proses berpikir siswa dalam …apppi.org/wp-content/uploads/2016/06/makalah-1-pp.-1-134.pdf ·...

Download PROSES BERPIKIR SISWA DALAM …apppi.org/wp-content/uploads/2016/06/makalah-1-pp.-1-134.pdf · Generalisasi pola merupakan aktivitas membuat aturan umum pola berdasarkan contoh -contoh

If you can't read please download the document

Upload: lamtruc

Post on 06-Feb-2018

247 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

  • PROSES BERPIKIR SISWA DALAM MENGGENERALISASI POLA

    BERDASARKAN TEORI APOS

    Sutarto1; Subanji

    2; Intan Dwi Hastuti

    2

    1 IKIP) Mataram;

    2 Universitas Negeri Malang

    [email protected]

    Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses berpikir siswa dalam

    menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS. Subjek penelitian ini adalah 5 siswa kelas

    VIII SMPN 5 Malang. Pengumpulan data menggunakan instrumen tugas pemecahan

    masalah generalisasi pola (TPMGP) yang dikerjakan sambil think alouds dan wawancara.

    Pada tahap pertama, siswa menyelesaikan TPMGP dan pada tahap ke dua peneliti

    melakukan wawancara berbasis tugas untuk memahami proses berpikir yang dilakukan

    siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi

    pola berdasarkan teori APOS pada tahap enkapsulasi terdiri dari dua, yaitu enkapsulasi

    sempurna dan enkapsulasi tidak sempurna. Proses enkapsulasi sempurna adalah proses

    berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola dimana pada tahap enkapsulasi proses subjek

    menghasilkan generalisasi pola yang benar, sedangkan proses enkapsulasi tidak sempurna

    adalah proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola dimana pada tahap enkapsulasi

    proses subjek tidak menghasilkan generalisasi pola yang benar.

    Kata Kunci: Proses berpikir, generalisasi pola, APOS.

    PENDAHULUAN

    Pola merupakan ide yang mendasari pemikiran matematis. Zazkis dan Liljedahl (2002)

    menyatakan bahwa pola adalah jantung dan jiwa dari matematika. Vogel (2005) menyatakan bahwa

    menganalisis pola, mendeskripsikan pola, dan sifat-sifatnya merupakan salah satu tujuan dari

    matematika. Mulligan, dkk., (2011:796) menyatakan hampir semua matematika didasarkan pada pola

    dan struktur.

    Menurut National Council of Teachers of Mathematics (2000) dalam memahami pola siswa

    dituntut untuk merepresentasikan, menganaliasis dan menggeneralisasi variasi pola dengan tabel,

    grafik, kata-kata, dan simbol. Demikian pula di Indonesia, analisis dan generalisasi pola juga

    merupakan salah satu tujuan pembelajaran matematika yang termuat dalam kompetensi dasar

    matematika SMP/MTs adalah memahami pola dan menggunakannya untuk menduga dan membuat

    generalisasi/kesimpulan (Permendikbud, 2013).

    Mulligan dan Mitchelmore (2009) menyebutkan bahwa pola matematika dapat

    digambarkan sebagai keteraturan yang dapat diprediksi, biasanya melibatkan numerik, spasial,

    atau hubungan logis. Sedangkan Janvier (1987) menyatakan bahwa pola dapat berbentuk

    graphic, numeric, verbal dan algebraic. Dalam penelitian ini menggunakan pola berbentuk

    graphic/bergambar, karena pola bergambar memungkinkan seseorang mengamati dengan cara

    yang berbeda (Sutarto, dkk., 2016). Dalam hal pengamatan Wertheimer (1923) menjelaskan

    tentang hukum Gestlat yaiut hukum kesamaan (law of similarity), hukum kedekatan (law of

    proximity), dan hukum ketertutupan (law of closure).

    Generalisasi pola merupakan aspek penting dalam aktivitas matematika sekolah (Dindyal,

    2007; Hargreaves, dkk., 1999; Mulligan, Mitcelmore; Zazkis dan Liljedahl, 2002). Sejalan dengan ide

    ini Kchemann (2010) menyatakan bahwa generalisasi harus menjadi inti dari kegiatan matematika

    sekolah. Generalisasi pola merupakan aktivitas membuat aturan umum pola berdasarkan contoh-contoh

    khusus. Lebih lanjut dijelaskan bahwa generalisasi merupakan jenis tertentu dari conjecture, yang

    1

  • Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,

    Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur

    2

    diperoleh dari penalaran khusus ke umum (Yerushalmy, 1993). Ramussen dan Miceli (2008)

    menyatakan bahwa generalisasi yang berdasarkan pada penalaran induktif disebut conjecture. Jadi

    generalisasi pola dalam penelitian adalah membuat aturan umum pola berdasarkan contoh-contoh

    khusus.

    Penelitian tentang generalisasi pola telah dikaji oleh peneliti (Radford, 2006; Blanton dan

    Kaput, 2011). Radford (2003) menjelaskan tiga tipe generalisasi pola yaitu (1) factual, (2) contextual,

    dan (3) simbolic. Tipe generalisasi factual adalah tipe generalisasi berdasarkan pada fakta yang

    diketahui. Sifat faktual menekankan pemikiran bahwa generalisasi ini terjadi dalam tingkatan dasar dari

    generalisasi di mana semesta pembicaraan tidak melampaui gambar tertentu, misalnya gambar ke

    1000, gambar ke 1000000, dan sebagainya. Tingkatan generalisasi faktual pada tingkatan tindakan

    (action) secara numerik dan memungkinkan siswa untuk mengatasi kasus-kasus tertentu. Contextual

    adalah tipe generalisasi berdasarkan konteks masalah dan terbatas pada objek tertentu. Symbolic adalah

    tipe generalisasi yang berhubungan dengan objek aljabar atau simbol yang tidak terbatas pada objek

    tertentu. Blanton dan Kaput (2011: 8) menggunakan tiga model analisis pola dan hubungannya yang

    didasarkan kerangka Smith sebagai kerangka kerja dalam membahas berpikir fungsional, yaitu (1)

    recursive patterning meliputi penemuan variasi dalam suatu barisan nilai, (2) covariational thinking

    yang didasarkan pada analisis bagaimana dua variasi kuantitas secara simultan dan memahami bahwa

    perubahan sebagai suatu yang eksplisit dan bagian dinamis serta deskripsi fungsi, dan (3) hubungan

    korespondensi didasarkan pada korelasi antara variabel. Diantara penelitian tersebut, belum

    mengungkap tentang proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS.

    Proses berpikir dalam menggeneralisasi pola akan diuraikan berdasarkan tahapan conjecturing

    tipe induksi empiris dari bilangan berhingga kasus diskrit karena conjecturing tipe ini sering ditemukan

    dalam masalah yang melibatkan bilangan, dimana pola yang diamati konsisten dan masalah yang

    diberikan dalam penelitian ini adalah masalah pola yang konsisten. Berikut tahapannya yaitu (1)

    mengamati kasus, (2) mengorganisir kasus, (3) mencari dan memprediksi pola, (4) merumuskan

    conjecture, (5) memvalidasi conjecture, (6) menggeneralisasi conjecture, (7) membenarkan

    generalization. Penjelasan tahapan tersebut telah diuraikan dalam (Sutarto, dkk., 2016).

    Setelah diuraikan berdasarkan 7 tahapan tersebut, maka akan dianalisis berdasarkan teori

    APOS, karena teori APOS merupakan teori yang dapat digunakan sebagai suatu alat analisis

    untuk mendeskripsikan perkembangan skema seseorang pada suatu topik matematika yang

    merupakan totalitas dari pengetahuan yang terkait (secara sadar atau tak sadar) terhadap topik

    tersebut (Dubinsky, 2001). Teori ini didasari oleh hipotesis bahwa pengetahuan matematika

    seseorang akan kecenderungan untuk mengatasi situasi yang merupakan masalah matematis

    dengan membangun aksi, proses, dan objek serta mengaturnya dalam skema untuk memahami

    situasi dan memecahkan masalah (Dubinsky dan McDonald, 2001).

    Teori APOS yang mendeskripsikan sebuah action di interiorisasi sebagai Process.

    Process diencapsulasi kedalam sebuah object. Selanjutnya dikaitkan dengan pengetahuan yang

    lain dalam sebuah schema. Sebuah schema juga bisa diencapsulasi sebagai sebuah object.

    Penjelasan yang lebih rinci tentang teori APOS dalam (Asiala, dkk., 1996). Berdasarkan uraian

    diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses berpikir siswa dalam

    menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS.

    METODE PENELITIAN

    Subjects

    Subjek dalam penelitian ini adalah 8 siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Malang yang menghasilkan rumus

    atau aturan umum secara simbolik.

  • ISBN: 978 602 1150 17 7

    3

    Instrument

    Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis yaitu instrumen utama dan instrumen

    bantu. Instrumen utama adalah peneliti sendiri yang bertindak sebagai perencana, pengumpul data,

    penganalisis data, penafsir data, dan pelapor hasil penelitian. Instrumen bantu yang digunakan dalam

    penelitian ini berupa Tugas Pemecahan Masalah Generalisasi Pola (TPMGP) yang dikerjakan sambil

    think alouds dan wawancara. TPMGP yang diberikan bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang

    proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola, sedangkan wawancara yang digunakan adalah

    wawancara yang tidak terstruktur. TPMGP disajikan pada gambar 1 berikut.

    Gambar 1. Tugas pemecahan masalah generalisasi pola

    Data Analysis

    Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif eksploratif. Pada tahap analisis

    data, kegiatan dilakukan setelah memperoleh data meliputi: (1) mentranskrip data yang diperoleh dari

    wawancara, (2) mereduksi data, (3) mengodekan data, (4) mendeskripsikan proses berpikir siswa dalam

    menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS, dan (5) penarikan kesimpulan. Analisis lembar

    jawaban TPMGP, dan hasil wawancara berdasarkan indikator proses conjecturing dalam (Sutarto, dkk.,

    2015).

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Bagian ini akan menganalisis proses berpikir subjek S1 dan S2 dalam menggeneralisasi pola

    berdasarkan teori APOS (action, process, object dan schema). Pada tahap aksi, subjek S1 mengamati

    kasus dengan cara mengamati dan menghitung jumlah persegi secara utuh, tanpa membedakan persegi

    hitam dan persegi putih. Pada gambar ke-1 ada 7 persegi, gambar ke-2 ada 11 persegi dan gambar ke-3

    ada 15 persegi. Berdasarkan jumlah persegi pada gambar ke-1, gambar ke-2, dan gambar ke-3, subjek

    S1 mengorganisir kasus dengan cara mengurutkan pola barisan bilangan. Mengurutkan pola barisan

    bilangan dengan menuliskan gambar ke-1, gambar ke-2, gambar ke-3, secara berturut-turut 7, 11, 15.

    Pada tahap proses, subjek S1 menginternalisasi aksi untuk mencari dan memprediksi pola dengan

    cara menghitung selisih antara gambar ke-2 dan gambar ke-1, gambar ke-3 dan gambar ke-2 dan

    berpikir tentang gambar selanjutnya. Selisih gambar ke-2 dan ke-1 adalah , gambar ke-3

    dan ke-2 adalah , dari selisih tersebut subjek S1 memprediksi gambar ke-4 juga ditambah 4.

