print presentasi

16
BAB I PENDAHULUAN A. Terpenoid Tumbuhan merupakan sumber daya hayati dan sekaligus sebagai gudang senyawa kimia baik berupa senyawa kimia hasil metabolit primer seperti protein, karbohidrat, lemak, yang digunakan sendiri oleh tumbuhan tersebut untuk pertumbuhannya, maupun sebagai sumber senyawa metabolit sekunder salah satunya yaitu senyawa terpenoid. Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan bioaktivitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau lingkungan.Terpenoid merupakan bentuk senyawa dengan keragaman struktur yang besar dalam produk alami yang diturunkan dan unit isoprena (C5) yang bergandengan dalam model kepala ke ekor (head-to-tail). Terpenoid adalah senyawa alam yang terbentuk dengan proses biosintesis, terdistribusi luas dalam dunia tumbuhan dan hewan. Terpenoid ditemuin tidak saja pada tumbuhan tingkat tinggi namun juga pada terumbu karang dan mikroba. Struktur terpenoid dibangun oleh molekul isoprene, CH 2 =C(CH 3 )-CH=CH 2 , kerangka terpenoid terbentuk dari dua atau lebih banyak satuan unit isoprene (C 5 ). Terpenoid yang disebut juga isoprenoid, diklasifikasikan atas jumlah unit isoprene yang membangunnya, dengan demikian ada yang terdiri atas dua (C 10 ), tiga (C 15 ), empat (C 20 ), enam (C 30 ), atau delapan (C 40 ) isoprene. Sebagian besar terpenoid mempunyai kerangka karbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit C 5 yang disebut unit isoprene. Unit C 5 dinamakan demikian 1

Upload: levina-apriyani

Post on 26-Nov-2015

53 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Terpenoid

Tumbuhan merupakan sumber daya hayati dan sekaligus sebagai gudang senyawa kimia baik berupa senyawa kimia hasil metabolit primer seperti protein, karbohidrat, lemak, yang digunakan sendiri oleh tumbuhan tersebut untuk pertumbuhannya, maupun sebagai sumber senyawa metabolit sekunder salah satunya yaitu senyawa terpenoid. Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan bioaktivitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau lingkungan.Terpenoid merupakan bentuk senyawa dengan keragaman struktur yang besar dalam produk alami yang diturunkan dan unit isoprena (C5) yang bergandengan dalam model kepala ke ekor (head-to-tail). Terpenoid adalah senyawa alam yang terbentuk dengan proses biosintesis, terdistribusi luas dalam dunia tumbuhan dan hewan. Terpenoid ditemuin tidak saja pada tumbuhan tingkat tinggi namun juga pada terumbu karang dan mikroba. Struktur terpenoid dibangun oleh molekul isoprene, CH2=C(CH3)-CH=CH2, kerangka terpenoid terbentuk dari dua atau lebih banyak satuan unit isoprene (C5). Terpenoid yang disebut juga isoprenoid, diklasifikasikan atas jumlah unit isoprene yang membangunnya, dengan demikian ada yang terdiri atas dua (C10), tiga (C15), empat (C20), enam (C30), atau delapan (C40) isoprene. Sebagian besar terpenoid mempunyai kerangka karbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit C5 yang disebut unit isoprene. Unit C5 dinamakan demikian karena kerangka karbonnya sama seperti senyawa isoprene (Sirait, 2007).

Gambar 1. Unit Isopren

(Osbourn, 2009).

Sebagian besar terpenoid mempunyai struktur siklik dengan satu atau lebih gugus fungsional (hidroksi, karbonil, dll). Sesuai dengan strukturnya, terpenoid pada umumnya merupakan senyawa yang larut dalam lipid, senyawa ini berada pada sitoplasma sel tumbuhan. Berdasarkan tingkat kepolarannya terpenoid diekstraksi dari jaringan tumbuhan dengan petroleum eter, eter dan kloroform, selanjutnya dipisahkan dengan metode kromatografi dengan fasa diam silica gel atau alumina dan dengan fasa gerak yang sesuai (Sirait, 2007).

