kajian legislasi penyuluhan pertanian...

12
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAJIAN LEGISLASI PENYULUHAN PERTANIAN MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN Oleh : Kurnia S. Indraningsih Tri Pranadji Yana Supriatna PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012

Upload: hathien

Post on 30-Jan-2018

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN LEGISLASI PENYULUHAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2012_KSI.pdf · penyelenggaraan penyuluhan pertanian, belum sepenuhnya sejalan dengan UU 16/2006

LAPORAN AKHIRPENELITIAN TA 2012

KAJIAN LEGISLASI PENYULUHAN PERTANIANMENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN

Oleh :Kurnia S. Indraningsih

Tri PranadjiYana Supriatna

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN2012

Page 2: KAJIAN LEGISLASI PENYULUHAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2012_KSI.pdf · penyelenggaraan penyuluhan pertanian, belum sepenuhnya sejalan dengan UU 16/2006

xvi

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pendahuluan

1. Dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 (UU No. 16/2006) tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K), kegiatan penyuluhan pertanian mempunyai landasan hukum yang kuat dan jelas dalam memberikan dukungan bagi keberhasilan pembangunan pertanian di pedesaan. Tanpa UU No. 16/2006 tersebut, pelaksanaan kegiatan penyuluhan tidak memiliki kekuatan yuridis.

2. Implementasi dalam perubahan kebijakan, yang mengatur operasionalisasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian, belum sepenuhnya sejalan dengan UU 16/2006. Hal ini diperkirakan menjadi penyebab utama mengapa kinerja penyelenggaraan sistem penyuluhan pertanian belum berjalan optimal. Faktor yang menjadi penyebab signifikan kegiatan penyuluhan pertanian belum sesuai dengan yang diharapkan antara lain yang berkaitan dengan legislasi, materi atau program, kompetensi dan jumlah SDM penyuluh, organisasi dan manajemen serta infrastruktur penyuluhan. Karena itu, kegiatan penyuluhan pertanian saat ini masih kurang memberikan dukungan terhadap terwujudnya swasembada pangan.

3. Strategi yang dilakukan untuk mewujudkan keberhasilan swasembada pangan adalah dukungan legislasi bidang pertanian yang mencakup keseluruhan aspek, sehingga terwujud peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan produksi, dan pemberdayaan kelembagaan pertanian serta dukungan pembiayaan usahatani.

4. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengevaluasi konsistensi dan sinkronisasi peraturan perundangan di bidang penyuluhan dengan pencapaian sasaran swasembada pangan; (2) Mengevaluasi implementasi peraturan perundangan di bidang penyuluhan dengan pencapaian sasaran swasembada pangan; dan (3) Mengevaluasi dampak implementasi peraturan perundangan di bidang penyuluhan dengan pencapaian sasaran swasembada pangan.

Metode Penelitian

5. Data dan informasi dihimpun melalui survai dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur (structured questionnaire) dari pemangku kepentingan di dinas lingkup pertanian dan lembaga penyuluhan di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan (penyuluh), maupun desa (kelompok tani sebagai penerima manfaat). Teknik pengumpulan data adalah wawancara mendalam (indepth interview) dilengkapi dengan teknik Diskusi Kelompok dengan pendekatan ethnomethodology, yakni penelitian terhadap perilaku sosial rutin sehari-hari. Varian diskusi kelompok yang digunakan dalam kajian ini adalah interaktif (dua arah) dengan satu moderator.

Page 3: KAJIAN LEGISLASI PENYULUHAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2012_KSI.pdf · penyelenggaraan penyuluhan pertanian, belum sepenuhnya sejalan dengan UU 16/2006

xvii

6. Pemilihan lokasi penelitian dengan mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: (1) Provinsi/kabupaten terpilih merupakan sentra produksi pangan; (2) Terdapat program-program yang mendukung upaya swasembada pangan; dan (3) Sistem penyelenggaraan penyuluhan pertanian telah berjalan sebelum UU No. 16/2006 diberlakukan, sehingga dapat dibandingkan pelaksanaan kegiatan penyuluhan sebelum dan setelah ada legislasi.

7. Lokasi (provinsi) penelitian mencakup wilayah Jawa dan Luar Jawa. Berdasarkan kriteria yang telah ditentukan di atas secara purposif dipilih Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat (Kabupaten Ciamis dan Garut), Jawa Timur (Kabupaten Kediri dan Malang), Lampung (Kabupaten Lampung Tengah), dan Sulawesi Selatan (Kabupaten Sidenreng Rappang).

