moral nilai dan sikap ppd
DESCRIPTION
moral nilai dan sikap peserta didikTRANSCRIPT
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERKEMBANGAN EMOSI
Pada umumnya, kehidupan seseorang dipenuhi oleh dorongan dan aneka minat untuk
memenuhi kebutuhannya (atau memiliki sesuatu). Dorongan dan minat ini dapat dikatakan
menimbulkan perilaku seseorang dan munculnya aneka kebutuhan. Dasar dari pengalaman
emosional manusia adalah banyaknya dorongan – dorongan dan minat seseorang itu untuk
mencapai kebutuhannya. Seseorang dnegan pola kehidupan, dimana kebutuhan –
kebutuhannya dapat dicapai dengan mudah cenderung memiliki emosi yang stabil dan
dengan demikian dapat menikmati hidupnya. Sementara, seseorang yang sulit mencapai
kebutuhannya karena aneka persoalan atau faktor lingkungan, cenderung memiliki emosi
yang tidak stabil.
Seorang individu dalam merespon sesuatu didasarkan pada “penalaran” dan
“pertimbangan yang bersifat objektif”, sehingga kedua hal tadi – “penalaran” dan
“pertimbangan (yang) objektif” mengarahkan individu untuk merespon hal – hal yang
berada di luar dirinya. Pada perkembangan selanjutnya, dorongan emosional banyak
campur tangan, dan mempengaruhi pemikiran serta tingkah lakunya.
1. Pengertian Emosi
Perilaku atau perbuatan sehari – hari pada umumnya disertai dengan perasaan
– perasaan tertentu, seperti perasaan senang atau tidak senang. Perasaan senang atau
tidak senang ini selalu menyertai perbuatan kita sehari – hari, kemudian “perasaan
senang dan tidak senang” ini kita sebut sebagai warna efektif. Warna efektif yang kuat
akan menghasilkan “perasaan – perasaan” yang mendalam, luas dan lebih terarah.
“perasaan – perasaan” seperti ini disebut dengan emosi. Disamping perasaan senang
dan tidak senang, beberapa contoh macam emosi lain adalah gembira, cinta, marah,
takut, cemas dan benci.
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Tetapi perbedaan antara
keduanya tidak dapat dinyatakan secara tegas. Emosi dan perasaan merupakan suatu
gejala emosional yang secara kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasnya.
Pada suatu saat, suatu warna efektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga
dapat dikatakan emosi ; contohnya “marah” yang ditunjukkan dalam bentuk diam.
Crow & Crow (1958) mendefinisikan emosi sebagai berikut :
“An emotion is an effective experience that companies generalized inner adjustment
and mental and physiological stirred-up states in the individual, and that shows it self
in his behavior”
Emosi adalah warna efektif yang kuat dan ditandai oeh perubahan fisik, berupa :
1. Reaksi elektris pada kulit: meningkat bila terpesona
2. Peredaran darah : bertambah cepat bila marah
3. Denyut jantung : bertambah cepat bila terkejut
4. Pernapasan : bernapas panjang kalau kecewa
5. Pupil mata : membesar bila marah
6. Liur : mongering kalau takut atau tegang
7. Bulu roma : berdiri kalau takut
8. Otot : ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar
(tremor)
9. Kompisisi darah : komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang
menyebabkan kelenjar – kelenjar lebih aktif
10. Pencernaan : mencret – mencret kalau tegang
2. Karakteristik Perkembangan Emosi
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”,
suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik
dan kelenjar. Tidak semua remaja mengalami masa “badai dan tekanan”, namun benar
jug abila sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu
sebagai konsekuensi usaha penyesuaian diri terhadap pola perilaku baru dan harapan
sosial baru. Pola emosi remaja sama dengan pola emosi kanak – kanak. Jenis emosi
yang secara normal dialami adalah kasih saying, gembira, amarah, takut dan cemas,
cemburu, sedih, dan lain – lain.
a) Cinta / Kasih Sayang
Kebutuhan remaja ialah untuk mendapatkan cinta dari orang lain, dan juga
harus menempatkan dirinya mencintai orang lain. Remaja membutuhkan kasih
saying di rumah yang sama banyaknya dengan apa yang mereka alami pada
tahun – tahun sebelumnya.
