presentasi kasus besar aha

28
PRESENTASI REFERAT ANEMIA HEMOLITIK ALOIMUN Pembimbing: dr. Wahyu Djatmiko, Sp. PD Disusun oleh: Saidatun Nisa G1A212116 SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Upload: cevy-saputra

Post on 02-Sep-2015

83 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

ahan;ghcnffhhhghwwocvc

TRANSCRIPT

PRESENTASI REFERATANEMIA HEMOLITIK ALOIMUN

Pembimbing: dr. Wahyu Djatmiko, Sp. PD

Disusun oleh:

Saidatun NisaG1A212116

SMF ILMU PENYAKIT DALAMRSUD PROF. MARGONO SOEKARJOFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANPURWOKERTO

2013 LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI REFERATAnemia Hemolitik Aloimun

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun Oleh :

Saidatun NisaG1A212116

Pada tanggal, November 2013MengetahuiPembimbing,

dr. Wahyu Djatmiko, Sp. PDBAB IPENDAHULUAN

Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh memendeknya masa hidup sel darah merah, dimana masa hidup sel darah merah rerata atau MRCL (Mean Red Cell Life) normal adalah 120 hari. Produksi sel darah merah dapat ditingkatkan enam sampai delapan kali oleh sumsum tulang normal, dan anemia hemolitik terjadi jika MRCL menurun menjadi 15 hari atau kurang, terutama pada keadaan eritropoiesis yang tidak efektif, defisiensi hematinik, atau penyakit sumsum tulang. Hemolisis yang terjadi dapat diakibatkan cacat pada sel darah merah atau kelainan pada lingkungan, yang biasanya didapat (Hoffbrand, 2008). Anemia hemolitik aloimun adalah anemia hemolitik didapat yang terjadi bila antibodi yang dihasilkan oleh seseorang bereaksi melawan sel darah merah orang lain. Anemia tersebut dapat terlihat pada 3 situasi, yaitu transfusi darah yang tidak cocok, penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, serta setelah transplantasi organ padat atau sumsum tulang. Sel darah merah memiliki antigen permukaan yang merupakan glikoprotein atau glikolipid. Seseorang yang tidak memiliki antigen sel darah merah dapat membuat antibodi jika terpajan sel darah merah melalui transfusi atau melalui transfer sel darah merah janin yang melewati plasenta pada kehamilan. Antibodi terhadap antigen ABO terjadi secara alamiah, yaitu IgM dan bersifat komplet (dapat dideteksi dengan inkubasi sel darah merah dengan antibodi dalam salin pada temperature ruang). Antibodi terhadap antigen sel darah merah lain hanya tampak setelah sensitisasi. Antibodi ini biasanya adalah IgG dan bersifat inkomplet, dideteksi dengan teknik-teknik khusus, misalnya sel darah merah yang diberi enzim, penambahan albumin pada campuran reaksi, atau reaksi antiglobulin indirek (Coomb) (Hoffbrand, 2008). Antibodi dapat menyebabkan hemolisis intravaskular (contohnya inkompabilitas ABO) atau ekstravaskular (misalnya inkompabilitas Rh) sel darah merah donor pada resipien, dan penyakit hemolitik janin dan bayi baru lahir karena pasase transplasental (Hoffbrand, 2008).

Tabel 1.1 Perbedaan hemolisis intravascular dan ekstravaskular(Kelton et al., 2003)

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. DefinisiAloimunisasi adalah suatu respon imun yang secara umum terjadi pada individu karena adanya pengaruh aloantigen dari individu yang berbeda. Pada anemia hemolitik aloimun, antibodi dihasilkan untuk menyerang sel darah merah yang diterima seseorang dari transfusi. Jika tipe darah yang digunakan untuk transfusi berbeda dengan tipe darah resipien, sistem imun resipien akan menghasilkan antibodi untuk menyerang dan menghancurkan sel darah transfusi (Habib, 2012).Antibodi aloimun juga dapat dihasilkan pada bercampurnya darah pada wanita dalam masa kehamilan dengan bayi yang dilahirkan. Jika tipe darah ibu adalah Rh-negatif dan tipe darah anak adalah Rh-positif, ibu akan menghasilkan antibodi yang melawan tipe darah anak. Jika seorang ibu menghasilkan antibodi anti-Rh dari kehamilan pertamanya, antibodi ini dapat melalui plasenta pada kehamilan selanjutnya dan berbahaya bagi fetus (Habib, 2012).Transplantasi sel stem (SCT) adalah penggunaan sel stem hemopoietik dari donor yang diambil dari darah perifer atau sumsum tulang, untuk repopulasi sumsum tulang resipien. Dalam hal ini dapat terjadi komplikasi penolakan sel stem hemopoietik yang ditransplantasikan (Hoffbrand, 2008).

