ppd

56
PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN A. Kecerdasan Emosional dan Pengertian Kemandirian 1. Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Para pakar psikologi telah mendefinisikan Kecerdasan Emosional, di antaranya yaitu menurut : a. Basic Education Project (BEP) Kecerdasan Emosional adalah “Suatu kemampuan untuk memahami perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri, dan menata dengan baik emosi-emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan dengan orang lain. b. Reuven Bar-On yang dikutip Steven J. Stein dan Howard E. Bask Kecerdasan Emosional adalah “Serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non kognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan”. c. Agustian, Ary Ginanjar Kecerdasan Emosional adalah “Sebuah kemampuan untuk mendengarkan bisikan emosi dan menjadikannya sebagai sumber informasi maha penting untuk memahami diri sendiri dan orang lain demi mencapai sebuah tujuan”.

Upload: iskandar

Post on 15-Sep-2015

218 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

tugas

TRANSCRIPT

PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN

A. Kecerdasan Emosional dan Pengertian Kemandirian 1. Kecerdasan Emosional1. Pengertian Kecerdasan EmosionalPara pakar psikologi telah mendefinisikan Kecerdasan Emosional, di antaranya yaitu menurut :a. Basic Education Project (BEP)Kecerdasan Emosional adalah Suatu kemampuan untuk memahami perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri, dan menata dengan baik emosi-emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan dengan orang lain.b. Reuven Bar-On yang dikutip Steven J. Stein dan Howard E. Bask Kecerdasan Emosional adalah Serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non kognitif, yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekananlingkungan.c. Agustian, Ary GinanjarKecerdasan Emosional adalah Sebuah kemampuan untuk mendengarkan bisikan emosi dan menjadikannya sebagai sumber informasi maha penting untuk memahami diri sendiri dan orang lain demi mencapai sebuah tujuan.

2. Indikasi-indikasi Kecerdasan EmosionalKecerdasan emosional adalah suatu kemampuan untuk memahami perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi dirinya sendiri dan menata dengan baik emosi-emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi menuntut seseorang untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan pada dirinya sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan cepat, menerapkan dengan efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan sehari-hari. Indikasi-indikasi kecerdasan emosional, terdiri dari lima unsur,yaitu sebagai berikut:a. Mengenali emosi dirib. Mengelola emosi dalam diric. Memotivasi dirid. Mengenali emosi orang lain (empati)e. Membina hubungan dengan orang lainDi antara faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosionaladalah:a. Faktor Keluargab. Faktor Lingkungan Sekolah

2. Pengertian Kemandirian Peserta DidikIstilah kemandirian berasal dari kata dasar diri yang mendapat awalan ke dan akhiran an, kemudian membentuk satu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar diri, maka pembahasan mengenai kemandirian tidak bisa lepas dari pembahasan tentang perkembangan diri itu sendiri.

Menurut Chaplin (2002), otonomi atau kemandirian adalah kebebasan individu manusia untuk memilih menjadi kesatuan yang bisa memerintah, menguasai, dan menentukan dirinya sendiri. Sedangkan menurut Erikson (dalam Monks,dkk,1989), meny atakan kemandirian adalah usaha untuk melepaskan diri dari orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya melalui proses mencari identitas ego yaitu merupakan perkembangan kearah individualitas yang mantap dan berdiri sendiri. Kemandirian biasanya ditandai dengan kemapuan menentukan nasib sendiri, kreatif dan inisiatif, mengatur tingkah laku, bertanggung jawab, mampu menahan diri, dan lain lain. Kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana peserta didik secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain. Dengan otonomi tersebut, peserta didik diharapkan akan lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kemandirian mengandung pengertian :a.Suatu kondisi dimana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya sendiri.b.Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi.c.Memiliki kepercayaan diri dan melaksanakan tugas-tugasnya.d.Bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.

B. Tingkatan dan Karakteristik Kemandirian

Sebagai suatu dimensi psikologi yang kompleks, kemandirian dalam perkembangannya memiliki tingkatan-tingkatan. Perkembangan kemandirian seseorang berlangsung secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan kemandirian tersebut. Menurut Lovinger (dalam Sunaryo Kartadinata,1988), mengemukakan tingkatan kemandirian dan karakteristiknya, yaitu:a. Tingkat pertama, adalah tingkatan implusif dan melindungi diri. Tingkatan ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :- Peduli terhadap control dan keuntungan yang dapat diperoleh dari interaksinya dengan orang lain.- Mengikuti aturan secara spontanistik dan hedonistic.-Berfikir tidak logis dan tertegun pada cara berfikir tertentu ( stereotype).-Cenderung melihat kehidupan sebagai zero-sum games.-Cenderung menyalahkan dan mencela orang lain serta lingkunganya. b. Tingkat kedua, adalah konformistik. Ciri-cirinya adalah :-Peduli terhadap penampilan diri dan penerimaan social.-Cenderung berfikir stereotype dan klise.-Peduli akan konformitas terhadap aturan eksternal.-Bertindak dengan motif yang dangkal untuk memperoleh pujian. Menyamakan diri dalam ekspresi emosi dan kurangnya intropeksi.- Perbedaan kelompok didasarkan atas ciri-ciri eksternal.- Takut tiadak diterima kelompok.- Tidak sensitif terhadap keindividualan.- Merasa berdosa jika melanggar aturan.c. Tingkatan ketiga, adalah tingkat sadar diri. Ciri-cirinya adalah:-Mampu berfikir alternatif.-Melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi.-Memikirkan cara hidup.-Penyesuaian terhadap situasi dan peranan.-Menekankan pada pentingnya memecahkan masalah.d. Tingkat keempat, adalah tingkat saksama (conscientious). Ciri-ciri nya adalah :-Bertindak atas dasar nilai-nilai internal.-Sadar akan tanggung jawab.-Mampu melakukan kritik dan penilaian diri.-Memiliki tujuan jangka panjang.- Berfikir lebih kompleks dan atas dasar pola analisis.

C. Pentingnya Kemandirian bagi Peserta Didik

Pentingnya kemandirian dari peserta didik ini dipengaruhi juga dengan semakin kompleksnya kehidupan yang tentunya juga berpengaruh pada perkembangan peserta didik. Pengaruh buruk sudah banyak sekali masuk dan membawa dampak buruk bagi peserta didik, seperti tawuran, seks bebas, narkoba, alkohol, dan lain-lain. Selain perilaku menyimpang tadi, dewasa ini kerusakan moral pun terjadi seperti budaya mencontek, kurang peka terhadap lingkungan, ketergantungan dan sebagainya. Ini semua tentunya patut menjadi perhatian dunia. Dan solusi yang tepat adalah menanamkan sikap kemandirian pada diri peserta didik. Dengan kemandirian, peserta didik belajar dan berlatih dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat keputusan, bertindak sesuai denga keputusannya sendiri serta bertanggung jawab atas s egala sesuatu yang dilakukannya. Jika kemandirian sudah tertanam di setiap diri para peserta didik tentunya akan berimplikasi pada pendidikan. Mereka sebagai subjek pendidikan dan mempunyai sikap kemandirian tentunya akan membawa dampak baik bagi masa depan pendidikan. Maka dari itu, kemandirian peserta didik sangat penting untuk ditanamkan.

D. Perkembangan Kemandirian Peserta Didik dan Implikasinya bagi Pendidikan

Kemandirian peserta didik adalah bakat kecakapan yang dimiliki peserta didik, ini sangat berkaitan dengan pendidikan. Oleh sebab itu pendidikan di sekolah perlu melakukan upaya-upaya pengembangan kemandirian peserta didik, diantaranya :a. Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis.b. Mendorong anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan dalam berbagai kegiatan sekolah.c. Memberi kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi lingkungan , mendorong rasa ingin tahu mereka.d. Peneriman positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-bedakan anak yang satu dengan yang lain.e. Menjalin hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak.

Dengan semua itu, maka akan terbentuk pribadi peserta didik yang mandiri. Yang juga implikasi untuk keadaan dunia pendidikan yang akan semakin berkembang.

E. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemandirian yang terbagi menjadi faktor internal maupun eksternal, antara lain sebagai berikut :a) Faktor Internal, yaitu faktor yang berasal dari dalam individu itu sendiri yang meliputi :1. IntelegensiGunarsa (dalam Budiman, 2007) menyatakan bahwa individu dapat dikatakan mempunyai kecerdasan (intelegensi) yang baik jika ia mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Secara umum intelegensi memegang peranan yang penting dalam kehidupan seseorang, individu yang memiliki intelegensi yang rata-rata normal tentunya akan mudah melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain, bila dibandingkan individu dengan tingkat intelegensi yang rendah atau pada anak autis misalnya karena intelegensi mempengaruhi cara berpikir logis seseorang.2. Usia Smart dan Smart (dalam Musdalifah, 2007) menyatakan kemandirian dapat dilihat sejak individu masih kecil, dan akan terus berkembang sehingga akhirnya akan menjadi sifat-sifat yang relatif menetap pada masa remaja. Bertambahnya usia seseorang maka secara otomatis terjadi perubahan fisik yang lebih kuat pada individu, sehingga akan memudahkan seseorang melakukan sesuatu tanpa bantuan dari orang lain.3. Jenis kelaminSesungguhnya pada anak perempuan terdapat dorongan untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada orang tua, tetapi dengan statusnya sebagai gadis mereka dituntut untuk bersikap pasif, berbeda dengan anak lelaki yang agresif dan ekspansif, akibatnya anak perempuan berada lebih lama dalam ketergantungan daripada anak laki-laki (Simandjuntak dan Pasaribu dalam Yusuf, 2001). Oleh karena itu tidak mengherankan apabila banyak siswa putri yang terkesan kurang mandiri.Penelitian yang dilakukan oleh Fleming(2005) mengenai pengaruh usia dan jenis kelamin menunjukkan bahwa isu mengenai kemandirian lebih sering muncul pada remaja pria. Hal ini senada dengan yang di utarakan oleh Hoff (dalam Yusuf, 2001) bahwa laki-laki lebih mandiri dari pada perempuan. Remaja pria lebih sering mengalami konflik dengan orangtua seputar kepatuhan terhadap nasihat orangtua sedangkan remaja putri dinilai lebih patuh terhadap nasihat orangtua. Tetapi pada penelitian Feldman (dalam Musdalifah, 2007) bahwa tidak ditemukan hubungan antara jenis kelamin dengan kemandirian. Jadi remaja laki-laki belum tentu lebih mandiri dari remaja perempuan.b) Faktor Eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar individu itu sendiri yang meliputi : 1. KebudayaanKebudayaan yang berbeda akan menyebabkan perbedaan norma dan nilai-nilai yang berlaku di dalam lingkungan masyarakat, sehingga sikap dan kebiasaan masyarakat tertentu akan berbeda dengan masyarakat yang lainnya (Sarwono, 2007). Siswa dengan kebudayaan metropolitan yang terbiasanya dengan kehidupan instan dan serba canggih tentunya akan memiliki kemandirian yang berbeda dengan siswa dengan latar belakang kebudayaan di desa.2. Pola Asuh Orang TuaPola pengasuhan keluarga seperti sikap orang tua, kebiasaan keluarga, dan pandangan keluarga akan mempengaruhi pembentukan kemandirian anak (Wijaya dalam Budiman, 2007). Keluarga yang membiasakan anak-anaknya diberi kesempatan untuk mandiri sejak dini, akan menumbuhkan kemandirian pada anak anaknya dengan cara tidak bersikap terlalu protektif. Sebagaimana Becker dalam (Hurlock, 2000) mengatakan pola asuh adalah pendekatan yang dilakukan oleh orangtua untuk mengontrol anaknya. Keluarga mempunyai peranan penting dalam kaitannya dengan perkembangan kemandirian individu (Basri dalam Yusuf, 2005). Menurut Baumrind (dalam Musdalifah, 2007) kecenderungan orangtua menerapkan tiga pola asuh yaitu pola asuh authoritarian dimana orangtua berperan pada kepatuhan dan membatasi kemandirian anak, pola asuh permissive dimana orangtua memberikan kebebasan secara konsisten pada anak, dan pola asuh authoritative dimana orangtua mengarahkan secara jelas dan penuh pengertian. Selanjutnya ia amengatakan bahwa pola asuh authoritative adalah pola asuh yang paling efektif dalam membangun tanggung jawab dan kemandirian remaja. Remaja dapat mengambil keputusan tetapi orangtua tetap memberikan batasan logis untuk membiarkan anak melakukan tingkah laku tertentu dan belajar dari pengalaman.3. Jumlah anak dalam keluargaAdanya perlakuan yang demokratis anak didorong untuk memegang peran yang dipilihnya sendiri dan anak didorong untuk berprestasi (Hurlock, 2003). Keluarga yang mempengaruhi kemungkinan paling besar untuk memperlakukan anak secara demokratis adalah keluarga kecil, namun tidak menutup kemungkinan jumlah anak yang banyak dalam keluarga juga menuntut tingkat kemandirian anak tinggi, karena perhatian orangtua lebih fokus pada anaknya yang masih kecil.4. Tingkat Pendidikan dan Status Sosial EkonomiPenelitian yang dilakukan oleh Khon (dalam Hurlock 2000) menemukan fakta bahwa berbagai kultur pada orangtua yang berasal dari tingkat pendidikan yang rendah dan sosial ekonomi yang rendah pula mengajarkan nilai kemandirian yang lebih tinggi kepada anak-anaknya akibat keterbatasan yang meraka miliki, sedangkan pada orangtua yang memiliki status sosial ekonomi yang tinggi mereka lebih menekankan gengsi dan sikap konformitas pada anak-anak mereka.Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kemandirian. Faktor tersebut bisa berasal dari dalam(internal), maupun faktor yang berasal dari luar (eksternal). Faktor internal meliputi intelegensi, usia, dan jenis kelamin, sedangkan faktor internal meliputi kebudayaan, pola asuh orang tua, dan jumlah anak dalam keluarga.BAB IIIPENUTUP

