proses mendapatkan akidah
TRANSCRIPT
![Page 1: Proses mendapatkan akidah](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071810/589a8cae1a28abae648b4a6d/html5/thumbnails/1.jpg)
1.3. Proses bagaimana mendapatkan aqidah yang lurus (salimul aqidah)
Suatu dalil untuk masalah iman ada kalanya bersifat ‘aqli dan naqli. Jika perkara –
perkara yang di Imani tersebut masih dapat di jangkau oleh akal pikiran maka ia bersifat
‘aqli. Namun, jika perkara – perkara tersebut berada di luar jangkauan panca indra/akal
manusia maka ia bersifat naqli. Tetapi sebagai catatan, penentuan sumber dalil naqli, boleh
dan tidaknya di pakai dalil naqli sebagai hujjah/sandaran dalam perkara aqidah di tentukan
dengan metode ‘aqli. Dalam hal ini imam Syafi’i1 berkata bahwasanya: “Ketahuilah bahwa
kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah mencari dalil untuk makrifat kepada Allah
Ta’ala. Arti berpikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam kondisi
orang yang berpikir tersebut di tuntut untuk makrifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu,
ia bisa sampai pada makrifat terhadap hal – hal ghaib dari pengamatannya dengan indera
ini merupakan suatu keharusan. Hal ini merupakan suatu kewajiban dalam bidang
ushuluddin.”
Sehingga peranan akal dalam usaha mendapatkan aqidah yang lurus begitu krusial. Ia
mampu membuktikan eksistensi suatu hal yang berada di luar jangkauannya dengan
mencerap fakta – fakta, kemudian di kaitkan dengan mafahim/pengetahuan sebelumnya.
Akal inilah yang membedakan antara manusia, dengan hewan yang hanya memenuhi
kebutuhan biologis dan sosiologisnya berdasarkan hawa nafsu semata. Akal inilah yang
membuat manusia mampu menghukumi sesuatu hal, apakah itu benar atau salah berdasarkan
mafahim/pengetahuan sebelumnya yang di dapatkan. Sehingga jika manusia hanya
memperturutkan hawa nafsu, atau lebih buruk lagi memperturutkan nafsu kemudian di
benarkan oleh akalnya di karenakan mafhum yang salah, maka yang terjadi justru sebaliknya.
Di jelaskan dalam QS.Al-A’raf:179 yang artinya : “Sesungguhnya kami(Allah) jadikan
sebagian besar penghuni jahannam itu adalah jin dan manusia. Mereka mempunyai
kulub/hati(akal) tetapi tidak di gunakan untuk memahami ayat – ayat Allah, mereka
mempunyai mata tetapi tidak digunakan untuk melihat ayat – ayat Allah, mereka mempunyai
telinga tetapi tidak di gunakan untuk mendengarkan ayat – ayat Allah, mereka itu layaknya
hewan, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang – orang yang lalai.”
Oleh karena itu diwajibkan bagi manusia untuk mempergunakan akal yang telah di
anugerahkan Allah SWT untuk memikirkan ayat – ayat Al-Qur’an sebagai bukti dari
1 Lihat, Asy-Syafi’I, Fiqh al -akbar, hlm. 16.
![Page 2: Proses mendapatkan akidah](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071810/589a8cae1a28abae648b4a6d/html5/thumbnails/2.jpg)
eksistensi adanya sang pencipta yaitu Allah SWT. Sebab, apabila akal di ajak untuk
memikirkan dzat Allah SWT, maka akal manusia tidak akan mampu menjangkaunya (QS.Al-
Jatsiyat : 3 – 4).
