responsi obsgyn post date

Upload: gede-putrawan

Post on 08-Mar-2016

272 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

jj

TRANSCRIPT

RESPONSI KASUSKEHAMILAN LEWAT WAKTU

Oleh :GEDE SETIABUDI PUTRAWAN, S.Ked

Pembimbing :dr. SUGENG BUDI DARMAWAN, SpOGdr. SONIA RAHAYU, SpOGdr. YUDI RIZAL H

KEPANITERAAN KLINIKSMF KEBIDANAN DAN KANDUNGANRSUD NGANJUKFAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA2015

DAFTAR ISI

BAB 1TINJAUAN PUSTAKA1.1.Definisi11.2.Frekuensi11.3.Etiologi 21.4. Komplikasi Maternal dan Fetal3 1.5. Penatalaksanaan7BAB 2LAPORAN KASUSI. Identitas Pasien26II. Anamnesa26III. Pemeriksaan Fisik 27IV. Pemeriksaan Penujang 28V. Resume 28VI. Diagnosa 28VII. Rencana Perawatan 28BAB 3RESUME.33LAMPIRAN..34DAFTAR PUSTAKA35

DAFTAR TABEL

TABEL 1.15TABEL 1.2 10TABEL 1.320TABEL 1.4 21TABEL 1.5 23TABEL 2.129TABEL 2.2 30TABEL 2.331

BAB ITINJAUAN PUSTAKA

1.1 DEFINISIKehamilan pada umumnya berlangsung 40 minggu atau 280 hari dihitung dari hari pertama haid terakhir. Kehamilan aterm adalah usia kehamilan antara 38 42 minggu dan ini merupakan periode terjadinya persalinan normal. Namun pada 4 14% kasus, kehamilan dapat bertahan hingga 42 minggu atau lebih dan disebut dengan kehamilan postterm (Wiknjosastro et al, 1999)Kehamilan postmatur adalah kehamilan yang berlangsung lebih lama dari 42 minggu (lebih dari 294 hari). Partusnya disebut partus postmaturus atau serotinus dan bayinya disebut postmaturitas (serotinus). Aspek terpenting yang harus diketahui dalam penentuan diagnosa ini adalah hari pertama haid terakhir yang secara tepat dan benar dihitung untuk nantinya menentukan tanggal kelahiran yang tepat. Dengan diketahuinya tanggal ini, dapat dihitung dugaan tanggal persalinan, sehingga dapat mencegah diagnosis yang berlebihan (over diagnostic) ataupun keadaan under diagnostic terhadap dugaan kehamilan serotinus. Rumus taksiran persalinan yang saat ini sering digunakan adalah rumus Naegele, yakni tanggal pertama haid dikurangi 3 (bulan), ditambah 7 (hari). Perhitungan ini berdasarkan asumsi, ovulasi terjadi pada hari ke 14 dari siklus teratur 28 hari. Bila terjadi variasi pada fase folikuler pada siklus haid, maka perhitungan taksiran persalinan dengan rumus ini tidak dapat dipercaya. (Sussat et al, 2009; Wiknjosastro et al, 1999)

1.2 FREKUENSI Kehamilan lewat waktu tidak dikenali hingga tahun 1902 ketika Ballantyne menggambarkan masalah pada kehamilan lewat waktu untuk pertama kalinya. Pada salah satu artikel, McClure Browne melaporkan meningkatnya kematian perinatal 2 kali lebih tinggi pada kehamilan lebih dari 42 minggu. Peningkatan angka kematian tidak termasuk preeklampsi, malformasi kongenital, dan perdarahan antepartum. Banyak juga yang menghubungkan antara angka kesakitan perinatal dengan angka kematian pada neonatus yang lahir lewat waktu. Menurut beberapa penelitian, peningkatan angka mortalitas perinatal (lahir mati ataupun kematian neonatus) berhubungan dengan memanjangnya waktu kehamilan (serotinus). Pada usia kehamilan 42 minggu, angka mortalitas meningkat 2 kali lipat, sedangkan bila lebih dari 44 minggu, maka angka kematian meningkat 4 sampai 6 kali lipat. Karena itu, sebaiknya usia kehamilan dapat diketahui dengan tepat untuk menurunkan insidensi kematian perinatal ini. (Norwitz et al, 2007)

1.3 ETIOLOGIHingga saat ini, penyebab pasti terjadinya kehamilan postmatur masih belum diketahui. Teori menunjukkan bahwa kurangnya esterogen dan sekresi progesterone yang berlangsung terus menerus menghalangi uterus untuk berkontraksi. Akan tetapi, kebenaran teori ini masih belum di evaluasi (Ricci et all, 2009). Persalinan juga dapat terjadi akibat peningkatan kepekaan uterus terhadap oksitosin dan adanya peningkatan prostaglandin. (Mochtar et al, 2009)Teori Sistem Komunikasi Organ mengatakan bahwa janin memberikan isyarat kepada ibu bila pematangan dari organ-organ janin sudah sempurna. Teori ini mengemukakan bahwa kortisol fetus menyebabkan plasenta mengurangi produksi progesteron dan meningkatkan pelepasan estrogen. Hal ini selanjutnya akan menimbulkan kenaikan prostaglandin dalam amnion yang berguna untuk stimulasi penipisan serviks dan kontraksi ritmik uterus yang merupakan ciri khas proses persalinan. Pada kasus postterm, penurunan konsentrasi estrogen tidak cukup untuk menstimulasi pelepasan prostaglandin dan proses persalinan sehingga kehamilan berlangsung lewat waktu. (Mochtar et al, 2009)Ada beberapa faktor yang diduga mempunyai hubungan dengan kehamilan postterm antara lain (Cunningham, F.G., et al. 2005) : 1. Umumnya disebabkan tidak akuratnya penentuan usia kehamilan karena siklus haid yang tidak teratur dan tidak dilakukannya pemeriksaan dengan Ultrasound (USG) untuk memperkirakan usia kehamilan pada awal kehamilan. Menurut penelitian, bila tanggal pertama haid terakhit diketahui dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan USG, maka kehamilan yang benar-benar serotinus hanya sebanyak 1,1% saja. 2. Hormonal, yaitu: kadar progesterone tidak cepat turun walaupun kehamilan telah cukup bulan, sehingga kepekaan uterus terhadap oksitosin berkurang.3. Faktor lainnya adalah bila wanita hamil adalah seorang yang putus pemakaian kontrasepsi oral. Pada pasien-pasien ini sukar ditentukan masa ovulasinya karena sering terjadi keterlambatan haid 2 minggu atau lebih (siklus tidak teratur) pada beberapa siklus spontan awal. Dengan demikian tanggal haid pertama pada haid terakhir merupakan ukuran yang tidak tepat untuk menentukan taksiran persalinan.4. Masalah yang jarang terjadi, tetapi penting dalam kehamilan serotinus adalah kelainan bawaan, seperti anencephaly tanpa danya kelenjar hipofise, insufisiensi adrenal, maupun defisiensi sulfatase pada plasenta yang berhubungan dengan X-linked. Pada janin anencephaly, tidak terdapat pembentukan kelenjar hipofise, kehamilannya selalu lewat waktu, berlawanan dengan janin anencephali dengan kelenjar hipofise yang berkembang normal. 10 dari 19 fetus lewat waktu meninggal karena hipoplasia kelenjar adrenal. Kelainan defisiensi sulfatase terjadi 1:2000 sampai 1:6000 kelahiran. Janin terkena ichtiosis, kelainan kulit seperti hiperkeratosis, juga dihubungkan dengan kornea yang opak, stenosis pilorus dan criptorchism. Plasenta tidak mampu untuk menghidrolisis prekursor estrogen dihydroepiandrosterone sulfate (DHEA-S) atau 16 -hydroxy-DHEA-S; konsentrasi estrogen ibu biasanya rendah dan abnormal. Kebanyakan kehamilan dengan defisiensi sulfatse plasenta biasanya terdeteksi dengan kadar estriol yang terlalu rendah baik pada urine ibu maupun dalam darah ketika kita evaluasi fungsi plasenta yang berubungan dengan kehamilan leat waktu. Kebanyakan pasien ini gagal untuk persalinan normal dan banyak dilakukan persalinan dengan Sectio Caesarea.Lebih sering diberikan serum estriol unconjugated untuk identifikasi Down syndrome dan defisiensi sulfatase plasenta pada awal kehamilan. 5. Defisiensi produksi prostaglandin ataupun cervix yang refrakter terhadap prostaglandin endogen, sehingga cervix sukar berdilatasi.6. Faktor lain adalah faktor herediter, karena postmaturitas sering dijumpai pada suatu keluarga tertentu.