Kesimpulan

Kemandirian adalah usaha untuk melepaskan diri dari orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya melalui proses mencari identitas dan juga merupakan perkembangan kearah individualitas yang mantap dan berdiri sendiri. Perkembangan kemandirian seseorang berlangsung secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan kemandirian. Pengaruh kompleksitas kehidupan terhadap peserta didik terlihat dari berbagai fenomena yang sangat membutuhkan perhatian dunia pendidikan, seperti perkelahian antar pelajar, penyalahgunaan obat dan alkohol, perilaku agresif, dan berbagai perilaku menyimpang yang sudah mengarahkan pada tindak kriminal. Karakteristik kemandirian terdiri atas tiga bentuk, yaitu :a) kemandirian emosionalb) kemandirian tingkah lakuc) kemandirian nilai Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian terbagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Factor Internal terdiri atas intelegensi, usia, dan jenis kelamin. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas kebudayaan, pola asuh orang tua, jumlah anak dalam keluarga, dan tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi. Pengertian Perkembangan Bahasa Perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan. Perubahan itu dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya pertambahan tinggi atau berat tubuh dan kualitatif, misalnya perubahan caraberpikir secara konkret menjadi abstrak. Sedangkan yang dimaksud dengan bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh seorang dalam pergaulannyaatau hubungannya dengan orang lain. Bahasa merupakan alat bergaul. Oleh karena itu penggunaan bahasa menjadi efektif sejak seorang individu memerlukan berkomunikasi dengan orang lain. Sejak seorang bayi mulai berkomunikasi dengan orang lain, sejak itu pula bahasa diperlukan. Sejalan dengan perkembangan hubungan sosial, maka perkembangan bahasa seorang dimulai dengan meraba (suara atau bunyi tanpa arti) dan diikuti dengan bahasa atau suku kata, dua suku kata, menyusun kalimat sederhana dan seterusnya melakukan sosialisasi dengan menggunakan bahasa yang kompleks sesuai dengan tingkat perilaku sosial. Bahasa juga merupakan kemampuan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Dalam pengertian ini, tercakup semua cara untuk berkomunikasi, di mana pikiran dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lambang atau symbol untuk mengungkapkan sesuatu pengertian, seperti dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat, bilangan, lukisan, dan mimik muka. Bahasa merupakan faktor hakiki yang membedakan manusia dengan hewan. Bahasa sangat erat kaitannya dengan perkembangan pikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya yaitu kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan. Dan kata remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity. Menurut Adams & Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa. Remaja merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa. Remaja juga terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan. Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai. Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak. 2.Karakteristik Perkembangan Bahasa Remaja Bahasa remaja adalah bahasa yang telah berkembang ia telah banyak belajar dari lingkungan, dan dengan demikian bahasa remaja terbentuk dari kondisi lingkungan. Lingkungan remaja mencakup lingkungan keluarga, masyarakat dan khususnya pergaulan teman sebaya, dan lingkungan sekolah. Pola bahasa yang dimiliki adalah bahasa yang berkembang di dalam keluarga atau bahasa itu. Perkembangan bahasa remaja dilengkapi dan diperkaya oleh lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal. Hal ini berarti pembentukan kepribadian yang dihasilkan dari pergaulan masyarakat sekitar akan memberi ciri khusus dalam perilaku bahasa. Bersamaan dengan kehidupannya di dalam masyarakat luas, anak (remaja) mengkutip proses belajar disekolah. Sebagaimana diketahui, dilembaga pendidikan diberikan rangsangan yang terarah sesuai dengan kaidah-kaedah yang benar. Proses pendidikan bukan memperluas dan memperdalam cakrawala ilmu pengetahuan semata, tetapi juga secara berencana merekayasa perkembangan sistem budaya, termasuk perilaku berbahasa. Pengaruh pergaulan di dalam masyarakat (teman sebaya) terkadang cukup menonjol, sehingga bahasa anak (remaja) menjadi lebih diwarnai pola bahasa pergaulan yang berkembang di dalam kelompok sebaya. Dari kelompok itu berkembang bahasa sandi, bahasa kelompok yang bentuknya amat khusus, seperti istilah baceman dikalangan pelajar yang dimaksudkan adalah bocoran soal ulangan atau tes. Bahasa prokem terutama secara khusus untuk kepentingan khusus pula. Pengaruh lingkungan yang berbeda antara keluarga masyarakat, dan sekolah dalam perkembangan bahasa, akan menyebabkan perbedaan antara anak yang satu dengan yang lain. Hal ini ditunjukkan oleh pilihan dan penggunaan kosakata sesuai dengan tingkat sosial keluarganya. Keluarga dari masyarakat lapisan pendidikan rendah atau buta huruf, akan banyak menggunakan bahasa pasar, bahasa sembarangan, dengan istilah-istilah yang kasar. Masyarakat terdidik yang pada umumnya memiliki status sosial lebih baik, menggunakan istilah-istilah lebih selektif dan umumnya anak-anak remajanya juga berbahasa lebih baik. Ragam bahasa remaja memiliki ciri khusus, singkat, lincah dan kreatif. Kata-kata yang digunakan cenderung pendek, sementara kata yang agak panjang akan diperpendek melalui proses morfologi atau menggantinya dengan kata yang lebih pendek seperti permainan diganti dengan mainan, pekerjaan diganti dengan kerjaan. Kalimat-kalimat yang digunakan kebanyakan berstruktur kalimat tunggal. Bentuk-bentuk elip juga banyak digunakan untuk membuat susunan kalimat menjadi lebih pendek sehingga seringkali dijumpai kalimat-kalimat yang tidak lengkap. Dengan menggunakan struktur yang pendek, pengungkapan makna menjadi lebih cepat yang sering membuat pendengar yang bukan penutur asli bahasa Indonesia mengalami kesulitan untuk memahaminya. Kita bisa mendengar bagaimana bahasa remaja ini dibuat begitu singkat tetapi sangat komunikatif. Karakteristik perkembangan bahasa remaja sesungguhnya didukung oleh perkembangan kognitif yang menurut Jean Piaget telah mencapai tahap operasional formal. Sejalan dengan perkembangan kognitifnya, remaja mulai mampu mrngaplikasikan prinsip-prinsip berpikir formal atau berpikir ilmiah secara baik pada setiap situasi dan telah mengalami peningkatan kemampuan dalam menyusun pola hubungan secara komperhensif, membandingkan secara kritis antara fakta dan asumsi dengan mengurangi penggunaan symbol-simbol dan terminologi konkret dalam mengomunikasikannya. Sejalan perkembangan psikis remaja yang berada pada fase pencarian jati diri, ada tahapan kemampuan berbahasa pada remaja yang berbeda dari tahap-tahap sebelum atau sesudahnya yang kadang-kadang menyimpang dari norma umum seperti munculnya istilah-istilah khusus di kalangan remaja. Karakteristik psikologis khas remaja seringkali mendorong remaja membangun dan memiliki bahasa relatif berbeda dan bahkan khas untuk kalangan remaja sendiri, sampai-sampai tidak jarang orang di luar kalangan remaja kesulitan memahaminya. Dalam perkembangan masyarakat modern sekarang ini, di kota-kota besar bahkan berkembang pesat bahasa khas remaja yang sering dikenal dengan bahasa gaul. Bahkan karena pesatnya perkembangan bahasa gaul ini dan untuk membantu kalangan diuluat remaja memahami bahasa mereka, Debby Sahertian (2000) telah menyusun dan menertibkan sebuah kamus khas remaja yang disebut dengan Kamus Bahasa Gaul. Dalam kamus itu tertera sekian ribu bahasa gaul yang menjadi bahasa khas remaja yang jika kita pelajari sangat berbeda dengan bahasa pada umumnya. Kalangan remaja justru sangat akrab dan sangat memahami bahasa gaul serta merasa lebih aman jika berkomunikasi dengan sesama remaja menggunakan bahasa gaul. 3.Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa Berbahasa terkait erat dengan kondisi pergaulan. Oleh karena itu perkembangannya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a)Umur anak Manusia bertambah umur akan semakin matang pertumbuhan fisiknya, bertambahnya pengalaman, dan meningkatkan kebutuhan. Bahasa seseorang akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalaman dan kebutuhannya. Faktor fisik ikut mempengaruhi sehubungan semakin sempurnanya pertumbuhan organ bicara, kerja otot-otot untuk melakukan gerakan-gerakan dan isyarat. Pada masa remaja perkembangan biologis yang menunjang kemampuan berbahasa telah mencapai tingkat kesempurnaan, dengan dibarengi oleh perkembangan tingkat intelektual, anak akan mampu menunjukkan cara berkomunikasi dengan baik. b)Kondisi lingkungan Lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang memberi andil untuk cukup besar dalam berbahasa. Perkembangan bahasa dilingkungan perkotaan akan berbeda dengan dilingkungan pedesaan. Begitu pula perkembangan bahasa di daerah pantai, pegunungan dan daerah-daerah terpencil menunjukkan perbedaan. Pada dasarnya bahasa dipelajari dari lingkungan. Lingkungan yang dimaksud termasuk lingkungan pergaulan dalam kelompok, seperti kelompok bermain, kelompok kerja, dan kelompok sosial lainnya. c)Kecerdasan anak Untuk meniru bunyi atau suara, gerakan dan mengenal tanda-tanda, memerlukan kemampuan motorik yang baik. Kemampuan intelektual atau tingkat berpikir. Ketepatan meniru, memproduksi perbendaharaan kata-kata yang diingat, kemampuan menyusun kalimat dengan baik dan memahami atau menangkap maksud suatu pernyataan fisik lain, amat dipengaruhi oleh kerja pikir atau kecerdasan seseorang anak. d)Status sosial ekonomi keluarga Keluarga yang berstatus sosial ekonomi baik, akan mampu menyediakan situasi yang baik bagi perkembangan bahasa anak-anak dengan anggota keluarganya. Rangsangan untuk dapat ditiru oleh anak-anak dari anggota keluarga yang berstatus sosial tinggi berbeda dengan keluarga yang berstatus sosial rendah. Hal ini akan tampak perbedaan perkembangan bahasa bagi anak yang hidup di dalam keluarga terdidik dan tidak terdidik. Dengan kata lain pendidikan keluarga berpengaruh terhadap perkembangan bahasa. e)Kondisi fisik Kondisi fisik di sini kesehatan anak. Seseorang yang cacat yang terganggu kemampuannya untuk berkomunikasi, seperti bisu, tuli, gagap, dan organ suara tidak sempurna akan mengganggu perkembangan alam berbahasa. 4.Pengaruh Kemampuan Berbahasa Terhadap Kemampuan Berpikir Perkembangan bahasa terkait dengan perkembangan kognitif yang berarti faktor intelek/kognisi sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan berbahasa. Bayi yang tingkat intelektualnya belum berkembang dan masih sangat sederhana, bahasa yang digunakannya juga sangat sederhana. Semakin bayi itu tumbuh dan berkembang serta mulai mampu memahami lingkungan, maka bahasa mulai berkembang dari tingkat yang sangat sederhana menuju ke bahasa yang kompleks. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh lingkungan, karena bahasa pada dasarnya merupakan hasil belajar dari lingkungan. Anak (bayi) belajar bahasa seperti halnya belajar hal yang lain, meniru dan mengulang hasil yang telah didapatkan merupakan cara belajar bahasa awal. Bayi belajar menambah kata-kata dengan meniru bunyi-bunyi yang didengarnya. Manusia dewasa (terutama ibunya) disekelilingnya membetulkan dan memperjelas. Belajar bahasa yang sebenarnya baru dilakukan oleh anak berusia enam sampai tujuh tahun, disaat anak mulai bersekolah. Jadi perkembangan bahasa adalah meningkatnya kemampuan penguasaan alat berkomunikasi, baik alat komunikasi dengan cara lisan, tertulis, maupun menggunakan tanda-tanda dan isyarat. Mampu dan menguasai alat komunikasi di sini diartikan sebagai upaya seseorang untuk dapat memahami dan dipahami orang lain. Kemampuan berbahasa dan kemampuan berpikir saling mempengaruhi satu sama lain. Bahwa kemampuan berpikir berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa dan sebaliknya kemampuan berbahasa berpengaruh terhadap kemampuan berpikir. Seseorang rendah kemampuan berpikirnya, akan mengalami kesulitan dalam menyusun kalimat yang baik, logis dan sistematis. Hal ini akan berakibat sulitnya berkomunikasi. Bersosialisasi berarti melakukan konteks dengan yang lain. seseorang menyampaikan ide dan gagasannya dengan berbahasa dan menangkap ide dan gagasan orang lain melalui bahasa. Menyampaikan dan mengambil makna ide dan gagasan itu merupakan proses berpikir yang abstrak. Ketidaktepatan menangkap arti bahasa akan berakibat ketidaktepatan dan kekaburan persepsi yang diperolehnya. Akibat lebih lanjut adalah bahwa hasil proses berpikir menjadi tidak tepat benar. Ketidaktepatan hasil pemprosesan pikir ini diakibatkan kekurangmampuan dalam bahasa. 5.Perbedaan Individual dalam Kemampuan dan Perkembangan Bahasa Menurut Chomsky (Woolfolk, dkk. 1984) anak dilahirkan ke dunia telah memiliki kapasitas berbahasa. Akan tetapi seperti dalam bidang yang lain, faktor lingkungan akan mengambil peranan yang cukup menonjol, mempengaruhi perkembangan bahasa anak tersebut. Mereka belajar makna kata dan bahasa sesuai dengan apa yang mereka dengar, lihat dan mereka hayati dalam hidupnya sehari-hari. Perkembangan bahasa anak terbentuk oleh lingkungan yang berbeda-beda. Berpikir dan berbahasa mempunyai korelasi tinggi; anak dengan IQ tinggi akan berkemampuan bahasa yang tinggi. Sebaran nilai IQ menggambarkan adanya perbedaan individual anak, dan dengan demikian kemampuan mereka dalam bahasa juga bervariasi sesuai dengan varasi kemampuan mereka berpikir. Bahasa berkembang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, karena kekayaan lingkungan akan merupakan pendukung bagi perkembangan peristilahan yang sebagian besar dicapai dengan proses meniru. Dengan demikian remaja yang berasal dari lingkungan yang berbeda juga akan berbeda-beda pula kemampuan dan perkembangan bahasanya. 6.Upaya pengembangan kemampuan bahasa remaja dan implikasinya dalam penyelenggaraan pendidikan Kelas atau kelompok belajar terdiri dari siswa yang bervariasi bahasanya, baik kemampuannya maupun polanya. Menghadapi hal ini guru harus mengembangkan strategi belajar-mengajar bidang bahasa dengan memfokuskan pada potensi dan kemampuan anak. Pertama, anak perlu melakukan pengulangan (menceritakan kembali) pelajaran yang telah diberikan dengan kata dan bahasa yang disusun oleh murid-murid sendiri. Dengan cara ini senantiasa guru dapat melakukan identifikasi tentang pola dan tingkat kemampuan bahasa murid-muridnya. Kedua, berdasar hasil identifikasi itu guru melakukan pengembangan bahasa murid dengan menambahkan perbendaharaan bahasa lingkungan yang telah dipilih secara tepat dan benar oleh guru. Cerita murid tentang isi pelajaran yang telah dipercaya itu diperluas untuk langkah-langkah selanjutnya, sehingga para murid mampu menyusun cerita lebih komprehensif tentang isi bacaan yang telah dipelajari dengan menggunakan pola bahasa mereka sendiri. Perkembangan bahasa yang menggunakan model pengekspresian secara mandiri, baik lisan maupun tertulis, dengan mendasarkan pada bahan bacaan akan lebih mengembangkan kemampuan bahasa anak membentuk pola bahasa masing-masing. Dalam penggunaan model ini guru harus banyak memberikan rangsangan dan koreksi dalam bentuk diskusi atau komunikasi bebas. Dalam pada itu sarana perkembangan bahasa seperti buku-buku, surat kabar, majalah, dan lain-lainnya hendaknya disediakan di sekolah maupun dirumah. BAB III PENUTUP 1.Saran Perkembangan bahasa terkait dengan perkembangan kognitif, yang berarti faktor intelek/kognisi sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan berbahasa. Oleh karena itu, kita harus menggunakan dan mengembangkan bahasa dengan berkembangnya bahasa secara tidak sadar kita telah melangkah kedewasaan yang sudah merupakan kodrat kita sebagai manusia. Hanya saja, agar pertumbuhan itu mencapai hasil yang maksimal harus mempertahankan faktor-faktor pendukungnya 2.Kesimpulan 1.Perkembangan bahasa adalah meningkatkatnya kemampuan penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasa yang digunakan oleh remaja sangat dipengauhi oleh bahasa yang didapatkan dalam proses sosialisasi dengan teman sebayanya. Dengan kata lain, lingkungan keluarga dan sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam menghadapi perkembangan bahasa. 2.Bahasa memegang peran penting dalam kehidupan bermasyarakat. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain adalah usia anak, kondisi keluarga dan kondisi fisik anak terutama dari segi kesehatannya. 3.Kemampuan berbahasa dan kemampuan berpikir saling berpengaruh satu sama lain. bahwa kemampuan berpikir berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa dan sebaliknya kemampuan berbahasa berpengaruh terhadap kemampuan berpikir. Keduanya saling menunjang satu sama lainnya.

