potensi trichoderma spp. sebagai agens hayati dalam ... · yang menyerang tanaman sengon benyamin...

42
1 POTENSI Trichoderma spp. SEBAGAI AGENS HAYATI DALAM PENGENDALIAN Ganoderma sp. YANG MENYERANG TANAMAN SENGON BENYAMIN DENDANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Upload: truongnga

Post on 06-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

POTENSI Trichoderma spp. SEBAGAI AGENS HAYATI DALAM

PENGENDALIAN Ganoderma sp. YANG MENYERANG

TANAMAN SENGON

BENYAMIN DENDANG

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Potensi Trichoderma spp. Sebagai

Agens Hayati dalam Pengendalian Ganoderma sp. yang Menyerang Tanaman Sengon

adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal

atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Benyamin Dendang

NIM 451090111

3

SUMMARY

BENYAMIN DENDANG. The potency of Trichoderma spp. as biological agent in

controling Ganoderma sp. atacking sengon plant. Under direction of ACHMAD, ELIS

NINA HERLIYANA, AND DARMONO TANIWIRYONO.

Sengon (Falcataria mollucana) is one of the forestry plant that widely

developed by the community of Indonesia farmers especially in Java Island.

Nowadays, sengon is widely planted with a monoculture system, therefore

emerging many serious problems in silvi-culture. One of the serious problems

was attacked by the pathogenic fungi, Ganoderma sp., which mainly caused root

rot diseases. This research was aimed to investigate the ability of Trichoderma

spp. in controlling the in vitro growth of Ganoderma sp. and to evaluate the

capability of T. harzianum in inhibiting the growth of Ganoderma sp. on sengon

timber substrate at greenhouse. This research was carried out in three

experimental stages as follow: stage 1: study the growth activity of Ganoderma

sp.; stage 2: study the inhibition activity of Trichoderma spp. towards the growth

of Ganoderma sp. and stage 3: control the growth of Ganoderma sp. on Sengon

timber substrate at greenhouse.

Our results showed that the growth rate of Ganoderma sp. was expert on

PDA and MEA medium each 12 days and 14 days incubation, respectively.

Afterwards, the petridish was full of the Ganoderma sp. mycelium after 14 days

incubation. In this study, the average value of the growth of Ganoderma sp. on

PDA medium (7.09 mm day-1

) was significantly differs to the growth of

Ganoderma sp. on MEA medium (5.41 mm day-1

). Besides of that, the fastest

growth of Trichoderma spp. was shown by T. pseudokoningii such as 38.14 mm

day-1

and significantly differs to T. viride, 27.71 mm day-1

and T. harzianum,

26.31 mm day-1

. Based on antagonistic test, T. harzianum exhibited the best

inhibition to Ganoderma sp. on PDA medium up to 74.19% and significantly

differ to T. pseudokoningii 59.37% and T. viride 41.36%. Similarly on MEA

medium treatment T. harzianum exhibited the best inhibition to Ganoderma sp. up

to 73.00% and significantly differ to T. pseudokoningii 60.22% and T. viride

51.58%.

The inhibition growth of Ganoderma sp. on sengon timber substrate at

greenhouse showed that after 1 week, there was a decreasing growth of

Ganoderma sp. mycelium when the sengon timber was submerged (Xt1) and

obtained the highest value of inhibition up to 1.12 cm on sterile soil treatment + T.

harzianum, whilst on sterile soil treatment without T. harzianum, there was an

increasing growth of Ganoderma sp. mycelium up to 0.67 cm. Likewise, after 2

weeks of sengon timber submersion (Xt2) on sterile soil treatment + T. harzianum

there was a decreasing growth of Ganoderma’s mycelium up to 2.41 cm, whereas

on sterile soil treatment without T. harzianum, there was an increasing growth of

Ganoderma sp. mycelium up to 1.22 cm.

Keywords: biological agent, Ganoderma sp., sengon, Trichoderma spp.

4

RINGKASAN

BENYAMIN DENDANG. Potensi Trichoderma spp. Sebagai Agens Hayati dalam

Pengendalian Ganoderma sp. yang Menyerang Tanaman Sengon. Dibimbing oleh

ACHMAD, ELIS NINA HERLIYANA, DAN DARMONO TANIWIRYONO.

Sengon (Falcataria mollucana) merupakan tanaman hutan rakyat yang banyak

dikembangkan oleh petani hutan rakyat Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Dewasa ini

penanaman sengon lebih banyak ditanam secara monokultur sehingga menimbulkan

berbagai permasalahan yang serius. Salah satu masalah yang muncul adalah serangan

penyakit Ganoderma sp. yaitu cendawan patogen yang dapat menyebabkan penyakit

busuk akar. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mempelajari kemampuan Trichoderma spp.

dalam menghambat pertumbuhan Ganoderma sp. secara in vitro dan mengevaluasi

kemampuan Trichoderma spp. untuk mengendalikan Ganoderma sp. pada substrat balok

kayu sengon di rumah kaca. Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan percobaan.

Penelitian I, studi pertumbuhan Ganoderma sp. dan Trichoderma spp. secara in vitro.

Penelitian II, uji penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan Ganoderma sp.

Penelitian III, pengendalian Ganoderma sp. pada balok kayu sengon di Rumah Kaca.

Hasil penelitian studi pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. menunjukkan bahwa

laju pertumbuhan koloni Ganoderma sp. tercepat pada media PDA selama 12 hari dan

pada media MEA selama 14 hari cawan Petri terisi penuh dengan koloni. Rata-rata

pertumbuhan koloni isolat Ganoderma sp. sebesar 7.09 mm hari-1

pada media PDA nyata

lebih cepat dibanding pertumbuhan koloni isolat Ganoderma sp. pada media MEA

sebesar 5.41 mm hari-1

. Hasil penelitian studi pertumbuhan diameter koloni Trichoderma

spp. menunjukkan bahwa laju pertumbuhan diameter koloni Trichoderma spp. secara

berturut-turut tertinggi pada T. pseudokoningii sebesar 38.14 mm hari-1

nyata lebih cepat

dibanding T. viride sebesar 27.71 mm hari-1

dan T. harzianum 26.31 mm hari-1

. Uji

penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan Ganoderma sp. pada media PDA

diperoleh rata-rata persentase penghambatan terbaik pada T. harzianum sebesar 74.19%

nyata lebih cepat dibanding T. pseudokoningii sebesar 59,37% dan T. viride sebesar

41.36%. Demikian halnya pada media MEA diperoleh rata-rata persentase penghambatan

terbaik pada perlakuan T. harzianum (73.00%), berbeda nyata dengan T. pseudokoningii

(60.22%), dan T. viride (51.58%).

Hasil penelitian pengendalian Ganoderma sp. pada balok kayu sengon di rumah kaca

diperoleh penurunan pertumbuhan panjang koloni Ganoderma sp. satu minggu setelah

balok kayu dibenam (Xt1) diperoleh nilai penurunan panjang koloni tertinggi pada

perlakuan tanah steril + T. harzianum (1.12 cm), sedang pada perlakuan tanah steril tanpa

T. harzianum terjadi pertambahan panjang koloni sebesar 0.67 cm. Demikian halnya pada

dua minggu setelah balok kayu di benam (Xt2) pada perlakuan tanah steril + T. harzianum

terjadi penurunan panjang koloni tertinggi sebesar 2.41 cm, sedang pada perlakuan tanah

steril tanpa T. harzianum terjadi pertambahan panjang koloni Ganoderma sp. sebesar 1.22

cm.

Kata kunci : agensia hayati, Ganoderma sp., sengon, Trichoderma spp.

5

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu

masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam

bentuk apa pun tanpa izin IPB

POTENSI Trichoderma spp. SEBAGAI AGENS HAYATI DALAM PENGENDALIAN

Ganoderma sp. YANG MENYERANG

TANAMAN SENGON

6

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Silvikultur Tropika

BENYAMIN DENDANG

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

POTENSI Trichoderma spp. SEBAGAI AGENS HAYATI DALAM PENGENDALIAN Ganoderma sp. YANG MENYERANG

TANAMAN SENGON

7

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Bonny Purnama Wahyu Soekarno, MS

-

Judul Tesis : Potensi Trichoderma spp Sebagai Agens Hayati dalam Pengendalian Ganoderma sp. yang Menyerang Tanaman Sengon

Nama : Benyamin Dendang NIM : E451090111

Disetujui oleh

Dr Ir Achmad, MS Ketua

Dr Ir Elis Nina Herliyana, MSi Dr It Dannono Taniwiryono, MSc Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Silvikultur Tropika

,

Dr Ir Basuki Wasis, MS

Tanggal Ujian : 28 Juni 2013 Tanggal Lulus: L 9 JUL LU 13

'"

8

Judul Tesis : Potensi Trichoderma spp. Sebagai Agens Hayati dalam Pengendalian

Ganoderma sp. yang Menyerang Tanaman Sengon

Nama : Benyamin Dendang

NIM : E451090111

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Achmad, MS

Ketua

Dr Ir Elis Nina Herliyana, MSi

Anggota

Dr Ir Darmono Taniwiryono, MSc

Anggota

Diketahui oleh

.

Ketua Program Studi

Silvikultur Tropika

Dr Ir Basuki Wasis, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 28 Juni 2013 Tanggal Lulus :

9

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2011 sampai bulan

Juli 2012 ini dengan judul Potensi Trichoderma spp. Sebagai Agens Hayati Dalam

Pengendalian Ganoderma sp. yang Menyerang Tanaman Sengon.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Achmad, MS, Ibu Dr Ir

Elis Nina Herliyana, MSi, dan Bapak Dr Ir Darmono Taniwiryono, MSc selaku

pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pusat Diklat

Kehutanan Kementrian Kehutanan yang telah memberikan waktu dan dana untuk

melaksanakan studi. terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta

seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

Benyamin Dendang

10

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2 Sengon (F. moluccana) 2

Ganoderma sp. 4

Potensi Mikroorganisme Saprofitik Sebagai Agens Pengendali Hayati 5

Trichoderma spp. 5

METODE PENELITIAN 6

Tempat dan Waktu 6

Bahan dan Alat 6

Prosedur Penelitian 7

Percobaan I Pertumbuhan Diameter Koloni Ganoderma sp. 7

Pertumbuhan Diameter Koloni Trichoderma spp. 7

Percobaan II Uji penghambatan Trichoderma spp. 8

Percobaan III Pengendalian Ganoderma sp. pada balok kayu sengon di

Rumah Kaca 10

HASIL DAN PEMBAHASAN 12

Hasil 12

Pertumbuhan Diameter Koloni Ganoderma sp. 12

Pertumbuhan Diameter Koloni Trichoderma spp. 13

Penghambatan Trichoderma spp. terhadap Pertumbuhan Ganoderma sp. 15 Pengendalian Ganoderma sp. pada Balok Kayu Sengon di Rumah Kaca 17