b) Gembira
Pada umumnya remaja dapat mengingat kembali pengalaman – pengalaman
yang menyenangkan yang dialami remaja. Jika kita menghitung atau
mengingatnya saja akan mempunyai cerita panjang dan lengkap. Perasaan
gembira sedikit mendapat perhatian dari petugas peneliti daripada perasaan
marah dan takut atau tingkah laku problema lain yang memantulkan
kesedihan. Rasa gembira akan dialami apabila segala sesuatunya berlangsung
dengan baik dan remaja akan mengalami kegembiraan jika ia diterma sebagai
seorang sahabat atau bila ia jatuh cinta dan cintanya itu mendapat sambutan
(diterima) oleh yang dicintai.
c) Kemarahan dan Permusuhan
Sejak masa kanak – kanak, rasa marah terkadang dikaitkan dengan usaha
remaja untuk mencapai dan memiliki kebebasan sebagai seorang pribadi yang
mandiri. Dalam perkembangan kepribadian, rasa marah adalah salah satunya,
yang dapat dikatakan emosi – emosi yang memainkan peranan menonjol
dalam kepribadian. Diantara emosi – emosi lain, seperti cinta, dimana kita
ketahui bahwa dicintai dan mencintai adalah gejala emosi bagi perkembangan
pribadi yang sehat. Rasa marah juga penting dalam kehidupan, karena melalui
rasa marahnya seseorang mempertajam tuntutannya sendiri dan pemilikan
minat-minatnya sendiri.
Terdapat empat faktor yang berkaitan tentang marah
1. Adanya kenyataan bahwa perasaan marah berhubungan dengan usaha
manusia untuk memiliki dirinya dan menjadi dirinya sendiri
2. Pertimbangan penting lainnya ialah ketika individu mencapai masa
remaja, dia tidak hanya merupakan subjek kemarahan yang
berkembang dan kemudian menjadi surut, tetapi juga mempunyai sikap
– sikap dimana ada sisi kemarahan dalam bentuk permusuhan yang
meliputi sisa kemarahan masa lalu.
3. Seringkali perasaan marah sengaja disembunyikan dan seringkali
tampak dalam bentuk yang samar – samar.
4. Kemarahan mungkin berbalik pada dirinya sendiri. Dalam beberapa
hal, aspek ini merupakan aspek yang sangat penting dan juga paling
sulit dipahami.
d) Ketakutan dan Kecemasan
Bihler (1972) membagi ciri – ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia,
yaitu usia 12 – 15 tahun dan usia 15 – 18 tahun
Ciri – ciri emosional remaja berusia 12 – 15 tahun
1. Pada usia ini seorang siswa/anak cenderung banyak murung dan dapat
diterka
2. Siswa mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan
dalam hal rasa percaya diri
3. Ledakan – ledakan kemarahan mungkin bisa terjadi. Hal ini seringkali
terjadi sebagai akibat dari kombinasi ketegangan psikologis,
ketidakstabilan biologis, dan kelelahan karena bekerja terlalu keras
atau pola makan yang tidak tepat atau tidur yang tidak cukup.
4. Seorang remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan
membenarkan pendapatnya sendiri yang disebabkan kurangnya rasa
percaya diri.
5. Siswa – siswi SMP mulai mengamati orang tua dan guru – guru
mereka secara lebih objektif dan mungkin menjadi marah apabila
mereka ditipu dengan gaya guru yang bersikap serba tahu (maha tahu).
Ciri – ciri emosional remaja berusia 15 – 18 tahun
1. “Pemberontakan” remaja merupakan pernyataan – pernyataan/ekspresi
dari perubahan yang universal dari masa kanak – kanak ke dewasa
2. Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja yang
mengalami konflik dengan orang tua mereka. Mereka mungkin
mengharapkan simpati dan nasihat orang tua atau guru
3. Pada usia ini seringkali melamun, memikirkan masa depan mereka.
Banyak diantara mereka terlalu tinggi menafsir kemampuan mereka
sendiri dan merasa berpeluang besar untuk memasuki pekerjaan dan
memegang jabatan tertentu
3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Emosi
Sejumlah penelitian tentang emosi anak menunjukkan bahwa perkembangan
emosi mereka bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock,
1960:266). Reaksi emosional yang tidak muncul pada awal kehidupan tidak berarti
tidak ada, reaksi tersebut mungkin akan muncul di kemudian hari, dengan
berfungsinya system endokrin.
Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk memahami makna
yang sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan satu rangsangan dalam jangka
waktu yang lama, dan menimbulkan emosi terarah pada satu objek. Demikian pula
kemampuan mengingat mempengaruhi reaksi emosional. Dengan demikian, anak –
anak menjadi reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka
pada usia yang lebih muda. Metoda belajar yang menunjang perkembangan emosi,
antara lain :
1. Belajar dengan coba – coba
Anak belajar secara coba – coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk
perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya, dan menolak
perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak
memberikan kepuasan. Cara belajar ini lebih umum digunakan pada masa
kanak – kanak awal dibandingkan dengan sesudahnya.
2. Belajar dengan meniru
Dengan cara mengamati hal – hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak
– anak beraksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang –
orang yang diamati.
3. Belajar dengan cara mempersamakan diri
Anak meniru reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang
sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru.
Disini anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan
emosional yang kuat dengannya
4. Belajar melalui pengkodisian
Dengan metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi
emosional, kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian
terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun – tahun awal kehidupan anak kecil
kurang mampu menalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi, dan kurang
mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka.
5. Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada
aspek reaksi
Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi
terangsang. Dengan pelatihan, anak – anak dirangsang untuk bereaksi terhadap
rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi dan dicegah agar tidak
bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi
yang tidak menyenangkan
4. Hubungan Antara Emosi dan Tingkah Laku serta Pengaruh Emosi Terhadap
Tingkah Laku
Rasa takut atau marah dapat menyebabkan seseorang gemetar. Dalam
ketakutan, mulut menjadi kering, cepatnya detak jantung, derasnya aliran darah.
Cairan pencernaan/getah lambung terpengaruh oleh gangguan emosi. Keadaan emosi
yang menyenangkan dan rileks berfungsi sebagai alat pembantu untuk mencerna,
sedangkan perasaan tidak enak atau tertekan menghambat/mengganggu pencernaan.
Diantara rangsangan yang meningkatkan kelenjar sekresi dari getah lambung
adalah ketakutan – ketakutan yang kronis, kecemasan – kecemasan, dan kekuatiran –
kekuatiran. Semua ini menyebabkan menurunya kegiatan sistem pencernaan dan
kadang – kadang menyebabkan sembelit.
Gangguan emosi juga dapat menjadi penyebab kesulitan berbicara. Hambatan
– hambatan dalam berbicara tertentu telah diketemukan bahwa tidak disebabkan oleh
kelainan organ berbicara saja. Ketegangan emosional yang cukup lama mungkin
menyebabkan seseorang gagap.
5. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Emosi
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara lebih
lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang
berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan
lainnya. Selain itu karena anak – anak mengekang sebagian ekspresi emosi mereka,
emosi tersebut cenderung bertahan lebih lama daripada jika emosi itu diekspresikan
secara lebih terbuka. Oleh sebab it, ekspresi emosional mereka menjadi berbeda –
beda. Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan
taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi disebabkan oleh kondisi
lingkungan.
6. Upaya Pengembangan Emosi Remaja dan Implikasinya dalam Kehidupan.
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang cenderung banyak melamun
dan sulit diterka, maka satu – satunya hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah
konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa seperti orang dewasa
yang penuh tanggung jawab
Guru – guru dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan
mencapai keberhasilan dalam pekerjaan/tugas – tugas sekolah sehingga mereka
menjadi anak yang lebih tenang dan lebih mudah ditangani.
B. PERKEMBANGAN NILAI, MORAL DAN SIKAP
1. Pengertian dan Saling Keterkaitan Antara Nilai, Moral dan Sikap serta
Pengaruhnya terhadap Tingkah Laku
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat,
misalnya adat kebiasaan dan sopan santun ( Sutikna,1988:5). Sopan santun, adat dan
kebiasaan serta nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila adalah nilai-nilai hidup
yang menjadi pegangan seseorang dalam kedudukannya sebagai warga negara
Indonesia dalam hubungan hidupnya dengan negara serta dengan sesame warga
negara.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang termasuk dalam sila
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, antara lain :
1) Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara
sesame manusia.
2) Mengembangkan sikap tenggang rasa, dan
3) Tidak semena-mena terhadap orang lain, berani membela kebenaran dan
keadilan, dan sebagainya.
Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak,
kewjiban dan sebagainya (Purwadarminto, 1957:957). Moral berkaitan dengan
kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan
demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku. Dalam kaitannya dengan
pengamalan nilai-nilai hidup maka moral merupakan control dalam bersikap dan
bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud.