PERKEMBANGAN NILAI, MORAL, DAN SIKAPA. Pengertian Nilai, Moral, dan SikapAda tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja.[1]1. NilaiDalam kamus bahasa Indonesia, nilai adalah harga, angka kepandaian.[2] Menurut Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejahteraan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah roh subjektif (subjective spirit) dan kekuatan nilai-nilai budaya merupakan roh objektif (objevtive spirit). Roh objektif akan berkembang manakala didukung oleh roh subjektif, sebaliknya roh subjektif terbentuk dan berkembang dengan berpedoman kepada roh objektif yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus dicapai.Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai. Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Nilai merupakan standar konseptual yang relatif stabil dan emplisit membimbing individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai serta aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.Spranger menggolongkan nilai itu kedalam enam jenis, yaitu:a. nilai teori atau nilai keilmuan (I)b. nilai ekonomi (E)c. nilai sosial atau nilai solidaritas (Sd)d. nilai agama (A)e. nilai seni (S)f. nilai politik atau nilai kuasa (K)2. MoralIstilah moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar.[3] Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam kehidupannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu sebagai anggota sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.Perubahan pokok dalam moralitas selama masa remaja terdiri dari mengganti konsep-konsep moral khusus dengan konsep-konsep moral tentang benar dan salah yang bersifat umum, membangun kode moral berdasarkan pada prinsip-prinsip moral individual, dan mengendalikan perilaku melalui perkembangan hati nurani.[4]Tokoh yang paling terkenal dalam kaitannya dengan pengkajian perkembangan perkembangan moral adalah Lawrence E. Kohlbert (1995). Melalui desertasinya yang sangat monumental yang berjudul The Development of Modes of Moral Thinking and Choice in the Years 10 to 16. Berdasarkan penelitiannya itu, Kohlbert (1995) menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut:a. penilaian dan perbuatan moral pada intinya bersifat rasional.b. Terdapat sejumlah tahap pertimbangan moral yang sesuai dengan pandangan formal harus diuraikan dan yang biasanya digunakan remaja untuk mempertanggungjawabkan perbuatan moralnya. c. Membenarkan gagasan Jean Piaget bahwa pada masa remaja sekitar umur 16 tahun telah mencapai tahap tertinggi dalam proses pertimbangan moral.Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:[5]a. Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.b. Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kodeprilaku.c. Melakukan pengendalian terhadap perilaku sendiri.Tahap-tahap perkembangan moral yang sangat dikenal diseluruh dunia adalah yang dikemukakan oleh Lawrence E. Kohlbert (1995), yaitu sebagai berikut:a. Tingkat PrakonvensionalTingkat prakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu/anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya baik berupa sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan. Tingkat prakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhanPada tahap ini, akibat-akibat fisik pada perubahan menentukan baik buruknya tanpa menghiraukan arti dan nilai manusiawi dari akibat tersebut. Anak hanya semata-mata menghidari hukuman dan tunduk pada kekuasaan tanpa mempersoalkannya.Tahap 2: Orientasi relativis-instrumentalPada tahap ini, perbuatan dianggap benar adalah perbuatan yang merupakan cara atau alat untuk memuaskan kebutuhannya sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain. Hubungan antarmanusia diipandang seperti huubungan di pasar yang berorientasi pada untung-rugi.b. Tingkat KonvensionalTingkat konvensional atau konvensional awal adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat.Tingkat konvensional memiliki dua tahap, yaitu:Tahap 3: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau desebut orientasi Anak ManisPada tahap ini, perilaku yang dipandang baik adalah yang menyenangkan dan membantu orang lain serta yang disetujui oleh mereka.Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertibanPada tahap ini, terdapat orientasi terhadap otoritas, aturan yang tetap, penjagaan tata tertib sosial. Perilaku yang baik adalah semata-mata melakukan kewajiban sendiri, menhormati otoritas, aturan yang tetap, dan penjagaan tata tertib sosial yang ada. Semua ini dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dalam dirinya.c. Tingkat Pascakonvensional, Otonom, atau Berdasarkan PrinsipTingkat pascakonvensional adalah aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip tersebut dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut.Tingkat pascakonvensional memiliki dua tahap, yaitu:Tahap 5: Orientasi kontrak sosial legalitasPada tahap ini, individu pada umumnya sangat bernada utilitarian. Artinya perbuatan yang baik cenderung dirumuskan dalam kerangka hak dan ukuran individual umum yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat. Pada tahap ini terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai dan pendapat pribadi sesuai dengan relativisme nilai tersebut. Terdapat penekanan atas aturan prosedural untuk mencapai kesepakatan, terlepas dari apa yang telah disepakati secara konstitusional dan demokratis, dan hak adalah masalah nilai dan pendapat pribadi. Hasilnya adalah penekanan pada sudut pandang legal, tetapi dengan penekanan pada kemungkinan untuk mengubah hukum berdasarkan pertimbangan rasional mengenai manfaat sosial. Di luar bidang hukum, persetujuan bebas, dan kontrak merupakan unsur pengikat kewajiban .Tahap 6: Orientasi prinsip dan etika universal Pada tahap ini, hak ditentukan oleh suara batin sesuai dengan prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri dan yang mengacu kepada komprehensivitas logis, universalitas, dan konsestensi logis. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis, bukan merupakan peraturan moral konkret. Pada dasarnya inilah prinsip-prinsip universal keadilan, resiprositas, persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat kepada manusia sebagai pribadi.Berdasarkan tingkatan dan tahapan perkembangan moral, kohlberg (1995) menerjemahkannya ke dalam motif-motif individu dalam melakukan perbuatan moral. Sesuai dengan harapan perkembangan moral, motif-motif perilaku moral manusia adalah sebagai berikut:Tahap 1: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh penghindaran terhadap hukuman dan suara hati yang pada dasarnya merupakan ketakutan irasional terhadap hukuman.Tahap 2: perbuatan moral individu dimotivasikan oleh keinginan untuk mendapat ganjaran dan keuntungan. Sangat boleh jadi reaksi rasa bersalah diabaikan dan hukuman dipandang secara pragmatis (membedakan rasa takut, rasa nikmat, atau rasa sakit dari akibat hukuman).Tahap 3: perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan orang lain, baik yang nyata atau yang dibayangkan secara hipotesis.Tahap 4: perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan yang mendalam karena kegagalan dalam melaksanakan kewajiban dan rasa bersalah diri atas kerugian yang dilakukan terhadap orang lain.Tahap 5: perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap upaya mempertahankan rasa hormat terhadap orang lain dan masyarakat yang didasarkan atas akal budi dan bukan berdasarkan emosi , keprihatinan terhadap rasa hormat bagi diri sendiri (misalnya, untuk menghindari sikap menghakimi diri sendiri sebagai makhluk yang tidak rasional, tidak konsisten, dan tanpa tujuan).Tahap 6: perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap sikap mempersalahkan diri karena melanggar prinsip-prinsipnya sendiri. Individu cenderung membedakan rasa hormat dari diri sendiri. Selain itu juga dibedakan antara rasa hormat terhadap diri karena mencapai rasionalitas dan rasa hormat terhadap diri sendiri karena mampu mempertahankan prinsip-prinsip moral.3. SikapFishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten yang mendasari, mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Sikap tidak identik dengan respons dalam bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari konsistensi perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respons reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik berupa orang, peristiwa, atau situasi.Menurut Chaplin (1981) dalam Dictionary of Psychology menyamakan sikap dengan pendirian. Chaptin menegaskan bahwa sumber dari sikap tersebut bersifat kultural, familiar, dan personal. Artinya, kita cenderung beranggapan bahwa sikap-sikap itu akan berlaku dalam suatu kebudayaan tertentu, selaku tempat individu dibesarkan. Jadi, ada semacam sikap kolektif (collective attitude) yang menjadi stereotipe sikap kelompok budaya masyarakat tertentu. Sebagian besar dari sikap itu berlangsung dari generasi ke generasi di dalam struktur keluarga. Akan tetapi, beberapa darin tingkah laku individu juga berkembang selaku orang dewasa berdasarkan pengalaman individu itu sendiri. Para ahli psikologi sosial bahkan percaya bahwa sumber-sumber penting dari sikap individu adalah propaganda dan sugesti dari penguasa-penguasa, lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya yang secara sengaja diprogram untuk mempengaruhi sikap dan perilaku individu.Stephen R. Covey mengemukakan tiga teori determinisme yang diterima secara luas, baik sendiri-sendiri maupun kombinasi, untuk menjelaskan sikap manusia, yaitu:a. Determinisme genetis (genetic determinism): berpandangan bahwa sikap individu diturunkan oleh sikap kakek-neneknya. Itulah sebabnya, seseorang memiliki sikap dan tabiat seperti sikap dan tabiat nenek moyangnya.b. Determinisme psikis (psychic determinism): berpandangan bahwa sikap individu merupakan hasil pelakuan, pola asuh, atau pendidikan orang tua yang diberikan kepada anaknya.c. Determinism lingkungan (environmental determinism): berpandangan bahwa perkembangan sikap seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan individu itu tinggal dan bagaimana lingkungan memperlakukan individu tersebut. Bagaimana atasan/pimpinan memperlakukan kita, bagaimana pasangankita memperlakukan kita, situasi ekonomi, atau kebijakan-kebijakan pemerintah, semuanya membentuk perkembangan sikap individu.Sikap merupakan salah satu aspek psikologi individu yang sangat penting karena sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun jenisnya sehingga perilaku individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek sikap dalam kehidupan individu, mendorong para psikolog untuk mengembangkan teknik dan instrumen untuk mengukur sikap manusia. Beberapa tipe skala sikap telah dikembangkan untuk mengukur sikap individu, kelompok, maupun massa untuk mengukur pendapat umum sebagai dasar penafsiran dan penilaian sikap.Dari beberapa teknik atau skala sikap yang dapat digunakan, ada dua skala sikap yang utama dan dikenal sangat luas, yaitu:a. Skala Likert Dalam skala ini disajikan satu seri pertanyaan-pertanyaan sederhana. Kemudian responden diukur sikapnya untuk menjawab dengan cara memilih salah satu pilihan jawaban yang telah disediakan. Yaitu:1) Sangat setuju2) Setuju3) Ragu-ragu/netral4) Tidak setuju, dan5) Sangat tidak setuju.b. Skala ThurstoneDalam skala ini terdapat sejumlah pernyataan derajat-derajat kekuatan yang berbeda-beda dan responden/subjek yang bersangkutan dapat menyatakan persetujuan atau penolakan terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Butir-butir pernyataannya dipilih sedemikian rupa sehingga tersusun sepanjang satu skala interval-sama, dari yang sangat menyenangi sampai yang sangat tidak menyenangkan.B. Hubungan antara Nilai, Moral, dan SikapNilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predikposisi atau kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu objek atau sekumpulan objek debagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada di dalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yan dimiliki individu akan menentukan perilaku mana yang harus dilakukan dan yang harus dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap dan perilaku nyata sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya.[6]Bagi Sigmund Freud (Gerald Corey, 1989), yang telah menjelaskan melalui teori psikoanalisisnya, antara nilai, moral, dan sikap adalah satu kesatuan dan tidak dibeda-bedakan. Dalam konsep Sigmund Freud, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari tiga, yaitu:[7]1. Id atau Das Es2. Ego atau Das Ich3. Super Ego atau Da Uber Ich.Id berisi dorongan naluriah, tidak rasional, tidak logis, tak sadar, amoral, dan bersifat memenuhi dorongan kesenangan yang diarahkan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan dan menghindari kesakitan. Ego merupakan eksekutif dari kepribadian yang memerintah, mengendalikan dan mengatur kepribadian individu. Tugs utama Ego adalah mengantar dorongan-dorongan naluriah dengan kenyataan yang ada di dunia sekitar. Superego adalah sumber moral dalam kepribadian. Superego adalah kode moral individu yang tugas utamanya adalah mempertimbangkan apakah suatu tindakan baik atau buruk, benar atau salah. Superego memprestasikan hal-hal yang ideal bukan hal-hal yang riil, serta mendorong ke arah kesempurnaan bukan ke arah kesenangan.Dalam konteksnya hubungan antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu dalam superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral. Ini dapat terjadi karena superego yang sudah berkembang dengan baik dapat mengontrol dorongan-dorongan naluriah dari id yang bertujuan untuk memenuhi kesenangan dan kepuasan. Berkembangnya superego dengan baik, juga akan mendorong berkembang kekuatan ego untuk mengatur dinamika kepribadian antara id dan superego, sehingga perbuatannya selaras dengan kenyataannya di dunia sekelilingnya. C. Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja.Karena masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya maka masa remaja menjadi suatu periode penting dalam pembentukan nilai. Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang.Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah bahwa sesuai dengan tingkat perkembangan kognisi yang mulai mencapai tahapan berfikir operasional formal, yaitu mulai mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak hanya lagi terikat pada waktu, tempat, dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka. Perkembangan pemikiran moral remaja dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban mempertahankan kekuasaan dan pranata yang ada karena dianggap sebagai suatu yang bernilai, walau belum mampu mempertanggujawabkan secara pribadi.[8]Tingkat perkembangan fisik psikis yang dicapai remaja berpengaruh pada perubahan sikap dan perilakunya. Perubahan sikap yang cukup menyolok dan ditempatkan sebagai salah satu karakter remaja adalah sikap menentang nilai-nilai dasar hidup orang tua atau orang dewasa lainnya. Apabila kalau orang tua dan orang dewasa berusaha memaksakan nilai-nilai yang dianutnya kepada remaja. Sikap menentang pranata adat kebiasaan yang ditunjukkan oleh para remaja merupakan gejala wajar yang terjadi sebagai untuk kemampuan berfikir kritis terhadap segala sesuatu yang dihadapi dalam realitas. Gejala sikap menentang pada remaja hanya bersifat sementara dan akan berubah serta berkembang ke arah moralitas yang lebih matang dan mandiri.D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan SikapFaktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap individu yang tumbuh dan berkembang di dalam dirinya.[9]Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan religius dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki budi luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku terpuji. Sebaliknya insividu ytang tumbuh dan berkembang dengan kondisi psikologis yang penuh dengan konflik, pola interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang tidak berimbang dan kurang religius maka harapan agar anak dan remaja tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, dan sikap perilaku terpuji menjadi diragukan.E. Perbedaan Individu dalam Nilai, Moral, dan sikap.Sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu kelompok masyarakat sosial tertentu belum tentu dinilai positif oleh kelompok masyarakat lain. Sama halnya, sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu keluarga tertentu belum tentu dinilai positif oleh keluarga lain. Ada suatu keluarga yang mengharuskan para anggota berpakaian muslimah dan sopan karena cara berpakaian seperti itulah dipandang bernilai dan bermoral. Akan tetapi, ada keluarga lain yang lebih senang dan memandang lebih bernilai jika anggotanya berpakaian modis, trendi, dan mengikuti tren mode yang sedang merak dikalangan selebritis.Oleh sebab itu, hal yang wajar jika terjadi perbedaan individual dalam suatu keluarga atau kelompok masyarakat tentang sistem nilai, moral, maupun sikap yang dianutnya. Perbedaan individual didukung oleh fase, tempo, dan irama perkembangan masing-masing individu. Dalam teori perkembangan pemikiran moral dari Kohlberg juga dikatakan bahwa setiap individu dapat mencapai tingkat perkembangan moral yang paling tinggi, tetapi kecepatan pencapaiannya juga ada perbedaan antara individu satu dengan lainnya meskipun dalam suatu kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, sangat dimungkinkan individu yang lahir pada waktu yang relatif bersamaan, sudah lebih tinggi dan lebih maju tingkat pemikirannya. F. Upaya Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Seperti Implikasinya bagi PendidikanSuatu sistem sosial yang paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan sikap kepada anak adalah keluarga. Ini didorong oleh keinginan dan harapan orang tua yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, serta memiliki sikap dan perilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua, masyarakat sekitar, dan agama. Melalui proses pendidikan, pengasuhan, pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang diharapkan.Upaya pengembangan nilai, moral, dan sikap juga diharapkan dapat dikembangkan secara efektif di lingkungan sekolah. BAB IIIPENUTUPA. KesimpulanDari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:Ada tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja.1. NilaiNilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai.2. MoralIstilah moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar.3. SikapFishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek.Dalam konteksnya hubungan antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu dalam superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan baik, sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral.Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.Suatu sistem sosial yang paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan sikap kepada anak adalah keluarga. Melalui proses pendidikan, pengasuhan, pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang diharapkan.