1.4 KOMPLIKASI MATERNAL DAN FETAL Komplikasi ibu dan anak meningkat secara kuadrat dengan bertambahnya usia kehamilan, dengan angka kematian perinatal yang mulai meningkat antara minggu ke-41 hingga ke-42, meningkat 2 kali lipat pada minggu ke-43, dan menjadi 4-6 kali lipat pada minggu ke-44. (Susat et al, 2009)Karena insidensi makosomia janin yang tinggi, maka ibu akan lebih sering dilakukannya persalinan secara Sectio Caesarean dan induksi persalinan buatan pervaginam. Laserasi dinding vagina, cervix, dan perineum meningkat karena persalinan buatan pervaginam. Wanita dengan kehamilan lewat waktu, biasanya juga memiliki skor Bishop yang rendah, sehingga induksi persalinan sering gagal. Dan insidensi bunyi jantung janin tidak teratur, sehingga persalinan secara Sectio Caesarean sering juga atas indikasi fetal distress. (Cunningham, F.G., et al. 2005)Resiko persalinan secara Sectio Caesarean lebih tinggi pada nulipara. Selain itu, kehamilan post matur ini juga meningkatkan resiko infeksi postpartum, perdarahan dan komplikasi luka, emboli pulmonal, dan memanjangnya masa rawat di rumah sakit serta turut memegang peranan dalam menambah angka kematian maternal. Masalah tekanan emosi pada ibu juga patut diperhatikan, dalam menantikan kelahiran bayi, kecemasan terhadap biaya yang meningkat akibat intervensi medis dan sejumlah tes yang harus dilakukan ibu. (Cunningham, F.G., et al. 2005)Komplikasi pada janin jauh lebih serius lagi dan meyebabkan insidensi gawat janin yang tinggi pada antenatal dan intrapartum. Ada 4 masalah serius yang dihadapi bayi yaitu:1. Oligohydramnion dengan kompresi tali pusat akutPada kehamlan post matur, terjadi pengurangan volume cairan amnion (hanya tinggal 250-300ml), sehingga mudah terjadi kompresi tali pusat. Kompresi tali pusat menyebabkan refleks pengeluaran mekonium, sehingga insidensi aspirasi mekonium semakin meningkat, dan juga menyebabkan hipoglikemia. Komplikasi lain yang timbul pada neonatus bisa juga berupa kejang-kejang, dan insufisiensi pernafasan. Menurut Susat (2009) Oligohidramnion berhubungan erat dengan gawat janin pada antepartum dan intrapartum. Keadaan ini, dapat dilihat dengan kardiotokografi, dimana tampak gambaran:a. Deselerasi denyut jantung janin yang memanjang. b. Deselerasi variabelc. Ossilasi-ossilasi yang lebih dari 20 denyut per menit. Kompresi tali pusat sukar diprediksi kejadiannya, sehingga semua kehamilan post matur seharusnya dilakukan pemeriksaan terhadap kejadian oligohydramnion. 2. Makrosomia (berat lahir > 4500 gr)Insidensi maksosomia mencapai 25%. Makrosomia muncul sebagai akibat berlanjutnya pertumbuhan in utero pada kehamilan serotinus, terutama pada ibu yang obesitas dan DM. Akibat makrosomia ini dapat terjadi kemacetan pada persalinan dan meningkatkan insidensi trauma lahir, terutama distosia bahu, trauma nervus brachialis dan hipoksia. Kemungkinan terjadinya distosia bahu pada janin dengan berat badan > 4000 gr meningkat 11x lipat daripada rata-rata. Pada penelitian di California tentang janin makrosomia dengan berat diatas 4500 gr, insidensi distosia bahu sebesar 18,5%. Lebih dari 20% bayi ini mengalami trauma syaraf, dan dapat menyebabkan kecacatan permanen. Angka kematian perinatal yang mengalami distosia bahu bervariasi dari 21 dalam 1000 sampai 290 dalam 1000. (Susat, 2009) Makrosomia dapat diprediksi dengan mengukur lingkar abdomen dengan USG (Abdominal Circumference (AC) > 36 cm dan juga dengan mengukur tinggi fundus > 40 cm pada wanita yang tidak obesitas. (Susat, 2009)

3. Aspirasi mekonium Kejadian aspirasi mekononium pada kehamilan post matur, meningkat 2 kali lipat dibandingkan dengan aterm atau insidensinya lebih dari 25%. Aspirasi mekonium ini berhubungan dengan sindrom aspirasi mekonium, hipertensi pulmonal, dan meningkatnya resiko gagal ventilasi pada neonatus. Mekonium jarang keluar sebelum minggu ke 32. Mekonium sendiri keluar, diduga karena hipoksia janin. Pada kehamilan post matur, volume cairan amnion telah mengalami penurunan drastis, sehingga bila mekonium keluar tidak lagi dapat diencerkan dengan baik. Akibatnya mekonium yang keluar, jauh lebih tebal dan akan menyumbat pernafasan, menghambat surfaktan alveoli sehingga tegangan permukaan berkurang dan mengganggu fungsi paru-paru. Bayi sendiri akan tampak terwarna mekonium pada saat lahir (Cunningham, F.G., et al. 2001)

4. Insufisiensi plasentaPlasenta mencapai fungsi dan ukuran maksimal pada minggu 37 kehamilan. Sesudah itu, terjadi penurunan fungsi dan luas permukaannya. Jika janin terus tumbuh, maka akan berakibat rasio plasenta-janin semakin mengecil, dan akan menyebabkan hipoksia janin. Fetal erythropoetin plasma akan dilepaskan akibat hipoksia, sehingga akan ditemukan meningkat secara signifikan pada kehamilan serotinus. Sebenarnya erythropoetin ini sendiri sudah meningkat setelah minggu 41.Untuk mempertahankan hidupnya dan mencukupi kebutuhan energi, maka janin akan beradaptasi dengan keadaan plasenta dengan 2 cara, yaitu:a. Mengurangi pertumbuhan dengan mengurangi deposit lemak subkutan dan glikogen, sehingga terjadi retardasi pertumbuhan dan dismaturitas janin. Kulitnya tampak mengkerut, tanpa vernix, dan terkelupas, kuku-kuku jari juga panjang. Akibat berkurangnya lemak subkutan dan glikogen, bayi sering rentan terhadap hipotermi juga. Sebenarnya pertumbuhan janin sendiri maksimal sampai usia kehamilan 42 minggu (Cunningham, F.G., et al. 2001)b. Menghentikan pergerakan in utero, tampak sebagai hipoksia saat istirahat. Pada saat persalinan sering muncul bradikardia setelah kontraksi uterus dan juga asidosis.Jadi insufisiensi plasenta dapat mengakibatkan pertumbuhan janin yang jelek, kehilangan lemak subkutan dan glikogen, aspirasi mekonium, penurunan gerakan janin, oligohidramnion, non reaktif denyut jantung janin, deselerasi lambat setelah kontraksi uterus, hipoksia dan asidosis, skor APGAR yang rendah, kerusakan sistem saraf pusat, dan kematian (Cunningham, F.G., et al. 2001)Adanya ahli yang berpendapat bahwa gawat janin pada kehamilan lewat waktu, lebih sering disebabkan oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali pusat daripada insufisiensi uteroplasental Berikut ini adalah tanda tanda bayi postmatur :1. Biasanya lebih berat dari bayi matur2. Tulang dan sutura kepala lebih keras dari bayi matur3. Rambut lanugo hilang atau sangat kurang4. Verniks kaseosa di badan kurang5. Kuku kuku panjang6. Rambut kepala agak tebal7. Kulit agak pucat dengan deskuamasi epitel. 8. Kulit keriput 9. Wajahnya tampak lebih tua dan terlihat sakit (Cunningham, F.G., et al. 2001)

Tabel 1.1. Perbandingan hasil akhir kehamilan lewat waktu (> 42 minggu) dibandingkan dengan kehamilan yang berakhir pada usia 40 minggu. Minggu 40 Post matur Masalah (n=8135) % (n=3457) %