    Pada tahap objek, subjek S1 merumuskan conjecture dengan melakukan encapsulasi proses yaitu

    melihat selisih atau penambahan dari masing-masing gambar. Penambahan dari gambar ke-1 ke gambar

    ke-2 adalah 4, gambar ke-2 ke gambar ke-3 adalah 4, dan gambar ke-3 ke gambar ke-4 juga 4. Dengan

    melihat penambahan tersebut, subjek S1 merumuskan conjecture rumus umum untuk menentukan

    banyaknya persegi pada gambar ke . Selanjutnya subjek S1 memvalidasi conjecture dengan

  • Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,

    Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur

    4

    mencoba rumus pada gambar ke-1, . Setelah menghitung jumlah persegi gambar ke-1 dengan rumus dan melihat kesesuaian dengan jumlah persegi pada gambar ke-1

    yang telah diketahui, subjek S1 mengatakan bahwa rumus nya salah. Setelah menyadari bahwa conjecture yang dirumuskan salah, subjek S1 pada tahap process

    melakukan de-encapsulasi dengan cara mencari angka awal sebelum di tambahkan empat dengan

    memanfaatkan rumus . Subjek S1 mencari angka awal dengan menghitung selisih jumlah persegi gambar ke-1 dikurangi 4, gambar ke-2 dikurangi 4 dan gambar ke-3 juga dikurangi 4.

    Hasil pengurangannya berturut turut 3, 7, 11. Pada tahap process ini, subjek S1 melakukan

    coordination antara rumus , mencari angka awal, dan jumlah persegi masing-masing gambar dikurangi beda. Selanjutnya subjek S1 menyadari bahwa angka awal yang dicari belum tepat

    karena angka awalnya masih beda.

    Subjek S1 selanjutnya menggunakan cara lain yaitu mencari angka awal sebelum ditambahkan

    kali dengan cara memisalkan sebagai angka awal. Gambar ke-1 ( ) ,

    ( ), maka . Gambar ke-2 ( ), ( ),

    maka . Dari dua angka awal tersebut subjek S1 menyimpulkan bahwa angka awal sebelum

    ditambahkan 4 kali adalah 3. Dalam menemukan angka awal ini subjek S1 melakukan coordination

    antara angka awal yang berbeda, kali , memisalkan sebagai angka awal, untuk gambar ke-1, untuk gambar ke-2.

    Pada tahap objek, subjek S1 melakukan encapsulation process dalam merumuskan conjecture

    rumus umum untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar ke-n adalah ( ) . Selanjutnya subjek S1melakukan validasi conjecture berdasarkan jumlah persegi pada gambar ke-4

    ( ), ( ), sama dengan , , karena jumlah persegi

    gambar ke-4 yang diperoleh dengan rumus ( ) sama dengan jumlah persegi yang diketahui maka rumus tersebut benar.

    Pada tahapan skema, subjek S1 meyakini bahwa rumus umum untuk menentukan banyaknya

    persegi pada gambar dari pola yang terbentuk adalah ( ). Subjek S1 meyakini rumus umum yang dihasilkan adalah benar setelah melakukan validasi. Dengan meyakini rumus umum

    tersebut, maka subjek S1 telah menggeneralisasi conjecture yang dihasilkan.

    Selanjutnya, dalam membenarkan generalisasi, subjek S1 menunjukkan contoh tertentu seperti

    yang telah dilakukan pada saat memvalidasi conjecture. Contoh tertentu yang dimaksud yaitu mencari

    jumlah persegi gambar ke-4 menggunakan rumus umum ( ). Selanjutnya melihat kesesuaian jumlah persegi yang dihasilkan dengan rumus dan cara manual dengan tujuan meyakinkan orang lain

    bahwa conjecture yang dihasilkan adalah benar. Berikut hasil pekerjaan subjek S1 pada Gambar 1, dan

    Proses berpikir subjek S1 dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS disajikan pada Diagram

    1.

  • ISBN: 978 602 1150 17 7

    5

    Gambar 1. Hasil Pekerjaan subjek S1 dalam menggeneralisasi pola

    Pada tahap action, subjek S2 mengamati kasus dengan cara mengamati dan menghitung

    jumlah persegi secara utuh, tanpa membedakan persegi hitam dan persegi putih. Beberapa

    action yang dilakukan adalah mengamati dan menghitung jumlah gambar ke-1 ada 7 persegi,

    gambar ke-2 ada 11 persegi, dan gambar ke-3 ada 15 persegi. Berdasarkan jumlah persegi pada

    gambar ke-1, gambar ke-2, dan gambar ke-3, subjek S2 mengorganisir kasus dengan cara

    membuat daftar untuk mengaitkan gambar ke-1 dengan 7 (jumlah persegi gambar ke-1),

    gambar ke-2 dengan 11 (jumlah persegi gambar ke-2), dan gambar ke-3 dengan 15 (jumlah

    persegi gambar ke-3).

    Pada tahap proses, subjek S2 melakukan interiorization action untuk mencari dan

    memprediksi pola dengan cara menghitung penambahan dari gambar ke-1 ke gambar ke-2,

    gambar ke-2 ke gambar ke-3, dan berpikir tentang gambar selanjutnya. Penambahan dari

    masing-masing gambar diperoleh dengan cara menghitung selisih gambar ke-2 dan ke-1 adalah

    , gambar ke-3 dan ke-2 adalah , dari selisih tersebut subjek S2

    memprediksi gambar ke-4 juga bertambah 4.

    Pada tahap objek, subjek S2 merumuskan conjecture dengan melakukan encapsulation

    process yaitu memperhatikan jumlah persegi gambar ke-1 ada 7, gambar ke-2 ada 11, dan

    gambar ke-3 ada 15. Dengan memperhatikan jumlah persegi tersebut dan persegi selanjutnya

    selalu bertambah 4, maka subjek S2 merumuskan conjecture rumus untuk menentukan

    banyaknya persegi pada gambar . Selanjutnya subjek S2 memvalidasi

    conjecture dengan mencari jumlah persegi gambar ke-5 dengan cara manual dan rumus

    . Dengan cara manual subjek S2 menuliskan jumlah persegi gambar

    , dengan menggunakan rumus

  • Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,

    Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur

    6

    . Setelah mengetahui jumlah persegi gambar ke-5 dengan cara

    manual dan rumus berbeda. Subjek S2 menyadari adanya kesalahan dari rumus yang

    dihasilkan, selanjutnya subjek S2 mencoba rumus untuk mencari jumlah persegi gambar

    ( ) dan mencocokkan dengan jumlah persegi

    gambar ke-1 yang sudah diketahui ada 7. Dari hasil mencocokkan, S2 menyadari bahwa

    conjecture yang dihasilkan ada kekeliruan.

    Setelah mengetahui bahwa conjecture yang dihasilkan ada kekeliruan, subjek S2 kembali

    ke tahap process dengan melakukan de-encapsulation. De-encapsulation yang dilakukan yaitu

    dengan cara mengotak-atik rumus tersebut untuk mencari polanya. S2 menyadari bahwa

    jumlah persegi gambar pertama ada 7. Berdasarkan rumus , untuk gambar

    pertama tidak perlu menambahkan cukup menuliskan 7, untuk gambar ke-2 empat

    nya ada 1, untuk gambar ke-3 empat nya ada 2. Pada tahap process ini, subjek S2

    melakukan coordination antara rumus , jumlah persegi setiap gambar, dan

    banyaknya 4 pada masing-masing gambar.

    Pada tahap objek subjek S2 melakukan encapsulation process setelah menyadari

    gambar ke-1 tidak perlu menambahkan cukup menuliskan 7, gambar ke-2 empat nya ada 1,

    gambar ke-3 empat nya ada 2. Selanjutnya subjek S2 merumuskan conjecture untuk

    menentukan banyaknya persegi pada gambar ( ) atau dapat

    disederhanakan menjadi ( ) . Setelah itu, subjek S2 memvalidasi

    conjecture yang dihasilkan dengan menggunakan contoh tertentu yaitu melihat kembali

    kecocokan jumlah persegi gambar ke-5 secara manual dan menggunakan rumus

    ( ). Dengan cara manual S2 menuliskan jumlah persegi gambar

    , dengan rumus ( ) ( ) .

    Setelah mengetahui ada perbedaan antara perhitungan manual dengan perhitungan

    menggunakan rumus. S2 mengecek lagi perhitungan manualnya dan menyadari bahwa jumlah

    persegi gambar bukan 35 melainkan dan

    mengatakan hasilnya sama 23.

    Pada tahapan schema, subjek S2 meyakini bahwa rumus umum untuk menentukan

    banyaknya persegi pada gambar dari pola yang terbentuk adalah ( ). Subjek

    S2 meyakini rumus umum yang dihasilkan adalah benar setelah melakukan validasi. Dengan

    meyakini rumus umum tersebut, maka subjek S2 telah menggeneralisasi conjecture yang

    dihasilkan.

    Selanjutnya, dalam membenarkan generalisasi, subjek S2 menunjukkan contoh tertentu

    seperti yang telah dilakukan pada saat memvalidasi conjecture. Contoh tertentu yang dimaksud

    yaitu mencari jumlah persegi gambar ke-6 dan ke-7 dengan cara manual dan menggunakan

    rumus ( ). Selanjutnya melihat kesesuaian antara jumlah persegi yang

    dihasilkan secara manual dan menggunakan rumus dengan tujuan meyakinkan orang lain

    bahwa conjecture yang dihasilkan adalah benar. Dengan cara manual subjek S2 menuliskan

    gambar ke-1 ada 7, gambar ke-2 ada 11, gambar ke-3 ada 15, gambar ke-4 ada 19, gambar ke-5

    ada 23, gambar ke-6 ada 27, gambar ke-7 ada 31 dan seterusnya. Dengan menggunakan rumus

    ( ) , gambar ( ) = gambar

    ( ) = . Selanjutnya S2 mengatakan sama antara jumlah persegi yang

    diperoleh secara manual dan menggunakan rumus, begitu juga untuk gambar-gambar yang

  • ISBN: 978 602 1150 17 7

    7

    lainnya. Menggeneralisasi dan membenarkan conjecture merupakan schema yang diperoleh

    dari tahap action, process dan object. Berikut hasil pekerjaan subjek S2 pada Gambar 2 dan proses

    berpikir subjek S2 dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS disajikan pada

    Diagram 2.

    Gambar 2. Hasil Pekerjaan subjek S1 dalam menggeneralisasi pola

    Dalam menggeneralisasi pola untuk menentukan rumus umum banyaknya persegi pada

    gambar subjek S1 dan S2 pada tahap action telah menyadari bahwa gambar ke-1,

    gambar ke-2, dan gambar ke-3 membentuk sebuah pola. Untuk menggeneralisasi pola, subjek

    kategori ini mengamati kasus dengan cara mengamati dan menghitung jumlah persegi secara

    utuh, tanpa membedakan persegi hitam dan persegi putih. Mengamati kasus secara utuh tampa

    membedakan persegi hitam dan putih ini sesuai dengan salah satu hukum Gestlat dalam

    pengamatan yaitu hukum kesamaan (law of equivalence) yaitu hukum dimana seseorang

    cenderung mempersepsikan stimulus yang sama sebagai suatu kesatuan (Wertheimer, 1923).

    Berdasarkan jumlah persegi pada gambar ke-1, ke-2, dan ke-3, subjek tersebut

    mengorganisir kasus dengan cara menuliskan jumlah persegi dalam bentuk barisan atau

    membuat daftar untuk mengaitkan gambar dan jumlah persegi, sehingga memudahkan subjek

    bekerja pada kasus tersebut. Menurut Allen (2001) cara yang paling umum digunakan dalam

    mengorganisir-kasus tertentu adalah dengan mendaftar data atau tabel.

