kebijakan impor dan swasembada bawang merah:...

27
LAPORAN KEGIATAN KAJIAN ISU-ISU AKTUAL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 2013 KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN Oleh: Bambang Sayaka Erwidodo PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

Upload: vobao

Post on 02-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

LAPORAN KEGIATAN KAJIAN ISU-ISU AKTUAL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 2013

KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Oleh:

Bambang Sayaka Erwidodo

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

Page 2: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

1

KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN1

PENDAHULUAN

Beberapa bulan terakhir ini, masyarakat terkejut dan resah oleh lonjakan harga

dan kelangkaan pasokan beberapa produk sayuran di pasar domestik, termasuk cabe,

bawang merah dan bawang putih. Tidak hanya konsumen rumah tangga dan

pengusaha warung tegal yang dirugikan, pedagang di pasar juga mengeluh akiba

langkanya pasokan dan harga kelewat tinggi. Masalah ini menjadi pemberitaan utama

media masa di tanah air. Bersamaan dengan masalah di dalam negeri tersebut, pada

minggu kedua Januari 2013, Pemerintah AS secara resmi mempermasalahkan kebijakan

impor produk hortikultura dan mengajukan permintaan konsultasi dengan Pemerintah

Indonesia. Konsultasi merupakan awal dari proses penyelesaian sengketa dagang

(Dispute Settlement) di WTO.

Gejolak harga dan pasokan beberapa produk hortikultura (sayuran dan buah-

buahan) tidak dapat dilepaskan dengan kebijakan pemerintah. Sejak tahun 2012,

terkait tujuan untuk mencapai kemandirian pangan, pemerintah (Kementerian

Pertanian) bermaksud untuk melakukan pembatasan impor beberapa produk

hortikultura. Sebagaimana kita ketahui, sampai saat ini Indonesia masih menjadi “net

importer” beberapa produk hortikultura. Dalam upaya untuk mendorong produksi

hortikultura di dalam negeri, pemerintah Indonesia, yang diwakili Kementerian

Perdagangan dan Kementerian Pertanian, menerapkan pembatasan impor produk

hortikultura melalui “Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH)” berupa

rekomendasi besarnya kuota impor dan alokasinya kepada Importir terdaftar (IT).

Tulisan ini mencoba menelaah kebijakan impor hortikultura (RIPH) pada

umumnya dan khususnya bawang merah yang diberlakukan pemerintah saat ini.

1 Tulisan ini didasarkan analisa obyektif menggunakan data dan fakta serta landasan teoritis terhadap kebijakan pemerintah, tidak dimaksudkan untuk memojokkan atau menyalahkan pihak tertentu. Apa yang disampaikan dalam tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab kedua penulis sebagai peneliti, bukan menjadi tanggung jawab institusi.

Page 3: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

2

Telaah teoritis dan empiris dilakukan untuk memahami pilihan instrumen pembatasan

impor dan potensial dampaknya. Meski dampak langsung berupa kelangkaan pasokan

dan lonjakan harga telah dirasakan namun masih terjadi pro-kons tentang kebijakan ini.

Kementan menganggap kebijakan RIPH telah tepat sasaran dan menguntungan petani.

Sementara sebagian besar pihak meragukan kesimpulan tersebut dan menyatakan

bahwa petani hortikultura tidak memperoleh manfaat dari lonjakan harga, hanya

segelintir pedagang dan importir yang diuntungkan.

Disamping menghitung dampak kuota dan tariff impor secara kuantitatif, analisa

pemilihan dan penerapan instrumen pembatasan impor ini juga dilakukan dari sudut

aturan WTO. Hal ini penting dilakukan untuk memberikan pemahaman tentang aturan

WTO, bahwa: (i) aturan WTO “mengikat” seluruh anggota termasuk Indonesia, dan (ii)

semua negara anggota WTO punya hak untuk menanyakan dan mempermasalahkan

kebijakan perdagangan negara anggota lainnya yang tidak konsisten dengan aturan

WTO dan berpotensi merugikan negaranya. Sejak 1994, dengan adanya UU No. 7

tahun 1994 tentang ratifikasi WTO, Indonesia telah terikat aturan WTO.

PERKEMBANGAN PRODUKSI, KONSUMSI DAN IMPOR BAWANG MERAH

Salah satu produsen dan konsumen bawang merah (shallots) terbesar di dunia

adalah Indonesia. Beberapa Negara di Asia tenggara seperti Malaysia, Thailand,

Vietnam dan Phillipina, masyarakatnya juga mengkonsumsi bawang merah namun tidak

sebanyak konsumsi masyarakat Indonesia, karena disamping bawang merah mereka

sudah terbiasa mengkonsumsi bawang Bombay (onion). Pada kondisi demikian

beberapa negara tersebut memproduksi bawang merah banyak untuk diekspor ke

Indonesia.

Data produksi, konsumsi dan impor bawang merah disajikan dalam Tabel 1.

Dalam kurun waktu tahun 2005 -2012, produksi bawang merah di Indonesia tidak

mengalami peningkatan yang berarti dan sedikit fluktuatif (Tabel 1). Situasi yang

berbeda terjadi pada sisi permintaan, terlihat dari meningkatnya konsumsi per kapita

dan jumlah penduduk serta dugaan terus permintaan bawang merah untuk kebutuhan

industri makanan dan catering. Sebagai konsekuensi, volume impor bawang merah,

Page 4: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

3

meski berfluktuasi, cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Fluktuasi impor bawang

merah tidak terlepas dari sifat alami fluktuasi produksi di dalam negeri. Dilihat dari

rasionya, impor bawang merah masih dalam kisaran 6-9 persen dari total konsumsi

nasional. Menurut hemat penulis rasio impor bawang merah tergolong wajar dan tidak

keluar dari status „self sufficiency on trend‟ dan „kemandirian‟ karena lebih dari 90%

konsumsi dipasok produksi domestik2.

Pengusahaan bawang merah di Indonesia hanya dilakukan di daerah tertentu

dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar 50 persen

dibudidayakan di Jawa Tengah, dengan sentra produksi Kabupaten Brebes. Urutan

produksi kedua bawang merah terbesar adalah Jawa Timur (sekitar 19,4 persen) yang

terpusat di kabupaten Nganjuk dan Probolinggo. Jawa Barat menempati urutan ketiga

terbesar produksi bawang merah nasional dengan sentra produksi di kabupaten

Cirebon. Produksi bawang merah di luar pulau Jawa terutama dilakukan di NTB,

Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Strategi pengembangan tanaman sayuran,

termasuk bawang merah, tidak mencantumkan peningkatan produksi, baik melaui

ekstensifikais maupun intensifikasi (Diten Hortikultura, 2012).

Berbeda dengan sifat musiman produksi, konsumsi dan permintaan bawang

merah cenderung merata dan biasanya mengalami lonjakan menjelang dan saat hari

raya keagamaan dan tahun baru. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab terjadinya

fluktuasi dan gejolak harga antar waktu, yang sampai sekarang belum ada jalan

keluarnya. Sistem resi gudang, sejak diluncurkan tahun 2008 (UU No 9/2006), belum

diterapkan dan dikenal petani secara meluas3. Gejolak harga akan terjadi dan tidak bisa

dihindari manakala kenaikan konsumsi terjadi di luar musim panen. Situasi menjadi

semakin parah dan lonjakan harga semakin tidak terkendali bilamana pemerintah

secara ad-hoc ingin mencapai “kemandirian” dengan memperketat impor. Perkiraan 2 Pemerintah Indonesia menggunakan ‘self sufficiency on trend’ untuk beras 90%, artinya minimal 90% konsumsi beras dipasok oleh produksi dalam negeri atau impor beras maksimal 10% dari total konsumsi. 3 Sistem resi gudang merupakan alternative sistem pembiayaan perdagangan dan manajemen suplai (tunda jual), dimana petani atau kelompok tani dapat menunda penjualan produknya dan menjualnya pada waktu yang tepat dengan harga yang lebih baik. Dengan resi gudang mereka tidak perlu kuatir kesulitan modal usaha atau memenuhi kebutuhan hidup selama masa penundaan tersebut. Resi gudang yang mereka dapatkan setelah mereka menitipkan produknya di gudang yang dikelola Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Kemoditi (Bappebti), Kementerian Perdagangan, bisa dijadikan jaminan kredit.