Pembahasan 19

SIMPULAN DAN SARAN 23

Simpulan 23

Saran 23

DAFTAR PUSTAKA 24

11

DAFTAR GAMBAR

1 Metode biakan ganda Ganoderma sp. dan Trichoderma spp. pada cawan

konfrontasi berdiameter 9 cm 9

2 Pengukuran panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu

sengon 11

3 Pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. pada media PDA dan

MEA 12

4 Rata-rata pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. pada media PDA

dan MEA 12

5 Pertumbuhan diameter koloni Trichoderma spp. pada media PDA dan

MEA 14

6 Rata-rata pertumbuhan diameter koloni Trichoderma spp. pada media

PDA dan MEA 15

7 Penghambatan pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. dengan

Trichoderma spp. pada media PDA dan MEA 16

8 Persentase penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan

diameter koloni Ganoderma sp. pada media PDA dan MEA 17

9 Pertumbuhan koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu sengon di

rumah kaca 18

10 Rata-rata pertumbuhan panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat

balok kayu sengon di rumah kaca 18

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sidik ragam laju pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. 28

2 Sidik ragam pertumbuhan diameter koloni Trichoderma spp. 28

3 Sidik ragam penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan diameter

koloni Ganoderma sp. 28

4 Sidik ragam panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu (Xt1) 28

5 Sidik ragam panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu (Xt2) 28

6 Komponen penyusun media PDA dan MEA 29

12

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sengon (Falcataria mollucana) merupakan salah satu jenis tanaman hutan

rakyat yang paling banyak dikembangkan oleh masyarakat dalam sistem

agroforestry di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh karena pertumbuhannya yang

cepat, nilai ekonominya tinggi dan pemasaran yang relatif mudah. Secara umum,

di Jawa terdapat hutan rakyat seluas hampir 400 000 hektar dan mampu memasok

895 000 m3

kayu pertahunnya. Jumlah tersebut terdapat 10% serapan kayu

berbagai industri di pulau jawa. Pasokan kayu sengon pada hutan rakyat di pulau

Jawa sebesar 2.29% ha-1

tahun-1

(Mile 2003). Sengon menghasilkan kayu yang

berwarna terang, umumnya sebagai bahan baku veneer dan juga dipakai sebagai

bahan untuk kayu pertukangan.

Dengan semakin maraknya penanaman sengon yang ditanam dengan pola

monokultur, maka menimbulkan berbagai permasalahan yang serius. Salah satu

masalah yang muncul adalah adanya serangan penyakit Ganoderma sp. Serangan

Ganoderma sp. di lapangan sulit dideteksi karena gejala yang ditimbulkan mirip

dengan gejala serangan penyakit akar lainnya termasuk gejala kekeringan.

Meskipun tanaman sudah menunjukkan gejala sakit, namun tubuh buah

Ganoderma sp. kadang-kadang belum terbentuk. Di lain pihak, pada tanaman

yang tampak sehat dapat ditemukan tubuh buah Ganoderma sp. pada pangkal

batang. Kerusakan hutan tanaman industri A. mangium di Sumatera dan

Kalimantan yang diakibatkan oleh Ganoderma sp. mencapai 3-28% (Irianto et al.

2006).

Ganoderma sp. telah dilaporkan menyerang tanaman tanaman sengon dan

pohon jenis penaung pada tanaman kopi dan kakao di Jawa Barat dan Jawa Timur

(Herliyana et al. 2012). Munculnya serangan penyakit yang disebabkan cendawan

Ganoderma sp. meresahkan semua pengelolah hutan, terutama untuk hutan rakyat

karena sulit untuk dikendalikan. Ketika gejala dan tanda serangannya sudah parah,

maka tanaman tersebut sudah tidak mungkin diselamatkan lagi. Serangan

Ganoderma sp. dapat terjadi apabila ada interaksi antara akar dengan Ganoderma

sp.. Interaksi tersebut mengakibatkan tunggul hasil tebangan dapat menjadi

sumber penyakit. Tunggul yang terserang Ganoderma sp. tidak mampu untuk

bertunas. Segala upaya pengendalian harus ditujukan terutama untuk melindungi

tanaman yang sehat pada semua tingkat umur dan melindungi tunggul tanaman

pasca penebangan pohon dari penularan serangan Ganoderma sp.. Dalam upaya

pengendalian penyakit pada tanaman sengon para pengelola hutan termasuk petani

hutan rakyat lebih memilih menggunakan fungisida sintetik dengan alasan praktis,

mudah diperoleh dan hasilnya lebih cepat terlihat. Oleh karena dampak

penggunaan fungisida sintetik yang merusak lingkungan maka perlu dilakukan

upaya pengendalian yang ramah lingkungan. Pengendalian yang ramah

lingkungan dapat dilakukan dengan menggunakan agens hayati yaitu dengan

memanfaatkan cendawan yang bersifat antagonistik terhadap cendawan patogen.

Pengendalian Ganoderma sp. pada sengon pada saat ini masih ke arah

efektivitas dan ekonomis, belum ke arah kelestarian terhadap lingkungan.

Perlindungan tanaman sebaiknya berwawasan terhadap keanekaragaman hayati

dan lingkungan hidup. Konsep tersebut sesuai dengan UU No. 12 Tahun 1992,

13

pasal 22 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang dan/atau badan hukum dilarang

menggunakan sarana dan atau cara yang dapat mengganggu kesehatan dan/atau

mengancam keselamatan manusia, menimbulkan gangguan dan kerusakan sumber

daya alam dan atau lingkungan hidup. Konsep perlindungan hutan juga dijabarkan

dalam PP No. 6 Tahun 1995 yang menyatakan agar setiap orang tidak

sembarangan menggunakan cara dan sarana melakukan perlindungan tanaman.

Ayat ini memprioritaskan cara-cara perlindungan tanaman non-kimiawi agar tidak

mengganggu kesehatan, merusak sumber daya alam dan membunuh agens hayati.

Pengendalian Ganoderma sp. yang mempertimbangkan kelestarian

lingkungan membutuhkan agens hayati yang berpotensi sebagai pengendali. Salah

satu agens hayati adalah Trichoderma spp., yang merupakan salah satu dari agens

hayati dalam mencari bahan pengganti pestisida kimia untuk mengendalikan

penyakit patogen tular tanah termasuk Ganoderma sp.. Trichoderma dilaporkan

mempunyai sifat antagonistik terhadap patogen tular tanah (Widyastuti. 1998;

Widyastuti et al. 1999).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu :

1. Mempelajari kemampuan Trichoderma spp. dalam menghambat pertumbuhan

Ganoderma sp. secara in vitro.

2. Mengevaluasi kemampuan Trichoderma spp. untuk mengendalikan

Ganoderma sp. pada balok kayu sengon di rumah kaca.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

informasi mengenai potensi Trichoderma spp. sebagai agensia hayati terhadap

pengendalian Ganoderma sp. pada kayu sengon sehingga dapat mengurangi

kerugian ekonomis yang diakibatkannya.

TINJAUAN PUSTAKA

Sengon (F. mollucana)

Sengon dalam bahasa latin disebut F. mollucana termasuk famili

Mimosaceae, keluarga peta-petaian. Di Indonesia, sengon memiliki beberapa

nama daerah seperti jeunjing (Sunda), kalbi, sengon landi, sengon laut, atau

sengon sabrang (Jawa). Maluku : seja (Ambon), sikat (Banda), tawa (Ternate),

dan gosui (Tidore). Sengon dapat mencapai tinggi sekitar 30-45 meter dengan

diameter batang sekitar 7080 cm. Bentuk batang bulat dan tidak berbanir. Kulit

luarnya berwarna putih atau kelabu, tidak beralur dan tidak mengelupas. Berat

jenis kayu rata-rata 0.33 dan termasuk kelas awet IV-V. Kayu sengon digunakan

untuk tiang bangunan rumah, papan peti kemas, peti kas, perabotan rumah tangga,

pagar, kotak korek api, veneer, kertas dan lain-lainnya (Martawijaya et al. 1989).

14

Tajuk sengon berbentuk menyerupai payung, rimbun, dan daun yang tidak

terlalu lebat. Daun sengon tersusun majemuk menyirip ganda dengan anak daun

yang kecil-kecil dan mudah rontok. Warna daun sengon hijau pupus, berfungsi

untuk menyerap energi dari cahaya dan sekaligus sebagai penyerap karbon

dioksida dari udara bebas. Sengon memiliki akar tunggang yang cukup kuat

menembus ke dalam tanah, akar rambutnya tidak terlalu besar, tidak rimbun dan

tidak menonjol ke permukaan tanah. Bintil akar berfungsi untuk menyimpan zat

nitrogen, oleh karena itu tanah di sekitar tanaman sengon menjadi subur. Bunga

sengon tersusun dalam malai berukuran panjang 12 mm, berwarna putih

kekuningan dan sedikit berbulu, berbentuk seperti saluran atau lonceng. Bunganya

biseksual, terdiri dari bunga jantan dan bunga betina. Buah sengon berbentuk

polong, pipih, tipis, tidak bersekat-sekat dan berukuran panjang 10-13 dan lebar 2

cm. Setiap polong buah berisi 15-20 biji. Biji sengon berbentuk pipih, lonjong,

tidak bersayap, berukuran panjang 6 mm, berwarna hijau ketika masih muda dan

berubah menjadi kuning sampai coklat kehitaman jika sudah tua, agak keras dan

berlilin (Soerianegara dan Lemmens 1993).

Sengon dapat tumbuh optimal pada ketinggian antara 0-800 m dpl.

Walapun demikian, sengon masih dapat tumbuh sampai ketinggian 1500 m di atas

permukaan laut. Sengon termasuk jenis tanaman tropis, sehingga memerlukan

suhu sekitar 18-27 °C untuk pertumbuhannya. Curah hujan mempunyai beberapa

fungsi untuk tanaman, diantaranya sebagai pelarut zat nutrisi, pembentuk gula dan

pati, sarana transportasi hara dalam tanaman, pertumbuhan sel dan pembentukan

enzim, serta menjaga stabilitas suhu. Sengon membutuhkan batas curah hujan

minimum yang sesuai, yaitu 15 hari hujan dalam 4 bulan terkering dan memiliki

curah hujan tahunan yang berkisar antara 2000-4000 mm dengan kelembaban

sekitar 50-75%. Di Jawa, sengon dilaporkan dapat tumbuh di berbagai jenis tanah

kecuali tanah grumusol (Charomaini dan Suhaendi 1997). Pada tanah latosol,

andosol,aluvial dan podzolik merah kuning, sengon tumbuh sangat cepat. Pada

tanah marginal, pupuk mungkin diperlukan pada awal petumbuhan, selanjutnya

pertumbuhan sengon akan lebih cepat karena kemampuan untuk mengikat

nitrogen meningkat. Sengon termasuk jenis pionir yang dapat tumbuh di hutan

primer, hutan hujan dataran rendah sekunder dan hutan pegunungan, padang

rumput dan di sepanjang pinggir jalan dekat laut. Di habitat alaminya di Papua,

sengon berasosiasi dengan Agathis labillardieri, Celtis spp., Diospyros spp.,

Pterocarpus indicus, Terminalia spp., dan Toona sureni (Soerianegara dan

Lemmens 1993).