Di karenakan keterbatasan akal manusia ini, terdapat larangan dalam islam untuk secara
langsung memikirkan dzat Allah SWT. Ketidakmampuan akal manusia memikirkan dzat
Allah SWT berimplikasi pada kecenderungan manusia untuk menyerupakan Allah SWT
dengan makhluk – makhluk ciptaannya. Padahal jelas bahwasanya mustahil jika sang
pencipta Allah SWT mempunyai sifat yang sama dengan makhluk. Kita hanya bisa
mengimani sifat – sifat Allah yang telah di khabarkan-Nya melalui wahyu yang di turunkan-
Nya. Jika kita menghadapi ayat – ayat/hadits yang menceritakan tentang menyerupakan
Allah SWT dengan makhluk – Nya, maka kita tidak boleh sekali – sekali membahas
ayat/hadits tersebut dan kemudian menakwilkannya sesuai dengan pemikiran kita yang serba
terbatas ini. Jika kita menghadapi ayat/hadits tersebut seharusnya kita menyerahkannya
kepada Allah SWT, seperti halnya para sahabat, tabi’ut dan tabi’in yang tidak pernah
mempermasalahkan hal – hal tersebut. Seperti yang di kutip dari Imam Ibn Al-Qayyim2 :
“Para sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah umat
yang di jamin sempurna imannya. Namun, alhamdulilah mereka tidak pernah terlibat
bertentangan paham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah, perbuatan – perbuatan
dan sifat – sifat – Nya. Mereka menetapkan apa yang di utarakan Al – Qur’an dengan suara
bulat. Mereka tidak menakwilkannya, juga tidak memalingkan pengertiannya.
Dan ketika Imam Malik3 ditanya mengenai makna ‘persemayaman-Nya’ (istiwa’), beliau
lama tertunduk, diam dan bahkan hingga mengeluarkan keringat. Kemudian beliau
mengangkat kepala dan berkata, “Persemayaman bukanlah sesuatu yang dapat diketahui.
Kayfiyah (cara) – Nya bukanlah hal yang dapat di pahami. Mengimani – Nya adalah wajib,
tetapi menanyakannya adalah bid’ah/salah.”
Dalam perkara aqidah ini, di perlukan dalil naqli yang bersifat kuat dan qath’i (pasti)
serta bersifat mutawattir, ia tidak boleh bersifat zhann ataupun zhanni tsubut, dikarenakan ia
adalah tashdiqul jazim/pembenaran yang pasti tanpa adanya keraguan sedikitpun di
2 Lihat Ibn Al-Qayyim, I’lam al – Muwaqi’in, 1/5 3 Lihat Ibn Hajar Al -Asqalani, Fath Al-Bari, XII/915
![Page 3: Proses mendapatkan akidah](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071810/589a8cae1a28abae648b4a6d/html5/thumbnails/3.jpg)
dalamnya, sehingga keyakinan tersebut harus 100% dengan tanpa memberi peluang
sedikitpun untuk keraguan tumbuh di dalamnya.
Al – Qur’an merupakan sumber dalil naqli yang bersifat kuat, qath’i dan disampaikan
secara mutawattir sehingga tidak ada keraguan jika di jadikan dasar bagi perkara aqidah.
Berbeda halnya dengan hadits, ia kadangkala bersifat mutawattir, adakala di sampaikan
secara ahad. Hadits yang bersifat mutawattir maksudnya diriwayatkan oleh para sahabat,
tabi’ut dan tabi’in dengan jumlah tertentu dari setiap thabaqat/tingkatan. Hadits disebut
mutawattir apabila memenuhi syarat – syarat yang menjadikan hadits tersebut sampai pada
tingkatan ghalabatudzhann (persangkaan yang kuat), meskipun belum sampai pada tingkatan
yaqin, tanpa ada terdapat dzhann di dalamnya. Hadits dapat disebut mutawattir apabila :
Hadits yang disampaikan tersebut harus diterima langsung oleh perawi baik dengan
pendengaran dan penglihatan terhadap periwayat yang sebelumnya.
Jumlah para perawi hadits dalam setiap thabaqat4 mencapai jumlah tertentu dan mereka
mustahil bersepakat untuk berbohong.
Sanad haditsnya harus runtut sampai kepada nabi Muhammad SAW tidak boleh terputus
di tengah – tengah.
Untuk memastikan bahwa perawi mustahil untuk berdusta, maka mereka harus
mempunyai sifat adil, dhabit(kuat ingatannya), serta beberapa syarat lain.
Sehingga selain daripada hadits yang bersifat mutawattir, ia boleh dijadikan dasar bagi
pelaksanaan selain daripada akidah tergantung dari kekuatan hadits tersebut5.
Ketika kita sudah mengetahui bagaimana seharusnya dasar yang di gunakan untuk
berakidah dengan benar dan lurus, sekarang permasalahan ada pada bagaimana metode
memperoleh keimanan yang benar, yang sesuai dengan akal dan fitrah manusia di ciptakan.