Page 5: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

4

produksi yang “overestimate” dibarengi dengan perkiraan kebutuhan (konsumsi) yang

kurang akurat dan cenderung “underestimate” menghasilkan keputusan “kuota impor”

yang juga underestimate. Situasi inilah yang terjadi beberapa bulan terakhir, yang

mengakibatkan kelangkaan pasokan dan lonjakan harga bawang merah dan beberapa

produk sayuran lain.

Sebelum analisa lebih lanjut, ada baiknya mencermati ketersediaan data

produksi, konsumsi dan impor bawang putih, karena sering menjadi polemik dan debat

publik yang pada akhirnya menghasilkan rumusan kebijakan yang tidak tepat. Data

area panen dan produksi bersumber dari Direktorat Jenderal hortikultura kementerian

Pertanian dan setelah melewati proses verifikasi akhirnya menjadi angka tetap nasional

yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS). Data kebutuhan dan konsumsi bawang

merah nasional tidak tersedia, yang tersedia adalah angka konsumsi per kapita yang

diperoleh dari data survei rumah tangga nasional (Susenas). Estimasi konsumsi nasional

diperoleh dengan mengalikan angka konsumsi per kapita dengan “porsi” jumlah

penduduk (Tabel 1). Angka estimasi dengan cara ini diperkirakan “underestimate”

karena data Susenas belum mencakup konsumsi industri pengolahan, restoran dan

usaha catering. Sampai saat ini tidak ada data konsumsi nasional yang dipublikasi oleh

BPS. Oleh karenanya, masing-masing pihak mempunyai estimasi konsumsi sendiri yang

seringkali berbeda satu dengan lainnya dan sulit untuk direkonsiliasi.

Pemahaman tentang ketersediaan dan ketidak-akuratan data ini seharusnya

menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk lebih serius dalam pendataan. Paling

tidak, selama data resmi belum tersedia dan masalah perbedaan data belum dapat

direkonsiliasi, pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam memilih instrumen kebijakan.

Dalam situasi seperti ini, tarif impor seharusnya menjadi pilihan. Kuota impor, tanpa

mempertimbangkan aturan WTO, dapat menjadi pilihan hanya jika pemerintah

mempunyai data akurat tentang produksi dan konsumsi komoditas yang dimaksud.

Banyak keunggulan instrumen tarif dibandingkan kuota, yang akan dibahas dalam

uraian selanjutnya.

Page 6: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

5

Tabel 1. Produksi, impor, permintaan, dan kebutuhan bawang merah, 2005-2013

Tahun Produksi

(ton)

Impor

(ton)

Permintaan1)

(ton)

Rasio

(%)4

Konsumsi

per kapita (kg/thn)

Kebutuhan2)

(ton)

2005 732.610 53.071* 785.681 6.8 2,21 491.587

2006 794.929 78.462* 873.391 9.0 2,18 492.290

2007 802.810 107.649* 910.459 11.8 3,01 690.062

2008 853.615 128.015* 981.630 13.0 2,74 637.718

2009 965.164 63.755 1.028.919 6.2 2,52 595.437

2010 1.048.934 70.573 1.119.507 6.3 2,53 601.233

2011 893.124 156.381 1.049.505 14.9 2,36 569.358

2012 960.072 95.156 1.055.228 9.0 2,76 675.981

2013 t.a. 11.9723) Ta.. t.a. t.a. t.a.

Sumber: BPS (2012), Pusdatin (2012), www.bps.go.id (2013)

Catatan : 1) Produksi plus impor

2) Konsumsi per kapita dikalikan jumlah penduduk

3) Data sampai Maret 2013

4) Rasio = impor dibagi permintaan

*) Impor 2005-2008 termasuk benih

PERKEMBANGAN HARGA ECERAN BAWANG MERAH

Data perkembangan harga eceran (rata-rata bulanan) bawang merah di 5 kota

besar di Jawa (Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya) disajikan pada

Gambar 1 (Kementerian Perdagangan, 2012). Gejolak harga juga terjadi untuk

beberapa produk sayuran lain seperti cabai dan bawang putih. Sampai bulan Mei,

menjelang pemerintah mengumumkan kenaikan bahan bakar minyak (BBM), lonjakan

harga pangan pokok juga terus terus berlangsung. Sebagaimana diberitakan di

berbagai media masa, kenaikan harga bahan pokok terus berlangsung sampai saat ini,

menjelang bulan ramadhan. Tanpa harus mencari faktor penyebab secara detail, teori

ekonomi menyatakan bahwa lonjakan harga terjadi manakala terjadi “kekurangan

pasokan (shortage of supply) ”yang tidak mampu mengimbangi peningkatan

permintaan konsumen. Lonjakan harga juga akan terjadi manakala terjadi penurunan

pasokan akibat “gagal panen” dan/atau kesalahan kebijakan pemerintah (policy failure).

Page 7: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

6

Gambar 1. Harga Eceran Bawang Merah Rata-rata di Beberapa Kota Besar di Jawa

(Rp/Kg)

Sumber : Direktorat Jenderal Perdagangan dalam Negeri, Kementerian Perdagangan (2012)

Ada fenomena yang menarik untuk dicermati terkait dengan lonjakan harga

bawang merah yang terjadi mulai pertengahan tahun 2012 sampai awal tahun 2013.

Selama kurun 2008-2011 harga eceran bawang merah relatif stabil meski menunjukan

fluktuasi musiman. Harga eceran menurun pada saat musim panen (Mei-Agustus) dan

meningkat saat menjelang dan selama hari raya dan tahun baru. Namun kenaikan

harga sangat nyata terjadi sejak awal tahun 2013, dan mencapai harga Rp 45.000 per

Kg pada bulan Maret. Harga eceran dilaporkan masih terus meningkat, dan mencapai

rekor Rp 50-60 ribu per Kg pada bulan April 2013, baru kemudian mulai menurun

kembali. Namun penurunan harga yang membentuk keseimbangan baru sekitar 20.000-

25.000 tidak berlangsung lama. Sebagaimana harga bahan pokok lainnya, harga

bawang merah kembali merayap naik menjelang pemerintah mengumumkan kenaikan

harga BBM, terus meningkat menjelang bulan Ramadhan dan mencapai rekor tertinggi

Rp60.000 per kg. Mengapa hal ini terjadi dan apa faktor penyebabnya? Apakah ini

karena semata faktor alam (kegagalan panen), meningkatnya permintaan atau

kesalahan kebijakan?

Untuk memahami hal ini, marilah kita telusuri kebijakan pemerintah satu tahun

terakhir, terutama terkait dengan keluarnya kebijakan “Rekomendasi Impor Produk

Hortikultura (RIPH)” sebagai upaya membatasi impor untuk mendorong peningkatan

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

40000

45000Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei

Juli

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

2008 2009 2010 2011 2012 2013

Page 8: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

7

produksi hortikultura di dalam negeri. Kebijakan ini dilatar-belakangi keinginan

pemerintah (Kementerian Pertanian), untuk meningkatkan “kemandirian” pangan

termasuk produk hortikultura.