A. Pentingnya Kebutuhan Bagi Perilaku ManusiaIndividu adalah pribadi yang utuh dan kompleks. Kekompleksan tersebut dikaitkan dengan kedudukannya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Oleh karena itu di samping seorang individu harus memahami dirinya sendiri, ia juga harus memahami orang lain dan memahami kehidupan bersama dalam masyarakat, memahami lingkungan serta memahami pula bahwa ia makhluk Tuhan. Sebagai makhluk psiko-fisis manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikologis dan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, manusia mempunyai kebutuhan individu dan kebutuhan sosial kemasyarakatan. Dengan demikian maka setiap individu tentu memiliki kebutuhan, karena ia tumbuh dan berkembang untuk mencapai kondisi fisik dan sosial psikologis yang lebih sempurna dalam kehidupannya.Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya menuju jenjang kedewasaan, kebutuhan hidup seseorang mengalami perubahan-perubahan sejalan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangannya. Kebutuhan-kebutuhan sosial psikologis semakin banyak dibandingkan dengan kebutuhan fisik, karena pengalaman kehidupan sosialnya semakin luas. Kebutuhan itu timbul disebabkan oleh dorongan-dorongan (motif). Dorongan adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorongnya melakukan perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu (Sumadi, 1984:70). Dorongan dapat berkembang karena kebutuhan psikologis atau karena tujuan-tujuan kehidupan yang semakin kompleks. Semua individu dalam bertingkah laku pada dasarnya dimotivasi oleh kedua kebutuhan yang saling berhubungan satu sama lain, sebagai perwujudan dari adanya tuntutan-tuntutan dalam hidup bersama kelompok sosial sekitar. Menurut Mappiare (1982:130) dua kebutuhan yang dimaksud adalah:1. Kebutuhan diterima oleh kelompok atau orang-orang lain di sekitar.2. Kebutuhan menghindari penolakan kelompok atau orang lain.Dalam proses pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut, individu banyak belajar dari lingkungan sosial di sekitarnya yang menimbulkan pengalaman-pengalaman belajar, antara lain pengalaman bergaul dengan orang tuanya, saudara-saudaranya, keluarganya yang lain, guru-gurunya dan teman-teman sekelompoknya. Melalui pengalaman bergaulnya itu individu belajar dan mengetahui tingkah laku yang bagaimana yang mendatangkan kepuasan baginya dan tingkah laku yang bagaimana yang tidak mengenakkan. Dengan kata lain, individu belajar membentuk pola tingkah laku yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut di atas.B. Teori Kebutuhan IndividuMenurut Abraham Maslow, manusia memiliki lima tingkat kebutuhan hidup yang akan selalu berusaha untuk dipenuhi sepanjang masa hidupnya. Lima tingkatan yang dapat membedakan setiap manusia dari sisi kesejahteraan hidupnya, teori yang telah resmi di akui dalam dunia psikologi.Kebutuhan tersebut berjenjang dari yang paling mendesak hingga yang akan muncul dengan sendirinya saat kebutuhan sebelumnya telah dipenuhi. Setiap orang pasti akan melalui tingkatan-tingkatan itu, dan dengan serius berusaha untuk memenuhinya, namun hanya sedikit yang mampu mencapai tingkatan tertinggi dari piramida ini. Lima tingkat kebutuhan dasar menurut teori Maslow adalah sebagai berikut (disusun dari yang paling rendah) :1. Kebutuhan FisiologisContohnya adalah : Sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, dan lain sebagainya.2. Kebutuhan Keamanan dan KeselamatanContoh seperti : Bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari teror, dan semacamnya.3. Kebutuhan SosialMisalnya adalah : Memiliki teman, memiliki keluarga, kebutuhan cinta dari lawan jenis, dan lain-lain.4. Kebutuhan PenghargaanDalam kategori ini dibagi menjadi dua jenis, Eksternal dan Internal. Sub kategori eksternal meliputi pujian, piagam, tanda jasa, hadiah, dan banyak lagi lainnya. Sedangkan sub kategori internal sudah lebih tinggi dari eskternal, pribadi tingkat ini tidak memerlukan pujian atau penghargaan dari orang lain untuk merasakan kepuasan dalam hidupnya.5. Kebutuhan Aktualisasi DiriMaslow melakukan sebuah studi kualitatif dengan metode analisis biografi guna mendapat gambaran jelas mengenai aktualisasi diri.Dia menganalisis riwayat hidup, karya, dan tulisan sejumlah orang yang dipandangnya telah memenuhi kriteria sebagai pribadi yang beraktualisasi diri. Termasuk dalam daftar ini adalah Albert Einstein, Abraham Lincoln, William James, dan Eleanor Roosevelt.Berdasarkan hasil analisis tersebut, Maslow menyusun sejumlah kualifikasi yang mengindikasikan karakteristik pribadi-pribadi yang telah beraktualisasi :1. Memusatkan diri pada realitas (reality-centered), yakni melihat sesuatu apa adanya dan mampu melihat persoalan secara jernih, bebas dari bias.2. Memusatkan diri pada masalah (problem-centered), yakni melihat persoalan hidup sebagai sesuatu yang perlu dihadapi dan dipecahkan, bukan dihindari.3. Spontanitas, menjalani kehidupan secara alami, mampu menjadi diri sendiri serta tidak berpura-pura.4. Otonomi pribadi, memiliki rasa puas diri yang tinggi, cenderung menyukai kesendirian dan menikmati hubungan persahabatan dengan sedikit orang namun bersifat mendalam.5. Penerimaan terhadap diri dan orang lain. Mereka memberi penilaian tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri dan orang lain. Dengan kata lain orang-orang yang telah beraktualisasi diri lebih suka menerima anda apa adanya ketimbang berusaha mengubah anda.6. Rasa humor yang tidak agresif (unhostile). Mereka lebih suka membuat lelucon yang menertawakan diri sendiri atau kondisi manusia secara umum (ironi), ketimbang menjadikan orang lain sebagai bahan lawakan dan ejekan.7. Kerendahatian dan menghargai orang lain (humility and respect)8. Apresiasi yang segar (freshness of appreciation), yakni melihat sesuatu dengan sudut pandang yang orisinil, berbeda dari kebanyakan orang. Kualitas inilah yang membuat orang-orang yang telah beraktualisasi merupakan pribadi-pribadi yang kreatif dan mampu menciptakan sesuatu yang baru.9. Memiliki pengalaman spiritual yang disebut Peak experience.Peak experience atau sering disebut juga pengalaman mistik adalah suatu kondisi saat seseorang (secara mental) merasa keluar dari dirinya sendiri, terbebas dari kungkungan tubuh kasarnya.Pengalaman ini membuat kita merasa sangat kecil atau sangat besar, dan seolah-olah menyatu dengan semesta atau keabadian.Ini bukanlah persoalan klenik atau takhayul, tetapi benar-benar ada dan menjadi kajian khusus dalam Psikologi Transpersonal, suatu (klaim) aliran keempat dalam ilmu psikologi setelah psikoanalisis, behaviorisme, dan humanisme.C. Kebutuhan Remaja dalam PerkembangannyaKekhasan dalam perkembangan fase remaja dibandingkan dengan fase perkembangan lainnya membawa konsekuensi pada kebutuhan yang khas pada mereka. Menurut Garrison, ada tujuh kebutuhan khas remaja, yaitu :1. Kebutuhan akan kasih sayang2. Kebutuhan akan keikutsertaan dan diterima dalam kelompok3. Kebutuhan untuk berdiri sendiri4. Kebutuhan untuk berprestasi5. Kebutuhan akan pengakuan dari orang lain6. Kebutuhan untuk dihargai7. Kebutuhan memperoleh falsafah hidup yang utuh.Menurut teori ini, kebutuhan-kebutuhan psikologis yang pokok akan mengarahkan tercapainya rasa aman. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut :1. Kebutuhan untuk menerima afeksi dari kelompok atau individu, meliputi :a) Menerima rasa kasih sayang dari keluarga atau orang lain di luar kehidupan keluargab) Menerima pujian atau sambutan hangat dari teman-temannyac) Menerima penghargaan dan apresiasi dari guru dan pendidik lainnya2. Kebutuhan untuk memberikan sumbangan kepada kelompoknya meliputi :\a) Menyatakan afeksi kepada kelompoknyab) Turut serta memikul tanggung jawab kelompokc) Menyatakan kesediaan dan kesetiaan kepada kelompokd) Menghayati keberhasilan dalam kelompok3. Kebutuhan untuk mempelajari dan menyelidiki sesuatu