  • Diagram 1. Prose berpikir subjek S1 dalam menggeneralisasi pola Diagram 2. Prose berpikir subjek S2 dalam menggeneralisasi pola

    berdasarkan teori APOS berdasarkan teori APOS

    Kode Penjelasan Kode Penjelasan Kode Penjelasan

    Mengamati kasus Menggeneralisasi conjecture Coord Coordination

    Mengorganisir kasus Membenarkan conjecture Action

    Mencari dan memprediksi pola InterAct Interriorization Action Process

    Merumuskan conjecture Encapro Encapsulation Process Object

    Memvalidasi conjecture De-Encap De-Encapsulation Schema

  • ISBN: 978 602 1150 17 7

    9

    Pada tahap action, subjek mengamati dan menghitung persegi secara utuh, maupun

    mengorganisir kasus untuk mempermudah subjek bekerja pada kasus tersebut merupakan

    reaksi dari subjek berdasarkan adanya pengaruh dari masalah yang diberikan. Hal ini sesuai

    dengan pendapat Dubinsky dan McDonald (2001) bahwa action merupakan transformasi

    terhadap suatu hal atau objek yang dilakukan individu sebagai kebutuhan eksternal baik secara

    eksplisit maupun dari memori, langkah demi langkah sebagai petunjuk melakukan operasi.

    Pada tahap proses, subjek kategori ini melakukan interiorization action untuk mencari

    dan memprediksi pola dengan cara menghitung beda dari masing-masing pola dan berpikir

    tentang gambar selanjutnya. Subjek S1 dan S2 menemukan pola dari masing-masing gambar

    ke-1 ke gambar ke-2 adalah 4 dan gambar ke-2 ke gambar ke-3 juga 4 dan berpikir bahwa

    gambar selanjutnya juga bertambah 4. Subjek tersebut dapat menemukan pola dari

    masing-masing gambar setelah melakukan interiorization beberapa action, setelah itu

    dikoordinasikan untuk dapat memprediksi gambar selanjutnya, sehingga dapat digunakan

    sebagai dasar melakukan encapsulation. Perubahan transformasi dari masalah yang diberikan

    (eksternal) ke dalam internal (pikiran) siswa disebut interiorization. Hal ini sesuai dengan

    pendapat Dubinsky (2001) bahwa interiorisasi merupakan perubahan dari suatu kegiatan

    prosedural untuk mampu melakukan kembali kegiatan itu dalam imajinasi beberapa pengertian

    yang berpengaruh terhadap kondisi yang dihasilkan.

    Dalam melakukan interiorization action, tidak hanya melakukan koordinasi beberapa

    action yang telah dilakukan, melainkan dikoordinasikan juga dengan pengetahuan awal yang

    dimiliki oleh siswa. Pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa seperti mencari beda dari

    masing-masing gambar.

    Pada tahap object, subjek S1 merumuskan conjecture dengan melakukan encapsulation

    process yaitu melihat selisih atau penambahan dari masing-masing gambar. Penambahan dari

    gambar ke-1 ke gambar ke-2 adalah 4, gambar ke-2 ke gambar ke-3 adalah 4, dan gambar ke-3

    ke gambar ke-4 juga 4. Dengan melihat penambahan tersebut, subjek S1 merumuskan

    conjecture rumus umum untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar ke .

    Sedangkan subjek S2 melakukan encapsulation process dengan memperhatikan jumlah persegi

    gambar ke-1 ada 7 dan gambar selanjutnya selalu bertambah 4, maka subjek S2 merumuskan

    conjecture rumus untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar .

    Pada tahap memvalidasi conjecture rumus subjek S1 menggunakan

    contoh tertentu yang telah diketahui dalam masalah yaitu gambar ke-1, ,

    sedangkan subjek S2 memvalidasi conjecture dengan mencari jumlah persegi gambar ke-5

    secara cara manual dan rumus . Dasar memvalidasi berdasarkan contoh

    tertentu yang telah diketahui (misalnya validasi berdasarkan gambar ke-1, ke-2, dan ke-3)

    dalam masalah dinamakan validasi internal, sedangkan validasi berdasarkan contoh tertentu

    selain yang diketahui dalam masalah (misalnya validasi dengan gambar ke-4, ke-5, , ke-n)

    dinamakan validasi eksternal.

    Subjek kategori ini melakukan encapsulation proses yang tidak sempurna dalam

    merumuskan conjecture rumus umum untuk menentukan banyaknya persegi pada gambar

    ke-n, karena setelah divalidasi dengan contoh tertentu, subjek mengatakan bahwa rumus atau

    conjecture yang dihasilkan salah.

    Setelah mengetahui bahwa conjecture yang dihasilkan salah, subjek kembali ke tahap

    process untuk melakukan de-encapsilation dengan cara mencari angka awal sebelum di

  • Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,

    Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur

    10

    tambahkan empat dengan memanfaatkan rumus . Subjek S1 mencari angka

    awal dengan menghitung selisih jumlah persegi gambar ke-1 dikurangi 4, gambar ke-2

    dikurangi 4 dan gambar ke-3 juga dikurangi 4. Hasil pengurangannya berturut turut 3, 7, 11.

    Dari pengurangan tersebut, angka awalnya belum sama. Subjek S1 selanjutnya menggunakan

    cara lain yaitu mencari angka awal sebelum ditambahkan kali dengan cara memisalkan

    sebagai angka awal. Gambar ke-1 ( ), ( ), maka .

    Gambar ke-2 ( ) , ( ) , maka . Dari dua angka

    awal tersebut, diperoleh angka awal sebelum ditambahkan 4 kali adalah 3. Dalam

    menemukan angka awal ini subjek S1 melakukan coordination antara angka awal yang

    berbeda, kali , memisalkan sebagai angka awal, untuk gambar ke-1, untuk gambar

    ke-2.

    Sedangkan subjek S2 melakukan de-encapsulation setelah mengetahui bahwa conjecture

    yang dihasilkan ada kekeliruan. Subjek S2 kembali ke tahap process dengan cara

    mengotak-atik rumus tersebut untuk mencari polanya. S2 menyadari bahwa jumlah persegi

    gambar pertama ada 7. Berdasarkan rumus , untuk gambar pertama tidak

    perlu menambahkan cukup menuliskan 7, untuk gambar ke-2 empat nya ada 1, untuk

    gambar ke-3 empat nya ada 2. Pada tahap process ini, subjek S2 melakukan

    coordination antara rumus , jumlah persegi setiap gambar, dan banyaknya 4

    pada masing-masing gambar.

    Cara yang dilakukan oleh subjek S1 dan S2 dalam tahap prosess berbeda. Subjek S1

    mencari angka awal, sedangkan subjek S2 melihat penambahan 4 (beda) untuk masing-masing

    persegi. Cara yang berbeda, menandakan bahwa simbol yang dibentuk oleh subjek sangat

    bermakna bagi dirinya dan menggambarkan pengetahuannya, hal ini sesuai dengan yang

    dinyatakan oleh Steinbring (Botzer & Yerushalmy, 2008) bahwa tanda atau simbol matematika

    merupakan alat untuk coding dan menggambarkan pengetahuan serta mengomunikasikan

    pengetahuan matematika mereka.

    Setelah subjek melakukan proses baru dan selanjutnya proses tersebut di encapsulation

    sehingga menghasilkan generalisasi pola yaitu rumus umum untuk menentukan banyaknya

    persegi pada gambar ke-n adalah . Proses menghasilkan merupakan proses

    encapsulation, hal ini sesuai dengan pendapat Dubinsky dan McDonald (2001) bahwa

    proses-proses baru dapat juga dikonstruksi (dibentuk) dengan cara mengoordinasikan

    proses-proses yang sudah ada, Bila hal tersebut menjadi suatu proses sendiri untuk

    ditransformasikan oleh suatu action, maka dikatakan proses itu telah di encapsulation menjadi

    suatu object.

    Proses encapsulation yang dilakukan oleh subjek sampai menghasilkan conjecture yang

    benar berdasarkan contoh tertentu merupakan hasil dari encapsulation yang sempurna.

    Selanjut subjek tersebut melakukan validasi dengan contoh tertentu dan mengatakan benar.

    Validasi di sini bertujuan untuk mengetahui kebenaran dari conjecture yang dihasilkan

    berdasarkan contoh tertentu, hal ini sejalan dengan pendapat Canadas dkk (2007) bahwa

    memvalidasi conjecture adalah penetapan kebenaran dari untuk kasus tertentu tetapi tidak pada

    umumnya. Proses merumuskan dan memvalidasi conjecture terjadi secara berulang sampai

    menghasilkan conjecture yang benar.

  • ISBN: 978 602 1150 17 7

    11

    Pada tahapan schema, subjek S1 meyakini bahwa rumus umum untuk menentukan

    banyaknya persegi pada gambar dari pola yang terbentuk adalah ( )

    sedangkan subjek S2 adalah ( ) . Subjek tersebut meyakini rumus umum yang

    dihasilkan adalah benar setelah melakukan validasi. Dengan meyakini rumus umum tersebut,

    maka subjek telah menggeneralisasi conjecture yang dihasilkan. Generalisasi yang dilakukan

    oleh subjek S1 dan subjek S2 merupakan generalisasi secara simbolik, hal ini sesuai dengan

    pendapat Radford (2003) bahwa tipe generalisasi simbolik adalah tipe generalisasi yang

    berhubungan dengan objek aljabar atau simbol yang tidak terbatas pada objek tertentu.

    Selanjutnya, dalam membenarkan generalisasi, subjek kategori ini menunjukkan contoh

    tertentu seperti yang telah dilakukan pada saat memvalidasi conjecture dan selanjutnya melihat

    kesesuaian antara jumlah persegi yang dihasilkan dengan rumus dan yang telah diketahui

    dalam masalah atau cara manual dengan tujuan meyakinkan orang lain bahwa conjecture yang

    dihasilkan adalah benar.

    PENUTUP

    Proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola berdasarkan teori APOS terdiri dari dua,

    yaitu proses enkapsulasi sempurna dan enkapsulasi tidak sempurna. Proses enkapsulasi sempurna adalah

    proses berpikir siswa dalam menggeneralisasi pola dimana pada tahap enkapsulasi proses subjek menghasilkan

    generalisasi pola yang benar, sedangkan proses enkapsulasi tidak sempurna adalah proses berpikir siswa dalam

    menggeneralisasi pola dimana pada tahap enkapsulasi proses subjek tidak menghasilkan generalisasi pola yang

    benar.

    DAFTAR RUJUKAN

    Asiala M, Brown A, DeVries DJ, Dubinsky E, Mathews D, Thomas K (1996). Framework for research

    and curriculum development in undergraduate mathematics education. Res. Coll. Math. Educ.

    6:1-32.

    Blanton, Maria, L., & Kaput, James J. 2011. Functional Thinking as a Route Algebra in The

    Elementary Grade. Dalam Cai, Jinva & Knuth, Eric (Eds.), Early Algebraization: A

    Global Dialogue from Multiple Perspectives (hlm.5-23). New York: Springer

    Heidelberg Dordrecht.

    Dindyal, J. (2007). High school students use of patterns and generalisations. In J. Watson & K.

    Beswick (Eds), Proceedings of the 30th annual conference of the Mathematics

    Education Research Group of Australasia (pp. 236-245). Hobart, Tasmania, Australia:

    MERGA Inc. Retrieved from http://www.merga.net.au/documents/RP182007.pdf

    Dubinsky, E. & McDonald, M. (2011). APOS: A constructivist theory of learning in

    undergraduate mathematics education research. In D. Holton et al. (Eds), The teaching

    and learning of mathematics at university level: An ICMI Study (pp. 273-280). Kluwer

    Academic Publisher. Retrieved from http://www.math.wisc.edu/~wilson/Courses/

    Math903/ICMIPAPE.PDF

    Hargreaves, M., Threlfall, J., Frobisher, L., & Shorrocks-Taylor, D. (1999). Childrens

    strategies with linear and quadratic sequences. In A. Orton (Ed.), Pattern in the Teaching

    and Learning of Mathematics. London: Cassell

    Janvier, C. (1987). Translation processes in mathematics education. In C. Janvier (Ed.),

    Problems of representation in the teaching and learning of mathematics (pp. 27-32).

    Hillsdale, New Jersey: LEA.