Keputusan politik untuk berswasembada dan meningkatkan kemandirian pangan

tidaklah salah dan patut untuk didukung mengingat besarnya potensi produksi dan

pasar domestik produk hortikultura4. Bisa dipahami jika, sebagai pemangku kebijakan

pertanian, Kementan terusik dengan terus melimpahnya impor produk hortikultura dari

tahun ke tahun, sementara ekspornya tumbuh sangat lambat. Situasi ini berakibat

defisit neraca perdagangan produk pangan terus meningkat. Situasi inilah yang

nampaknya melatar-belakangi keluarnya kebijakan pembatasan „port of entry‟ dan

RIPH. Akibat lain dari limpahan impor, sebagaimana terlihat dalam grafik, harga eceran

bawang merah berfluktuasi dan cenderung tertekan (menurun) sejak 2011 sampai

pertengahan tahun 2012.

Nampaknya, kekuatiran inilah yang melatarbelakangi keluarnya kebijakan

memperketat impor produk hortikultura dan pada gilirannya untuk mencapai

kemandirian produk hortikultura. Permentan No 42/2012 merupakan tindakan karantina

dan pembatasan „port of entry‟ untuk sayuran dan buah segar, sedangkan Permentan

No 43/2012 merupakan tindakan karantina dan pembatasan „port of entry‟ untuk

sayuran umbi-lapis segar. Permentan No 3/2012 tentang kebijakan Rekomendasi Impor

Produk Hortikultura (RIPH), bersama dengan Permendag No 30/2012, merupakan

kebijakan pembatasan impor yang diwujudkan dalam bentuk „rekomendasi‟ kuantitas

(kuota) impor yang dikeluarkan oleh Kementan dan alokasi kuota impor kepada

importer terdaftar (IT) yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh kedua

kementerian. Dalam perjalanan menunggu waktu implementasi, kebijakan tersebut

mengundang pro-kons dan dipertanyakan oleh beberapa negara anggota WTO dalam

sidang-sidang reguler komite WTO di Jenewa. Pada tanggal 24 September 2012,

Permentan No 3/2012 direvisi menjadi Permentan No 60/2012 pada tanggal 24

4 Perlu klarifikasi istilah swasembada dan kemandirian. Swasembada adalah suatu keadaan dimana sebagian besar atau seluruh kebutuhan konsumsi dapat dipenuhi dari produksi domestik. Kemandirian harusnya diartikan sebagai situasi dimana sebagai negara yang berdaulat Indonesia dapat memutuskan kebijakan yang terbaik bagi bangsanya dengan tetap mengacu kepada semua aturan-perundangan nasional, termasuk UU No 7 tentang Ratifikasi WTO.

Page 9: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

8

September 2012, sedangkan Permendag No 30/2012 menjadi Permendag No 60/2012

pada tanggal 21 September 2012. Disamping RIPH, kementan juga mengeluarkan

larangan impor beberapa produk hortikultura untuk “periode tertentu”.

Meskipun telah direvisi, ternyata kebijakan tersebut masih dipertanyakan dan

dipermasalahkan oleh beberapa anggota WTO. Secara resmi pada pertengahan 10

Januari 2013, pemerintah Amerika Serikat (AS) menyampaikan keinginan untuk

melakukan konsultasi5 terkait kebijakan RIPH dan kebijakan pengaturan impor bawang

merah dan ternak (Rekomendasi Impor Produk Peternakan-RIPP). Proses konsultasi

pertama dilakukan tanggal 21-22 Februari 2013, yang kemungkinan dapat dilanjutkan

ke konsultasi berikutnya atau negara penggugat dapat langsung mengusulkan

pembentukan “Panel”. Sebelum proses konsultasi tersebut, Pemerintah AS secara resmi

telah menyampaikan pertanyaan tertulis yang harus dijawab atau diklarifikasi oleh

Pemerintah Indonesia. Setelah proses konsultasi yang pertama, terdapat dua

pandangan tentang bagaimana sebaiknya posisi pemerintah. Ada pihak yang

berpandangan keras untuk tidak menghiraukan pertanyaan dan gugatan pemerintah AS

dan tetap dalam posisi untuk mempertahankan Permentan 60/2012 dan Permendag

60/2012 serta bersiap untuk maju ke proses pembentukan panel dan „dispute

mechanism‟ di WTO. Sebagian pihak berkeinginan untuk melakukan revisi kebijakan

RIPH mengingat kenyataannya kebijakan RIPH memacu lonjakan harga di pasar

domestik dan membebani perekonomian6. Pihak ini berpendapat bahwa revisi harus

dilakukan bukan untuk memenuhi tuntutan pemerintah AS, tetapi mengacu kepada

kepentingan nasional dengan memperhatikan aturan WTO. Setelah direvisi, keluar

Permentan No 47/2013 tanggal 19 April 2013 dan Permendag No 16/2013 tanggal 22

5 Konsultasi merupakan tahapan awal proses menyelesaikan sengketa dagang di WTO. Negara penggugat menyampaikan ‘written questions’ kepada Negara tergugat. Dalam proses konsultasi, Negara tergugat wajib untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan. Jika dalam proses konsultasi tidak terjadi titik temu dan kesepahaman maka negara penggugat dapat mengusulkan untuk pembentukan ”Panel” dan selanjutnya menjadi awal proses persidangan penyelesaian sengketa dagang dalam kerangka Dispute Settlement Mechanism WTO. 6 Pihak ini berpendapat bahwa langkah revisi Kepmentan/Kepmendag no 70 2013 dan Kepmentan no.XX tentang RIPP sebaiknya dilakukan bukan karena desakan pemerintah AS, tetapi lebih karena kesadaran atas kenyataan bahwa kebijakan ini telah membebani konsumen dan perekonomian nasional. Pemerintah tidak perlu goyah dan harus tetap siap untuk menghadapi gugatan pemerintah AS dalam proses penyelesaian sengketa di WTO..

Page 10: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

9

April 2013. Namun Pemerintah AS pada pertengahan April secara resmi mengusulkan

pembentukan Panel pada sidang Dispute Settlement Body (DSB) tanggal 24 April 2013.

MELINDUNGI PETANI TANPA MEMBEBANI KONSUMEN DAN PEREKONOMIAN

Melonjaknya harga beberapa produk sayuran, khususnya bawang merah,

bawang putih dan cabe, beberapa bulan terakhir sangat membebani konsumen rumah

tangga termasuk rumah tangga di pedesaan, usaha warung tegal, catering dan

restoran. Dampak lain dari lonjakan harga beberapa sayuran tersebut memicu laju

inflasi dan kalau dibiarkan terus berlangsung akan membebani perekonomian nasional.

Apakah produsen diuntungkan dengan lonjakan harga tersebut? Secara teoritis

kenaikan harga akan mendorong petani produk yang bersangkutan untuk memperluas

areal tanam dan meningkatkan produksi. Namun, harus juga disadari bahwa

peningkatan harga produk juga akan memacu permintaan dan harga input produksi.

Perlu monitoring dan evaluasi dampak lonjakan harga bawang merah terhadap

pendapatan dan kesejahteraan petani bawang merah. Mungkin keuntungan mereka

meningkat, meski tidak sebesar kenaikan harga eceran, tetapi belum tentu

kesejahteraannya meningkat karena meningkatnya harga kebutuhan pokok lainnya.

Perlu dihitung elastisitas transmisi harga dan elastisitas penawaran produk yang

bersangkutan. Namun, yang pasti jutaan rumah tangga miskin termasuk rumah tangga

petani di pedesaa akan terbebani dengan oleh lonjakan harga bawang merah dan

sayuran lainnya.

Meskipun tujuan pemerintah (Kementan) untuk meningkatkan produksi dan

mencapai kemandirian pangan merupakan „legitimate objective‟ namun “tidak tepat”

dalam memilih cara dan instrumen kebijakan dalam mencapai tujuan tersebut. Mustahil

dapat mencapai tujuan tersebut jika tidak dibarengi dengan program peningkatan

produksi, produktivitas dan kualitas secara kongkrit. Keberpihakan pemerintah kepada

petani bawang merah tidak seharusnya dilakukan dengan instrumen kebijakan yang

menyuburkan praktek „rent seeking‟ yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi dan

membebani konsumen. Menjadi sangat keliru manakala keberpihakan tersebut justru

Page 11: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

10

tidak dinikmati oleh petani bawang merah namun hanya dinikmati oleh segelintir

pedagang dan importir bawang merah. Fenomena ini yang nampaknya terjadi. Jika

keadaan ini terus berlangsung, dapat dipastikan target pemerintah (Kementerian

Pertanian), untuk mencapai kemandirian pangan tidak akan pernah terealisasi.

