prospek pengembangan pertanian modern...
TRANSCRIPT
PROSPEK PENGEMBANGAN PERTANIAN MODERN MELALUI PENGGUNAAN
TEKNOLOGI MEKANISASI PERTANIAN PADA LAHAN
PADI SAWAH
Oleh :
Handewi P. Saliem
Ketut Kariyasa Henny Mayrowani Adang Agustian
Supena Friyatno Sunarsih
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTRIAN PERTANIAN
2015
i
KATA PENGANTAR
Masalah yang dihadapi dalam swasembada pangan khususnya padi antara lain
produktivitas padi yang cenderung stagnan bahkan menurun. Permasalahannya antara
lain yaitu irigasi, benih, pupuk dan alat mesin pertanian. Alat dan mesin pertanian,
diperlukan untuk mengatasi berkurangnya jasa penanam padi sawah yang
mengakibatkan periode penanaman padi menjadi lebih panjang, sehingga upaya
rekomendasi penanaman serentak dalam suatu hamparan/kawasan tidak dapat
dilaksanakan secara optimal. Selain aspek tersebut diatas, penyelamatan produksi
dengan perlakuan pascapanen yang tepat penting diadopsi. Salah satu solusi yang
ditawarkan untuk mengatasi masalah di atas adalah penerapan pertanian moderen
menggunakan teknologi mekanisasi pertanian, mulai dan kegiatan olah tanah,
penanaman sampai panen dan perontokan.
Kajian ini dilakukan untuk mengkaji prospek pengembangan usahatani padi
berbasis penggunaan teknologi mekanisasi pertanian di lokasi pengembangan. Secara
khusus kajian ini dilakukan untuk mengetahui tambahan manfaat yang diberikan
pertanian moderen yang dikelola dengan mekanisasi relatif terhadap pertanian
konvensional yang dikelola secara manual, kelembagaan pengelolaan alsintan yang
eksisting pada lahan pengembangan, dan memberikan masukan dalam penerapan
kebijakan pengembangan lahan usahatani padi berbasis mekanisasi pertanian yang
berkelanjutan.
Kepada semua pihak yang telah membantu kegiatan penelitian sampai
tersusunnya laporan ini, disampaikan terima kasih. Mudah mudahan hasil kajian ini
bermanfaat bagi yang berkepentingan.
Bogor, Desember 2015
Kepala Pusat,
Dr Handewi P. Saliem NIP: 19570604 198103 2 001
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pendahuluan
Kementerian Pertanian telah menetapkan target swasembada pangan khususnya
padi dalam tiga tahun kedepan. Masalah yang dihadapi antara lain produktivitas padi
yang cenderung stagnan bahkan menurun. Permasalahannya antara lain yaitu irigasi,
benih, pupuk dan alat mesin pertanian.Alat dan mesin pertanian, diperlukan untuk
mengatasi berkurangnya jasa penanam padi sawah yang mengakibatkan periode
penanaman padi menjadi lebih panjang, sehingga upaya rekomendasi penanaman
serentak dalam suatu hamparan/kawasan tidak dapat dilaksanakan secara optimal.
Selain aspek tersebut diatas, penyelamatan produksi dengan perlakuan pascapanen
yang tepat penting diadopsi. Susut hasil saat penanganan pascapanen berpengaruh
pada produksi beras nasional.
Salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah di atas adalah
penerapan pertanian moderen menggunakan teknologi mekanisasi pertanian, mulai dan
kegiatan olah tanah, penanaman sampai panen dan perontokan. Beberapa aspek yang
perlu diperhatikan dalam pengembangan usahatani berbasis penggunaan teknologi
mekanisasi pertanian penuh, antara lain status kepemilikan atau penguasaan lahan
petani, kelembagaan pasar-baik pasar input maupun output, dan kelembagaan
pengelolaan alsintan.
Tujuan kajian
Tujuan umum adalah mengkaji prospek pengembangan usahatani padi berbasis
penggunaan teknologi mekanisasi pertanian di lokasi pengembangan. Secara khusus tujuan
kajian ini adalah : (1) Mengkaji tambahan manfaat yang diberikan pertanian moderen;
(2) Mengkaji kelembagaan pengelolaan alsintan yang eksisting pada lahan
pengembangan; dan (3) Merumuskan alternatif kebijakan pengembangan lahan
usahatani padi berbasis mekanisasi pertanian yang berkelanjutan.
Metodologi
Kajian ini difokuskan pada Proyek Percontohan Pertanian Moderen Kabupaten
Soppeng-Sulawesi Selatan, Kabupaten Sukahorjo-Jawa Tengah, Kabupaten Blora-Jawa
iii
Tengah, dan Kabupaten Cilacap-Jawa Tengah. Kabupaten Cilacap diambil sebagai
contoh dengan dasar bahwa keberhasilan UPJA di Kabupaten Cilacap dianggap dapat
menjadi acuan dalam pengembangan UPJA di lokasi Percontohan Pertanian Moderen.
Data yang digunakan adalah adalah data sekunder dan primer. Data tersebut
dikumpulkan dari berbagai Instansi Pemerintah terkait di pusat dan di daerah contoh
dan wawancara dengan aparat pertanian tingkat provinsi/kabupaten dan petani padi
sawah. Data dianalisis dengan menggunakan analisis tabulasi sederhana, sedangkan
data kualitatif menyangkut aspek kebijakan dan kelembagaan akan dianalisis secara
deskriptif.
Hasil kajian
Konsolidasi lahan
Dalam bidang pertanian konsolidasi dapat diartikan menyatukan lahan-lahan
sempit milik petani dan menyatukan petani dalam menjalankan usaha bersama untuk
mencapai tujuan bersama. Di lokasi Percontohan Pertanian Modern (PPM) kegiatan
konsolidasi merupakan tantangan terberat. Penghilangan pematang sawah untuk
memudahkan mobilitas alat dan mesin (alsin) pertanian, tidak bisa diterima petani
karena pematang memiliki fungsi sebagai batas kepemilikan sawah dan berfungsi
sebagai penahan air, agar air tidak terus mengalir ke lahan yang lebih rendah.
Akhirnya disepakati bahwa pematang tetap dipertahankan sebagaimana adanya, dan
untuk memudahkan pergerakan alsin, petani tidak keberatan untuk membuka
pematang sawahnya sesuai kebutuhan sehingga tidak menjadi penghalang bagi
operasional dan mobilitas alsin.
Untuk mengatasi hal tersebut diatas, kesiapan infrastruktur irigasi yang terkait
konsolidasi lahan perlu dipersiapkan baik oleh pihak PU dan BPN (Badan Pertanahan
Nasional). Pada pola pengelolaan secara corporate dalam konsep konsolidasi, masih
sulit dilaksanakan. Sehingga hingga saat ini, penerapan PPM yang diintegrasikan
dengan program mekanisasi yang bersifat penuh (traktor, transplanter, dan harvester),
dalam pelaksanaannya baru terintegrasi dalam hal praktek pengolahan tanah dan
iv
tanam. Untuk kegiatan pemeliharaan, panen dan penjualan hasil masih dilakukan oleh
masing-masing petani.
Manfaat Pertanian Moderen Melalui Penerapan Mekanisasi Pertanian
Manfaat Usahatani
Penggunaan alat dan mesin pertanian dalam suatu hamparan yang cukup luas
memberikan beberapa manfaat yaitu: penghematan waktu, pengurangan penggunaan
tenaga kerja, pengurangan biaya, peningkatan produktifitas dan pengurangan
kehilangan hasil. Dari segi waktu, penggunaan alsin menghemat waktu cukup banyak,
sehingga tanam bisa dilaksanakan tanam serempak. Tenaga kerja pertanian (buruh
tani) yang terbilang langka di lokasi PPM seperti Soppeng, terselesaikan dengan
masuknya alsintan.
Dibanding dengan pertanian konvensional dengan teknologi yang biasa
dipraktikkan petani, dalam pelaksanaan kegiatan PPM terjadi peningkatan hasil,
produksi dari 6,7 ton/ha menjadi 8,05 ton/ha di PPM Kabupaten Soppeng. Kehilangan
hasil pada saat panen yang berkisar antara 10-12%, dengan penggunaan combine
harvester bisa menekan kehilangan panen hingga 3%. Manfaat lain dari pertanian
moderen adalah berkurangnya biaya usahatani dan bertambahnya pendapatan petani.
Di lokasi kajian terjadi penurunan biaya usahatani rata-rata 20-25% dan peningkatan
keuntungan sekitar 50%.
Manfaat Usaha Alsintan
Dalam pelaksanaan PPM dirancang dioperasionalkannya alsintan berat seperti
Traktor roda 4 (TR4), Rice transplanter dan combine harvester. Bantuan alsintan
diberikan kepada UPJA yang mampu mengelola alsintan secara komersial dengan tetap
mengacu untuk membantu petani melalui pelayanan prima. Dari usaha penyewaan
alsintan, UPJA di lokasi PPM mendapat keuntungan usaha yang cukup baik dengan
kisaran RC rasio 1,4 hingga 2,3. Keuntungan tertinggi diperoleh dari penyewaan
combine harvester . Transplanter belum dimanfaatkan dengan baik secara komersial,
karena sistem persemaian dengan menggunakan transplanter memerlukan keahlian
yang cukup memadai dan memerlukan benih varietas unggul. Keuntungan dari
v
penyewaan ini masih bisa ditingkatkan dengan menambah kapasitas kerja alat melalui
perluasan jaringan kerja alat sehingga hari kerja alat bertambah. Perluasan jaringan
dengan manajerial yang solid dan aktif, seperti yang telah dilakukan UPJA Kabupaten
Cilacap, memacu perkembangan usaha UPJA.
Kelembagaan pengelolaan alsintan pada lokasi PPM
Alsintan pada lokasi pengembangan dikelola oleh UPJA. UPJA adalah suatu
lembaga ekonomi pedesaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa dalam rangka
optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian untuk mendapatkan keuntungan
usaha. Struktur kepengurusan UPJA terdiri dari Manajer, Sekretaris dan Bendahara,
yang membawahi operator alsintan yang dimiliki UPJA. Pada UPJA yang lebih
berkembang, seperti di lokasi PPM Sukoharjo, struktur kepengurusan ditambah dengan
perbengkelan dan pemasaran. Pendukung lainnya adalah teknisi, pada kasus PPM
Kabupaten Soppeng teknisi tinggal di luar desa.
Dalam pengelolaan alsintan oleh UPJA dilakukan secara profesional, dimana biaya
untuk operasional alsintan selalu diupayakan bersumber dari hasil alsintan itu sendiri.
Pengurus UPJA dan anggota Gapoktan bermusyawarah untuk membahas berbagai
persoalan kegiatan usahatani dan pengelolaan alsintan termasuk aturan main, antara
lain : menetapkan luas maksimal pelayanan masing-masing traktor dengan
mempertimbangkan jadwal pengaturan air, jadwal tanam, dan jumlah traktor,
menetapkan besaran biaya atau upah traktor, dan menetapkan larangan adanya traktor
dari luar daerah/desa untuk melakukan pengolahan lahan sawah dengan
memperhatikan bahwa jumlah traktor di wilayahnya.
Alsintan sudah banyak digunakan dalam usahatani padi, namun ketersediaannya
masih terbatas. Secara sosial, alsin sudah diterima masyarakat antara lain karena :
ketersediaan tenaga kerja sudah kurang, dan membutuhkan waktu yang cepat dalam
pengolahan lahan untuk mengejar jadwal tanam.
Kelembagaan pengelolaan usahatani, penyediaan input, pascapanen dan
pemasaran Penyediaan input dilakukan secara individu, khusus penyediaan pupuk dilakukan
melalui RDKK kelompok tani/gapoktan, karena berlaku sistem distribusi pupuk tertutup.
vi
Bagi petani yang cukup modal bisa membeli di kios saprotan. Dalam PPM input
diperoleh dari Bansos dan didistribusikan melalui Gapoktan. Aplikasi sarana produksi
tersebut di lahan usahatani menjadi tanggung jawab petani pemilik/penggarap masing-
masing. Sistem persemaian dengan menggunakan transplanter memerlukan keahlian
yang cukup memadai atau berbeda dengan sistem persemaian tapin (tanam pindah).
Dengan demikian adopsi inovasi khususnya penggunaan varietas unggul dan efisiensi
penggunaan benih padi dapat dilakukan dengan menggunakan transplanter. Inovasi
penggunaan input diperoleh dalam PPM saprodi yang lebih sedikit namun efisien,
aplikasi pestisida dilakukan sesuai dengan jenis dan serangan OPT. Setelah PPM
kegiatan pengolahan tanah, persemaian, tanam dan panen dikoordinir oleh pelaksana
PPM, namun setelah itu diharapkan bisa dikoordinir oleh Gapoktan. Pemasaran hasil
dilakukan oleh petani masing-masing. Pedagang hasil bumi, merupakan pelaku yang
berperan dalam pembelian gabah milik petani. Diharapkan pedagang ini akan diganti
oleh Gapoktan atau koperasi tani, dimana mereka bekerjasama atau bermitra dengan
pedagang atau BULOG.
Pelaku lain dalam kegiatan PPM adalah aparat dinas, tim teknis, dan
penyuluh. Tantangan yang diemban oleh pelaku ini agar introduksi inovasi dapat
diterima dan diadopsi oleh petani adalah mengubah perilaku (pengetahuan, sikap dan
tindakan). Dedikasi, kerja keras, kemampuan diplomasi seluruh petugas yang terlibat,
yaitu Dinas Pertanian, Penyuluh, Lurah, Camat, Babinsa, pengurus Gapoktan dan
kelompok tani, dan sebagainya sangat membantu dalam mengatasi masalah konsolidasi
lahan ini (serta masalah-masalah lain yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan PPM).
Kendala pengembangan
Kendala pengembangan saat ini adalah: (1) Masih terdapat kekurangan beberapa
alsintan seperti: traktor, transplanter dan combine harvester, (2) Terdapatnya
kekurangan dafog/tray dari unit transplanter, (3) Masih terbatasnya sarana pendukung
seperti gudang alsintan dan perbengkelan, (4) keterbatasan RMU yang ada didesa
percontohan, dan (5) Terbatasnya sarana untuk menyimpan gabah yang dihasilkan,
sehingga dibutuhkan gudang penyimpanan gabah hasil panen. Jika permasalahan
vii
tersebut kurang mendapat penangan secara baik, maka idealitas dan harapan
penerapan konsep pertanian moderen tidak akan berjalan baik.
Pembelajaran dan indikasi kebijakan yang dibutuhkan untuk pertanian
moderen. Permasalahan belum bisa terselenggaranya pertanian moderen secara sempurna
adalah : (a) waktu persiapan untuk pelaksanaan pertanian moderen kurang memadai,
sehingga pemahaman dan keyakinan kepada petani kurang, (2) failitas sarana dan
prasarana tidak sempurna antara luas areal dengan jumlah alsintan yang disediakan, ,
(3) konsep dengan implementasi masih belum sinkron antara lain dalam konsep petani
yang bergabung akan diberi modal untuk sektor non pertanian sama sekali tidak ada
realisasinya, dan (4) koordinasi dengan lembaga lain yang mendukung pertanian
moderen masih lemah, misalnya dengan perbankan dan Bulog. Dari segi adopsi dan
diffusi inovasi percontohan pertanian moderen ini cukup berhasil.
Pelaksanaan percontohan melibatkan banyak pihak, namun minim konstruksi
kelembagaan yang berbasis pada kekuatan yang dimiliki oleh petani, dan kelompok-
kelompok setempat. Singkatnya waktu pelaksanaan juga membuat konstruksi
kelembagaan tidak menjadi fokus utama, karena bagian ini memang perlu waktu lama
dan hasilnya tidak segera dapat dilihat. Terdapat empat elemen dasar kelembagaan
yang perlu diperhatikan dalam mengkonstruksi kelembagaan, yaitu: (1) Pelaku
(stakeholder) dengan posisi dan perannya. Pelaku dalam proses produksi komoditas
pertanian, khususnya padi adalah : petani, produsen/penjual sarana produksi,
produsen/penjual alsin dan bengkel alsin serta UPJA, penjual jasa tenaga kerja
pertanian, pembeli hasil pertanian, Lembaga keuangan, Lembaga pemerintah (dinas
terkait, penyuluh); (2) Jaringan dan interaksi yang berpola. Agar aktivitas dalam proses
produksi dapat belangsung dengan lancar, maka harus dibangun jaringan antar pelaku
sedemikian rupa sehingga interaksi antar pelaku bisa terpola; (3) Aturan main yang
adil. (4) Sarana pendukung. Sarana pendukung dalam proses budi daya padi adalah
lahan, jaringan irigasi, jalan usahatani, sarana produksi, peralatan. Keempat elemen
kelembagaan ini harus terkelola dengan baik agar kegiatan pertanian moderen ini bisa
berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
viii
Skala percontohan seluas 100 ha, melibatkan banyak pihak, bahan dan alat, yang
sebagian darinya harus didatangkan dari luar. Kondisi ini tidak bisa terus menerus
dilakukan, alternatifnya adalah membuat skala percontohan dengan basis kemampuan
mandiri komunitas dalam penyediaan bahan, alat dan tenaga kerja, serta kemampuan
mengelola seluruh aktivitas dan hasilnya. Kepemilikan alsin sesuai jenis dan jumlah
(sesuai kapasitas) bisa digunakan sebagai basis untuk menentukan luasan percontohan.
Dengan menghitung kepemilikan alsin UPJA Semangat di kabupaten Soppeng misalnya,
maka percontohan lebih optimal jika dilakukan pada lahan sawah seluas 20-50 ha.
Pelaksanaan percontohan sangat singkat, hanya 1 musim tanam. Akan lebih baik
jika pelaksanaan tidak hanya dibatasi satu musim, karena esensi penerapan pertanian
moderen sebagai suatu inovasi adalah pada perubahan perilaku dalam adopsi inovasi.
Perubahan perilaku dan adopsi inovasi perlu waktu dan keberadaan kelompok dapat
membuat individu mengikuti proses sesuai dengan yang dialami oleh individu dominan
yang menjadi panutan.
Dedikasi dan komitmen petugas pelaksana juga harus diperhatikan dalam
pelaksanaan kegiatan pertanian modern, fasilitasi, pendampingan, dan pembinaan
kegiatan PPM serta mobilisasi massa, sehingga kegiatan tersebut dapat terlaksana.
Pengalaman sangat membantu dalam pelaksanaan PPM. Selain itu, dukungan Pemda
setempat dan pihak lainnya juga merupakan salah satu faktor yang penting dalam
pelaksanaan PPM.
Kesimpulan
Dari bahasan diatas dapat disimpulkan : (1) Alsintan memiliki keunggulan secara teknis
maupun ekonomis. Dalam pelaksanaan PPM, konsolidasi lahan adalah hal yang sangat
sulit mengingat galengan masih digunakan sebagai penahan air dan batas kepemilikan.
Namun hal tersebut bisa diatasi dengan memperkecil galengan atau meratakan
galengan sementara; (2) Pengembangan usahatani padi melalui penerapan
penggunaan alat dan mesin pertaniandan pengelolaan usahatani yang terpadu
menyebabkan terjadi efisiensi waktu, biaya tenaga kerja, percepatan IP, kualitas kerja
dan produk meningkat. Namun pengelolaan usahatani terpadu belum sepenuhnya
ix
dilaksanakan di lokasi PPM, saat ini baru pada kegiatan olah tanah dan tanam; (3)
Pengelolaan usaha alsintan sudah relatif baik, tetapi masih perlu dikembangkan secara
profesional dengan memperluas jaringan kerja. Namun masih ada UPJA di lokasi contoh
yang belum menentukan aturan main dari penyewaan alsin, terutama alsin yang baru
dimiliki (bantuan Pemerintah); (4) Beberapa kegiatan PPM merupakan adopsi inovasi
baru, kegiatan tersebut antara lain adalah sistem persemaian dengan menggunakan
transplanter yang memerlukan keahlian yang cukup memadai. Hal ini merupakan
tantangan bagi aparat dinas, tim teknis, dan penyuluh untuk mengubah perilaku
(pengetahuan, sikap dan tindakan) agar introduksi inovasi PPM secara keseluruhan
dapat diterima dan diadopsi oleh petani; (5) Dalam pelaksanaan PPM belum ada
introduksi kelembagaan pemasaran hasil. Pedagang hasil bumi, merupakan pelaku yang
berperan dalam pembelian gabah milik petani; (6) Penyediaan sarana produksi saat ini
masih disediakan melalui Paket Optimasi Lahan pada PPM. Paket tersebut nampaknya
sama baik dalam jenis, jumlah, dan nilainya pada ketiga lokasi PPM. Hal itu berarti
penyediaan paket tersebut tidak didasarkan pada kondisi spesifik lokasi tanah. Namun
sebagian petani menyatakan bahwa akses untuk memperoleh sarana produksi mudah
didapat asal tersedia modal. Selain sarana produksi, ketersediaan air/sarana irigasi pada
lokasi PPM juga perlu diperhatikan karena hal ini diperlukan dalam percepatan tanam;
(7) Permasalahan yang dihadapi pada saat ini terkait implementasi program pertanian
moderen tersebut adalah masih terdapat kekurangan beberapa alsintan seperti: traktor
roda 4, transplanter dan combine harvester, keterbatasan tray/nampan untuk
pembibitan, terbatasnya sarana pendukung seperti gudang alsintan dan perbengkelan,
keterbatasan RMU yang ada di lokasi percontohan, dan terbatasnya gudang
penyimpanan gabah hasil panen.
Implikasi Kebijakan
Untuk mempercepat penerapan pertanian moderen yang berkelanjutan beberapa
implikasi kebijakan yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah: (1) Perlu persiapan
waktu untuk mensosialisasikan pertanian moderen kepada masyarakat dan stakeholder
terkait dan menciptakan komitmen bersama untuk implementasi pertanian modern,
x
terutama yang menyangkut perubahan sikap dan keyakinan untuk menerima/adopsi
inovasi memerlukan waktu, ketekunan dan kegigihan bahkan perlu domentrasi plot
(dempot) atau demfarm sehingga petani menjadi sadar, yakin, berkeinginan dan
meniru atau adopsi inovasi tersebut; (2) Perlunya specific road map sehingga bisa
menerapkan langkah dan prioritas, seperti pilihannya pada apakah pertanian moderen
ini akan diterapkan secara sempurna menurut siklus usahatani padi atau akan
diterapkan secara bertahap tetapi sempurna, misalnya pengolahan tanah dan tanam
saja, dilanjutkan dengan pemeliharaan teritegrasi dan kemudian dengan tahapan
panen, pasca panen dan pemasaran; (3) Perlu adanya program pendamping, sesuai
dengan konsep pertanian moderen dimana kelebihan tenaga kerja akan diserap oleh
sektor non pertanian. Konsep ini bisa dilakukan dengan pembukaan kesempatan kerja
sektor non pertanian yang terkait maupun tidak terkait dengan pertanian; (4) Terkait
dengan fasilitasi alsintan, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang ditujukan
untuk para produsen alsintan. Alsintan yang diproduksi masal harus sudah lolos uji
sehingga layak pakai, juga kesiapan melempar ke pasaran umum termasuk kesediaan
spare-part, layanan purna jual, dll. Saat ini hampir sebagian besar alsintan yang ada
belum layak pakai; (4) Di lapangan terdapat permasalahan pada satu lokasi pertanian
moderen tetapi tidak merupakan masalah pada lokasi lain, misalnya di Sukoharjo ada
keterbatasan jumlah tray tetapi di Soppeng dan Cilacap hal ini tidak menjadi masalah
karena ada metoda lain. Untuk itu perlu dibangun system pengembangan SDM, seperti
pusat-pusat pelatihan yang tumbuh dari kelompok lintas daerah sebagai ajang studi
banding yang difasilitasi oleh pemeritah: (5) Untuk permasalahan yang terkait dengan
alam antara lain : kedalam lumpur sawah, topografi, keadaan sosial dll, perlu ada kajian
yang berlanjut untuk penggambaran (mendelineasi) daerah mana saja yang layak
untuk dikembangkan sebagai pertanian moderen, semi moderen dan konvensional; (6)
Perlu adanya jaminan ketersediaan sarana produksi seperti : pupuk, pestisida, air
irigasi dan membentuk kelembagaan pasar dengan cara memperkuat gapoktan atau
koperasi tani.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
i
RINGKASAN EKSEKUTIF
ii
DAFTAR ISI
xi
DAFTAR TABEL
xiii
I PENDAHULUAN
1
1.1. Latar belakang
1
1.2. Tujuan dan Keluaran Kajian
4
II METODOLOGI
5
2.1 Lokasi Penelitian
5
2.2. Sumber dan Jenis Data
5
2.3. Metode Analisis
6
III HASIL KAJIAN
6
3.1. Kasus Proyek Pengembangan Pertanian Modern di
Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan
6
3.1.1. Gambaran Umum Sistem Konsolidasi Lahan 6
3.1.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan
Mekanisasi Pertanian
10
3.1.3. Kelembagaan Pengelolaan Alsintan pada Lahan
Pengembangan
16
3.1.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input,
Pascapanen dan Pemasaran
18
3.2. Kasus Proyek Pengembangan Pertanian Modern di
Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah
22
3.2.1. Gambaran Umum Sistem Konsolidasi Lahan 22
3.2.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan
Mekanisasi Pertanian
25
3.2.3. Kelembagaan Pengelolaan Alsintan pada Lahan
Pengembangan
33
3.2.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input,
Pascapanen dan Pemasaran
38
3.3. Kasus Proyek Pengembangan Pertanian Modern di
Kabupaten Blora, Jawa Tengah
42
3.3.1. Gambaran Umum Sistem Konsolidasi Lahan 42
3.3.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan
Mekanisasi Pertanian
43
3.3.3 Kelembagaan Pengelolaan Alsintan pada Lahan
xii
Pengembangan
49
3.3.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input,
Pascapanen dan Pemasaran
51
3.4. Pengembangan Mekanisasi Pertanian di Kabupaten Cilacap 54
3.4.1. Perkembangan Pertanian dan Dukungan Mekanisasi 54
3.4.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan
Mekanisasi Pertanian
58
3.4.3. Pengembangan Pertanian Melalui Kelembagaan
Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA)
68
3.4.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input,
Pascapanen dan Pemasaran
71
3.5. Peluang dan Kendala Pengembangan Pertanian Modern Melalui
Mekanisasi Pertanian
75
3.6. Pembelajaran dan Indikasi Kebijakan yang Dibutuhkan
untuk Pertanian Modern
78
IV KESIMPULAN
83
4.1. Kesimpulan
83
4.2. Implikasi Kebijakan
86
DAFTAR PUSTAKA
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Analisis Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern
dan Konvensional di Kelurahan Appanang, Kecamatan
Liliriaja, Kabupaten Soppeng, MH 2014/2015 (Rp/ha)
12
2. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor tangan di UPJA Semangat
Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng,
2015 (Rp/ha)
13
3. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor roda-4 di UPJA Semangat
Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng,
2015 (Rp/ha)
14
4. Struktur Ongkos dan Sewa Combine Harvester di UPJA Semangat
Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng,
2015 (Rp/ha)
15
5. Alsin yang dimiliki UPJA Semangat saai ini (Agustus 2015) 16
6. Aturan Main dalam Penggunaan Jasa Alsin yang dikelola UPJA
Semangat di Kabupaten Soppeng, 2015
18
7. Pelaku dalam Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input
Pascapanen dan Pemasaran Secara Konvensional dan
Percontohan Pertanian Modern di Soppeng, 2015
20
8. Jenis, Jumlah dan Nilai Sarana Produksi untuk Kegiatan PPM
Seluas 100 ha di Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja,
Kabupaten Soppeng, 2015
21
9. Analisis Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern
dan Konvensional di Desa Delanggu, Kecamatan Tawangsari,
KabupatenSukoharjo, MT II 2015 (Rp/ha)
26
10. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor tangan di UPJA Desa
Dalangan, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo,
2015 (Rp/ha)
28
11. Struktur Ongkos dan Sewa Transplanter di UPJA Desa
Dalangan, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo,
2015 (Rp/ha)
30
12. Struktur Ongkos dan Sewa Combine Harvester di UPJA Desa
Dalangan, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo,
2015 (Rp/ha)
32
13. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi
Sawah di Kabupaten Sukoharjo, 2011-2014
33
14. Luas Baku Sawah Berdasarkan Kondisi Irigasinya untuk
Pertanaman Padi di Kabupaten Sukoharjo, 2014
34
xiv
15. Jumlah Alat dan Mesin Pertanian di Kabupaten Sukoharjo,
2014 dan 2015 (unit)
35
16. Rasio Luas Lahan dan Jumlah Alsintan di Kabupaten
Sukoharjo, 2014.
36
17. Analisis Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern
dan Konvensional di Desa Gabusan, Kecamatan Jati,
Kabupaten Blora, MH 2014/2015 (Rp/ha)
44
18. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor tangan di UPJA Desa
Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha) 46
19. Struktur Ongkos dan Sewa TR-4 di UPJA Desa Gabusan,
Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha)
47
20. Struktur Ongkos dan Sewa Transplanter di UPJA Desa
Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha) 48
21. Struktur Ongkos dan Sewa Combine Harvester di UPJA Desa
Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha) 49
22. Alsin yang Dimiliki UPJA Jasa Karya Utama dan Sumbernya
(September 2015)
50
23. Nilai sewa Alsin yang berlaku di UPJA Jasa Karya Utama, Kab.
Blora, 2015
50
24. Pelaku dalam Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input
Pascapanen dan Pemasaran Secara Konvensional dan
Percontohan Pertanian Modern di Blora, 2015
52
25. Jenis, Jumlah, dan Nilai Sarana Produksi untuk kegiatan
Optimasi Lahan seluas 100 ha di Desa Gabusan, Kecamatan
Jati, Kabupaten Blora, 2015.
53
26. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi
Sawah di Kabupaten Cilacap, 2011-2014.
54
27. Luas Baku Lahan Sawah Berdasarkan Frekuensi Tanam Padi
di Kabupaten Cilacap, 2014
55
28. Jumlah Alat dan Mesin Pertanian di Kabupaten Cilacap,
2014 dan 2015 (unit)
55
29. Rasio Luas Lahan dan Jumlah Alsintan di Kabupaten
Cilacap, 2014.
56
30. Jumlah RMU Berdasarkan Skala di Kabupaten Cilacap, 2014 58
31. Usahatani Padi Sawah Pertanian Modern dan Non-Modern
di Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten, Cilacap MT I
2015 (Rp/ha)
60
32. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor tangan di UPJA Desa
Bojong, Kec. Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015 (Rp/ha) 61
33. Struktur Ongkos dan Sewa Transplanter di UPJA Desa
xv
Bojong, Kec. Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015 (Rp/ha) 64
34. Struktur Ongkos dan Sewa Power thresher di UPJA Desa
Bojong, Kec. Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015 (Rp/ha) 65
35. Struktur Ongkos dan Sewa Mini Combine Harvester di UPJA
Desa Bojong, Kec. Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015
(Rp/ha)
67
36. Jumlah Kelompok Tani, Gapoktan dan UPJA di Kabupaten
Cilacap, 2014.
