project management
TRANSCRIPT
Project Management
Tinggalkan komentarPosted on September 2, 2014 Project Management
TERMS OF PAYMENT
PROYEK PERCEPATAN
10.000 MWPENDAHULUAN
Pemerintah melalui Peraturan Presiden RI no. 71 tahun 2006 telah
menugaskan kepada PT PLN (Persero) untuk melakukan percepatan
pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang menggunakan batubara di
Jawa dan di luar Jawa dengan total kapasitas mencapai 10.000 MW yang
tersebar di seluruh Indonesia.
Seperti umumnya proyek-proyek konstruksi, proyek 10.000 MW mengikat
PLN dan kontraktor dengan satu perjanjian yang dituangkan dalam suatu
kontrak yang menjadi dasar utama pelaksanaan pekerjaan. Suatu kontrak
umumnya terdiri atas perjanjian kontrak, instruksi kepada peserta tender,
diskusi kontrak, kondisi umum kondisi khusus, kebutuhan teknis,
danschedules.
Karena sifat pekerjaannya yang kompleks, proyek-proyek 10.000 MW
mengharuskan kontraktor untuk melakukan penagihan pembayaran
sesuai dengan tata cara pembayaran (terms of payment) masing-masing
schedule pekerjaan. Di kontrak proyek percepatan 10.000 MW, tata cara
pembayaran diuraikan pada kondisi khusus (special condition).
PEMBAHASAN
Proyek 10.000 MW utamanya terdiri atas pekerjaan pengadaan peralatan,
pekerjaan konstruksi (termasuk di dalamnya pekerjaan sipil, erection
peralatan mekanik dan elektrik, dan komisioning), serta pekerjaan lainnya
(others). Masing-masing pekerjaan tersebut memiliki tata cara
pembayaran yang satu sama lain berbeda, berikut ini paparannya.
1. Tata Cara Pembayaran Tagihan Pengadaan Peralatan
Peralatan/material dalam proyek 10.000 MW dapat digolongkan dalam
peralatan yang diproduksi di luar negeri, yang sering disebut peralatan
FOB, dan peralatan/material yang diproduksi di dalam negeri (Ex Works).
Kedua jenis peralatan/material ini memiliki tata cara pembayaran yang
secara umum sama, yaitu pembayaran di awal (down payment),
pembayaran pada saat di pabrikasi (manufacturing), pembayaran pada
saat pengapalan (shipment), pembayaran pada saat peralatan/material
tersebut tiba di lapangan (delivery on site) dan pembayaran retensi.
1.A Pembayaran Awal
Sering disebut juga pembayaran down payment. Dapat dibenarkan jika
kita menyebutnya dengan pembayaran uang muka, walaupun nanti harus
kita bedakan dengan advance payment pembayaran tagihan Civil Works,
Erection dan Komisioning.
Pembayaran ini dibutuhkan oleh kontraktor untuk melakukan purchase
order ataupun mobilisasi peralatan dan pekerja. Besarnya 15% dari nilai
peralatan-peralatan utama di dalam kontrak. Khusus untuk spare parts,
test equipment, dan tools, tidak disediakan pembayaran down payment.
Down payment dibayarkan secara langsung (direct payment), umumnya
via telegraphic transfer. Dokumen yang menjadi syarat utama dalam
penagihan down payment adalah invoice, bank garansi, dan Sertifikat
Pembayaran. Invoice adalah dokumen permohonan tagihan dari
kontraktor. Bank garansi diperlukan untuk menjamin bahwa uang muka
yang akan dibayarkan sepenuhnya digunakan untuk kepentingan proyek.
Sertifikat Pembayaran diterbitkan oleh perwakilan PLN (dalam hal ini PLN
UIP) sebagai tanda bahwa tagihan kontraktor telah diverifikasi baik itu
dari segi progress fisik maupun progress pembayaran.
1.B. Pembayaran Manufacturing
Setelah dipesan di awal, kemudian peralatan/material dipabrikasi. Tahap
ini merupakan tahap yang pembayarannya memiliki porsi terbesar, yaitu
45% dari nilai kontrak peralatan/material. Pembayaran tahap ini
umumnya tidak lagi dilakukan dengan direct payment, namun sudah
harus menggunakan Letter of Credit (L/C). L/C merupakan instrumen
pembayaran yang digunakan pemilik peralatan untuk membayarkan
tagihan kepada bank luar negeri yang ditunjuk oleh vendor/kontraktor.
Pemilik, dalam hal ini PLN, akan membuka deposit dana sebesar nilai yang
diajukan kontraktor di sebuah bank dalam negeri dan dana tersebut akan
dicairkan kepada bank luar negeri yang ditunjuk vendor/kontraktor jika
persyaratan yang diwajibkan dalam kontrak telah terpenuhi. Pada intinya
L/C memberikan jaminan kepada vendor/kontraktor bahwa peralatan yang
mereka buat akan dibayar oleh PLN nantinya sesuai tahapan pembayaran
yang ada di kontrak kontrak.
Kembali, karena peralatan/barang belum jadi dan belum tiba di lapangan,
maka diperlukan jaminan yang menjamin bahwa pembayaran yang PLN
berikan tidak akan disalahgunakan. Jaminan ini berupa bank garansi
manufacturing yang nilainya sebesar tagihan yang diajukan. Namun,
untuk praktisnya, pada beberapa kontrak, pembayaran tahap
manufacturing ditiadakan, diganti dengan menggabungkan pembayaran
tahap manufacturing dengan tahap pengiriman, yang syaratnya
disamakan dengan pembayaran tahap pengiriman saja (bank garansi
manufacturing tidak dibutuhkan).
Syarat lainnya dari pembayaran manufacturing adalah relatif sama
dengan pembayaran down payment, yaitu invoice dan Sertifikasi
Pembayaran. Harus disertakan juga Manufacturing Progress yang
disahkan oleh PLN. Pengesahan progress manufacturing biasanya
dilakukan pada saat inspeksi/test di pabrikan (Manufacture Inspection dan
Factory Acceptance Test/FAT).
1.C. Pembayaran Shipment
Setelah selesai dipabrikasi, tahap selanjutnya adalah pengiriman
peralatan. Pembayaran tahap shipment dihargai senilai 15% dari nilai
peralatan. Istilah FOB (Free on Board) muncul dari tata cara pengiriman
barang. FOB dapat diartikan semua biaya yang dapat ditagihkan
kontraktor hingga peralatan terkait tiba di kapal di pelabuhan
keberangkatan (termasuk biaya pembuatan peralatan, ongkos darat dari
pabrik, dan semua biaya lainnya). Berbeda dengan FOB, tata cara CIF
(Cost, Insurance and Frieght) memasukkan semua biaya hingga peralatan
tiba di pelabuhan kedatangan. Itulah sebabnya dalam kebanyakan
kontrak proyek 10.000 MW, ada juga schedule price untuk Marine Freight,
Insurance, dan Inland Transportation. Schedule FOB hanya menyatakan
biaya peralatan mulai dari pabrikasi hingga transportasi ke pelabuhan
keberangkatan.
