proposal coba

23
PROPOSAL TUGAS AKHIR TL 4099 Studi Pemilihan Alternatif Teknologi Pengolahan Sampah TPA Kawasan Regional (Studi Kasus: TPA Legok Nangka) (Tugas Akhir: Penelitian Lapangan) Disusun Oleh: Aghnia Qinthari Nabilah (15311049) Topik ini telah dikonsultasikan dengan dosen Emenda Sembiring, S.T, M.T, MEngSc, Ph.D. PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2015

Upload: aghnia-qinthari

Post on 12-Apr-2016

50 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

sampah

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal Coba

PROPOSAL

TUGAS AKHIR

TL – 4099

Studi Pemilihan Alternatif Teknologi Pengolahan Sampah

TPA Kawasan Regional

(Studi Kasus: TPA Legok Nangka)

(Tugas Akhir: Penelitian Lapangan)

Disusun Oleh:

Aghnia Qinthari Nabilah

(15311049)

Topik ini telah dikonsultasikan dengan dosen Emenda Sembiring, S.T, M.T,

MEngSc, Ph.D.

PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2015

Page 2: Proposal Coba

I. Judul

Judul tugas akhir yang diajukan oleh penulis adalah Studi Pemilihan Alternatif

Teknologi Pengolahan Sampah TPA Kawasan Regional (Studi Kasus: TPA

Legok Nangka).

II. Latar Belakang

Sampah telah menjadi permasalahan di Kota Bandung sejak terjadi longsor di

TPA Leuwi Gajah pada Februari 2005 lalu. Sejak saat itu sampah Kota

Bandung tidak dapat dibuang ke TPA Leuwi Gajah sehingga menumpuk di

TPS bahkan di pinggir jalan, lahan kosong dan sungai. Hal ini menjadi pemicu

permasalahan sanitasi dan kesehatan. Tak ayal TPA Sarimukti menjadi sasaran

penampungan sampah Kota Bandung. Mulanya, Pemerintah Provinsi Jawa

Barat menetapkan izin operasional TPA Sarimukti hingga tahun 2013 namun

diperpanjang hingga tahun 2018. TPA Sarimukti kini telah kelebihan beban

sehingga dibutuhkan solusi untuk menangani permasalahan ini. (Sustaining

Partnership, 2011)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 pasal 26 ayat 1 tentang

Pengelolaan Sampah disebutkan bahwa pemerintah daerah dapat melakukan

kerja sama antarpemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan sampah.

Salah satu solusi permasalahan pengelolaan sampah adalah dengan mendirikan

TPA kawasan regional. TPA Legok Nangka yang berada di Desa Ciherang,

Kecamatan Nagreg, Kabupaten Bandung diharapkan dapat menjadi solusi bagi

permasalahan pengelolaan sampah di Jawa Barat. TPA Legok Nangka akan

menampung sampah dari Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung

Barat, dan Kabupaten Sumedang. Aspek pengolahan sampah merupakan poin

penting dalam pengeloaan sampah. Beberapa teknologi seperti sanitary landfill,

anaerobic digestion, gasifikasi, dan RDF (refused derived fuel) dapat menjadi

pilihan untuk diterapkan pada TPA Legok Nangka dengan tujuan mereduksi

timbulan sampah dan meningkatkan umur operasional TPA. Berdasarkan

permasalahan tersebut, diperlukan adanya suatu pendekatan ilmiah yang

digunakan untuk memutuskan alternatif teknologi pengolahan sampah di TPA

Page 3: Proposal Coba

Legok Nangka. Metode ilmiah yang digunakan dalam penentuan alternatif

teknologi pengolahan adalah metode analytical hierarchy process (AHP)

berdasarkan pendapat para pakar dan pemangku kepentingan di bidang

persampahan.

III. Maksud dan Tujuan

a. Maksud dari penelitian ini adalah untuk menentukan teknologi pengolahan

sampah untuk diterapkan di TPA Legok Nangka.

b.Tujuan:

Identifikasi alternatif teknologi pengolahan sampah untuk diterapkan di

TPA Legok Nangka.

Identifikasi kriteria-kriteria penilaian teknologi pengolahan sampah.

Menentukan alternatif teknologi pengolahan sampah yang tepat dengan

metode analytical hierarchy process.

IV. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah:

Data karakteristik sampah merupakan data sekunder.

Penelitian difokuskan untuk menentukan teknologi pengolahan sampah

antara lain sanitary landfill, anaerobic digestion, gasifikasi, dan RDF

(refused derived fuel).

Penilaian terhadap alternatif teknologi pengolahan berdasarkan pendapat

para pakar dan pemangku kepentingan di bidang persampahan.

Metode analytical hierarchy process digunakan untuk menentukan

alternatif teknologi pengolahan sampah.