70
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Beras merupakan pangan pokok yang sangat dominan. Kelangkaan
penyediaan beras dan melonjaknya harga beras, baik secara langsung ataupun tidak
langsung, akan mengakibatkan krisis ekonomi, sosial, dan politik. Selain itu, beras
merupakan penyumbang terbesar PDB pada kelompok tanaman pangan, sumber
pendapatan petani, penyedia lapangan kerja dan merupakan sumber pangan pokok
bagi penduduk Indonesia.
Kementerian Pertanian (Kementan) menargetkan surplus 10 juta ton beras
pada 2014. Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 252 juta orang dan tingkat
konsumsi 130,99 kg/kapita, diperlukan 33 juta ton beras. Untuk itu, produksi padi
nasional ditargetkan sekitar 76,568 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara
dengan 43 juta ton beras konsumsi. Artinya, produksi padi nasional 2014 harus
meningkat 8,04% dari 2013 berdasarkan data Angka Ramalan (Aram II) Badan
Pusat Statistik (BPS) pada November 2013 lalu. Namun produksi padi tahun 2014
mengalami penurunan.
Produksi padi tahun 2014 (ASEM) sebanyak 70,83 juta ton gabah kering giling
(GKG) atau mengalami penurunan sebesar 0,45 juta ton (0,63 persen) dibandingkan
tahun 2013. Penurunan produksi padi tahun 2014 terjadi di Pulau Jawa sebesar 0,83
juta ton, sedangkan produksi padi di luar Pulau Jawa mengalami kenaikan sebanyak
0,39 juta ton. Penurunan produksi diperkirakan terjadi karena penurunan luas panen
seluas 41,61 ribu hektar (0,30 persen) dan penurunan produktivitas sebesar 0,17
kuintal/hektar (0,33 persen)(BPS, 2015).
Kementerian Pertanian telah menetapkan target swasembada pangan
khususnya padi dalam tiga tahun ke depan. Masalah yang dihadapi antara lain
produktivitas padi yang cenderung stagnan bahkan menurun. Permasalahannya
antara lain yaitu irigasi, benih, pupuk dan alat mesin pertanian. Alat dan mesin
pertanian, diperlukan untuk mengatasi berkurangnya jasa penanam padi sawah
yang mengakibatkan periode penanaman padi menjadi lebih panjang, sehingga
upaya rekomendasi penanaman serentak dalam suatu hamparan/kawasan tidak
dapat dilaksanakan secara optimal. Sebagai konsekuensi dari ketidakseragaman
2
periode pertanaman padi dalam suatu hamparan/kawasan, maka para petani sering
dihadapkan pada kondisi populasi hama yang sulit dikendalikan serta periode panen
padi yang beragam. Sebagai konsekuensi dari keterbatasan tenaga kerja pada
periode tertentu, maka periode panen padi menjadi lebih panjang, yang pada
gilirannya program peningkatan Indeks Pertanaman Padi (IP 300) untuk
meningkatkan produksi padi pada suatu wilayah pertanaman padi sulit diterapkan.
Selain itu, jika ingin menyelamatkan produksi, perlakuan pascapanen yang
tepat penting diadopsi. Susut hasil saat penanganan pascapanen pun berpengaruh
pada produksi beras nasional. Rata-rata, kehilangan hasil saat panen yang dialami
petani adalah sebesar 0,53%. Kehilangan hasil pada proses perontokan sekitar
0,83%, pengeringan 6,09%, dan penggilingan sekitar 2,98%. Secara total, rata-rata
kehilangan hasil yang dialami petani saat pengolahan pascapanen mencapai
10,43%. Kehilangan hasil pada padi yang dipanen dengan cara manual sekitar
rata-rata sekitar 8%-15%, sedangkan jika menggunakan mesin panen, kehilangan
hasilnya bisa menurun hingga 1%-3% (Agrina, 2014).
Salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah di atas adalah
penerapan pertanian modern (PPM) menggunakan teknologi mekanisasi pertanian,
mulai dan kegiatan olah tanah, penanaman sampai panen dan perontokan. Alat dan
mesin yang dialokasikan adalah traktor roda 4, rice transplanter, combine harvester
dan UPPO serta peralatan bengkel. Jumlah dan jenis sesuai dengan kebutuhan
spesifik lokasi dan permintaan dari penerima manfaat. Lokasi percontohan adalah
daerah sentra produksi dan wilayah pengembangan kawasan pertanian tanaman,
seluas minimal 100 ha dengan kondisi datar, hamparan luas dan tersedianya sumber
air. Program tersebut diimplementasikan musim terkahir 2014, berlokasi di tiga
kabupaten yaitu di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan; Kabupaten Sukoharjo,
Jawa Tengah dan Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Kabupaten Soppeng, merupakan satu-satunya kabupaten di Sulawesi yang
memperoleh alokasi kegiatan Percontohan Pertanian Modern di Provinsi Sulawesi
Selatan untuk tahun 2014. Menurut Ditjen PSP, terdapat dua kelompok tani yang
melaksanakan penanaman padi dengan menerapkan teknologi Pertanian Modern di
Kabupaten Soppeng, seluas 100 hektar. Kelompok tani tersebut adalah: Kelompok
Tani Matunru-tunrue dan Kelompok Tani Addiangnge, Gapoktan Appanang di
3
Kecamatan Liliriaja Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Rata-rata luas lahan
sawah yang digarap petani dalam kegiatan lokasi pertanian modern tersebut adalah
0,04 Ha/petani pada kelompok tani Addiangnge dengan total lahan seluas 40 ha.
Pada kelompok tani Matunru-Tunrue, rata-rata luas lahan garapan adalah 0,051
ha/KK, dengan total luas lahan 60 ha. Di Jawa Tengah, kegiatan ini dilakukan di dua
kabupaten yaitu Kabupaten Sukoharjo pada Gapoktan Tani Mandiri dan UPJA Bagyo
Mulyo di Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari seluas 170 ha; serta Kabupaten
Blora pada Gapoktan Sido Rukun dan UPJA Jasa Karya Utama di Desa Gabusan,
Kecamatan Jati seluas 100 ha.
Pelaksanaan PPM untuk mendukung pengelolaan 100 ha lahan pertanian
dengan penerapan mekanisasi dari prapanen hingga panen dilaksanakan oleh UPJA
Berkembang atau Profesional di wilayah Pembinaan dan Pengawasan Dinas
Pertanian. Kegiatan ini merupakan satu paket penguatan/peningkatan kinerja UPJA
yang berupa Bansos (Bantuan Sosial) pengadaan alsintan.
Menurut kajian Badan Litbang (2015) keuntungan usahatani menggunakan
teknologi mekanisasi pertanian meningkat 81,61% dibandingkan dengan teknologi
manual. Penggunaan teknologi mekanisasi pertanian secara penuh dalam usahatani
padi juga meningkatkan produksi sebanyak 33,83%, juga menghemat tenaga kerja
dan biaya produksi.
Dilihat dari segi ekonomi, usahatani dengan penggunaan teknologi mekanisasi
pertanian penuh sangat efisien dan menguntungkan petani. Namun, masalah
pembangunan pertanian bukan hanya pada perangkat teknologinya, tetapi struktur
kelembagaan dalam masyarakat pedesaan (Sinaga dan White, 1980), dimana
teknologi tersebut masuk, yang menentukan apakah teknologi itu mempunyai
dampak negatif atau positif atas distribusi pendapatan. Mubyarto (1994)
mengatakan bahwa aspek kelembagaan berperanan penting dalam pembangunan
pertanian, diperlukan upaya khusus pemberdayaan petani antara lain melalui
kolektif farming. Kolektif farming adalah sejumlah areal pertanian yang dikelola
secara kolektif misalnya melalui kelompok tani atau ikatan kelompok lainnya untuk
mencapai skala ekonomis dalam pengelolaannya.
Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pengembangan usahatani
berbasis penggunaan teknologi mekanisasi pertanian penuh, antara lain status
4
kepemilikan atau penguasaan lahan petani, kelembagaan pasar-baik pasar input
maupun output, dan kelembagaan pengelolaan alsintan. Dalam kelembagaan
pengelolaan alsintan, pengembangannya harus memperhatikan aspek untuk
menghasilkan produk padi yang bernilai tambah maksimal dan berdaya saing tinggi,
dukungan jaringan pelayanan finansial untuk mendukung permodalan, peningkatan
kemampuan SDM pedesaan secara profesional, perbengkelan dan penyediaan suku
cadang. Sampai sejauh mana aspek-aspek tersebut telah dikoordinasikan dalam
pengembangan pertanian modern/usahatani berbasis penggunaan teknologi
pertanian dan permasalahan apa yang lahir dengan adanya implementasi program
tersebut? Pertanyaan ini yang mendorong perlunya dilakukan kegiatan analisis
kebijakan (anjak) ini.
1.2. Tujuan dan Keluaran Kajian
Tujuan
Tujuan umum adalah mengkaji prospek pengembangan usahatani padi berbasis
penggunaan teknologi mekanisasi pertanian di lokasi pengembangan. Secara khusus
tujuan kajian ini adalah :
1. Mengkaji tambahan manfaat yang diberikan pertanian modern yang dikelola
dengan mekanisasi relatif terhadap pertanian konvensional yang dikelola
secara manual
2. Mengkaji kelembagaan pengelolaan alsintan yang eksisting pada lahan
pengembangan
3. Merumuskan alternatif kebijakan pengembangan lahan usahatani padi
berbasis mekanisasi pertanian yang berkelanjutan.
Keluaran
Keluaran umum dari kajian ini adalah infromasi tentang prospek pengembangan
usahatani padi berbasis teknologi mekanisasi pertanian pada lahan pengembangan.
1. Tambahan manfaat yang diberikan pertanian modern yang dikelola dengan
mekanisasi relatif terhadap pertanian konvensional yang dikelola secara
manual
2. Informasi kelembagaan pengelolaan alsintan yang eksisting pada lahan
pengembangan
5
3. Rumusan alternatif kebijakan pengembangan lahan usahatani padi berbasis
mekanisasi pertanian yang berkelanjutan.
1.3. Perkiraan Manfaat dan Dampak
Hasil kajian diharapkan bermanfaat bagi pemangku kepentingan dalam
pengembangan lahan usaha dengan penggunaan alat dan mesin pertanian, agar
peningkatan produksi dan usahatani lebih efekif. Dengan tersedianya kajian ini
diharapkan pemangku kepentingan dapat merumuskan kebijakan pengembangan
lahan berbasis mekanisasi pertanian dengan lebih baik, yang dapat meningkatkan
produktivitas usahatani dan produksi pangan secara lebih efisien. Sebagai dampak,
diharapkan hasil kajian ini bisa dimanfaatkan sebagai acuan dalam kebijakan
pengembangan lahan usahatani padi berbasis mekanisasi pertanian, khususnya yang
terkait dengan kelembagaan pengelolaan alsintan yang berkelanjutan.
II. METODOLOGI
2.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dipilih secara purposif, yaitu pada Proyek Percontohan
Pertanian Modern Kabupaten Soppeng-Sulawesi Selatan, Kabupaten Sukahorjo-Jawa
Tengah, Kabupaten Blora-Jawa Tengah, dan Kabupaten Cilacap-Jawa Tengah.
Kabupaten Cilacap diambil sebagai contoh dengan dasar bahwa keberhasilan UPJA di
Kabupaten Cilacap dianggap dapat menjadi acuan dalam pengembangan UPJA di
lokasi Percontohan Pertanian Modern.
2.2. Sumber dan Jenis Data
Jenis data yang dibutuhkan adalah data sekunder dan primer. Data dan
informasi sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi pemerintah terkait di Jakarta,
Provinsi Sulawesi Selatan, dan Provinsi Jawa Tengah. Data dan informasi sekunder
juga diperoleh melalui penelusuran dokumen berupa laporan, jurnal, dan karya
ilmiah lainnya. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan
aparat pertanian tingkat provinsi/kabupaten dan pengurus gabungan kelompok tani
(gapoktan), dan diskusi kelompok dengan petani padi sawah di lokasi penelitian.
Data sekunder meliputi dokumen dan data terkait tentang usahatani padi,
pengembangan lahan dan pengembangan alat dan mesin pertanian (alsintan) serta
6
berbagai kebijakan terkait. Data primer yang dikumpulkan adalah pengelolaan
usahatani, kelembagaan pengelolaan alsintan, kelembagaan pemasaran input dan
hasil pada lahan pengembangan.
2.3. Metode Analisis
Data Data kuantitatif akan dianalisis dengan menggunakan analisis tabulasi
sederhana, sedangkan data kualitatif menyangkut aspek kebijakan dan kelembagaan
akan dianalisis secara deskriptif.
III. HASIL KAJIAN
3.1. Kasus Proyek Pengembangan Pertanian Modern di Kabupaten
Soppeng, Sulawesi Selatan
3.1.1 . Gambaran Umum Sistem Konsolidasi Lahan
Kegiatan PPM adalah kegiatan usahatani yang dilaksanakan dengan
penerapan mekanisasi pertanian dan pemanfaatan bantuan paket kegiatan
peningkatan kemampuan UPJA dalam bidang pelayanan jasa alsintan mulai kegiatan
pengolahan tanah, penanaman bibit sampai dengan kegiatan panen dengan
cakupan pelayanan seluas minimal 100 ha. Prasyarat penerapan pertanian modern
melalui penerapan mekanisasi pertanian adalah tersedianya lahan pertanian
sehamparan yang terkonsolidasi, baik secara teknis maupun dalam managemen
pengelolaan usahatani. Kriteria lokasi, mempertimbangkan beberapa hal sebagai
berikut :
1. Diprioritaskan pada daerah sentra produksi pertanian tanaman pangan dan
wilayah pengembangan kawasan pertanian tanaman pangan seluas minimal 100
ha dengan kondisi datar, hamparan luas dan tersedianya sumber air.
2. Mempertimbangkan kondisi lokal spesifik yang secara teknis dan ekonomis
memenuhi persyaratan untuk kegiatan Percontohan Pertanian Modern
3. Terdapatnya UPJA Berkembang/Profesional yang mampu untuk melaksanakan
dan mengembangkan mekanisasi pertanian pada kegiatan Percontohan
Pertanian Modern
4. Mempertimbangkan proposal yang diajukan oleh UPJA dan Dinas Pertanian
Kabupaten/Kota, terkait dengan pengembangan Kegiatan Percontohan Pertanian
Modern
7
5. Mempertimbangkan kinerja Dinas Pertanian Kabupaten/Kota yang pernah
menerima bantuan penguatan UPJA
Dua tahun sebelumnya, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura
Kabupaten Soppeng juga pernah menerapkan percontohan pertanian dengan
mekanisasi. Percontohan dilakukan pada lahan sawah tadah hujan di Kelompok Tani
Ale Bua Bua di Kecamatan Donri Donri dan Kelompok Tani Tensiabeng di Kecamatan
Liliriaja, masing-masing seluas 50 ha dengan dana yang bersumber dari APBD I.
Teknologi yang diterapkan dalam pertanian mekanisasi tersebut berupa sistem
legowo, penggunaan air (yang lebih hemat), pemupukan berimbang (dilakukan uji
pH tanah lebih dulu), penggunaan benih unggul, pengurangan kehilangan hasil
dengan menggunakan combine harvester. Sosialisasi dan bimbingan dilakukan
secara intensif untuk mengubah pola pikir (pengetahuan, sikap, dan tindakan)
petani. Hasil panen padi (ubinan) di Donri Donri adalah : lahan irigasi 10,8 ton/ha,
lahan irigasi setengah teknis 8 ton/ha, dan lahan tadah hujan 7 ton/ha. Selanjutnya
di lokasi percontohan dimasukkan alat RMU, untuk menangani pemrosesan hasil.
Kabupaten Soppeng terletak pada depresiasi Sungai Walanae yang terdiri dari
daratan dan perbukitan dengan luas daratan kurang lebih 700 km2 serta berada
pada ketinggian rata-rata antara 100-200 m di atas permukaan laut. Luas daerah
perbukitan Soppeng kurang lebih 800 km2 dan berada pada ketinggian rata-rata 200
m di atas permukaan laut. Ibukota Kabupaten Soppeng adalah kota Watansoppeng
yang berada pada ketinggian 120 m di atas permukaan laut. Kabupaten Soppeng
tidak memiliki wilayah pantai. Wilayah perairan hanya sebagian dari Danau Tempe.
Wilayah Kabupaten Soppeng dibagi menjadi delapan kecamatan, yaitu: Citta, Donri
Donri, Ganra, Lalabata, Liliriaja, Lilirilau, Marioriawa, dan Marioriwawo
Percontohan Pertanian Modern (PPM) di Kabupaten Soppeng berlokasi di
Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja. Lokasi persawahan yang menjadi
percontohan terletak kurang dari 1 km dari kantor Kelurahan Appanang maupun
kantor Kecamatan Liliriaja, 16 km dari ibu kota kabupaten, dan 215 km dari ibu kota
provinsi. Lahan persawahan dapat dijangkau dengan alat transportasi roda dua
maupun roda empat.
Lahan pertanian di Kecamatan Liliriaja berupa lahan sawah seluas 813,97 ha
dan 276 ha lahan kering. Lahan percontohan seluas 100 ha, merupakan lahan
8
pertanian irigasi teknis. Organisasi petani yang terdapat di Kelurahan Appanang
yaitu Gapoktan yang beranggotakan 13 kelompok tani, dan dua di antaranya
menjadi peserta PPM. Organsasi petani lainnya yaitu UPJA Semangat.
Kegiatan Percontohan Pertanian Modern di Soppeng melibatkan dua
kelompok tani, yaitu Kelompok Tani Matunru-tunrue dan Kelompok Tani Addiange,
dari total 13 kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan Appanang. Kelompok
ini dipilih karena dinilai bagus aktivitasnya. Lahan sawah Kelompok Tani Matunru-
tunrue yang menjadi lokasi PPM seluas 60 ha dengan penggarap sebanyak 118
petani, sedangan Kelompok Tani Addiange seluas 40 ha dengan jumlah petani
sebanyak 76 orang, jadi total petani yang terlibat dalam kegiatan PPM sebanyak 194
orang.
Dalam pelaksanaan kegiatan PPM, seluruh petani yang terlibat dibagi mejadi
delapan kelompok kecil, bersesuaian dengan jumlah kecamatan yang ada di
Kabupaten Soppeng. Masing-masing kecamatan diberi tanggung jawab untuk
membantu pelaksanaan kegiatan percontohan di satu kelompok kecil. Dalam rangka
memenuhi tanggung jawab tersebut, setiap kecamatan mengirimkan wakilnya yang
terdiri dari Babinsa, Penyuluh, dan Petani. Selain untuk mendukung pelaksanaan
percontohan, para wakil dari kecamatan diharapkan menjadikan aktivitas yang
diikutinya sebagai proses pembelajaran, untuk kemudian mempraktekkan serta
mengajarkan kepada petani di wilayah masing-masing. Tujuan pembentukan
delapan kelompok kecil secara khusus yaitu : (1) memudahkan koordinasi dan
penyebaran informasi, karena pemukiman petani menyebar; (2) alat dan barang
tidak terkonsentrasi di lokasi atau pihak tertentu, sehingga kegiatan diharapkan bisa
terlaksana dengan lebih cepat dan lancar; (3) mempercepat proses difusi inovasi
dengan melibatkan pihak terkait di masing-masing kecamatan sebagai penanggung
jawab kelompok kecil.
Selain syarat yang terkait dengan kelompok tani, juga ada syarat untuk lokasi
hamparan sawah, yaitu air cukup dan ada jalan usahatani. Lahan sawah yang
menjadi lokasi percontohan terhampar di sepanjang saluran irigasi, sehingga
ketersediaan air saat percontohan dilakukan bisa terjamin. Salah satu petani yang
terlibat dalam percontohan berposisi sebagai ulu-ulu, yang bertugas menjamin
pembagian air di hamparan tersebut. Jalan usahatani di hamparan sawah
9
percontohan terbentang di sepanjang saluran irigasi, dan merupakan bagian saluran
irigasi yang sengaja diperkeras dan diperluas sehingga sekaligus bisa berfungsi
sebagai jalan usahatani. Selain itu, juga terdapat jalan usahatani yang membelah
lahan sawah percontohan, menghubungkan wilayah pemukiman di terletak di pusat
kelurahan/kecamatan yang berbatasan dengan persawahan, dengan jalan usahatani
yang terletak di tepi saluran irigasi. Keberadaan usahatani memudahkan
pengangkutan sarana pertanian, alat maupun hasil dan mobilitas orang.
Salah satu tantangan berat PPM ini adalah konsolidasi lahan seluas 100 ha
yang melibatkan penggarap atau petani penggarap sebanyak 194 orang, ditambah
sejumlah pemilik lahan yang tidak ada di lokasi tersebut dan menyakapkan
sawahnya kepada petani setempat. Awalnya ada wacana untuk menghilangkan
pematang sawah untuk memudahkan mobilitas alat dan mesin (alsin) pertanian.
Wacana ini membuat petani keberatan untuk ambil bagian kegiatan PPM, karena (1)
Pematang memiliki fungsi sebagai batas kepemilikan sawah, jika batas dihilangkan
akan menjadi sumber masalah, “sumber baku hantam”. Sebagian besar (75 persen)
petani setempat adalah penggarap, sehingga tidak memiliki wewenang untuk
menyetujui penghilangan tanggul/pematang. Untuk terlibat di dalam kegiatan PPM
ini para petani penggarap harus meminta izin pemilik lahan yang bermukim di
Makassar, Jakarta, Kalimantan, dan Irian Jaya; dan tidak jarang petugas yang harus
berkomunikasi langsung dengan pemilik lahan yang masih ragu untuk terlibat dalam
kegiatan tersebut; (2) Pematang juga berfungsi sebagai penahan air, agar air tidak
terus mengalir ke lahan yang lebih rendah. Akhirnya disepakati bahwa pematang
tetap dipertahankan sebagaimana adanya, dan untuk memudahkan pergerakan
alsin, petani tidak keberatan untuk membuka pematang sawahnya sesuai kebutuhan
(hanya selebar alsin, dan kemudian bisa dirapikan kembali). Dedikasi, kerja keras,
kemampuan diplomasi seluruh petugas yang terlibat, yaitu Dinas Pertanian,
Penyuluh, Lurah, Camat, Babinsa, pengurus Gapoktan dan kelompok tani, dan
sebagainya sangat membantu dalam mengatasi masalah konsolidasi lahan ini (serta
masalah-masalah lain yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan PPM).
Keberadaan pematang sawah tidak menjadi penghalang bagi operasional dan
mobilitas alsin. Traktor roda 4 (TR4) bisa digunakan pada lahan petani, karena
setiap petakan sawah tidak terlalu kecil, dan jika ada lahan sawah yang terlalu
10
sempit, bisa digunakan traktor roda 2 (TR2). Penggunaan TR4, Rice Transplanter
(RT) atau Combine Harvester (CH) juga tidak mengalami kendala dengan tetap
dipertahannya pematang sawah, karena ditemukan cara agar alsin bisa berpindah
melewati pematang: (1) pematang dibuat lebih datar pada bagian yang akan dilalui
alsin; atau (2) bagian dalam dan luar pematang diberi jerami sehingga bisa dilalui
alsin. Alsin seperti Combine Harvester (CH) juga bisa melewati selokan, setelah
sebelumnya selokan ditutup dengan jerami. Kreativitas petugas dan petani terus
bermunculan untuk mengatasi masalah operasional alsin di berbagai kondisi lahan
persawahan. Misalnya jika lahan terlalu lembek, lahan harus diairi agar CH bisa; jika
lahan dalam, maka TR2 diberi pelampung agar tidak tenggelam.
3.1.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan Mekanisasi
Pertanian
Analisis Manfaat Usahatani
Penggunaan alat dan mesin pertanian dalam suatu hamparan yang cukup luas
memberikan beberapa manfaat yaitu: penghematan waktu, pengurangan
penggunaan tenaga kerja, pengurangan biaya, peningkatan produktivitas dan
pengurangan kehilangan hasil. Dari segi waktu, penggunaan alsin menghemat waktu
cukup banyak, sehingga tanam bisa dilaksanakan tanam serempak, pekerjaan olah
tanah dan tanam selesai dalam 12 hari untuk 100 ha. Biasanya pekerjaan tersebut
selesai lebih dari sebulan. Olah tanah dengan menggunakan TR2 bisa selesai 24
jam (3 hari) dengan tenaga kerja 6 HOK, dengan TR4 selesai 14 jam dengan tenaga
kerja 1,5 HOK. Tenaga kerja pertanian (buruh tani) yang terbilang langka di lokasi
PPM, menyebabkan petani harus mendatangkannya dari kabupaten sekitarnya
seperti Bone. Masuknya alsin menjawab kelangkaan tenaga kerja di wilayah ini.
Selain penggunaan alsin, PPM dilaksanakan dengan menerapkan teknologi
usahatani padi sistem SRI, berupa : tanam bibit muda, 1-2 bibit/lubang, intermeten
dan hemat air (genangan maksimal 3 cm dari biasanya sampai setinggi tanggul),
pemupukan berimbang plus pupuk organik dan enam tepat, jajar legowo 2:1,
pengawalan ketat terhadap serangan OPT (antara lain : dosis dan aplikasi
penggunaan obat-obatan secara benar). Dibanding dengan pertanian konvensional
dengan teknologi yang biasa dipraktikkan petani, maka dalam pelaksanaan kegiatan
PPM terjadi peningkatan hasil dari 65-79 karung/ha @ 98-100 kg (6,37-7,9 ton/ha)
11
menjadi 80 karung/ha @ 115 kg (9,2 ton/ha), hasil ubinan bahkan menunjukkan
hasil tertinggi sampai 11 ton/ha. Keterangan resmi dalam laporan pelaksanaan PPM,
produksi meningkat dari 6,7 ton/ha menjadi 8,05 ton/ha.
Pada saat panen, kehilangan hasil berkisar antara 10-12% bahkan bisa
mencapai hingga 20%. Berdasarkan sumber dari petugas Dinas TPH Soppeng,
pengusaha jasa combine harvester dan petani penggunaan combine harvester bisa
menekan kehilangan panen hingga hanya tinggal 3%. Dengan melihat fakta ini
dapat dikatakan bahwa penggunaan combine harvester membantu mengurangi
kehilangan hasil pada saat panen dengan sangat nyata.
Manfaat lain dari pertanian modern adalah berkurangnya biaya usahatani dan
bertambahnya pendapatan petani. Seperti terlihat dalam Tabel 1 di bawah bahwa
keuntungan usahatani atas biaya total bisa meningkat hingga Rp 5.991.725 per ha
dengan mengaplikasikan mekanisasi pertanian dan cara budi daya padi yang
direkomendasikan.
Penambahan biaya pada PPM terjadi pada penambahan pupuk organik,
penggunaan PPC/POC, pembuatan persemaian serta panen dan perontokkan.
Sebaliknya penurunan biaya terjadi pada pekerjaan olah tanah (turun 17,14 persen)
sebagai keuntungan diimplementasikannya penggunaan traktor roda 4. Penurunan
biaya juga terjadi sebagai dampak digunakannya alsin transplanter yang disertai
dengan perubahan sistem persemaian, sehingga tahapan kegiatan
menggaru/meratakan tanah dan cabut dan angkut bibit tidak ada lagi. Biaya
pembelian pupuk anorganik juga turun sekitar 50% karena pada implementasi PPM
penggunaan pupuk anorganik dikurangi. Penggunaan sarana produksi turun sebesar
11,7%. Tenaga kerja secara keseluruhan menurun sebesar 14,39%.
Secara total biaya usahatani pada PPM lebih rendah dibandingkan dengan
total biaya usahatani petani diluar PPM, selisih biaya mencapai Rp 1.199.225 (turun
14,39 persen). Hal ini terjadi karena adanya efisiensi dalam penggunaan pupuk Urea
dan NPK, pengolahan tanah dan persemaian, serta pertanaman.
Penerapan teknologi secara keseluruhan terbukti mampu meningkatkan
produktivitas, dari 6,7 ton/ha menjadi 8,05 ton/ha. Pada tingkat harga yang sama,
penerimaan meningkat 20,15%.
12
Tabel 1. Analisis Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern (PPM) dan Konvensional di Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten
Soppeng, MH 2014/2015 (Rp/ha)
No. Uraian PPM (A) non-PPM (B) Perubahan
(A-B) %
A Biaya
I Sarana produksi
Benih (kg) 200.000 360.000 -44,44
Pupuk (kg) 0
- Urea 180.000 360.000 -50,00
- NPK 345.000 690.000 -50.00
- PPC/POC (liter) 60.000 0 100,00
- pupuk kandang 500.000 0 100,00
Obat-obatan 225.000 300.000 -25,00
Subtotal 1.510.000 1.710.000 -11,70
II Tenaga kerja 0
Olah tanah 1.450.000 1.750.000 -17,14
Menggaru/meratakan tanah 0 340.000 -100,00
Merapikan pematang 340.000 340.000 0
Persemaian 340.000 170.000 100,00
Cabut dan angkut bibit 0 510.000 -100,00
Tanam 575.000 900.000 -36,11
Pemupukan 85.000 170.000 -50,00
Penyiangan 340.000 340.000 0
Penyemprotan 170.000 170.000 0
Panen + perontokkan 2.857.750 2.502.500 14,20
Subtotal 6.157.750 7.192.500 -14,39
III Lainnya
- pajak lahan/musim 0 0 0
- pengairan (tadah hujan) 285.775 250.250 14,20
- sewa lahan/musim 3.000.000 3.000.000 0
Subtotal 3.285.775 3.250.250 1,09
Biaya tunai 7.443.525 8.812.750 -15,54
Biaya total 10.953.525 12.152.750 -9,87
B Penerimaan 28.577.500 23.785.000 20,15
C Keuntungan atas biaya tunai 21.133.975 14.972.250 41,15
Keuntungan atas biaya total 17.623.975 11.632.250 51,51
RCR atas biaya tunai 3,84 2,70 42,22
RCR atas biaya total 2,61 1,96 33,16
Sumber data : Hasil wawancara dengan petani di Kelurahan Appang, Kabupaten Soppeng, 2015
13
Analisis Manfaat Usaha Alsintan
Analisis Usaha Traktor Pada UPJA Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng.
Dalam pengolahan lahan, traktor tangan (traktor roda-2) sudah banyak
digunakan petani. Pada proyek PPM ini diperkenalkan TR-4 untuk mempercepat
kegiatan pengolahan lahan. Kemampuan traktor tangan/kecil (roda 2) ini hanya
dapat mengolah lahan sekitar 0,3 – 0,5 ha/hari. Sedangkan traktor besar bisa
mengolah tanah 2,5 ha per hari. Biasanya dalam pengolahan lahan selalu
mengkombinasikan traktor besar dan kecil. Pada saat pengolahan lahan awal
menggunakan traktor besar, dan untuk meratakannya menggunakan traktor kecil.
