prhesus anestesi.docx

15
ANESTESI SPINAL PERUBAHAN FISIOLOGI PADA SPINAL ANESTESIA Blokade somatis Dengan menghambat transmisi impuls nyeri dan menghilangkan tonus otot rangka, blok subarachnoid dapat menciptakan kondisi yang baik untuk pembedahan. Blok sensorik menghambat stimulus nyeri somatik atau visceral, sementara blok motorik menyebabkan relaksasi otot. Efek terhadap sistem saraf ototnom Sistem saraf simpatis Impuls eferea dan sistem saraf pusat sampai ke organ dan pembuluh darah yang disuplai berjalan sepanjang saraf preganglionik dan post ganglionik. Kedua serabut saraf dihubungkan dengan sinapsis dalam ganglion. Serabut saraf preganglion meninggalkan medula spinalis melalui radiks saraf ventralis T1 — L2, beberapa sumber juga mengatakan mereka berasal dari saraf servikal. Pada bagian servikal kumpulan ganglia ini menyusun ganglia servikal superior, servikal tengah dan stellat ganglia. Pada thorak, rangkaian simpatis ini membentuk saraf splanknikus yang menembus diafragma untuk mencapai ganglia dalam pleksus koeliak dan pleksus aortikorenal. Sistem saraf parasimpatis

Upload: samuel-g-h-simbolon

Post on 05-Nov-2015

236 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

docx

ANESTESI SPINALPERUBAHAN FISIOLOGI PADA SPINAL ANESTESIABlokade somatisDengan menghambat transmisi impuls nyeri dan menghilangkan tonus otot rangka, blok subarachnoid dapat menciptakan kondisi yang baik untuk pembedahan. Blok sensorik menghambat stimulus nyeri somatik atau visceral, sementara blok motorik menyebabkan relaksasi otot. Efek terhadap sistem saraf ototnomSistem saraf simpatisImpuls eferea dan sistem saraf pusat sampai ke organ dan pembuluh darah yang disuplai berjalan sepanjang saraf preganglionik dan post ganglionik. Kedua serabut saraf dihubungkan dengan sinapsis dalam ganglion. Serabut saraf preganglion meninggalkan medula spinalis melalui radiks saraf ventralis T1 L2, beberapa sumber juga mengatakan mereka berasal dari saraf servikal. Pada bagian servikal kumpulan ganglia ini menyusun ganglia servikal superior, servikal tengah dan stellat ganglia. Pada thorak, rangkaian simpatis ini membentuk saraf splanknikus yang menembus diafragma untuk mencapai ganglia dalam pleksus koeliak dan pleksus aortikorenal.

Sistem saraf parasimpatisSaraf eferen dan aferen dari sistem saraf parasimpatis berjalan melalui nervus kranial atau nervus sakralis ke 2, 3, 4. Nervus vagus merupakan saraf kranial paling penting yang membawa saraf eferen parasimpatis, tetapi mereka juga berada dalam n. okulomotororius, fasialis, glosofaringeus dan n. asesoriusBlokade OtonomHambatan pada serabut efferen transmisi otonom pada akar saraf spinal menimbulkan blokade simpatis dan beberapa blok parasimpatis. Simpatis outflow berasal dari segmen thorakolambal sedangkan parasimpatis dari craniosacral. Serabut saraf simpatis preganglion terdapat dari T1 sampai L2, sedangkan serabut parasimpatis preganglion keluar dari medula spinalis melalui serabut kranial dan sakral. Perlu diperhatikan bahwa blok subarachnoid tidak memblok serabut saraf vagal. Selain itu blok simpatis mengakibatkan ketidakseimbangan otonom, dimana parasimpatis menjadi lebih dominan.Efek terhadap kardiovaskulerSub arachnoid block menimbulkan penurunan tekanan darah yang bervariasi yang akan diikuti oleh penurunan detak jantung (HR) dan kontraktifitas jantung. Efek ini proporsional dengan derajat simpatektomi. Tonus vasomotor dipengaruhi oleh serabut simpatis dari T5 sampai LI, yang mensrafi otot polos arteri dan vena. Blok pada serabut saraf ini menyebabkan vasodilatasi vena-vena kapasitan, pooling darah, dan penurunan venous return ke jantung serta menurunkan SVR (Sistemik Vaskuler Resietauce). Efek cardiovaskuler dari neuroxial blok ini mirip dengan efek yang dihasilkan dari kombinasi l bloker dan bloker dimana detak jantung (HR) dan tekanan darah turun. Efek dari vasodilatasi arterial dapat diminimalisasi oleh kompensasi vesokonstruksi di atas level dari blok. Efek cardiovaskuler yang merugikan ini dapat diantisipasi dengan memberikan loading cairan kristaloid 10 12 ml/kg BB. Vasopresor efedrin yang memiliki efek langsung -adrenergik dapat diberikan untuk meningkatkan denyut jantung (HR), kontraktilitas serta efek tidak langsung dengan menyebabkan vasokontriksi.

