograf konjungtiva : Tehnik pembedahan yang paling banyak

digunakan saat ini untuk mengatasi adanya kekambuhan pterygium.

4. Prognosis

Prognosis kosmetik dan visual setelah eksisi pterygium adalah baik. Pada pasien dengan

rekurensi pterigium dapat diterapi dengan pembedahan dengan eksisi ulang dan grafting

dengan autograph konjungtiva.

10

Page 11: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

BAB III

ANALISIS KASUS

IDENTIFIKASI MASALAH

Daftar masalah yang terjadi pada pasien adalah :

1. Nyeri dan perih pada mata ?

2. Penglihatan kabur pada mata ?

3. Mata seperti ada yang mengganjal ?

4. Ditemukan jaringan pada bagian ODS ?

- Mata perih dan nyeri

Mata perih dan nyeri hal ini dapat terjadi karena iritasi pada permukaan mata akibat

terpapar oleh benda asing dari lingkungan seperti asap, debu, atau angin kencang. Pasien

juga mengeluhkan kadang matanya merah, sama halnya dengan terjadinya mata berair,

terjadi iritasi karena paparan benda asing dari lingkungan luar.

- Penglihatan kabur

Mata kabur dapat disebabkan oleh kelainan yang timbul mulai dari bagian mata anterior,

mata posterior, dan jaras visual neurologik. Jadi, harus dipertimbangkan terjadinya

pengeruhan atau gangguan pada media, perdarahan dalam vitreus, gangguan fungsi retina,

nervus optikus atau jaras visual intrakranial atau pembentukan fibrovaskular. Pada pasien

tidak ada ditemukan lensa yang keruh, TIO yg tinggi, perdarahan. Pada pasien hanya

ditemukan adanya pembentukan fibrovaskular. Disini dapat dilihat bahwa pasien ini

mengalami pterygium dimana penyakit ini bisa membuat penglihatan kabur apabila

pertumbuhan fibrovaskularnya sudah mencapai kornea (zona optik).

- Mata seperti ada yang mengganjal

Mata yang mengganjal bisa diakibatkan adanya peradangan di palpebra, adneksa,ataupun

segmen anterior. Pada pasien tidak ditemukan adanya edema pada palpebradan adneksa,

ataupun peradangan pada konjungtiva. Tidak ditemukan adanya secret yang berlebih.

11

Page 12: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

Pada pasien ditemukan adanya penebalan konjungtiva bulbi hingga kornea dimana hal ini

dapat mengakibatkan ada rasa ganjalan pada mata saat berkedip.

- Ditemukan jaringan pada kedua mata

Pertumbuhan jaringan pada konjungtiva bulbi bisa diakibatkan oleh suatu penyakit akibat

pinguekula, pseudopterygium, dan pterygium. Pinguekula dapat disingkirkan karena

pinguekula tidak bisa tumbuh hingga kornea, sedangkan pada pasien ditemukan

pertumbuhan jaringan hingga kornea. Sedangkan pseudopterygium terjadi akibat adanya

tukak kornea. Pterygium merupakan diagnosis yang tepat pada pasien ini karena Tampak

penebalan pada konjungtiva bulbi dari arah nasal yang berbentuk segitiga dengan bagian

puncak pterygium hampir melewati pinggir pupil. Tampakan klinis ini merupakan

gambaran khas dari Pterygium, yang pertumbuhannya biasanya dari arah nasal (paling

sering) dan dari arah temporal dengan apex atau puncaknya tumbuh ke arah sentral (ke

arah kornea.

12

Page 13: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

A. PTERYGIUM

I. DEFENISI

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal

ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga

dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan

bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah.

Pterygium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya “wing” atau sayap.

Menurut Hamurwono pterygium merupakan Konjungtiva bulbi patologik yang

menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke

kornea dengan puncak segitiga di kornea.

Gambar 1. Pterygium

II. EPIDEMIOLOGI

Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan

kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering

mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370 lintang utara dan

selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada

daerah di atas lintang 400.