Pembayaran tagihan shipment dilakukan dengan menggunakan L/C, dan
sesuai dengan namanya, selain invoice dan Sertificate Pembayaran, juga
mengharuskan penyertaan dokumen pengapalan dalam setiap
tagihannya, dokumen tersebut di antaranya sebagai berikut :
Bill of Ladding
Packing List
Marine Insurance Certificate
Certificate of Origin
1.D. Pembayaran Delivery On Site
Setelah peralatan tiba di lapangan, PLN Site melakukan inspeksi bersama
guna menerbitkan Material Receiving Report (MRR) sebagai bukti bahwa
peralatan yang dikirim tersebut lengkap kuantitasnya dan baik
kualitasnya. Dokumen MRR inilah yang menjadi syarat utama penagihan
delivery on site. Porsi pembayaran yang diberikan untuk tahap ini adalah
senilai 15% dari nilai peralatan. Pembayaran tagihan ini dilakukan dengan
L/C untuk porsi valas dan direct payment untuk porsi rupiah.
1.E. Pembayaran Retensi TOC
Beberapa persen nilai peralatan ditahan pembayarannya hingga proyek
selesai, baik itu penyelesaian masa konstruksi (disebut sebagai masa
penerbitan Taking Over Certificate/TOC) dan penyelesaian masa
pemeliharaan (masa penerbitan Final Acceptance Certificate/FAC).
Lima (5) persen nilai kontrak peralatan (selain spare parts, test
equipment, dan tools) diberikan di tahap pembayaran retensi TOC dengan
persyaratan menyertakan salinan sertifikat TOC. Pengecualian jika taking
over dilakukan untuk sebagian item proyek, maka nilai retensi yang
dibayarkan adalah sebesar 5% dari nilai item yang dilakukan taking over
tersebut. Pembayaran tagihan ini dilakukan dengan L/C untuk porsi valas
dan direct payment untuk porsi rupiah.
1.F Pembayaran Retensi FAC
Masa FAC normalnya berlangsung 1 tahun sejak masa TOC. Pembayaran
tahap ini dilakukan sebesar 100% nilai peralatan dikurangi dengan
pembayaran yang telah dilakukan sebelumnya. Jika pembayaran tahap-
tahap sebelumnya berlangsung normal, maka pembayaran tahap FAC
bernilai sebesar 5% nilai kontrak peralatan.
Sama seperti pembayaran retensi TOC, pembayaran retensi FAC berlaku
untuk sebagian nilai peralatan jika FAC dilakukan untuk sebagian item
peralatan, artinya retensi FAC dibayarkan sebesar 5% dari nilai item yang
dilakukan final acceptancenya. Pembayaran ini menyaratkan penyertaan
salinan sertifikat FAC dalam penagihannya. Pembayaran tagihan ini
dilakukan dengan L/C untuk porsi valas dan direct payment untuk porsi
rupiah.
2. Tata Cara Pembayaran Marine Freight, Insurance Portion, dan
Inland Transportation
Marine Freight merupakan biaya pengangkutan peralatan dari pelabuhan
keberangkatan hingga pelabuhan kedatangan. Insurance (jika ada)
mengover asuransi selama shipping, dan Inland Transportation
merupakan biaya transportasi darat terkait. Pembayaran ketiga tahap ini
harus dilakukan karena tata cara pembayaran peralatan dilakukan secara
FOB (baca point 1.C.).
Seratus (100) % nilai MFI ditagihkan sebanding dengan nilai peralatan
FOB yang saat itu dikapalkan. MFI dibayarkan dengan L/C. Selain Invoice
dan Sertifikat Pembayaran, dibutuhkan juga salinan Bill of Lading dan
Sertifikat Asuransi sebagai kelengkapan tagihan ini. Tagihan ini sudah
dapat ditagihkan sejak peralatan berada di pelabuhan keberangkatan,
tentu saja dengan syarat semua dokumen terkait dilengkapi.
Seratus (100) % nilai IT ditagihkan sebanding dengan nilai peralatan FOB
dan Ex Works yang saat itu diterima di site. Pembayaran dilakukan
dengan L/C untuk porsi valas dan direct payment untuk porsi rupiah.
Tagihan IT FOB dapat ditagihkan bila inspeksi telah dilakukan oleh PLN
Site. Syarat dokumennya sama dengan penagihan MFI. Hampir mirip,
proses penagihan IT Ex Works juga baru dapat dilakukan setelah
dilakukan inspeksi lapangan oleh PLN Site, namun dokumen Bill of Lading
diganti dengan MRR.
3. Tata Cara Pembayaran Tagihan Civil Works, Erection dan
Commissioning
Pembayaran ini dilakukan untuk pekerjaan civil works, erection peralatan
mekanik dan elektrik, serta pekerjaan test dan komisioning.
Berbeda dengan pengadaan peralatan, tata cara pembayaran Civil Works,
Erection dan Komisioning hanya memiliki 3 tahap utama, yaitu
pembayaran awal, pembayaran progress, dan pembayaran retensi.
3.A. Pembayaran Awal
Pada dasarnya, advance payment pada tagihan Civil Works, Erection dan
Komisioning memiliki prinsip sama dengan down payment pada pekerjaan
pengadaan peralatan, keduanya bertujuan membantu kontraktor dalam
hal pembiayaan masa awal proyek.
Yang berbeda adalah bila down payment berlaku sebagai salah satu dari
empat tahap pembayaran pengadaan peralatan itu sendiri, maka advance
payment merupakan bagian dari tahap progress payment. Jadi pada
dasarnya hanya ada dua tahap utama dalam pembayaran Civil Works,
Erection dan Komisioning, yaitu progress payment dan retensi. Lebih
lengkap soal perbedaan down payment dan advance payment diuraikan
dalam tulisan saya lainnya “Uang Muka Proyek Konstruksi Pembangkit”.
Besar advance payment proyek 10.000 MW umumnya 10% nilai kontrak
Civil Works, Erection dan Komisioning porsi valas dan 20% untuk porsi
rupiah. Dan karena berlaku sebagai bagian dari progress payment, nilai
piutang PLN atas advance payment kepada kontraktor ini terus menurun
nilainya seiring peningkatan total progress payment. Setiap kali progress
payment ditagihkan (dan dibayarkan), nilai advance payment yang sudah
diterima kontraktor dan menjadi utang mereka kepada PLN, menurun.
Penurunan nilai ini sebesar 10% dan 20% dari nilai progress payment
(baca point 3.B.) berturut-turut untuk porsi valas dan rupiah.
Mengapa besar penurunannya 10% dan 20% dari progress payment yang
nilainya 90% total kontrak Civil Works, Erection dan Komisioning?
Bukankah nilai advance payment yang diberikan di awal proyek besarnya
10% dan 20% dari total kontrak Civil Works, Erection dan Komisioning?
Ada dua alasan untuk menanggapi hal ini. Yang harus menjadi pegangan
kita adalah advance payment yang dibayarkan di awal proyek mencakup
keseluruhan nilai Civil Works, Erection dan Komisioning, tidak hanya
mencakup progress payment saja. Untuk itu, ada dua cara pengurangan
piutang ini selama masa proyek.
Pertama, bila selama penagihan progress payment, pengurangan tagihan
kontraktor hanya sebesar 90% x progress x nilai advance payment, maka
pembayaran retensi nantinya juga harus dikurangi dengan 10% x nilai
advance payment. Namun bila pengurangan tagihan dihitung dengan cara
100% x progress x nilai advance payment, maka pembayaran retensi
harus penuh 5% TOC + 5% FAC (kondisi lain dianggap normal). Untuk
mengatasi perbedaan pengurangan nilai advance payment yang mungkin
terjadi, di beberapa kontrak diperintahkan bahwa pengembalian advance
payment harus diselesaikan pada saat Serah Terima Pertama (TOC).