Efek terhadap Pulmoner (Respirasi)Efek klinis pada fisiologi pulmoner biasanya jarang pada blok spinal. Walaupun pada blok tinggi thorak tidal volume tidak berubah, tapi sedikit penurunan pada kapasitas vital, yang terjadi karena kelemahan otot abdomiral yang berperan pada ekspirasi paksa (forced expiration). Reflek batuk dan pembersihan sekresi sekret dengan ekspirasi maksimal merupakan hal yang penting, terutama pada pasien dengan penyakit paru kronis. Untuk alasan tersebut, blok spinal harus berhati-hati pada pasien dengan gangguan respirasi yang memerlukan blok yang tinggi. Pembedahan pada thorak dan abdostinal atas berkaitan dengan penurunan fungsi diafragma postoperatif (akibat penurunan aktifitas n phrenikus) dan penurunan FRC (Functional Resdual Capasity) yang dapat menimbulkan atelektasis dan hipoksia karena gangguan ventilasi perfusi. Kejadian henti nafas yang berhubungan dengan spinal anestesia, tidak berhubungan dengan blok n. phrenicus atau disfungsi inspiratori, tetapi lebih berhubungan dengan hipoperfusi dari pusat respirasi pada batang otak, hal ini didukung oleh hal yang menunjukkan bahwa apnea hampir selalu hilang setelah pemberian obat farmakologik dan terapi cairan mengembalikan cardiak output dan tekanan darah.

Efek terhadap GastrointestinalSimpatis outflow mulai dari level T5 - L1, membantu menurunkan peristaltik, menjaga tonus spingter dan mengoposisi tonus vagal. Blok subarachnoid menyebabkan simpatektomi sehingga tonus vagal menjadi dominan dan menyebabkan kontraksi usus meningkat. "Hepatik blood flow" akan menurun dengan menurunnya MAP akibat berbagai teknik anestesia. Nausea dan vomitus mungkin berhubungan dengan blok spinal pada 20% pasien akibat hiperperistaltik gastrointestinal karena aktivitas parasimpatis. Atropin cukup efektif untuk mengatasi nausea pada keadaan ini.

Efek pada Traktus UrinariusAliran darah ginjal "Renal Blood Flow" terpelihara oleh adanya mekanisme autoregulasi dan blok spinal memiliki sedikit efek klinis terhadap fungsi ginjal. Neuroxial anestasi pada lumbal dan sacral menghambat kontrol simpatis dan parasimpatis terhadap fungsi vesika urinaria sehingga dapat menimbulkan retensi urin.