Peningkatan produktivitas persatuan luas (peningkatan produksi secara

vertikal), merupakan faktor penting yang berdampak nyata terhadap peningkatan

pendapatan petani. Awang et al. (2002) mengemukakan bahwa, kajian tentang

sosial ekonomi hutan rakyat sudah banyak dilakukan oleh para ilmuwan dan

peneliti namun upaya yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas belum

banyak tersedia. Hal ini disebabkan oleh upaya peningkatan produktivitas per

satuan luas belum dikembangkan melalui uji coba pengembangan teknologi tepat

guna di lapangan. Mile (2003) mengemukakan bahwa tanaman sengon yang

dikembangkan di hutan rakyat saat ini banyak yang tidak optimal

pertumbuhannya, sekalipun berada pada kondisi yang sesuai baik dari segi

kesesuaian tanah maupun dari segi kesesuaian agroklimat. Hal ini disebabkan oleh

beberapa faktor yaitu semakin menurunnya kesuburan tanah, munculnya berbagai

15

serangan hama dan penyakit dan kurangnya monitoring yang dilakukan oleh para

petani hutan rakyat.

Ganoderma sp.

Ganoderma sp. termasuk dalam kelas Basidiomycetes yang dapat

menyebabkan busuk akar pada berbagai jenis tanaman keras, melalui

kemampuannya dalam menghancurkan lignin, menghancurkan selulosa dan

berkaitan dengan pengaruhnya terhadap polisakarida (Hepting 1971; Blanchette

1984; Adaskaveg dan Ogawa 1990). Ganoderma sp. pertama kali dilaporkan oleh

Karsten (1881) dengan G. lucidum sebagai satu-satunya jenis.

Ganoderma sp. digolongkan ke dalam Ganodermataceae,

Aphylophorales, Basidiomycetes, dan Basidiomycotina. Ganoderma sp.

mempunyai tubuh buah yang berpori pada bagian bawahnya dengan bentuk,

ukuran, dan warna yang beragam. Ganoderma sp. dijumpai secara luas menyerang

tanaman inang berdaun lebar (Phillips dan Burdekin 1989), namun gejala

terjadinya busuk akar yang disebabkan oleh Ganoderma sp. telah ditemukan pada

tanaman akasia di Australia bagian utara, di Peninsular Malaysia dan Sumatera

Utara (Lee 1996). Penyakit busuk akar yang disebabkan oleh Ganoderma sp. telah

tercatat sebagai penyakit yang paling berbahaya menyerang A. mangium di

Bengal Barat, India (Sharma dan Florensce 1996). Di Indonesia, Ganoderma sp.

merupakan penyakit utama pada berbagai tanaman kehutanan termasuk sengon

(Basset dan Peters 2003; Salomon et al. 1993). Ganoderma sp. juga menyerang

tanaman kelapa sawit dengan tingkat kematian 50% (Turner 1981).

Gejala yang timbul akibat penyakit Ganoderma sp. adalah daun

menguning, kering dan akhirnya rontok (Semangun 2000). Sedangkan pada akar

terlihat adanya selaput miselium berwarna merah bata. Miselium yang baru

tumbuh umumnya berwarna putih krem dan warna merah yang khas apabila

miselium menjadi tua. Pada tingkatan serangan lebih lanjut, Ganoderma sp.

membentuk badan buah (basidiokarp) pada pangkal batang (Rahayu 1994).

Infeksi Ganoderma sp. diakibatkan oleh adanya kontak antara akar yang

sehat dengan akar yang sakit. Meskipun cendawan membentuk rizomorf, tetapi

rizomorfnya tidak dapat berjalan bebas dalam tanah terlepas dari alas

makanannya. Spora tidak dapat menginfeksi tanaman yang sehat, tetapi spora

dapat menginfeksi tunggul-tunggul yang segar dari tanaman yang rentan dan

dapat menjadi sumber infeksi baru. Sengon terinfeksi dari tunggul dan sisa-sisa

akar pohon atau pohon-pohon yang tua. Ganoderma sp. tumbuh dengan baik pada

medium yang mempunyai pH 6.0-7.0. dapat bertahan lebih lama pada akar

tanaman dan pada tonggak-tonggak kayu di dalam tanah dibanding dengan

cendawan patogen lainnya (Semangun 2000). Perkembangan Ganoderma sp.

berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan biasanya lebih dari delapan tahun

(Allen 1994).

16

Potensi Mikroorganisme Saprofitik Sebagai Agensia Pengendali Hayati

Ganoderma sp.

Pengendalian hayati merupakan penurunan jumlah inokulum atau aktivitas

menghasilkan penyakit suatu patogen yang dilaksanakan dengan atau melalui satu

atau lebih mikroorganisme selain manusia (Cook dan Baker 1983). Pengendalian

hayati dapat dilaksanakan melalui praktek budidaya dan pemuliaan tanaman untuk

meningkatkan resistensi terhadap patogen atau kesesuaian tanaman inang untuk

aktivitas antagonis; melalui introduksi massal antagonis, ras nonpatogenik,

organisme atau agens berguna lainnya (Lewis dan Papavizas 1991).

Aktivitas penyakit termasuk didalamnya adalah pertumbuhan, virulensi,

dan agresifitas. Faktor lain dari patogen adalah termasuk 1) individu atau populasi

avirulen atau hipovirulen dari spesies patogen itu sendiri, 2) manipulasi genetik

tanaman inang, kultur teknis, atau dengan menggunakan mikroorganisme untuk

meningkatkan ketahanan tanaman inang terhadap patogen, dan 3) pemanfaatan

antagonis patogen yang diartikan sebagai mikroorganisme yang menginterfensi

pertahanan atau aktivitas produksi penyakit dari patogen. Pengendalian hayati

dapat berupa kultur teknis (pengelolaan habitat) sehingga membuat lingkungan

mendukung untuk pertumbuhan antagonis, penggunaan tanaman inang yang

resisten, atau keduanya, persilangan tanaman untuk meningkatkan ketahanan

terhadap patogen atau keadaan tanaman inang yang mendukung (disukai) untuk

aktivitas antagonis, introduksi antagonis, strain non-patogenik, dan agen atau

organisme lain yang mempunyai manfaat yang sama.

Salah satu contoh pengendalian hayati adalah dengan memanfaatkan

Trichoderma spp. sebagai organisme yang mempunyai kemampuan antagonistik

dalam mengendalikan penyakit tanaman. Trichoderma spp. merupakan cendawan

yang sangat umum dijumpai dalam tanah dan merupakan cendawan yang bersifat

antagonistik terhadap cendawan.

Trichoderma spp.

Trichoderma spp. merupakan cendawan inperfekti (tidak sempurna) dari

Subdivisio Deuteromycotina, Kelas Hyphomycetes, Ordo Moniliaceae.

Konodiofor tegak, bercabang banyak, agak berbentuk kerucut, dapat membentuk

klamidiospora, pada umumnya koloni dalam biakan tumbuh dengan cepat,

berwarna putih sampai hijau (Cook dan Baker 1989). Bentuk sempurna dari

cendawan ini secara umum dikenal sebagai Hipocreales atau kadang-kadang

Eurotiales, Clacipitales dan Spheriales. Morfologi beberapa spesies Trichoderma

menurut Cook dan Baker (1989) sebagai berikut: 1) Trichoderma viride,

konidiofor berakhir pada fialid, fialospora mempunyai dinding yang kasar,

berwarna hijau, berukuran antara 2.8-5.0 X 2.8-4.5 mm, dan koloni cepat tumbuh.

2) Trichoderma harzianum, konidiofor berakhir pada fialid, fialospora halus,

berwarna hijau, berukuran antara 2.4-3.2 X 2.2-2.8 mm, dan koloni cepat tumbuh.

3) Trichoderma pseudokoningii; konidiofor berakhir pada fialid, fialospora halus,

berwarna hijau, eliptik-silindris, berukuran 3-4.8 X 1.9-2.8 mm, dan koloni cepat

tumbuh.

Trichoderma spp. merupakan salah satu cendawan tanah yang dominan

yang bersifat saprotrof sehingga secara ekologis mampu berkompetisi dengan

cendawan yang lain dan mampu mengkolonisasi berbagai substrat yang ada di

17

hutan, sehingga Trichoderma spp. dapat dikembangkan sebagai agensia

pengendali hayati cendawan patogen tular tanah (Reese dan Mendels 1959; Hadar

et al. 1979; Elad et al. 1983). Trichoderma spp. menghasilkan 3 tipe propagul

yang dapat digunakan sebagai bahan formula, yaitu : hifa, klamidiospora dan

konidia (Papavizas 1985). Trichoderma spp. mempunyai daya antagonis yang

tinggi dan dapat menghasilkan racun, sehingga dapat menghambat dan mematikan

cendawan lain (Webster dan Dennis 1971).

Widyastuti et al. (2001) menyatakan bahwa isolat Trichoderma spp. telah

menghambat secara penuh miselia cendawan patogen skala in vitro. Daya hambat

Trichoderma spp. tersebut sebesar 91.13-93.49% dengan menggunakan

konsentrasi 103 dan 10

5 .

Mekanisme Trichoderma spp. sebagai agens hayati berlangsung setelah

konidianya tumbuh dan berkembang di sekitar perakaran tanaman yang berfungsi

sebagai mikoparasitik dan akan menekan populasi cendawan patogen yang ada

pada akar tanaman. Pengendalian penyakit yang disebabkan oleh cendawan

patogen dengan menggunakan cendawan Trichoderma spp. selain dapat menekan

pertumbuhan penyakit akar putih, juga diduga dapat mempengaruhi keragaman

serta kepadatan populasi cendawan tanah. Mekanisme pengendalian Trichoderma

spp. dengan cara membelit atau tumbuh disepanjang hifa inang dan membentuk

sruktur semacam kait yang membentuk penetrasi ke dalam dinding sel inang (Chet

et al. 2004).

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2011 sampai dengan bulan

Juli 2012 di Laboratorium Patologi Hutan dan di Rumah Kaca Ekologi,

Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah : Biakan Trichoderma harzianum yang

diperoleh dari Laboratorium Bioteknologi Perkebunan Bogor, Trichoderma viride

yang diperoleh dari Laboratorium Mikologi UGM, Trichoderma pseudokoningii

yang diperoleh dari Seameo Biotrop, tubuh buah Ganoderma sp. diperoleh dari

tunggul sengon di Desa Baregbeg Kabupaten Ciamis, aquades, media Potato

Dextrose Agar (PDA), media Malt Extact Agar (MEA), tanah steril, tanah tidak

steril, alkohol, spirtus, dan balok kayu sengon. Alat yang digunakan dalam

penelitian ini adalah : otoklaf, Laminar Air Flow, oven, inkubator, cawan Petri,

bunsen, sundip, kapas, timbangan analitik, mikroskop, polibag, kamera digital,

mistar, dan alat tulis.

18

Prosedur Penelitian

Penelitian dilakukan dengan 3 percobaan. Percobaan 1: Pertumbuhan

koloni Ganoderma sp., dan pertumbuhan koloni Trichoderma spp. Percobaan 2:

Uji penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan Ganoderma sp., dan

Percobaan 3: Pengendalian Ganoderma sp. pada balok kayu sengon di Rumah

Kaca.

Percobaan 1

Pertumbuhan Diameter Koloni Ganoderma sp.