Mengambil pelajaran dari sukses pemerintah mencapai swasembada beras,

dapat kita ingat kembali berbagai program dan langkah kongkrit yang dilakukan, mulai

dari dibentuknya Badan Bimas mulai dari Pusat sampai daerah termasuk Dewan

Pembina Bimas yang diketuai langsung oleh Presiden, program intensifikasi dan

ekstensifikasi, pembangunan sarana dan saluran irigasi, keterlibatan BULOG dalam

melaksanakan stabilisasi harga beras, pengaturan impor beras dan ketersediaan dana

BLBI untuk mendukungnya. Semua itu merupakan sebagian dari berbagai program dan

langkah yang diambil pemerintah. Pertanyaan menarik untuk diajukan adalah, apa

program dan langkah kongkrit yang dilakukan Kementan (Pemerintah) saat ini untuk

mencapai kemandirian pangan dan produk hortikultura?

Dari sisi produksi, belum terlihat keberadaan program yang kongkrit dalam

upaya peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas bawang merah (produk

hortikultura lain) berikut skema pendanaan. Kalaupun ada program, masih bersifat

normatif dan sebatas rencana, belum didukung skema pendanaan dan koordinasi antar

instansi lingkup Kementan dalam pelaksanaannya. Belum ada peta jalan (road-map),

komoditas apa akan dikembangkan didaerah mana, kapan dan berapa luasnya? Hal

yang sama juga dapat diamati dari kenyataan tidak adanya upaya dan program khusus

yang dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian terkait dengan target mencapai

kemandirian pangan, khususnya produk hortikultura7. Pernyataan ini didukung hasil

wawancara dan data terkait program dan kegiatan litbang pertanian, khususnya litbang

hortikultura. Kalau informasi ini benar maka dapat dipastikan dari sekarang bahwa

program kemandirian hortikultura hanya akan menjadi impian dan „jauh panggang dari

api‟.

7 Yang perlu dicegah adalah pemikiran bahwa kemandirian pangan dapat segera dicapai dengan cara membatasi dan/atau melarang impor, tanpa peduli terjadinya kelangkaan pasokan dan lonjakan harga.

Page 12: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

11

Kementerian Pertanian, lewat kebijakan RIPH, terkesan lebih memfokuskan

langkahnya untuk membatasai impor. Pembatasan impor tidak salah dan perlu

didukung jika diperlukan untuk mengendalikan limpahan bawang merah impor agar

petani bawang merah tidak rugi. Namun pengendalian impor saja mustahil dapat

mengantar Indonesia mencapai kemandirian produk hortiultura sebagaimana dicita-

citakan. Pembatasan impor harusnya dipandang „hanya salah satu‟ dari seperangkat

instruments kebijakan dalam mendukung dan mensukseskan program swasembada

bawang merah. Kebijakan perdagangan, kususnya pembatasan impor, tidak dapat

dipandang segalanya sebagai penyelesaian masalah untuk mencapai swsembada.

INSTRUMEN PERDAGANGAN DAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH

Pembatasan impor diperlukan agar budidaya bawang merah tidak merugi akibat

melimpahnya impor bawang merah. Dalam teori perdagangan internasional, dikenal

argumen „Terms of Trade‟ dan „Domestic market failure‟ sebagai justifikasi penerapan

proteksi perdagangan. Masalahnya adalah instrumen pembatasan impor apa yang

digunakan? Teori dan ilmu perdagangan internasional memberikan landasan teoritis

untuk memilih instrumen kebijakan impor yang efektif dan tidak berdampak negatif

terhadap konsumen dan perekonomian. Aturan WTO, yang memang „guided by

landasan teoritis dan bukti empiris‟, juga mengatur instrumen pembatasan impor yang

„less trade distorting‟. Jika ada kebijakan perdagangan, termasuk pembatasan impor,

yang diterapkan negara anggota tidak konsisten dengan aturan WTO maka akan

dipertanyakan atau dipermasalahkan oleh negara anggota lain yang merasa dirugikan.

Adalah hak setiap negara anggota WTO untuk mempertanyakan kebijakan negara

anggota yang melanggar aturan WTO dan merugikan kepentingan ekspornya.

Aturan WTO, sebagaimana tertuang dalam GATT 1994 Article XI “General

Elimination of Quantitative Restriction” melarang negara anggota menerapkan impor

kuota dan restriksi impor kuantitatif lainnya. Namun demikian masih ada instrumen

pembatasan dan perlindungan yang tersedia dan dapat dipergunakan oleh negara

anggota, mulai dari tariff, lisensi impor, standar dtindakan technical barriers to trade,

Page 13: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

12

karantina (sanitary and phytosanitary-SPS) sampai ke bentuk „trade remedies‟ termasuk

anti-dumping, anti-subsidy dan counterveiling measures lainnya.

Tarif impor bawang merah dan produk hortikultura lainnya yang berlaku

umumnya berkisar 5% sementara „bound tariff‟ sebesar 50-60%. Artinya, Indonesia

masih dapat menaikan tarif impor jika diperlukan untuk melindungi petani produsen di

Indonesia. Disamping itu, Indonesia dapat menerapkan kebijakan lisensi impor, namun

harus bersifat „automatic‟ dan konsisten dengan aturan WTO. Pemerintah dapat

menerapkan tingkat „tariff equivalent kuota‟, yakni tingkat tariff impor yang kalau

diterapkan akan menjamin jumlah impor sebesar target (kuota) impor yang diinginkan

pemerintah.

Secara teoritis tariff impor lebih baik (superior) dibandingkan kuota (Krugman

dan Obstfeld, 2003). Pertama, pemerintah menerima „revenue‟ dari tariff impor yang

berlaku. Kedua, tariff impor dikenal sebagai „the second best policy‟ karena „less trade

distorting‟ dan lebih transparan dibandingkan kuota. Ketiga, tariff impor tidak

menyuburkan praktek „rent seeking‟. Keempat, kebijakan tariff tidak mengakibatkan

melonjaknya harga produk yang bersangkutan di pasar domestik manakala terjadi

kenaikan permintaan, sebaliknya terjadi untuk kebijakan kuota impor.

Penjelasan untuk kelebihan terakhir dari tarif impor digambarkan dalam gambar

2. Sebagai ilustrasi, misalkan Do merupakan kurva permintaan sedangkan So kurva

penawaran bawang merah di Indonesia. Sampai saat ini, Indonesia merupakan Negara

net-importer bawang merah, sebagian kebutuhan dalam negeri masih diimpor.

Dibandingkan total permintaan impor dunia, pangsa impor bawang merah Indonesia

tergolong kecil, sehingga Indonesia sebagai „price taker‟ yang menghadapi kurva

penawaran Po. Jika pemerintah tidak ada pembatasan impor, maka kuantitas impor

Indonesia akan sebesar Qmo.

Dalam upaya melindungi petani bawang merah, pemerintah lewat kebijakan

RIPH membatasi impor dengan kuota impor dan membatasi jumlah importir lewat

kebijakan lisensi impor. Sebagai ilustrasi, misalkan pada tahun 2012, pemerintah

menetapkan kuota impor sebesar Qm1. Secara teoritis, kuota impor ini equivalent

dengan pengenaan tarif advalorem sebesar t% per kg (atau tarif spesifik Rp T per kg),

Page 14: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

13

artinya pemerintah dapat menetapkan tarif impor sebesar t% per satuan berat tersebut

agar realisasi volume impor bawang merah sebesar Qm1. Akibat pengenaan kuota

impor sebesar Qm1 tersebut, harga bawang merah di pasar domestik meningkat

sebesar T per kg dari Po menjadi P1.