V. Tinjauan Pustaka

5.1 Pengertian Sampah

Menurut WHO, sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak

dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan

manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Apabila sampah tidak dikelola

dengan baik, sampah sebagai sumber pencemar lingkungan akan

Page 4: Proposal Coba

menyebabkan berkembangnya bibit penyakit, menyumbat saluran air,

bahkan menyebabkan banjir. Selain itu timbunan sampah merusak

keindahan dan menimbulkan bau yang tidak sedap.

5.2 Pengelolaan Sampah

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008,

pengelolaan sampah adalah kegiatan sistematis, menyeluruh, dan

berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.

Kegiatan pengelolaan sampah meliputi pengurangan sampah (waste

minimization) dan penanganan sampah (waste handling).

Kegiatan pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan timbulan

sampah (reduce), pemanfaatan kembali sampah (reuse), dan pendauran

ulang sampah (recycle). Kegiatan penanganan sampah (waste handling)

meliputi beberapa hal sebagai berikut (Undang-Undang RI Nomor 18

Tahun 2008):

1. Pemilahan dalam bentuk pengelompokkan dan pemisahan sampah sesuai

dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah.

2. Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan dari sumber

sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan

sampah terpadu.

3. Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari

tempat penampungan sementara atau dari tempat pengolahan sampah

terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir.

4. Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik sampah, komposisi

sampah, dan jumlah sampah.

5. Pemrosesan akhir dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu

hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.

Page 5: Proposal Coba

5.3 Stakeholders dalam Pengelolaan Sampah Kota

Berdasarkan pelaksanaan dan pengelolaan fasilitas pengolahan sampah

tidak terlepas dari peranan institusi pengelola. Berikut ini merupakan

beberapa bentuk institusi pengelolaan persampahan kota yang dianut

Indonesia (Damanhuri, 2010).

Seksi Kebersihan di bawah suatu dinas.

Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) di bawah suatu dinas.

Dinas Kebersihan.

Perusahaan Daerah Kebersihan.

Dalam pengelolaan sampah skala regional, banyak pihak-pihak

(stakeholders) yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Setiap pihak ini berperan dengan posisinya masing-masing. Stakeholders

utama yang biasa terlibat dalam sistem pengelolaan persampahan

Indonesia antara lain:

Sektor formal

1) Pengelola kawasan, yang dapat bertindak sebagai pengelola

sampah.

2) Masyarakat atau instansi penghasil sampah yang menggantungkan

penanganan sampahnya pada sistem yang berlaku.

3) Instansi non-pemerintah yang bergerak dalam pengelolaan sampah,

termasuk aktivitas daur ulang, seperti swasta, LSM, pengelola real

estate, dan sebagainya, yang aktivitasnya berkoordinasi dengan

pengelola sampah.

Sektor informal

1) Masyarakat yang bertindak secara individu dalam penangan sampah

secara langsung maupun tidak langsung.

2) Instansi yang tertarik dan peduli dengan persoalan persampahan.

5.4 Pengolahan Sampah

Salah satu cara mengurangi timbulan sampah di perkotaan adalah dengan

melakukan pengolahan sampah. Saat ini reduksi sampah hanya dilakukan

Page 6: Proposal Coba

melalui kegiatan pemulungan sampah yang dilakukan oleh sektor informal

(pemulung). Program daur ulang sampah di Indonesia belum cukup untuk

mengurangi laju pertambahan timbulan sampah yang akan meningkat setiap

tahun. Penerapan teknologi pengolahan sampah ramah lingkungan sudah

saatnya dimulai sehingga dapat mengurangi jumlah sampah yang dibuang

ke lahan pembuangan akhir. Beberapa teknologi konversi sampah menjadi

energi seperti metode sanitary landfill, anaerobic digestion, gasifikasi, dan

refused derived fuel (RDF) dapat diaplikasikan untuk pengolahan sampah

skala regional.

Sanitary Landfill

Sistem pembuangan akhir sampah merupakan sistem terakhir dalam

rangkaian sistem pengelolaan sampah. Selain itu pembuangan air adalah

prasarana yang harus tersedia karena pilihan teknologi apapun selalu

membutuhkan lahan untuk membuang sisa hasil prosesnya. Sistem

pembuangan akhir sampah terdiri atas beberapa tahapan sebagai berikut

(Bagchi, 2004):

1. Pembongkaran sampah dari kendaraan pengangkut.

2. Penyebaran dan perataan sampah dengan alat pendorong (dozer).

3. Pemadatan sampah dengan alat pemadat.

4. Penutupan sampah dengan tanah.

Metode sanitary landfill merupakan lahan urug yang telah

memperhatikan aspek sanitasi lingkungan. Sampah diletakkan pada

lokasi cekung, kemudian sampah dihamparkan lalu dipadatkan untuk

kemudian dilapisi dengan tanah penutup harian setiap hari akhir operasi

dan dipadatkan kembali setebal 10-15% dari ketebalan lapisan sampah

untuk mencegah berkembangnya vektor penyakit, penyebaran debu, dan

sampah ringan yang dapat mencemari lingkungan sekitarnya. Lalu pada

bagian atas timbunan tanah penutup harian tersebut dapat dihamparkan

lagi sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah penutup harian.