Ganoderma sp. diisolasi dari tubuh buah yang diambil dari tunggul

sengon. Tubuh buah dipotong secara melintang menjadi beberapa bagian,

kemudian mengambil daging buah (konteks) untuk ditanam pada media PDA di

dalam cawan Petri yang berdiameter 9 mm (Steyaert 1967). Setiap cawan Petri

ditanam tiga potongan konteks. Setelah isolat tumbuh, maka dilanjutkan dengan

pemurnian, yaitu mengambil bagian dari isolat yang tidak terkontaminasi oleh

cendawan atau mikroorganisme lain, kemudian diisolasi kembali pada cawan

Petri. Selanjutnya biakan hasil pemurnian diisolasi pada dua macam media yaitu

media PDA dan MEA dengan menggunakan kok bor 6 mm dan diletakkan pada

bagian tengah cawan Petri.

Pengamatan dan Analisis Data

Pengambilan data dilakukan dengan mengukur pertumbuhan diameter

koloni isolat Ganoderma sp. sampai cawan Petri terisi penuh dan dilakukan setiap

hari. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) dimana faktor perlakuannya adalah dua macam media yaitu media PDA

dan MEA dengan tiga kali ulangan. Model linier dari pertumbuhan diameter

koloni isolat Ganoderma sp. yaitu:

Yijk = μ + δi + εij

Keterangan :

Yij : Diameter koloni isolat Ganoderma sp. pada media ke-i, ulangan ke-j

μ : Nilai tengah pengamatan

δi : Pengaruh media ke-i

εij : Pengaruh galat percobaan perlakuan ke-i pada ulangan ke-j

Data kuantitatif dari diameter pertumbuhan koloni dianalisis dengan

menggunakan SAS 9.00. Apabila terdapat data yang signifikan akan dilanjutkan

dengan uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 95%.

Pertumbuhan Diameter Koloni Trichoderma spp.

Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan diameter koloni

dari tiga jenis Trichoderma (T. harzianum, T. viride, dan T. pseudokoningii) pada

media PDA dan MEA. Pengujian masing-masing dilakukan pada ketiga isolat

19

Trichoderma yaitu dengan meletakkan potongan koloni isolat yang diambil dari

pada tengah cawan Petri berdiameter 9 cm yang berisi media PDA dan MEA

dengan menggunakan kok bor 6 mm Biakan tersebut diinkubasi pada suhu

ruangan sampai cawan Petri terisi penuh.

Pengamatan dan Analisis Data

Peubah yang diamati pada percobaan ini adalah mengukur pertumbuhan

diameter koloni masing-masing jenis Trichoderma sampai cawan Petri terisi

penuh dan pengukuran dilakukan setiap hari. Penelitian ini disusun dengan

menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dimana faktor

perlakuannya adalah T. harzianum, T. viride, T. pseudokoningii dan dua macam

media yaitu media PDA dan MEA. masing-masing perlakuan diulang sebanyak

tiga kali.

Model linier dari pertumbuhan koloni Trichoderma spp. adalah sebagai berikut:

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

Keterangan :

Yijk : Diameter koloni isolat jenis Trichoderma ke-i, media ke-j dan ulangan

ke-k

μ : Nilai tengah pengamatan

αi : Pengaruh jenis Trichoderma ke-i

βj : Pengaruh jenis media ke-j

(αβ)ij : Pengaruh interaksi jenis Trichoderma ke-i, media ke-j

εijk : Pengaruh galat pada jenis Trichoderma ke-i, media ke-j, dan ulangan ke-

k

Data kuantitatif dari diameter pertumbuhan koloni dianalisis dengan

menggunakan SAS 9.00. Apabila terdapat data yang signifikan akan dilanjutkan

dengan uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 95%.

Percobaan 2

Uji Penghambatan Trichoderma spp. terhadap Pertumbuhan Ganoderma sp.

Penelitian ini dilakukan dengan biakan ganda (Coșkuntuna dan Özer

2007). Uji penghambatan dilakuan pada ketiga jenis Trichoderma dengan

menggunakan media PDA dan MEA. Petri (9 cm) diinokulasikan dengan biakan

Ganoderma sp. diameter 6 mm usia 10 hari. Setelah biakan Ganoderma sp.

berumur 5 hari, kemudian masing-masing biakan Trichoderma dengan ukuran

yang sama di kulturkan dari arah yang berlawanan (Gambar 1). Petri disimpan

dalam inkubator 23 0c. Kontrol yang digunakan adalah isolat tanpa Trichoderma

dengan ulangan sebanyak 3 kali. Perlakuan yang memberikan penghambatan

yang lebih bagus akan digunakan untuk penelitian selanjutnya di rumah kaca.

20

Gambar 1 Metode biakan ganda Ganoderma sp. dan Trichoderma spp. pada

cawan konfrontasi berdiameter 9 cm.

Untuk mengetahui daya hambat Trichoderma spp. digunakan rumus Fokkema

(1973) sebagai berikut:

I = a - b

x 100% a

Keterangan :

I = Persentase penghambatan

a = Jari-jari koloni patogen (Ganoderma sp.) menjauhi antagonis

(Trichoderma spp.)

b = Jari-jari koloni patogen ke arah antagonis

Pengamatan dan Analisis Data

Pengamatan dilakukan dengan mengukur pertumbuhan koloni ganoderma

sp. secara radial dan mengukur diameter perkembangan koloni tersebut pada

perlakuan kontrol (tanpa Trichoderma spp.). Data tersebut akan digunakan untuk

menghitung perkembangan miselium dan persen penghambat jenis Trichoderma

terhadap pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp.. Uji penghambatan

dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua faktor yaitu

faktor jenis cendawan (T. harzianum, T. viride, T. pseudokoningii) dan jenis

media (PDA dan MEA). Model linier dari uji penghambatan Trichoderma spp.

adalah sebagai berikut:

Yijk = µ + άi +βj + (άβ)ij + εijk

i, = 1,2,3,4 j = 1,2

Keterangan :

Yijk : Persentase penghambatan jenis Trichoderma untuk jenis ke-i, media ke-j,

dan ulangan ke-k

µ : Nilai tengah pengamatan

άi : Pengaruh jenis Trichoderma ke-i

βj : Pengaruh medi ke-j

(άβ)ij : Pengaruh interaksi jenis Trichoderma ke-i pada media ke- j

εijk : Pengaruh galat pada jenis Trichoderma ke-i, media ke-j, dan ulangan ke-

k

Trichoderma spp. Ganoderma sp.

b a

21

Data kuantitatif dari diameter pertumbuhan koloni dianalisis dengan

menggunakan SAS 9.00. Apabila terdapat data yang signifikan akan dilanjutkan

dengan uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 95%.

Percobaan 3

Pengendalian Ganoderma sp. pada Balok Kayu Sengon di Rumah Kaca

Percobaan ini mengacu kepada metode yang dikembangkan oleh

Hadiwiyono (1996) yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu :

a. Pembuatan Formula Trichoderma sp.

Formula Trichoderma sp. dilakukan dengan menggunakan media jagung +

dedak (1:1). Media jagung direbus terlebih dahulu selama 30 menit, kemudian

diaduk dengan dedak dan ditambahkan air secukupnya sampai media agak lengket

kemudian dimasukkan ke dalam botol. Selanjutnya media disterilisasi dengan

menggunakan otoklaf pada suhu 121 0C selama 30 menit. Media yang sudah steril

diinokulasikan dengan Trichoderma sp. yang memberikan hasil penghambatan

terbaik pada cawan Petri. Formula tersebut di inkubasi selama 12 hari

(Hadiwiyono 1996).

b. Persiapan Patogen Uji

Substrat yang digunakan adalah balok kayu sengon berukuran 3 x 2 x 10

cm. Balok kayu sengon di bungkus dengan plastik kemudian disterilisasi dengan

otoklaf pada suhu 121 0C selama 30 menit. Setelah disterilisasi, balok kayu

didinginkan dan segera diinokulasi dengan biakan Ganoderma sp. yang di

kulturkan di dalam toples. Balok kayu diletakkan secara tegak lurus pada

permukaan koloni Ganoderma sp. yang berumur 10 hari di dalam toples. Setiap

toples diberi 4 balok kayu, kemudian diinkubasi pada suhu ruangan selama 7 hari.

c. Pembenaman Balok Kayu pada Polibag di Rumah Kaca

Balok kayu yang telah diinokulasi dengan Ganoderma sp. dibenam pada

polibag yang telah diisi dengan media tanah ditambah formula Trichoderma sp.

dan media tanah tanpa formula Trichoderma sp. Tanah yang digunakan terdiri

dari dua macam, yaitu tanah steril dan tanah tidak steril. Tanah disterilisasi

dengan menggunakan otoklaf pada suhu 121 0C selama 30 menit. Perlakuan

formula Trichoderma sp. pada polibag dilakukan bersamaan dengan pembenaman

balok kayu dengan dosis 10 gram per polibag. Balok kayu dibenam secara tegak

lurus sedalam 3 cm dan masing-masing polibag dibenam 3 balok kayu. Setelah

balok kayu dibenam pada polibag, disungkup dengan plastik bening dan di simpan

di rumah kaca.

Pengamatan dan Analisi Data

Pengamatan dilakukan dengan mengukur panjang koloni Ganoderma sp.

pada permukaan balok kayu yaitu saat balok kayu dibenam (Xt0), 6 hari setelah

balok kayu di benam (Xt1), dan 12 hari setelah balok kayu di benam (Xt2).

Pengamatan laju pertumbuhan koloni Ganoderma sp. pada balok kayu

menggunakan rumus Van Der Plank (1963) sebagai berikut:

22

r = 2.3

log Xt

t X0

Keterangan :

r = Laju pertumbuhan patogen (unit-1

hari-1

)

Xt = Panjang koloni patogen pada balok kayu setelah waktu t

X0 = Panjang koloni patogen pada balok kayu saat t = 0

t = Waktu selang pengukuran Xt dan X0 (hari)

Gambar 2 Pengukuran panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu

sengon.

Penelitian pada balok kayu di rumah kaca disusun berdasarkan Rancangan

Acak Lengkap (RAL) 2 faktor dengan 3 ulangan. Faktor pertama (A) adalah tanah

dengan dua taraf yaitu A0 (tanpa sterilisasi tanah) dan A1 (sterilisasi tanah).

Faktor kedua (B) adalah aplikasi Trichoderma sp. dengan dua taraf yaitu B0

(tanpa Trichoderma) dan B1 (dengan Trichoderma sp.). Model statistik pada

penelitian ini adalah Model Faktorial RAL, sebagai berikut :

Yijk = μ + άi +βj + (άβ)ij + εijk

Keterangan :

Yijk : Nilai pengamatan peubah yang dipengaruhi oleh sterilisasi tanah ke-i,

Trichoderma sp. ke-j, dan ulangan ke-k

μ : Rataan umum

άi : Pengaruh sterilisasi tanah ke-i

βj : Pengaruh Trichoderma sp. ke-j

(άβ)ij : Pengaruh interaksi sterilisasi tanah ke-i dan jenis Trichoderma sp. ke-j

εijk : Pengaruh galat sterilisasi tanah ke-i, Trichoderma sp. ke-j dan ulangan

ke-k

Data kuantitatif dari diameter pertumbuhan koloni dianalisis dengan

menggunakan SAS 9.00. Apabila terdapat data yang signifikan akan dilanjutkan

dengan uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 95%.