8. Jumlah responden di lima provinsi sebanyak 214, yang mencakup aparat/informan dari instansi pemerintah yang terkait dengan penyuluhan di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten, dan Kecamatan, termasuk koordinator penyuluh, penyuluh, dan kelompok tani peserta program pemerintah yang mendukung swasembada pangan.

Hasil dan Pembahasan

Tujuan 1: Mengevaluasi konsistensi dan sinkronisasi peraturan perundangan di bidang penyuluhan dengan pencapaian sasaran swasembada pangan

9. Peraturan turunan dari undang-undang penyuluhan pertanian, seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Menteri Pertanian (Permentan), dan Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) yang telah diterbitkan konsisten dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, dalam hal ini UU No. 16/2006 tentang SP3K. Ruang lingkup peraturan yang telah diterbitkan mendukung implementasi UU tersebut. PP yang ada baru terbatas pada aspek pembiayaan, pembinaan dan pengawasan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan.

10. UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman Pasal 3 (a) bahwa sistem budidaya tanaman bertujuan meningkatkan dan memperluas penganeka-ragaman hasil tanaman, guna memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, industri dalam negeri, dan memperbesar ekspor. Hal ini sinkron dengan kebijakan Kementerian Pertanian tentang swasembada pangan. Strategi untuk mencapai swasembada pangan (padi, jagung, dan kedelai) telah dituangkan dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2010-2014.

11. Pasal 6 ayat (1) UU No. 12/1992 dinyatakan bahwa petani memiliki kebebasan menentukan pilihan jenis tanaman dan perbudidayaannya. Pasal tersebut tidak sinkron dengan Kebijakan Kementerian Pertanian yang mencanangkan surplus 10 juta ton beras (di tahun 2014). Pada ayat (3)

Page 4: KAJIAN LEGISLASI PENYULUHAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2012_KSI.pdf · penyelenggaraan penyuluhan pertanian, belum sepenuhnya sejalan dengan UU 16/2006

xviii

dijelaskan apabila pilihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak dapat terwujud karena ketentuan Pemerintah, maka Pemerintah berkewajiban untuk mengupayakan agar petani yang bersangkutan memperoleh jaminan penghasilan tertentu. Kondisi ini memerlukan pengaturan lebih lanjut, paling tidak berupa Perpres, yang menjadi acuan operasional di lapangan.

12. UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan produk turunannya berupa PP No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, pertanian bukan merupakan urusan wajib bagi pemerintah daerah, namun merupakan urusan pilihan. Alokasi dana bagi sektor pilihan bukan merupakan prioritas utama, namun menjadi prioritas kedua, yang memanfaatkan alokasi dana yang tersisa. Hal ini tentu menimbulkan permasalahan, karena anggaran untuk pelaksanaan kegiatan penyuluhan memerlukan dana yang relatif besar.

13. Jika UU No. 16/2006 dikaitkan dengan UU No. 32/2004 dan UU No. 7/1996 tentang pangan, maka akan semakin terlihat bahwa antar UU tersebut tidak sinkron. PP No. 38/2007 (yang berada dalam koridor UU No. 32/2004) Pasal 7 (ayat 2) disebutkan bahwa ketahanan pangan menjadi urusan wajib pemerintah daerah, sedangkan pada Pasal 7 (ayat 4) dikemukakan bahwa pertanian menjadi urusan pilihan. Dua ayat dalam satu pasal tersebut tidak sejalan, mengingat dalam implementasi di lapangan dalam arti ketersediaan pangan secara mandiri yang diproduksi petani menjadi ranah sektor pertanian.

14. Dalam UU No. 16/2006 Pasal 4, penyuluhan pertanian berfungsi menumbuhkan kemandirian petani dan ini sejalan dengan salah satu target Kementerian pertanian berupa swasembada pangan. Dengan menempatkan ketahanan pangan sebagai unsur wajib, berarti upaya untuk pemenuhan pangan berasal dari impor menjadi legal, mengingat pertanian bukan menjadi prioritas.

15. PP No. 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (produk turunan UU No. 32/2004), pada Bab V tentang besaran organisasi dan perumpunan perangkat daerah yang membatasi jumlah instansi/dinas di daerah (pasal 20-21). Hal ini tidak sinkron dengan UU No. 16/2006 pasal 8 mengenai kelembagaan penyuluhan. PP No. 41/2007 menjadi kendala untuk terbentuknya kelembagaan penyuluhan, baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, maupun kecamatan. Selain kelembagaan penyuluhan pertanian, ada juga sektor lain yang memerlukan adanya institusi tambahan di daerah. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah persepsi pimpinan daerah (provinsi maupun kabupaten/kota) terhadap pembangunan pertanian dan penyuluhan pertanian. Persepsi tersebut akan mempengaruhi dan menentukan dalam membuat kebijakan kelembagaan penyuluhan.