13

Page 14: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi

geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk

daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah

hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan

ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan

angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang

bawah.Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium

meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur

antara 20-49 tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan

dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan

dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah.

III. ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang

membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan

anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi

palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.

Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak

mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas

maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior.

Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm

dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus

konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan

inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan

karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral,

forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.

Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:

1. Konjungtiva Palpebra

Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak

mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini,

konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat

14

Page 15: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai

pada mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi

medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara

konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan

bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat

sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari

ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan

horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara fungsional,

konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.

2. Konjungtiva Bulbi

Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva

bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera

dibawahnya dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera

melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah.

Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula

tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan

sklera.

3. Konjungtiva Forniks

Merupkan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain

halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya

konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia

muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya

bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata

ketika otot-otot tersebut berkontraksi.

15

Page 16: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

Gambar 2. Konjugtiva

Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua

arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang

umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang

sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan

profundus dan bergabung dengan pembuluh lemfe palpebra membentuk pleksus limfatikus.

Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus

oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.

Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel

konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal.

Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan

mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel

superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang

terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata

prakornea secara merata.

Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat

limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan

adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di

beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum.

16

Page 17: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini

menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan

mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung

yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada

radang konjungtiva.

Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius

(kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di

dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks

bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.

IV. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Pterygium diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya matahari, dan

udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu

neoplasma, radang dan degenerasi.

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium. Disebutkan

bahwa  radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B

merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-

sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian

sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan

pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis.

Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya

jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja

normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.

Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan

lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium. Orang yang

banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering

mengalami pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan

aktivitas di dalam ruangan. Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah

petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya

pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor

herediter).

17

Page 18: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab dominannya

pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan

disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut. Sebuah

penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping

(side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut.

Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang menyerupai

tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya

reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang

merupakan penanda neoplasia dan apoptosis  ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini

merupakan kelainan pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol

daripada kelainan degeneratif.

1. Paparan sinar matahari (UV)

Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam

perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya

sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada

orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan.

2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah

alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B

merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa

apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya

peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan

patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan

fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman

akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.

Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :

1. Usia

Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa

tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak pada

usia dekade dua dan tiga.

18

Page 19: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

2. Pekerjaan

Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV.

3. Tempat tinggal

Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini

meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir

menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih

tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya

pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar

dibandingkan daerah yang lebih selatan.

4. Jenis kelamin

Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.

5. Herediter

Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan.

6. Infeksi

Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium.

7. Faktor risiko lainnya

Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok

pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium.

V. PATOFISIOLOGI

Terjadinya pterigium berhubungan erat dengan paparan sinar ultraviolet, kekeringan,

inflamasi dan paparan angin dan debu atau factor iritan lainnya. UV-B yang bersifat

mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai tumor suppressor gene pada stem sel di

basal limbus.

Pelepasan yang berlebih dari sitokin seperti transforming growth factor beta (TGF-β)

dan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperanan penting dalam

peningkatan regulasi kolagen, migrasi sel angiogenesis.

Selanjutnya terjadi perubahan patologi yang terdiri dari degenerasi kolagen elastoid

dan adanya jaringan fibrovaskular supepithelial. Pada kornea nampak kerusakan pada

membrane bowman oleh karena bertumbuhnya jaringan fibrovaskuler, yang sering kali

19

Page 20: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

disertai dengan adanya inflamasi ringan. Epitel bisa normal, tebal atu tipis dan kadang-

kadang terjadi dysplasia.

VI. KLASIFIKASI PTERYGIUM

Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,

progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:

1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3 :

- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau

menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea.

Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala

pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi

ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih

cepat.

- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren

tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-

kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau

rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan

astigmat.

- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik.

Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik

membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan

mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat

berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan

biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan

2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:

o Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.

o Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai

pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

20

Page 21: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

o Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi

pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar

3-4 mm).

o Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga

mengganggu penglihatan.