Sama seperti penagihan down payment pekerjaan pengadaan peralatan,
advance payment mensyaratkan adanya bank garansi dalam
penagihannya. Untuk pekerjaan yang berlangsung cukup lama, di mana
periodenya tidak tertutupi oleh masa berlaku bank garansi, maka bank
garansi harus diperpanjang dengan nilai yang sudah berhasil dikurangi
kontraktor lewat progress payment. Nilai bank garansi yang diperpanjang
sama dengan sisa pengurangan advance payment pada saat itu.
3.B Pembayaran Progress
Pembayaran tahap ini ditujukan sebagai pembayaran progress Civil
Works, Erection dan Komisioning yang telah dicapai kontraktor tiap
periodenya. Jika progress pekerjaan kontraktor tidak terlambat, maka
pembayaran tahap ini normalnya dapat dilakukan tiap bulan (monthly
progress payment). Di proyek 10.000 MW, besar tagihan tahap ini
ditentukan 90% x progress pekerjaan dikurangi dengan nilai penutupan
advance payment. Pembayaran progress payment dilakukan dengan cara
direct payment.
3.C Pembayaran Retensi
Relatif sama dengan pekerjaan pengadaan peralatan, pembayaran
tagihan retensi besarnya 10% dari nilai pekerjaan. Lima (5) persen
dibayarkan saat TOC dan sisanya saat FAC. Khusus untuk FAC, nilai 5%
tersebut tidak mutlak karena dapat dikurangi dengan nilai pembayaran
yang telah dilakukan sebelumnya yang bertujuan mencegah PLN dari
kelebihan pembayaran total nilai kontrak. Untuk TOC atau FAC yang
dilakukan pada sebagian item pekerjaan, maka nilai pembayaran tagihan
TOC/FAC diberlakukan senilai pekerjaan yang sudah diterbitkan sertifikat
TOC/FACnya tersebut.
4. Tata Cara Pembayaran Pekerjaan Lainnya
4.A. Pembayaran Pengadaan Spare Parts, Tools, dan Test Equipment
Pembayaran tagihan Spare Parts, Tools, dan Test Equipment FOB
diberlakukan sebesar 90% nilai tiap shipment terkait via L/C atau direct
payment untuk porsi rupiah. Persyaratan yang harus disertakan dalam
tiap tagihan Spare Parts, Tools, dan Test Equipment sama dengan
persyaratan tagihan shipment peralatan FOB. Sisa pembayaran 10% lagi
dilakukan apabila MRR terkait telah diterbitkan oleh PLN Site. Untuk
Spare Parts, Tools, dan Test Equipment Ex Works, pembayaran 90%
dilakukan apabila peralatan terkait telah tiba on site. Sisanya apabila
laporan inspeksi atas peralatan terkait telah diterbitkan oleh PLN Site.
4.B Pembayaran Training, Inspeksi Sebelum FAC, dan Supervisi Selama
Masa Pemeliharaan
Pembayaran training langsung dilakukan 100% terhadap progress training
yang telah dilakukan. Walaupun kontrak proyek 10.000 MW bersifat
lumpsum, namun ada baiknya untuk tagihan training dilakukan sesuai
dengan biaya yang telah dikeluarkan kontraktor (at cost). Jika kontraktor
berniat menagih penuh nilai kontrak training, maka kontraktor harus
mengadakan training senilai dengan kontrak training tersebut.
Pembayaran atas inspeksi sebelum FAC dilakukan pada saat penerbitan
sertifikat FAC dengan cara direct payment senilai 100% nilai kontrak
pekerjaan inspeksi sebelum Fac tersebut. Jika FAC hanya dilakukan untuk
sebagian item pekerjaan, maka pembayaran pekerjaan inspeksi sebelum
FAC juga harus sesuai dengan porsi item FAC tersebut.
Pembayaran atas supervisi masa pemeliharaan dilakukan 100% progress
yang telah dicapai.
4.C. Pembayaran Pekerjaan Lainnya
Ada beberapa item yang tidak dipaparkan dalam Terms of Payment
kontrak proyek 10.000 MW, namun ada nilainya dalam kontrak seperti
pekerjaan pengadaan Consumables dan pekerjaan Engineering Design
Review.
Pengadaan Consumables dapat ditagihkan secara at cost asalkan nilainya
tidak melebihi nilai yang ada di kontrak. Tata cara pembayaran dan
syarat-syarat penagihannya dapat disamakan dengan penagihan Spare
Parts, Tools dan Test Equipment.
Pembayaran pekerjaan Engineering Design Review dapat disamakan
dengan tata cara pembayaran dan syarat-syarat pembayaran Training.
PUSTAKA
Contract Document 7 Proyek PLTU FTP 1 PT PLN (Persero)
wikipedia.org/wiki/Incoterms
2 KomentarPosted on Juli 31, 2014 Project Management
Progress Measurement
Method Proyek EPC
Verifikasi progress suatu proyek konstruksi terkadang dilakukan hanya
dengan melihat progress fisik di lapangan semata. Pengukurannya
bahkan hanya diambil dengan cara melakukan estimasi persentase atas
pekerjaan terkait.
Hal tersebut tidak sepenuhnya salah, namun ada baiknya jika di antara
pemilik proyek, dalam hal ini PLN, dan kontraktor memiliki suatu cara
pengukuran yang telah disepakati bersama. Tujuannya tentu saja untuk
menghindari perbedaan perhitungan progress proyek, yang jika terjadi
dapat berpengaruh bahkan hingga pada kesalahan progress pembayaran.
Progress Measurement Method (PMM) merupakan metode pengukuran
progress yang diajukan kontraktor dan harus disetujui oleh PLN. Tulisan ini
menguraikan salah satu cara penyusunan PMM pada proyek EPC.
Pendahuluan
Salah satu panduan yang harus dipegang teguh pada saat penyusunan
PMM adalah aturan bahwa progress pembayaran tidak boleh melebihi
progress fisik pekerjaan pada saat bersamaan. Persentasenya boleh
sama, namun karena pengajuan pembayaran atas progress fisik terkait
dilaksanakan setelah approval progress fisik tersebut (oleh PLN Site),
maka normalnya progress pembayaran selalu lebih rendah dibanding
progress fisik pada saat bersamaan, dengan catatan pembayaran uang
muka tidak diperhitungkan karena adanya Jaminan Uang Muka.
Untuk memenuhi aturan di atas, maka penyusunan PMM harus
memperhitungkan Tata Cara Pembayaran (Term of Payment) proyek. Tata
cara pembayaran bisa berbeda antara satu proyek dengan proyek
lainnya, dapat dilihat dalam Perjanjian/Agreement masing-masing proyek.
Dengan memahami termin pembayaran, maka penyusun PMM sudah
menyelesaikan 70% pekerjaannya. Ulasan lebih jelas tentang Term of
Payment proyek konstruksi dapat dilihat di tulisan penulis lainnya, “Term
of Payment Proyek Percepatan 10.000 MW Tahap I”.
Selain tata cara pembayaran, proyek-proyek berbasiskan EPC
(Engineering, Procurement, dan Construction) juga dapat memiliki
pembagian nilai/bobot pekerjaan yang berbeda-beda. Hal ini juga harus
dipertimbangkan saat penyusunan PMM. Namun jangan
mencampuradukan metode pengukuran progress (PMM) dengan
pembobotan pekerjaan (Weight Breakdown Structure/WBS). PMM adalah
metode pengukuran peningkatan progress pekerjaan, sedangakan WBS
hanya pembobotan nilai pekerjaan saja.