Gambar 2. Ilustrasi Dampak Tariff Impor Versus Kuota Impor Bawang merah

Anggaplah kuota impor yang ditetapkan pemerintah tersebut dihitung secara

hati-hati dan „akurat‟ mencerminkan kebutuhan bawang merah di pasar domestik. Apa

yang terjadi manakala mendadak terjadi peningkatkan permintaan bawang merah atau

jika pemerintah „underestimate‟ dalam menghitung kuota impor? Situasi ini sering

terjadi saat menjelang bulan puasa, Idul Fitri dan Natal serta tahun baru, yang di dalam

grafik digambarkan sebagai pergeseran kurva permintaan dari Do ke D1. Karena kuota

impor fixed Qm1 maka harga di pasar domestik akan meningkat menjadi P1*, kecuali

Qm1**

P1

Po

P1*

Do D1

So

Q

P

Qmo

Qm1

Qm1*

Page 15: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

14

jika pemerintah segera merevisi dengan cara menaikan kuota impor menjadi Qm1*

harga bawang merah akan tetap bertahan P1. Masalahnya, pemerintah „imperfect

insight‟ atau untuk memutuskan kenaikan kuota impor tidak mudah, karena

menyangkut alokasi „rente ekonomi‟ yang memerlukan proses panjang yang sensitif

karena terkait isu „who gets what and how much‟.

Dampak yang berbeda terjadi jika pemerintah menerapkan kebijakan tarif impor.

Kenaikan permintaan bawang merah (pergeseran kurva permintaan) akan direspon oleh

importir bawang merah secara otomatis yakni dengan menambah kuantitas impor

bawang merah menjadi Qm1**, dengan tetap membayar tari impor sebesar t%,

sehingga harga bawang merah di pasar domestik akan tetap bertahan sebesar P1.

Dengan ilustrasi ini jelas bahwa tarif impor lebih transparan dan „less distortive‟

dibandingkan kuota. Dengan tarif impor negara/pemerintah menerima „revenues‟ dari

tarif yang dapat dipergunakan untuk mendukung program peningkatan populasi dan

budidaya ternak sapi potong.

HARGA PARITAS IMPOR (IMPORT PARITY PRICE)

Sebelum melakukan pembandingan antara tarif dan kuota impor serta

menghitung tarif impor optimum, ada baiknya dipahami tingkat distorsi dan imperfeksi

pasar domestik, dengan cara membandingkan harga eceran dengan harga paritas

impor bawang merah di tingkat eceran. Harga paritas impor (import parity price) adalah

tingkat harga komoditas/produk impor di pasar domestik bilamana pemerintah tidak

menerapkan pembatasan. Harga paritas impor juga dikenal sebagai harga „ekonomis‟

suatu produk atau komoditas.

Pada Tabel 2, disajikan harga dunia (CIF), harga paritas impor di tingkat eceran

dan harga eceran bawang merah beberapa titik waktu pada periode 2011-2013,

sedangkan perkembangan harga paritas dan harga eceran selama 2009-2013 disajikan

pada Gambar 3. Harga paritas impor bawang merah di pasar retail berkisar antara Rp

2.984per kg (September 2012) hingga Rp 6.323 per kg (September 2011). Harga

paritas impor ini jauh lebih rendah dibandingkan harga eceran yang terjadi, yakni

berkisar antara Rp 12.150 per kg (Oktober 2012) hingga Rp 43.636 per kg (Maret

Page 16: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

15

2013). Perbedaan ini disebabkan oleh kebijakan pembatasan impor non tarif dan juga

oleh faktor lain yang menyebabkan „imperfeksi pasar‟ domestik.

Mulai akhir 2012 hingga beberapa bulan pada awal 2013 banyak kontainer impor

hortikultura termasuk bawang merah segar yang tertahan di pelabuhan karena

“persyaratan impor” yang belum terpenuhi. Selama kontainer ditahan di pelabuhan agar

komoditas impor tidak rusak atau busuk maka pengatur suhu udara harus terus

dihubungkan dengan aliran listrik di pelabuhan. Biaya listrik untuk mengatur suhu udara

di pelabuhan adalah Rp 4 juta per kontainer per hari. Jika sampai batas waktu tertentu

importir tidak bis amemenuhi persyaratan, maka importir dibebani biaya Rp 25 juta per

kontainer untuk pemusnahan. Biaya transportasi dari pelabuhan impor, misalnya

Tanjung Perak di Surabaya, ke daerah distribusi (misalnya Jabotabek) memerlukan

biaya yang sangat besar karena selain biaya resmi angkutan masih ada biaya tidak

resmi yang harus dibayar importir maupun distributor. Menurut informasi dari importir

hortikultura, minimal 70 persen dari harga eceran adalah biaya tarnsportasi serta marjin

importir dan pedagang. Harga beli komoditas di negara asal maksimal 30 persen dari

harga eceran. Dalam situasi pasar “imperfect” hanya sebagian kecil dari perbedaan

harga tersebut dinikmati oleh petani produsen, sebagian besar justru dinikmati oleh

importir dan pedagang besar yang memperoleh kuota impor paling besar. Perbedaan

harga inilah yang disebut rente ekonomi (economic rent).

Tabel 2. Harga CIF, paritas impor, dan eceran bawang merah, 2010-2013 (Rp/kg)

Bulan 2011 2012 2013

CIF Paritas Eceran Cif Paritas Eceran Cif Paritas Eceran

Jan 4.323 5.122 24.056 4.202 4.979 12.584 5.173 6.130 19.867

Feb 4.263 5.051 24.710 4.371 5.179 12.621 4.897 5.803 25.786

Mar 4.418 5.235 24.710 4.490 5.320 12.657 4.416 5.232 43.636

Apr 4.303 5.098 24.214 4.348 5.152 13.909 - - -

Mei 4.287 5.079 19.424 4.404 5.218 16.260 - - -

Jun 4.302 5.097 19.943 3.332 3.948 17.684 - - -

Jul 4.668 5.531 20.794 3.534 4.187 15.244 - - -

Ags 4.812 5.702 17.672 3.939 4.667 13.449 - - -

Sep 5.336 6.323 15.672 2.518 2.984 12.783 - - -

Okt 4.943 5.857 14.643 3.199 3.791 12.150 - - -

Page 17: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

16

lBulan 2011 2012 2013

CIF Paritas Eceran Cif Paritas Eceran Cif Paritas Eceran

Nov 4.397 5.209 14.065 4.753 5.632 14.271 - - -

Des 3.939 4.667 13.388 5.619 6.658 16.507 - - - Sumber: www.bps.go.id (2013), Kemendag (2012,) dan http://www.bawang-merah.com/harga-bawang-merah.html (2013)

Gambar 3. Perkembangan Harga Paritas Impor dan Harga Eceran Bawang merah 2009-

2013

TARIF VERSUS KUOTA DI FTA

Apakah kebijakan menaikan tariff impor tidak dimungkinkan dan tidak efektif

dalam konteks FTA, misalnya di ASEAN (AFTA) dan ASEAN+partner? Ada pemahaman

banyak pihak, baik di Kemendag maupun Kementan, bahwa instrument „import tariff‟

tidak lagi berguna dan tidak efektif dalam memberikan perlindungan kepada petani dan

produsen domestik umumnya, karena tingkat tariff impor di AFTA dan ASEAN+partner

umumnya sdh „zero‟ atau „rendah‟. Mereka berpendapat bahwa menaikan tarif, apapun

alasannya, tidak berlaku bagi Nngara anggota ASEAN dan ASEAN+partner. Mereka

berpandangan bahwa kalau Indonesia menaikan tarif impor, harus melakukan

renegosiasi dengan seluruh anggota ASEAN dan ASEAN+partner, sedangkan kalau

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

40000

45000

50000

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

Mei Ju

l

Sep

No

v

Jan

Mar

2009 2010 2011 2012 2013

P-Eceran

IPP-Eceran

Page 18: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

17

menerapkan kuota impor tidak perlu renegosiasi. Mereka juga berpandangan bahwa

tidak ada larangan di ASEAN dan ASEAN+partner untuk menerapkan kuota impor. Tidak

mengherankan kalau belakangan muncul pemahaman bahwa kuota impor lebih

berguna dan lebih efektif dibandingkan tariff impor untuk memberikan perlindungan

kepada petani. Oleh karenanya, tidak heran kalau kuota impor belakangan menjadi

populer dan menjadi andalan Kemendag maupun Kementan8.

