praanestesi

13
Refreat Anestesi Praanestesi Oleh: Cathelin Stella 11.2013.287 Pembimbing: dr. Amelia Martira, Sp. An KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANASTESI PERIODE 20 OKTOBER – 8 NOVEMBER 2014 RUMAH SAKIT BHAKTI YUDHA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRIDA WACANA

Upload: cathelinstella

Post on 17-Dec-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

referat anastesi

TRANSCRIPT

Refreat AnestesiPraanestesi

Oleh: Cathelin Stella11.2013.287

Pembimbing:dr. Amelia Martira, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANASTESIPERIODE 20 OKTOBER 8 NOVEMBER 2014RUMAH SAKIT BHAKTI YUDHAFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRIDA WACANADEPOK2014

PendahuluanAnestesi merupakan tindakan yang dilakukan bersamaan dengan dilakukannya tindakan bedah. Dalam tindakan anestesi perlu diketahui apakah pasien dalam keadaan yang benar-benar sehat dan siap untuk dilakukan anestesi atau tidak. Hal ini dikarenakan pada beberapa obat anestesi dapat menimbulkan efek samping tidak hanya pada saraf seperti nyeri namun juga dapat menyebabkan kerusakan pada organ-organ tubuh seperti hepar. Selain itu harus diketahui juga apakah pasien tidak memiliki keadaan yang dapat menyulitkan pada saat akan dilakukan operasi seperti ukuran leher yang pendek, lidah yang menutupi jalan nafas, dan sebagainya. Tindakan praanestesi juga termasuk tindakan untuk memberikan ketenangan pada pasien sebelum masuk ke dalam kamar operasi dikarenakan pasien sering merasa tegang dan ketakutan pada saat akan dioperasi. Hasil dari pemeriksaan pasien pada saat dilakukan tindakan praanestesi dapat membantu menentukan teknik anestesi apa yang akan digunakan pada saat operasi berlangsung. Pada praanestesi harus diketahui apakah pasien memiliki riwayat anestesi sebelumnya, jika pasien pernah dianestesi sebelumnya maka harus diketahui apakah pasien memiliki kesulitan atau efek samping yang ditimbulkan setelah dilakukan teknik anestesi.IsiTindakan praanestesi dilakukan untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Hal yang harus dilakukan pertama kali dalam tindakan praanestesi adalah menanyakan tentang identitas pasien dan bagian tubuh yang akan dioperasi sehingga tidak terjadi kesalahan dalam melakukan teknik anestesi. Selain itu mental pasien harus dipersiapkan terlebih dahulu sehingga pasien siap dengan tindakan yang akan dilakukan.Pada anamnesis harus ditanyakan apakah pasien pernah mendapat obat anestesi sebelumnya sehingga dapat mengetahui apakah pasien membutuhkan obat untuk tindakan alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca badah sehingga tindakan anestesi yang akan dilakukan dapat berjalan dengan baik. Obat yang sering menimbulkan masalah yaitu halotan dan suksinilkolin. Selain itu harus ditanyakan kebiasaan dari pasien tersebut. Jika pasien memiliki kebiasaan merokok maka kebiasaan tersebut harus dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk mengeliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi. Kebiasaan ini dihentikan utnuk mengaktifkan kerja silia jalan nafas dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Selain itu, pasien yang memiliki kebiasaan meminum alkohol harus menghentikan kebiasaan minum-minum alkoholnya dan juga dicurigai memiliki gangguan pada heparnya. Tindakan praanestesi meliputi pemeriksaan fisik dimana diperiksa keadaan gigi geligi, tindakan membuka mulut, keadaan lidah. Kondisi lidah penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan jika dilakukan laringoskop intubasi. Selain itu pemeriksaan terhadap keadaan leher juga berfungsi untuk mengetahui apakah terdapat penyulit untuk melakukan tindakan intubasi. Selain itu pemeriksaan rutin meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi harus tetap dilakukan pada semua organ tubuh pasien. Pada pemeriksaan fisik terhadap anak-anak harus dinilai apakah terdapat gambaran pectus ekskavatum dapat menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas atas yang kronis. Penentuan status hidrasi sangat penting untuk dilakukan karena banyak obat-obat anestesi yang bersifat vasodilator atau depresi miokardium sehingga hipovolemi akan memudahkan terjadinya hipotensi