Kapasitas traktor tangan yang diusahakan pada UPJA Semangat Kelurahan
Appanang adalah 60 hari per tahun. Harga traktor tangan kecil yang digunakan
adalah Rp 20 juta dengan umur ekonomi 10 tahun, sehingga penyusutan dapat
diperhitungkan sebesar Rp 126.650 per tahun per ha. Harga sewa traktor yang Rp
berlaku di lokasi ini adalah Rp 1.200.000 per ha. Analisis finansial usaha traktor
tangan di lokasi kajian disajikan pada Tabel 2. Total biaya usaha jasa traktor tangan
adalah Rp 721.650, komponen biaya terbesar adalah biaya operator dan
penyusutan. Dari penerimaan sewa sebesar Rp 1.200.000 per ha maka keuntungan
yang diperoleh dari usaha penyewaan traktor tangan adalah Rp 478.350, dengan
R/C rasio sebesar 1,66. Kondisi ini dianggap cukup menguntungkan.
Tabel 2. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor tangan di UPJA Semangat Kelurahan
Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume
Harga (Rp.sat)
Nilai (Rp)
Pangsa (%)
1 Biaya:
1.1. BBM liter 10 7.000 70.000 9,70
1.2. Oli dan pelumas 75.000 10,39
1.3. Pemeliharaan dan perawatan 50.000 6,93
1.4. Penyusutan 126.650 17,55
1.5. Operator 400.000 55,43
1.6.Total 721.650 100,00
2 Pendapatan dari Sewa ha 1 1.200.000 1.200.000
3 Keuntungan 478.350
4 R/C rasio 1,66 Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Semangat, Kab.Soppeng, 2015
14
Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam mendukung pertanian
modern, kehadiran alat untuk pengolahan lahan sangatlah penting. Traktor telah
lama penggunaannya secara luas di masyarakat, sehingga usahanya cukup
menguntungkan. Namun traktor besar belum lama diperkenalkan, walaupun
demikian petani sangat menyukainya karena dapat bekerja lebih cepat. Kapasitas
kerja traktor roda–4 (TR4) di UPJA Semangat adalah 2,5 ha per hari, luas lahan 1
ha bisa dikerjakan dalam waktu 4 jam.
Saat ini TR-4 yang dikelola UPJA Semangat baru bisa bekerja sebanyak 48
hari per tahun. Dari struktur ongkos penyewaan TR-4 pada Tabel 3, total biaya
penyewaan TR-4 adalah Rp 839.000, komponen biaya terbesar adalah untuk
operator (47,68%) dan biaya penyusutan (25,48%). Dengan pendapatan dari sewa
sebesar Rp 1.200.000 per ha, diperoleh keuntungan Rp 361.000 per ha dengan R/C
rasio 1,43. Upaya meningkatkan kinerja usaha traktor yang dilakukan oleh UPJA
masih memungkinkan di wilayah UPJA tersebut atau di desa sekitar kecamatan
domisili UPJA tersebut. Membangun jaringan kerja merupakan upaya untuk
meningkatkan pengembangan UPJA, sehingga kapasitas alat dapat ditingkatkan.
Tabel 3. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor roda - 4 di UPJA Semangat Kelurahan
Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume
Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 12 7.000 84.00 10,01
1.2. Oli dan pelumas
70.000 8,34
1.3. Pemeliharaan dan perawatan Unit 71.250 8,49
1.4. Penyusutan - 213.750 25,48
1.5. Operator - 400.000 47,68
1.6.Total - 839.000 100,00
2 Pendapatan dari Sewa ha 1 1.200.000 1.200.000
3 Keuntungan - 361.000
4 R/C rasio 1,43
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Semangat, Kab.Soppeng, 2015
Transplanter merupakan alsintan yang masih relatif baru diperkenalkan di
Kelurahan Appanang, diusahakan untuk melayani penanaman padi pada lahan
petani. Transplanter belum diusahakan oleh UPJA di kelurahan Appanang, beberapa
15
petani yang menggunakan kebanyakan petani anggota Gapoktan/Keltan yang hanya
meminjam dan mengeluarkan biaya operasional seperti BBM dan operator.
Analisis Usaha Combine Harvester Pada UPJA Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng.
Pengusahaan combine harvester cukup baik di Kelurahan Appanang, karena
dianggap bisa mengatasi masalah panen. Kurangnya tenaga kerja akibat persaingan
dengan usaha perkebunan, dimana upah pada usaha perkebunan lebih besar
daripada upah usahatani padi, menyebabkan combine harvester sangat dibutuhkan.
Analisis finansial pengusahaan combine harvester di Kelurahan Appanang (Tabel 4),
diperoleh R/C rasio sebesar 2,30, berarti usaha tersebut cukup menguntungkan. Hal
ini didukung oleh pernyataan pengurus UPJA bahwa keuntungan UPJA terutama
diperoleh dari usaha penyewaan combine harvester. Komponen biaya terbesar
(64,72%) adalah upah operator, yang biasanya terdiri dari 5–6 orang sebesar Rp
720.000. Keuntungan yang diperoleh adalah Rp 1.443.000 per ha.
Tabel 4. Struktur Ongkos dan Sewa Combine Harvester di UPJA Semangat
Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/Ha)
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa (%)
1 Biaya:
1.1. BBM liter 10 7.000 70.000 6,29
1.2. Oli dan pelumas 12.500 1,12
1.3. Pemeliharaan dan perawatan 100.000 8,99
1.4. Penyusutan 210.000 18,88
1.5. Operator 720.000 64,72
1.6.Total 1.112.500 100,00
2 Pendapatan dari Sewa ha 1 2.556.000 2.556.000
3 Keuntungan 1.443.500
4 R/C rasio 2,30
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Semangat, Kabupaten Soppeng, 2015
Wilayah pengusahaan combine harvester saat ini masih terbatas di sekitar
Kelurahan Appanang. Kapasitas bisa diperluas dengan membangun jaringan kerja
dengan petani di wilayah lain yang waktu panennya sedikit berbeda dengan wilayah
Kelurahan Appanang. Kapasitas kerja combine harvester UPJA Semangat Kelurahan
Appanang baru mencapai 60 hari kerja per tahun untuk melayani hamparan sawah
16
di kelurahan Appanang. Dengan kecepatan kerja 5 jam per ha dalam sehari bisa
melayani 2 ha sehingga dalam 1 tahun bisa melayani kira-kira 120 ha. Biaya sewa
diperhitungkan dengan natura yaitu 1 karung gabah per 10 karung yang berhasil di
panen. Produksi gabah per hektar rata-rata 90 karung GKP dengan harga gabah Rp
3.550/kg. Setelah diperhitungkan dengan rupiah, pendapatan dari sewa adalah Rp
2.556.000 per ha. Harga combine harvester yang diusahakan UPJA Kelurahan
Appanang adalah Rp 280 juta, dengan umur ekonomis 10 tahun.
3.1.3. Kelembagaan Pengelolaan Alsintan pada Lahan Pengembangan
Menurut Pedoman Umum maupun Pedoman Teknis keberadaan UPJA menjadi
salah pertimbangan pemilihan lokasi contoh. UPJA adalah suatu lembaga ekonomi
pedesaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa dalam rangka optimalisasi
penggunaan alat dan mesin pertanian untuk mendapatkan keuntungan usaha, baik
di dalam maupun di luar kelompok tani/gapoktan. Lokasi terpilih, harus memiliki
UPJA dengan kelas UPJA Berkembang atau Professional, dan di Kelurahan Appanang
UPJA Semangat masuk kelas UPJA Berkembang.
UPJA Semangat didirikan tahun 1998. Struktur kepengurusan UPJA terdiri
dari Manajer, Sekretaris dan Bendahara, yang membawahi operator traktor (enam
orang), combine harvester (lima orang), dan rice transplanter (enam orang). Alsin
yang dikelola ada tujuh jenis seperti yang terlihat dalam Tabel 5.
Tabel 5. Alsin yang dimiliki UPJA Semangat saat ini (Agustus 2015)
Jenis Jumlah (unit) Sumber pengadaan
Traktor roda 2 4 Swadaya UPJA
Traktor roda 4 1 Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM
Transplanter 3 Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM, 2 unit; dan
APBD 1 unit
Power weeder 1 APBD
Combine harvester 1 Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM
Pompa air 3 Swadaya UPJA
Power thresser 2 Swadaya UPJA
Alat angkut (Viar) 2 Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM
Peralatan bengkel 1 set Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Semangat, Kab.Soppeng, 2015
Penggunaan alsin khususnya traktor roda 2 (hand tractor) sudah merupakan
hal yang biasa bagi petani setempat. Combine harvester sudah digunakan oleh
17
petani di sekitar lokasi percontohan karena kekurangan tenaga panen. Rice
transplanter merupakan hal baru namun itu pun sudah pernah dilihat di desa lain.
Hanya traktor roda 4 yang benar-benar baru bagi petani setempat. Awalnya petani
setempat ragu untuk menggunakannya, karena hasil bajakannya berupa bongkahan-
bongkahan besar. Namun setelah dipraktikkan, membajak dengan traktor roda 4
dan diikuti dengan roda 2 dan hasilnya berupa lahan yang siap tanam, maka petani
mulai tertarik untuk menggunakan traktor roda 4 (satu paket dengan TR2). Adopsi
penggunaan traktor roda 4 juga didukung oleh fakta bahwa pekerjaan mengolah
tanah bisa dilakukan secara lebih cepat dibandingkan dengan roda 2, dari biasanya 3
hari kerja/ha menjadi 4 jam/ha. Alsin yang belum dimiliki oleh UPJA adalah RMU.
Pengguna jasa UPJA adalah petani setempat yang tergabung dengan
beberapa kelompok dan semuanya berada di bawah Gapoktan Appanang. Aturan
main dalam penggunaan alat belum ditentukan, baik untuk petani anggota Gapoktan
Appanang maupun petani di luar Gapoktan Appanang. Menurut rencana, aturan
main mengenai penggunaan jasa alsin yang dikelola UPJA baru akan dibahas dalam
pertemuan UPJA musim berikutnya. Saat ini anggota Kelompok Tani/Gapoktan yang
ingin menggunakan alsin, terutama transplanter, cukup meminjam dari UPJA, kecuali
dalam penggunaan Combine Harvester (CH). Petani yang bersangkutan hanya
membiayai operasional alsin yang digunakannya berupa BBM dan upah operator
(jika menggunakan operator UPJA, namun ada juga petani yang mengoperasikannya
sendiri). Khusus untuk Combine Harvester, ongkos sewanya berupa natura, untuk
10 karung GKP yang berhasil dipanen upahnya 1 karung GKP.
Operator yang bekerja pada UPJA Semangat ada 17 orang, berdomisili di
desa setempat, pekerjaan utama adalah bertani (penggarap). Umumnya operator
belajar secara sendiri, mendapat bimbingan teori dari teknisi dan langsung praktik,
rata-rata dua hari sudah mampu mengoperasikan alat. Mengingat operator sekaligus
adalah petani, maka pekerjaan mengoperasikan alat dilakukan setelah pekerjaan di
lahannya sudah selesai.
Teknisi merupakan pelaku lain yang mendukung operasional UPJA. UPJA
Semangat belum secara khusus memiliki teknisi, hanya saja di desa ini terdapat
seorang teknisi Yanmar perwakilan Pare-pare, yang biasanya menjadi penghubung
jika ada kerusakan. Kontak dengan pihak Yanmar bisa dilakukan per telepon, dan
18
direspons dengan mengirimkan teknisi 2-3 hari kemudian. Hampir semua alsin yang
dikelola UPJA Semangat bermerk Yanmar, kecuali alat angkut.
Tabel 6. Aturan Main dalam Penggunaan Jasa Alsin yang Dikelola UPJA Semangat,
di Kabupaten Soppeng, 2015
Jenis alat Penggunaan rutin oleh petani Percontohan Pertanian
Modern
Traktor roda 2 - Jika yang digunakan hanya TR2, sewa Rp 1,2-1,3 juta/ha plus biaya
konsumsi operator 2 orang selama tiga hari (2 0rgx3 harixRp 75.000 (2 x mkn + rokok sebungkus) =Rp
450.000,-) - Jika digunakan satu paket dengan
TR4 (menghaluskan hasil bajakan TR4), aturan main seperti di bawah.
Ongkos termasuk dalam paket
TR 4
Traktor roda 4 TR4 biasanya digunakan satu paket
dg TR2, ongkos Rp 1,2-1,3 juta +
biaya konsumsi (3 orang x 1 x
makan + rokok sebungkus =
Rp150.000,-)
MH membajak dilakukan 2 kali: (1)
TR 4 =4 jam/ha; (2) TR 4 diikuti
TR2 =5 jam/ha
MK hanya TR4 3-4 jam/ha
(Solar 35 l x Rp 6700 sd Rp
7000) + ongkos operator Rp
400.000/ha + konsum si
operator TR4 1 orang, optr TR2
2 orang x Rp 50.000 (mkn 1
kali plus rokok) =Rp150.000
Rice transplanter Hanya pinjam, biaya oprasional per
ha : (5 l bensin x Rp 7500) +
(ongkos oprator Rp 100.000 +
konsumsi Rp 100.000/hari)
Idem : (5 l bensin x Rp 7500)
+ (ongkos oprator Rp 100.000
+ konsumsi Rp 100.000/hari)
Combine harvester Natura, 10 karung keluar 1, 1=
karung=98-100kg. Rata-rata 50-70
karung/ha. Karyawan (bagian
angkut karung, jahit karung, 7-8
orang/CH) dapat Rp5.000/karung,
operator Rp3000/karung, 5-6
ha/hari. Setiap total 3-4 bulan
kerja/tahun di dalam dan luar desa
8 keluar 1 , 1 karung = 115 kg
(lebih berat karena lebih
bernas). Karyawan
Rp5000/karung, 7-8 orang/CH,
operator Rp3000/ karung, 1
orang/CH)
Sumber : Hasil wawancara dengan petani, pengurus UPJA Semangat, dan pengurus Gapoktan Appanang, Kabupaten Soppeng, 2015
3.1.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Pascapanen dan Pemasaran
Sekitar 75 % petani di wilayah tersebut adalah penggarap. Kegiatan
pengelolaan usahatani seperti olah tanah, membuat persemaian, tanam,
19
pemeliharaan, pascapanen dan pemasaran dilakukan secara individu, baik petani
pemilik penggarap atau penggarap.
Penyediaan input dilakukan secara individu, khusus penyediaan pupuk
dilakukan melalui RDKK kelompok tani/gapoktan, karena berlaku sistem distribusi
pupuk tertutup. Dalam teknis pelaksanaan setiap tahap pekerjaan, petani
mengerjakan sendiri dan atau dibantu oleh tenaga buruh perorangan (mencangkul
merapikan galengan, memupuk, menyemprot) atau paket (olah tanah, tanam,
panen, angkut).
Pembuatan persemaian dilakukan di lokasi percontohan dan di Bosowa,
karena tidak tercukupi dan tak terkejar waktunya jika hanya dilakukan di lokasi.
Pembuatan persemaian di Bosowa sekaligus berfungsi sebagai pelatihan untuk
petani penangkar di Bosowa. Penangkar Bosowa bisa menyediakan (menjual) bibit
padi seharga rata-rata Rp 220.000/ha, varietas sesuai permintaan pembeli.
Introduksi inovasi dalam persemaian yaitu digunakannya tray untuk tempat
persemaian bukan lagi di atas lahan sawah, dan tanah yang menjadi media harus
diayak. Persamaian berlangsung lebih singkat karena penanaman menggunakan
bibit muda yaitu umur 12-20 hari (15-20 cm) dari biasanya 28-30 hari (25-30cm).
Kendala yang dijumpai pada tahapan ini adalah kekurangan tray. Selain menambah
tray dengan cara meminjam, ditemukan solusi kreatif untuk mengatasi masalah ini
yaitu dengan membuat persemaian di atas plastik (terpal) yang dibatasi dengan
kayu. Saat persemaian akan digunakan maka plastik yang berisi bibit yang sudah
tumbuh tinggal dipotong seukuran lebar tray (panjangnya tidak harus sama).
Penggunaan bibit muda awalnya membuat was-was petani, apalagi per
lubang hanya tanam 1-2 bibit, berbeda dari kebiasaan petani 4-5 bibit. Petani
khawatir bibit tidak bisa tumbuh dengan baik, dan hasilnya menjadi kurang
maksimal. Dalam kasus seperti ini aparat dan pendamping (tim teknis) harus
menyakinkan petani agar mau menerapkan inovasi ini.
Kekurangan tenaga kerja pertanian juga terjadi pada langkanya buruh tanam.
Kelompok tanam terbatas jumlahnya, harus antri. Petani, menggunakan jasa
kelompok penanam yang harus dihubungi paling tidak sebulan sebelum tanam. Jika
terlambat menghubungi kelompok tanam, bisa terlambat tanam dan bibit bisa terlalu
20
tua mencapai umur 29-30 hari. Introduksi alsin berupa rice transplanter merupakan
solusi terhadap masalah kurangnya tenaga buruh tanam.
Tabel 7. Pelaku dalam Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Pascapanen dan
Pemasaran Secara Konvensional dan Percontohan Pertanian Modern di Soppeng, 2015.
Tahapan pekerjaan Konvensional Percontohan Pertanian Modern
Pengelolaan usahatani
- Olah tanah Petani, menggunakan TR2
milik sendiri atau sewa
Dikoordinir oleh pelaksana
perconcohan, menggunakan TR4 dan TR2
- Persemaian Petani, dilakukan secara individu
Dikoordinir oleh petugas (DinasTPH Soppeng)
bekerjasama dengan Bosowa
- Tanam Petani, menggunakan jasa kelompok penanam
Dikoordinasikan oleh pelaksana percontohan, menggunakan rice transplanter, tanam bibit
muda umur 10-12 hari, selesai 12 hari untuk 100 ha
- Pemeliharaan Petani Petani, dibantu penanggung jawab kelompok kecil dan TNI
Penyediaan Input
- Benih Petani, secara individu Petani, melalui kelompok tani/gapoktan, bantuan terkait
pelaksanaan percontohan PPM (bansos)
- Pupuk Petani, melalui kelompok
tani/gapoktan, swadaya.
Sda
- Obat-obatan Petani, secara individu,
swadaya
Sda
- Alsin Petani secara individu, menggunakan alsin milik sendiri atau sewa jasa UPJA
atau swasta lainnya
UPJA, dengan alat milik UPJA dan bantuan dari Dit PSP. Kekurangan alsin dipenuhi
dengan cara meminjam dari berbagai pihak di sekitarnya,
dikoordinir oleh Dinas TPH Kabupaten Soppeng
Panen dan Pascapanen Petani secara individu, dibantu jasa kelompok
pemanen (kelompok Dros) untuk panen dan perontokkan, dan
pengarungan. Angkut dilakukan oleh kelompok
pengangkut.
Dikoodinir oleh pelaksana percontohan, menggunakan
combine harvester untuk panen, perontokkan, dan pengarungan. Angkut dilakukan
oleh kelompok pengangkut.
Pemasaran Petani menjual kepada pedagang. Pedagang adalah ketua gapoktan, harga di
atas harga pasar.
Petani menjual hasil kepada pedagang. Pedagang adalah ketua gapoktan, harga di atas
harga pasar. Sumber : Hasil wawancara dengan petani, pengurus UPJA dan pengurus Gapoktan
21
Dalam hal pemasaran hasil, tidak terjadi perubahan sebelum maupun
sesudah diterapkannya PPM. Petani menjual hasil dalam bentuk GKP kepada
pedagang, di lahan segera begitu selesai dikarungi, hanya disisakan 5-10 karung.
Pedagang adalah ketua gapoktan, harga di atas harga pasar.
Pelaku lain yang terlibat dalam pengelolaan usahatani adalah gapoktan.
Gapoktan Appanang memiliki peran dalam mengusulkan, menerima dan
mendistribusikan bansos Program Optimasi Lahan dalam bentuk sarana produksi.
Adapun sarana produksi yang diterima untuk kegiatan PPM seluas 100 ha terlihat
pada Tabel 8 di bawah.
Tabel 8. Jenis, Jumlah, dan Nilai Sarana Produksi untuk Kegiatan PPM Seluas 100
ha di Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015.
Jenis sarana produksi Jumlah
(kg)
Harga satuan
(Rp/kg)
Nilai
(Rp000)
Benih padi 2.500 8.000 20.000
Pupuk kompos/organik 100.000 600 50.000
Pupuk Urea 10.000 1.800 18.000
Pupuk NPK 15.000 2.300 34.500
PPC/POC 1.500 40.000 60.000
Pestisida 300 75.000 22.500
Total 205.000
Sumber data : hasil wawancara dengan pengurus Gapoktan Kel. Appanang, Kab. Soppeng, 2015
Dalam penggunaan sarana produksi, PPM mengintroduksi penggunaan sarana
produksi yang lebih sedikit dibandingkan kebiasaan petani setempat. Perbedaan
tersebut yaitu : (1) Benih : petani 40-45 kg/ha, PPM 25 kg/ha; (2) Pupuk Urea:
petani 200-250 kg/ha, PPM 100 kg/ha, pupuk NPK: petani 300-350 kg/ha, PPM 150
kg/ha; (3) pestisida: petani senilai minimal Rp300.000/ha, PPM senilai Rp 225.00/ha.
Namun pelaksanaan PPM juga mengintroduksi penggunaan pupuk organik dan
PPC/POC, yang tidak digunakan atau digunakan dalam jumlah sedikit oleh petani.
Khusus penggunaan pestisida ini, petani mendapatkan pelajaran dalam hal
aplikasi obat-obat. Biasanya petani menggunakan beberapa jenis obat-obatan yang
dicampur dan diaplikasikan secara bersamaan. Ternyata cara ini tidak benar karena
zat aktif yang terkandung di dalamnya bisa tidak dapat bekerja secara efektif.
Aplikasi yang benar adalah dengan menggunakannya satu demi satu, sesuai dengan
jenis dan tingkatan serangan OPT yang terjadi.
22
Dalam kaitannya dengan UPJA, gapoktan memprioritaskan penggunaan UPJA
setempat dalam penggunaan jasa alsin untuk kegiatan usahatani. Sebagai pengguna
jasa alsin yang dikelola oleh UPJA Semangat, Gapoktan Appanang juga dilibatkan
dalam pembahasan aturan main penggunaan alsin.
Pelaku lain dalam kegiatan PPM adalah aparat dinas, tim teknis, dan
penyuluh. Tantangan yang diemban oleh pelaku ini agar introduksi inovasi dapat
diterima dan diadopsi oleh petani adalah mengubah perilaku (pengetahuan, sikap
dan tindakan). Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan
PPM terdapat beberapa inovasi yang berbeda dengan kebiasaan petani, sehingga
petani perlu diyakinkan agar mau mengadopsi inovasi tersebut. Dalam hal
memobilisasi massa, TNI berperan di dalamnya.
Pedagang hasil bumi, merupakan pelaku yang berperan dalam pembelian
gabah milik petani. Pedagang pembelian gabah petani adalah ketua gapoktan
sendiri, yang dalam hal ini bertindak sebagai pribadi bukan atas nama gapoktan.
Petani setempat biasanya menjual hasil panennya segera begitu selesai panen, dan
hanya menyisakan 5-10 karung untuk persediaan konsumsi. Pedagang ini menjalin
kerjasama dengan beberapa pengusaha penggilingan. Harga yang ditawarkan oleh
pedagang ini untuk petani setempat sedikit di atas harga pasar, dan diharapkan
selisih harga tersebut dapat dialokasikan untuk kas gapoktan, namun hal tersebut
masih dalam taraf wacana belum dibahas dalam gapoktan.
3.2. Kasus Proyek Pengembangan Pertanian Modern di Kabupaten
Sukoharjo, Jawa tengah
3.2.1 Gambaran Umum Sistem Konsolidasi Lahan
Secara umum, kepemilikan lahan yang sempit dan terpencar merupakan
kendala umum bagi usaha tani tanaman pangan di Indonesia. Kualitas lahan dan
lingkungan yang semakin terdegradasi tentunya akan berimplikasi pada rendahnya
efisiensi usaha tani. Kendala lain adalah minimnya ketersediaan modal untuk
mengelola usaha tani dan kurangnya pengetahuan petani dengan teknologi
pertanian. Program pemerintah yang digunakan sebagai stimulus penyediaan
saprodi berupa kredit pun sering bermasalah. Program kelompok corporate farming
23
yang terbingkai dalam program pertanian modern misalnya, belum secara optimal
diharapkan mampu mengatasi permasalahan tersebut.
Secara harfiah definisi konsolidasi adalah menyatukan seluruh sumber daya,
peluang dan kekuatan untuk memenangkan persaingan jangka panjang.
Memenangkan persaingan berarti menjadi yang terbaik dalam melayani kebutuhan
konsumen/klien saat ini dan pada masa datang. Konsolidasi dilakukan dengan
mengevaluasi kondisi usaha saat ini, diteruskan dengan pengembangan strategi
usaha jangka panjang. Strategi tersebut dibuat lebih terperinci dalam bentuk
perencanaan dengan sasaran bergerak ke jangka menengah dan panjang yang
meliputi pengembangan sistem manajemen agar perencanaan dan implementasi
bisa sejalan, memberikan perioritas pada pengembangan yang dilakukan secara
terus menerus, pengembangan pasar dilakukan sistimatis dan efisiensi menjadi
acuan prestasi.
Konsolidasi aplikasinya dalam bidang pertanian, seorang penyuluh dapat
memberikan konsep mengenai konsolidasi lahan petani yang rata-rata kecil. Dengan
luas lahan petani yang kecil ini maka jika di hitung untung dan ruginya maka dari
usahataninya hasilnya petani akan rugi karena biaya operasional yang di keluarkan
untuk saprotan relatif besar. Oleh karena itu, untuk efisiensi biaya operasional maka
perlu ada upaya konsolidasi lahan. Kepemilikan tanah petani yang kecil tersebut
setelah dikonsolidasi maka akan terbentuk lahan yang luas, petani harus bersatu dan
menjalankan usaha bersama untuk mencapai tujuan bersama. Model konsolidasi
tampaknya mumpuni untuk dijadikan sebagai alternatif strategi pemberdayaan
petani, namun dalam implementasinya patut berhati-hati dengan perencanaan yang
matang.
Konsolidasi lahan yang diprogramkan juga seyogyanya bersinergi dengan
penerapan mekanisasi pertanian, sehingga bingkai pengembangan pertanian
modern dapat tercapai. Penerapan pertanian modern yang menitikberatkan kepada
penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan) atau mekanisasi diharapkan
menjadi solusi tepat dapat diterapkan. Selain itu, dengan konsep pertanian modern
dapat menjadi momentum menarik minat pemuda mengingat tenaga kerja terutama
pada kalangan generasi muda di sektor pertanian semakin minim. Tenaga kerja di
bidang pertanian, kini didominasi orangtua yang berusia lebih dari 50 tahun. Alasan
24
utama regenerasi tak berjalan, karena menjadi petani bukanlah pekerjaan impian
kalangan muda. Apalagi ada kesan kotor dan bau lumpur. Jadi tidak heran,
pekerjaan petani makin ditinggalkan.
Peluang pengembangan mekanisasi pertanian, bukan sebatas kondisi tenaga
kerja di bidang pertanian yang makin berkurang, tapi ada faktor lainnya. Alsintan
memiliki keunggulan secara teknis maupun ekonomis. Selain itu, kemampuan
industri dalam negeri memproduksi alsintan yang bermutu juga semakin
berkembang, adanya dukungan pemerintah dalam pengembangan alsintan, dan
tersedianya perangkat peraturan perundang-undangan dalam pengembangan
alsintan. Sementara itu, prasyarat pengembangan mekanisasi pertanian adalah
mencakup: pendataan penyebaran alsintan secara akurat, adanya fasilitas
penyediaan alsintan, konsolidasi lahan pertanian, dan kemudahan akses perbankan.
Selain itu, dukungan kebijakan industri alsintan, perdagangan alsintan, dan
dukungan terhadap pengawasan, peredaran, serta penyuluhan alsintan. Umumnya
untuk fasilitas penyediaan alsintan ini dapat melalui bantuan dari pemerintah
pusat/daerah, dan optimalisasi kinerja UPJA.
Penerapan PPM di Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari merupakan proyek
percontohan pertanian yang diintegrasikan dengan program mekanisasi yang
bersifat penuh (traktor, transplanter, dan harvester). Namun dalam pelaksanaannya
baru terintegrasi dalam hal praktek pengolahan tanah dan tanam serta sebagian ada
konsolidasi lahan dengan meniadakan galengan sawah. Terkait dengan pertanian
modern tersebut, petani pernah melakukan pengecilan galengan sawah, dalam hal
ini galengan sawah masih diperlukan agar saat pengairan satu petakan sawah dapat
optimum pengenangannya. Pola pelepasan/pengecilan galengan sawah per-3 ha,
pada beberapa petani pemilik lahan, sekitar 1-2 orang yang mengelola usahatani
tersebut dan petani lainnya secara konsep akan diberikan mata pencaharian lainnya
nonusahatani, dan masalah kesiapan infrastruktur irigasi dan terkait konsolidasi
lahan perlu dipersiapkan baik oleh pihak PU dan BPN (Badan Pertanahan Nasional).
Adapun dalam hal pola pengelolaan secara corporate dalam konsep konsolidasi,
dimana beberapa petani akan diberikan mata pencaharian nonusahatani dalam
prakteknya sangat sulit karena kebiasaan petani dan juga keterampilan yang dimiliki
petani. Selain itu, permodalan juga masih menjadi kendala untuk pelaksanaannya.
25
Permasalahan sosial lainnya tentu akan muncul ketika pengelolaan lahan dengan
meniadakan galengan, sementara masalah admistrasi lahan secara baik belum
dipersiapkan oleh BPN untuk keperluan tersebut dan juga dukungan infrastruktur
irigasi yang belum sepenuhnya memadai untuk kegiatan usahatani untuk konsolidasi
lahan.
Sementara itu, untuk pemeliharaan, panen dan penjualan hasil masih dilakukan
oleh masing-masing petani. Luas program pertanian modern di Sukoharjo seluas 100
ha, ditambah dengan swadaya seluas 70 ha. Fasilitas yang digunakan meliputi 2 unit
traktor roda 4, 1 unit traktor roda 2, 2 unit combine harvester, 3 unit rice
transplanter dan 2 unit UPPO. Permasalahan yang dihadapi pada saat ini terkait
implementasi program pertanian modern tersebut adalah: (1) Masih terdapat
kekurangan beberapa alsintan seperti: traktor, transplanter dan combine harvester,
(2) Terdapatnya kekurangan dafog/tray dari unit transplanter, dimana kebutuhan
per ha sekitar 200-250 tray, dan harga tray cukup mahal sebesar Rp 35.000/unit
dan jumlah tray yang dimiliki masih terbatas, (3) Masih terbatasnya sarana
pendukung seperti gudang alsintan dan perbengkelan, (4) keterbatasan RMU yang
ada didesa percontohan, dan (5) Terbatasnya sarana untuk menyimpan gabah yang
dihasilkan, sehingga dibutuhkan gudang penyimpanan gabah hasil panen. Jika
permasalahan tersebut kurang mendapat penangan secara baik, maka idealitas dan
harapan penerapan konsep pertanian modern tidak akan berjalan baik.
