post date
TRANSCRIPT
REFERAT
POST TERM
Oleh :
Mahar Rani, S.Ked
201110401011036
Pembimbing
dr. Subur Suprodjo, Sp.OG
SMF ILMU OBSTETRI GYNEKOLOGY
RSUD JOMBANG
2012
1
PENDAHULUAN
Istilah posterm, prolonged pregnancy, postdates dan postmature sering
digunakan secara acak dan tak jarang menimbulkan kerancuan dalam pengertian.
Istilah posmature hendaknya dibatasi untuk penggambaran janin yang
memperlihatkan adanya kelainan akibat kehamilan yang belangsung lebih lama
dari seharusnya (serotinus). Dengan demikian istilah yang kiranya tepat untuk
digunakan dalam menyatakan adanya masa kehamilan yang berkepanjangan
adalah : posterm atau “prolonged pregnancy”. Kehamilan postterm adalah
kehamilan dengan usia 42 minggu atau lebih berdasarkan perhitungan usia
kehamilan dengan menggunakan HPHT. Menurut American College of Obstetrian
& Gynaecologyst kehamilan postterm adalah usia kehamilan genap atau lebih dari
42 minggu (294 hari) dari hari pertama menstruasi terakhir.
Angka kejadian postterm sekitar 8% dari 4 juta kelahiran di United States
selama 1977. Analisa dari 27.677 kelahiran wanita Norwegia, terjadi peningkatan
dari 10% ke 27%, jika kelahiran pertama postterm. Dan menjadi 39% jika dua kali
kelahiran postterm. Di Indonesia, angka kejadian kehamilan lewat waktu kira-kira
10%; bervariasi antara 3,5-14%. Perbedaan yang lebar disebabkan perbedaan
dalam menentukan usia kehamilan. Di samping para ibu sebanyak 10% lupa akan
tanggal haid terakhir di samping sukar menentukan secara tepat saat ovulasi.
Perhitungan usia kehamilan umumnya memakai rumus Naegele, tetapi selain
pengaruh faktor di atas masih ada faktor siklus haid dan kesalahan perhitungan.
Sebaliknya Boyce mengatakan dapat terjadi kehamilan lewat waktu yang tidak
diketahui akibat masa proliferasi yang pendek.
Pada kehamilan postterm terjadi perubahan keadaan plasenta, cairan
amnion dan janin. Perubahan tersebut meningkatkan risiko luaran perinatal yang
buruk. Beberapa keadaan yang penting untuk diwaspadai adalah oligohidramnion,
aspirasi mekonium, asfiksia janin, dan distosia bahu. Untuk mengantisipasi
keadaan tersebut maka perlu memahami faktor risiko dan mempersiapkan secara
seksama pengelolaan sebelum dan selama persalinan.
2
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Menurut American College of Obstetrian & Gynaecologyst kehamilan
postterm adalah usia kehamilan genap atau lebih dari 42 minggu (294 hari) dari
hari pertama menstruasi terakhir. Ketetapan usia gestasi sebaiknya mengacu pada
hasil ultrsonografi pada trimester 1. Kesalahan perhitungan dengan rumus
Naegele dapat mencapai 20%.
Insidens kehamilan post-term tergantung pada beberapa faktor : tingkat
pendidikan masyarakat, frekuensi kelahiran pre-term, frekuensi induksi
persalinan, frekuensi seksio sesaria elektif, pemakaian USG untuk menentukan
usia kehamilan, dan definisi kehamilan post-term ( 41 atau 42 minggu lengkap ).
Faktor predisposisi terjadinya kehamilan postterm : anensepali,
hipoplasia adrenal, defisiensi plasental sulfatase. Pada keadaan diatas, tidak
terdapat kadar estrogen tinggi seperti pada kehamilan normal.
ETIOLOGI
Pertanyaan yang patut diajukan ialah mengapa terjadi penundaan partus
melewati aterm. Kini difahami bahwa menjelang partus terjadi penurunan hormon
progesteron, peningkatan oksitosin serta peningkatan reseptor oksitosin, tetapi
yang paling menentukan adalah terjadinya produksi prostaglandin yang
menyebabkan his yang kuat. Prostaglandin telah dibuktikan berperan paling
penting dalam menimbulkan kontraksi uterus. Nwosu dan kawan-kawan
menemukan perbedaan dalam rendahnya kadar kortisol pada darah bayi sehingga
menimbulkan kerentanan akan stress merupakan faktor tidak timbulnya his, selain
kurangnya air ketuban dan insufisiensi plasenta.