Bobot Pekerjaan
Penentuan bobot masing-masing item pekerjaan ditentukan sepenuhnya
antara direksi pekerjaan dan kontraktor. Beberapa item pekerjaan
mungkin dinilai lebih tinggi dibanding yang lain, dapat dilihat dari
kompleksitas, teknologi yang digunakan, maupun nilai pekerjaan tersebut.
Cara penentuan bobot pekerjaan yang paling mudah dan memiliki dasar
yang kuat adalah dengan menggunakan nilai/price kontraktual pekerjaan.
Item pekerjaan yang paling tinggi/mahal nilainya memiliki bobot paling
tinggi, dst.
Namun hal yang patut diperhatikan adalah adanya kemungkinan item
tidak memiliki nilai dalam kontrak namun diharuskan memiliki progress
fisik, seperti yang terjadi pada proyek FTP1 PLN, dimana pekerjaan
Engineering umumnya tidak memiliki nilai kontraktual namun sebagai
proyek EPC, progress fisik Engineering harus tetap diperhitungkan. Dalam
hal ini, direksi pekerjaan dapat menentukan bobot Engineering tersebut,
contohnya 5% dari total bobot pekerjaan. Untuk proyek-proyek yang
dalam schedule price engineering-nya memiliki nilai kontraktual, maka
bobot engineering dapat diambil dari nilai/price tersebut.
PMM Pekerjaan Engineering
Produk dari pekerjaan Engineering adalah drawing/kalkulasi yang telah
diapproved. Di kontrak proyek FTP1, pekerjaan ini umumnya tidak
memiliki nilai kontraktual. Tidak disebutkan alasannya apa, bisa jadi
karena item ini sudah dibagi rata dalam setiap item pekerjaan lainnya.
Meski tidak memiliki nilai, sebagai pelaksana kontrak berbasiskan EPC,
kontraktor berkewajiban membuat desain terkait peralatan/konstruksi
proyek. Desain (bisa dalm bentuk drawing atau kalkulasi) ini kemudian
diajukan ke PLN. Dibantu oleh konsultan, PLN kemudian melakukan
evaluasi desain untuk kemudian memberikan pengesahan (approving).
Dalam prosesnya, desain yang diajukan kontraktor akan diberikan
approval C, B, A, atau I. Desain yang dinilai C berarti tidak/belum
diapproved, artinya kontraktor harus mengganti/memodifikasi desain
tersebut. Kemungkinan yang lain adalah desain mendapatkan approval B,
disahkan namun dengan catatan minor tertentu. Desain ini sudah dapat
digunakan sebagai dasar pekerjaan procurement (pengadaan peralatan)
dan/atau konstruksi. Approval A berarti desain sudah disetujui
sepenuhnya. Pengesahan dengan status I berarti drawing/kalkulasi terkait
hanya digunakan sebagai “information only”.
Mengacu pada proses di atas, salah satu metode yang dapat digunakan
sebagai PMM adalah sebagai berikut :
Masing-masing drawing/kalkulasi memiliki bobot 100%
Drawing yang sudah diajukan oleh kontraktor, walaupun belum
dilakukan evaluasi, dapat diberikan kenaikan progress 10%.
Jika setelah diajukan dan dilakukan evaluasi ternyata desain tersebut
mendapatkan nilai C, maka tidak diberikan kenaikan progress (0%)
lagi selain 10% progress submittal sebelumnya.
Drawing yang mendapatkan approval B berhak mendapatkan
kenaikan progress yang cukup besar karena pending yang
menyertainya umumnya tidak critical dan sudah dapat digunakan
dalam proses konstruksi dan/atau procurement. Sewajarnya
kenaikan progress dapat diberikan antara 50-60%.
Drawing dapat langsung diapproved A atau melewati proses approval
B kemudian A. Untuk kemungkinan kedua ini, drawing yang telah
mendapatkan total progress 60-70% dapat diberikan tambahan 30-
40% lagi setelah diapproved A yang artinya drawing/kalkulasi
tersebut telah memenuhi progressnya secara utuh (100%). Artinya
drawing/kalkulasi tersebut sudah bernilai satu.
Untuk drawing/kalkulasi yang diajukan kontraktor berstatus I, maka
drawing tersebut sudah dapat diberikan nilai 100% jika PLN dan
konsultan setuju mengapproved dengan status I.
Semua proses di atas berlaku untuk tiap drawing/kalkulasi. Untuk
penentuan progress keseluruhan pekerjaan Engineering sendiri,
progress yang sudah dicapai keseluruhan drawing/kalkulasi pada
saat itu dibagi dengan total jumlah drawing/kalkulasi
Umumnya belum dapat ditentukan secara pasti berapa jumlah total
drawing/kalkulasi yang akan dibuat hingga proyek selesai. Untuk
keperluan perhitungan, dapat digunakan estimasi jumlah total
drawing/kalkulasi, dan di kemudian hari dapat dilakukan proses
adjustment progress karena semakin hari semakin jelas berapa total
jumlah drawing/kalkulasi yang akan dibuat
Bagaimana dengan As Built Drawing? Karena sesuai aturan proses
procurement dan construction harus didasarkan pada drawing/kalkulasi
yang sudah diapproved A, maka pada dasarnya proses approval As Built
Drawing hanya ada dua, yaitu proses review untuk melihat apakah
pelaksanaan procurement/konstruksi sudah sesuai dengan approval
desain A atau belum, jika sudah sesuai maka As Built Drawing sudah
dapat langsung diapproved. Jika belum sesuai, maka deviasi yang muncul
harus dijustifikasi terlebih dahulu apakah termasuk deviasi minor ataukah
mayor. Justifikasi dilakukan oleh konsultan supervisi konstruksi (bersama
direksi pekerjaan). Jika bersifat minor dan hasil justifikasi menunjukan
bahwa deviasi terkait tidak memiliki implikasi biaya dan tidak
mempengaruhi keseluruhan operasi proyek, maka approval sudah dapat
dilakukan. Jika deviasi dikategorikan mayor, maka proses approval As
Built tetap bisa dilaksanakan, namun implikasi biaya yang muncul (jika
ada) harus dimasukkan sebagai pending proyek (NCR proyek yang
berimplikasi pada biaya).
Proses review As Built Drawing dapat diberikan progress 70-90% dan
approvalnya 10-30%.
Secara keseluruhan, bobot pekerjaan Engineering dapat dibagi antara 70-
80% desain proyek dan 20-30% as built drawing. Misalnya ditentukan
pekerjaan Engineering memiliki bobot 5% dari total bobot progress EPC,
maka desain proyek bernilai 3-4% dan as built drawing 1-2%.