    Kchemann, D. (2010). Using patterns generically to see structure. Pedagogies: An

    International Journal, 5(3), 233250. doi: 10.1080/1554480X.2010.486147

  • Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,

    Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur

    12

    Mulligan, J., & Mitchelmore, M. 2009. Awareness of Pattern and Structure in Early

    Mathematical Development. Mathematics Education Research Journal, 21(2): 33-49

    Mullingan, J.T., Mitchelmore, M.C., English, L.D., & Robertson, G. (2011). Implementing a

    Pattern and Structure Mathematics Awareness Program (PASMAP) In Kindegarden. In

    L. Sparrow, B. Kissane, & C. Hurst (Eds.) Shaping the Future of Mathematics

    Education. Proceedings of the 33rd Annual Conference of the Mathematics Education

    Research Group of Australasia (pp 797804). Retrieved from

    http://files.eric.ed.gov/fulltext/ED521029.pdf

    Nasional Council of Teacher of Mathematics. (2000). Principles and standards for school

    mathematics. Reston, VA: NCTM.

    Radford, L. 2003. Gestures, Speech, and the Sprouting of Signs: A Semiotic-Cultural

    Approach to Students Types of Generalization. Mathematical Thinking And Learning,

    5(1), 3770.

    Ramussen, D., & Miceli, S. 2008. Discovering Geometry Condensed Lessons. United States

    of America. Kendall Hunt Publishing.

    Sutarto, Nusantara, T., Subanji, & Sisworo. (2015). Indicator of conjecturing process in a

    problem solving of the pattern generalization. Proceding ICERD, UNESA Surabaya, pp.

    32-45.

    Sutarto, Nusantara, T, Subanji, & Sisworo (2015). Local conjecturing process in the solving of

    pattern generalization problem. Educational Research and Reviews. Vol. 11(8), pp.

    732-742, DOI: 10.5897/ERR2016.2719

    Vogel, R. (2005). Patterns: A fundamental idea of mathematical thinking and learning. ZDM,

    37(5), 445-449. doi 10.1007/s11858-005-0035-z

    Wertheimer, M. (1923). Untersuchungen zur Lehre von der Gestalt: II (Investigations in

    Gestalt Theory: II). Psychologische Forschung, 4, 301350.

    Yerushalmy, M. (1993). Generalization, induction, and conjecturing: a theoretical

    perspective. In Schwartz, J.L., Yerushalmy, M., & Wilson, B. The geometric supposer:

    what is it a case of?. Hillsdale, NJ Lawrence Erlbaum Associates.

    Zazkis, R., & Liljedahl, P. (2002). Generalization of patterns: the tension between algebraic

    thinking and algebraic notation. Educational Studies in Mathematics, 49: 379402. Wertheimer M (1923). Untersuchungen zur Lehre von der Gestalt: II (Investigations in Gestalt Theory:

    II). Psychol. Forschung 4:301-350.

  • ISBN: 978 602 1150 17 7

    13

    DESKRIPSI KESALAHAN KONSTRUKSI PENYELESAIAN MASALAH

    GEOMETRI SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

    Taufiq Hidayanto; Subanji; Erry Hidayanto

    Universitas Negeri Malang

    [email protected]

    Abstrak: Penyelesaian masalah merupakan salah satu standar yang harus dukuasai oleh

    siswa menurut NCTM maupun kurikulum yang berlaku saat ini. Begitupun juga dengan

    geometri, salah satu bagian kajian matematika yang perlu dikuasai siswa di sekolah.

    Namun, tidak sedikit siswa yang mengalami kesalahan-kesalahan dalam memecahkan suatu

    masalah geometri yang berdampak pada kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah

    yang diberikan. Untuk itu, perlunya seorang guru untuk mengetahui letak kesalahan siswa

    dalam memecahkan masalah geometri agar dapat melakukan perbaikan terhadap kesalahan

    yang dialami oleh siswa tersebut. Kajian dalam makalah ini menyajikan deskripsi kesalahan

    konstruksi pemecahan masalah geometri dari 6 siswa subjek yang terdiri atas 2 siswa dari

    kelompok atas, 2 kelompok sedang, dan 2 kelompok bawah. Subjek yang merupakan siswa

    SMP diberikan masalah geometri untuk diselesaikan, kemudian diwawancarai berbasis

    tugas untuk menggali letak kesalahan struktur berpikirnya. Selanjutnya, struktur berpikir

    siswa dianalisis letak kesalahan siswa berdasarkan teori kesalahan konstruksi konsep dan

    pemecahan masalah matematika menurut Subanji (2015). Hasil Analisis menunjukkan

    bahwa semua subjek mengalamai mislogical construction dan lubang konstruksi.

    Mislogical construction terjadi karena siswa mengalami kesalahan logika berpikir dalam

    melakukan prosedur pemecahan masalah. Lubang konstruksi terjadi karena skema-skema

    yang digunakan untuk mengonstruksi pemecahan masalah belum lengkap.

    Kata Kunci: Analisis Kesalahan, Skema, Konstruksi Penyelesaian Masalah, Geometri

    Problem Solving merupakan bagian yang terpadu dalam pembelajaran matematika dan bagian yang

    tidak dapat dipisahkan dari program dan tujuan pembelajaran. Hal ini sesuai dengan tujuan

    pembelajaran matematika berdasarkan kurikulum yang berlaku saat ini, yaitu KTSP maupun

    kurikulum 2013. NCTM (2000: 52-55) memberikan rekomendasi bahwa program pembelajaran

    sebaiknya penyelesaian masalah digunakan untuk membangun pengetahuan baru, mendukung siswa

    mampu menyelesaikan masalah dalam matematika maupun konsteks lain, mendukung siswa mampu

    menyelesaikan masalah dengan berbagai macam strategi, dan mendukung siswa mampu mencermati

    dan merefleksikan ide penyelesaian masalah yang dikemukakan.

    Selain problem solving, materi geometri merupakan salah satu standar yang

    direkomendasikan NCTM juga kompetensi yang perlu dicapai siswa menurut kurikulum yang berlaku

    saat ini. Geometri diaplikasikan dalam menyelesaikan masalah dalam konteks matematika yang lain,

    permasalahan kehidupan nyata, maupun ilmu diluar konteks matematika (Yilmaz dalam Biber, Tuna,

    & Korkmaz, 2013: 50). NCTM (2000:41) menekankan bahwa geometri sangat erat dengan konteks di

    dalam maupun di luar matematika. Di dalam matematika, geometri dapat digunakan sebagai alat

    untuk membantu pemahaman konsep aljabar, penggunaan geometri misalnya yaitu dengan konsep

    luasan persegi panjang (aljabar tile) untuk menentukan faktor bentuk kuadrat. Di luar matematika,

    misalnya penetuan volume dalam perhitungan debit air, penggunaan konsep luas untuk menentukan

    area lahan maupun pendirian bangunan. Hal tersebut menunjukkan bahwa geometri berkaitan erat

    dengan antarkonsep dalam matematika maupun di luar matematika.

    Akhir-akhir ini, beberapa penelitian tentang geometri telah dikaji. Biber, et al

    mengemukakan temuan kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah geometri yaitu (1) siswa

    hanya memperhatikan tampilan geometris saja tanpa melihat sisi karakteristik geometri yang

    menyertainya, (2) siswa gagal menghubungan sifat-sifat geometris yang telah diketahuinya dengan

  • Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,

    Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur

    14

    konssep lain yang digunakan untuk menyelesaikan maslalah, dan (3) mereka menggeneralisasi sifat

    yang hanya sesuai dengan kondisi tertentu tanpa memperhatikan kondisi lain. Menurut Ozerem

    (2012), permasalahan siswa pada geometri yaitu masalah miskonsepsi, kurangnya skema yang

    dimiliki dan kemampuan penalaran, serta kesalahan dalam melakukan operasi dasar. Namun,

    penelitian-penelitian tersebut sebatas mengungkap permasalahan siswa yang mengalami kesalahan-

    kesalahan penyelesaian masalah yang dilakukannya, belum sampai mengungkap struktur berpikir

    siswa yang mengalami kesalahan.

    Struktur berpikir tidak lepas dengan skema yang digunakan siswa dalam menyelesaikan

    masalah. Nunokawa (2005) memberikan pernyataan terkait pembelajaran berdasar teori skema.

    Pengetahuan dasar siswa tidak hanya memuat pengetahuan prosedural maupun konseptual namun

    juga pengetahuan mengenai situasi yang sesuai dengan pengetahuan matematis lain yang terkait.

    Siswa yang kaya dengan skemata dapat menyelesaikan berbagai masalah menggunakan pengetahuan

    tersebut dengan mudah. Siswa menggunakan skema-skema tersebut dalam menyelesaikan masalah

    yang dihadapinya.

    Chinnappan (2003) juga menyatakan, skema dapat berupa konsep-konsep lain yang terkait

    dengan suatu konsep tertentu termasuk informasi mengenai prosedur yang sesuai ketika siswa hendak

    menggunakan konsep-konsep yang saling terkait tersebut. Dengan kata lain, Skema sendiri dapat

    dikonstruksi dari skema-skema lain yang saling terkait. Selanjutnya, skema tersebut menjadi struktur

    pengetahuan yang mengindikasikan kumpulan informasi yang membentuk suatu makna tertentu.

    Sebagai contoh, siswa dapat membangun skema seputar teorema pythagoras. Skema-skema lain yang

    termasuk dalam konsep tersebut adalah bilangan (termasuk operasinya), bentuk aljabar, dan segitiga.

    Misalnya, ketika siswa harus menyelesaikan masalah yang melibatkan teorema pythagoras, mereka

    akan perlu menggunakan prosedur untuk menyelesaikan persamaan, manipulasi aljabar, atau

    membuat ilustrasi gambar untuk memviasualisasi masalah.

    Derry (1996: 165) menyatakan bahwa konstruktivis radikal percaya semua pemahaman

    logis-matematis dan konseptual yang baru dikonstruksi berdasarkan skema yang terkonstruksi

    sebelumnya. Selanjutnya, siswa menggunakan struktur pengetahuannya sebagai upaya untuk

    mengonstruksi pemahamannya terhadap situasi yang mereka observasi dan kaji. Proses ini melibatkan

    asimilasi pola aktivitas skema mental yang terkonstruksi sebelumnya, selanjutnya menggunakan

    skema tersebut dalam menyelesaikan masalah dan berfikir lain secara langsung. Selanjutnya,

    Chinnappan dan Thomas (2003) berpendapat bahwa skema yang terstruktur dengan baik dapat

    memberi manfaat bagi siswa dalam mengasimilasi ide matematis baru karena skema dapat

    mengaitkan banyak pengetahuan. Dengan kata lain, skema memberikan banyak manfaat untuk

    menginterpretasikan perkembangan pengetahuan dan makna matematis.

    Subanji (2015:10) menguraikan kajian mengenai struktur berpikir dalam proses konstruksi

    pemecahan masalah matematika. Ketika struktur masalah yang dihadapi oleh siswa jauh lebih

    kompleks dibanding struktur berpikirnya, siswa akan mengalami kesulitan dalam proses konstruksi

    karena siswa akan mengalami kesulitan dalam proses asimilasi atau akomodasi. Untuk melakukan

    asimilasi, siswa belum memiliki skema yang sesuai dengan masalah yang dihadapi dan untuk

    melakukan akomodasi, yaitu mengubah skema lama atau membentuk skema baru, masih mengalami

    kesulitan karena belum cukup memiliki skema yang dapat digunakan untuk membentuk skema baru.

    Dalam hal ini perlu proses lagi agar dapat terjadi proses konstruksi, yakni menguraikan (atau

    memotong) masalah ke bagian-bagiannya. Masalah yang sudah terurai menjadi informasi-informasi

    yang lebih sederhana akan mudah untuk diasimilasi atau diakomodasi. Berikutnya dapat berlangsung

    restrukturisasi, pengaitan antar komponen berpikir dan membentuk skema baru yang lebih kompleks

    yang dapat mengasimilasi atau mengakomodasi masalah yang kompleks (keseluruhan). Proses

    pemecahan struktur masalah yang kompleks ke bagian-bagiannya ini oleh Subanji disebut proses

    analitik.