3
PERUBAHAN PADA KEHAMILAN POSTTERM
Terjadi beberapa perubahan cairan amnion, plasenta dan janin pada
kehamilan postterm. Dengan mengetahui perubahan tersebut sebagai dasar untuk
mengelola persalinan postterm.
Perubahan cairan amnion
Terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan
amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu sekitar 1000 ml dan
menurun sekitar 800 ml pada 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion
berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, 160 ml pada usia kehamilan
42,43 dan 43 minggu. Penurunan tersebut berhubungan dengan produksi urin
janin yang berkurang. Dilaporkan bahwa aliran darah janin menurun pada
kehamilan postterm dan menyebabkan oligohidramnion.
Selain perubahan volume terjadi pula perubahan komposisi cairan
amnion menjadi kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik kaseosa
dan komposisi phosphilipid. Dengan lepasnya sejumlah lamellar bodies dari paru-
paru janin dan perbandingan Lechitin terhadap Spingomielin menjadi 4:1 atau
lebih besar. Dengan adanya pengeluaran mekonium maka cairan amnion menjadi
hijau atau kuning.
Evaluasi volume cairan amnion sangat penting. Dilaporkan kematian
perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan
kompresi tali pusat. Keadaan ini menyebabkan fetal distress intra partum pada
persalinan postterm. Oligohidramnion dengan cairan amnion yang kental akibat
adanya mekonium menyebabkan terjadinya “meconium aspiration syndrome”.
Untuk memperkirakan jumlah cairan amnion dapat diukur dengan
pemeriksaan ultrasonografi. Metode empat kuadran sangat populer. Dengan
mengukur diameter vertikal dari kantung paling besar pada setiap kuadran. Hasil
penjumlahan empat kuadran disebut Amniotic Fluid Index (AFI). Bila AFI kurang
dari 5 cm indikasi oligohidramnion. AFI 5-10 cm indikasi penurunan volume
cairan amnion. AFI 10-15 cm adalah normal. AFI 15-20 cm terjadi peningkatan
volume cairan amnion. AFI lebih dari 25 cm indikasi polihidramnion.
4
Perubahan pada plasenta
Plasenta sebagai perantara untuk suplai makanan dan tempat pertukaran
gas antara maternal dan fetal. Dengan bertambahnya umur kehamilan, maka
terjadi pula perubahan struktur plasenta. Fungsi plasenta mencapai puncaknya
pada kehamilan 34 – 36 minggu dan setelah itu terus mengalami penurunan. Pada
kehamilan postterm dapat terjadi penurunan fungsi plasenta sedemikian hebat
sehingga terjadi gawat janin. Bila keadaan diatas tidak terjadi atau dengan kata
lain tidak terjadi peristiwa insufisiensi plasenta maka janin posterm dapat tumbuh
terus dengan akibat tubuh anak menjadi besar (makrosomia) dan dapat selanjutnya
dapat menyebabkan distosia bahu.
Plasenta pada kehamilan postterm memperlihatkan pengurangan
diameter dan panjang villi chorialis. Perubahan ini secara bersamaan atau
didahului dengan titik-titik penumpukan kalsium dan membentuk infark putih.
Pada kehamilan atterm terjadi infark 10%-25% sedangkan pada postterm terjadi
60%-80%. Timbunan kalsium pada kehamilan postterm meningkat sampai 10
g/100g jaringan plasenta kering, sedangkan kehamilan atterm hanya 2-3g/100g
jaringan plasenta kering.
Secara histologi plasenta pada kehamilan postterm meningkatkan infark
plasenta, kalsifikasi, trombosis intervilosus, deposit fibrin perivillosus, trombosis
arteial dan endarteritis arterial. Keadaan ini menurunkan fungsi plasenta sebagai
suplai makanan dan pertukaran gas. Hal ini dapat menyebabkan malnutrisi dan
asfiksia.