Contoh perhitungan progress Engineering diuraikan sbb : di awal proyek,
kontraktor mengajukan 3 buah drawing. Setelah dievaluasi, ternyata ada
satu drawing yang diapproved B, satu drawing dinilai C, dan satu drawing
lagi disetujui untuk diberikan status I. Dengan estimasi total
drawing/kalkulasi/dokumen proyek 2000 buah dan As Built Drawing 2200
buah, desain proyek dinilai 4% dan as built drawing 1%, maka progress
Engineering ketika itu adalah :
E = [{10%(Submit) + 0%(Apvd. C) + 50%(Apvd. B) + 40%(Apvd. A) +
100%(Apvd. I)} x 4%/2000] + [{90%(As Built Reviewed) + 10%(As Built
Approved)} x 1%/2200]
= [{10%(3) + 0%(2) + 50%(1) + 40%(0) + 100%(1)} x 4%/2000] +
[{90%(0) + 10%(0)} x 1%/2200]
= 0.0036% dari total 100% progress EPC
PMM Pekerjaan Procurement
Berkebalikan dengan Engineering, pekerjaan Procurement memiliki nilai
kontrak yang jelas dan bahkan terkadang lebih tinggi dibanding pekerjaan
Construction. Untuk proyek PLTU misalnya, nilai procurement yang besar
dirasa wajar karena PLTU didominasi oleh peralatan mekanikal-elektrikal.
Karena memiliki nilai/price dalam kontrak, maka pengukuran progress
pekerjaan procurement dapat ditentukan dengan menggunakan Term of
Payment sebagai patokan utama, meskipun semuanya kembali pada
persetujuan direksi pekerjaan. Di bawah ini uraian salah satu metode
pengukuran progress procurement :
Pada tata cara pembayarannya, proyek konstruksi yang kompleks
pekerjaan procurementnya umumnya memberikan Down Payment. Uang
ini sewajarnya digunakan kontraktor untuk melakukan Purchase Order
(PO) pada vendor mereka. Di proses ini, progress procurement peralatan
terkait sudah dapat diberikan dengan mengevaluasi evidence PO.
Progress dapat diberikan 10-15%. PLN tetap aman dari sisi progress
pembayaran karena meskipun terlihat lebih besar dibanding aktual fisik
yang tercipta, mengingat peralatan belum jadi, namun pembayaran uang
muka yang dilakukan disertai dengan Jaminan Uang Muka yang harus
diserahkan kontraktor pada PLN.
Selanjutnya adalah proses manufacturing (pabrikasi). Pemantauan
kenaikan progress pabrikasi dapat dilakukan lewat inspeksi/test di pabrik
(Factory Acceptance Test/FAT) atau manufacturing report dari konsultan
QA/QC. Kenaikan progress fisik dapat diberikan sebesar termin
pembayaran progress manufacturing, misalnya 45% nilai peralatan terkait
.
Peralatan/material yang sudah jadi kemudian dikirimkan ke site lewat
shipment dan/atau transportasi darat. Progress dapat dievaluasi dengan
evidence Bill of Lading, COO, COM, Packing List, dsb. Peningkatan progres
dapat diberikan sebesar termin pembayaran shipment/transportasi darat,
misalnya untuk proyek PLTU FTP1, shipment dihargai sebesar 15% nilai
equipment terkait.
Kenaikan progress selanjutnya dapat diberikan ketika barang sudah on
site. Penerbitan MRR merupakan bukti bahwa PLN telah menyetujui
barang terkait sudah tiba dengan lengkap sesuai kontrak dan packing list
dan kualitasnya sudah baik (tidak ada cacat/rusak secara fisik). Kembali,
persentase kenaikan progres dapat didasarkan dari termin pembayaran.
Progress dapat diberikan naik 15% saat barang telah on site (diperiksa
berdasarkan packing list) dan naik lagi 10% saat MRR telah diterbitkan
oleh PLN Site.
Contoh perhitungan progress Procurement sebagai berikut : Kontraktor
saat ini sedang mengadakan PO Equiment BOP dan baru saja selesai
melaksanakan FAT Generator. Selain itu setengah pengadaan Boiler dan
kelengkapannya sedang dalam sudah siap diberangkatkan dari Port of
Shanghai sedangkan pengadaan yang lain belum dilakukan sama sekali.
Bobot BOP, Generator, dan Boiler dalam pekerjaan Procurement berturut-
turut 10%, 15%, dan 35%, sedangkan bobot pekerjaan Procurement
dalam keseluruhan progress EPC ditentukan 60%. Maka dapat dihitung
progress procurement ketika itu sebagai berikut :
P = [15%(PO) + 45%(Man) + 15%(Ship) + 15% (On Site) + 10%(MRR)] x
bobot P
Dari data di atas, maka progress Procurementnya adalah :
P = [{15%(10% + 15% + 35%)} + {45%(15% + 35%)} + {15%(35%)}] x
60%
= 22.05% dari total EPC progress
PMM Pekerjaan Construction
Kerap kali pihak eksternal hanya mengukur pencapaian progress proyek
dari tampak konstruksi, yaitu dari fisik pekerjaan sipil dan erection ME. Hal
tersebut tidak sepenuhnya salah, namun terhadap kontrak berbasiskan
EPC, maka bobot pekerjaan konstruksi harus berbagi dengan Engineering
dan Procurement, dan seperti dikatakan sebelumnya, untuk beberapa
proyek, nilai pengadaaan peralatan ME melebihi nilai pekerjaan
konstruksi.
Pekerjaan konstruksi sendiri dibagi menjadi civil works dan erection and
commissioning ME. Karena berasal dari dua disiplin pekerjaan yang
berbeda, maka PMM yang digunakan juga harus berbeda, berikut
paparannya :
Untuk pekerjaan sipil, metode pengukuran progress dapat dibagi dalam
tiga tahap : persiapan, pembangunan, dan finishing, berturut-turut dapat
diberikan persentase 20, 75, dan 5%. Karena jenis pekerjaan sipil sendiri
juga beragam, maka penentuan pekerjaan apa saja yang masuk tahap
persiapan (lean concrete, bekisting, dsb) dapat ditentukan oleh direksi
pekerjaan di lapangan. Begitu juga halnya dengan tahap pembangunan
(konstruksi) dan finishing.
Sedangkan untuk pekerjaan erection ME, kenaikan progress dapat
diberikan setelah pekerjaan bersangkutan melalui tahap-tahap sbb : 90%
erection, 5% test, dan 5% komisioning. Erection dimulai dari handling
peralatan hingga instalasinya selesai dilakukan. Test diperlukan untuk
pengujian individual peralatan, sementara kemajuan pekerjaan pengujian
sistem/subsistem dituangkan dalam progress komisioning.
Contoh pengukuran progress pekerjaan Construction diuraikan di bawah
ini : Pekerjaan Construction ditentukan memiliki bobot 35% dari total
bobot EPC. Saat ini kontraktor telah selesai membangun pondasi Main
Power Building, meskipun belum finishing. Heavy equipment switchyard
sudah di install semuanya. Selain itu bekisting pondasi Coal Handling
System baru saja selesai dirakit. Bobot pekerjaan sipil CWEC Main Power
Building, Switchyard, dan Coal Handling ditentukan masing-masing 30%,
10%, dan 15% dari total bobot sipil CWEC, begitu juga dengan
bobot erection and commissioning ME. Dengan pembagian bobot 60%
sipil dan 40% erection and commissioning dari total CWEC maka progress
Construction saat ini adalah sbb :
C = ([{20%(prep) + 75%(cons) + 5%(fnsh)} x 60%] + [{90%(erect) + 5%
(test) + 5%(comm)} x 40%]) x 35%
= ([{20%(30% + 10% + 15%) + 75%(30% + 10%) + 5%(0%)} x 60%] +
[{90%(10%) + 5%(0%) + 5%(0%)} x 40%]) x 35%
= 9.87% dari total progress EPC
Hal Yang Perlu Diperhatikan Terkait PMM Construction
Kadangkala dalam kontrak ada item pekerjaan konstruksi yang masuk ke
dalam schedule price civil works, erection and commissioning (CWEC) dan
masuk juga ke dalam schedule procurement (seringnya Ex Works),
terutama untuk pekerjaan sipil, misalnya saja pekerjaan concreting dan
piling.