Xo Xt

23

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Pertumbuhan Diameter Koloni Ganoderma sp.

Hasil pengamatan pada agar cawan menunjukkan bahwa pertumbuhan

diameter koloni isolat Ganoderma sp. pada media PDA lebih cepat dibandingkan

dengan pertumbuhan koloni isolat pada media MEA (Gambar 3.1). Pertumbuhan

diameter koloni isolat Ganoderma sp. selama 12 hari pada media PDA dan MEA

berturut-berturut adalah 89.9 dan 62.3 mm. Secara visual miselia Ganoderma sp.

pada kedua media terlihat sama, baik dari segi warna yaitu putih kapas dan dari

segi tekstur adalah halus. Miselia pada media PDA lebih tebal dan merata

dibandingkan dengan miselia pada MEA.

Gambar 3.1 Pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. pada cawan Petri

pada hari ke-12. A) isolat Ganoderma sp. pada media PDA, B) isolat

Ganoderma sp. pada media MEA

Gambar 3.2 Rata-rata pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. pada

media PDA dan MEA. ‒▲‒ Media PDA, ‒♦‒ Media MEA

-

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Dia

met

er

ko

loni

iso

lat

Ga

no

der

ma

sp

. (m

m)

Waktu (hari)

A B

24

Pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. pada media PDA lebih

cepat dibanding dengan pertumbuhan diameter koloni isolat pada media MEA

(Gambar 1.2). Pada media PDA diameter pertumbuhan koloni Ganoderma sp.

mampu memenuhi cawan Petri pada hari ke-12, sedang pada media MEA

pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. memenuhi cawan Petri pada hari

ke-14.

Hasil analisis ragam menunjukkan adanya perbedaan rata-rata

pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. isolat pada kedua media. Rata-rata

pertumbuhan diameter koloni isolat Ganoderma sp. sebesar 7.09 mm h-1

pada

media PDA berbeda nyata dengan pertumbuhan diameter koloni isolat pada media

MEA dengan nilai 5.41 mm h-1

.

Pertumbuhan Diameter Koloni Trichoderma spp.

Hasil pengamatan pada agar cawan menunjukkan bahwa pertumbuhan

ketiga koloni isolat Trichoderma spp. pada masing-masing media memiliki

perbedaan secara umum baik dari segi pertumbuhan diameter koloni miselia,

warna, tekstur dan ketebalan miselia. Secara umum pertumbuhan diameter koloni

yang tercepat pada T. viride adalah di hari kedua pada media PDA, sedangkan

pada T. pseudokoningii adalah pada media MEA (Gambar 4.2). Pengamatan

visual pertumbuhan T. harzianum pada media PDA terlihat sirkuler, bagian

tengah berwarna putih kehijauan dan bagian luar berwarna hijau tua (Gambar

4.1A). Pengamatan visual koloni isolat T. harzianum pada media MEA terlihat

sirkuler, dan terdiri dari lapisan warna yang berbeda yaitu bagian dalam berwarna

hijau tua, lapisan ke-2 agak transparan, lapisan ke-3 berwarna hijau tua, lapisan

ke-4 berwarna putih tipis dan lapisan paling luar berwarna hijau tua (Gambar

4.1B). Koloni isolat T. pseudokoningii pada media PDA tumbuh menyebar,

berwarna hijau muda dan berukuran tipis (Gambar 4.1C). Koloni isolat T.

pseudokoningii pada media MEA terlihat menyebar, berwarna hijau muda, dan

agak tebal (Gambar 4.1D). Koloni isolat T. viride pada media PDA berbentuk

kapas tebal, bagian tengah berukuran tipis, dan berwarna putih (Gambar 4.1E),

sedangkan koloninya pada media MEA membentuk titik-titik berwarna hijau

muda, dan tebal (Gambar 4.1F).

Isolat T. pseudokoningii dan T. harzianum pada media PDA di hari

pertama memiliki pertumbuhan diameter yang sama yaitu 13.67 mm, namun

untuk isolat T. viride pertumbuhan diameter koloninya lebih besar dari kedua

isolat, yaitu 29.50 mm. Pada hari ke-2 terjadi penambahan pertumbuhan diameter

koloni pada ketiga isolat yaitu T. pseudokoningii sebesar 9.30 mm, T. harzianum

sebesar 35.50 mm dan T. viride sebesar 40.70 mm. Hasil tersebut menunjukkan

bahwa pertumbuhan isolat T. viride pada hari ke-2 lebih cepat dibandingkan

kedua isolat lainnya. Memasuki hari ke-3 terjadi penurunan laju pertumbuhan

isolat T. harzianum menjadi 23.90 mm dan T. viride menjadi 18.80 mm,

sedangkan T. pseudokoningii meningkat dengan nilai 18.50 mm. Ketiga jenis

isolat memenuhi cawan Petri pada hari ke-4 (Gambar 4.2A).

25

Gambar 4.1 Pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. pada cawan

petri. A) Isolat T. harzianum pada media PDA, B) T. harzianum

pada media MEA, C) isolat T. pseudokoningii pada media PDA, D)

isolat T. pseudokoningii pada media MEA, E) isolat T. viride pada

media PDA, dan F) isolat T. viride pada media MEA.

Pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. pada media MEA

untuk hari pertama diperoleh hasil pada isolat T. viride sebesar 16.20 mm, T.

harzianum sebesar 28 mm dan T. pseudokoningii sebesar 39.2 mm. Pada hari ke-2

terjadi penambahan laju pertumbuhan diameter koloni pada ketiga isolat T.

harzianum (29.70 mm), T. viride (34.20 mm) dan T. pseudokoningii (50.80) mm.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan isolat T. pseudokoningii pada

hari ke-2 lebih cepat dibanding kedua isolat lainnya. Memasuki hari ke-3 dan ke-4

A

C

B

E

D

F

26

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4Dia

met

er k

olo

ni

iso

lat

(mm

)

Waktu pengamatan (hari)

A

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4

Dia

met

er k

olo

ni

iso

lat

(mm

)

Waktu pengamatan (hari)

B

terjadi penurunan laju pertumbuhan isolat T. pseudokoningii sampai titik nol yang

menghasilkan ukuran diameter yang tetap yaitu 90 mm. Isolat T. harzianum juga

mengalami penurunan pada hari ke-3 dan ke-4, sedangkan T. viride mengalami

penurunan pada hari ke-4 (Gambar 4.2B).

Gambar 4.2 Rata-rata pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. A)

pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. pada media

PDA, B) pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp. pada

media MEA. ‒■‒ T. harzianum, ‒♦‒ T. pseudokoningii, ‒▲‒

T. viride.

Hasil analisis ragam pertumbuhan diameter koloni isolat Trichoderma spp.

pada media PDA diperoleh pertumbuhan diameter koloni isolat tertinggi pada T.

viride tidak berbeda nyata dengan pertumbuhan diameter koloni isolat pada T.

pseudokoningii dan T. harzianum. Sedang pertumbuhan diameter koloni isolat

Trichoderma spp. pada media MEA diperoleh pertumbuhan diameter koloni isolat

tertinggi pada T. pseudokoningii yang berbeda nyata dengan pertumbuhan

diameter koloni isolat T. viride dan T. harzianum (Tabel 1).

Tabel 1 Pertumbuhan diameter koloni Trichoderma spp. pada media PDA dan

MEA.

Media Isolat

T. harzianum T. viride T. pseudokoningii

PDA 25.44b 27.08

b 25.45

b

MEA 27.17b 28.33

b 50.83

a

aAngka-angka pada baris yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda

nyata pada taraf uji 5% (uji berganda Duncan).

Penghambatan Trichoderma spp. terhadap Pertumbuhan Ganoderma sp.

Hasil pengamatan penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan

diameter koloni isolat Ganoderma sp. menunjukkan bahwa ketiga jenis

Trichoderma dapat menghambat pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp..

Penghambatan ketiga jenis Trichoderma yang digunakan ditandai dengan adanya

zona penghambatan (Gambar 5.1). Hal tersebut didukung oleh Achmad (1997)

27

yang menyatakan bahwa Trichoderma sp. bersifat sebagai antagonis secara in

vitro dengan terbentuknya zona penghambatan yang merupakan indikasi awal

terlibatnya antibiotik dan antagonisme baik pada media PDA maupun MEA.

Gambar 5.1 Penghambatan pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. oleh

Trichoderma spp. pada media PDA dan MEA. G = Ganoderma sp.

Th = T. harzianum, Tv = T. viride, Tp = T. pseudokoningii

Persentase penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan

diameter koloni Ganoderma sp. pada media PDA diperoleh rata-rata

penghambatan tertinggi pada perlakuan T. harzianum (74.19%), T pseudokoningii

(59.37%), dan T. viride (41.36%) (Gambar 5.2). Persentase penghambatan pada

media MEA secara berturut-turut diperoleh rata-rata penghambatan tertinggi

yaitu T. harzianum (73.00%), T. pseudokoningii (60.22%), dan T. viride

(51.58%).

MEA

PDA MEA

PDA MEA

G

G

G

G

Th Th

Tv

Tp Tp

G

PDA

G Tv

28

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Th Tp Tv

Per

sen

tase

pen

gh

am

ba

tan

(%)

Jenis Trichoderma

Gambar 5.2 Persentase penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan

diameter koloni Ganoderma sp. pada media PDA dan MEA. Th = T.

harzianum, Tp = T. pseudokoningii, Tv = T. viride. (■) Media PDA,

( ) Media MEA.

Pengendalian Ganoderma sp. pada Balok Kayu Sengon di Rumah Kaca

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan koloni Ganoderma sp.

dan T. harzianum pada substrat balok kayu secara visual terlihat jelas (Gambar

6.1). Pada perlakuan tanah tidak steril tanpa T. harzianum terlihat koloni

Ganoderma sp. berwarna putih terang (Gambar 6.1A). Pada perlakuan tanah tidak

steril + T. harzianum telihat sporulasi T. harzianum pada permukaan balok kayu

sengon yang berwarna hijau, bila diperhatikan terlihat banyak konidia yang

berwarna hijau, dan terlihat koloni Ganoderma sp. berwarna putih dengan luasan

yang lebih kecil dibanding dengan perlakuan yang lain (Gambar 6.1B). Perlakuan

tanah steril tanpa T. harzianum terlihat koloni Ganoderma sp. yang hampir

memenuhi permukaan balok kayu sengon dengan warna putih kapas (Gambar

6.1C). Pada perlakuan tanah steril + T. harzianum terlihat sporulasi T. harzianum

yang berwarna hijau dan koloni Ganoderma sp. pada permukaan balok kayu

sengon dengan warna putih (Gambar 6.1D).