Mekonium 19 27 Induksi oksitosin 3 14Distosia bahu 8 18Sectio 0.7 1.3Makrosomia (>4500g) 0.8 2.8Aspirasi mekonium 0.6 1.6

(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 739)

1.5 PENATALAKSANAAN Karena insidensi komplikasi kehamilan post matur lebih dari 42 minggu meningkat secara signifikan, maka setiap kehamilan sebaiknya telah diidentifikasi pada minggu ke 41, sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat sejak awal minggu ke 42. (Mochtar et al, 2009)Jika pasien seorang primigravida tua mempunyai riwayat susah hamil, radang panggul, diabetes mellitus dan komplikasi kehamilan yang lain, kehamilan harus diakhiri sebelum lewat waktu. Pada kasus lain ada 3 pilihan yang harus didiskusikan dengan pasien dan suaminya. Pilihannya yaitu induksi persalinan, melanjutkan kehamilan atau menjadwalkan operasi Sectio Caesarean elektif. (Spellacy, 1999)

1. Menentukan usia kehamilanSeperti yang telah diuraikan sedari awal, bahwa untuk menghindari overdignosis ataupun under diagnosis, perlu diketahui usia kehamilan secara pasti. Tetapi hal ini sering tidak diketahui oleh ibu, sehingga membutuhkan parameter-parameter klinik, dan pemeriksaan penunjang lainnya yang sebaiknya dilakukan pada saat masih trimester awal. Parameter-parameter klinik yang dapat digunakan untuk melihat usia kehamilan adalah ukuran uterus dan pemeriksaan pelvis. Untuk ukuran uterus, yang diukur adalah tinggi fundus dari symphisis pubis. Bila uterus setinggi umbilicus, maka diperkirakan sekitar 17 minggu, atau jika fundus sekitar 20 cm, diperkirakan usia kehamilan 20 minggu. (Mochtar et al, 2009)Selain itu dapat ditentukan dari permulaan ibu merasakan gerakan janin, dimana rata-rata gerakan janin dapat dirasakan ibu pada usia kehamilan 17 minggu (12-21 minggu). Biasanya multigravida lebih tanggap merasakan gerakan janin daripada primigravida. (Mochtar et al, 2009)Denyut jantung janin juga dapat dipakai sebagai parameter klinik, dimana bunyi jantung janin pertama sekali dapat didengat dengan stetoskop rata-rata pada minggu 17 (14-19 minggu). Bunyi jantung janin yang dapat didokumentasikan dengan alat elektronik (Doppler) pada kehamilan 10 minggu. Sebaiknya pasien dianjurkan untuk lebih sering berkunjung selama minggu-minggu awal ini bila usia kehamilan sukar ditentukan, sehingga dapat dibuat pencatatan parameter klinik dengan cermat. (Mochtar et al, 2009)Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu untuk menentukan usia kehamilan, adalah:1. Hormon-hormon plasenta seperti human chorionic gonadotropin (hCG) dan human Placental lactogen (hPL). Hormon-hormon ini meningkat pada kehamilan dini. Pengukuran hCG pada kehamilan dini memiliki keakuratan 3.2 hari antara hari ke 29-60 kehamilan. 2. Protein-protein spesifik pada kehamlan, seperti protein SP1 yang lebih baik daripada hPL walaupun tidak signifikan. Pemeriksaan ini jarang dilakukan.3. Saat ini yang sering digunakan dan lebih diterima adalah ultrasound. Walaupun demikian penggunaan USG ini masih memiliki keterbatasan-keterbatasan seperti: Biasanya tabel bagian janin yang diukur dengan usia kehamilan dikembangkan dari penelitian-penelitian para wanita yang tidak tahu dengan tepat tanggal ovulasinya, dan justru dari kesalahan inilah dibuat tabel tersebut. Tidak semua janin memiliki ukuran dan pertumbuhan yang sama Janin perempuan dan laki-laki memiliki gerak pertumbuhan yang berbeda, tetapi tabel-tabel yang ada tidak membuat perbedaan untuk kedua jenis seks ini. Tergantung pada ketepatan peletakan kursor USG, yang tentunya bervariasi dari setiap ahli USG.Untuk USG, pada kehamlan dini (5-10 minggu) dapat digunakan pengukuran diameter kantung gestasional. Pengukuran ini memiliki kesalahan 0.64 minggu. Dari minggu 12-23, diameter biparietal kepala janin dianggap akurat untuk menentukan usia kehamilan dengan prediksi kesalahan 6.3 hari, atau ada juga yang mengatakan 7-10 hari. Setelah 24 minggu kehamilan, perbedaannya bisa mencapai 2 minggu, sehingga kehilangan keakuratannya sebagai salah satu metode untuk mengukur usia kehamilan.Ada juga yang mengukur panjang femur janin yang memiliki kesalahan 6.7 hari. Ada juga yang mengukur panjang janin dari corona (kepala) sampai ekor (Crown Rump Length=CRL). Pengukuran inilah yang umumnya akurat untuk usia kurang dari 12 minggu, dimana keakuratannya mencapai 95%. CRL mulai dapat digunakan pada usia kehamilan 5 hari. Sejalan dengan bertambahnya usia kehamilan, keakuratan penggunaan USG semakin berkurang, karena pertumbuhan janin yang lebih bervariasi. USG hanya dilakukan sebelum usia kehamilan 25 minggu. (Cunningham, F.G., et al. 2005)Karena insidensi komplikasi kehamilan post matur lebih dari 42 minggu meningkat secara signifikan, maka setiap kehamilan sebaiknya telah diidentifikasi pada minggu ke 41, sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat sejak awal minggu ke 42. (Spellacy, 1999)

2. Pematangan CerviksUmumnya intervensi antepartum diindikasikan sebagai penatalaksanaan kehamilan post matur. Jenis-jenis intervensi dan kapan dilakukan, juga masih kontroversial. Di satu sisi, ada yang berpendapat untuk mengintervensi kehamilan pada minggu 41 atau 42, sementara di pihak lain mempertanyakan apakah induksi persalinan lebih terjamin daripada menunggu persalinan sambil mengawasi janin dengan pemantauan-pemantuan antepartum.Sering induksi persalinan dilakukan tanpa melakukan pemeriksaan skor Bishop, sehingga justru angka persalinan operatif (Sectio Cesarean) meningkat. Skor Bishop merupakan klasifikasi objektif untuk memilih penderita-penderita yang kemungkinan besar berhasil bila dilakukan induksi persalinan. Hal-hal yang dinilai adalah pembukaan cervix (cm), pendataran cervix (%), kedudukan kepala terendah (station), konsistensi cervix, dan arah cervix. Sebenarnya, baik penatalaksanaan dengan menginduksi persalinan ataupun dengan hanya menunggu kelahiran, pada keduanya sebaiknya dilakukan pemeriksaan skor Bishop unutk melihat kematangan cervix dan segmen bawah rahim. Angka keberhasilan persalinan menjadi tinggi bila skor Bishop di atas 6, dan keberhasilan rendah bila skor kurang dari 6. (Cunningham, F.G., et al. 2005)

Tabel 1.2. Skor Bishop Skor Dilatasi Pendataran Station Konsistensi Posisi (cm) cervix (%) cervix cervix

0 tertutup 0-30 -3 kaku posterior1 1-2 40-50 -2 medium midposisi2 3-4 60-70 -1 lunak anterior3 5 80 0 - -

(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 730)