Untuk CWEC tidak menjadi masalah karena kita dapat menggunakan
pengukuran progress seperti yang telah dijelaskan dalam PMM Pekerjaan
Konstruksi di atas, namun terasa janggal untuk schedule Ex Works. Dalam
aturannya, item pekerjaan yang ada dalam schedule Ex Works
mengharuskan penggunaaan termin pembayaran Down Payment,
Manufacturing dan Delivery on Site, yang dalam persyaratan
penagihannya wajib menyertakan Manufacturing Report, FAT report, MRR,
dsb. Padahal untuk pekerjaan concreting dan piling bisa dikatakan tidak
pernah dilakukan FAT dan inspeksi kedatangan material seperti yang
dilakukan pada procurement peralatan ME. Seperti dijelaskan pada PMM
Pekerjaan Konstruksi Sipil, concreting dan piling baru bisa diprogress jika
minimal telah dilakukan persiapan (selanjutnya pembangunan dan
finishing) yang pelaksanaanya baru bisa dilakukan setelah material-
material terkait sudah on site. Lagipula sangat tidak wajar misalnya, jika
direksi pekerjaan di lapangan sudah menaikkan progress concreting
ketika semen baru tiba di gudang. Progress akan dinaikkan minimal ketika
semen tersebut sudah digunakan sebagai persiapan pelaksanaan
concreting.
Untuk mengatasi masalah ini, dalam penyusunan PMM sebaiknya dipisah
antara item-item pekerjaan CWEC yang umumnya baru bisa diprogress di
lapangan (seperti pekerjaan civil works) dengan item pekerjaan yang
sudah bisa diprogress saat procurement (seperti pekerjaan steel structure
dan ME) yang biasanya memiliki jadwal inspeksi ke pabrikan. Untuk item
pekerjaan seperti concreting dan piling yang memiliki price di dua
schedule, CWEC dan Ex Works, pembobotan sebaiknya diletakkan
sepenuhnya di schedule price CWEC, walaupun untuk penagihannya tetap
dapat ditagihkan sesuai Term of Payment CWEC dan Ex Works. Jika
kontraktor tidak dapat menunjukkan evidence Manufacturing Report,
MRR, dsb, maka mau-tidak-mau kontraktor baru bisa mengajukan
penagihan schedule Ex Works tersebut saat konstruksi sipil telah
dilakukan, padahal secara Term of Payment kontraktual mereka sudah
berhak mengajukan penagihan saat semen yang digunakan untuk
pekerjaan concreting tersebut masih diolah dipabrik! Hal ini menjadi
masukan bagi tim pengadaan dan penyusunan kontrak.
Penutup
Persentase progress EPC seringkali terlihat bias jika dibandingkan dengan
kondisi aktual di lapangan. Dari sudut orang awam, tidak mungkin proyek
yang baru menyelesaikan pondasi sipil sudah memiliki progress EPC 70%.
PMM dapat digunakan untuk menjelaskan kepada pihak-pihak yang
mempertanyakan deviasi tersebut.
Tulisan ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber penyusunan dan
evaluasi approval PMM, namun semua dikembalikan kepada direksi
pekerjaan dan isi masing-masing kontrak pekerjaan yang mungkin
berbeda satu dengan lainnya. Kritik dan dan saran atas tulisan ini dapat
disampaikan melalui [email protected]. Semoga berkenan dan
terimakasih.
Pustaka
Contract Document Proyek-Proyek FTP 1 dan Skala Kecil PT PLN
(Persero)
Progress Measurement Method Proyek-Proyek FTP 1 dan Skala Kecil
PT PLN (Persero)
Tinggalkan komentarPosted on Juli 31, 2014 Project Management
Uang Muka Proyek EPCTiba-tiba hari itu saya dikejutkan dengan perbedaan pendapat
antara contract engineer dan kontraktor perihal apakah termin uang
muka salah satu proyek Loan berhak mendapatkan price adjustment atau
tidak. Debat yang juga terjadi di awal proyek ini kembali diakhiri dengan
kesimpulan yang dahulu sudah disepakati: uang muka tidak mendapatkan
price adjustment. Namun, bagi saya, debat tersebut tidak hanya memiliki
satu kesimpulan. Ada hal lain yang lebih dalam: saya jadi lebih paham
mengenai perbedaan mendasar antara dua jenis “uang muka”: advance
payment dan down payment. Tulisan ini menguraikan hal-hal terkait uang
muka proyek pembangkit EPC, dengan mengambil contoh proyek PLTU
FTP dan PLTA Loan milik PLN.
UANG MUKA PROYEK KONSTRUKSI
Termin uang muka diberikan di awal proyek, normalnya setelah kontrak
efektif. Dilihat dari jenis pekerjaan dan tata cara pembayarannya, uang
muka proyek konstruksi PLTU dan PLTA di Indonesia dapat digolongkan
menjadi dua macam: Advance Payment (AP) dan Down Payment (DP). AP
diberikan sebagai uang mula pekerjaan Civil Works, Erection and
Commissioning (CWEC), sedangkan DP merupakan bagian dari termin
pembayaran pekerjaan pengadaan material/peralatan (FOB dan Ex Work).
Pembahasan terkait AP dan DP tertuang dalam Terms of Payment masing-
masing kontrak (Anda juga bisa baca juga tulisan saya “Terms of Payment
Proyek Percepatan 10.000 MW Tahap I”).
Dari 36 kontrak pekerjaan pembangunan PLTU dan PLTA di Indonesia
pada tahun 2007-2012, hampir seluruhnya memberikan AP sebesar 20%
(untuk bagian Rupiah) dan 10% (USD) dari total nilai pekerjaan CWEC, dan
15% untuk pekerjaan FOB dan Ex Work [1]. Ditinjau dari sudut
manajemen keuangan proyek, uang tersebut dibutuhkan oleh kontraktor
untuk menutupi biaya ikatan pekerjaan dengan subkon/subvendor,
kebutuhan mobilisasi, desain dsb [2]. Uang muka juga berfungsi sebagai
semacam jaminan pembayaran dari PLN, karena tetap saja ada
kekhawatiran dari kontraktor bahwa PLN tidak dapat membayar nantinya.
Berbeda dengan progress payment, termin pembayaran uang muka
dilakukan saat kontraktor belum melakukan prestasi kerja [1]. Sebagai
jaminan, kontraktor diharuskan untuk menyertakan AP/DP Bond minimal
senilai uang muka yang mereka terima.
ADVANCE PAYMENT
Cukup banyak definisi Advance Payment yang dapat kita jadikan
pegangan. FIDIC EPC/Turnkey Projects clause 14.2 mengartikan Advance
Payment sebagai “pinjaman bebas bunga untuk mendukung aliran kas
yang diberikan oleh owner kepada kontraktor untuk keperluan mobilisasi
dan desain.” [1]. Namun saya, sesuai dengan tata cara pembayaran yang
ada pada kontrak PLTU dan PLTA, mengartikannya seperti ini: advance
payment merupakan bagian dari progress pembayaran selain retensi
yang diberikan di awal proyek.