Manifestasi Metabolik dan EndokrinTrauma pembedahan menimbulkan respon neuroendokrin melalui respon intlamatori local dan aplikasi serabut saraf aferen somatik dan visceral. Respon ini meliputi kadar hormon adrenokortikotropik, kortisol, epinefrin, norepinefrin dan vasopresin sama seperti aktivasi sistem rennin-augiotensin-aldosteron. Manifestasi klinis termasuk intraoperatif dan pastoperatif, takikardi, hiperglikimia, katabolisme protein, respon supresi imun, dan perubahan fungsi ginjal. Blokade neuroaksial secara parsial atau secara total dapat memblok stress respon tersebut. Blok setinggi T11 dapat menghambat jalur adrenal dan menampilkan respon hiperglikimia. Dengan menurunkan ketekolamin release.

Pertimbangan klinisAnestesi spinal biasanya dipakai untuk pembedahan ekstremitas bawah dan traktus genitourinary. Prosedur pada abdominal bawah seperti sectio cesarea, ligasi tuba post partum, dan simple hysterectomy, SAB masih bisa diterapkan. Prosedur pada daerah abdomen bagian atas lebih baik dipakai anestesi umum. Walaupun blok sesoris sesuai dengan level yang adekuat dengan anestesi spinal, tapi traksi atau penarikan dan manipulasi peritoneum sering menyebabkan rasa tidak nyaman pada pasien. Ada beberapa kontra indikasi mutlak pada blok subarachnoid di antaranya adalah pasien menolak, pasien tidak mampu mempertahankan posisi selama penusukan jarum, adanya resiko cidera neurologis dan peningkatan tekanan intra kranial yang secara tebris dapat menyebabkan terjadinya herniasi otak. Hypovolumia berat, sepsis, infeksi di tempat injeksi serta adanya kelainan katup jantung (aorta atau mitral stenosis berat) juga merupakan kontra indikasi spinal anestesi Spinal anestesi menyebabkan penurunan yang signifikan systemic vascular resisten (after load) dan venous return (perload). Secara fisiologis efeknya adalah hipotensi sedang pada orang dengan fungsi jantung normal. Pasien dengan obstruksi outflow ventrikel kiri dan mitral stenosis akan membatasi kompensasi meningkatkan cardiac output sebagai respon terhadap hipotensi. Symphatectomy karena spinal anestesi akan mengakibatkan hipotensi yang refrakter pada penderita ini. Anestesi spinal sebaiknya tidak digunakan pada kelainan koagulasi atau sedang mendapatkan terapi anti koagulan, karena bisa meningkatkan resiko terjadinya epidural hematom. Hipovolumia merupakan predisposisi terjadinya hipotensi berat dan bahkan bisa sampai henti jantung. Kontra indikasi relatif dan mutlak dapat dilihat pada tabel di bawah. Pemeriksaan fisik yang baik akan memberikan informasi yang penting, seperti adanya bekas operasi, skoliosis, lesi kulit, dan apakah processus spinosus teraba atau tidak, walaupun pada pasien yang sehat pemeriksaan studi koogulasi dan penghitungan jumlah trombosit harus dilakukan, spinal anestesia pada keadaan sepsis harus hati-hati akan terjadinya penyebaran secara hematogen pada ruang epidural atau subarakhnoid.

Kontra indikasi spinal anesthesia

AbsolutInfeksi pada tempat suntikan Pasien menolakGangguan koagulasi dan diathesis Hypovolemia beratPeningkatan tekanan intra cranial Stenosis aorta beratMitral stenosis beratRelatifSepsisPasien tidak kooperatifAdanya deficit neurologistLesi demyelinisasiDeformitas spinal beratKontroversialBekas pembedahan pada tempat suntikanTidak dapat komunikasi dengan pasienKomplikasi pembedahan :Operasi lamaKehilangan darah yang banyakManuver yang mengganggu pernafasan