16. Penataan kelembagaan di daerah melalui PP 41/2007 lebih melihat persoalan kelembagaan semata-mata sebagai persoalan struktur

Page 5: KAJIAN LEGISLASI PENYULUHAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2012_KSI.pdf · penyelenggaraan penyuluhan pertanian, belum sepenuhnya sejalan dengan UU 16/2006

xix

kelembagaan. Standarisasi yang ketat yang dibuat oleh PP ini tidak mempertimbangkan dimensi lain dari kelembagaan daerah seperti aparatur, sistem tata laksana, dan nilai dasar organisasi. Hal ini terlihat dari esensi kebijakan yang lebih menekankan pada tiga hal: (1) penyeragaman nomenklatur kelembagaan daerah; (2) penentuan jumlah kelembagaan daerah yang berbasis pada hasil perhitungan atas variabel jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah APBD; (3) dan perumpunan kelembagaan daerah, meskipun juga menentukan beberapa perubahan lain seperti perubahan eselonisasi pejabat daerah dan lain sebagainya.

Tujuan 2: Mengevaluasi implementasi peraturan perundangan di bidang penyuluhan dengan pencapaian sasaran swasembada pangan

17. Kelembagaan penyuluhan dinilai penting dalam mengakselerasikan kegiatan pembangunan pertanian, karena dengan kejelasan bentuk institusi (dilihat dari manajemen seperti struktur kewenangan jaringan sistem pemerintah daerah, SDM yang sesuai dengan kompetensi, struktur organisasi yang menopang operasional kewenangan, sistem pendanaan, dan sistem akuntabilitas), dapat dilakukan pembinaan dan pengawasan kepada penyuluh secara optimal. Penyuluh dapat melaksanakan pendampingan dengan baik, sehingga diharapkan dapat berdampak terhadap peningkatan kemampuan petani.

18. Kelembagaan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang didasarkan pada UU No 16 tahun 2006 dibentuk dari tingkat pusat sampai tingkat kecamatan. Dalam implementasinya di beberapa provinsi maupun kabupaten tidak semua diatur oleh peraturan daerah.

19. Produk turunan dari UU No. 16/2006 berupa Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) tentang kelembagaan penyuluhan belum ada, sehingga daerah (dalam hal ini Provinsi Jawa Barat) mengalami kesulitan dalam membangun kelembagaan penyuluhan. Hal tersebut dijadikan salah satu alasan administratif bahwa payung hukumnya belum lengkap, sehingga Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh) yang sesuai UU No. 16/2006 belum terbentuk. Pada tahun 2010 melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi Jawa Barat dibentuk Bakorluh ad hoc dengan Ketua Harian Asisten II di Pemda Jawa Barat. Namun sampai saat ini belum bisa operasional karena belum adanya Perda yang mengatur kinerja lembaga tersebut.

20. Kelembagaan penyuluhan di Provinsi Jawa Timur belum sesuai dengan UU No 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K) namun masih berupa Satuan Kerja Badan Koordinasi Penyuluhan (Satkorluh) Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dan masih menginduk pada Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur). Pembentukannya belum diatur oleh Perda tetapi landasan operasional dan dasar hukum penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Provinsi Jawa Timur baru melalui Pergub No. 188/316/KPTS/013/ 2010, tanggal 12 Juli 2010. Karena berbentuk SK maka diperbaharui setiap tahun dan pada tahun 2012

Page 6: KAJIAN LEGISLASI PENYULUHAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2012_KSI.pdf · penyelenggaraan penyuluhan pertanian, belum sepenuhnya sejalan dengan UU 16/2006

xx

diperbaharui menjadi SK Gubernur No. 188/278/ KPTS/013/ 2012, tanggal 14 Mei 2012.

21. Pada Pasal 18 UU No. 16/2006 disebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaan penyuluhan pemerintah…diatur dengan peraturan presiden.” Perpres mengatur hal yang lebih spesifik dan lebih operasional, dibanding dengan PP yang mencakup pengaturan lebih luas. Kelengkapan peraturan yang berupa Perpres ini sampai saat ini belum diterbitkan, dan hal ini dijadikan alasan oleh Pemda Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga belum ada Bakorluh. Dengan adanya otonomi daerah, pembentukan kelembagaan penyuluhan disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan diatur dengan PP 41/2007.