  • ISBN: 978 602 1150 17 7

    15

    Berdasarkan kajian di atas, peneliti menguraikan deskripsi kesalahan konstruksi penyelesian

    masalah yang ditinjau dari struktur berpikir yang melibatkan skema siswa. Kesalahan tersebut dikaji

    berdasarkan teori kesalahan konstruksi konsep dan pemecahan masalah yang dikemukana oleh

    Subanji (2015). Kesalahan yang terjadi pada siswa meliputi:

    1. Pseudo Construction, yaitu konstruksi yang seakan-akan benar tetapi siswa tidak dapat

    memberikan justifikasi atau konstruksi seakan-akan salah tetapi siswa bisa memperbaiki

    kesalahannya setelah refleksi

    2. Lubang Konstruksi, yaitu konstruksi konsep atau penyelesaian masalah dimana skema yang

    terbentuk dalam proses konstruksi ada yang belum lengkap

    3. Mis-analogical Construction, yaitu konstruksi konsep atau penyelesaian masalah dimana dalam

    proses konstruksinya terjadi kesalahan berpikir analogi

    4. Mis-logical construction, yaitu konstruksi konsep atau penyelesaian masalah dimana dalam

    proses konstruksinya terjadi kesalahan berpikir logis

    METODOLOGI

    Penelitian ini merupakan kualitatif dengan jenis deskriptif. Subjek dalam penelitian ini yaitu

    enam siswa SMP kelas VIII terdiri atas 2 kelompok atas, 2 siswa kelompok sedang, dan 2 siswa

    kelompok bawah berdasarkan prestasi hasil belajar siswa. Siswa diberikan masalah geometri dan

    diwawancarai berbasis tugas terhadap penyelesaian masalah yang diajukan oleh siswa. Kemudian,

    struktur berpikir siswa dideskripsikan berdasarkan teori kesalahan konstruksi konsep dan pemecahan

    masalah matematika menurut Subanji (2015). Berikut instrumen penelitian beserta struktur masalah

    yang diberikan.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Hasil dan pembahasan didapatkan dari hasil wawancara dengan siswa subjek setelah

    mengerjakan masalah yang diberikan. Selanjutnya, proses berpikir siswa dipetakan dan

    dideskripsikan.

    Deskripsi Kesalahan Konstruksi Siswa S1 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri

    Siswa berhasil mengasimilasi informasi dari masalah yang diberikan. Siswa mampu

    menyebutkan bahwa masalah yang diberikan melibatkan bentuk setengah lingkaran dan memiliki

    diameter 10 cm, akibatnya jari-jarinya adalah 5 cm. Selain itu, siswa mampu menyebutkan bahwa

    masalah yang dicari adalah luas daerah yang diarsir, yaitu berbentuk segitiga siku-siku. Namun, siswa

    gagal mengakomodasi salah satu bagian segitiga. Proses pengerjaan S1 tersaji pada Gambar 1.

    Gambar di samping adalah

    setengah lingkaran dengan

    diameter 10 cm dan BD = 2 cm.

    Luas daerah yang diarsir adalah

    ................

    A B

    C

    D

  • Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,

    Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur

    16

    Gambar 1. Penyelesaian Masalah oleh S1

    Berikut kutipan wawancara peneliti menggali informasi proses berpikir siswa dalam menyelesaikan

    masalah.

    P : Kemarin gimana ini kamu ngerjakannya?

    S1 : saya mencari panjangnya ini [AB], karena ini [AD] panjangnya 10, berarti ini [AB] panjangnya

    8. Trus saya cari tingginya tu [BC], 10 ini diameter trus saya bagi 2, kayak jari-jarinya gitu,

    P : berarti luas daerah yang diarsir gimana?

    S1 : ya pakai luas itu, setengah alas kali tinggi. Yaitu setengah kali 8 kali tingginya 5, jadinya 20

    Berdasarkan wawancara dengan S1, siswa telah mengetahui alas segitiga dan tinggi segitiga, namun

    penentuan ukuran tinggi segitiga masih salah. S1 menganggap tinggi segitiga adalah 5 cm, yaitu sama

    dengan jari-jari setengah lingkaran. Akibatnya, S1 menghasilkan jawaban salah. Berdasarkan teori

    kesalahan konstruksi menurut Subanji (2015), S1 mengalami mislogical construction, yaitu terletak

    pada kesalahan logika siswa dalam menentukan ukuran tinggi segitiga (BC) yang dianggap sama

    panjang dengan jari-jari. Lubang Konstruksi juga terjadi karena terdapat skema-skema yang belum

    terkontruksi dalam struktur berpikir siswa. Kesalahan struktur berpikir siswa tersaji pada Gambar 2.

    Keterangan:

    Kode Penjelasan

    MG Masalah Geometri

    SL Setengah Lingkaran

    D Diameter

    BD Panjang ABC Segitiga Siku-siku ABC

    SAB Sisi AB Panjang AD Panjang BC Panjang LS Luas Segitiga yang Diarsir

    LK Lubang Konstruksi

    MC Mislogical Construction

    Gambar 2. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S1

    MG

    SL

    BD

    AB

    LS

    Selesai

    AD

    ABC

    SAB

    D

    BC

    MC

    LK

  • ISBN: 978 602 1150 17 7

    17

    Deskripsi Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S2 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri

    Siswa S2 merupakan kelompok atas. Ketika menyelesaikan masalah yang diberikan, siswa S2

    telah memiliki skema diameter lingkaran, luas setengah lingkaran, dan luas segitiga. Namun, S2 tidak

    dapat menyelesaikan masalah dengan tepat. Siswa S2 mampu mengasimilasi informasi yang terdapat

    pada masalah. Siswa S2 memahami yang telah diketahui dari masalah yaitu terdapat bentuk setengah

    lingkaran, terdapat diameter lingkaran,dan segitiga siku-siku. Siswa S2 juga telah mampu

    mengakomodasi dari informasi tersebut untuk menentukan panjang alas segitiga siku-siku, yaitu 10

    cm dikurangi dengan 2 cm, yaitu 8 cm. Meskipun demikian, siswa S2 gagal dalam mengakomodasi

    untuk menentukan tinggi segitiga dan gagal mengakomodasi strategi penyelesaian masalah. Siswa S2

    menyebut bahwa untuk menyelesaikan masalah yaitu dengan mengurangkan luas setengah lingkaran

    dengan luas segitiga. Berikut ini kutipan wawancara peneliti dengan siswa S2.

    P : bagaimana tadi mengerjakannya?

    S2: jadi, lingkarannya setengah, trus dikali 3,14. Ini karena diameternya 5 kan berarti kan luas

    lingkarannya pi r kuadrat, ini jadinya 5 kali 5. trus setengah kali 68,5. 68,5 dibagi 2 itu 34,25.

    Trus alasnya segitiga...........trus tadi diameternya kan 10 ya, berarti ini 10, trus ini 2, berarti A

    ke B kan 8.

    P : maksudnya apa yang kamu cari ini?

    S2: luas lingkaran, trus dikurangi luas segitiga.

    Gambar 3 menunjukkan pengerjaan S2 namun belum selesai pada jawaban akhir.

    Gambar 3. Penyelesaian Masalah oleh S2

    Berdasarkan kutipan wawancara dengan S2 dan Gambar 3, siswa S2 tidak berhasil pada jawaban yang

    diinginkan. Kesalahan konstruksi yang dialami S2 yaitu ide penyelesaian masalah. Siswa S2

    menyebutkan bahwa untuk menyelesaikan masalah yaitu dengan mengurangkan luas lingkaran

    dengan luas segitiga. Menurut teori kesalahan konstruksi menurut Subanji (2015), masalah tersebut

    mengindikasikan bahwa siswa mengalami mislogical construction. Hal tersebut terjadi karena

    kesalahan berpikir logis siswa, yaitu untuk menyelesaikan masalah adalah dengan mengurnagkan luas

    segitiga dari luas setengah lingkaran meskipun sebenarnya subjek belum menemukan luas segitiga. S2

    juga mengalami lubang konstruksi karena terdapat skema-skema pengonstruksi struktur masalah.

    Ringkasnya, struktur berpikir siswa S1 disajikan dalam Gambar 4 berikut:

  • Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,

    Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur

    18

    Keterangan:

    Kode Penjelasan

    MG Masalah Geometri

    SL Setengah Lingkaran

    D Diameter

    BD Panjang ABC Segitiga Siku-siku ABC

    SAB Sisi AB Panjang AD Panjang BC Panjang LSL Luas Setengah Lingkaran

    LSL-LS Luas Setengah Lingkaran

    Dikurangi Luas Segitiga

    LS Luas Segitiga yang

    Diarsir

    LK Lubang Konstruksi

    MC Mislogical Construction

    Gambar 4. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S2

    Deskripsi Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S3 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri

    Siswa S3 merupakan siswa dalam kelompok sedang. Siswa S3 telah mempunyai skema skema

    yang cukup dalam menyelesaiakn masalah yang diberikan, meskipun berlebihan. Skema yang telah

    dimiliki yaitu keliling lingkaran termasuk diameter lingkaran, segitiga, dan luas segitiga. Namun

    siswa S3 tidak dapat menyelesaikan masalah yang diberikan dengan tepat.

    Siswa S3 berhasil mengasimilasi informasi diameter dan mendapatkan jari-jari setengah

    lingakaran. S3 juga dapat mnegasimilasi informasi bahwa luas yang dicari adalah segitiga siku-siku.

    Namun, S3 gagal mengakomodasi strategi pemecahan masalah. Awalnya, S3 mencari keliling

    setengah lingkaran. Menurutnya, keliling lingkaran tersebut dapat digunakan untuk mencari jari-jari

    setengah lingkaran tetapi S3 gagal melogikakan idenya tersebut. Dan menyimpulkan bahwa alas

    segitiga panjnagnya 5 cm dan tingginya 8 cm. Berikut ini kutipan wawancara peneliti dengan siswa

    S3:

    P : coba, kamu ceritakan kembali, kemarin gimana ngerjakannya?

    S3 : ini mencarinya yaitu setengah keliling, yaitu pi kali d. ini diameternya 10, sehingga 3,14 dikali

    10 dibagi 2. Ini tak jadiin pecahan campuran hasilnya dikali dibalik, jadinya 15,7 trus saya bikin

    16.

    MG

    SL

    BD

    AB

    LSL - LS

    Selesai

    AD

    ABC

    SAB

    D

    LSL

    LS

    MC

    LK

  • ISBN: 978 602 1150 17 7

    19

    P : kemarin kenapa kok ambil pakai keliling itu?

    S3 : ini kalo nggak salah untuk nyari jari-jari dulu

    P : trus akhirnya luas segitiganya berapa?

    S3 : setengah kali alas kali tinggi

    P : ini alasnya mana?

    S3 : ini, 5

    P : trus tingginya?

    S3 : 8

    P : delapan dapat dari mana?

    S3 : 10 dikurangi 2

    Siswa S3 merajut skema diameter dengan setengah lingkaran mendapatkan luas setengah lingkaran

    dan diharapkan untuk mendapatkan jari-jari lingkaran menunjukkan siswa mengalami mislogical

    construction. Siswa mengalami kesalahan konstruksi logika karena mengaharapakan dapat

    menemukan panjang jari-jari lingkaran dan digunakan untuk mencari luas segitiga, yaitu dianggap

    sebagai alasnya. Selanjutnya, siswa S3 mendapatkan BC dari setengah diameter dan dirajut dengan

    skema AB menghasilkan luas segitiga menunjukkan siswa S3 mengalamai mislogical construction.