Demikian seterusnya hingga terbentuk lapisan-lapisan sampah dan tanah.

Page 7: Proposal Coba

Bagian dasar konstruksi sanitary landfill dibuat lapisan kedap air, yang

dilengkapi dengan pipa pengumpul dan penyalur air lindi yang terbentuk

dari proses penguraian sampah organik. Terdapat juga saluran penyalur

gas untuk mengolah metan yang dihasilkan dari proses degradasi limbah

organik.

Sistem ini dilengkapi dengan sistem pengamanan gas metan dan

pengamanan lindi. Gas metan adalah gas yang mudah terbakar dan

meledak, jika tidak dikendalikan akan membahayakan masyarakat di

sekitarnya. Untuk mengendalikan pengumpulan gas tersebut, di dasar

lahan urug dibuat sistem jaringan pipa atau batu koral untuk aliran

pelepasan gas metan ke udara. Jika volume sampah yang diurug sangat

besar, maka gas metan dibakar pada setiap ujung pelepasannya lalu

dikonversi menjadi tenaga listrik. Demikian juga dengan lindi, karena

adalnya proses pembusukan pada sampah, maka lindi dari sampah

tersebut perlu dilakukan pengamanan untuk menghidari pencemaran di

lingkungan sekitar. Lindi yang keluar dari dasar TPA dilakukan

pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke saluran terbuka. Lindi

memiliki karakteristik sangat pekat, mempercepat karat, memiliki nilai

COD dan BOD sangat tinggi serta mengandung bahan beracun dan

berbahaya.

Anaerobic Digestion

Anaerobic digestion merupakan teknologi konversi biomassa yang

dapat merubah sampah organik menjadi gas dengan bantuan mikroba

anaerob. Proses biogas menghasilkan gas metana, karbon dioksida, dan

padatan yang kaya kandungan organik. Produk dari digester berupa gas

metana dapat dibakar dengan nilai kalor sekitar 6500 kJ/Nm3. Proses

mekanisme pembentukan energi listrik dari anaerobic digester

ditampilkan pada Gambar 1.

Page 8: Proposal Coba

Gambar 1. Mekanisme Pengolahan Anaerobic Digestion

Proses anaerobic digestion terdiri dari tiga tahap, yaitu:

1) Hidrolisa

Tahap hidrolisa merupakan tahap persiapan dimana senyawa

kompleks organik diuraikan menjadi molekul sederhana seperti

reaksi di bawah ini.

(C6H10O5)n + nH2O n(C6H12O6)

Senyawa yang termasuk tipe ini adalah glukosa, senyawa asam

organik, dan etanol yang dimanfaatkan sebagai sumber karbon dalam

energi untuk melakukan fermentasi. Proses hidrolisa merupakan

tahapan penting dalam pengolahan limbah dengan kandungan

organik tinggi dan membutuhkan waktu cukup lama sehingga untuk

mempercepat proses digunakan reagen kimia.

2) Asidogenesis

Senyawa organik hasil dari proses hidrolisa dicerna oleh bakteri

acetogen menjadi asam lemak yang mudah menguap misal asam

laktat, butirat, dan propionate. Pada proses ini juga terbentuk gas

karbon dioksida dan hidrogen, sehingga pada dasarnya tahap

asidifikasi tidak terjadi reduksi COD. Bakteri acetogen relatif tahan

terhadap perubahan pH dan temperatur serta memiliki pertumbuhan

relatif cepat dibandingkan dengan bakteri metanogen.

Page 9: Proposal Coba

Berikut adalah senyawa hasil pembentukan melalui proses

asidogenesis:

C2H12O6 CH3CH2COOH + 2CO2 (Asam propionat)

C6H12O2 CH3COOH (Asam asetat)

3) Metanogenesis

Pada tahap ini metana diproduksi oleh bakteri pembentuk gas metana

dengan memecah molekul asam asetat untuk membentuk CO2 dan

metana serta mereduksi CO2 dengan hidrogen. Bakteri metanogen

bersifat anaerob dan peka terhadap perubahan pH, temperatur, dan

konsentrasi. Reaksi yang terjadi pada tahap metanogenesis adalah:

4H2 + CO2 CH4 + 2H2O

4HCOOH CH4 + 3CO2 + 2H2O

CH3COOH CH4 + CO2

CH3CH2COOH + 1/2H2O 7/4CH4 + CO2

4CH3OH 3CH4 + CO2 +H2O

CH3(CH2)2COOH + 2H2O + CO2 CH3COOH + CH4

4CO + 2H2O CH4 + 3CO

Gasifikasi

Gasifikasi adalah proses perubahan limbah padat secara termokimia

menjadi gas. Perbedaan gasifikasi dengan pembakaran terletak pada

jumlah oksigen yang digunakan dalam proses serta produk yang

dihasilkan. Proses pembakaran menggunakan oksigen yang melebihi

kebutuhan stoikiometrik, selain itu produk yang dihasilkan berupa energi

panas dan gas yang tidak terbakar. Sementara itu, proses gasifikasi

sangat bergantung pada reaksi kimia yang terjadi pada temperatur di atas

700°C. Produk gas yang dihasilkan pada proses gasifikasi antara lain

karbon monoksida (CO), metana (CH4), dan hidrogen (H2) dengan

mereaksikan bahan baku pada temperatur tinggi dengan jumlah oksigen

yang diatur. Tujuan dari proses ini adalah untuk mengubah unsur-unsur

pokok dari bahan bakar yang digunakan ke dalam bentuk gas yang lebih

Page 10: Proposal Coba

mudah dibakar, sehingga hanya menyisakan abu dan sisa-sisa material

yang tidak terbakar (inert).

Proses gasifikasi terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah

pirolisis yang terjadi ketika biomassa mulai mengalami kenaikan

temperatur. Pada tahap ini volatil yang terkandung pada limbah terlepas

dan menghasilkan arang (char).

Tahapan kedua adalah terjadinya proses pembakaran (combustion). Pada

tahapan ini volatil dan sebagian arang yang memiliki kandungan karbon

C bereaksi dengan oksigen membentuk CO2 dan CO serta menghasilkan

panas yang digunakan pada tahap selanjutnya yaitu tahap gasifikasi.

Reaksi kimia yang terjadi pada tahap ini adalah:

Reaksi pembakaran C + ½ O2 CO

Reaksi Boudouars C + CO2 2CO

Tahapan berikutnya adalah tahap gasifikasi. Tahapan ini terjadi ketika

arang bereaksi dengan CO2 dan uap air yang menghasilkan gas CO dan

H2 yang merupakan produk yang diinginkan dari keseluruhan proses

gasifikasi. Reaksi kimia yang terjadi adalah:

Reaksi water gas C + H2O CO + H2

Tahapan tambahan dalam proses ini adalah tahap water shift reaction.

Melalui tahapan ini, reaksi termokimia yang terjadi di dalam reactor

gasifikasi mengalami keseimbangan. Sebagian CO yang terbentuk dalam

reaktor bereaksi dengan uap air dan membentuk CO2 dan H2. Reaksi

kimia yang terjadi adalah:

Reaksi water shift reaction CO + H2O CO2 + H2

Jika proses gasifikasi dapat dikendalikan sehingga temperatur reaksi

terjadi di bawah 1000°C, maka akan terjadi reaksi pembentukan CH4.

Hal ini terjadi ketika C bereaksi dengan H2.

Page 11: Proposal Coba

Selama proses gasifikasi reaksi kimia utama yang terjadi adalah

endotermis. Media yang umumnya digunakan dalam proses ini adalah

udara dan uap. Gas yang dihasilkan dari gasifikasi dengan menggunakan

udara mempunyai nilai kalor lebih rendah namun di sisi lain operasi

menjadi lebih sederhana. Berdasarkan arah aliran gas, reaktor gasifikasi

terbagi menjadi tiga, yaitu:

1.Updraft Gasifier

Pada reaktor gasifikasi tipe ini, zona pembakaran terletak di bawah

bahan bakar dan bergerak ke atas. Gas panas yang dihasilkan mengalir

ke atas melewati bahan bakar yang belum terbakar sementara bahan

bakar akan terus jatuh ke bawah.

2. Downdraft Gasifier

Pada tipe ini sumber panas terletak di bawah bahan bakar. Aliran

udara bergerak ke zona gasifikasi di bagian bawah yang menyebabkan

asap pirolisis yang dihasilkan melewati zona gasifikasi yang panas.

Hal ini membuat tar yang terkandung dalam asap terbakar, sehingga

gas yang dihasilkan oleh reaktor ini lebih bersih. Keuntungan reaktor

tipe ini adalah dapat digunakan untuk operasi gasifikasi secara

berkesinambungan dengan menambahkan bahan bakar melalui bagian

atas reaktor. Namun untuk operasi berkesinambungan dibutuhkan

sistem pengeluaran abu yang baik agar bahan bakar bisa terus

ditambahkan ke dalam reaktor.