Di luar 10% retensi, pekerjaan CWEC memiliki termin yang umum disebut
sebagai progress payment, dapat ditagihkan kapanpun pekerjaan terkait
telah mencapai progress yang diajukan untuk ditagihkan. Nilai progress
payment ini 90% nilai progress pekerjaan. Lalu dimanakah porsi uang
muka (AP) pekerjaan terkait, bukankah retensi plus progress payment
telah mencapai 100%? Disitulah bagi saya makna “advance” benar-benar
tampak. Benar bahwa nilai AP merupakan 10-20% dari total nilai CWEC,
namun dengan kenyataan bahwa retensi tetap ditahan 10% untuk dibayar
di akhir proyek, maka AP tersebut pada dasarnya digunakan sebagai uang
mula dari 90% pekerjaan, atau dapat saya simpulkan, advance payment
merupakan uang awal dari periodic progress payment, bukan dari
keseluruhan nilai CWEC, walaupun nilainya diambil dari 10-20% total nilai
pekerjaan CWEC.
DEDUKSI ADVANCE PAYMENT
Karena telah diberikan di awal proyek sebagai bagian dari progress
payment, maka AP harus dikembalikan di setiap tagihan progress
payment pekerjaan CWEC hingga nilainya balance.Deduksi merupakan
bagian integral AP yang diberikan Owner kepada kontraktor [2]. Pada
kontrak proyek PLTU dan PLTA yang saya cuplik, selaras dengan
penagihan progress payment, 90% nilai pekerjaan, maka deduksi advance
payment juga seharusnya seperti itu, 15-20% dikali dengan 90% nilai
pekerjaan. Namun pada cukup banyak kontrak, nilai pemotongan ini
melebihi persentase tersebut. Tagihan progress payment harus dipotong
dengan 30% bahkan 40% dari 90% nilai pekerjaan terkait. Cara seperti ini
baik jika diterapkan pada proyek PLTU karena dengan dipotong lebih
banyak di bagian-bagian awal-ke-tengah masa proyek, kontraktor dapat
lebih leluasa mengatur keuangannya di masa tengah-ke-akhir proyek
karena jika ditinjau dari manajemen biaya dan schedule proyek PLTU,
pada periode tengah-ke-akhir tersebut kontraktor harus menjalani masa
komisioning yang umumnya memiliki nilai tagihan yang lebih sedikit
padahal mereka harus mengeluarkan uang yang lebih banyak (pengujian
yang tidak sebentar, membayar tenaga ahli komisioning, biaya peralatan,
dsb). Dengan dipotong lebih banyak pada masa awal-ke-tengah proyek,
maka diharapkan deduksi AP ini sudah balance di periode tersebut,
sehingga pada periode tengah-ke-akhir kontraktor mendapatkan porsi
90% progress payment tersebut tanpa pemotongan. Sebaliknya, untuk
proyek PLTA sebaiknya digunakan konsep pemotongan progress payment
yang lebih besar di akhir mengingat konstruksi sipil PLTA membutuhkan
biaya yang sangat besar, dan konstruksi tersebut dilakukan di awal
proyek.
Metode lainnya saya namakan metode pemotingan flat, dimana nilai
pemotongan disesuaikan dengan persentase uang muka yang didapat di
awal, berkisar pada 15%-20% nilai pekerjaan. Metode pemotongan ini
akan secara flat memotong progress payment kontraktor dan baru bisa
balance pada peiode akhir proyek, namun nilainya tidak memberatkan
kontraktor pad periode manapun dalam masa pelaksanaan proyek.
Pada dasarnya, metode apapun yang dipakai harus konsisten diterapkan
dalam aktual pelaksanaan pemotongannya. Perubahan metode
pemotongan progress payment yang dilakukan pada masa pelaksanaan
proyek bukan saja dapat berdampak pada berubahnya aliran kas PLN dan
kontraktor, namun juga dapat menjadi preseden buruk bagi PLN karena
aliran kas adalah salah satu hal yang, seharusnya, dihitung secara cermat
oleh pada bidder untuk maju mengajukan tawaran pada proses
pelelangan dulunya.
DOWN PAYMENT
Sama-sama diberikan di awal proyek, namun konsep DP berbeda jauh
dengan AP. Jika AP adalah bagian dari progress payment yang diberikan
diawal, maka DP adalah termin dari progress payment itu sendiri. DP
digunakan sebagai termin pembayaran pengadaan material/peralatan
yang besarnya 15% dari total nilai materil/peralatan tersebut [1]. Masih
bingung apa bedanya dengan AP pada pekerjaan CWEC? Ada baiknya
Anda perhatikan semesta diagram di bawah ini:
AP merupakan bagian dari total
nilai CWEC, namun dalam pemotongannya, AP hanya menjadi bagian dari
progress payment, tidak termasuk retensi. Sementara DP merupakan
termin yang berdiri sendiri, menjadi 15% bagian dari nilai pekerjaan
FOB/EW, bukan menjadi bagian termin lainnya.
DEDUKSI DOWN PAYMENT
Langsung saja, tidak ada yang namanya deduksi down payment. Dari
diagram di atas, dapat dijelaskan bahwa down payment bukan merupakan
bagian dari progress payment. Penagihan progress payment pekerjaan
FOB/EW sesuai nilai masing-masing termin (Manufacturing, Transportasi,
On Site).
KONDISI KONTRAKTUAL LAINNYA
Terms of Payment juga mengharuskan PLN membayar uang muka paling
lambat 45-90 hari setelah aplikasi pembayaran disetujui oleh PLN. Dengan
waktu pelaksanaan pekerjaan yang berkisar pada rentang 20 s.d. 33
bulan, waktu 45-90 hari tersebut cukup memberatkan kontraktor
mengingat mereka dituntut segera memulai pekerjaan ketika kontrak
telah efektif. Tidak sedikit kontraktor yang mengajukan perubahan
rentang waktu pembayaran uang muka tersebut.
Masalah lainnya yang menimpa beberapa kontrak pembangunan
pembangkit listrik di Indonesia adalah ketika waktu pembayaran sesuai
tenggat kontraktual tersebut telah jatuh tempo, PLN belum memiliki
sumber dana yang dapat digunakan untuk membayar hak kontraktor
tersebut. Sepertinya sudah menjadi lumrah melihat cukup banyak kontrak
diberikan perpanjangan waktu sebagai akibat dari keterlambatan
pembayaran AP/DP. Pemberian Extension of Time tersebut memang
berhak diterima kontraktor, bahkan seharusnya mereka juga berhak
mendapatkan penggantian biaya bunga pinjaman yang mereka gunakan
untuk menutupi terlebih dahulu biaya pada awal proyek atau price
adjusment akibat berubahnya nilai uang karena telah berjalannya waktu
tanpa aktivitas. Sayangnya dua hal terakhir ini sulit diklaim kontraktor
mengingat sebagian besar kontrak tidak memiliki dasar kontraktual yang
mengatur hal tersebut. Jika sudah begitu, ke depannya PLN akan sangat
sulit mendapatkan kontraktor untuk proyek-proyek kelistrikan yang saya
pikir tidak akan ada hentinya.
PENUTUP
Jadi, Anda sudah tahu apa jawaban debat-tidak-perlu antara konsultan
dan kontraktor yang saya ceritakan di awal? Termin uang muka, pada
proyek yang dibicarakan dalam debat tersebut, baik itu AP maupun DP,
tidak dapat diberikan adjustment nilainya karena sudah diberikan pada
saat (atau disekitar waktu) kontrak efektif, tidak ada perbedaan waktu
yang menjadi dasar utama klaim price adjusment dapat diakomodasi.