Supaya terjadi induksi persalinan yang berhasil, jelas sekali kalau keadaan cervix harus menguntungkan. Karena itu, pasien harus dilakukan pemeriksaan vaginal secara mingguan untuk menilai dilatasi dan pendataran cervix. Jika vertex telah berada di station 0, induksi persalinan dapat dimulai dengan amniotomi. Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan untuk membantu pematangan cervix (skor Bishop < 4), yaitu:a. Hygroscopic osmotic cervical dilators dan Foley kateter yang dimasukan ke canalis cervicalis. Keefektifan cara ini sebanding dengan penggunaan gel prostaglandin E2 intracervical. Salah satu metode yang sering digunakan adalah dilatasi cervical dengan balon kateter 30ml yang ditempatkan transcervical,baik tanpa ataupun dengan infus ekstraamnion dengan garam fisiologis sebanyak 1000ml. b. Menggunakan preparat prostaglandin. Terdapat 2 preparat prostaglandin yang digunakan untuk induksi persalinan, yaitu : Prepidil (gel cervical dinoprostone, Upjohn, Kalamazoo, MI), yakni suatu gel prostaglandin E2 dengan sediaan semprotan 2,5 ml, diberikan secara intracervical dengan dosis 0,5 mg tiap 6 jam, dan Cervidil (dinoprostone 10 mg), yang dimasukkan dalam vagina, dan dirancang untuk melepaskan dinoprostone 0,3 mg per jam selama 12 jam. Banyak rumah sakit yang menyiapkan gel prostaglandin supositoria E2 dengan dosis 20 mg. Penggunaan prostaglandin E2 pada dosis rendah, akan meningkatkan keberhasilan induksi, menurunkan insidensi persalinan memanjang, dan mengurangi dosis total pemakaian oksitosin. Pada penggunaan preparat prostaglandin ini, harus dilakukan pengawasan kontraksi uterus dan denyut jantung janin. Pasien harus berbaring paling sedikit 30 menit setelah pemberian obat dan dilakukan observasi antara 30 menit sampai 2 jam. Jika tidak terdapat perubahan aktivitas uterus ataupun denyut jantung janin, maka pasien boleh dipindahkan. Jika timbul kontraksi-kontraksi pada jam pertama dan menunjukkan puncak aktivitasnya dalam 4 jam pertama dan terus menetap, maka pengawasan denyut jantung janin harus diteruskan dan tanda-tanda vital juga harus dicatat.Tidak ada ketentuan yang pasti jarak pemberian prostaglandin E2 dengan pemberian awal oksitosin. Tetapi ada yang berpendapat bahwa induksi oksitosin sebaiknya ditunda dulu selama 6 sampai 12 jam.Walaupun dari penelitian unit ibu dan anak diketahui bahwa gel prostaglandin E2 tidak lebih efektif daripada placebo dalam induksi persalinan, penelitian lain pada wanita dengan kehamilan lewat waktu (post matur) ternyata efektif dengan gel prostaglandin. Analisis data yang membandingkan terapi prostaglandin dengan placebo dan tanpa terapi serta membandingkan preparat prostaglandin yang berbeda dan cara pemberiannya, memperlihatkan bahwa cara pemberian intracervical merupakan yang paling efektif dan aman. Prostaglandin E2 merupakan yang paling dianjurkan karena paling efektif pada dosis yang rendah. Efek samping penggunaan obat ini adalah ditemukannya hiperstimulasi sebanyak 6 atau lebih kontraksi dalam 10 menit dalam waktu 20 menit pada 1% penggunaan gel intracervical (0.5 mg) dan sebanyak 5% paad penggunaan gel intravaginal (2-5mg) seperti yang dikemukakan oleh Brindley dan Sokol 1988; Rayburn, 1989. Karena itu preparat ini tidak diterima secara umum. (Cunningham, F.G., et al. 2001)Misoprostol (Cytotec), merupakan sintetis analog prostaglandin E1 yang dipasarkan di Amerika Serikat, untuk melindungi mukosa gaster pada pasien yang menggunakan anti inflamasi nonsteroid. Obat ini telah dipromosikan untuk pematangan cervix dan menginduksi persalinan. Berbagai penelitian membandingkan misoprostol intravagina dengan dosis yang bervariasi dengan gel prostaglandin E2 intracervical, dimana hasil yang ada menunjukkan bahwa Misoprostol efektif untuk menginduksi persalinan. Analisis data dari 8 penelitian yang mencakup 488 pasien yang mendapat misoprostol dan 478 sebagai kontrol, menyebutkan bahwa wanita yang menerima Misoprostol kemungkinan persalinan secara Sectio Caesarean rendah dan insidensi untuk persalinan pervaginam dalam 24 jam tinggi. Penggunaan Misoprostol juga dihubungkan dengan insidensi tachysistol tetapi tidak hiperstimulasi, dan rata-rata interval dari permulaan induksi persalinan sampai persalinan lebih pendek. (Rossa, 2001)Dosis yang dianjurkan bila digunakan secara intravaginal adalah 25-50g, dimana menurut beberapa penelitian, penggunaan dosis 25g setiap 3 jam telah cukup efektif dan efek samping yang timbul lebih sedikit dibanding penggunaan dosis 50gKarena insidensi poli sistol yang tinggi, maka Misoprostol harus diberikan dengan hati-hati. Dosis optimal antara 25-50 g tiap 3 jam per vaginam. Kemudian sediaan lainnya tablet 100 g yang dapat digunakan secara per oral langsung dengan keefektivitasannya sama dengan penggunaan dosis 25 g intraveginal. Sedian 100 g ini juga dapat dibagi menjadi 2 atau 4 bagian untuk dosis 50 atau 25 g. Potongan tablet tersebut harus di tempatkan di fornix posterior vagina dengan jari tangan. Jika fetus tidak dapat mentoleransi selama persalinan, potongan tablet tersebut harus dikeluarkan dari vagina, kemudian vagina diirigasi dengan saline dan 0,25 mg terbutaline diberikan subcutan. Cara ini akan memperbaiki poli sistol uterus pada sebagian besar pasien. Selama pemberian misoprostol, keadaan janin harus diperhatikan. Sebagai tambahan, Misoprostol tidak mahal bila dibandingkan dengan preparat prostaglandin E2 yang lain dan tidak membutuhkan lemari es untuk penyimpanan. (Cunningham, F.G., et al. 2005)Beberapa komplikasi serius telah dilaporkan pada pasien yang menggunakan Misoprostol. Penelitian yang dilakukan Wing, dkk yang membandingkan Misoprostol dan Oksitosin untuk menginduksi persalinan pada wanita yang pernah melahirkan secara Sectio Caesarean. 2 pasien yang menggunakan Misoprostol mengalami kesulitan saat incisi uterus, sehingga untuk keamanan, penelitian ini dihentikan setelah 38 pasien. Sebagai tambahan, Bennett menjabarkan seorang pasien yang mendapat 25 g Misoprostol setiap 3 jam untuk induksi persalinan dan dia mengalami ruptur uterus posterior dan harus dilakukan histerektomi untuk menyelamatkan hidupnya. Menurut Plaut dkk, Misoprostol dapat meningkatkan resiko ruptur uterus pada pasien dengan luka bekas operasi di uterus. Mereka menemukan kasus ruptur uterus sebanyak 5 pasien dari 89 pasien yang pernah melahirkan secara Sectio Caesarean dan diberikan Misoprostol untuk menginduksi persalinan. Pada penelitian mereka, tingkat kejadian ruptur uterus pada pasien yang melahirkan per vaginal setelah persalinan Sectio Caesarean lebih tinggi pada pasien yang mendapat Misoprostol, 5,6% dibandingkan dengan 0,2% pada yang tidak mendapat Misoprostol. (Cunningham, F.G., et al. 2005)