B. EpidemiologiPada kasus kegawatdaruratan di bidang hematologi, reaksi transfusi akut merupakan masalah yang sangat serius karena terjadi destruksi eritrosit donor yang sangat cepat (kurang dari 24 jam). Pada umumnya disebabkan oleh kesalahan dalam identifikasi sampel darah resipien atau dalam pencocokan sampel darah resipien dan donor (crossmatch). Sebagian besar terjadi pada saat transfusi whole blood (WB) atau packed red cell (PRC) dan jarang terjadi pada transfusi fresh frozen plasma (FFP), trombosit, imunoglobulin, dan faktor VIII non rekombinan. Di Indonesia, angka kejadian diperkirakan 1 : 250.000 600.000 kasus. Pada reaksi transfusi lambat, reaksi hemolitik sering diketahui saat dilakukan evaluasi tentang respons antibodi (Rhesus,Kell, Duffy, Kidd, dan antibodi non-ABO lainnya) setelah terpapar dengan antigen berupa eritrosit donor. Antibodi tidak dikenali pada saat dilakukan crossmatch sebelum transfusi karena interaksi antigen-antibodi merupakan respons imun sekunder yang diketahui setelah 3 sampai 7 hari. Angka kejadiannya diperkirakan 1 : 6.000 sampai 33.000 kasus (Adriansyah et al., 2009).Inkompabilitas ABO antara ibu dan janin sering terjadi, namun jenis hemolitik jarang bersifat berat. Penyebab paling penting adalah anti-D, yang dihasilkan pada wanita Rh-D negatif akibat sensitisasi selama kehamilan sebelumnya atau transfusi darah dan menyebabkan hemolisis pada bayi Rh-D positif (Hoffbrand, 2008). Insidens pasien yang mengalami Inkompatibilitas Rhesus ( yaitu rhesus negatif) adalah 15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam, jarang pada bangsa asia. Rhesus negatif pada orang indonesia jarang terjadi, kecuali adanya perkawinan dengan orang asing yang bergolongan rhesus negatif. Pada wanita Rhesus negatif yang melahirkan bayi pertama Rhesus positif, risiko terbentuknya antibodi sebesar 8%. Sedangkan insidens timbulnya antibodi pada kehamilan berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan pertama sebesar 16%. Tertundanya pembentukan antibodi pada kehamilan berikutnya disebabkan oleh proses sensitisasi, diperkirakan berhubungan dengan respons imun sekunder yang timbul akibat produksi antibodi pada kadar yang memadai. Kurang lebih 1% dari wanita akan tersensitasi selama kehamilan, terutama trimester ketiga (Wagle, 2002).

C. KlasifikasiAnemia hemolitik dapat disebabkan secara herediter maupun didapat. Anemia hemolitik aloimun merupakan salah satu anemia hemolitik terkait imun yang didapat. Anemia hemolitik terkait imun terbagi menjadi anemia hemolitik autoimun, dan anemia hemolitik aloimun. Aloimunisasi terjadi baik karena reaksi transfusi, maupun penyakit hemolitik neonatus (Hoffbrand, 2008).

HerediterDidapat

MembranAutoimun

Sferositosis herediter, eliptositosis herediterTipe antibodi hangat

Ovalositosis Asia TenggaraTipe antibodi dingin

MetabolismeAloimun

Defisiensi G6PDReaksi transfusi hemolitik

Defisiensi piruvat kinasePenyakit hemolitik neonatus

Defisiensi enzim lainSindrom fragmentasi sel darah merah

HemoglobinKatup jantung, hemoglobinuria march

Defek hemoglobinPurpura trombositopenik trombotik

Sindrom uremia hemolitik

Koagulasi intravascular diseminata

Infeksi

Agen kimiawi dan agen fisik

Obat-obatan, luka bakar

Sekunder (penyakit hati dan ginjal)

Hemoglobinuria nocturnal paroksismal (PNH)

(Hoffbrand, 2008)