Tidak ada juga clause dalam kontrak yang mengatur hal tersebut.
Walaupun terlihat serupa, sama-sama diberikan di awal, namun konsep
AP dan DP dapat dikatakan sangat berbeda, dimana AP dalam tulisan ini
diartikan sebagai bagian dari tagihan bulanan yang telah diberikan di
awal. DP sendiri dimaksudkan sebagai salah satu bagian/termin tagihan
(pengadaan peralatan/material) yang diberikan di awal. Namun apapun
istilahnya, pada dasarnya termin di awal proyek ini sangat membantu
kontraktor untuk menjalani periode awal proyek. Saya tutup uraian ini
dengan permintaan maaf jika terdapat kesalahan dalam tulisan ini.
Terimakasih.
PUSTAKA
[1] Contract Document Pembangunan 36 PLTU dan PLTA di Indonesia
(2007-2012)
[2] Conditions of Contract for EPC/Turnkey Projects. First Edition. FIDIC.
1999
Tinggalkan komentarPosted on Juli 31, 2014 Project Management
Evaluasi Price AdjustmentBeberapa proyek pekerjaan konstruksi memiliki klausa Price Adjustment di
dalam kontraknya. Artinya, nilai kontrak yang telah disepakati di awal
dapat berubah sesuai dengan perubahan nilai/harga item-item yang dapat
diadjust nilai/harganya. Karena nilai/harga item-item ini mengikuti inflasi
(semakin lama nilainya semakin naik), maka tidak menutup kemungkinan
kontraktor cenderung memperlambat pekerjaan agar nilai price
adjustment yang dihasilkan semakin besar, walaupun harus dibarengi
dengan risiko dikenakan denda keterlambatan pekerjaan (Liquidated
Damage). Tulisan ini memaparkan beberapa hal yang harus dievaluasi
terkait dengan klaim price adjustment proyek pekerjaan konstruksi
pembangkit.
Di beberapa proyek, klausa Price Adjustment dituangkan dalam Condition
of Particular Application dan General Condition of Contract. Karena sifat
proyek yang dilaksanakan dalam waktu yang cukup lama, maka price
adjustment memiliki tujuan utama sebagai sarana yang disediakan untuk
kontraktor agar dapat menutupi kerugian akibat kenaikan harga item-item
pekerjaan konstruksi yang mereka laksanakan. Kenaikan ini, misalnya,
dapat dilihat dari naiknya nilai index BPS untuk item-item pekerjaan
konstruksi dari waktu ke waktu.
Formula umum price adjustment adalah sebagai berikut :
P=a+b Bn/Bo+c Cn/Co+d Dn/Do+ …
Dimana P merupakan faktor pengali nilai yang akan diadjust. Koefisien a,
b, c, d adalah konstanta masing-masing item pekerjaan. Bn, Cn, Dn
merupakan index item-item pekerjaan pada saat n dan Bo, Co, dan Do
adalah index pada saat awal pekerjaan. Index awal Bo, Co, dan Do ini
telah ditentukan sebelumnya dan dicantumkan di kontrak, misalnya index
pada saat pembukaan tender dsb.
Karena rumusnya telah ditentukan seperti di atas, sepertinya price
adjustment merupakan hal yang eksak, nilanya sudah dapat diketahui
tanpa perlu adanya evaluasi dari pihak penyedia dana proyek, dalam hal
ini PLN. Tunggu dulu, karena sebenarnya ada beberapa hal yang harus
dievaluasi terkait dengan besar nilai price adjustment, di luar ketelitian
perhitungan matematis menggunakan formula di atas tentunya. Berikut
ini paparannya.
Evaluasi Schedule vs Aktual
Perhatikan formula price adjustment yang telah disebutkan di atas. Dalam
formula ini, index Bn, Cn, Dn merupakan index yang nilainya bergantung
pada waktu. Utamanya dipengaruhi oleh faktor inflasi, semakin lama nilai
index ini cenderung semakin meningkat. Dengan koefisien a, b, c, dan d
yang konstan dan index Bo, Co, dan Do yang telah ditentukan di awal,
maka faktor pengali price adjustment P bergantung secara linear pada
index Bn, Cn, Dn ini. Artinya, semakin lama suatu proyek berlangsung,
semakin besar pula nilai price adjustmentnya.
Meski begitu, kontraktor tidak dapat semena-mena memanfaatkan hal di
atas. Tidak adil rasanya apabila justru dengan keterlambatannya,
kontraktor justru mendapatkan nilai price adjustment yang lebih besar
dibanding jika mereka bekerja lebih cepat. Untuk menutupi kelemahan
empiris ini, evaluasi yang dapat PLN lakukan adalah dengan
membandingkan waktu aktual pengerjaan item pekerjaan yang akan
diadjust dengan waktu yang telah ditentukan di schedule awal, mana
yang terjadi lebih dahulu maka waktu itulah yang akan dipakai indexnya
untuk digunakan dalam formula price adjustment. Dengan begitu, nilai
price adjutment masih dapat dikontrol sesuai performa kontraktor.
Evaluasi Schedule Extension of Time
Jika ada EOT, maka kontraktor harus mengajukan schedule proyek yang
baru. Untuk membuat besar nilai price adjustment nantinya, tidak
menutup kemungkinan kontraktor membuat schedule item-item
pekerjaan yang dapat diadjust nilainya menjadi semakin panjang. Untuk
itu PLN harus dapat mereview schedule baru ini dengan baik dan teliti.
Evaluasi Item-Item Price Adjustment
Beberapa item pekerjaan yang ada di kontrak terkadang tidak pantas
mendapatkan price adjustment karena hanya dilakukan di awal masa
proyek, seperti pembuatan Performance Bond, Asuransi (di awal proyek),
dan keperluan administrasi proyek lainnya yang hanya dibuat di awal
proyek. Meskipun nilainya kecil, namun hal ini tetap harus dievaluasi.
Evaluasi Advance/Down Payment
Harus diperhatikan juga apakah ada di dalam kontrak klausa yang
menerangkan bahwa apakah nilai kontrak yang telah diberikan sebagai
uang muka dapat diberikan price adjutmentnya atau tidak. Beberapa
proyek yang didanai oleh Loan Asing dalam kontraknya tidak
menyebutkan ketentuan ini, namun dalam guidance Loan tersebut jelas
diuraikan bahwa advance/down payment tidak memiliki price adjustment.
Jika seperti itu, berarti kita telah mengurangi nilai price adjustment
sebesar 15 s.d 20% (sesuai persentase uang muka proyek konstruksi
pembangkit pada umumnya).
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas adalah:
1. Price Adjustment merupakan klausa kontrak yang dapat memberikan
rasa adil bagi PLN dan kontraktor dalam pelaksanaan proyek
konstruksi
2. Kontraktor tidak dapat serta-merta memanfaatkan lambatnya kinerja
mereka untuk meraih keuntungan yang lebih besar dari price
adjustment
3. Beberapa hal dapat diterapkan sebagai evaluasi price adjustment.
Evaluasi-evaluasi ini diharapkan dapat mengontrol nilai dan keadilan
dalam price adjustment proyek konstruksi.
Pustaka:
Kontrak proyek pembangunan pembangkit listrik yang didanai loan
asing
Amandemen Kontrak untuk Price Adjustment
Blog di WordPress.com. | The Adaption Theme.