3. Melepaskan selaput amnion Melepaskan selaput amnion dari lapisan dalam segmen bawah uterus dapat membantu untuk induksi persalinan dengan menyebabkan pelepasan prostaglandin. Metode ini pertama kali dikemukakan oleh Swann tahun 1958. Dia menjabarkan tehnik ini sebagai alternatif dari metode pemecahan ketuban untuk menginduksi persalinan. (Cunningham, F.G., et al. 2005)Ada sepuluh artikel yang melaporkan tentang efektifnya melepaskan selaput amnion sebagai salah satu metode untuk mempercepat timbulnya persalinan dan menurunkan angka kejadian kehamilan lewat waktu. Dari 7 laporan, 6 laporan melaporkan, bahwa melepaskan membran amnion efektif untuk mempercepat timbulnya persalinan dibandingkan dengan grup kontrol. Dalam tujuh penelitian, 4 penelitian mencakup pemeriksaan dalam dan pelepasan membran direkomendasikan pada minggu ke-38, dua mencakup pemeriksaan tunggal dengan pelepasan membran diatas minggu ke 40, satu mencakup pemeriksaan tunggal pada minggu ke-41. Tidak ada kenaikan tingkat infeksi, ketuban pecah sebelum waktu, dan komplikasi lain pada grup yang dilakukan pelepasan selaput amnion. (Cunningham, F.G., et al. 2005)Berikut ini adalah prosedur yang disarankan untuk melakukan pelepasan membran untuk menginduksi persalinan dan untuk mengurangi insidensi kehamilan lewat waktu. Pertama, dokter harus yakin bahwa usia kehamilannya > 39 minggu dan ditentukan oleh data yang akurat. Pada pemeriksaan sonography harus didapatkan plasenta yang normal. Fetus harus presentasi kepala, atau jika bokong, pasien harus sudah dievaluasi dan dikonsulkan untuk persalinan pervaginam. Harus tidak ada kontraindikasi untuk persalinan pervaginam. Setelah pasien dikonsulkan, prosedur harus dilakukan dengan sarung tangan steril. Jika jari pemeriksa masuk ke rongga cervix, jari pemeriksa kemudian masuk kedalam ostium interna dan selaput amnion dilepaskan dari decidua sekurang-kurangnya 2 cm dengan gerakan sirkuler. Jika jari pemeriksa tidak dapat masuk ke rongga cervix, kemudian pemijatan cervix dapat dilakukan, prosedur ini pasti menyakitkan. Pasien harus diberi informasi tentang prosedur ini, dan pasien berhak untuk menghentikan prosedur ini bila dirasakan oleh pasien terlalu menyakitkan. Pasien juga harus diberi tahu tentang kemungkinan terjadinya perdarahan pervaginam dan spotting. Prosedur ini dapat diulang pada waktu pemeriksaan antenatal selanjutnya jika persalinan secara spontan tidak terjadi. (Cunningham, F.G., et al. 2005)

4. Induksi persalinan atau menunggu persalinan dengan pengawasan antepartum/antenatalWalaupun secara per definisi, kehamilan tidak dikatakan lewat waktu (post matur) bila tidak mencapai usia 42 minggu, namun dengan tingginya angka kematian perinatal setelah 41 minggu, maka harus dilakukan tes antenatal pada minggu ke-41. Data klinik yang ada mendukung untuk dilakukannya tes antenatal pada minggu ke-41, dimana menunjukkan erythtropetin plasma dari tali pusat janin meningkat paad minggu 41 dibandingkan dengan neonatus yang lahir pada minggu ke 37 40. Erytropoetin pusat merupakan indikator turunnya oksigenasi fetus, dan erytropoetin ini meningkat sekali pada kehamilan diatas minggu 41. (Cunningham, F.G., et al. 2005)Saat ini terdapat sejumlah penelitian untuk penatalaksanaan kehamilan post matur. Salah satu strategi penatalaksanaan adalah dengan induksi persalinan pada semua pasien bila usia kehamilan sudah mencapai 41 minggu. Kerugiannya adalah pasien dengan kehamilan lewat waktu mempunyai cervix yang belum matang. Hal ini menimbulkan masalah : Apakah sebaiknya pasien dengan kehamilan lewat waktu dilakukan induksi persalinan walaupun cervix belum matang? Akibatnya dapat meningkatkan resiko persalinan secara Sectio Caesarean. Ataukah sebaiknya pasien dengan kehamilan lewat waktu dilakukan pengawasan antepartum sampai terjadi persalinan spontan atau cervixnya matang untuk dilakukan induksi persalinan. (Cunningham, F.G., et al. 2005)Pada evaluasi dari 11 penelitian tentang kebijakan induksi persalinan pada minggu 41, Grant menyimpulkan bahwa induksi persalinan pada minggu 41 menghasilkan penurunan tingkat persalinan secara Sectio Caesarean (14%) dan angka kematian perinatal yang lebih rendah (0,3 vs 2,5 per 1000) dibandingkan dengan menunggu persalinan spontan. Ling, dkk menyimpulkan bahwa induksi persalinan sebaiknya disarankan pada wanita dengan usia kehamilan > 41 minggu. (Cunningham, F.G., et al. 2001)Saat ini pun masih terdapat berbagai kontroversial apakah kehamilan akan diakhiri sebelum berusia 42 minggu dengan induksi persalinan, ataukah kehamilan dapat dipertahankan dan hanya menanti sampai tanda persalinan muncul. The Society of Obstetricians and Gynecologists of Canada (SOGC) mengeluarkan panduan untuk melakukan induksi persalinan pada kehamilan minggu 41 (1997). Sementara itu, the Amerocan College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) merekomendasikan persalinan dapat ditunda hingga minggu 43 pada kehamilan yang beresiko rendah (1989). Yang menarik lagi, pada panduan ACOG tahun 1997 malahan tidak menentukan batas atas usia kehamilan yang boleh ditunggu, asalkan keadaan janin terus dipantau mulai usia kehamilan minggu 42. (Fronter et al, 2007)Saat dokter dan pasien memilih menunggu persalinan (tentunya pada kehamilan dengan resiko rendah), maka pengawasan janin dengan ketat sangat diharuskan. Pengawasan tersebut adalah:a) Non Stress Tests (NSTs) 2 kali seminggub) Contraction Stress Test (CSTs)c) Pemeriksaan indeks cairan amnion (Amnion Fluid Index=AFI)d) Biophysical profiles (BPP)e) DopplerYang perlu diingat, tidak ada satu pun penelitian yang mengatakan bahwa salah satu dari tes-tes tersebut diatas lebih unggul dari tes lainnya. Semua tes yang ada harus saling melengkapi. (Manuaba et al, 2007)Mula-mula diperkirakan dulu usia kehamilan, minimal harus ditemukan kriteria maturitas janin sebelum persalinan diinduksi, misalnya dengan taksiran berat badan. Segala resiko dan keuntungan bila melakukan induksi persalinan atau menunggu kelahiran, harus dikomunikasikan dengan pasien. Jika psien menginginkan untuk dilakukan induksi persalinan, dan memang tidak ada kontraindikasinya, maka proses induksi dapat dijadwalkan dengan segera. Jika pasien memilih untuk menunggu saja, maka pemantauan janin antepartum sebaiknya segera dimulai. (Manuaba et al, 2007) Kontraindikasi pematangan cervix dan induksi persalinan adalah:A. Kontraindikasi absolut: Plasenta previa komplit Pernah dilakukan bedah uterus transfundal Janin letak lintang Prolaps tali pusat Vasa previaB. Yang membutuhkan perhatian ketat adalah: Denyut jantung janin abnormal, tetapi tidak termasuk kelahiran yang emegensi Letak bokong Penyakit jantung maternal ataupun hipertensi berat Kehamilan ganda Polihidramnion Letak terendah janin masih tinggi Kelahiran SC sebelumnya.

Pada pengawasan antenatal, bila ditemukan NSTs yang non reaktif disertai dengan BPP modifikasi yang abnormal juga, maka harus dilakukan tes selanjutnya, yaitu CSTs ataupun full BPP. CSTs dengan perangsangan puting ataupun oksitosin intra vena dapat digunakan untuk melihat adanya/tidaknya deselerasi lambat pada jantung janin. CSTs disebut positif, jika terdapat deselerasi lambat, dan negatif bila tidak terjadi deselerasi. Bila hasil CSTs positif setelah NSTs non reaktif, maka janin dalam keadaan asidosis akibat hipoksia. Selanjutnya dilakukan penilaian ulang terhadap janin. Bila ternyata dapat menjamin keadaan janin, maka kehamilan boleh dilanjutkan hingga awal minggu 43, selanjutnya kehamilan harus diakhiri. Tetapi bila CSTs negatif setelah NSTs non reaktif, mungkin janin dalam siklus tidur, terpapar dengan obat-obat tertentu, atapun adanya kelainan neurologis.Kehamilan masih boleh dilanjutkan. (Cunningham, F.G., et al. 2001) Bagaimana pun juga, dari beberapa penelitian ditemukan, bahwa resiko terhadap ibu dan janin meningkat pada kehamilan lewat waktu. Karena itu komunikasi yang baik antara dokter dan pasien sangat dibutuhkan. (Cunningham, F.G., et al. 2001)