setelah induksi.Adanya tanda-tanda gagal jantung seperti takipnue, takikardi, atau hepatomegali dapat merubah pemilihan obat-obat induksi. Pada pasien yang mengalami asma harus dilakukan evaluasi lebih lanjut sebelum dilanjutkan dengan tindakan operasi elektif. Jalan masuk vena harus diperiksa dengan teliti sehingga kanulasi setelah induksi inhalasi dapat dilakukan dengan cepat.Pada setiap aktivitas kehidupan sehari-hari terdapat banyak perubahan fisiologis tubuh, dan jika pasien dianestesi maka akan terjadi banyak perubahan fisiologis tubuh manusia. Hal ini menyebabkan perlunya dilakukan pemeriksaan penunjang sebelum dilakukannya tindakan operasi. Sekalipun luka yang akan dioperasi kecil, tetapi jika kondisi tubuh pasien jelek maka hasil operasi dapat berakhir dengan buruk.1Pemeriksaan penunjang berupa uji laboratorium hendaknya dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang dicurigai. Umumnya pada pasien dengan bedah minor dilakukan pemeriksaan darah kecil berupa Hb, Ht, leukosit, masa perdarahan, dan masa pembekuan, dan urinalisis. Sedangkan pada usia pasien diatas 50 tahun dilakukan pemeriksaan EKG dan foto thoraks. Akan tetapi pada pasien-pasien dengan kebiasaan mengkonsumsi alkohol harus dilakukan pemeriksaan terhadap fungsi hati pasien. Jika didapatkan fungsi hati pasien dalam keadaan buruk maka pasien tidak dapat dilakukan operasi atau operasi ditunda sampai fungsi hatinya kembali membaik. Pemeriksaan sinar X toraks perioperatif dapat mengidentifikasi klien yang beresiko tinggi atau mendasari penilaian tingkat keparahan perubahan paru intraoperatif atau pascaoperatif. Pemeriksaan sinar X thoraks dibawah 40 tahun tanpa riwayat gangguan paru dapat membantu menemukan kelainan sehingga dapat mengurangi efek samping dari obat yang akan ditimbulkan. Foto rongten penting untuk dilakukan sebelum melakukan tindakan intubasi endobronkial untuk meneliti percabangan trakea ke dalam bronkus utama dan memudahkan dilakukannya pemasangan yang lebih akurat. Selain itu dari hasil pemeriksaan penunjang jika pasien memiliki kelainan pada thoraksnya maka pada saat dilakukan tindakan anestesi, dapat diwaspadai keadaan-keadaan yang membuat pasien mengalami komplikasi.2Pasien yang memiliki kondisi tubuh yang cukup baik dapat menjadwalkan tindakan operasi yang akan dilakukannya, akan tetapi jika kondisi pasien dalam keadaan yang gawat maka tindakan operasi harus dilakukan segera dan tanpa puasa. Pada umumnya pasien dewasa yang akan menjadwalkan tindakan operasinya maka pasien dapat berpuasa terlebih dahulu sebelum dilakukan tindakan pada pasien terebut.Pasien dewasa yang puasa terhadap makanan berat maka dapat mempuasakan dirinya sejak satu malam sebelumnnya, sedangkan pasien yang ingin melakukan puasa air bening dapat dilakukan 2-4 jam sebelum operasi dimulai. Anak-anak yang masih menyusu atau mengkonsumsi ASI dapat dipuasakan 6 jam sebelum tindakan operasi dimulai.Dalam melakukan evaluasi terhadap keadaan pasien harus diperhatikan apakah pasien memiliki penyakit yang memang sudah diderita olehnya sejak lama dikarenakan hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap proses anestesi yang dilakukan untuk pasien tersebut. Selain itu dengan mengetahui penyakit yang dimiliki dalam tubuh seseorang maka dapat diketahui apakah orang tersebut memiliki faktor resiko untuk terkena penyakit tertentu atau mengalami komplikasi tertentu pada saat dilakukan tindakan anestesi.Pada tindakan praanestesi harus dilakukan penilaian terhadap status fisik ASA. Akan tetapi status fisik ini bukan merupakan alat prakiraan risiko anestesi. Status fisik ASA terdiri dari: ASA 1 adalah pasien dalam keadaan sehat secara organik, fisiologik, psikiatrik, dan biokimia. ASA 2 merupakan pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang. ASA 3 adalah pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas rutin terbatas. ASA 4 adalah pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupan setiap saat. ASA 5 adalah pasien yang dengan atau tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam. ASA 6 adalah pasien yang mati batang otak tetapi organnya akan digunakan untuk transplantasi.Proses anestesi dapat dapat menyebabkan