3. Crossdraft Gasifier

Pada reaktor ini, aliran udara mengalir tegak lurus dengan arah gerak

zona pembakaran. Reaktor tipe ini memungkinkan operasi

berkesinambungan apabila memiliki sistem pengeluaran abu yang

baik.

Page 12: Proposal Coba

Refused Derived Fuel (RDF)

Refused Derived Fuel (RDF) adalah hasil dari pemilahan municipal solid

waste (MSW) berdasarkan fraksi yang dapat dibakar dan tidak dapat

dibakar. RDF biasanya didominasi oleh kertas, plastik, kayu, sisa

makanan, dan sampah kebun. Nilai kalor yang dimilki RDF lebih tinggi

daripada MSW yang tidak diolah, yaitu berada di kisaran 12-13 Mj/kg

(Cheremisinoff, 2003).

Komposisi MSW bervariasi dari berbagai tempat dan gaya hidup. MSW

yang belum diolah memiliki kadar air tinggi, nilai kalor rendah, dan

ukuran partikel heterogen. Hal tersebut menyebabkan penggunaan MSW

sebagai bahan bakar menjadi kurang menarik. Mengolah MSW menjadi

RDF memberikan banyak keuntungan. Keuntungan yang paling utama

adalah tingginya nilai kalor yang cenderung bersifat konstan, bentuk

fisik dan karakteristik yang homogen, kemudahan dalam penyimpanan

dan transportasi, rendahnya emisi polutan dan reduksi dari udara

berlebih saat pembakaran (Caputo & Pelagagge, 2002).

Karakteristik penting untuk RDF sebagai bahan bakar antara lain adalah

nilai kalor, kadar air, kadar abu, sulfur, dan kandungan klor. Menurut

Putri (2013), ada dua jenis material yang terdapat dalam RDF, material

dengan nilai kalor tinggi dan nilai kalor rendah. Material dengan nilai

kalor tinggi adalah produk kertas serta plastik dengan nilai kalor rata-rata

18600 J/g. Sedangkan bahan anorganik seperti kaca halus dan bahan

organik basah memiliki nilai kalor relatif rendah yaitu 10800 J/g. Jika

kedua material tersebut dicampur, nilai kalor RDF secara keseluruhan

akan menurun. Penghilangan material bahan kaca dan bahan organik

basah akan meningkatkan nilai kalor RDF sebesar 20%. Penurunan nilai

kalor dapat dikontrol melalui pengontrolan komposisi campuran.

Menurut Nithikul (2007), RDF berkualitas baik adalah RDF yang

memiliki nilai kalor tinggi dan konsentrasi senyawa toksik rendah,

Page 13: Proposal Coba

dalam hal ini logam berat dan klorin. Aspek kualitas tersebut

dipengaruhi oleh beberapa pihak, seperti produsen RDF, pengguna, dan

peraturan terkait.

5.4 Analaytical Hierarchy Process (AHP)

Analaytical Hierarchy Process (AHP) adalah suatu metode sederhana dan

fleksibel yang menampung kreativitas dalam perancangannya terhadap

suatu masalah (dibuat sesuai dengan masing-masing pemakai). Metode ini

menstrukstur masalah dalam bentuk hierarki dan memasukkan

pertimbangan-pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif.

Kekuatan AHP terletak pada rancangannya yang bersifat holistik yang

menggunakan logika, pertimbangan berdasarkan intuisi, data kuantitatif,

dan preferensi kualitatif (Saaty, 1991).

AHP merupakan filosofi untuk mengatur kompleksitas masalah san untuk

membuat keputusan mengenai alternatif terbaik untuk dipilih, bagaimana

mengalokasikan sumber daya yang langka, menyelesaikan konflik,

melakukan perencanaan, dan menganalisis biaya dan manfaat. Kekuatan

AHP terletak pada struktur hierarkinya sendiri yang memungkinkan

seseorang memasukkan semua faktor penting, nyata maupun tidak, dan

mengaturnya dari atas ke bawah mulai dengan yang penting ke tingkat

yang berisi alternatif untuk dipilih mana yang terbaik. Setiap masalah

dapat dirumuskan sebagai masalah keputusan berbentuk hierarki, kadang-

kadang dengan loop ketergantungan untuk menunjukkan bahwa beberapa

elemen bergantung pada yang lain dan pada saat yang sama yang lain

bergantung padanya. Elemen-elemen dalam setiap tingkat digunakan

sebagai sifat bersama untuk membandingkan elemen-elemen yang berada

setingkat di bawahnya. Dalam memecahkan persoalan dengan analisis

logis eksplisit, ada tiga prinsip yaitu prinsip penyusunan hierarki, prinsip

menetapkan prioritas, dan prinsip konsistensi logis.