Nilai-nilai kehidupan sebagai norma dalam masyarakat senantiasa menyangkut
persoalan antara baik dan buruk, jadi berkaitan dengan moral. Dalam hal ini aliran
psikoanalisis tidak membeda-bedakan antara moral,norma, dan nilai (Sarlito,
1991:91). Semua konsep itu menurut freud menyatu dalam konsepnya tentang
superego yang merupakan bagian dari jiwa yang berfungsi untuk mengendalikan
tingkah laku ego sehingga tidak bertentangan dengan masyarakat.
Sedangkan, menurut Gerug, sikap secara umum diartikan sebagai kesediaan
bereaksi individu terhadap sesuatu hal (Mappiare, 1982:58).sikap berkaitan dengan
motif dan mendasari tingkah laku seseorang dapat diramalkan tingkah laku apa yang
dapat terjadi dan akan diperbuat jika telah diketahui sikapnya. Sikap belum
merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi berupa kecenderungan
(predisposisi) tingkah laku. Jadi sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap
objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut.
Dengan demikian, keterkaitan antara nilai, moral, sikap, dan tingkah laku akan
tampak dalam pengalaman nilai-nilai. Dengan kata lain nilai-nilai perlu dikenal
terlebih dulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap
tertentu terhadap nilai-nilai tersebut dan pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai
dengan nilai-nilai yang dimaksud. Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu
untuk melakukan sesuatu, Moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau
dihindari, dan Sikap adalah kecenderungan individu untuk merespons terhadap suatu
objek sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral
2. Karakteristik Nilai, Moral dan Sikap Remaja
Michel meringkas lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh
ramaja (Hurlock alih bahasa Istiwidayanti dan kawan-kawan,1980:225) sebagai
berikut :
1) Pandangan Individu makin lama makin menjadi lebih abstrak
2) Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang
salah. Keadlilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
3) Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih berani
mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4) Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
5) Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian
moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Menurut Furter (1965) (Dalam.Monks,1984:252), Kehidupan moral merupakan
problematic yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu kiranya untuk meninjau
perkembangan moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan, untuk dapat memahami
mengapa justru pada masa remaja hal tersebut menduduki tempat yang sangat penting.
Dari hasil penyelidikan-penyelidikannya Kohlberg mengemukakan enam tahap
(stadium) perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam urutan
tertentu.
Ada tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg, yaitu tingkat :
I. Prakonvensional
II. Konvensional
III. Post.Konvensional
Tingkat I ; Prakonvensional, yang terdiri dari stadium 1 dan 2
Pada stadium 1,anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak menganggap
baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkanya. Anak hanya mengetahui bahwa
aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa di ganggu gugat. Ia
harus menurut atau kalau tidak, akan memperoleh hukuman.
Pada stadium 2, berlaku prinsip Relativistik-Hedonism. Pada tahapan ini, anak tidak
lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau ditentukan
oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi.
Jadi, ada relativisme. Relativisme ini artinya bergantung pada kebutuhan dan
kesanggupan seseorang (hedonistik). Misalnya mencuri ayam karena kelaparan.
Karena perbuatan ”mencuri” untuk memenuhi kebutuhannya (lapar), maka mencuri
dianggap sebagai perbuatan yang bermoral, meskipun perbuatan mencuri itu sendiri
diketahui sebagai perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukuman.
Tingkat II : konvensional
Stadium 3, menyangkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini, anak
mulai memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi
perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain.
Masyarakat adalah sumber yang sangat menentukan, apakah perbuatan seorang baik
atau tidak. Menjadi ”anak yang manis” masih sangat penting dalam stadium ini.
Stadium 4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas. Pada
stadium ini perbuatan baik ang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat
diterima oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut
mempertahankan atura-aturan atau norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik
merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak
timbul kekacauan.
Tingkat III : pasca-konvensional
Stadium 5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan
lingkungan sosial. Pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan
lingkungan sosial, dengan masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan
kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial karena sebaliknya,
lingkungan sosial atau masyarakat akan membeikan perlindungan kepadanya.
Originalitas remaja juga tampak dalam hal ini. Pertama, remaja masih mau diatur
secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Meskipun disini kata hati
sudah mulai berbicara, namun penilaian-penilaiannya masih belum timbul dari kata
hati yang sudah betul-betul diinternalisasi, yang seringkali tampak dalam sikap yang
kaku.