TeknikUntuk melakukan anestesi spinal, anatomi yang berkaitan dengan spinal harus terus diingat ketika memasukkan jarum spinal. Untuk lebih mudah memahaminya, teknik ini dibagi kedalam beberapa tahapan (empat P): persiapan, posisi, proyeksi, dan puncture. PersiapanJarum spinal dibagi menjadi dua kategori: jarum yang memotong dura dan jarum yang didesain untuk menyebarkan serat-serat dural. Jarum pertama termasuk jarum spinal sekali pakai tradisional, jarum Quincke-Babcock, dan jarum yang kedua termasuk jarum Whitacre dan Sprotte (gambar 43-8). Jika memilih teknik spinal berkelanjutan, penggunaan jarum Tuohy atau jarum lain yang tipis dapat mempermudah aliran catheter. Penggunaan jarum kecil mengurangi terjadinya postdural puncture headache, sedangkan penggunaan jarum yang lebih besar meningkatkan tactile sense (indra senttuh) penempatan jarum. Banyaknya tusukan dapat meningkatkan terjadinya sakit kepala. Jika penggunaan jarum yang lebih kecil meningkatkan jumlah tusukan, perbedaan antara jarum kecil dan besar dalam menghasilkan sakit kepala dapat dikurangi. Terdapat juga penurunan kejadian postdural puncture headache ketika jarum dengan ujung mirip cone digunakan, bahkan ketika ukuran jarum sama. Akan tetapi, setelah bantuan dengan anestesi spinal meningkat, penggunaan jarum berujung sama yang lebih kecil dapat menurunkan kejadian sakit kepala jika jumlah tusukan dural tidak meningkat.

Posisi Posisi lateral decubitus paling sering digunakan karena membuat pemberian lebih banyak penenang menjadi lebih mudah dan tidak terlalu bergantung pada asisten yang berpengalaman daripada dengan posisi sitting. Pasien ditempatkan dengan punggung sejajar dengan tepi meja operasi yang terdekat dengan anestesiologis, dengan paha ditekuk ke abdomen dan leher ditekuk supaya dahi bisa sedekat mungkin dengan lutut. Asisten bisa sangat berguna selama pemposisian ini dengan menginstruksikan dan membantu pasien untuk mendapatkan posisi lateral decubitus yang ideal (gambar 43-9). Pasien harus diposisikan sehingga penyebaran hypobaric, isobaric, atau larutan hyperbaric bisa optimal pada titik operasi.

Posisi sitting harus dipilih ketika rendahnya tingkat sacral dan lumbar anestesi sensory cukup untuk prosedur operasi (misalnya operasi perineal dan urologic) atau ketika obesitas atau scoliosis membuat identifikasi anatomy midline sulit dengan posisi lateral. Ketika menempatkan pasien dengan posisi ini, bisa disediakan bangku sebagai sandaran kaki, dan bantal ditempatkan di pangkuan. Asisten kemudian mempertahankan posisi vertikal pasien sambil menekuk leher dan lengan pasien ke bantal untuk membuka space lumbar vertebral (gambar 43-10). Jika alasan memilih posisi sitting untuk mempertahankan rendahnya tingkat sensory, pasien harus ditahan untuk duduk selama 5 menit; jika alasannya karena obesitas atau scoliosis dan diperlukan tingkat sensory yang lebih tinggi, pasien harus diposisikan terlentang segera setelah injeksi subarachnoid dengan meja yang dirubah seperlunya. Eror yang sering terjadi dalam pemposisian pasien jenis ini adalah membiarkan pasien merosost, sehingga mengurangi manfaat meningkatnya identifikasi midline. Posisi prone harus dipilih ketika pasien akan dipertahankan pada posisi tersebut (sering dengan modifikasi posisi jackknife) selama prosedur pembedahan. Posisi ini cocok untuk prosedur rectal, perineal, atau lumbar. Manfaat dari teknik hypobaric adalah bahwa pasien dapat membantu pemposisian mereka sendiri dan meminimalkan kemungkinan terjadinya luka karena pemposisian. Setelah posisi pasien prone, lumbar lordosis harus diminimalkan, dan yang paling sering, teknik paramedian harus digunakan. Pada posisi ini, anestesiologis harus mengaspirasikan CSF karena tekanan CSF diminimalkan ketika jarum lumbar dimasukkan.