Dengan pemeriksaan ultrasonografi dapat diketahui tingkat kematangan
plasenta. Pada kehamilan postterm terjadi perubahan sebagai berikut : Piring
korion: lekukan garis batas piring korion mencapai daerah basal. Jaringan
plasenta: berbentuk sirkuler, bebas gema di tengah, berasal dari satu kotiledon
(ada daerah dengan densitas gema tinggi dari proses kalsifikasi, mungkin
memberikan bayangan akustik). Lapisan basal : daerah basal dengan gema kuat
dan memberikan gambaran bayangan akustik. Keadaan plasenta ini dikategorikan
tingkat tiga.
5
Perubahan pada janin
Sekitar 45% janin yang tidak dilahirkan setelah hari perkiraan lahir, terus
berlanjut tumbuh dalam uterus. Ini terjadi bila plasenta belum mengalami
insufisiensi. Dengan penambahan berat badan setiap minggu dapat terjadi berat
lebih dari 4000g. Keadaan ini sering disebut janin besar. Pada umur kehamilan
38-40 minggu insiden janin besar sekitar 10% dan 43 minggu sekitar 43%.
Dengan keadaan janin tersebut meningkatkan risiko persalinan traumatik.
Janin postmatur mengalami penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit
menjadi keriput dan vernik kaseosa hilang. Hal ini menyebabkan kulit janin
berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lain yaitu: rambut
panjang, kuku panjang, warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar
mekonium
DIAGNOSIS
Postterm ialah kondisi bayi yang lahir akibat kehamilan lewat waktu
dengan kelainan fisik akibat kekurangan makanan dan oksigen. Bila kasus telah
mengalami insufisiensi yang berat maka akan lahir bayi dengan kelainan sepeti di
atas.
Tanda postterm dapat dibagi dalam 3 stadium :
1. Stadium I
Kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa
kulit kering, rapuh dan mudah mengelupas.
2. Stadium 2
Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium (kehijauan) pada kulit.
3. Stadium 3
Terdapat pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit dan tali pusat.
Diagnosis kehamilan lewat waktu bisanya dari perhitungan rumus
Naegele setelah mempertimbangkan siklus haid dan keadaan klinis. Bila
terdapat keraguan, maka pengukuran tinggi fundus uteri serial dengan
sentimenter akan memberikan informasi mengenai usia gestasi lebih tepat.
6
Keadaan klinis yang yang mungkin ditemukan ialah 1) air ketuban yang
berkurang; 2) gerakan janin yang jarang.
Bila telah dilakukan pemeriksaan ultrasonografi serial terutama
sejak trimester pertama maka hampir dapat dipastikan usia kehamilan.
Sebaliknya pemeriksaan yang sesaat setelah trimester III sukar untuk
memastikan usia kehamilan.
Pemeriksaan sitologi vagina (indeks kariotokografik > 20%)
mempunyai sensitifitas 75% dan tes tanpa tekanan dengan kardiotokografi
mempunyai spesifisitas 100% dalam menentukan adanya disfungsi janin
plasenta atau postterm. Perlu diingat bahwa kematangan serviks tidak dapat
dipakai untuk menentukan usia gestasi.
PENILAIAN KEADAAN JANIN
Yang terpenting dalam menangani kehamilan lewat waktu ialah
menentukan keadaan janin karena setiap keterlambatan akan menimbulkan
risiko kegawatan. Penentuan keadaan janin ialah dengan cara berikut :
1. Tes tanpa tekanan (non stress test). Bila memperoleh hasil non reaktif
maka dilanjutkan dengan tes tekanan oksitosin. Bila diperoleh hasil
reaktif maka nilai spesifitas 98,8% menunjukkan kemungkinan besar
janin baik. Bila ditemukan hasil tekanan yang positif, meskipun
sensitifitas relatif rendah tetapi telah dibuktikan berhubungan denagn
keadaan postmatur.
2. Gerakan janin. Gerakan janin dapat ditentukan secara subyektif
(normal rata-rata 7 kali/20 menit) atau secara obyektif dengan
tokografi (normal rata-rata 10 kali/20 menit). Gerakan janin dapat
pula ditentukan pada pemeriksaan ultrasonografi. Dengan
menentukan nilai biofisik maka keadaan janin dapat dipastikan lebih
baik. Penilaian banyaknya air ketuban secara kualitatif dengan USG
(normal > 1 cm/bidang) memberikan gambaran banyaknya air
ketuban; bila ternyata oligohidramnion maka kemungkinan telah
terjadi kehamilan lewat waktu.