B. Triterpenoid

Triterpenoid adalah senyawa metabolit sekunder yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan diturunkan dari hidrokarbon C 30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berbentuk siklik atau asiklik dan sering memiliki gugus alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Sebagian besar senyawa triterpenoid mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol sehingga dalam kehidupan sehari-hari banyak dipergunakan sebagai obat seperti untuk pengobatan penyakit diabetes, gangguan menstruasi, patukan ular, gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria (Widiyati, 2005).

Pada tumbuhan yang mengandung senyawa Triterpenoid terdapat nilai ekologi karena senyawa ini bekerja sebagai anti fungus, insektisida, anti pemangsa, anti bakteri dan anti virus. Uji kimia yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya senyawa Triterpenoid dalam bagian tumbuhan adalah dengan menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard, sedangkan untuk mengetahui adanya keaktifan biologis dari ekstrak bagian tanaman yang mengandung senyawa Triterpenoid dapat dilakukan dengan uji Brine Shrimp menggunakan hewan uji Arthemia Salina Leach (Widiyati, 2005).

C. Fitosterol

Sterol adalah triterpen yang strukturnya berdasarkan sistem cincin siklopentena perhidron fenantren. Pada suatu waktu, sterol diduga sebagai senyawa yag terdapat pada hewan (sebagai hormon seks, asam empedu, dll), tapi belakangan ini terlihat penambahan jumlah senyawa semacam ini yang dideteksi dari jaringan tumbuhan (Sirait, 2007).

Sterol merupakan steroid yang mempunyai satu atau lebih gugus hidroksil dan tanpa gugus karboksil atau karbonil. Sterol yang terdapat pada hewan disebut sterol hewani dan yang terdapat pada tanaman disebut sterol nabati. Sterol mempunyai rangka siklopentanoperhidrofenantrena yang telah termodifikasi. Sterol yang telah diisolasi dan diidentifikasi dari jaringan hewan atau tanaman pada umumnya memiliki struktur kimia yang mengandung sebuah gugus hidroksil (Sumardjo, 2009).

Senyawa sterol pada tumbuhan memiliki beraneka macam bentuk molekul yang strukturnya hampir mirip dengan kolesterol (Quilez et al., 2003). Sterol pada tanaman berupa C28 atau C29, sedangkan kolesterol berupa C27. Kurang lebih 40 jenis tanaman sterol dari berbagai daerah yang berbeda telah diidentifikasi mengandung campesterol (C28), stigmasterol (C29) dan beta - Sitosterol (C29) yang paling banyak kandungannya dalam sterol tanaman. Senyawa stanol dalam tanaman merupakan senyawa yang tersusun dari reaksi hidrogenisasi dari sterol dan jumlah senyawa ini sangat sedikit di alam (Law, 2002).

(Law, 2002).

Senyawa senyawa sterol yang berupa campsterol, stigmasterol, dan beta - Sitosterol umumnya terdapat dalam tumbuhan sebagia bentuk bebas dan dalam bentuk glikosida (Sirait, 2007). Fitosterol (Merupakan senyawa sterol dan stanol dalam tanaman) merupakan senyawa yang tidak dapat disintetis oleh tubuh manusia (Jong et al., 2003). Fitosterol ini berguna untuk mengurangi kolestrol dalam darah (Quilez et al., 2003). Sterol dalam tanaman juga berguna untuk melindungi tubuh dari penyakit kanker (Tasan ve ark., 2006).

Gambar 3. Turunan Fitosterol

(Tasan ve ark., 2006).Fitosterol merupakan steroida (sterol) yang terdapat di dalam tanaman dan mempunyai struktur yang mirip dengan kolesterol, tetapi fitosterol mengandung gugus etil pada rantai cabangnya. Pada tanaman terdapat lebih dari 40 senyawa sterol yang didominasi oleh tiga bentuk utama dari fitosterol, yaitu beta-sitosterol, campesterol, dan stigmasterol. Fitosterol steroida (sterol) yang terdapat di dalam tanaman dan mempunyai struktur yang mirip dengan kolesterol tetapi, fitosterol mengandung gugus etil (-CH2-CH3) pada rantai cabang (Silalahi, 2006).D. Beta-Sitosterol