D. Reaksi transfusi hemolitik1. Definisi Transfusi merupakan proses transplantasi paling sederhana, yaitu pemindahan darah dari donor ke resipien. Transfusi hanya dilakukan atas dasar indikasi dan urgensi. Jika dilakukan secara tidak tepat dan tidak rasional, dapat menimbulkan berbagai akibat yang fatal. Salah satu akibat transfusi yang dapat terjadi adalah reaksi hemolitik (Ardiansyah, 2009). Seorang resipien yang imunokompeten sering menghasilkan respon imun pada antigen donor, menghasilkan banyak konsekuensi klinis, bergantung pada sel darah dan antigen spesifik yang terlibat. Antigen yang paling banyak terlibat dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Habib, 2012):1. Human Leukocyte Antigens (HLAs)a. Kelas I dipresentasikan platelet dan leukositb. Kelas II dipresentasikan beberapa leukosit2. Granulocyte-spesific Antigens3. Human Platelet Antigens (HPA)4. RBC-spesific AntigensMekanisme utama terjadinya aloimunisasi terhadap antigen yang ada pada sel yang ditransfusi melibatkan pemajanan dari donor antigen presenting cells (APCs), seperti monosit, makrofag, sel dendritik, dan sel B ke sel T resipien. Pengenalan alloantigen HLA kelas I oleh sel T CD4+ resipien dan aktivasi imun berikutnya memerlukan ko-stimulasi dari APCs donor atau resipien. Aloimunisasi oleh non-leukoreduced trombosit melibatkan peran antigen HLA donor dan APCs donor fungsional. Turunan TH2 dari T Helper CD4+ mensekresi interleukin (IL)-4, IL-5, IL-6, dan IL-10, mengaktifkan sel B dan memulai respon antibodi (Manibui, 2008).Leucoreduction trombosit secara signifikan mampu mengeliminir APCs donor, tetapi 20% dari pasien masih mengalami aloimunisasi. Hal ini terjadi akibat keterlibatan alloantigen-presenting recipient APCs yang mengenali alloantigen dan aktivasi sel T resipien. Proses ini juga melibatkan pengenalan awal alloantigen oleh natural killer cell (sel NK) yang mensekresi interferon gama yang berperan dalam aktivasi sel TH2 CD4+ (Manibui, 2008).Setelah aktivasi awal dan pembentukan respon imun primer, sel T menjadi sel memori. Sel T memori tidak lagi memerlukan ko-stimulasi untuk mengaktivasi respon imun. Demikian, donor SDM, trombosit, dan APCs yang tidak teraktivasi dapat mengindukti restimulasi dari respon imun. Transfusi darah (terutama melalui turunan TH2) dapat pula menekat respon imun pejamu dan mengiduksi toleransi terhadap antigen donor. Mekanisme imunosupresi lain melibatkan pula stimulasi dari sel T supresor CD8+ yang dapat mengenali alloantigen HLA kelas I di trombosit dan juga APCs donor (Manibui, 2008).Secara umum ada dua kelompok reaksi hemolitik akibat transfusi yaitu reaksi hemolitik yang disebabkan proses imun (immune mediated hemolysis) dan non-imun (non-immune mediated hemolysis). Reaksi hemolitik yang disebabkan oleh proses imun terdiri dari reaksi hemolitik akut (acute hemolytic transfusion reaction, AHTR) dan reaksi hemolitik lambat (delayed hemolytic transfusion reaction, DHTR) (Adriansyah, 2009). Gambar 2.1 Grafik reaksi transfusi (Rubz, 2012)