7
3. Amnioskopi. Bila ditemukan air ketuban yang banyak dan jernih
mungkin keadaan janin masih baik. Sebaliknya air ketuban sedikit
dan mengandung mekonium akan mengalami risiko 33% asfiksia.
Keadaan yang mendukung bahwa janin masih baik kemungkinan untuk
mengambil keputusan :
1. Menunda 1 minggu dengan menilai gerakan janin dan tes tanpa tekanan 3
hari lagi.
2. Melakukan induksi partus
PENGELOLAAN ANTEPARTUM
Dalam pengelolan antepartum diperhatikan tentang umur kehamilan.
Menentukan umur kehamilan dapat dengan menghitung dari tanggal menstruasi
terakhir, atau dari hasil pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 12-20
minggu. Pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan postterm tidak akurat untuk
menentukan umur kehamilan. Tetapi untuk menentukan volume cairan amnion
(AFI), ukuran janin, malformasi janin dan tingkat kematangan plasenta.
Untuk menilai kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 40 minggu
dengan pemeriksaan Non Stess Test (NST). Pemeriksaan ini untuk mendeteksi
terjadinya insufisiensi plasenta tetapi tidak adekuat untuk mendiagnosis
oligohidramnion, atau memprediksi trauma janin.
Secara teori pemeriksaan profil biofisik janin lebih baik. Selain NST juga
menilai volume cairan amnion, gerakan nafas janin, tonus janin dan gerakan janin.
Pemeriksaan lain yaitu Oxytocin Challenge Test (OCT) menilai kesejahteraan
janin dengan serangkaian kejadian asidosis, hipoksia janin dan deselerasi lambat.
Penilaian ini dikerjakan pada umur kehamilan 40 dan 41 minggu. Setelah umur
kehamilan 41 minggu pemeriksaan dikerjakan 2 kali seminggu. Pemeriksaan
tersebut juga untuk menentukan pengelolaan. Penulis lain melaporkan bahwa
kematian janin secara bermakna meningkat mulai umur kehamilan 41 minggu.
Oleh karena itu pemeriksaan kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 41
minggu.
8
TABEL 1: Skoring biofisik menurut Manning Dikutip dari: Hidayat W, Pemantauan biofisik Janin, jilid 1, Unpad, Bandung, 1997
Variabel biofisik Nilai 2 Nilai 0 Gerak nafas Dalam 30 menit ada
gerak nafas minimal selama 30 detik
Tidak ada gerak nafas lebih dari 30 detik
Gerak janin Dalam 30 menit minimal ada 3 gerak janin yang terpisah
Gerak kurang dari 3 kali
Tonus Ada gerak ekstensi dan fleksi sempurna, atau gerak membuka dan menutup tangan
Tidak ada gerak/ekstensi lambat disusul fleksi parsial
NST reaktif Dalam 30 menit minimal 2 akselerasi selama 15 detik dengan amplitudo 15 kali/menit
Kurang dari 2 akselerasi, kurang dari 15 kali/menit
Cairan amnion Minimal ada satu kantung amnion dengan ukuran vertikal >1 cm
Kantung amnion < 1 cm
Penatalaksanaan:
Nilai 10 : janin normal, dengan risiko rendah terjadi asfiksia kronik. Pada
postterm pemeriksaan diulang 2 kali seminggu
Nilai 8 : janin normal, dengan risiko rendah terjadi asfiksia kronik. Bila ada
oligohidramnion dilakukan terminasi kehamilan.
Nilai < 6 : Kecurigaan terjadi asfiksia kronik dan dilakukan terminasi kehamilan.
Pemeriksaan amniosintesis dapat dikerjakan untuk menentukan adanya
mekonium di dalam cairan amnion. Bila kental maka indikasi janin segera
dilahirkan dan memerlukan amnioinfusion untuk mengencerkan mekonium.
PENGELOLAAN INTRAPARTUM
Persalinan pada kehamilan postterm mempunyai risiko terjadi bahaya
pada janin. Sebelum menentukan jenis pengelolaan harus dipastikan adakah
disporposi kepala panggul, profil biofisik janin baik. Induksi kehamilan 42
minggu menjadi satu putusan bila serviks belum matang dengan monitoring janin
secara serial. Pilihan persalinan tergantung dari tanda adanya fetal compromise.