D. Konsekuensi Kebutuhan Remaja yang Tidak TerpenuhiPengaruh Kebutuhan yang TidakTerpenuhi Terhadap Tingkah Laku RemajaApabila kebutuhan remaja tidak terpenuhi akan timbul perasaan kecewa atau frustasi perasaan konflik dan kecewa dapat dipastikan terjadi pada siswa remaja yang berupaya untuk mencapai dua tujuan yang bertentangan. Misalnya remaja yang berprilaku preman dengan tujuan ditakuti kelompoknya dan sekaligus bersikap terpelajar dengan tujuan dihormati akan menemui kesulitan dalam hidupnya. Siswa remaja yang kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi dapat melakukan tingkah laku mempertahankan diri seperti tingkah laku agresif, egosentris, dan menarik diri. Usaha memenuhi kebutuhan bagi remaja tidaklah mudah, melainkan sangat rumit, kompleks dan bervariasi sebagai contoh kebutuhan remaja yang sering kurang memperoleh kebutuhan adalah kebutuhan akan kasih sayang dari orang tua maupun orang dewasa lainnya. Hal ini akan mengakibatkan remaja cenderung mencari penyelesaiannya sendiri dengan cara membenci orang tua, suka mencari perhatian orang lain, lebih betah berkumpul dengan teman sebayanya, mencari orang lain sebaga ipengganti orang tuanya yang dapat memenuhi kebutuhannya itu seperti gurunya, pemuka masyarakat, mencintai orang yang lebih dewasa dan sebagainya. Apabila kebutuhan sosial-psikologis tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan timbulnya rasa tidak puas, menjadi frustasi dan terhambatnya pertumbuhan serta perkembangan sikap positif terhadap lingkungan dan dirinya. Sebagai contoh masa remaja disebut pula sebagai masa sosial hunger(kehausan sosial), yang ditandai dengan adanya keinginan untuk bergaul dan diterima di lingkungan kelompok sebayanya (per kelompok). Penolakan dari per kelompok dapat menimbulkan frustrasi dan menjadikan dia sebagai isolated dan merasa rendah diri. Namun sebaliknya apabila remaja dapat diterima oleh rekan sebayanya dan bahkan menjadi idola tentunya ia akan merasa bangga dan memiliki kehormatan dalam dirinya.