refleks laring menurun dan dapat menyebabkan regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas. Oleh karena itu pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral atau puasa selama beberapa jam sebelum induksi dimulai. Pada pasien dewasa puasa dilakukan 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi dimulai, sedangkan minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas dapat dikonsumsi 1 jam sebelum induksi dimulai.Sebelum dilakukan anestesi sebaiknya dilakukan monitoring terlebih dahulu terhadap keadaan pasien. hal ini bertujuan agar dapat mengetahui peringatan awal dari masalah yang potensial sehingga dapat cepat mengerjakan hal-hal yang perlu untuk mengembalikan fungsi organ vital sefisiologis mungkin. Monitoring bertujuan untuk membantu anestesis mendapatkan inforasi mengenai fungsi organ vital selama perianestesi agar dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik membantu anestesi mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus menerus.1,3Rekam medis sebelum tindakan anestesi sangat penting diketahui sehingga dapat diketahui kondisi pasien apakah dalam keadaan segar bugar atau sedang menderita suatu penyakit sistemik. Monitoring dasar pada pasien dalam keadaan anestesi adalah monitoring tanpa alat atau dengan alat sederhana. monitoring tutin atau monitoring standar pada pasien dalam perianestesi berbeda antara satu rumah sakit dengan rumah sakit yang lainnya dan bergantung dari banyak hal. Monitoring yang lengkap dan baik meningkatkan mutu pelayanan tetapi tidak menjamin apakah tidak akan terjadi sesuatau atau tidak. Monitoring kardiovaskular dapat dilakukan secara non invasif atau tidak langsung maupun secara invasif atau langsung. Monitoring secara non invasif pada nadi merupakan keharusan dikarenakan gangguan sirkulasi sering terjadi selama anestesi. Semakin terjadi bradikardi maka akan semakin menurunkan curah jantung. Monitoring terhadap nadi dapat dilakukan dengan palpasi arteri radialis, brakialis, femorali, atau karotis. Melalui palpasi dapat diketahui frekuensi, irama, dan kekuatan nadi. selain palpasi dapat juga dilakukan auskultai atau melalui kateter khusus lewat esofagus. Monitoring nadi secara kontinyu dapat dilakukan dengan peralatan elektronik seperti EKG atau oksimeter yang disertai dengan alarm. Pemasangan EKG untuk mengetahui secara kontinyu frekuensi nadi, disaritmia, iskemia jantung, gangguan konduksi, abnormaliotas elektrolit dan fungsi pacemaker.Pengukuran tekanan darah dapat diukur secara manual atau otomatis dengan manset yang harus tepat ukurannya. Tekanan sistolik dan diastolik diketahui dengan auskultasi, palpasi sedangkan tekanan arteri rata-rata diketahui secara langsung dengan monitoring tekanan darah elektronik atau dengan menghitung dari tekanan diastolik + 1/3 (tekanan sistolik tekanan diastolik). Banyaknya perdarahan harus dimonitoring dengan menimbang kain kasa sebelum terkena darah dan sesudah terkena darah.Pengukuran secara invasif dikerjakan jika akan dilakukan bedah khusus atau pasien berada dalam kondisi yang kurang baik. melalui kanulasi arteri lewat arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri karotis, arteri femoralis dapat diketahui secara kontiyu tekanan darah pasien. dengan kanulasi vena sentral, vena jugularis interna dan eksterna, vena subklavia, vena basilika, vena femoralis dapat diketahui tekanan vena sentral secara kontinyu. Melalui kanulasi arteri pulmonalis dapat dianalisa curah jantung dan pada bayi baru lahir dapat digunakan arteri atau vena umbilikalis. Kanulasi arteri dapat digunakan juga untuk memonitor ventilasi dengan mengukur kada pH, tekanan oksigen, tekanan karbondioksida, bikarbonat dengan lebih sering sehingga dapat memenuhi kebutuhan.Monitoring juga harus dilakukan terhadap respirasi, suhu badan, ginjal, blokade neuromuskular, sistem saraf. Monitoring terhadap respirasi dilakukan baik dengan menggunakan alat atau oksimetri denyut, kapnometri, stetoskop maupun tanpa alat. Monitoring terhadap suhu badan sering dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil. Pengukuran suhu badan sangat penting dilakukan pada bayi dikarenakan bayi mudah kehilangan panas dan dapat