Beta-Sitosterol merupakan fitosterol yang paling melimpah. Beta-sitosterol terdapat pada legume, minyak biji, dan minyak tumbuhan seperti peanut butter, dan biji bunga matahari. Beta - Sitosterol menghambat pertumbuhan sel tumor di dalam tubuh dan menurunkan resiko terkena tumor (Awad, 2007). Kehadiran beta-Sitosterol di dalam hati akan mempercepat rusaknya enzim spesifik yang dibutuhkan hati untuk memproduksi kolesterol, atau secara tidak langsung menghambat pembentukan kolesterol di hati. Beta-Sitosterol memiliki struktur kimia yang hampir sama dengan kolesterol sehingga bisa menghambat absorbsi kolesterol oleh darah ( Tisnadjaja, dkk., 2006).Beta sitosterol biasanya diperoleh dalam bentuk bubuk putih, rumus molekulnya yaitu C28H51O. biasanya beta sitosterol dikenal dengan naman (3 Beta)-stigmast-5-en-3-ol; 22:23-dihydrostigmasterol; 24beta-ethyl-delta-5-cholesten-3beta-ol. Beta sitosterol sangat tidak larut dalam air (pelarut polar), tetapi sangat mudah larut dalam media lipid (non-polar). Beta sitosterol ditemukan pada ester alami dan dalam bentuk glikosida, dimana kedua bentuk tersebut memiliki sifat kelarutan lebih tinggi daripada beta sitosterol itu sendiri. Senyawa beta sitosterol ini merupakan senyawa fitosterol yang paling melimpah. Senyawa ini biasa ditemukan pada kingdom tanaman dan biasanya ditemukan pada tanaman Serenoa repens (saw palmetto), Curcurbita pepo (biji labu), dan Pygeum africanum. Secara kimia, beta sitosterol termasuk senyawa yang tidak mengandung cholesterol. Senyawa ini sangat berbeda dengan cholesterol dimana perbedaan tersebut terlihat pada atom C24 yang berada pada sisi cincin. Beta sitosterol biasanya digunakan dalam pengobatan terhadap kelainan kelenjar prostat, selain itu juga menghambat bahkan menurunkan aktivitas kolesterol dalam tubuh (Kongduang, 2008).Sifat fisika kimia Beta-sitosterol yaitu senyawa ini diperoleh dalam bentuk kristal putih; titik leburnya 136-138oC; panjang gelombang maksimal dalam EtOH sebesar 206nm; pita-pita penyerapan IR muncul pada 3549.99 cm-1 (OH), 2935.73 cm-1 (CH2), 2867.38 cm-1 (CH), 1637.63 cm-1 (C=C), 1063.34cm-1 (C-O); Senyawa ini memiliki 6 metil, 11 metilen, dan 3 karbon kuartener dengan suatu gugus hidroksil, dan bersifat non-polar. Beta-sitosterol sangat larut dalam media air dan kurang larut dalam media lipid. Senyawa ini ditemukan di alam pada bentuk ester dan glikosida, dimana kedua bentuk tersebut lebih mudah larut dibanding beta-sterol itu sendiri. Senyawa ini merupakan fitosterol yang paling berlimpah. Beta-sitosterol mempunyai aktivitas merendahkan kolesterol

(Patra, 2010).

E. Tanaman Hygrophila spinosaSenyawa beta-sitosterol banyak ditemukan pada tanaman, seperti pada tanaman satu ini, dimana beta-sitosterol banyak terkandung pada tanaman Hygrophila auriculata (Schumach. ) Heine, berikut keterangannya :

Hygrophila auriculata (Schumach. ) Heine

Gambar 4. Tanaman Hygrophila spinosaSinonim : Hygrophilia spinosa T. Anderson

Nama umum : Talmakhan (Nep.)

Famili :Acanthaceae

Diskripsi : termasuk tanaman herbal yang tidak bercabang kuat tingginya kurang lebih 150 cm. Tangkai bunganya berbentuk segi 4 dan berambut. Daunnya melingkar, node dan durinya tajam, berwarna kuning melingkar di ketiak daun. Bunganya berwarna ungu kebiruan panjangnya mencapai 3 cm, bentuknya seperti bibir.

Kegunaan : akar dan biji bersifat diuretic. Daunnya biasanya digunakan untuk mengobati batuk dan kelainan fungsi uretra. Bijinya berguna untuk perawaratan kelainan fungsi veneral. Obat yang dibuat dari tanaman tersebut biasanya digunakan untuk perawatan kelainan sistem urinaria, penyakit kuning, obat tetes dan obat rematik (Joshii, 2006).