22. Untuk melihat keterkaitan antara UU No. 16/2006 dengan PP No. 38/2007 dalam konteks kegiatan penyuluhan yang mendukung swasembada pangan perlu mencermati Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Strategis (Renstra) dinas/institusi terkait. Ketahanan pangan menjadi prioritas dalam RPJMD dan Renstra, kecuali untuk Provinsi Sulawesi Selatan (termasuk Kabupaten Sidrap). Diantara lima provinsi contoh, Sulawesi Selatan termasuk provinsi yang mendukung swasembada pangan dalam RPJMD.

23. Dalam implementasi di lapangan program yang mendukung ketahanan pangan dan swasembada pangan, keduanya dilakukan bersamaan, termasuk program/kegiatan pemberdayaan penyuluhan pertanian. Pembedanya adalah besaran dan sumber anggaran yang dialokasikan. Program peningkatan ketahanan pangan (yang merupakan unsur wajib) didukung dana APBD yang relatif besar, sedangkan program peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman pangan untuk mencapai swasembada dan swasembada berkelanjutan didanai APBN, melalui dana dekonsentrasi (provinsi) dan tugas pembantuan (kabupaten).

24. Sosialisasi program P2BN yang dilakukan beragam antar provinsi. Di Jawa Barat sosialisasi dilakukan satu kali dalam setahun atau bila ada program/kegiatan yang akan dilakukan. Di Kabupaten Ciamis sosialisasi dilakukan rutin setiap bulan oleh Dinas Pertanian denganpara penyuluh, sedangkan untuk P2BN sosialisasi dilakukan setiap tiga bulan. Di Kabupaten Garut, sosialisasi program peningkatan beras dilakukan satu kali/tahun. Di Provinsi Jawa Timur, sosialisasi program dilaksanakan satu kali/tahun.

25. Terkait dengan P2BN, pertemuan teknis di tingkat Provinsi Jawa Timur melibatkan BPTP, Dinas Pertanian, dan Satkorluh. Diskusi yang dilakukan mencakup teknis pelaksanaan di lapangan, dukungan BPTP dalam aspek teknologi, dan dukungan dinas terkait dengan program yang digulirkan. Sosialisasi dilakukan di seluruh Jawa Timur berdasarkan empat Bakorwil. Koordinasi antara Dinas Pertanian dan Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan (BKP3) Kabupaten Kediri dilakukan secara non-formal, dalam dua minggu sekali (hari Selasa minggu ke-2 dan ke-4).

Page 7: KAJIAN LEGISLASI PENYULUHAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2012_KSI.pdf · penyelenggaraan penyuluhan pertanian, belum sepenuhnya sejalan dengan UU 16/2006

xxi

Sebagai sumber/ pelaku yaitu Dinas Pertanian dan POPT provinsi dan sasaran/penerima adalah BKP3.

26. Di Provinsi Lampung, untuk mendukung P2BN, melalui Bakorluh dilaksanakan kegiatan demfarm di 150 lokasi dan kaji terap di 70 lokasi yang tersebar di 50 BP3K. Sebelum kegiatan dimulai dilakukan temu koordinasi pengawalan dan pendampingan demfarm dan kaji terap (satu kali) di tingkat provinsi dengan nara sumber dari peneliti BPTP, aparat/pejabat Dinas Pertanian, aparat/pejabat Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian. Dilanjutkan dengan temu teknis di tingkat kabupaten dengan nara sumber dari peneliti BPTP, aparat/pejabat Dinas Pertanian, pejabat/penyuluh dari Bakorluh.

27. Di Sulawesi Selatan, untuk melakukan koordinasi di provinsi sudah ada forum komisi penyuluh provinsi, pertemuan berkala dilakukan setiap 3 bulan. Komisi Penyuluhan secara berkala melakukan pertemuan setiap tiga bulan sekali, Dinas Pertanian juga mengadakan pertemuan berkala untuk P2BN. Sosialisasi yang dilakukan di Dinas Pertanian sifatnya hanya rapat-rapat bidang tanaman pangan (bidang sarana, produksi, dan pasca panen).