menyebabkan depresi otot jantung, hipoksia, asidosis, dan pulih dari anestesi menjadi lambat dan pada neonatus dapat terjadi sirkulasi persistent fetal.Sirkulasi ginjal harus diketahui dengan mengetahui produksi air kemih. Produksi air kemih normal minimal 0,5-1,0 ml/kgBB/jam dan dimonitor pada bedah lama dan sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau distensi dari buli-bui. Monitoring terhadap produksi air kemih harus dilakukan dengan hati-hati karena selain traumatis juga mengundang infeksi sampai ke pielonefritis.Pada pasien sehat sadar, oksigenisasi pada otak adekuat jika orientasi terhadap personal, waktu, dan tempat baik. pada saat pasien dalam keadaan tidaks adar, monitoring terhadap sistem saraf pusat dikerjakan dengan memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respon terhadap trauma pembedahan, respon terhadap otot apakah relaksasi cukup atau tidak.Pasien dengan usia lanjut cenderung rentan terhadap obat-obat penekan susunan saraf pusat disebabkan berkurangnya bahan-bahan sel dan penurunan fungsi sinaps secara progresif. Kecepatan hantaran diketahui menurun seiring dengan penuaan. Pada pasien geriatri penurunan aliran darah hati sebanding dengan penurunan keseluruhan curah jantung total. Pada penuaan konsentrasi dan fungsi enzim mikrosom hati diperkirakan tetap berada dalam rentang normal. Penurunan aliran darah dan berkurangnya kapasitas fungsional yang terjadi tampaknya cenderung mempercepat penuaan hati sehingga berisiko tinggi mengalami kerusakan akibat hipoksemia, obat, atau transfusi darah. penurunan aliran darah, kemungkinan defisit enzim dan penurunan kemampuan eksretorik ginjal dan memperpanjang waktu paruh eliminasi beta dan memperlama efek obat yang diberikan.Identifikasi obat dan dosis yang digunakan dapat membantu untuk menghindari interaksi obat yang tidak diinginkan. Banyak obat-obat antihipertensi dan hampir semua obat yang mengubah status mental mempengaruhi penyimpanan, penyerapan, metabolisme, dan atau pengeluaran neurotransmiter neuron simpatis.4 Pemeriksaan darah berupa haemoglobin jika dibawah 10 g/dl dapat menyebabkan peningkatan resiko terjadinya iskemia miokardium dan mengurangi kemampuan penderita untuk bertahan saat kehilangan darah. pemeriksaan tes bulan sabit harus dilakukan pada penderita dengan kulit yang mengalami pigmentasi. Pemeriksaan elektrolit berupa perhitungan urea, natrium, kalium, klorida, dan bikarbonat serum harus berada dalam batas normal. Dalam tindakan anestesi dapat terjadi interaksi obat, sehingga harus diperhatikan pemberian obat-obat sebelum tindakan anestesi akan dimulai. Pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid akan memberikan respon sebagai stress sehingga selama anestesi dilakukan pasien akan mengalami hipertensi.5PenutupPraanestesi merupakan tindakan yang harus dilakukan sebelum dimulainya anestesi. Melalui praanestesi ini dapat diketahui kondisi pasien sehingga dapat diketahui tindakan-tindakan yang harus dilakukan terhadap pasien tersebut. Melalui praanestesi ini juga dapat diketahui apakah pasien perlu diberikan obat-obat tertentu untuk mencegah timbulnya komplikasi atau untuk mengembalikan kondisi pasien ke keadaan yang semula. Penentuan kondisi pasien dilakukan dengan menggunakan ASA. Semakin besar nilai ASA maka akan semakin besar juga resiko dari tindakan anestesi yang akan dilakukan.Daftar Pustaka1. Latief Said A, Suryadi Kartini A, Dachlan M. Ruswan. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi ke-2. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010: 29-95.2. Gruendemann Barbara J, Fernsebner Billie. Buku ajar keperawatan perioperatif. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2006: 540-1.3. Arvin Behrman Kliegman.. Ilmu kesehatan anak Nelson. Volume 1. Edisi ke-15. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2000: 349.4. Editor. Persiapan prabedah dan anestesi. http://kedokteranebook.blogspot.com/2013/10/persiapan-pra-sebelum-bedah-dan-anestesi.html, 20 Juni 2014. Dikutib tanggal 7 Juli 2014.5. Barash Paul G, Cullen Bruce F, Stoelting Robert K, Cahalan Michael K, Stock M. Christine. Clinical anestesia. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2009: 43.