proses mendapatkan akidah

6
1.3. Proses bagaimana mendapatkan aqidah yang lurus (salimul aqidah) Suatu dalil untuk masalah iman ada kalanya bersifat ‘aqli dan naqli. Jika perkara – perkara yang di Imani tersebut masih dapat di jangkau oleh akal pikiran maka ia bersifat ‘aqli. Namun, jika perkara perkara tersebut berada di luar jangkauan panca indra/akal manusia maka ia bersifat naqli. Tetapi sebagai catatan, penentuan sumber dalil naqli, boleh dan tidaknya di pakai dalil naqli sebagai hujjah/sandaran dalam perkara aqidah di tentukan dengan metode ‘aqli. Dalam hal ini imam Syafi’i 1 berkata bahwasanya: “Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah mencari dalil untuk makrifat kepada Allah Ta’ala. Arti berpikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kon disi orang yang berpikir tersebut di tuntut untuk makrifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai pada makrifat terhadap hal hal ghaib dari pengamatannya dengan indera ini merupakan suatu keharusan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam bidang ushuluddin.” Sehingga peranan akal dalam usaha mendapatkan aqidah yang lurus begitu krusial. Ia mampu membuktikan eksistensi suatu hal yang berada di luar jangkauannya dengan mencerap fakta fakta, kemudian di kaitkan dengan mafahim/pengetahuan sebelumnya. Akal inilah yang membedakan antara manusia, dengan hewan yang hanya memenuhi kebutuhan biologis dan sosiologisnya berdasarkan hawa nafsu semata. Akal inilah yang membuat manusia mampu menghukumi sesuatu hal, apakah itu benar atau salah berdasarkan mafahim/pengetahuan sebelumnya yang di dapatkan. Sehingga jika manusia hanya memperturutkan hawa nafsu, atau lebih buruk lagi memperturutkan nafsu kemudian di benarkan oleh akalnya di karenakan mafhum yang salah, maka yang terjadi justru sebaliknya. Di jelaskan dalam QS.Al- A’raf:179 yang artinya : “Sesungguhnya kami(Allah) jadikan sebagian besar penghuni jahannam itu adalah jin dan manusia. Mereka mempunyai kulub/hati(akal) tetapi tidak di gunakan untuk memahami ayat ayat Allah, mereka mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat ayat ayat Allah, mereka mempunyai telinga tetapi tidak di gunakan untuk mendengarkan ayat ayat Allah, mereka itu layaknya hewan, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang orang yang lalai.” Oleh karena itu diwajibkan bagi manusia untuk mempergunakan akal yang telah di anugerahkan Allah SWT untuk memikirkan ayat ayat Al- Qur’an sebagai bukti dari 1 Lihat, Asy-Syafi’I, Fiqh al-akbar, hlm. 16.

Upload: ghaziplanters

Post on 22-Jan-2018

258 views

Category:

Data & Analytics


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Proses mendapatkan akidah

1.3. Proses bagaimana mendapatkan aqidah yang lurus (salimul aqidah)

Suatu dalil untuk masalah iman ada kalanya bersifat ‘aqli dan naqli. Jika perkara –

perkara yang di Imani tersebut masih dapat di jangkau oleh akal pikiran maka ia bersifat

‘aqli. Namun, jika perkara – perkara tersebut berada di luar jangkauan panca indra/akal

manusia maka ia bersifat naqli. Tetapi sebagai catatan, penentuan sumber dalil naqli, boleh

dan tidaknya di pakai dalil naqli sebagai hujjah/sandaran dalam perkara aqidah di tentukan

dengan metode ‘aqli. Dalam hal ini imam Syafi’i1 berkata bahwasanya: “Ketahuilah bahwa

kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah mencari dalil untuk makrifat kepada Allah

Ta’ala. Arti berpikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi

orang yang berpikir tersebut di tuntut untuk makrifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu,

ia bisa sampai pada makrifat terhadap hal – hal ghaib dari pengamatannya dengan indera

ini merupakan suatu keharusan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam bidang

ushuluddin.”