28. Kebijakan operasional penyuluhan diserahkan sepenuhnya kepada pelaksana di lapangan (Badan Pelaksana Penyuluhan/Bapelluh, dan pelaksana operasional desa). Kebijakan dan strategi implementasi penyuluhan provinsi yang dikembangkan oleh Bakorluh (tingkat provinsi) hendaknya dijabarkan ke dalam kondisi spesifik hierarki yang lebih rendah (tingkat Bapelluh di kabupaten/kota, dan di tingkat operasional desa). Kewenangan penyuluh lapangan hendaknya jelas batas-batasnya, baik batas materi teknis, maupun batas operasional fisik. Guna mencermati hal ini, seyogyanya dilakukan pemantauan terhadap proses penyusunan programa penyuluhan sesuai kebutuhan petani, dan pelaksanaannya, mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan tingkat nasional.

29. Pada waktu penyuluh masih berada di satu atap dengan Dinas Pertanian, penyuluh lebih mudah digerakkan oleh Dinas Pertanian, tetapi untuk kondisi saat ini (dengan pemberlakuan UU No. 16/2006) penyuluh menghendaki berada dalam kelembagaan tersendiri (Bakorluh). Ego lembaga birokrasi masih terlihat dengat kuat. Selama para pejabat di lingkup Dinas Pertanian kurang atau bahkan tidak mendukung terbentuknya kelembagaan penyuluhan sesuai dengan UU No. 16/2006, maka koordinasi lintas sektor/instansi yang tertuang dalam Permentan No. 45/Permentan/OT.140/ 8/2011 menjadi sulit terealisir.

30. Dengan pemberlakuan UU NO. 16/2006, pembentukan kelembagaan di kabupaten/kota hanya untuk mendapat anggaran dari Pusat, dukungan APBD relatif kecil, posisi tawar rendah karena Pemda tidak menilai penting keberadaan kelembagaan penyuluhan. Dengan adanya DAU maupun DAK menjadi kekuatan Pusat untuk “menekan” daerah.

31. Kemampuan penyuluh pertanian saat ini kurang diperhatikan, pelatihan tidak terprogram. Kondisi saat ini standar kompetensi penyuluh tidak ada,

Page 8: KAJIAN LEGISLASI PENYULUHAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2012_KSI.pdf · penyelenggaraan penyuluhan pertanian, belum sepenuhnya sejalan dengan UU 16/2006

xxii

dan juga tidak ada latihan kearah penjenjangan fungsional. Tugas penyuluh tidak jelas, banyak penyuluh yang alih tugas ke jabatan lain sehingga berakibat pada penurunan jumlah penyuluh. Bahkan di beberapa kabupaten/kota keberadaan penyuluh kurang diperhatikan pemerintah daerah setempat, pola karir tidak jelas, kenaikan pangkat sering terlambat, kesempatan mengikuti pelatihan kurang.

32. Penyuluh pertanian yang ada sekarang pada umumnya belum menyadari terjadinya perubahan dari petani dengan budaya petani produsen menjadi petani dengan budaya bisnis, akibatnya misi penyuluhan pertanian untuk menjadikan petani sebagai aktor dalam pengembangan sistem dan usaha agribisnis tidak dapat dilaksanakan secara maksimal. Dari aspek pembinaan pada kelompok tani berjalan sangat lambat.

33. SL-PTT menjadi program Ditjen Tanaman Pangan, padahal sekolah lapangan yang merupakan pendidikan non formal merupakan tupoksi dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian. Pada hakekatnya fungsi Kementerian Pertanian mencakup 3 hal, yakni fungsi (1) pengembangan dan penelitian, (2) pengaturan dan pelayanan, dan (3) pendidikan non formal (untuk pendidikan formal menjadi ranah Kementerian Diknas), namun di eselon satu fungsi tersebut masih tumpang tindih. Fungsi pengaturan dan pelayanan kurang diperhatikan dengan baik.

34. Program dan kegiatan penyuluhan pertanian pemerintah merupakan bagian dari revitalisasi pembangunan pertanian masing-masing daerah. Belum ada peraturan pemerintah yang memberikan petunjuk tentang perlu adanya alokasi dana yang secara khusus untuk penyuluhan pertanian pemerintah. Pada kasus ini tidak ada hubungan langsung antara pemberian kewenangan (SKPD) penyuluhan berupa kelembagaan BP4K (yang telah sesuai UU No. 16/2006 dan telah ada Perdanya) dengan pengelolaan anggaran untuk kegiatan penyuluhan. Dapat dikatakan bahwa dari segi besarnya anggaran (APBD) dan otoritas penggunaannya oleh penyuluh masih merupakan faktor disinsentif bagi penyuluhan pemerintah di lokasi penelitian.