A. Non Stress Test (NST)Freeman dan Lea memperkenalkan tes ini dengan menunjukkan adanya aselerasi denyut jantung janin yang merupakan respon dari pergerakan janin. Sekitar tahun 70 an, NST pernah menjadi tes yang utama dalam menilai kesehatan janin. Pada kehamilan lanjut, terutama pada minggu ke 34, aselerasi sangat sering terjadi, hampir setiap jam. Rata-rata amplitudo aselerasi ini 20 sampai 25 denyut permenit dan berlangsung selama kira-kira 40 detik. Hal ini mencerminkan keadaan neurologi janin yang baik. Aselerasi mungkin tidak ada bila janin sedang dalam keadaan tidur tenang. Tetapi keadaan ini masih dianggap normal sampai 80 menit. (Cunningham, F.G., et al. 2001)Pada umumnya hasil tes ini sudah dapat diperoleh dalam 10-15 menit. Tes ini tidak memiliki kontraindikasi seperti CSTs. Pasien berada dalam posisi setengah berbaring (semi fowler) dan miring ke kiri untuk menghindarkan sindrom hipotensi supine. Kemudian tekanan darah harus diukur dulu dan diulang dengan interval 5-10 menit. Jumlah denyut jantung janin direkan dengan USG Doppler dan tocodynamometer digunakan untuk mendeteksi kontraksi uterus ataupun pergerakan janin dalam 10 menit pertama. Pemantauan dilakukan selama 20-30 menit. Umumnya suatu tes disebut reaktif bila terdapat paling sedikit 2 kali aselerasi dengan peningkatan amplitudo 15 denyut per menit, dan berlangsung selama 15 detik dalam 20 menit.Hasil disebut non reaktif bila gerak janin tidak ada atau kurang dari 5 gerakan dalam 20 menit, dan tidak tampak aselerasi denyut nadi setelah kontraksi uterus ataupun justru muncul deselerasi lambat setelah kontraksi uterus. (Cunningham, F.G., et al. 2001)Bila ditemukan keadaan non reaktif, mungkin sekali janin berada pada keadaan tidur tenang. Beberapa ahli melakukan perangsangan manual terhadap janin, misalnya dengan meningkatkan kadar glukosa janin dengan memberikan jus jeruk pada ibu. Tetapi hal ini tidak terbukti meningkatkan aktivitas janin. Jika tes ini diperpanjang hingga 40 menit, tetapi masih saja non reaktif, CSTs ataupun biophysical profile dapat digunakan. Cara lain yang dilakukan para ahli adalah dengan memberikan perangsangan vibroakustik untuk mengubah fase tidur tenang janin menjadi aktif. Biasanya mereka menggunakan suatu alat larynx elektonik dengan kekuatan 82 dB pada frekuensi 80 Hz dan dengan suatu harmonisasi dengan frekuensi 20-9000 Hz. Tes vibroakustik ini dapat membantu setelah minggu ke 26 kehamilan, sebab otak yang mengatur bagian auditorik mulai berfungsi pada minggu ke 26. (Cunningham, F.G., et al. 2001) Bila menggunakan perangsangan vibroakustik, denyut jantung janini diamati dulu selama 5 menit. Jika masih non reaktif, maka dapat diberikan stimulus lagi, selama 30 detik dalam pengamatan selama 30 menitTidak ada atau 1 episode 30 detik dalam 30 menit

Gerak tubuh Minimal 3 gerakan dalam 30 menit 2 episode gerakan dalam 30 menit

Tonus ototMinimal 1 episode ekstensi aktif yang diikuti oleh gerak fleksi ; gerakan membuka dan menutup tanganBaik ekstensi dan fleksi berlangsung lambat atau sebagian saja ataupun gerakan ekstensi penuh ataupu tidak adanya gerakan sama sekali

Denyut jantung janin reaktif (NSTs)Minimal 2 episode aselerasi 15 bpm selama 15 detik berhubungan dengan gerakan janin dalam 30 menit< 2 aselerasi ataupun aselerasi < 15 bpm dalam 30 menit.

Volume cairan amnion (AFI) secara kualitatifMinimal cairan amnion dalam kantong amnion setinggi 2 cm dalam 2 bidang tegak lurusTidak adanya cairan amnion atapun < 2 cm dalam 2 bidang tegak lurus

(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 735

Tabel 1.4. Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan hasil biophysical profile SkorInterpretasiPenatalaksanaan

10Normal; resiko rendah asfiksia kronisTes diulang dengan interval 1 minggu; 2 kali seminggu bila kehamilan beresiko tinggi dan pada kehamilan 42 minggu

8Normal; resiko rendah asfiksia kronisTes diulang dengan interval 1 minggu; 2 kali seminggu bila kehamilan beresiko tinggi dan pada kehamilan 42 minggu; bila oligo- hidramnion, merupakan indikasi untuk mengakhiri kehamilan

6Suspek asfiksia kronisJika kehamilan 36 minggu, dapat dilahirkan; jika < 36 minggu dan L/S < 2.0, ulangi tes ini dalam 4-6 jam; kehamilan harus diakhiri bila terdapat oligohidramnion

4Suspek asfiksia kronisJika 32 minggu; lahirkan ; bila < 32 minggu, ulangi penghitungan.

0-2Dugaan kuat asfiksia kronisPerpanjang tes sampai 120 menit; jika skor bertahan terus (persisten) 4, lahirkan tanpa memandang usia kehamilan

(Sumber : Cunningham, F.G., et al. 2001 : 735)

Modified Biophysical profile (mBPP) mulai diperkenalkan tahun 1982, dengan NSTs dan penentuan volume cairan amnion. Ketika dilakukan 2 kali seminggu pada grup dengan 8038 pasien yang hamil lewat waktu, terdapat negative palsu 1,12 dalam 1000. Karena pada pasien dengan kehamilan lewat waktu, oligohidramnion dapat terjadi dengan cepat setelah pencatatan Amniotic Fluid Index (AFI) yang normal (3 4 hari), sehingga penting untuk melakukan penentuan volume cairan amnion 2 kali seminggu pada kehamilan lewat waktu. Tes mBPP banyak digunakan sebagai pilihan dalam tes antenatal. (Beckmann et al, 2010) Masih terdapat kontroversi tentang tingkat volume amnion yang menunjukkan oligohidramnion dan pada tingkat berapa volume amnion akan memberikan hasil janin yang jelek. Volume cairan amnion didasarkan pada kantong amnion vertikal terdalam dan ambang batas 1-3 cm digunakan. Sekarang, banyak dokter yang menggunakan AFI untuk pemeriksaan tingkat cairan amnion. AFI > 8 cm adalah normal, 5 8 cm adalah perbatasan, < 5 cm adalah oligohidramnion. (Spellacy, 1999)

C. Contraction Stress Test (CST)Akibat adanya kontraksi uterus, maka tekanan miometrium sendiri akan menyebabkan kolapsnya pembuluh darah yang melalui otot-otot uterus dan meningkatkan tekanan cairan amnion, sehingga pada akhirnya akan mengisolasi ruangan intervili dan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran oksigen dalam waktu singkat. Bila terdapat keadaan insufisiensi plasenta, maka kontraksi uterus ini berakibat terjadinya deselarasi lambat ataupun deselerasi variabel pada denyut jantung janin. (Cunningham, F.G., et al. 2001)Berdasarkan prinsip yang dditimbulkan akibat kontraksi uterus inilah maka dibuat suatu tes yang dulu disebut oxytocin challenge test, yang sekarang disebut contraction stress test (CSTs). Kontraksi uterus diinduksi dengan menggunakan oksitosin IV melalui infus. Bagaimana respon denyut jantung janin terhadap kontraksi uterus, itulah yang direkam dan dinilai. Hasil tes disebut positif (abnormal), bila ditemukannya gambaran deselerasi lambat berulang. Tes ini disebut negatif (normal) bila tidak ada deselerasi lambat pada tes sekarang dan minggu depan. (Cunningham, F.G., et al. 2001)Jika terdapat 3 kontraksi uterus spontan selama 40 detik sampai 60 detik dalam 10 menit maka tidak perlu diberikan stimulasi terhadap uterus. Induksi kontraksi uterus dapat dilakukan dengan oksitosin ataupun dengan perangsangan nipple ibu bila kontraksi < 3 dalam 10 menit. Dosis awal oksitosin yang dibutuhkan adalah 0,5mU/menit IV dan dinaikkan 2 kali setiap 20 menit sampai didapatkan kontraksi yang memuaskan. Tes ini membutuhkan waktu kira-kira 90 menit. (Cunningham, F.G., et al. 2001)Perangsangan nipple ibu juga dapat dilakukan untuk menginduksi kontraksi uterus. Cara ini merupakan salah satu metode yang direkomendasikan oleh the American College of Obstetricians and Gynecologists. Caranya adalah, salah satu nipple ibu digosok selama kira-kira 2 menit atau sampai muncul 1 kontraksi. Bila tidak muncul kontraksi, ataupun kontraksi tidak adekuat, maka penggosokan dapat dihentikan selama 5 menit, lalu diulang lagi. CSTs dengan induksi kontraksi cara ini membutuhkan waktu kira-kira 30 menit. (Cunningham, F.G., et al. 2001)Kontraindikasi dilakukannya CSTs adalah bila ditemukannya keadaan-keadaan dengan resiko tinggi terjadinya persalinan prematur, seperti ruptur membran prematur, multi gravida, dan cervix inkompeten. CST juga sebaiknya tidak dilakukan bila terdapat riwayat sectio cesarea klasik, operasi uterus karena berbagai sebab, maupun pada plasenta previa. (Cunningham, F.G., et al. 2001