Page 14: Proposal Coba

Prinsip utama dalam AHP menurut Mulyono (2002, p335-337), antara

lain:

1. Decomposition

Persoalan yang sudah terkumpul dipecah menjadi unsur-unsur yang

mempengaruhinya. Setiap unsur dibagi hingga ke dasarnya agar hasil

lebih detail. Pemecahan dilakukan untuk setiap unsur agar

mendapatkan hasil yang lebih akurat. Setiap tingkatan memiliki proses

penentuan prioritas masing-masing. Maka dari itu, proses ini

dinamakan hierarki. Ada 2 jenis hierarki, yaitu lengkap dan tidak

lengkap. Dalam hierarki lengkap, semua elemen yang ada pada suatu

tingkatan memiliki semua elemen yang ada pada tingkat berikutnya.

Jika tidak demikian maka dinamakan hierarki tidak lengkap.

2. Comparative Judgement

Prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua

elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di

atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena ia akan

berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini

akan tampak lebih enak bila disajikan dalam bentuk matriks yang

dinamakan pairwise comparison matrix. Pertanyaan yang biasa

diajukan dalam menyusun skala kepentingan adalah:

a. Elemen mana yang lebih (penting/disukai/mungkin/…)? dan

b. Berapa kali lebih (penting/disukai/mungkin/…)?

Agar diperoleh skala yang bermanfaat ketika membandingkan dua

elemen, seseorang yang akan memberikan jawaban perlu pengertian

menyeluruh tentang elemen-elemen yang dibandingkan dan

relevansinya terhadap kriteria atau tujuan yang dipelajari.

3. Synthesis of priority

Dari setiap pairwise comparison matrix kemudian dicari eigen vector

nya untuk mendapatkan local priority. Karena pairwise comparison

matrix terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global

Page 15: Proposal Coba

priority harus dilakukan sintesa diantara local priority. Prosedur

melakukan sintesa berbeda menurut bentuk hierarki. Pengurutan

elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa

yang dinamakan priority setting.

4. Logical consistency

Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa objek-objek

yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan

relevansi. Contohnya, anggur dan kelereng dikelompokkan dalam

himpunan yang seragam jika bulat merupakan kriterianya, tetapi tak

dapat jika rasa sebagai kriterianya. Arti kedua adalah menyangkut

tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria

tertentu. Contohnya jika manis merupakan kriterianya, maka madu

dinilai lebih manis lima kali lebih manis daripada gula, dan gula dinilai

dua kali lebih manis dibanding sirup, maka seharusnya madu dinilai

sepuluh kali lebih manis dibanding sirup. Jika madu hanya dinilai

empat kali lebih manis dibanding sirup maka penilaian tidak konsisten

dan proses harus diulang.

Menurut Saaty (1991, p23-25), AHP merupakan sebuah model luwes

untuk membantu pengambilan keputusan. Pengamatan mendasar ini

tentang sifat manusia, pemikiran analitik, dan pengukuran membawa pada

pengembangan suatu model yang berguna untuk memecahkan persoalan

secara kuantitatif. AHP merupakan proses yang ampuh untuk

menanggulangi berbagai persoalan politik dan sosio ekonomi yang

kompleks. AHP harus memasukkan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi

secara logis, karena hal tersebut merupakan faktor yang dapat

mempengaruhi hasil keputusan. Prosesnya adalah mengidentifikasi,

memahami, dan menilai interaksi dari suatu sistem sebagai suatu

keseluruhan. Kita sulit untuk mengharapkan pemecahan langsung untuk

persoalan yang rumit, oleh karena itu, AHP harus terus dicoba dan

diulang.

Page 16: Proposal Coba

Secara umum, keuntungan AHP dapat dikatakan sebagai berikut:

1. Kesatuan, AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti pada

beragam persoalan.

2. Kompleksitas, AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan

berdasarkan sistem dalam memecahkan berbagai persoalan.

3. Saling ketergantungan, AHP dapat menangani saling ketergantungan

elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran

linear.

4. Penyusunan hierarki, AHP mencerminkan kecenderungan alami

pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam

berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa

dalam setiap tingkat.

5. Pengukuran, AHP memberi suatu skala untuk mengukur hal-hal dan

wujud suatu metode untuk menetapkan prioritas.

6. Konsistensi, AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-

pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.

7. Sintesis, AHP menuntun kesatuan taksiran menyeluruh tentang

kebaikan setiap alternatif.

8. Tawar menawar, AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif

dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang untuk memilih

alternatif yang terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka.

9. Penilaian dan konsensus, AHP tidak memaksakan konsensus tetapi

mensintesis suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian.