2. Klasifikasi (Ardiansyah, 2009)a. AHTR (Reaksi Transfusi Hemolitik Akut)Pada umumnya AHTR disebabkan oleh kesalahan dalam identifikasi sampel darah resipien atau dalam pencocokan sampel darah resipien dan donor (crossmatch). Umumnya proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh darah (intravaskular), yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II. Plasma donor yang mengandung eritrosit dapat merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan antibodi pada resipien yang berupa imunoglubulin M (IgM) anti-A, anti-B, atau terkadang anti rhesus. AHTR juga dapat melibatkan IgG dengan atau tanpa melibatkan komplemen, dan proses ini dapat terjadi secara ekstravaskular. Ikatan antigen-antibodi akan mengaktivasi reseptor Fc dari sel sitotoksik atau sel K (large lymphocytes) yang menghasilkan perforin (antibody dependent cellular cytotoxicity, ADCC) dan mengakibatkan lisis dari eritrosit.Awal manifestasi klinis umumnya tidak spesifik, dapat berupa demam menggigil, nyeri kepala, nyeri pada panggul, sesak napas, hipotensi, hiperkalemia, dan urin berwarna kemerahan atau keabuan (hemoglobinuria). Pada AHTR yang terjadi di intravaskular dapat timbul komplikasi yang berat berupa disseminated intravascular coagulation (DIC), gagal ginjal akut (GGA), dan syok. Pada pasien yang masih mendapat pengaruh obat-obat anestesi atau koma, DIC merupakan petunjuk yang sangat penting untuk terjadinya AHTR.Jika terjadi AHTR, pemberian transfusi harus dihentikan segera dan harus dilakukan hidrasi dengan cairan salin normal (3000 ml/m2/hari). Terapi suportif yang harus tetap dilakukan adalah pemantauan tanda vital seperti jalan napas, tekanan darah, frekuensi jantung, dan jumlah urin. Antihistamin (difenhidramin) dan kortikosteroid (prednisolon) dapat diberikan untuk mengatasi gejala dan tanda klinis. Kejadian AHTR harus dicatat dalam laporan pasien dan darah yang tersisa harus dikembalikan ke unit transfusi darah (UTD) untuk dilakukan investigasi serologis. Selain dilakukan hidrasi, untuk mencegah terjadinya GGA dapat diberikan dopamin dosis rendah (1 sampai 5 mcg/ kg/menit) dan diuretik osmotik berupa manitol (100 ml/m2/ bolus dan selanjutnya 30 ml/m2/hari yang diberikan tiap 12 jam) atau furosemid (1 sampai 2 mg/kgBB). Jika dijumpai tanda DIC maka transfusi FFP, kriopresipitat, dan/atau trombosit dapat dipertimbangkan.Pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan adalah melakukan crossmatch ulang. Prinsip dari crossmatch ini adalah mencocokkan jenis darah antara resipien dan donor dengan melihat reaksi kompatabilitas yang ditimbulkannya. Pemeriksaan laboratorium yang lain adalah Direct Antiglobulin Test (DAT), investigasi serologis (Rhesus, Kidd, Kell, Duffy), hemoglobinemia pada plasma, dan hemoglobinuria pada analisis urin. Untuk mengetahui adanya komplikasi dari reaksi hemolitik akibat transfusi sangat perlu dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal dan status koagulasi (prothrombin time, partial thromboplastin time, dan fibrinogen). Konfirmasi laboratorium bahwa telah terjadi reaksi hemolitik akut akibat transfusi dapat dilakukan dengan pemeriksaan Lactate Dehidrogenase (LDH), bilirubin, dan haptoglobin. Pemeriksaan kultur darah dan urin penting dilakukan jika dicurigai sepsis.b. DHTR (Reaksi Transfusi Hemolitik Lambat)Pada DHTR, reaksi hemolitik sering diketahui saat dilakukan evaluasi tentang respons antibodi (Rhesus,Kell, Duffy, Kidd, dan antibodi non-ABO lainnya) setelah terpapar dengan antigen berupa eritrosit donor. Antibodi tidak dikenali pada saat dilakukan crossmatch sebelum transfusi karena interaksi antigen-antibodi merupakan respons imun sekunder yang diketahui setelah 3 sampai 7 hari. DHTR diawali dengan reaksi antigen-antibodi yang terjadi di intravaskular, namun proses hemolitik terjadi secara ekstravaskular. Plasma donor yang mengandung eritrosit merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada resipien. Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan antigen- antibodi tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah dan dihancurkan di limpa. Gejala dan tanda klinis DHTR timbul 3 sampai 21 hari setelah transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit, peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan dijumpainya sferositosis pada apusan darah tepi. Beberapa kasus DHTR tidak memperlihatkan gejala klinis, tetapi setelah beberapa hari dapat dijumpai DAT yang positif. Haptoglobin yang menurun dan dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang terjadi GGA. Kematian sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang mengalami penyakit kritis, DHTR akan memperburuk kondisi penyakit. Jika tidak dijumpai reaksi hemolitik yang berat, tidak ada pengobatan yang spesifik, dan dapat diberikan terapi suportif untuk mengatasi gejala klinis. Pemberian transfusi dapat dihentikan atau diganti dengan pengganti darah jenis lain. Konfirmasi pemeriksaan laboratorium pada prinsipnya hampir sama dengan reaksi transfusi hemolitik akut.