Rata-rata nilai pertumbuhan panjang koloni Ganoderma sp. pada balok

kayu dapat dilihat pada Gambar 6.2. Penurunan pertumbuhan panjang koloni

Ganoderma sp. saat satu minggu setelah balok kayu dibenam (Xt1) diperoleh nilai

penurunan panjang koloni tertinggi sebesar 1.12 cm pada perlakuan tanah steril +

T. harzianum, sedang pada perlakuan tanah steril tanpa T. harzianum terjadi

pertambahan panjang koloni sebesar 0.67 cm. Demikian halnya pada saat dua

minggu setelah balok kayu di benam (Xt2) pada perlakuan tanah steril + T.

harzianum terjadi penurunan panjang koloni sebesar 2.41 cm, sedang pada

perlakuan tanah steril tanpa T. harzianum justru terjadi pertambahan panjang

koloni Ganoderma sp. sebesar 1.22 cm. Weller (1988) menyatakan bahwa

pengendalian hayati sering dipengaruhi oleh faktor biotik maupun abiotik. Hal

tersebut diduga diakibatkan oleh kemampuan pengaruh sterilisasi tanah yang

mengakibatkan T. harzianum tidak berkompetisi dengan mikroorganisme tanah

lain sehingga mampu menghambat pertumbuhan koloni Ganoderma sp. pada

substrat balok kayu.

29

0

1

2

3

4

5

6

A0B0 A0B1 A1B0 A1B1Rat

a-ra

ta p

ertu

mb

uhan

ko

loni

Ga

no

der

ma

sp.

(cm

)

Perlakuan

Gambar 6.1 Pertumbuhan koloni Ganoderma sp. dan sporulasi T. harzianum

pada balok kayu sengon di rumah kaca. A) perlakuan tanah tidak

steril tanpa T. harzianum (A0B0), B) perlakuan tanah tidak steril +

T. harzianum (A0B1), C) perlakuan tanah steril tanpa T. harzianum

(A1B0), dan D) perlakuan tanah steril + T. harzianum (A1B1).

Gambar 2.3 Pertumbuhan koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu di

rumah kaca. A0B0 = tanah tidak steril tanpa T. harzianum, A0B1=

tanah tidak steril dengan T. harzianum, A1B0 = tanah steril tanpa T.

harzianum, dan A1B1 = tanah steril dengan T. harzianum. ( ) Xt0,

( ) Xt1, ( ) Xt2. Xt0 = panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat

balok kayu saat dibenam, Xt1 = panjang koloni Ganoderma sp. pada

substrat balok kayu satu minggu setelah pembenaman, dan Xt2 =

panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok kayu dua minggu

setelah pembenaman.

B

V A C D

30

PEMBAHASAN

Secara visual miselia Ganoderma sp. pada media PDA dan MEA terlihat

sama, baik dari segi warna yaitu putih kapas dan dari segi tekstur adalah halus.

Miselia Ganoderma sp. pada media PDA lebih tebal dan merata dibandingkan

dengan miselia pada media MEA. Pertumbuhan diameter koloni isolat

Ganoderma sp. pada media PDA lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan

diameter koloni isolat pada media MEA. Perbedaan tersebut diduga terjadi karena

kedua jenis media memiliki kandungan nutrisi yang berbeda. Chang dan Miles

(1989), menyatakan bahwa cendawan untuk dapat tumbuh membutuhkan

beberapa elemen nutrisi dalam jumlah yang spesifik dalam media sesuai dengan

spesies dari cendawan tersebut. Media yang banyak digunakan di laboratorium

terbuat dari ekstrak bahan alami yang mengandung karbohidrat dan hara lain.

Bahan alami yang banyak digunakan untuk menumbuhkan cendawan secara in-

vitro adalah ekstrak kentang, tepung jagung, dan malt ekstrak atau kecambah

gandum (Agrios 1997).

Media PDA memiliki kandungan nutrisi karbohidrat, air, dan protein yang

berasal dari ekstrak kentang, glukosa dan agar. Menurut Achmad (1997) bahwa

PDA merupakan media kaya dengan gula sederhana sebagai sumber karbon. Dari

setiap 100 g dalam bentuk utuh mengandung protein 1.6 g, serat 0.6 g, fosfor 40

mg, vitamin C 17 mg, vitamin B2 0.01 mg, magnesium 30 mg, kalium 2.47 mg,

karbohidrat 22.6 g, lemak 0.1 g, kalsium 10 mg, zat besi 0.1 mg, vitamin B1 0.1

mg, niacin 1.2 mg, dan sodium 11 mg (Al-Weshahy dan Rao 2012).

Bagaimanapun juga kandungan beberapa unsur tersebut tersedia di dalam ekstrak

kentang sudah barang tentu lebih rendah. Media MEA mengandung nitrogen,

karbohidrat, dan sodium klorida. Disamping malt ekstrak juga vitamin yang

berbeda jumlahnya dengan ekstrak kentang, baik dalam jenis maupun jumlahnya.

Sumber karbon pada PDA berasal dari gula sederhana. Karbohidrat diperlukan

untuk pertumbuhan koloni cendawan, pembentukan struktur dan keperluan energi

bagi sel cendawan. Dalam ekstrak kentang terkandung senyawa-senyawa asam

amino, asam organik, enzim, fenol, solanin dan unsur (Smith 1968).

Nitrogen digunakan oleh cendawan dalam sistesis protein, purine,

pirimidin dan komponen kitin pada dinding sel cendawan (Chang dan Miles

1989). Nitrogen dibutuhkan oleh semua organisme untuk mensintesa asam amino

dan membentuk protein yang dibutuhkan untuk membentuk protoplasma. Tanpa

protein, pertumbuhan tidak dapat terjadi. Cendawan dapat menggunakan nitrogen

anorganik untuk pembentukan nitrat, nitrit, ammonia atau nitrogen organik untuk

pembentukan asam amino. Tidak semua cendawan menggunakan sumber nitrogen

dengan jenis yang sama dan setiap cendawan membutuhkan nitrogen dalam

bentuk yang berbeda-beda (Moore 1982).

Seperti telah disebutkan di atas bahwa ekstrak malt dan ekstrak kentang

juga mengandung mineral dan vitamin. Mineral berfungsi sebagai aktivator enzim

dan vitamin berfungsi sebagai katalisator di dalam sel yaitu sebagai koenzim atau

merupakan bagian yang menyusun koenzim (Chang dan Miles 1989; Hadi 1999).

Moore (1972) menjelaskan akan pentingnya unsur karbon bagi cendawan karena

cendawan membutuhkan unsur karbon dalam jumlah yang besar daripada unsur-

unsur esensial yang lain dan karbon merupakan nutrisi yang pokok dan terpenting

pada cendawan.

31

Pertumbuhan serta perkembangan cendawan akan sangat dipengaruhi oleh

sejumlah faktor. Menurut Dhingra dan Sinclair (1985), faktor tersebut di

antaranya ialah suhu, cahaya, udara, pH serta nutrisi. Apabila kandungan nutrisi

kurang dan kondisi ruang tumbuh sempit maka pertumbuhan Trichoderma spp.

akan melambat dan tidak mampu untuk membentuk konodium. Danielson dan

Davey (1973), menyatakan bahwa konidia Trichoderma spp. memerlukan nutrisi

dari luar agar berkecambah.

Uji penghambatan Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan koloni isolat

Ganoderma sp. menunjukkan bahwa ketiga jenis Trichoderma spp. yang di uji

dapat menghambat pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp.. Penghambatan

ketiga jenis Trichoderma yang digunakan terlihat dengan adanya zona

penghambatan (Gambar 5.1). Trichoderma sp. bersifat sebagai antagonis secara

in vitro dengan terbentuknya zona penghambatan yang merupakan indikasi awal

terlibatnya antibiotik dan antagonisme baik pada media PDA maupun MEA

(Achmad 1997). Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Abadi (1987)

dan Dharmaputra (1989) yang menyatakan bahwa Trichoderma spp. dapat

menghambat pertumbuhan Ganoderma boninense.

Pertumbuhan koloni Trichoderma spp. pada media PDA dan MEA lebih

cepat dari pada pertumbuhan koloni Ganoderma sp. sehingga Trichoderma spp.

mempunyai kemampuan kompetisi lebih tinggi. Dennis dan Webster (1971)

menyatakan bahwa Trichoderma sp. mempunyai daya antagonis yang tinggi dan

dapat mengeluarkan racun (mikotoksin) yaitu senyawa yang dapat menghambat

bahkan dapat mematikan cendawan lain. Penghambatan pada perlakuan T.

harzianum lebih kuat dibanding dengan T. viride, dan T. pseudokoningii. Hal ini

didukung oleh Achmad et al. (2010) yang mengemukakan bahwa T.harzianum

lebih kuat menghambat pertumbuhan patogen lodoh secara in vitro pada patogen

lodoh Pinus merkusii, mengakibatkan terbentuknya zona hambatan yang lebih

besar dan menghasilkan kitinase yang lebih efektif mendegradasi kitin dibanding

T. pseudokoningii. Terbentuknya zona penghambatan antagonisme pada media

padat menunjukkan bahwa cendawan antagonis mendifusikan metabolit yang

dapat menghambat pertumbuhan cendawan patogen (Achmad 1997). Lebih lanjut

Baker dan Scher (1987) menyatakan bahwa pengujian antibiosis melalui

pembentukan zona hambatan pada media agar, dapat disebabkan oleh mikroba

yang menghasilkan antibiotik yang larut atau tidak larut.

Mekanisme dalam antagonisme antar jasad renik, yaitu antibiosis,

kompetisi, dan mikoparasitisme (Baker dan Cook 1974). Terbentuknya zona

penghambatan pada media padat merupakan indikasi bekerjanya mekanisme

antibiosis. Bekerjanya mekanisme antibiosis tersebut dikuatkan oleh tertekannya

pertumbuhan cendawan patogen pada media padat. Terbentuknya penghambatan

terhadap pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp. diduga karena adanya

enzim dan senyawa metabolit yang diproduksi oleh Trichoderma spp. yang

mungkin mampu merusak dinding sel Ganoderma sp.. Kerusakan pada dinding

sel mengakibatkan rusaknya susunan dan perubahan mekanisme permeabilitas

dari mikrosom, lisosom dan dinding sel. Kerusakan pada membran ini

memungkinkan ion anorganik yang penting, nukleotida, koenzim dan asam amino

berosmosis ke luar sel. Selain itu, kerusakan membran dapat mencegah masuknya

bahan-bahan penting ke dalam sel karena membran sitoplasma juga

mengendalikan pengangkutan aktif dalam sel (Volk dan Wheeler 1993).

32

Mekanisme antibiosis dapat melibatkan metabolit beracun (toksin) atau

enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh cendawan antagonis. Trichorderma sp.

menghasilkan toksin trikhor dermin yang merupakan suatu senyawa sesquiterpen,

dermadin yaitu asam berbasa tunggal yang aktif terhadap cendawan dengan

kisaran yang luas dan meliputi bakteri gram positif dan gram negatif, serta dua

senyawa peptida yang bersifat antifungal sekaligus anti bakterial. Tertekannya

pertumbuhan cendawan patogen menunjukkan mekanisme kompetisi dalam

antagonisme, dalam hal ini cendawan antagonis lebih kompetitif dalam

memanfaatkan ruang tumbuh dan nutrisi. Selama Trichoderma spp. tumbuh aktif

menghasilkan sejumlah besar enzim ekstra selular ß (1.3) glukonase, dan kitinase,

yang dapat melarutkan dinding sel patogen (Lewis dan Papavizas 1984).