35. Dinamika pola pikir petani dan pergeseran orientasi kegiatan pertanian yang semakin bergeser ke arah kegiatan pertanian terpadu (dari hulu ke hilir) mulai dari bertanam sampai ke pemasaran produk olahan harus disikapi dengan mengevolusikan posisi tenaga penyuluh dari posisi agen perubahan ke posisi pendamping petani. Baik UU No.16/2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, maupun kondisi operasional di lapangan belum menunjukkan arah perubahan status dan posisi penyuluh sebagai pendamping petani.

36. Sumber informasi bagi petani (penyuluh dan lembaga penyuluhan) sudah sejalan dengan UU No. 16/2006 tentang sistem penyuluhan pertanian. Akan tetapi dalam pelaksanaannya hendaknya tidak dibuat garis pemisah antara kewenangan tingkat provinsi dengan kabupaten/kota. Selayaknya ada alur hubungan alih-strategi operasional kegiatan penyuluhan dari

Page 9: KAJIAN LEGISLASI PENYULUHAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2012_KSI.pdf · penyelenggaraan penyuluhan pertanian, belum sepenuhnya sejalan dengan UU 16/2006

xxiii

hierarki tertinggi (provinsi) sampai ke hierarki berikutnya (kabupaten/kota, kecamatan, dan desa). Dalam operasionalnya masih terdapat kesenjangan posisi dan pengaruh serta perbedaan pendapat akan strategi pelaksanaan di berbagai hierarki tersebut.

Tujuan 3: Mengevaluasi dampak implementasi peraturan perundangan di bidang penyuluhan dengan pencapaian sasaran swasembada pangan

37. Instrumen UU No. 16/2006 dan beberapa produk peraturan turunannya (PP, Perpres, Permentan, Perda, Pergub, dan Perbup), diperkirakan dapat mendukung pencapaian swasembada beras di tahun 2014 dengan catatan apabila program-program yang telah dicanangkan oleh pemerintah dapat dijalankan secara sinergis dan terintegrasi lintas sektoral (dengan dukungan anggaran yang memadai). Dalam hal ini termasuk kegiatan penyuluhan dan pendampingan pelaksanaan dan implementasi program-program tersebut.

38. Produksi padi yang dihasilkan petani peserta program (SL-PTT, kaji terap, denfarm) meningkat sekitar 29-32,7 persen dibandingkan petani non peserta yang tidak mengikuti teknologi anjuran yang diterapkan petani peserta program dan tanpa pendampingan/pengawalan penyuluh pertanian. Walaupun peningkatan produksi tersebut tidak bisa “diklaim” sebagai keberhasilan penyuluh semata-mata, karena ada faktor lain yang berpengaruh (seperti tingkat kesuburan lahan, ketersediaan air, ketersediaan sarana produksi, dan teknologi), namun peran penyuluh dalam pendampingan dan pengawalan program mempunyai kontribusi yang nyata.

39. Dengan diterbitkannya Permentan No. 61/Permentan/OT.140/11/2008 tentang pedoman pembinaan penyuluh pertanian swadaya dan penyuluh pertanian swasta merupakan suatu bukti upaya Pemerintah untuk mengembangkan penyuluh swadaya dan penyuluh swasta sebagai pendamping penyuluh pemerintah (PNS). Diharapkan dengan keterlibatan penyuluh swadaya sebagai pelaku utama (petani) yang berhasil akan menggerakkan dan memajukan petani lain untuk membangun usahatani dari hulu sampai hilir, termasuk dalam upaya mendukung program swasembada pangan.

40. Dengan terbentuknya Bakorluh/BP4K penyuluh memiliki kejelasan institusi. Hal ini tentu berdampak positif karena terdapat struktur kewenangan dari jaringan sistem pemerintah daerah, dilihat dari tugas pokok dan fungsi yang melekat. Disamping itu terdapat struktur organisasi yang menopang dalam mengoperasionalkan kewenangan tersebut.

41. Rekrutmen penyuluh (terutama PNS) relatif lambat, padahal banyak penyuluh yang berusia mendekati pensiun dan ini berdampak negatif terhadap keberadaan penyuluh PNS di masa mendatang. Demikian juga dengan diklat penyuluh yang relatif lambat. Frekuensi penyuluh mengikuti diklat dapat dikatakan sangat jarang dalam lima tahun terakhir. Padahal untuk dapat melakukan perannya sebagai fasilitator juga sebagai pendidik,

Page 10: KAJIAN LEGISLASI PENYULUHAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2012_KSI.pdf · penyelenggaraan penyuluhan pertanian, belum sepenuhnya sejalan dengan UU 16/2006

xxiv

penyuluh dituntut mengikuti perkembangan yang sangat dinamis dalam masyarakat, juga informasi global.