Gambar 2. Pterigium stadium 1 Gambar 3. Pterigium stadium 2

Gambar 4.Pterigium stadium 3 Gambar 5. Pterigium stadium 4

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:

- Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea

di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)

- Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk

membran, tetapi tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus

diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:

- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat

- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat

- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.

Pterigium Duplex adalah lesi yang biasanya dijumpai pada sisi nasal dan temporal

pada satu mata pasien.

21

Page 22: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

VII. GAMBARAN KLINIK

Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama

sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak

merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik,

pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga

tajam penglihatan menurun.

Pterigium memiliki tiga bagian :

i. Bagian kepala atau cap (apex) , biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada

kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan

menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron

line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga

merupakan area kornea yang kering.

ii. Bagain whitish(collum), Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah

lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.

iii. Bagian badan atau ekor (corpus), merupakan bagian yang mobile (dapat

bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan

merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling

penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan.

VIII. DIAGNOSIS

Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan tampak merah

dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan berupa gangguan

penglihatan. Pada kasus berat dapat didapatkan adanya diplopia, biasanya penderita

mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya

22

apeks

corpus

collum

Page 23: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

keganasan atau alasan kosmetik, keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, dan ada

yang mengganjal.

Pemeriksaan fisis

Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan

konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada

juga pterigium yang avaskuler dan flat.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi

kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang

disebabkan oleh pterigium.

IX. PENATALAKSANAAN

1. Konservatif

Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakann konservatif

seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar

ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata

buatan/topical lubricating drops.

2. Tindakan operatif

Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico, yaitu:

Menurut Ziegler :

a. Mengganggu visus

b. Mengganggu pergerakan bola mata

c. Berkembang progresif

d. Mendahului suatu operasi intraokuler

e. Kosmetik

Menurut Guilermo Pico :

1. Progresif, resiko rekurensi > luas

2. Mengganggu visus

3. Mengganggu pergerakan bola mata

4. Masalah kosmetik

5. Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone

6. Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat

23

Page 24: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik.

Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan operasi. Ada

berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterigium di

antaranya adalah:

1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan

permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi

pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.

2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman

teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.

3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk

memungkinkan dilakukannya penempatan flap.

4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi

untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan

pada bekas eksisi.

5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari

konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian

dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya

Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).

24

Page 25: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

Gambar 7. Teknik Operasi Pterigium

X. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium. Pinguekula

merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada orangtua, terutama yang

matanya sering mendapatkan rangsangan sinar matahari, debu, dan angin panas. Yang

membedakan pterigium dengan pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas jaringan

hyaline dan jaringan elastic kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang. (7)

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat.

Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga

konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan sebagai dampak

sekunder penyakit peradangan pada kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian

apapun pada kornea dan biasanya berbentuk oblieq. Sedangkan pterigium ditemukan

secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9.

Gambar 8. Pinguekula Gambar 9. Pseudopterigium

XI. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat timbul pada pterygium, adalah :

- Distorsi dan penglihatan berkurang

- Mata merah

- Iritasi

25

Page 26: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

- Scar (jaringan parut) kronis pada konjungtiva dan kornea

- Pada pasien yang belum exicisi, scar pada otot rectus medial dapat menyebabkan

terjadinya diplopia.

Komplikasi post eksisi pterygium, adalah:

- Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea, conjungtiva graft

longgar dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous

hemorrhage atau retinal detachment.

- Penggunaan mytomicin C post operasi dapat menyebabkan ectasia atau melting

pada sclera dan kornea.

- Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterygium adalah rekuren pterygium post

operasi. (3)

XII. PROGNOSIS

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion.

26

Page 27: PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 2006.p.2-7,117.

2. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata.

Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009.

3. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.

4. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2011 Maret 08]. Available from :

http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi

5. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and

Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In : External Disease and Cornea.

San Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366.

6. Riordan, Paul dkk. 2010. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum, Jakarta; EGC

7. Perdami.2006. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum & Mahasiswa Kedokteran,Perdami

8. Iljas, S. 2007. Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

27