Proyeksi dan PunctureSetelah peralatan, obat anestesi local dan beberapa tambahan, serta pasien yang telah disiapkan dengan baik, puncture midline atau paramedian spinal dapat dilakukan. Teknik midline tergantung pada kemampuan pasien dan asisten dalam meminimalkan lumbar lordosis dan membuat akses ke space subarachnoid antara proses-proses spinous yang berdekatan, biasanya pada L2-3, L3-4, atau kadang-kadang space L4-5. Jari yang menyentuh (biasanya telunjuk dan jari tengah) harus menemukan area interspinous dengan menemukan caudad spine yang lebih cephalad dan midline dengan memutar jari medial ke lateral. Wheal kulit subcutaneous berkembang menutupi space ini, dan introducer dimasukan ke ligament interspinous. Introducer dipegang dengan jari yang menyentuh dan di tahan ketika tangan lain digunakan memegang jarum spinal seperti anak panah, dan jari kelima digunakan sebagai tripod penahan punggung pasien untuk mencegah munculnya gerakan pasien yang secara tidak sengaja bisa menyebabkan masuknya jarum ke level yang lebih dalam dari yang diinginkan. Jarumnya, dengan bevel yang sejajar dengan serat-serat dural longitudinal, didiorong perlahan-lahan untuk mempertinggi sense tissue yang melewatinya dan untuk mencegah supaya nerve root tidak miring sampai perubahan karakteristik penolakan terlihat setelah jarum lewat melalui legamentum dan dura. Stylet kemudian diambil, dan CSF harus tampak pada hub jarum.

Teknik midline merupakan teknik pilihan pertama karena ini memerlukan proyeksi anatomic dengan hanya dua bidang dan memberikan bidang yang relatif avascular. Ketika sulit untuk memasukkan jarum dengan teknik midline, opsi lain adalah dengan menggunakan teknik paramedian yang tidak memerlukan tingkat kesuksesan kerjasama pasien dan reversal lumbar lordosis yang sama dengan teknik midline. Pada teknik paramedian, jari yang menyentuh harus menemukan lagi tepi caudad proses spinous cephalad dan wheal kulit meningkat 1 cm lateral dan 1 cm caudad terhadap titik ini. Jarum yang lebih panjang (misalnya 1.5 hingga 2 inci) kemudian digunakan untuk masuk ke tissue yang lebih dalam pada bidang cephalomedial. Introducer spinal dan jarum kemudian dimasukkan 10 hingga 15 derajat dari bidang sagittal yang terletak didalam bidang cephalomedial

FarmakologiObat-Obat Yang Bermanfaat

Ketika dibutuhkan obat-obat yang dengan kerja panjang untuk anestesi spinal, ada empat obat yang bisa digunakan: tetracaine, bupivacaine, ropivacaine, dan levobupivacaine.

Anestesi spinal bupivacaine adalah obat yang umum dan sering digunakan saat ini. Bupivacaine cocok untuk prosedur yang berakhir sampai 2 hingga 2.5 jam.Komplikasi-KomplikasiKomplikasi-komplikasi yang terjadi adalah perubahan neurologis, postdural puncture headache, sakit punggung ketika 25% prosedur dilakukan dengan anastesi spinal, dan cardiac arrest.Beberapa penelitian dan laporan kasus yang mencatat adanya jejas neurologis setelah anestesi spinal jangan memberikan keterangan yang salah. Perubahan-perubahan neurologis memang dapat terjadi; tapi perubahan neurologis yang parah dapat juga terjadi setelah anestesi general. Persamaan resiko-manfaat anestesi dan luka neurologis harus memasukkan juga kasus-kasus luka neurologis (seperti jejas hypoxic CNS) yang mungkin terjadi selama anestesi general jika ingin mendapatkan hasil valid berdasaran outcome neurology. Komplikasi anestesi spinal yang lebih sering terjadi adalah pusing pasca operasi. Postdural puncture headache tidak slelau berhubungan dengan anestesi spinal; ini juga bisa terjadi setelah myelography dan diagnostic lumbar puncture.