Tabel 1.5. Interpretasi CSTsInterpretasi Deskripsi Insiden (%)

Negatif Tidak ada deselerasi lambat pada kontraksi uterus adekuat 80Positif Deselerasi lambat yang bersifat konsisten dan persisten (terdapat >50% dari seluruh kontraksi) 3-5 tanpa kontraksi berlebihan; jika deselerasi lambat persisten muncul sebelum sejumlah kontraksi yang adekuat,maka interpretasinya juga positif Meragukan Deselerasi lambat yang inkonsisten 5Hiperstimulasi Interval antara 2 kontraksi uterus 2 menit dan setiap kontraksi berlangsung > 90 detik, ataupun terjadi 5 kontraksi uterus dalam waktu 10 menit ; 5 jika tidak ada deselerasi lambat, maka tes ini diinterpretasikan negatif

Tidak Kualitas interpretasi inadekuat ataupun tidak Memuaskan tercapainya kontraksi uterus yang adekuat 5

Deselerasi variabel yang terjadi selama CST mungkin mengindikasikan adanya oligohidramnion. Pada banyak kasus, USG digunakan untuk menilai volume cairan amnion. Hasil CST negatif berhubungan dengan keadaan janin yang baik. Bahkan angka kematian perinatal pada kehamilan dengan resiko tinggi pun dapat terkendali dengan baik sekali bila hasil CST negatif.. Hasil CST normal biasanya menjamin keadaan janin dalam seminggu, karena itu sangat dianjurkan untuk menilai lagi kesehatan janin 1 minggu kemudian Hasil CST positif berhubungan dengan meningkatnya insidensi kematian intrauterin, terjadinya deselerasi lambat pada persalinan, rendahnya APGAR 5 menit, IUGR, maupun mekonium. Jadi jika nilai CST positif, mungkin berhubungan dengan terganggunya kesehatan janin yang bisa berakibat gawat janin. (Cunningham, F.G., et al. 2001) Kerugian tes ini adalah masih tingginya insiden false positif. Sebab-sebab terjadinya false positif adalah, mungkin akibat kesalahan interpretasi, keadaan hipotensi sehingga menurunkan perfusi uterus, hiperstimulasi uterus, dan sebagainya. Tingginya insiden false positif menunjukkan tidak selalu diperlukan tindakan sectio cesarea. Jika hasil CST meragukan, sebaiknya dilakukan tes ulang dalam 24 jam. . (Cunningham, F.G., et al. 2001) D. Doppler VelocimetryPrinsip penggunaan USG Doppler ini adalah dengan mengukur aliran darah dalam uterus dan pembuluh darah janin.Fd = 2 f0 V cos C

Fd = perubahan frekuensi dopplerF0 = frekuensi yang ditransmisikan V = kecepatan sel darah merah = sudut antara arah suara dengan gerakan sel darah merahC = kecepatan suara dalam mediumBiasanya dilakukan pengukuran terhadap ratio antara puncak sistolik dengan diastolik (S/D ratio) yang juga dikenal sebagai ratio A/B. Jika tahanan perifer meningkat, maka aliran diatolik menurun, dan ratio S/D meningkat. Indeks pulsatil dihitung dengan mengurangi nilai sistolik dengan nilai diastolik, dibagi dengan kecepatan rata-rata (S-D/mean). Sebagai ratio tambahan, indeks resistensi atau ratio Pourcelot dinyatakan dengan S-D/ S. Kedua perbandingan terakhir ini sangat berguna bila aliran diastolik tidak ada atau terbalik.Bila resistensi plasenta meningkat di atas timester II, mungkin berhubungan dengan keadaan IUGR, dimana terdapat pengurangan aliran diastolik akhir. Dengan demikian akan meningkatkan ratio S/D. Sedangkan pada arteri umbilicalis normal, terdapat penurunan pulsatil yang progresif, disertai meningkatnya aliran diastolik. Aliran arteri umbilicalis yang abnormal memperlihatkan adanya penurunan aliran diastolik akhir, atau pada keadaan ekstrim, aliran diastolik akhir bisa tidak ada ataupun terjadi aliran terbalik. Keadaan-keadaan di atas ini menjadi sangat berarti bila didapatkan paling sedikit 3 sampai 5 gelombang yang diperoleh dari sudut-sudut yang berbeda. (Rossa, 2001)Hal yang harus diingat adalah keabnormalitasan yang didapat pada penggunaan Doppler ini hanya mencerminkan keadaan patologis pada plasenta dan sirkulasi janin, bukan menunjukkan adanya hipoksia pada janin. Ratio S/D pada arteri umbilicalis bisa saja normal, sementara sedang terjadi asidosis janin. Karena itu sebaiknya dilakukan kombinasi pemeriksaan dengan tes lainnya untuk menilai kesehatan janin ante partum. (Manuaba et al, 2007)

BAB IILAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN Nama: Ny. NS Jenis Kelamin: Perempuan Umur: 18 tahun Alamat: Salamrejo, Berbek Pekerjaan: Asisten Rumah Tangga Nama Suami: Tn. W Agama: Islam MKB: 13-06-2015 jam: 12.30

II. ANAMNESAa. Keluhan UtamaPasien datang dengan keluhan keluar cairan putih dari vaginab. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)Pasien perempuan hamil 44-45 minggu datang dengan rujukan dari bidan dengan keluhan keluar cairan jernih melalui vaginanya pada hari sabtu tanggal 13-06-2015 pukul 05.30 WIB. Perut terasa kencang-kencang mulai tanggal 13-06-2015 jam 00.00 WIB.c. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)Jantung (-)Hipertensi (-)Kejang (-)Ashma (-)d. Riwayat HaidHPHT: 9-8-2014HPL: 16-5-2015Umur kehamilan 44-45 minggue. Riwayat Persalinan Yang lalu Hamil ini

III. PEMERIKSAAN FISIK Status generalisKeadaan umum: BaikKesadaran: compos mentis Vital SignTD: 120/70 mmHgNadi: 90 x/menitSuhu: 35,8oC Kepala LeherAnemia (-); Ikterus (-); Cianosios (-); Dyspneu (-) ThoraxCor: S1 S2 tunggal, Gallop (-) Murmur (-)Pulmo: Vesikuler, Wheezing (-) Ronchi (-) AbdomenLeopod I: Teraba fundus uteri, bulat, lunak yaitu bokong janin. TFU: 31cmLeopod II: Sisi kanan ibu terasa padat, keras, dan panjang yaitu punggung janin DDJ (+) 151x/menit.Leopod III: Pada bagian bawah janin teraba bulat, keras yaitu kepala janin tidak goyang.Leopod IV: Kepala janin sudah masuk PAP Pemeriksaan Dalam (VT)Pembukaan: 1cmEff: 10%Ketuban: (+)Presentasi : KepalaHodge: 1 EktremitasAkral hangat: +Odema: -/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANGKertas lakmus tidak menjadi biruUSG (terlampir)Darah Rutin (terlampir)

V. RESUMEPasien hamil 44-45 minggu datang dengan rujukan dari bidan dengan keluhan keluar cairan jernih melalui vagina sejak tadi pagi. Cairan berwarna jernih dan berbau amis, disertai perut terasa kenceng-kenceng. Dari Anamnesa didapatkan pasien mengeluh kenceng-kenceng, pemeriksaan fisik dan vital sign dalam batasan normal. Sedangkan dari pemeriksaan dalam didapatkan pembukaan 1 cm, selaput ketuban (+) presentasi kepala dan hodge 1.