    Hal ini karena siswa menganggap bahwa BC sama dengan panjang jari-jari setengah lingkaran. Siswa

    S3 juga mengalami lubang konstruksi, yaitu untuk mencari BC, siswa harus mengonstruksi panjang

    OC dan dirajut dengan OB menghasilkan BC menggunakan teorema pythagoras.

    Apabila dipetakan, struktur berpikir siswa S3 disajikan pada Gambar 5.

    Deskripsi Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S4 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri

    Siswa S4 termasuk dalam kategori siswa sedang. Siswa S4 telah melakukan adaptasi terhadap

    masalah yang diberikan namun masih gagal dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Skema

    yang telah dimilikinya yaitu diameter lingkaran, segitiga siku-siku, dan luas segitiga. Siswa S4 telah

    berhasil mengasimilasi informasi yaitu menyadari bahwa untuk menyelesaiakan masalah, ia

    menggunakan informasi diameter lingkaran untuk mencari panjang alas segitiga. Namun, siswa S4

    gagal dalam melakukan akomodasi untuk mencari ukuran tinggi segitiga. Siswa S4 menggunakan

    asumsi bahwa tinggi segitiga adalah tiga kali lipat dari panjang BD yaitu menghasikan 6 cm.

    Akibatnya, jawaban yang dikemukakan siswa S4 menjadi salah.

  • Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,

    Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur

    20

    Keterangan:

    Kode Penjelasan

    MG Masalah Geometri

    SL Setengah Lingkaran

    D Diameter

    BD Panjang ABC Segitiga Siku-siku ABC

    SAB Sisi AB Panjang AD Panjang BC Panjang

    KSL Keliling Setengah

    Lingkaran

    R Jari-jari

    LS Luas Segitiga yang

    Diarsir

    LK Lubang Konstruksi

    MC Mislogical Construction

    Gambar 5. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S3

    Berikut kutipan wawancara peneliti dengan siswa S4:

    P : coba kamu jelaskan lagi ini, kamu kemarin ngerjakannya gimana?

    S4: ini kan diameternya dari A ke D adalah 10, Pak. Trus dikurangi sama ini [BD], yaitu 2, jadinya 8.

    Trus nyari BC itu, saya tambahkan-tambahkan gitu. Jadi, BC nya 6.

    P : 6 itu dari mana?

    S4: dari 3 kali lipatnya

    P : jadi luasnya segitiga berapa?

    S4: jadi setengah kali alas kali tinggi. Alasnya itu 8 kali tingginya 6, trus dibagi 2. 8 kali 6 itu 48 trus

    dibagi 2, hasilnya 24............

    MG

    SL

    BD

    AB

    Selesai

    BC

    ABC

    SAB

    D

    KSL

    LS

    R

    LK

    MC

  • ISBN: 978 602 1150 17 7

    21

    Apabila diakitkan dengan teori kesalahan konstruksi (Subanji, 2015), siswa S4 mengalami

    mislogical construction. Kesalahan utamanya yaitu ketika Ia menganggap bahwa ukuran tinggi

    segitiga adalah tiga kali ukuran panjang BD, yaitu 6 cm. Hal ini mengakibatkan juga terjadinya

    lubang konstruksi, yaitu seharusnya siswa mengonstruksi panjang OC untuk mencari ukuran tinggi

    segitiga menggunakan teorema pythagoras. Karena terdapat skema yang belum terkonstruksi, struktur

    berpikir S4 juga mengalami lubang konstruksi. Struktur berpikir siswa S4 dalam menyelesaikan

    masalah tersaji dalam Gambar 6.

    Keterangan:

    Kode Penjelasan

    MG Masalah Geometri

    SL Setengah Lingkaran

    D Diameter

    BD Panjang ABC Segitiga Siku-siku ABC

    SAB Sisi AB Panjang AD Panjang BC Panjang LS Luas Segitiga yang Diarsir

    LK Lubang Konstruksi

    MC Mislogical Construction

    Gambar 6. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S4

    Deskripsi Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S5 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri

    Siswa S5 tergolong dalam kelompok siswa berkemampuan rendah. Dalam menyelesaikan

    masalah yang diberikan, siswa S5 telah mampu ngasimilasi informasi yang diketahi, yaitu mengetahui

    bahwa yang diketahui adalah setengah lingkaran dengan diameter 10 cm dan luas yang dicari adalah

    luas segitiga siku-siku. Namun, siswa S5 gagal mengakomodasi strategi untuk menemukan panjang

    BC. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan siswa S5:

    P : coba, kamu jelaskan lagi, kamu kemarin gimana ngerjakannya?

    S5: pertama saya mencari luas lingkaran, yaitu pi kali r kali r dikali setengah

    P : sehingga ketemunya.....

    S5 : 39, 25

    MG

    SL

    BD

    AB

    Selesai

    AD

    ABC

    SAB

    D

    BC LS

    LK

    MC

  • Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,

    Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur

    22

    P : trus selanjutnya mau cari apa ini?

    S5 : trus waktu tu saya pengen cari yang ini [menunjuk daerah setengah lingkaran]

    P : nah itu carinya gimana?

    S5 : pi kali r kali r kali setengah, lalu ketemunya 6,28

    P : trus kemudian, ini mencari apa ini? Itu gimana?

    S5 : mencari nilai ini [Luas Setengah Lingkaran] dikurangi ini [Luas daerah BCD] hasilnya 32, 87,

    trus kayak pindah ruas gitu. Sehingga ketemu 4, 10 875

    P : jadi luasnya adalah.....

    S5 : 8 kali 4 sama dengan 32

    Berdasarkan wawancara di atas, siswa S5 mengalami mislogical construction dan lubang konstruksi.

    Mislogical construction terjadi ketika S5 menentukan BC dengan mencari luas-luas setengah

    lingkaran. Mislogical pertama, S5 menganggap daerah yang dibatasi titik BCD merupakan setengah

    lingkaran, selanjutnya luas setengah lingkatan dikurangi dengan luas daerah BCD untuk mencari BC.

    Hal ini mengahsilkan BC adalah 4, namun logika untuk menemukannya tidak tepat. Dengan

  • ISBN: 978 602 1150 17 7

    23

    ditemukannya BC, terdapat skema yang belum terkonstruksi dalam struktur berpikir S5 sehingga

    mengakibatkan lubang konstruksi. Berikut struktur berpikir siswa dalam menonstruksi penyelesaian

    masaalah tersaji dalam Gambar 6.

    Keterangan

    Kode Penjelasan

    MG Masalah Geometri

    SL Setengah Lingkaran

    D Diameter

    BD Panjang ABC Segitiga Siku-siku ABC

    SAB Sisi AB Panjang AD Panjang BC Panjang LSL Luas Setengah Lingkaran

    R Jari-jari

    LBCD Luas daerah yang dibatasi

    BCD

    LS Luas Segitiga yang

    Diarsir

    LK Lubang Konstruksi

    MC Mislogical Construction

    Gambar 6. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S5

    Deskripsi Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S6 dalam Menyelesaikan Masalah Geometri

    Siswa S6 tergolong siswa kelompok rendah. Siswa S6 memiliki skema yang cukup namun

    prosedur pengerjaannya masih salah. S6 mampu mencoba menyelesaikan masalah, namun tidak

    mampu menjelaskan langkah maupun menjastifikasi langkah penyelesaian masalah yang dibuat.

    Berikut wawancara peneliti dengan Siswa S6:

    P : cara menemukan jawaban ini gimana?

    S6 : ngawur, Pak

    P : Coba kamu jelaskan gimana coba?

    S6 : awalnya nyari luas lingkarannya ini dulu [Luas Setengah Lingkaran],

    MG

    SL

    BD

    BC

    LS

    Selesai

    R LBCD

    D

    LSL

    SS

    SAB

    AB

    LK MC

  • Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,

    Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur

    24

    P : terus kemudian cari apa lagi?

    S6 : trus cari panjang AC, yaitu pakai pythagoras

    P : caranya gimana ini.......? ketemunya berapa?

    S6 : 9

    P : kalo udah ketemu AC 9, luasnya berarti?

    S6 : alas kali tinggi, yaitu ............

    P : 4 ini dapat dari mana?

    S6 : gak tau, ngawur aja .....

    Apabila dikaitkan dengan teori kesalahan konstruksi, Siswa S6 mengalamai mislogical construction

    dan lubang konstruksi. Mislogical construction terjadi ketika Ia hendak menentukan BC. S6

    menjawab ngawur untuk menentukan BC adalah 4, namun meuliskan BC adalah dua kali BD ketika

    hendak menentukan AC. Setelah BC ditemukan, S6 langsung menentukan luas segitiga, padahal

    terdapat skema pengonstruksi penyelesaian masalah belum ada. Hal ini menyebabkan struktur

    berpikir S6 mengalami lubang konstruksi. Struktur berpikir S6 disajikan dalam Gambar 7.

    Keterangan

    Kode Penjelasan

    MG Masalah Geometri

    SL Setengah Lingkaran

    D Diameter

    BD Panjang ABC Segitiga Siku-siku ABC

    SAB Sisi AB Panjang AD Panjang BC Panjang AC Panjang LSL Luas Setengah

    Lingkaran

    LS Luas Segitiga yang

    Diarsir

    LK Lubang Konstruksi

    MC Mislogical Construction

    Gambar 6. Letak Kesalahan Struktur Berpikir Siswa S6

    MG

    SL

    BD

    AB

    LS

    Selesai

    AD

    ABC

    SAB

    D

    BC

    AC

    LSL

    LK

    MC

  • ISBN: 978 602 1150 17 7

    25

    Pembahasan

    Stacey (2015) menyatakan Students will always tend to work with what they are given rather

    than introduce new things into the problem, yaitu siswa akan selalu bekerja dengan apa yang telah

    diketahui daripada mengenali hal baru dalam masalah. Hal tersebut terjadi pada subjek S1 hingga S6.

    Mereka sebatas melihat dan mengadaptasi penyelesaian masalah berdasarkan keterangan yang telah

    diketahui dalam masalah. Dalam hal ini, mereka berhasil mengasimilasi namun gagal dalam

    mengakomodasi hal-hal yang telah mereka ketahui dalam masalah. Akhirnya, mereka tidak dapat

    menyelesaikan masalah dengan tepat.

    Semua subjek tidak dapat menyelesaikan masalah karena struktur berpikir mereka mengalami

    kesalahan. Pertama, mereka tidak menggunakan logika yang tepat ketika hendak menentukan salah

    satu skema penyusun konstruksi masalah. Dengan demikian, mereka mengalami misogical

    construction (Subanji, 2015). S1 menentukan BC dari AD (diameter setengah lingkaran) yaitu

    berasumsi bahwa BC adalah setengah dari AD, sehingga mendapatkan BC bernilai 5 cm. S2

    berpendapat bahwa luas setengah lingkaran dikuragi dengan segitiga yang diarsir merupakan prosedur

    untuk menyelesaikan masalah, meskipun gagal dalam menemukan luas segitiga yang dimaksud. S3

    beranggapan bahwa BC sama dengan panjang jari-jari lingkaran. S4 berasumsi bahwa BC adalah tiga

    kali panjang BD yaitu tiga kali 2 menghasilkan 6. S5 berargumentasi bahwa untuk mencari BC, ia

    perlu menemukan luas setengah lingkaran dan luas bagian BCD, selanjutnya dikurangkan. Hasil

    pengurangan tersebut sama dengan luas segitiga yang dimaksud. S 6 beranggapan bahwa BC adalah

    dua kali BD sehingga didapatkan BC sama dengan 4 cm. Kesalahan logika yang dialami semua

    subjek tersebut mengakibatkan mereka tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tepat.

    Berikutnya, terdapat skema-skema pengonstruksi penyelesaian masalah yang belum ada.