Bila tidak ada kelainan kehamilan 41 minggu atau lebih dilakukan dua
9
pengelolaan. Pengelolaan tersebut adalah induksi persalinan dan monitoring janin.
Dilakukan pemeriksaan pola denyut jantung janin.
Selama persalinan dapat terjadi fetal distress yang disebabkan kompresi
tali pusat oleh karena oligohidramnion. Fetal distress dimonitor dengan
memeriksa pola denyut jantung janin. Sebaiknya seksio dilakukan bila terdapat
deselerasi lambat berulang, variabilitas yang abnormal (<5 dpm) pewarnaan
mekonium, dan gerakan janin yang abnormal (<5/20 menit). Kelainan obstetri
(berat bayi > 4000 gr, kelainan posisi, partus > 18 jam) perlu diperhatikan untuk
indikasi seksio sesarea.
Bila cairan amnion kental dan terdapat mekonium maka kemungkinan
terjadi aspirasi sangat besar. Aspirasi mekonium dapat menyebabkan disfungsi
paru berat dan kematian janin. Keadaan ini dapat dikurangi tetapi tidak dapat
menghilangkan dengan penghisapan yang efektif pada faring setelah kepala lahir
dan sebelum dada lahir. Jika didapatkan mekonium, trakea harus diaspirasi segera
mungkin setelah lahir. Selanjutnya janin memerlukan ventilasi. Bayi dengan tanda
postmatur mungkin mengalami hipovolemia, hipoksia, asidosis, sindrom gawat
nafas, hipoglikemia, dan hipofungsi afrenal. Dalam hal ini perlutindakan yang
adekuat sesuai dengan kausa tersebut.
The American College of Obstetricians and Gynecologist
mempertimbangkan bahwa kehamilan postterm (42 minggu) adalah indikasi
induksi persalinan. Penelitian menyarankan induksi persalinan antara umur
kehamilan 41-42 minggu menurunkan angka kematian janin dan biaya monitoring
janin lebih rendah.
KESIMPULAN
10
1. Pada kehamilan postterm terjadi perubahan plasenta, cairan amnion dan
janin. Keadaan tersebut meningkatkan risiko terjadi luaran janin yang
buruk. Untuk menurunkan risiko tersebut perlu pemeriksaan dan
monitoring janin yang tepat selama kehamilan dan persalinan.
2. Kehamilan postterm mempunyai resiko lebih tinggi daripada kehamilan
aterm, pada kematian perinatal (antepartum, intrapartum, dan postpartum)
berkaitan dengan aspirasi mekoneum, dan asfiksia.
3. Kehamilam postterm mempunyai resiko lebih tinggi pada morbiditas
neonatal (makrosomia, distosia bahu, sindroma aspirasi mekoneum,
perawatan pada neonatal intensive care unit, penatalaksanaan dengan
oksigen tekanan positif, intubasi endotrakheal, distress nafas, persisten
fetal circulation, pneumonia, dan kejang.
4. Dianjurkan melakukan pencegahan postterm dengan melakukan induksi
persalinan pada kehamilan 41 minggu.
5. Manajemen : pemantauan fetus, induksi persalinan, prognosis untuk janin
lebih baik dibanding dengan manajemen ekspektatif, induksi sebaiknya
dilakukan pada kehamilan 41 minggu.
6. Putusan pengelolaan persalinan pervaginam atau perabdominal
berdasarkan pemeriksaan pematangan serviks dan memprediksi kesulitan
persalinan dan menilai risiko bahaya janin. Selama persalinan dilakukan
pengawasan ketat terhadap pola denyut jantung janin dan keadaan ibu.
DAFTAR PUSTAKA
11
Suryaningsih, Anik. 2003. Faktor Risiko Terjadi Fetal Distress Pada Persalinan Post
Term. Diakses tanggal 28 April Mei 2010
Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi
Bayu. 2009. Landasan Teori Serotinus (post date/dost matur).
http://thieryabdee.wordpress.com/2009/08/23/landasan-teori
serotinus-post-date-post-matur/ diakses tanggal 28 September 2012.
Prawirohardjo, Sarwono dan Hanifa. Kehamilan Lewat Waktu. Ilmu
Kandungan, Edisi ke 2: 2005.
12