42. Melalui pengawalan/pendampingan program swasembada pangan yang dilakukan penyuluh terhadap petani/kelompok tani berdampak negatif bagi petani/kelompok tani, yakni menimbulkan ketergantungan terhadap bantuan pemerintah. Konsekuensinya petani harus mau menanam varietas yang diberikan, walaupun tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi wilayah. Dalam program/kegiatan untuk menunjang swasembada pangan, dapat dikatakan bahwa petani padi sawah lebih diposisikan sebagai obyek penyuluhan. Tidak ada kewenangan atau hak petani untuk memberikan pertimbangan tentang materi penyuluhan dikaitkan dengan peningkatan kesejahteraan petani dan keluarganya.

43. Materi teknis penyuluhan yang merupakan teknologi yang telah direkomen-dasikan, sebagian besar (70 persen) berupa teknik budidaya (hulu). Proporsi materi penyuluhan tentang penanganan pascapanen, pengolahan dan pemasaran (hilir) hanya sekitar 30 persen, termasuk di dalamnya nilai-nilai kewirausahaan untuk peningkatan nilai tambah pengelolaan sumberdaya keluarga petani di pedesaan. Keorganisasian petani berbadan hukum (seperti koperasi), menempatkan pertanian padi sawah sebagai bagian dari sistem industri pedesaan; berbasis pemilikan lahan sawah oleh petani; masih belum dijadikan materi penting dalam kegiatan penyuluhan pertanian untuk mendukung pencapaian swasembada pangan.

44. PP No. 43/2009 tentang pembiayaan memberikan insentif bagi Pemerintah Daerah berupa aliran dana dari Pusat ke Daerah melalui dana APBN. Demikian juga Permentan No. 51/Permentan/ OT.140/12/2009 mendukung adanya sarana dan prasarana penyuluhan pertanian. Walaupun belum semua Balai Penyuluhan yang ada di kecamatan mendapat fasilitas yang memadai, namun paling tidak terdapat beberapa Balai Penyuluhan yang telah memperoleh fasilitas yang layak sebagai BPP model atau diistilahkan juga sebagai BPP yang difasilitasi.

Kesimpulan

45. a. UU No. 16/2006 tentang SP3K dengan produk peraturan turunannya (PP, Perpres, Permentan, Perda, Pergub dan Perbup) masih dibuat secara parsial, belum terintegrasi, masih tergantung pada kepentingan pemerintah, belum mengarah pada pemangku kepentingan. Namun antar peraturan terlihat konsisten dan telah merujuk pada aturan di atasnya.

b. Peraturan perundangan yang diinisiasi oleh kementerian yang berbeda cenderung terlihat tidak sinkron, seperti UU No. 7/1996 tentang Pangan, UU No. 16/2006 tentang SP3K (Kementerian Pertanian) bertentangan dengan PP No. 38/2007 yang mengatur pembagian urusan pemerintahan antara Pusat dan Daerah, dan PP 41/2007 tentang organisasi perangkat daerah (dalam koridor UU No. 32 Tahun 2004, Kementerian Dalam Negeri). Muatan peraturan perundang-undangan

Page 11: KAJIAN LEGISLASI PENYULUHAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2012_KSI.pdf · penyelenggaraan penyuluhan pertanian, belum sepenuhnya sejalan dengan UU 16/2006

xxv

tidak mencerminkan untuk kepentingan publik sebagaimana diamanatkan UUD 1945, maupun untuk meningkatkan keefektifan penyelenggaraan pemerintahan, namun lebih mementingkan sektoral (ego sektoral).

46. Implementasi peraturan perundang-undangan (seperti Peraturan Menteri Pertanian Nomor 45/Permentan/ OT.140/8/2011) yang mendukung swasembada pangan terlihat hanya fokus pada program/kebijakan pemerintah berupa P2BN, namun tidak memperhatikan piranti kebijakan lain berupa insentif bagi petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian dan penyuluh sebagai fasilitator. Orientasi program masih pada pencapaian target produksi, belum secara eksplisit berpihak kepada petani dan penyuluh. Kendala di lapangan hanya mencermati aspek teknis dan dukungan sarana/ prasarana fisik serta mengabaikan aspek sosial yang terkait dengan kondisi dinamis yang terjadi pada diri petani.