Benarkah pemahaman seperti itu? Apakah aturan WTO/GATT 1994 yang

melarang penggunaan kuota dan restriksi kuantitatif lainnya tidak berlaku di FTA (WTO,

1995)? Artinya, apakah perjanjian FTA membolehkan penggunaan kuota, sementara

aturan WTO telah melarangnya. Demikian juga, apakah menaikan tariff tidak

dimungkinkan sedangkan aturan WTO membolehkan Negara anggota untuk menaikan

tariff impor bila diperlukan untuk membendung banjir impor sepanjang tidak melampaui

„bound tariff‟?

Menurut logika dan pemahaman penulis, semua aturan WTO berlaku di FTA.

Oleh karenanya FTA dikenal sebagai WTO plus. Kuota impor dan restriksi kuantitatif lain

yang dilarang oleh aturan WTO, pastinya juga (harus) dilarang di FTA. Sebaliknya,

kebijakan menaikan tarif impor, sebagai „general safeguard instrument‟ untuk

melindungi petani dan produsen dari banjir impor yang diperbolehkan WTO seharusnya

juga dapat berlaku atau diperbolehkan di FTA. Namun demikian, adalah kewajiban bagi

Negara anggota yang memberlakukan kebijakan tersebut untuk menotifikasikan ke

semua negara anggota WTO lewat sekretariat WTO dan ke negara anggota FTA lewat

sekretariat FTA9. Notifikasi yang sama atau mungkin „re-negosiasi‟ tentunya harus

dilakukan oleh dan antara anggota FTA bila ada kebijakan salah satu anggota yang

bersifat „restriktif‟, baik itu kenaikan tarif maupun penerapan kuota. Kalau Indonesia

menerapkan kuota impor akan dipertanyakan oleh negara anggota WTO, termasuk

ASEAN dan ASEAN+partner, sedangkan kalau menaikan tarif impor hanya akan

8 Pemahaman ini secara resmi tercermin dalam Nota Dinas dari Kepala Badan Ketahanan Pangan kepada Menteri Pertanian, tanggal 7 Mei 2013, tentang pertimbangan penggunaan tarif impor produk hortikultura 9 Menjadi kewajiban Negara anggota untuk menotifikasikan setiap ‘trade and trade related measure’ kepada seluruh anggota WTO, lewat sekretariat WTO. Kegagalan atau kesengajaan untuk tidak menotifikasi ke WTO akan dipertanyakan dan dipermasalahkan Negara anggota dan ini akan menjadi titik lemah jika kasusnya dibawa ke proses panel sengketa dagang di Dispute Settlement-WTO.

Page 19: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

18

dipertanyakan oleh negara anggota ASEAN dan ASEAN+partner. Hal ini terbukti,

kebijakan RIPH ternyata dipertanyakan baik oleh negara non-anggota maupun anggota

ASEAN dan ASEAN+partner.

Ringkasnya, aturan WTO tetap berlaku dan mengikat seluruh negara anggota

WTO, termasuk mereka yang terikat dalam perjanjian FTA. Aturan WTO, tidak dapat

digugurkan oleh aturan FTA. Oleh karena itu, kebijakan menaikan tariff impor untuk

memberikan perlindungan kepada petani dari banjir impor, dalam konteks „general

safeguard‟, dapat diterapkan dalam konteks perdagangan regional di ASEAN.

Sebaliknya, penggunaan kuota impor yang dilarang WTO juga dilarang di FTA.

Sebagai ilustrasi, kebijakan penerapan kuota impor, non-automatic import

licensing, dan larangan impor produk hortikultura untuk periode tertentu telah

dipermasalahkan oleh Amerika Seriat dan beberapa negara anggota WTO lainnya.

Apakah kebijakan ini juga berlaku bagi Negara anggota AFTA dan ASEAN+partner?

Jawabannya ya, terbukti Australia yang terikat dalam FTA ASEAN+NZ, menjadi salah

satu negara anggota WTO yang mempermasalahkan kebijakan tersebut dan telah

menyatakan menjadi „third party‟ dalam proses penyelesaian sengketa di form DSB.

Dalam kaitan kasus ini, pertanyaannya adalah, lebih efisien dan efektif mana

bagi pemerintah Indonesia dalam melindungi petani dari produk impor, apakah dengan

menggunakan kuota dan larangan impor atau menaikan tarif impor? Kebijakan yang

pertama, yang diterapkan pemerintah saat ini, ternyata telah dipermasalahkan oleh

Negara anggota WTO dan anggota ASEAN+ANZ FTA. Kalau pemerintah melakukannya

dengan menaikan tariff impor „optimal‟ yang tidak melampaui „bound tariff‟ mungkin

akan dipertanyakan oleh Negara anggota WTO dan juga mereka yang terikat di

ASEAN+ANZ, tetapi kecil kemungkinannya untuk dibawa ke proses sengketa dagang

DSB. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah memilih kebijakan perlindungan dengan

instrument tariff impor. Jika kebijakan tariff dinilai tidak cukup efektif, maka pemerintah

dapat menerapkan instrumen non-tariff, misalnya penerapan standar baik dalam

konteks TBT maupun SPS.

Ada suatu fakta yang perlu diketahui oleh pembuat kebijakan di Kementan

adalah bahwa pemanfaatan tarif preferential dalam kerangka perdagangan antara

Page 20: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

19

negara (intra-trade) di AFTA dan ASEAN+partner ternyata masih sangat terbatas.

Perdagangan intra ASEAN dan ASEAN+partner lebih banyak menggunakan MFN tariff

(Gambar 4). Informasi yang diperoleh menyatakan bahwa proses administrasi dan

pengisian form SKA (Surat Keterangan Asal) untuk memanfaatkan tarif preferential

dinilai cukup rumit dan menjadi beban importer, sehingga mereka memilih menggunaan

tariff MFN. Hal ini dapat dijadikan petunjuk bahwa manfaat tarif preferential bagi

importer-exporter dinilai lebih kecil dibandingkan energi, waktu dan biaya untuk

mengurus SKA dan menlengkapi proses administrasi. Oleh karena itu, terkait dengan

tujuan untuk melindungi petani dan produsen, pemerintah sebaiknya dan sedapat

mungkin menggunakan instrument kebijakan yang konsisten dengan aturan WTO, tidak

malahan menggunakan instrumen yang dilarang WTO.

Gambar 4. Pemanfaatan Preferensi Tarif AFTA dan ASEAN+partner

2,965

5,753

9,561

2,875

452 1,113

1,589

3,758

1,636 1,111

-

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

AKFTA ACFTA AFTA IJEPA AIFTA

US$ j

uta

2010

Triwulan I '2011

Page 21: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

20

PERHITUNGAN TARIFF IMPOR OPTIMUM

Adalah suatu kewajiban bagi semua Negara anggota WTO untuk menyesuaikan

kebijakan perdagangannya agar “compliance with” aturan WTO. Seperti telah diuraikan

sebelumnya, aturan WTO melarang penerapan restriksi perdagangan kuantitatif

termasuk kuota impor. Dengan demikian, penerapan kuota impor yang belakangan ini

marak dilakukan secara terbuka oleh Indonesia jelas menyalahi atau tidak konsisten

dengan aturan WTO. Kebijakan pengenaan tarif impor yang dilakukan Indonesia setiap

saat dapat dipermasalahkan oleh negara anggota WTO lainnya yang merasa atau

secara potensial dirugikan. Jika dibawa ke proses penyelesaian sengketa (DSB), hampir

dapat dipastikan Indonesia akan kalah, karena jelas-jelas melanggar aturan WTO.