Sehingga peranan akal dalam usaha mendapatkan aqidah yang lurus begitu krusial. Ia

mampu membuktikan eksistensi suatu hal yang berada di luar jangkauannya dengan

mencerap fakta – fakta, kemudian di kaitkan dengan mafahim/pengetahuan sebelumnya.

Akal inilah yang membedakan antara manusia, dengan hewan yang hanya memenuhi

kebutuhan biologis dan sosiologisnya berdasarkan hawa nafsu semata. Akal inilah yang

membuat manusia mampu menghukumi sesuatu hal, apakah itu benar atau salah berdasarkan

mafahim/pengetahuan sebelumnya yang di dapatkan. Sehingga jika manusia hanya

memperturutkan hawa nafsu, atau lebih buruk lagi memperturutkan nafsu kemudian di

benarkan oleh akalnya di karenakan mafhum yang salah, maka yang terjadi justru sebaliknya.

Di jelaskan dalam QS.Al-A’raf:179 yang artinya : “Sesungguhnya kami(Allah) jadikan

sebagian besar penghuni jahannam itu adalah jin dan manusia. Mereka mempunyai

kulub/hati(akal) tetapi tidak di gunakan untuk memahami ayat – ayat Allah, mereka

mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat ayat – ayat Allah, mereka mempunyai

telinga tetapi tidak di gunakan untuk mendengarkan ayat – ayat Allah, mereka itu layaknya

hewan, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang – orang yang lalai.”

Oleh karena itu diwajibkan bagi manusia untuk mempergunakan akal yang telah di

anugerahkan Allah SWT untuk memikirkan ayat – ayat Al-Qur’an sebagai bukti dari

1 Lihat, Asy-Syafi’I, Fiqh al -akbar, hlm. 16.

Page 2: Proses mendapatkan akidah

eksistensi adanya sang pencipta yaitu Allah SWT. Sebab, apabila akal di ajak untuk

memikirkan dzat Allah SWT, maka akal manusia tidak akan mampu menjangkaunya (QS.Al-

Jatsiyat : 3 – 4).

Di karenakan keterbatasan akal manusia ini, terdapat larangan dalam islam untuk secara

langsung memikirkan dzat Allah SWT. Ketidakmampuan akal manusia memikirkan dzat

Allah SWT berimplikasi pada kecenderungan manusia untuk menyerupakan Allah SWT

dengan makhluk – makhluk ciptaannya. Padahal jelas bahwasanya mustahil jika sang

pencipta Allah SWT mempunyai sifat yang sama dengan makhluk. Kita hanya bisa

mengimani sifat – sifat Allah yang telah di khabarkan-Nya melalui wahyu yang di turunkan-

Nya. Jika kita menghadapi ayat – ayat/hadits yang menceritakan tentang menyerupakan

Allah SWT dengan makhluk – Nya, maka kita tidak boleh sekali – sekali membahas

ayat/hadits tersebut dan kemudian menakwilkannya sesuai dengan pemikiran kita yang serba

terbatas ini. Jika kita menghadapi ayat/hadits tersebut seharusnya kita menyerahkannya

kepada Allah SWT, seperti halnya para sahabat, tabi’ut dan tabi’in yang tidak pernah

mempermasalahkan hal – hal tersebut. Seperti yang di kutip dari Imam Ibn Al-Qayyim2 :

“Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah umat

yang di jamin sempurna imannya. Namun, alhamdulilah mereka tidak pernah terlibat

bertentangan paham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah, perbuatan – perbuatan

dan sifat – sifat – Nya. Mereka menetapkan apa yang di utarakan Al – Qur’an dengan suara

bulat. Mereka tidak menakwilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya.

Dan ketika Imam Malik3 ditanya mengenai makna ‘persemayaman-Nya’ (istiwa’), beliau

lama tertunduk, diam dan bahkan hingga mengeluarkan keringat. Kemudian beliau

mengangkat kepala dan berkata, “Persemayaman bukanlah sesuatu yang dapat diketahui.