Masalah dan Konsekuensinya1. Mengubah sikap dan perilaku kekanak-kanakan menjadi sikap dan perilaku dewasa, tidak semuanya mudah dicapai baik oleh remaja laki-laki maupun perempuan. Kegagalan dalam menghadapi perubahan sikap dan perilakunya dapat mengakibatkan sikap yang keras dan agresif atau sebaliknyabersikap tidak percaya diri, pendiam atau kurang harga diri.2. Kesulitan untuk menerima perubahan-perubahan fisiknya.Hanya sedikit remaja yang merasa puas dengan tubuhnya yang serasi. Ketidakserasian postur tubuh sering menimbulkan masalah untuk mendapatkan pakaian yang pantas, juga hal yang tampak pada gerakan atau perilakuyang kelihatannya ragu dan tidak pantas. 3. Perkembangan fungsi seks dapat menimbulkan kebingungan remaja untuk memahaminya. Bagi remaja laki-laki dapat menyebabkan perilaku yang menentang norma dan bagi remaja perempuan akan berperilaku mengurung diri atau menjauhi pergaulan dengan sebaya lain jenis. Apabila kematangan seksual itu tidak mendapatkan arahan atau penyaluran yang tepat, dapat berakibat negatif yaitu seperti lari ke kehidupan hitam atau melacur dan sebagainya. Bagi remaja laki-laki secara berkelompok kadang-kadang mencoba pergi bersama-sama ke lokasi berlampu merah atau lokasi WTS4. Penyesuaian emosional. Contohnya seperti perilaku yang overacting, lancing, dan semacamnya yang timbul karena remaja terlalu mendambakan kemandirian untuk mampu mengatasi problema kehidupan yang mengakibatkan ketidakselarasan antara pola hidup masyarakat dan perilaku yang menurut para remaja baik. Akibatnya remaja merasa selalu disalahkan dan mereka frustasi dengan tingkah lakunya sendiri. 5. Penyesuaian sosial. Remaja akan menghadapi arah kehidupan yang beragam norma dalam kehidupan bersama dalam masyarakat dan juga norma baru dalam kehidupan sebaya remaja serta kuatnya pengaruh kelompok sebaya remaja.6. Norma dan nilai yang berlaku di dalam bermasyarakat. Dalam kehidupan remaja mereka merasa memiliki norma dan nilai kehidupannya yang dirasa lebih sesuai. Dalam hal ini remaja menghadapi perbedaan norma dan nilai yang berlaku dengan norma yang dianutnya sehingga akan menyebabkan dirinya dikatakan nakal.