Seandainya secara politik pemerintah ingin melindungi petani dengan cara

membatasi impor maka pemerintah dapat menghitung „tariff equivalent quota‟ yang

sekaligus menjadi „tariff optimum‟ yang menjamin petani memperoleh keuntungan layak

untuk tetap berusaha tani dan konsumen tidak terbebani oleh harga produk yang

kelewat tinggi. Lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK), pemerintah langsung dapat

mengenakan tarif impor, tanpa harus berpolemik tentang keakuratan data untuk

menghitung besarnya kuota impor. Tarif „optimum‟ harus menjamin harga „remuneratif‟

bagi produsen, yakni menjamin keuntungan bersih usahatani diatas 30 persen (30-

35%) tetapi tidak membebani konsumen.

2007 2008 2009 2010 Triwulan I '2011

Total 1.907 15.884 13.106 19.867 9.207

AFTA 1.360 9.434 6.417 8.710 3.758

AKFTA 343 2.942 1.603 2.776 1.113

ACFTA 204 1.804 2.607 5.287 1.589

IJEPA 0 1.705 2.479 2.642 1.636

AIFTA 0 - 0,0 452 1.111

-

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000 US

$ jut

aNilai SKA berdasarkan Tipe Preferensi FTA

Page 22: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

21

Dengan penerapan tarif optimum ini, pemerintah tidak perlu mengumumkan

kuota impor dan repot melakukan pembagian kuota ke importir terdaftar, yang terbukti

menyuburkan „rent seeking behavior‟ dan kasus suap-menyuap yang menimbulkan

gonjang ganjing politik nasional. Importir Terdaftar (IT) tidak perlu RIPH, semua IT

dapat mengimpor produk yang bersangkutan sepanjang membayar tarif impor yang

telah ditetapkan. Dengan kebijakan seperti ini, akan terjadi seleksi pasar terhadap IT,

dimana hanya IT yang efisien yang akan beroperasi, dan dapat mencegah terjadinya

kasus suap-menyuap yang memicu ekonomi biaya tinggi. Yang pasti, potensi „quota

rent‟ yang hanya dinikmati oleh beberapa importir dan oknum pemerintah dan politisi,

masuk ke kas negara dalam bentuk penerimaan pemerintah dari tarif (tariff revenue).

Perhitungan tarif optimum bawang merah dilakukan dengan menggunakan

analisis keseimbangan parsial, memperhitungkan tingkat keuntungan petani bawang

merah, kesejahteraan produsen, konsumen dan penerimaan pemerintah, serta

meminimumkan „social welfare loss‟ di perekonomian. Untuk keperluan ini, diperlukan

data-data dan informasi, antara lain: data produksi bawang merah, struktur ongkos

usahatani, harga FOB/CIF, realisasi impor, harga eceran, biaya pemasaran (angkutan

dan bongkar muat), dan nilai tukar rupiah. Disamping itu, juga diperlukan beberapa

parameter antara lain, elastisitas penawaran, elastisitas permintaan, elastisitas harga

sendiri dan harga silang permintaan faktor produksi, serta elastisitas transmisi harga

eceran ke tingkat farm-gate.

Hasil perhitungan tarif impor dan dampaknya dengan menggunakan data tahun

2012 disajikan dalam Tabel 3. Pada tahun 2012, dengan tarif sebesar 5%, impor

bawang merah tercatat 95.000 ton. Harga rata-rata eceran bawang merah sekitar Rp

12.000 per kg, sedangkan harga di tingkat petani (farmgate) sebesar Rp 4.695 per kg.

Dengan tingkat harga farmgate ini, petani bawang merah menikmati keuntungan bersih

sebesar 26% dari total biaya produksi, dibawah tingkat optimum yang ditargetkan

(30%). Penerimaan pemerintah dari tarif sebesar Rp28 milyar. Tarif optimum sebesar

10-15%, jauh lebih rendah dibandingkan „bound tariff‟ bawang merah sebesar 50%.

Dengan tariff tersebut, petani bawang merah menerima keuntungan bersih 30-35%

untuk terus berusahatani. Konsumen tidak terlalu dibebani dengan adanya harga

Page 23: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

22

eceran bawang merah sebesar Rp 12.500-13.000 per kg. Pemerintah memperoleh

revenue dari tariff sebesar Rp 39-41 milyar, meningkat sebesar 37-43 persen.

Tambahan penerimaan ini akan hilang dan menjadi „quota rent‟ yang akan dinikmati

oleh beberapa importir/pedagang dan oknum bilamana pemerintah menerapkan kuota

impor. Terbatasnya jumlah importir dan dominasi beberapa importir besar akan

membuat harga eceran dan „quota rent‟ bertambah besar.

Dengan tariff optimum ini, volume impor bawang putih akan menurun dan

terkendali dalam kisaran 40.000-70.000 ton per tahun, atau 4-6% dari total konsumsi

bawang merah nasional. Secara ekonomi-politik, angka impor ini seharusnya tidak perlu

merisaukan mengingat Indonesia masih dalam status „self sufficiency on trend‟ dan

tidak mengurangi „kemandirian‟ bangsa. Bila terjadi lonjakan permintaan bawang merah

diluar musim panen seperti saat ini, peluang terjadinya lonjakan harga eceran dapat

dihindari karena importir akan menambah impor dengan tetap membayar tariff impor

yang berlaku. Dengan kebijakan ini, konsumen tidak dirugikan oleh lonjakan harga,

pemerintah memperoleh tambahan revenue impor, dan produsen terlindungi dengan

penerapan tarif impor tersebut.

Tabel 3. Hasil Perhitungan dan Dampak Pengenaan Tarif Impor Bawang Merah

Uraian Base

BM=5 BM=10 BM=15 BM=20 BM=25

CIF Price Tanjung Periok (US$/ton) 480 480 480 480 480

Nilai Tukar (Rp/$) 9.600 9.600 9.600 9.600 9.600 Harga Perbatasan (Rp/kg) 6.048 6.048 6.048 6.048 6.048

Bea masuk Advalorem (%) 5 10 15 20 25 Specifik (Rp/kg) 302 605 907 1.210 1.512

Harga Paritas Impor Eceran (Rp/kg) 7.583 7.945 8.306 8.667 9.028

Harga Aktual Eceran (Rp/kg) 12.000 12.571 13.143 13.714 14.286 Harga Petani (Farmgate price) (Rp/kg) 4.695 5.163 5.632 6.100 6.569

Produksi Bawang Merah (000 ton) 1.048 1.057 1.066 1.073 1.080

Perubahan (000 ton) 0 9 18 25 32 Perubahan (%) 0 1 2 2 3

Page 24: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

23

Uraian Base BM=5 BM=10 BM=15 BM=20 BM=25

Import Bawang Merah (000 ton) 95 68 43 21 0 Perubahan (000 ton) 0 -27 -52 -74 -95

Perubahan (%) 0 -28 -54 -78 -100

Permintaan Bawang Merah (000 ton) 1.203 1.185 1.169 1.154 1.140 Perubahan (000 ton) 0 -18 -34 -49 -63

Perubahan (%) 0 -1 -3 -4 -5

Penerimaan Pemerintah (milyar Rp) 28.728 41.160 39.422 25.285 237 Perubahan (milyar Rp) 0 12.432 10.694 -3.443 -28.491 Perubahan (%) 43 37 -12 -99

Produktivitas Bawang Merah

(kg/ha) 9.000 9.000 9.257 9.385 9.514 Keuntungan Petani (%) 23 30 36 40 45

Jika kebijakan tarif impor optimum juga diterapkan untuk komoditi hortikultura

lain, sebagai pengganti kebijakan kuota dan lisensi impor (RIPH) serta larangan impor

periode tertentu, diharapkan kelangkaan pasokan, gejolak serta lonjakan harga produk

hortikultura tidak akan terjadi dan meresahkan masyarakat dan membebani

perekonomian. Tentu saja tarif impor bukan satu-satunya intrumen untuk melindungi

petani domestik dari banjir impor terutama akibat “unfair trading”, pemerintah dapat

memanfaatkan instrumen “trade remedies dan trade defense instruments” lain, jika

memang diperlukan. Pemerintah perlu mulai lebih serius untuk mendalami dan

memanfaatkan standar dan persyaratan karantina (SPS) dalam upaya melindungi pasar

domestik dan sektor pertanian dari limpahan produk pertanian yang tidak memenuhi

standar.