E. Penyakit hemolitik neonatusPenyakit hemolitik pada janin dan bayi baru lahir (HFDN) adalah hemolisis sel-sel darah merah janin atau neonatus yang disebabkan oleh pasase transplasental antibodi sel darah merah maternal (Hoffbrand, 2008).1. HFDN yang disebabkan oleh antibodi ABOKompabilitas ABO antara ibu dan janin sering terjadi, namun jenis HFDN ini jarang bersifat berat. Sebagian besar antibodi ABO adalah IgM sehingga tidak dapat melewati plasenta. Antigen A dan B fetal tidak secara penuh berkembang saat lahir dan antibodi maternal dapat dinetralkan sebagian oleh antigen A dan B yang ada pada sel-sel lain dalam plasma dan dalam cairan jaringan (Hoffbrand, 2008).2. HFDN yang disebabkan oleh antibodi lainPenyebab paling penting adalah anti-D, yang dihasilkan pada wanita Rh-D negatif akibat sensitisasi selama kehamilan sebelumnya atau transfusi Gambar 2.2. HFDN akibat anti-D(A.D.A.M Inc., 2011)

darah dan menyebabkan hemolisis pada bayi Rh-D positif. Penyebab penting lainnya adalah antibodi-antibodi lain dalam sistem Rh (contohnya anti-C), antibodi anti-Kell, anti-Duffy, serta anti-Jka (Hoffbrand, 2008).Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada eritrositnya, sedangkan Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-antigen pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan antigen-D, dan merupakan antigen yang berperan penting dalam transfusi. Tidak seperti pada ABO sistem dimana seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan mempunyai antibodi yang berlawanan dalam plasmanya, maka pada sistem Rhesus pembentukan antibodi hampir selalu oleh suatu paparan apakah itu dari transfusi atau kehamilan. Dengan pemberian darah Rhesus positif (D+) satu kali saja sebanyak 0,1 ml secara parenteral pada individu yang mempunyai golongan darah Rhesus negatif (D-), sudah dapat menimbulkan anti Rhesus positif (anti-D) walaupun golongan darah ABO nya sama (Sindu, 2010). Antibodi IgG anti-D dapat melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi janin, sehingga janin dapat menderita penyakit hemolitik neonatus. Antibodi maternal isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin, dan timbul sebagai reaksi terhadap antigen eritrosit janin. Penyebab hemolisis tersering pada neonatus adalah pasase transplasental antibodi maternal yang merusak eritrosit janin. Pada saat ibu hamil eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu, yang dinamakan Feto maternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun antibodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin, sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis (Wagle, 2002). Hemolisis terjadi dalam kandungan dan akibatnya adalah pembentukan eritrosit oleh tubuh secara berlebihan, sehingga akan didapatkan eritrosit berinti banyak, yaitu eritroblast. Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigen 3 eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin. Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif, atau pada kehamilan kedua dan berikutnya (Salem, 2001).a. Hidrops fetalisHidrops fetalis adalah bayi yang menunjukan edema yang menyeluruh, asites dan pleural efusi pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yangg terjadi bervariasi, tergantung intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema subkutan dan efusi kedalam kavum serosa ( hidrops fetalis). Hemolisis yang berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid pada sumsum tulang, hematopoesis ekstrameduler didalam lien dan hepar, juga terjadi pembesaran jantung dan perdarahan pulmoner. Asites dan hepatosplenomegali yang terjadi dapat menimbulkan distosia akibat abdomen janin yang sangat membesar. Hidrothoraks yang terjadi dapat mengganggu respirasi janin. Teori-teori penyebabnya mencakup keadaan gagal jantung akibat anemia, kebocoran kapiler akibat hipoksia pada kondisi anemia berat, hipertensi vena portal dan umbilikus akibat disrupsia parenkim hati oleh proses hematopoesis ekstrameduler, serta menurunnya tekanan onkotik koloid akibat hipoproteinemia yang disebabkan oleh disfungsi hepar. Janin dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat dan kegagalan sirkulasi. Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat, edematus dan lemas pada saat dilahirkan. Lien dan hepar membesar, ekimosis dan petikie dan menyebar, sesak nafas dan kolaps sirkulasi. Kematian dapat terjadi dalam waktu beberapa jam meskipun transfusi sudah diberikan.