Organ asal tanaman

Hygrophila spinosa T. Anders (Achanthaceae) atau yang sering dikenal dengan Talmakhana di daerah Hindia mengandung alkaloid, fitosterol, glycosides, amino sel, protein, asam fenolik, enzyme, vitamin, sakarida, mineral, flavonoid, gum dan muchilago, terpenoid, dan lain sebagainya. Pada ekstraksi senyawa beta sitosterol di tanaman ini, menggunakan ekstraksi kloroform pada bagian daunnya. Hygrophila spinosa T. Anders (Achanthaceae) merupakan tanaman yang sering digunakan di sistem pengobatan di daerah Ayuvedic dan Yunani. Tanaman ini digunakan untuk perawatan berbagai penyakit. Tanaman Hygrophila spinosa merupakan tanaman dari Berhampur, Orissa, India dan identifikasi botanical yang diperoleh dari Departemen of Pharmaceutical Sciences, Birla Institute of Technology, Mesra, Ranchi (Voucher no. BITPcog.436/07-08). Daun dari tanaman tersebut dikeringkan, dan dibuat simplisia (Patra, 2010).F. Prosedur Isolasi beta Sitosterol Dari tanaman Hygrophila spinosa

Simplisia kering yang sudah diserbukan diekstraksi dengan petroleum ether, kloroform dan alcohol menggunakan soxhlet. Ekstraksi kloroform dikromatografi di kolom silica gel dan dielusi dengan campuran pelarut yang meningkatkan kepolaritas, yang terdiri dari petroleum eter, benzene, dan kloroform. Semua fraksi dipantau menggunakan TLC. Fraksi dikumpulkan menggunakan petroleum eter : benzene (20:80) yang ditarik bersamaan dengan fraksi yang menunjukan bercak yang sama pada nilai Rf di TLC. Setelah itu diuapkan diatas waterbath (50o-60oC) untuk mendapatkan residu padat. Residu tersebut akan larut dalam campuran CHCL3 :EtOH (40:60) dengan sedikit bantuan pemanasan diatas waterbath. Kemudian dibiarkan di dalam refrigerator yang dapat menstabilkan bentuk dasar Kristal dari 5-en-3-ol (-Sitosterol) yang diperoleh. Penyusun struktur dari isolasi tersebut didirikan atas dasar dari analisis elemental dan bukti spectroscopic (IR, UV, 1HNMR, 13CNMR, MS). Struktur tersebut disimulasikan menggunakan program ACD/NMR untuk mendapatkan pergeseran proton dan karbon kimia (Patra, 2010).BAB IIJALUR BIOSINTESIS

A. Building Block Beta Sitosterol

Gambar 5. Building Block Beta SitosterolB. Reaksi dalam jalur Biosintesis

Gambar 6. Jalur asetat dalam pembentuka IPP yang merupakan batu bata pembentukan terpenoid via asam mevalonat

(Osbourn, 2009).

Mekanisme dari tahap tahap reaksi biosintesa terpenoid adalah asam asetat setelah diaktifkan oleh koenzim A melakukan kondensasi jenis Claisen menghasilkan asam asetoasetat. Senyawa yang dihasilkan ini dengan asetil koenzim A melakukan kondensasi jenis aldol menghasilkan rantai karbon bercabang sebagaimana ditemukan pada asam mevalinat. Reaksi reaksi berikutnya adalah fosforilasi, eliminasi asam fosfat dan dekarboksilasi menghasilkan isopentenil pirofosfat (IPP) yang selanjutnya berisomerisasi menjadi Dimetil alil pirofosfat (DMAPP) oleh enzim isomerase. IPP sebagai unit isoprene aktif bergabung secara kepala ke ekor dengan DMAPP dan penggabungan ini merupakan langkah pertama dari polymerase isoprene untuk menghasilkan terpenoid (Osbourn, 2009).Gambar 7. Reaksi Pembentukan Fitosterol

(Osbourn, 2009).