Hasil pengamatan pengendalian Ganoderma sp. pada balok kayu sengon

di rumah kaca menunjukkan adanya penekanan pertumbuhan koloni Ganoderma

sp. sebagai akibat perlakuan T. harzianum. Kemampuan T. harzianum dalam

menekan pertumbuhan Ganoderma sp. diduga merupakan bentuk dari

kemampuannya sebagai kompetitor yang unggul dalam mendapatkan ruang dan

nutrisi atau merupakan bentuk dari kemampuannya sebagai antagonis. Hal ini

sesuai dengan pendapat Wells (1988) yang menyatakan bahwa T. harzianum

dapat tumbuh dengan cepat pada berbagai substrat dan memiliki kemampuan

kompetisi yang baik terhadap makanan dan ruang. Pada permukaan balok kayu

sengon dengan perlakuan Ganoderma sp. terjadi perubahan warna dari putih

menjadi putih kecoklatan. Ini terjadi karena adanya kemampuan Ganoderma sp.

menghasilkan enzim hidrolitik terutama selulase sebagai pelapuk (Domsch et al.

1980).

Kemampuan T. harzianum yang secara konsisten melakukan kompetisi

tidak terlepas dari kemampuannya dalam merubah strategi berdasarkan kondisi

lingkungannya. Dalam kondisi lingkungan yang sesuai T. harzianum mampu

menghasilkan konidia yang melimpah dan menyebar dengan cepat sehingga

memiliki daya kompetitif yang tinggi. Karena itu T. harzianum diklasifikasikan

sebagai ruderal dan oportunis (Williams et al 2003).

Mekanisme interaksi antara T. harzianum dan Ganoderma sp. pada

substrat balok kayu terjadi melalui kompetisi terhadap sumber makanan.

Kompetisi biasanya terjadi terhadap nutrisi dan ruang atau faktor-faktor

pertumbuhan penting lainnya (Achmad. 1997). Selain mekanisme kompetisi,

antagonisme yang terjadi pada substrat balok kayu, kemungkinan terjadi melalui

mikoparasitisme sekrotrofik (Papavizas 1985). Hasil pengamatan pada substrat

balok kayu yang diperlakukan dengan T. harzianum menunjukkan terjadinya

sporulasi yang menutupi semua permukaan substrat. Untuk menghancurkan

inokulum, maka antagonis yang efektif memarasit patogen, dengan kemampuan

saprofitiknya kuat dan beradaptasi dengan baik pada lingkungan fisik tanah

tempat antagonis tersebut diinfestasikan (Achmad 1997).

Pertumbuhan Ganoderma sp. pada balok kayu sengon pada perlakuan

tanah tidak steril + T. harzianum lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan

tanah tidak steril tanpa T. harzianum. Pada balok kayu nampak adanya perubahan

warna dari putih menjadi coklat. Hal tersebut diduga adanya pengaruh perlakuan

T. hazianum dan mikroorganisme tanah pada tanah tidak steril yang bekerja

sebagai agens antagonis yang mampu menghambat pertumbuhan koloni

Ganoderma sp. Pertumbuhan Ganoderma sp. pada balok kayu sengon dengan

33

perlakuan tanah steril tanpa T. harzianum yang ditandai dengan perubahan warna

dari putih menjadi coklat kehitaman. Hal ini diduga pada tanah steril tanpa T.

harzianum tidak terjadi kompetisi terhadap nutrisi yang dibutuhkan Ganoderma

sp. dalam pertumbuhannya sehingga Ganoderma sp. mampu menghasilkan enzim

hidrolitik terutama selulase sebagai pelapuk (Domsch et al. 1980). Selanjutnya

Abadi (1987) menyatakan bahwa G. boninense dapat tumbuh pada tanah steril dan

tidak pada tanah tidak steril dalam cawan petri. Kerry dan Bourne (1996)

menegaskan bahwa tanah tidak steril berisi mikroba lain yang telah berada

sebelumnya dalam hal ini dapat berperan sebagai kompetitor. Pada tanah tidak

steril diperkirakan menghadapai kompetisi nutrisi atau mikrohabitat dengan

mikroba lain, mengalami predasi oleh protozoa (Hossain dan Alexander 1984)

atau lisis karena bakteriofage (Keel et al. 2002; Janowitz 2004) dapat terjadi

sehingga mempengaruhi kemampuan antagonis dalam memberikan penekanan

terhadap patogen.

Trichoderma spp. adalah salah satu jenis cendawan yang digunakan

sebagai pengendali hayati karena terdapat di mana-mana, mudah diisolasi dan

dibiakkan, tumbuh dengan cepat pada beberapa macam substrat, mempengaruhi

patogen tanaman, jarang bersifat patogenik pada tanaman tingkat tinggi, bereaksi

sebagai mikoparasit, bersaing dengan baik dalam hal makanan, tempat dan

menghasilkan 24 antibiotik (Wells 1988). Trichoderma sp. dapat digunakan

sebagai agen biokontrol melawan beberapa cendawan petogenik tular tanah

(Anggraeni 2004). Mekanisme pengendalian T. harzianum bersifat khusus

terhadap sasaran, sehingga tidak menimbulkan musnahnya organisme yang bukan

sasaran. Darmono (1994) mengemukakan bahwa penggunaan cendawan antagonis

sebagai pengendali patogen merupakan salah satu alternatif yang dianggap aman

dan dapat memberikan hasil yang cukup memuaskan. Pengendalian hayati

terhadap patogen dengan menggunakan mikroorganisme antagonis dalam tanah

memiliki harapan yang baik untuk dikembangkan karena pengaruh negatif

terhadap lingkungan tidak ada. T. harzianum mempunyai kemampuan untuk

menghasilkan enzim hidrolitik β-1-3 glukanase, kitinase dan selulase. Enzim-

enzim inilah yang secara aktif merusak sel-sel cendawan lain yang sebagian besar

tersusun dari 1,3 glukan (linamirin) dan kitin sehingga dengan mudah T.

harzianum dapat melakukan penetrasi ke dalam hifa cendawan inangnya (Elad et

al. 1983). Degradasi kitin T. harzianum dilakukan secara bertahap, dan hal

tersebut menunjukkan dihasilkannya kitinase secara terus-menerus (Achmad

1997).

34

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Trichoderma spp. dapat menghambat pertumbuhan diameter koloni

Ganoderma sp. pada cawan Petri secara in vitro. Persentase daya hambat

Trichoderma spp. terhadap pertumbuhan koloni Ganoderma sp. pada media PDA

diperoleh persentase penghambatan tertinggi pada perlakuan T. harzianum

(74.19%), T. pseudokoningii (59.37%), dan T. viride (41.36%). Sedangkan

Persentase penghambatan terhadap pertumbuhan koloni Ganoderma sp. pada

media MEA secara berturut-turut diperoleh persentase penghambatan tertinggi

yaitu T. harzianum (73.00%), T. pseudokoningii (60.22%), dan T. viride

(51.58%). Penghambatan tersebut terjadi melalui mekanisme antagonisme dengan

terbentuknya zona penghambatan. Kemampuan T. harzianum pada tanah steril

mampu menurunkan pertumbuhan koloni Ganoderma sp. pada balok kayu sengon

di rumah kaca sebesar 1.12 cm pada satu minggu setelah balok kayu dibenam dan

2.41 cm pada dua minggu setelah balok kayu dibenam.

Saran

Trichoderma spp. dapat dipertimbangkan sebagai salah satu agens hayati

dalam pengendalian Ganoderma sp. yang menyerang tanaman sengon secara in

vitro dan skala rumah kaca.

35

DAFTAR PUSTAKA

Abadi AL. 1987. Biologi Ganoderma boninense Pat. pada kelapa sawit (Elaesis

guineensis Jacg.) dan pengaruh beberapa mikroba tanah antagonistik

terhadap pertumbuhannya. [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Achmad. 1997. Mekanisme serangan patogen dan ketahanan inang serta

Pengendalian Hayati Penyakit Lodoh pada Pinus merkusii. [disertasi].

Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Achmad, Hadi S, Harran S, Gumbira SE, Satiawiharja B, Kosim. 2010. Aktivitas

antagonisme in vitro T. harzianum dan T. pseudokoningii terhadap patogen

lodoh Pinus merkusii. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 7(5): 233-240.

Adaskaveg JE, Ogawa JM. 1990. Wood decay pathology of fruit and nut trees in

California. Plant Disease. 74: 341-352.

Agrios GN. 1997. Plant Pathology. New York (US): Academic Press.

Allen GU. 1994. Pedology. London: Trans By T.R.Patton.

Al-Weshahy A, Rao VA. 2012. Potato Peel as a Source of Important

Phytochemical Antioxidant Nutraceuticals and Their Role in Human

Health - A Review. Di dalam: Venketeshwer Rao, editor. Phytochemicals

as Nutraceuticals - Global Approaches to Their Role in Nutrition and

Health. Chapter 11. InTech Europe. Rijeka, Croatia: 207-224.

Anggraeni I. 2004. Identifikasi dan patogenitas penyakit akar pada Acacia

mangium Willd. Buletin Penelitian Hutan. 645: 61-73.

Awang, San Afri W, Andayani B, Himmah WT. Widayanti A, Afianto. 2002.

Hutan rakyat, sosial ekonomi, dan Pemasaran. Fakultas Ekonomi

Universitas Gaja Mada, Yogyakarta.

Bassett K, Peters RN. 2003. Ganoderma; a significant root pathogen).

Arborilogical Services Inc. Publication.

Baker KF, Cook RJ. 1974. Biological control of plant pathogens. Freeman WH

and Co. San Fransisco. 433 p.

Baker RY, Scher FM. 1987. Enhancing the activity of biological control agents.

New York. PP. 1-8

Blanchette RA. 1984. Screening wood decayed by white rot fungi for preferential

lignin degradation. Applied Environmental Microbiology. 48: 647-653.

Chang ST, Miles PG. 1989. Edible Mushrooms and Their Cultivation. Boca

Raton: CRC Press, Inc.

Charomaini M, Suhaendi H. 1997. Genetic variation of Paraserianthes falcataria

seed sources in Indonesia and its potential in tree breeding programs.

Dalam: Zabala, N. (ed.) Workshop international tentang spesies Albizia

dan Paraserianthes, 151–156. Prosiding workshop, 13–19 November 1994,

Bislig, Surigao del Sur, Filipina. Forest, Farm, and Community Tree

Research Reports (tema khusus). Winrock International, Morrilton,

Arkansas, AS.

Chet I. 1987. Trichoderma-application, mode of action, and potential as

biocontrol agent of soil-borne plant pathogenic fungi. Innovative

approaches to plant diseases control. John Wiley and Sons, A Wiley-

Interscience Publication, USA. pp. 11-210.

36

Chet I, Viterbo A, Shoresh M. 2004. Enhancement of plant disease resistance by

the biocontrol agent T. asperellum. Departement of Biology. Chemistry.

www.weizmann.ac.il. 2013.