Manusia dituntut untuk berpikir mengenai hakikat penciptaan alam semesta, kehidupan,
4 Beberapa dari kalangan ulama memberi batasan minimal perawi antara lain Abu Ath-Thayyib (min 4. Orang), Taqiyuddin (min. 5 orang), Ashhab asy-Syafi’i(min.5 orang), bahkan ada yang menetapkan minimal 20 hingga 40 Orang. 5 Beberapa jumhur ulama yang berpendapat demikian diantaranya adalah Imam Al – Hafizh ibnu Hajar, Imam
Asnawi, Imam Al – Baidawi, Imam An – Nawawi dan Imam Al – Ghazali. Tidak dipergunakannya hadits ahad Dalam masalah akidah, bukan berarti menolak sama sekali hadits ahad Dalam di mensi syari’at islam selain daripada akidah. Karena hal tersebut berarti menolak salah satu sumber hukum islam yang sah. Sehingga sekali lagi bahwasanya dalam perkara akidah yang tidak boleh ada keraguan di dalamnya harus berdasarkan pada
hujjah yang kuat dan qath’i.
![Page 4: Proses mendapatkan akidah](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071810/589a8cae1a28abae648b4a6d/html5/thumbnails/4.jpg)
manusia serta korelasi antara ketiganya,konsekuensinya ia akan di hadapkan dengan
pertanyaan yang paling mendasar, yang tidak ada lagi pertanyaan yang lebih mendasar yang
akan menjawab hakikat hidup manusia didunia ini. Dan selama pertanyaan – pertanyaan
tersebut tidak mampu terjawab, maka hidup manusia akan tersesat dan kehilangan arah serta
tujuan. Pertanyaan tersebut di sebut dengan al-uqdatul kubra (simpul besar). Al – Uqdatul
kubra berisi 3 pertanyaan utama yaitu :
Dari manakah kita ?
Untuk apa kita hidup ?
Akan kemanakah kita setelah kehidupan ini berakhir ?
Pertanyaan – pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab dengan jawaban yang mendasar pula, yaitu
ideologi/mabda’, terlepas apakah jawaban yang diberikan oleh ideologi tersebut shahih/tidak,
apakah memuaskan akal dan fitrah manusia secara lahiriyah atau tidak. Berikut jawaban atas al-
uqdatul kubra dari 3 ideologi besar dunia, yaitu sosialisme-komunisme, sekulerisme dan islam.
1.3.1. Jawaban Ideologi dunia atas Al-Uqdatul Kubra
1. Sosialisme – Komunisme
Sosialisme dibangun atas dasar bahwasanya semuanya, termasuk alam semesta,
kehidupan dan manusia berasal dari materi, dan dari materi – materi tersebut muncul
materi – materi yang lain. Ia menafikkan adanya peranan Sang Pencipta, oleh karena itu
ia bisa juga disebut dengan atheisme/tidak mengakui adanya Tuhan. Sehingga ia tidak
mengakui agama, baginya agama hanyalah candu kehidupan. Jika kehidupan berasal
daru materi, maka jelas pada prinsipnya manusia hidup untuk mencari kepuasan materi.
Sehingga nanti ketika telah mati akan kembali menjadi materi lagi.
2. Sekulerisme
Sekulerisme berangkat dari pandangan yang memisahkan antara peranan agama
dan kehidupan. Sekulerisme meyakini bahwasanya diluar dari alam semesta, kehidupan
dan manusia terdapat suatu dzat Yang Maha Kuasa, yang mampu menciptakan itu
semua. Ialah Tuhan. Tetapi Tuhan tidak berhak untuk ikut campur dalam kehidupan
manusia. Manusia berhak menentukan sendiri aturan hidupnya, tanpa harus terikat
dengan peraturan Tuhan. Hampir sama dengan sosialisme-komunisme, sekulerisme
menganggap bahwasanya manusia hidup hanya untuk mencari kesenangan jasmani
![Page 5: Proses mendapatkan akidah](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071810/589a8cae1a28abae648b4a6d/html5/thumbnails/5.jpg)
semata. Apabila manusia telah mati dan kehidupan ini telah musnah, semuanya akan
dikembalikan ke surga.
3. Islam
Islam sendiri meyakini bahwasanya alam semesta, kehidupan dan manusia ada
karena diciptakan oleh Allah SWT. Allah SWT Yang Kuasa Menciptakan, Yang
Menghidupkan dan Mematikan, serta Maha Kuasa atas segalanya. Kita hidup didunia
dalam rangka beribadah kepada Allah SWT (QS.Adz-Dzariyaat:56), beribadah dalam
konteks disini ialah menjalankan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala
larangan-Nya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.