Fitosterol ini dibiosintesis menjadi 3 senyawa sterol turunannya, yaitu Stigmasterol, Campesterol, dan beta-Sitosterol. Untuk sintesis senyawa beta-sitosterol yang memiliki gugus isoprene akan menggunakan jalur MVA (Mevalonat Pathway) dalam sintesisnya.Gambar 8. Sintesis Beta Sitosterol Jalur Mevalonat

(Kongduang D., Juraithip W., Wanchai De-Eknamkul, 2008).BAB III

MANFAAT DALAM DUNIA KEFARMASIAN

A. Manfaat

Beta-Sitosterol adalah phytosterol tanaman yang menawarkan banyak manfaat bagi kesehatan. Beta-Sitosterol memiliki pengaruh dalam:

1. Mengurangi LDL dalam darah Kolestrol adalah lemak yang terdapat di dalam aliran darah atau sel tubuh yang sebenarnya dibutuhkan untuk pembentukan dinding sel dan sebagai bahan baku beberapa hormon. Kolesterol ada 2 jenis yaitu HDL dan LDL. LDL merupakan kolesterol yang buruk dalam tubuh kita, berbeda dengan LDL, HLD merupakan kolesterol yang baik untuk tubuh kita. HDL akan membawa kolesterol LDL dari darah ke hati yang akan dihancurkan dan kemudian dilepaskan, itulah sebabnya mengapa kadang-kadang HLD disebut kolesterol baik. Beta sitosterol secara signifikan mengurangi jumlah baik LDL dan kadar kolesterol total dalam darah. Setelah tingkat kolesterol total turun ke tingkat tertentu, maka tubuh memproduksi lebih banyak kolesterol HDL dan memelihara keseimbangan agar kolesterol dalam tubuh tetap seimbang (Mangan, 2009).2. Perangsang daya imun

Beta sitosterol juga muncul untuk meningkatkan aktivitas NK-sel, dan juga dari proliferasi limfosit pada umumnya. Efek lain dari beta sitosterol dalam normalisasi insulin dan kadar gula darah pada diabetes tipe 2. Hal ini dilakukan dengan menghambat enzim-glukosa 6-fosfatase yang bertanggung jawab untuk konversi karbohidrat ke D-glukosa yang

(Adi, 2008).Konsentrat Phytosterol (sterol yang berasal dari tumbuhan) Aman di konsumsi dan lebih mudah diserap oleh usus dibanding jenis kolesterol yang bersal dari hewan (Law, 2000). Studi penelitian klinis mengindikasi bahwa beta sitosterol dapat mengurangi kelainan pada sistem urinaria yang berhubungan dengan pelebaran prostat. Benign prostatic hyperplasia ini bisa disebabkan oleh tingginya kolesterol LDL, karena ada hubungan antara kadar kolesterol tinggi dan pembesaran prostat. Ini lagi mungkin disebabkan karena pendudukan situs reseptor pada membran sel prostat oleh phytosterol tersebut. Dan beta sitosterol dapat mencegah benign prostatic hyperplasia karena beta stosterol dapat menghambat atau memblok penyerapan kolesterol. Saat laki-laki bertumbuh besar, sel-sel di kelenjar prostat mereka juga berkembang, menyebabkan pembengkakan yang menghalangi kandung kemih membuka, menghasilkan penundaan saat buang air kecil dan pengosongan kandung kemih. Pelebaran non penyakit dari kelenjar prostat menyebabkan tekanan pada uretra, berperan seperti alat penjepit. Hasilnya adalah arus cairan urinaria lemah, hesitansi, dan gejala-gejala tidak nyaman lain pada urinaria seperti menambah frekuensi malam hari dan mendesak. Ketika laki-laki berumur 31-40 tahun hanya memiliki 8% kesempatan mendapatkan pelebaran prostat yang tidak berbahaya, risiko bertambah menjadi 40-50% pada laki laki berumur 51-60 tahun dan jadi lebih dari 80% pada laki laki berumur lebih dari 80 tahun (Law, 2000).B. Kesimpulan

1. Beta Sitosterol merupakan senyawa turunan dari fitosterol dimana fitosterol termasuk dalam golongan senyawa triterpen pada terpenoid

2. Beta sitosterol disintesis pada daun tanaman Hygrophila spinosa

3. Biosintesis Beta Sitosterol menggunakan sintesis jalur Mevalonat (Mevalonat Pathway)

4. Salah satu kegunaan dari Beta Sitosterol yaitu untuk menurunkan kadar LDL dalam darah1