3.2.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan Mekanisasi Pertanian
Analisis Manfaat Usahatani
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa yang dimaksud Pertanian
Modern di Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo adalah
belum full mechanized pada semua tahapan mulai dari pengolahan lahan sampai
dengan panen, akan tetapi baru terbatas pada pengolahan lahan, tanam dan panen.
Selain itu, penggunaan mesin panen (combine harvester) juga tidak dapat
dilaksanakan pada musim MH atau MT1. Oleh karena itu, membandingkan manfaat
adanya program Pertanian Modern dilakukan pada MT2 atau MK1 supaya informasi
26
penggunaan combine harvester dapat tertangkap. Perbandingan usahatani padi
pada MT2 antara pertanian Modern dan Konvensional disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Usahatani Padi Sawah Pertanian Modern dan Konvensional di Desa
Delanggu, Kecamatan Tawangsari, Kab. Sukoharjo MT II 2015 (Rp/ha)
No Uraian PPM (A) non-PPM (B) Perubahan
(A-B) %
1 Faktor Produksi :
a. Benih - 405.000 -100,00
b. Pupuk an organik 1.325.000 1.325.000 0
c. Pupuk organik 62.000 62.000 0
d. Pestisida 1.150.000 937.500 22,67
2 Tenaga Kerja :
a. Traktor 1.000.000 1.000.000 0
b. Transplanter 3.000.000 -
c. Combine Harvester 2.000.000 -
d. Tanam - 2.000.000 -100,00
e. Penyiangan - 960.000 -100,00
f. Pemupukan 1.200.000 1.200.000 0
g. Panen - 5.300.000 -100,00
3 Biaya Lain :
a. Sewa lahan 3.800.000 3.800.000 0
b. PBB 240.000 240.000 0
3 Total Biaya 13.777.000 17.229.500 -20,04
4 Nilai Produksi 48.750.000 42.500.000 14,71
5 Keutungan 34.973.000 25.270.500 38,39
6 R/C Rasio 3,54 2,47 43,32
Sumber data : Hasil wawancara dengan kelompok UPJA desa Dalangan, Kab. Sukoharjo, 2015
Sebelumnya akan dijelaskan bahwa terdapat beberapa perbedaan komponen
biaya usahatani antara pertanian modern dan nonmodern yang menyebabkan
perbedaan efisiensi biaya dan pendapatan. Perbedaan tersebut di antaranya adalah :
(a) pada usahatani pertanian modern, petani tidak lagi melakukan menyemai dan
mengadakan benih sendiri, tetapi komponen biaya benih sudah masuk kedalam
biaya transplanter, sementara pada pertanian nonmodern masih menggunakan
benih dan membuat perbenihan sendiri, (b) pada pertanian modern menggunakan
herbisida untuk memberantas rumput, sedangkan pada nonmodern masih
menggunakan tenaga kerja penyiangan, (c) pada pertanian modern menggunakan
tranplanter untuk kegiatan tanam, sedangkan pada nonmodern menggunakan
27
tenaga manusia/upahan pada kegiatan tanamnya, dan (d) pada usahatani modern
menggunakan alat combine harvester dalam kegiatan memanen, sehingga petani
memperoleh harga yang lebih baik dan kualitas gabah yang bagus serta
penyusutannya kecil, sedangkan pada nonmodern tidak (sebagian ditebaskan) dan
menggunakan tenaga manusia dengan upah bawon.
Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan bahwa usahatani padi pada
pertanian modern dengan menggunakan alat mekanisasi pertanian lebih efisien dan
lebih menguntungkan, dengan indikasi sebagai berikut (per musim tanam): (a) total
biaya produksi pada pertanian modern lebih rendah yakni Rp13,7 juta/ha, sementara
pada pertanian nonmodern mencapai Rp17,2 juta/ha, (b) nilai produksi pada
pertanian modern mencapai Rp 48,75 juta/ha, sedangkan pada non modern hanya
Rp42,50 juta/ha, dan (c) tingkat keuntungan pada pertanian modern lebih tinggi
(Rp34,97 juta/hektar) dibanding dengan nonmodern (Rp 25,3 juta/hektar).
Faktor-faktor yang menyebabkan efisiensi biaya; (a) sebagaimana telah
diungkapkan bahwa pada pertanian modern petani tidak menangani pengadaan
benih dan perbenihan, biaya sudah termasuk di dalam biaya sewa Transplanter
yaitu sebesar Rp3 juta/hektar, sementara pada pertanian konvensional selain harus
mengeluarkan biaya benih sebesar Rp405 ribu juga petani harus mengeluarkan
biaya tanam sebesar Rp2 juta/hektar, (b) biaya penyiangan lebih efisien dari pada
menggunakan biaya tenaga kerja penyiangan, (c) penggunaan combine harvester
disamping lebih cepat juga lebih murah dibandingkan nilai bawon. Sistem bawon
menggunakan bayaran dalam bentuk natura dengan perbandingan 8 : 2, dan jika
dihitung maka biaya bawon dapat mencapai Rp5,3 juta per hektar.
Di samping terjadi efisiensi dalam penggunaan biaya produksi, juga pada
pertanian modern jumlah produksi dan kualitas produksi lebih baik. Kenaikan
kuantitas produksi lebih disebabkan karena kehilangan panen menjadi rendah
sehingga produksi meningkat, sedangkan kualitas panen karena menggunakan
combine harvester gabah langsung di-blower sehingga kebernasan gabah menjadi
lebih bagus, konsekuensi lebih jauh harga gabah dari pertanian modern dihargai
oleh pembeli lebih tinggi Rp300-500 per kg.
28
Analisis Manfaat Usaha Alsintan
Analisis Usaha Traktor Pada Kelompok UPJA Desa Dalangan Kecamatan Tawangsari- Sukoharjo UPJA Desa Dalangan memiliki 2 unit traktor besar dan 3 unit traktor kecil yang
diusahakan untuk melayani pengolahan lahan petani di desa Dalangan. Untuk
mengolahan lahan 1 traktor besar dapat mengolah lahan sekitar 3 ha/hari, dan
untuk traktor kecil dapat mengolah lahan sekitar 1,5 ha/hari. Biasanya dalam
pengolahan lahan selalu mengkombinasikan traktor besar dan kecil. Pada saat
pengolahan lahan awal menggunakan traktor besar, dan untuk meratakannya
menggunakan traktor kecil. Untuk mengetahui kelayakan usaha traktor ini, maka
berikut disajikan analisis finansial usaha traktor besar. Sesuai dengan data dan
spesifikasi traktor yang dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Keputusan
Peraturan Desa sesuai rapat UPJA tentang penetapan wilayah kerja traktor yaitu
seluas 60 hektar sawah layanan per unit traktor per musim tanam, (b) harga traktor
tangan adalah Rp 285 juta/unit, (c) umur ekonomis traktor adalah 10 tahun dan
masa olah tanah adalah 3 kali per tahun yaitu selama 20 hari selama 3 kali musim
tanam, (d) Nilai sisa traktor setelah 10 tahun adalah Rp 57 juta (20%) dan (e)
harga sewa traktor sebesar Rp 1 juta/ha. Pada Tabel 10 disajikan analisis finansial
usaha traktor tangan di lokasi kajian.
Tabel 10. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor Tangan di UPJA Desa Dalangan
Kec. Tawangsari, Kab. Sukoharjo, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume Harga/satuan (Rp)
Nilai (Rp)
Pangsa (%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 10 70.000 112.500 11,32
1.2. Oli:
a. Mesin Liter 0,5 40.000 20.000 3,23
b. Gemuk/stempet Kg 2.000 0,32
1.3. Spare part & service
Unit 27.778 4,49
1.4. Penyusutan - 126.667 20,48
1.5. Operator - 372.000 60,15
1.7.Total - 618.445 61,84
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 1.000.000 1.000.000
3 Keuntungan - 381.555 38,16
4 R/C rasio 1,62
Sumber data : Hasil wawancara dengan Ketua UPJA Desa Dalangan Kab. Sukoharjo, 2015
29
Nilai sewa traktor sebesar Rp 1 juta/ha, dan total biaya usaha jasa traktor
senilai Rp 618.445/ha atau sebesar 61,84% terhadap penerimaan, dan keuntungan
usaha traktor sebesar Rp 381.555 ribu/ha atau sekitar 38,16% dari penerimaan
serta perolehan R/C rasio sebesar 1,62. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor
adalah untuk operator mencapai 60,15% dari total penerimaan dan urutan kedua
dan ketiga adalah penyusutan sebesar 20,48% dan biaya BBM sebesar 11,32%.
Berdasarkan informasi dari kelompok UPJA, bahwa luas lahan layanan yang
saat ini sudah cukup ideal, karena pengembalian investasi traktor dapat mencapai
maksimal sesuai dengan jangka usia ekonomisnya. Idealnya untuk pengembalian
yang lebih cepat yaitu lima tahun maka luas layanan pengolahan lahan minimal
harus sekitar 25 hektar per musim tanam dengan asumsi semua faktor input (BBM,
Oli dan Spare part adalah konstan). Di lokasi kajian, setelah usia traktor 10 tahun,
jika traktor dijual maka harganya masih cukup tinggi sekitar 20% dari harga
pembelian awal. Mesin traktor bekas dapat diperbaiki lagi atau mesinnya dapat
digunakan untuk kepentingan lainnya.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam mendukung pertanian modern,
kehadiran alat untuk pengolahan lahan sangatlah penting. Traktor telah lama
penggunaannya secara luas oleh masyarakat, sehingga dalam perkembangannya
rasio pengelolaan traktor dengan luas lahan yang ada untuk diolahnya di lokasi
kajian saat ini masih ideal. Upaya meningkatkan kinerja usaha traktor yang
dilakukan oleh UPJA tentu masih dapat dilakukan di wilayah UPJA atau di desa
sekitar kecamatan domisili UPJA tersebut.
Analisis Usaha Transplanter pada kelompok UPJA Desa Dalangan Kecamatan Tawangsari-Sukoharjo
UPJA Desa Dalangan memiliki tiga unit rice transplanter yang diusahakan untuk
melayani penanaman padi pada lahan petani di Desa Dalangan. Data dan spesifikasi
transplanter kelompok UPJA sebagai berikut: (a) situasi dan kondisi ketebalan
lumpur yang ada di sawah desa Dalangan, sehingga luas layanan yaitu 20 hektar
sawah layanan per musim per unit transplanter, (b) harga transplanter adalah Rp 75
juta, (c) umur ekonomis transpalnter adalah 10 tahun dan masa tanam adalah 3
kali per tahun, yaitu periode waktu tanamnya 10 hari efektif/musim dan terdapat 3
kali musim tanam, (d) Nilai sisa transplanter setelah 10 tahun adalah 10% (Rp 7,5
30
juta) dan (e) harga sewa transplanter sebesar Rp 3 juta/ha (termasuk benih
ditanggung pengelola tranplanter). Berikut pada Tabel 11 disajikan analisis finansial
usaha transplanter di lokasi kajian.
Tabel 11. Struktur Ongkos dan Sewa Transplanter di UPJA Desa Dalangan, Kec.
Tawangsari, Kab. Sukoharjo, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat)
Nilai (Rp) Pangsa
(%)
1 Biaya penyediaan Benih :
1.1. Benih Padi Kg 45 10.000 450.000 15,00
1.2. Tenaga pembenihan HOK 1 50.000 50.000 1,67
2 Biaya: 0,00
2.1. BBM Liter 10 7.000 70.000 2,33
2.2. Oli: 0 0,00
a. Mesin Liter 0,16 40.000 6.400 0,21
b. Gemuk/stempet Kg 0,05
30.000 2,493 0,00
2.3. Spare part & service Unit 6667 6.667 0,22
2.4. Penyusutan - 170833 170.833 5,69
2.5. Operator - 972.000 32,40
2.7.Total - 1.725.902 57,53
3 Pendapatan dari Sewa Ha 1 3.000.000 3.000.000 100,00
4 Keuntungan - 1.274.098 42,47
5 R/C rasio 1,74
Sumber data : hasil wawancara dengan Ketua UPJA desa Dalangan kab. Sukoharjo, 2015
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa transplanter
Rp 3 juta/ha, total biaya usaha jasa transplanter senilai Rp 1,72 juta/ha atau
sebesar 57,53% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp
1,27 juta/ha atau sekitar 42,47% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar
1,74. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah biaya operator mencapai
32,40% dari total penerimaan dan biaya pengadaan benih mencapai 15,00%,
sedangkan biaya penyusutan adalah urutan ketiga yaitu sebesar 5,69%.
Menurut informasi dari kelompok UPJA, sebenarnya luas lahan layanan sekitar
20 ha/musim tanam yang dinilai memadai, karena pengembalian investasi
transplanter dapat mencapai maksimal sesuai dengan jangka usia ekonomisnya.
Idealnya untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu 5 tahun, luasan areal yang
31
dilayani transplanter minimal mencapai BEP adalah sekitar 19 ha/musim tanam.
Namun dalam pengembangan tranplanter di Sukoharjo masih terdapat kendala yang
dihadapi antara lain: (a) jenis dan kondisi lahan yang memungkinkan digunakan
transplanter pada MH dan MK, (2) retensi tenaga kerja manual tanam masih cukup
tinggi, karena mereka mengharapkan keikutsertaan dalam panen. Upaya untuk
memperpendek pengembalian investasi, maka UPJA telah mengembangkan wilayah
layanan ke luar desa dari lokasi UPJA tersebut berada.
Secara umum pada penggunaan alat transplanter dalam rangka mendukung
pertanian dapat dikemukakan bahwa kehadiran alat untuk penanaman sangatlah
penting. Namun, jumlah alat trasplanter masih terbatas jumlahnya, sehingga rasio
luas lahan untuk diolahnya terhadap jumlah alat transplanter di lokasi kajian masih
berpeluang untuk ditingkatkan jumlah alatnya.
Analisis Usaha Combine Harvester pada kelompok UPJA Desa Dalangan Kecamatan Tawangsari-Sukoharjo
UPJA Desa Dalangan memiliki 1 unit Combine Harvester ukuran besar (merek
Crown)dan 2 unit miniCombine Harvester (ukuran kecil merek Quick)yang
diusahakan untuk melayani pengolahan lahan petani di desa Dalangan. Untuk
mengetahui kelayakan usaha ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha
power thresher. Sesuai dengan data dan spesifikasi Combine Harvester ukuran besar
yang dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Sesuai rapat kelompok UPJA tentang
wilayah yang memungkin kondisi lahannya dapat dilayani dalam panennya oleh
Combine Harvester adalah bisa seluas 60 hektar sawah layanan per unit Combine
Harvester per musim, (b) harga Combine Harvester ukuran besaradalah sekitar Rp
400 juta/unit, (c) umur ekonomis Combine Harvester adalah sekitar 10 tahun dan
masa panen adalah 3 kali per tahun dimana periode kerja Combine Harvester dalam
satu kali musim panen sekitar 30 hari, (d) Nilai sisa Combine Harvester setelah 10
tahun adalah Rp 40 juta (10%) dan (e) harga sewa Combine Harvester sebesar Rp 2
juta/ha. Pada Tabel 12 disajikan analisis finansial usaha Combine Harvester di lokasi
kajian.
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa Combine
Harvester Rp 2 juta/ha, total biaya usaha jasa Combine Harvestersenilai Rp 1,21
juta/ha atau sebesar 60,40% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha Combine
32
Harvester sebesar Rp 791,93 ribu/ha atau sekitar 39,60% dari penerimaan
sertaperolehan R/C rasio sebesar 1,66. Komponen terbesar dari biaya usaha
Combine Harvester adalah biaya operator mencapai 38,60% dari total penerimaan,
urutan biaya selanjutnya adalah biaya penyusutan sekitar 10,00% dan biayaspare
part sekitar 7,20%.
Pada kegiatan usaha jasa Combine Harvester ini (UPJA), setiap petani yang
menggunakan jasa panen alsintan Combine Harvester harus membayar
(mengeluarkan) dengan uang tunai Rp 2 juta/ha.Dari hasil tersebut setelah
dikurangi biaya BBM, maka sekitar 40% dialokasikan untuk operator dan yang
membantu operasional Combine Harvester dan sisanya 60% untuk bagian UPJA
tersebut.
Tabel 12. Struktur Ongkos dan Sewa Combine Harvester di UPJA Desa Dalangan, Kec. Tawangsari, Kab. Sukoharjo, 2015
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa (%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 10,00 7.000 70.000 3,50
1.2. Oli:
a. Mesin Liter 0,25 60.000 15.000 0,75
b. Hidraulik Liter 0,03 60.000 2.000
c. Gemuk/stempet Kg 0,02 30000 5.000 0,25
1.3. Spare part & service Unit 144.074 7,20
1.4. Penyusutan - 200.000 10,00
1.5. Operator - 772.000 38,60
1.7.Total - 1.208.074 60,40
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 2.000.000 2.000.000 100,00
3 Keuntungan - 791.926 39,60
4 R/C rasio 1,66
Sumber data : Hasil wawancara dengan Ketua UPJA desa Dalangan kab. Sukoharjo, 2015
Menurut informasi dari kelompok UPJA, bahwa rataan luas lahan layanan
Combine Harvester dapat mencapai 60 ha dalam per musim panennya, dan per
tahun dapat mencapai antara 150-180 ha. Idealnya combine harvester tercapai
kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan panen rata-rata sekitar 35
ha/tahun. Dengan demikian penggunaan mesin panen combine harvester di
Sukoharjo pada umumnya masih berpeluang untuk ditingkatkan lagi, atau
33
penambahan mesim combine harvester masih memungkinkan di kalangan UPJA
yang ada atau melalui penumbuhan UPJA baru.
3.2.3. Kelembagaan Pengembangan Alsintan Pada Lahan Pengembangan
Perkembangan Pertanian dan Dukungan Mekanisasi
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Sukoharjo
(2015), diketahui bahwa selama kurun waktu 2011-2014 luas panen padi sawah
mengalami peningkatan pesat sebesar 8,17 %/tahun, yaitu dari 35,08 ribu ha pada
tahun 2011 menjadi 49,03 ribu ha pada tahun 2014. Akibat peningkatan luas panen
tersebut, produksinya meningkat sebesar 12,19 %/tahun, yaitu dari 185,65 ribu ton
pada tahun 2011 menjadi 327,18 ribu ton pada tahun 2013 dan sedikit menurun
menjadi 310,75 ribu ton pada tahun 2014. Sementara produktivitasnya selama kurun
waktu tersebut mengalami peningkatan sebesar 5,31 %/tahun, yaitu dari 5,29
ton/ha pada tahun 2011 dan menjadi 6,34 ton/ha pada tahun 2014. Oleh karena itu,
selama kurun waktu 2011-2014 peningkatan produksi padi sawah di Sukoharjo lebih
dominan terdorong karena peningkatan luas panennya, hal ini sebagai mana terlihat
tren peningkatan luas panen yang lebih tinggi dibandingkan dengan tren
peningkatan produktivitasnya (Tabel 13).
Tabel 13. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di
Kabupaten Sukoharjo, 2011-2014
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/ha)
2011 35.082 185.653 5,29
2012 52.041 346.039 6,65
2013 47.783 327.182 6,85
2014 49.028 310.753 6,34
r (%/tahun) 8,17 12,19 5,31
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Sukoharjo (2015).
Bila ditelusuri atas luas baku lahan sawah berdasarkan irigasinya, maka
diperoleh informasi bahwa dari total baku sawah 20.814 ha sebagian besarnya
(70,87%) merupakan lahan sawah irigasi teknis yang dapat ditanami padi 2-3 kali
dalam setahun. Sementara lahan sawah yang berpengairan irigasi ½ teknis seluas
2.161 ha (10,38%) dan beririgasi sederhana seluas 1.895 ha (9,10%) (Tabel 14),
dimana kedua jenis lahan yang berpengairan irigasi ½ teknis dan sederhana
34
umumnya telah dapat ditanami padi dua kali, dan pada musim ketiga ditanami
sayuran atau palawija. Selanjutnya untuk lahan tadah hujan luasnya mencapai 2.007
ha (2,64%), pada saat musim hujan umumnya ditanami padi, selanjutnya jika air
hujan masih memadai maka petani masih bisa menanam padi lagi dan jika tidak
memadai maka petani akan menanam sayuran atau palawija dimusim keduanya.
Tabel 14. Luas Baku Lahan Sawah Berdasarkan Kondisi Irigasinya untuk Pertanaman
Padi di Kabupaten Sukoharjo, 2014.
Uraian Luas (Ha) Persen (%)
1. Teknis 14.751 70,87
2. ½ Teknis 2.161 10,38
3. Sederhana 1.895 9,10
4. Tadah Hujan 2.007 9,64
Total 20.814 100,00 Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Sukoharjo (2015).
Perkembangan mekanisasi pertanian di Kabupaten Sukoharjo cukup pesat,
salah satunya ditandai oleh semakin berkembangnya penggunaan alat mesin
pertanian antara lain untuk pengolahan lahan, tanam dan panen hasil pertanian.
Berdasarkan data hingga posisi tahun 2014, jumlah traktor yang ada mencapai
1.306 unit yang tersebar di 12 kecamatan. Traktor tersebut mencakup roda 2 dan
roda 4, namun sebagian besar traktor tersebut adalah traktor roda 2 yang lebih
fleksibel dalam penggunaannya terutama pada lahan sawah dengan tofografi yang
berteras. Aktivitas tanam pun di Sukoharjo saat ini telah mulai menggunakan alat
transplanter yang jumlahnya masih terbatas yaitu sekitar 5 unit khususnya yang
terdapat pada UPJA. Karena itu, penggunaan alat tanam dengan caplak dan manual
nantinya akan semakin menurun.
Selanjutnya untuk peralatan panen padi sawah saat ini dilakukan dengan
menggunakan power thresher dan mini combine harvester. Penggunaan power
thresher pada panen padi sawah di Kabupaten Sukoharjo masih tinggi, dengan
jumlah tahun 2014 hingga mencapai 1.639 unit (Tabel 15). Adapun combine
harvester di Sukoharjo hingga tahun 2014 belum tercatat, dan pada akhir tahun
2014 combine harvester yang bersumber dari bantuan pemerintah mulai ada di
Sukoharjo. Jumlah combine harvester hingga awal 2015 berjumlah 4 unit, yaitu 2
unit ukuran besar (terdapat di UPJA Bagyo Mulyo di Desa Dalangan-Tawangsari dan
di UPJA Ngupoyo Makmur di Desa Dukuh-Mojolaban) dan 2 unit ukuran kecil yang
35
terdapat di UPJA Bagyo Mulyo. Masih terbatasnya penggunaan combine harvester di
Kabupaten Sukoharjo antara lain disebabkan kondisi lahan yang ada, dan harga
combine harvester pun cukup mahal sekitar Rp 400 juta/unit untuk ukuran besar.
Berdasarkan hasil perhitungan rasio luas baku lahan terhadap alsintan
diperoleh informasi bahwa rasio luas lahan terhadap traktor sekitar 16:1. Artinya
setiap traktor yang ada (sebagian besar merupakan traktor roda 2) harus dapat
melayani lahan sekitar 16 ha (Tabel 16). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa
jumlah traktor yang ada di Kabupaten Sukoharjo sudah cukup ideal. Hal ini sejalan
dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal traktor
roda 2 agar tercapai kondisi impas minimal dapat mengolah lahan antara 11-15
ha/tahun. Saat ini di Kabupaten Sukoharjo semua lahan telah diolah secara
mekanisasi, yaitu dengan menggunakan traktor.
Tabel 15. Jumlah Alat dan Mesin Pertanian di Kabupaten Sukoharjo, 2014 dan 2015 (Unit).
Kecamatan Jenis Alsintan (Unit)
Traktor Transplanter Tresher RMU
1. Weru 79 0 58 30
2. Bulu 66 0 18 19
3. Tawangsari 82 4 39 42
4. Sukoharjo 141 0 82 40
5. Nguter 104 0 338 25
6. Bendosari 180 0 395 43
7. Polokarto 142 0 350 96
8. Mojolaban 149 1 248 65
9. Grogol 106 0 511 21
10. Baki 131 0 189 53
11. Gatak 88 0 163 32
12. Kartasura 38 0 131 4
Jumlah 1.306 5 1.639 470
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Sukoharjo (2015).
Lebih lanjut hasil perhitungan rasio luas baku lahan terhadap transplanter
sekitar 4.163: 1. Artinya setiap transplanter yang ada harus dapat melayani lahan
sekitar 4.163 ha (Tabel 16). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah
transplanter yang ada di Kabupaten Sukoharjo masih sangat kurang. Hal ini sejalan
dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal
36
transplanter tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan tanam sekitar
32 ha/tahun. Oleh karena itu, dalam kegiatan tanam padi sawah di Sukoharjo masih
dominan menggunakan alat tanam seperti dengan caplak dan secara manual
kegiatan tanamnya.
Tabel 16. Rasio Luas lahan dan Jumlah Alsintan di Kabupaten Sukoharjo, 2014.
Rasio Luas Lahan: Alsintan Angka Rasio (ha: unit)
1. Lahan : Traktor 16: 1
2. Lahan : Transplanter 4.163: 1
3. Lahan : Power thresher 13:1
4. Lahan: Combine Harvester 5.203:1 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Sukoharjo, diolah (2015).
Rasio luas baku lahan terhadap alat panen power thresher sekitar 13:1. Artinya
setiap power thresher yang ada harus dapat melayani lahan sekitar 13 ha (Tabel
16). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah power thresher yang ada di
Kabupaten Sukoharjosudah sangat cukup. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
PSEKP di Sulawesi Selatan (2015) yang menyatakan bahwa areal power thresher
dalam setahun (rata-rata sekitar 2 ha/hari dan masa tanam/musim sekitar 15 hari)
sehingga dapat bekerja ideal seluas 30 ha/musim. Oleh karena itu, dalam kegiatan
panen padi sawah di Sukoharjo sebagian besar menggunakan power thresher, dan
sebagian kecil sesuai dengan kondisi dan kesesuaian lahannya telah menggunakan
alat panen mini combine harvester.
Sementara jika dibuat rasio luas baku lahan terhadap alat panen combine
harves tersekitar 5.203:1. Artinya setiap combine harvester yang ada harus dapat
melayani lahan sekitar 5.203 ha (Tabel 16). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa
jumlah combine harvester yang ada di Kabupaten Sukoharjo masih sangat kurang.
Hal ini sejalan dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan
ideal combine harvester tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan
panen rata-rata sekitar 35 ha/tahun. Oleh karena itu, dalam kegiatan panen padi
sawah di Sukoharjo masih sangat kecil menggunakan alat panen combine harvester,
dan sebagian besar panen dengan power thresher dan terlebih dengan memakai
sistem tebasan.
37
Pengembangan Pertanian Melalui Kelembagaan Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA)
Seperti telah diuraikan pada pembahasan di lokasi penelitian lainnya,
Kelembagaan UPJA sesungguhnya telah lama berkembang di Indonesia, tetapi baru
secara formal berkibar sejak dikeluarkannya Permentan No.25/2008 tentang
Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin
Pertanian. Dengan dikeluarkannya Permentan ini, Pemerintah Daerah diberi mandat
untuk membina dan memfasilitasi UPJA yang terdapat di daerahnya masing-masing,
sehingga UPJA tersebut dapat menuju ke arah kelembagaan yang profesional.
UPJA adalah suatu lembaga ekonomi perdesaan yang bergerak di bidang
pelayanan jasa dalam rangka optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian
untuk mendapatkan keuntungan usaha baik di dalam maupun di luar kelompok tani/
gapoktan. UPJA di Kabupaten Sukoharjo secara kelembagaan jumlahnya masih
terbatas 3 UPJA, yaitu UPJA Bagyo Mulyo di Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari,
UPJA Ngupoyo Makmur di Desa Dukuh, Kecamatan Mojolaban dan UPJA Ngulir Budi
di Desa Krajan, Kecamatan Weru.
Salah satu UPJA yang dikaji adalah UPJA Bagyo Mulya yang berada di Desa
Dalangan,Tawangsari yang berdiri sejak tahun 2013 dan berbadan hukum dengan
akta notaris. UPJA ini telah memiliki beberapa unit alsintan yaitu: (1) Traktor, yang
meliputi 2 unit traktor roda 2 dan 3 unit traktor roda 3, (2) Transplanter: 3 unit, dan
(3) Combine Harvester: 3 unit, yang meliputi 1 combine harvester besar dan 1
combine harvester kecil.
Adapun daerah operasional kegiatan UPJA Bagyo Mulyo meliputi seluruh desa
di Dalangan di Kecamatan Tawangsari dan juga di desa sekitarnya di kecamatan
tersebut. Berkembangnya UPJA Bagyo Mulyo tidak terlepas dari keaktifan dan
soliditas pengurus UPJA terutama Ketuanya. Jumlah pengurus UPJA sebanyak 3
pengurus inti, dan sebanyak 19 orang merupakan pengurus (ketua dan anggota)
UPJA di kelompok seksi operator alsintan, perbengkelan dan pemasaran.
Dalam pengelolaan alsintan oleh UPJA dilakukan secara profesional, dimana
biaya untuk operasional alsintan selalu diupayakan bersumber dari hasil alsintan itu
sendiri dan diupayakan tidak bersumber dari kas UPJA. Hampir setiap bulan UPJA
berkumpul diantara anggota untuk membahas berbagai persoalan yang ada baik
38
yang menyangkut kegiatan pengelolaan alsintan, kegiatan usahatani dan kegiatan
lainnya terkait UPJA.
3.2.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Panen dan
Pascapanen
Kelembagaan Pengelolaan Usahatani dan Penyediaan Input
Saat ini pengelolaan usahatani pada daerah yang mendapat pelayanan Usaha
Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA) sepenuhnya dilaksanakan oleh petani. Hanya saja
petani menggunakan jasa alsintan untuk melakukan pengolahan tanah, penanaman,
dan pemanenan. Luas lahan sawah di lokasi kajian Desa Dalangan, Tawangsari
mencapai 170 hektar dengan jumlah petani sebanyak 293 petani. Pada lokasi
tersebut, penanaman lahan seluruhnya menggunakan jasa traktor yang ada di desa
tersebut. Jumlah traktor keseluruhan pada UPJA Bagyo Mulyo di desa ini sebesar 5
unit yaitu 2 unit traktor roda 4, dan 3 unit traktor roda 2. UPJA melakukan inisiatif
melakukan pertemuan/rembugan diantara operator traktor dan pemilik lahan
mengenai perencanaan awal pengolahan lahan dan juga rencana tanam selanjutnya.