Cook RJ, Baker KF. 1983. The nature and practice of biological control of plant

pathogens. The American Phytopathological Society, St. Paul, Minnesota

539 p.

Coșkuntuna A, Özer N. 2007. Biological control of onion rot disease using

Trichoderma harzianum and induction of antifungal compounds in onion

set following seed treatmen. Departement of plant protection, Faculti of

Agriculture, Namik Kemal University, Tekirdağ 59030, turkey 27 : 330-

336.

Darmono T. 1994. Kemampuan beberapa isolat Trichoderma spp. dalam menekan

inokulum Phytophthora sp. di dalam jaringan buah kakao. Menara

Perkebunan. 62(2):25-29.

Dennis C, Webster J. 1971. Antagonistic properties of species groups of

Trichoderma. III. Hyphal interaction. Trans. Br. Mycol. Soc. 57 : 363-369.

Dharmaputra OS. 1989. Fungi antagonistik terhadap ganoderma boninense Pat.

penyebab penyakit busuk batang kelapa sawit. Sumatera Utara. Laporan

Tahunan kerjasama penelitian PP Marihat-Biotrop. P.28-45.

Dhingra OD, Sinclair JB. 1985. Basic plant pathology methods. Boca Raton,

Florida. CRC Press, Inc

Domsch KH, Anderson TH. 1980. Compendium of soil fungi. Vol. I. Academic

Press. London.

Elad Y, Chet I, Boyle P, Henis Y. 1983. Parasitism of Trichoderma spp. on

Rhizoctonia Solani and Sclerotium rolfsii. Scanning electron microscopy

and fluorescense microscopy. Phytopathology. 73:85-88.

Hadar Y, Henis Y, Chet I. 1979. Biological control of Rhizoctonia solani

Dumping-off with bran culture of Trichoderma harzianum.

Phytopathology. 69:64-68.

Hadiwiyono. 1996. Pengendalian hayati Ganoderma boninense Pat. (Penyebab

busuk pangkal batang kelapa sawit) Oleh Trichoderma, Gliocladium, dan

Pseudomonas Kelompok fluoresen. Tesis Program Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor.

Hepting GH. 1971. Diseases of forest dan shade trees of the United states. US

Department of Agriculture, Agricultural Handbook 386; 1- 658.

Herliyana EN, Darmono T, Minarsih, Hayati. 2012. Root diseases Ganoderma sp.

on the Sengon in West and East Java. Journal of Tropical Forest

Management 18 (2):94-99. DOI:10.7226/jtfm.18.2.94.

Hossain AKM, Alexander M. 1984. Enhancing soybean rhizosphere colonization

by Rhizobium japonicum. Appl Environ Microbiol. 48: 468-472.

Janowitz J. 2004. Culture independence characterization of soil bacteriophage in

agroecosystems. CASNR. Honors research and creative achievement

project. University of Tennessee, Knoxville.

Karsten P. 1881. Numeratio boletinearum et Polyporearum fennicarum,

Systemate novo dispositarum. Rev. Mycol. 3: 16-19.

37

Keel C, Ucurum Z, Michaux P, Adrian M, Haas D. 2002. Deleteroius impact of a

virulent bacteriophage on survival and biocontrol activity of Pseudomonas

fluorescens strain CHA0 in natural soils. Mol Plant Microbe Interact.

15: 567-576.

Kerry BR, Bourne JM. 1996. The important of rhizosphere interaction in the

biological control of plant-parasitic nematodes-case study using

Verticillium chlamydosporium. Pestic Sci. 47: 69-75.

Irianto RSB, Barry K.N, Hidayati, Ito S, Fiani A, Rimbawanto A, Mohammed

C. 2006. Incidence and spatial analysis of root rot of Acacia mangium in

Indonesia. Journal of Tropical Forest Science. 18(3): 157-165.

Lee SS. 1996. Diseases of some tropical plantation Acacias in Peninsular

Malaysia, in K. M. Old, Lee S. S. and J. K. Sharma. Diseases of tropical

Acacias. Proc. Internat. Workchop Subanjeriji (South Sumatra). CIFOR,

Jakarta.

Lewis JR, Papavizas GC. 1991. Biocontrol of plant disease: The approach for

tomorrow. Crop Protect. 10:95-105.

Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas

Kayu Indonesia Jilid II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan,

Bogor, Indonesia.

Mile Y. 2003. Penilaian tingkat produktivitas dan kelestarian hutan rakyat.

Prosiding seminar sehari prospek pengembangan hutan rakyat di era

otonomi daerah, Loka Litbang Hutan Monsoon. Badan Litbang

Departemen Kehutanan.

Papavizas GC. 1985. Trichoderma and Gliocladium: bioecology, ecology, and

potential for biocontrol. Ann. Rev. Phytopathol. 23:23-54.

Phillips DH, Burdekin DA. 1989. Diseases of forest and ornamental trees. The

Macmillan Press LTD. London. 435p.

Rahayu S. 1994. Pola Penyebaran Penyakit Akar pada Tegakan Sengon

(Paraserianthes falcataria) di Hutan Rakyat pada Berbagai Ketinggian

Tempat. Laporan Penelitian. DPP Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah

Mada. Yogyakarta.

Reese ET, Mendels M. 1959. β_1.3 Glucanases in fungi. Can. J. Microbiology. 5:

173-185.

Salomon JD, Leiniger TD, Anderson RL, Thompson LC, McCracken FI. 1993.

Ash Pesta: A guide to major insects, diseases, air pollution injury and

chemically injury. Gen. Tech. Rep. SO-96. New Orleans, LA; U.S.

Department of Agriculture, Forest Service, Southern Forest Experiment

Station. 45 p.

Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit tanaman perkebunan di Indonesia. Gadjah

Mada University Press.Yogyakarta. 808p.

Sharma JK, Florence EJ. 1996. Fungal pathogens as potential threat to tropical

Acacias-Case Study of India in K. M. Old, Lee s. s. and J. K. Sharma.

Diseases of Tropical Acacias. Proc. Internat. Workshop Subanjeriji South

Sumatra). Cifor. Jakarta.

Soerianegara I, Lemmens RH. 1993. Plant resources of South-East Asia 5(1):

Timber trees:major commercial timbers. Pudoc Scientific Publishers,

Wageningen, Belanda.

38

Steyaert RL. 1967. Les Ganoderma palmicoles.Bull.Jard. Bot. Nat. Belg. :J7: 465

- 492.

Turner PD. 1981. Oil palm diseases and disorder. Oxford University Press.

Kualalumpur. 280p.

Van der Plank JE. 1963. Plant disease. Epidemics and control. Academic Press.

New York. 344p.

Webster J, Dennis. 1971. Antagonistic properties of the different species group of

Trichoderma. II. Production of Volatile Antibiotics. Trans. Mycol.Soc. 57

(I): 41-48.

Weller DM. 1988. Biological control of soil borne plant pathogens in rhizosphere

with bacteria. Ann. Rev. Phytopathol. 26:379-407.

Wells HD. 1988. Trichoderma as a biocontrol agent. Pp. 71-79. in Murkeji KG

(EDS). Biocontrol of Plant Diseases. Vol. I. CRC Press, Inc. Boca Raton.

Florida.

Widyastuti SM. 1998. Trichoderma spp. As decomposing and biological control

agens isolated from Dipterocarp forest in Jambi. Prosiding internasional

seminar ecology aproach for productivity and sustainability of dipterocarp

Forest. Yogyakarta. Indonesia. 58-60.

Widyastuti SM, Sumardi, Harjono. 1999. Potensi antagonistik tiga Trichoderma

spp. terhadap delapan penyakit akar tanaman kehutanan. Buletin

Kehutanan. 36:24-38.

Widyastuti SM, Sumardi, Sumantoro P. 2001. Efektivitas Trichoderma spp.

sebgai pengendali hayati terhadap tiga patogen tular tanah pada beberapa

jenis tanaman kehutanan. Jurnal Perlindungan Hutan Tanaman.

Indonesia. 7(2):98-107.

Williams J, Clarkson JM, Mills PR, Cooper RM. 2003. Saprotrophic and

mycoparasityc components of aggressiveness of Trichoderma harzianum

groups towards the commersial mushroom Agaricus bisporus. Appl

Environ Microbiol. 96(7): 4192-4199.

Yates IE, Meredith F, Smart W, Bacon CW, Jaworski AJ. 1999. Trichoderma

viride suppresses fumonisin B1 production by Fusarium moniliforme, J.

Food Prot. 62(11): 1326 – 1332.

39

LAMPIRAN

Lampiran1 Sidik ragam diameter koloni Ganoderma sp.

Source DF Sum of

Squares

Mean

Square

F Value Pr > F

media 1 4.25041667 4.25041667 17.46 0.0139

Error 4 0.97386667 0.24346667

Corrected

Total

5 5.22428333

Lampiran 2 Sidik ragam diameter koloni Trichoderma spp.

Source DF Sum of

Squares

Mean Square F

Value

Pr > F

Media 1 402.1448000 402.1448000 23.22 0.0004

trichoderma 2 501.7124778 250.8562389 14.49 0.0006

media*trichoderma 2 571.3780333 285.6890167 16.50 0.0004

Error 12 207.818000 17.318167

Corrected Total 17 1683.053311

Lampiran 3 Sidik ragam penghambatan Trichoderma spp. terhadap

pertumbuhan diameter koloni Ganoderma sp.

Lampiran 4 Sidik ragam panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok

kayu (Xt1)

SK db JK KT F -hit p-value

perlakuan 3 0.50340150 0.16780050 13.24 0.0018

Error 8 0.10141583 0.01267698

Total 11 0.60481733

Lampiran 5 Sidik ragam panjang koloni Ganoderma sp. pada substrat balok

kayu (Xt2)

SK db JK KT F -hit p-value

perlakuan 3 0.78091902 0.26030634 42.31 <.0001

Galat 8 0.04922138 0.00615267

Total 11 0.83014040

Source DF Sum of

Squares

Mean Square F

Value

Pr > F

Media 1 48.972006 48.972006 1.78 0.2072

trichoderma 2 2207.278978 1103.639489 40.06 <.0001

edia*trichoderma 2 111.086178 55.543089 2.02 0.1758

Error 12 330.563733 27.546978

Corrected Total 17 2697.900894

40

Lampiran 6 Komponen penyusun media PDA dan MEA

Media Komponen penyusun

PDA

Karbohirdat

Protein

Air

MEA

Nitrogen

Karbohirat

Sodium klorida

41

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tiropadang, Kabupaten Tana Toraja, Provinsi Sulawesi

Selatan pada tanggal 30 Desember 1976 dari ayah Thomas Dendang dan ibu Germana

Palanda. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit

Tumbuhan, Fakultas Pertanian UNHALU, lulus pada tahun 2003. Pada tahun 2009,

penulis diterima di Program Studi Silvikultur Tropika pada Program Pascasarjana IPB.

Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementrian Kehutanan Republik

Indonesia.

Penulis bekerja sebagai Calon Peneliti di Balai Penelitian Kehutanan sejak tahun

2005 dan di tempatkan Balai Teknologi Agroforestry Ciamis.