10. Pengulangan proses, AHP memungkinkan orang memperhalus definisi

mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan

pengertian mereka melalui pengulangan.

VI. Metodologi Penelitian

Gambar 2 menampilkan skema metodologi dari penelitian Studi Pemilihan

Alternatif Teknologi Pengolahan Sampah TPA Kawasan Regional (Studi

Kasus: TPA Legok Nangka),

Page 17: Proposal Coba

Gambar 2. Metodologi Penelitian

Studi Literatur

Pengumpulan Data

Data Sekunder

(Kondisi Eksisting

dari PD Kebersihan

dan Badan

Pengelolaan

Sampah Regional

Jawa Barat)

Data Primer

(Wawancara,

Kuisioner, dan

Observasi

Lapangan)

Analisis dan

Pengolahan Data

Kesimpulan dan Saran

Page 18: Proposal Coba

1. Studi Literatur

Studi literatur dilakukan untuk mengetahui teknologi pengolahan sanitary

landfill, anaerobic digestion, gasifikasi, dan RDF (refused derived fuel)

yang akan diterapkan di TPA Legok Nangka. Hasil studi literatur ini

selanjutnya dijadikan acuan dalam penyusunan kriteria penilaian teknologi

pengolahan.

2. Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian adalah data primer dan data

sekunder. Data sekunder berupa kondisi eksisting dan data karakteristik

sampah diperoleh dari PD Kebersihan dan Badan Pengelolaan Sampah

Regional Jawa Barat. Sedangkan data primer didapatkan melalui kuisioner

yang disebarkan kepada stakeholders pengelolaan sampah kota, antara

lain:

1) Pemerintah

Pemerintah sebagai pengambil keputusan dalam kebijakan pengelolaan

sampah berpartisipasi dalam memiliki informasi terkait, mampu

mendefinisikan alternatif dan kriteria, serta pengambil keputusan akhir.

Dalam penelitian ini, yang menjadi responden adalah BPLHD (Badan

Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah) Jawa Barat, BPSR (Badan

Pengelolaan Sampah Regional) Jawa Barat, dan PD (Perusahaan

Daerah) Kebersihan Kota Bandung.

2) Masyarakat

Masyarakat sebagai penghasil timbulan sampah menjadi responden

utama dalam penelitian ini, Responden yang digunakan untuk

mewakili masyarakat adalah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)

yang bergerak di bidang persampahan.

3) Akademisi

Kelompok akademisi dapat dikategorikan sebagai ahli dan perencana

di bidangnya. Responden dari kelompok ini diwakili oleh dosen dan

mahasiswa Teknik Lingkungan, dengan pertimbangan pengelolaan

Page 19: Proposal Coba

sampah merupakan salah satu objek yang dipelajari di program studi

ini.

3. Analisis dan Pengolahan Data

Analisis dilakukan berdasarkan pembobotan menggunakan metode

analytical hierarchy process untuk mendapatkan alternatif teknologi

pengolahan sampah. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam

pemilihan teknologi pengolahan sampah antara lain:

1) Aspek Sosial

Pertimbangan aspek sosial dalam menentukan alternatif teknologi

pengolahan sampah yang tepat penting untuk diperhatikan karena

berkaitan dengan penggunaan teknologi dan masyarakat sekitar.

Penjabaran aspek sosial adalah sebagai berikut:

Penyerapan tenaga kerja

Penerapan teknologi pengolahan pada pengelolaan sampah dapat

membuka peluang lapangan pekerjaan sehingga dapat mengatasi

salah satu masalah sosial yang ada di masyarakat.

Potensi konflik dengan masyarakat rendah

Penggunaan serta penempatan suatu teknologi harus memperhatikan

aspek sosial kemasyarakatan supaya menghindari konflik serta

adanya penerimaan masyarakat terhadap teknologi yang

diimplementasikan.

Penguatan peran serta masyarakat

Implementasi teknologi pengolahan sampah diharapkan dapat

memperkuat peran serta masyarakat dalam mengelola sampah

sehingga dijadikan salah satu pertimbangan dalam aspek sosial.

2) Aspek Ekonomi

Kriteria untuk aspek ekonomi terbagi menjadi tiga, yaitu:

Investasi rendah

Keterbatasan anggaran pemerintah dalam melaksanakan kegiatan

pengelolaan sampah harus dipertimbangkan dalam menentukan

jenis teknologi yang sesuai.

Page 20: Proposal Coba

Biaya operasional rendah

Pertimbangan biaya operasional rendah sama dengan pertimbangan

investasi yaitu adanya keterbatasan anggaran pemerintah.

Menghasilkan pendapatan asli daerah yang tinggi

Jika kegiatan pengelolaan sampah dapat menghasilkan suatu barang

bernilai ekonomi, maka hal ini akan mendorong minat sektor swasta

untuk menanam investasi di bidang pengelolaan sampah sehngga

dapat menaikan pendapatan asli daerah.