VI. DIAGNOSA Diagnosa kehamilan: GIP0000/44-45 minggu/T/H Diagnosa persalinan: Observasi Impartu 44-45 minggu Penyulit Ibu: Post Date

VII. RENCANA PERAWATAN Obstetri Tirah Baring NST USG Evaluasi terminasi Medikamentosa Inf. RL Inj. Vit B1 Inj. Cefotaxim

Tabel 2.1: Riwayat Perkembangan PasienTGL/JAMPERJALANAN PENYAKITPENGOBATAN

15/06/2015S: Kenceng-kenceng mulai sering

O:VT: pembukaan 3 cmEff: 75% masuk papHodge 1Ketuban DJJ

A:GIP0000/44-45 minggu/T/H dengan Post DateObservasi CHPDEvaluasi 6 jam pro SptB Apabila tidak ada kemajuan pro akselerasi

16/06/2015S:Bekas jahitan terasa nyeri

O:KU = Cukup, Kesadaran = ComposmentisTD:120/70mmhgN:110x/mntS:36,7oCRR: 20x/mnt

A: Post Partum SPT B 44-45 minggu/T/HTx:Amoxcicilin 3x500mgAsamefenamat 3x500mg POSF 1x1

LaktasiKB NifasDiet TKTPKRS Kontrol Poli minggu depan

Tabel 2.2: Asuhan Keperawatan/KebidananTGLDATADX KEPERAWATAN/KEBIDANANRENCANA KEPERAWATANTINDAKAN KEPERAWATAN

13/06/2015S:-Hamil ini

O:-KU: baikTD:120/70N:80x/mntS:35,8ocTFU: 31cm DJJ: + 151x/mntVT: pbukaan 1jari longgarEff:10%Ketbn: -Kepla: H1-GIP00000/44-45mgg/T/H dengan KPD + Post Date

-observasi CHPD- mengobservasi CHPD

Jam 20.00: menghubungi dr.Made:Belum tersambungJam 20.15: lapor dr. Made Inf. RL Inj. Vit B1 Lab rutin Pro OD besok pagiInj. Vit B1 Masuk

Jam 06.00Inj. Cefo +

Tabel 2.3: Perkembangan PasienTGL/JAMSUBYEKTIFOBYEKTIFASSESMENT/MASALAHINTERVENSI/PERENCANANIMPLEMENTASI/PELAKSANAAN

13/06/2015Kenceng jarangKU: BaikHis + jarangCort +GIP00000/44-45mgg/T/H + Post DateObs. CHPBMell obs CHPB

Lapor dr. Sonia R, SpOG: NST USG besok

14/06/2015Kenceng jarangKU: baikHis + jarangCort +

GIP00000/44-45mgg/T/H + Post DateObs. CHPBMengobs. CHPBNST +

14.00Kenceng jarangKU: BaikHis:+ jaranngDJJ + 142x/mntGIP00000/44-45mgg/T/H + Post DateObs. CHPB

Mengobs.CHPBPro USG besok

24.00Kenceng jarangKU: baikHis + jarangCort + 150x/mntT=110/80mmhgGIP00000/44-45mgg/T/H + Post DateObs. CHPB

Mengobs. CHPBPindah Ruangan

15/6/201508.00Kenceng jarangKU: baikHis + jarangCort + 150x/mnt

GIP00000/44-45mgg/T/H + Post DateObs. CHPB

Mengobs CHPB

09.00: VT 2cm, eff 50%, Coty (+), Hodge 1

14.00Kenceng bertambahKU: baikHis + jarangCort + 136x/mntT=120/70mmhgGIP00000/44-45mgg/T/H + Post DateObs. CHPB14.00:-VT 7cm, eff 80%, Ket (+), Menonjol Kepala, Hodge 115.30:- VT lengkap, eff 100%, Ketuban (-) pecah spontan jernih, Px persen-persen Partus dipimpin

15.40:- Telah partus dengan SPT B Berita Partus

18.00:Pindah RuanganLanjutkan TX

21.00Keluar darah sedikit-sedikitKU: BaikFlux (+) SedikitPost Partum SPT BObservasi VS + FluxMengobs. VS + Flux

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 16 Juni 2015

PemeriksaanHasilSatuanNilai RujukanMetodeKeterangan

Darang Lengkap + DIFF

Leukosit8.8710^3/ul3.80-10.60

Hitung Jenis (DIFF)

Jumlah Eritrosit4.2910^6/uL4.40 6.00

Hemoglobin11.9g/dl13.2 17.3

Hematokrit35.9%40.0 52.0

MCV83.7fL80.0 100.0

MCH23.7Pg26.0 34.0

MCHC33.1g/L32.0 36.0

Trombosit25010^3/ul150 400

RDW SD42.6fL37 54

RDW CV14.3%11.0 15.0

PDW11.6fL

MPV10.2fL

P-LCR26.8%

PCT0.25%

BAB 3RINGKASANPasien hamil 44-45 minggu datang dengan rujukan dari bidan dengan keluhan keluar cairan jernih melalui vagina sejak tadi pagi. Cairan berwarna jernih dan berbau amis, disertai perut terasa kenceng-kenceng. Dari Anamnesa didapatkan pasien mengeluh kenceng-kenceng, pemeriksaan fisik dan vital sign dalam batasan normal. Sedangkan dari pemeriksaan dalam didapatkan pembukaan 1 cm, selaput ketuban (+) presentasi kepala dan hodge 1.Hasil USG menunjukkan bahwa tampak janin tunggal letak kepala, cairan amnion sedikit, serta estimasi berat janin 2555 gram. Pasien melahirkan secara spontan pada pukul 15.40 siang, dengan plasenta lahir lengkap. Bayi pasien perempuan dengan berat badan 2500 gram dan panjang 48 cm.Pasien dipulangkan pada tanggal 16 juni 2015 setelah keadaan umum baik dan tidak ada keluhan. Pasien dibekali dengan antibiotic berupa amoxicillin 500gr yang diminum 3x sehari selama 5 hari serta analgesic berupa asam mefenamat 3x500 gram. Pasien di edukasi untuk tetap memantau laktasi, serta kontrol ke poli kandungan 1 minggu setelah pasien KRS.

LAMPIRAN

Hasil USG Pasien

Daftar Pustaka

Beckmann, C et al, 2010. Obstetrics and Gynecology, Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia, P. 219-222.

Cunningham, F.G., et al. 2001. Postterm Pregnancy, Antepartum Assessment, In : Williams Obstetrics. Edisi 21. Mc Graw Hill. New York: 729 742. 1095-1108.

Cunningham, F.G., et al. 2005. Postterm Pregnancy, Antepartum Assessment, In : Williams Obstetrics. 22nd edition Mc Graw Hill. New York: 729 742. 1095-1108.

Datta, S, 2004. Anesthetic and Obstetric Management of High Risk Pregnancy, Springer-Verlog, New York.

Fonter, K et al, 2007. The John Hopkins Manual Of Gynecology and Obstetrics, Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia, P. 119.

Manuaba, I.B.G et al, 2007. Pengantar Kuliah Obstetri, Penerbit Buku Kedokteran ECG, Jakarta, p. 450-451

Mochtar AB, Kristanto H, 2009. Kehamilan Postterm. Dalam: Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. . p:685-95

Norwitz ER, Snegovskikh VV, Caughey AB. Prolonged pregnancy: when should we intervene?. Clin Obstet Gynecol. 2007 Jun. 50(2):547-57.

Rosa C. 2001. Postdate Pregnancy in: Obstetrics and Gyecology Principles for Practice, McGraw-Hill. New York, America: 388-395

Rustam, Mochtar. 1998 Sinopsis Obstetri (Obstetri Fisiologi Obstertri Patologi). Edisi 2. EGC. Jakarta.

Spellacy W.N., 1999.Postdate Pregnancy in:Danforths Obstetrics and Gynecology. Edisi 8. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia:287-291

Susat Scott Ricci, Terri Kyle, 2009. Maternity and Pediatric Nursing, Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia, P,652

Wiknjosastro H, 2005. Kelainan Dalam Lamanya Kehamilan. Dalam Ilmu Kebidanan hal. 317. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.