Kayfiyah (cara) – Nya bukanlah hal yang dapat di pahami. Mengimani – Nya adalah wajib,

tetapi menanyakannya adalah bid’ah/salah.”

Dalam perkara aqidah ini, di perlukan dalil naqli yang bersifat kuat dan qath’i (pasti)

serta bersifat mutawattir, ia tidak boleh bersifat zhann ataupun zhanni tsubut, dikarenakan ia

adalah tashdiqul jazim/pembenaran yang pasti tanpa adanya keraguan sedikitpun di

2 Lihat Ibn Al-Qayyim, I’lam al – Muwaqi’in, 1/5 3 Lihat Ibn Hajar Al -Asqalani, Fath Al-Bari, XII/915

Page 3: Proses mendapatkan akidah

dalamnya, sehingga keyakinan tersebut harus 100% dengan tanpa memberi peluang

sedikitpun untuk keraguan tumbuh di dalamnya.

Al – Qur’an merupakan sumber dalil naqli yang bersifat kuat, qath’i dan disampaikan

secara mutawattir sehingga tidak ada keraguan jika di jadikan dasar bagi perkara aqidah.

Berbeda halnya dengan hadits, ia kadangkala bersifat mutawattir, adakala di sampaikan

secara ahad. Hadits yang bersifat mutawattir maksudnya diriwayatkan oleh para sahabat,

tabi’ut dan tabi’in dengan jumlah tertentu dari setiap thabaqat/tingkatan. Hadits disebut

mutawattir apabila memenuhi syarat – syarat yang menjadikan hadits tersebut sampai pada

tingkatan ghalabatudzhann (persangkaan yang kuat), meskipun belum sampai pada tingkatan

yaqin, tanpa ada terdapat dzhann di dalamnya. Hadits dapat disebut mutawattir apabila :

Hadits yang disampaikan tersebut harus diterima langsung oleh perawi baik dengan

pendengaran dan penglihatan terhadap periwayat yang sebelumnya.

Jumlah para perawi hadits dalam setiap thabaqat4 mencapai jumlah tertentu dan mereka

mustahil bersepakat untuk berbohong.

Sanad haditsnya harus runtut sampai kepada nabi Muhammad SAW tidak boleh terputus

di tengah – tengah.

Untuk memastikan bahwa perawi mustahil untuk berdusta, maka mereka harus

mempunyai sifat adil, dhabit(kuat ingatannya), serta beberapa syarat lain.

Sehingga selain daripada hadits yang bersifat mutawattir, ia boleh dijadikan dasar bagi

pelaksanaan selain daripada akidah tergantung dari kekuatan hadits tersebut5.

Ketika kita sudah mengetahui bagaimana seharusnya dasar yang di gunakan untuk

berakidah dengan benar dan lurus, sekarang permasalahan ada pada bagaimana metode

memperoleh keimanan yang benar, yang sesuai dengan akal dan fitrah manusia di ciptakan.

Manusia dituntut untuk berpikir mengenai hakikat penciptaan alam semesta, kehidupan,

4 Beberapa dari kalangan ulama memberi batasan minimal perawi antara lain Abu Ath-Thayyib (min 4. Orang), Taqiyuddin (min. 5 orang), Ashhab asy-Syafi’i(min.5 orang), bahkan ada yang menetapkan minimal 20 hingga 40 Orang. 5 Beberapa jumhur ulama yang berpendapat demikian diantaranya adalah Imam Al – Hafizh ibnu Hajar, Imam

Asnawi, Imam Al – Baidawi, Imam An – Nawawi dan Imam Al – Ghazali. Tidak dipergunakannya hadits ahad Dalam masalah akidah, bukan berarti menolak sama sekali hadits ahad Dalam di mensi syari’at islam selain daripada akidah. Karena hal tersebut berarti menolak salah satu sumber hukum islam yang sah. Sehingga sekali lagi bahwasanya dalam perkara akidah yang tidak boleh ada keraguan di dalamnya harus berdasarkan pada

hujjah yang kuat dan qath’i.