Disamping memberikan perlindungan dari ancaman produk impor (border

measures), sangat diperlukan kebijakan yang mencerminkan keberpihakan dan

perhatian lebih besar untuk meningkatkan kapasitas produksi, produktivitas dan kualitas

bawang merah dan produk hortikultura pada umumnya (beyond the border measures).

Bahkan yang terakhir ini lebih penting bila „kemandirian‟ produk hortikultura menjadi

tujuan nasional. Tidak hanya kecukupan anggaran, kontinuitas program dan komitmen

Page 25: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

24

politik, langkah ini harus gerakan nasional, sebagaimana dilakukan pemerintah saat

menggulirkan program swasembada beras akhir tahun 70an. Yang pasti, tujuan

kemandirian produk hortikultura tidak mungkin dapat dicapai jika hanya mengandalkan

pembatasan impor (border measures).

KESIMPULAN

Dalam merumuskan kebijakan publik, Pemerintah seharusnya memperhatikan

kepentingan semua pihak, baik konsumen, produsen maupun importer/pedagang

secara keseluruhan, bukan hanya menguntungkan „konstituen‟ partai politik tertentu.

Hal yang sama harus dilakukan pemerintah dalam merumuskan kebijakan pertanian

dan perdagangan produk pertanian. Kebijakan pemerintah untuk memberikan

perlindungan kepada petani tidak harus membebani konsumen dan perekonomian,

karena pada gilirannya juga akan membebani petani produk yang bersangkutan akibat

effek inflatoir.

Disamping itu, sebagai anggota WTO, Pemerintah Indonesia dalam merumuskan

kebijakan perdagangan harus tetap memperhatikan dan mengacu aturan WTO.

Pemerintah seyogyanya menggunakan instrumen kebijakan perdagangan yang

diperbolehan dan sedapat mungkin menghindari penggunaan instrumen yang dilarang

aturan WTO. Aturan WTO mengikat semua negara anggota termasuk Indonesia.

Ketidak-konsistenan dan pelanggaran terhadap aturan WTO oleh negara anggota akan

dipertanyakan dan dipermasalahkan oleh negara anggota yang lain, dan negara yang

kebijakan perdagangannya melanggar aturan WTO harus siap untuk „diadili‟ dan „kalah‟

dalam proses sengketa dagang-Dispute Settlement Mechanism di WTO.

Dalam bentuknya saat ini, kebijakan RIPH yang terlalu berfokus kepada

pembatasan impor lewat kuota dan lisensi impor serta larangan impor periodik terbukti

telah memicu lonjakan harga eceran yang membebani konsumen dan tidak efektif

dalam memberikan perlindungan kepada petani. Kebijakan ini terbukti kurang

transparan, menciptaan ketidak-pastian, dan menyuburkan praktek pencarian rente

ekonomi dan suap-menyuap yang menimbulkan gonjang ganjing politik nasional.

Page 26: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

25

Keberpihakan dan perlindungan kepada petani dapat dan harus dilakukan oleh

pemerintah tidak hanya dengan „border measures‟ lewat pembatasan/larangan impor

tetapi juga harus dilakukan „beyond the border‟ lewat kebijakan untuk mendorong

peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas produksi, peningkatan margin

keuntungan petani lewat perbaikan infrastruktur dan system logistik nasional.

Hasil perhitungan dengan menggunakan data tahun 2012, menghasilkan tariff

optimum berkisar 10-15%, jauh lebih rendah dibandingkan „bound tariff‟ bawang merah

sebesar 50% tetapi lebih tinggi dibandingkan „applied tariff‟ saat ini sebesar 5%.

Dengan tariff optimum tersebut, Indonesia akan mengimpor bawang merah dalam

kisaran 40.000-70.000 ton per tahun, atau 4-6 persen dari total konsumsi bawang

merah nasional. Dengan angka impor ini status „self sufficiency on trend‟ dan

„kemandirian‟ tetap dapat dipertahankan. Dengan tarif impor optimum ini, petani

bawang merah terlindungi dari banjir impor dan memperoleh keuntungan bersih 30-

35% untuk terus berusahatani. Konsumen tidak dirugikan oleh lonjakan harga,

pemerintah memperoleh tambahan revenue impor, dan produsen terlindungi dari banjir

impor sehingga tetap dapat berproduksi secara menguntungkan. Baik petani, konsumen

dan pemerintah (Negara) diuntungkan dengan kebijakan tarif impor, meskipun tentu

saja segelintir pihak „pencari rente‟ akan dirugikan karena tidak ada lagi kesempatan

untuk mengambil rente ekonomi sebagaimana terjadi jika pemerintah menerapkan

kebijakan kuota dan lisensi impor yang ketat.

Semua aturan WTO berlaku dan mengikat semua negara anggota yang di FTA.

Oleh karenanya FTA dikenal sebagai WTO plus. Kuota impor yang dilarang oleh aturan

WTO, juga dilarang diterapkan di FTA. Aturan WTO memperbolehkan negara anggota

menaikkan tarif impor (MFN), sebagai „general safeguard instrument‟ untuk melindungi

petani dan produsen dari banjir impor. Kenaikan tarif ini juga dapat diberlakukan di

FTA. Adalah keliru pendapat yang menyatakan kuota impor dapat diberlakukan

sedangkan tarif impor untuk „general safeguard‟ tidak berlaku di FTA. Namun demikian,

adalah menjadi kewajiban anggota WTO, AFTA dan ASEAN+partner, untuk

menotifikasikan kebijakan perdagangannya ke Sekretariat WTO dan kalau memang

Page 27: KEBIJAKAN IMPOR DAN SWASEMBADA BAWANG MERAH: …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_03.pdf · dan terkonsentrasi (sekitar 80 persen) di Pulau Jawa, dan hampir sekitar

26

diwajibkan harus melakukan renegosiasi dengan semua anggota AFTA dan

ASEAN+partner.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2012. Produksi Sayuran di Indonesia, 2008-2012. Jakarta.

Ditjen Hortikultura. 2006. Tanaman Sayuran: Buku Tahunan Hortikultura. Ditjen Hortikultura. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Ditjen Hortikultura. 2012. Cetak Biru Pengembangan Hortikultura Tahun 2011-2015. Kementaerian Pertanian. Jakarta.

Kementerian Perdagangan. 2012. Tinjauan Pasar Bawang Merah. Edisi: Bawang Merah/Desember 2012. Jakarta

Krugman, Paul R and M. Obstfeld. 2003. Internasional Economics: Theory and Policy.

6th edition. World Student Series, Addison Wesley, New York.

Pusdatin 2012. Statistik Konsumsi Pangan 2012. Sekretraita Jenderal, Kementerian

Pertanian. Jakarta.

WTO. 1995. The Legal Text. World Trade Organization, Geneve, Switzerland.