Setiap dari amalan manusia yang dikerjakan akan mendapat ganjaran berupa pahala
dan dosa, kelak nanti setelah kehidupan berakhir manusia akan dikembalikan ke
akhirat, di surge ataukah neraka tergantung dari amal perbuatan masing – masing
selama didunia.
1.3.2. Jawaban yang Shahih atas Al-Uqdatul Kubra
Dari pemaparan bagaimana cara pandang ideologi – ideologi tersebut mengenai al-
uqdatul kubra telah Nampak apakah jawaban – jawaban yang di berikan oleh ideologi
tersebut batil ataukah shahih. Benar dan tidaknya suatu jawaban atas pertanyaan tersebut
tolok ukurnya adalah kepuasan akal dan fitrah manusia secara lahiriah. Apabila jawaban
tersebut memuaskan akal dan fitrah, maka jawaban tersebut benar dan dapat dibuktikan
kebenarannya secara logis, rasional serta menentramkan hati. Begitu pula sebaliknya.
Sosialisme-komunisme telah gagal dalam menjawab al-uqdatul kubra tersebut.
Dikarenakan ia menganggap bahwasanya semuanya berasal dari materi. Ini tidak dapat
diterima oleh akal sehat manusia, sebab semuanya mulai dari alam semesta, kehidupan
dan manusia bersifat serba terbatas dan membutuhkan sesuatu yang lain, alih – alih
menciptakan dirinya sendiri manusia saja selalu membutuhkan akan yang lain sejak ia
lahir ke dunia. Serta tidak sesuai dengan fitrah manusia untuk mengkultuskan sesuatu
diatas dirinya (gharizah tadayyun). Sehingga adanya Al-Khalik (Sang Pencipta)
merupakan wajibul wujud/harus ada. Kemudian jawaban atas pertanyaan kedua, manusia
hidup didunia hanya untuk mencari materi, inilah aspek yang membuat manusia tidak ada
bedanya dengan hewan. Yang ketiga adalah manusia akan kembali menjadi materi lagi
![Page 6: Proses mendapatkan akidah](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022071810/589a8cae1a28abae648b4a6d/html5/thumbnails/6.jpg)
setelah ia mati tanpa adanya hal yang harus dipertanggungjawabkan apa yang telah
diperbuat di dunia. Sama halnya dengan sekulerisme, meskipun ia mengakui adanya
Tuhan tetapi Tuhan tidak diperbolehkan untuk mengatur masalah keduniaan manusia,
padahal manusia serba terbatas, apalagi dalam menentukan aturan hidup bagi dirinya
sendiri, manusia tidak bisa menentukan hal yang baik maupun buruk bagi dirinya (QS.Al-
Baqarah:216), karena yang mampu menentukan itu ialah pencipta manusia sendiri yaitu
Al-Khalik, Allah SWT. Disinilah mabda’/ideologi sosialisme-komunisme dan sekulerisme
gagal dalam menjawab Al-Uqdatul Kubra.
Karena sesungguhnya jawaban yang shahih atas itu hanya terdapat dalam islam. Islam
mempunyai konsep yang paripurna dan komprehensif yang mampu menjawab al-uqdatul
kubra dengan shahih, memuaskan akal dan fitrah manusia. Islam menjawab bahwasanya
alam semesta, kehidupan dan manusia diciptakan oleh Al-Khalik, yaitu Allah SWT. Kita
hidup di dunia untuk beribadah kepada Allah SWT, yaitu untuk menjalankan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Manusia kemudian di beri ganjaran
berupa pahala dan dosa atas apa yang di perbuatnya, kemudian kelak manusia akan di
bangkitkan di akhirat untuk mempertanggungjawabkan apa yang diperbuatnya di dunia.
Ini sangat memuaskan akal dan fitrah manusia secara lahiriah, sehingga inilah yang
disebut sebagai mendapatkan keimanan/akidah melalui proses berpikir (Thariqul Iman)
yang membangun pemahaman yang komprehensif terhadap islam dan membangun
kesadaran akan hubungan diri kita dengan Allah SWT/Idraq sillah billah, layaknya para
ilmuwan dan cendekiawan yang masuk islam, mereka masuk islam karena mereka
berpikir, tidak hanya berislam karena nasab dsb. Sehingga metode yang benar dalam
mendapatkan akidah, adalah melalui proses berpikir ini.