Page 4: Proses mendapatkan akidah

manusia serta korelasi antara ketiganya,konsekuensinya ia akan di hadapkan dengan

pertanyaan yang paling mendasar, yang tidak ada lagi pertanyaan yang lebih mendasar yang

akan menjawab hakikat hidup manusia didunia ini. Dan selama pertanyaan – pertanyaan

tersebut tidak mampu terjawab, maka hidup manusia akan tersesat dan kehilangan arah serta

tujuan. Pertanyaan tersebut di sebut dengan al-uqdatul kubra (simpul besar). Al – Uqdatul

kubra berisi 3 pertanyaan utama yaitu :

Dari manakah kita ?

Untuk apa kita hidup ?

Akan kemanakah kita setelah kehidupan ini berakhir ?

Pertanyaan – pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab dengan jawaban yang mendasar pula, yaitu

ideologi/mabda’, terlepas apakah jawaban yang diberikan oleh ideologi tersebut shahih/tidak,

apakah memuaskan akal dan fitrah manusia secara lahiriyah atau tidak. Berikut jawaban atas al-

uqdatul kubra dari 3 ideologi besar dunia, yaitu sosialisme-komunisme, sekulerisme dan islam.

1.3.1. Jawaban Ideologi dunia atas Al-Uqdatul Kubra

1. Sosialisme – Komunisme

Sosialisme dibangun atas dasar bahwasanya semuanya, termasuk alam semesta,

kehidupan dan manusia berasal dari materi, dan dari materi – materi tersebut muncul

materi – materi yang lain. Ia menafikkan adanya peranan Sang Pencipta, oleh karena itu

ia bisa juga disebut dengan atheisme/tidak mengakui adanya Tuhan. Sehingga ia tidak

mengakui agama, baginya agama hanyalah candu kehidupan. Jika kehidupan berasal

daru materi, maka jelas pada prinsipnya manusia hidup untuk mencari kepuasan materi.

Sehingga nanti ketika telah mati akan kembali menjadi materi lagi.

2. Sekulerisme

Sekulerisme berangkat dari pandangan yang memisahkan antara peranan agama

dan kehidupan. Sekulerisme meyakini bahwasanya diluar dari alam semesta, kehidupan

dan manusia terdapat suatu dzat Yang Maha Kuasa, yang mampu menciptakan itu

semua. Ialah Tuhan. Tetapi Tuhan tidak berhak untuk ikut campur dalam kehidupan

manusia. Manusia berhak menentukan sendiri aturan hidupnya, tanpa harus terikat

dengan peraturan Tuhan. Hampir sama dengan sosialisme-komunisme, sekulerisme

menganggap bahwasanya manusia hidup hanya untuk mencari kesenangan jasmani

Page 5: Proses mendapatkan akidah

semata. Apabila manusia telah mati dan kehidupan ini telah musnah, semuanya akan

dikembalikan ke surga.

3. Islam

Islam sendiri meyakini bahwasanya alam semesta, kehidupan dan manusia ada

karena diciptakan oleh Allah SWT. Allah SWT Yang Kuasa Menciptakan, Yang

Menghidupkan dan Mematikan, serta Maha Kuasa atas segalanya. Kita hidup didunia

dalam rangka beribadah kepada Allah SWT (QS.Adz-Dzariyaat:56), beribadah dalam

konteks disini ialah menjalankan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala

larangan-Nya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.

Setiap dari amalan manusia yang dikerjakan akan mendapat ganjaran berupa pahala

dan dosa, kelak nanti setelah kehidupan berakhir manusia akan dikembalikan ke

akhirat, di surge ataukah neraka tergantung dari amal perbuatan masing – masing

selama didunia.