3) Aspek Lingkungan

Aspek lingkungan merupakan hal penting dalam menentukan alternatif

pengolahan karena menyangkut masalah pengelolaan lingkungan

hidup di suatu kawasan. Kriteria yang ditinjau dari aspek lingkungan

adalah sebagai berikut:

Minimalisasi bibit penyakit

Kegiatan pengolahan sampah yang dilakukan dengan cara tidak

benar dapat menjadikan sumber bibit penyakit. Oleh karena itu

perlu penerapan jenis teknologi pengolahan yang tepat agar kegiatan

pengolaan sampah mencapai tingkat yang diinginkan.

Emisi gas

Kegiatan pengolahan sampah dapat menimbulkan pencemaran

udara berupa gas metana, SOx, NOx, H2S, dan NH3. Oleh karena

itu kriteria ini menjadi penting dalam menentukan preferensi

teknologi pengolahan.

Minimalisasi pencemaran air dan tanah

Lindi merupakan salah satu potensi pencemaran yang timbul akibat

kegiatan pengelolaan sampah serta dapat mencemari tanah dan air

tanah karena konsentrasi bahan pencemar yang tinggi.

4) Aspek Teknis

Aspek teknis dalam menentukan alternatif teknologi pengolahan

adalah untuk menjamin bahwa teknologi tersebut dapat

diimplementasikan di lapangan serta perangkat kelembagaan yang ada

Page 21: Proposal Coba

dapat melaksanakannya. Kriteria untuk aspek teknis adalah sebagai

berikut:

Efektifitas reduksi sampah

Tujuan utama dalam pengolahan sampah adalah untuk mereduksi

timbulan di lahan akhir pembuangan sehingga efektifitas merupakan

kriteria sangat penting dalam menentukan teknologi.

Kemudahan operasional

Suatu teknologi apabila sulit untuk diimplementasikan di lapangan

akan sia-sia sehingga kemudahan operasional merupakan salah satu

kriteria teknis yang patut dipertimbangkan.

Ketersediaan sumber daya manusia

Kriteria ini menjadi pertimbangan untuk menjamin beroperasinya

teknologi terpilih.

4. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan berupa alternatif teknologi pengolahan sampah yang dapat

diterapkan di TPA Legok Nangka serta diharapkan menjadi solusi dari

permasalahan ini.

VII. Jadwal Pelaksanaan

Kegiatan Bulan-1 Bulan-2 Bulan-3 Bulan-4 Bulan-5 Bulan-6

Studi

literatur

Pengumpulan

data primer

Pegumpulan

data

sekunder

Verifikasi

data

sekunder

Page 22: Proposal Coba

Kegiatan Bulan-1 Bulan-2 Bulan-3 Bulan-4 Bulan-5 Bulan-6

Analisa dan

pengolahan

data

Penyusunan

laporan

VII. Daftar Pustaka

Anonim. (2011). “Legok Nangka Siap Gantikan TPA Sarimukti”. Sustaining

Partnership edisi November.

Caputo, A. C. & Pelagagge, P.M. (2002). RDF Production Plants: Design

and Costs. Applied Thermal Engineering, 22, 423-437.

Cheremisinoff, N.P. (2003). Handbook of Solid Waste Management and

Waste Minimization Technologies. Amsterdam: Butterworth-Heinemann.

Fernando, A. (2007). Pemilihan Teknologi Pengolahan Sampah,

Pembiayaan, dan Institusi TPA Regional (Studi Kasus: Kota Jakarta Barat,

Kabupaten dan Kota Tangerang, serta Kabupaten Serang). Tesis Magister

pada Universitas Indonesia.

Damanhuri, E. & Padmi, T. (2010). Diktat Kuliah TL-3104 Pengelolaan

Sampah. Program Studi Teknik Lingkungan, FTSL, ITB.

Nithikul, J. (2011). Reject Management from A Mechanical Biological

Treatment Plant in Bangkok, Thailand. Resources, Conservation, and

Recycling, 55(4), 417-422.

Putri, A.P. (2013). Studi Pemanfaatan Limbah B3 Sludge Produce Water

Sebagai Bahan Baku Refused Derived Fuel (RDF). Skripsi Sarjana pada

Institut Teknologi Bandung.

Page 23: Proposal Coba

Saaty, Thomas. (2000). The Fundamentals of Decision Making and Priority

Theory with the Analytic Hierarchy Process, volume IV of AHP Series.

RWS Publication.

Tchobanoglous, G., Theisen H., Vigil S.A. (1993). Integrated Solid Waste

Manegement. International Edition: McGraw-Hill., Inc.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang

Pengelolaan Persampahan.