Pertemuan juga memutuskan mengenai beberapa hal yang mencaku: (a)
menetapkan luas maksimal pelayanan masing-masing traktor roda 2 dan roda 4
bergiliran dimana pada saat awal pengolahan menggunakan traktor besar roda 4,
dan meratakan lahan menggunakan traktor roda 2, dan kapasitas traktor dalam
mengolah lahan rata-rata sekitar 3 ha/hari untuk roda 4 dan 1,5 ha/hari untuk roda
2, serta jumlah hari operasi traktor per musim sekitar 20 hari. Hal ini tentunya
dengan mempertimbangkan jadwal pengaturan air, jadwal tanam, dan jumlah
traktor, (b) menetapkan besaran biaya atau upah traktor untuk pengolahan tanah
sampai siap tanam, dimana untuk tahun 2014/2015 ditetapkan sebesar Rp 1 juta/ha
(sampai siap tanam), yang tidak dibedakan antara musim MT-I (MH) dengan MT-II
(MK1), dan (c) menetapkan larangan adanya traktor dari luar daerah/desa untuk
melakukan pengolahan lahan sawah di Desa Dalangan, hal ini tentu dengan
memperhatikan bahwa jumlah traktor di desa ini masih memungkinkan dapat
dikerjakan oleh UPJA di Desa Dalangan sendiri. Penggunaan traktor di desa ini sudah
terbiasa dan kalau dipandang dari rasio luas lahan sawah dan jumlah traktor yang
ada di UPJA tentu masih harus ditambah jumlahnya, agar operator traktor tidak
bekerja sampai di luar batas jam bekerja.
39
Sementara itu, terkait dengan pengadaan input seperti benih, pupuk dan
pestisida dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: petani dapat langsung membeli ke
kios saprotan yang resmi sesuai RDKK atau dapat juga memperoleh melalui
kelompok atau gapoktan (dikoordinir). Bagi petani yang langsung membelinya ke
kios saprotan adalah petani yang memiliki sumberdaya modal yang cukup, yang
memang harganya lebih murah namun harus dibayar secara tunai. Sementara petani
yang kurang mampu biasanya memperoleh dari kelompok tani atau gapoktan,
dimana pembayarannya adalah dengan cara dibayar setelah panen, namun
konsekuensinya harga diperhitungkan berbeda (sedikit lebih mahal). Selanjutnya
untuk memperoleh pupuk hampir seluruhnya memperoleh melalui kelompok atau
gapoktan, karena perencanaan pengadaan dan perolehan pupuk menyesuaikan
dengan RDKK yang sudah direncanakan dan dikelola oleh kelompok. Bagi petani
keberadaan kelompok atau gapoktan sangat menolong, terutama jika terjadi
musibah serangan OPT dan kekeringan. Dengan kondisi kegagalan panen, maka
akan ada penangguhan pembayaran sarana produksi ke kelompok atau gapoktan,
yang didalamnya juga merupakan kelompok UPJA.
Dalam hal penggunaan alsintan tanam yaitu transplanter, jumlahnya masih
sangat terbatas. Pengelolaan alat tanam transplanter pada UPJA sudah termasuk di
dalamnya menyediakan benih padi yang telah dijadikan bibit. Pemilihan benih padi,
telah sebelumnya dimusyawarahkan antara petani dengan kelompok UPJA. Varietas
benih padi yang banyak digunakan pada MT I (MH) antara lain: Ciherang, IR 64,
Mekongga dan Situ Bagendit, dan pada saat MT II atau MT III menggunakan benih
varietas: Mekongga, Sidenok, Pertiwi, Mukibat dan Muncul. Sistem persemaian
dengan menggunakan transplanter memerlukan keahlian yang cukup memadai atau
berbeda dengan sistem persemaian tapin (tanam pindah). Dengan demikian adopsi
inovasi khususnya penggunaan varietas unggul dan efisiensi penggunaan benih padi
menjadi sangat ideal jika menggunakan transplanter.
Biaya atau jasa atas sewa transplanter (termasuk benih dan jasa semai) Rp 3
juta/ha. Namun seringkali penggunaan transplanter pada saat MH sering terkendala
oleh kedalaman lumpur sawah. Di samping itu, untuk jasa tanam masih bersaing
dengan kelompok tanam manual, dimana pada kondisi saat ini masih mengharapkan
lapangan pekerjaan untuk kegiatan tanam tersebut. Hal ini mengingat, aktivitas
40
kegiatan tanam yang dilakukan secara manual berkaitan dengan kesempatan
memanen hasil padi yang ditanamnya.
Penyediaan benih yang berkualitas pada petani atau sawah yang sudah
mendapat palayanan jasa transplanter dapat dilakukan oleh UPJA dan menjadi
bagian usaha UPJA dalam penyediaan benih. Pada luasan 50 hektar, UPJA dapat
melakukan penangkaran benih dari label biru untuk dijadikan label ungu, sehingga
kualitas benih dapat terkontrol, atau UPJA dapat menyesuaikan penggunaan varietas
sesuai dengan perkembangan pasar gabah dan mempertimbangkan eksplosif hama
penyakit. Jumlah benih yang digunakan per hektarnya pun juga dapat dikontrol,
sehingga menjadi lebih efisien dan pertumbuhan anakan akan menjadi lebih baik.
Selain itu, bagi petani yang penggunaan jasa transplanter lebih cepat dan lebih
murah dibanding dengan harus menggunakan jasa tanam manual. Upah jasa tanam
manual cukup mahal yaitu Rp 50.000 bersih per hari, sedangkan jika dengan
pelaksanaan borongan 16 orang, Rp 50.000/orang. Pada tanam manual, petani juga
harus menyiapkan benih dan pengolahan perbenihan sendiri.
Kelembagaan Panen
Pengelolaan panen, di lokasi kajian Desa Dalangan, Kecamatan Tawangsari
bisa dilakukan dengan sistem: (1) tebas, dimana si penebas biasanya memiliki power
thresher dan membawa rombongan rombongan panen sekitar 10-15 orang. Pada
panen sistem tebas, pemanenan dilakukan dengan menggunakan sabit dan
dirontokkan dengan menggunakan power thresher. Seluruh tenaga kerja panen
menjadi tanggung jawab si penebas, dan umumnya penebas berasal dari luar
daerah seperti dari Sragen, Karang Anyar, Demak dan wilayah lainnya; (2) panen
dengan combine harvester, dimana pemilik sawah akan membayar jasa combine
harvester dari kelompok UPJA Bagyo Mulyo. Proporsi petani yang melakukan sistem
panen di Desa Dalangan pada saat musim ke-1 (MH) sekitar 90% menggunakan
sistem tebas, dan sisanya panen dengan combine harvester, sedangkan pada saat
musim ke-2 (MK) hampir seimbang (50%:50%) antara sistem tebas dan panen
dengan combine harvester.
Pada panen sistem tebas, penerimaan petani pada saat musim ke-I berkisar
antara Rp 25 juta- Rp 30 juta/ha, sedangkan pada musim ke-II tingkat penerimaan
petani sekitar Rp 42,5 juta/ha. Harga gabah pada saat MH 2014/2015 sekitar
41
Rp3.700/kg GKP dan harga gabah pada saat MK sebesar Rp 4.900/kg GKP.
Keuntungan panen padi dengan sistem tebas bagi petani adalah: (1) tidak perlu
mengangkut dan menjemur padi/gabah dari sawah ke rumah; (2) Petani akan
langsung memperoleh uang kontan langsung dari hasil penebasan padinya; (3)
terlebih pada saat musim hujan, petani tidak perlu harus membeli atau menyediakan
alat jemur dan karung untuk menyimpan gabah. Adapun kelemahannya adalah
petani akan memperoleh hasil yang lebih kecil jika harus memanen padi dengan
combine harvester dan kemudian melakukan proses pascapanen dan menjual tatkala
harga lebih tinggi terhadap pedagang pengumpul.
Pada panen dengan combine harvester upah panennya Rp 2 juta/ha. UPJA
yang mengelola mesin combine harvester tersebut penerimaan yang diraih setelah
dipotong BBM, selanjutnya 60% dialokasikan untuk UPJA dan 40% dialokasikan
untuk operator mesin. Menurut kelompok tani, bahwa panen padi dengan alat panen
combine harvester memiliki keuntungan: (1) memperoleh hasil yang lebih tinggi,
karena hasil yang diperoleh kuantitasnya cukup tinggi dibandingkan dengan taksiran
sistem tebas, dan harga saat penjualan juga akan tinggi saat penjualan hasil, dan
(2) petani terbiasa dengan aktivitas pascapanen dan dapat mengetahui secara pasti
berapa produktivitas hasil padi yang dipanennya. Memanen dan membawa pulang
hasilnya, menurut petani memiliki kelemahan: (1) petani harus menyiapkan tenaga
dan biaya untuk mengangkut dan menjemur padi/gabah dari sawah ke rumah; (2)
Petani tidak dapat langsung memperoleh uang kontan dari hasil panennya; (3) pada
saat musim hujan, petani perlu harus menyediakan alat jemur dan karung untuk
menyimpan gabah.
Sementara itu, berdasarkan informasi dari petani bahwa kegiatan panen
dengan mesin combine harvester memiliki kelebihan yaitu: (a) kehilangan hasil
sangat rendah, dibawah 2%, (b) pengerjaannya panen lebih cepat sehingga dapat
hemat biaya panen, (c) jumlah tenaga kerja pemanen akan lebih sedikit sehingga
efisiensi biaya panen.
Kelembagaan Pascapanen
Petani yang memanen dengan alat combine harvester sebagian besar biasanya
menjual hasilnya dalam bentuk gabah kering panen (GKP), setelah mereka
menyisihkan gabah untuk keperluan rumah tangganya. Penjemuran padi dilakukan
42
di sawah pada saat MT-II dan dilakukan di rumah pada saat musim ke-I. Padi yang
telah dijemur sekitar 3-4 hari umumnya akan dijual ke pedagang pengumpul yang
datang setiap saat atau ke pedagang/bandar yang ada di desa sekitar.
Para pedagang pengumpul yang membeli gabah dari petani selanjutnya akan
menjual gabah ke pedagang besar atau ke penggilingan padi. Pada
pedagang/bandar yang memiliki penggilingan padi, akan menjemur kembali padi
yang diperolehnya dan kemudian digiling menjadi beras. Beras yang dihasilkan
selanjutnya akan dijual ke berbagai tujuan.
3.3. Kasus Proyek Pengembangan Pertanian Modern di Kabupaten
Blora, Jawa tengah
3.3.1. Gambaran Umum Sistem Konsolidasi Lahan
Percontohan Pertanian Modern (PPM) di Kabupaten Blora terletak di Desa
Gabusan, Kecamatan Jati. Berbeda dengan dua lokasi lainnya, PPM di Desa
Gabusan dilaksanakan di lahan sawah tadah hujan. Kepala Dinas Pertanian
Perkebunan Peternakan Perikanan, Kabupaten Blora menyatakan bahwa pemilihan
lokasi tersebut didasarkan pada pertimbangan : (1) Hamparan bagus, datar dan luas
sehingga memenuhi persyaratan untuk dijadikan percontohan; (2) Petani-petani
yang ada di wilayah tersebut ulet dan rajin dalam bertani, bahkan saat musim kering
tetap bertani dengan cara menyiram tanamannya; (3) Ingin ada perubahan di
wilayah tersebut. Dengan menempatkan lokasi PPM di sana, perhatian terhadap
lokasi tersebut diharapkan meningkat, khususnya perhatian untuk mengalokasikan
dana untuk pembangunan irigasi (untuk penyediaan air). Di lokasi tersebut telah
ada rehabilitasi embung, namun jangkauan pengairannya belum sampai ke lokasi
dilaksanakannya PPM. Tahun 2015 ini ada dana DAK yang dialokasikan untuk
prasarana irigasi, namun belum diketahui jangkauannya. Pertamina pernah
melakukan pengeboran minyak di daerah tersebut, namun yang keluar bukan
minyak melainkan air. Bupati minta agar air tersebut bisa dimanfaatkan untuk irigasi.
Hasil pemeriksaan debit air kurang besar namun di wilayah tersebut kemungkinan
ada sumber air. Dengan masukkan program PPM diharapkan tertata upaya-upaya
untuk mencari sumber air di wilayah ini.
Petani yang terlibat dalam kegiatan PPM di Desa Gabusan adalah petani
pemilik dan penggarap. Rata-rata pemilikan lahan kurang dari 0,5 ha/KK, dengan
43
pemilikan terluas 2 ha. Pola tanam yang biasa dilakukan oleh petani adalah padi-
padi- palawija (jagung/kacang hijau)-(kedele). Pertanaman dilakukan 3-4 kali
dalam setahun, namun tanam ke-4 hanya dilakukan jika air tersedia. Teknik tanam
sangat unik dan tidak biasa yaitu menanami retakan lahan, tanpa olah tanah. Tanam
ke-3, umumnya komoditas jagung, sebenarnya juga ditanam dalam kondisi kurang
air, sehingga petani melakukan penyiraman sebanyak tiga kali, masing-masing
sebanyak 1 gelas per rumpun, sehingga total tiga gelas per rumpun dalam semusim.
Air diperoleh dari sumur yang digali petani di tepi lahannya.
Konsolidasi lahan merupakan bagian yang berat dari semua tahapan
pelaksanaan PPM. Rencana untuk menghilangkan tanggul umumnya tidak disetujui
oleh petani, karena yang paling dikhawatirkan oleh petani adalah hilangnya batas
lahan miliknya. Sekalipun batas akan ditandai dengan menggunakan alat GPS,
umumnya petani tidak setuju menghilangkan tanggul yang berbatasan dengan milik
orang lain. Berdasarkan kesepakatan petani dan semua pihak yang mendukung
pelaksanaan PPM maka konsolidasi lahan dilakukan secara bertahap. Pertama,
tanggul diperlebar dari 40 cm menjadi 180 cm, agar alsin bisa masuk, dan sekaligus
berfungsi sebagai jalan usahatani. Kegiatan ini dilakukan secara swadaya. Kedua,
menghilangkan galengan. Tidak semua galengan dihilangkan, karena galengan
berfungsi sebagai batas pemilikan dan untuk menahan air. Galengan bisa
dihilangkan jika hamparan yang berdekatan milik satu orang. Jika tidak, maka
galengan hanya dibuat lebih kecil dari 40 cm menjadi 20 – 25 cm dan ketinggiannya
diturunkan 10 cm. Kegiatan ini pun dilakukan secara swadaya.
3.3.2. Analisis Manfaat Pertanian Modern Melalui Penerapan Mekanisasi Pertanian
Analisis Manfaat Usahatani
Penggunaan alsin menghemat waktu cukup banyak, sehingga bisa dilaksanakan
tanam serempak dalam waktu seminggu. Biasanya pekerjaan tersebut selesai lebih
dari dua pekan. Demikian juga dengan tenaga kerja, masuknya alsin menghemat
penggunaan tenaga kerja, yang mulai langka di daerah tersebut. Penggunaan alsin
mempercepat pekerjaan secara singnifikan, contohnya untuk olah tanah dengan
menggunakan TR2 biasa selesai 24 jam (3 hari) dengan tenaga kerja 6 HOK, dengan
TR4 bisa selesai dalam 14 jam dengan tenaga kerja 1,5 HOK. Selain itu, dengan
44
penggunaan mekanisasi, biaya usahatani berkurang antara lain karena pengurangan
jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam usahatani (Tabel 16).
Tabel 17. Analisis Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern (PPM) dan
Petani di Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, MH 2014/2015 (Rp/ha)
No. Uraian PPM (A)
Non-PPM (B) Perubahan (A-B) %
A Biaya
I Sarana produksi Benih (kg) 200,000 400.000 -50.00
Pupuk (kg) - Urea 180.000 180.000 0
- NPK 345.000 440.000 -21.29
- PPC/POC (liter) 60.000 0 100.00
- pupuk kandang 500.000 50.000 900.00
Obat-obatan 225.000 200.000 12.50
Subtotal 1.510.000 1.270.000 18.90
II Tenaga kerja
Olah tanah 763.000 810.000 -5.80
Menggaru/meratakan tanah 0 170.000 -100.00
Merapikan pematang 120.000 170.000 -29.41
Persemaian 260.000 520.000 -50.00
Cabut dan angkut bibit 0 130.000 -100.00
Tanam 742.000 954.340 -22.25
Pemupukan 170.000 170.000 0
Penyiangan 720.000 720.000 0
Penyemprotan 75.000 75.000 0
Panen + perontokkan 1.995.000 2.400.900 -16.91
Subtotal 4.845.000 7.440.000 -34.88
III Lainnya
- pajak lahan/musim 30.000 30.000 0
- pengairan (tadah hujan) 0 0 0
- sewa lahan/musim 1.000.000 1.000.000 0
Subtotal 1.030.000 1.030.000 0
Biaya tunai 6.050.000 8.145.000 -25.72
Biaya total 7.385.000 9.740.000 -24.18
B Penerimaan 24.600.000 20.100.000 22.39
C Keuntungan atas biaya tunai 18.550.000 13.274.000 39.74
Keuntungan atas biaya total 17.215.000 11.679.760 47.39
RCR atas biaya tunai 4.07 2.94 38.44
RCR atas biaya total 3.33 2.39 39.33 Sumber data : Hasil wawancara dengan petani Desa Gabusan, Kab Blora, 2015
45
Tabel 17 di atas menunjukkan bahwa usahatani padi pada PPM dengan
menggunakan alat mekanisasi pertanian lebih efisien dan lebih menguntungkan.
Total biaya produksi pada pertanian modern lebih rendah yakni Rp 7,385 juta/ha,
sementara pada pertanian nonmodern mencapai Rp 8,42 juta/ha, turun sekitar
12%. Nilai produksi pada pertanian modern mencapai Rp 24,6 juta/ha, sedangkan
pada nonmodern hanya Rp 20,1 juta/ha, naik sekitar 22%.
Produktivitas pada PPM meningkat akibat adanya inovasi baru dalam
penggunaan bibit dan teknologi budi daya serta pengawalan yang baik. Hasil ubinan
pada teknologi PPM mencapai 8,2 ton per ha sedangkan pada teknologi petani
hanya mencapai 6,7 ton per ha. Peningkatan produksi per ha juga bisa disebabkan
dengan penggunaan alat panen modern (combine harvester). Kehilangan hasil
akibat panen yang berkisar antara 10-20%, bisa ditekan dengan menggunakan
combine harvester menjadi kurang dari 10%. Kedua hal tersebut telah
meningkatkan penerimaan petani sebesar 22,39 persen dibandingkan sebelumnya,
sehingga tingkat keuntungan pada pertanian modern lebih tinggi (Rp 17,215
juta/hektar) dibanding dengan nonmodern (Rp 11,679 juta/hektar).
Di samping terjadi efisiensi dalam penggunaan biaya produksi, juga pada
pertanian modern kuantitas produksi dan kualitas produksi lebih baik. Peningkatan
kuantitas produksi lebih disebabkan karena kehilangan panen menjadi rendah
sehingga produksi meningkat, sedangkan peningkatan kualitas panen karena
menggunakan combine harvester gabah langsung di-blower sehingga kebernasan
gabah menjadi lebih bagus.
Analisis Manfaat Usaha Alsintan
Analisis Usaha Traktor Pada UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora Lokasi PPM di Kabupaten Blora ditempatkan pada areal sawah tadah hujan,
berbeda dengan dua lokasi lainnya yang ditempatkan pada areal sawah irigasi
teknis. Penggunaan dan pengusahaan alsintan di areal tadah hujan, dianggap bisa
membantu meningkatkan kenaikan produksi dengan mempercepat olah tanah dan
panen. Ketersediaan air hujan merupakan hal yang sangat penting di lokasi ini.
Penggunaan traktor besar bisa mempercepat pengolahan tanah untuk mengejar
hujan untuk penanaman padi.
46
Kemampuan traktor tangan/kecil (roda 2) ini hanya dapat mengolah lahan
sekitar 16 jam/ha atau 2 hari per ha. Sedangkan traktor besar bisa mengolah tanah
2,5 ha per hari atau 4 jam per ha. Seperti halnya di Soppeng dan Sukoharjo, dalam
pengolahan lahan petani mengkombinasikan traktor besar dan kecil. Pada saat
pengolahan lahan awal menggunakan traktor besar, dan untuk meratakannya
menggunakan traktor kecil.
Kapasitas traktor tangan yang diusahakan saat ini adalah 60 hari per tahun
atau 120 ha per tahun. Harga traktor adalah Rp 20 juta dengan umur ekonomis 10
tahun. Harga sewa traktor yang berlaku di lokasi ini adalah Rp 750.000 per ha
untuk traktor kecil. Pada tabel 18 terlihat bahwa total biaya pengusahaan traktor
kecil adalah Rp 447.240 per ha. Komponen biaya terbesar adalah operator,
penyusutan dan BBM. Keuntungan yang diperoleh dari usaha ini adalah Rp
302.760, dan R/C rati0 dari usaha ini adalah 1,68 Usaha ini dianggap cukup
menguntungkan. Usaha ini bisa dikembangkan dengan meningkatkan jumlah
pendapatan dari sewa atau memperluas jaringan kerja.
Tabel 18. Struktur Ongkos dan Sewa Traktor Tangan di UPJA Desa Gabusan,
Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume
Harga/ satuan(Rp)
Nilai (Rp) Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 10,4 7.500 78.000 17,44
1.2. Oli dan pelumas 12.240 2,74
1.3. Pemeliharaan dan
perawatan 30.000
6,71
1.4. Penyusutan 127.000 28,40
1.5. Operator 200.000 44,72
1.6.Total 447.240 100,00
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 750.000 750.000
3 Keuntungan 302.760
4 R/C rasio 1,68 Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Traktor besar belum lama diperkenalkan, walaupun demikian petani sangat
menyukainya karena dapat bekerja lebih cepat. Usaha penyewaan traktor besar ini
mempunyai prospek dalam peningkatan pendapatan UPJA. Pada tabel 19 dibawah
ini, terlihat bahwa R/C rasio pengusahaan traktor besar cukup besar yaitu 1,40
Total biaya yang operasional alsintan ini adalah Rp 528.900 per ha, terbesar adalah
47
untuk komponen operator dan penyusutan. Pendapatan dari sewa adalah Rp
742.857 per ha, jadi keuntungannya bisa mencapai Rp 213.957 per ha.
Tabel 19. Struktur ongkos dan sewa TR-4 di UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati,
Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume
Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 12 7.500 90.000 17,02
1.2. Oli dan pelumas Liter 54.000 10,21
1.3. Pemeliharaan dan perawatan
Unit 46.250 8,74
1.4. Penyusutan - 138.650 26,21
1.5. Operator - 200.000 37,81
1.6.Total - 528.900 100,00
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 742.857 742.857
3 Keuntungan - 213.957
4 R/C rasio 1,40
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Saat ini kapasitas kerjanya masih sebanyak 74 hari per tahun atau 185 ha per
tahun. Untuk mengembangkan pendapatan, UPJA bisa meningkatkan kapasitas
kerja alat dengan memperluas jaringan kerja dan meningkatkan biaya sewa.
Analisis Usaha Transplanter pada UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora.
Transplanter merupakan jenis alsin yang relatif baru diperkenalkan di Desa
Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, namun petani setempat menyukainya.
Alasanya adalah dapat mengurangi tenaga kerja tanam dan mempercepat
pertanaman terutama pada sawah tadah hujan, dimana petani harus mengejar
waktu tanam pada saat ada air. Kapasitas kerja transplanter di Desa Gabusan saat
ini baru mencapai 18 hari kerja, dan hanya menyewakan alat tanpa membuat
pembibitan. Bibit disediakan sendiri oleh petani.
Usaha jasa penyewaan transplanter cukup menguntungkan dengan nilai R/C
rasio 1,44 (Tabel 20). Nilai sewa per hektar adalah Rp 685.714, total biaya
operasional yang dikeluarkan adalah Rp 475.833 per ha dan keuntungan yang
diperoleh adalah Rp 209.881 per ha. Komponen biaya usaha terbesar adalah biaya
operator (42,03%) dan penyusutan (35,90%).
48
Tabel 20. Struktur Ongkos dan Sewa Transplanter di UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume
Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 10 7.500 75.000 15,76
1.2. Oli dan pelumas 20.000 4,20
1.3. Pemeliharaan dan perawatan
10.000 2,10
1.4. Penyusutan 170.833 35,90
1.5. Operator 200.000 42,03
1.6.Total 475.833 100,00
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 685.714 685.714
3 Keuntungan 209.881
4 R/C rasio 1,44
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Penggunaan alsin transplanter belum seluas penggunaan traktor dan
combine harvester. Upaya untuk meningkatkan keuntungan dari jasa sewa
transplanter dapat dilakukan dengan memperluas jaringan kerja, meningkatkan nilai
sewa dan usaha diversifikasi lainnya misalnya dengan menyediakan bibit padi.
Analisis Usaha Combine Harvester Pada UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora.
Combine Harvester merupakan alat panen yang sangat dibutuhkan petani di
Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora. Saat ini pengusahaan combine
harvester masih terbatas pada wilayah di sekitar Desa Gabusan. Kapasitas bisa
diperluas dengan membangun jarngan kerja dengan petani di wilayah lain yang
waktu panennya sedikit berbeda dengan wilayah Desa Gabusan. Saat ini kapasitas
kerja combine harvester baru mencapai 60 hari kerja per tahun, dengan kapasitas
kerja 5 jam per ha sehari bisa melayani 2 ha sehingga dalam setahun bisa melayani
kira-kira 120 ha. Harga combine harvester yang diusahakan UPJA Desa Gabusan
adalah Rp 280 juta, dengan umur ekonomis 10 tahun. Nilai sewa sebesar Rp
1.800.000 per ha.
Komponen biaya terbesar adalah upah operator yang mencapai hampir 63%
dari total biaya. Ongkos ini nantinya akan dibagikan kepada tim operator yang bisa
mencapai 7-8 orang. Tugas tim operator combine harvester di wilayah ini memanen
dan memasukkan gabah ke dalam karung, namun tidak sampai menjahitnya.
49
Tabel 21. Struktur Ongkos dan Sewa Combine Harvester di UPJA Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume
Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 10 7.500 75.000 5,90
1.2. Oli dan pelumas 20.000 1,57
1.3. Pemeliharaan dan perawatan
166.667 13,11
1.4. Penyusutan 210.000 16,51
1.5. Operator 800.000 62,91
1.6.Total 1.271.667 100,00
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 1.800.000 1.800.000
3 Keuntungan 528.333
4 R/C rasio 1,42
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Berdasarkan hasil analisis finansial pengusahaan combine harvester di Desa
Jati, diperoleh R/C rasio sebesar 1,42. Total biaya operasional penyewaan combine
harvester adalah Rp 1.271.667 per ha. Keuntungan bisa diperbesar dengan
meningkatkan jaringan kerja sehingga kapasitas kerja combine ini lebih besar.
3.3.3. Kelembagaan Pengelolaan Alsintan pada Lahan Pengembangan
Unit Pengelola Jasa Alsintan (UPJA) Jasa Karya Utama (JKU) adalah salah satu
pelaku utama dalam pengelolaan alsin di lahan percontohan pertanian modern
(PPM) di Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora. Awalnya UPJA ini
merupakan bagian dari gapoktan, dan selanjutnya dalam rangka menyongsong
pelaksanaan PPM, dibentuk UPJA yang pengelolaannya terpisah dari gapoktan.
Struktur kepengurusan terdiri dari : manager, sekretaris, bendahara, seksi humas,
seksi perlengkapan dan koordinator operator, seksi usaha dan teknisi. Beberapa
pengurus UPJA JKU pernah belajar mengenai manajemen pengelolaan UPJA di
Cilacap dan melakukan studi banding ke Sukoharjo.
Sebelum ada bantuan, UPJA ini tidak memiliki alsin, namun beberapa petani
yang menjadi anggota Gapoktan memiliki alsin berupa hand tractor dan pompa air.
Setelah terbentuk UPJA, alsin milik gapoktan berupa traktor roda 4, diserahkan
pengelolaannya kepada UPJA karena gapoktan tidak memiliki operator.
Dalam rangka pelaksanaan PPM, UPJA ini mendapat alokasi dana bantuan
senilai Rp1,4 M, yang digunakan untuk pengadaan: (1) Alsintan : 2 unit traktor roda
50
4 + Rotary, 3 unit Rice Transplanter, 2 unit Combine Harvester serta 1 paket
peralatan perbengkelan senilai Rp.1.000.000.000,- (2) paket UPPO senilai Rp.
400.000.000,- yang diperumtukkan : rumah kompos, konstruksi, penyediaan alat
dan mesin (APPO 2 unit dan kendaraan roda 3 sebanyak 2 unit), kandang 2 unit,
ternak sapi 20 ekor, dan obat-obatan 2 paket. Bantuan diterima dalam bentuk dana
tunai yang langsung ditransfer ke rekening UPJA, selanjutnya pengurus UPJA yang
membeli alsin sesuai rencana usulan kegiatan yang telah disetujui oleh Direktorat
PSP.
Tabel 22. Alsin yang Dimiliki UPJA Jasa Karya Utama dan Sumbernya (September 2015)
Jenis Jumlah
(unit)
Sumber pengadaan
Traktor roda 4+rotary 3 Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM 2 unit, dan 1 unit
milik Gapoktan Sido Rukun
Rice Transplanter 3 Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM, 2 unit; dan
APBD 1 unit
Combine harvester 2 Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM
Alat angkut (Viar) 2 Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM
Peralatan bengkel 1 set Bantuan Dit PSP dalam rangka PPM
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Aturan main yang diterapkan dalam penggunaan jasa alsin yang dikelola oleh
UPJA Jasa Karya Utama ditentukan melalui rapat yang dihadiri oleh pengurus UPJA,
pengurus dan anggota Gapoktan Sido Rukun, aparat desa, aparat Dinas terkait
tingkat kecamatan dan kabupaten. Berdasarkan hasil kesepakatan dalam
pertemuan yang diadakan menjelang awal musim, maka ditetapkan sewa alsin
sebagai yang terlihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Nilai Sewa Alsin yang berlaku di UPJA Jasa Karya Utama, Kab. Blora, 2015
Nama alat Biaya sewa Bentuk pembayaran
Traktor roda 4+rotary MH : Rp 520.000/bau(Rp 742.857/ha)
MK: Rp 400.000/bau (Rp 571.429/ha)
Tunai
Rice Transplanter Rp 480.000/bau (Rp 685.714/ha) Tunai
Combine harvester Rp 1.400.000/bau (Rp 1.800.000/ha) Tunai
Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus UPJA Desa Gabusan,Kab. Blora, 2015
Perubahan dalam besaran upah terkait dengan perubahan harga bahan bakar
minyak. Aturan main mengenai sewa alsin ditaati oleh petani pengguna jasa, dan
petani membayarnya dengan tertib, dan pembayaran dilakukan secara tunai setelah
51
pekerjaan selesai. Khusus untuk sewa traktor, terdapat selisih Rp120.000/bau (lebih
murah) untuk penggunaan jasa di musim kemarau karena pengolahan lahan bisa
dilakukan dengan lebih cepat, dan hanya sekali bajak lahan sudah siap tanam.