1.3.2. Jawaban yang Shahih atas Al-Uqdatul Kubra

Dari pemaparan bagaimana cara pandang ideologi – ideologi tersebut mengenai al-

uqdatul kubra telah Nampak apakah jawaban – jawaban yang di berikan oleh ideologi

tersebut batil ataukah shahih. Benar dan tidaknya suatu jawaban atas pertanyaan tersebut

tolok ukurnya adalah kepuasan akal dan fitrah manusia secara lahiriah. Apabila jawaban

tersebut memuaskan akal dan fitrah, maka jawaban tersebut benar dan dapat dibuktikan

kebenarannya secara logis, rasional serta menentramkan hati. Begitu pula sebaliknya.

Sosialisme-komunisme telah gagal dalam menjawab al-uqdatul kubra tersebut.

Dikarenakan ia menganggap bahwasanya semuanya berasal dari materi. Ini tidak dapat

diterima oleh akal sehat manusia, sebab semuanya mulai dari alam semesta, kehidupan

dan manusia bersifat serba terbatas dan membutuhkan sesuatu yang lain, alih – alih

menciptakan dirinya sendiri manusia saja selalu membutuhkan akan yang lain sejak ia

lahir ke dunia. Serta tidak sesuai dengan fitrah manusia untuk mengkultuskan sesuatu

diatas dirinya (gharizah tadayyun). Sehingga adanya Al-Khalik (Sang Pencipta)

merupakan wajibul wujud/harus ada. Kemudian jawaban atas pertanyaan kedua, manusia

hidup didunia hanya untuk mencari materi, inilah aspek yang membuat manusia tidak ada

bedanya dengan hewan. Yang ketiga adalah manusia akan kembali menjadi materi lagi

Page 6: Proses mendapatkan akidah

setelah ia mati tanpa adanya hal yang harus dipertanggungjawabkan apa yang telah

diperbuat di dunia. Sama halnya dengan sekulerisme, meskipun ia mengakui adanya

Tuhan tetapi Tuhan tidak diperbolehkan untuk mengatur masalah keduniaan manusia,

padahal manusia serba terbatas, apalagi dalam menentukan aturan hidup bagi dirinya

sendiri, manusia tidak bisa menentukan hal yang baik maupun buruk bagi dirinya (QS.Al-

Baqarah:216), karena yang mampu menentukan itu ialah pencipta manusia sendiri yaitu

Al-Khalik, Allah SWT. Disinilah mabda’/ideologi sosialisme-komunisme dan sekulerisme

gagal dalam menjawab Al-Uqdatul Kubra.

Karena sesungguhnya jawaban yang shahih atas itu hanya terdapat dalam islam. Islam

mempunyai konsep yang paripurna dan komprehensif yang mampu menjawab al-uqdatul

kubra dengan shahih, memuaskan akal dan fitrah manusia. Islam menjawab bahwasanya

alam semesta, kehidupan dan manusia diciptakan oleh Al-Khalik, yaitu Allah SWT. Kita

hidup di dunia untuk beribadah kepada Allah SWT, yaitu untuk menjalankan segala

perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Manusia kemudian di beri ganjaran

berupa pahala dan dosa atas apa yang di perbuatnya, kemudian kelak manusia akan di

bangkitkan di akhirat untuk mempertanggungjawabkan apa yang diperbuatnya di dunia.

Ini sangat memuaskan akal dan fitrah manusia secara lahiriah, sehingga inilah yang

disebut sebagai mendapatkan keimanan/akidah melalui proses berpikir (Thariqul Iman)

yang membangun pemahaman yang komprehensif terhadap islam dan membangun

kesadaran akan hubungan diri kita dengan Allah SWT/Idraq sillah billah, layaknya para

ilmuwan dan cendekiawan yang masuk islam, mereka masuk islam karena mereka

berpikir, tidak hanya berislam karena nasab dsb. Sehingga metode yang benar dalam

mendapatkan akidah, adalah melalui proses berpikir ini.