Stadium 6. tahap ini disebut prinsip univesal. Pada tahap ini ada norma etik disamping
norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang dengan
masyarakaatnya ada unsur-unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu
baik atau tidak baik. Subjektivisme ini berarti ada perbedaan penilaian antara
seseorang dengan orang lain. Dalam hal ini, unsur etika akan menentukan apa yang
boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya. Remaja mengadakan penginternalisasian
moral yaitu remaja melakukan tingkah laku-tingkah laku moral yang dikemudikan
oleh tanggung jawab batin sendiri. Tingkat perkembangan moral pasca konvensional
harus dicapai selama masa remaja.
Menurut Furter (1965), menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai (Monk’s,
1984: 257). Mengerti nilai-nilai ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian saja
melainkan juga dapat menjalankannya/mengamalkannya. Hal ini selanjutnya berarti
bahwa remaja sudah dapat menginternalisasikan penilaian-penilaian moral,
menjadikannya sebagai nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya penginternalisasian
nilai-nilai ini akan tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya.
Berkaitan dengan nilai, Remaja merasakan pentingnya tata nilai dan
mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman dalam
mencari jatidirinya. Berkaitan dengan moral, remaja mulai mampu berpikir abstrak
dan mampu memecahkan masalah yang bersifat hipotesis. Berkaitan dengan sikap,
Perubahan sikap remaja begitu mencolok, yaitu dengan sikap menentang nilai dasar
hidup orangtua /orangdewasa lainnya.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral dan Sikap
Bagi para ahli psikoanalisis perkembangan moral dipandang sebagai
kematangan dari sudut organik biologis. Menurut Psikoanalisis moral dan nilai
meyatu dalam konsep superego. Superego dibentuk melalui jalan Internalisasi
larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar (khususnya dari
orangtua) sedemikian rupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam diri sendiri.
Teori-teori lain dari non-psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan anak-
orang tua bukan satu-satunya sarana pembentuk moral. Para sosiolog beranggapan
bahwa masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam pembentukan moral.
Perilaku yang terkendali disebabkan oleh adanya control dari masyarakat itu sendiri
yang mempunyai sanksi-sanksi buat pelanggar-pelanggarnya (Sarlito,1992:92).
Di dalam usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai
hidup tertentu ternyata bahwa faktor lingkungan memegang peranan penting. Diantara
segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang tampaknya sangat penting
adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh
seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini lingkungan
sosial terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan
pembina. Makin jelas sikap dan sifat lingkungan terhadap nilai hidup tertentu dan
moral makin kuat pula pengaruhnya untuk membentuk (atau meniadakan) tingkah
laku yang sesuai.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh kohlberg menunjukkan
bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari
kebiasaan dan hal-hal ini yang berhubungan dengan nilai kebudayaan. Tahap-tahap
perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan pada anak-anak (Singgih
G.1990:202). Anak memang berkembang melalui interaksi sosial, tetapi interaksi ini
mempunyai corak yang khusus dimana faktor pribadi, faktor si anak dalam
membentuk aktivitas-aktivitas ikut berperan. Dalam perkembangan moral, kohlberg
menyatakan adanya tahap-tahap yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan.
Penahapan yang dikemukakan bukan mengenai sikap moral yang khusus, melainkan
berlaku pada proses penalaran yang didasarinya. Moral sifatnya penalaran menurut
kohlberg, perkembangannya dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana
dikemukakan oleh piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-
tahap perkembangan piaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan
sikap individu mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik
yang terdapat dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi
psikologis, pola interaksi, pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang
tersedia dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat akan mempengaruhi
perkembangan nilai, moral dan sikap individu yang tumbuh dan berkembang di dalam
dirinya.
Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga, sekolah
dan masyarakat yang penuh rasa aman secara psikologis, pola interaksi yang
demokratis, pola asuh bina kasih, dan religius dapat diharapkan berkembang menjadi
remaja yang memiliki budi luhur, moralitas tinggi, serta sikap dan perilaku terpuji.
Sebaliknya insividu ytang tumbuh dan berkembang dengan kondisi psikologis yang
penuh dengan konflik, pola interaksi yang tidak jelas, pola asuh yang tidak berimbang
dan kurang religius maka harapan agar anak dan remaja tumbuh dan berkembang
menjadi individu yang memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, dan sikap perilaku
terpuji menjadi diragukan.