    Subanji (2015) menyebut adanya lubang konstruksi dalam struktur berpikir subjek. Mereka perlu

    adanya skema pusat lingkaran (misalkan O), OC, segitiga siku-siku OBC, dan teorema phytagras,

    untuk dapat menentukan BC. Setelah ditemukannya BC, mereka dapat merajutnya dengan AB yang

    berhasil ditemukannya sehingga mendapatkan luas daerah yang diinginkan.

    Skemp (1976) mengungkapkan gagasan pemahaman instrumental dan relasional.

    Permasalahan pada subjek tersebut negindikasikan bahwa mereka hanya mengandalkan pemahaman

    instrumentalnya dan kurang dalam menggunakan pemahaman relasional. Hal ini tampak bahwa

    mereka mampu dalam melakukan perhitungan namun tidak dapat berlogika dengan tepat dalam

    menentukan skema-skema pengonstruksi penyelesaian masalah. Sehingga, mereka mengalami

    mislogical construction dan lubang konstruksi yang berdampak pula pada kesalahan dalam konstruksi

    penyelesaian masalah yang diberikan.

    PENUTUP

    Berdasarkan hasil deskripsi didapatkan bahwa semua subjek mengalami mislogical

    construction dan lubang konstruksi. Lubang konstruksi terjadi ketika siswa mengalami kesalahan

    logikanya dalam menyelesaikan masalah. Lubang konstruksi terjadi karena terdapat skema tertentu

    yang belum ada dalam struktur berpikir siswa. Mislogical construction dan lubang konstruksi

    menyebabkan siswa mengalami kesalahan dalam menyelesaikan masalah yang diberikan.

    Berdasarkan kajian tersebut, siswa perlu adanya restrukturusisasi berpikir terhadap struktur-struktur

    berpikir yang mengalami kesalahan. Restrukturisasi berpikir tersebut dikenal dengan defragmenting

    (Nusantara & Subanji, 2015). Defragmenting adalah proses penataan ulang struktur berpikir siswa

    sehingga menjadi struktur berpikir yang lebih lengkap dalam menyelesaikan masalah yang diberikan.

  • Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,

    Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur

    26

    DAFTAR RUJUKAN

    Biber, Cagri, Tuna, Abdulkadir, & Korkmaz, Samet. 2013. The mistakes and the misconceptions of

    the eighth grade students on the subject of angles. European Journal of Science and

    Mathematics Education, 1(2): 50 59.

    Chinnappan, Mohan. 2003. Schema Construction among Pre-service Teachers and the Use of IT in

    Mathematics Teaching: A Case Study. Mathematics Teacher Education and Development,

    5 (2003): 32-44.

    Chinnappan, Mohan dan Thomas, Mike. 2003. Teachers Function Schemas and their Role in

    Modelling. Mathematics Education Research Journal, 15 (2): 151-170.

    Derry, Sharon J. 1996. Cognitive Schema Theory in the Constructivist Debate. Educational

    Psychologist, 31(3/4): 163 174 .

    NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. US: National Council of Teachers

    of Mathematics.

    Nunokawa, Kazuhiko. 2005. Mathematical problem solving and learning mathematics: What we

    expect students to obtain. Journal of Mathematical Behavior, 24 (2005):325340.

    Nusantara, Toto & Subanji. 2015. Defragmenting Proses Berpikir Matematik melalui Pemetaan

    Kognitif untuk Memperbaiki Kesalahan Matematika Siswa. Laporan Hibah Penelitian

    Pascasarjana (Hibah Pasca) UM. Malang: Lemlit UM

    Ozerem, Aysen. 2012. Misconceptions In Geometry And Suggested Solutions For Seventh Grade

    Students. Procedia Social and Behavioral Sciences 55 (2012): 720-729.

    Subanji. 2015. Teori Kesalahan Konstruksi Konsep dan Pemecahan Masalah Matematika. Malang:

    UM Press

  • ISBN: 978 602 1150 17 7

    27

    KOMUNIKASI MATEMATIS LISAN SISWA HOMESCHOOLING

    BERKEPRIBADIAN INTROVERT PADA MATERI OPERASI IRISAN DAN

    GABUNGAN DUA HIMPUNAN

    Fitri Umardiyah; Subanji; Dwiyana

    Universitas Negeri Malang

    [email protected]

    Abstrak: Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keadaan yang muncul di homeschooling

    dimana terdapat siswa yang dapat menjawab soal secara tertulis namun kurang dapat

    menjawab soal secara lisan. Komunikasi secara lisan erat kaitannya dengan kepribadian

    karena kepribadian mempengaruhi cara orang berkomunikasi. Tujuan dari penelitian ini

    adalah untuk mendeskripsikan komunikasi matematis lisan siswa Homeschooling

    berkepribadian introvert pada materi operasi irisan dan gabungan dua himpunan. Indikator

    untuk melihat komunikasi matematis lisan terdiri atas tiga hal yaitu 1) menyampaikan ide

    matematis kepada orang lain, 2) menggunakan bahasa / lambang matematika untuk

    menyampaikan ide matematis, 3) memberikan alasan dari jawaban yang telah dibuat, yang

    semuanya mencakup materi operasi irisan dan gabungan dua himpunan. Penelitian ini

    merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui pemberian

    tes kepribadian JEPQRS, observasi, dan wawancara. Berdasarkan hasil pemilihan subjek

    menggunakan tes JEPQRS, terpilih lima siswa introvert. Hasil observasi dan wawancara

    menunjukkan bahwa komunikasi matematis lisan sangat jarang dilakukan. Siswa lebih

    sering mengungkapkan ide melalui tulisan, kurang inisiatif dalam hal berkomunikasi secara

    lisan, menjelaskan diagram venn melalui tulisan, tidak bisa membaca notasi pembentuk

    himpunan dengan benar, dan memberikan alasan dari jawaban yang ia buat melalui tulisan.

    cenderung pasif, baru mengemukakan pendapat ketika ditanya, jawaban yang diberikan pun

    singkat dan lebih banyak menuliskan jawaban.

    Kata Kunci: komunikasi matematis lisan, homeschooling, introvert, materi operasi irisan

    dan gabungan dua himpunan

    Proses belajar mengajar merupakan penentu keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan.

    Siswa yang belajar diharapkan mengalami perubahan baik dalam bidang pengetahuan, pemahaman,

    ketrampilan, nilai dan sikap. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri setiap siswa memiliki karakter dan

    gaya belajar yang berbeda sehingga hasil belajarnya pun berbeda. Oleh sebab itu, sering muncul

    pembelajaran-pembelajaran yang menfasilitasi siswa sesuai dengan kadar kemampuan pemahaman

    dan hasil belajarnya. Selain itu, muncul pula alternatif lain berupa sekolah yang mengutamakan

    karakter, bakat dan minat siswa. Hal ini dikarenakan setiap siswa memiliki kemampuan berbeda.

    Salah satu pendidikan alternatif yang sekarang sedang ramai dibicarakan adalah

    homeschooling. Homeschooling semakin diakui keberadaannya ketika pemerintah memberikan

    kebijakan bahwa pendidikan yang dilakukan keluarga dan lingkungan termasuk dalam pendidikan

    jalur informal. Beberapa anak mampu berkembang optimal di sekolah, namun sebagian mengalami

    kegagalan. Menurut Korkmaz (2013), faktor yang mempengaruhi seseorang beralih ke homeschooling

    adalah faktor perbedaan gender , faktor sosial, dan faktor ekonomi.

    Seiring digalakkannya pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan keaktivan siswa,

    pembelajaran didesain dalam diskusi kelompok. Dengan pembelajaran kooperatif, siswa tidak hanya

    mengomunikasikan ide-idenya sendiri melainkan juga mengomunikasikan ide dengan teman yang

    lain. Akan sangat berbeda jauh dengan sistem pembelaran di homeschooling yang lebih

    mengutamakan belajar individu satu guru-satu siswa. Proses interaksi berpikir siswa homeschooling

    hanya dengan guru. Siswa mendapat perhatian khusus dalam pembelajaran. Adakalanya dengan

  • Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,

    Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur

    28

    perhatian khusus yang diberikan dapat meningkatkan kemampuan siswa, namun disisi lain muncul

    suatu problematika tentang proses komunikasi dalam pembelajaran.

    Seringkali guru merasa kesal terhadap siswa yang susah diatur, siswa yang banyak

    bertanya, siswa yang bersikap dingin, siswa yang tidak pernah bertanya, ataupun siswa yang

    bersikap keras hati, dan sebagainya. Kekesalan guru tersebut pada dasarnya disebabkan oleh

    ketidaktahuan guru terhadap tipe kepribadian para siswa, sehingga guru merasa kesal dengan

    sikap siswa yang tidak sesuai dengan keinginan guru, kemudian memarahi, tanpa memahami,

    dan tanpa memberikan solusi yang sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan siswa

    (Suhadianto: 2009).

    Siswa introvert mengacu pada siswa yang yang memiliki kecenderungan tingkah laku serta

    sifat-sifat yang tertutup, dan kurang suka bersosialisasi. Eysenck (dalam Feist, J. dan Feist, G.,

    2010:413) mengemukakan individu yang termasuk dalam tipe introvert adalah individu yang selalu

    mengarahkan pandangannya pada dirinya sendiri. Seluruh perhatian diarahkan kedalam hidup jiwanya

    sendiri. Tingkah lakunya terutama ditentukan oleh apa yang terjadi dalam pribadinya sendiri.

    Sedangkan dunia luar baginya tidak banyak berarti dalam penentuan tingkah lakunya, sebab itu

    individu dengan tipe ini kerapkali jarang mengadakan kontak dengan lingkungan sekelilingnya.

    Dalam pembelajaran, guru harus sering mendekati siswa yang pemalu dari waktu ke waktu

    dengan cara yang lembut, dan berpengaruh agar mereka memperoleh rasa percaya diri (Hanley ,

    2005). Siswa harus mendapat perhatian dari guru sesuai dengan porsi kebutuhannya. Dengan begitu

    siswa yang berkepribadian introvert akan merasa terpenuhi rasa kenyamanan dalam belajar dan tidak

    minder terhadap teman yang lain. Homeschooling dapat enjadi alternatif bagi siswa introvert karena

    pembelajaran berlangsung dengan sestem satu guruuntuk satu siswa sehingga siswa introvert

    mendapatkan perhatian yang penuh.

    Komunikasi matematis merupakan hal yang sangat diperlukan untuk mempelajari

    bahasa dan simbol-simbol matematika. Selain dari itu, komunikasi matematika juga dapat

    melatih siswa untuk mengemukakan pendapat secara jujur, fakta dan rasional. Berbagi ide

    dan wawasan dilakukan dengan maksud memperdalam pemahaman matematika siswa

    (Brendefur dan Frykholim, 2004). Dalam pembelajaran, siswa sering kali menuliskan

    pemikirannya dengan bahasa mereka.

    Materi himpunan dipilih karena merupakan materi mendasar yang menjadi dasar dasar

    dari materi lainnya. Himpunan disajikan dalam beberapa cara, seperti menyatakan dengan

    kalimat, notasi pembentuk himpunan dan mendaftar anggota-anggotanya. Dengan

    menyajikan himpunan dalam bentuk notasi matematika maka akan tampak komunikasi

    matematis siswa dalam menuliskan simbol-simbol matematika. Pada materi himpunan

    terdapat suatu hubungan antara menyatakan bahasa sehari ke dalam simbol matematika.

    Materi yang akan dijadikan bahan penelitian difokuskan pada operasi irisan dan

    gabungan dua himpunan. Pada materi operasi irisan dan gabungan dua himpunan terdapat

    konsep yang menggunakan simbol matematika yaitu berupa notasi himpunan, diagram venn

    sebagai salah satu representasi himpunan, dan penerapan operasi irisan dan gabungan dalam

    kehidupan nyata. Dengan materi tersebut dapat dilihat komunikasi matematis yang meliputi

    penggunaan simbol matematis dan penerapan dalam kehidupan nyata.