Selain pertemuan yang dilakukan menjelang musim tanam, pertemuan rutin juga
dilakukan oleh UPJA yaitu pada malam tanggal 25 setiap bulan. Kegiatan diisi
dengan arisan, dan membahas kegiatan pertanian secara umum.
Alsin yang belum dimiliki oleh UPJA Jasa Karya Utama adalah pompa.
Mengingat kondisi lahan sawah di wilayah Gabusan dan sekitarnya adalah sawah
tadah hujan, maka pompa air sangat dibutuhkan untuk mengairi lahan di luar usim
hujan. Selama ini sumur yang digali di tepi sawah menjadi andalan untuk mengairi
lahan saat musim kering. Sumur-sumur tersebut merupakan swadaya masyarakat
dan dari program P4MI.
UPJA JKU memiliki seorang teknisi yang bertugas menangani kerusakan atau
perbaikan alat dan mesin, dan telah memiliki peralatan bengkel yang berasal dari
paket bantuan PPM. Mengingat bahwa UPJA JKU belum lama beroperasi, dan
peralatan alsin juga masih baru (belum setahun), belum ada kerusakan pada alsin
yang dimiliki.
3.3.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Pascapanen dan Pemasaran
Petani di lokasi percontohan PPM umumnya adalah petani pemilik penggarap,
dan dengan posisi demikian petani memiliki wewenang dalam pengambilan
keputusan usahataninya. Hal ini relatif lebih memudahkan dalam mencapai
kesepakatan, misalnya untuk berswadaya memperlebar tanggul menjadi semacam
jalan usahatani untuk memperlancar keluar masuk alsin, dan untuk berswadaya
membongkar tanggul miliknya.
Petani memiliki peran sentral dalam pengelolaan usahatani, sebelum, selama,
maupun sesudah pelaksanaan PPM. Perbedaan terletak pada penggunaan alsin,
penggunaan sarana produksi, dan pengelolaan waktunya. Alsin yang digunakan
dalam pelaksanaan PPM memiliki kapasitas lebih besar dibandingkan yang biasa
digunakan petani, dan pengelolaannya sudah dilakukan oleh UPJA. Sebelumnya,
alsin yang digunakan petani hanya berupa hand tractor, yang merupakan milik
pribadi atau sewa dari prorangan.
52
Tabel 24. Pelaku dalam Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input, Pascapanen dan Pemasaran Secara Konvensional dan Percontohan Pertanian Modern di Blora, 2015
Tahapan pekerjaan Konvensional Percontohan Pertanian
Modern
Pengelolaan usahatani
- Olah tanah Petani, menggunakan TR2 milik sendiri atau sewa
Dikoordinir oleh pelaksana perconcohan, menggunakan
TR4 dan TR2
- Persemaian Petani, dilakukan secara individu. Benih dibeli sendiri.
Petani, dilakukan secara individu, UPJA sediakan tray. Benih dari program optimasi
lahan
- Tanam Petani, menggunakan jasa kelompok tanam. Cabut dan angkut benih dilakukan oleh
orang yang berbeda.
Dikoordinasikan oleh pelaksana percontohan agar tanam serempak, menggunakan rice transplanter, angkut benih pemilik lahan dan operator
- Pemeliharaan Petani, dengan atau tanpa dibantu buruh tani.
Pupuk swadaya
Petani, dengan atau tanpa dibantu buruh tani
Pupuk dari program estimasi lahan untuk pelaksanaan PPM
Penyediaan Input
- Benih Petani, secara individu Petani, melalui kelompok tani/ gapoktan, program optimasi
lahan terkait pelaksanaan percontohan PPM.
- Pupuk Petani, melalui kelompok tani/gapoktan, swadaya.
Sda
- Obat-obatan Petani, secara individu,
swadaya
Sda
- Alsin Petani secara individu, menggunakan alsin milik sendiri atau sewa jasa alsin
milik perorangan
UPJA, dengan alat milik UPJA dan bantuan dari Dit PSP.
Panen, Pascapanen Petani secara individu, dibantu jasa kelompok pemanen, kegiatan ngarit-
angkut.
Dikoodinir oleh pelaksana percontohan, menggunakan combine harvester untuk
panen, perontokkan, dan pengarungan.
Pemasaran Petani menjual ke tengkulak yang datang dari rumah ke
rumah
Petani menjual ke tengkulak yang datang dari rumah ke
rumah
Pengadaan sarana produksi biasanya dilakukan oleh petani secara individu,
sedangkan dalam PPM pengadaan sarana produksi ditangani oleh gapoktan dan
poktan. Petani bertanggung jawab dalam aplikasi di lahan masing-masing, dengan
pendampingan yang intensif dari pihak terkait (penyuluh, TNI, aparat desa, aparat
53
dinas kecamatan sampai pusat). Sekalipun dilakukan secara individu, pengadaan
sarana produksi menurut petani tidak mengalami hambatan, sarana produksi mudah
dicari di kios-kios sekitar desa.
Keserempakan dalam olah tanah dan tanam menjadi faktor kunci dalam PPM.
Jika biasanya petani bebas dalam menyelesaikan pengolahan lahannya dan tanam,
maka dalam PPM seluruh proses tersebut ditargetkan selesai dalam seminggu.
Tanam tidak bisa benar-benar dilakukan dalam satu tahap,melainkan tiga tahap,
dimana tahap pertama 58 %, kedua 36 %, dan ketiga 6%.
Sarana produksi untuk kegiatan PPM seluas 100 ha di Desa Gabusan,
Kecamatan Jati berasal dari bansos Program Optimasi Lahan senilai Rp 205 juta.
Gapoktan berperan dalam mengusulkan dan menerima bansos Optimasi Lahan
tersebut, dan mendistribusikannya kepada petani yang terlibat dalam kegiatan PPM
melalui kelompoknya masing-masing. Aplikasi sarana produksi tersebut di lahan
usahatani menjadi tanggung jawab petani pemilik/penggarap masing-masing.
Tabel 25. Jenis, Jumlah, dan Nilai Sarana Produksi untuk kegiatan Optimasi Lahan seluas 100 ha di Desa Gabusan, Kecamatan Jati, Kabupaten Blora, 2015.
Jenis sarana produksi Jumlah Harga satuan
(Rp/satuan)
Nilai
(Rp000)
Benih padi (kg) 2.500 8.000 20.000
Pupuk kompos/organik
(kg)
100.000 600 50.000
Pupuk Urea (kg) 10.000 1.800 18.000
Pupuk NPK (kg) 15.000 2.300 34.500
PPC/POC (liter) 1.500 40.000 60.000
Pestisida (liter atau kg) 300 75.000 22.500
Total 205.000 Sumber data : Hasil wawancara dengan pengurus Gapoktan Desa Gabusan, Kab. Blora, 2015
Paket Optimasi Lahan tersebut nampaknya sama, di Soppeng, Blora, dan
Sukoharjo, baik dalam jenis, jumlah dan nilainya. Hal itu berarti penyediaan paket
tersebut tidak didasarkan pada kondisi spesifik lokasi tanah (berdasarkan uji
kandungan unsur hara tanah).
Seperti telah dikemukakan diatas, aplikasi benih berbeda antara yang
dipraktikkan petani dengan PPM, yaitu 40 kg/ha yang biasa dilakukan oleh petani,
sedangkan PPM 25 kg/ha.Aplikasi pupuk dan pestisida terdapat perbedaan antara
keduanya.Pupuk yang diaplikasikan petani jauh lebih banyak dibandingkan PPM,
terutama dalam penggunaan Urea (petani 250kg/ha, PPM 100 kg/ha) dan petani
54
menggunakan Phonska hingga 300kg/ha sedangkan PPM menggunakan NPK 150
kg/ha. Penggunaan pupuk kandang sudah biasa dilakukan oleh petani setempat,
karena rata-rata memelihara sapi/kambing, hanya saja pupuk kandang yang
digunakan petani berupa kotoran ternak yang langsung diletakkan di lahan tanpa
proses pengolahan (fermentasi) lebih dulu.
Hasil panen dijual kepada tengkulak yang datang ke rumah-rumah. Belum
ada kegiatan pemasaran bersama, baik yang dikelola oleh poktan maupun gapoktan.
Dalam pelaksanaan PPM hingga musim berikutnya belum ada introduksi
kelembagaan terkait pemasaran hasil.
3.4. Pengembangan Mekanisasi Pertanian di Kabupaten Cilacap
3.4.1. Perkembangan Pertanian dan Dukungan Mekanisasi
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015),
diketahui bahwa dalam kurun waktu 2011-2014 luas panen padi sawah mengalami
peningkatan tipis sebesar 1,39 %/tahun, yaitu dari 126,28 ribu ha pada tahun 2011
menjadi 129,22 ribu ha pada tahun 2014. Akibat peningkatan luas panen tersebut,
produksinya meningkat sebesar 0,56 %/tahun, yaitu dari 765,87 ribu ton pada tahun
2011 menjad 793,34 ribu ton pada tahun 2013 dan sedikit menurun menjadi 761,57
ribu ton pada tahun 2014. Sementara produktivitasnya selama kurun waktu tersebut
mengalami penurunan sebesar 0,82 %/tahun.
Tabel 26. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di
Kabupaten Cilacap, 2011-2014
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ton/ha)
2011 126.283 765.875 6,06
2012 122.989 737.497 6,00
2013 131.851 793.337 6,02
2014 129.222 761.571 5,89
r (%/tahun) 1,39 0,56 -0,82 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
Kondisi perkembangan pertanaman padi sawah di Kabupaten Cilacap tentu
tidak terlepas dari kesungguhan petani dalam mengelolaan lahan pertaniannya,
keberadaan baku lahan sawah yang ada saat ini, dukungan ketersediaan air irigasi
dan dukungan alat mesin pertanian. Pada analisis ini, yang akan ditelaah lebih lanjut
55
sesuai keperluan kajian dan data yang diperoleh adalah terkait kondisi baku lahan
sawah yang ada dan mekanisasi pertanian.
Bila ditelusuri atas luas baku lahan sawah berdasarkan frekuensi tanam padi,
maka diperoleh informasi bahwa dari total baku sawah 64.520 ha sebagian besarnya
(88,56%) telah ditanami padi 2 kali dalam setahun. Sementara lahan sawah yang
dapat ditanami padi hingga 3 kali dalam setahun hanya sekitar 6,48%, dan sisanya
ditanami padi sekitar 1 kali dalam satu tahun (Dinas Pertanian dan Peternakan
Kabupaten Cilacap, 2015).
Tabel 27. Luas Baku Lahan Sawah Berdasarkan Frekuensi Tanam Padi di Kabupaten Cilacap, 2014.
Uraian Luas (Ha) Persen (%)
1. Ditanam Padi > 3 kali 4.180 6,48
2. Ditanam Padi 2 kali 57.140 88,56
3. Ditanam Padi <= 1 kali 3.200 4,96
Total 64.520 100 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
Di Kabupaten Cilacap, perkembangan mekanisasi pertanian cukup pesat
dimana salah satunya ditandai oleh semakin berkembangnya penggunaan alat mesin
pertanian, baik untuk pengolahan lahan, tanam dan panen hasil pertanian.
Berdasarkan data hingga posisi tahun 2014, jumlah traktor yang ada mencapai
3.391 unit yang tersebar di 24 kecamatan dan pada tahun 2015 terdapat tambahan
traktor sebanyak 25 unit. Sebagian besar traktor tersebut adalah traktor roda 2 yang
lebih fleksibel dalam penggunaannya terutama pada lahan sawah dengan tofografi
yang berteras.
Tabel 28. Jumlah Alat dan Mesin Pertanian di Kabupaten Cilacap, 2014 dan 2015
(Unit)
Uraian Posisi Hingga 2014 Pengadaan 2015 Total
1. Traktor
a. Besar (R4) 2 15 17
b. Kecil (R2) 3.389 10 3.399
Total Traktor 3.391 25 3.416
2. Transplanter 6 2 8
3. Power thresher 2.678 8 2.686
4. Mini Combine Harvester 8 1 9 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
56
Aktivitas tanam pun di Cilacap saat ini dominan telah menggunakan alat
transplanter yang jumlahnya masih terbatas yaitu sekitar 6 unit, dan terdapat
tambahan pada tahun 2015 sebanyak 2 unit. Karena itu, penggunaan alat tanam
dengan caplak dan manual nantinya akan semakin menurun.
Selanjutnya untuk peralatan panen padi sawah saat ini dilakukan dengan
menggunakan power thresher dan mini combine harvester. Penggunaan power
thresher pada panen padi sawah di Kabupaten Cilacap masih tinggi, dengan jumlah
tahun 2014 hingga mencapai 2.678 unit dan tambahan tahun 2015 sebanyak 8 unit.
Adapun combine harvester di Cilacap hingga tahun 2014 baru sekitar 8 unit, dan
terdapat tambahan 1 unit pada tahun 2015. Masih terbatasnya penggunaan combine
harvester di Kabupaten Cilacap antara lain disebabkan kondisi lahan yang ada, dan
harga combine harvester pun cukup mahal sekitar Rp 280 juta/unit untuk ukuran 60
PK. Combine harvester tidak bisa digunakan bila kondisi lahannya adalah lahan
basah dengan kedalaman > 20 cm dan kondisi tanah di bawahnya lembek.
Berdasarkan hasil perhitungan rasio luas baku lahan terhadap alsintan
diperoleh informasi bahwa rasio luas lahan terhadap traktor sekitar 19 : 1. Artinya
setiap traktor yang ada (sebagian besar merupakan traktor roda 2) harus dapat
melayani lahan sekitar 20 ha (Tabel 29). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa
jumlah traktor yang ada di Kabupaten Cilacap sudah mendekati ideal. Hal ini sejalan
dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal traktor
roda 2 agar tercapai kondisi impas minimal dapat mengolah lahan antara 11-15
ha/tahun. Saat ini di Kabupaten Cilacap semua lahan telah diolah secara mekanisasi,
yaitu dengan menggunakan traktor.
Tabel 29. Rasio Luas lahan dan Jumlah Alsintan di Kabupaten Cilacap, 2015
Rasio Luas Lahan: Alsintan Angka Rasio (ha: unit)
1. Lahan : Traktor 19 : 1
2. Lahan : Transplanter 8.065 : 1
3. Lahan : Power thresher 24 : 1
4. Lahan : Combine Harvester 50 : 1 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap, diolah (2015).
Lebih lanjut hasil perhitungan rasio luas baku lahan terhadap transplanter
sekitar 8.065 : 1. Artinya setiap trasplanter yang ada harus dapat melayani lahan
57
sekitar 8.065 ha (Tabel 29). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah
transplanter yang ada di Kabupaten Cilacap masih sangat kurang. Hal ini sejalan
dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal
transplanter tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan tanam sekitar
32 ha/tahun. Oleh karena itu, dalam kegiatan tanam padi sawah di Cilacap masih
dominan menggunakan alat tanam seperti dengan caplak dan secara manual
kegiatan tanamnya.
Rasio luas baku lahan terhadap alat panen power thresher sekitar 24: 1.
Artinya setiap power thresher yang ada harus dapat melayani lahan sekitar 24 ha
(Tabel 29). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah power thresher yang ada
di Kabupaten Cilacap sudah sangat cukup. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
PSEKP di Sulawesi Selatan (2015) yang menyatakan bahwa arael power thresher
dalam setahun (rata-rata sekitar 2 ha/hari dan masa tanam/musim sekitar 15 hari)
sehingga dapat bekerja ideal seluas 30 ha/musim. Oleh karena itu, dalam kegiatan
panen padi sawah di Cilacap sebagian besar menggunakan power thresher, dan
sebagian kecil sesuai dengan kondisi dan kesesuaian lahannya telah menggunakan
alat panen mini combine harvester.
Sementara untuk rasio luas baku lahan terhadap alat panen combine harvester
sekitar 50: 1. Artinya setiap combine harvester yang ada harus dapat melayani
lahan sekitar 42-50 ha (Tabel 4). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah
combine harvester yang ada di Kabupaten Cilacap masih sangat kurang. Hal ini
sejalan dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal
combine harvester tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan panen
rata-rata sekitar 35 ha/tahun. Oleh karena itu, dalam kegiatan panen padi sawah di
Cilacap masih sangat kecil menggunakan alat panen combine harvester. Kedepan
penggunaan combine harvester dapat ditingkatkan menjadi dua kali lipat
dibandingkan dengan jumlah saat ini.
Sementara itu, dengan tingkat produksi gabah yang ada di Kabupaten Cilacap
sebesar 761.571 ton ternyata untuk gabah yang diproses menjadi beras di dalam
wilayah dilayani oleh sekitar 1.907 unit RMU. Keberadaan RMU di Kabupaten Cilacap
sebagian besar berskala kecil. Menurut Ditjen P2HP (2010) bahwa penggilingan Padi
skala Kecil (PPK) adalah penggilingan padi dengan kapasitas produksi < 0,75 ton
58
beras per jam dengan konfigurasi mesin penggilingan padi terdiri dari husker dan
polisher (H-P). Penggilingan padi kecil biasanya hanya melakukan 1 kali penyosohan
atau disebut dengan penggilingan padi 1 phase. Sementara Penggilingan Padi
Sedang (PPS) adalah penggilingan padi dengan kapasitas produksi 0,75 – 3 ton
beras per jam dengan konfigurasi mesin penggilingan padi terdiri dari cleaner,
husker, separator dan polisher. Penggilingan padi menengah dapat melakukan 2 kali
proses penyosohan atau disebut dengan penggilingan padi 2 phase. Adapun
penggilingan Padi Besar (PPB) adalah penggilingan padi dengan kapasitas produksi
> 3 ton beras per jam dengan konfigurasi mesin penggilingan padi terdiri dari dryer,
cleaner, husker, separator dan polisher. Penggilingan padi besar dapat melakukan 3
kali atau lebih proses penyosohan atau disebut dengan penggilingan padi 3 phase.
Berdasarkan informasi, bahwa kondisi RMU saat ini di beberapa sentra produksi
padi di kecamatan di Cilacap sudah di bawah kapasitasnya. Pihak RMU terkadang
melayani gilingan produksi gabah dari luar wilayah kecamatan, bahkan juga berasal
dari luar kabupaten.
Tabel 30. Jumlah RMU Berdasarkan Skala di Kabupaten Cilacap, 2014
No Skala RMU Jumlah (Unit)
1 Skala Kecil 836
2 Skala Menengah 1.034
3 Skala Besar 37
Total 1.907
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
3.4.2. Analisis Manfaat Pengembangan Pertanian Melalui Penerapan Mekanisasi
Analisis Manfaat Usahatani
Seperti halnya di Soppeng, Sukoharjo dan Blora, di Cilacap kegiatan Pertanian
Modern di desa juga belum full mechanized pada semua aktivitas usahatani, akan
tetapi baru terbatas pada pengolahan lahan, tanam dan panen. Selain itu,
penggunaan mesin panen (combine harvester) juga cukup terbatas dapat
dilaksanakan pada musim MH atau MT1, namun tetap dapat melakukan panen
dengan mesin Combine Harvester pada musim MH. Oleh karena itu,
59
membandingkan manfaat adanya program Pertanian Modern dapat dilakukan pada
saat musim MH atau MT-1.
Perbandingan usahatani padi pada MT-1 antara pertanian Modern dan Non
Modern (Konvensional) disajikan pada Tabel 33. Beberapa hal juga perlu dijelaskan
terkait perbedaan komponen biaya usahatani antara pertanian modern dan non
modern yang menyebabkan perbedaan efesiensi biaya dan pendapatan. Perbedaan
tersebut hampir sama seperti halnya di lokasi kajian lainnya yaitu: (a) pada
usahatani pertanian modern, petani tidak lagi melakukan menyemai dan
mengadakan benih sendiri, tetapi komponen biaya benih sudah masuk kedalam
biaya transplanter, sementara pada pertanian nonmodern masih menggunakan
benih dan membuat perbenihan sendiri, (b) pada pertanian modern menggunakan
herbisida untuk memberantas rumput, sedangkan pada nonmodern masih
menggunakan tenaga kerja penyiangan, (c) pada pertanian modern menggunakan
tranplanter untuk kegiatan tanam, sedangkan pada nonmodern menggunakan
tenaga manusia/upahan pada kegiatan tanamnya, dan (d) pada usahatani modern
menggunakan alat combine harvester dalam kegiatan memanen, sehingga petani
memperoleh harga yang lebih baik dan kualitas gabah yang bagus serta
penyusutannya kecil antara 3-5%, sedangkan pada non modern tidak (sebagian
ditebaskan) dan menggunakan tenaga manusia dengan upah bawon, serta
kehilangan hasil bisa mencapai 10-17%.
Tabel 31 menunjukkan bahwa usahatani padi pada PPM dengan
menggunakan alat mekanisasi pertanian lebih efisien dan lebih menguntungkan,
dengan indikasi sebagai berikut (per musim tanam): (a) total biaya produksi pada
pertanian modern lebih rendah yakni Rp12,76 juta/ha, sementara pada pertanian
nonmodern mencapai Rp15,03 juta/ha atau selisihnya sekitar 15%, (b) nilai produksi
pada pertanian modern mencapai Rp 35,20 juta/ha, sedangkan pada nonmodern
hanya Rp 31,90 juta/ha hal ini sebagai akibat tingkat produktivitas yang dihasilkan
lebih tinggi pada pertanian modern dibandingkan nonmodern (8,00 ton/ha vs 7,25
ton/ha), dan (c) tingkat keuntungan pada pertanian modern lebih tinggi (Rp 22,44
juta/hektar) dibanding dengan nonmodern (Rp 16,87 juta/hektar).
60
Tabel 31. Usahatani Padi Sawah Pertanian Modern dan Non-Modern di Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten, Cilacap MT-1 2015 (Rp/hektar)
No Uraian Modern
(A)
Non-Modern
(B)
Perubahan
(%) ( A-B)
1 Faktor Produksi :
a. Benih 0 320.000 -100,00
b. Pupuk an organik 458.000 458.000 0,00
c. Pupuk organik 0 0 -
d. Pestisida 665.000 665.000 0,00
2 Tenaga Kerja :
-
a. Traktor 900.000 900.000 0,00
b. Transplanter 1.571.500 0 -
c. Combine Harvester 2.971.429 0 -
d. Tanam 0 2.000.000 -100,00
e. Penyiangan 750.000 750.000 0,00
f. Pemupukan 300.000 300.000 0,00
g. Panen 0 4.500.000 -100,00
3 Biaya Lain :
a. Sewa lahan 5.000.000 5.000.000 0,00
b. PBB 140.000 140.000 0,00
3 Total Biaya 12.755.929 15.033.000 -15,15
4 Nilai Produksi 35.200.000 31.900.000 10,34
5 Keutungan 22.444.071 16.867.000 33,06
6 R/C Rasio 2,76 2,12
Sumber : Wawacara dengan Kelompok UPJA, Desa Bojong, Cilacap (2015)
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan efisiensi biaya; (a) seperti telah
diungkapkan sebelumnya adalah bahwa pada pertanian modern petani tidak
menangani pengadaan benih dan perbenihan, biaya sudah termasuk di dalam biaya
sewa Transplanter yaitu sebesar Rp 1,571 juta/hektar, sementara pada pertanian
non modern selain harus mengeluarkan biaya benih sebesar Rp 320.000 juga petani
harus mengeluarkan biaya tanam sebesar Rp 2 juta/hektar, (b) biaya penyiangan
lebih efisien dari pada menggunakan biaya tenaga kerja penyiangan, (c) biaya
panen dengan combine harvester disamping lebih cepat juga lebih murah dibanding
dengan nilai bawon, dimana nilai bawon dengan perbandingan 7:1, maka biaya
bawon dapat mencapai Rp 4,5 juta/ha; (d) Nilai R/C pada pertanian modern lebih
tinggi dibandingkan dengan pertanian nonmodern (2,76 vs 2,12).
Berdasarkan kesimpulan di atas, selain terjadi efisiensi dalam penggunaan
biaya produksi, juga pada pertanian modern jumlah produksi lebih banyak
61
dihasilkan dari panen karena kehilangan hasil lebih kecil dibandingkan dengan
pertanian nonmodern. Hal ini debabkan dengan penggunaan mesin combine
harvester gabah langsung di-blower sehingga kebernasan gabah menjadi lebih
bagus dan kehilangan hasil juga semakin kecil dibandingkan dengan panen
konvensional/manual (8,0 ton/ha vs 7,25 ton/ha).
Analisis Manfaat Usaha Alsintan
Analisis Usaha Traktor Pada Kelompok UPJA Desa Bojong Kecamatan Kawunganten- Cilacap UPJA Desa Bojong memiliki 10 unit traktor tangan yang diusahakan untuk
melayani pengolahan lahan petani di desa Bojong. Sesuai dengan data dan
spesifikasi traktor yang dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Keputusan
Peraturan Desa sesuai rapat UPJA tentang penetapan wilayah kerja traktor yaitu
seluas 10-12 hektar sawah layanan per unit traktor, (b) harga traktor tangan adalah
Rp 15,5 juta/unit, (c) umur ekonomis traktor adalah 15 tahun dan masa olah tanah
adalah 2 kali per tahun yaitu selama 30 hari selama 2 kali musim tanam, (d) Nilai
sisa traktor setelah 15 tahun adalah Rp 4 juta (26%) dan (e) harga sewa traktor
sebesar Rp 900 ribu/ha. Pada Tabel 32 disajikan analisis finansial usaha traktor
tangan di lokasi kajian.
Tabel 32. Struktur ongkos dan sewa traktor tangan di UPJA Desa Bojong, Kec. Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat)
Nilai
(Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 15,00 7.500 112.500 12,50
1.2. Oli:
-
a. Mesin Liter 0,60 30.000 18.000 2,00
b. Gardan Liter
2.494 0,28
c. Gemuk/stempet Kg
2.493 0,28
1.3. Spare part & service Unit
41.667 4,63
1.4. Penyusutan -
31.944 3,55
1.5. Operator -
360.000 40,00
1.7.Total -
569.098 63,23
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1,00 900.000 900.000 100,00
3 Keuntungan -
330.902 36,77
4 R/C rasio
1.58
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
62
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa traktor
sebesar Rp 900 ribu/ha, total biaya usaha jasa traktor senilai Rp 569 ribu/ha atau
sebesar 63,25% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp
331 ribu/ha atau sekitar 36,77% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar
1,58. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah untuk operator mencapai
40% dari total penerimaan danurutan kedua adalah biaya bahan bakar yaitu sebesar
12,50%.
Berdasarkan informasi dari kelompok UPJA, sebenarnya luas lahan layanan
yang dengan hanya 12 hektar itu kurang memadai, karena pengembalian investasi
traktor harus dicapai maksimal sesuai dengan jangka usia ekonomisnya. Idealnya
untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu lima tahun maka luas layanan
pengolahan lahan minimal harus sekitar 25 hektar per musim tanam dengan asumsi
semua faktor input (BBM, Oli dan Spare part adalah konstan). Sebenarnya pada
analisis ini belum memperhitungkan perbedaan biaya operasional pada MT1 (MK1),
dimana pada MK1 penggunaan bahan bakar relatif lebih efisien mencapai 3-4 liter,
sehingga tingkat keuntungan akan lebih besar sekitar 5% dari pada musim MT-I,
karena pada MT-II tidak dilakukan pembajakan terutama pada lahan sawah yang
masih tergenang air (basah). Upaya untuk memperpendek pengembalian investasi,
maka UPJA telah mengembangkan wilayah layanan pengolahan tanam ke daerah
lain, termasuk ke luar daerah jika memungkinkan.
Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam mendukung pertanian modern,
kehadiran alat untuk pengolahan lahan sangatlah penting. Traktor telah lama
penggunaannya secara luas dimasyarakat, sehingga dalam perkembangannya rasio
pengelolaan traktor dengan luas lahan yang ada untuk diolahnya di lokasi kajian
semakin mengecil. Upaya meningkatkan kinerja usaha traktor yang dilakukan oleh
UPJA tentu harus melebarkan jangkauannya ke wilayah yang memang alsintannya
masih terbatas.
Analisis Usaha Transplanter pada Kelompok UPJA Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten- Cilacap
UPJA Desa Bojong memiliki 3 unit transplanter yang diusahakan untuk
melayani penanaman padi pada lahan petani di desa Bojong. Untuk mengetahui
kelayakan usaha transplanter ini, maka berikut analisis finansial usaha transplanter.
63
Sesuai dengan data dan spesifikasi transplanter kelompok UPJA yaitu sebagai
berikut: (a) situasi dan kondisi ketebalan lumpur yang ada di sawah desa Bojong,
sehingga luas layanan yaitu 11 hektar sawah layanan per musim per unit
transplanter, (b) harga transplanter adalah Rp 75 juta, (c) umur ekonomis
transpalnter adalah 10 tahun dan masa tanam adalah 2 kali per tahun, yaitu periode
waktu tanamanya 20-30 hari dalam dua kali musim tanam, (d) Nilai sisa
transplanter setelah 10 tahun adalah 10% (Rp 7,5 juta) dan (e) harga sewa
transplanter sebesar Rp 1,4 juta/ha. Berikut pada Tabel 33 disajikan analisis finansial
usaha transplanterdi lokasi kajian.
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa transplanter
Rp 1,4 juta/ha, total biaya usaha jasa transplanter senilai Rp 868 ribu/ha atau
sebesar 61,975% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp
532 ribu/ha atau sekitar 38,03% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar
1,61. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah biaya penyusutan
mencapai 22,53% dari total penerimaan danbiaya pengadaan benih dan
pengerjaannya mencapai 15,82%, sedangkan operator adalah urutan ketiga yaitu
sebesar 15,00%.
Menurut informasi dari kelompok UPJA, sebenarnya luas lahan layanan yang
dengan hanya 11 hektar itu sangat kurang memadai, karena pengembalian
investasi transplanter harus dicapai maksimal sesuai dengan jangka usia
ekonomisnya. Idealnya untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu 5 tahun, luasan
arela yang dilayani transplanter minimal mencapai BEP adalah sekitar 19 ha/musim
tanam. Kendala utama pengembangan Transplanter secara umum di Kabupaten
Cilacap adalah: (a) jenis dan kondisi lahan yang memungkinkan digunakan
transplanter pada MH dan MK, (2) retensi tenaga kerja manual tanam masih cukup
tinggi, karena mereka mengharapkan keikutsertaan dalam panen. Upaya untuk
memperpendek pengembalian investasi, maka UPJA telah mengembangkan wilayah
layanan penanam sampai ke daerah lain.
Secara umum pada penggunaan alat transplanter dalam rangka mendukung
pertanian dapat dikemukakan bahwa kehadiran alat untuk penanaman sangatlah
penting. Namun, jumlah alat transplanter masih terbatas jumlahnya, sehingga rasio
luas lahan untuk diolahnya terhadap alat transplanter di lokasi kajian masih besar,
64
artinya peluang pengembangan alat mekanisasi transplanter masih sangat besar.
Dengan demikian, upaya meningkatkan pengadaan alat transplanter masih perlu
terus ditingkatkan.
Tabel 33. Struktur ongkos dan sewa Transplanter di UPJA Desa Bojong, Kec.
Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015
No. Komponen Satuan Volume Harga satuan
(Rp)
Nilai
(Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya penyediaan Benih :
1.1. Benih Padi Kg 24,5 7.000 171.500 12,25
1.2. Tenaga pembenihan HOK 1 50.000 50.000 3,57
2 Biaya:
-
2.1. BBM Liter 7,00 7.400 51,800 3.70
2.2. Oli:
-
a. Mesin Liter 0,05 30.000 1.500 0,11
b. Hidroulik Liter 0,05 40.000 2.000 0,14
c. Gemuk/stempet Kg
2,493 0,18
2.3. Spare part & service Unit
62.843 4,49
2.4. Penyusutan -
315.421 22,53
2.5. Operator -
210.000 15,00
2.7.Total -
867.556 61,97
3 Pendapatan dari Sewa Ha 1,00 1.400.000 1.400.000 100,00
4 Keuntungan -
532.444 38,03
5 R/C rasio
1,61
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
Analisis Usaha Power Thresher pada kelompok UPJA Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten- Cilacap
UPJA Desa Bojong memiliki 5 unit power thresher yang diusahakan untuk
melayani pengolahan lahan petani di Desa Bojong. Spesifikasi power thresher yang
dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Sesuai rapat kelompok UPJA tentang
penetapan wilayah power thresher yaitu seluas 15 hektar sawah layanan per unit
power thresher, (b) harga power thresher adalah Rp 12 juta/unit, (c) umur
ekonomis power thresher adalah sekitar 8-10 tahun dan masa panen adalah dua kali
per tahun dimana periode kerja power thresher dalam satu kali musim panen sekitar
3 minggu (21 hari), (d) Nilai sisa power thresher setelah 8-10 tahun adalah Rp 1,2
65
juta (10%) dan (e) harga sewa power thresher sebesar Rp 720 ribu/ha. Pada Tabel
34 disajikan analisis finansial usaha power thresher di lokasi kajian.
Tabel 34. Struktur Ongkos dan Sewa Power thresher di UPJA Desa Bojong, Kec.
Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa (%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 3,57 7.400 26.418 3,67
1.2. Oli: 0,00
a. Mesin Liter 0,714 30.000 21.429 2,98
b. Gardan Liter 0,5 30.000 15.000 2,08
c. Gemuk/stempet Kg 15.000 2,08
1.3. Spare part & service Unit 20.605 2,86
1.4. Penyusutan - 45.000 6,25
1.5. Operator - 120.000 16,67
1.7.Total - 263.452 36,59
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 720.000 720.000 100,00
3 Keuntungan - 456.548 63,41
4 R/C rasio 2,73
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
Nilai sewa power thresher Rp 720.000/ha, total biaya usaha jasa power
thresher senilai Rp 263.000 /ha atau sebesar 36,59% terhadap penerimaan, dan
keuntungan usaha power thresher sebesar Rp 457 ribu/ha atau sekitar 63,41% dari
penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar 2,73. Komponen terbesar dari biaya
usaha power thresher adalah biaya operator mencapai 16,67% dari total
penerimaan dan penyusutan mencapai 6,25%.
Pada kegiatan usaha jasa power thresher ini (UPJA), setiap petani yang
menggunakan jasa panen alsintan power thresher harus membayar (mengeluarkan)
sebanyak 25 kg per setiap 1 ton hasil panen. Dari hasil tersebut, maka UPJA harus
mengalokasikan 1/7 untuk bagian operator dan yang membantu operasional power
thresher dan sisanya untuk bagian UPJA tersebut.
Menurut informasi dari kelompok UPJA, bahwa rataan luas lahan layanan
power thresher saat ini sekitar 15 ha/musim yang dinilai masih kurang memadai.
Idealnya area layanan power thresher seluas 30 ha/musim. Juga terdapat power
thresher yang masuk dari daerah lain, sehingga tidak terjadi kekurangan pada saat
66
panen padi. Saat ini, kegiatan panen padi sawah di Cilacap sebagian besar
menggunakan power thresher, dan sebagian kecil menggunakan alat panen mini
combine harvester. Pemilihan alsin disesuaikan dengan kondisi dan kesesuaian
lahannya telah.
Secara umum pada penggunaan alat panen power thresher dalam rangka
mendukung pertanian dapat dikemukakan bahwa kehadiran alat pemanen sangatlah
penting. Jumlah alat power thresher di lokasi kajian Desa Bojong memang masih
kurang, namun dalam lingkup Kabupaten Cilacap keberadaan alsintan ini sudah
cukup. Dengan demikian, upaya meningkatkan pengadaan power thresher secara
khusus dapat disediakan pada daerah yang masih membutuhkannya, atau melalui
relokasi/optimalisasi penggunaan alsintan power thresher dari wilayah yang cukup
ke wilayah yang masih kekurangan.
Analisis Usaha Combine Harvester pada kelompok UPJA Desa Bojong Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap
UPJA Desa Bojong memiliki 3 unit power mini Combine Harvester yang
diusahakan untuk melayani pengolahan lahan petani di Desa Bojong. Untuk
mengetahui kelayakan usaha ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha
combine haevester. Sesuai dengan data dan spesifikasi Combine Harvester yang
dimiliki UPJA adalah sebagai berikut: (a) Sesuai rapat kelompok UPJA tentang
wilayah yang memungkin kondisi lahannya dpat dilayani dalam panenya oleh
Combine Harvester adalah bisa seluas 50 hektar sawah layanan per unit Combine
Harvester, (b) harga mini Combine Harvester adalah Rp 240 juta/unit, (c) umur
ekonomis Combine Harvesteradalah sekitar 10 tahun dan masa panen adalah 2 kali
per tahun dimana periode kerja Combine Harvesterdalam satu kali musim panen
sekitar 3 minggu (21 hari), (d) Nilai sisa Combine Harvestersetelah 10 tahun adalah
Rp 24 juta (10%) dan (e) harga sewa Combine Harvestersebesar Rp 2,97 juta/ha.
Nilai sewa Combine Harvester Rp 2,97 juta/ha, total biaya usaha jasa Combine
Harvester senilai Rp 1,86 juta/ha (62,66% terhadap penerimaan), dan keuntungan
usaha Combine Harvester sebesar Rp 1,11 juta/ha (37,34% dari penerimaan) serta
perolehan R/C rasio sebesar 1,60. Komponen terbesar dari biaya usaha Combine
Harvester adalah biaya operator mencapai 53,85% dari total penerimaan, biaya
spare part sekitar 3,77% dan penyusutan hanya mencapai 2,63% (Tabel 35).
67
Petani yang menggunakan jasa panen alsintan Combine Harvester harus
membayar jasa dalam bentuk natura sebesar 1:7, yaitu jika mendapat 7 ton hasil
panen maka Combine Harvester memperoleh 1 ton bagian. Dari bagian Combine
Harvester tersebut, sekitar 35% dialokasikan untuk operator dan yang membantu
operasional Combine Harvester dan sisanya 65% untuk bagian UPJA tersebut.
Tabel 35. Struktur Ongkos dan Sewa Mini Combine Harvester di UPJA Desa Bojong,
kec. Kawunganten, Kab. Cilacap, 2015
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa (%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 7,00 6.900 48.300 1,63
1.2. Oli:
a. Mesin Liter 0,37 30.000 11.100 0,37
b. Gardan Liter 0,25 30.000 7.500 0,25
c. Gemuk/stempet Kg 5.000 0,17
1.3. Spare part & service Unit 112.000 3,77
1.4. Penyusutan - 78.000 2,63
1.5. Operator - 1.600.000 53,85
1.7.Total - 1.861.900 62,66
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 2.971.429 2.971.429 100,00
3 Keuntungan - 1.109.529 37,34
4 R/C rasio 1,60
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
Rataan luas lahan layanan Combine Harvester sekitar 50 ha. Ideal combine
harvester tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan panen rata-rata
sekitar 35 ha/tahun. Adapun alasan masih rendahnya penggunaan combine
harvester pada sistem panen di lokasi kajian disebabkan oleh: (a) jumlah combine
Harvester masih terbatas, dimana UPJA baru memiliki 3 unit, (b) kondisi lahan,
terutama pada MT-I tidak memungkinkan menggunakan combine harvester, dan (c)
masih adanya retensi dari tenaga kerja panen yang masih cukup tinggi, sehingga
UPJA tidak terlalu bersemangat untuk menggunakan combine harvester, walaupun
sebenarnya untuk memperoleh combine harvester cukup mudah, baik dengan cara
sewa atau pun pembelian melalui kredit.
Masih terbatasnya penggunaan combine harvester di Kabupaten Cilacap antara
lain disebabkan selain oleh kondisi lahan yang ada, juga harga combine harvester
pun cukup mahal sekitar Rp 280 juta/unit untuk ukuran 60 PK. Combine harvester
68
tidak bisa digunakan bila kondisi lahannya adalah lahan basah dengan kedalaman >
20 cm dan kondisi tanah di bawahnya lembek. Untuk mengoptimalkan peran mesin
combine harvester, UPJA telah melakukan ekspansi lokasi panen ke luar Jawa yaitu
ke Sumatera. Oleh karena itu, dalam kegiatan panen padi sawah di Cilacap masih
sangat kecil menggunakan alat panen combine harvester. Ke depan penggunaan
combine harvester dapat ditingkatkan menjadi dua kali lipat dibandingkan dengan
jumlah saat ini.
3.4.3. Pengembangan Pertanian Melalui Kelembagaan Pengelolaan Jasa
Alsintan (UPJA)
Kelembagaan UPJA sesungguhnya telah lama berkembang di Indonesia, tetapi
baru secara formal berkibar sejak dikeluarkannya Permentan No.25/2008 tentang
Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin
Pertanian. Dengan dikeluarkannya Permentan ini, Pemerintah Daerah diberi mandat
untuk membina dan memfasilitasi UPJA yang terdapat di daerahnya masing-masing,
sehingga UPJA tersebut dapat menuju ke arah kelembagaan yang profesional.
UPJA adalah suatu lembaga ekonomi perdesaan yang bergerak di bidang
pelayanan jasa dalam rangka optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian
untuk mendapatkan keuntungan usaha baik di dalam maupun di luar kelompok tani/
gapoktan. Latar belakang kegiatan penumbuhan dan pengembangan UPJA ini antara
lain adalah: (1) masih kurang optimalnya kepemilikan alsintan oleh petani, (2) masih
rendahnya tingkat penguasaan informasi dan teknologi dalam pengelolaan
mekanisasi pertanian, dan (3) terdapatnya indikasi penurunan daya dukung lahan
pertanian. Sementara tujuan penumbuhan dan pengembangan UPJA adalah untuk
mendorong pengembangan dan kemajuan kinerja UPJA, mengoptimalkan
pemanfaatan alsintan dari aspek teknis, ekonomis, organisasi dan aspek penunjang.
UPJA mempunyai fungsi sebagai pelayanan jasa alsintan dalam penanganan
budi daya (penyiapan lahan, pemberian air irigasi, penanaman, pemeliharaan,
perlindungan tanaman), pelayanan pengolahan hasil pertanian (jasa pemanenan,
perontokan, pengeringan dan penggilingan padi), dan secara luas mendorong
pengembangan produk dalam rangka peningkatan nilai tambah yang pada akhirnya
akan meningkatkan kesejahteraan petani. Pengembangan UPJA ke depan meliputi
berbagai subsistem yaitu Kelembagaan UPJA, Penyediaan alsintan, suku cadang,
69
pelayanan, perbaikan, perbengkelan, pengguna jasa alsintan (kelompok tani,
gapoktan, P3A), Permodalan dan pendanaan, Pembinaan dan pengendalian oleh
instansi.
Pengembangan mekanisasi di Jawa Tengah dan khususnya di Kabupaten
Cilacap didukung tumbuhnya bengkel alat mesin pertanian (alsintan). Data pada
tahun 2013, di Jawa Tengah telah terdapat 11 bengkel alsintan yang dibina oleh
Balai Alsintan Jateng yang tergabung ke dalam Paguyuban Bengkel Alsin Jawa
Tengah. Bengkel alsin mulai berkembang karena semakin banyak petani yang
menggunakan alsintan untuk menggarap lahan pertaniannya, antara lain
penggunaan traktor untuk mengolah lahan pertanian.
Kegiatan yang dilakukan oleh bengkel alsintan tidak hanya sebatas pada
perbaikan alsintan saja melainkan merancang teknologi alsintan yang dapat
disesuaikan dengan pemesanan. Melalui kelembagaan UPJA dan Paguyuban Bengkel
Alsintan di Jateng, maka bahwa Jateng yang merupakan salah satu sentra produksi
pangan, sangat didukung oleh kondisi mekanisasi pertanian yang maju.
Pada tahun 2015, guna mendukung swasembada pangan di Kabupaten
Cilacap, sebanyak 49 mesin traktor tangan dan 22 pompa air merupakan bantuan
dari Presiden RI. Upaya tersebut dalam rangka meningkatkan produksi melalui
peningkatan Indeks Pertanaman (IP), sehingga diperlukan tambahan jumlah alat
mesin, khususnya untuk tanaman pangan. Kebijakan pengembangan mekanisasi
pertanian harus mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, mutu dan nilai
tambah, mendorong tumbuhnya industri alat dan mesin dalam negeri dan
mendorong kemitraan antara industri besar dan UKM. Strategi yang perlu ditempuh
dalam pengembangan mekanisasi pertanian adalah membangun industri pertanian
di pedesaan berbasis mekanisasi pertanian pada sentra produksi. Unit traktor tangan
diserahkan kepada 49 kelompok tani, Gapoktan dan Unit Pengelola Jasa Alsintan
(UPJA) di 20 kecamatan. Sementara 22 mesin pompa air diserahkan kepada 22
kelompok tani, Gapoktan dan P3A di 13 wilayah kecamatan.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015),
bahwa jumlah kelompok tani di Kabupaten Cilacap berjumlah sekitar 2.033 kelompok
dan jumlah gapoktan sebanyak 279. Adapun jumlah kelompuk Usaha Pengelola Jasa
Alsintan (UPJA) sebanyak 115 UPJA. Jumlah UPJA terbanyak terdapat di Kecamatan
70
Gandrungmangu sebanyak 23 UPJA, dan UPJA yang paling aktif terdapat di
Kecamatan Kawunganten. Jumlah UPJA di Kawunganten berjumlah 2 UPJA, dan
UPJA teraktif adalah UPJA Setia Dadi.
Tabel 36. Jumlah Kelompok Tani, Gapoktan dan UPJA di Kabupaten Cilacap, 2014.
No Kecamatan Kel. Tani Gapoktan UPJA
1 Dayeuhluhur 155 14 4
2 Wanareja 147 16 8
3 Majenang 135 17 4
4 Cimanggu 96 15 4
5 Sidareja 80 10 6
6 Cipari 84 11 3
7 Kadungreja 125 11 11
8 Patimuan 109 7 7
9 Gandrungmangu 106 14 23
10 Karangpucung 92 14 0
11 Cilacap Selatan 13 2 0
12 Cilacap Tengah 20 3 1
13 Cilacap Utara 26 5 1
14 Kesugihan 110 16 12
15 Jeruklegi 65 13 12
16 Kawunganten 96 12 2
17 Bantarsari 65 8 2
18 Kampung Laut 34 4 1
19 Sampang 55 10 2
20 Maos 53 10 3
21 Adipala 92 16 1
22 Kroya 93 17 5
23 Binangun 95 17 1
24 Nusawungu 87 17 2
Jumlah 2.033 279 115 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
UPJA Setia Dadi berada di Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten, berdiri sejak
tahun 2014 dan berbadan hukum dengan akta notaris. Pada awal berdirinya hanya
memiliki 2 unit alsintan yaitu hand traktor, dan saat ini telah memiliki antara lain: (1)
Hand tractor 10 unit, (2) Power Thresher 5 unit, (3) Dryer 1 unit, (3) Transplanter 1
unit, (4) Combine Harvester 3 unit, (5) RMU 1 unit, (6) Alat Bengkel 1 unit.
Adapun daerah operasional kegiatan UPJA Setia Dadi yaitu meliputi seluruh
kecamatan di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Jepara, Kabupaten Subang, dan
bahkan luar Jawa seperti Palembang dan Lampung. Areal operasional ini terutama
71
pada kegiatan aktivitas panen dengan alat panen Combine Harvester. UPJA ini juga
sebagai tempat belajar UPJA lain dan petani/kelompok tani dari berbagai daerah,
yaitu dalam Kabupaten Cilacap sendiri, Kabupaten Jepara, Kabupaten Tegal,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, Kabupaten
Semarang, Provinsi Papua, Riau, Sulawesi Selatan dan Maluku.
Berkembangnya UPJA Sido Dadi tidak terlepas dari keaktifan dan soliditas
pengurus UPJA terutama Ketuanya. Jumlah pengurus UPJA sebanyak empaat orang,
dan anggota melingkupi petani di Desa Bojong. Luas Lahan sawah di Desa Bojong
mencapai 921 hektar, yang mencakup lahan pemilikan perorangan seluas 531 ha,
lahan bengkok seluas 100 ha, dan lahan Perhutani (sawah) seluas 290 ha.
3.4.4. Kelembagaan Pengelolaan Usahatani, Penyediaan Input,
Pascapanen dan Pemasaran
Kelembagaan Pengelolaan Usahatani Dan Penyediaan Input
Pengelolaan usahatani pada daerah yang mendapat pelayanan Usaha
Pengelolaan Jasa Alsintan (UPJA) sepenuhnya dilaksanakan oleh petani. Hanya saja
petani menggunakan jasa Alsintan untuk melakukan pengolahan tanah, penanaman,
dan pemanenan. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa total luas lahan sawah
di lokasi kajian Desa Bojong Kawunganten mencapai 921 hektar, yang mencakup:
lahan pemilikan perorangan seluas 531 ha, lahan bengkok seluas 100 ha, dan lahan
Perhutani (sawah) seluas 290 ha. Pada lokasi tersebut, penanaman lahan seluruhnya
menggunakan jasa traktor yang ada di desa tersebut. Jumlah traktor keseluruhan
terdapat 72 unit dimana 10 diantaranya adalah milik UPJA. UPJA melakukan inisiatif
melakukan pertemuan/rembugan diantara para pemilik traktor perorangan yang
dihadiri oleh seluruh aparat desa termasuk Babinsa untuk menetapkan Perdes
(Peraturan Desa) tentang pengaturan luas maksimal pelayanan untuk masing-
masing traktor yang ada di Desa Bojong. Di antara keputusan yang dibuat adalah:
(a) menetapkan luas maksimal pelayanan masing-masing traktor yaitu berkisar
antara 10-12 hektar per unit traktor. Hal ini dengan mempertimbangkan jadwal
pengaturan air, jadwal tanam, dan jumlah traktor, (b) menetapkan besaran biaya
atau upah traktor untuk pengolahan tanah sampai siap tanam, dimana untuk tahun
2014/2015 ditetapkan sebesar Rp 900.000 per hektar, yang tidak dibedakan antara
musim MT-I (MH) dengan MT-II (MK1), dan (c) menetapkan larangan adanya
72
traktor dari luar daerah/desa untuk melakukan pengolahan lahan sawah di Desa
Bojong, hal ini tentu dengan memperhatikan bahwa jumlah traktor di desa ini sudah
melebihi luas areal yang ideal untuk satu unit traktor, yaitu idealnya adalah 15-20
hektar per musim.
Secara sosiologis, penggunaan traktor di desa ini sudah sangat diterima dan
bahkan terindikasi kelebihan alat traktor. Hal yang mendasari bahwa masyarakat
bahwa traktor ini diterima secara social adalah : (a) ketersediaan tenaga kerja untuk
mengolah sudah kurang, bahkan untuk tanaga kerja muda sudah tidak ada, karena
opportunity cost tenaga kerja di luar sektor pertanian lebih tinggi dan lebih
bergengsi, (b) waktu yang dibutuhkan dalam pengolahan lahan sangat cepat untuk
mengejar jadwal tanam, sehingga yang memungkinkan adalah dengan
menggunakan traktor, (c) lebih efisien bagi sisi pemilik lahan, dan (d) tidak ada
ketergantungan, karena traktor setiap saat senantiasa stand by.
Sementara terkait dengan mengadaan input seperti benih, pupuk dan pestisida.
Pemenuhan benih dan pestisida tersedia dua pilihan yaitu langsung membeli ke kios
saprotan atau dapat juga memperoleh melalui kelompok atau gapoktan. Bagi petani
yang langsung membelinya ke kios saprotan adalah petani yang memiliki
sumberdaya modal yang cukup, yang memang harganya lebih murah namun harus
dibayar secara tunai. Sementara petani yang kurang mampu biasanya memperoleh
dari kelompok tani atau gapoktan, dimana pembayarannya adalah dengan cara
dibayar setelah panen, namun konsekuensinya harga diperhitungkan berbeda
(sedikit lebih mahal). Pupuk hampir seluruhnya diperoleh melalui kelompok atau
gapoktan, karena perencanaan pengadaan dan perolehan pupuk menyesuaikan
dengan RDKK yang sudah di rencanakan dan dikelola oleh kelompok. Bagi petani
keberadaan kelompok atau gapoktan sangat menolong, terutama jika terjadi
musibah serangan OPT dan kekeringan. Jika terjadi kegagalan panen, maka akan
ada penangguhan pembayaran sarana produksi ke kelompok atau gapoktan, yang
didalamnya juga merupakan kelompok UPJA.
Selain itu, pada UPJA juga tersedia pelayanan jasa tanam dengan alat
transplanter. Pada pengelolaan usahatani khususnya adalah pengadaan benih padi,
maka ketersedian benih dengan mempertimbangkan varietas, ketepatan, dosis benih
sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini disebabkan, ketika petani menggunakan
73
jasa transplanter, maka pengadaan benih dan persemaiannya tidak mungkin
dilakukan oleh petani, akan tetapi dipenuhi oleh pemilik UPJA. Sistem persemaian
dengan menggunakan transplanter memerlukan keahlian yang cukup memadai atau
berbeda dengan sistem persemaian tapin (tanam pindah). Dengan demikian adopsi
inovasi khususnya penggunaan varietas unggul dan efisiensi penggunaan benih padi
menjadi sangat ideal jika menggunakan transplanter. Namun disayangkan
penggunaan transplanter memiliki keterbatasan terutama pada MT-I (MH), sehingga
dari 921 hektar sawah hanya baru sekitar sekitas 50 hektar saja yang menggunakan
jasa transplanter. Pada saat MH, penggunaan transplanter terkendala oleh
kedalaman lumpur sawah. Di samping itu, untuk jasa tanam masih bersaing dengan
kelompok tanam manual, dimana pada kondisi saat ini masih mengharapkan
lapangan pekerjaan untuk kegiatan tanam tersebut. Hal ini mengingat, aktivitas
kegiatan tanam yang dilakukan secara manual berkaitan dengan kesempatan
memanen hasil padi yang ditanamnya.
Penyediaan benih yang berkualitas pada petani atau sawah yang sudah
mendapat palayanan jasa transplanter dapat dilakukan oleh UPJA dan menjadi
bagian usaha UPJA dalam penyediaan benih. Pada luasan 50 hektar, UPJA dapat
melakukan penangkaran benih dari label biru untuk dijadikan label ungu, sehingga
kualitas benih dapat terkontrol, atau UPJA dapat menyesuaikan penggunaan varietas
sesuai dengan perkembangan pasar gabah dan mempertimbangkan eksplosif hama
penyakit. Jumlah benih yang digunakan per hektarnya pun juga dapat dikontrol,
sehingga menjadi lebih efisien dan pertumbuhan anakan akan menjadi lebih baik.
Selain itu, bagi petani yang penggunaan jasa transplanter lebih cepat dan lebih
murah dibanding dengan harus menggunakan jasa tanam manual. Upah jasa tanam
manual cukup mahal yaitu Rp 45.000 per hari, sedangkan jika dengan pelaksanaan
borongan 16 orang x Rp 45.000. Pada tanam manual, petani juga harus menyiapkan
benih dan pengolahan perbenihan sendiri.
Kelembagaan Pascapanen dan Pemasaran
Pengelolaan panen, di lokasi kajian Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten
sebagian besar masih menggunakan panen sistem manual, dimana panen
menggunakan tenaga rombongan sekitar 10-15 orang dengan menggunakan sabit
74
dan dirontokan dengan menggunakan power thresher. Adapun upah yang diberikan
adalah 1/7 bagian pemanen, dan 6/7 bagian pemilik lahan sawah. Pada bagian 1/7
tersebut, sekitar 25 kg per bau (1 bau= 0,714 ha) diberikan untuk biaya thresher.
Masih terdapat sekitar 750 hektar sawah di Desa Bojong sistem panennya
menggunakan manual, karena: (a) jumlah combine Harvester masih terbatas,
dimana UPJA baru memiliki 3 unit, (b) kondisi lahan, terutama pada MT-I tidak
memungkinkan menggunakan combine harvester, dan (c) masih adanya retensi dari
tenaga kerja panen yang masih cukup tinggi, sehingga UPJA tidak terlalu
bersemangat untuk menggunakan Combine Harvester, walaupun sebenarnya untuk
memperoleh Combine harvester cukup mudah baik dengan cara sewa atau pun
pembelian melalui kredit. Untuk mengoptimalkan peran mesin harvester, UPJA telah
melakukan ekspansi lokasi panen ke luar Jawa yaitu ke Sumatera. Pada kegiatan
panen manual sesungguhnya juga terdapat kendala yang dihadapi petani, yaitu: (a)
kehilangan hasil masih relatif tinggi, karena ada ”moral hazard” dimana ada
kelompok panen yang terkadang diantaranya juga sebagai pemilik bebek, sehingga
gabah banyak tercecer dan malai juga masih banyak yang tidak terpanen, (b)
pengerjaannya lebih lama, (c) jaminan ketersediaan tenaga panen tidak terjamin,
dan (d) biaya panen relatif lebih mahal.
Sebagian besar petani biasanya menjual hasilnya dalam bentuk gabah kering
panen (GKP), setelah mereka menyisihkan gabah untuk keperluan rumah
tangganya. Penjualan gabah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dijual ke
kelompok tani atau UPJA, atau juga petani dapat menjual gabahnya ke para
tengkulak. Gabah yang dibeli kelompok tani/UPJA selanjutnya dijual sesuai
permintaan gabah dari BULOG Kabupaten Ciamis. BULOG biasanya membeli gabah
sesuai persyaratan/spesifikasi tertentu yang harus dipenuhi kelompok tani/UPJA, dan
biasanya volumenya telah ditentukan.
Harga gabah yang diterima UPJA berbeda antara musim MT-I dan MT-II, pada
MT-II harga gabah mencapai Rp 4.200/kg dan pada MT-I hanya sekitar Rp.
3.800/kg. Pada kedua musim tersebut, harga gabah di masyarakat umumnya berada
di atas harga patokan pembelian Pemerintah, sehingga pemerintah untuk
pengadaan stok gabah otomatis harus membeli dengan harga yang sama dengan
harga yang terdapat di masyarakat.
75
3.5. Peluang dan Kendala Pengembangan Pertanian Modern Melalui
Mekanisasi Pertanian
Pertanian modern dapat menjadi suatu wujud sistem usahatani dengan
spesialisasi produk yang sangat beragam, penggunaan tradeable input makin tinggi
dan sudah mempraktekkan sistem manajemen usahatani lebih efisien. Salah satu ciri
praktek pertanian modern adalah penggunaan mekanisasi pertanian yang sudah
berjalan secara intensif dan efisien.
Mekanisasi pertanian dapat diartikan sebagai pengenalan dan penggunaan
dari setiap bantuan yang bersifat mekanis untuk melangsungkan operasi pertanian.
Secara umum mekanisasi pertanian dapat juga diartikan sebagi penerapan ilmu
teknik untuk mengembangkan, mengorganisasi, dan mengendalikan operasi di
dalam produksi pertanian. Ruang lingkup mekanisasi pertanian juga berkembang
sejalan dengan perkembangan teknologi dan modernisasi pertanian.
Mekanisasi pertanian bertujuan untuk meningkatkan produktivitas tenaga
kerja, meningkatkan produktifitas lahan, dan menurunkan ongkos produksi.
Penggunaan alat dan mesin pada proses produksi dimaksudkan untuk meningkatkan
efesiensi, efektifitas, produktivitas, kualitas hasil, dan mengurangi beban kerja
petani. Oleh karena itu, agar pemanfaatan potensi lahan yang tersedia tersebut
dapat optimal, perlu didukung oleh sistem mekanisasi pertanian yang baik.
Pengembangan Pertanian yang ditopang oleh mekanisasi pertanian menjadikan
pertanian lebih maju dan modern yang dapat dicontoh oleh daerah lainnya.
Berdasarkan Pedoman Umum (Pedum) yang dikeluarkan oleh Direktorat
Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), bahwa setiap provinsi minimal ada
satu percontohan Pertanian Modern. Kata kunci Pertanian Modern paling menonjol
adalah : (a) full mechanized dan (b) integrated farming. Namun pada kenyataannya
pada lokasi yang sudah melaksanakan pertanian modern baru sebagian kegiatan
yang menggunakan mekanisasi dan pengelolaannya terintegrasi. Pada pengertian
terintegrasi, dengan tujuan untuk meningkatkan populasi tanaman per satuan luas
dan memudahkan mobilitas alsintan pada suatu hamparan, maka pada tingkat
tertentu batas-batas galengan diintegrasikan. Walaupun hal ini dilapangan masih
menjadi pembahasan, karena masyarakat menganggap bahwa aset lahan itu
merupakan satu-satunya barang yang berharga, mereka masih meragukan akan
76
keamanan kepemilikan lahan mereka, dan secara teknik topografi sebenarnya
kondisinya tidak memungkinkan jika seluruh sawah pertanian modern semuanya
dihilangkan galengannya (dengan luas pertanian modern 100 hektar) dan
pengelolaannya diintegrasikan. Artinya dalam pelaksanaan pertanian modern,
memerlukan waktu yang lama untuk sosialisasi dan persiapan dengan matang
sehingga petani dapat secara rasional menerima konsep tersebut. Hal ini tentu
tidaklah mudah untuk dilaksanakan, dimana pada konsep pertanian modern salah
satu kata kuncinya adalah integrated farming, diantaranya sebagian petani tidak lagi
secara penuh mengelola usahataninya sehingga harus mencari pekerjaan di sektor
pertanian. Permasalahannya, kesempatan kerja di sektor non pertanian belum
tumbuh dengan baik.
Pertanian Modern diintroduksikan dalam bentuk PPM di tiga lokasi yaitu :
Kabupaten Soppeng, Sulsel; Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Blora, Jateng.
Para petani di lokasi kajian cukup merespon dengan baik sistem pertanian modern
dengan konsep pengelolaan usahatani secara corporate dan konsolidasi lahan.
Konsolidasi lahan dilokasi PPM direspon petani dengan mengecilkan galengan sawah.