1. Lingkungan Keluarga
keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan
dan didalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Keluarga
merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merupakan lingkungan paling
kuat dalam membesarkan anak yang belum sekolah. keinginan dan harapan orang tua
yang cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang
memilikidan menjunjung tinggi nilainilai luhur, mampu membedakan yang baik dan
yang buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta
memiliki sikap dan prilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua
2. Lingkungan Pendidikan (Sekolah)
Lingkungan pendidikan setelah keluarga, adalah lingkungan sekolah. Sekolah sebagai
lembaga formal yang di serahi tugas untuk menyelenggarakan pendidikan tentunya
tidak kecil perananya dalam membantu perkembangan hubungan sosial remaja.
Dalam konteks ini, guru juga harus mampu mengembangkan proses pendidikan yang
bersifat demokratis. Jika guru tetap berpendirian bahwa dirinya sebagai tokoh
intelektual dan tokoh otoritas yang memegang kekuasaan penuh,perkembangan
hubungan sosial remaja akan terganggu. Untuk itu guru harus mampu
mengembangkan perannya selain sebagai guru juga sebagai pemimpin yang
demokratis. Artinya, selain menyampaikan pelajaran sebagai upaya mentrasfer
pengetahuan kepada peserta didik, juga harus membina peserta didik menjadi manusia
dewasa yang bertanggung jawab.
3. Lingkungan Sosial
Faktor sosial mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap
keberagamaan, yaitu: pendidikan orang tua, tradisi – tradisi sosial dan tekanan –
tekanan lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan
sikap yang disepakati oleh lingkungan.
4. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Nilai, Moral dan Sikap
Menurut Kohlberg, faktor kebudayaan mempengaruhi perkembangan moral,
terdapat berbagai rangsangan yag diterima oleh anak-anak dan ini mempengaruhi
tempo perkembangan moral. Bukan saja mengenai cepat atau lambatnya tahap-tahap
perkembangan yang dicapai. Perbedaaan perseorangan juga dapat dilihat pada latar
belakang kebudayaan tertentu.
Pemahaman konsep dan nilai tenggang rasa, bila dibandingkan dengan sikap
serta tingkah lakunya dalam kaitannya dengan tenggang rasa, memungkinkan kita
menempatkan individu dalam satu kontinum.
a. Di ujung paling kiri, kita kelompok individu yang hampir-hampir atau sama sekali
tidak tahu tentang konsep dan nilai tenggang rasa dan karenanya juga tidak bertindak
secara benar ditinjau dari konsep tenggang rasa.
b. Di ujung paling kanan terdapat individu yang baik pengetahuan maupun tingkah
lakunya, mencerminkan penghayatan nilai tenggang rasa yang sangat meyakinkan.
Dapat dipahami bahwa terdapat perbedaaan-perbedaan individual dalam
pemahaman nilai-nilai, dan moral sebagai pendukung sikap dan perilakunya. Jadi
mungkin terjadi individu atau remaja yang tidak mencapai perkembangan nilai, moral,
dan sikap serta tingkah lakunya yang diharapkan padanya.
5. Upaya Mengembangkan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja Serta Implikasinya
dalam Penyelenggaraan pendidikan
Perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Proses
yang dilalui seseorang dalam pengembangan nilai-nilai hidup tertentu adalah sebuah
proses yang belum seluruhnya dipahami oleh para ahli (Surakhmad, 1980: 17).
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral, sikap
remaja adalah
1. Menciptakan Komunikasi
Mengikutsertakan remaja dalam beberapa pembicaraan dan dalam pengambilan
keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut serta secara
aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok. Dan remaja
juga berpartisipasi untuk mengembangkan aspek moral misalnya dalam kerja
kelompok, sehingga dia belajar tidak melakukan sesuatu yang akan merugikan orang
lain karena hal ini idak sesuai dengan nilai atau norma-norma moral.
2. Menciptakan Iklim Lingkungan Yang Serasi
Usaha pengembangan tingkah laku nilai hidup hendaknya tidak hanya mengutamakan
pendekatan-pendekatan intelektual semata-mata tetapi juga mengutamakan adanya
lingkungan yang kondusif di mana faktor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan
penjelmaan yang konkret dari nilai-nilai hidup tersebut. Selain itu lingkungan bersifat
mengajak, mengundang atau memberi kesempatan akan lebih aktif daripada
lingkungan yang ditandai dengan larangan dan peraturan yang membatasi.
.