47. a. Instrumen UU No. 16/2006 dan beberapa produk peraturan turunannya (PP, Perpres, Permentan, Perda, Pergub, dan Perbup), diperkirakan dapat mendukung pencapaian swasembada beras di tahun 2014 dengan catatan apabila program-program yang telah dicanangkan oleh pemerintah dapat dijalankan secara sinergis dan terintegrasi (dengan dukungan anggaran yang memadai), termasuk kegiatan penyuluhan dan pendampingan pelaksanaan dalam implementasi program-program tersebut.

b. Permentan No. 61/Permentan/OT.140/11/2008 tentang pedoman pembinaan penyuluh pertanian swadaya dan penyuluh pertanian swasta merupakan suatu bukti upaya Pemerintah untuk mengembangkan penyuluh swadaya dan penyuluh swasta sebagai pendamping penyuluh pemerintah (PNS). Diharapkan dengan keterlibatan penyuluh swadaya sebagai pelaku utama (petani) yang berhasil akan menggerakkan dan memajukan petani lain untuk membangun usahatani dari hulu sampai hilir. Di tingkat operasional masih diperlukan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, agar keberadaan penyuluh swadya dan swasta didukung dengan sarana/prasarana.

c. Peran pendampingan/pengawalan penyuluh terhadap petani peserta program (SL-PTT, kaji terap, dan denfarm) memberikan kontribusi terhadap peningkatan produktivitas padi sebesar 29-32,7 persen, dibandingkan petani non peserta program yang tidak didampingi oleh penyuluh.

Implikasi Kebijakan

48. Perlu pengkajian ulang terhadap beberapa ketentuan di PP No. 41/2007 (dalam koridor UU No. 32/2004) khususnya menyangkut beberapa butir kebijakan seperti penentuan jumlah SKPD yang hanya didasarkan pada perhitungan kuantitatif (jumlah penduduk, luas wilayah, dan APBD). Namun perlu mempertimbangkan aspek historis sosiologis suatu kelembagaan yang telah lama dibangun (seperti kelembagaan penyuluhan

Page 12: KAJIAN LEGISLASI PENYULUHAN PERTANIAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/LHP_2012_KSI.pdf · penyelenggaraan penyuluhan pertanian, belum sepenuhnya sejalan dengan UU 16/2006

xxvi

yang telah dibangun dengan susah payah pada masa orde baru). PP 38/2007 juga perlu ditinjau kembali terkait dengan Pasal 7 yang inkonsisten dalam menempatkan ketahanan pangan sebagai unsur wajib, sedangkan pertanian sebagai unsur pilihan.

49. Perlu dibuat Peraturan Pemerintah di bawah UU No. 16/2006 yang mengatur tentang: (1) kelembagaan penyuluhan, (2) ketenagaan penyuluhan, dan (3) penye-lenggaraan, kebijakan serta strategi penyuluhan yang diperkuat dengan Peraturan Presiden, Peraturan Menteri maupun Perda (termasuk Pergub dan Perbup), sehingga dalam implementasinya di lapangan menjadi lebih jelas.

50. Bentuk kelembagaan, penyelenggaraan, kebijakan dan strategi penyuluhan pertanian dipengaruhi oleh persepsi pembuat kebijakan tentang pembangunan pertanian (termasuk penerapan otonomi daerah dikaitkan dengan pertanian sebagai unsur pilihan) dan penyuluhan pertanian. Untuk itu perlu ada program advokasi terkait dengan UU No. 16/2006 dan produk peraturan turunannya kepada Pemerintah Daerah. Mengingat peran Pemerintah Daerah yang relatif besar dalam implementasi penyuluhan, termasuk dalam alokasi APBD, penerbitan Perda, Pergub dan Perbup.

51. Penyusunan strategi baru dalam kaitannya dengan operasionalisasi programa penyuluhan agar lebih mencerminkan kegiatan penyuluhan spesifik lokasi yang strategis dan mempunyai daya ungkit tinggi terhadap peningkatan produktivitas komoditas unggulan daerah dan pendapatan petani. Strategi baru juga dibutuhkan guna merespon kebutuhan petani dalam melaksanakan kegiatan produktif masing-masing dan dapat memberi dukungan terhadap swasembada pangan sebagai prioritas pembangunan pertanian.

52. Perlu ada produk turunan UU No. 16/2006 yang terkait dengan Pasal 1 dan Pasal 27, terutama kebijakan operasional penyuluhan tentang hak-hak petani untuk dapat mengakses sumberdaya alam, informasi, teknologi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian lingkungan.