Di Sukoharjo, petani pernah melakukan pengecilan galengan sawah, dalam hal ini
galengan sawah belum bisa dihilangkan karena masih diperlukan agar saat
pengairan satu petakan sawah dapat optimum pengenangannya. Pengelolaan
lahan/sawah oleh 1-2 orang petani pemilik dengan luasan 3 ha hasil konsolidasi dan
petani lainnya secara konsep akan diberikan mata pencaharian lainnya non
usahatani, sulit dilaksanakan. Pada dua lokasi PPM lainnya, yaitu Soppeng dan
Blora, konsolidasi lahan merupakan tantangan yang berat. Hal ini disebabkan
karena pematang memiliki fungsi sebagai batas kepemilikan lahan dan berfungsi
sebagai penahan air, agar air tidak terus mengalir ke lahan yang lebih rendah.
Pada pelaksanaannya, sangat sulit mengkonsolidasi lahan terutama
penghilangan galengan sawah karena infrstruktur irigasi yang belum siap, dan air
sering sulit masuk dari satu petakan ke petakan lainnya mengingat tofografi lahan
yang cenderung tidak rata dan letaknya seringkali tidak simetris. Seperti telah
dikemikakan ditas, pola pengelolaan secara corporate, dimana beberapa petani akan
diberikan mata pencaharian non usahatani dalam prakteknya sangat sulit karena
kebiasaan petani dan juga keterampilan yang dimiliki petani. Selain itu, permodalan
77
juga masih menjadi kendala untuk pelaksanaannya. Permasalahan sosial lainnya
tentu akan muncul ketika pengelolaan lahan dengan meniadakan galengan,
sementara masalah admistrasi lahan secara baik belum dipersiapkan oleh BPN untuk
keperluan tersebut dan juga dukungan infrastruktur irigasi yang belum sepenuhnya
memadai untuk kegiatan usahatani dengan konsolidasi lahan.
Pada kegiatan pertanian modern dengan dukungan mekanisasi pertanian dapat
diartikan sebagai pengenalan dan penggunaan dari setiap bantuan yang bersifat
mekanis untuk melangsungkan operasi pertanian. Mesin pertanian yang relatif baru
berkembang yaitu alat mesin tanam (transplanter) dan alat panen (combine
harvester). Sementara alsintan lainnya yang sudah lama berkembang dan eksis
dalam kegiatan usahatani dan pasca panen adalah traktor, power thresher dan RMU
(Rice Milling Unit).
Kegiatan mekanisasi pertanian berjalan dapat meningkatkan efesiensi,
efektifitas, produktivitas, kualitas hasil, dan mengurangi beban kerja petani.
Pengembangan Pertanian yang ditopang oleh mekanisasi pertanian akan dapat
menjadikan sosok pertanian lebih maju dan modern yang dapat dicontoh oleh
daerah lainnya, terutama disekitar lokasi percontohan.
Peluang dalam peningkatan pelaksanaan Pertanian Modern adalah: (a)
perlunya meningkatkan peran dan kelembagaan UPJA untuk meningkatkan
pemanfaatan alsin dan pengembangan jumlahnya untuk mendukung program
peningkatan produksi padi, (b) karena salah satu jargon pertanian modern adalah
full mechanize, maka bantuan alsintan yang cukup intensif dan diharapkan akan
meningkatkan produksi pasca modernisasi pertanian melalui dukungan alsintan, (c)
dengan waktu yang cukup untuk penyempurnaan konsep dan dukungan
infrastruktur serta pendukungnya, maka peluang pengembangan pertanian modern
akan berhasil dengan baik.
Kabupaten Cilacap merupakan daerah yang yang mempunyai UPJA terbaik
secara nasional. Penggunaan alsin untuk usaha pertanian telah berkembang dengan
baik, namun tidak menjadi lokasi percontohan pertanian modern. Dalam kasus ini,
Kabupaten Cilacap pada tahun 2014 sebenarnya sudah mendapat tawaran untuk
menjadi daerah contoh pengembangan Pertanian Modern, namun pada saat itu,
terkendala oleh beberapa hal, diantaranya: (a) belum adanya sosialisasi yang baik
78
terhadap masyarakat, sehingga masyarakat masih meragukan manfaat Pertanian
Modern, (b) waktunya terlalu pendek untuk melakukan sosialisasi dan pendekatan
terhadap masyarakat, (c) belum jelasnya beberapa pengertian terkait peraturan
dalam Pertanian Modern, seperti dihilangkannya galengan, dimana masyarakat
merasa khawatir akan terjadi konflik dengan sesama petani ketika sawahnya bersatu
tanpa sekat galengan, (d) kepemilihan lahannya sempit, sehingga untuk
mengkonsolidasikan usahatani seluas 100 hektar dengan melibatkan sekitar 300-400
petani dan harus dengan musyawarah, dapat dibayangkan kesulitannya dengan
cukup beragamnya pemikiran petani sebanyak itu. Walaupun demikian, masih
terdapat peluang untuk pelaksanaan Pertanian Modern di Kabupaten Cilacap antara
lain adalah: (a) pemerintah pusat telah melihat dari keberhasilan UPJA yang
merupakan peluang besar untuk mendapat program tersebut, (b) karena salah satu
jargon pertanian modern adalah full mechanize, maka dari sisi pengelolaan alsintan
di Cilacap telah menjadi rujukan daerah lain, (c) dengan waktu yang cukup untuk
memberikan pemahaman kepada petani, maka peluang tahun mendatang
diharapkan petani akan siap untuk menerima Pertanian Modern. Dengan luas 100
hektar, tentu tidak sampai setengah luas pertanian sawah di desa dapat
diorganisasikan menjadi pertanian modern.
3.6. Pembelajaran dan Indikasi Kebijakan yang Dibutuhkan untuk
Pertanian Modern.
Dari pengamatan, diskusi dan pembahasan kajian pertanian modern ini dapat
ditarik suatu pembelajaran serta indikasi kebijakan yang dibutuhkan agar penerapan
konsep pertanian modern lebih efektif dikemudian hari. Pemilahan pembelajaran dan
indikasi kebijakan yang dibutuhkan meliputi : (1) konsep dan persiapan
implementasi pertanian modern, (2) dukungan prasarana alsintan, faktor produksi
dan teknologi budi daya, (3) koordinasi lintas sektor (BPN, PU pengairan,
Kemperindag, dll), (4) manajemen sumberdaya manusia.
Didalam pelaksanaannya pertanian modern ini, antar daerah sangat bervariasi
mulai dari belum bisa dilaksanakan, sudah dilaksanakan tetapi belum sepenuhnya
modern, dan ada yang sudah lebih maju. Kabupaten yang belum mampu
melaksanakan Pertanian modern pada tahun 2015 adalah di kabupaten Cilacap,
diantara alasannya adalah : (a) petani belum memahami dan menerima untuk
79
dilakukan konsolidasi lahan dan pengelolaan terintegrasi, (b) petani belum meyakini
keberhasilan pertanian modern, dan (c) petani masih belum membayangkan mau
bekerja apa jika lahan mereka dikelola oleh korporasi, karena di Cilacap untuk
kegiatan tertentu masih cukup tersedia tenaga kerja.
Sedangkan kabupaten yang sudah menerapkan pertanian modern tetapi
belum sempurna atau baru sebagian kegiatan yang dikelola secara modern adalah di
Kabupaten Soppeng, Sulsel; Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Blora, Jawa
Tengah. Di ketiga kabupaten pertanian modern baru terlaksana pada tahap kegiatan
pengolahan lahan, penanaman dan panen. Konsolidasi lahan per 3 hektar tetapi
pada saat ini kembali diberi galengan dengan ukuran galengan kecil, karena
permasalahan pengaturan irigasi dan batas kepemilikan lahan. Kegiatan
pemeliharaan, pemanenan dan penjualan hasil masih dilakukan secara individu.
Permasalahan yang dipandang belum bisa terselenggaranya pertanian modern
secara sempurna adalah : (a) Waktu persiapan untuk pelaksanaan PPM kurang
memadai, sehingga dalam perjalanannya banyak kendala, misalnya memberikan
pemahaman dan keyakinan kepada petani memerlukan waktu yang cukup, termasuk
untuk melakukan konsolidasi dengan pihak-pihak terkait, seperti pemerintah desa,
PU pengairan, dll, (2) Fasilitas sarana dan prasarana belum berimbang antara luas
areal PPM dengan jumlah alsintan yang disediakan, misalnya jumlah traktor dan
transplanter tidak memadai, jumlah tray kurang. Kualitas alsintan yang diadakan
beberapa kurang memadai sehingga agak menghambat pelaksanaan PPM, (3)
antara konsep dengan implementasi masih belum sinkron sehingga menghambat
terlaksananya pertanian modern, misalnya dalam konsep petani yang bergabung
akan diberi modal untuk sektor nonpertanian, itu sama sekali tidak ada realisasinya,
sehingga petani tetap fokusnya kepada petani sawah, sementara sebagian kegiatan
sudah diambil alih oleh mekanisasi, dan (4) koordinasi dengan lembaga lain yang
mendukung pertanian modern masih lemah, misalnya dengan perbankan dan Bulog.
Dari segi adopsi dan diffusi inovasi percontohan pertanian modern ini cukup
berhasil, khususnya penggunaan alsin. TR4 dulu ditolak dengan alasan membuat
tanah jadi keras, kini petani malah menginginkan bantuan TR4 karena bekerja
mengolah tanah lebih cepat, dan hasil olahannya bisa halus karena disertai dengan
TR2 di belakangnya.
80
Penerapan paket teknologi SRI, khususnya tanam 1 bibit/lubang, tanam benih
muda maksimal umum 12 hari, sistem pertanian hemat air yaitu genangan hanya
setinggi 3 cm dan intermeten, tandur jajar legowo 2:1 cukup berhasil, walaupun
ternyata tingkat adopsinya setelah program belum menggembirakan. Sebelum
dilakukan percontohan, petani enggan menerapkan teknologi ini karena berbeda
dengan kebiasaan petani. Setelah percontohan terbukti bahwa penerapan teknologi
tersebut bisa meningkatkan hasil dari rata-rata 6,7 ton/ha menjadi 9,2 ton/ha
(laporan 8,05 ton/ha), petani mulai menerapkan teknologi di atas dalam
usahataninya. Teknologi lain yang coba diterapkan adalah pengurangan
penggunaan pupuk Urea dari 200 kg/ha menjadi 150 kg/ha serta penggunaan pupuk
organik. Dalam hal penggunaan pupuk, setelah program, petani masih memilih
menggunakan sebagaimana yang biasa dilakukan sebelumnya dengan alasan petani
tidak bisa menggunakan pupuk berimbang (hanya menggunakan Urea dan NPK
Pelangi, tanpa ZA, KCL, pupuk cair, pupuk organik) karena keterbatasan modal,
sehingga penggunaan pupuk Urea lebih banyak (kata petani dengan pupuk Urea
hasilnya cepat terlihat yaitu tanaman kelihatan hijau) dan penggunaan pupuk yang
lain di bawah anjuran.
Pelaksanaan percontohan di Soppeng yang melibatkan seluruh pihak terkait di
delapan kecamatan yang ada, mempercepat penyebaran adopsi inovasi alsin
maupun teknologi budi daya ke wilayah kecamatan yang lain. Diffusi inovasi
diharapkan dapat dipacu oleh adanya agen perubahan (Babinsa, penyuluh, tokoh
tani) dari masing-masing kecamatan yang telah dilibatkan dalam pelaksanaan PPM.
Dari segi konstruksi kelembagaan, pelaksanaan percontohan melibatkan
banyak pihak, namun minim konstruksi kelembagaan yang berbasis pada kekuatan
yang dimiliki oleh petani dan kelompok-kelompok setempat. Singkatnya waktu
pelaksanaan juga membuat konstruksi kelembagaan tidak menjadi fokus utama,
karena bagian ini memang perlu waktu lama dan hasilnya tidak segera dapat dilihat.
Konstruksi kelembagaan sangat penting dan sudah seyogyanya menjadi fokus dalam
kegiatan PPM.
Terdapat empat elemen dasar kelembagaan yang perlu diperhatikan dalam
mengkonstruksi kelembagaan, yaitu: (1) stakeholder dengan posisi dan perannya,
(2) jaringan dan interaksi yang berpola, (3) aturan main yang adil bagi semua
81
pelaku yang terlibat, dan (4) sarana pendukung, berupa sarana benda-benda seperti
alsin, sarana produksi. Elemen dasar kelembagaan tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Pelaku (stakeholder) dengan posisi dan perannya. Pelaku dalam proses
produksi komoditas pertanian, khususnya padi adalah : a) petani (pemilik,
pemilik penggarap, penggarap – individu, kelompok tani, gapoktan), b)
produsen/penjual sarana produksi (benih/bibit, pupuk, obat-obatan), c)
produsen/penjual alsin dan bengkel alsin serta UPJA, d) penjual jasa tenaga
kerja pertanian (perorangan/kelompok : olah tanah, tanam, pemeliharaan,
panen, angkut), e) pembeli hasil pertanian (pedagang pengumpul, pedagang
besar, RMU - swasta (perorangan, kelompok, perusahaan, koperasi,
pemerintah : Bulog/Dolog), f) Lembaga keuangan, g) Lembaga pemerintah
(dinas terkait, penyuluh).
2. Jaringan dan interaksi yang berpola. Budi daya padi melibatkan banyak
pelaku, yang masing-masing memiliki posisi dan peran yang saling
melengkapi. Agar aktivitas dalam proses produksi dapat belangsung dengan
lancar, maka harus dibangun jaringan antar pelaku sedemikian rupa sehingga
interaksi antar pelaku bisa terpola.
3. Aturan main yang adil. Aturan main harus dikonstruksi secara bersama oleh
pihak-pihak yang terkait. Aparat dinas dalam hal ini bisa menjadi fasilitator
dalam proses konstruksi aturan main.
4. Sarana pendukung. Sarana pendukung dalam proses budi daya padi terdiri
dari lahan, jaringan irigasi, jalan usahatani, sarana produksi, peralatan
(termasuk alsin).
Keempat elemen kelembagaan ini harus terkelola dengan baik agar kegiatan
pertanian modern ini bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah skala percontohan. Percontohan
seluas 100 ha, melibatkan banyak pihak, bahan dan alat, yang sebagian darinya
harus didatangkan dari luar. Kondisi ini tidak bisa terus menerus dilakukan,
alternatifnya adalah membuat skala percontohan dengan basis kemampuan mandiri
komunitas dalam penyediaan bahan, alat dan tenaga kerja, serta kemampuan
mengelola seluruh aktivitas dan hasilnya. Kepemilikan alsin sesuai jenis dan jumlah
(sesuai kapasitas) bisa digunakan sebagai basis untuk menentukan luasan
82
percontohan. Dengan menghitung kepemilikan alsin UPJA Semangat di kabupaten
Soppeng misalnya, maka percontohan lebih optimal jika dilakukan pada lahan sawah
seluas 20-50 ha.
Pelaksanaan percontohan sangat singkat, hanya 1 musim tanam. Akan lebih
baik jika pelaksanaan tidak hanya dibatasi satu musim, karena esensi penerapan
pertanian modern sebagai suatu inovasi adalah pada perubahan perilaku dalam
adopsi inovasi. Perubahan perilaku mencakup tiga ranah yaitu pengetahuan, sikap
dan tindakan, sedangkan adopsi inovasi mencakup tahapan-tahapan awareness,
interest, evaluation, trial, adoption. Perubahan perilaku dan adopsi inovasi perlu
waktu, tidak sama bagi setiap individu, prosesnya bisa cepat atau lambat.
Keberadaan kelompok dapat membuat individu mengikuti proses di atas sesuai
dengan yang dialami oleh individu dominan yang menjadi panutan.
Segi koordinasi, dedikasi dan komitmen petugas pelaksana juga harus
diperhatikan dalam pelaksanaan kegiatan pertanian modern. Dinas terkait beserta
jajarannya dari tingkat provinsi hingga tingkat lapangan, yang dibantu juga dengan
aparat TNI, sangat besar perannya dalam memberikan fasilitasi, pendampingan, dan
pembinaan kegiatan PPM serta mobilisasi massa, sehingga kegiatan tersebut dapat
terlaksana. Selain itu, pengalaman sangat membantu dalam pelaksanaan PPM.
Seperti contoh, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Soppeng telah
memiliki pengalaman melakukan kegiatan yang hampir sama walau dengan skala
yang lebih kecil (dengan biaya APBD), kegiatan pertanian full mekanisasi bukanlah
hal baru. Koordinasi berbagai instansi yang terlibat dikonstruksi dengan baik,
sehingga pengerahan sumber daya dapat diarahkan untuk mendukung
terlaksananya kegiatan PPM. Ketersediaan data base tentang lahan, air, kelompok
tani/gapoktan, alsin dari berbagai dinas terkait yang dapat diakses oleh Dinas TPH
memperlancar terlaksananya kegiatan sejak persiapan hingga pelaksanaan.
Dukungan Pemda Setempat dan Pihak lainnya juga merupakan salah satu faktor
yang penting dalam pelaksanaan PPM. Pemda setempat, baik di tingkat I dan II
sangat berperan dalam mendukung terlaksananya PPM, baik dalam bentuk fasilitasi
dan pendampingan, juga dalam hal penyediaan akomodasi dan konsumsi pihak-
pihak yang terlibat selama pelaksanaan. Peran yang tak kalah penting juga
dilakukan oleh Tim Teknis, dalam melakukan pendampingan teknologi, sekali pun
83
harus banyak beradu argumentasi dengan petani dalam penerapan inovasi.
Pelaksanaan PPM juga melibatkan LSM.
Kabupaten Soppeng, sebagai contoh, dianggap sudah lebih lengkap
mengimplementasikan pertanian modern dari sisi penerapan alsintan. Dari hasil
pemantauan penerapan pertanian modern di Soppeng sudah terlaksana mulai dari
pengolahan lahan, tanam, panen dan sampai pemasaran (resi Gudang). Hal ini
dapat terlaksana karena kondisi lingkungannya sangat mendukung, diantaranya
adalah : (a) pemerintah dan masyarakat sejalan berkeinginan keras untuk
meningkatkan produksi memecahkan permalahan yang terkait dengan pertanian
padi sawah, (b) karena kelangkaan tenaga kerja disatu sisi dan ketersediaan lahan
di sisi lain, maka memudahkan penerapan pertanian modern, (c) karena skala
hamparan sawah yang luas menyebabkan menjadi sangat layak untuk melakukan
investasi alsintan dan ini mendorong para pemuda untuk terjun ke dunia bisnis
pertanian padi sawah, (d) dengan kondisi luas areal yang hamparannya luas dan
posisi wilayah yang terpencil (remote), maka penerapan pertanian modern dari
pengolahan lahan sampai dengan panen, pasca panen dan penjualan menjadi
mendesak (urgent) untuk dimasukan dalam satu satuan kegiatan pertanian modern.
4. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
4.1. Kesimpulan
Dari bahasan di atas dapat disimpulkan :
1. Alsintan memiliki keunggulan secara teknis maupun ekonomis. Prasyarat
pengembangan mekanisasi pertanian antara lain adalah adanya fasilitas
penyediaan alsintan, konsolidasi lahan pertanian, dan kemudahan akses
perbankan. Dalam pelaksanaan PPM, konsolidasi lahan adalah hal yang
sangat sulit mengingat galengan masih digunakan sebagai penahan air dan
batas kepemilikan. Namun hal tersebut bisa diatasi dengan memperkecil
galengan atau meratakan galengan sementara untuk jalan alsin pada saat
kegiatan yang menggunakan alsin. Umumnya untuk fasilitas penyediaan
alsintan ini dapat melalui bantuan dari pemerintah pusat/daerah, dan
optimalisasi kinerja UPJA (Usaha Pelayanan Jasa Alsintan).
84
2. Pengembangan usahatani padi melalui penerapan penggunaan alat dan mesin
pertanian menyebabkan terjadi efisiensi waktu, biaya tenaga kerja,
percepatan IP, kualitas kerja dan produk meningkat, minat tenaga kerja muda
disektor pertanian meningkat, terjadinya efisiensi biaya, dan penggunaan
benih berkualitas dengan jumlah benih yang berkurang. Selain penggunaan
alat dan mesin pertanian, dalam suatu hamparan, pengelolaan usahatani
dilakukan secara terpadu untuk memudahkan pengelolaan tanaman,
meningkatkan efisisensi biaya produksi, meningkatkan posisi tawar kelompok,
meningkatkan harga output, dan meningkatkan nilai tambah petani (dengan
system penjualan dengan di timbang yang terukur). Namun pengelolaan
usahatani terpadu belum sepenuhnya dilaksanakan di lokasi PPM, saat ini
baru pada kegiatan olah tanah dan tanam.
3. Pengelolaan usaha alsintan sudah relatif baik, tetapi masih perlu
dikembangkan secara profesional dengan memperluas jaringan kerja, seperti
pengelolaan UPJA di Kabupaten Cilacap, sehingga pemanfaatan alsin lebih
efisien. Pengelolaan alsintan oleh UPJA di lokasi PPM telah dilakukan secara
profesional, dimana biaya untuk operasional alsintan selalu diupayakan
bersumber dari hasil alsintan itu sendiri dan diupayakan tidak bersumber dari
kas UPJA. Hampir setiap bulan UPJA berkumpul diantara anggota untuk
membahas berbagai persoalan yang ada baik yang menyangkut kegiatan
pengelolaan alsintan, kegiatan usahatani dan kegiatan lainnya terkait UPJA.
Namun masih ada UPJA di lokasi contoh yang belum menentukan aturan main
dari penyewaan alsin, terutama alsin yang baru dimiliki (bantuan
Pemerintah).
4. Beberapa kegiatan PPM merupakan adopsi inovasi baru, kegiatan tersebut
antara lain adalah : sistem persemaian dengan menggunakan transplanter
yang memerlukan keahlian yang cukup memadai atau berbeda dengan sistem
persemaian tapin (tanam pindah). Adopsi inovasi penggunaan varietas unggul
dan efisiensi penggunaan benih padi menjadi sangat ideal jika menggunakan
transplanter. Namun penggunaan transplanter pada saat MH sering
terkendala oleh kedalaman lumpur sawah, sehingga dibutuhkan modifikasi
sesuai dengan kondisi wilayah. Disamping itu, untuk jasa tanam masih
85
bersaing dengan kelompok tanam manual, dimana pada kondisi saat ini masih
mengharapkan lapangan pekerjaan untuk kegiatan tanam tersebut.
Keserempakan dalam olah tanah dan tanam menjadi faktor kunci dalam PPM.
Jika biasanya petani bebas dalam menyelesaikan pengolahan lahannya dan
tanam, maka dalam PPM seluruh proses tersebut ditargetkan selesai dalam
seminggu. Hal ini merupakan tantangan bagi aparat dinas, tim teknis, dan
penyuluh untuk mengubah perilaku (pengetahuan, sikap dan tindakan) agar
introduksi inovasi PPM secara keseluruhan dapat diterima dan diadopsi oleh
petani.
5. Dalam pelaksanaan PPM hingga musim berikutnya belum ada introduksi
kelembagaan terkait pemasaran hasil. Belum ada kegiatan pemasaran
bersama, baik yang dikelola oleh poktan maupun gapoktan. Pedagang hasil
bumi, merupakan pelaku yang berperan dalam pembelian gabah milik petani.
Pedagang ini menjalin kerjasama dengan beberapa pengusaha penggilingan.
Harga yang ditawarkan oleh pedagang ini untuk petani setempat sedikit di
atas harga pasar. Selain itu, hasil panen dijual kepada tengkulak yang datang
ke rumah-rumah.
6. Penyediaan sarana produksi saat ini masih disediakan melalui Paket Optimasi
Lahan pada PPM. Paket tersebut nampaknya sama baik dalam jenis, jumlah,
dan nilainya pada ketiga lokasi PPM. Hal itu berarti penyediaan paket tersebut
tidak didasarkan pada kondisi spesifik lokasi tanah (berdasarkan uji
kandungan unsur hara tanah). Namun sebagian petani menyatakan bahwa
akses untuk memperoleh sarana produksi mudah didapat asal tersedia modal.
Selain sarana produksi, ketersediaan air/sarana irigasi pada lokasi PPM juga
perlu diperhatikan karena hal ini diperlukan dalam percepatan tanam.
7. Permasalahan yang dihadapi pada saat ini terkait implementasi program
pertanian modern tersebut adalah: (1) Masih terdapat kekurangan beberapa
alsintan seperti: traktor roda 4, transplanter dan combine harvester, (2)
keterbatasan tray/nampan untuk pembibitan, (3) Masih terbatasnya sarana
pendukung seperti gudang alsintan dan perbengkelan, (4) keterbatasan RMU
yang ada di lokasi percontohan, dan (5) Terbatasnya sarana untuk
86
menyimpan gabah yang dihasilkan, sehingga dibutuhkan gudang
penyimpanan gabah hasil panen.
4.2. Implikasi Kebijakan
Untuk mempercepat penerapan pertanian modern yang berkelanjutan
beberapa implikasi kebijakan yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah:
1. Perlu persiapan waktu untuk mensosialisasikan pertanian modern kepada
masyarakat dan stakeholder terkait dan menciptakan komitmen bersama untuk
implementasi pertanian modern tersebut. Hal ini terutama yang menyangkut
perubahan sikap dan keyakinan untuk menerima/adopsi inovasi seperti pertanian
modern memerlukan waktu, ketekunan dan kegigihan bahkan perlu domentrasi
plot (dempot) atau demfarm sehingga petani menjadi sadar, yakin, berkeinginan
dan meniru atau adopsi inovasi tersebut.
2. Perlunya roadmap kecil (specific road map) untuk pertanian modern, sehingga
bisa menerapkan langkah dan prioritas, seperti pilihannya pada apakah pertanian
modern ini akan diterapkan secara sempurna menurut siklus usahatani padi
mulai dari pengolahan tanah sampai dengan panen dan pemasaran atau akan
diterapkan secara bertahan tetapi sempurna, misalnya pengolahan tanah dan
tanam saja, dilanjtukan dengan pemeliharaan teritegrasi dan dilanjutkan dengan
tahapan panen, pascapanen dan pemasaran.
3. Perlu adanya program pendamping, sesuai dengan konsep pertanian modern
dimana kelebihan tenaga kerja akan diserap oleh sektor non pertanian. Semua
pilihan tahapan memiliki prasyarat yakni kelengkapan penerapan konsep dan
sarana alsintan yang memadai. Yang dimaksud implementasi kelengkapan
konsep adalah pembukaan kesempatan kerja sektor non pertanian yang terkait
dengan pertanian atau tidak terkait harus secara in line dalam waktu yang sama
dengan penerapan pertanian modern itu sendiri, karena ketika pertanian modern
di implementasikan, maka akan terjadi kelebihan tenaga kerja dari pertanian
yang harus difasilitasi jenis pekerjaannya.
4. Terkait dengan fasilitasi alsintan, baik pada pertanian modern atau program lain
seperti UPSUS, maka hendaknya pemerintah mengeluarkan kebijakan yang
ditujukan untuk para produsen alsintan. Alsintan yang diproduksi masal harus
87
sudah melalui kajian atau lolos uji sehingga menjadi layak pakai oleh
masyarakat. Disamping itu kesiapan melempar ke pasaran umum harus di uji
tingkat kesiapannya termasuk didalamnya adalah: kesediaan spare-part, layanan
purna jual, dll. Saat ini hampir sebagian besar alsintan yang ada belum layak
pakai atau tidak lolos uji dan tidak siap pelayanan purna jualnya.
5. Dari pengalaman, ada permasalahan pada satu lokasi pertanian modern tetapi
tidak merupakan masalah pada lokasi lain, misalnya di kabupaten Sukoharjo
keterbatasan jumlah tray menjadi masalah persemaian, sedangkan di Soppeng
dan Cilacap hal ini tidak menjadi masalah karena ada metoda lain. Berdasarkan
keadaan tersebut, perlu dibangun system pengembangan SDM, seperti pusat-
pusat pelatihan yang tumbuh dari kelompok lintas daerah sebagai ajang studi
banding yang difasilitasi oleh pemeritah.
6. Karena permasalahan yang terkait dengan alam sebagai resources endownment,
maka penerapan pertanian modern tentu tidak dengan serta merta dapat
dilaksanakan dengan mudah pada seluruh wilayah persawahan, karena terkait
dengan kedalam lumpur sawah, topografi, keadaan sosial dll, sehingga perlu ada
kajian yang berlanjut untuk penggambaran (mendelineasi) daerah mana saja
yang layak untuk dikembangkan sebagai pertanian modern, semi modern dan
konvensional.
7. Perlu adanya jaminan ketersediaan sarana produksi seperti : pupuk, pestisida,
air irigasi dan membentuk kelembagaan pasar dengan cara memperkuat
gapoktan atau koperasi tani.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2015. Prospek Pengembangan Modernisasi Pertanian-Full
Mekanisasi. Bogor BB. Mektan. 2014. Data Analisis Alsintan dan Titik Impasnya. Balai Besar Mekanisasi
Pertanian. Serpong.
BPS. 2015. Berita Resmi Statistik No. 28/03/TH.XVIII, 2 Maret 2015. Jakarta
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap. 2015. Data Alat dan Mesin Pertanian, 2014 dan Pengadaan Alsintan 2015. Cilacap.
___________________________________________. 2015. Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di Kabupaten Cilacap 2011-2015.
Cilacap.
88
___________________________________________. 2015. Luas Baku Lahan Sawah Untuk Pertanaman Padi 2014. Cilacap.
___________________________________________. 2015. Data Kelompok Tani, Gapoktan dan UPJA 2014. Cilacap.
Dinas Pertanian Kabupaten Sukoharjo. 2015. Data Alat dan Mesin Pertanian, 2014. Sukoharjo.
___________________________________________. 2015. Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Sawah di Kabupaten Sukoharjo 2011-2014. Sukoharjo.
___________________________________________. 2015. Luas Baku Lahan Sawah Untuk Pertanaman Padi 2014. Sukoharjo.
___________________________________________. 2015. Data Kelompok Tani, Gapoktan dan UPJA 2014. Sukoharjo.
Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2010. Pedoman Teknis
Revitalisasi Penggilingan Padi Kecil. Ditjen P2HP (Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian) Kementerian Pertanian RI. Jakarta.
PSEKP. 2015. Hasil penelitian Pertanian Modern di Kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan. Analisis Kebijakan, Tidak dipublikasikan. Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. Bogor.
Sinaga, Rudolf dan B. White. 1980. Beberapa Aspek Kelembagaan di Pedesaan Jawa dalam Hubungannya dengan Kemiskinan Struktural. Dalam Kemiskinan
Struktural : Suatu Bunga Rampai. Pusat Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta.
http://www.agrina-online.com/redesign2.php?rid=7&aid=4803.Tabloid Agribisnis
Dwimingguan Agrina, 6 Januari 2014
www.rri.co.id/purwokerto/post/berita/153803/cilacap/dukung_swasembada_pangan
_traktor_dan_pompa_air_bantuan_presiden_ri_dibagikan.html. 2 April 2015. Di Unduh 1 September 2015.