b. HiperbilirubinemiaHiperbilirubinemia dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya ganglia basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yandg muncul berupa letargia, kekakuan ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau menetek dan kejang-kejang. Kematian terjadi dalam usia beberapa minggu. Kemampuan berjalan mengalami keterlambatan atau tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi inkoordinasi motorik dan tuli konduktif.Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu. Metode paling sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung (penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5 mg%, hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi (Sindu, 2010). Bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi kenaikan bilirubin yang tidak wajar. Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar, yang umumnya dilakukan dengan darah yang sesuai dengan darah ibu (Rhesus dan ABO). Jika tak ada donor Rhesus negatif, transfusi tukar dapat dilakukan dengan darah Rhesus positif , sesering mungkin sampai semua eritrosit yang diliputi antibodi dikeluarkan dari tubuh bayi. Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau lahir mati yang disebabkan oleh anemia berat yang diikuti oleh gagal jantung. Pengobatan ditujukan terhadap pencegahan terjadinya anemia berat dan kematian janin (Sindu, 2010). Tindakan terpenting untuk menurunkan insidens kelainan hemolitik akibat isoimunisasi Rhesus, adalah imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat imunoglobulin yang digunakan memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram antibodi D. 100 mikrogram anti Rhesus (D) akan melindungi ibu dari 4 ml darah janin (Sindu, 2010).

F. Transplantasi sumsum tulangSCT (Transplantasi Sel Stem) alogenik melibatkan transplantasi sel stem hemopoietik dari satu individu ke individu lain. Tindakan ini biasanya dilakukan antara dua individu yang HLA-nya cocok, sebagian besar saudara kandung,namun jika tidak ada, donor sukarelawan dan donor bukan saudara yang HLA-nya cocok semakin sering digunakan. Tindakan ini dapat menyebabkan beberapa komplikasi, yaitu penolakan sel stem hemopoietik yang ditransplantasikan, infeksi, serta penyakit graft vs. pejamu (GVHD) pada SCT alogenik. Limfosit yang ditransplantasikan dapat mengenali resipien sebagai benda asing dan menyusun serangan gencar imunologis, sehingga menyebabkan ruam kulit, penyakit hati, dan diare. GVHD akut (100 hari) terjadi sebagai sindrom seperti scleroderma dengan kelainan pada hati, paru, gastrointestinal, atau sendi. Insidensi dan keparahan GVHD dapat berkurang dengan menghilangkan sel T dari sumsum donor dan supresi imun pada resipien, contohnya dengan siklosporin dan metotreksat (Hoffbrand, 2008).

BAB IIIKESIMPULAN1. Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh memendeknya masa hidup sel darah merah.2. Anemia hemolitik aloimun adalah anemia hemolitik didapat yang terjadi bila antibodi yang dihasilkan oleh seseorang bereaksi melawan sel darah merah orang lain, dapat terlihat pada 3 situasi, yaitu transfusi darah yang tidak cocok, penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, serta setelah transplantasi organ padat atau sumsum tulang.3. Reaksi transfusi hemolitik yang disebabkan oleh proses imun terdiri dari reaksi transfusi hemolitik akut (acute hemolytic transfusion reaction, AHTR) dan reaksi transfusi hemolitik lambat (delayed hemolytic transfusion reaction, DHTR).4. Penyakit hemolitik pada janin dan bayi baru lahir (HFDN) adalah hemolisis sel-sel darah merah janin atau neonatus yang disebabkan oleh pasase transplasental antibodi sel darah merah maternal, terdiri dari HFDN akibat inkompabilitas ABO atau antibodi lain.5. SCT (Transplantasi Sel Stem) alogenik melibatkan transplantasi sel stem hemopoietik dari satu individu ke individu lain. Tindakan ini dapat menyebabkan komplikasi, yaitu penolakan sel stem hemopoietik yang ditransplantasikan, infeksi, serta penyakit graft vs. pejamu (GVHD) pada SCT alogenik.

DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, et al., 2009. Reaksi Hemolitik Transfusi. Medan : FK USUGruslin AM, Moore TR. 2011. Erythroblastosis fetalis. In: Martin R, Fanaroff A, Walsh M, eds.Neonatal-Perinatal Medicine. 9th ed. Philadelphia : A.D.A.M.Inc from Mosby ElsevierHabib, Khadija. 2012. Alloimmune Hemolytic Anemia: MPhil HaematologyHoffbrand, Victor, Atul Mehta. 2008. At A Glance Hematologi. Jakarta : ErlanggaManibui, Rudy. Tantri, David. 2011. Biologi Transfusi dan Reaksi Imun. Manado : FK Sam RatulangiSalem L. 2001. Rh incompatibility. Available at www. Neonatology.orgSindu, E. 2010. Hemolytic disease of the newborn. Jakarta : Direktorat Laboratorium Kesehatan Dirjen Pelayanan Medik Depkes dan Kessos RIWagle S. 2002. Hemolytic disease of the newborn. Available at www. Neonatology.org