    Komunikasi matematis dapat dilihat melalui indikator yang dibuat. Komunikasi

    matematis lisan siswa homeschooling terjadi antara siswa dengan guru. Indikator komunikasi

    matematis yang digunakan adalah sebagai berikut.

  • ISBN: 978 602 1150 17 7

    29

    Indikator komunikasi matematis lisan

    a. Menyampaikan ide matematis kepada orang lain

    b. Menggunakan bahasa / lambang matematika untuk menyampaikan ide matematis

    c. Memberikan alasan dari jawaban yang telah dibuat

    METODE PENELITIAN

    Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif . Penelitian ini

    merupakan jenis penelitian deskriptif. Penelitian ini bermula dari penggalian data berupa informasi

    dalam bentuk cerita rinci atau asli yang diungkapkan apa adanya sesuai dengan bahasa dan

    pandangan subjek penelitian. Hal yang dideskripsikan dalam penelitian ini adalah komunikasi

    matematis siswa homeschooling berkepribadian introvert pada materi operasi irisan dan gabungan

    dua himpunan melalui subjek penelitian. Pendeskripsian ini ditelusuri melalui observasi terhadap

    subjek penelitian dalam pembelajaran matematika. Pendeskripsian ini juga dilakukan dengan

    memberikan tes tulis dan melakukan wawancara terstruktur kepada subjek penelitian.

    Peneliti berperan sebagai perencana, pengumpul data (observasi, proses pembelajaran,

    pemberian tes, dan pelaksanaan wawancara), penganalisis data, dan pelapor hasil penelitian. Pada

    penelitian ini, peran peneliti bersifat observasi partisipatif karena peneliti sebagai observer sekaligus

    sebagai guru. Dengan kata lain, peneliti menjadi insrumen utama dalam penelitian. Penelitian ini

    dilaksanakan di Homeschooling Primagama Malang, Jl.Candi Mendut Barat C17 Kota Malang.

    Instrumen pendukung dalam penelitian ini meliputi tes kepribadian, lembar observasi, tes, dan

    pedoman wawancara.

    1. Tes kepribadian

    2. Lembar observasi

    3. Tes

    4. Pedoman wawancara

    Pada proses pengumpulan data,peneliti melakukan tahap 1) pemilihan subjek penelitian, 2)

    observasi pembelajaran, 3) pemberian tes tulis, 4) pelaksanaan wawancara. Subjek yang dipilih adalah

    siswa Homeschooling Primagama Malang kelas VII yang berkepribadian introvert. Siswa kelas VII di

    Homeschooling Primagama Malang belum mendapatkan materi himpunan pada semester ganjil

    karena kurikulum di Homeschooling Primagama Malang masih menggunakan Kurikulum 2006.

    Subjek memperoleh materi himpunan pertama kali pada saat penelitian dilakukan.

    Peneliti melakukan observasi di Homeschooling Primagama Malang untuk mencari informasi

    adanya siswa introvert. Peneliti mengadakan tes kepribadian kepada siswa kelas VII untuk

    mengetahui kepribadian ekstrovert-introvert. Tes kepribadian yang digunakan diadaptasi dari angket

    JEPQR-S (Junior Eysenck Personality Questionare Revised- Short form). Berdasarkan hasil tes

    kepribadian, dipilih siswa yang berkepribadian introvert. Berdasarkan informasi dari kepala sekolah

    Homeschooling Primagama Malang, seluruh siswa kelas VII tidak ada yang tuna wicara. Informasi

    tersebut sebagai dasar bahwa siswa yang menjadi subjek penelitian dapat diteliti komunikasi

    matematis lisannya. Langkah yang dilakukan setelah memperoleh data valid dari lapangan adalah

    melakukan proses analisis data. Aktivitas dalam analisis data meliputi reduksi data, penyajian data,

    dan penarikan kesimpulan. Teknik pengecekan keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah triangulasi. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi teknik dan triangulasi sumber

    untuk mengecek keabsahan data.

  • Prosiding Seminar Nasional Pendidik dan Pengembang Pendidikan Indonesia yang Diselenggarakan oleh APPPI,

    Dinas Pendidikan Kota Batu, dan PGRI Kota Batu pada 21 Mei 2016 di Kota Batu, Jawa Timur

    30

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    a. Hasil Pengembangan Instrumen

    Peneliti mengembangkan instrumen sebelum melakukan pengambilan data. Instrumen yang

    digunakan dalam penelitian adalah tes kepribadian, lembar observasi, dan pedoman wawancara.

    Peneliti mengembangkan instrumen pada bulan Januari-Februari 2016. Instrumen yang dibuat peneliti

    terlebih dahulu divalidasi ke para ahli sebelum digunakan untuk penelitian di lapangan.

    Subjek dalam penelitian dipilih berdasarkan hasil tes kepribadian. Tes kepribadian yang

    digunakan diadaptasi dari angket JEPQRS (Junior Eysenck Personality Questionare Revised- Short

    form). Tes terdiri atas 24 soal dimana 12 item untuk menguji kebohongan siswa dan 12 item untuk

    mengetahui tingkat ekstroversi. Proses adaptasi angket JPEQRS mempertimbangkan tiga faktor yaitu

    kebahasaan, usia siswa, kondisi lingkungan di Indonesia.

    Item kebohongan terdapat pada nomor 2,4,6,8,10,12,14,16,18, dan 20. Item ekstraversi

    terdapat pada nomor 1,3,5,7,9,11,13,15,17,19,21, dan 23. Setiap jawaban iya diberi skor 1 dan

    jawaban tidak diberi skor 0, kecuali pada item bertanda * diberi skor yang berkebalikan. Apabila

    skor kebohongan maka subjek tersebut terindikasi bohong dan harus mengulang tes. Jika skor

    pada item ekstraversi maka siswa tersebut termasuk siswa cenderung introvert.

    Peneliti melakukan observasi terhadap performa subjek pada pelaksanaan pembelajaran.

    Peneliti menggunakan lembar observasi sebagai pedoman hal apa saja yang harus diobservasi. Untuk

    keperluan tersebut, peneliti mengembangkan instrumen lembar observasi. Sesuai dengan indikator

    komunikasi matematis tulis dan lisan, peneliti mengembangkan lima aspek untuk mendukung

    kegiatan observasi pembelajaran yaitu sebagai berikut.

    Cara siswa menyatakan himpunan dalam diagram Venn

    Cara siswa menyatakan himpunan dalam notasi pembentuk himpunan

    Tindakan siswa ketika ia butuh bantuan

    Cara siswa menyampaikan respon terhadap pertanyaan guru

    Cara siswa memberikan alasan terhadap jawaban yang dibuat

    Masing-masing aspek dilengkapi dengan rumusan performa siswa. Observer dapat memberi tanda

    pada performa yang muncul. Apabila ada kejadian di lapangan yang diluar dugaan, observer dapat

    menambahkan keterangan pada kolom catatan.

    Wawancara dilakukan dengan tujuan mengetahui komunikasi matematis lisan siswa.

    Pertanyaan wawancara harus sesuai dengan fokus penelitian. Oleh karena hal tersebut, peneliti

    membuat pedoman wawancara sebagai acuan dalam memberikan pertanyaan kepada subjek

    penelitian. Pedoman wawancara memuat item pertanyaan yang dapat mengungkap indikator

    komunikasi matematis lisan dan sesuai dengan materi. Pengembangan pedoman wawancara

    memperhatikan lima hal sebagai berikut.siswa. Pengembangan pedoman wawancara memperhatikan

    empat hal sebagai berikut.

    Kepribadian introvert

    Kemungkinan jawaban muncul

    Pertanyaan pelacak apabila siswa tidak bisa menjawab

    Pertanyaan lanjutan

    Bisa mengungkap komunikasi lisan (sesuai indikator)

    Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini tersaji pada lampiran.

    b. Hasil Pengambilan Data

    Subjek penelitian merupakan elemen penting dalam sebuah penelitian. Peneliti melakukan

    pemilihan subjek dengan memberikan tes kepribadian kepada siswa Homeschooling kelas VII pada 18

    Februari 2016 pada saat mereka berkumpul di kantor untuk mengikuti kelas psikologi. Siswa yang

    mengerjakan tes sebanyak 11siswa.

  • ISBN: 978 602 1150 17 7

    31

    Sistem penskoran terbagi menjadi dua, yaitu untuk menilai kebohongan dan tingkat

    ekstroversi. Skor kebohongan yang 6 mengindikasikan bahwa siswa bohong dan tes harus diulang.

    Skor ekstroversi yang < 6 menunjukkan bahwa siswa mempunyai kepribadian introvert. Hasil tes

    kepribadian di sajikan dalam tabel 1. Siswa yang dipilih sebagai subjek penelitian adalah siswa yang

    tidak bohong dan memiliki kepribadian introvert dengan skor relatif rendah sebanyak lima siswa.

    Tabel 1. Hasil Tes Kepribadian

    No Siswa

    Skor Kesimpulan

    Skor

    Kebohongan

    Skor

    Ekstroversi

    Bohong/

    Tidak

    Ekstrovert/

    Introvert

    1 Siswa 1 (YW) 5 3 Tidak Bohong Introvert

    2 Siswa 2 4 5 Tidak Bohong Introvert

    3 Siswa 3 4 5 Tidak Bohong Introvert

    4 Siswa 4 7 3 Bohong -

    5 Siswa 5 5 9 Tidak Bohong Ekstrovert

    6 Siswa 6 (JS) 5 2 Tidak Bohong Introvert

    7 Siswa 7 4 8 Tidak Bohong Ekstrovert

    8 Siswa 8 (RC) 4 2 Tidak Bohong Introvert

    9 Siswa 9 (VA) 4 3 Tidak Bohong Introvert

    10 Siswa 10 (EA) 4 2 Tidak Bohong Introvert

    11 Siswa 11 4 4 Tidak Bohong Introvert

    Keterangan : Siswa yang terpilih sebagai subjek penelitian adalah siswa yang bertanda merah. Subjek

    akan disebut sesuai dengan inisial

    Setelah subjek terpilih, peneliti mengobservasi siswa selama pembelajaran, kemudian peneliti

    melakukan wawancara untuk mengungkap lebih mendetail tentang komunikasi lisan.

    1. YW

    YW belum bisa menggambarkan diagram Venn dengan sempurna. YW tidak membuat kotak

    dan tidak menuliskan semesta himpunannya. Penamaan diagram Venn masih belum konsisten karena

    terkadang menggunakan huruf kapital, huruf kecil, bahkan digunakan bersamaan. YW menyertakan

    tanda titik didekat bilangan untuk menunjukkan anggota himpunan.

    Membuat notasi pembentuk himpunan merupakan hal yang sulit bagi YW. Dia masih perlu

    diingatkan untuk membuat kurung kurawal sebelum menuliskan himpunan. YW jarang menggunakan

    simbol-simbol matematis seperti lebih sering menggunakan kata elemen daripada simbol . YW

    sering terbalik dalam menuliskan simbol irisan dan gabungan dan terbalik dalam menggunakan

    kurang dari dan lebih dari.

    YW masih kurang peka dalam menyadari apa yang ia bingungkan terhadap materi irisan dan

    gabungan dua himpunan. Dia mengetahui kalau dia merasa ada sesuatu yang hilang dalam skemanya,

    namun kurang cepat dalam menyadari. YW memberitahu guru bahwa dia kebingungan dan meminta

    diulang dari awal.

    Cara YW memberikan respon terhadap pertanyaan guru adalah dengan cara bertanya balik

    kepada guru karena belum mengerti secara jelas tentang maksud pertanyaan sekaligus untuk

    meyakinkan bahwa persepsi yang dia tangkap adalah benar. Setelah merasa pertanyaan jelas, YW

    meminta waktu untuk berpikir dulu kemudian menjawab. Apabila gur