E. Upaya Pemenuhan Kebutuhan Remaja dan Implikasinya Bagi PendidikanDalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, guru hendaknya selalu sensitif terhadap kebutuhan para siswa (remaja) dan berusaha memahaminya sebaik mungkin. Untuk itu guru perlu memperhatikan aspek berikut :1. Mempelajari kebutuhan remaja melalui berbagai pendapat orang dewasa2. Mengadakan angket yang ditujukan kepada para remaja untuk mengetahui masalah masalah yang sedang mereka hadapi3. Bersikap sensitif terhadap kebutuhan yang tibatiba muncul dari siswa yang berada di bawah bimbingannya.Dari uraian di atas, kebutuhan remaja diklasifikasikan menjadi 4 kelompok kebutuhan yaitu:1. Kebutuhan organik yaitu makan, minum, bernapas, seks2. Kebutuhan emosional yaitu kebutuhan untuk mendapatkan simpati dan pengakuan dari pihak lain dikenal dengan nAff3. Kebutuhan berprestasi atau need of achievement dikenal dengan nach yang berkembang karena dorongan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dan sekaligus menunjukkan kemampuan psikofisis4. Kebutuhan untuk mempertahankan diri dan mengembangkan jenis.

Sejalan dengan pemikiran Maslow tentang Teori Hierarki Kebutuhan Individu yang sudah dikenal luas, namun aplikasinya untuk kepentingan pendidikan siswa di sekolah tampaknya belum mendapat perhatian penuh. Secara ideal, dalam rangka pencapaian perkembangan diri siswa, sekolah seyogyanya dapat menyediakan dan memenuhi berbagai kebutuhan siswanya.Berikut ini beberapa kemungkinan yang bisa dilakukan di sekolah dalam mengaplikasikan teori kebutuhan Maslow:1. Pemenuhan Kebutuhan Fisiologis : Menyediakan program makan siang yang murah atau bahkan gratis.Menyediakan ruangan kelas dengan kapasitas yang memadai dan temperatur yang tepat Menyediakan kamar mandi/toilet dalam jumlah yang seimbang.Menyediakan ruangan dan lahan untuk istirahat bagi siswa yang representatif.2. Pemenuhan Kebutuhan Rasa Aman: Sikap guru: menyenangkan, mampu menunjukkan penerimaan terhadap siswanya, dan tidak menunjukkan ancaman atau bersifat menghakimi. Adanya ekspektasi yang konsisten Mengendalikan perilaku siswa di kelas/sekolah dengan menerapkan sistem pendisiplinan siswa secara adil. Lebih banyak memberikan penguatan perilaku (reinforcement) melalui pujian/ganjaran atas segala perilaku positif siswa dari pada pemberian hukuman atas perilaku negatif siswa.3. Pemenuhan Kebutuhan Kasih Sayang atau Penerimaan:a. Hubungan Guru dengan Siswa : Guru dapat menampilkan ciri-ciri kepribadian: empatik, peduli dan interes terhadap siswa, sabar, adil, terbuka serta dapat menjadi pendengar yang baik. Guru dapat menerapkan pembelajaran individu dan dapat memahami siswanya (kebutuhan, potensi, minat, karakteristik kepribadian dan latar belakangnya). Guru lebih banyak memberikan komentar dan umpan balik yang positif dari pada yang negatif. Guru dapat menghargai dan menghormati setiap pemikiran, pendapat dan keputusan setiap siswanya. Guru dapat menjadi penolong yang bisa diandalkan dan memberikan kepercayaan terhadap siswanya.b. Hubungan Siswa dengan Siswa : Sekolah mengembangkan situasi yang memungkinkan terciptanya kerja sama mutualistik dan saling percaya diantara siswa. Sekolah dapat menyelenggarakan class meeting, melalui berbagai forum, seperti olah raga atau kesenian. Sekolah mengembangkan diskusi kelas yang tidak hanya untuk kepentingan pembelajaran. Sekolah mengembangkan tutor sebaya Sekolah mengembangkan bentuk-bentuk ekstra kurikuler yang beragam.4. Pemenuhan Kebutuhan Harga Diri:a. Mengembangkan Harga Diri Siswa Mengembangkan pengetahuan baru berdasarkan latar pengetahuan yang dimiliki siswanya Mengembangkan sistem pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswaMemfokuskan pada kekuatan dan aset yang dimiliki setiap siswa Mengembangkan strategi pembelajaran yang bervariasi Selalu siap memberikan bantuan apabila para siswa mengalami kesulitanMelibatkan seluruh siswa di kelas untuk berpartisipasi dan bertanggung jawab.Ketika harus mendisiplinkan siswa, sedapat mungkin dilakukan secara pribadi, tidak di depan umumb. Penghargaan dari pihak lain Mengembangkan iklim kelas dan pembelajaran kooperatif dimana setiap siswa dapat saling menghormati dan mempercayai, tidak saling mencemoohkan.Mengembangkan program star of the week Mengembangkan program penghargaan atas pekerjaan, usaha dan prestasi yang diperoleh siswa. Mengembangkan kurikulum yang dapat mengantarkan setiap siswa untuk memiliki sikap empatik dan menjadi pendengar yang baik. Berusaha melibatkan para siswa dalam setiap pengambilan keputusan yang terkait dengan kepentingan para siswa itu sendiric. Pengetahuan dan Pemahaman Memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mengeksplorasi bidang-bidang yang ingin diketahuinya. Menyediakan pembelajaran yang memberikan tantangan intelektual melalui pendekatan discovery-inquiry Menyediakan topik-topik pembelajaran dengan sudut pandang yang beragamMenyediakan kesempatan kepada para siswa untuk berfikir kritis dan berdiskusi.d. Estetik Menata ruangan kelas secara rapi dan menarik Menempelkan hal-hal yang menarik dalam dinding ruangan, termasuk di dalamnya memampangkan karya-karya seni siswa yang dianggap menarik.Ruangan dicat dengan warna-warna yang menyenangkan Memelihara sarana dan prasarana yang ada di sekeliling sekolah Ruangan yang bersih dan wangi Tersedia taman kelas dan sekolah yang tertata indah5. Pemenuhan Kebutuhan Akatualisasi Diri Memberikan kesempatan kepada para siswa untuk melakukan yang terbaik bagi dirinyaMemberikan kebebasan kepada siswa untuk menggali dan menjelajah kemampuan dan potensi yang dimilikinya Menciptakan pembelajaran yang bermakna dikaitkan dengan kehidupan nyata. Perencanaan dan proses pembelajaran yang melibatkan aktivitas meta kognitif siswa. Melibatkan siswa dalam proyek atau kegiatan self expressive dan kreatif

BAB III PENUTUPA. KESIMPULANManusia memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikologis dan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, manusia mempunyai kebutuhan individu dan kebutuhan sosial kemasyarakatan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka dilakukan upaya yang sesuai dengan kebutuhan.